gan ketat untuk
menghindari kontraksi volume yang
dapat memicu vasospasme.
Berikut pengobatan khusus untuk
mencegah vasospasme:
1] Nimodipin
Nimodipin oral merupakan penyekat
kanal kalsium yang paling banyak
diteliti dan memiliki rekomendasi paling baik berdasarkan American Heart
Association/American Stroke Association (AHA/ASA), yakni kelas 1 dengan
level o f evidence A untuk mencegah vasospasme pascaPSA. Penyekat kanal kalsium terbukti menurunkan insidens defisit pascastroke iskemik dan nimodipin
menunjukkan peningkatan keluaran
keseluruhan dalam 3 bulan pascaPSA
aneurisma. Mekanisme efek protektif nimodipin belum terbukti, namun diduga
melalui penghambatan influks kalsium
yang akan merusak neuron.
Indikasi pemberian nimodipin yaitu
semua pasien PSA, walaupun belum
tentu muncul vasospasme (AHA/ASA
kelas 1, level A) yang diberikan secara
oral. Hal ini berdasarkan penelitian
Mees SMD dick bahwa pemberian oral
nimodipin membantu mengurangi keluaran yang buruk pada pasien dengan
PSA, sedangkan pemberian IV tidak
menunjukkan hasil yang signifikan.
Dosis IV yaitu lmg/jam drip untuk 2
jam pertama, kemudian jika dapat ditoleransi dengan baik, dapat dilanjutkan
menjadi 2mg per jam drip. Adapun dosis oral yaitu 6 X 60mg, dimulai dalam
96 jam dan dilanjutkan hingga 21 hari.
Pada 2010, Food and Drug Administration (FDA) mengeluarkan peringatan
bahayanya pemberian nimodipin oral
yang dilarutkan dalam air dan kemudian dimasukkan secara intravena,
karena dapat memicu henti
jantung, penurunan dramatis tekanan darah dan kejadian kardiovaskuler
lainnya. Saat ini, FDA sudah menyetujui obat oral nimodipin berbentuk cairan. Hal ini diharapkan menjadi solusi
terhadap kendala pada pasien yang
tidak dapat menelan, yang selama ini
memakai nimodipin tablet yang
digerus atau intravena.
2) Terapi trombolisis
Beberapa bukti ilmiah mengindikasikan bahwa penghancuran bekuan
subaraknoid melalui injeksi intrasisterna dengan recombinant tissue plasminogen activator (rTPA) secara dramatis mengurangi risiko vasospasme.
Hal ini dilakukan setelah tindakan
clipping aneurisma.
3} Aspirasi dan irigasi
Aspirasi dan irigasi bekuan subaraknoid pada saat tindakan clipping
aneurisma dapat memberikan hasil
yang kurang optimal dan dihubungkan dengan peningkatan risiko
trauma iatrogenik pada permukaan
pial dan pembuluh darah kecil. Penyemprotan NaCl intraoperatif untuk
membersihkan darah dari rongga
subaraknoid diduga bermanfaat, namun efekti vitas nya belum terbukti.
4) Drainase CSS
Drainase CSS melalui drain ventrikel
dilakukan setelah pengobatan aneurisma untuk menurunkan insidens
vasospasme. Tindakan ini memiliki
risiko rebleeding aneurisma, sehingga
disarankan dilakukan jika tekanan intrakranial melebihi 20mmHg.
5) Statin
Pemberian statin diajukan untuk
mencegah vasospasme dan delayed
cerebral ischemic dengan meningkatkan reaktivitas vasomotor serebral
melalui mekanisme dependen dan
independen kolesterol. pemakaian nya masih kontroversial, namun beberapa penelitian kecil menunjukkan
hasil yang menjanjikan.
6) Terapi "triple H”
Merupakan pengobatan vasospasme
tradisional yang terdiri dari induksi
hipertensi, hipervolemia, dan hemodilusi. Induksi hipertensi agresif dapat
memakai agen inotropik dan vasopressor, jika dibutuhkan, Hipervolemia dapat dicapai dengan transfusi
eritrosit, infus kristaloid isotonik, serta
infus koloid dan albumin bersamaan
dengan injeksi vasopressor. Hemodi-
lusi dilakukan dengan transfusi untuk
mempertahankan hematrokit tetap
30-35% dengan tujuan mengoptimalkan viskositas darah dan penghantaran
oksigen. Terapi ini memerlukan pemasangan kateter arteri pulmoner untuk
mempertahankan tekanan vena sentral
pada j-12mmHg dan pulmonary artery wedge pressure (PAWP) pada 14-
20mmHg.
pengobatan triple H biasanya dilakukan pada pasien dengan aneurisma yang sudah dilakukan operasi
clipping atau coiling yang bertujuan
n; igurangi risiko rebleeding. Meskipun telah dipakai lama, efektifitas
terapi ini masih menjadi bahan perdebatan. Kajian beberapa studi menunjukkan bahwa terapi "triple H" tidak
memperlihatkan hasil positif ataupun
membantu meningkatkan aliran darah
serebral.
7} Angioplasti balon transluminal
Angioplasti balon transluminal direkomendasikan untuk pengobatan
vasospasme setelah kegagalan terapi
konvensional Sebuah studi menunjukkan peningkatan keluaran neurologis
hingga 70% pada pasien vasospasme
simtomatik pasca-angioplasti transluminal. Namun tindakan ini dapat menimbulkan komplikasi berupa ruptur
pembuluh darah, diseksi atau oklusi,
dan perdarahan intraserebral.
Beberapa laporan serial kasus
mengindikasikan bahwa tindakan ini
efektif untuk pengobatan vasospasme
pembuluh darah besar proksimal dan
tidak efektif untuk vasospasme pembuluh darah distal. Hal ini dipicu
karena aliran darah distal dapat meningkat dengan adanya peningkatan
diameter pembuluh darah proksimal.
8) Infus vasodilator
Infus vasodilator merupakan salah
satu pilihan pengobatan untuk pembuluh darah distal. Dibandingkan
angioplasti, efek vasodilator ini lebih
singkat. Vasodilator yang sering dipakai yaitu penyekat kanal kalsium.
Nitrit oksida saat ini mulai dipakai .
Injeksi intraarterial papaverin juga
sering diberikan dengan pengawasan,
karena menurut sejumlah literatur papaverin merupakan zat neurotoksik.
Magnesium merupakan agen neuroprotektif yang bekerja sebagai antagonis reseptor N-metil-D-aspartat
(NMDA) dan penyekat kanal kalsium.
Menurut penelitian metaanalisis, magnesium dapat mengurangi risiko delayed cerebral ischemic dan keluaran
buruk pada PSA aneurisma. Namun
pemakaian magnesium membutuhkan monitor ketat kadarnya. Sebuah
penelitian kecil menunjukkan bahwa
konsentrasi magnesium serum dipertahankan 2-2,5mmol/L untuk mengurangi kejadian iskemik serebral
pascaPSA.
Beberapa agen baru sedang dalam
penelitian untuk menangani vasospasme. Agen ini antara lain
metilprednisolon, tirilazad, dan colforsin intraarterial.
c. Hidrosefalus
Hidrosefalus akut dapat ditatalaksana
dengan drainase ventrikel eksternal, ber-
gantung pada beratnya Minis defisit neurologis atau temuan CT scan. Ukuran hidrosefalus dinilai secara periodik dengan
menyekat drainase saat memantau TIK.
Penurunan TIK secara cepat sebaiknya dihindari karena dihubungkan dengan risiko
tinggi rebleeding. Hidrosefalus simtomatis
dapat ditatalaksana dengan drainase CSS
lumbal temporer, pungsi lumbal serial, dan
shunting ventrikel permanen.
Ventrikulostomi dihubungkan dengan peningkatan risiko rebleeding dan infeksi.
Oleh karena itu, pasien dengan dilatasi
ventrikel tanpa penurunan kesadaran, dianjurkan pengobatan konservatif dengan
monitor ketat status mental dan dilakukan
intervensi jika ada penurunan status Minis. Ventrikulostomi yang dilakukan
dengan tepat merupakan prosedur yang
berisiko relatif rendah dan dapat memperbaiM Minis secara cepat dan dramatis pada
dua pertiga pasien. Hal ini bermanfaat untuk penjadwalan tindakan operasi atau intervensi endovaskular lebih awal.
d. Hiponatremia
Hiponatremia pascaPSA dapat terjadi
pada 10-34% kasus, akibat peningkatan
kadar atrial natriuretic factor (ANF) dan
syndrome o f inappropriate secretion o f
antidiuretic hormone (SIADH). Tata laksana yang biasanya cukup bermanfaat
yaitu pemberian NAC1 yang sedikit
hipertonik [1,5%) dan menghindari restriksi cairan.
e. Kejang
Pemberian antikonvulsan jangka panjang tidak disarankan pada
pasien tanpa kejang sebelumnya atau
tanpa faktor resiko seperti hematoma,
infark, atau aneurisma MCA. Fenitoin
merupakan agen pilihan karena dapat
mencapai konsentrasi terapeutik cepat
dengan pemberian intravena dan tidak
mengubah kesadaran. Berbeda dengan
fenobarbital yang memiliki efek sedasi,
sehingga jarang dipakai .
