ior memberikan inervasi pada
otot ekstensor. Korda dan cabangnya terletak
infraklavikular. Penamaan pada korda berdasarkan letaknya terhadap arteri aksilaris.
Menurut letaknya terhadap klavikula, percabangan pleksus brakialis dibagi menjadi
pars supraklavikularis dan pars infraklavikularis. Yang termasuk percabangan pars
supraklavikularis yaitu N. Torakalis posterior, N. Subklavius, dan N. Supraklavikularis.
Pars infraklavikular is mempercabangkan:
Nn. Torakalis anterior, Nn. Subskapularis, N.
Torakodorsalis, N. Aksilaris [disebut N. Sirkumpleksus], N. Kutaneus brakii medialis,
dan N. Kutaneus antebrakii medialis.
Fasikulus lateralis mempercabangkan: N.
Muskulokutaneus dan radiks superior N.
Medianus. Fasikulus medialis mempercabangkan: N. Ulnaris, N. Kutaneus brakii medialis, N. Kutaneus antebrakii medialis, dan
radiks inferior N. Medianus. Fasikulus posterior mempercabangkan: N. Aksilaris dan
N. Radialis (Gambar 2],
Anatomi Pleksus Lumbosakral
Pleksus lumbal terbentuk dari radiks L1-L4
dan terletak di retroperitoneum di posterior
M. Psoas (Gambar 3). Pleksus lumbal membentuk beberapa nervus terminal, yaitu:
1. N. Iliohipogastrik dan N. Ilioinguinal
Kedua nervus ini terbentuk dari radiks LI dan berjalan melalui celah pelvis
untuk menginervasi M. Oblikus internal
dan M. Transversal. Nervus Uiohipogastrik menginervasi sensorik di abdomen
anterior bawah, sedangkan N. Ilioinguinal menginervasi sensorik area kulit di
atas ligamentum inguinal, tungkai atas
medial rostral, dan bagian atas skrotum (pada laki-laki) atau labia (pada
perempuan).
2. N. Femoral is
Nervus ini berasal dari ramus radiks
dorsalis L2-L4, berjalan melalui pelvis
dan keluar di bawah ligamentum inguinal.
Nervus Femoralis menginervasi M. Iliopsoas, M. Pektineus, M. Sartorius, dan M.
Kuadriseps femoris. Cabang sensoriknya
menginervasi tungkai bawah sisi medial
(N. Safena) dan tungkai atas sisi anteromedial (N. Kutaneus medial dan intermediate).
3. N. Obturator
Nervus ini terbentuk dari rami radiks
ventralis L2-L4. Nervus ini turun
melalui pelvis dan keluar melalui foramen obturator untuk menginervasi M.
Aduktor longus, M. Aduktor brevis, M.
Aduktor magnus, dan grasilis serta sensorik area tungkai atas medial.
4. N. Genitofemoralis
Nervus ini berasal dari radiks L1-L2, turun melalui pelvis kemudian pada ligamentum inguinal medial bercabang menjadi cabang genital dan femoral. Cabang
genital menginervasi M. Kremaster dan
sensorik di skrotum bagian bawah atau
labia. Cabang femoral menyuplai sensorik di trigonum femoral.
5. N. Kutaneus Femoralis Lateral
Nervus yang murni hanya serabut sensorik ini berasal dari radiks L2-L3 yang
keluar di lateral M. Psoas kemudian menyilang secara oblik melalui ligamentum
inguinal menuju spina iliaka superior
anterior. Nervus ini kemudian bercabang menjadi cabang anterior dan posterior untuk menyuplai sensorik pada
tungkai atas bagian anterior dan medial.
Pleksus lumbosakral bagian bawah mayoritas terbentuk dari radiks L5-S3 dan tambahan
komponen dari L4. Komponen L4 bergabung
dengan radiks L5 untuk membentuk trunkus
lumbosakral yang kemudian berjalan turun
di bawah pelvic outlet untuk bergabung dengan pleksus sakral.
Pleksus lumbosakral bagian bawah akan
membentuk saraf-saraf terminal, yaitu
(Gambar 5):
1. N. Skiatik
Nervus ini berasal dari radiks L4-S3 dan
keluar dari pelvis melalui greater sciatic
foramen. Nervus ini menginervasi otot
hamstring, semimembranosus, semitendinosus, biseps femoris, aduktor
magnus divisi lateral, dan seluruh otot
yang diinervasi oleh nervus peroneus
dan tibialis. Area sensorik yang diinervasi yaitu seluruh area tungkai bawah,
kecuali bagian medial yang sensoriknya
diperantarai oleh N. Safena.
2. N. Gluteus Superior
Nervus ini berasal dari radiks L4-S1
dan menginervasi M. Tensor fasia latae,
M. Gluteus medius, dan M. Gluteus minimus.
3. N, Gluteus Inferior
Nervus ini berasal dari radiks L5-S2 dan
menginervasi M. Gluteus maksimus.
4. N. Kutaneus Posterior Tungkai Atas
Nervus ini berasal dari radiks S I-S3
(terutama S2] dan memperantarai
sensorik area bokong bagian bawah
dan tungkai atas sisi posterior. Trauma
pada N. Skiatika biasanya juga mencederai nervus ini.
ETIOLOGI
Lesi pada pleksus brakialis dapat dipicu antara lain:
1, Trauma
Merupakan penyebab terbanyak lesi
pleksus brakialis, dapat terjadi pada segala usia baik dewasa maupun neonatus,
dapat berupa cedera tertutup, cedera terbuka, ataupun cedera iatrogenik.
2. Tumor
Dapat berupa tumor neural sheath (neuroblastoma, schwannoma, malignant
peripheral nerve sheath tumor, dan meningioma] atau tumor nonneural yang
jinak (desmoid, lipoma] maupun maligna
(kan-ker payudara dan kanker paru].
3. Cedera radiasi
Frekuensi cedera pleksus brakialis yang
dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak
1,8-4,9% dari lesi dan paling sering ditemukan pada pasien kanker payudara dan
paru yang mendapatkan terapai radiasi.
Penjepitan (Entrapment)
Cedera pleksus brakialis karena penjepitan dapat terjadi karena adanya abnormalitas pada struktur pleksus dan
jaringan sekitarnya, seperti pada thoracic
outlet syndrome. Postur tubuh dengan
bahu yang lunglai dan dada yang kolaps
memicu thoracic outiet menyempit
sehingga menekan struktur neurovaskular. Adanya iga aksesori atau jaringan fibrosa juga berperan menyempitkan thoracic outlet Falctor lain yaitu payudara
berulturan besar yang dapat menarik
dinding dada ke depan (anterior dan inferior]. Teori ini didukung dengan hilangnya
gejala setelah operasi mamoplasti reduksi. Implantasi payudara juga dikatakan
dapat memicu cedera pleksus brakialis karena dapat meningkatkan tegangan di bawah otot dinding dada dan mengiritasi jaringan neurovaskular.
5. Idiopatik
Pada parsonage turner syndrome terjadi
pleksitis tanpa diketahui penyebab yang
jelas namun diduga ada infeksi virus
yang mendahului. Manifestasi klasik yaitu
nyeri dengan onset akut yang berlangsung
selama 1-2 minggu dan diikuti dengan
kelemahan otot. Nyeri biasanya hilang secara spontan dan pemulihan komplit terjadi sekitar 2 tahun. Jarang terjadi kelumpuhan yang menetap.
Lesi pleksus lumbosakral dapat dipicu
oleh lesi kompresif dan nonkompresif. Lesi
kompresif meliputi perdarahan, neoplasma, endometriosis, kehamilan, traumatik,
pascaoperasi, aneurisma, dan sindrom kompartemen gluteal. Adapun lesi nonkompresif
meliputi amiotrofi diabetik (neuropati diabetik
proksimal), pleksopati radiasi, pleksitis lumbosakral idiopatik, vaskulitis, infeksi atau parainfeksi, dan terkait heroin.
1. Perdarahan
Perdarahan akibat pemakaian antikoagulan, ruptur aneurisma, maupun
hemofilia, yang terjadi di M. Psoas dapat
mengkompresi pleksus lumbal. Manifestasi
Minis terutama meliputi N. Femoralis dan
dapat juga meluas hingga N. Obturator dan
N. Kutaneus femoralis lateral.
2. Neoplasma
Pleksopati lumbosakral dapat dipicu oleh invasi tumor dari vesika urinaria, serviks, uterus, ovarium, prostat,
kolon, dan rektum. Implantasi jaringan
abnormal endometriosis pada pleksus
memicu pleksopati dengan gejala
intermiten dan mengenai pleksus lumbosakral bagian bawah. Limfoma dan
leukimia dapat secara langsung menginfiltrasi serabut saraf tanpa adanya massa
di sekitarnya.
