Tampilkan postingan dengan label neurologi 12. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 12. Tampilkan semua postingan

neurologi 12












 c terapi untuk gangguan komprehensi 


dan produksi kata


d. Terapi untuk gangguan word finding


1) Word retrieval cueing strategies


(semantic & cueing verbs)


Pendekatan memakai  "petun-

 juk" untuk memancing pasien menemukan kata yang diinginkan. Misalnya, suku pertama dari suatu kata 


atau petunjukkontekstual lainnya.


2) Gestural facilitation o f naming (GES] 


Metoda ini memanfaatkan mekanisme kognitif intak pasien, 


memakai  asosisi gestural 


ikonik untuk memancing word retrieval secara verbal.


3) Response elaboration training


Terapis wicara berlaborasi dengan 


gumaman/ucapan penderita untuk 


memperbaiki kemampuan bicara.


4} Semanticfeature analysis treatment


Penderita afasia dibantu mengidentifikasi keterangan semantik pentingyang berkaitan dengan kata target (misalnya gedung, buku, dan 


tenang untuk "perpustakaan"].


2. Verb Network Strengthening Treatment


Terapi yang didesain terutama untuk 


memperbaild kesukaran mencari kata 


dalam suatu kalimat aktif sederhana. 


Metoda ini memakai  pasangan kata 


yang berhubungan dengan kata target.


a. Chaining (forward & reverse)


Pendekatan dengan cara memecah 


kata/kalimat menjadi pendekpendek, kemudian belajar merangkaikan dari awal (atau akhir).


b. Sentence production program


fo r aphasia


Program terapi spesifik yang didisain untuk memfasilitasi produksi 


kalimat spesifik tertentu.


3. Constraint-therapy


Constraint-induced aphasia therapy


(CIATJ atau yang dikenal juga dengan 


constraint-induced language therapy


(CILT) merupakan modifikasi dari 


constraint-induced movement therapy


(GMT), Metode ini meliputi latihan 


berbahasa selama periode waktu 


tertentu (setidaknya 30 jam setiap 


latihan selama dua minggu) dengan 


meminimalkan komunikasi nonverbal 


yang diharapkan dap at meningkatkan 


keluaran verbal. Keterlibatan anggota 


keluarga dan teman dalam latihan 


meningkatkan efikasi dari rehabilitasi. 


Prinsip dari terapi ini ada tiga yaitu:


a. Constraint, berarti menghindari penggunaan strategi berkomunikasi yang 


lain, misalnya dengan gerakan, menggambar dan menulis.


b. Forced use, berarti satu-satunya cara 


berkomunikasi yang dipakai  yaitu  


dengan berbicara.


c. Massed practice, yaitu melakukan 


latihan terapi sebanyak 2 -4 jam per 


hari.


B. Membantu Restorasi Gangguan Modalitas Bahasa dengan Modalitas Bahasa Lain yang Masih Intak


Program yang memakai  dasar ini 


untuk restorasi kemampuan bahasa 


pasien di antaranya yaitu :


1. Melodic Intonation Therapy (MIT)


Terapi ini memakai kemampuan bersenandung dan prosodia pasien yang biasanya masih intak dari aspek intonasi, 


melodi, dan ritme untuk meningkatkan kemampuan jumlah pengucapan frasa 


dan kalimat. MIT telah lama direkomendasikan untuk memperbaiki kemampuan berbahasa pasien-pasien yang 


mengalami afasia nonfluen. Kandidat 


lain yang menunjukkan respons baik 


memakai  MIT yaitu  pasien yang 


menunjukkan rasa frustasi sebab  kesulitan berbicaranya, mengulang jargon 


tertentu, gagal dalam tes penamaan konfrontasional, gangguan repetisi, menunjukkan upaya keras untuk mengkoreksi 


ucapannya, dan memilila komprehensi/ 


kognisi yang relatif baik.


Frasa atau kalimat yang dipakai  


dalam metode terapi ini merupakan 


frasa-frasa yang umum dan sering digunakan sehari-hari (misalnya / loveyou;


assalaamu'alaHaun, dan sebagainya). 


Walaupun tampaknya mudah, keluarga/ 


caregiver pasien perlu mendapat instruksi spesifik tentang tata cara 


latihan atau pengulangan metode ini 


di rumah masing-masing.


2. Musical Speech Stimulation (MUSTIM)


Merupakan teknik lain dari neurology


music therapy (NMT) yang dapat digunakan untuk inisiasi bicara spontan. Teknik ini baik dipakai  untuk 


pasien-pasien afasia nonfluen dan 


primary progressive aphasia. Berbeda 


dengan MIT yang memakai  intonasi dalam pengucapan frasa seharihari, teknik MUSTIM memakai  


lagu-lagu yang familier bagi pasien. 


Umumnya lagu-lagu favorit pasien atau 


lagu-lagu hafalan masa kanak-kanak, 


seperti Naik-naik ke Puncak Gunung, 


Garuda Pancasila, dan sebagainya.


3. Augmentative Alternative Communication (AAC)


memakai  alat bantu augmentasi, 


seperti papan gambar dan simbol, 


atau alat elektronik, untuk membantu 


penderita afasia mengekspresikan 


komunikasinya. Umumnya di awal 


yang mudah diakses sebab  banyaknya 


pemakaian  ponsel dan komputer 


yaitu  mengetik di ponsel dan keyboard komputer.


C. M engom pensasi Gangguan B ah asa


yang Ada dengan M enggunakan Mod alitas Fungsi Luhur/K ognitifyang Lain


Strategi ini dirancang khusus dengan 


mempertimbangkan neuroanatomi Minis pusat bahasa yang terganggu dan 


sirkuit-sirkuit stimulasi dan kognitif yang 


intak, sehingga program berjalan efektif 


dan efisien. Umumnya dirancang pada 


afasia dengan gangguan komprehensi bahasa pasien dan/atau penamaan. Prinsip 


dasarnya ialah memberi variasi stimulasi 


sensorik (menebak/menceritakan gambar, 


menebak benda dengan rabaan sambil 


menutup mata, menebak lagu, menebak 


bau, mempelajari bahasa isyarat, dan sebagainya) yang kaya serta merangsang 


imajinasi, memori, dan fungsi kognitif 


lain untuk memperbaiki komprehensi 


bahasa.


Yang termasuk ke dalam metode terapi 


multimodal berbahasa ini di antaranya 


yaitu :


1. Visual Action Therapy (VAT)


Program yang dipakai  bagi penderita afasia global. Pendekatan 


nonverbal ini melatih penderita 


untuk memakai  gestur tangan untuk menyatakan suatu benda 


atau aktivitas spesifik.


2 . Promoting Aphasics' Communication Effectiveness (PACE)


Program yang didesain untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi memakai  semua modalitas dalam bertukar pesan, 


Penderita maupun klinisi secara bergantian mengambil peran sebagai pembawa dan penerima pesan. Metode 


ini akan mendorong penderita afasia 


untuk berperan lebih aktif dalam 


berkomunikasi.


3 . Oral Reading fo r Language in Aphasia (ORLA)


Metoda yang memakai  petunjuk 


auditorik, visual, dan tulisan untuk 


membantu penderita afasia membaca 


dengan suara keras (reading sentences


aloud).


D. Partisipasi Aktif dari Caregiver dan


pemakaian  Aplikasi dan Teknologi


Stimulasi Bahasa Kliusus


Beberapa program yang dapat diterapkanyaitu :


1. Partner Approaches


Teknik yang termasuk ke dalam 


metode pendekatan ini yaitu :


a. Conversational coaching


Terapi yang didesain untuk memperbaiki komunikasi antara penderita 


afasia dengan partner komunikasi 


primernya. Klinisi berperan sebagai 


pelatih (coach) bagi penderita sekaligus partnernya.


b. Supported communication intervention (SCI)


Metode komunikasi multimodal antara penderita, pelatih an bagi lawan 


komunikasi primernya, dan dalam 


interaksi sosial (termasuk partisipasi 


dalam grup afasia).


c. Social and life participation effectiveness


Pendekatan yang berfokus pada pencapaian target di kehidupan sehari-hari, 


termasuk pertimbangan apakah pasien 


memiliki keluarga yang dapat mendukung dan membantu keseharian hidup 


penderita.


