Tampilkan postingan dengan label neurologi 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 1. Tampilkan semua postingan

neurologi 1

 












Seperti halnya di dalam ilmu kedokteran, 

pendekatan Minis gangguan neurologis sangat 

ditentukan dari anamnesis dan pemeriksaan 

fisik. Anamnesis terutama bertujuan untuk 

mendapat  ada tidaknya defisit neurologis yang kemudian dibuktikan secara 

obyektif pada pemeriksaan fisik. Berbeda 

dengan organ lainnya, pembuatan diagnosis pada gangguan neurologis juga disertai 

dengan diagnosa  topis untuk dugaan letak 

lokasi pemicu  munculnya gejala Minis, 

serta diagnosa  etiologi dan patologis untuk 

kemungkinan mekanisme pemicu  kelainannya. Hal ini dapat dibuat bahkan sebelum 

dilakukan pemeriksaan penunjang dengan 

mengikuti prinsip cara kerja otak yang 

sangat sistematis. Oleh sebab  itu, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti yang 

menghasilkan diagnosa  Minis, topis, etiologis, dan patologis akan sangat membantu 

menentukan pemeriksaan yang dibutuhkan 

serta tata laksana yang tepat.

DEFISIT NEUROLOGIS

Defisit neurologis yaitu  istilah yang dipakai 

untuk suatu gejala dan tanda yang muncul 

pada pasien akibat gangguan di sistem persarafan, baik sel otaknya (neuron/sel glia) 

hingga jarasnya (akson) dari reseptor untuk 

sistem sensorik, maupun ke target organ 

dalam sistem motorik dan otonom. sebab 

sistem persarafan itu demikian luas, maka 

defisit neurologis dapat bersinggungan dipelajari di disiplin ilmu kedokteran lain. 

Bahkan defisit neurologis pada fungsi luhur 

dipelajari juga di luar disiplin ilmu kedokteran dan kesehatan, seperti Psikologi, Ilmu 

Pendidikan, Ilmu Manajemen, dan sebagainya.

Secara umum berdasar  keterlibatan 

sistem saraf, defisit neurologis dapat dibagi 

menjadi fokal maupun global. Defisit neurologis fokal yaitu  gejala dan tanda akibat 

kerusakan dari sekelompok sel saraf atau 

jarasnya di suatu area tertentu (fokal). Misalnya pada pasien yang mengalami kelemahan 

(paresis) sesisi tubuh kanan, maka kemungkinan ada gangguan di sistem piramidalis 

mulai dari korteks motorik primer hingga 

jarasnya ke otot. sebab  sistem piramidalis 

hanyalah bagian dari seluruh sistem saraf, 

maka kelemahan sesisi sebagai gangguan 

sistem motorik dikategorikan sebagai defisit fokal.

Defisit neurologis lainnya yang dapat dikategorikan defisit neurologis fokal di antaranya:

1. Paresis dengan berbagai polanya, di antaranya hemiparesis sesisi/alternans/ 

dupleks, tetraparesis, paraparesis, paresis pada miotom saraf tertentu, paresis 

pada polineuropati, dan sebagainya. 2. Gangguan gerak motorik meliputi gerakan 

involunter (misalnya tremor, balismus, 

dan sebagainya) dan gangguan koordinasi 

otot (misalnya diskinesia, dismetria, dan 

sebagainya).

3. Gangguan pola pernapasan.

4. Kejang fokal, misal mulut mencong ke satu 

sisi, salah satu tangan bergerak-gerak, dan 

lain-lain.

5. Gangguan sensorik eksteroseptif hipestesi 

atau hiperestesi seperti hiperalgesia dan 

alodinia, maupun proprioseptif.

6. Gangguan sensorikproprioseptif, misalnya 

hipestesi untuk sensasi getar dan posisi.

7. Gangguan sensorik khusus akibat gangguan sistem saraf, seperti sistem visual 

(pola hemianopia, kuadranopia, buta kortikal, dan sebagainya), sistem penghidu 

(hipo/anosmia, kakosmia, dan sebagainya), 

sistem pendengaran (tuli perseptif dan 

sebagainya), dan sistem pengecapan.

8. Gangguan keseimbangan misalnya vertigo 

dan ataksia.

9. Nyeri fokal seperti nyeri leher, punggung 

bawah, dan sebagainya.

10. Gangguan otonom misalnya sindrom 

Horner, hipo atau hiperhidrosis, hipotensi 

ortostatik, inkontinensia atau retensi uri 

dan alvi, serta gangguan ereksi dan ejakulasi akibat gangguan sistem saraf.

11. Gangguan fungsi luhur fokal, seperti afasia, 

akalkulia, amnesia, dan seterusnya.

12. Gangguan neuropsikiatrik fokal, misalnya agitasi, depresi, dan sebagainya.

13. Sindrom neurologis yang bersifat fokal, 

misalnya sindrom lobus frontal dan sebagainya.

Defisit neurologis global yaitu  jika pada gejafa dan tanda diakibatkan oleh kerusakan saraf 

yang luas, difus, atau menyeluruh. Meskipun 

nantinya pada analisis lanjutan dari sintesis diagnosa  topis yang paling cocok ternyata 

hanya suatu lesi fokal tertentu yang mengakibatkan gejala dan tanda ini terjadi.

Beberapa gejala dan tanda yang dikategorikan defisit neurologis global di antaranya 

yaitu :

1. Penurunan kesadaran, sebab  salah satu 

diagnosa  topis bandingnya yaitu  kerusakan hemisfer serebri bilateral, meskipun 

dapat pula disebabkan lesi fokal pada ascending reticular activating system (ARAS).

2. Delirium, sebagai bagian dari penurunan 

kesadaran.

3. Kejang umum, misal kaku atau kelojotan 

pada kedua sisi ekstremitas secara bersamaan.

4. Nyeri kepala yang difus, sebab  bisa akibat 

perangsangan serabut peka nyeri intrakranial yang difus.

5. Sindrom peningkatan tekanan intrakranial.

6. Demensia, sebab  salah satu diagnosa  

bandingnya yaitu  atrofi serebri menyeluruh.

Untuk melatih cara berpikir, pada pembuatan 

diagnosa  neurologis pada kegiatan akademik, 

tidak hanya memerlukan diagnosa  klinis, 

tetapi juga dianalisis lebih lanjut menjadi diagnosis yang khas berupa: diagnosa  Idinis, 

topis, etiologis, dan patologis.

Malta langkah-langkah merangkai defisit 

neurologis menjadi suatu kajian diagnosa  

yang lengkap diperlukan anamnesis dan 

pemeriksaan fisik yang teliti. ANAMNESIS

Pada anamnesis perlu dilakukan beberapa 

langkah penting, yaitu:

a. Inventarisasi keluhan (gejala yang dirasakan secara subyektif oleh pasien).

b. Dari inventarisasi keluhan itu turut dipilah jika ada yang masuk ke dalam suspek 

(kecurigaan) defisit neurologis.

c. Keluhan termasuk defisit neurologis dianalisis dari sisi kronologis waktu (durasi, 

awitan/onset), kemunculan (insidens, 

frekuensi), intensitas gejala (progresivitas memburuk, membaik, atau acak), dan 

faktor yang memperburuk atau mengurangi gejala.

d. Riwayat penyakit dahulu, termasuk pada 

anak yaitu  riwayat tumbuh kembang, 

kehamilan dan persalinan, dan vaksinasi. Perdalam anamnesis tentang analisis 

faktor risiko tertentu, misalnya hipertensi, diabetes melitus atau penyakit jantung koroner pada pasien yang dicurigai 

etiologinya vaskular.

e. Riwayat penyakit keluarga; beberapa penyakit neurologis bersifat genetik yang 

ada  riwayat keluraga yang sama, 

seperti amyotrophic lateral sclerosis

(ALS), epilepsi, migren, dan sebagainya.

f. Riwayat pajanan, sosial ekonomi, budaya, 

dan kebiasaan yang relevan; pasien dengan 

keluhan nyeri punggung bawah misalnya, 

perlu diketahui faktor sosio-ekonomi dan 

kebiasaan untuk menentukan pemicu  

nyerinya serta edukasi untuk pencegahan 

nyeri berikutnya.

Anamnesis neurologi pada dasarnya sama 

dengan anamnesis pada umumnya, dimulai 

dengan gejala yang memicu pasien 

datang atau dibawa untuk mendapat 

pertolongan. Pasien dibiarkan menjelaskan 

keluhan dengan istilahnya sendiri, kemudian diarahkan dengan lebih spesifik oleh 

dokter pemeriksa. Namun dalam neurologi, 

pemeriksa harus bisa mendapat  3 hal dari 

anamnesis, yaitu durasi dan perjalanan penyakit, lesi bersifat fokal atau difus (menyeluruh), 

serta kemungkinan komponen sistem saraf 

yang terkena. Hal ini disebabkan oleh kerja 

sistem saraf pusat (SSP) yang sangat rapi dan 

sistematis. Setiap area di SSP sudah mempunyai fungsi tersendiri, sehingga kerusakan di 

area tertentu sudah pasti akan memicu 

gejala yang khas sesuai dengan fungsinya, apapun pemicu nya. Dengan mengetahui durasi 

waktu, serta daerah dan perldraan luasnya lesi, 

maka anamnesis saja sudah dapat membantu 

perldraan diagnosa  dan kemungkinan pemicu  dengan lebih seksama.