3. Kehamilan dan Persalinan
Pleksopati lumbosakral pascapartus
disebut juga maternal peroneal palsy,
maternal birth palsy, neuritis puerperalis, atau maternal obstetric paralysis.
Pleksopati ini terjadi akibat penekanan
kepala bayi pada tulang pelvis dan pleksus lumbosakral, serta biasanya mengenai trunkus lumbosakral yang terbentuk
dari radiks L4-L5 (Gambar 5]. Trunkus
lumbosakral tidak terproteksi lagi oleh
M. Psoas saat melintasi pelvic outlet dan
terletak di sakrum dekat sendi sakroiliaka,
sehingga rentan terkompresi pada titik
ini . Pleksus yang akan bercabang menjadi N.
Gluteus superior juga dapat terkompresi.
Nervus Skiatik pars peroneal terletak di
posterior dan berdekatan dengan tulang,
sehingga juga rentan mengalami kompresi. Manifestasi Minis biasanya terjadi
dalam beberapa hari pascapartus. Faktor risiko meliputi kehamilan pertama,
disproporsi sepalopelvik, ukuran fisik
ibu kecil (tinggi badan kurang dari 5
kaki atau sekitar kurang dari 150cm),
dan proses persalinan yang lama. Prognosis pada sebagian besar kasus baik.
Mekanisme yang mendasari kerusakan
saraf yaitu iskemia aldbat kompresi
dan deformitas mekanik saraf yang menyebabkan demielinasi dan degenerasi
aksonal.
4. Trauma dan Pascaoperasi
Trauma pleksus lumbosakral umumnya
terjadi pada kasus kecelakaan yang melibatkan fraktur pelvis atau sakrum. Selain
itu, perdarahan dan avulsi radiks dapat
pula terjadi. Mayoritas kasus mengenai
pleksus bagian lumbal dan sakral walaupun dapat terjadi keterlibatan bagian
sakral saja. Distribusi kelemahan biasanya
lebih berat pada otot yang di-inervasi N.
Peroneus komunis dan N. Gluteus dibandingkan distribusi tibial dan N. Femoralis.
Pleksopati lumbosakral dapat pula terjadi
pascaoperasi, seperti operasi penggantian
panggul, koreksi fraktur femur atau asetabulum, operasi pelvis radikal, operasi
vaskular aorta, dan pemasangan alat pacu
jantung melalui vena femoralis.
5. Aneurisma dan Penyakit Pembuluh
Darah Besar
Ekspansi aneurisma arteri iliaka komunis,
iliaka internal, atau hipogastrik dapat secara
langsung mengkompresi pleksus lumbosakral. Hematom retroperitoneal dari kebocoran aneurisma juga dapat memicu
pleksopati. Etiologi ini dicurigai bila ada nyeri punggung atau tungkai disertai
massa pulsatil pada pemeriksaan fisik
6. Abses
Abses psoas atau paraspinal umumnya
dipicu oleh infeksi tuberkulosis, jarang
dipicu oleh bakteri nonspesifik Abses
perirektal yang ter jadi pascaoperasirektum
atau pada individu imunokompromi, dapat
memicu pleksopati sakral bilateral,
7. Sindrom Kompartemen Gluteal
Sindrom ini dipicu oleh trauma,
misalnya jatuh atau komplikasi pascaoperasi.
8. Amiotrofi Diabetik
Amiotrofi diabetik dikenal juga dengan
nama neuropati diabetik proksimal,
sindrom Bruns-Garland, mononeuritis multipleks diabetik, poliradikulopati
diabetik, atau neuropati radikulopleksus lumbosakral diabetik. Kelainan ini
biasanya mengenai pleksus dan radiks
lumbal. Patofisiologinya berupa vaskulitis yang akhirnya memicu iskemia,
dapat terjadi pada penyandang diabetes
(umumnya tipe II) lama. Manifestasinya
berupa nyeri dalam yang berat di pelvis
atau proksimal tungkai atas yang berlangsung selama beberapa minggu (sekitar 6
minggu). Saat nyeri mereda perlahan tampak kelemahan yang signifikan.
Amiotrofi diabetik biasanya melibatkan N.
Femoralis dan N. Obturator serta N. Peroneal. Pada banyakkasus amiotrofi ini terjadi
unilateral bersamaan dengan penurunan
berat badan. Sisi kontralateral dapat terkena
setelah beberapa minggu atau bulan sejak
gejala awal. Pemulihan seringkali baik,
tetapi berjalan lama dalam hitungan beberapa bulan hingga 1-2 tahun.
9. Pleksopati Radiasi
Terjadi akibat paparan radiasi yang didapat bertahun-tahun sebelumnya. Kelainan ini bersifat progresif lambat, disertai
nyeri minimal. Temuan karakteristik pada
pemeriksaan elektromiografi (EMG) yaitu
fasikulasi dan miokimia. Miokimia tidak
didapatkan pada pleksopati akibat invasi
langsung.
10. Pleksitis Lumbosakral Idiopatik
Patologi yang mendasari belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan berupa inflamasi yang terjadi beberapa minggu
setelah kejadian imunologis yang memicu, misalnya infeksi saluran nafas atas
atau imunisasi. Manifestasi klinisnya
berupa nyeri dalam yang berat di pelvis
atau tungkai atas selama 1-2 minggu
hingga berbulan-bulan, lalu defisit neurologis timbul setelah nyeri mereda.
Perjalanan penyakit ini monofasik tetapi
dapat juga men jadi progresif. Tata laksananya berupa pemberian steroid atau
agen imunosupresan.
11. Vaskulitis
Manifestasi klinisnya berupa nyeri hebat,
kelemahan, dan defisit sensorik yang
melibatkan satu atau lebih regio ekstremitas bawah. Pemeriksaan penunjang
yang mendukung berupa laju endap
darah, antibodi antinuklear, faktor reumatoid, kadar komplemen, antibodi sitoplasmik antineutrofil, hitung eosinofil,
dan biopsi saraf. Biopsi saraf menunjukkan inflamasi transmural, nekrosis dinding
vaskular, dan degenerasi akson.
12.lnfeksi atau Parainfeksi
Infeksi langsung atau secara tidak langsung melalui mekanisme autoimun
dapat memicu pleksopati lumbosakral. ada kasus pleksopati lumbosakral setelah infeksi Epstein-Barr
virus (EBV] klinis disertai bukti serologis
dengan peningkatan limfosit dan protein
pada cairan serebrospinal. Infeksi lainnya yaitu infeksi Lyme, Borellia burgdorferi, West Nile, dan herpes zoster.
13.Terkait Heroin
Patofisiologi yang mendasarinya kemungkinan yaitu efek toksik langsung
heroin yang memicu pleksopati
lumbosakral dan brakialis. Onset gejala
terjadi sekitar 36 jam setelah injeksi
heroin dengan gejala nyeri hebat disertai
kelemahan atau defisit sensorik ringan.
Nyeri mereda dalam beberapa minggu
dengan onset pemulihan defisit motorik
yang lebih lama.
PATOFISIOLOGI
Mekanisme yang memicu pleksopati
cukup beragam, terdiri dark 1) proses regangan [stretch], 2) laserasi, dan 3) kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan
jarak antara titik yang relatif terfiksasi pada
fasia prevertebral dengan pertengahan
lengan atas atau ekstremitas bawah akan
memicu traksi. Traksi yang melebihi
kapasitas regangan saraf yang dikontribusi
oleh jaringan kolagen pada selubung saraf
memicu cedera regangan dan bahkan memicu hilangnya kontinuitas
total pada saraf (avulsi). Traksi juga dapat
memicu iskemia pada jaringan saraf.
Laserasi atau robekan saraf ini dapat terjadi misalnya pada kasus trauma benda
tajam. Pada kompresi terjadi gangguan
fungsional akibat kompresi mekanik pada
saraf dan iskemia. Kompresi yang berat
dapat memicu hematom intraneural, dan kemudian akan menjepit jaringan
saraf sekitarnya.
Derajat Kerusakan
Derajat kerusakan pada lesi saraf perifer
dapat dibagi berdasarkan klasifikasi Sheddon (1943) dan Sunderland (1951).
Klasifikasi Sheddon yaitu sebagai berikut:
1. Neuropraksia
Pada tipe ini terjadi kerusakan mielin,
namun akson tetap intak. Dengan adanya
kerusakan mielin dapat memicu
hambatan konduksi saraf. Pada tipe
cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan
struktur terminal, sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan
derajat kerusakan paling ringan.
2. Aksonotmesis
Terjadi kerusakan akson namun semua
struktur selubung saraf termasuk endoneural masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari
lesi (degenerasi Wallerian]. Regenerasi
saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi ini .
