stunting 1


Kecukupan gizi dan pangan merupakan salah satu
faktor terpenting dalam mengembangkan kualitas sumber
daya manusia, sebagai indikator keberhasilan pembangunan
suatu bangsa. Dalam hal ini gizi memiliki pengaruh terhadap
kecerdasan dan produktivitas kerja sumber daya manusia
Saat ini negara kita  masih menghadapi
permasalahan gizi yang berdampak serius terhadap kualitas
sumber daya manusia (SDM). Salah satu masalah kekurangan
gizi yang masih cukup tinggi di negara kita  adalah pendek
(stunting) dan kurus (wasting) pada balita serta masalah
anemia dan kurang energi kronik (KEK) pada ibu hamil.
Masalah kekurangan gizi pada ibu hamil ini  pada
akhirnya dapat memicu  berat badan bayi lahir rendah
(BBLR) dan kekurangan gizi pada balita. Permasalahan gizi
dipicu  oleh pemicu  langsung seperti asupan makanan
yang tidak adekuat dan penyakit infeksi. Sedangkan
pemicu  tidak langsung permasalahan gizi adalah masih
tingginya kemiskinan, rendahnya sanitasi lingkungan,
ketersediaan pangan yang kurang, pola asuh yang kurang
baik, dan pelayanan kesehatan yang belum optimal
Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013
berdasar  indikator BB/U menunjukkan secara nasional
prevalensi gizi buruk-kurang pada tahun 2013 adalah 19,6%
yang terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9% gizi kurang. Terus
terjadi peningkatan prevalensi gizi buruk-kurang
dibandingkan hasil Riskesdas pada tahun sebelumnya dimana
pada tahun 2007 prevalensi gizi buruk-kurang adalah sebesar
18,4% dan tahun 2010 sebesar 17,9%. Diantara 33 provinsi di
negara kita , ada  18 provinsi yang memiliki prevalensi gizi
buruk-kurang di atas angka dengan urutan dari yang tertinggi
dan terendah adalah (1) Nusa Tenggara Timur; (2) Papua
Barat; (3) Sulawesi Barat; (4) Maluku; (5) Kalimantan Selatan;
(6) Kalimantan Barat; (7) Aceh; (8) Gorontalo; (9) Nusa
Tenggara Barat; (10) Sulawesi Selatan; (11) Maluku Utara; (12)
Sulawesi Tengah; (13) Sulawesi Tenggara; (14) Kalimantan
Tengah; (15) Riau; (16) Sumatera Utara; (17) Papua, (18)
Sumatera Barat dan (19) Jambi. Masalah kesehatan
warga dianggap serius, bila prevalensi gizi buruk-kurang
antara 20,0-29,0 % dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila
≥30% (WHO, 2010). Prevalensi nasional gizi buruk-kurang pada
anak balita sebesar 19,6%, yang berarti masalah gizi buruk-
kurang di negara kita  masih merupakan masalah kesehatan
warga mendekati prevalensi tinggi (Riskesdas, 2013).
berdasar  indikator TB/U, prevalensi pendek
(stunting) secara nasional pada tahun 2013 adalah sebesar
37,2% dimana terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010
(35,6%) dan  2007 (36,8%). Prevalensi pendek sebesar 37,2%
terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek. Terdapat
20 provinsi yang prevalensi stunting diatas prevalensi
nasional yaitu: (1) Nusa Tenggara Timur, (2) Sulawesi  Barat,
(3) Nusa Tenggara Barat, (4) Papua Barat, (5) Kalimantan
Selatan, (6) Lampung, (7) Sulawesi Tenggara, (8) Sumatera
Utara, (9) Aceh, (10) Kalimantan Tengah, (11) Maluku Utara,
(12) Sulawesi Tengah, (13) Sulawesi Selatan, (14) Maluku, (15)
Papua, (16) Bengkulu, (17) Sumatera Barat, (18) Gorontalo,
(19) Kalimantan Barat dan (20) Jambi. Masalah kesehatan
warga dianggap berat, bila prevalensi pendek adalah
sebesar 30–39% dan serius, bila prevalensi pendek ≥40%
(WHO 2010).
Salah satu indikator untuk menentukan anak yang harus
dirawat dalam manajemen gizi buruk adalah keadaan sangat
kurus yaitu anak dengan nilai Zscore <-3,0 SD berdasar 
indikator BB/TB. berdasar  hasil Riskesdas (2013)
menunjukkan secara keseluruhan prevalensi anak balita kurus
dan sangat kurus menurun dari 13,6% pada tahun 2007
menjadi 12,1% pada tahun 2013. Terdapat 17 provinsi dimana
prevalensi kurus diatas angka nasional, yaitu:  (1) Kalimantan
Barat, (2) Maluku, (3) Aceh, (4) Riau, (5)Nusa Tenggara Timur,
(6) Papua Barat, (7) Sumatera Utara, (8) Bengkulu, (9) Papua,
(10) Banten, (11) Jambi (12) Kalimantan Selatan, (13) Sumatera
Barat, (14) Sumatera Selatan, (15) Kalimantan Tengah, (16)
Kepulauan Riau, (17) Maluku Utara. Sedangkan pada tahun
2013 prevalensi gemuk secara nasional di negara kita  adalah
11,9% dan prevalensi ini  mengalami penurunan dari
angka 14% pada tahun 2010. Masalah kesehatan warga
sudah dianggap serius bila prevalensi kurus antara 10,0%-14,0%
dan dianggap kritis bila ≥15,0 % (WHO 2010). Pada tahun 2013,
secara nasional prevalensi kurus pada anak balita masih 12,1%,
yang berarti masalah kurus di negara kita  masih merupakan
masalah kesehatan warga yang serius.
Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-
2019 difokuskan pada empat program salah satunya adalah
penurunan prevalensi balita pendek (stunting)  Stunting merupakan masalah gizi kronis
yang dipicu  oleh multi-faktorial dan bersifat antar
generasi. Di negara kita  warga sering menganggap
tumbuh pendek sebagai faktor keturunan. Persepsi yang
salah di warga membuat masalah ini tidak mudah
diturunkan Hasil studi membuktikan bahwa pengaruh faktor
keturunan hanya berkontribusi sebesar 15%, sementara unsur
terbesar adalah terkait masalah asupan zat gizi, hormon
pertumbuhan dan terjadinya penyakit infeksi berulang pada
balita (Aryastami dan Tarigan, 2017).
Stunting merupakan masalah kesehatan warga
yang harus ditangani secara serius. negara kita  adalah negara
dengan prevalensi stunting kelima terbesar. Balita/baduta
(bayi dibawah usia dua tahun) yang mengalami stunting akan
memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak
menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan
dapat berisiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada
akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan
memperlebar ketimpangan. Pengalaman dan bukti
Internasional menunjukkan bahwa stunting dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan
produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan hilangnya
11% GDP (Gross Domestic Products) serta mengurangi
pendapatan pekerja dewasa hingga 20%. Selain itu, stunting
juga dapat berkontribusi pada melebarnya
kesenjangan/inequality, sehingga mengurangi 10% dari total
pendapatan seumur hidup dan juga memicu 
kemiskinan antar-generasi. Anak pendek yang terjadi di
negara kita  sebenarnya tidak hanya dialami oleh rumah
tangga/keluarga yang miskin dan kurang mampu, karena
stunting juga dialami oleh rumah tangga/keluarga yang tidak
miskin/yang berada di atas 40% tingkat kesejahteraan sosial
dan ekonomi 
Hasil dari Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, besaran
masalah stunting relatif stagnan sejak tahun 2007 hingga 2013
dan dari 33 provinsi yang ada di negara kita , lebih dari
separuhnya memiliki angka prevalensi diatas rata-rata
nasional (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
2013). Sedangkan berdasar  hasil pemantauan status gizi
(PSG) diketahui pada tahun 2015 ditemukan sebesar 29%
balita mengalami stunting dan pada tahun 2017 ditemukan
sebesar 29,6% balita mengalami stunting (Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan RI, 2017).
Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, prevalensi
stunting di negara kita  berada pada kelompok high prevalence,
sama halnya dengan negara Kamboja dan Myanmar (Bloem
dkk, 2013). Dari 556 juta balita di negara berkembang 178 juta
anak (32%) bertubuh pendek (Black dkk, 2008). berdasar 
kelompok umur pada balita, semakin bertambah umur balita
prevalensi stunting semakin meningkat. Prevalensi stunting
paling tinggi terjadi pada usia 24-35 bulan yaitu sebesar 42%.
Sedangkan berdasar  jenis kelamin Stunting lebih banyak
terjadi pada anak laki-laki (38,1%) dibandingkan dengan anak
perempuan (36,2%).
