Tampilkan postingan dengan label neurologi 23. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 23. Tampilkan semua postingan

neurologi 23












 ior memberikan inervasi pada 

otot ekstensor. Korda dan cabangnya terletak 

infraklavikular. Penamaan pada korda berdasarkan letaknya terhadap arteri aksilaris.

Menurut letaknya terhadap klavikula, percabangan pleksus brakialis dibagi menjadi 

pars supraklavikularis dan pars infraklavikularis. Yang termasuk percabangan pars 

supraklavikularis yaitu  N. Torakalis posterior, N. Subklavius, dan N. Supraklavikularis. 

Pars infraklavikular is mempercabangkan: 

Nn. Torakalis anterior, Nn. Subskapularis, N. 

Torakodorsalis, N. Aksilaris [disebut N. Sirkumpleksus], N. Kutaneus brakii medialis, 

dan N. Kutaneus antebrakii medialis. 

Fasikulus lateralis mempercabangkan: N. 

Muskulokutaneus dan radiks superior N. 

Medianus. Fasikulus medialis mempercabangkan: N. Ulnaris, N. Kutaneus brakii medialis, N. Kutaneus antebrakii medialis, dan 

radiks inferior N. Medianus. Fasikulus posterior mempercabangkan: N. Aksilaris dan 

N. Radialis (Gambar 2],

Anatomi Pleksus Lumbosakral

Pleksus lumbal terbentuk dari radiks L1-L4 

dan terletak di retroperitoneum di posterior 

M. Psoas (Gambar 3). Pleksus lumbal membentuk beberapa nervus terminal, yaitu:

1. N. Iliohipogastrik dan N. Ilioinguinal

Kedua nervus ini terbentuk dari radiks LI dan berjalan melalui celah pelvis 

untuk menginervasi M. Oblikus internal 

dan M. Transversal. Nervus Uiohipogastrik menginervasi sensorik di abdomen 

anterior bawah, sedangkan N. Ilioinguinal menginervasi sensorik area kulit di 

atas ligamentum inguinal, tungkai atas 

medial rostral, dan bagian atas skrotum (pada laki-laki) atau labia (pada 

perempuan).

2. N. Femoral is

Nervus ini berasal dari ramus radiks 

dorsalis L2-L4, berjalan melalui pelvis 

dan keluar di bawah ligamentum inguinal. 

Nervus Femoralis menginervasi M. Iliopsoas, M. Pektineus, M. Sartorius, dan M. 

Kuadriseps femoris. Cabang sensoriknya

menginervasi tungkai bawah sisi medial 

(N. Safena) dan tungkai atas sisi anteromedial (N. Kutaneus medial dan intermediate).

3. N. Obturator

Nervus ini terbentuk dari rami radiks 

ventralis L2-L4. Nervus ini turun 

melalui pelvis dan keluar melalui foramen obturator untuk menginervasi M. 

Aduktor longus, M. Aduktor brevis, M. 

Aduktor magnus, dan grasilis serta sensorik area tungkai atas medial.

4. N. Genitofemoralis

Nervus ini berasal dari radiks L1-L2, turun melalui pelvis kemudian pada ligamentum inguinal medial bercabang menjadi cabang genital dan femoral. Cabang 

genital menginervasi M. Kremaster dan 

sensorik di skrotum bagian bawah atau 

labia. Cabang femoral menyuplai sensorik di trigonum femoral.

5. N. Kutaneus Femoralis Lateral

Nervus yang murni hanya serabut sensorik ini berasal dari radiks L2-L3 yang 

keluar di lateral M. Psoas kemudian menyilang secara oblik melalui ligamentum 

inguinal menuju spina iliaka superior 

anterior. Nervus ini kemudian bercabang menjadi cabang anterior dan posterior untuk menyuplai sensorik pada 

tungkai atas bagian anterior dan medial. 

Pleksus lumbosakral bagian bawah mayoritas terbentuk dari radiks L5-S3 dan tambahan 

komponen dari L4. Komponen L4 bergabung 

dengan radiks L5 untuk membentuk trunkus 

lumbosakral yang kemudian berjalan turun 

di bawah pelvic outlet untuk bergabung dengan pleksus sakral.

Pleksus lumbosakral bagian bawah akan 

membentuk saraf-saraf terminal, yaitu 

(Gambar 5):

1. N. Skiatik

Nervus ini berasal dari radiks L4-S3 dan 

keluar dari pelvis melalui greater sciatic

foramen. Nervus ini menginervasi otot 

hamstring, semimembranosus, semitendinosus, biseps femoris, aduktor 

magnus divisi lateral, dan seluruh otot 

yang diinervasi oleh nervus peroneus 

dan tibialis. Area sensorik yang diinervasi yaitu  seluruh area tungkai bawah, 

kecuali bagian medial yang sensoriknya 

diperantarai oleh N. Safena.

2. N. Gluteus Superior

Nervus ini berasal dari radiks L4-S1 

dan menginervasi M. Tensor fasia latae, 

M. Gluteus medius, dan M. Gluteus minimus.

3. N, Gluteus Inferior

Nervus ini berasal dari radiks L5-S2 dan 

menginervasi M. Gluteus maksimus. 

4. N. Kutaneus Posterior Tungkai Atas

Nervus ini berasal dari radiks S I-S3 

(terutama S2] dan memperantarai 

sensorik area bokong bagian bawah 

dan tungkai atas sisi posterior. Trauma 

pada N. Skiatika biasanya juga mencederai nervus ini.

ETIOLOGI

Lesi pada pleksus brakialis dapat dipicu  antara lain:

1, Trauma

Merupakan penyebab terbanyak lesi 

pleksus brakialis, dapat terjadi pada segala usia baik dewasa maupun neonatus,

dapat berupa cedera tertutup, cedera terbuka, ataupun cedera iatrogenik.

2. Tumor

Dapat berupa tumor neural sheath (neuroblastoma, schwannoma, malignant

peripheral nerve sheath tumor, dan meningioma] atau tumor nonneural yang 

jinak (desmoid, lipoma] maupun maligna 

(kan-ker payudara dan kanker paru].

3. Cedera radiasi

Frekuensi cedera pleksus brakialis yang 

dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 

1,8-4,9% dari lesi dan paling sering ditemukan pada pasien kanker payudara dan 

paru yang mendapatkan terapai radiasi.

 Penjepitan (Entrapment)

Cedera pleksus brakialis karena penjepitan dapat terjadi karena adanya abnormalitas pada struktur pleksus dan 

jaringan sekitarnya, seperti pada thoracic

outlet syndrome. Postur tubuh dengan 

bahu yang lunglai dan dada yang kolaps 

memicu  thoracic outiet menyempit 

sehingga menekan struktur neurovaskular. Adanya iga aksesori atau jaringan fibrosa juga berperan menyempitkan thoracic outlet Falctor lain yaitu payudara 

berulturan besar yang dapat menarik 

dinding dada ke depan (anterior dan inferior]. Teori ini didukung dengan hilangnya 

gejala setelah operasi mamoplasti reduksi. Implantasi payudara juga dikatakan 

dapat memicu  cedera pleksus brakialis karena dapat meningkatkan tegangan di bawah otot dinding dada dan mengiritasi jaringan neurovaskular.

5. Idiopatik

Pada parsonage turner syndrome terjadi 

pleksitis tanpa diketahui penyebab yang 

jelas namun diduga ada  infeksi virus 

yang mendahului. Manifestasi klasik yaitu  

nyeri dengan onset akut yang berlangsung 

selama 1-2 minggu dan diikuti dengan 

kelemahan otot. Nyeri biasanya hilang secara spontan dan pemulihan komplit terjadi sekitar 2 tahun. Jarang terjadi kelumpuhan yang menetap.

Lesi pleksus lumbosakral dapat dipicu  

oleh lesi kompresif dan nonkompresif. Lesi 

kompresif meliputi perdarahan, neoplasma, endometriosis, kehamilan, traumatik, 

pascaoperasi, aneurisma, dan sindrom kompartemen gluteal. Adapun lesi nonkompresif 

meliputi amiotrofi diabetik (neuropati diabetik

proksimal), pleksopati radiasi, pleksitis lumbosakral idiopatik, vaskulitis, infeksi atau parainfeksi, dan terkait heroin.

1. Perdarahan

Perdarahan akibat pemakaian  antikoagulan, ruptur aneurisma, maupun 

hemofilia, yang terjadi di M. Psoas dapat 

mengkompresi pleksus lumbal. Manifestasi 

Minis terutama meliputi N. Femoralis dan 

dapat juga meluas hingga N. Obturator dan 

N. Kutaneus femoralis lateral.

2. Neoplasma

Pleksopati lumbosakral dapat dipicu  oleh invasi tumor dari vesika urinaria, serviks, uterus, ovarium, prostat, 

kolon, dan rektum. Implantasi jaringan 

abnormal endometriosis pada pleksus 

memicu  pleksopati dengan gejala 

intermiten dan mengenai pleksus lumbosakral bagian bawah. Limfoma dan 

leukimia dapat secara langsung menginfiltrasi serabut saraf tanpa adanya massa 

di sekitarnya.