Pemulihan sensorik cukup baik bila
dibandingkan motorik.
3. Neurotmesis
Merupakan derajat kerusakan paling
berat, berupa ruptur saraf yang menyebabkan proses pemulihan sangat sulit
terjadi meskipun dengan penanganan
bedah. Dibutuhkan waktu yang lama dan
biasanya pemulihan yang terjadi tidak
sempurna.
Klasifikasi Sunderland lebih merinci kerusakan saraf yang terjadi dan membaginya
dalam 5 tingkat (Tabel 1 dan Gambar 7).
Pleksopati diabetik diperkirakan akibat
mikrovaskulitis inflamasi yang menyebabkan cedera saraf iskemik. Pada biopsi saraf
tampak tanda vaskulitis, inflamasi, nekrosis vaskular, serta infiltrasi limfosit B dan
T, makrofag, sel polimorfonuklear, dan deposisi komplemen, hilangnya serabut saraf fokal
dan multifikal, serta penebalan perineural
dan neovaskularisasi perineural. Diabetes
memicu abnormalitas sawar darahsaraf, sehingga rentan terjadi vaskulitis. Deposisi kompleks imun akan semakin merusak
sawar darah saraf ini dan meningkatkan vaskulitis, sehingga terjadi oklusi pembuluh darah epineural dan perineural dengan
hasil akhir iskemia dan infark.
Terjadinya pleksopati radiasi tergantung
pada dosis total, dosis fraksi, teknik radiasi,
kemoterapi yang menyertai radiasi, dan
pemakaian brakiterapi intrakavitas. Radiasi
dapat memicu defisiensi mikrosirkulasi yang memicu iskemia lokal dan fibrosis jaringan lunak, serta perubahan pada
sel Schwann, fibroblas endoneural, sel dinding pembuluh darah, dan sel perineural
GEJALA DAN TANDA KUNIS
Gejala yang timbul umumnya unilateral
berupa kelainan motorik, sensorik dan autonom pada ekstremitas. Gambaran Minis
yang ditemukan dapat menunjukkan letak
dan keparahan lesi.
Pleksopati Brakialis
Lesi pleksus brakialis dapat mengenai mulai
dari otot bahu sampai tangan, atau hanya sebagian, yang dibagi atas pleksopati supraMavikular dan pleksopati infraklavikular.
t. Pleksopati Supraklavikular
Pada pleksopati supraklavikular lesi terjadi di tingkat radiks atau trunkus saraf,
atau kombinasinya. Lesi ditingkat ini
dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi
dibanding lesi infraklavikular. Pleksopati
supraklavikular sering dipicu oleh
karena trauma, yaitu terjadi fleksi dari
leher terhadap bahu, sehingga radiks
mengalami tarikan antara leher dan
Erb's point. Jenis lesi ini memberikan
gambaran yang khas disebut deformitas
waiters yang ditandai dengan kelemahan
pada otot-otot rotatoar bahu, otot-otot
fleksor lengan, dan otot-otot ekstensor
tangan.
a. Lesi tingkat radiks
Pada lesi pleksus brakialis ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran
klinis sesuai dengan dermatom dan
miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat
terjadi paralisis parsial dan hilangnya
sensorik inkomplit, karena otot-otot
tangan dan lengan biasanya dipersarafi oleh beberapa radiks.
b. Sindrom Erb-Duchenne
Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6)
atau trunkus superior dan biasanya
terjadi akibat trauma. Pada bayi terjadi
karena penarikan kepala saat proses
kelahiran dengan penyulit distonia
bahu, sedangkan pada orang dewasa
terjadi karena jatuh pada bahu dengan
kepala terlampau menekuk ke samping.
Presentasi Minis pasien berupa waiter's
tip position, yaitu lengan berada dalam
posisi aduksi [kelemahan otot deltoid
dan supraspinatus), rotasi internal pada
bahu (kelemahan otot teres minor dan
infraspinatus), pronasi (kelemahan
otot supinator dan braldoradialis), dan
pergelangan tangan fleksi (kelemahan
otot ekstensor karpi radialis longus
dan brevis). Selain itu ada pula
kelemahan pada otot biseps brakialis,
brakialis, pektoralis mayor, subskapularis, romboid, levator skapula, dan
teres mayor. Refleks biseps biasanya
menghilang, sedangkan hipestesi ter-
jadi pada bagian luar (lateral) dari lengan atas dan tangan.
c. Sindrom paralisis Klumpke
Lesi di radiks servikal bawah (C8, T l)
atau trunkus inferior akibat penarikan
bahu, sehingga terjadi tarikan pada
bahu. Keadaan ini sering terjadi pada
bayi saat dalam proses kelahiran atau
pada orang dewasa yang akan terjatuh
dan berpegangan pada pada 1 lengan.
Presentasi klinis berupa kelemahan
pada otot-otot di lengan bawah, otototot tangan yang khas disebut dengan
deformitas clawhand, sedangkan fungsi
otot gelang bahu baik. Selain itu juga
ada kelumpuhan pada otot fleksor karpi ulnaris, fleksor digitorum,
interosei, tenar, dan hipotenar sehingga
tangan terlihat atrofi. Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi N.
Medianus dan N. Ulnaris. Kelainan
sensorik berupa hipestesi pada bagian
dalam atau sisi ulnar dari lengan dan
tangan.
d. Lesi di trunkus superior
Gejala klinisnya sama dengan sindrom
Erb di tingkat radiks dan sulit dibedakan. Namun pada lesi di trunkus superior tidak didapatkan kelumpuhan
otot romboid, seratus anterior, levator skapula, dan saraf supraspinatus
serta infraspinatus. ada gangguan sensorik di lateral deltoid, aspek
lateral lengan atas, dan lengan bawah,
hingga ibu jari tangan.
e. Lesi di trunkus media
Sangat jarang terjadi dan biasanya
melibatkan daerah pleksus lainnya
(trunkus superior dan/atau trunkus
inferior). Gejala klinis berupa kelemahan otot triseps dan otot-otot yang dipersarafi N. Radialis (ekstensor tangan), serta kelainan sensorik biasanya
terjadi pada dorsal lengan dan tangan.
f. Lesi di trunkus inferior
Gejala klinisnya yang hampir sama
dengan sindrom Klumpke di tingkat
radiks. ada kelemahan pada otototot tangan dan jari-jari terutama untuk
gerakan fleksi, serta kelemahan otototot spinal intrinsik tangan. Gangguan
sensorik terjadi pada aspek medial
dari lengan dan tangan.
2. Lesi Pan-supraklavikular (radiks C5-
T1 atau semua trunkus)
Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh
otot ekstremitas atas, defisit sensorik
yang jelas pada seluruh ekstremitas atas,
dan mungkin ada nyeri. Otot romboid, seratus anterior, dan otot-otot spinal mungkin tidak lemah tergantung dari
letak lesi proksimal (radiks) atau lebih
ke distal (trunkus).
3. Pleksopati Infraklavikular
Terjadi lesi di tingkat fasikulus dan/
atau saraf terminal. Lesi ini jarang terjadi dibanding supraklavikular, namun
umumnya mempunyai prognosis lebih
baik. Penyebab utama pleksopati infraklavikular biasanya yaitu trauma tertutup (kecelakaan lalu lintas/sepeda motor)
maupun terbuka (luka tembak). Mayoritas disertai oleh kerusakan struktur
didekatnya (dislokasi kaput humerus,
fraktur klavikula, skapula, atau humerus).
Gambaran klinis sesuai dengan letak lesi,
yaitu:
a. Lesi di fasikulus lateral
Dapat terjadi aldbat dislokasi tulang
humerus. Lesi disini akan mengenai daerah yang dipersarafi oleh N.
Muskulokutaneus dan sebagian dari
N. Medianus. Gejala klinisnya yaitu
kelemahan otot fleksor lengan bawah
dan pronator lengan bawah, sedangkan otot-otot intrinsik tangan tidak
terkena. Kelainan sensorik terjadi di lateral lengan bawah dan jari tangan I—III.
b. Lesi di fasikulus medial
dipicu oleh dislokasi bursa subkorakoid dari humerus. Kelemahan
dr ' gejala sensorik terjadi di daerah
motorik dan sensorik N. Ulnaris. Lesi
disini akan mengenai seluruh fungsi
otot intrinsik tangan, seperti fleksor,
ekstensor, abduktor jari-jari tangan,
dan fleksor ulnar pergelangan tangan.
Secara keseluruhan kelainannya
hampir menyerupai lesi di trunkus
inferior. Kelainan sensorik terasa pada
lengan atas dan bawah medial, tangan,
dan 2 jari tangan bagian medial.
c. Lesi di fasikulus posterior
Lesi ini jarang terjadi, gejala klinis
berupa kelemahan dan defisit sensorik di area inervasi N. Radialis. Otot
deltoid (abduksi dan fleksi bahu),
otot-otot ekstensor lengan, tangan, dan
jari-jari tangan mengalami kelemahan.