PENGANTAR NYERI
Setiap orang di dunia pasti pernah merasakan
nyeri, setidaknya sekali dalam hidupnya. Beberapa bagian tubuh mulai dari kepala hingga kaki dapat menjadi nyeri dan membuat
pasien datang ke pelayanan kesehatan. Pada
prinsipnya, nyeri bukanlah penyakit, namun
merupakan suatu keluhan atau tanda klinis
yang dipersepsikan oleh korteks sensorik, Jadi
nyeri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap suatu kerusakan atau
yang berpotensi memicu kerusakan jaringan. Oleh karena itu, setiap keadaan nyeri
harus ditangani dengan cepat dan tepat,
karena bisa bersifat serius dan fatal. American
Pain Society juga menempatkan pemeriksaan
nyeri dalam urutan kelima setelah pemeriksaan tanda vital denyut nadi, tekanan darah,
frekuensi napas, dan suhu tubuh.
Nyeri juga bersifat individual dan dapat
mengganggu kualitas hidup seseorang, sementara penanganan nyeri sangatbervariasi
dan perlu mempertimbangkan banyak aspek. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman
dasar mengenai nyeri, meliputi definisi, neuroanatomi, patofisiologi, evaluasi nyeri, dan
prinsip manajemen nyeri.
DEFINISI NYERI
Berdasarkan International Association for the
Study o f Pain [IASP), nyeri yaitu pengalaman
sensoris dan emosi yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan [tissue damage) yang aktual maupun potensial, atau yang
digambarkan dalam bentuk kerusakan ini . Berdasarkan definisi ini , ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk
mengatakan pasien mengalami nyeri, yaitu
pengalaman yang tidak menyenangkan dan
kerusakan jaringan. Bila individu mengalami
suatu kejadian yang tidak menyenangkan
tanpa ada bukti aktual atau potensi kerusakan jaringan, maka hal itu tidak dikatakan
nyeri. Begitupun sebaliknya bila ada kerusakan jaringan, tetapi individu ini tidak
menganggap sebagai pengalaman yang tidak
menyenangkan, maka inipun tidak tergolong
nyeri. Oleh sebab itu, nyeri merupakan suatu
hal yang bersifat subjektif dan berbeda-beda
interpretasinya antar individu.
Intensitas dan kualitas nyeri secara umum
juga bergantung pada emosi atau psikologis,
sehingga gambaran tentang berat ringannya
kerusakan biologis bervariasi dari satu individu ke individu lain. Oleh karena itu, dibuatlah
klasifikasi mengenai analisis nyeri, baik berdasarkan waktu, intensitas, dan patologisnya.
Berdasarkan lama dideritanya, nyeri dibagi
atas nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut
berlangsung selama 4 -6 minggu, sedangkan
yang lebih panjang durasinya termasuk ke
dalam nyeri kronik. Ada pula beberapa pembagian nyeri berdasarkan durasi nyeri (tran-
sien, intermiten, atau persisten); intensitas
(ringan, sedang, dan berat), kualitas (tajam,
tumpul, dan terbakar), dan penjalarannya
(superfisial, dalam, lokal, atau difus). Di
samping itu nyeri pada umumnya memiliki komponen kognitif dan emosional yang
digambarkan sebagai penderitaan. Nyeri
juga berhubungan dengan refleks motorik menghindar dan gangguan otonom yang
disebut sebagai pengalaman nyeri.
Secara neuropatologis nyeri dikelompokkan
menjadi 3, yaitu: (1) nyeri nosiseptif, yang
disebut juga nyeri inflamasi atau nyeri adaptif,
(2) nyeri neuropatik, dan (3) nyeri campuran.
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan dan dianggap
sebagai proses adaptasi untuk perbaikan jaringan itu sendiri. Jika jaringan menjadi sembuh maka nyeri tidak akan muncul. Kelompok
lain yaitu nyeri maladaptif seperti nyeri neuropatik. Nyeri ini sebenarnya memiliki gejala
yang khas, namun sering terabaikan atau tidak terdeteksi, sehingga berpotensi menjadi
kronik dan mengganggu kualitas hidup penderitanya. ada berbagai istilah terkait
nyeri [Tabel 1], sehingga dibutuhkan anamnesis dan analisis yang tepat oleh karena nyeri
neuropatik memiliki penanganan yang berbeda dengan nyeri nosiseptif.
Sensitisasi yaitu istilah neurofisiologis yang
meliputi turunnya ambang batas nyeri dan
peningkatan respons pada stimulus di atas
ambang batas nyeri. Selain itu, terjadi pula
cetusan spontan dan perluasan area reseptif,
Secara klinis, sensitisasi dapat dijumpai pada
fenomema hiperalgesia atau alodinia.
Istilah alodinia, hiperalgesia, dan hiperestesia sering membingungkan klinisi, Hiperalgesia yaitu istilah yang memayungi segala
kondisi peningkatan sensitivitas nyeri. Alodinia yaitu contoh bentuk dari hiperalgesia
yang lebih mengacu untuk rasa nyeri yang
timbul akibat stimulus yang biasanya tidak
bersifat nyeri [subthreshold]. Sementara itu,
hiperalgesia lebih tepat dipakai pada keadaan yang ditandai peningkatan respons
pada tingkat ambang batas nyeri yang normal/meningkat. Di lain pihak, hiperestesi
ditandai dengan adanya penurunan ambang
batas terhadap semua stimulus (raba, suhu,
dan tekan) dan peningkatan respons terhadap stimulus yang dikenali secara normal.
Ambang batas dan tingkat toleransi nyeri
sangat bersifat subjektif bergantung pengalaman dan memori seseorang terhadap
intensitas stimulus yang diberikan, sehingga
dianggap sebagai rasa nyeri. Secara kuantitatif, intensitas stimulus dapat diukur. Sebagai
contoh, jika ambang batas nyeri didefinisikan sebagai suatu tingkatyang 50% stimulus
dikenal sebagai rasa nyeri, maka pada tingkat
itulah stimulus mulai dianggap nyeri.
NEUROANATOMI DAN PATOFISIOLOGI
Dalam memahami proses nyeri, terlebih
dahulu kita harus mengetahui struktur
anatominya, mulai dari reseptor tempat
awal penghantaran noxious stimulus hingga
korteks serebri. Jika seseorang mengeluhkan nyeri, maka hal itu diawali dengan aktivasi reseptor nyeri nosiseptif (nosiseptor)
oleh noxious stimulus. Reseptor nosiseptif
ini dapat diketemukan di kulit, jaringan
penunjang, pembuluh darah, periosteum,
dan organ-organ viseral. Reseptor nosiseptif merupakan bagian ujung dari serabut
saraf aferen primer, atau disebut juga neuron ordo I, yang memiliki beberapa bentuk
morfologi dan karakteristik (Tabel 2) Serabut saraf aferen primer yang menghantarkan informasi nosiseptif yaitu serabut
saraf A-delta (A-5) dan C. Stimulasi beberapa
serabut saraf A-5 memicu sensasi nyeri
tajam dan terlokalisasi dengan baik, sedangkan aktivasi serabut saraf C akan menyebabkan sensasi nyeri tumpul, panas, pegal, dan
tidak terlokalisasi dengan jelas.
Serabut saraf aferen primer ini mempunyai
badan sel pada ganglion radiks dorsalis, yang
aksonnya akan mengirimkan sinyal ke lapisan
tertentu di kornu dorsalis medula spinalis
(Gambar 1). Sinyal dari serabut saraf A-5 akan
sebagian besar menuju lapisan superfisial
(lamina I). Sementara itu, sinyal dari serabut
saraf C menuju lapisan profunda (lamina II).
Setiap unit sensorik yang terdiri dari sel-sel
saraf sensorik di ganglion radiks dorsalis dengan struktur perpanjangannya ke arah sentral (medula spinalis) dan perifer (reseptor)
memiliki distribusi segmental untuk setiap
area di tubuh manusia. Bila segmen-segmen
ini disusun dari mulai area kepala hingga kaki,
maka akan membentuk suatu peta topografi
yang disebut dermatom. Sebagai contoh, area
wajah dan kepala bagian anterior memiliki
topografi sesuai persarafan saraf trigeminalis, sedangkan area deltoid memiliki topografi
sesuai persarafan saraf spinalis C5.