Periode 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK)
merupakan simpul kritis sebagai awal terjadinya stunting
yang selanjutnya akan memberikan dampak jangka panjang
hingga akan berulang dalam siklus kehidupan. Stunting pada
anak menjadi permasalahan karena berhubungan dengan
meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian,
gangguan pada perkembangan otak, gangguan terhadap
perkembangan motorik dan terhambatnya pertumbuhan
mental anak. Pertumbuhan tidak optimal dalam masa janin
dan atau selama periode 1000 HPK memiliki dampak jangka
panjang. Bila faktor eksternal (setelah lahir) tidak
mendukung, pertumbuhan stunting dapat menjadi permanen
sebagai remaja pendek. Hasil-hasil penelitian menunjukkan
bahwa mereka yang memiliki ukuran lebih kecil atau stunting
ketika lahir, secara biologis memiliki ukuran tinggi yang
berbeda dari mereka yang lahir dengan ukuran lebih besar.
Masalah pertumbuhan stunting sering tidak disadari
oleh warga karena tidak adanya indikasi ‘instan’ seperti
penyakit. Efek kejadian stunting pada anak dapat menjadi
predisposing terjadinya masalah-masalah kesehatan lain
hingga nanti anak dewasa. maka , penanggulangan
masalah stunting harus dimulai jauh sebelum seorang anak
dilahirkan (periode 100 HPK) dan bahkan sejak ibu remaja
untuk dapat memutus rantai stunting dalam siklus kehidupan

STUNTING DANMETODE PENGUKURANNYA
A. Definisi Stunting
Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang lebih
pendek dibanding tinggi badan orang lain pada umunya
(yang seusia). Stunted (short stature) atau tinggi/panjang
badan terhadap umur yang rendah digunakan sebagai
indikator malnutrisi kronik yang menggambarkan riwayat
kurang gizi balita dalam jangka waktu lama 
Menurut Dekker et al (2010), bahwa stunting pada balita atau
rendahnya tinggi/panjang badan menurut umur merupakan
indikator kronis malnutrisi  Menurut CDC
(2000) short stature ditetapkan apabila panjang/tinggi badan
menurut umur sesuai dengan jenis kelamin balita <5
percentile standar pengukuran antropometri gizi untuk
memantau pertumbuhan dan perkembangan balita umur 6-
24 bulan menggunakan indeks PB/U menurut baku rujukan
WHO 2007 sebagai langkah mendeteksi status stunting
Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita
akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak menjadi terlalu
pendek untuk usianya. Kekurangan gizi dapat terjadi sejak bayi
dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, tetapi
baru nampak setelah anak berusia 2 tahun, di mana keadaan gizi
ibu dan anak merupakan faktor penting dari pertumbuhan anak.
Periode 0-24 bulan usia anak merupakan periode yang menentukan
kualitas kehidupan sehingga disebut dengan periode emas.
Periode ini merupakan periode yang sensitif  karena akibat  yang
ditimbulkan  terhadap bayi masa ini bersifat permanen, tidak dapat
dikoreksi. Diperlukan pemenuhan gizi adekuat usia ini. Mengingat
dampak yang ditimbulkan masalah gizi ini dalam jangka pendek
adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan
pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.
Jangka panjang akibat dapat menurunnya kemampuan kognitif
dan prestasi belajar, dan menurunnya kekebalan tubuh (Branca F,
Ferrari M, 2002; Black dkk, 2008).
Pertumbuhan dapat dilihat dengan beberapa indikator
status gizi. Secara umum ada  3 indikator yang bisa
digunakan untuk mengukur pertumbuhan bayi dan anak,
yaitu indikator berat badan menurut umur (BB/U), tinggi
badan menurut umur (TB/U) dan berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB). Stunting merupakan salah satu masalah gizi
yang diakibatkan oleh kekurangan zat gizi secara kronis. Hal
ini ditunjukkan dengan indikator TB/U dengan nilai skor-Z (Z-
score) di bawah minus 2.
B. Pengukuran Status Stunting Dengan Antropometri PB/U
atau TB/U
Panjang badan menurut umur atau umur merupakan
pengukuran antropometri untuk status stunting. Panjang
badan merupakan antropometri yang menggambarkan
keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal,
panjang badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.
Pertumbuhan panjang badan tidak seperti berat badan,
relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi
dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap
panjang badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama.
Pengukuran tinggi badan harus disertai pencatatan
usia (TB/U).  Tinggi badan diukur dengan menggunakan alat
ukur tinggi stadiometer Holtain/mikrotoice (bagi yang bisa
berdiri) atau baby length board (bagi balita yang belum bisa
berdiri). Stadiometer holtain/mikrotoice terpasang di dinding
dengan petunjuk kepala yang dapat digerakkan dalam posisi
horizontal.  Alat ini  juga memiliki jarum petunjuk tinggi
dan ada papan tempat kaki.  Alat ini  cukup mahal,
sehingga dapat diganti dengan meter stick yang digantung di
dinding dengan petunjuk kepala yang dapat digeralkan
secara horizontal.  Stick pada petunjuk kepala diisertai
dengan skala dalam cm (Suandi, 2010).
Kategori dan ambang batas status stunting balita
berdasar  PB/U, dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Baku rujukan Antropometri menurut WHO 2007
Indikator Status gizi Keterangan
Panjang Badan menurut
Umur (TB/U)
Sangat pendek (stunted)
Pendek (stunted)
Normal
< -3,0 SD
≥- 3 SD s.d <-2 SD
≥-2 SD
Sumber: Baku Rujukan WHO 2007
Gangguan pertumbuhan dapat terjadi dalam kurun
waktu singkat dan dapat terjadi pula dalam waktu yang
cukup lama. Gangguan pertumbuhan dalam waktu singkat
sering terjadi pada perubahan berat badan sebagai akibat
menurunnya napsu makan seperti diare dan infeksi saluran
pernapasan atau karena kurang cukupnya makanan yang
dikonsumsi. Sedangkan gangguan pertumbuhan yang
berlangsung dalam waktu yang lama dapat terlihat pada
hambatan pertambahan tinggi badan. Keadaan gizi yang
seimbang tidak hanya penting bagi pertumbuhan yang
normal, tetapi juga proses-proses lainnya. Termasuk
diantaranya adalah proses perkembangan anak, kecerdasan,
pemeliharaan kesehatan dan untuk melakukan kegiatan
sehari-hari 
Gagal tumbuh (Growth  Faltering) merupakan suatu
kejadian yang ditemui pada hampir setiap anak di negara kita .
Gagal tumbuh pada dasarnya merupakan ketidakmampuan
anak untuk mencapai berat badan atau tinggi badan sesuai
dengan jalur pertumbuhan normal. Kegagalan pertumbuhan
yang nyata biasanya mulai terlihat pada usia 4 bulan yang
berlanjut sampai anak usia 2 tahun, dengan puncaknya pada
usia 12 bulan.
C. Titik Kritis
Adapun titik kritis yang harus diperhatikan selama
periode emas (0-2 tahun) adalah sebagai berikut:
1. Periode dalam kandungan (280 hari)
Wanita hamil merupakan kelompok yang rawan gizi.
Oleh sebab itu penting  untuk menyediakan kebutuhan gizi
yang baik selama kehamilan agar ibu hamil dapat
memperoleh dan mempertahankan status gizi yang
optimal sehingga dapat menjalani kehamilan dengan aman
dan melahirkan bayi dengan potensi fisik dan mental yang
baik, serta memperoleh energi yang cukup untuk
menyusui kelak (Arisman, 2004). Ibu hamil dengan status
gizi kurang akan memicu  gangguan pertumbuhan
janin, pemicu  utama terjadinya bayi pendek (stunting)
dan meningkatkan risiko obesitas dan penyakit
degeneratif pada masa dewasa 
Kondisi status gizi kurang pada awal kehamilan dan
risiko KEK pada masa kehamilan, diikuti oleh penambahan
berat badan yang kurang selama kehamilan dapat
memicu  ibu hamil ini  dapat memicu 
peningkatan risiko keguguran, bayi lahir mati, kematian
neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, serta bayi lahir
dengan BBLR (Sandjaja, 2009). Penelitian ini menunjukkan
bahwa %tase bayi dengan BBLR sebanyak 6,7%. Meskipun
angka BBLR dalam penelitian ini lebih rendah
dibandingkan dengan prevalensi BBLR pada tingkat
Nasional pada 2007 (11,5%), namun kondisi BBLR akan
meningkatkan risiko penyakit infeksi dan kurus (wasting),
serta peningkatan risiko kesakitan dan kematian bayi baru
lahir, gangguan perkembangan mental, risiko penyakit
tidak menular seperti DM dan PJK (Joyce C dkk, 2016).