Defisit sensorik terjadi pada daerah
posterior dan lateral deltoid, aspek
dorsal lengan, tangan, dan jari-jari
tangan.
Pleksopati Lumbosakral
Nyeri merupakan manifestasi yang paling
umum ditemukan pada pleksopati lumbosakral dan merupakan keluhan yang paling
sering mengganggu. Nyeri dapat terlokalisir
di daerah panggul, bokong, dan paha proksimal dengan penjalaran ke daerah tungkai.
Pada pemeriksaan fisik beberapa gerakan
dapat memicu nyeri. Straight leg test
atau tes Laseque dapat memicu nyeri
pada pleksopati sakral, sementara reversed
straight leg test dapat memicu nyeri
pada pleksopati lumbal. Berbeda dengan
lesi radiks, nyeri pada pleksopati tidak bertambah dengan batuk atau mengedan. Nyeri
pinggang dapat muncul namun minimal.
Manifestasi klinis pleksopati lumbosakral
tergantung dari struktur yang terkena dan
secara umum dibagi menjadi:
1. Pleksopati Lumbal
Pleksopati lumbal memicu defisit
neurologis pada teritori N. Iliohipogastrik, N. Genitofemoral, N. Ilionguinal, N.
Femoral, dan N. Obturator. Gambaran
klinis berupa kelemahan pada fleksi panggul, ekstensi lutut, dan adulcsi tungkai atas.
Gangguan sensorik dapat terjadi di abdomen bagian bawah, inguinal, tungkai atas
sisi medial, lateral, dan anterior serta
tungkai bawah sisi medial. Refleks patela
menurun atau menghilang.
2. Pleksopati Sakral
Pada pleksopati sakral tampak defisit
neurologis pada teritori N. Gluteus, N.
Skiatik, N. Tibial, dan N. Peroneus sehingga ada defisit motorik pada ekstensor panggul, abduktor panggul, fleksor
lutut, fleksor plantar kaki, dan dorsofleksor kaki. Defisit sensorik meliputi tungkai atas sisi posterior, tungkai bawah sisi
anterolateral dan posterior, serta hampir
seluruh kaki. Refleks patela normal, sedangkan refleks Achilles menurun atau
menghilang.
diagnosa
diagnosa pleksopati ditegakkan berdasarkan
anamnesis yang mencakup waktu onset, waktu
timbulnya gejala. Pemeriksaan frsik umum
seperti posisi leher, bahu lengan, panggul,
tungkai, tanda-tanda fraktur, serta pemeriksaan neurologi yang teliti meliputi penilaian
kekuatan motorik pada flap segmen miotom
dan sensorik pada setiap segmen dermatom.
Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang dilakukan berdasarkan klinis yang di dapatkan, seperti:
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu disesuaikan dengan etiologi yang diperldrakan, antara lain laju endap darah, glukosa, HbAlc,
dan penanda infeksi,
2. Radiologi
a. Rontgen sendi bahu, servikal, pelvis,
untuk melihat struktur tulang dan
sendi.
b. MRI bahu, leher, pelvis, dan pleksus.
3. Elektrodiagnosa
Pemeriksaan elektrodiagnosa merupakan
pemeriksaan yang sangat berperan dalam
menentukan letak lesi, derajat keparahan,
dan prognosflk. Pemeriksaan berupa: kecepatan hantar saraf motorik dan sensorik, gelombang F, serta EMG jarum.
pengobatan
pengobatan lesi pleksus sangat bervariasi,
beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi yaitu onset, derajat kerusakan, jenis lesi, dan penyebabnya.
1. Fase Akut
a. Istirahat, pada cedera pleksus brakialis
yang berat dapat dilakukann fiksasi
lengan yang mengalami kelumpuhan.
b. Kompres dingin, untuk mengurani
rasa nyeri dan edema yang mungkin
dapat terjadi.
a Penekanan atau kompresi bila ada
edema.
d. Elevasi ekstremitas yang terkena (lengan
atau kaki), akan mengurangi edema yang
terjadi pada ekstremitas yang terkena.
e. Medikamentosa, berupa steroid, obat
anti inflamasi non steroid, dan analgetik. Obat-obatan untuk nyeri neuropatik, misalnya antidepresan trisiklik, gabapentin, atau pregabalin dapat
membantu.
2. Fase Subakut atau Kronik
a. Mengatasi rasa nyeri
b. Fisioterapi:
Latihan memelihara lingkup gerak
sendi untuk mencegah kekakuan
pada sendi dan atrofi otot.
Ultrasound atau diatermi untuk
me-ngurangi rasa nyeri dengan
memicu vasodilatasi pembuluh darah dan menurunkan
spasme otot.
Transcutaneous electrical nerve
stimulation [TENS), memberikan
stimulasi listrik pada saraf, sehingga akan meng-aktivasi serabut
A-beta yang akan menginhibisi interneuron di medula spinalis. Selain
itu juga akan menginhibisi serabut
A-delta dan serabut C-delta.
Neuromuscular electrical stimulation
[NMES], dengan cara memberikan
stimulasi listrik pada otot, sehingga
menambah kekuatan dan memelihara massa otot yang lumpuh.
pemakaian ortosis pada lengan
yang lumpuh total bertujuan
untuk mempertahankan posisi,
mencegah subluksasi bahu, mengurangi kekakuan sendi, dan
sebagai kosmetik.
3. Pembedahan
Operasi dilakukan dengan tujuan untuk
mengembalikan anatomi dan fungsi dari
pleksus, pada beberapa kasus yang berat,
operasi dilakukan dengan tujuan utama
untuk mengembalikan fungsi fleksi atau
ekstensi sendi. Operasi biasanya dilakukan pada cedera pleksus yang berat dan
dilakukan 3-4 bulan setelah trauma.
Operasi tidak di anjurkan jika dilakukan
setelah 6 bulan karena umumnya tidak
memberikan hasil yang optimal. Jenisjenis operasi yang dilakukan:
a. Pembedahan primer
Bertujuan untuk memperbaiki saraf
yang cedera pada pleksus dan mempercepat proses reinervasi. Teknik
yang dipakai tergantung dari derajat keparahan lesi, ada beberapa
teknik yang biasa dilakukan, yaitu:
Neurolisis, membebaskan jaringan parut yang terjadi di sekitar
saraf.
Neuroma eksisi, dilakukan eksisi
pada saraf, kemudian saraf dilekatkan kembali atau dengan nerve
graft,
Nerve grafting
Neurotization, biasanya dilakukan
pada avulsi radiks, dilakukan penggantian saraf yang rusak dengan
memakai saraf lain. Saraf donor yang dapat dipakai yaitu
N. hiogosal, N. asesori spinalis, dan
saraf interkostal. Dapat juga dilakukan intraplexual neurotization, yaitu
donor diambil dari radiks yang masih melekat pada medula spinalis
sebagai penggati saraf yang rusak.
b. Pembedahan sekunder
Bertujuan untuk memperbaiki fungsi
agar optimal. Teknik yang dipakai ,
yaitu: tendon transfer, free muscle
transfers, serta joint fusions and rotational
4. pengobatan Lainnya Sesuai dengan
Etiologi Pleksopati
a. Pleksopati akibat perdarahan: koreksi
abnormalitas hemostasis dan drainase
hematom perkutan.
b. Pleksopati neoplastik: radioterapi,
kemoterapi, dan pembedahan.
c. Pleksopati akibat abses: drainase abses dan antibiotik.
d. Pleksopati diabetik: perbaikan kontrol
glikemik, intravenous immunoglobulin
(IVIG).
e. Pleksopati radiasi: antikoagulan untuk
memperbaild aliran darah akibat kerusakan endotel yang diinduksi radiasi
namun terapi ini belum memiliki
bukti ilmiah yang kuat.
f. Pleksitis idiopatik: steroid, IVIG.
g. Pleksopati vaskulitis: obat imunosupresan.
PROGNOSIS
Prognosis sangat tergantung dari letak dan
jenis lesi. Pemulihan pada avulsi dan ruptur
radiks yang dioperasi, kadang tidak dapat
sempurna dan membutuhkan waktu yang
lama. Pada cedera ringan yang memicu
jaringan sikatrik dan terjadi neuropraksia,
dapat terjadi pemulihan spontan, sekitar
90-100 % akan kembali normal.