3. Kehamilan dan Persalinan

Pleksopati lumbosakral pascapartus 

disebut juga maternal peroneal palsy, 

maternal birth palsy, neuritis puerperalis, atau maternal obstetric paralysis.

Pleksopati ini terjadi akibat penekanan 

kepala bayi pada tulang pelvis dan pleksus lumbosakral, serta biasanya mengenai trunkus lumbosakral yang terbentuk 

dari radiks L4-L5 (Gambar 5]. Trunkus 

lumbosakral tidak terproteksi lagi oleh 

M. Psoas saat melintasi pelvic outlet dan 

terletak di sakrum dekat sendi sakroiliaka, 

sehingga rentan terkompresi pada titik 

ini . Pleksus yang akan bercabang menjadi N. 

Gluteus superior juga dapat terkompresi. 

Nervus Skiatik pars peroneal terletak di 

posterior dan berdekatan dengan tulang, 

sehingga juga rentan mengalami kompresi. Manifestasi Minis biasanya terjadi 

dalam beberapa hari pascapartus. Faktor risiko meliputi kehamilan pertama, 

disproporsi sepalopelvik, ukuran fisik 

ibu kecil (tinggi badan kurang dari 5 

kaki atau sekitar kurang dari 150cm), 

dan proses persalinan yang lama. Prognosis pada sebagian besar kasus baik. 

Mekanisme yang mendasari kerusakan 

saraf yaitu  iskemia aldbat kompresi 

dan deformitas mekanik saraf yang menyebabkan demielinasi dan degenerasi 

aksonal.

4. Trauma dan Pascaoperasi

Trauma pleksus lumbosakral umumnya 

terjadi pada kasus kecelakaan yang melibatkan fraktur pelvis atau sakrum. Selain 

itu, perdarahan dan avulsi radiks dapat 

pula terjadi. Mayoritas kasus mengenai 

pleksus bagian lumbal dan sakral walaupun dapat terjadi keterlibatan bagian 

sakral saja. Distribusi kelemahan biasanya 

lebih berat pada otot yang di-inervasi N. 

Peroneus komunis dan N. Gluteus dibandingkan distribusi tibial dan N. Femoralis. 

Pleksopati lumbosakral dapat pula terjadi 

pascaoperasi, seperti operasi penggantian 

panggul, koreksi fraktur femur atau asetabulum, operasi pelvis radikal, operasi 

vaskular aorta, dan pemasangan alat pacu 

jantung melalui vena femoralis. 

5. Aneurisma dan Penyakit Pembuluh

Darah Besar

Ekspansi aneurisma arteri iliaka komunis, 

iliaka internal, atau hipogastrik dapat secara 

langsung mengkompresi pleksus lumbosakral. Hematom retroperitoneal dari kebocoran aneurisma juga dapat memicu  

pleksopati. Etiologi ini dicurigai bila  ada  nyeri punggung atau tungkai disertai 

massa pulsatil pada pemeriksaan fisik

6. Abses

Abses psoas atau paraspinal umumnya 

dipicu  oleh infeksi tuberkulosis, jarang 

dipicu  oleh bakteri nonspesifik Abses 

perirektal yang ter jadi pascaoperasirektum 

atau pada individu imunokompromi, dapat 

memicu  pleksopati sakral bilateral,

7. Sindrom Kompartemen Gluteal

Sindrom ini dipicu  oleh trauma, 

misalnya jatuh atau komplikasi pascaoperasi.

8. Amiotrofi Diabetik

Amiotrofi diabetik dikenal juga dengan 

nama neuropati diabetik proksimal, 

sindrom Bruns-Garland, mononeuritis multipleks diabetik, poliradikulopati 

diabetik, atau neuropati radikulopleksus lumbosakral diabetik. Kelainan ini 

biasanya mengenai pleksus dan radiks 

lumbal. Patofisiologinya berupa vaskulitis yang akhirnya memicu  iskemia, 

dapat terjadi pada penyandang diabetes 

(umumnya tipe II) lama. Manifestasinya 

berupa nyeri dalam yang berat di pelvis 

atau proksimal tungkai atas yang berlangsung selama beberapa minggu (sekitar 6 

minggu). Saat nyeri mereda perlahan tampak kelemahan yang signifikan.

Amiotrofi diabetik biasanya melibatkan N. 

Femoralis dan N. Obturator serta N. Peroneal. Pada banyakkasus amiotrofi ini terjadi 

unilateral bersamaan dengan penurunan 

berat badan. Sisi kontralateral dapat terkena 

setelah beberapa minggu atau bulan sejak 

gejala awal. Pemulihan seringkali baik, 

tetapi berjalan lama dalam hitungan beberapa bulan hingga 1-2 tahun.

9. Pleksopati Radiasi

Terjadi akibat paparan radiasi yang didapat bertahun-tahun sebelumnya. Kelainan ini bersifat progresif lambat, disertai 

nyeri minimal. Temuan karakteristik pada 

pemeriksaan elektromiografi (EMG) yaitu  

fasikulasi dan miokimia. Miokimia tidak 

didapatkan pada pleksopati akibat invasi 

langsung.

10. Pleksitis Lumbosakral Idiopatik

Patologi yang mendasari belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan berupa inflamasi yang terjadi beberapa minggu 

setelah kejadian imunologis yang memicu, misalnya infeksi saluran nafas atas 

atau imunisasi. Manifestasi klinisnya 

berupa nyeri dalam yang berat di pelvis 

atau tungkai atas selama 1-2 minggu 

hingga berbulan-bulan, lalu defisit neurologis timbul setelah nyeri mereda. 

Perjalanan penyakit ini monofasik tetapi 

dapat juga men jadi progresif. Tata laksananya berupa pemberian steroid atau 

agen imunosupresan.

11. Vaskulitis

Manifestasi klinisnya berupa nyeri hebat, 

kelemahan, dan defisit sensorik yang 

melibatkan satu atau lebih regio ekstremitas bawah. Pemeriksaan penunjang 

yang mendukung berupa laju endap 

darah, antibodi antinuklear, faktor reumatoid, kadar komplemen, antibodi sitoplasmik antineutrofil, hitung eosinofil, 

dan biopsi saraf. Biopsi saraf menunjukkan inflamasi transmural, nekrosis dinding 

vaskular, dan degenerasi akson.

12.lnfeksi atau Parainfeksi

Infeksi langsung atau secara tidak langsung melalui mekanisme autoimun 

dapat memicu  pleksopati lumbosakral. ada  kasus pleksopati lumbosakral setelah infeksi Epstein-Barr 

virus (EBV] klinis disertai bukti serologis 

dengan peningkatan limfosit dan protein 

pada cairan serebrospinal. Infeksi lainnya yaitu  infeksi Lyme, Borellia burgdorferi, West Nile, dan herpes zoster.

13.Terkait Heroin

Patofisiologi yang mendasarinya kemungkinan yaitu  efek toksik langsung 

heroin yang memicu  pleksopati 

lumbosakral dan brakialis. Onset gejala 

terjadi sekitar 36 jam setelah injeksi 

heroin dengan gejala nyeri hebat disertai 

kelemahan atau defisit sensorik ringan. 

Nyeri mereda dalam beberapa minggu 

dengan onset pemulihan defisit motorik 

yang lebih lama.

PATOFISIOLOGI

Mekanisme yang memicu  pleksopati 

cukup beragam, terdiri dark 1) proses regangan [stretch], 2) laserasi, dan 3) kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan 

jarak antara titik yang relatif terfiksasi pada 

fasia prevertebral dengan pertengahan 

lengan atas atau ekstremitas bawah akan 

memicu  traksi. Traksi yang melebihi 

kapasitas regangan saraf yang dikontribusi 

oleh jaringan kolagen pada selubung saraf 

memicu  cedera regangan dan bahkan memicu  hilangnya kontinuitas 

total pada saraf (avulsi). Traksi juga dapat 

memicu  iskemia pada jaringan saraf. 

Laserasi atau robekan saraf ini dapat terjadi misalnya pada kasus trauma benda 

tajam. Pada kompresi terjadi gangguan 

fungsional akibat kompresi mekanik pada 

saraf dan iskemia. Kompresi yang berat 

dapat memicu  hematom intraneural, dan kemudian akan menjepit jaringan 

saraf sekitarnya.

Derajat Kerusakan

Derajat kerusakan pada lesi saraf perifer 

dapat dibagi berdasarkan klasifikasi Sheddon (1943) dan Sunderland (1951). 

Klasifikasi Sheddon yaitu  sebagai berikut:

1. Neuropraksia

Pada tipe ini terjadi kerusakan mielin, 

namun akson tetap intak. Dengan adanya 

kerusakan mielin dapat memicu  

hambatan konduksi saraf. Pada tipe 

cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan 

struktur terminal, sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan 

derajat kerusakan paling ringan.

2. Aksonotmesis

Terjadi kerusakan akson namun semua 

struktur selubung saraf termasuk endoneural masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari 

lesi (degenerasi Wallerian]. Regenerasi 

saraf tergantung dari jarak lesi mencapai serabut otot yang denervasi ini . 