Janin tumbuh dengan mengambil zat-zat gizi dari
makanan yang dikonsumsi oleh ibunya dan dari simpanan
zat gizi yang berada di dalam tubuh ibunya. Selama hamil
atau menyusui seorang ibu harus menambah jumlah dan
jenis makanan yang dimakan untuk mencukupi kebutuhan
pertumbuhan bayi dan kebutuhan ibu yang sedang
mengandung bayinya serta untuk memproduksi ASI. Bila
makanan ibu sehari-hari tidak cukup mengandung zat gizi
yang dibutuhkan, maka janin atau bayi akan mengambil
persediaan yang ada didalam tubuh ibunya,  seperti sel
lemak ibu sebagai sumber kalori; zat besi dari simpanan di
dalam tubuh ibu sebagai sumber zat besi janin/bayi.
Demikian juga beberapa zat gizi tertentu tidak disimpan di
dalam tubuh seperti vitamin C dan vitamin B yang banyak
ada  di dalam sayuran dan buahbuahan. Sehubungan
dengan hal itu, ibu harus mempunyai status gizi yang baik
sebelum hamil dan mengonsumsi makanan yang
beranekaragam baik proporsi maupun jumlahnya
(Kemenkes RI, 2014).
Seorang ibu hamil harus berjuang menjaga asupan
nutrisinya agar pembentukan, pertumbuhan dan
perkembangan janinnya optimal. Idealnya, berat badan
bayi saat dilahirkan adalah tidak kurang dari 2500 gram,
dan panjang badan bayi tidak kurang dari 48 cm. Inilah
alasan mengapa setiap bayi yang baru saja lahir akan
diukur berat dan panjang tubuhnya, dan dipantau terus
menerus terutama di periode emas pertumbuhannya,
yaitu 0 sampai 2 tahun (Kemenkes RI, 2017). Teori Thrifty
Phenotype (Barker dan Hales) menyatakan bahwa, bayi
yang mengalami kekurangan gizi di dalam kandungan dan
telah melakukan adaptasi metabolik dan endokrin secara
permanen, akan mengalami kesulitan untuk beradaptasi
pada lingkungan kaya gizi pasca lahir, sehingga
memicu  obesitas dan mengalami gangguan toleransi
terhadap glukosa. Sebaliknya, risiko obesitas lebih kecil
apabila pasca lahir bayi tetap mengkonsumsi makanan
dalam jumlah yang tidak berlebihan (Barker dan Hales).
Kenyataannya di negara kita  masih banyak ibu-ibu
yang saat hamil mempunyai status gizi kurang, misalnya
kurus dan menderita Anemia. Hal ini dapat dipicu 
karena asupan makanannyaselama kehamilan tidak
mencukupi untuk kebutuhan dirinya sendiri dan bayinya.
Selain itu kondisi ini dapat diperburuk oleh beban kerja ibu
hamil yang biasanya sama atau lebih berat dibandingakan
dengan saat sebelum hamil. Akibatnya, bayi tidak
mendapatkan zat gizi yang dibutuhkan, sehingga
mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya
2. Periode 0 – 6 bulan (180 hari)
Ada dua hal penting dalam periode ini yaitu
melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) dan pemberian Air
Susu Ibu (ASI) secara eksklusif. Inisiasi menyusu dini
adalah memberikan kesempatan kepada bayi baru lahir
untuk menyusu sendiri pada ibunya dalam satu jam
pertama kelahirannya. Dalam 1 jam kehidupan pertamanya
setelah dilahirkan ke dunia, pastikan mendapatkan
kesempatan untuk melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD).
IMD adalah proses meletakkan bayi baru lahir pada dada
atau perut sang ibu agar bayi secara alami dapat mencari
sendiri sumber air susu ibu (ASI) dan menyusu. Sangat
bermanfaat karena bayi akan mendapatkan kolostrum
yang ada  pada tetes ASI pertama ibu yang kaya akan
zat kekebalan tubuh. Tidak hanya bagi bayi, IMD juga
sangat bermanfaat bagi Ibu karena membantu
mempercepat proses pemulihan pasca persalinan.
Meskipun manfaatnya begitu besar, banyak ibu yang tidak
berhasil mendapatkan kesempatan IMD, karena
kurangnya pengetahuan dan dukungan dari lingkungan
Dengan dilakukannya IMD maka kesempatan bayi
untuk mendapat kolostrum semakin besar. Kolustrum
merupakan ASI terbaik yang keluar pada hari ke 0-5
setelah bayi lahir yang mengandung antibodi (zat
kekebalan) yang melindungi bayi dari zat yang dapat
menimbulkan alergi atau infeksi (Handy, 2010).
ASI eksklusif adalah pemberian ASI setelah lahir
sampai bayi berumur 6 bulan tanpa pemberian makanan
lain. Beberapa faktor yang memicu  terjadinya
kegagalan pemberian ASI Eksklusif antara lain adalah
karena kondisi bayi yaitu BBLR, kelainan kongenital, terjadi
infeksi, dan lain-lain; serta karena faktor dari kondisi ibu
yaitu pembengkakan/abses payudara, cemas dan kurang
percaya diri, ibu kurang gizi, dan ibu ingin bekerja. Selain
itu, kegagalan menyusui dapat dipicu  oleh ibu yang
belum berpengalaman, paritas, umur, status perkawinan,
merokok, pengalaman menyusui yang gagal, tidak ada
dukungan keluarga, kurang pengetahuan, sikap, dan
keterampilan, faktor sosial budaya dan petugas kesehatan,
rendahnya pendidikan laktasi pada saat prenatal dan
kebijakan rumah sakit yang tidak mendukung laktasi atau
pemberian ASI Eksklusif. WHO merekomendasikan
pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama dan
pemberian ASI diteruskan hingga anak berusia 2 tahun
untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak dan
mengurangi risiko kontaminasi dari makanan/minuman
selain ASI Pemberian ASI Eksklusif menurunkan risiko
infeksi saluran cerna, otitis media, alergi, kematian bayi,
infeksi usus besar dan usus halus (inflammatory bowel
disease), penyakit celiac, leukemia, limfoma, obesitas, dan
DM pada masa yang akan datang. Pemberian ASI Eksklusif
dan meneruskan pemberian ASI hingga 2 tahun juga dapat
mempercepat pengembalian status gizi ibu, menurunkan
risiko obesitas, hipertensi, rematoid artritis, kanker
payudara ibu
3. Periode 6 – 24 bulan (540 hari)
Mulai usia 6 bulan ke atas, anak mulai diberikan
makanan pendamping ASI (MP-ASI) karena sejak usia ini,
ASI saja tidak mencukupi kebutuhan anak. Pengetahuan
dalam pemberian MP ASI menjadi sangat penting
mengingat banyak terjadi kesalahan dalam praktek
pemberiannya, seperti pemberian MP ASI yang terlalu dini
pada bayi yang usianya kurang dari 6 bulan. Hal ini dapat
memicu  gangguan pencernaan atau diare. Teori
ini  sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Fahrini (2013) yang menunjukkan bahwa waktu memulai
pemberian MP-ASI mempunyai hubungan yang signifikan
terhadap kejadian stunting dengan nilai p=0,038 dan OR =
1,71 (95% CI 1,02-2,85), hal ini berarti anak yang
mendapatkan MP-ASI pada usia kurang dari 6 bulan
berisiko untuk mengalami kejadian stunting 1,71 kali lebih
besar dibandingkan anak yang mendapatkan MP-ASI ≥ 6
bulan (Fahrini, 2013).
Sebaliknya, penundaan pemberian MP ASI (tidak
memberikan MP-ASI sesuai waktunya) akan menghambat
pertumbuhan bayi karena alergi dan zat-zat gizi yang
dihasilkan dari ASI tidak mencukupi kebutuhan lagi
sehingga akan memicu  kurang gizi ,
Asupan gizi yang tidak kuat merupakan salah satu
pemicu  kegagalan tumbuh kembang anak. Ini berarti
solusi untuk kekurangan gizi harus memenuhi penyediaan
nutrisi tertentu untuk anak (UKAID, 2011). Menurut Ali
Khomsan usaha positif yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi masalah ini adalah dengan
menyelenggarakan program Pemberian Makanan
Tambahan Pemulihan (PMT-P) secara gratis, disamping itu
perlu ditingkatkan pengetahuan ibu tentang makanan
yang bergizi. PMT-P dapat berupa makanan lokal atau
makanan pabrik seperti susu dan biskuit ,
Pada usia ini anak berada pada periode pertumbuhan
dan perkembangan cepat, mulai terpapar terhadap infeksi
dan secara fisik mulai aktif, sehingga kebutuhan terhadap
zat gizi harus terpenuhi dengan memperhitungkan
aktivitas bayi/anak dan keadaan infeksi. Agar mencapai gizi
seimbang maka perlu ditambah dengan Makanan
Pendamping ASI atau MP-ASI, sementara ASI tetap
diberikan sampai bayi berusia 2 tahun. Pada usia 6 bulan,
bayi mulai diperkenalkan kepada makanan lain, mula-mula
dalam bentuk lumat, makanan lembik dan selanjutnya
beralih ke makanan keluarga saat bayi berusia 1 tahun
Ibu sebaiknya memahami bahwa pola pemberian
makanan secara seimbang pada usia dini akan
berpengaruh terhadap selera makan anak selanjutnya,
sehingga pengenalan kepada makanan yang
beranekaragam pada periode ini menjadi sangat penting.