Pada kornu dorsalis medula spinalis, neuron
ordo I akan bersinaps dengan neuron ordo II.
N euro transmiter yang terlibat dalam konduksi nyeri pada sinaps ini, antara lain kelompok
asam amino eksitatorik (glutamat, aspartat),
adenosine 5B\-triphosphate (ATP), dan neuropeptida (substansi P). Neuron ordo II terdiri
dari neuron spesifik stimulasi nosiseptif dan
neuron nonspesifik stimulasi nosiseptif dengan rentang stimulus yang lebar dan dinamis
(wide dynamic range neurons). Akson neuron
ordo II ini akan menyeberang ke sisi kontralateral melalui komisura anterior medula
spinalis, kemudian membentuk traktus spinotalamikus lateral yang akan naik ke otak. Traktus ini memiliki pembagian berdasarkan level
vertebra, dengan bagian sakral terletak pada
posterolateral dan bagian servikal berada
pada anteromedial. Selain rasa nyeri, traktus
spinotalamikus lateral juga menghantarkan
sensasi suhu panas atau dingin. Oleh sebab
itu, lesi pada traktus spinotalamikus lateral tidak hanya berakibat gangguan penghantaran
nyeri, tetapi juga sensasi suhu.
Selain traktus spinotalamikus lateral, ada pula beberapa traktus lain yang berperan menghantarkan nyeri. Salah satu contohnya, traktus spinoretikularis bermula
dari medula spinalis hingga neuron di formasio retikularis, dan selanjutnya ke nukleus intralaminar. Traktus ini terlibat dalam
aktivitas saraf dan kesadaran yang mendasari aspek afektif dari suatu nyeri.
Contoh lainnya yaitu traktus spinomesensefalika dari medula spinalis, rnelewati medula oblongata dan pons bersama
dengan traktus spinotalamikus lateral dan
spinoretikularis, dan berhenti di mesensefalon
dan periaqueductal gray (PAG). Traktus ini berperan mengintegrasikan sensasi nyeri somatik
dengan informasi visual dan auditorik.
Adapun traktus spinotalamikus lateral sendiri terdiri dari dua komponen, yaitu serabut
cepat (traktus neospinotalamikus) dan lambat (traktus paleospinotalamikus). Traktus
neospinotalamikus berasosiasi dengan nyeri
terlokalisasi dengan baik, atau disebut juga
aspek diskriminatif. Traktus ini berakhir di
talamus bagian nukleus ventral posterolate-
ral (VPL). Sementara itu, traktus paleospinotalamikus berasosiasi dengan nyeri tak terlokalisasi dengan baik serta respon emosional
terhadap nyeri, atau disebut juga aspek afektif. Traktus ini berakhir di nukleus intralaminar nonspesifik di thalamus dan formasio
retikularis di batang otak.
Neuron ordo II yang berakhir di talamus akan
bersinaps dengan neuron ordo ketiga (III] untuk selanjutnya diproyeksikan ke korteks sensorik primer. Selain itu, neuron ordo III juga
berpoyeksi ke korteks sensori sekunder dan insula dalam hal yang berhubungan dengan persepsi fungsi luhur dari nyeri. Adapun persepsi emosional dari nyeri melibatkan struktur
korteks cingulata anterior, insula posterior
dan operkulum parietal.
Pada dasarnya jalur nyeri mengikuti dari 4
proses utama (Gambar 2], yaitu:
1. Proses Transduksi
Perubahan stimulus tanda bahaya pada
jaringan yang dirub ah menjadj aru’s depolarisasi dengan bantuan reseptor nosiseptif (mekanik dengan ambang batas
tinggi, mekanotermal dan polimodalj
2. Proses Transmisi
Transmisi arus depolarisasi mulai dari
neuron ordo kesatu, neuron ordo kedua,
neuron ordo ketiga hingga ke korteks
cerebri.
3. Proses Moduiasi
Adanya perubahan respons inhibisi atau
fasilitasi terhadap nyeri. Moduiasi ini
bisa asenden atau desenden.
4. Proses Persepsi
Korteks serebri melakukan diskriminasi
terhadap nyeri. Struktur subkortikal seperti korteks cingulata anterior melakukan persepsi emosi dari suatu nyeri.
Adanya kerusakan jaringan akan menyebabkan stimulus nyeri (noxious stimulus) yang
kemudian ditransduksi dari reseptor nyeri
menjadi arus depolarisasi. Arus ini akan
terhantar mengikuti alur traktus transmisi
nyeri yang berakhir di korteks serebri dan
struktur pusat lain, sehingga timbul proses
persepsi nyeri. Arus depolarisasi yang timbul bisa mengalami mekanisme inhibisi
atau mekanisme' fasilitasi sesuai dengan
proses modulasi baik secara asenden atau
desenden.
Stimulus selain nyeri di lokasi terjadinya
kerusakan jaringan dapat menurunkan
transmisi stimulus nyeri (noxious stimulus)
di kornu dorsalis. Hal ini disebut dengan
gate control theory yang dikemukakan oleh
Wall dan Melzack (Gambar 3]. Menurutteori
ini, modulasi transmisi nyeri dapat terjadi di
kornu dorsalis dengan melibatkan serabut
saraf aferen primer, interneuron, serabut
saraf aferen selain nyeri, dan neuron ordo II
yang akan mentransmisikan sinyal nyeri ke
otak. Serabut saraf aferen primer akan bersifat
membuka pintu {opening the gate) transmisi
nyeri, sedangkan serabut saraf aferen selain
nyeri bersifat sebaliknya dengan menutup
pintu {closing the gate) melalui aktivasi interneuron inhibisi nyeri. Mekanisme buka
tutup pintu ini juga melibatkan neuron desenden dari otak. Pada akhirnya, transmisi
nyeri dapat berkurang dengan pemberian
stimulus selain nyeri, misalnya usapan, belaian, garukan, dan kehangatan.
Serabut saraf nosiseptif mengeksitasi neuron
ordo II untuk menghantarkan sinyal nyeri. Serabut saraf non-nosiseptif dapat menurunkan
transmisi sinyal nyeri dengan mengeksitasi
interneuron inhibitor nosiseptif dan neuron
ordo II Hasilnya, terjadi penurunan transminsi sinyal nyeri yang diteruskan ke traktus
spinotalamikus. (-]: inhibisi; (+): eksitasi.
Sistem inhibisi desenden mempunyai tiga
mekanisme relasi fungsional dari neurotransmiter, yaitu sistem opioid, noradrenergik, dan serotonergik. Prekursor opioid
endogen (beta-endorfin, metionin-enkefalin, leusin-enkefalin, dan dinorfin] terletak
di amigdala, hipotalamus, PAG, rafe magnus,
dan kornu dorsalis. Neuron noradrenergik
diproyeksikan dari lokus seruleus dan sel
noradrenergik lainnya di medula serta pons,
juga di funikulus dorsolateral yang menginduksi proses analgesia. Sistem serotonergik
ditemukan pada rafe magnus.
EVALUASI NYERI
Nyeri merupakan tanda vital kelima, selain
dari tekanan darah, nadi, pernapasan, dan
suhu. Berbeda dengan lainnya, nyeri lebih
bersifat subyektif dan harus selalu ditanyakan ke pasien adakah nyeri atau tidak.
Kesalahan klinisi yang tidak mengevaluasi nyeri dengan benar memicu kegagalan pengobatan nyeri. Oleh karena itu,
evaluasi sangatlah penting untuk dilakukan
setiap saat memeriksa pasien. Langkahlangkah evaluasi nyeri meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, uji diagnostik. 1 . A n a m n e s is
Anamnesis secara terarah dan teliti merupakan hal pertama yang harus dilalcukan
untuk membedakan pasien nyeri atau
tidak. Informasi yang harus dieksplorasi
dari pasien nyeri tidak hanya mengenai
karakteristik nyeri, tetapi juga target dan
harapan pasien (Tabel 3}. Dengan demiki-
, an, klinisi mendapatkan gambaran awal
pasien yang akan dikelola.
Karakteristik nyeri merupakan bagian
terpenting dalam langkah-langkah evaluasi nyeri. Hal ini mencakup awitan, durasi,
kualitas, lokasi dan distribusi, intensitas,
gejala penyerta, serta faktor yang memperberat/meringankan.
Berdasarkan awitannya, klinisi dapatmenilai sejak kapan nyeri ini muncul
dan apakah muncul mendadak atau perlahan-Iahan. Menurut durasinya, nyeri
dapat bersifat terus-menerus, intermiten, pulsatil, atau menyerupai gelombang (wavelikej dengan periode naik dan
turun. Untuk lebih memudahkan dalam
penilaian durasi, klinisi dapat menggambarkan grafik nyeri yang menandakan
awal mula nyeri dan progresivitas naik/
turun seiring waktu (Gambar 4).