Pemulihan sensorik cukup baik bila 

dibandingkan motorik.

3. Neurotmesis

Merupakan derajat kerusakan paling 

berat, berupa ruptur saraf yang menyebabkan proses pemulihan sangat sulit 

terjadi meskipun dengan penanganan 

bedah. Dibutuhkan waktu yang lama dan 

biasanya pemulihan yang terjadi tidak 

sempurna.

Klasifikasi Sunderland lebih merinci kerusakan saraf yang terjadi dan membaginya 

dalam 5 tingkat (Tabel 1 dan Gambar 7).

Pleksopati diabetik diperkirakan akibat 

mikrovaskulitis inflamasi yang menyebabkan cedera saraf iskemik. Pada biopsi saraf 

tampak tanda vaskulitis, inflamasi, nekrosis vaskular, serta infiltrasi limfosit B dan 

T, makrofag, sel polimorfonuklear, dan deposisi komplemen, hilangnya serabut saraf fokal 

dan multifikal, serta penebalan perineural 

dan neovaskularisasi perineural. Diabetes 

memicu  abnormalitas sawar darahsaraf, sehingga rentan terjadi vaskulitis. Deposisi kompleks imun akan semakin merusak 

sawar darah saraf ini dan meningkatkan vaskulitis, sehingga terjadi oklusi pembuluh darah epineural dan perineural dengan 

hasil akhir iskemia dan infark.

Terjadinya pleksopati radiasi tergantung 

pada dosis total, dosis fraksi, teknik radiasi, 

kemoterapi yang menyertai radiasi, dan 

pemakaian  brakiterapi intrakavitas. Radiasi 

dapat memicu  defisiensi mikrosirkulasi yang memicu  iskemia lokal dan fibrosis jaringan lunak, serta perubahan pada 

sel Schwann, fibroblas endoneural, sel dinding pembuluh darah, dan sel perineural

GEJALA DAN TANDA KUNIS

Gejala yang timbul umumnya unilateral 

berupa kelainan motorik, sensorik dan autonom pada ekstremitas. Gambaran Minis 

yang ditemukan dapat menunjukkan letak 

dan keparahan lesi.

Pleksopati Brakialis

Lesi pleksus brakialis dapat mengenai mulai 

dari otot bahu sampai tangan, atau hanya sebagian, yang dibagi atas pleksopati supraMavikular dan pleksopati infraklavikular.

t. Pleksopati Supraklavikular

Pada pleksopati supraklavikular lesi terjadi di tingkat radiks atau trunkus saraf, 

atau kombinasinya. Lesi ditingkat ini 

dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi 

dibanding lesi infraklavikular. Pleksopati 

supraklavikular sering dipicu  oleh 

karena trauma, yaitu terjadi fleksi dari 

leher terhadap bahu, sehingga radiks 

mengalami tarikan antara leher dan

Erb's point. Jenis lesi ini memberikan 

gambaran yang khas disebut deformitas 

waiters yang ditandai dengan kelemahan 

pada otot-otot rotatoar bahu, otot-otot 

fleksor lengan, dan otot-otot ekstensor 

tangan.

a. Lesi tingkat radiks

Pada lesi pleksus brakialis ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran 

klinis sesuai dengan dermatom dan 

miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat 

terjadi paralisis parsial dan hilangnya 

sensorik inkomplit, karena otot-otot 

tangan dan lengan biasanya dipersarafi oleh beberapa radiks.

b. Sindrom Erb-Duchenne

Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) 

atau trunkus superior dan biasanya 

terjadi akibat trauma. Pada bayi terjadi 

karena penarikan kepala saat proses 

kelahiran dengan penyulit distonia 

bahu, sedangkan pada orang dewasa 

terjadi karena jatuh pada bahu dengan 

kepala terlampau menekuk ke samping. 

Presentasi Minis pasien berupa waiter's

tip position, yaitu lengan berada dalam 

posisi aduksi [kelemahan otot deltoid 

dan supraspinatus), rotasi internal pada 

bahu (kelemahan otot teres minor dan 

infraspinatus), pronasi (kelemahan 

otot supinator dan braldoradialis), dan 

pergelangan tangan fleksi (kelemahan 

otot ekstensor karpi radialis longus 

dan brevis). Selain itu ada  pula 

kelemahan pada otot biseps brakialis, 

brakialis, pektoralis mayor, subskapularis, romboid, levator skapula, dan 

teres mayor. Refleks biseps biasanya 

menghilang, sedangkan hipestesi ter-

 jadi pada bagian luar (lateral) dari lengan atas dan tangan.

c. Sindrom paralisis Klumpke

Lesi di radiks servikal bawah (C8, T l) 

atau trunkus inferior akibat penarikan 

bahu, sehingga terjadi tarikan pada 

bahu. Keadaan ini sering terjadi pada 

bayi saat dalam proses kelahiran atau 

pada orang dewasa yang akan terjatuh 

dan berpegangan pada pada 1 lengan. 

Presentasi klinis berupa kelemahan 

pada otot-otot di lengan bawah, otototot tangan yang khas disebut dengan 

deformitas clawhand, sedangkan fungsi 

otot gelang bahu baik. Selain itu juga 

ada  kelumpuhan pada otot fleksor karpi ulnaris, fleksor digitorum, 

interosei, tenar, dan hipotenar sehingga 

tangan terlihat atrofi. Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi N. 

Medianus dan N. Ulnaris. Kelainan 

sensorik berupa hipestesi pada bagian 

dalam atau sisi ulnar dari lengan dan 

tangan.

d. Lesi di trunkus superior

Gejala klinisnya sama dengan sindrom 

Erb di tingkat radiks dan sulit dibedakan. Namun pada lesi di trunkus superior tidak didapatkan kelumpuhan 

otot romboid, seratus anterior, levator skapula, dan saraf supraspinatus 

serta infraspinatus. ada  gangguan sensorik di lateral deltoid, aspek 

lateral lengan atas, dan lengan bawah, 

hingga ibu jari tangan.

e. Lesi di trunkus media

Sangat jarang terjadi dan biasanya 

melibatkan daerah pleksus lainnya 

(trunkus superior dan/atau trunkus

inferior). Gejala klinis berupa kelemahan otot triseps dan otot-otot yang dipersarafi N. Radialis (ekstensor tangan), serta kelainan sensorik biasanya 

terjadi pada dorsal lengan dan tangan.

f. Lesi di trunkus inferior

Gejala klinisnya yang hampir sama 

dengan sindrom Klumpke di tingkat 

radiks. ada  kelemahan pada otototot tangan dan jari-jari terutama untuk 

gerakan fleksi, serta kelemahan otototot spinal intrinsik tangan. Gangguan 

sensorik terjadi pada aspek medial 

dari lengan dan tangan.

2. Lesi Pan-supraklavikular (radiks C5-

T1 atau semua trunkus)

Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh 

otot ekstremitas atas, defisit sensorik 

yang jelas pada seluruh ekstremitas atas, 

dan mungkin ada  nyeri. Otot romboid, seratus anterior, dan otot-otot spinal mungkin tidak lemah tergantung dari 

letak lesi proksimal (radiks) atau lebih 

ke distal (trunkus).

3. Pleksopati Infraklavikular

Terjadi lesi di tingkat fasikulus dan/ 

atau saraf terminal. Lesi ini jarang terjadi dibanding supraklavikular, namun 

umumnya mempunyai prognosis lebih 

baik. Penyebab utama pleksopati infraklavikular biasanya yaitu  trauma tertutup (kecelakaan lalu lintas/sepeda motor) 

maupun terbuka (luka tembak). Mayoritas disertai oleh kerusakan struktur 

didekatnya (dislokasi kaput humerus, 

fraktur klavikula, skapula, atau humerus). 

Gambaran klinis sesuai dengan letak lesi, 

yaitu:

 

a. Lesi di fasikulus lateral

Dapat terjadi aldbat dislokasi tulang 

humerus. Lesi disini akan mengenai daerah yang dipersarafi oleh N. 

Muskulokutaneus dan sebagian dari 

N. Medianus. Gejala klinisnya yaitu 

kelemahan otot fleksor lengan bawah 

dan pronator lengan bawah, sedangkan otot-otot intrinsik tangan tidak 

terkena. Kelainan sensorik terjadi di lateral lengan bawah dan jari tangan I—III.

b. Lesi di fasikulus medial 

dipicu  oleh dislokasi bursa subkorakoid dari humerus. Kelemahan 

dr ' gejala sensorik terjadi di daerah 

motorik dan sensorik N. Ulnaris. Lesi 

disini akan mengenai seluruh fungsi 

otot intrinsik tangan, seperti fleksor, 

ekstensor, abduktor jari-jari tangan, 

dan fleksor ulnar pergelangan tangan. 

Secara keseluruhan kelainannya 

hampir menyerupai lesi di trunkus 

inferior. Kelainan sensorik terasa pada 

lengan atas dan bawah medial, tangan, 

dan 2 jari tangan bagian medial.

c. Lesi di fasikulus posterior

Lesi ini jarang terjadi, gejala klinis 

berupa kelemahan dan defisit sensorik di area inervasi N. Radialis. Otot 

deltoid (abduksi dan fleksi bahu), 

otot-otot ekstensor lengan, tangan, dan 

jari-jari tangan mengalami kelemahan. 