Secara bertahap, variasi makanan untuk bayi usia 6-
24bulan semakin ditingkatkan, bayi mulai diberikan
sayuran dan buah-buahan, lauk pauk sumber protein
hewani dan nabati, serta makanan pokok sebagai sumber
kalori. Demikian pula jumlahnya ditambahkan secara
bertahap dalam jumlah yang tidak berlebihan dan dalam
proporsi yang juga seimbang (Kemenkes RI, 2014).
Meskipun telah berhasil sampai pada akhir fase ASI
Eksklusif, lanjutkan menyusui ASI sampai anak berusia 2
tahun. Di usia 6 bulan kehidupannya, anak memasuki fase
makan untuk pertama kali. Dalam fase ini, anak akan
mengenal makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI). Hal
yang perlu diperhatikan adalah praktik Pemberian Makan
Bayi dan Anak (PMBA). Kalau ibu hamil berhasil IMD dan
ASI Eksklusif selama 6 bulan, selamat bayinya.. Tapi jika
dalam pemberian makanan cair dan lunak dalam fase
PMBA tadi itu tidak diberikan makanan yang baik, maka
tetap saja gagal (Kemenkes RI, 2017).
D. Ciri-ciri Anak Stunting
Agar dapat mengetahui kejadian stunting pada anak
maka perlu diketahui ciri-ciri anak yang mengalami stunting
sehingga jika anak mengalami stunting dapat ditangani
sesegera mungkin.
1. Tanda pubertas terlambat
2. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebIh pendiam, tidak
banyak melakukan eye contact
3. Pertumbuhan terhambat
4. Wajah tampak lebih muda dari usianya
5. Pertumbuhan gigi terlambat
6. Performa buruk pada tes perhatian dan memori
belajar
Pubertas merupakan salah satu periode dalam proses
pematangan seksual dengan hasil tercapainya kemampuan
reproduksi. Pubertas ditandai dengan munculnya karateristik
seks sekunder dan diakhiri dengan datangnya menars pada
anak perempuan dan lengkapnya perkembangan genital
pada anak laki-laki. Usia awal pubertas pada anak laki-laki
berkisar antara 9–14 tahun dan perempuan berkisar 8–13
tahun. Pubertas terlambat apabila perubahan fisik awal
pubertas tidak terlihat pada usia 13 tahun pada anak
perempuan dan 14 tahun pada anak laki-laki, karena
keterlambatan pertumbuhan dan maturasi tulang (Lee P.A,
1996). Calon ibu yang menderita anemia, kekurangan gizi,
atau kehilangan berat badan secara drastis di masa kehamilan
akan meningkatkan resiko sang calon bayi untuk mengalami
gangguan pertumbuhan. Kondisi ini dapat diperburuk bila
sang ibu menolak untuk memberikan ASI kepada bayi, yang
membuatkan kehilangan banyak nutrisi penting yang
dibutuhkannya untuk bertumbuh dan berkembang.
E. Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh stunting:
1. Jangka pendek adalah terganggunya perkembangan
otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan
gangguan metabolisme dalam tubuh.
2. Dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat
ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif
dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh
sehingga mudah sakit, dan resiko tinggi untuk
munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit
jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan
disabilitas pada usia tua.
Pertumbuhan stunting yang terjadi pada usia dini dapat
berlanjut dan berisiko untuk tumbuh pendek pada usia
remaja. Anak yang tumbuh pendek pada usia dini (0-2 tahun)
dan tetap pendek pada usia 4-6 tahun berisiko27 kali
untuk tetap pendek sebelum memasuki usia pubertas;
sebaliknya anak yang tumbuh normal pada usia dini dapat
mengalami growth faltering pada usia 4-6 tahun memiliki
risiko 14 kali tumbuh pendek pada usia pra-pubertas. Oleh
karena itu, intervensi untuk mencegah pertumbuhan Stunting
masih tetap dibutuhkan bahkan setelah melampaui 1000 HPK
Efek sisa pertumbuhan anak pada usia dini terbawa
hingga usia pra-pubertas. Peluang kejar tumbuh melampaui
usia dini masih ada meskipun kecil. Ada hubungan kondisi
pertumbuhan (berat badan lahir, status sosial ekonomi) usia
dini terhadap pertumbuhan pada anak usia 9 tahun. Anak
yang tumbuh normal dan mampu mengejar pertumbuhannya
setelah usia dini 80% tumbuh normal pada usia pra-pubertas
FAKTOR PENYEBAB STUNTING
A. Faktor-Faktor Penyebab Kejadian Stunting pada Balita
Stuntingmerefleksikan gangguan pertumbuhan sebagai
dampak dari rendahnya status gizi dan kesehatan pada
periode pre- dan post-natal. UNICEF framework menjelaskan
tentang faktor pemicu  terjadinya malnutrisi. Dua pemicu 
langsung stunting adalah faktor penyakit dan asupan zat gizi.
Kedua faktor ini berhubungan dengan faktor pola asuh, akses
terhadap makanan, akses terhadap layanan kesehatan dan
sanitasi lingkungan. Namun, pemicu  dasar dari semua ini
adalah ada  pada level individu dan rumah tangga
ini , seperti tinggkat pendidikan, pendapatan rumah-
tangga. Banyak penelitian cross-sectional menemukan
hubungan yang erat antara tingkat pendidikan ibu dengan
status gizi anak 
Menurut WHO (2013) membagi pemicu  terjadinya
stunting pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu faktor
keluarga dan rumah tangga, makanan
tambahan/komplementer yang tidak adekuat, menyusui, dan
infeksi. Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi
faktor maternal dan faktor lingkungan rumah. Faktor
maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi,
kehamilan, dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi,
kehamilah pada usia remaja, kesehatan mental, intrauterine
growth restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, jarak
kehamilan yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan
rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang tidak
adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasukan air
yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang
kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak
sesuai, edukasi pengasuh yang rendah 
1. Faktor keluarga dan rumah tangga
Faktor maternal, dapat dipicu  karena nutrisi yang
buruk selama prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi. Selain itu
juga dipengaruhi perawakan ibu yang pendek, infeksi,
kehamilan muda, kesehatan jiwa, IUGR dan persalinan
prematur, jarak persalinan yang dekat, dan hipertensi.
Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh stimulasi dan
aktivitas yang tidak adekuat, penerapan asuhan yang buruk,
ketidakamanan pangan, alokasi pangan yang tidak tepat,
rendahnya edukasi pengasuh.
2. Complementary feeding yang tidak adekuat
Setelah umur 6 bulan, setiap bayi membutuhkan
makanan lunak yang bergizi sering disebut Makanan
Pendamping ASI (MP-ASI). Pengenalan dan pemberian MP-
ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun
jumlahnya, sesuai dengan kemampuan pencernaan bayi/anak.
Dalam keadaan darurat, bayi dan balita seharusnya mendapat
MP-ASI untuk mencegah kekurangan gizi. Untuk
memperolehnya perlu ditambahkan vitamin dan mineral
(variasi bahan makanan) karena tidak ada makanan yang
cukup untuk kebutuhan bayi.
Kualitas makanan yang buruk meliputi kualitas
micronutrient yang buruk, kurangnya keragaman dan asupan
pangan yang bersumber dari pangan hewani, kandungan
tidak bergizi, dan rendahnya kandungan energi pada
complementary foods. Praktik pemberian makanan yang tidak
memadai, meliputi pemberian makan yang jarang, pemberian
makan yang tidak adekuat selama dan setelah sakit,
konsistensi pangan yang terlalu ringan, kuantitas pangan
yang tidak mencukupi, pemberian makan yang tidak
berespon. Makanan tambahan yang diberikan berupa makan
lumat yang bisa dibuat sendiri berupa bubur tepung atau
bubur beras ditambah lauk pauk, sayur, dan buah, sehingga
perlu pengetahuan gizi yang baik (Dekkar, 2010). Konsumsi
makanan bagi setiap orang terutama balita umur 1-2 tahun
harus selalu memenuhi kebutuhan. Konsumsi makanan yang
kurang akan memicu  ketidakseimbangan proses
metabolisme di dalam tubuh, bila hal ini terjadi terus menerus
akan terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan.