Nyeri akibat tertusuk jarum biasanya
berlangsung singkat, sedangkan migren
memiliki karakteristik pulsatil. Bila pulsatilitas memiliki durasi lebih lama, maka hal
ini seperti nyeri kolik usus. Adapula nyeri
pada angina pektoris yang dirasakan meningkat secara gradual hingga mencapai titik tertentu dan bertahan untuk beberapa
waktu. Nyeri muskuloskeletal cenderung
bersifat fluktuatif dan kontinu.
Kualitas nyeri dievaluasi dengan menanyakan ke pasien seperti apa rasa nyeri
yang dirasakan. Nyeri somatik yang profunda dirasakan tumpul dan sulit dilokalisasi, sedangkan yang superfisial bersi-
fat tajam dan berbatas jelas. Sementara
itu, nyeri neuropatik yang kadang sulit
dideskripsikan oleh pasien memiliki
kualitas seperti terbakar, diiris-iris, ditusuk-tusuk, atau kesetrum listrik.
Nyeri berdasarkan lokasi dan distribusinya dapat dikelompokkan menjadi nyeri
lokal, nyeri rujuk, nyeri proyeksi, dan
nyeri non-dermatomal. Lesi pada kulit
dan muskuloskeletal, seperti artritis,
tendinitis, dan luka bekas operasi, biasanya dirasakan lokal tidak menjalar ke
daerah lain. Proses patologis dari organ
dalam dapat memicu nyeri rujuk
ke daerah lain sesuai inervasi saraf yang
berasal dari satu segmen. Contohnya,
antara lain nyeri diafragma yang dapat
muncul sebagai nyeri bahu, atau nyeri
pada apendisitis yang awalnya bergejala
seperti nyeri ulu hati.
Nyeri proyeksi dirasakan oleh pasien
sepanjang distribusi sarafnya, misalnya
nyeri radikular akibat hernia nukleus
pulposus. Selain itu, nyeri proyeksi dengan distribusi perifer juga dijumpai
pada neuralgia trigeminal dan meralgia
parestetika.
Ada pula nyeri yang tidak memenuhi
distribusi saraf perifer, segmen tertentu, atau pola yang mudah dikenali. Hal
ini disebut nyeri nondermatomal yang
sering dijumpai pada nyeri neuropatik
sentral, fibromialgia, dan sindrom nyeri
regional kompleks [complex regional
pain syndrome/CRPS).
Setelah lokasi dan distribusi, nyeri juga
harus diketahui intensitasnya, misalnya
ringan, sedang, atau berat. Untuk mengetahuinya, klinisi dapat memakai
alat penilaian nyeri [assessment tools)
yang akan dibahas selanjutnya di topik
ini. Selain dari alat penilaian nyeri, intensitas nyeri juga dapat tergambarkan melalui keseharian pasien. Pasien dengan
nyeri intensitas berat lebih cenderung
untuk diam di tempat tidur dan tidak beraktivitas, Sementara itu, pasien yang intensitasnya lebih ringan mungkin masih
bisa kegiatan ke luar rumah. Penilaian
intensitas sangat penting untuk menentukan terapi nyeri yang akan diberikan
dan memantau keberhasilan terapi.
Setiap nyeri dapat memiliki faktor yang
memperberat dan meringkankan keluhan. Aspek mekanik, seperti pengaturan
posisi tubuh/postur, sikap berdiri, duduk,
berjalan, membungkuk, dan mengangkat
barang, dapat mempengaruhi intensitas
nyeri. Aspek psikologis, mi-salnya depresi, ansietas, masalah emosional, dan stres
psilds turut dapat memperberat keluhan
nyeri pasien. Selain itu, pengaruh hormonal, lingkungan cuaca, dan diet pasien
juga harus dievaluasi oleh klinisi. Pengetahuan akan hal-hal ini sangat penting
dalam menyusun rencana pengobatan
dan edukasi kepada pasien nyeri.
2 . P e m e r ik s a a n F is ik
Pemeriksaan fisik pada pasien nyeri bertujuan mengetahui penyebab nyeri dan
sebagai bentuk perhatian dari klinisi
yang serius menangani keluhannya. Selain pemeriksaan fisik umum, pasien
nyeri harus diperiksa terutama di daerah
yang dikeluhkan nyeri, melalui inspeksi,
palpasi, dan perkusi.
Saat inspeksi daerah nyeri, Idinisi memperhatikan tampilan dan warna kulit di daerah ini . Segala bentuk abnormalitas
harus didokumentasikan, mi-salnya trofi,
warna kebiruan (sianosis), kemerahan
[flushing), atau hipertrikosis. Adanya kutis
anserina mengindikasikan ada disfungsi
otonom karena radikulopati, sedangkan
sianosis menandakan perfusi jaringan
yang buruk dan iskemia saraf.
Palpasi dengan memakai jari dapat
memunculkan nyeri dan mengetahui
penjalarannya bila ada, sehingga Idinisi
mengetahui luasnya daerah nyeri. Saat
melakukan palpasi, klinisi harus memperhatikan tanda subjektif (meringis, menyeringai, ekspresi verbal dan nonverbal]
serta tanda obyektif (taldkardia, berkeringat, dan kaku otot) sebagai manifestasi
nyeri. Adanya ketidaksesuaian antara
tanda subjektif dan obyektif harus didokumentasikan oleh klinisi.
Bentuk ekspresi terhadap nyeri dipengaruhi oleh sensitivitas dasar yang dimiliki oleh seseorang. Oleh karena itu,
palpasi dilakukan tidak hanya pada daerah nyeri, tetapi juga pada sisi kontralateral yang tidak nyeri, Dengan demildan,
klinisi mengetahui sensitivitas dasar dan
memahami respons pasien terhadap
stimulus yang bersifat noxious dan nonnoxious. Beberapa tes dengan memakai
kapas, cubitan, garukan, dan peniti dapat
menentukan nyeri diprovokasi oleh
tindakan palpasi pada kulit atau iesi di
struktur yang lebih dalam. Biia pasien
mengeluh nyeri saat digoreskan dengan
kapas di kulit, maka hal ini mengindikasikan alodinia yang diduga akibat disfungsi medula spinalis. Pemeriksaan dengan
cubitan, peniti, atau garukan dilakukan
mulai dari daerah yang tidak nyeri, bertahap ke daerah nyeri hingga melewatinya, dan ke daerah yang tidak nyeri.
Hal ini bertujuan mengetahui sensasi
pasien terhadap nyeri superfisial. Klinisi
sebaiknya melakukan hal serupa pada
sisi kontralateral yang tidak nyeri untuk
mendapatkan respons dasar pasien dan
membandingkan responsnya dengan sisi
yang nyeri.
Selain pemeriksaan di daerah yang dikeluhkan nyeri, klinisi sebaiknya mengevaluasi sistem muskuloskeletal pasien
secara umum. Evaluasi dimulai dengan
inspeksi pasien secara umum, dari sisi
depan, belakang, dan samping. Perhatian
terutama pada postur dan kesimetrisan
sisi kanan dan kiri di lengan, panggul,
dan tungkai. Adanya asimetri atau deviasi dari kesejajaran dapat memicu
kesalahan postur yang bergejala nyeri.
Setelah inspeksi secara umum, selanjutnya pasien dilakukan pemeriksaan gait.
Klinisi memperhatikan ayunan lengan,
langkah-langkah proses berjalan (push
o ff and heel strike}, dan gerakan abnormal pada sisi tubuh pasien saat berjalan.
Pasien juga diminta untuk berjalan dengan bertumpu pada jari-jari kaki untuk
menilai radiks nervus S I dan pada tumit
untuk menilai radiks nervus L5.
Struktur tulang, jaringan lunak, dan sendi dipalpasi untuk menilai perbedaan
suhu, edema, krepitus, atau deformitas.
Hal ini dilakukan pada sisi kanan dan kiri
untuk mengetahui adanya perbedaan
kiri dan kanan dan membandingkan antara daerah patologis dan yang sehat.
Leher dievaluasi dengan menilai lingkup
gerak sendi yang meliputi fleksi dan ekstensi, fleksi lateral, serta rotasional. Pada
keadaan normal, dagu dapat menyentuh
dada saat fleksi penuh dan jari telunjuk
serta jari tengah pemeriksa terletak di
antara oksiput dan prosesus spinosis C7
saat ekstensi penuh. Saat rotasi kepala,
pasien normalnya bisa menoleh lebih
dari 70° dari potongan sagital. Fleksi
lateral dapat mencapai 45° ke kedua sisi
dari posisi netral.