Defisit sensorik terjadi pada daerah 

posterior dan lateral deltoid, aspek 

dorsal lengan, tangan, dan jari-jari 

tangan.

Pleksopati Lumbosakral

Nyeri merupakan manifestasi yang paling

umum ditemukan pada pleksopati lumbosakral dan merupakan keluhan yang paling 

sering mengganggu. Nyeri dapat terlokalisir 

di daerah panggul, bokong, dan paha proksimal dengan penjalaran ke daerah tungkai. 

Pada pemeriksaan fisik beberapa gerakan 

dapat memicu  nyeri. Straight leg test

atau tes Laseque dapat memicu  nyeri 

pada pleksopati sakral, sementara reversed

straight leg test dapat memicu  nyeri 

pada pleksopati lumbal. Berbeda dengan 

lesi radiks, nyeri pada pleksopati tidak bertambah dengan batuk atau mengedan. Nyeri 

pinggang dapat muncul namun minimal.

Manifestasi klinis pleksopati lumbosakral 

tergantung dari struktur yang terkena dan 

secara umum dibagi menjadi:

1. Pleksopati Lumbal

Pleksopati lumbal memicu  defisit 

neurologis pada teritori N. Iliohipogastrik, N. Genitofemoral, N. Ilionguinal, N. 

Femoral, dan N. Obturator. Gambaran 

klinis berupa kelemahan pada fleksi panggul, ekstensi lutut, dan adulcsi tungkai atas. 

Gangguan sensorik dapat terjadi di abdomen bagian bawah, inguinal, tungkai atas 

sisi medial, lateral, dan anterior serta 

tungkai bawah sisi medial. Refleks patela 

menurun atau menghilang.

2. Pleksopati Sakral

Pada pleksopati sakral tampak defisit 

neurologis pada teritori N. Gluteus, N. 

Skiatik, N. Tibial, dan N. Peroneus sehingga ada  defisit motorik pada ekstensor panggul, abduktor panggul, fleksor 

lutut, fleksor plantar kaki, dan dorsofleksor kaki. Defisit sensorik meliputi tungkai atas sisi posterior, tungkai bawah sisi 

anterolateral dan posterior, serta hampir

 

seluruh kaki. Refleks patela normal, sedangkan refleks Achilles menurun atau 

menghilang.

diagnosa 

diagnosa  pleksopati ditegakkan berdasarkan 

anamnesis yang mencakup waktu onset, waktu 

timbulnya gejala. Pemeriksaan frsik umum 

seperti posisi leher, bahu lengan, panggul, 

tungkai, tanda-tanda fraktur, serta pemeriksaan neurologi yang teliti meliputi penilaian 

kekuatan motorik pada flap segmen miotom 

dan sensorik pada setiap segmen dermatom.

Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang dilakukan berdasarkan klinis yang di dapatkan, seperti:

1. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium perlu disesuaikan dengan etiologi yang diperldrakan, antara lain laju endap darah, glukosa, HbAlc, 

dan penanda infeksi,

2. Radiologi

a. Rontgen sendi bahu, servikal, pelvis, 

untuk melihat struktur tulang dan 

sendi.

b. MRI bahu, leher, pelvis, dan pleksus.

3. Elektrodiagnosa 

Pemeriksaan elektrodiagnosa  merupakan 

pemeriksaan yang sangat berperan dalam 

menentukan letak lesi, derajat keparahan, 

dan prognosflk. Pemeriksaan berupa: kecepatan hantar saraf motorik dan sensorik, gelombang F, serta EMG jarum. 

pengobatan 

pengobatan  lesi pleksus sangat bervariasi, 

beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan terapi yaitu  onset, derajat kerusakan, jenis lesi, dan penyebabnya.

1. Fase Akut

a. Istirahat, pada cedera pleksus brakialis 

yang berat dapat dilakukann fiksasi 

lengan yang mengalami kelumpuhan.

b. Kompres dingin, untuk mengurani 

rasa nyeri dan edema yang mungkin 

dapat terjadi.

a Penekanan atau kompresi bila ada 

edema.

d. Elevasi ekstremitas yang terkena (lengan 

atau kaki), akan mengurangi edema yang 

terjadi pada ekstremitas yang terkena.

e. Medikamentosa, berupa steroid, obat 

anti inflamasi non steroid, dan analgetik. Obat-obatan untuk nyeri neuropatik, misalnya antidepresan trisiklik, gabapentin, atau pregabalin dapat 

membantu.

2. Fase Subakut atau Kronik

a. Mengatasi rasa nyeri

b. Fisioterapi:

   Latihan memelihara lingkup gerak 

sendi untuk mencegah kekakuan 

pada sendi dan atrofi otot.

   Ultrasound atau diatermi untuk 

me-ngurangi rasa nyeri dengan 

memicu  vasodilatasi pembuluh darah dan menurunkan 

spasme otot.

   Transcutaneous electrical nerve

stimulation [TENS), memberikan 

stimulasi listrik pada saraf, sehingga akan meng-aktivasi serabut

A-beta yang akan menginhibisi interneuron di medula spinalis. Selain 

itu juga akan menginhibisi serabut 

A-delta dan serabut C-delta.

   Neuromuscular electrical stimulation

[NMES], dengan cara memberikan 

stimulasi listrik pada otot, sehingga 

menambah kekuatan dan memelihara massa otot yang lumpuh.

   pemakaian  ortosis pada lengan 

yang lumpuh total bertujuan 

untuk mempertahankan posisi, 

mencegah subluksasi bahu, mengurangi kekakuan sendi, dan 

sebagai kosmetik.

3. Pembedahan

Operasi dilakukan dengan tujuan untuk 

mengembalikan anatomi dan fungsi dari 

pleksus, pada beberapa kasus yang berat, 

operasi dilakukan dengan tujuan utama 

untuk mengembalikan fungsi fleksi atau 

ekstensi sendi. Operasi biasanya dilakukan pada cedera pleksus yang berat dan 

dilakukan 3-4 bulan setelah trauma. 

Operasi tidak di anjurkan jika dilakukan 

setelah 6 bulan karena umumnya tidak 

memberikan hasil yang optimal. Jenisjenis operasi yang dilakukan:

a. Pembedahan primer

Bertujuan untuk memperbaiki saraf 

yang cedera pada pleksus dan mempercepat proses reinervasi. Teknik 

yang dipakai  tergantung dari derajat keparahan lesi, ada beberapa 

teknik yang biasa dilakukan, yaitu:

   Neurolisis, membebaskan jaringan parut yang terjadi di sekitar 

saraf. 

   Neuroma eksisi, dilakukan eksisi 

pada saraf, kemudian saraf dilekatkan kembali atau dengan nerve

graft,

   Nerve grafting

   Neurotization, biasanya dilakukan 

pada avulsi radiks, dilakukan penggantian saraf yang rusak dengan 

memakai  saraf lain. Saraf donor yang dapat dipakai  yaitu  

N. hiogosal, N. asesori spinalis, dan 

saraf interkostal. Dapat juga dilakukan intraplexual neurotization, yaitu 

donor diambil dari radiks yang masih melekat pada medula spinalis 

sebagai penggati saraf yang rusak.

b. Pembedahan sekunder

Bertujuan untuk memperbaiki fungsi 

agar optimal. Teknik yang dipakai , 

yaitu: tendon transfer, free muscle

transfers, serta joint fusions and rotational

4. pengobatan  Lainnya Sesuai dengan

Etiologi Pleksopati

a. Pleksopati akibat perdarahan: koreksi 

abnormalitas hemostasis dan drainase 

hematom perkutan.

b. Pleksopati neoplastik: radioterapi, 

kemoterapi, dan pembedahan.

c. Pleksopati akibat abses: drainase abses dan antibiotik.

d. Pleksopati diabetik: perbaikan kontrol 

glikemik, intravenous immunoglobulin

(IVIG).

e. Pleksopati radiasi: antikoagulan untuk 

memperbaild aliran darah akibat kerusakan endotel yang diinduksi radiasi 

namun terapi ini belum memiliki 

bukti ilmiah yang kuat.

f. Pleksitis idiopatik: steroid, IVIG.

g. Pleksopati vaskulitis: obat imunosupresan.

PROGNOSIS

Prognosis sangat tergantung dari letak dan 

jenis lesi. Pemulihan pada avulsi dan ruptur 

radiks yang dioperasi, kadang tidak dapat 

sempurna dan membutuhkan waktu yang 

lama. Pada cedera ringan yang memicu  

jaringan sikatrik dan terjadi neuropraksia, 

dapat terjadi pemulihan spontan, sekitar 

90-100 % akan kembali normal. 