2. iPad- Based Speech Therapy


Penelitian pada tahun 1983 menunjukl<an bahwa latihan bicara sendiri menggunaltan aplikasi berbasis komputer 


yang terstandarisasi pada pasien afasia 


akut dan kronik mendapat  hasil 


yang memuaskan. Terapi ini penting 


pada pasien-pasien yang membutuhkan 


latihan terapi jangka panjang, sehingga 


bisa dilakukan secara mandiri. Tujuannya yaitu  untuk membiarkan pasien 


berperan penting dalam proses terapinya sendiri, mulai dari menentukan dosis 


latihan, batasan kemampuan maksimal, 


dan target keberhasilan terapinya.


Penelitian terhadap 25 pasien afasia 


kronik dengan terapi berbasis komputer 


memakai  aplikasi terapi berbahasa 


tactus therapy solutions pada iPad 


memperlihatltan perbaikan kemampuan 


bahasa. Aplilcasi ini terbagi menjadi 


empat kategori latihan, yaitu membaca, 


menamai obyek, memahami kalimat, 


dan menulis, serta menyediakan latihan 


kemampuan fonologi dan semantik 


pada setiap kategori disertai umpan 


balik Terapi ini berpotensi besar untuk disertakan dalam program restorasi 


jangka panjang pasien afasia dengan 


meneliti serta menerjemahkan sesuai 


kaidah dan budaya bahasa negara kita .


3. Repetitive Transcranial M agnetic


Simulation (rTMS)


Saat ini mulai banyak berkembang 


prosedur stimulasi langsung [direct)


non-invasif sebagai komplementer terapi wicara untuk mempercepat proses 


pemulihan afasia. Salah satu metode 


yang saat ini populer yaitu  stimulasi 


memakai  transcranial magnetic


stimulation secara repetitif (rTMS).


TMS merupakan suatu metode noninvasif dalam menginduksi depolarisasi neuron kortikal di bawah tulang 


kranium. TMS yang diberikan secara 


repetitif (rTMS) dengan frekuensi 


rendah (<5Hz) pada umumnya menghasilkan inhibisi sinaps yang serupa 


dengan fenomena long-term depression (LTD). Pada rTMS frekuensi tinggi 


(>5Hz) akan menghasilkan fasilitasi/ 


eksitasi sinaps, mirip dengan fenomena 


long-term potentiation (LTP). Seperti 


halnya LTP dan LTD, efek eksitasi dan 


inhibisi sinaps yang dihasilkan oleh 


rTMS tetap dapat bertahan beberapa 


menit hingga beberapa jam sesudah  


stimulus dihentikan.


Naesser dkk, Martin dkk, Weiduschat 


dkk melaporkan pemakaian  rTMS 


frekuensi rendah pada hemisfer nondominan sebagai terapi komplementer 


terhadap terapi wicara konvensional 


pada penderita afasia pascastroke 


memberikan hasil yang memuaskan.


Tiksnadi dalam laporan masalah nya


menyebutkan hal serupa, bahwa terdapat perbaikan yang cukup signifikan terhadap kemampuan berbahasa 


sebelum dan sesudah dilakukan rTMS 


pada afasia pascastroke subkortikal. 


Didapatkan perbaikan signifikan pada 


semua komponen modalitas bahasa 


pascaaplikasi rTMS harian dengan 


frekuensi 4Hz selama 2 minggu pada 


hemisfer kontralesi. Secara umum 


terapi ini cukup menjanjikan.



Pada masa lampau, tata laksana penyakitpenyakit neurologi banyak dibatasi oleh 


dogma kemustahilan yang membuat orang 


(bahkan termasuk para neurolog) berpikir 


bahwa tidak ada harapan untuk "sembuh" 


Pada masa kini dengan kemajuan teknologi 


mutakhir, pemahaman mengenai patofisiologi penyakit neurologis dan fisiologi proses reorganisasi sistem saraf yang mendasari 


neurorestoratologi menjadi semakin jelas. 


Hal ini turut memacu dan menjadi dasar 


perkembangan ilmu neurosains, neurobiologis, neuroprostetik, robotik, dan biomedical engineering untuk kepentingan program 


neurorestorasi bagi pasien dengan gangguan neurologis. Oleh sebab  itu, sebaiknya 


dipahami dasar dan prinsip neurorestorasi 


demi memberikan pelayanan dan tata laksana yang paripurna bagi para pasien.

  










CEDERA KERALA



Cedera (injury) merupakan suatu keadaan 


yang ditandai adanya stimulus patologis 


yang melampaui kemampuan pemulihan (recovery) suatu sel atau jaringan. Bentuk dari 


stimulus patologis ini bersifat umum, bisa 


berupa tmuma, infeksi, iskemia, atau neoplasma. Dengan demikian, trauma merupakan 


salah satu pemicu  cedera pada suatu sel 


atau jaringan di tubuh manusia.


Cedera kepala yaitu  perubahan fungsi otak 


atau ada  bukti patologi pada otak yang 


disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Cedera kepala dapat dialdbatkan oleh 


trauma mekanik pada kepala baik secara 


langsung atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa 


gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial secara sementara maupun permanen. 


Dalam buku ini, istilah cedera kepala sama 


pengertiannya dengan trauma kepala.


Konsekuensi akibat cedera kepala dipengaruhi beberapa faktor, seperti usia, faktor komorbid, sepsis, dan tata laksana yang 


didapatkan. Selain itu, faktor genetik kini 


diketahui turut mempengaruhi konsekuensi 


patologis yang mungkin didapatkan pasien. 


Komplikasi tersering pascacedera meliputi 


aspek neurologis dan non-neurologis. Adanya komplikasi neurologis berupa gangguan 


kognitif dan cedera saraf kranial sering terabaikan dalam perawatan, sehingga menurunkan kualitas hidup pasien. Oleh sebab  


itu, dibutuhkan peran neurolog dalam diagnosis dan penanganan tepat sedini mungkin 


untuk merestorasi otak dan mengurangi kecacatan hidup semaksimal mungkin.


EPIDEMIOLOGI


Cedera kepala memicu kematian dan 


disabilitas di banyak negara di dunia. Berdasarkan data yang didapatkan dari CDC, 


sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera 


kepala setiap tahun di Amerika Serikat. 


Prevalensi nasional cedera kepala menurut 


Riskesdas 2013 yaitu  8,2%, meningkat 


0,7% dibandingkan tahun 2007. Sebanyak 


40,6% cedera kepala diakibatkan oleh kecelakaan motor. Menurut sebaran kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi 


pada pasien dengan usia produktif. Hal ini 


tentunya berdampak besar pada aspek sosial ekonomi.


PATOFISIOLOGI


Patofisiologi cedera kepala diawali dengan 


pemahaman mengenai biomekanika trauma. Benturan kepala akan menimbulkan 


respons pada tengkorak dan otak, misalnya 


perge-rakan (displacement). Secara klinis, 


respons ini dapat berupa fraktur dan cedera 


otak. Risiko pasien mengalami fraktur dan 


cedera otak ini bergantung kepada faktor

  

akselerasi kepala dan durasi gaya mekanik 


pada kepala. Benturan pada permukaan 


yang keras memiliki durasi singkat dengan akselerasi tinggi. Sementara itu, durasi yang lebih lama pada permukaan yang 


kurang keras menurunkan risiko fraktur, 


tetapi tidak untuk cedera otak, asalkan akselerasinya tetap tinggi. Pemahaman inilah 


yang memicu ada masalah  dengan fraktur tengkorak tanpa perdarahan otak, atau 


cedera aksonal difus tanpa fraktur tengkorak.


Akselerasi kepala memiliki dua komponen 


sesuai arah vektornya, yaitu translasi (sumbu 


sagital, koronal, dan aksial) dan rotasi. Akselerasi translasi membuat kepala bergerak 


secara sirkular. Sementara itu, akselerasi 


rotasi membuat kepala berubah sudutnya 


terhadap sumbu sentral. Selain akselerasi, 


kepala juga dapat mengalami deselerasi/ 


perlambatan yang merupakan bentuk negatif dari akselerasi. Akselerasi timbul sebab  


kepala yang bergerak, sedangkan deselerasi 


muncul sebagai akibat dari kepala yang terbentur. Saat kepala yang sedang bergerak 


lalu terbentur, terjadi kombinasi akselerasi 


translasi dan rotasi serta deselerasi. Pergerakan akibat proses akselerasi dan deselerasi 


ini yang menimbulkan tarikan dan regangan 


pada otak dan gesekan antara otak dengan 


tengkorak, sehingga bermanifestasi klinis 


dan terlihat kelainan pada pencitraan.


ada  dua tipe cedera kepala yang terbentuk, yaitu cedera tumpul dan cedera 


tembus. Adanya penetrasi dura mater 


merupakan tolok ukur untuk menentukan 


cedera kepala disebut tumpul atau tembus.