Penilaian ekstrimitas atas dilakukan dengan menilai genggaman tangan pasien
(handgrip test); abduksi dan aduksi jarijari; jari kelingking yang menyentuh ibu
jari; fleksi dan ekstensi pergelangan tangan; fleksi, ekstensi, supinasi, dan pronasi lengan bawah; abduksi lengan atas;
dan mengangkat bahu. Khusus untuk
daerah bahu, abduksi hingga 90, adduksi,
serta rotasi internal dan eksternal dapat
dilakukan untuk menilai lingkup gerak
sendi dan keterlibatan otot pada nyeri
bahu. Rotasi internal dan eksternal bahu
dilakukan bersamaan dengan fiksasi tulang skapulanya, sehingga dapat menilai
gerakan glenohumeral. Pemeriksaan ekstrimitas bawah dimulai
dengan meminta pasien berdiri, mengangkat tungkai, bangkit dari posisi jongkok,
serta fleksi dan ekstensi pada tungkai, kaki,
dan jari-jari. Dengan melihat cara pasien
duduk dan berdiri, ldinis mendapatkan
kesan fungsi otot secara keseluruhan.
Pada sendi panggul, pasien dapat melakukan gerakan rotasi internal dan e x te rnal, fieksi dan ekstensi, serta abduksi dan
aduXi. Sendi lutut dapat digeraltkan fieksi
dan ekstensi, sedangkan pergelangan kaki
dapat bergerak fieksi dan ekstensi serta
eversi internal dan external.
Pemeriksaan fisik neurologis juga perlu
dilakukan untuk setiap pasien nyeri,
terutama pasien baru. Hal ini untuk
mengetahui adanya lesi struktural pada
susunan saraf pusat atau perifer yang
bermanifestasi nyeri.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk lebih memastikan diagnosa dan
meningkatkan luaran pasien. Pemilihan
uji diagnostik dilakukan berdasarkan
karakteristik nyeri dan kecurigaan penyebabnya. Oleh karena itu, hal ini tidak
dapat menggantikan peranan anamnesis
dan pemeriksaan fisik, melainkan hanya
menjadi tambahan dalam alur diagnosa .
Walaupun ada banyak jenis pemeriksaan laboratorium, ldinisi harus teliti
dalam memilihnya. PemeriXaan darah
lengkap bisa menjadi gambaran awal
kesehatan pasien. Kadar Hb yang rendah pada penyakit sickle cell anemia
bisa bergejala nyeri. Adanya leukositosis
bisa mengarah kepada etiologi suatu infeksi atau keganasan hematologi. Jumlah
trombosit dan profil hemostasis nantinya bisa diperlukan sebagai pertimbangan bila ingin tindakan intervensi nyeri.
Protein fase akut [C-reactive proteinf
CRP} menunjukkan adanya inflamasi,
misalnya pada kondisi infeksi, trauma,
luka bakar, dan kanker. Pemeriksaan
kimia darah lainnya, meliputi natrium,
ureum, kreatinin, dan glukosa. Hiponatremia dapat memicu nyeri seluruh tubuh. Peningkatan hasil ureum
dan kreatinin menunjukkan insufisiensi
renal dan meningkatkan kemungkinan
munculnya efek samping opioid, sehingga ldinisi harus menyesuaikan dosis obat
nyeri pada pasien. Pemantauan glukosa,
terutama pada pasien diabetes mellitus,
sangat diperlukan karena pasiennya bisa
bergejala nyeri neuropatik.
Penyakit seperti lupus eritematosus
sistemik dan artritis reumatoid ditandai dengan inflamasi di beberapa sendi,
otot, atau kulit, sehingga dapat menimbulkan nyeri yang difus di seluruh tubuh.
Pemeriksaan autoantibodi, antinuclear
antibodies (ANA), anti-Ro, anti-SM, antineutrophil cytoplasmic antibody (ANCA),
dan faktor reumatoid dapat diperiksa
bila dicurigai etiologi nyeri ke arah kelainan autoimun atau reumatologi.
Beberapa modalitas pencitraan, antara
lain Rontgen, CT scan, MRI, dan ultrasonografi (USG), dapat dikerjakan untuk
mengetahui etiologi nyeri. PemeriXaan
Rontgen bisa dilakukan untuk mengevaluasi kelainan tulang (fraktur, osteofit),
ligamentum, dan degenerasi sendi.
Pemeriksaan CT scan bisa menunjukkan
dengan lebih jelas abnormalitas tulang dan send*, misalnya fraktur baru, subluksasi, lesi kistik pada tulang. Selain itu, CT
scan juga dapat menilai densitas mineral
tulang. MRI dapat dilakukan terutama
untuk melihat struktur jaringan lunak
tendon dan Iigamentum, medula spinalis, dan otak dengan lebih jelas daripada
CT scan. USG memiliki keunggulan tidak
memiliki radiasi dan menyajikan hasil
berupa kondisi saat itu juga (real-time assessment). Struktur saraf, pembuluh darah di dalam jaringan lunak, otot, tendon,
dan beberapa organ visera dapat dinilai
dengan USG. Sayangnya, USG memiliki
penetrasi tulang yang kurang bagus dan
kapasitas resolusinya tidak sebaik MRI,
sehingga tidak dianjurkan untuk melihat
kelainan pada medula spinalis.
Pemeriksaan elektromiografi dan kecepatan hantar saraf diindikasikan pada
nyeri yang dipicu oleh kelainan
susunan saraf perifer, mulai dari kornu
anterior medula spinalis, radiks, pleksus, saraf perifer, hingga otot. Berdasarkan kedua pemeriksaan ini, klinisi dapat
melokalisasi lesi dan menentukan proses
patologis yang terjadi (demielinisasi, degenerasi aksonal, miopati, pleksopati, radikulopati].
4. Alat Penilaian Nyeri
Selain pemeriksaan klinis dan penunjang, ada beberapa alat (too/s) yang
telah dikembangkan untuk menilai intensitas nyeri. Pada praktiknya, alat ini
dipakai pada awal bertemu pasien
nyeri dan selanjutnya saat tindak lanjut,
sehingga alat ini juga berfungsi untuk
memantau keluhan dan keberhasilan
terapi.
Secara umum, alat penilaian nyeri (pain
assessment tools) dikategorikan menjadi
unidimensi dan multidimensi. Kedua
kategori ini memiliki karakteristik yang
khas, sehingga setiap alat penilaian memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Klinisi harus mengetahui
hal ini agar dapat memilih alat penilaian
yang tepat dan akurat untuk pasien.
Alat unidimensi menilai intensitas nyeri
hanya dengan skala untuk satu ukuran
saja, misalnya skala dengan nilai 0 (tidak
nyeri) sampai 10 (sangat nyeri sekali).
Alat ini mudah diaplikasikan dan lebih
melibatkan dokter dalam pengisian
datanya, sehingga cocok untuk pasien
dengan nyeri akut dan tidak menimbulkan dampak psikososial. Contoh dari alat
unidimensi antara lain, numeric rating
scale (NRS), visual analog scale (VAS),
faces pain scale (FPS), dan Wong-Baker
Faces Rating Scale (Tabel 4).
NRS yaitu alat penilaian nyeri yang paling
umum dipakai. Pasien memberikan nilai
dengan skala 0-10 atau 0-5, dengan nilai 0
merepresentasikan tidak nyeri sama sekali
dan 5 atau 10 berarti sangat nyeri sekali
(Gambar 5}. Penilaian ini dilakukan pada
pertemuan pertama, kemudian saat tindak
lanjut secara periodik sesuai kondisi klinis.
Berbeda dengan NRS, penilaian nyeri dengan VAS memakai garis lurus sepanjang 10cm (Gambar 6}. Kedua ujung dari
garis diberi tanda, yaitu salah satu ujung
diberi tanda tidak nyeri (tanda "Ocm”) dan
ujung lainnya diberi tanda sangat nyeri
(tanda "lOcm”). Pasien lalu memberi tanda
di sepanjang garis itu, di antara kedua ujung
ini untuk merepresentasikan intensitas nyerinya. Klinisi kemudian mengukur
tanda itu memakai penggaris.,
Alat penilaian FPS untuk anak dan dewasa
serta Wong-Baker Faces Rating Scale (Gambar
7) untuk anak merupakan skala kategori yang
memakai penjelasan visual. FPS terdiri
dari delapan gambar wajah dengan ekspresi
berbeda-beda, antara lain senyum, sedih, dan
meringis. Pasien memilih gambar wajah yang
sesuai dengan intensitas nyerinya.