PENDEKATAN diagnosa  MIOPATI


Penyebab miopati sangat bervariasi mulai 

dari kelainan kongenital dalam aspek kanal, 

struktur, ataupun metabolism e otot, maupun akibat kelainan yang didapat (inflamasi, 

autoimun, dan toksik). Setiap miopati memerlukan manajemen dan prognosis yang 

berbeda, sehingga sangat penting ditegakkan diagnosa  yang spesifik. Sebagian kasus 

miopati yang memiliki pengobatan kausatif memiiki prognosis baik jika dikenali, 

sebaliknya pada kasus lainnya yang tidak 

berespons terhadap pengobatan, maka tata 

laksana lebih ditekankan secara simtomatik 

untuk meningkatkan kualitas hidup (paliatif).

EPIDEMIOLOGI

Angka pasti prevalensi miopati sulit diperkirakan, oleh karena masih jarangnya studi 

epidemiologi berskala besar terhadap kelompok penyakit ini. Di Jepang ada  

11,521 kasus dari 127 juta penduduk 

sepanjang 2008-2013 yang mengalami 

immune m ediated myopathy.

Berdasarkan laporan oleh Lefter [2016], 

di Irlandia ada  distrofi miotonik tipe I 

sebanyak 6,75/100.000 penduduk; distrofi 

muskularDuchenne (DMD) 3,0/100.000 penduduk; distrofi muskular Becker 2,2/100.000 

penduduk; distrofi fasioskapulohumeral 

2,59/100.000 penduduk; distrofi muskular 

Hmb-girdle 2,88/100.000 penduduk; paralisis periodik 1,72/100.000 penduduk; miotonia kongenital 0,32/100.000 penduduk; 

paramiotonia kongenital 0,15/100.000 

penduduk; dan sporadic inclusion body myositis sebanyak 11,7/100.000 penduduk. Di 

negara kita  kasusnya juga tidak sedildt, namun 

minimnya ketertarikan para klinisi maupun 

akademisi untuk memperdalam ilmu ini, menyebabkan laporan kasusnya sulit didapatkan.

PATOFISIOLOGI

Untuk menegakkan diagnosa  dan menentukan pengobatan  yang tepat dibutuhkan pengetahuan patofisiologi kerusakan otot yang 

terjadi. Dalam bab ini akan dibahas dua patofisiologi tersering, yaitu inflamasi dan distrofi. 

Miopati yangdipicu  oleh inflamasi sering 

dikelompokkan ke dalam miositis, seperti polimiositis (PM), dermatomiositis (DM), dan 

inclusion body myositis (IBM). Miopati yang 

dipicu  oleh distrofi biasanya dipicu  

oleh kelainan genetik yang diturunkan.

1. Inflamasi

Penyebab inflamasi pada PM dan DM 

yaitu  autoimun (Gambar 1). Pada DM 

target utama antigen yaitu  endotel 

pembuluh darah pada kapiler-kapiler 

endomisial. Rantai imunopatologi ini diawali saat komplemen antibodi bekerja 

terhadap sel endotel. Antibodi ini 

akan mengaktivasi komplemen C3 yang 

membentuk C3b dan C4b, kemudian ter-

 

bentuldah C5b-9 membrane attack complex (MAC], suatu komponen litik dari jalur 

komplemen. Kemudian secara berurutan 

terjadilah pembengkakan sel endotel diikuti valcuolisasi, nekrosis pembuluh darah 

kapiler, inflamasi, perivaskular, iskemia, 

dan kerusakan serabut otot. Pada akhirnya ada  penurunan jumlah kapiler 

perserabut otot diikuti kompensasi dilatasi kapiler-kapiler yang tersisa.

Selain itu, sel B, sel T (CD4+), dan makrofag juga berperan dalam patofisiologi 

ini, Mereka masuk ke dalam otot Migrasi 

sel-sel ini difasilitasi oleh vascular

cell adhesion molecule (VCAM) dan intercellular adhesion molecule (ICAM). Ekspresi

VCAM dan ICAM ini diregulasi oleh sitokin 

yang dilepaskan oleh rantai komplemen. 

Sel T dan makrofag diperantarai oleh integrin very late activation antigen (VLA)-4 

; dan leucocyte function-associated antigen

(LFA)-l yang kemudian berikatan dengan 

VCAM dan ICAM, lalu masuk ke dalam otot 

; melalui dinding sel endotel,

2. Distrofi

Distrofi atau distrofinopati diawali oleh 

mutasi gen distrofin Xp21.2 yang mengkode protein distrofin. Contoh klasik 

kelainan ini yaitu  penyakit distrofi 

muskular Duchene (DMD) dan distrofi 

muskular Becker (Becker muscular dystrophyj BMD) 

Protein distrofin memilild empat ranah (domain) dan merupakan protein kompleks. Mutasi pada protein ini memicu  kerusakan 

(breakdown) pada keseluruhan struktur yang 

kompleks dan penting, Kerusakan ini menyebabkan sarkolema, yang berfungsi sebagai 

sawar antara sel otot dengan dunia luar layaknya membran sel, menjadi rapuh. Kontraksi 

otot yang intensif atau bahkan yang biasa saja 

untuk ukuran orang normal dapat menyebabkan kerapuhan sarkolema bertambah parah. 

Kerapuhan ini memicu  influks kalsium 

yang berlebihan dan mempercepat kerusakan 

serabut otot (Gambar 2).

Otot yang rusak memiliki kapasitas regenerasi yang terbatas. Sel-sel otot yang rusak

ini digantikan oleh sel-sel satelit yang terletak di antara lamina basal dan membran serabut otot. Sel-sel satelit ini berperan seperti 

“stem-cell” yang dapat menumbuhkan sel-sel 

otot dan meregenerasi serabut otot yang rusak. Seiring berjalannya waktu sel satelit ini 

tidak dapat mengejar kerusakan yang terjadi 

sehingga serabut-serabut otot yang rusak digantikan oleh jaringan ikat dan lemak.

diagnosa  DAN diagnosa  BANDING

Langkah penegakan diagnosa  miopati meliputi evdluasi klinis, pemeriksaan laboratorium dan elektrofisiologi, histopatologi, 

dan pemeriksaan yang spesifik pada entitas 

miopati tertentu. Untuk penentuan peme-

 

riksaan spesifik yang bersifat konfirmasi, 

diperlukan penetapan diagnosa  kerja dan 

diagnosa  banding melalui evaluasi klinis.

Pada prinsipnya miopati dibagi menjadi 

miopati herediter dan miopati yang didapat. 

Miopati yang herediter meliputi channelopathy, miopati kongenital, miopati metabolik, 

miopati mitokondrial, distrofi muskular, 

dan miotonia. Miopati yang didapat berupa 

miopati yang diinduksi obat, miopati endokrin, miopati inflamasi, miopati terkait 

penyakit sistemik, dan miopati toksik.

Secara umum miopati memberikan keluhan 

berupa kelemahan otot, atrofi atau hipotrofi 

otot, refleks regang otot menurun sedildt 

atau menghilang pada derajat miopati yang 

berat dengan pemeriksaan sensorik normal, ke-cuali ada  komorbiditas neuropati. Untuk menegakkan diagnosa  spesifik miopati ada beberapa aspek yang periu 

diketahui, yaitu gejala negatif atau positif, 

evolusi temporal penyakit, riwayat keluarga, 

kondisi pencetus, gejala dan tanda lain yang 

menyertai, serta distribusi otot yang terlibat Sintesis semua aspek ini akan 

membantu mempersempit kemungkinan entitas miopati, sehingga dapat dipilih pemeriksaan penunjang yang tepat.

Tabel 1, Miopati dan Gejala Penyerta

1. Keluhan

Keluhan miopati dapat berupa gejala negatif 

dan positif, yaitu kelemahan, mudah lelah, 

intoleransi terhadap aktivitas, atrofi otot, 

kram, kontraktur, hipertrofi otot, mialgia, 

atau kekakuan (Tabel 1). Miopati yang berhubungan dengan metabolisme dan mitokondria abnormal dapat memicu  

keluhan kelelahan/fatig setelah aktivitas. 

Mialgia dapat muncul episodik pada 

miopati metabolik atau muncul konstan misalnya pada miopati inflamasi. 

Kelemahan atau mialgia episodik setelah 

aktivitas dapat berkaitan dengan kejadian 

mioglobinuria, sehingga periu ditanyakan 

tentang warna urin pada anamnesis.

Kram otot dapat diprovokasi oleh aktivitas 

pada miopati akibat defek enzim glikolitik 

Miotonia biasanya diprovokasi oleh aktivitas atau paparan dingin misalnya pada 

paramiotonia kongenital. Peningkatan konsistensi massa otot dapat dipicu  oleh 

fibrosis pada miopati kronik atau deposit 

amiloid. Abnormalitas lainnya yang dapat 

ditemui yaitu  mioedema setelah perkusi 

otot, yaitu berupa pembengkakan otot yang 

berlangsung selama beberapa detik Mioedema ini dapat di-temukan pada miopati 

akibat hipotiroid.

 

Hipertrofi otot dapat teijadi pada miotonia 

kongenital, miopati akibat amiloidosis, sarkoidosis, dan hipotiroid. Pseudohip ertrofi 

otot (akibat penggantian massa otot dengan 

jaringan ikat dan lemak} terlihat pada 

distrofi muskular Duchenne dan Becker, 

distrofi muskular limb-gridle (LGMD 2C-F/ 

sarkoglikanopati], miopati Miyoshi, anoctamin-5 defect, LGMD 21 (fiilaitin-related protein), dan LGMD 2G (teletoninopati).