Cedera tumpul umumnya disebabkan oleh 


mekanisme akselerasi atau deselerasi cepat 


pada kepala dengan atau tanpa benturan 


(Gambar 1). Tipe cedera ini umumnya terjadi pada masalah  kecelakaan lalu lintas atau 


jatuh dari ketinggian. Di lain pihak, cedera 


tembus merupakan cedera akibat penetrasi 


tulang tengkorak oleh objek eksternal, misalnya tembakan peluru atau tusukan benda tajam. Cedera tembus juga dapat merupakan cedera kolateral akibat adanya obyek 


eksternal yang mengenai kepala dan mengakibatkan fraktur impresi hingga terjadi 


penetrasi ke dalam rongga kranial.


Cedera tembus kecepatan rendah menyebabkan cedera langsung pada pembuluh 


darah, saraf, dan jaringan otak, dengan komplikasi perdarahan dan infeksi. Cedera tembus kecepatan tinggi, misalnya tembakan 


peluru, seringkali memicu  terbentuknya luka tembus masuk dan keluar pada 


tengkorak dan memicu kerusakan 


otak ekstensif.


Gaya mekanik eksternal yang mengenai kepala menimbulkan cedera otak primer dan 


sekunder. Cedera otak primer terjadi sebab  


efek sangat segera (immediate effect) pada 


otak akibat gaya mekanik eksternal saat 


trauma terjadi. Di lain pihak, cedera otak 


sekunder terjadi beberapa saat sesudah  kejadian trauma akibat jalur kompleks, yang 


berkembang dan memicu  kerusakan 


otak lebih luas. Baik cedera otak primer 


maupun sekunder dapat memicu  


lesi patologis fokal atau difus [Tabel 1). Pada cedera otak primer, lesi difus dapat 


berupa cedera aksonal difus dan cedera 


vaskular difus, sedangkan lesi fokal berupa 


kontusio fokal, perdarahan intraserebral, 


perdarahan subdural, dan perdarahan epidural. Sementara itu, bentuk cedera otak 


sekunder dapat berupa edema otak, cedera 


iskemik, cedera hipoksik, difus, dan disfungsi metabolik. Sernua bentuk cedera otak 


sekunder dapat terjadi secara difus atau fokal. Pada kenyataannya, beberapa lesi dapat 


terjadi pada setiap masalah  cedera kepala, 


misalnya perdarahan epidural dan kontusio 


fokal, atau cedera aksonal difus dan perdarahan subaraknoid,


Di samping cedera otak sekunder tersebut, konsekuensi lanjutan dari cedera otak 


primer dapat berupa kerusakan sekunder 


(secondary insult), seperti hipotensi, hipoksia, demam, hipo/hiperglikemia, gangguan 


elektrolit, anemia, kejang, dan vasospasme. 


Di antara semua itu, faktor yang paling berpengaruh terhadap prognosis buruk yaitu  


hipotensi dan hipoksia yang akan memperberat cedera otak.


Cedera otak primer akibat benturan pada 


kepala menimbulkan serangkaian proses 


yang pada akhirnya menjadi cedera otak 


sekunder (Gambar 2]. Saat benturan terjadi, neuron mengalami regangan dan 


tarikan yang termasuk dalam cedera otak 


primer. Peristiwa ini mengganggu integritas dan kerja pompa ion membran sel, terjadi perpindahan ion natrium dan kalsium 


ke intrasel dan ion kalium ke ekstrasel. Hal 


ini akan meningkatkan konsentrasi ion kalsium intrasel yang kemudian memiliki konsekuensi, yaitu aktivasi calpain yang bisa 


mendegradasi protein sitoskeletai dan induksi penglepasan glutamat yang akhirnya 


mengaktivasi reseptor N-metil-D-aspartat 


(NMDA).


Selanjutnya terjadi konsentrasi ion kalsium 


di mitokondria, sehingga terbentuk banyak 


radikal bebas (reactive oxygen species/ROS], 


aktivasi kaspase, apoptosis neuron, dan 


fosforilasi oksidatif inefisien. Konsekuensi 


terakhir ini selanjutnya akan memicu 


metabolisme anaerob dan pada akhirnya 


kegagalan energi. Inilah yang menjadi inti 


permasalahan sebab  neuron membutuhkan energi yang cukup pada kondisi cedera. 


Neuron dengan kegagalan energi tidak 


dapat berfungsi normal dan selanjutnya terjadi asidosis, edema, dan iskemia yang menambah berat kerusakan otak.


Berikut yaitu  beberapa contoh lesi fokal 


dan difus akibat cedera kepala:


Lesi Fokal


1. Cedera scalp


Cedera fokal pada scalp dalam bentuk laserasi dan abrasi dapat menjadi penanda 


penting untuk menentukan tempat terjadinya benturan dan dapat memberikan gambaran obyek yang mengenainya. 


Laserasi scalp merupakan hal penting 


yang harus diperhatikan sebab  dapat 


menjadi jalur masuk infeksi dan sumber perdarahan. Sementara, adanya memar tidak selalu menjadi penanda yang 


berhubungan dengan lokasi benturan, 


sebagai contoh: (1) memar periorbita 


seringkali berkaitan dengan patah tulang orbita akibat cedera contra-coup


pada oksiput, (2) memar pada mastoid 


(tanda Battle] dapat disebabkan oleh aliran darah dari fraktur yang terjadi pada 


tulang temporal pars petrosus. 2. Fraktur basis kranii


Fraktur basis kranii dapat menjadi indikasi besarnya energi mekanik yang 


mengenai kepala. Energi mekanik yang 


mengenai daerah yang luas pada tengkorak memicu  fraktur kominutif, sedangkan pada daerah yang sempit 


memicu  fraktur impresi. Fraktur 


basis kranii dapat memicu  bocornya cairan serebrospinal dan mengisi sinus-sinus, sehingga dapat menjadi 


sumber infeksi intrakranial (Gambar 3).


3. Kontusio dan laserasi serebri


Robekan (laserasi) pada pia mater 


seringkali berhubungan dengan jejas 


pada otak (kontusio), Pada kontusio 


serebri, parenkim otak mengalami edema dan perdarahan.


Jejas yang ada  tepat di titik trauma 


disebut jejas coup, sedangkan yang ada  


di sisi kontralateral titik trauma disebut jejas countercoup (Gambar 4). Sebagai contoh, benturan di kepala bagian depan akan 


menghasilkan jejas coup di lobus frontal 


dan jejas countercoup di lobus oksipital Jejas coup umumnya terjadi pada masalah  akselerasi cepat, misalnya saat kepala dipukul 


dengan benda keras. Sementara itu, jejas 


countercoup umumnya terjadi pada masalah  


deselerasi cepat, misalnya jatuh dari atas


gedung. Saat seseorang jatuh dari suatu 


ketinggian, kepala mengalami akselerasi 


akibat gravitasi bumi dan diikuti deselerasi 


cepat akibat menghantam tanah.

 

Perdarahan pada kontusio serebri dapat 


meningkatkan tekanan intrakranial (TIK}. 


perdarahan dapat meluas hingga ke substansia alba dan rongga subdural yang 


umumnya terjadi pada lobus frontal dan 


temporal (Gambar 5), Dalam beberapa hari, 


perdarahan ini akan diabsorbsi oleh otak, 


sehingga menghasilkan kavitas pada girus 


otak. Perdarahan dapat bersifat asimptomatik, tetapi berisiko memicu  


epilepsi di kemudian hari. Diskontinuitas jaringan otak akibat kontusio disebut sebagai 


laserasi otak.


4. Perdarahan intrakranial


a. Perdarahan epidural


Perdarahan ini lebih sering terjadi 


pada pasien usia muda (1 0 -3 0 tahun). Hal ini dialdbatkan adanya 


fraktur linear tengkorak, terutama di 


tulang temporal pars skuamosa yang


Gambar 5. Gambaran CT Scan Kontusio Serebri di


Lobus Temporal Kiri (panah putih)


(Dok: Pribadi)


memicu robeknya arteri meningea media. Oleh sebab  itu predileksi perdarahan epidural di area temporal atau temporo-parietal (70-80% }. 


Perdarahan ini ditandai dengan akumulasi darah di antara dura mater 


dan tulang tengkorak, sehingga gambaran hematomnya khas berbentuk 


cembung atau bilconveks (Gambar 6].