Onset yang bersifat akut (dalam hitungan 

menit atau jam) dimungkinkan oleh kelainan vaskular atau kejang. Kelainan vaskular 

berupa cerebrovascular disease atau smoke 

berlangsung akut saat pasien sedang beraktivitas atau bangun tidur. Gejala dapat sangat 

bervariasi tergantung pada pembuluh darah 

otak yang terkena, hingga memicu 

gangguan pada bagian otak tertentu. Pasien 

akan mengalami gejala yang bersifat fokal, 

seperti kelemahan tubuh sesisi (hemiparesis), rasa baal/kesemutan pada tubuh sesisi 

(hemihipestesia/hemiparestesia), kesulitan 

menelan (disfagia), bicara cadel (disartria), 

dan sebagainya secara mendadak.

Kadang gejala tidak segera disadari baik oleh 

pasien maupun lingkungannya, seperti gangguan fungsi kognitif. Pasien bisa mendadak 

terlihat linglung atau tidak mengerti pembicaraan orang (afasia sensorik) atau tidak dapat mengeluarkan kata-kata dengan jelas 

(afasia motorik). Apalagi jika gejala bersifat 

singkat, tidak sampai 24 jam sudah terjadi 

perbaikan sempurna, yang disebut sebagai 

transient ischemic attack. Namun pada prinsipnya, seminimal apapun kelainan yang 

muncul selama berlangsung mendadak, baik 

membaik sempurna atau menetap, maka 

dapat dicurigai sebagai suatu serangan stroke.

Gejala stroke dapat berat jika meliputi area 

otak yang luas akibat besarnya pembuluh 

darah yang tersumbat pada stroke iskemik 

atau besarnya hematoma seperti atau stroke 

hemoragik. Hal ini memicu pasien bisa 

mengalami penurunan kesadaran hingga 

koma. Pada perdarahan subaraknoid pasien 

didahului dengan sakit kepala hebat yang belum pernah dialami sebelumnya.

Pada onset akut akibat kejang, gejalanya 

biasanya khas berupa pergerakan abnormal tubuh baik sebagian atau kedua sisi tubuh sekaligus secara involunter yang tidak 

dapat dihentikan oleh pasien. Kejang dapat 

didahului dengan aura, seperti halusinasi, 

terlihat bingung, mengecap-ngecap, atau 

sensasi aneh di epigastrium. Kalaupun kejang berlangsung lama hingga hitungan jam, 

maka pasien biasanya akan mengalami penurunan kesadaran sesudah  kejang. Harus dibedakan juga dengan malingering pada gangguan 

psikiatri, yang biasanya serangan selalu terjadi saat ada orang lain yang memerhatikan, 

tidak pernah saat pasien sedang sendirian, 

serta ada  stresor sebelumnya. Pada onset 

yang subakut (berjam-jam hingga harian) terjadi pada reaksi inflamasi (meningitis, abses 

serebri, sindrom Guillain Barre) yang biasanya didahului oleh demam. Onset yang lebih 

kronik mengarah kepada neoplasma. Anamnesis khusus lengkap dapat dilihat pada topiktopik yang terkait selanjutnya.

berdasar  anamnesis, seorang dokter harus 

sudah dapat memperldrakan apakah kelainan 

yang terjadi bersifat lokal atau difus. Hal ini 

cukup mudah dengan mempertimbangkan 

prinsip kerja SSP yang bersifat simetris, bahwa 

kedua sisi otak akan bekerja bersama-sama 

memberi impuls yang sama kuatnya ke kedua 

sisi. Sifat simetris ini yang memicu seseorang dapat berdiri tegak di tengah, pergerakan bola mata yang seiring dan seirama 

saat melirik ke arah manapun, ekspresi wajah 

yang sama kuatnya saat pasien berbicara atau 

tersenyum, dan sebagainya.

Oleh sebab  itu, setiap hal yang tidak simetris 

harus dicurigai sebagai adanya kelainan di satu 

sisi. Adanya defisit neurologis fokal, seperti 

bicara cadel, wajah terlihat mencong, berjalan 

miring ke satu sisi, atau penglihatan dobel 

(diplopia) menunjukkan lesi di satu sisi/bagian 

otak Demikian pula jika seseorang dilaporkan 

kejang dengan pergerakan pada hanya satu 

sisi tubuh atau wajah tertarik ke satu sisi akan 

dianggap sebagai suatu lesi fokal.

Sebaliknya jika bersifat difus, kelainan justru 

akan bersifat simetris. Misalnya pada kejang 

akan terlihat pergerakan pada kedua tangan 

dan Itakinya sekaligus, yang disebut sebagai kejang umum. Kelainan yang difus biasanya lebih 

memicu penurunan kesadaran tanpa 

adanya defisit fokal, seperti gangguan metabolik (syok hipovolemik, hiper/hipoglikemia, 

hiper/hiponatremia, dan sebagainya) yang 

mengganggu kerja otak secara keseluruhan.

Terakhir, dalam anamnesis sudah harus 

dapat diperkirakan, sistem SSP bagian mana 

yang terkena. Secara umum, sistem saraf ter- 

bagi dalam 4 area kerja yang berbeda, yaitu: 

sistem saraf perifer, medula spinalis, intrakranial fossa posterior (termasuk batang otak), 

dan hemisferserebri (Gambar 1]. Hal ini sangat 

penting, sebagaimana seorang internis yang 

tidak mengetahui organ tubuh pasien yang 

terganggu, apakah di paru, lambung, atau 

ginjal, sehingga tidak dapat ditentukan diagnosis dan tata laksananya.

Gejala di intrakranial dapat berupa gangguan di hemisfer serebri atau fossa posterior, 

Daerah fossa posterior yang terdiri dari 

serebelum dan batang otak sangat khas. 

Serebelum merupakan pusat keseimbangan, 

sehingga akan muncul keluhan seperti pusing 

berputar (vertigo) atau sensasi bergoyang 

(dizziness). Pada pasien dengan gangguan 

batang otak dapat muncul keluhan dari sarafsaraf kranialis seperti diplopia, disfagia, atau 

disartria, Kesemua ini sangat berbeda dengan 

gejala di hemisfer serebri yang biasanya didominasi dengan nyeri kepala, kelemahan tubuh sesisi, atau gangguan fungsi kognitif.

Daerah hemisfer serebri dapat disebabkan 

oleh lesi di daerah korteks dan subkorteks. 

Hal ini dapat dibedakan berdasar  anamnesis kekuatan ekstremitas yang mengalami 

kelemahan. ]ika kekuatan tangan sama dengan 

kaki, maka dipikirkan lesi di daerah subkorteks 

akibat berkumpulnya jaras motorik dari daerah tangan dan kaki. Namun jika kekuatan 

tangan dan kaki ada yang lebih dominan, kemungldnan lesi di korteks motorik, sesuai 

dengan homonkulus perbedaan area ekstremitas atas dan bawah. Hal ini ditunjang 

dengan adanya kejang akan lebih sesuai untuk 

lesi di daerah korteks.

Gejala akibat gangguan di sistem saraf perifer dan medula spinalis biasanya berupa 

kelemahan dan gangguan sensasi di anggota 

gerak tertentu. Gangguan di sistem ini tidak 

akan memicu keluhan sakit kepala 

atau nervus kranialis yang menunjukkan keluhan berasal dari kelainan di intrakranial. 

Gangguan pada medula spinalis bisa disertai 

nyeri lokal atau menjalar di area yang terganggu, atau gangguan berkemih dan buang 

air besar. Adapun lesi di ssaraf perifer dapat 

memicu paresis yang fokal, misalnya 

pada 1 ekstremitas atau area otot tertentu. 

Anamnesis khusus selengkapnya dapat dilihat pada Bab Saraf Tepi.

 

sesudah  mendapat  gejala neurologis 

yang saat ini muncul, harus ditanyakan pula 

riwayat gangguan neurologis atau penyakit 

lain dan hasil pemeriksaan sebelumnya. 

Pada pasien dewasa dengan kejang, perlu 

ditanyakan apakah itu kejang pertama kali 

atau sudah mengalami kejang sejak kecil. 

Pada pasien dewasa atau tua dengan kejang 

pertama kali harus dipildrkan adanya lesi 

struktural baru seperti infeksi, neoplasma, 

atau stroke. Namun jika sudah ada riwayat 

kejang sejak kecil, maka bisa diperkirakan 

pasien ini  yaitu  penderita epilepsi. 

Pada penderita seperti ini harus ditanyakan 

apakah sudah mendapat terapi yang adekuat 

serta pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) 

sebagai penunjangnya.