2. D is trib u s i O to t y an g T e rlib a t

Distribusi keterlibatan otot dapat dinilai 

dengan pemeriksaan kekuatan otot persegmen, identifikasi aktivitas fungsional 

yang terganggu yang terutama penting 

pada anak, dan atrofi otot. Penilaian 

kekuatan otot harus meliputi otot yang 

berfungsi pada gerakan ekstensi, fleksi, 

abduksi, aduksi, rotasi internal, dan rotasi 

eksternal. Otot fleksor leher dinilai pada 

keadaan supinasi, sedangkan ekstensor 

leher dinilai pada posisi pronasi. Otot 

yang diinervasi oleh nervus kranial juga

penting diperiksa. Kelemahan otot pada 

miopati umumnya lebih terlihat pada 

otot-otot proksimal, namun ada juga 

yang melibatkan kelumpuhan otot-otot 

distal dan wajah, yang dapat memberi petunjuk entitas miopati tertentu (Tabel 2).

Kelemahan pada otot pelvis memicu  

kesulitan dalam menaild tangga, bangldt 

dan lantai, atau bangkit dari posisi duduk 

Kesulitan bangkit dari posisi duduk atau 

berbaring tanpa bantuan eksremitas atas 

menunjukkan kelemahan otot ekstensor 

panggul. Tanda Gowers merupakan karakteristik yang terlihat pada kelemahan otot 

proksimal, yaitu saat pasien berusaha bangkit dari posisi berbaring, awalnya bertumpu 

pada tangan dan lutut, kemudian meluruskan ekstremitas bawah, melengkungkan 

badan ke belakang, diikuti dengan menumpukan tangan pada lutut lalu paha sehingga dapat mengekstensikan trunkus 

(Gambar 3}. Kelemahan otot kuadriseps 

memicu  kesulitan saat menurun 

tangga dibandingkan menaiki tangga. 


Pasien dengan kelemahan ekstremitas atas bagian proksimal mengalami kesulitan melakukan aktivitas yang memerlukan elevasi lengan 

di atas level mata.

3. Onset dan Evolusi Gejala

Onset penyakit penting untuk mempersempit diagnosa  banding miopati (Tabel 3). 

Dermatomiositis dapat terjadi pada anakanak dan dewasa, sedangkan polimiositis 

dan IBM banyak pada usia tua, DMD biasanya terdeteksi pada usia 3 tahun, sedangkan 

FSH dan LGMD mulai terjadi gejala klinis 

pada usia remaja atau lebih tua.

Kelemahan pada miopati dapat bersifat 

konstan (misalnya pada miopati infiamasi

dan distrofi muskular) atau episodik yang 

biasanya dipicu  oleh miopati metabolik, 

misalnya akibat gangguan jalur metabolisme 

glikolisis. Kelemahan otot yang bersifat 

konstan dapat terjadi pada onset akut atau 

subakut [misalnya pada miopati infiamasi), 

kronik progresif yang berlangsung bertahuntahun (distrofi muskular), atau nonprogresif 

dengan sedilat perubahan selama dekade 

(misalnya miopati kongenital).

Selain itu, perjalanan penyakit dapat monofasik atau relaps-remisi. Miopati dengan 

perjalanan monofesik, misalnya pada rabdomiolisis akibat intoksikasi kokain. Perjalanan 

penyakit paralisis periodik dan miopati metabolik biasanya bersifat relaps-remisi. 

4 . F a k to r P en cetu s Keluhan

Hanya sebagian miopati yang memilild faktor pencetus yang dapat mengeksaserbasi 

keluhan, sehingga faktor pencetus perlu 

diidentifikasi (Tabel 4). Miotonia dapat dicetuskan dengan menginstruksikan pasien 

untuk menggenggam jari secara maksimal 

selama 15 detik kemudian melepaskannya 

dengan segera. Pada miotonia, relaksasiterjadi lambat dan tampak gerakan otot yang 

tidak Iancar saat melepas genggaman.

5. G ejala atari T anda Sistem ik Lainnya

diagnosa  miopati dapatberdiri sendiri atau 

disertai komorbiditas lainnya yang dapat 

memberikan petunjuk mengenai penyebab 

miopati ini , sehingga sangat penting 

untuk mengeksplorasi keterlibatan sistem 

organ lainnya (Tabel 5).

6. P en gg u n aan O bat

Obat-obatyangdapatmenyebablcanmiopati 

toksik cukup banyak dan pemakaian nya 

cukup luas pada berbagai penyakit yang 

prevalensinya tinggi. Oleh karena itu perlu 

diidentifikasi riwayat konsumsi obat untuk 

mencegah kerusakan otot lebih lanjut dapat 

dicegah [Tabel 6).

7 . R iw ayat P en yak it K elu arga

Sebagian miopati dipicu  kelainan genetik yang dapat diwariskan dengan pola 

pewarisan autosomal maupun terkait 

kromosom X [Tabel 7). Untuk mendapatkan pola pewarisan, perlu dibuat pedigree

minimal 3 level, Riwayat keluarga yang 

berkaitan dengan kelainan yang mungkin 

berkaitan dengan miopati juga perlu di 

digali, misalnya riwayat penyakit autoimun 

dan reumatologis 

Berdasarkan tufuh hal di atas maka dapat 

dikenali 10 pola miopati yang dapat membantu menentukan kemungkinan diagnosa  

miopati [Tabel 8).

 

diagnosa  BANDING

diagnosa  banding miopati yaitu  penyakit motor neuron, gangguan taut saraf otot, 

neuropati motorik, dan lesi sistem saraf 

pusat.

Kelainan yang menyerupai miopati:

1. P en yak it M o to r N euron (Motor Neuron Disease)

a. Atrofi spinal muskular onset lambat

b. Atrofi muskular bulbospinal terkait 

kromosom X (Penyakit Kennedy)

c. Atrofi muskular progresif (varian

sclerosis lateral amiotropik)

2. G angguan T au t S araf O tot

a, Sindrom miastenik Lambert-Eaton

b. Miastenia gravis dengan hanya keterlibatan limb-girdle

3. N europ ati M otorik

a. Neuropati perifer demielinasi (varian 

motorik dari chronic inflammatory

demyelinating polyneuropathy), multifocal motor neuropathy dengan blok 

konduksi

b. Neuropati porfiria yang melibatkan 

serabut motorik proksimal

c. Amiotrofi diabetik

4. Lesi sistem s a r a f p u sa t

Stroke pada area watershed arteri serebri media-anterior bilateral. 


Pemeriksaan Laboratorium

Konsentrasi kreatinin kinase (creatinine

kinase/CK) terbesar ada  di otot skeletal dan otot jantung (berada dalam jumlah kecil di otak, usus dan paru-paru), serta 

merupa-kan tes laboratorium rutin yang 

bermanfaat untuk evaluasi kelemahan 

pada penyakit neuromuskular. CK merupakan enzim sarkolema, sehingga kerusakan sarkomer akan meningkatkan permeabilitas membran dan terjadi kebocoran 

enzim. Kadar CK biasanya meningkat ketika terjadi nekrosis serabut otot aktif, misalnya pada miopati inflamasi dan distrofi.

Peningkatan kadar CK pada penyakit 

neuromuskular berkorelasi dengan massa otot yang mengalami kerusakan dan 

mengeluarkan enzim ini (Tabel 9). 

Namun kadarnya perlu diinterpretasi secara hati-hati dan mempertimbangkan 

beberapa aspek, yaitu jenis kelamin, ras, 

massa otot, status fisiologis, dan abnormalitas metabolik lainnya. Secara fisiologis kadar CK lebih tinggi pada laki-laki, 

ras Afrika, neonatus, anak, peningkatan 

massa otot, dan latihan fisik yang teratur 

berkepanjangan.

Derajat peningkatan CK dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu:

1. Tingkat Keparahan Penyakit

Penyakit dengan destruksi otot menyebakan peningkatan kadar CI< yang besar, 

misalnya pada DMD dan rabdomiolisis 

terjadi peningkatan CK hingga >100 kali 

nilai normal.

2. Perjalanan Penyakit

Miopati progresif lebih cepat meningkatkan kadar CK, misalnya kadar CK jauh lebih tinggi pada polimiositis dibandingkan 

FSHD atau IBM yang progresif lambat.

3. Massa Otot Absolut

Kadar CI< pada miopati tahap lanjut akan 

menurun, misalnya kadar CK pada awal 

onset DMD akan tinggi dan kemudian 

menurun hingga ke kadar normal pada 

tahap lanjut saat jaringan otot diganti 

oleh jaringan fibrosis.

4. Nekrosis Serabut Otot

Miopati dengan sarkolema yang intak atau 

tidak berkaitan dengan destruksi serabut 

otot tidak memicu  peningkatan CK.

Pemeriksaan enzim CK sebaiknya tidak dilakukan segera setelah pemeriksaan EMG, 

karena pemeriksaan EMG dapat menyebabkan peningkatan ringan kadar CK (biasanya 

1,5 kali nilai normal). 