Volume perdarahan merupakan penanda 


luaran pasien dengan perdarahan epidural. Pasien dengan volume darah lebih 


dari 150mL memiliki prognosis yang 


lebih buruk.


b. Perdarahan subdural


Perdarahan subdural (Gambar 7} 


merupakan perdarahan akibat robeknya vena jembatan (bridging vein) terutama yang berdekatan dengan sinus 


sagital superior. Perdarahan subdural 


umumnya disebabkan oleh akselerasi 


atau deselerasi kepala dengan atau 


tanpa benturan langsung. Perdarahan subdural seringkali dialami oleh 


pasien lanjut usia sebab  umumnya 


telah terjadi atrofi otak yang menyebabkan meningkatnya kapasitas otak 


untuk bergerak di dalam rongga otak.


Perdarahan subdural dapat terjadi 


akut (<3 hari), subakut (3 hari - 3 minggu awitan}, atau kronik (lebih dari 3 


minggu awitan}. Perdarahan subdural 


akut terdiri atas beltuan darah yang 


lembut (seperti gel}. sesudah  beberapa 


hari, bekuan ini  akan dipecah 


menjadi cairan serosa dan sesudah 


1-2 minggu akan terbentuk jaringan 


granulasi dengan fibroblas dan pembuluh darah baru. 

Walaupun perdarahan biasanya akan 


direabsorbsi, seringkali terjadi perdarahan ulang akibat pembuluh darah 


baruyangimatur. Disampingitu, perdarahan subdural kronik seringkali terjadi pada pasien lanjut usia, orang 


yang rutin mengonsumsi alkohol, dan 


pasien dengan tekanan intrakranial 


rendah, seperti pasien hidrosefalus 


dengan pirau ventrikuloperitoneal 


(yen triculoperitoneal shunt).

 

c. Perdarahan subaraknoid


Akumulasi darah di subaraknoid dapat terjadi sesudah  cedera kepala, terutama yang 


berhubungan dengan kontusio dan laserasi. 


Perdarahan subaraknoid seringkali menjadi penyulit pada masalah  perdarahan intraventrikular sebab  kebocoran (leakage)


darah ke ruang subaraknoid melalui foramen Luschka dan Magendie. Perdarahan 


subaraknoid sebab  cedera kepala biasanya terdistribusi di sulkus-sulkus serebri di 


sekitar vertelcs dan tidak mengenai sisterna 


basalis (Gambar 8). Perdarahan subaraknoid seringkali terjadi akibat benturan 


pada otak atau leher dan memicu hilangnya kesadaran secara langsung. Komplikasi itronik perdarahan subaraknoid 


yaitu  terbentuknya hidrosefalus.


d. Perdarahan intraventrikular 


Perdarahan intraventrikular pada cedera


kepala biasanya akibat sekunder dari 


perdarahan intraserebral pada daerah 


ganglia basal atau kontusio serebri.


e. Perdarahan intraserebral


Perdarahan intraserebral (Gambar 9] 


dapat muncul secara sekunder dengan 


kontusio atau berhubungan dengan cedera 


akson difiis. Perdarahan ini umumnya terbentuk di daerah ganglia basal, talamus, 


dan substansia alba bagian parasagital.


Lesi Difus


1. Cedera aksonal difus


Cedera aksonal difus memiliki beberapa 


pemicu . Selain cedera kepala, hal ini 


juga dapat disebabkan oleh hipoksia, 


iskemia, dan hipoglikemia. Karakteristik cedera akson yang diakibatkan oleh 


cedera kepala berbeda dengan keadaan 


hipoksik iskemik.

 

Cedera aksonal difus disebabkan oleh 


akselerasi atau deselerasi cepat kepala, 


terutama jika ada  gerakan rotasional 


atau koronal. Umumnya terjadi pada masalah  kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari 


ketinggian. Secara patologi, cedera aksonal difus dicirikan dengan kerusakan 


akson dan perdarahan petekie. Petekie 


ini muncul secara instan dan menentukan derajat cedera aksonal aksonal difus 


[Tabel 2).


Secara Minis, pasien akan kehilangan 


kesadaran sejak terjadinya cedera, disabilitas berat, dan status vegetatif yang 


persisten. Oleh sebab  kerusakan yang 


terjadi di tingkat akson, maka gambaran CT scan sering tidak menunjukkan 


kelainan, Pada kondisi ini, pemeriksaan 


MRI dapat dikerj akan untuk melihat lesi 


patologis di parenkim,


2. Cedera vaskular difus


Berbeda dengan cedera aksonal difus 


yang melibatkan akson, cedera vaskular 


difus didominasi oleh keterlibatan pernbuluh darah. Beberapa pasien cedera 


kepala yang mengalami akselerasi atau 


deselerasi cepat dan parah dapat mengalami perdarahan petekie pada otak 


tanpa sempat mengalami cedera aksonal, akibat besarnya energi mekanik 


yang memicu pecahnya pembuluh 


darah. Hal inilah yang dijumpai pada 


cedera vaskular difus.


3. Edema otak dan iskemia serebral 


Edema otak yaitu  gambaran umum 


yang ditemukan pada cedera kepala, 


terutama pasien anak-anak dan dewasa 


muda. Edema otak pada cedera kepala 


terjadi melalui beberapa mekanisme,


yaitu: vasodilatasi pembuluh darah otak 


yang memicu  meningkatnya 


volume darah ke otak, rusaknya sawar 


darah otak yang memicu bocornya 


cairan [edema vasogenik), dan meningkatnya kandungan air di dalam sel neuron pada sistem saraf pusat [edema sitotoksik}.


Edema otak akan meningkatkan TIK 


dan menurunkan tekanan perfusi otak, 


sehingga memicu kerusakan otak 


akibat iskemia. Perbedaan tekanan di antara kompartemen otak dapat mengakibatkan herniasi otak. Herniasi subfalsin 


girus singulatum akan memicu 


kompresi pada arteri serebral anterior. 


Sementara herniasi transtentorial dapat 


memicu kompresi pada arteri serebral posterior, girus parahipokampus, 


dan otak tengah. Herniasi transforamen batang otak memicu iskemia 


yang berujung pada menurunnya fungsi 


batang dan otak atau kematian.


GEJALA DAN TANDA KLINIS


Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan: [1) tingkat kesadaran pasien 


menurut Skala Koma Glasgow [SKG), [2] lokasi lesi, dan [3] patologi.


berdasar  tingkat kesadaran, cedera kepala dapat dibagi menjadi:


a. Cedera kepala minimal: SKG 15; tidak 


ada pingsan, tidak ada defisit neurologis, 


CT scan otak normal.


b. Cedera kepala ringan: SKG 13-15, terdapat pingsan kurang dari 10 menit, tidak ada  defisit neurologis, CT scan


otak normal. 

c. Cedera kepala sedang: SKG 9-12, terdapat pingsan 10 menit-6 jam, ada  


defisit neurologis, CT scan otak abnormal.


d, Cedera kepala berat: SKG 3-8, ada  


pingsan lebih dari 6 jam, ada  defisit 


neurologis, CT scan otak abnormal.


berdasar  lokasi lesi, cedera kepala dapat


dibagi menjadi:


a. Cedera kepala lesi difus: aksonal dan 


vaskular


b. Cedera kepala lesi fokal, yang terbagi 


menjadi:


- Kontusio dan laserasi serebri


- Perdarahan (hematom] intrakranial: 


hematom epidural, hematom subdural, hematom intraparenkim (hematom subaraknoid, hematom intraserebral, hematomintraserebelar].


berdasar  patologi, cedera kepala 


dapat diklasifikasikan menjadi komosio, kontusio, dan laserasi serebri. Pembagian lain dapat berupa 


komosio serebri serta perdarahan 


epidural, subdural, subaraknoid, dan 


intraserebral, dengan penjelasan sebagai berikut:


1. Komosio serebri


Secara klinis, komosio serebri memiliki manifestasi klinis yang tidak berat. 


Pasien dengan komosio serebri uraumnya mengalami penurunan kesadaran 


kurang lebih 30 menit. sesudah  itu, terjadi 


pemulihan hingga seperti sebelum terjadinya cedera kepala. Namun, umumnya 


pasien akan mengalami amnesia pascatrauma.


Pemeriksaan CT scan atau MR! pada komosio serebri seringkali menunjukkan hasil 


normal, padahal sebenarnya sudah terjadi 


kerusakan secara mikroskopik pada akson. 


Jika didapat kelainan pada pemeriksaan 


ini , maka ini membuktikan pasien tidak hanya mengalami komosio serebri.