Sementara itu, alat multidimensi menilai intensitas nyeri dari beberapa skala dan parameter, antara lain skala intensitas nyeri, kualitas hidup, derajat disabilitas, dan diagram
lokasi nyeri. Alat ini lebih cocok diaplikasikan untuk pasien nyeri kronik yang memiliki
dampak psikososiai. Pada alat multidimensi,
pasien seringkali diminta untuk menuliskan
laporan (self-report) sehari-hari terkait nyeri,
sehingga lebih banyak terlibat dalam pengisian data. Contoh dari alat multidimensi antara lain, Initial Pain Assessment Tool, Brief Pain
Inventory, McGill Pain Questionnaire (Tabel 5).
Initial Pain Assessment Tool dikembangkan
untuk evaluasi awal nyeri pada pasien. Beberapa hal yang dinilai dalam alat ini yaitu
karakteristik nyeri, perilaku pasien dalam
mengekspresikan nyeri, dan dampak nyeri
terhadap kehidupan pasien (tidur, aktivitas
harian, makan, emosi, hubungan interpersonal). Selain itu, ada diagram yang
menunjukkan lokasi nyeri, skala intensitas
nyeri, dan kolom untuk pencacatan komentar pasien serta rencana pengobatan.
BPI merupakan alat multidimensi yang
mudah dipakai untuk mengukur tingkat
keparahan nyeri dan disabilitas terkait. Secara umum, alat ini menggambarkan nyeri
yang dirasakan oleh pasien selama 24 jam
terakhir. ada empat pertanyaan untuk
menilai tingkat keparahan nyeri dan tujuh
pertanyaan untuk menilai disabilitas, masing-masing berskala 0 (tidak nyeri) sampai
10 (nyeri sekali). Selain itu, ada pula
diagram lokasi nyeri dan pertanyaan mengenai jenis terapi nyeri yang saat ini didapat
oleh pasien. Lama pengisian data pada alat
ini sekitar 5-15 meni
MPQ yaitu salah satu alat multidimensi
yang paling sering dipakai . Alat ini menilai nyeri pada tiga dimensi, yaitu sensorik,
afektif, dan evaluatif, berdasarkan deskripsi
pasien mengenai nyerinya. Setiap dimensi
memiliki aspek masing-masing. Dimensi
sensorik memiliki aspek temporal, spasial,
tekanan, suhu, dan sensorik lainnya. Pada
aspek afektif, aspeknya meliputi ketegangan,
rasa takut, dan autonom. Sementara itu, dimensi evaluatif menjelaskan intensitas nyeri
secara keseluruhan yang dialami pasien.
Setiap aspek memiliki beberapa pilihan kosakata yang menjelaskan karateristik nyeri.
Pada penilaian nyeri dengan memakai
MPQ, pasien diminta untuk memilih kosakata dalam setiap aspek dimensi yang sesuai
menggambarkan karaktersitik nyerinya. Adapun intensitas nyeri pada alat ini diukur dalam
beberapa skala, yaitu mild, discomforting, distressing, horrible, dan excruciating. Selain itu,
pasien juga diminta untuk menyatakan perubahan nyeri terhadap waktu, misalnya transien, ritmik, atau kontinu konstan.
Beberapa tantangan dalam menilai nyeri
dapat ditemukan pada kelompok usia lanjut, anak-anak, atau pasien yang berbeda
budaya dan bahasa, sehingga membutuhkan pendekatan khusus. Pasien usia lanjut
seringkali tidak melaporkan keluhan nyeri
karena rasa takut dan merasa akan merepotkan orang lain. Selain itu, adanya gangguan
pendengaran dan penglihatan membuat
kesulitan dalam pengerjaan alat penilaian.
Dengan demikian, kiinisi jangan terburuburu dalam melakukan penilaian dan meng-
gunakan alat penilaian yang mudah dipakai,
misalnya FPS. Klinisi juga harus memperhatikan perubahan parameter pasien usia tua
(aktivitas harian, fungsi sosial, berjalan]
yang bisa mengindikasikan nyeri yang tidak
teratasi.
Pada pasien anak-anak, tantangan yang dihadapi berupa kesulitan berkomunikasi dan
sulit membedakan antara ansietas dengan
nyeri. Klinisi harus memilih pendekatan yang
konsisten dengan tahapan perkembangan
anak. Khusus untuk bayi dan balita, penilaian
nyeri dapat melihat respons menangis serta perilaku defensif, misalnya menggigit,
memukul, menendang, dan berlari kabur.
Pasien yang berbeda bahasa dan budaya
dapat memiliki perbedaan respons perilaku
terhadap nyeri dan preferensi terapi. Oleh
karena itu, klinisi sebaiknya memakai
alat penilaian dengan bahasa yang sesuai
dan menyediakan materi edukasi pasien
sesuai bahasa pasien, jika memungkinkan.
Bila diperhatikan secara seksama, alat-alat penilaian nyeri yang telah dibahas sebelumnya
hanya dapat diaplikasikan pada pasien sadar
yang dapat melaporkan keluhan nyerinya (self
report], Oleh sebab itu, ada beberapa alat
lain yang dikembangkan untuk pasien yang tidak dapat melaporkan sendiri keluhan nyerinya, seperti di ruang perawatan intensif, antara lain behavioral pain scale (BPS), behavioral
pain scale-nonintubated [BPS-NI], dan critical
care pain observational tools (CPOT).
BPS terdiri dari tiga indikator, yaitu ekspresi
wajah, gerakan ekstrimitas atas, dan toleransi
terhadap ventilasi mekanik. Setiap indikator
berskala 1 sampai 4, sehingga total skornya
berkisar 3 hingga 12. Perbedaannya dengan
BPS-NI ada pada indikator "toleransi
dengan ventilator yang diganti dengan vokalisasi (Tabel 6). Sementara itu, CPOT terdiri dari empat aspek, yaitu ekspresi wajah,
pergerakan badan, ketegangan otot, dan
"toleransi dengan ventilator (untuk pasien
terintubasi] atau vokalisasi (untuk pasien
tidak terintubasi. Setiap aspek bernilai 0-2,
dengan total nilai mulai dari 0 sampai 8.
PRINSIP MANAJEMEN NYERI
Pasien dengan keluhan nyeri membutuhkan pertolongan segera. Nyeri yang awalnya dirasakan akut dapat berlanjut menjadi
kronik bila tidak dipengobatan secara baik.
Pada keadaan akut, nyeri dipicu oleh
kerusakan jaringan dan adanya aktivasi nosiseptor di lokasi ini . Tujuan tata laksana nyeri akut yaitu eliminasi nyeri dan
merestorasi kondisi pasien sesegera mungkin melalui terapi yang agresif, sehingga tidak berlanjut menjadi nyeri kronik.
Sementara itu, nyeri kronik ditandai dengan
kerusakan patologis dengan tingkat keparahan yang tidak sesuai dengan besarnya
nyeri yang dirasakan oleh pasien. Nyeri kronik membuat pasien bolak-balik mengunjungi dokter spesialis dan jarang yang tertangani secara efektif di pelayanan primer.
Sekitar setengah hingga dua pertiga pasien
nyeri kronik mengalami disabilitas total
atau parsial yang sering bersifat permanen.
Oleh karena itu, eliminasi nyeri kronik sangat sulit dan membutuhkan pendekatan
multidisiplin, antara lain neurologi, bedah
saraf, anestesi, rehabilitasi medik, ortopedi,
penyakit dalam, dan psikiatri.
Dengan adanya beberapa disiplin ilmu yang
terlibat dapat manajemen nyeri, maka modalitas terapi yang diberikan kepada pasien pun
beragam, mulai dari terapi farmakologis hingga
invasif. Terapi farmakologis merupakan modalitas yang paling sering dilakukan untuk mengontrol nyeri. Jenis obat-obatan yang dapat
diberikan, antara lain asetaminofen, obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), antikonvulsan,
antidepresan, pelemas otot, anestetik lokal,
dan opioid. Semua jenis obat ini mempunyai tempat lterja tersendiri serta memiliki
keunggulan dan efek samping masing-masing,
sehingga dapat dipilih kombinasi obat yang
efektif dengan efek samping yang lebih ringan
(Gambar 8).
Dengan memperhatikan modulasi inhibisi
desenden di kornu dorsalis, maka beberapa
golongan obat dapat diberikan untuk mengurangi nyeri. Sinyal nyeri yang masuk ke
kornu dorsalis menglepaskan neurotransmiter eksitatorik glutamat. Di samping itu,
modulasi inhibisi desenden yang melibatkan
neuron inhibitor menglepaskan neurotransmiter inhibitorik, seperti GABA. Selain GABA,
inhibisi sinyal nyeri juga dihasilkan dari peningkatan jumlah serotonin dan norepinefrin
di celah sinaps dan penghambatan kanal kalsium prasinaps. Oleh sebab itu, pemberian
obat antikonvulsan (gabapentin, pregabalin],
selective serotonin reuptake inhibitor (fluoksetin, sertralin], serotonin norepinephrine
reuptake inhibitor (duloksetin), dan tricyclic
antidepressant (amitriptilin) dapat diberikan
untuk meningkatkan sinyal inhibisi nyeri di
kornu dorsalis (Gambar 9).