PENDEKATAN diagnosa MIOPATI
Penyebab miopati sangat bervariasi mulai
dari kelainan kongenital dalam aspek kanal,
struktur, ataupun metabolism e otot, maupun akibat kelainan yang didapat (inflamasi,
autoimun, dan toksik). Setiap miopati memerlukan manajemen dan prognosis yang
berbeda, sehingga sangat penting ditegakkan diagnosa yang spesifik. Sebagian kasus
miopati yang memiliki pengobatan kausatif memiiki prognosis baik jika dikenali,
sebaliknya pada kasus lainnya yang tidak
berespons terhadap pengobatan, maka tata
laksana lebih ditekankan secara simtomatik
untuk meningkatkan kualitas hidup (paliatif).
EPIDEMIOLOGI
Angka pasti prevalensi miopati sulit diperkirakan, oleh karena masih jarangnya studi
epidemiologi berskala besar terhadap kelompok penyakit ini. Di Jepang ada
11,521 kasus dari 127 juta penduduk
sepanjang 2008-2013 yang mengalami
immune m ediated myopathy.
Berdasarkan laporan oleh Lefter [2016],
di Irlandia ada distrofi miotonik tipe I
sebanyak 6,75/100.000 penduduk; distrofi
muskularDuchenne (DMD) 3,0/100.000 penduduk; distrofi muskular Becker 2,2/100.000
penduduk; distrofi fasioskapulohumeral
2,59/100.000 penduduk; distrofi muskular
Hmb-girdle 2,88/100.000 penduduk; paralisis periodik 1,72/100.000 penduduk; miotonia kongenital 0,32/100.000 penduduk;
paramiotonia kongenital 0,15/100.000
penduduk; dan sporadic inclusion body myositis sebanyak 11,7/100.000 penduduk. Di
negara kita kasusnya juga tidak sedildt, namun
minimnya ketertarikan para klinisi maupun
akademisi untuk memperdalam ilmu ini, menyebabkan laporan kasusnya sulit didapatkan.
PATOFISIOLOGI
Untuk menegakkan diagnosa dan menentukan pengobatan yang tepat dibutuhkan pengetahuan patofisiologi kerusakan otot yang
terjadi. Dalam bab ini akan dibahas dua patofisiologi tersering, yaitu inflamasi dan distrofi.
Miopati yangdipicu oleh inflamasi sering
dikelompokkan ke dalam miositis, seperti polimiositis (PM), dermatomiositis (DM), dan
inclusion body myositis (IBM). Miopati yang
dipicu oleh distrofi biasanya dipicu
oleh kelainan genetik yang diturunkan.
1. Inflamasi
Penyebab inflamasi pada PM dan DM
yaitu autoimun (Gambar 1). Pada DM
target utama antigen yaitu endotel
pembuluh darah pada kapiler-kapiler
endomisial. Rantai imunopatologi ini diawali saat komplemen antibodi bekerja
terhadap sel endotel. Antibodi ini
akan mengaktivasi komplemen C3 yang
membentuk C3b dan C4b, kemudian ter-
bentuldah C5b-9 membrane attack complex (MAC], suatu komponen litik dari jalur
komplemen. Kemudian secara berurutan
terjadilah pembengkakan sel endotel diikuti valcuolisasi, nekrosis pembuluh darah
kapiler, inflamasi, perivaskular, iskemia,
dan kerusakan serabut otot. Pada akhirnya ada penurunan jumlah kapiler
perserabut otot diikuti kompensasi dilatasi kapiler-kapiler yang tersisa.
Selain itu, sel B, sel T (CD4+), dan makrofag juga berperan dalam patofisiologi
ini, Mereka masuk ke dalam otot Migrasi
sel-sel ini difasilitasi oleh vascular
cell adhesion molecule (VCAM) dan intercellular adhesion molecule (ICAM). Ekspresi
VCAM dan ICAM ini diregulasi oleh sitokin
yang dilepaskan oleh rantai komplemen.
Sel T dan makrofag diperantarai oleh integrin very late activation antigen (VLA)-4
; dan leucocyte function-associated antigen
(LFA)-l yang kemudian berikatan dengan
VCAM dan ICAM, lalu masuk ke dalam otot
; melalui dinding sel endotel,
2. Distrofi
Distrofi atau distrofinopati diawali oleh
mutasi gen distrofin Xp21.2 yang mengkode protein distrofin. Contoh klasik
kelainan ini yaitu penyakit distrofi
muskular Duchene (DMD) dan distrofi
muskular Becker (Becker muscular dystrophyj BMD)
Protein distrofin memilild empat ranah (domain) dan merupakan protein kompleks. Mutasi pada protein ini memicu kerusakan
(breakdown) pada keseluruhan struktur yang
kompleks dan penting, Kerusakan ini menyebabkan sarkolema, yang berfungsi sebagai
sawar antara sel otot dengan dunia luar layaknya membran sel, menjadi rapuh. Kontraksi
otot yang intensif atau bahkan yang biasa saja
untuk ukuran orang normal dapat menyebabkan kerapuhan sarkolema bertambah parah.
Kerapuhan ini memicu influks kalsium
yang berlebihan dan mempercepat kerusakan
serabut otot (Gambar 2).
Otot yang rusak memiliki kapasitas regenerasi yang terbatas. Sel-sel otot yang rusak
ini digantikan oleh sel-sel satelit yang terletak di antara lamina basal dan membran serabut otot. Sel-sel satelit ini berperan seperti
“stem-cell” yang dapat menumbuhkan sel-sel
otot dan meregenerasi serabut otot yang rusak. Seiring berjalannya waktu sel satelit ini
tidak dapat mengejar kerusakan yang terjadi
sehingga serabut-serabut otot yang rusak digantikan oleh jaringan ikat dan lemak.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
Langkah penegakan diagnosa miopati meliputi evdluasi klinis, pemeriksaan laboratorium dan elektrofisiologi, histopatologi,
dan pemeriksaan yang spesifik pada entitas
miopati tertentu. Untuk penentuan peme-
riksaan spesifik yang bersifat konfirmasi,
diperlukan penetapan diagnosa kerja dan
diagnosa banding melalui evaluasi klinis.
Pada prinsipnya miopati dibagi menjadi
miopati herediter dan miopati yang didapat.
Miopati yang herediter meliputi channelopathy, miopati kongenital, miopati metabolik,
miopati mitokondrial, distrofi muskular,
dan miotonia. Miopati yang didapat berupa
miopati yang diinduksi obat, miopati endokrin, miopati inflamasi, miopati terkait
penyakit sistemik, dan miopati toksik.
Secara umum miopati memberikan keluhan
berupa kelemahan otot, atrofi atau hipotrofi
otot, refleks regang otot menurun sedildt
atau menghilang pada derajat miopati yang
berat dengan pemeriksaan sensorik normal, ke-cuali ada komorbiditas neuropati. Untuk menegakkan diagnosa spesifik miopati ada beberapa aspek yang periu
diketahui, yaitu gejala negatif atau positif,
evolusi temporal penyakit, riwayat keluarga,
kondisi pencetus, gejala dan tanda lain yang
menyertai, serta distribusi otot yang terlibat Sintesis semua aspek ini akan
membantu mempersempit kemungkinan entitas miopati, sehingga dapat dipilih pemeriksaan penunjang yang tepat.
Tabel 1, Miopati dan Gejala Penyerta
1. Keluhan
Keluhan miopati dapat berupa gejala negatif
dan positif, yaitu kelemahan, mudah lelah,
intoleransi terhadap aktivitas, atrofi otot,
kram, kontraktur, hipertrofi otot, mialgia,
atau kekakuan (Tabel 1). Miopati yang berhubungan dengan metabolisme dan mitokondria abnormal dapat memicu
keluhan kelelahan/fatig setelah aktivitas.
Mialgia dapat muncul episodik pada
miopati metabolik atau muncul konstan misalnya pada miopati inflamasi.
Kelemahan atau mialgia episodik setelah
aktivitas dapat berkaitan dengan kejadian
mioglobinuria, sehingga periu ditanyakan
tentang warna urin pada anamnesis.
Kram otot dapat diprovokasi oleh aktivitas
pada miopati akibat defek enzim glikolitik
Miotonia biasanya diprovokasi oleh aktivitas atau paparan dingin misalnya pada
paramiotonia kongenital. Peningkatan konsistensi massa otot dapat dipicu oleh
fibrosis pada miopati kronik atau deposit
amiloid. Abnormalitas lainnya yang dapat
ditemui yaitu mioedema setelah perkusi
otot, yaitu berupa pembengkakan otot yang
berlangsung selama beberapa detik Mioedema ini dapat di-temukan pada miopati
akibat hipotiroid.
Hipertrofi otot dapat teijadi pada miotonia
kongenital, miopati akibat amiloidosis, sarkoidosis, dan hipotiroid. Pseudohip ertrofi
otot (akibat penggantian massa otot dengan
jaringan ikat dan lemak} terlihat pada
distrofi muskular Duchenne dan Becker,
distrofi muskular limb-gridle (LGMD 2C-F/
sarkoglikanopati], miopati Miyoshi, anoctamin-5 defect, LGMD 21 (fiilaitin-related protein), dan LGMD 2G (teletoninopati).