2. Perdarahan epidural


Perdarahan epidural secara klinis ditandai dengan adanya interval lusid, yaitu 


periode kesadaran pulih diantara dua 


penurunan kesadaran. Pada awal terjadi 


cedera kepala, kesadaran pasien akan 


menurun. Selanjutnya pasien akan sadar 


penuh, tetapi kembali kehilangan kesadaran beberapa saat kemudian sebab  


adanya akumulasi darah. Sementara itu, 


15% pasien diketahui tidak mengalami 


penurunan kesadaran sesaat sesudah  


cedera kepala terjadi. Dengan demikian, pasien dengan perdarahan epidural 


membutuhkan pemantauan ketat untuk 


mencegah pasien jatuh perburukan.


Selain interval lusid, juga dapat ditemukan 


tanda dan gejala peningkatan TIK, di antaranya nyeri kepala dan muntah sebab  akumulasi darah akan meningkatkan volume 


di dalam tengkorak, sementara tengkorak 


memliki daya akomodasi yang terbatas.


Seiring progresifitas penyakit, beberapa pasien dapat ditemukan penurunan 


frekuensi nadi, menurunnya frekuensi 


pernapasan, dan meningkatnya tekanan 


darah (refleks Cushing). Gejala lain yang 


juga dapat menandakan perdarahan epidural sudah berada dalam tahap lanjut 


yaitu  ditemukannya hemiparesis, refleks patologis Babinski positif, dilatasi 


pupil yang menetap pada satu atau ke-

 

dua mata, serta deserebrasi. Tanda-tanda ini  mengindikasikan terjadinya 


herniasi otak.


3. Perdarahan subdural


Gejala klinis perdarahan subdural mirip 


dengan perdarahan epidural. Namun, 


perdarahan subdural memiliki gejala 


klinis yang sering ditemui berupa kejang. Sementara itu, tanda klinis herniasi lebih jarang ditemukan daripada 


perdarahan epidural. Pada perdarahan 


subdural, hematom umumnya berada di 


sisi kontralateral fraktur tengkorak, berbeda dengan hematom pada perdarahan 


epidural yang berada di sisi ipsilateral 


(Tabel 3].


Perdarahan subdural dapat bersifat akut, 


subakut, dan kronik. Pada masalah  akut, hematom terbentuk kurang dari 3 hari dan umumnya berhubungan dengan cedera kepala 


yang lebih hebat. Adanya koinsidensi perdarahan intraserebral dan epidural menjadi 


penyulit perdarahan subdural akut. masalah  


perdarahan subdural akut sering terjadi 


pada pasien usia muda yang tidak mengalami perbaikan kesadaran sejak cedera.


Interval Iusid hanya ada pada kurang dari 


30% masalah  dan seringkali berkaitan dengan 


masalah  kontusio dan laserasi otak.


Pada perdarahan subdural subakut, hematom terbentuk dalam waktu 3 hari hingga 


3 minggu pascacedera disertai penurunan 


fungsi neurologis sejaian dengan besarnya 


hematom yang terbentuk. Ditemukan hemiparesis kontralateral pada 50% masalah  dan 


ipsilateral (25% masalah ] dengan angka kematian sebesar 25%.


Pada perdarahan subdural kronik, hematom terbentuk 3 minggu bahkan lebih pascacedera yang diagnosa nya terlihat dari 


gambaran CT scan atau MRI. Secara klinis, 


gejala perdarahan subdural kronik dapat 


berupa perubahan status mental, disfungsi 


neurologis fokal, peningkatan tekanan intrakranial, dan kejang fokal. Pasien dapat 


mengalami perubahan tingkat kesadaran 


yang fluktuatif, tetapi bukan merupakan gejala utama.


4. Perdarahan intraserebral


Perdarahan ini umumnya disebabkan 


oleh disrupsi parenkim otak akibat penonjolan dari patahan tulang tengkorak 

dan memicu pembuluh darah terkait sehingga terbentuk hematom yang 


terletak intraparenkim. Klinis yang tarnpak serupa dengan perdarahan intraparenkim yang sama dengan mekanisme 


perdarahan otak lainnya, seperti pada 


ruptur aneurisma.


d i a g n o s is d a n d i a g n o s is b a n d i n g


diagnosa  cedera kepala harus dilakukan 


secara cepat dan akurat, mengingat kondisi 


emergensi. Proses anamnesis dan pemeriksaan fisik generalis dan neurologis harus efektif dan efisien, disesuaikan dengan 


kondisi lapangan yang membutuhkan tindakan segera,


Berikut ini yaitu  hal-hal yang perlu digali 


dalam anamnesis:


1. Mekanisme cedera kepala secara detail, meliputi proses terjadinya, posisi 


pasien saat kejadian, bagian tubuh yang 


pertama kali terkena, kecepatan (jika 


kecelakaan lalu lintas} atau besarnya 


kekuatan (jika pukulan atau barang) 


obyekyang memicu cedera kepala.


2. Tingkat kesadaran, perlu ditanyakan 


kesadaran memang sudah hilang sejak sesudah  trauma atau hilang sesudah  


pasien sempat sadar.


3. Durasi hilangnya kesadaran.


4. Amnesia pascatrauma, tanyakan kondisi 


pasien sebelum, saat, dan sesudah  trauma.


5. Nyeri kepala, perlu dibedakan nyeri akibat peningkatan tekanan intrakranial 


atau disebabkan oleh nyeri somatik akibat cedera scalp.


6. Gejala neurologis lain, seperti anosmia, 


kejang, kelemahan tubuh sesisi atau


dua sisi, bingung, diplopia, dan orientasi 


pasien terhadap waktu, tempat, serta 


orang perlu ditanyakan saat anamnesis. 


Gejala berupa bocornya cairan serebrospinal melalui hidung (rinorea) atau telinga 


(otorea) juga perlu ditanyakan.


7. Hal lain yang juga perlu ditanyakan 


yaitu  obat rutin yang sering dikonsumsi pasien, riwayat penyakit dahulu, gaya 


hidup (alkohol, rokok, dan narkoba], serta riwayat penyakit keluarga.


Pada pemeriksaan status generalis, pemeriksaan kepala harus dilakukan dengan 


detail, serta bagian tubuh lain yang dapat 


menunjukkan beratnya trauma. Berikut ini 


merupakan tanda diagnostik yang dapat dijadikan tanda awal untuk mendiagnosa :


Tanda diagnostik klinik perdarahan epidural: 


© ada  interval lusid


© Kesadaran semakin lama semakin 


menurun


© Hemiparesis kontralateral lesi yang terjadi belakangan


© Pupil anisokor


© Adanya refleks Babinsld di kontralateral lesi 


® Fraktur di daerah temporal


Tanda diagnostik perdarahan epidural di 


fossa posterior:


© Interval lusid tidak jelas 


© Fraktur kranii oksipital 


© Hilang kesadaran dengan cepat


© Gangguan serebelum, batang otak, dan 


pernapasan


© Pupil isokor


© Pada CT scan otak didapatkan gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang 

tengkorak dan dura, umumnya di daerah 


temporal, dan tampak bikonveks


Tanda diagnostik perdarahan subdural:


• Nyeri kepala


• Kesadaran bisa menurun atau normal


© Pada CT scan otak didapatkan gambaran hiperdens (perdarahan) di antara 


dura mater dan araknoid yang tampak 


seperti bulan sabit


Tanda diagnostik fraktur basis kranii:


® Anterior


- Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rinorea


- Perdarahan bilateral periorbital ekimosis/raccoon eye


- Anosmia


• Media


- Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorea


- Gangguan N. VII dan N. VIII 


© Posterior


- Bilateral mastoid ekimosis/tanda Battle


Kebocoran cairan serebrospinal melalui 


telinga atau hidung pada fraktur basis kranii dapat dideteksi dengan adanya halo/


double-ring sign. Hal ini terjadi sebab  


prinsip kromatografi yang menunjukkan 


bahwa cairan serebrospinal dan darah 


akan terpisah sesuai koefisien difusi saat 


diteteskan di kassa/kain. Terpisahnya kedua komponen inilah yang membentuk gambaran menyerupai dua buah cincin (Gambar 


10). Tanda ini dapat muncul bila konsentrasi 


cairan serebrospinal sekitar 30-90%.


Selain itu, untuk menegakkan diagnosa  


fraktur basis kranii perlu dilakukan pemeGambar 10. Halo Sign atau Double-Ring Sign yang 


Menyerupai Dua Buah Cincin (panah w arna hitam 


dan putih)


riksaan dengan memakai  CT scan.


Tanda diagnostik cedera aksonal difus:


® Pasien mengalam koma dalam waktu 


lama pascacedera kepala.


® Disfungsi saraf otonom.


• Gambaran CT scan otak di awal cedera 


menunjukkan kondisi normal, tidak ada 


tanda perdarahan dan edema. Namun, 


sesudah  24 jam hasil CT scan akan memberikan gambaran edema otak yang luas.