Pasien dengan kecurigaan stroke harus 

ditanyakan pernah mengalami serangan 

serupa sebelumnya atau tidak. Jadi gejala 

klinis yang muncul merupakan gejala yang 

betul-betul baru pertama kali muncul atau 

sudah pernah sebelumnya. Apabila sudah 

pernah, juga harus dipastikan apakah gejala 

sebelumnya segera pulih dalam waktu kurang 

dari 24 jam atau menetap lebih dari itu. Jika 

pasien pernah mengalami stroke sebelumnya, 

perlu ditanyakan gejala sisa yang dialami dan 

sejauh apa pasien bisa beraktivitas.

Hal ini penting untuk memastikan apakah 

gejala yang muncul saat pasien datang 

merupakan gejala yang sama atau lebih berat 

dibanding sisa serangan stroke sebelumnya 

sehingga dianggap stroke berulang. Jika 

pasien membawa hasil CT scan atau MRI 

yang memang memastikan adanya riwayat 

stroke, akan lebih mudah bagi Dokter untuk 

menegakkan diagnosa  stroke berulang, 

oleh sebab  kemungkinannya sangat tinggi 

pada yang sudah pernah stroke sebelumnya.

Terminologi yang dipakai  oleh pasien 

juga harus dipastikan sama dengan yang 

diketahui oleh dokter pemeriksa. Misalnya 

istilah 'kepala pusing' yang dimaksud oleh 

pasien apakah nyeri kepala atau pusing 

berputar. Oleh sebab  diagnosa  banding 

keduanya sangat jauh berbeda. Demikian 

pula dengan keluhan 'kejang'. Banyak gejala 

yang mirip kejang, namun yang khas pada 

kejang yaitu  kejadiannya yang mendadak, 

gerakannya biasanya ritmis sekejap dalam 

hitungan menit, serta berpola.

PEMERIKSAAN FISIK

1. Pemeriksaan Fisik Umum

a. Pemeriksaan tanda vital; dapat menggambarkan defisit neurologis misalnya pola nafas tertentu dan hipotensi 

ortostatik. Informasi tanda vital lainnya dapat membantu penegakan diagnosis pasien dengan penting.

b. Pemeriksaan skrining nyeri misalnya 

memakai  Numeric Rating Scale

(NRS) atau Visual Analogue Scale

(VAS), dan risiko jatuh.

c. Pemeriksaan fisik umum lainnya 

akan sangat membantu diagnosa . 

Pada masalah  trauma, perlu dilakukan 

pemeriksaan terkait organ yang terkena dampak trauma secara teliti, 

sehingga mencegah perburukan yang 

biasanya ter jadi secara drastis.

d. Inventarisasi beberapa faktor risiko 

dan komplikasinya pada organ non 

neurologis dapat dikonfirmasi dengan 

pemeriksaan fisik ini. Pada pasien 

dengan stroke, sebab  etiologinya 

vaskular, perlu diperhatikan secara umum ada tidaknya efek fak-

 

tor risiko vaskular terhadap organ target lain. Misalnya pada pasien stroke 

dengan hipertensi, perlu diketahui kelainan pada jantung, ginjal, dan retina. 

Pada pasien trauma, perlu diperiksa 

kemungkinan trauma di organ lain. 

Demikian pula pasien neoplasma dan 

infeksi, sesuai dengan patogenesisnya 

masing-masing.

2. Pemeriksaan Fisik Neurologis Dasar

a. Pemeriksaan kesadaran secara kualitatif (kompos mentis, delirium, somnolen, 

sopor, atau koma], dan kuantitatif menggunakan Skala Koma Glasgow (SKG) dan 

atau Four Score (baca topik Penurunan 

Kesadaran].

a. Pemeriksaan pupil yang mendeskripsikan bentuk, isokoria/anisokoria, diameter pupil mata kanan dan kiri, serta 

bagaimana reaksinya terhadap cahaya 

langsung dan tak langsung (baca topik 

Penurunan Kesadaran].

b. Pemeriksaan nervus kranialis I sampai 

XII. Pada pasien tidak sadar, dapat digantikan pemeriksaan refleks-refieks 

batang otak.

c. Pemeriksaan motorik lengkap meliputi 

kekuatan otot dengan skala 0-5, trofi, 

tonus, refleks fisiologis tendon dalam, 

dan refleks patologis. Dijelaskan pula 

pola distribusi paresisnya, misal hemiparesis, tetra/paraparesis, paresis miotom/otot tertentu.

d. Pemeriksaan sensorik lengkap beserta 

pola distribusi lesinya (misalnya hemihipestesi, hipestesi setinggi dermatom 

medula spinalis tertentu, hipestesi pada 

dermatom saraf tertentu, hipestesi pola 

sarung tangan & kald]. Termasuk di

dalamnya distribusi dan karakteristik 

nyeri seperti hiperalgesia dan alodinia. 

Untuk menilai tingkat baal dan tingkat 

nyeri dapat memakai  Visual Analogue Scale (VAS] 0-10 dan dilaporkan 

per regio yang mengalami baal/nyeri.

e. Pemeriksaan otonom, seperti adakah 

inkontinensia/retensio uri et alvi, gangguan ereksi/ejakulasi terkait neurologi, 

hipo/hiperhidrosis, dan berbagai sindrom defisit otonom lainnya.

f. Pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi otot.

g. Pemeriksaan fungsi luhur, setidaknya 

skrining memakai  MMSE, Mini Cog, 

MoCA INA, atau perangkat penapisan 

fungsi luhur lainnya.

sesudah  anamnesis dan pemeriksaan fisik, 

dapat dibuat diagnosa  kerja dengan beberapa diagnosa  banding yang bersifat umum 

yang akan jadi acuan pemeriksaan langkahlangkah selanjutnya, Pemeriksaan penunjang termasuk laboratorium dan radiologi, 

serta penunjang lain yang akan dijelaskan 

di bab-bab selanjutnya dari buku ini, dilakukan secara prioritas bergantung pada arah 

diagnosa  ini . Baru kemudian berdasarkan hasil-hasil penunjang, dibuat diagnosis kerja yang lebih akurat dan diagnosa  

banding (jika masih dipertimbangkan] yang 

lebih khusus. Kadang pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan tidak dapat dilakukan 

secara lengkap, namun perkiraan diagnosa  

tetap diupayakan untuk dibuat.

diagnosa  NEUROLOGIS

Khusus bidang neurologi, dibuat analisis lebih 

lanjutdari diagnosa  yang dibuat, yaitu diagnosis berdasar  aspek klinis, topis, patologis 

dan etiologis. Analisis ini penting untuk menjaga pola berpikir khas neurologis yang akan 

memudahkan penentuan tata laksana berikutnya. Walaupun biasanya keempat diagnosis ini  hanya ditulis untuk kepentingan 

akademik, namun analisisnya harus menjadi 

bagian dari manajemen pasien sehari-hari 

dengan prinsip seperti pada Gambar 2.

X. diagnosa  (Aspek) Klinis

Berisi semua gejala klinis yang ditemukan 

dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dituiis secara sistematis mulai dari keluhan 

utama dan keluhan lain, lalu dilanjutkan 

dengan pemeriksaan neurologis berurutan dari paresis nervus kranialis dan defisit 

lainnya. Hal ini dimaksudkan agar semua 

gejala klinis dapat ditulis lengkap, oleh 

sebab  diagnosa  klinis akan berdampak 

menentukan diagnosa  topis selanjutnya.

Misal pasien dengan tumor di serebelum akan mengalami gejala sakit kepala 

yang l<ronik progresif dan vertigo, tanpa 

lateralisasi atau defisit neurologis lainnya. 

Jika pada diagnosa  klinis tidalc ditulis 

vertigo, hanya sakit kepala yang kronik 

progresif, maka tidak dapat ditentukan 

secara spesifik lokasi lesinya.

Contoh lain pasien dengan stroke hemoragik dapat mempunyai diagnosa  klinis: 

sakit kepala, riwayat penurunan kesadaran, 

paresis nervus VII dan XII sentral dekstra, 

serta hemiparesis delcstra. Gejala Minis 

yang sudah dibuktikan dengan pemeriksaan fisik maka cukup ditulis hasil pemeriksaan fisiknya saja. Misal: keluhan bicara 

pelo yang sudah dibuktikan dengan adanya 

paresis N. XII, tidak perlu ditulis disartria 

lagi.

2. diagnosa  (Aspek) Topis

Merupakan perldraan lokasi lesi atau topis 

paling mungkin berdasar  temuan pada 

diagnosa  klinis. Dugaan ini dibuat berdasarkan neuroanatomi dan fisiologi, suatu 

analisis secara neurologis yang dibuat tanpa 

melihat pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan 

radiologis dapat membuktikan diagnosa  

topis dan pemeriksaan penunjang lainnya 

dalam menggambarkan kondisi pasien secara lebih tepat.

Penentuan diagnosa  topis sejak awal 

juga akan membantu menentukan diagnosis kerja, bahwa lesi di daerah tertentu 

biasanya disebabkan oleh patologis tertentu. Misalnya, sakit kepala yang disertai 

gangguan lapang pandang hemianopia 

bitemporal merupakan gajala khas di 

daerah sella yang biasanya akibat tumor 

sella, seperti adenoma hipofisis. Diplopia 

akibat paresis N. VI disertai paresis N. 

