Tampilkan postingan dengan label neurologi 16. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 16. Tampilkan semua postingan

neurologi 16

 













kelompok, yakni sinus posterior superior 


(P-S) dan sinus anterior inferior (A-I). Sinus 


P-S mencakup sinus sagitalis superior (SSS), 


sinus sagitalis inferior (SSI), sinus lateral/ 


transversus (SL), straight sinus, dan sinus 


oksipital. Kelompok A-I mencakup sinus petrosalis superior dan inferior serta sinus kavernous. SSS menjadi drainase bagi seluruh 


korteks serebri. Sinus transversus dan sinus 


menjadi drainase bagi serebelum, batang 


otak dan bagian posterior hemisfer otak 


(Gambar 2 dan Tabel 1}.


Vena dan sinus di otak dapat mengalami kelainan akibat trauma kepala maupun pada 


masalah  yang lebih jarang, akibat trombosis. 


Pada penelitian kohort International Study


on Cerebral Vein and Dural Sinus Trombosis


(ISCVT), pemicu  trombosis pada pasien 


sebagian besar yaitu  kondisi trombofilia 


(34% ), seperti defisiensi antitrombin, sindrom antifosfolipid dan hiperhomosisteinemia. Faktor risiko lainnya dapat berupa 


kehamilan dan nifas, kontrasepsi hormonal, 


infeksi lokal (otitis, mastoiditis, sinusitis, 


dan meningitis) maupun infeksi sistemik, 


penyakit inflamasi kronik seperti vaskulitis, keganasan, dan gangguan darah (seperti 


polisitemia). Meskipun jarang, trombosis 


vena serebral dapat pula disebabkan oleh 


kanulasi vena jugularis, prosedur bedah 


saraf, maupun lumbal pungsi. Pada >85% 


masalah  trombosis vena otak, dapat ditemukan salah satu Sumbatan pada sinus dan vena di otak akan 


memicu  gejala klinis melalui beberapa mekanisme (Gambar 3). Terjadinya 


sumbatan atau okiusi pada vena akan mengakibatkan peningkatan tekanan vena dan 


kapiler. Peningkatan tekanan vena yang makin bertambah akan menurunkan perfusi 


serebral, sehingga terjadi iskemia dan edema 


sitotoksik. Selain itu, terjadi kerusakan sawar 


darah otak yang memicu  edema vasogenik. Aldbat tekanan yang maldn meningkat, 


akhimya terjadi ruptur vena dan kapiler; menyebabkan perdarahan petekial yang dapat


berakumulasi menjadi perdarahan besar di 


parenkim.


Mekanisme kedua terjadi akibat obstruksi 


pada sinus serebri yang memicu  


berkurangnya absorpsi cairan serebrospinal. 


Pada kondisi normal cairan serebrospinal 


akan diabsorpsi oleh granulasio araknoid dan 


mengalami drainase menuju sinus sagitalis 


superior sebelum akhirnya dialirkan ke vena 


jugularis interna. Trombosis vena akan mengakibatkan peningkatan tekanan vena dan 


gangguan absorpsi cairan serebrospinal sehingga terjadi peninggian tekanan intrakranial. Peningkatan ini akan maldn memperburuk 


tingginya tekanan di vena, venula, dan kapiler, 


sehingga terjadi perdarahan parenkim, edema 


vasogenik, dan edema sitotoksik


Dalam hal lokasi trombosis, studi ISCVT 


mendapat  bahwa sinus transversus 


yang tersering (86% } diikuti sinus sagitalis 


superior (62%}, straight sinus (18% ), vena 


kortikal (superfisial) sebesar 17%, vena 


jugularis (12% ), vena serebri magna Galen 


dan vena internal (profunda) sebesar 11%.