2. D is trib u s i O to t y an g T e rlib a t
Distribusi keterlibatan otot dapat dinilai
dengan pemeriksaan kekuatan otot persegmen, identifikasi aktivitas fungsional
yang terganggu yang terutama penting
pada anak, dan atrofi otot. Penilaian
kekuatan otot harus meliputi otot yang
berfungsi pada gerakan ekstensi, fleksi,
abduksi, aduksi, rotasi internal, dan rotasi
eksternal. Otot fleksor leher dinilai pada
keadaan supinasi, sedangkan ekstensor
leher dinilai pada posisi pronasi. Otot
yang diinervasi oleh nervus kranial juga
penting diperiksa. Kelemahan otot pada
miopati umumnya lebih terlihat pada
otot-otot proksimal, namun ada juga
yang melibatkan kelumpuhan otot-otot
distal dan wajah, yang dapat memberi petunjuk entitas miopati tertentu (Tabel 2).
Kelemahan pada otot pelvis memicu
kesulitan dalam menaild tangga, bangldt
dan lantai, atau bangkit dari posisi duduk
Kesulitan bangkit dari posisi duduk atau
berbaring tanpa bantuan eksremitas atas
menunjukkan kelemahan otot ekstensor
panggul. Tanda Gowers merupakan karakteristik yang terlihat pada kelemahan otot
proksimal, yaitu saat pasien berusaha bangkit dari posisi berbaring, awalnya bertumpu
pada tangan dan lutut, kemudian meluruskan ekstremitas bawah, melengkungkan
badan ke belakang, diikuti dengan menumpukan tangan pada lutut lalu paha sehingga dapat mengekstensikan trunkus
(Gambar 3}. Kelemahan otot kuadriseps
memicu kesulitan saat menurun
tangga dibandingkan menaiki tangga.
Pasien dengan kelemahan ekstremitas atas bagian proksimal mengalami kesulitan melakukan aktivitas yang memerlukan elevasi lengan
di atas level mata.
3. Onset dan Evolusi Gejala
Onset penyakit penting untuk mempersempit diagnosa banding miopati (Tabel 3).
Dermatomiositis dapat terjadi pada anakanak dan dewasa, sedangkan polimiositis
dan IBM banyak pada usia tua, DMD biasanya terdeteksi pada usia 3 tahun, sedangkan
FSH dan LGMD mulai terjadi gejala klinis
pada usia remaja atau lebih tua.
Kelemahan pada miopati dapat bersifat
konstan (misalnya pada miopati infiamasi
dan distrofi muskular) atau episodik yang
biasanya dipicu oleh miopati metabolik,
misalnya akibat gangguan jalur metabolisme
glikolisis. Kelemahan otot yang bersifat
konstan dapat terjadi pada onset akut atau
subakut [misalnya pada miopati infiamasi),
kronik progresif yang berlangsung bertahuntahun (distrofi muskular), atau nonprogresif
dengan sedilat perubahan selama dekade
(misalnya miopati kongenital).
Selain itu, perjalanan penyakit dapat monofasik atau relaps-remisi. Miopati dengan
perjalanan monofesik, misalnya pada rabdomiolisis akibat intoksikasi kokain. Perjalanan
penyakit paralisis periodik dan miopati metabolik biasanya bersifat relaps-remisi.
4 . F a k to r P en cetu s Keluhan
Hanya sebagian miopati yang memilild faktor pencetus yang dapat mengeksaserbasi
keluhan, sehingga faktor pencetus perlu
diidentifikasi (Tabel 4). Miotonia dapat dicetuskan dengan menginstruksikan pasien
untuk menggenggam jari secara maksimal
selama 15 detik kemudian melepaskannya
dengan segera. Pada miotonia, relaksasiterjadi lambat dan tampak gerakan otot yang
tidak Iancar saat melepas genggaman.
5. G ejala atari T anda Sistem ik Lainnya
diagnosa miopati dapatberdiri sendiri atau
disertai komorbiditas lainnya yang dapat
memberikan petunjuk mengenai penyebab
miopati ini , sehingga sangat penting
untuk mengeksplorasi keterlibatan sistem
organ lainnya (Tabel 5).
6. P en gg u n aan O bat
Obat-obatyangdapatmenyebablcanmiopati
toksik cukup banyak dan pemakaian nya
cukup luas pada berbagai penyakit yang
prevalensinya tinggi. Oleh karena itu perlu
diidentifikasi riwayat konsumsi obat untuk
mencegah kerusakan otot lebih lanjut dapat
dicegah [Tabel 6).
7 . R iw ayat P en yak it K elu arga
Sebagian miopati dipicu kelainan genetik yang dapat diwariskan dengan pola
pewarisan autosomal maupun terkait
kromosom X [Tabel 7). Untuk mendapatkan pola pewarisan, perlu dibuat pedigree
minimal 3 level, Riwayat keluarga yang
berkaitan dengan kelainan yang mungkin
berkaitan dengan miopati juga perlu di
digali, misalnya riwayat penyakit autoimun
dan reumatologis
Berdasarkan tufuh hal di atas maka dapat
dikenali 10 pola miopati yang dapat membantu menentukan kemungkinan diagnosa
miopati [Tabel 8).
diagnosa BANDING
diagnosa banding miopati yaitu penyakit motor neuron, gangguan taut saraf otot,
neuropati motorik, dan lesi sistem saraf
pusat.
Kelainan yang menyerupai miopati:
1. P en yak it M o to r N euron (Motor Neuron Disease)
a. Atrofi spinal muskular onset lambat
b. Atrofi muskular bulbospinal terkait
kromosom X (Penyakit Kennedy)
c. Atrofi muskular progresif (varian
sclerosis lateral amiotropik)
2. G angguan T au t S araf O tot
a, Sindrom miastenik Lambert-Eaton
b. Miastenia gravis dengan hanya keterlibatan limb-girdle
3. N europ ati M otorik
a. Neuropati perifer demielinasi (varian
motorik dari chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy), multifocal motor neuropathy dengan blok
konduksi
b. Neuropati porfiria yang melibatkan
serabut motorik proksimal
c. Amiotrofi diabetik
4. Lesi sistem s a r a f p u sa t
Stroke pada area watershed arteri serebri media-anterior bilateral.
Pemeriksaan Laboratorium
Konsentrasi kreatinin kinase (creatinine
kinase/CK) terbesar ada di otot skeletal dan otot jantung (berada dalam jumlah kecil di otak, usus dan paru-paru), serta
merupa-kan tes laboratorium rutin yang
bermanfaat untuk evaluasi kelemahan
pada penyakit neuromuskular. CK merupakan enzim sarkolema, sehingga kerusakan sarkomer akan meningkatkan permeabilitas membran dan terjadi kebocoran
enzim. Kadar CK biasanya meningkat ketika terjadi nekrosis serabut otot aktif, misalnya pada miopati inflamasi dan distrofi.
Peningkatan kadar CK pada penyakit
neuromuskular berkorelasi dengan massa otot yang mengalami kerusakan dan
mengeluarkan enzim ini (Tabel 9).
Namun kadarnya perlu diinterpretasi secara hati-hati dan mempertimbangkan
beberapa aspek, yaitu jenis kelamin, ras,
massa otot, status fisiologis, dan abnormalitas metabolik lainnya. Secara fisiologis kadar CK lebih tinggi pada laki-laki,
ras Afrika, neonatus, anak, peningkatan
massa otot, dan latihan fisik yang teratur
berkepanjangan.
Derajat peningkatan CK dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:
1. Tingkat Keparahan Penyakit
Penyakit dengan destruksi otot menyebakan peningkatan kadar CI< yang besar,
misalnya pada DMD dan rabdomiolisis
terjadi peningkatan CK hingga >100 kali
nilai normal.
2. Perjalanan Penyakit
Miopati progresif lebih cepat meningkatkan kadar CK, misalnya kadar CK jauh lebih tinggi pada polimiositis dibandingkan
FSHD atau IBM yang progresif lambat.
3. Massa Otot Absolut
Kadar CI< pada miopati tahap lanjut akan
menurun, misalnya kadar CK pada awal
onset DMD akan tinggi dan kemudian
menurun hingga ke kadar normal pada
tahap lanjut saat jaringan otot diganti
oleh jaringan fibrosis.
4. Nekrosis Serabut Otot
Miopati dengan sarkolema yang intak atau
tidak berkaitan dengan destruksi serabut
otot tidak memicu peningkatan CK.