VII perifer sisi yang sama, tanpa adanya 

gejala lain, menunjukkan topis berupa 

lesi kecil di daerah pons yang umumnya 

disebabkan oleh stroke.

3. diagnosa  (Aspek) Patologis

Analisis ini biasanya ditentukan dari 

gambaran patologi anatomi. Namun, oleh 

sebab  pemeriksaan Ini tidak memungkinkan dilakukan pada semua pasien, 

maka diagnosa  patologi dapat berdasarkan pengetahuan secara teoritis maupun 

bukti ilmiah terhadap masalah -masalah  umum, 

dengan membayangkan gambaran jika 

lesi topis itu dilakukan analisis patologi.

Sebagai contoh, pada masalah  tumor intrakranial dengan gejala klinis hemiano-

 

pia bitemporal dan gangguan endokrin, 

maka diagnosa  patologis yang dapat 

dipikirkan yaitu  adenoma hipofisis. 

Pemeriksaan penunjang berupa MRI adanya dumbell-shape pada daerah sella juga 

dapat membantu menentukan diagnosa  

patologi, mesldpun belum dilakukan biopsi. 

Contoh lain, pada masalah  stroke iskemik, 

maka diagnosa  patologinya yaitu  infark 

parenkim otak, meningitis yaitu inflamasi, 

dan multipel sklerosis berupa demielinisasi.

4. diagnosa  (Aspek) Etiologis

Menganalisis proses patofisiologi mekanisme yang mendasari kelainan pada 

sistem saraf yang terlibat, yaitu proses 

penyakit yang berkontribusi menimbulkan gejala dan tanda klinis. Sebagai contoh, 

pada stroke iskemik dengan klinis hemiparesis dektra mendadak dan muncul 

saat istirahat, maka dipikirkan diagnosa  

etiologinya yaitu  sumbatan trombus. 

Contoh lain pada tumor intrakranial 

dengan klinis penurunan kesadaran dan 

hemiparesis dekstra, maka dipikirkan 

diagnosa  etiologi yakni proses desak 

ruang akibat tumor dan edema.

Pada infeksi intrakranial, diagnosa  etiologis yaitu  dugaan presumtif kuman pemicu  yang dapat dibuktikan dengan hasil 

kultur. Misal pada meningitis TB etiologisnya yaitu  M. tuberkulosis, pada ensefalitis toksoplasma etiologisnya toksoplasma 

gondii, dan pada multipel sklerosis berupa 

autoimun.

diagnosa  klinis, topis, etiologi, dan patologi harus saling berkesinambungan. Penulisan keempat diagnosa  ini  murni 

berdasar  gejala klinis, dan hasil analisis 

topis, etiologis, dan patologis, tanpa mencantumkan nama penyakit Jadi tidak akan 

ada kata 'stroke, meningitis, atau ensefalitis' di dalam keempat diagnosa  itu. Namanama penyaldt atau sindrom ini  akan 

disebutkan secara terpisah dalam diagnosis kerja, yang akan menjadi dasar untuk 

merencanakan pemeriksaan penunjang 

dan tata laksana selanjutnya.

diagnosa  topis memuat lokasi anatomi 

yang terlibat pada suatu penyakit sehingga 

memicu munculnya gejala dan tanda 

klinis tertentu. Dengan demikian, diagnosa  

topis berkorelasi dengan diagnosa  klinis. 

diagnosa  topis membantu menentukan diagnosis banding dan merencanakan pemeriksaan penunjang. Sebagai contoh, adanya 

klinis paraparesis UMN dengan hipestesi 

setinggi umbilikus ke bawah, maka diagnosis topis yang dipikirkan yaitu  meduia 

spinalis segmen torakal 10. Dengan adanya 

klinis ini , tentunya tidak akan dipikirkan lesi intrakranial atau saraf perifer seperti 

radikulopati atau neuropati. Implikasinya, 

klinisi akan merencanakan MRI torakal 

dan somatosensory evoked potential (SSEP), 

dibandingkan MRI kepala atau konduksi 

hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMGj.

diagnosa  KERJA

Pada akirnya klinisi harus membuat diagnosa  

kerja. Formulanya yaitu  memuat gejala dan 

tanda klinis serta nama penyakit Namun hal 

yang perlu ditekankan, tidak seluruh gejala 

dan tanda penyakit dituliskan dalam

diagnosa  kerja.

Pada prinsipnya, gejala dan tanda yang 

perlu dicantumkan yaitu : 

a. Gejala dan tanda klinis yang menjadi keluhan utama atau bersifat kegawatdaruratan

Sebagai contoh pada stroke hemoragik 

dengan manifestasi penurunan kesadaran, 

paresis N. VII dan N. XII sentral kanan, dan 

hemiparesis kanan, maka dalam diagnosa  

kerja cukup dituliskan penurunan kesadaran et causa (ec] stroke hemoragik. Dalam 

hal ini, penurunan kesadaran merupakan 

klinis yang membutuhkan tata laksana 

kegawatdaruratan.

Pada pasien dengan keluhan utama mulut 

mencong akibat paresis nervus fasialis 

perifer, jika diduga sebagai masalah  Bell's

palsy maka diagnosa  kerjanya yakni paresis nervus fasialis perifer ec Bell's palsy. 

Pada masalah  ini, paresis nervus fasialis dimasukkan dalam diagnosa  kerja sebab  

merupakan keluhan utama dan menjadi 

tujuan utama tata laksana penyakit ini.

b. Gejala dan tanda klinis yang memerlukan pemantauan khusus dalam terapi 

Contoh pada pasien sebelumnya dengan 

stroke hemoragik, gejala yang perlu diIakukan pemantauan yaitu  penurunan 

kesadaran. Adapun gejala paresis N. VII 

dan N. XII sentral kanan, dan hemiparesis kanan bukan merupakan target 

pemantauan khusus, sebab  akan ikut 

membaik seiring dengan tata laksana 

stroke hemoragik sebagai pemicu nya.

Oleh sebab  pada dasarnya diagnosa  kerja berfungsi sebagai penentu terapi, maka 

gejala klinis yang ditulis bersifat fleksibel 

sesuai dengan perjalanan penyakit pasien. 

Misal jika selama perawatan pasien stroke 

hemoragik ini  merasakan sakit kepala sesudah  perbaikan kesadaran, maka 

diagnosa  kerja berubah menjadi sefalgia 

ec stroke hemoragik. Oleh sebab  sefalgia 

itu merupakan gejala yang dikeluhkan 

pasien dan dapat menjadi indikator tata 

laksana peningkatan tekanan intrakranial.

Berikut ini diberikan beberapa contoh skenario klinis dan cara penulisan diagnosa 

klinis, topis, etiologi, patologi dan diagnosa 

kerja (label 1) 

PENUTUP

Pembuatan diagnosa  kerja neurologis beserta 

keempat aspek diagnosa  Minis, topis, etiologis, dan patologis terkesan sulit, sebab  membutuhkan pengetahuan Minis, neuroanatomi, 

dan patofisiologi penyaldt-penyaMt neurologis. Namun hal ini dapat dipelajari dan akan 

menjadi suatu ketrampilan tersendiri seiring 

dengan banyaknya masalah  yang dihadapi, selama klinisi memahami pentingnya prinsip 

pembuatan diagnosa  ini . Oleh sebab  

manfaat utamanya yaitu  bagi Minisi sendiri 

yang akan menjadi terbiasa untuk berpikir 

sistematis, sesuai dengan cara kerja otak, 

serta memudahkan pemilihan tata laksana 

pasien yang tepat selanjutnya.

CONTOH masalah 

Tn. A, 23 tahun mengalami kecelakaan sepeda 

motor berkecepatan tinggi hingga dahi depannya terbentur tiang listrik, lalu terbentur aspal. 

Pasien tidak sadar sampai 4 jam kemudian 

tiba di RS, lalu pasien sadar namun mengalami 

perubahan perilaku. Pasien menjadi sering 

marah (sebelumnya dikenal penyabar), apati, 

mengucapkan kata-kata kotor, BAK dan BAB 

sembarangan (tidak dapat ditahan), tiba-tiba 

ingin berbuat seks dengan perempuan di 

dekatnya saat perawatan, serta lupa kejadian 

sebelum dan sesudah kecelakaan.

Pasien juga mengalami perdarahan hidung 

dan telinga. Tiga hari perawatan tampak 

mulut mencong ke kiri, kerutan dahi kanan 

berkurang, dan kelopak mata kanan lebih 

tampak terbuka. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital normal, jejas trauma 

di dahi depan dan wajah serta di temporal 

kanan, tes halo positif pada darah yang keluar dari hidung dan telinga, serta adanya 

battle sign dan brill hematoma. Pasien juga

mengalami paresis sisi kanan pada m. Levator sulci nasolabialis, m. Frontalis, m. Orbikularis okuli, dan m. Orbikularis oris dengan 

skala House-Brackmann 3. Belum ada hasil 

pemeriksaan lab dan radiologi.