GEJALA DAN TANDA KLINIS


Gejala klinis trombosis vena serebri amat bervariasi, dengan onset yang dapat bersifat akut, 


subakut, atau kronik. Pada 30% masalah , gejala 


bersifat akut dan umumnya hilang dalam 48 


jam. Pada 50% masalah , gejala bersifat subakut 


(dapat muncul dalam 30 hari) dan sisanya 


pada 20% masalah  gejala bersifat kronik (dirasakan antara 30 hari hingga 6 bulan).


berdasar  lokasi dan luas trombosis yang 


terjadi, ada  4 gejala utama yang dapat saling tumpang tindih atau berdiri sendiri-sendiri, 


yaitu: gejala hipertensi intrakranial, defisit fokal 


neurologis, kejang, dan ensefalopati (Gambar 4). dari faktor risiko di atas. Sumbatan pada sinus dan vena di otak akan 


memicu  gejala klinis melalui beberapa mekanisme (Gambar 3). Terjadinya 


sumbatan atau okiusi pada vena akan mengakibatkan peningkatan tekanan vena dan 


kapiler. Peningkatan tekanan vena yang makin bertambah akan menurunkan perfusi 


serebral, sehingga terjadi iskemia dan edema 


sitotoksik. Selain itu, terjadi kerusakan sawar 


darah otak yang memicu  edema vasogenik. Aldbat tekanan yang maldn meningkat, 


akhimya terjadi ruptur vena dan kapiler; menyebabkan perdarahan petekial yang dapat


berakumulasi menjadi perdarahan besar di 


parenkim.


Mekanisme kedua terjadi akibat obstruksi 


pada sinus serebri yang memicu  


berkurangnya absorpsi cairan serebrospinal. 


Pada kondisi normal cairan serebrospinal 


akan diabsorpsi oleh granulasio araknoid dan 


mengalami drainase menuju sinus sagitalis 


superior sebelum akhirnya dialirkan ke vena 


jugularis interna. Trombosis vena akan mengakibatkan peningkatan tekanan vena dan 


gangguan absorpsi cairan serebrospinal sehingga terjadi peninggian tekanan intrakranial. Peningkatan ini akan maldn memperburuk 


tingginya tekanan di vena, venula, dan kapiler, 


sehingga terjadi perdarahan parenkim, edema 


vasogenik, dan edema sitotoksik


Dalam hal lokasi trombosis, studi ISCVT 


mendapat  bahwa sinus transversus 


yang tersering (86% } diikuti sinus sagitalis 


superior (62%}, straight sinus (18% ), vena 


kortikal (superfisial) sebesar 17%, vena 


jugularis (12% ), vena serebri magna Galen 


dan vena internal (profunda) sebesar 11%.


GEJALA DAN TANDA KLINIS


Gejala klinis trombosis vena serebri amat bervariasi, dengan onset yang dapat bersifat akut, 


subakut, atau kronik. Pada 30% masalah , gejala 


bersifat akut dan umumnya hilang dalam 48 


jam. Pada 50% masalah , gejala bersifat subakut 


(dapat muncul dalam 30 hari) dan sisanya 


pada 20% masalah  gejala bersifat kronik (dirasakan antara 30 hari hingga 6 bulan).


berdasar  lokasi dan luas trombosis yang 


terjadi, ada  4 gejala utama yang dapat saling tumpang tindih atau berdiri sendiri-sendiri, 


yaitu: gejala hipertensi intrakranial, defisit fokal 


neurologis, kejang, dan ensefalopati (Gambar 4) 

Gejala dan tanda hipertensi intrakranial dapat 


berupa nyeri kepala, papiledema, dan gangguan penglihatan, Nyeri kepala merupakan 


gejala trombosis vena serebri yang paling 


sering dikeluhkan, Hal ini berbeda dengan 


stroke arterial yang umumnya tidak disertai 


nyeri kepala. Lebih dari 90% pasien trombosis 


vena serebral memiliki keluhan nyeri kepala, 


dan lebih dari 60% masalah  bersifat subakut.