Bukti menunjukkan keragaman diet yang lebih
bervariasi dan konsumsi makanan dari sumber hewani terkait
dengan perbaikan pertumbuhan linear. Analisis terbaru
menunjukkan bahwa rumah tangga yang menerapkan diet
yang beragam, termasuk diet yang diperkaya nutrisi
pelengkap, akan meningkatkan asupan gizi dan mengurangi
risiko stunting.Menurut Persagi (2009), pemberian tambahan
makanan di samping makanan yang dimakan sehari – hari
dengan tujuan memulihkan keadaan gizi dan kesehatan. PMT
dapat berupa makanan lokal atau makanan pabrik tidak
memberatkan fungsi pencernaan serta memiliki zat–zat gizi
yang disesuaikan dengan kebutuhan anak untuk
pertumbuhan dan kesehatan yang optimal. Program
Makanan Tambahan Pemulihan (PMT–P) diberikan kepada
anak gizi buruk dan gizi kurang yang jumlah harinya tertentu
dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi anak. Ibu yang
memiliki anak di bawah lima tahun yang menderita gizi
kurang / gizi buruk diberikan satu paket PMT Pemulihan
(Persagi, 2009).
Menurut Gibson et al (1998), complementary foods atau
makanan tambahan yang diberikan pada anak khususunya di
negara yang sedang berkembang menurut sebaiknya harus di
fortifikasi dengan micro nutrient terutama zat besi, kalsium
dan zinc. Sedangkan spesifikasi jenis makanan yang diberikan
antra lain dengan persyaratan komposisi gizi mencukupi
minimal 1/3 dari kebutuhan 1 hari, yaitu; energi 350-400 kalori
dan protein 10-15 gram. Pemberian makanan tambahan
pemulihan (PMT-P) diberikan setiap hari kepada anak selama
3 bulan (90 hari). Sedangkan bentuk makanan PMT-P
makanan yang diberikan berupa:
a. Kudapan (makanan kecil) yang dibuat dari bahan
makanan setempat/lokal.
b. Bahan makanan mentah berupa tepung beras,atau
tepung lainnya, tepung susu, gula minyak, kacang-
kacangan, sayuran, telur dan lauk pauk lainnya.
Cara pemberian/pendistribusian PMT-P pada sasaran
dilakukan di Posyandu atau tempat yang sudah
disepakati,kader dibantu oleh PKK desa akan memasak sesuai
menu yang telah ditentukan dan etiap hari selama 3 bulan ibu
balita akan membawa balita untuk mengambil PMT-P yang
sudah disediakan.
3. Beberapa masalah dalam pemberian ASI
Rendahnya kesadaran Ibu akan pentingnya
memberikan ASI pada balitanya dipengaruhi oleh
pengetahuan ibu tentang kesehatan dan sosio-kultural,
terbatasnya petugas kesehatan dalam memberikan
penyuluhan, tradisi area berpengaruh terhadap pemberian
makanan pendamping ASI yang terlalu dini, dan tidak
lancarnya ASI setelah melahirkan 
Masalah-masalah terkait praktik pemberian ASI meliputi
delayed initiation, tidak menerapkan ASI eksklusif, dan
penghentian dini konsumsi ASI. Sebuah penelitian
membuktikan bahwa menunda inisiasi menyusu (delayed
initiation) akan meningkatkan kematian bayi. ASI eksklusif
didefinisikan sebagai pemberian ASI tanpa suplementasi
makanan maupun minuman lain, baik berupa air putih, jus,
ataupun susu selain ASI. IDAI merekomendasikan pemberian
ASI eksklusif selama 6 bulan pertama untuk mencapai
tumbuh kembang optimal. Setelah enam bulan, bayi
mendapat makanan pendamping yang adekuat sedangkan
ASI dilanjutkan sampai usia 24 bulan. Menyusui yang
berkelanjutan selama dua tahun memberikan kontribusi
signifikan terhadap asupan nutrisi penting pada bayi.
Namun ada pengecualian, bayi diperbolehkan
mengonsumsi obat-obatan, vitamin, dan mineral tetes atas
saran dokter. Selama 6 bulan pertama pemberian ASI
eksklusif, bayi tidak diberikan makanan dan minuman lain
(susu formula, jeruk, madu, air, teh, dan makanan padat
seperti pisang, pepaya, bubur susu, bubur nasi, biskuit, nasi
tim). Sedangkan ASI predominan adalah memberikan ASI
kepada bayi, tetapi pernah memberikan sedikit air atau
minuman berbasis air, misalnya teh, sebagai makanan/
minuman prelakteal sebelum ASI keluar. Bayi yang sudah
berumur 6 bulan, kebutuhan gizinya akan meningkat,
sehingga bayi memerlukan makanan tambahan yang tidak
sepenuhnya dapat dipenuhi oleh ASI saja (Kemenkes, 2010).
Pemberian ASI memiliki berbagai manfaat terhadap
kesehatan, terutama dalam hal perkembangan anak.
Komposisi ASI banyak mengandung asam lemak tak jenuh
dengan rantai karbon panjang (LCPUFA, long-chain
polyunsaturated fatty acid) yang tidak hanya sebagai sumber
energi tapi juga penting untuk perkembangan otak karena
molekul yang dominan ditemukan dalam selubung myelin.
ASI juga memiliki manfaat lain, yaitu meningkatkan imunitas
anak terhadap penyakit, berdasar  penilitian pemberian
ASI dapat menurunkan frekuensi diare, konstipasi kronis,
penyakit gastrointestinal, infeksi traktus respiratorius, serta
infeksi telinga. Secara tidak langsung, ASI juga memberikan
efek terhadap perkembangan psikomotor anak, karena anak
yang sakit akan sulit untuk mengeksplorasi dan belajar dari
sekitarnya. Manfaat lain pemberian ASI adalah pembentukan
ikatan yang lebih kuat dalam interaksi ibu dan anak, sehingga
berefek positif bagi perkembangan dan perilaku anak
(Henningham danMcGregor, 2008).
Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada balita
yang tidak diberi ASI eksklusif (pemberian ASI<6 bulan)
dibandingkan dengan balita yang diberi ASI Eksklusif (≥ 6
bulan) (Hien dan Kam, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh
Teshome (2009) menunjukkan bahwa anak yang tidak
mendapatkan kolostrum lebih berisiko tinggi terhadap
stunting. Hal ini mungkin dipicu  karena kolostrum
memberikan efek perlindungan pada bayi baru lahir dan bayi
yang tidak menerima kolostrum mungkin memiliki insiden,
durasi dan keparahan penyakit yang lebih tinggi seperti diare
yang berkontribusi terhadap kekurangan gizi. Penelitian lain
juga menyebutkan pemberian kolostrum pada bayi
berhubungan dengan kejadian stunting 
Selain itu, durasi pemberian ASI yang berkepanjangan
merupakan faktor risiko untuk stunting 
Pemberian makanan tambahan yang terlalu dini secara
signifikan berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi
pernafasan dan insiden yang lebih tinggi mordibitas malaria
dan infesksi mata. Penelitian di Peru, menunjukkan prevalensi
diare secara signifikan lebih tinggi pada anak yang disapih.
Hal ini dapat dipicu  karena hilangnya kekebalan tubuh
dari konsumsi ASI yang tidak eksklusif dan juga pengenalan
makanan tambahan yang tidak higenis yang rentan terhadap
penyakit infeksi. Penelitian di negara maju menunjukkan
bahwa menyusui dapat mengurangi kejadian pneumonia dan
gastroenteritis (Kalanda, Verhoeff dan Brabin, 2006).
Di negara kita , perilaku ibu dalam pemberian ASI ekslusif
memiliki hubungan yang bermakna dengan indeks PB/U,
dimana 48 dari 51 anak stunted tidak mendapatkan ASI
eksklusif (Oktavia, 2011). Penelitian lain yang dilakukan oleh
Istiftiani (2011) menunjukan bahwa umur pertama pemberian
MP-ASI berhubungan signifikan dengan indeks status gizi
PB/U pada baduta.