Gejala dan tanda Minis yang terkait bidang 

neurologi yaitu :

1. Riwayat pingsan pasca onset trauma 

kepala 4 jam. Riwayat pingsan sesudah  

trauma yaitu  bagian dari patofisiologi 

trauma kepala pada umumnya.

2. Perubahan kepribadian (sering marah 

padahal awalnya penyabar).

3. Mengucapkan kata-kata kotor.

4. Disinhibisi sosial termasuk disinhibisi 

terhadap BAB, BAK, dan seksual

Poin 2-4 ini dapat dikelompokkan dalam 

sindrom lobus frontal, khususnya bagian 

(dorsolateral) korteks prefrontal dan orbitoffontal.

5. Amnesia anterograd dan retrograd. 

Amnesia dapat merupakan bagian dari 

sindrom lobus frontal dengan kerusakan 

di bagian mesial inferior. Namun sebab  

mempertimbangkan kemungkinan lainnya, lebih baik amnesia ini dipisahkan 

dari sindrom lobus frontal, kecuali Minisi 

sudah berkeyakinan dari pemeriksaan 

lanjutan bahwa hal itu akibat sindrom 

lobus frontal.

6. Rhinorhea dengan kebocoran cairan serebrospinal (CSS).

7. Otorhea dengan kebocoran CSS.

8. Battle sign.

9. Brill hematoma.

Poin 6-9 dapat dikelompokkan dalam 

sindroma fraktur basis kranii, khususnya 

fossa anterior dan os petrosus. 

10. Paresis m. levator sulci nasolabialis kanan.

11. Paresis m. Frontalis kanan.

12. Paresis m. Orbikularis okuli kanan.

13. Paresis m. Orbikularis oris kanan.

Poin 10-13 ini dapat dikelompokkan dalam 

sindrom paresis N. VII perifer, sehingga cukup 

dituliskan dalam diagnosa  klinis sebagai 

paresis N. VII perifer kanan. Meskipun paresis N. VII perifer kanan yang terjadi dapat 

merupakan bagian dari sindroma fraktur basis kranii di atas yang berhubungan 

dengan fraktur os petrosus, namun sebab  

sangat mungkin ada dd/ topis segmen N. 

Fasialis lain (selanjutnya akan dilakukan 

pemeriksaan fisik dan penunjang memastikan topis segmen N. VII ini], maka lebih baik 

dipisah dituliskan paresis N. VII perifer kanan 

traumatik ini dari sindrom fraktur basis kranii 

os petrosus, kecuali pemeriksa/akademisi sudah berkeyakinan dari pemeriksaan lanjutan 

bahwa memang yang paling tepat menjelaskan amnesia pada pasien yaitu  semata-mata 

terkait fraktur os petrosus. Lengkapi paresis 

n. VII perifer kanan ini dengan keterangan 

tingkat keparahannya (dalam hal ini ada  

keterangan skala House Braclonann 3].

Maka menuliskan 4 dimensi diagnosa  pada 

pasien ini yang baik yaitu  sebagai berikut:

1. diagnosa  klinis: sindroma lobus frontal, amnesia anterograd dan retrograd,

sindroma fraktur basis kranii, paresis 

N.VII kanan perifer traumatik House 

Brackmann 3 (lebih baik dari hanya 

dituliskan tanpa keterangan tingkat 

keparahan penyakit). Klasifikasi HouseBrackmann dapat dilihat pada Topik 

Komplikasi Pascacedera Kepala.

2. diagnosa  topis: korteks dorsolateral prefrontal, korteks orbitoffontal (lebih spesifik dari hanya dituliskan lobus frontal, akan 

lebih baik]; basis kranii fossa anterior dan 

os petrosus (lebih spesifik dari hanya dituliskan basis kranii, akan lebih baik]; N.VII 

kanan (sementara tak mengapa menuliskan N. VII kanan saja, sesudah  pemeriksaan 

penunjang perlu disempurnakan menjadi 

segmen manakah dari N.VII yang terkena: 

intrakranial, meatal, labirin, timpanik, 

mastoid, atau ekstratemporal].

3. diagnosa  patologi: kemungkinan sebelum 

adanya pemeriksaan penunjang yaitu : 

kontusio (tidak mungkin komosio], axonal

injury "baik di lobus frontal maupun N. VII", 

dan fraktur (untuk area basis kranii].

4. diagnosa  etiologi: trauma. 





EVALUASI NEUROLOGIS PERIOPERATIF


Sistem saraf amat terkait dan dipengaruhi 

oleh sistem organ lain. Seluruh penyakit, 

kelainan, atau cedera pada sistem organ di 

bagian tubuh manapun dapat berpengaruh pada sistem saraf dan bermanifestasi 

sebagai gejala neurologis. Hal ini menyebabkan seorang neurolog dapat menerima 

permintaan konsultasi dari spesialisasi lain, 

pada berbagai kondisi pasien. Oleh sebab  

itu, konsultasi dan rawat bersama merupakan bagian dari tugas sehari-hari seorang 

neurolog dalam membantu mengatasi masalah 

kesehatan pasien secara komprehensif.

Angka konsultasi ke neurolog di negara 

dengan layanan spesialis emergensi yang 

telah mapan yaitu  berkisar 14,7%. Konsultasi ini  bermanfaat untuk membantu memastikan diagnosa  dan mengubah tata 

laksana secara bermakna pada 52,5% masalah .

Di bangsal atau ruang rawat, angka 

perawatan pasien neurologi berkisar 10- 

20% dari total pasien di RS. Angka ini  

mencakup tidak hanya pasien yang dirawat 

dengan kelainan neurologis sebagai masalah 

primer, namun 3-5% masalah  merupakan pasien 

dengan masalah primer nonneurologis yang 

dikonsultasikan. Konsultasi sebagian besar 

berasal dari bidang penyakit dalam, disusul 

psikiatri, dan onkologi. Masalah tersering 

yang dikonsultasikan ke neurolog yaitu  

penurunan kesadaran, kejang, dan stroke.

Konsultasi neurologi juga terjadi di ruang 

perawatan intensif atau intensive care unit

(ICU), Studi di Amerika Serikat pada tahun 

2015 menunjukkan bahwa angka konsultasi 

neurologi baik di ICU medik maupun bedah 

mencapai 50% masalah , terutama pada masalah  

ensefalopati, stroke, dan hypoxic-anoxic brain

injury.

Secara umum, konsultasi neurologi dalam tahap  

perawatan amat bermanfaat dalam manajemen pasien. Konsultasi neurologi membantu 

memperpendek lama perawatan pada 65% masalah , membantu memperbaild diagnosa  secara 

bermakna pada 55% masalah , dan 70% masalah  

akan mengalami perubahan manajemen perawatan yang signifikan. Di negara kita , belum 

ada data pasti mengenai angka konsultasi 

neurologi baik di unit gawat darurat (UGD), 

ruang rawat, maupun ruang intensif. Namun 

demikian diyakini angkanya tidak jauh berbeda 

dibandingkan data ini .

Selain konsultasi di UGD dan perawatan, neurolog juga seringkali dikonsulkan oleh spesialis bedah untuk mengevaluasi risiko tindakan sebelum prosedur invasif atau menilai 

kondisi pascatindakan operatif. Pada praktek 

sehari-hari, selain pada masalah  bedah saraf, 

konsultasi untuk menilai risiko maupun komplikasi neurologis ini sering dimintakan pada 

pasien operasi jantung, operasi pembuluh 

darah, serta masalah  transplantasi, baik pada pasien dengan atau tanpa riwayat penyaldt 

neurologis sebelumnya.

Bab ini akan membahas evaluasi neurologis 

perioperatif (periode preoperatif, intraoperatif 

sampai dengan 30 hari pascaoperasi) dengan 

struktur pembahasan dimulai dari komplikasi 

neurologi perioperatif yang mungkin terjadi, 

termasuk komplikasi neurologis pada transplantasi, cara melakukan penilaian neurologis 

preoperatif secara umum, dan diakhiri dengan 

penilaian preoperatif pada kondisi pasien 

dengan riwayat kelainan neurologis tertentu.

KOMPLIKASI NEUROLOGIS PERIOPERATIF

Komplikasi neurologis perioperatif tidak 

jarang terjadi, amat bervariasi, serta memiliki dampak morbiditas dan mortalitas yang 

bermakna. Adapun komplikasi yang paling 

banyak dan memiliki dampak prognosis 

yang bermakna pada pasien, serta menjadi pemicu  tersering konsultasi untuk 

evaluasi neurologis intra dan pascaoperasi, 

yaitu  delirium, kejang, dan stroke.

1. Delirium

Delirium atau acute confusional state

merupakan perubahan akut dalam hal 

kognitif dan atensi yang dapat mencakup 

gangguan kesadaran dan organisasi berpikir. Delirium pada pasien rawat inap 

memicu mortalitas rawat inap sebesar 4-17%, mortalitas 1 tahun sebesar 

35-40%, dan memperpanjang lama rawat 

5-10 hari. Delirium pascaoperasi juga 

merupakan hal yang tidak jarang terjadi, 

dengan insidens 10-18% pascaoperasi 

bedah umum, 53% pascaoperasi ortopedi, 

dan 74% pascaoperasi jantung. Meskipun 

sering terjadi, delirium merupakan kondisi

yang dapat dicegah dan saat ini dipakai  

sebagai salah satu indikator kualitas perawatan dan keselamatan pasien.