P e m e r ik s a a n P e n u n ja n g


1. Pencitraan pada tahap  akut


Seiring dengan perkembangan teknologi, 


pemeriksaan rontgen tengkorak telah digantikan oleh adanya CT scan. CT merupakan pilihan utama dalam masalah  cedera 


kepala akut. CT scan nonkontras potongan aksial dapat dengan cepat meng-identifikasi massa desak ruang dalam bentuk hematom yang membutuhkan tata 

laksana operatif segera. Kemampuan CT 


scan untuk memindai jaringan lunak dan 


tulang, membuat CT scan unggul dalam 


mengidentifikasi fraktur tengkorak jenis 


Impresi atau linier dan fraktur basis kranii.


Menurut National Institute fo r Health


and Clinical Excellence (NICE), CT scan


perlu dilakukan jika pasien:


© Memiliki skor SKG kurang dari 13 


pascacedera


© Skor SKG 13 atau 14 dua jam pascacedera


• Dicurigai mengalami fraktur terbuka 


atau impresi


© Memiliki tanda-tanda fraktur basis 


kranii


© Mengalami kejang pascacedera


• Mengalami defisit neurologis sentral 


© Mengalami muntah yang lebih dari 1


kali


© Mengalami amnesia tentang kejadian 


30 menit sebelum cedera kepala


2. Pencitraan pada tahap  subakut


Pemeriksaan MRI tidak rutin dilakukan 


pada tahap  subakut. Hal ini berkaitan dengan sulitnya mobilisasi pasien yang berada dalam kondisi kritis. Pemeriksaan 


dengan MRI dilakukan sesudah  pasien 


dalam keadaan stabil. MRI dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan 


dapat menggambarkan luasnya cedera 


serta mampu memberikan informasi 


tentang prognosis pasien ketika berada 


di ruang rawat intensif. CT scan lebih 


unggul dibanding MR! untuk mendeteksi 


perdarahan. Namun, MRI lebih unggul


dibanding CT scan untuk mendeteksi 


cedera aksonal difus.


D ia g n o s is b a n d in g


Apabila ldinisi telah melakukan prosedur 


anamnesis dan pemeriksaan dengan cermat, 


penegakan diagnosa  cedera kepala tidak memerlukan diagnosa  banding. Hanya pada 


masalah -masalah  tertentu saja perlu dicurigai 


adanya kemungkinan diagnosa  lain. Hampir 


semua kelainan intrakranial dapat dijadikan 


diagnosa  banding untuk cedera kepala, yaitu 


keganasan otak, stroke, dan aneurisma.


Selain pencitraan, pemeriksaan penanda 


biokimia, seperti creatine kinase brain type


(CK-BB), neuron-specific enolase (NSE), 


protein S100, dapat dilakukan pada pasien 


cedera kepala. Penelitian di RSUPN Cipto 


Mangunkusumo menunjukkan bahwa kadar 


protein S100 yang tinggi cenderung memiliki luaran yang buruk. Sayangnya, penanda 


biokimia ini tidak peka  hanya terhadap 


kerusakan otak aldbat cedera kepala, melainkan juga pada kondisi stroke, ensefalopati 


hepatikum, dan penyaldt neurodegeneratif, 


seperti Alzheimer.


TATA LAKSANA


Dasar tata laksana awal untuk semua masalah  


cedera kepala bertujuan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, penanganan segera 


akibat cedera primer, mencegah cedera jaringan otaksekunder dengan cara mencegah 


munculnya faktor-faktor komorbid seperti 


hipotensi dan hipoksia, serta mendapat  


penilaian neurologis yang akurat.


Prinsip tata laksana awal pada cedera kepala secara umum sama seperti cedera di 


tempat lain. Penanganan didasari pada 


prinsip emergensi dengan survei primer. 

Adapun survei primer meliputi tindakan 


yang umumnya disingkat ABCD, yaitu:


1. A-Airway (jalan napas)


Prinsipnya yaitu  memastikan jalan 


napas tidak mengalami sumbatan. Apabila diperlukan dapat dipakai  alat bantu 


seperti oropharyngeal airway (OPA).


2. B-Breathing (pernapasan adekuat) 


Prinsip pernapasan adekuat yaitu  dengan memperhatikan pola napas, gerak 


dinding perut, dan kesetaraan pengembangan dinding dada kanan dan kiri. 


Apabila alat tersedia, diharapkan saturasi oksigen di atas 92%.


3. ^-Circulation (sirkulasi)


4. D-Disability (melihat adanya disabilitas) 


berdasar  konsensus Perhimpunan 


Dokter Saraf Seluruh negara kita  (PERDOSSI}, disabilitas mengacu pada ada 


tidaknya lateralisasi dan kondisi umum 


dengan memeriksa status umum dan fokal neurologis.


Sebagai tambahan, perlu dilakukan imobilisasi tulang belakang sebab  cedera kepala seringkali dibarengi dengan adanya 


cedera pada medula spinalis. Imobilisasi 


dilakukan sampai didapatkan bukti tidak 


ada  cedera tulang belakang,


T a ta L a k s a n a F a r m a k o lo g is


Hipotensi yaitu  salah satu prediktor mortalitas pada cedera kepala berat. Oleh sebab  itu, 


perlu dilakukan resusitasi dengan cepat begitu tanda-tanda syok ditemukan. Banyak pusat 


trauma merekomendasikan kristaloid isotonik sebagai cairan pengganti. Cairan hipotonik 


harus dihindari sebab  dapat mengeksaserbasi edema serebral. Untuk mempertahankan 


tekanan perfusi serebral sebesar SOmmHg,


dibutuhkan tekanan darah arteri rerata (mean


arterial pressure/MAP] seldtar 70mmHg.


Dalam penanganan cedera kepala, perlu 


diperhatikan adanya tanda-tanda peningkatan TIK sebab  harus diturunkan segera. 


berdasar  mekanisme hipoksia yang terjadi pada cedera, maka edema yang terjadi 


yaitu  edema sitotoksik, sehingga digunakan manitol 20%. Terapi ini memakai  


prinsip osmosis diuresis. Manitol memiliki 


efek ekspansi plasma yang dapat menghasilkan gradien osmotik dalam waktu cepat. 


Cairan ini dapat meningkatkan aliran darah 


serebral dan tekanan perfusi serebral yang 


akan meningkatkan suplai oksigen.


Dosis pemberian manitol dimulai dari l-2g/ 


kgBB dalam waktu Vz-1 jam tetes cepat. 


sesudah  6 jam pemberian dosis pertama, 


dilanjutkan dengan dosis kedua 0,5g/kgBB 


dalam waktu Vz-1 jam tetes cepat. Selanjutnya 12 jam dan 24 jam kemudian diberikan


0. 25g/kgBB selama Vz-1 jam tetes cepat.


T a ta L a k s a n a O p e r a tif


Tindakan operatif dilakukan sesuai indikasi. 


Adapun tindakan operatif dilakukan apabila 


ada  masalah  seperti disebut di bawah ini:


1. Perdarahan epidural yaitu :


a. Lebih dari 40cc dengan pergeseran 


garis tengah pada daerah temporal/ 


frontal/parietal dengan fungsi batang 


masih baik.


b. Lebih dari 30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda 


penekanan batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik.


c. Perdarahan epidural yang progresif.

 

d. Perdarahan epidural tipis dengan 


penurunan kesadaran.


2. Perdarahan subdural yaitu :


a. SDH luas (>40cc/>5mm) dengan skor 


SI<G>6, fungsi batang otak masih baik.


b. SDH tipis dengan penurunan kesadaran.


c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai pergeseran garis 


tengah (midline shift) dengan fungsi 


batang otak masih baik.


3. Perdarahan intraserebral yaitu :


a. Penurunan kesadaran progresif.


b. Hipertensi, bradikardi, dan gangguan 


pernapasan (refleks Cushing).


c. Terjadi perburukan pada suatu 


kondisi defisit neurologis fokal.


4. Fraktur impresi.


5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri.