4. Infeksi
Penyebab langsung malnutrisi adalah diet yang tidak
adekuat dan penyakit. Manifestasi malnutrisi ini dipicu 
oleh perbedaan antara jumlah zat gizi yang diserap dari
makanan dan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal
ini terjadi sebagai konsekuensi dari terlalu sedikit
mengkonsumsi makanan atau mengalami infeksi, yang
meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat gizi, mengurangi
nafsu makan, atau mempengaruhi penyerapan zat gizi di
usus. Kenyataannya, malnutrisi dan infeksi sering terjadi pada
saat bersamaan. Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi,
sedangkan infeksi dapat memicu  malnutrisi yang
mengarahkan ke lingkaran setan. Anak kurang gizi, yang daya
tahan terhadap penyakitnya rendah, jatuh sakit dan akan
menjadi semakin kurang gizi, sehingga mengurangi
kapasitasnya untuk melawan penyakit dan sebagainya. Ini
disebut juga infectionmalnutrition 
Status kesehatan balita meliputi kejadian diare dan
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) pada balita. Diare
adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dan
dan konsistensi tinja yang lebih lunak dan cair yang
berlangsung dalam kurun waktu minimal 2 hari dan
frekuensinya 3 kali dalam sehari. Bakteri pemicu  utama
diare pada bayi dan anak-anak adalah enteropathogenic
escherichia coli (EPEC). Menurut Levine dan Edelman, Bakteri
EPEC juga diyakini menjadi pemicu  kematian ratusan ribu
anak di negara berkembang setiap tahunnya. Hal ini juga
diungkapkan oleh Budiarti, bahwa di negara kita  53% dari bayi
dan anak penderita diare terinfeksi EPEC. maka ,
penyakit diare merupakan salah satu masalah kesehatan
utama dibanyak negara berkembang, termasuk negara kita .
Hasil penelitian Astari, et al (2005) menemukan bahwa
praktek sanitasi pangan mempengaruhi kejadian stunting
melalui peningkatan kerawatan terhadap penyakit diare,
sementara praktek sanitasi lingkungan mempengaruhi
kejadian stunting melalui peningkatan kerawanan terhadap
penyakit ISPA 
Sanitasi di area kumuh biasanya kurang baik dan
keadaan ini  dapat memicu  meningkatnya
penularan penyakit infeksi. Di negara berkembang penyakit
infeksi pada anak merupakan masalah yang kesehatan yang
penting dan diketahui dapat mempengaruhi pertumbuhan
anak. Beberapa contoh infeksi yang sering dialami yaitu
infeksi enterik seperti diare, enteropati, dan cacing, dapat
juga dipicu  oleh infeksi pernafasan (ISPA), malaria,
berkurangnya nafsu makan akibat serangan infeksi, dan
inflamasi 
5. Kelainan endokrin
Batubara (2010) menyebutkan ada  beberapa
pemicu  perawakan pendek diantaranya dapat berupa
variasi normal, penyakit endokrin, displasia skeletal, sindrom
tertentu, penyakit kronis dan malnutrisi. Pada dasarnya
perawakan pendek dibagi menjadi dua yaitu variasi normal
dan keadaan patologis. Kelainan endokrin dalam faktor
pemicu  terjadinya stunting berhubungan dengan defisiensi
GH, IGF- 1, hipotiroidisme, kelebihan glukokortikoid, diabetes
melitus, diabetes insipidus, rickets hipopostamemia.
Pada referensi lain dikatakan bahwa tinggi badan
merupakan hasil proses dari faktor genetik (biologik),
kebiasaan makan (psikologik) dan terpenuhinya makanan
yang bergizi pada anak (sosial). Stunting dapat dipicu 
karena kelainan endokrin dan non endokrin. Penyebab
terbanyak adalah adalah kelainan non endokrin yaitu
penyakit infeksi kronis, gangguan nutrisi, kelainan
gastrointestinal, penyakit jantung bawaan dan faktor sosial
ekonomi.
Faktor kedua pemicu  stunting adalah makanan
komplementer yang tidak adekuat yang dibagi lagi menjadi
tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah, cara pemberian
yang tidak adekuat, dan keamanan makanan dan minuman.
Kualitas makanan yang rendah dapat berupa kualitas
mikronutrien yang rendah, keragaman jenis makanan yang
dikonsumsi dan sumber makanan hewani yang rendah,
makanan yang tidak mengandung nutrisi, dan makanan
komplementer yang mengandung energi rendah. Cara
pemberian yang tidak adekuat berupa frekuensi pemberian
makanan yang rendah, pemberian makanan yang tidak
adekuat ketika sakit dan setelah sakit, konsistensi makanan
yang terlalu halus, pemberian makan yang rendah dalam
kuantitas. Keamanan makanan dan minuman dapat berupa
makanan dan minuman yang terkontaminasi, kebersihan
yang rendah, penyimpanan dan persiapan makanan yang
tidak aman. Faktor ketiga yang dapat memicu  stunting
adalah pemberian air susu ibu (ASI) yang salah bisa karena
inisiasi yang terlambat, tidak ASI eksklusif, penghentian
menyusui yang terlalu cepat. Faktor keempat adalah infeksi
klinis dan subklinis seperti infeksi pada usus: diare,
environmental enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan,
malaria, nafsu makan yang kurang akibat infeksi, inflamasi
berdasar  penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah
(2012) pada anak usia 24–36 bulan di Semarang menunjukkan
ada  beberapa faktor risiko yang paling berpengaruh
untuk terjadinya stunting, yaitu tinggi badan orang tua yang
rendah, pendidikan ayah yang rendah, dan pendapatan
perkapita yang rendah (Nasikhah, 2012). Mamiro (2005) juga
melakukan penelitian yang serupa kepada anak usia 3 – 23
bulan di Tanzania menunjukkan bahwa malaria, berat badan
lahir rendah (BBLR), pendapatan keluarga yang rendah, dan
indeks massa tubuh (IMT) ibu yang rendah berperan sebagai
faktor risiko terjadinya stunting pada anak. Berat badan lahir
rendah dan indeks massa tubuh ibu yang rendah merupakan
dua faktor risiko terkuat untuk pemicu  stunting.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Senbanjo (2011)
pada anak usia 5– 19 tahun di Abeokuta Nigeria ditemukan
beberapa hal yang menjadi faktor risiko terjadinya stunting,
yaitu anak yang bersekolah di sekolah pemerintah, keluarga
poligami, pendidikan orang tua yang rendah, dan juga kelas
sosial yang rendah. Pendidikan ibu yang rendah merupakan
faktor risiko terjadinya stunting yang paling tinggi dibanding
dengan faktor risiko lainnya. Menurutnya hal ini  bisa
dipicu  karena ibu dengan pendidikan yang tinggi
cenderung memiliki finansial yang lebih baik dan dapat
meningkatkan pendapatan keluarga. Hal ini  membuat
keluarga di kelas sosial yang lebih tinggi dan memiliki status
gizi keluarga yang lebih baik, sedangkan menurut penelitian
Olukamakaiye (2013) terhadap anak sekolah di Nigeria,
asupan makanan mempengaruhi kejadian stunting.
Penelitiannya menunjukkan bahwa anak dengan rendahnya
keanekaragaman jenis makanan yang dikonsumsi menjadi
faktor risiko terjadinya stunting. Olukamakaiye juga
mendukung bahwa anak dari sekolah pemerintah lebih
banyak yang menderita stunting dibanding dengan sekolah
swasta. Hal ini  dikarenakan malnutrisi yang dipicu 
oleh keanekaragaman jenis makanan yang rendah.
B. Kondisi yang Mempengaruhi Faktor Penyebab Stunting
Menurut Almatsier (2001), faktor-faktor pemicu 
stunting erat hubungannya dengan kondisi-kondisi yang
mendasari kejadian ini , kondisi-kondisi yang
mempengaruhi faktor pemicu  stunting terdiri atas:
1. Asupan Energi
Pemilihan dan konsumsi makanan yang baik akan
berpengaruh pada terpenuhinya kebutuhan gizi sehari-hari
untuk menjalankan dan menjaga fungsi normal tubuh.
Sebaliknya, jika makanan yang dipilih dan dikonsumsi tidak
sesuai (baik kualitas maupun kuantitasnya), maka tubuh akan
kekurangan zat-zat gizi esensial tertentu (Almatsier, 2001).
Secara garis besar, fungsi makanan bagi tubuh terbagi
menjadi tiga fungsi, yaitu member energi (zat pembakar),
pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh (zat
pembangun), dan mengatur proses tubuh (zat pengatur).
Sebagai sumber energi, karbohidrat, protein dan lemak
menghasilkan energi yang diperlukan tubuh untuk melakukan
aktivitas. Ketiga zat gizi ini ada  dalam jumlah yang paling
banyak dalam bahan pangan yang kita konsumsi sehari-hari.