Mengingat tingginya angka morbiditas 

dan mortalitas delirium, seluruh pasien, 

khususnya pasien lanjut usia, harus dilakukan penapisan delirium. Penapisan 

ini minimal dilakukan 1 kali sehari atau 

lebih sering jika pasien berisiko 

tinggi delirium. Algoritma untuk penapisan dan diagnosa  delirium yang saat 

ini dianggap reliabel, peka , dan spesifik yaitu  confusion assessment method

[CAM] (Gambar 1). ada  4 fitur yang 

dinilai, yaitu onset akut dan fluktuatif, 

gangguan atensi, gangguan organisasi berpikir, serta penurunan kesadaran dengan 

memakai  alat penilaian yang berbeda.

Neurolog memiliki peran penting dalam 

pencegahan dan penanganan delirium, 

termasuk delirium pascaoperasi. Salah 

satu tujuan utama evaluasi neurologi 

preoperatif yaitu  untuk mencegah terjadinya delirium saat dan pascaoperasi 

dengan mengenali faktor risiko delirium, 

baik yang dapat dimodifikasi maupun 

tidak.

Beberapa faktor risiko yang diidentifikasi terkait erat dengan delirium yaitu  

usia >70 tahun, gangguan fungsi kognitif, dan ketergantungan fungsional sebelum operasi, Usia lanjut memicu  

berkurangnya neurological reserve dan 

kecenderungan untuk memiliki komorbiditas medis lain seperti stroke, penyaldt 

ginjal atau penyaldt hati kronik, dan penyakit terminal, sehingga meningkatkan 

kerentanan terjadinya delirium. 

Faktor lain yaitu  penyakit sistemik, dehidrasi, dan malnutrisi. Malnutrisi dibuktikan dengan adanya hiponatremia, hipokalemia, kadar glukosa darah abnormal, 

hipermagnesemia, blood urea nitrogen

(BUN)/creatinine ratio >18, dan hipoalbuminemia. Adanya hendaya panca indera 

yang memicu  gangguan sensorik 

(khususnya gangguan pendengaran dan 

penglihatan) juga merupakan salah satu 

faktor risiko kuat terjadinya delirium. Beberapa faktor risiko delirium yang bersifat 

ringan hingga sedang yaitu  penyalahgunaan alkohol, depresi, pemakaian  

psikotropik preoperatif, serta adanya gejala 

psikopatologi sebelumnya.

Oleh sebab  gangguan kognitif dan demensia memiliki hubungan kuat dengan

delirium pascaoperasi, maka perlu dilakukan evaluasi fungsi kognitif. Beberapa 

pemeriksaan sederhana yang dapat digunakan yaitu  tes clock-drawing tasks, 

Mini-Cog, dan Mini-Mental Status Examination (MMSE). MMSE merupakan tes 

yang paling banyak dipakai, yaitu skor 

<24/30 berhubungan dengan peningkatan 

risiko delirium pascaoperasi.

Pada pasien dengan demensia harus 

dilakukan evaluasi menyeluruh untuk 

mencari etiologinya. Jika etiologi bersifat 

reversibel maka sebaiknya segera diatasi 

sebelum tindakan operasi. Namun jika 

etiologi bersifat ireversibel, maka pasien 

dan keluarganya harus diberi edukasi 

tentang kemungkinan terjadinya delirium 

pada pasien. Selain mengenali faktor risiko, jika terdapat obat-obat preoperasi yang memiiiki hubungan bermakna dengan kejadian delirium [Tabel 1), maka harus 

dihentikan untuk mencegah terjadinya 

delirium. Evaluasi pemberian obat 

ini  dilakukan terutama bila dikonsumsi oleh pasien lanjutusia dan pasien 

dengan gangguan fungsi kognitif.

Saat ini ada  beberapa instrumen 

untuk memprediksi delirium baik untuk 

operasi kardiak, nonkardiak, serta 

operasi ortopedi, yang dapat membantu 

untuk evaluasi neurologi preoperatif. 

Pada operasi kardiak, penskoran untuk 

menilai risiko delirium yaitu  sebagai 

berikut: a) nilai MMSE<24 (skor 2) dan 

nilai MMSE 24-27 [skor 1); b) riwayat 

stroke/TIA [skor 1); c) depresi [skor

1); dan d] kadar albumin <3 [skor 1). 

Jika total skor preoperatif pasien yaitu  

1 maka risiko relatif untuk mengalami 

delirium yaitu  2,4 kali dibandingkan 

pasien dengan skor 0 sebagai baseline.

Jika skor 2, risiko delirium 3,4 kali; dan 

jika skor >3 menjadi 4,9 kali lipat dari 

pasien normal.

Pada operasi nonkardiak, risiko delirium 

dapat dipredikasi dengan menggunakan Inouye's Risk Classification, menggunakan 4 parameter yang masing-masing 

diberi skor 1, yakni: gangguan penglihatan, 

kondisi penyakit dasar yang berat, adanya 

gangguan kognitif, dan gangguan fungsi 

ginjal [dapat dinilai dengan meningkatnya rasio blood urea nitrogen/kreatinin). 

Risiko delirium rendah bila total skor 0, 

risiko sedang bila total skor 1-2, dan risiko 

tinggi bila total skor 3-4. Pada pasien risiko 

tinggi, sesudah  dilakukan validasi kohort, 

kejadian delirium mencapai 32% dengan 

angka lcematian 42%.

Pada pasien dengan risiko tinggi delirium 

"atau pasien pascaoperasi yang mengalami 

delirium" dapat dilakukan upaya tata laksanapencegahan dengan intervensi nonfarmakologis [Tabel 2).

Pemberian obat-obatan untuk delirium 

sebaiknya hanya dilakukan pada kondisi 

agitasi berat yang dapat memicu  

gangguan perawatan dan mengancam 

keselamatan pasien. Antipsikosis atipikal 

seperti olanzapin atau quetiapin lebih 

dianjurkan dan dapat menjadi alternatif 

yang bermanfaat pada kondisi ini , 

mengingat efek samping ektrapiramidal 

yang minimal dibandingkan antipsikosis 

tipikal. Pada saat pulang, baik obat antipsikotik 

tipikal maupun atipikal harus dihentikan 

sebab  meningkatkan risiko mortalitas, 

terutama pada pasien demensia. Penggunaan obat golongan benzodiazepin dalam 

manajemen delirium harus benar-benar 

dihindari, kecuali pada kondisi khusus 

seperti efek putus alkohol, penyakit Parkinson, Demensia badan Lewy, neuroleptic

malignant syndrome (NMS), atau pasien 

dengan epilepsi intraktabel.

2 . K ejang

Kejang yaitu  salah satu komplikasi 

perioperatif yang paling dihindari sebab  

akan mengaldbatkan prognosis yang 

buruk. Angka kejadian kejang perioperatif 

nonbedah saraf berkisar antara 2-6%, 

sementara pada operasi bedah saraf 

antara 3% (padd operasi Frazier untuk 

masalah  trigeminal neuralgia) hingga 92% 

(pada masalah  operasi abses otak). 

berdasar  waktu kejadiannya, kejang 

pascaoperasi dibagi menjadi 3 kategori, 

yaitu immediate postoperative seizure

yang muncul dalam 24 jam pascaoperasi, 

early se/zure yang muncul dalam 1 minggu, 

dan late seizure yang muncul sesudah  1 

minggu pascaoperasi,

Faktor risiko yang meningkatkan kemungIdnan terjadinya kejang di antaranya yaitu  

yaitu  tumor otak, stroke, trauma kepala, 

gangguan metabolik, serta riwayat kejang 

atau epilepsi sebelumnya. Pada pasien yang 

pemah memiliki riwayat kejang, frekuensi 

kejang sebelum operasi berbanding lurus 

dengan angka kejadian kejang perioperatif. Oleh sebab  itu, pasien epilepsi memiliki risiko kejang perioperatif lebih tinggi 

dibandingltan pasien nonepilepsi, terutama 

pasien epilepsi dengan kejang yang tidak 

terkontrol sebelum operasi.

Dalam literatur disebutkan pula beberapa 

hal yang potensial menjadi pemicu  kejang 

pascaoperasi yakni gangguan elektrolit 

(hiponatremia, hipokalsemia), hipoksia, 

hipokarbia, hipoglikemia, asidosis, demam, 

pemakaian  obat-obatan (anestesi lokal, 

anestesi inhalasi, opioid, dan reaksi obat), 

kejang psikogenik, dan iskemik serebri 

baik fokal maupun global. Demildan pula 

beberapa faktor terkait operasi, seperti 

terganggunya terapi rumatan obat antiepilepsi (OAEJ sebab  pasien harus 

dipuasakan menjelang tindakan, adanya 

stres fisik dan psikologis akibat operasi, 

serta pemakaian  obat-obatan anestesi 

yang bersifat prokonvulsif.