Dengan demikian, banyaknya sinyal nyeri
yang ditransmisi ke otak bergantung kepada dominansi inhibisi atau eksitasi yang terjadi. Jika neurotransmiter inhibitorik yang
mendominasi, maka terjadi penurunan
transmisi sinyal nyeri. Sementara itu, jika
neurotransmiter eksitatorik yang mendominasi, maka sinyal nyeri akan ditransmisi
tanpa ada hambatan.
Modulasi jalur desenden di kornu dorsalis
terjadi melalui adanya interneuron inhibisi
dari otak yang menglepaskan serotonin dan
norepifeprin. Stimulus nyeri dapat diinhibisi oleh golongan obat yang menghambat
kanal kalsium dan beberapa obat antikonvulsan. Obat-obatan yang menghambat pengambilan kembali [reuptake) serotonin dan
norepiefrin juga turut dapat menginhibisi
stimulus nyeri.
Selain keluhan nyeri itu sendiri, pasien dapat
disertai keluhan psikiatri, antara lain depresi, ansietas, insomnia, dan gangguan kepribadian. Hal ini membutuhkan pendekatan
psikoterapi, seperti terapi perilaku [behavioral therapy), terapi perilaku kognitif [cognitive behavioral therapy/CBT), dan terapi
okupasi, Psikoterapi bertujuan tidak secara
langsung mengurangi intensitas nyeri, tetapi lebih membantu pasien untuk belajar
memahami keadaan dan menikmati kehidupannya, walaupun ada nyeri.
Modalitas terapi fisik yang dapat diberikan pada pasien nyeri meliputi pemanasan
dan terapi dingin [therapeutic heat and
cold modalities). Pemanasan memiliki efek
fisiologis, antara lain analgesia, meningkatkan aliran darah ke jaringan, meningkatkan
ekstensibilitas jaringan ikat, menurunkan
spasme otot dan kekakuan sendi, serta
mengurangi edema. Pemberian terapi pemanasan ini dapat melalui kantong panas
[hot packs), bantalan panas [heating pads),
hidroterapi, ultrasound (US) dan diatermi.
Jenis terapi ini sering diberikan pada beberapa kondisi, misalnya spasme otot, bursitis,
tenosynovitis, kontraktur, dan fibromialgia.
Adapun terapi dingin memiliki efek vasokonstriksi, menurunkan aktivitas metabolik
pada daerah yang diterapi, dan menurunkan tonus otot. Seiring terapi ini berjalan,
spastisitas juga dapat berkurang. Efek analgesia timbul karena suhu dingin memperlambat
konduksi saraf. Terapi ini terutama dipakai
pada kondisi cedera muskuloskeletal akut.
Manajemen nyeri tidak terbatas hanya pada
farmakoterapi terhadap pasien, namun mempunyai makna yang lebih luas dan komprehensif pada penetapan diagnosa yang akurat,
membuat rencana terapetik yang optimal
dan pada suatu saat akan menentukan pendekatan terapi intervensi. Sejak kelahiran WHO
step-ladder o f pain (1986), banyak usulan
modifikasi dan adaptasi, termasuk tindakan
manajemen intervensi nyeri, baiksecara minimal invasif hingga terapi bedah (Gambar 10).
Anak tangga keempat ini disarankan
kepada grup nyeri kronik yang mengalami
krisis nyeri, walau tidak tertutup kemungkinan dapat diaplikasikan pada keadaan
nyeri akut gawat darurat seperti kasus
nyeri pediatrik atau situasi pascaoperasi.
Secara umum, adaptasi terbaru ini memiliki dua kaidah. Pada keadaan nyeri kronik
akibat kanker dan nonkanker, manajemen
nyeri dapat dilakukan perlahan bertahap
dari bawah ke atas {step up). Sementara itu,
pasien dengan nyeri akut dengan intensitas
berat, nyeri kronik yang tidak terkontrol,
dan nyeri sontak, dapat ditangani dengan
tahapan dari atas ke bawah {step down)
dengan pertimbangan kegawatannya.
Pada beberapa literatur, gambar adaptasi
ini ini tidak dikatakan berupa anak
tangga lagi, namun sebuah pengobatan
nyeri yang kontinu. Pada pengobatan intervensi nyeri kronik, ada beberapa prosedur
yang dapat dilakukan dan tergolong cukup
mumpuni, seperti injeksi trigger point, sindrom terowongan karpal, epidural, dan injeksi sendi. Ruang lingkup manajemen intervensi nyeri akan terus berkembang dengan
beberapa modifikasi atau temuan terbaru.
Adanya teknik ataupun pendekatan baru
yang lebih efektif dan optimal menangani
berbagai keluhan nyeri sangat diharapkan
oleh klinisi dalam menata laksana pasien
nyeri. Modalitas lain sesuai penyebab dapat
dibaca pada topik selanjutnya dari bab ini.
N YERI KEPALA
Hampir setiap orang di seluruh dunia pernah mengalami nyeri kepala, setidaknya
sekali dalam hidupnya. Nyeri kepala termasuk ke dalam sembilan kasus yang menyebabkan pasien datang menemui dokter.
Setidaknya 40% pada konsultasi neurologi
yaitu akibat nyeri kepala.
Secara definisi, nyeri kepala yaitu sensasi tidak nyaman yang dirasakan di daerah kepala akibat segala hai yang merusak
atau berpotensi memicu kerusakan
struktural. Areanya mencakup intrakranial
dan ekstranial (termasuk wajah) yang memang banyak memiliki struktur peka nyeri.
Nyeri kepala sebenarnya yaitu alarm untuk melindungi bagian kepala yang terdiri
dari organ-organ vital seperti otak dan panca indera. Oleh karena itu, pasien dengan
nyeri kepala harus diperiksa dengan teliti
dan cerm at
diagnosa utama nyeri kepala yaitu berdasarkan gejala klinis. Anamnesis yang tepat akan sangat mengarahkan tipe nyeri
kepala beserta pilihan dan besarnya terapi
yang harus diberikan. Walaupun sebagian
besar nyeri kepala di komunitas biasanya
yaitu nyeri kepala primer ataupun akibat
infeksi sistemikyang ringan, namun seorang
dokter harus tetap waspada terhadap nyeri
kepala sekunder.
Nyeri kepala primer yaitu nyeri kepala
yang bukan diakibatkan oleh adanya kelainan struktural di intrakranial, sebaliknya
pada nyeri kepala sekunder. Nyeri kepala
sekunder perlu disingkirkan lebih dahulu
karena memerlukan pengobatan khusus
untuk mengatasi kelainan struktural yang
ada. Bahkan pada nyeri sekunder yang akut
dapat bersifat emergency, seperti halnya
pada stroke hemoragik.
Pada nyeri kepala primer, biasanya nyeri
berulang dengan pola tertentu dan ada pemicunya. Yang khas juga pada nyeri kepala
primer secara umum yaitu di antara serangan biasanya tidak ada gejala sama
sekali. Nyeri kepala akan dianggap sekunder
ter utama jilca nyeri itu muncul pada waktu
yang sangat berdekatan dengan gejala atau
penyebab lain sebelumnya.
Selain itu, nyeri kepala yang harus diwaspadai sebagai nyeri sekunder yaitu nyeri
kepala yang pertama kali, belum pernah dirasakan oleh pasien sebelumnya, atau baru
muncul secara berulang saat pasien berusia lebih dari 40 tahun. Kalaupun pasien
pernah mengalami nyeri kepala berulang,
perlu perhatian khusus jika nyeri yang saat
ini muncul berbeda pola dengan yang biasa
dialami, misalnya menjadi lebih lama, lebih
sering, atau lebih mengganggu aktivitas.
Apalagi jika nyeri kepala ini sangat
terlokalisir pada satu area tertentu saja,
atau memburuk pada keadaan tertentu, seperti bersin, batuk, mengedan, berhubungan
seksual, atau posisi ortostatik.
Terakhir, nyeri kepala akan sangat dicurigai
sebagai sekunder jika mengidap human immunodeficiency virus (HIV} atau ada
riwayat trauma kepala, stroke, kejang, atau
keganasan sebelumnya. Pemeriksaan fisik
pada nyeri kepala primer biasanya dalam
batas normal. Nyeri kepala yang disertai
keluhan demam, kaku kuduk, dan kulit kemerahan {rash) harus dianggap sebagai
sekunder terlebih dahulu, apalagi jika ada penurunan kesadaran dan defisit
neurologis yang lain.