6. Fraktur kranii terbuka.


7. Edema serebri berat yang disertai dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK).


CONTOH KA SUS


Laki-laki 42 tahun, dibawa ke IGD dengan 


penurunan kesadaran sesudah  jatuh dari 


motor 1 jam sebelum masuk RS. Pasien dibonceng temannya dengan kecepatan 50 


km/jam tanpa memakai  helm. Sebelum kejadian, pasien dalam keadaan sehat, 


hanya lebih banyak bicara sebab  sedang 


berada di bawah pengaruh alkohol. Pasien 


biasanya mengonsumsi alkohol 1-2 kali per 


minggu. Pasien terjatuh ke belakang dengan 


posisi terlentang dan kepala belakang mengenai aspal. ada  muntah sebanyak 


2x isi makanan, serta ada  luka robek 


di bagian belakang kepala. Saat diantar ke


RS pasien dalam keadaan tidak sadar. Tidak 


ditemukan perdarahan dari telinga, hidung, 


dan mulut maupun kejang, serta tidak diketahui adanya keluhan lain.


Pada pemeriksaan fisik tanda vital stabil. 


Ditemukan luka robek di kepala kanan belakang dengan tepi tidak rata, dasar otot, 


kotor, perdarahan tidak masif, tidak terdapat nanah, tanda Battle, maupun raccoon


eyes. Pemeriksaan neurologis didapatkan 


SKG E2M5V2, refleks cahaya langsung maupun tidak langsung baik, serta kesan tidak 


ada defisit saraf kranial dan motorik.


P e r ta n y a a n :


1. Pemeriksaan penunjang apa yang akan 


Anda lakukan?


2. Apa diagnosa  kerja masalah  ini?


3. Apa dasar diagnosa  Saudara?


4. Apa tata laksana awal yang akan Anda 


lakukan?


5. Apa saja kondisi yang harus dihindari 


dalam perawatan pasien ini?


Ja w a b a n :


1. CT scan kepala tanpa kontras disertai 


bone window, Rontgen vertebra servikal proyeksi anteroposterior dan 


lateral. Pemeriksaan laboratorium: 


darah perifer lengkap, gula darah 


sewaktu, hemostasis, analisis gas darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, dan 


elektrolit.


2. Cedera kepala sedang.


3. Durasi penurunan kesadaran dalam 


rentang waktu >10 menit dan <6 jam 


dan nilai SKG 9. diagnosa  patologis 


ditegakan sesudah  dilakukan pencitraan dan/atau biopsy histopatologi,


4. Tata laksana resusitasi awal ABCDE

 

(airway; breathing, circulation, disability, exposure}. Manajemen pengendalian 


tekanan intrakranial dengan elevasi kepala 30°, normoksia (Pa02 sekitar 100 


mmHg), normokarbia (PaC02 sekitar 


35mmHg], normotermia, normoglikemia, analgesia adekuat, nutrisi adekuat, 


osmoterapi dengan manitol atau salin 


hipertonik Pada beberapa keadaan, 


dapat dilakukan sedasi, koma barbiturat/propofol, hipotermia terapetik, dan 


dekompresi kraniotomi.


5. Hipertermia, kejang, hipoksia, hipotensi, hipertensi, hipo/hiperglikemia, 


gangguan elektrolit, 











CEDERA MEDULA SPINALIS 


Cedera medula spinalis, atau disebut juga 


trauma medula spinalis (spinal cord injury), 


yaitu  trauma langsung atau tidak langsung 


yang memicu jejas pada medula spinalis, sehingga dapat menimbulkan gangguan fungsi sensorik, motorik, dan otonom. 


Selain itu, cedera medula spinalis memiliki 


mortalitas yang tinggi pada tahun pertama 


pascacedera.


Penanganan cedera medula spinalis harus 


dilakukan dengan cepat, tepat, dan cermat. 


Kesalahan dalam penanganan awal akan 


memicu kerusakan sekunder yang fatal dan mempengaruhi tindak lanjut serta 


prognosis pasien. Kecepatan penanganan 


medis prarumah sakit, sistem transportasi menuju rumah sakit, dan kualitas perawatan di rumah sakit merupakan faktor 


penting yang menentukan prognosis penderita cedera medula spinalis. Di negara 


dengan sistem pra-RS yang sudah baik, 


seperti Amerika, masih ada  5% pasien 


cedera medula spinalis yang disertai cedera 


sekunder atau perburukan saat tiba di RS.


EPID E M IG L O G I


WHO memperkirakan insidens cedera medula spinalis global sebanyak 40-80 orang 


persejuta populasi setiap tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan 2:1 dengan kelompok usia tertinggi yaitu  remaja hingga 


dewasa mud a. pemicu  tersering cedera 


medula spinalis yaitu  jatuh, diikuti kecelakaan sepeda motor.


Data di Amerika menunjukkan sebanyak 


5% pasien cedera kepala juga mengalami 


cedera medula spinalis, dengan sebaran 


lokasi terutama di servikal (55% ), lalu torakal, abdominal, dan lumbosakral masingmasing 15%. Data di negara kita  menyatakan 


bahwa masalah  cedera kepala dan medula spinalis mencapai 7,5% dari jumlah populasi.


PA TO FISIO LO G I


Patofisiologi cedera medula spinalis terbagi 


menjadi dua mekanisme, yaitu primer dan 


sekunder.


1 . M e k a n is m e K e r u s a k a n P r im e r


Mekanisme umum dari cedera medula 


spinalis yaitu  adanya kompresi pada 


struktur medula spinalis, baik oleh kelainan tulang, ligamen, herniasi diskus 


intervertebralis, maupun proses hematom pada medula spinalis itu sendiri. 


Proses kompresi akan memberikan gejala berupa defisit neurologis dan/atau 


rasa sakit yang dirasakan terus menerus. 


Mekanisme lain akibat gaya mekanik 


trauma (axial loading, fleksi, ekstensi, 


rotasi, lateral bending, distraksi) dapat 


berupa luka tembus, peregangan, mau-

pun robekan pada struktur medula spinalis dan pembuluh darah.


Kerusakan langsung pada pembuluh darah memicu perdarahan pada medula spinalis yang berlangsung beberapa 


menit pascacedera, diikuti gangguan aliran 


darah. Kejadian ini memicu hipoksia 


dan infark iskemik lokal. Area substansia 


grisea lebih rentan mengalami kerusakan 


yang pertama kali kemudian menyebar ke 


area seldtarnya (kaudal-kranial). Sel-sel 


saraf pada area ini akan mengalami kerusakan fisik, penipisan selubung mielin, 


edema, dan menarik makrofag di seldtar 


area sehingga mengganggu transmisi saraf.


2 . M e k a n is m e K e r u s a k a n S e k u n d e r


Kerusakan sekunder pada cedera medula 


spinalis terbagi menjadi dua mekanisme, 


yaitu efek lokal dan sistemik. Kerusakan 


sekunder ini terjadi akibat defisit energi 


yang disebabkan oleh adanya gangguan 


perfusi pada tingkat sel. Kondisi ini  


dapat diperberat, jika ditemukan keadaan 


renjatan neurogenik yang memicu 


hipoperfusi sistemik. Cedera medula spinalis yang tidak diatasi   optimal 


dalam 3-24 jam pertama, akan mengalami 


perburukan berupa perdarahan, edema, 


demielinisasi, pembentukan rongga pada 


akson, neltrosis neuronal, peningkatan kadar glutamat, eksitotoksisitas, kerusakan 


oksidatif, adanya iskemik, serta peningkatan produksi nitrit oksida dan peroksidasi 


lipid pada membran sel yang akan menyebabkan perubahan patologis dan berakhir 


menjadi infark.


GEJALA DAN TANDA KUNIS


Gejala dan tanda klinis cedera medula spinalis perlu diketahui sebab  akan menentukan tata laksana dan prognosis. Gambaran


klinis ini diklasifikasikan berdasar :


1. L ev e l C e d e ra


Level cedera medula spinalis dapat ditentukan melalui pemeriksaan sensorik 


(sesuai dermatom] dan motorik [miotom) di sepanjang level medula spinalis. Level cedera neurologis dihitung dari 


segmen paling kaudal yang fungsi sensorik dan motoriknya masih baik, pada 


kedua sisi (kanan dan kiri).


Perbedaan gejala paling mencolok terjadi 


pada level di atas dan di bawah T l. Pada 


level cedera di atas T l, defisit neurologis yang muncul yaitu  tetraplegi dan 


sering dijumpai gangguan pernapasan, 


akibat paresis otot interkostalis atau diafragma, serta renjatan neurogenik. Jika 


cedera terjadi di bawah T l, gejala klinis 


yang muncul berupa paraplegi. Penentuan level ini penting sebab  akan mempengaruhi strategi tata laksana cedera.