Mengingat tingginya risiko kejang perioperatif pada pasien epilepsi, maka dianjurkan untuk mengkonsumsi OAE sesuai

jadwal rutin pengobatan, termasuk pada 

pagi hari menjelang operasi. Dengan persetujuan dokter bedah dan dokter anestesi, pasien dapat minum obat dengan 

sedikit air. Segera sesudah  operasi, OAE 

juga sebaiknya segera diberikan kernbali. jika pemberian secara enteral tidak 

memungkinkan, maka pemberian OAE intravena seperti fenitoin atau fenobarbital 

dapat dilakukan dengan dosis ekuivalen 

terhadap dosis oral yang biasa dikonsumsi.

Kejang perioperatif pada pasien epilepsi juga 

berhubungan dengan rendahnya kadar OAE 

dalam darah. Namun demikian, pemeriksaan 

kadar OAE rutin sebelum operasi tidak 

direkomendasikan, kecuali diperkirakan 

akan terjadi penghentian OAE lama atau 

altan terjadi perubahan kadar yang signifikan 

akibat adanya pengunaan obat-obat lain 

yang mempengaruhi kadar OAE. Obatobatan ini  antara lain antibiotik betalaktam yang mengurangi kadar valproat, 

atau obat golongan penyekat kanal kalsium 

dan penyekat beta yang menurunkan kadar 

fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, dan 

oksltarbazepin dalam darah.

OAE juga dapat memengaruhi obat yang 

rutin dikonsumsi pasien, sehingga akan 

meningkatkan risiko preoperatif. Sebagai 

contoh, valproat memiliki efek hematologi seperti trombositopenia, menginhibisi 

agregasi trombosit, dan mendeplesi kadar 

fibrinogen yang memicu risiko 

perdarahan pada pasien yang rutin mengkonsumsi antiplatelet dan antikoagulan. 

Oleh sebab  itu bila pasien mengkonsumsi 

valproat dan warfarin rutin, maka dianjurkan pemantauan INR secara ketat pada 

periode preoperatif. 

Selain efek epilepsi dan OAE terhadap 

operasi, operasi sendiri memilild dampak 

terhadap kejang. Beberapa jenis obat anestesi dapat memengaruhi ambang kejang 

pasien. Secara umum obatanestesi seperti 

etomidat dalam dosis rendah cenderung 

bersifat prokonvulsif, sementara dalam 

dosis tinggi justru bersifat antikonvulsif. 

Sebagai pengecualian yaitu  golongan 

opioid yang hanya bersifat prokonvulsif 

Namun demikian, studi menunjukkan 

bahwa sebagian besar kejang tidak berhubungan dengan jenis obat anestesi 

yang dipakai , namun terkait dengan 

kondisi dasar epilepsi pada pasien.

Dalam hal kejang pascaoperatif, literatur 

belum menyepakati indikasi pemberian 

dan jenis antikonvulsan yang dianjurkan. Sebagian besar menyarankan agar 

antikonvulsan diberikan pada pasien 

yang memang memiliki riwayat kejang sebelumnya, pasien yang mengalami kejang 

pascaoperatif, dan pasien yang memiliki risiko tinggi kejang seperti kondisi 

gangguan kesadaran jangka panjang, 

kontusio, dan perdarahan intraserebral. 

Pilihan antikonvulsan yang diberikan 

disesuaikan dengan kondisi klinis dan 

penyulit yang diderita oleh pasien.

3. Stroke

Stroke perioperatif berkaitan erat dengan 

masa rawat yang lebih lama serta morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Risiko kematian meningkat 8 kali lipat jika terjadi 

stroke perioperatif dengan insidens mencapai 26%. pemicu  stroke pada periode 

perioperatif umumnya yaitu  emboli, 

disusul hipoperfusi, dan yang lebih jarang

yaitu  infark hemoragik, emboli udara, 

dan lemak, emboli paradoksikal, serta diseksi arteri aldbat manipulasi daerah leher.

Secara umum, risiko stroke perioperatif 

sama dengan faktor risiko tradisional stroke 

pada populasi umum, seperti riwayat stroke 

sebelumnya, hipertensi, penyaldt jantung, 

dislipidemia, diabetes melitus, dan rokok. 

ada  pula faktor risiko tambahan, 

yakni jenis kelamin wanita, gangguan 

fungsi ginjal, penyaldt paru, penghentian 

obat antitrombotik preoperatif untuk 

pasien yang pemah mengalami stroke 

sebelumnya, serta komplikasi pascaoperasi 

seperti fibrilasi atrial dan hiperkoagulasi.

berdasar  jenis operasinya, risiko 

stroke perioperatif juga berbeda-beda, 

Risiko stroke pada operasi bedah umum 

rendah (0,08-0,7%), berbanding terbalik 

dengan risiko stroke pada operasi jantung, 

pembuluh darah, dan bedah saraf. Risiko 

stroke preoperatif pada operasi pembuluh 

darah karotis (carotid end-arterectomy/

CEA) dapat mencapai 6,1%, sementara 

pada tindakan coronary artery bypass

grafting (CABG) dan operasi katup dapat 

mencapai 8% pada pasien tanpa riwayat 

stroke serta 13% pada pasien yang pernah 

menderita serangan stroke atau transient

ischemic attack (TIA).

Pada pasien yang akan menjalani operasi 

CABG, ada  model untuk memprediksi 

risiko stroke yang terdiri atas 7 variabel 

preoperatif (Tabel 3 dan 4). Namun untuk 

operasi nonkardiak belum ada model 

prediktor seperti ini.

 

Evaluasi preoperatif pasien yang berisiko 

stroke mencakup anamnesis untukmenggali 

faktor risiko stroke, evaluasi jantung, dan 

pembuluh darah karotis, pencitraan otak 

dan pembuluh darah otak, dan evaluasi 

pengobatan terutama antitrombotik. Pada 

operasi elektif, dianjurkan untuk menunda 

tindakan sampai 6 bulan pascastroke atau 

TIA, mengingat waktu ini  yaitu  

waktu ideal yang dibutuhkan untuk 

stabilisasi kondisi hemodinamik dan status 

neurologis. Pertimbangan lainnya terkait 

dengan penurunan risiko stroke perioperatif 

menurut waktu, Risiko stroke preoperatif 

pada pasien yang barn terkena stroke 3 

bulan sebelumnya, lebih tinggi 67 kali lipat 

dibandingkan pada pasien tanpa riwayat 

stroke. Risiko ini  akan berkurang 

menjadi 24 kali, apabila operasi dilakukan 

3-6 bulan pascastroke.

Evaluasi jantung dan pembuluh darah 

karotis terkait dengan kebutuhan tindakan


revaskularisasi sebelum operasi. Pendekatan 

pada pasien stenosis karotis bergantung 

pada jenis operasi. Pada operasi bedah 

umum, tidak ada  rekomendasi untuk 

melakukan tindakan revaskularisasi karotis, 

baik dengan CEA atau carotid artery stenting

(CAS) sebelum operasi. Pada operasi 

jantung atau pembuluh darah, pendekatan 

preoperatif ditentukan pula berdasar  

ada tidaknya gejala stenosis ini 

Pada pasien dengan stenosis karotis yang 

simtomatik (memiliki riwayat stroke atau 

TIA dalam 6 bulan) dapat bermanfoat untuk 

mencegah stroke preoperatif jika dilakukan tindakan revaskularisasi karotis sebelumnya. Jika ada  indikasi urgent

untuk operasi jantung, tindakan operasi 

yang bersamaan atau simultan dapat 

dikerjakan, namun berisiko morbiditas lebih tinggi.

Pada masalah  stenosis karotis yang 

asimtomatik, pendekatan preoperatif

 disesuaikan dengan kondisi individual 

pasien, Adanya bruit yang asimtomatik 

tidak berhubungan dengan derajat 

beratnya stenosis dan bukan merupakan 

prediktor stroke preoperatif. Oleh sebab  

itu tindakan revaskularisasi karotis tidak 

dianjurkan pada pasien ini.

Pemeriksan pencitraan otak bertujuan 

untuk menyingldrkan ada tidaknya silent

infarct, yang akan menguatkan argumentasi 

perlu tidaknya revaskularisasi karotis sebelum operasi pada pasien dengan stenosis 

karotis. Selain itu, pemeriksaan pencitraan 

pembuluh darah otak, seperti Doppler transkranial (transcranial Doppler/ICQ) dan 

computed tomographic atau magnetic resonance angiography [CTA atau MRA], dapat 

dipakai  untuk membantu menilai ada 

tidaknya mikroemboli intrakranial, aliran 

darah intrakranial, serta dampak hemodinamik dari stenosis pembuluh darah 

karotis ekstrakranial.

Evaluasi obat antitrombotik [antiplatelet 

dan antikoagulan) preoperatif penting dilakukan, untuk menentukan apakah antitrombotik dihentikan atau diteruskan. 