Oleh karena pada dasarnya nyeri kepala
yaitu alarm, maka perlu dicari defisit neurologis seminimal mungkin, seperti papiledema atau gangguan fungsi kognitif yang
ringan. Pemeriksaan imajing dilakukan jika
ditemukan defisit neurologis atau jika nyeri
kepala dicurigai sekunder. Pada pasien dengan nyeri kepala primer juga dapat dilakukan imajing jika polanya berubah, memberat, atau disertai gejala lain, bahkan gejala
psikiatri.
Klasifikasi International Headache Society
(IHS) 2013 membagi nyeri kepala menjadi
nyeri kepala primer, sekunder, dan neuralgia kranial (Tabel 1). Nyeri kepala primer
utama yang akan dibahas yaitu migren,
nyeri kepala tipe tegang atau tension-type
headache (TTH), dan trigeminal autonomic
cephalalgia) serta neuralgia trigeminal.
MIGREN
Migren merupakan nyeri kepala yang paling
mengganggu, hingga memengaruhi sosio-ekonomi dan kehidupan pribadi penderitanya.
World Health Organization (WHO] menempatkan migren pada peringkat ke-19 sebagai
penyakit yang memicu kecacatan di seluruh dunia. Kasus migren di negara maju seperti Inggris mencapai 18% pada perempuan
dan 6% pada lelaki. Sementara itu, di Amerika
diketahui 75% orang yang mengalami migren berjenis kelamin perempuan. Sebelum
pubertas, insidens migren lebih tinggi pada
lelaki dibanding perempuan. Setelah pubertas, insidensnya lebih tinggi pada perempuan.
Serangan umumnya akan berkurang setelah
berusia 40 tahun. Angka kejadian migren
pada bangsa Afrika-Amerika (16,2% perempuan} serta Asia-Amerika (9,2% perempuan}
lebih rendah dibanding bangsa berkulit putih
(20,4% perempuan}.
Saat ini WHO memperkirakan prevalensi migren di dunia telah mencapai 10%, tertinggi
di Amerika Utara diikuti Amerika Selatan,
Amerika, Eropa, Asia, dan Afrika. Di Indonesia, didapatkan prevalensi migren sebanyak
24% dari 1014 subyek mahasiswa dan 54%
dari semua remaja yang pernah mengalami
nyeri kepala, terutama perempuan (70%}.
Beberapa faktor risiko yang meningkatkan
risiko migren yaitu berat badan berlebih,
tekanan darah tinggi, hiperkolesterolemia,
gangguan sensitivitas insulin, kadar homosistein tinggi, stroke, dan riwayat penyakit
jantung koroner.
Klasifikasi
Klasifikasi migren berdasarkan konsensus
PERDOSSI tahun 2013 (adaptasi dari [criteria IHS) yaitu :
a) Migren tanpa aura atau common migraine
b) Migren dengan aura atau classic migraine
c) Sindrom periodik pada anak yang dapat
menjadi prekursor migren, yaitu cyclic
vomiting, migren abdominal, vertigo
paroksismal benigna pada anak.
d) Migren retinal
e) Komplikasi migren:
B Migren kronis
a Status migrenosus (serangan migren
>72 jam)
0 Aura persisten tanpa infark
0 Migrainous infarct
B Migrain-triggered seizure
f) Probable migrain
Patofisiologi
Mekanisme munculnya nyeri pada migren
belum sepenuhnya dimengerti, ada beberapa teori, yaitu:
1. Teori Vaskular
Berdasarkan teori ini, aura pada migren diperkirakan akibat vasokonstriksi pembuluh darah intralcranial yang menginduksi
iskemia jaringan. Selanjutnya, terjadi rebound vasodilatasi dan mengaktifkan saraf
nosiseptif perivaskular yang akhirnya menyebabkan nyeri kepala. Namun teori ini
memiliki kelemahan, sehingga digantikan
oleh teori neurovaskular.
2. Teori Neurovaskular
Menurut teori ini, migren pada awalnya
merupakan proses neurogenik yang kemudian diikuti dengan perubahan perfusi
serebral (neuro ke vaskular), Pada teori ini,
dikatakan orang dengan migren memiliki
saraf yang gampang dieksitasi pada korteks
serebral, terutama pada daerah oksipital.
Cortical Spreading Depression (C SD )
CSD merupakan teori yang menjelaskan
mekanisme migren dengan aura. CSD
merupakan gelombang eksitasi neuronal
pada substansia grisea yang menyebar
dari satu sisi ke sisi lain otak dengan kecepatan 2-6mm/menit.
Depolarisasi seluler ini memicu
fenomena korteks primer atau biasa
disebut dengan aura. Selanjutnya, proses
depolarisasi akan menstimulasi aktivasi
neuron nosiseptif pada pembuluh darah
dura yang kemudian mengaktivasi saraf
trigeminus dan pada akhirnya menghasilkan nyeri kepala. Aktivasi neuron
nosiseptif dilakukan melalui pelepasan
berbagai protein plasma dan substansi
yang menstimulus inflamasi, seperti calcitonin gene-related peptide (CGRP), substansi P, peptida intestinal vasoaktif, dan
neurokinin A. Proses inflamasi ini kemudian merangsang vasodilatasi dan akan
diteruskan ke korteks sensorik sebagai
rasa nyeri yang berdenyut (Gambar 1).
Sementara itu, selama proses depolarisasi
dilepaskan beberapa neurontransmiter,
seperti kalium dan/atau asam amino glutamat dari jaringan saraf. Substansi ini kemudian mendepolarisasikan jaringan sekitarnya. Kondisi ini akan semakin
merangsang pelepasan berbagai neurotransmiter ini dan memicu
semakin luasnya depolarisasi yang terjadi.
Selama penjalaran jaras nyeri dari trigem i novas kular ke korteks sensorik,
terjadi sinaps di nukleus salivatorius superior daerah batang otak, sehingga memicu gejala mual dan muntah. ada
pula sinaps di daerah nukleus rafe dorsalis yang jika distimulus berulang akan
memicu penurunan serotonin dan
norepinefrin, sehingga memicu
gangguan konsentrasi, kognitif, depresi,
dan ansietas (Gambar 2}.
Serangan migren yang berlangsung berulang-ulang juga akan memicu kerusakan pada periaquaductal greymatter [PAG],
sehingga terjadi sensitisasi sentral dan menyebabkan ambang nyeri menurun. Pasien
jadi lebih mudah mengalami migren pada
stimulus yang lebih ringan. Gejala lain, seperti menguap, iritabel, hipotensi, dan hiperaktivitas merupakan gejala penyerta migren
yang muncul melalui jaras dopamin yang
dipercaya mengalami hiperaktivasi sehingga
merangsang munculnya gejala ini .
Gejala dan Tanda Klinis
ada empat stadium migren sederhana,
yaitu:
1. Prodromal
Gejala ini dapat berlangsung selama beberapa jam hingga hari sebelum terjadi
nyeri, yaitu berupa perubahan mental
dan mood (depresi, marah, euforia},
leherkaku, fatig, menguap, food cravings,
retensi cairan, dan sering berkemih.
2. Aura
Aura yaitu gejala disfungsi serebral fokal yang dapat membaik dalam waktu
<60 m enit Aura dapat berbentuk gangguan visual homonim, parestesia unilateral, kesemutan, kelelahan, atau disfasia.
Aura visual merupakan aura yang paling
sering terjadi dan umumnya berbentuk
fotofobia atau fotopsia (kilatan cahaya],
bentuk geometrik, atau skotoma. Aura
visual umumnya bilateral dan bergerak
perlahan di dalam area lapang pandang.
Metamorfopsia yaitu suatu abnormalitas pada persepsi visual yaitu ketika gambaran suatu obyek terdistorsi.
Pasien dengan gangguan ini akan mengatakan suatu benda terlihat lebih kecil
(mikropsia) atau lebih besar (makropsia] dari ukuran sebenarnya.
3. NyeriKepala
Nyeri kepala memiliki karakteristik
berdenyut unilateral (terutama pada
daerah fronto-temporal). Umumnya terjadi dalam durasi jam hingga hari. Nyeri
bersifat progresif dan memburuk pada
malam hari. Dapat diikuti dengan gejala penyerta, seperti mual atau muntah,
fotofobia atau fonofobia, dan aura.
4. Postdrom al
Gejala prodromal atau postdromal dapat
berbentuk perubahan nafsu makan, gejala otonom, perubahan mood, serta agitasi, atau retardasi psikomotor.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
tanda-tanda sebagai berikut:
Takikardi atau bradikardi
Hipertensi atau hipotensi
Injeksi konjungtiva
Reaksi pupil yang kurang baik terhadap cahaya
Defisit hemisensorik atau hemiparesis (ditemukan pada migren kompleks)
diagnosa dan diagnosa Banding
ada beberapa