Nyeri kepala dapat merupakan satu-satunya 


gejala pada pasien, tanpa disertai defisit fokal 


neurologis maupun papilledema. Hal ini terjadi pada 25%-40% pasien. Nyeri ini terjadi 


akibat distensi dinding vena, inflamasi lokal 


atau akibat leakage darah pada permukaan 


otak yang mengiritasi area peka  nyeri di duramater, Karakteristik nyeri umumnya bersifat difiis, namun dapat juga bersifat unilateral 


atau terlokalisir. Nyeri kepala dapat diperberat 


dengan manuver Valsalva atau perubahan posisi. Meskipun amat jarang, dapat dijumpai 


gejala nyeri kepala thunderclap, seperti pada 


perdarahan subaraknoid. Nyeri kepala yang 


disebabkan trombosis vena serebri seringkali 


keliru didiagnosa  sebagai migren.


Gejala neurologis fokal yang paling sering 


muncul yaitu  defisit motorik [>40%) dan 


kejang, termasuk kejang fokal dan kejang 


umum (30-40%). Kejang umumnya dijumpai 


pada trombosis di sinus sagitalis dan vena 


kortikal. Frekuensi kejang pada trombosis 


vena jauh lebih sering dibandingkan pada 


stroke arterial. Oleh sebab  itu, adanya defisit neurologis akut disertai kejang, harus 


dipikirkan sebagai trombosis vena serebri. 


Gejala ensefalopati seringkali terjadi pada 


pasien usia lanjut, trombosis di straight sinus, serta pada trombosis berat yang disertai edema serebri, infark luas, dan perdarahan parenkim. diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


Mengingat gejala Minis yang amat bervariasi, 


diagnosa  banding trombosis vena serebri cukup banyak, antara lain stroke iskemik dan 


hemoragik, pseudotumor serebri, tumor intrakranial, status epileptikus, dan abses intrakranial. Untuk mencari etiologi, menyingkirkan diagnosa  banding, dan memastikan 


diagnosa  trombosis vena serebral, diperlukan 


pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan 


laboratorium dan pencitraan.


Pemeriksaan Laboratorium


Kadar D-dimer dalam darah merupakan penanda terjadinya proses trombosis. Meskipun demikian, hasil D-dimer yang normal 


tidak dap at dipakai  untuk mengeksklusi 


kemungkinan diagnosa  trombosis vena serebral. Dalam beberapa studi D-dimer pada 


masalah  trombosis vena serebral, didapatkan 


bahwa pemeriksaan D-dimer memiliki angka positif palsu sebesar 9% dan angka negatif palsu 24%.


Mengingat tingginya insidens trombofilia 


pada pasien trombosis vena serebral, maka 


kondisi ini harus didiagnosa  awal. Trombofilia yaitu  kondisi dimana ada  kecenderungan untuk terjadi trombosis. Kelainan 


ini ditandai oleh abnormalitas molekular 


atau hemostasis yang menjadi predisposisi 


terjadinya tromboemboli. Trombofilia dapat 


bersifat herediter akibat defisiensi antitrombin, atau defisiensi protein C atau S. Trombofilia yang didapat {acquired thrombophilia) 


umumnya berhubungan dengan sindrom antifosfolipid dan adanya antikoagulan lupus. 


Pada beberapa masalah , tidak ditemukan adanya kelainan molekular maupun hemostasis, 


namun sering terjadi episode trombosis berulang, yang disebut sebagai trombofilia Minis.


Pemeriksaan skrining kondisi trombofilia 


mencakup evaluasi mutasi faktor V Leiden, 


mutasi gen protrombin 20210, antikoagulan lupus, antibodi antikardiolipin, hiperhomosisteinemia, serta defisiensi protein 


C, protein S, dan antitrombin. Kadar Protein C, protein S, dan antitrombin yang 


abnormal juga dapat dijumpai pada trombosis akut, pemakaian  antikoagulan, kontrasepsi oral maupun kehamilan.