Sebagai zat pengatur, makanan diperlukan tubuh untuk
membentuk sel-sel baru, memelihara dan mengganti sel-sel
yang rusak. Zat pembangi ini  adalah protein, mineral
dan air. Selain sebagai zat pembangun, protein, mineral dan
air juga berfungsi sebagai zat pengatur. Dalam hal ini, protein
mengatur keseimbangan air dalam sel. Protein membentuk
antibody untuk menjaga daya tahan tubuh dari infeksi dan
bahan-bahan asing yang masuk kedalam tubuh. Langkah awal
mengevaluasi kegagalan pertumbuhan pada anak adalah
mengevaluasi kecukupan energi dan nutrisi pada makanan
yang dikonsumsi. Asupan makanan berpengaruh terhadap
status gizi. Status gizi akan optimal jika tubuh memperoleh
cukup zat-zat gizi yang diperlukan, sehingga memungkinkan
pertumbuhan fisik, otak serta perkembangan psikomotorik
secara optimal,
Anjuran jumlah asupan energi dalam setiap tahapan
umur tidaklah sama, sehingga asupan yang diperlukan balita
usia dua dan empat tahun akan berbeda. Kebutuhan energi
bagi anak ditentukan oleh ukuran dan komposisi tubuh,
aktivitas fisik, dan tingkat pertumbuhan. Angka kecukupan
gizi yang dianjurkan (AKG) energi untuk balita usia 24-47
bulan adalah 1000 kkal/hari, sedangkan AKG balita usia 48-59
bulan adalah 1550 kkal/hari (WNPG VIII, 2004). Adapun
batasan minimal asupan energi per hari adalah 70% dari AKG
Kebutuhan energi yang harus diasup oleh balita di
negara kita  telah ditetapkan dalam Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kebutuhan Energi Balita berdasar  Angka
Kecukupan Gizi (AKG) Rata-Rata Per Hari
No Kelompok Umur Energi (Kkal)
1 0-6 Bulan 550
2 7-11 Bulan 725
3 1-3 Tahun 1125
4 4-6 Tahun 1600

makanan merupakan sumber energi untuk menunjang semua
aktivitas manusia. Adanya pembakaran karbohidrat, protein,
dan lemak menghasilkan energi pada tubuh manusia. Maka
dari itu, agar manusia tercukupi energinya dibutuhkan
makanan yang masuk ke dalam tubuh secara adekuat.
Asupan zat gizi yang tidak adekuat, terutama dari total
energi, protein, lemak dan zat gizi mikro, berhubungan
dengan defisit pertumbuhan fisik di anak pra sekolah
(ACC/SCN, 2000). Namun konsumsi, diet yang cukup tidak
menjamin pertumbuhan fisik yang normal, karena kejadian
penyakit lain, seperti infeksi akut atau kronis, dapat
mempengaruhi proses yang kompleks terhadap terjadinya
atau pemeliharaan defisit pertumbuhan pada anak.
Kecukupan total makanan yang dikonsumsi merupakan
penentu utama pertumbuhan. Hal ini karena, sebagian nutrisi
dapat di distribusikan secara luas diberbagai jenis makanan.
Makanan yang memadai dari segi kuantitas sangat penting
karena energi (kilokalori) yang disediakan didalamnya dan
berbagai jenis makanan dapat menjadi substitusi satu sama
lain untuk menghasilkan energi.
2. Asupan Protein
Protein berfungsi sebagai penyedia energi, tetapi juga
memiliki fungsi esensial lainnya untuk menjamin
pertumbuhan normal (Pipes, 1985). Sebagai sumber energi,
protein menyediakan 4 kkal energi per 1 gram protein, sama
dengan karbohidrat. Protein terdiri atas asam amino esensial
dan non-esensial, yang memiliki fungsi berbeda-beda. Protein
mengatur kerja enzim dalam tubuh, sehingga protein juga
berfungsi sebagai zat pengatur. Asam amino esensial
merupakan asam amino yang tidak dapat dihasilkan sendiri
oleh tubuh sehingga harus diperoleh dari makanan (luar
tubuh). Asam amino non-sesensial adalah asam amino yang
dapat di produksi sendiri oleh tubuh. Meskipun demikian,
produksi asam amino non-esensial bergantung pada
ketersediaan asam amino esensial dalam tubuh (Almatsier,
2001).
Protein merupakan bagian kedua terbesar setelah air.
Kira-kira sperlima komposisi tubuh terdiri atas protein dan
separuhnya tersebar di otot, sperlima di tulang dan tulang
rawan, sepersepuluh di kulit dan sisanya ada  di jaringan
lain dan cairan tubuh. Protein berperan sebagai prekusor
sebagian besar koenzim, hormone, asam nukleat dan
molekul-molekul yag esesial bagi kehidupan. Protein juga
berperan sebagai pemelihara netralitas tubuh (sebagai
buffer), pembentuk antibody, mengangkut zat-zat gizi, serta
pembentuk ikatan- ikatan esensial tubuh, misalnya hormon.
maka , protein memiliki fungsi yang khas dan tidak
dapat digantikan oleh zat lain (Almatsier, 2001). Anjuran
jumlah asupan protein tidak sama untuk tiap tahapan umur.
Angka kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG) protein balita us
ia 48-59 bulan adalah 39 gram/hari (WNPG VIII, 2004).
Adapun batasan minimal asupan protei perhari adalah 80%
dari AKG (Kementerian Kesehatan, 2010). Jika asupan protein
tidak mencukupi, maka perumbuhan linear balita akan
terhambat meskipun kebutuhan energinya tercukupi 
Perkiraan kebutuhan protein dalam pertumbuhan
berkisar dari 1 sampai 4 g/kg pertambahan jaringan. evaluasi
asupan protein anak harus berdasar : (1) tingkat
pertumbuhan, (2), kualitas protein dari makanan yang di
asup, (3) kombinasi makanan yang menyediakan asam amino
komplementer ketika dikonsumsi bersamaan, (4) asupan
vitamin, mineral, dan energi yang adekuat. Semua komponen
ini  penting dalam sintesis protein 
Kebutuhan protein yang harus diasup oleh balita di
negara kita  telah ditetapkan dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Kebutuhan Protein Balita berdasar  Angka
Kecukupan Gizi (AKG) Rata-Rata Per Hari
No Kelompok Umur Protein (g)
1 0-6 Bulan 12
2 7-11 Bulan 18
3 1-3 Tahun 26
4 4-6 Tahun 35

Kelaparan atau semi-kelaparan juga dapat mengubah
komposisi tubuh. Protein tidak hanya tidak bertambah, tapi
juga habis digunakan, sehingga massa sel tubuh berkurang.
Mengenai komposisi rinci tentang diet yang sesuai untuk
pertumbuhan normal, masih banyak yang harus digali lebih
lanjut. Asupan protein yang adekuat merupakan hal penting,
karena ada  sembilan asam amino yang telah diklaim
penting untuk pertumbuhan, dan tidak adanya satu saja asam
amino ini  akan menghasilkan pertumbuhan yang
terhambat. Kekurangan zat gizi protein merupakan faktor
utama dalam kondisi yang sudah dikenal dengan sebutan
kwarshiorkor, dimana akan ada perlambatan pertumbuhan
dan pematangan tulang ,Penelitian yang
dilakukan pada pada anak sekolah di Brazil menunjukan tidak
adekuatnya asupan protein berhubungan signifikan dengan
kejadian stunting  Penelitian yang
dilakukan oleh Stephenson et al. (2010) juga menyebutkan hal
yang sama, pada anak usai 2–5 tahun di Kenya dan Nigeria
asupan protein yang tidak adekuat berhubungan dengan
kejadian stunting.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2012) dan Hidayah
(2010) berdasar  analisis data Riskesdas 2010 di provinsi
yang berbeda, ada  hubungan signifikan antara konsumsi
protein dengan kejadian stunting pada balita Perilaku gemar mengkonsumsi ikan pada
warga sampai saat ini masih sulit dilakukan. Orang tua
yang sejak awal tidak pernah memperkenalkan atau
membiasakan balita-balitanya untuk mengonsumsi ikan,
maka sampai dewasa terbentuklah sikap tidak gemar makan
ikan, sehingga memperkenalkan ikan sejak dini pada balita
akan sangat bermanfaat bagi pertumbuhannya. Rendahnya
tingkat konsumsi ikan per kapita di negara kita  tampaknya
dipicu  karena masih adanya anggapan dikalangan
warga bahwa makan ikan kurang bergengsi atau identik
dengan kemiskinan, bau badan amis dan bila ibu-ibu yang
sedang menyusui mengkonsumsi, maka air susunya menjadi
kurang sedap. Selain itu ada ibu-ibu yang kurang mau untuk
masak ikan karena harus membersihkan isi perut, membuang
sisik dan duri, sehingga menimbulkan kesan bahwa masak
ikan adalah sangat merepotkan ,
3. Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan besarnya kebutuhan gizi
bagi seseorang sehingga ada  keterkaitan antara status
gizi dan jenis kelamin (Apriadji, 1986). Perbedaan besarnya
kebutuhan gizi ini  dipengaruhi karena adanya
perbedaan komposisi tubuh antara laki- laki dan perempuan.