Pemeriksaan enzim CK sebaiknya tidak dilakukan segera setelah pemeriksaan EMG,
karena pemeriksaan EMG dapat menyebabkan peningkatan ringan kadar CK (biasanya
1,5 kali nilai normal).
Pemeriksaan Elektro diagnosa
Walaupun diagnosa spesifik miopati memerlukan pemeriksaan histopatologi dan genetik,
pemeriksaan studi konduksi saraf, dan elektromiografi masih berperan penting. Pemeriksaan
studi konduksi saraf dan elektromiografi berperan dalam mengeksidusi kelainan lain yang
klinisnya menyerupai miopati, misalnya penyakit motor neuron, gangguan taut saraf otot,
dan neuropati yang murni melibatkan serabut
motorik. Gambaran elektromiografi (distribusi
keterlibatan otot, aktivitas spontan) juga dapat
mempersempit diagnosa banding miopati.
1. Pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf
(KHS)
Pada miopati pemeriksaan KHS sensorik
normal, kecuali bila terjadi koeksistensi
neuropati. Pemeriksaan KHS motorik biasanya normal karena KHS motorik urnumnya dilaltukan pada otot distal, sedangkan sebagian besar miopati mengenai otot
proksimal pada tahap awal. Pada keadaan
miopati tahap lanjut saat telah terjadi hipotrofi atau atrofi otot, amplitudo CMAP
dapat menurun. Latensi distal dan KHS motorik dalam batas normal.
2. Elektromiografi (EMG)
Pemeriksaan EMG akan menhasilkan analisis motor unit action potential (MUAP) yang
dapat membedakan lesi neurogenik dan
miogenik (Gambar 4], Gambaran MUAP
pada lesi miogenik yaitu MUAP berdurasi
pendek, amplitudo rendah, dan polifasik
Pada miopati kronik dapat diperoleh gambaran MUAP berdurasi panjang dan memilild
potensial satelit yang biasanya didapadtan
pada lesi neurogenik Pada keadaan miopati
tahap lanjut gambaran MUAP neurogenik
dan miogenik mungkin sulit dibedalcan. Pola
rekruitmen MUAP pada miopati yaitu early
recruitment, yaitu untuk menghasilkan
kontraksi otot yang minimal diperlukan banyak MUAP. Pada miopati tahap lanjut dapat
terjadi penurunan rekrutmen MUAP. Pada
miopati tertentu, misalnya miopati aldbat
steroid, perubahan miogenik pada MUAP
dapat sangat minimal atau bahkan normal.
Pemeriksaan EMG juga bermanfaat untuk
membantu pemilihan otot untuk sampel
histopatologi. Otot yang baik untuk pemeriksaan histopatologi yaitu otot yang terlibat dan tidak dalam keadaan kerusakan
tahap akhir.
Pemeriksaan Histopatologi
Pada sebagian besar miopati, pemeriksaan histopatologi memberikan informasi diagnostik
yang penting. Jika hasil EMG tidak dapat langsung memberikan diagnosa akhir miopati spesifik, maka pemeriksaan histopatologi dapat
memberikan arahan pemeriksaan lanjutan
yang spesifik Analisis histopatologi dapat
mengelompokkan miopati menjadi miopati inflamasi, miopati nekrosis, dan miopati distrofi.
bila gambaran histopatologi menunjukkan
miopati inflamasi, maka dapat dipertimbangkan diagnosa dermatomiositis, polimiositis,
atau inclusion body myositis. Ketiganya dapat
dibedakan dengan telrnik pewamaan histokimia dan imunologi tertentu (Gambar 5).
Beberapa miopati distrofi dapat menunjukkan gambaran inflamasi pada histopatologi.
Miopati dengan gambaran nekrosis biasanya
didapatkan pada miopati toksik walaupun
dapat juga ditemukan pada miopati akibat
autoimun. Sampel histopatologi sebaiknya
diambil dari otot kontralateral yang dilakukan pemeriksaan EMG dan skor kekuatan
otot 4. Pemeriksaan EMG dapat menyebabkan inflamasi transien yang dapat mengacaukan hasil pemeriksaan histopatologi.
Pemeriksaan Spesifik Lainnya
bila pemeriksaan histopatologi menunjukkan inflamasi maka dapat diperiksa panel-panel antibodi atau penanda inflamasi (Tabel 10).
Adanya panel antibodi atau inflamasi terkail
yang positif dapat menunjang diagnosa (spesifisitas cukup tinggi)
Pemeriksaan Genetik
Jika pada pemeriksaan histopatologi didapatkan gambaran miopati distrofi, maka
pemeriksaan genetik spesifik dapat ditentukan berdasarkan korelasi klinis atau fenotip.
Pada miopati distrofi dengan tampilan klinis
yangkhas (misalnya OPMD, DM1, atau FSH},
pemeriksaan genetik dapat ditentukan bahkan sebelum dilakukan pemeriksaan EMG
atau biopsi. Miopati limb-girdle sangat beragam dan sulit untuk menentukan diagnosa
yang spesifik hanya berdasarkan fenotip.
CONTOH KASUS
1. Seorang wanita usia 39 tahun datang
dengan keluhan kelemahan pada otototot paha. Kelemahan ini mulai dirasakan saat naik tangga sekitar 3 minggu
yang lalu. Kelemahan tidak dicetuskan
oleh sesuatu namun bersifat konstan
yang disertai nyeri pada otot, terutama di
lengan dan paha. Tidak ada riwayat
pemakaian obat atau penyakit keluarga
yang signifikan. Pasien memiliki riwayat
atopi dan alergi terhadap penisilin dan
udang. Pada pemeriksaan fisik kekuatan
motorik keempat ekstremitas menurun
walaupun asimetris, kekuatan otot lainnya baik. ada warna kemerahan
pada kulit di sekitar otot yang nyeri. Ditemukan Gottron's papules. diagnosa yang
paling mungldn pada kasus ini yaitu :
a. Facioscapulohumeral dystrophy (FSH)
b. Periodik paralisis hiperkalemia (PPH)
c. Myotonic dystrophy
d. Immune mediated myopathy (IMM)
e. Duchene atau Becker muscular dystrophy
Jawaban yang paling tepat yaitu D (Immune mediated myopathy).
IMM termasuk dermatomiositis (DM)
memiliki keterlibatan sistemikyaitu pada
kulit. FSH memiliki distribusi pada otototot wajah, skapula, dan lengan atas. PPH
dan myotonic dystrophy dicetuskan oleh
aktivitas. PPH biasanya aktivitas yang
belebihan, sedangkan myotonic dystrophy pada awal aktivitas dan dapat disertai pseudohipertrofi. DMD dan BMD
merupakan penyakit kongenital dan
biasanya pada laki-laki disertai keterlambatan fungsi motorik sefak usia dini.
Pada keduanya ditemukan tanda Gowers
yaitu membutuhkan bantuan tangan
saat akan berdiri dari jongkok.
2. Seorang laki-laki usia 26 tahun datang
dengan kaku otot-otot tangan. Kekakuan
dirasakan terutama pada pagi hari. Kadang
siang hari juga muncul namun lama kelamaan menghilang. Tidak ada penggunaan obat-obat yang signifikan ataupun
penyakit lainnya. ada keluarga yang
memiliki keluhan yang serupa. Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelemahan,
hipertrofi, maupun atrofi, namun ada
relaksasi tangan yang melambat saat diminta melepas genggaman tangan. Dari
ilustrasi ini , diagnosa banding yang
paling mungkin yaitu ;
a. LGMD tipe I
b. Miotonia
c. OPMD
d. Polimiositis
e. DMD
Jawaban yang paling tepat yaitu B
(miotonia).
Miotonia yaitu penyakit yang berkaitan
dengan genetik, dapat berupa autosomal
dominan maupun resesif. Ditandai dengan kram atau kaku yang dicetuskan dengan aktivitas. Distribusinya tidak spesifik.
LGMD memiliki distribusi yang khas di
otot-otot antara tubuh dan ekstremitas
(skapula, pelvis). OPMD memiliki distribusi pada otot-otot okular dan faringeal. Polimiositis merupakan penyakit
otot inflamasi, dapat disertai inflamasi
sistemik. DMD merupakan penyakit kongenital dengan gejala Minis dapat diketahui
sejak masa pertumbuhan.
MIASTEMIA GRAVIS 44
Miastenia gravis (MG) yaitu penyakit
autoimun yang ditandai dengan kelemahan
fluktuatif pada otot-otot ekstra okular, bulbar,
dan otot-otot proksimal. Kelemahan otot yang
terjadi akan memburuk saat beraktivitas
dan membaik setelah beristirahat. MG
dipicu oleh adanya autoantibodi pada
membran pascasinaps pada taut saraf otot
(neuromuscular-junction). Autoantibodi yang
banyak ditemukan pada serum pasien MG
yaitu antibodi terhadap reseptor asetilkolin.