Pem eriksaan Pencitraan 


Pencitraan yang menjadi pilihan pada 


pasien kecurigaan trombosis vena serebral yaitu  computed tom ography (CT) 


scan, m agnetic resonance imaging (MRI), 


CT venografi, dan magnetic resonance (MR) 


venografi. Selain itu, saat ini tengah berkembang pemeriksaan non-invasif memakai  


ultrasonografi. Prosedur digital subtraction


angiography (DSA) merupakan pemeriksaan baku emas, namun bersifat invasif, 


sehingga baru dikerjakan bila hasil pemeriksaan MR venografi atau CT venografi 


belum konklusif, atau jika tindakan endovaskular dipertimbangkan untuk dikerjakan.


1. CT Scan


Pemeriksaan CT scan dengan atau tanpa 


kontras merupakan pencitraan yang paling banyak tersedia di fasilitas kesehatan dan paling banyak dikerjakan pada 


masalah  neurologi akut, termasuk pasien 


yang dicurigai trombosis vena serebri. 


Pemeriksaan CT scan dapat membantu 


untuk menyingkirkan beberapa kondisi 


yang menyerupai trombosis vena serebri.


Gambaran CT scan trombosis vena serebri yang paling banyak dijumpai yaitu  area hiperdens umum atau terlokalisir di 


sekitar dalam area hipodens yang menunjukkan gambaran infark hemoragik di 


area otak yang tidak khas untuk stroke 


arterial. Selain itu dapat dijumpai pula 


gambaran perdarahan subaraknoid aldbat adanya ektravasasi atau ruptur darah 


dari vena t nenuju ruang subaraknoid.


Sensitivitas CT scan tanpa kontras dalam 


mendiagnosa  trombosis vena serebri cukup rendah, sekitar 25-56%. Mesldpun 


demikian, ditemukannya gambaran direct


sign [visualisasi trombus dalam pembuluh 


darah) atau indirect sign (kerusakan parenk' otak akibat iskemia atau gangguan 


aliran vena) akan membantu meningkatkan spesifisitas diagnosa .


a. Direct sign


ada  3 direct sign trombosis vena serebri pada CT scan yakni string sign,


dense triangle sign, dan empty delta sign.


String sign atau cord sign (Gambar 5) 


merupakan gambaran hiperdens memanjang pada CT scan tanpa kontras, 


ditemukan pada 25% masalah . Gambaran ini terjadi akibat adanya trombosis 


pada vena kortikal. Namun dapat ditemukan pada kondisi slowflow, sehingga 


tanda ini merupakan tanda yang nonspesifik.


Dense triangle sign (Gambar 6) ditemukan pada 2% dari seluruh masalah  trombosis vena serebral, dan 60% ditemukan pada 2 minggu pertama. Tanda ini 


terjadi akibat opasifikasi spontan pada 


SSS akibat proses koaguiasi darah yang 


baru terjadi. Empty delta atau empty triangle sign


(Gambar 7), dapat dijumpai pada CT scan


dengan kontras, sebanyak 10-35% masalah . 


Gejala ini terjadi akibat adanya defek 


pengisian kontras intraluminal di bagian 


posterior SSS. Pada CT scan, tampak penyangatan dinding sinus yang mengelilingi area hipodens (gambaran clot)


dalam lumen.


b. Indirect sign


Tanda ini lebih sering ditemukan pada CT 


scan dibandingkan direct sign. Meskipun 


tidak spesifik, jika dijumpai adanya indirect


sign maka pemeriksaan venografi perlu dipertimbangkan untuk memastikan diagnosis. Gambarannya antara lain berupa edema 


serebri, ukuran ventrikel yang mengecil, 


hidrosefalus, penyangatan pada folks atau 


tentorium (Gambar 8), serta infark vena 


dengan atau tanpa perdarahan. Selain itu,


dapat pula dijumpai erosi struktur telinga 


tengah dan perubahan regio mastoid pada 


trombosis septik sinus lateralis (Gambar 9).


2. M R I, M R V e n o g ra fi, d a n CT V e n o g r a fi


Gambaran MRI trombosis venaserebrijuga 


bervariasi, bergantung pada usia trombus, 


bisa normal pada lebih dari 30% pasien. 