Perempuan memiliki lebih banyak jaringan lemak dan jaringan
otot lebih sedikit dibandingkan laki- laki. Secara metabolik, otot
lebih aktif jika dibandingkan dengan lemak, sehingga secara
proporsional otot akan memerlukan energi lebih tinggi
daipada lemak. Dengan demikian, laki- laki dan perempuan
dengan tinggi badan, berat badan dan umur yang sama
memiliki komposisi tubuh yang berbeda, sehingga kebutuhan
energi dan gizinya juga akan berbeda 
Faktor budaya juga dapat mempengaruhi status gizi
pada anak laki- laki dan perempuan. Pada beberapa
kelompok warga, perempuan dan anak perempuan
mendapat prioritas yang lebih rendah dibandingkan laki- laki
dan anak laki- laki dalam pengaturan konsumsi pangan. Hal
ini  mengakibatkan perempuan dan anak perempuan
merupakan anggota keluarga yang rentan terhadap
pembagian pangan yang tidak merata. Bahkan, pada
beberapa kasus, mereka memperoleh pangan yang disisakan
setelah angota keluarga prima makan 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase gizi
kurang pada balita perempuan lebih tinggi (17,9%)
dibandingkan dengan balita laki- laki (13.8%) ,
Penelitian lain menunjukkan bahwa presentasi kejadian
stunting pada balita laki- laki lebih besar dibandingkan kejadian
stunting pada perempuan. Hal ini boleh jadi dipicu 
karena balita laki- laki pada umumnya lebih aktif dibandingkan
balita perempuan. Balita laki- laki pada umumnya lebih aktif
bermain di luar rumah, seperti berlarian, sehingga mereka
lebih mudah bersentuhan dengan lingkungan yang kotor dan
menghabiskan energi yang lebih banyak, sementara asupan
energinya terbatas (Martianto dkk, 2008).
4. Berat Lahir
Berat lahir dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu
rendah dan normal. Disebut dengan berat lahir rendah
(BBLR) jika berat lahirnya < 2500 gram (Kementrian
Kesehatan, 2010). Dampak BBLR akan berlangsung antar
generasi. Seorang anak yang mengalami BBLR kelak juga
akan mengalami deficit pertumbuhan (ukuran antropometri
yang kurang) di masa dewasanya. Bagi perempuan yang lahir
BBLR, besar risikonya bahwa kelak ia juga akan menjadi ibu
yang stunted sehingga berisiko melahirkan bayi yang BBLR
seperti dirinya pula. Bayi yang dilahirkan BBLR ini  akan
kembali menjadi perempuan dewasa yang juga stunted, dan
begitu seterusnya. Senada dengan
hasil penelitian Rahayu dkk di Kabupaten Banjar yang
menemukan bahwa balita yang terlahir dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) berisikomengalami stunting

Di Negara maju, tinggi badan balita sangat dipengaruhi
oleh berat lahir. Mereka yang memiliki berat lahir rendah
tumbuh menjadi anak-anak yang lebih pendek , Besarnya perbedaan ini adalah
sama pada Negara maju dan berkembang, dengan mereka
yang lahir dengan berat lahir rendah (BBLR) menjdi lebih
pendek sekitar 5 cm ketika berusia 17 hingga 19 tahun
Secara individual,
BBLR merupakan predictor penting dalam kesehatan dan
kelangsungan hidup bayi yang baru lahir dan berhubungan
dengan risiko tinggi pada anak. Berat lahir pada umumnya
sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan
jangka panjang. Sehingga, dampak lanjutan dari BBLR dapat
berupa gagal tumbuh (grouth faltering). Seseorang bayi yang
lahir dengan BBLR akan sulit dalam mengejar ketertinggalan
pertumbuhan awal. Pertumbuhan yang tertinggal dari yang
normal akan memicu  anak ini  menjadi stunting
5. Jumlah Anggota Rumah Tangga
Anggota keluarga adalah semua orang yang biasanya
bertempat tinggal disuatu keluarga, baik berada di rumah
pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota
keluarga yang telah bepergian 6 bulan atau lebih, dan
anggota keluarga yang bepergian kurang dari 6 bulan tetapi
bertujuan pindah atau akan meninggalkan rumah 6 bulan
atau lebih, tidak dianggap anggota keluarga. Orang yang
telah tinggal di suatu keluarga 6 bulan atau lebih, atau yang
telah tinggal di suatu keluarga kurang dari 6 bulan tetapi
berniat menetap di keluarga ini , dianggap sebagai
anggota keluarga (BPS, 2004).
berdasar  kategori BKKBN (1998), keluarga dengan
anggota kurang dari 4 orang termasuk kategori keluarga
kecil, yang kemudian dikenal sebagai norma keluarga kecil
bahagia sejahtera (NKKBS). Keluarga dengan anggota lebih
dari 4 orang dikategorikan sebagai keluarga besar.
Kesejahteraan anak yang tinggal pada keluarga kecil relatif
akan lebih terjamin dibandingkan keluarga besar, sebaliknya
semakin banyak jumlah anggota keluarga pemenuhan
kebutuhan keluarga cenderung lebih sulit, termasuk dalam
pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga ,
Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi
konsumsi pangan. Suhardjo (2003) mengatakan bahwa ada
hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi
pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang
semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya
pendapatan akan memicu  pendistribusian konsumsi
pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia
untuk suatu keluarga besar, mungkin hanya cukup untuk
keluarga yang besarnya setengah dari keluarga ini .
Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah
timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.
Ukuran keluarga (household size) merupakan penentu
penting dalam konsumsi pangan. Semakin besar ukuran
keluarga, maka semakin sedikit pangan tersedia yang dapat
di distribusikan pada anggota-anggota keluarga dan dengan
demikian semakin sedikit pangan yang dapat dikonsumsi.
Selain itu, pengaruh besar keluarga terhadap konsumsi
pangan juga berhubungan erat dengan status gizi. Kondisi ini
terutama pada keluarga miskin yang sangat tergantung pada
tingkat pendapatan mereka sendiri untuk membeli makanan.
Anak yang terlalu banyak selain menyulitkan dalam
mengurusnya juga kurang bisa menciptakan suasana tenang
didalam rumah. Lingkungan keluarga yang selalu ribut akan
mempengaruhi ketenangan jiwa, dan ini secara langsung
akan menurunkan nafsu makan anggota keluarga lain yang
terlalu peka terhadap suasana yang kurang mengenakan, dan
jika pendapatan keluarga hanya pas-pasan sedangkan jumlah
anggota keluarga banyak maka pemerataan dan kecukupan
makanan didalam keluarga kurang terjamin, maka keluarga
ini bisa disebut keluarga rawan, karena kebutuhan gizinya
hampir tidak pernah tercukupi dengan demikian penyakitpun
terus mengintai 
Rumah tangga yang mempunyai anggota keluarga
besar berisiko mengalami kelaparan 4 kali lebih besar
dibandingkan dengan rumah tangga yang anggotanya kecil.
Selain itu berisiko juga mengalami kurang gizi sebanyak 5 kali
lebih besar dari keluarga yang mempunyai anggota keluarga
kecil , Balita yang mengalami
stunting lebih banyak ada  pada keluarga yang jumlah
anaknya ≥ 3 orang, jika dibandingkan dengan keluarga yang
jumlah anaknya < 3 orang. Meskipun demikian, tidak ada 
hubungan yang bermakna antara jumlah anak dengan
kejadian stunting pada balita (Neldawati, 2006).
6. Pendidikan Ibu
Menurut Depdiknas (2001), pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan. Tingkat pendidikan orang tua
sangat mempengaruhi pertumbuhan anak balita. tingkat
pendidikan akan mempengaruhi konsumsi pangan melalui
cara pemilihan bahan pangan . Orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi akan
cenderung memilih bahan makanan yang lebih baik dalam
kualitas maupun kuantitas. Semakin tinggi Pendidikan orang
tua maka semakin baik juga status gizi anaknya 
Orang yang mempunyai pendidikan tinggi akan
memberikan respon yang lebih