Pemeriksaan Elektro diagnosa 

Walaupun diagnosa  spesifik miopati memerlukan pemeriksaan histopatologi dan genetik, 

pemeriksaan studi konduksi saraf, dan elektromiografi masih berperan penting. Pemeriksaan 

studi konduksi saraf dan elektromiografi berperan dalam mengeksidusi kelainan lain yang 

klinisnya menyerupai miopati, misalnya penyakit motor neuron, gangguan taut saraf otot, 

dan neuropati yang murni melibatkan serabut 

motorik. Gambaran elektromiografi (distribusi 

keterlibatan otot, aktivitas spontan) juga dapat 

mempersempit diagnosa  banding miopati.

1. Pemeriksaan Kecepatan Hantar Saraf

(KHS)

Pada miopati pemeriksaan KHS sensorik 

normal, kecuali bila terjadi koeksistensi 

neuropati. Pemeriksaan KHS motorik biasanya normal karena KHS motorik urnumnya dilaltukan pada otot distal, sedangkan sebagian besar miopati mengenai otot 

proksimal pada tahap awal. Pada keadaan 

miopati tahap lanjut saat telah terjadi hipotrofi atau atrofi otot, amplitudo CMAP 

dapat menurun. Latensi distal dan KHS motorik dalam batas normal.

2. Elektromiografi (EMG)

Pemeriksaan EMG akan menhasilkan analisis motor unit action potential (MUAP) yang 

dapat membedakan lesi neurogenik dan 

miogenik (Gambar 4], Gambaran MUAP 

pada lesi miogenik yaitu  MUAP berdurasi 

pendek, amplitudo rendah, dan polifasik 

Pada miopati kronik dapat diperoleh gambaran MUAP berdurasi panjang dan memilild 

potensial satelit yang biasanya didapadtan 

pada lesi neurogenik Pada keadaan miopati 

tahap lanjut gambaran MUAP neurogenik 

dan miogenik mungkin sulit dibedalcan. Pola 

rekruitmen MUAP pada miopati yaitu  early

recruitment, yaitu untuk menghasilkan 

kontraksi otot yang minimal diperlukan banyak MUAP. Pada miopati tahap lanjut dapat 

terjadi penurunan rekrutmen MUAP. Pada 

miopati tertentu, misalnya miopati aldbat 

steroid, perubahan miogenik pada MUAP 

dapat sangat minimal atau bahkan normal.

Pemeriksaan EMG juga bermanfaat untuk 

membantu pemilihan otot untuk sampel 

histopatologi. Otot yang baik untuk pemeriksaan histopatologi yaitu  otot yang terlibat dan tidak dalam keadaan kerusakan 

tahap akhir.

Pemeriksaan Histopatologi

Pada sebagian besar miopati, pemeriksaan histopatologi memberikan informasi diagnostik 

yang penting. Jika hasil EMG tidak dapat langsung memberikan diagnosa  akhir miopati spesifik, maka pemeriksaan histopatologi dapat 

memberikan arahan pemeriksaan lanjutan 

yang spesifik Analisis histopatologi dapat 

mengelompokkan miopati menjadi miopati inflamasi, miopati nekrosis, dan miopati distrofi. 

bila  gambaran histopatologi menunjukkan 

miopati inflamasi, maka dapat dipertimbangkan diagnosa  dermatomiositis, polimiositis, 

atau inclusion body myositis. Ketiganya dapat 

dibedakan dengan telrnik pewamaan histokimia dan imunologi tertentu (Gambar 5).

Beberapa miopati distrofi dapat menunjukkan gambaran inflamasi pada histopatologi. 

Miopati dengan gambaran nekrosis biasanya 

didapatkan pada miopati toksik walaupun 

dapat juga ditemukan pada miopati akibat 

autoimun. Sampel histopatologi sebaiknya 

diambil dari otot kontralateral yang dilakukan pemeriksaan EMG dan skor kekuatan 

otot 4. Pemeriksaan EMG dapat menyebabkan inflamasi transien yang dapat mengacaukan hasil pemeriksaan histopatologi. 

Pemeriksaan Spesifik Lainnya

bila  pemeriksaan histopatologi menunjukkan inflamasi maka dapat diperiksa panel-panel antibodi atau penanda inflamasi (Tabel 10).

Adanya panel antibodi atau inflamasi terkail 

yang positif dapat menunjang diagnosa  (spesifisitas cukup tinggi) 

Pemeriksaan Genetik

Jika pada pemeriksaan histopatologi didapatkan gambaran miopati distrofi, maka 

pemeriksaan genetik spesifik dapat ditentukan berdasarkan korelasi klinis atau fenotip. 

Pada miopati distrofi dengan tampilan klinis 

yangkhas (misalnya OPMD, DM1, atau FSH}, 

pemeriksaan genetik dapat ditentukan bahkan sebelum dilakukan pemeriksaan EMG 

atau biopsi. Miopati limb-girdle sangat beragam dan sulit untuk menentukan diagnosa  

yang spesifik hanya berdasarkan fenotip.

CONTOH KASUS

1. Seorang wanita usia 39 tahun datang 

dengan keluhan kelemahan pada otototot paha. Kelemahan ini mulai dirasakan saat naik tangga sekitar 3 minggu 

yang lalu. Kelemahan tidak dicetuskan 

oleh sesuatu namun bersifat konstan 

yang disertai nyeri pada otot, terutama di 

lengan dan paha. Tidak ada  riwayat 

pemakaian  obat atau penyakit keluarga 

yang signifikan. Pasien memiliki riwayat 

atopi dan alergi terhadap penisilin dan 

udang. Pada pemeriksaan fisik kekuatan 

motorik keempat ekstremitas menurun 

walaupun asimetris, kekuatan otot lainnya baik. ada  warna kemerahan 

pada kulit di sekitar otot yang nyeri. Ditemukan Gottron's papules. diagnosa  yang 

paling mungldn pada kasus ini yaitu :

a. Facioscapulohumeral dystrophy (FSH)

b. Periodik paralisis hiperkalemia (PPH)

c. Myotonic dystrophy

d. Immune mediated myopathy (IMM)

e. Duchene atau Becker muscular dystrophy

Jawaban yang paling tepat yaitu  D (Immune mediated myopathy).

IMM termasuk dermatomiositis (DM) 

memiliki keterlibatan sistemikyaitu pada 

kulit. FSH memiliki distribusi pada otototot wajah, skapula, dan lengan atas. PPH 

dan myotonic dystrophy dicetuskan oleh 

aktivitas. PPH biasanya aktivitas yang 

belebihan, sedangkan myotonic dystrophy pada awal aktivitas dan dapat disertai pseudohipertrofi. DMD dan BMD 

merupakan penyakit kongenital dan 

biasanya pada laki-laki disertai keterlambatan fungsi motorik sefak usia dini. 

Pada keduanya ditemukan tanda Gowers 

yaitu membutuhkan bantuan tangan 

saat akan berdiri dari jongkok.

2. Seorang laki-laki usia 26 tahun datang 

dengan kaku otot-otot tangan. Kekakuan 

dirasakan terutama pada pagi hari. Kadang 

siang hari juga muncul namun lama kelamaan menghilang. Tidak ada penggunaan obat-obat yang signifikan ataupun 

penyakit lainnya. ada  keluarga yang 

memiliki keluhan yang serupa. Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelemahan, 

hipertrofi, maupun atrofi, namun ada  

relaksasi tangan yang melambat saat diminta melepas genggaman tangan. Dari 

ilustrasi ini , diagnosa  banding yang 

paling mungkin yaitu ;

a. LGMD tipe I

b. Miotonia

c. OPMD

d. Polimiositis

e. DMD

Jawaban yang paling tepat yaitu  B 

(miotonia).

Miotonia yaitu  penyakit yang berkaitan 

dengan genetik, dapat berupa autosomal 

dominan maupun resesif. Ditandai dengan kram atau kaku yang dicetuskan dengan aktivitas. Distribusinya tidak spesifik. 

LGMD memiliki distribusi yang khas di 

otot-otot antara tubuh dan ekstremitas 

(skapula, pelvis). OPMD memiliki distribusi pada otot-otot okular dan faringeal. Polimiositis merupakan penyakit 

otot inflamasi, dapat disertai inflamasi 

sistemik. DMD merupakan penyakit kongenital dengan gejala Minis dapat diketahui 

sejak masa pertumbuhan. 




MIASTEMIA GRAVIS 44


Miastenia gravis (MG) yaitu  penyakit 

autoimun yang ditandai dengan kelemahan 

fluktuatif pada otot-otot ekstra okular, bulbar, 

dan otot-otot proksimal. Kelemahan otot yang 

terjadi akan memburuk saat beraktivitas 

dan membaik setelah beristirahat. MG 

dipicu  oleh adanya autoantibodi pada 

membran pascasinaps pada taut saraf otot 

(neuromuscular-junction). Autoantibodi yang 

banyak ditemukan pada serum pasien MG 

yaitu  antibodi terhadap reseptor asetilkolin. 