2. D e r a ja t K e p a r a h a n D e fis it N e u ro lo g is


Derajat keparahan defisit neurologis pada cedera medula spinalis dapat 


ditegakkan pada saat 72 jam hingga 7 


hari pascacedera sebab  mempertimbangkan adanya kemungkinan renjatan 


spinal Cspinal shock). Secara garis besar, 


derajat keparahan ini dibagi menjadi 


komplet dan inkomplet. Cedera disebut komplet apabila pasien kehilangan 


fungsi sensorik dan motorik pada level 


cedera, sedangkan cedera inkomplet jika 


pasien hanya kehilangan salah satu fungsi, sensorik atau motorik saja.


Cedera inkomplet memberikan prognosis 


yang lebih baik dibandingkan cedera komplet. Ditemukan fenomena sacral sparing 

yang tidak ditemukan pada cedera komplet. Sacral sparing menunjukkan fungsi 


yangtersisa pada cedera inkomplet, berupa fungsi sensorik di daerah perianal dan 


atau kontraksi sadar sfingter anus.


Secara lebih rinci, American Spinal Injury


Association (ASlA)/InternationaI Medical


Society o f Paraplegia (IMSOP) membagi 


derajat keparahan defisit neurologis menjadi 5 derajat (Tabel 1].


3. S in d r o m M e d u la S p in a lis


Berbagai mekanisme trauma (gaya axsial


loading, fleksi, ekstensi, rotasi, lateral bending, distraksi) dapat memicu kerusakan medula spinalis yang berbeda. Berdasarkan letak lesi dan gejalanya, ada  


empat sindrom, yaitu 1) sindrom BrownSequard; 2} sindrom spinalis anterior, 3) 


sindrom spinalis sentral, dan 4) sindrom 


spinalis posterior (Tabel 2 dan Gambar 1]. 

Renjatan Spinal


Selain sindrom-sindrom ini  di atas, 


perlu diperhatikan juga apakah defisit neurologis yang ada benar disebabkan oleh patologis atau renjatan spinal Renjatan spinal 


yaitu  keadaan hilangnya fungsi sensorik, 


motorik, dan otonom sementara, sebab  


sebenarnya tidak terjadi kerusakan struktur pada segmen medula spinalis ini . 


Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa hal ini terjadi lebih kepada proses akut 


hilangnya pengaruh fasilitasi supraspinal 


yang masih belum diketahui secara pasti, 


daripada proses trauma itu sendiri.


Renjatan spinal ditandai dengan hilangnya aktivitas refleks spinal di bawah lesi


dan kelemahan ekstrimitas flaksid. Selain 


itu, manifestasinya dapat berupa hilangnya 


tonus vesika urinaria, ileus paralitik, dan 


hipo/anhidrosis di bawah lesi.


Renjatan spinal ditemukan pada tahap  akut 


pascacedera. Durasi renjatan spinal bervariasi tergantung pada derajat keparahan dan 


level cedera medula spinalis. Pada sebagian 


besar masalah , aktivitas refleks spinal mulai 


kembali normal sesudah  1-6 minggu pascacedera.


Untuk meyakinkan defisit neurologis bukan 


aldbat renjatan spinal, maka direkomendasikan agar pemeriksa mengasumsikan bahwa defisit sensorik dan motorik akibat renjatan spinal hanya berlangsung kurang dari 

1 jam pascacedera, sehingga disimpulkan 


bahwa defisit sensorik dan motorik yang 


lebih dari 1 jam merupakan aldbat perubahan patologis dan jarangsebab  renjatan spinal. Adapun defisit komponen otonom dan 


refleks pada renjatan spinal dapat berlangsung dalam beberapa hari hingga beberapa 


bulan, tergantung beratnya cedera.


diagnosa  dan diagnosa  banding


Penentuan cedera medula spinalis dilakukan 


sesudah  keadaan mengancam nyawa telah 


diatasi. Oleh sebab  itu, penanganan awal 


masalah  cedera medula spinalis menganut asas 


praduga positif, yang berarti semua pasien 


trauma harus dicurigai menderita cedera 


sampai terbukti bahwa tidak ada cedera medula spinalis. Cedera medula spinalis dapat 


dikenali berdasar  keluhan klinis pada 


pasien yang sadar seperti rasa sakit di sepanjang tulang belakang, sensasi kebas, hingga 


kelumpuhan pada anggota gerak


Anamnesis


Penting didapatkan informasi berupa 1] 


mekanisme trauma, 2) riwayat penyakit sebelumnya, dan 3) riwayat pengobatan yang 


didapatkan sebelumnya atau dipemudah 


dengan akronim AMPLE {Alergy, Medication, Past illness, Last meal, Exposure).


Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan neurologis pasien cedera medula spinalis dilakukan secara bertahap untuk menentukan ada atau tidaknya cedera 


dan level cedera medula spinalis. Penentuan 


adanya cedera dilakukan saat pemindahan pasien dari papan spinal {spine board)


dengan teknik log roll. Teknik ini aman dilakukan oleh minimal empat penolong. Tiga


orang penolong bertugas mempertahankan 


kesegarisan tulang belakang saat pasien 


dimiringkan/dipindahkan, sedangkan satu 


lainnya akan menarikspme board dan mengevaluasi tulang belakang. Evaluasi untuk 


menemukan deformitas, krepitasi, nyeri 


saat palpasi, dan perlukaan kulit (kontusio, 


laserasi, atau penetrasi).


Penentuan level cedera berdasar  pemeriksaan sensorik dan motorik. Pemeriksaan sensorik dilakukan dengan memberikan rangsangan nyeri dan menilai respons 


pasien sesuai pola dermatom (Gambar 2). 


Level cedera ditentukan dari sensorik pola 


dermatom terbawah yang masih berfungsi 


baik. Perhatian khusus diberikan pada kecurigaan cedera servikal (C1-C4). Apabila 


pasien mengeluh hilangnya sensasi di daerah sekitar leher dan klavikula, pemeriksa 


harus mengkonfirmasi dengan pemeriksaan 


motorik.


Pemeriksaan motorik dilakukan dengan 


memeriksa kekuatan otot (Tabel 3) mengikuti pola miotom dan dibandingkan antara 


kedua sisi. Level cedera juga ditentukan dari 


segmen paling kaudal.


Diutamakan melakukan proteksi kolumna 


vertebralis pada pasien tidak sadar agar tidak terjadi cedera sekunder selama mobilisasi dan pemeriksaan. Proteksi ini meliputi 


pemasangan bidai servikal {cervical collar


neck) dan meletakkan penderita pada papan 


spinal panjang {long spine board) di tempat 


kejadian, selama transpor hingga sewaktu 


menjalani prosedur pemeriksaan penunjang. Pada penderita tidak sadar, pemeriksaan penunjang menjadi alat penapis utama. 

pemeriksaan Radiologis


Dibutuhkan kerjasama antara dokter neurologi 


dan radiologi untuk mencegah kemungkinan 


kerusakan sekunder selama pemeriksaan. 


Oleh sebab  itu seorang dokter neurologi juga 


harus mengenal tindakan-tindakan yang perlu 


dilakukan selama pemeriksaan. Pada instansi 


dengan fasilitas kesehatan yang lengkap, CT 


scan dapat menjadi modalitas penapisan awal 


cedera pada masalah  kecurigaan cedera medula 


spinalis, Namun pada instansi dengan fasilitas 


terbatas, dapat dilakukan foto Rontgen 


dengan posisi tertentu sebagai penapisan 


awal, kemudian dilanjutkan CT scan untuk 


memperjelas kelainan pada segmen tertentu.


Pemeriksaan foto rontgen pada masalah  kecurigaan cedera medula spinalis, meliputi:


1. Foto Segmen Servikal (Gambar 4}


Foto segmen servikal dilakukan dengan 


posisi lateral, anteroposterior [AP], dan 


open-mouth odontoid Pemeriksaan lateral dilakukan dengan pasien berada dalam 


posisi tidur telentang dan film diletakkan 


di samping pasien. Foto servikal dianggap


baik jika basis kranii hingga vertebra servikal ke-7 dapat terlihat. Untuk mencapai 


itu, seringkali diperlukan proyeksi khusus, yakni swimmer's position.


Posisi AP diperlukan untuk mengidentifikasi dislokasi tahap t unilateral yang tidak tampak jelas pada foto lateral. Di sisi 


lain, posisi open-mouth odontoid dilakukan khusus untuk melihat area sekitar 


segmen servikal 1 dan 2.


2. Foto Segmen Torakolumbal


Perlu diperhatikan kesegarisan korpus 


vertebra, jarak antar diskus, pedikel, 


prosesus spinosus, dan foramen intervertebralis. Jika dicurigai adanya kelainan maka dibuat proyeksi tambahan baik 


lateral maupun oblik.


Modalitas radiologis lain, seperti CT dan  MRI