Saat ini diketahui antibodi lain yang ada
pada pasien MG, yakni muscle-specific kinase
(MuSK) dan low-density lipoprotein receptorrelated protein (LRP4). Walaupun mekanisme
timbulnya autoimun pada MG masih belum
diketahui secara pasti, diduga beberapa faktor
berperan dalam terjadinya reaksi autoimun
ini , yaitu jenis kelamin, hormon, dan
kelenjar timus yang abnormal pada hampir
80% penderita MG.
EPIDEMIOLOGI
MG termasuk penyakit yang jarang.
Insidensnya hanya seldtar 1,7-21,3 per
1.000.000, dapat terjadi di semua usia dan
jenis kelamin, Dari beberapa penelitian
diketahui gambaran bimodal berdasarkan
jenis kelamin dan usia. Pada usia di bawah
atau sampai usia 50 tahun, lebih banyak
perempuan dengan rasio 7:3, sedangkan
pada usia di atas 50 tahun ditemukan lakilaki dengan rasio 3:2, Prevalensi paling
tinggi pada perempuan usia 20-30 tahun,
sedangkan laki-laki pada usia 60 tahun.
Dengan semakin meningkatnya kemampuan
diagnosa , terapi, dan umur harapan hidup,
prevalensi MG semakin meningkat, yaitu
15-179:1.000,000 dengan sekitar 10%-nya
yaitu usia anak-anak dan remaja. Risiko
ini akan meningkat sekitar 4,5% bila dalam
keluarga, saudara kandung, atau orang tua
memilild riwayat menderita MG atau penyakit autoimun lainnya.
ANATOMI DAN FISIOLOGI TAUT SARAF
OTOT
Akson sel neuron akan berakhir sebagai
akson terminal pada otot dan membentuk
motor end plate yang terdiri dari terminal
saraf atau membran presinaps, celah sinaps,
dan membran pascasinaps. Pada membran
pascasinaps ada beberapa macam protein, yaitu: reseptor asetilkolin, RATL, MusK,
Agrin, MASC, dan Rapsyn yang bekerja satu
sama lain melancarkan transmisi sinyal ke
reseptor asetilkolin (Gambar 1)
Saat potensial aksi yang dihantar oleh saraf
motorik mencapai terminal saraf akan timbul
depolarisasi yang membuka kanal kalsium di
membran presinaps, Terbukanya kanal kalsium akan mencetuskan pelepasan asetilkolin
[acetylcholin/ACh] ke celah sinaps dan selanjutnya berikatan dengan reseptor asetilkolin
0acetylcholin receptor/AChR). di membran
pascasinaps. Ikatan antara ACh dan AChR
akan memicu terbukanya gerbang
natrium pada sel otot, terjadi influks Na\ Influks Na+ ini akan memicu terjadinya
depolarisasi pada membran pascasinaps.
fika depolarisasi ini mencapai nilai ambang
tertentu {firing level], maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot ini . Potensial
aksi ini akan dipropagasikan [dirambatkan]
ke segala arah sesuai dengan karakteristik
sel eksitabel dan akhirnya akan memicu kontraksi.
ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase (AChE) yang ada dalam
jumlah yang cukup banyak pada membran
pascasinaps. ACh akan dipecah menjadi kolin dan asam laktat. Kolin kemudian masuk
ke dalam membran presinaps untuk membentuk ACh kembali. Proses hidrolisis ini
dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan
memicu kontraksi terus menerus.
Keberhasilan transmisi impuls pada taut
saraf otot tergantung dari:
Kepadatan reseptor asetilkolin pada
permukaan membran pascasinaps
Aktivitas asetilkolinesterase
Struktur dan jumlah lekukan pada
membran pascasinaps
Kelemahan otot yang terjadi pada MG dipicu oleh proses autoimun pada taut
saraf otot Faktor utama dan paling penting
dalam patofisiologi MG yaitu terbentuknya
autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin
(AChR) pada membran pascasinaps. Tedapat
tiga proses yang memicu gagalnya kontraksi otot akibat proses autoantibodi ini
(Gambar 2).
Antibodi yang melekat pada AChR akan mengaktifkan kaskade komplemen yang membentuk membrane attack compleks (MAC) yang kemudian menghancurkan AChR serta merusak
struktur lipatan-lipatan membran pascasinaps,
sehingga mengurangi luas permukaannya.
Akibatnya asetilkolin yang dapat berikatan dengan AChR pada membran pascasinaps menjadi jauh lebih sedildt (Gambar 2).
Antibodi yang berikatan pada dua AChR
akan mengaktifkan proses endositosis AChR,
sehingga terjadi degradasi AChR pada membran pascasinaps. Degradasi ini lebih cepat
daripada pembentukan AChR baru, sehingga
semakin menurunkan jumlah ACh yang berikatan dengan AChR.
Antibodi yang melekat pada AChR akan
memblok ACh, sehingga tidak dapat berikatan dengan AChR. Kompetisi antara autoantibodi dan ACh untuk dapat berikatan dengan
AChR akan semakin menurunkan jumlah
ACh yang berikatan dengan AChR.
Pada 85% pasien MG dapat ditemukan antibodi terhadap reseptor asetilkolin (antiAChR)
dalam darah. Namun ternyata tidak hanya
reseptor asetilkolin yang dapat menjadi antigen target proses autoantibodi pada MG.
ada struktur protein lain pada permukaan membran pascasinaps yang dapat
menjadi target antigen, seperti pada Gambar 1. Perkembangan terbaru menunjukkan sebagian pasien MG yang tidak mempunyai antibodi terhadap reseptor asetilkolin
ternyata memiliki antibodi terhadap MuSK
atau antibodi LRP4 yang merupakan bagian
dari struktur protein agrin.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Pada MG, kelemahan dan kelelahan terjadi berfluktuasi, tergantung pada aktivitas
pasien, sehingga dapat berbeda-beda setiap
waktu. Kelemahan memberat setelah aktivitas fisik yang be rat, kenaikan suhu tubuh,
dan lingkungan sekitar, serta akan berkurang
bahkan menghilang setelah istirahat Pada
sekitar 70% penderita MG, gejala awal yang
dialami yaitu keluhan pada mata yang asimetris, yang mengenai otot-otot ekstraokular,
berupa turunnya kelopak atas (ptosis) dan
penglihatan ganda (diplopia). Dari seluruh
tipe okular, sekitar 50% berkembang menjadi
tipe generalisata, yaitu kelemahan terjadi pada
otot-otot bulbar dan otot-otot proksimal, sedangkan seldtar 15% tetap sebagai tipe okular.
Gejala ldinis yang beratsering ditemukan pada
tahun pertama sampai tahun ketiga, jarang
sekali ditemui perbaikan ldinis yang sempuma
dan permanen.
Gejala ldinis MG dapat berupa:
1. Gejala Okular
Ptosis dan diplopia yang asimetris merupakan gejala okular yang paling sering
ditemukan. Gejala okular akan menetap
pada 10-16% pasien MG dalam masa
3 tahun pertama dan menjadi sekitar
3-10% setelah 3 tahun. Bila gejala okular
menetap sampai lebih dari 3 tahun, maka
sekitar 84% tidak mengalami perubahan
menjadi tipe general ataupun bulbar.
2. Gejala Bulbar
a. Disfoni dan disartria yang muncul
setelah berbicara beberapa lama,
sering terjadi pada onset pertama kali.
b. Disfagia (gangguan menelan) muncul
setelah penderita memakan makanan
padat. Penderita dapat mengalami kesulitan menggerakan rahang bawah saat
mengunyah makanan, sehingga harus
dibantu oleh tangan (tripod position).
c. Kelumpuhan otot-otot wajah sering tidak disadari oleh penderita, baru diketahui setelah orang lain melihat menurunnya ekspresi wajah atau senyumannya
tampak datar (myasthenic snarl).
3. L e h e r d a n E k s tr e m ita s
a. Leher terasa kaku, nyeri, dan sulit
untuk menegakkan kepala (dropped
head) akibat kelemahan pada otototot ekstensor leher.
b. Pada ekstremitas, kelemahan lebih
sering terjadi pada ektremitas atas
dan mengenai otot-otot proksimal
(deltoid dan triseps). Pada keadaan
yang berat, kelemahan dapat terjadi
juga pada otot-otot distal.
4. Gangguan Pernapasan, sering terjadi
pada MG tipe general. Penderita merasakan kesulitan menarik napas akibat
kelemahan otot-otot bulbar dan pernapasan.
Klasifikasi MG sangat penting untuk keberhasilan pengobatan dan terapi. ada
beberapa klasifikasi MG yang banyak digunakan, pada umumnya dibagi berdasarkan
gejala Minis, otot yang ter