Saat ini diketahui antibodi lain yang ada  

pada pasien MG, yakni muscle-specific kinase

(MuSK) dan low-density lipoprotein receptorrelated protein (LRP4). Walaupun mekanisme 

timbulnya autoimun pada MG masih belum 

diketahui secara pasti, diduga beberapa faktor 

berperan dalam terjadinya reaksi autoimun 

ini , yaitu jenis kelamin, hormon, dan 

kelenjar timus yang abnormal pada hampir 

80% penderita MG.

EPIDEMIOLOGI

MG termasuk penyakit yang jarang. 

Insidensnya hanya seldtar 1,7-21,3 per 

1.000.000, dapat terjadi di semua usia dan 

jenis kelamin, Dari beberapa penelitian 

diketahui gambaran bimodal berdasarkan

jenis kelamin dan usia. Pada usia di bawah 

atau sampai usia 50 tahun, lebih banyak 

perempuan dengan rasio 7:3, sedangkan 

pada usia di atas 50 tahun ditemukan lakilaki dengan rasio 3:2, Prevalensi paling 

tinggi pada perempuan usia 20-30 tahun, 

sedangkan laki-laki pada usia 60 tahun.

Dengan semakin meningkatnya kemampuan 

diagnosa , terapi, dan umur harapan hidup, 

prevalensi MG semakin meningkat, yaitu 

15-179:1.000,000 dengan sekitar 10%-nya 

yaitu  usia anak-anak dan remaja. Risiko 

ini akan meningkat sekitar 4,5% bila dalam 

keluarga, saudara kandung, atau orang tua 

memilild riwayat menderita MG atau penyakit autoimun lainnya.

ANATOMI DAN FISIOLOGI TAUT SARAF

OTOT

Akson sel neuron akan berakhir sebagai 

akson terminal pada otot dan membentuk 

motor end plate yang terdiri dari terminal 

saraf atau membran presinaps, celah sinaps, 

dan membran pascasinaps. Pada membran 

pascasinaps ada  beberapa macam protein, yaitu: reseptor asetilkolin, RATL, MusK, 

Agrin, MASC, dan Rapsyn yang bekerja satu 

sama lain melancarkan transmisi sinyal ke 

reseptor asetilkolin (Gambar 1) 

Saat potensial aksi yang dihantar oleh saraf 

motorik mencapai terminal saraf akan timbul 

depolarisasi yang membuka kanal kalsium di 

membran presinaps, Terbukanya kanal kalsium akan mencetuskan pelepasan asetilkolin 

[acetylcholin/ACh] ke celah sinaps dan selanjutnya berikatan dengan reseptor asetilkolin 

0acetylcholin receptor/AChR). di membran 

pascasinaps. Ikatan antara ACh dan AChR 

akan memicu  terbukanya gerbang

natrium pada sel otot, terjadi influks Na\ Influks Na+ ini akan memicu  terjadinya 

depolarisasi pada membran pascasinaps. 

fika depolarisasi ini mencapai nilai ambang 

tertentu {firing level], maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot ini . Potensial 

aksi ini akan dipropagasikan [dirambatkan] 

ke segala arah sesuai dengan karakteristik 

sel eksitabel dan akhirnya akan memicu  kontraksi. 

ACh yang masih tertempel pada AChR kemudian dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase (AChE) yang ada  dalam 

jumlah yang cukup banyak pada membran 

pascasinaps. ACh akan dipecah menjadi kolin dan asam laktat. Kolin kemudian masuk 

ke dalam membran presinaps untuk membentuk ACh kembali. Proses hidrolisis ini 

dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan 

memicu  kontraksi terus menerus.

Keberhasilan transmisi impuls pada taut 

saraf otot tergantung dari:

   Kepadatan reseptor asetilkolin pada 

permukaan membran pascasinaps

   Aktivitas asetilkolinesterase

   Struktur dan jumlah lekukan pada 

membran pascasinaps

Kelemahan otot yang terjadi pada MG dipicu  oleh proses autoimun pada taut 

saraf otot Faktor utama dan paling penting 

dalam patofisiologi MG yaitu  terbentuknya 

autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin 

(AChR) pada membran pascasinaps. Tedapat 

tiga proses yang memicu  gagalnya kontraksi otot akibat proses autoantibodi ini 

(Gambar 2).

Antibodi yang melekat pada AChR akan mengaktifkan kaskade komplemen yang membentuk membrane attack compleks (MAC) yang kemudian menghancurkan AChR serta merusak 

struktur lipatan-lipatan membran pascasinaps, 

sehingga mengurangi luas permukaannya. 

Akibatnya asetilkolin yang dapat berikatan dengan AChR pada membran pascasinaps menjadi jauh lebih sedildt (Gambar 2).

Antibodi yang berikatan pada dua AChR 

akan mengaktifkan proses endositosis AChR,

sehingga terjadi degradasi AChR pada membran pascasinaps. Degradasi ini lebih cepat 

daripada pembentukan AChR baru, sehingga 

semakin menurunkan jumlah ACh yang berikatan dengan AChR.

Antibodi yang melekat pada AChR akan 

memblok ACh, sehingga tidak dapat berikatan dengan AChR. Kompetisi antara autoantibodi dan ACh untuk dapat berikatan dengan 

AChR akan semakin menurunkan jumlah 

ACh yang berikatan dengan AChR.

Pada 85% pasien MG dapat ditemukan antibodi terhadap reseptor asetilkolin (antiAChR) 

dalam darah. Namun ternyata tidak hanya 

reseptor asetilkolin yang dapat menjadi antigen target proses autoantibodi pada MG. 

ada  struktur protein lain pada permukaan membran pascasinaps yang dapat 

menjadi target antigen, seperti pada Gambar 1. Perkembangan terbaru menunjukkan sebagian pasien MG yang tidak mempunyai antibodi terhadap reseptor asetilkolin 

ternyata memiliki antibodi terhadap MuSK 

atau antibodi LRP4 yang merupakan bagian 

dari struktur protein agrin.

GEJALA DAN TANDA KLINIS

Pada MG, kelemahan dan kelelahan terjadi berfluktuasi, tergantung pada aktivitas 

pasien, sehingga dapat berbeda-beda setiap 

waktu. Kelemahan memberat setelah aktivitas fisik yang be rat, kenaikan suhu tubuh, 

dan lingkungan sekitar, serta akan berkurang 

bahkan menghilang setelah istirahat Pada 

sekitar 70% penderita MG, gejala awal yang 

dialami yaitu  keluhan pada mata yang asimetris, yang mengenai otot-otot ekstraokular, 

berupa turunnya kelopak atas (ptosis) dan 

penglihatan ganda (diplopia). Dari seluruh 

tipe okular, sekitar 50% berkembang menjadi

 

tipe generalisata, yaitu kelemahan terjadi pada 

otot-otot bulbar dan otot-otot proksimal, sedangkan seldtar 15% tetap sebagai tipe okular. 

Gejala ldinis yang beratsering ditemukan pada 

tahun pertama sampai tahun ketiga, jarang 

sekali ditemui perbaikan ldinis yang sempuma 

dan permanen.

Gejala ldinis MG dapat berupa:

1. Gejala Okular

Ptosis dan diplopia yang asimetris merupakan gejala okular yang paling sering 

ditemukan. Gejala okular akan menetap 

pada 10-16% pasien MG dalam masa 

3 tahun pertama dan menjadi sekitar

3-10% setelah 3 tahun. Bila gejala okular 

menetap sampai lebih dari 3 tahun, maka 

sekitar 84% tidak mengalami perubahan 

menjadi tipe general ataupun bulbar.

2. Gejala Bulbar

a. Disfoni dan disartria yang muncul 

setelah berbicara beberapa lama, 

sering terjadi pada onset pertama kali.

b. Disfagia (gangguan menelan) muncul 

setelah penderita memakan makanan 

padat. Penderita dapat mengalami kesulitan menggerakan rahang bawah saat 

mengunyah makanan, sehingga harus 

dibantu oleh tangan (tripod position).

c. Kelumpuhan otot-otot wajah sering tidak disadari oleh penderita, baru diketahui setelah orang lain melihat menurunnya ekspresi wajah atau senyumannya 

tampak datar (myasthenic snarl).

3. L e h e r d a n E k s tr e m ita s

a. Leher terasa kaku, nyeri, dan sulit 

untuk menegakkan kepala (dropped

head) akibat kelemahan pada otototot ekstensor leher.

b. Pada ekstremitas, kelemahan lebih 

sering terjadi pada ektremitas atas 

dan mengenai otot-otot proksimal 

(deltoid dan triseps). Pada keadaan 

yang berat, kelemahan dapat terjadi 

juga pada otot-otot distal.

 

4. Gangguan Pernapasan, sering terjadi 

pada MG tipe general. Penderita merasakan kesulitan menarik napas akibat 

kelemahan otot-otot bulbar dan pernapasan.

Klasifikasi MG sangat penting untuk keberhasilan pengobatan  dan terapi. ada  

beberapa klasifikasi MG yang banyak digunakan, pada umumnya dibagi berdasarkan 

gejala Minis, otot yang ter