Penghentian obat antitrombotik pada 

periode preoperatif akan meningkatkan 

risiko stroke, khususnya pasien dengan 

riwayat stroke dan penyakit jantung koroner. Sebaliknya, meneruskan antitrombotik berisiko perdarahan. Oleh sebab  

itu, penting untuk memperhatikan keseimbangan antara risiko perdarahan dan 

tromboemboli terkait pemakaian  antitrombotik. Hal ini  bersifat individual 

pada setiap pasien.

Secara umum berdasar  bukti ilmiah 

terkini, berkurangnya risiko stroke dan

kematian preoperatif lebih bermakna 

ketimbang risiko potensial perdarahan 

akibat pemakaian  antiplatelet dengan 

rekomendasi sebagai berikut:

® Pada sebagian besar operasi, seperti 

operasi dermatologi, gigi, dan katarak, 

direkomendasikan untuk meneruskan 

aspirin tunggal ataupun dual antiplatelet 

[kombinasi aspirin ldopidogrel).

® Pada operasi besar seperti CABG, 

dipertimbangkan penghentian antiplatelet.

© Penghentian antiplatelet tidak boleh 

lebih awal dari 5 hari sebelum tindakan. 

Reinisiasi antiplatelet dapat dilakukan 

segera, 6 jam sesudah  operasi untuk aspirin atau 24 jam sesudah  operasi untuk 

klopidogrel.

Adapun rekomendasi pengunaan antikoagulan warfarin preoperatif yaitu  sebagai 

berikut:

® Pada prosedur operasi gigi, katarak, 

artrosentesis, dan endoskopi diagnostik dengan atau tanpa biopsi direkomendasikan bahwa warfarin aman 

diteruskan. Bukti ilmiah juga mendukung tidak menghentikan warfarin 

pada prosedur invasif tertentu seperti 

kolonoskopi dan bedah minor.

® Pada operasi penggantian lutut atau 

panggul, warfarin dosis moderat dengan 

INR 1,8-2,1 aman dilanjutkan

® Pada operasi besar, direkomendasikan 

penghentian warfarin 5 hari sebelum 

tindakan dengan target INR<1,5 dan 

pemakaian  vitamin K untuk reversal 

dosis warfarin jika diperlukan 

Untuk mencegah risiko tromboemboli 

dan stroke pre dan perioperatif, dianjurkan bridging therapy dengan heparin 

intravena atau low-molecular-weight

heparin (LMWH] subkutan. Bridging

therapy dapat diberikan hingga 6-12 

jam sebelum tindakan operasi dan 

dilanjutkan pascaoperasi sebelum dihentikan kembali dan diganti dengan 

warfarin oral 24 jam pascaoperasi.

Data mengenai pemakaian  new oral

anticoagulant (NOAC], seperti golongan 

penghambat trombin langsung dan penghambat faktor Xa masih minimal. Lai dkk 

(2014) mengajukan algoritma manajemen 

NOAC preoperatif berdasar  risiko tindakan bedah yang akan dilakukan, yaitu:

® Pada prosedur dengan risiko minimal 

seperti prosedur dermatologi, dianjurkan menghentikan NOAC 18-24 

jam sebelum prosedur.

® Pada prosedur dengan risiko sedang, 

dianjurkan menghentikan NOAC >24 

jam sebelum prosedur.

• Pada prosedur dengan risiko tinggi, 

hentikan >48 jam sebelum prosedur.

® Reinisiasi NOAC dapat dilakukan selama kondisi hemostasis adekuat, 

yaitu 24 jam sesudah  tindakan dengan 

risiko minimal dan 48-72 jam sesudah  

tindakan dengan risiko tinggi.

® Bridging therapy dengan LMWH harus 

dipertimbangkan untuk pasien dengan 

risiko tinggi tromboemboli atau pasien 

yang akan menjalani prosedur yang 

berhubungan dengan imobilisasi jangka panjang.

KOMPLIKASI NEUROLOGIS PASCATRANSPLANTASI

Dalam 2 dekade terakhir, perkembangan 

dalam bidang transplantasi organ begitu 

signifikan. Teknik operasi serta manajemen preoperatif yang semakin baik, me* 

ningkatkan angka keberhasilan sekaligus 

mengurangi morbiditas dan mortalitas 

pascatransplantasi. Namun demikian, komplikasi neurologis pascatransplantasi masih 

umum dijumpai dengan morbiditas yang cukup bermakna, yaitu seldtar 10-59%. Komplikasi ini dildasifikasikan menjadi komplikasi 

yang bersifat umum pada seluruh masalah  tranplantasi dan komplikasi yang berhubungan 

dengan organ tranplantasi.

KOMPLIKASI NEUROLOGIS UMUM PADA

TRANSPLANTASI

Komplikasi umum transplantasi dapat 

berupa kejang, ensefalopati, infeksi oportunistik intrakranial, dan stroke. Komplikasi umum ini terkait erat dengan terapi imunosupresan yang dikonsumsi oleh pasien.

Kejang merupakan salah satu komplikasi tersering dengan faktor risiko utama 

yaitu  toksisitas imunosupresan, gangguan elektrolit dan osmolaritas akut, infeksi intrakranial, dan lesi iskemik/hemoragik. 

Pencegahan kejang dilakukan terutama 

dengan menjaga parameter metabolik 

dalam kondisi normal, sedangkan tata laksananya dengan pemberian OAE. Pilihan 

utama OAE pada kejang pascatransplantasi 

yaitu  fenitoin intravena, gabapentin, dan 

levetirasetam oral. Adanya interaksi antara 

antikonvulsan dan agen imunosupresan 

yang dikonsumsi pasien membutuhkan 

perhatian khusus, oleh sebab  itu amat di-

 

anjurkan pemantauan kadar fenitoin dan 

imunosupresan dalam darah.

Ensefalopati pascatranplantasi dapat 

terjadi akibat efek neurotoksik agen imunosupresan, gangguan metabolik, infeksi 

intrakranial, dan stroke. Tata laksananya 

mencakup manajemen elektrolit dan gula 

darah serta optimasi kadar imunosupresan 

untuk mencegah timbulnya kondisi ensefalopati berat berupa reversible posterior leukoencephalopathy maupun koma.

Infeksi oportunistik intrakranial terjadi pada 

5-10% masalah  transplantasi, dapat berupa infeksi bakteri, virus atau jamur akibat kondisi 

imunokompromais. Komplikasi ini umumnya terjadi 2-6 bulan pascatransplantasi dan 

memiliki angka mortalitas yang tinggi.

Komplikasi umum lainnya yaitu  stroke. 

Namun hal ini jarang terjadi, kecuali pada 

transplantasi ginjal dan hati. Stroke dapat 

terjadi sebab  adanya endokarditis bakterial, hiperkoagulasi, aterosklerosis, vaskulitis maupun aritmia, serta akibat lepasnya 

emboli dari karotis atau pembuluh darah 

intrakranial. Tata laksana pencegahan yang 

utama yaitu  dengan melakukan deteksi 

dan penanganan faktor risiko sebelum, selama, dan sesudah  transplantasi.

Demikian pula dapat muncul komplikasi neurotoksisitas yang berhubungan pemakaian  

imunosupresan golongan penghambat kalsineurin, seperti takrolimus dan siklosporin. 

Kedua obat ini merupakan vasokonstriktor kuat yang merangsang endotelin dan 

tromboksan serta memicu produksi reactive oxygen species yang berlebihan. Vasokonstriksi ini  juga memicu 

gangguan mikrovaskular di otak dan kerusakan sawar darah otak (blood brain barrier). Adapun gejalanya dapat ringan (28%}, 

seperti tremor, neuralgia, dan neuropati perifer, 

atau berat (5%} seperti psikosis, halusinasi, 

kebutaan, kejang, ataksia serebelar, kelemahan 

motorik dan leukoensefalopati.

Tata laksana komplikasi ini dengan mengoreksi 

elektrolit, mengatasi hipertensi, mengurangi 

dosis obat, dan mengganti takrolimus menjadi 

siklosporin atau sebaliknya. Terapi kombinasi 

dengan mycophenolate mofetil dapat membantu mengurangi dosis takrolimus atau 

siklosporin.

Neurotoksisitas juga dapat terjadi pada penggunaan kortikosteroid (3-4% ) yang bersifat 

reversibel dengan pengurangan dosis atau 

penghentian kortikosteroid. Komplikasi neurologis yang umum yaitu  gangguan perilaku, 

mencakup confusion, gangguan mood, kondisi 

manik, dan reals! psikosis.

KOMPLIKASI NEUROLOGIS TRANSPLANTASI TERKAIT SPESIFIK ORGAN

Komplikasi neurologis pascatransplantasi 

dapat bersifat spesifik organ. Misal, komplikasi pascatransplantasi paru umumnya 

kejang, ensefalopati, nyeri kepala, depresi, 

dan stroke. Pada transplantasi jantung, 

ginjal dan hati, komplikasi neurologis akan 

berbeda.

Komplikasi neurologis tersering pascatransplantasi jantung yaitu  stroke (50-70%) 

dengan angka kematian 20%, Stroke yang 

terjadi dapat berupa stroke iskemik, stroke 

hemoragik, ataupun stroke hemodinamik 

akibat henti jantung dan iskemia global 

berkepanjangan di otak