Sekuens T2 merupakan sekuens terpenting pada trombosis tahap  akut, sebab  gambaran pada sekuens lain kurang jelas. Pada 


tahap  akut, seltuens T1 menunjukkan gambaran isointens, dan gambaran hipointens 


pada sekuens T2. Pada tahap  subakut, trombus akan terlihat hiperintens pada seltuens 


T1 dan T2. Pada tahap kronik, trombus 


kurang jelas terlihat, namun dapat tervisualisasi sebagai gambaran heterogen dengan intensitas yang bervariasi tergantung 


jaringan otak sekitarnya. Pada sekuens T2, dapat ditemukan edema di talamus pada masalah  oklusi vena 


profunda. Tanda ini merupakan merupakan tanda bahaya, mengingat pasien 


dapat memburuk hingga koma. Sekuens 


T2 juga peka  untuk menentukan karakteristik perdarahan parenldmal.


Pada trombosis SSS dapat dijumpai perdarahan lobar berbentuk flame-shaped, irreguler, di daerah frontal parasagital dan 


lobus parietal. Pada trombosis sinus transversus lesi hemoragik dapat ditemukan di 


lobus temporal atau oksipital. Adanya gambaran ini  dapat mengarahkan perlunya pemeriksaan MR atau CT venografi, 


mengingat keduanya memilild kemampuan untuk menggambarkan pembuluh 


darah secara detail. Dibandingkan dengan 


pemeriksaan DSA sebagai baku emas, kedua pemeriksaan ini juga memilild sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (mencapai 


100%} dalam penegakan diagnosa  trombosis vena serebral.


MR venografi menjadi pilihan utama mengingat keterbatasan CT venografi yang membutuhkan walctu pengerjaan lebih lama, 


bergantung pada kemampuan operator 


dalam hal editing tulang untuk visualisasi 


pembuluh darah intrakranial, paparan radiasi, dan masalah pemakaian  kontras 


pada pasien gagal ginjal atau alergi kontras. American Heart Association (AHA}/ 


American Stroke Association (ASA) Scientific Statement 2011 merekomendasikan 


pemeriksaan MRI dengan seloiens T2 dan 


MR venografi sebagai tes diagnostik pilihan 


dalam masalah  trombosis vena serebral.


3. Ultrasonografi


Ultrasonografi vena dan sinus serebral


dapat membantu menegakkan diagnosa  


dan membantu follow-up pasien dengan 


trombosis vena serebral. Namun demikian, 


pemerilcsaan ini relatif baru dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tidak terlalu 


tinggi. Pada tahap  akut, oklusi pada sinus 


dapat didiagnosa  dengan memakai  


transcranial color-coded duplex sonography


(TCCD). Selain itu, TCCD dan juga Doppler 


transkranial/transcranial Doppler (TCD} 


dapat membantu mengevaluasi sistem dan 


aliran kolateral vena otak.


TATA LAKSANA


Manajemen trombosis vena serebri secara 


umum dibagi menjadi 2 macam, yakni terapi 


umum simtomatik dan terapi pragmatis, 


seperti terapi medikamentosa dan neurointervensi.


Tata Laksana Umum dan Simptomatik


Tata laksana umum terdiri atas elevasi kepala 30°, oksigenasi, dan proteksi jalan 


napas terhadap risiko pneumonia aspirasi. 


Terapi simtomatik mencakup pemberian 


obat antikonvulsan, tata laksana peningkatan intrakranial, kontrol gejala psikosis dan 


agitasi psikomotor, terapi analgetik serta 


pemberian antibiotik jika trombosis vena 


serebri disebabkan sebab  infeksi (septik}.


Kejang dapat terjadi pada lebih dari 30% 


pasien dan berisiko berulang selama perawatan. Kejang juga meningkatkan risiko 


kerusakan anoksik. Oleh sebab  itu, pada 


pasien dengan klinis kejang, ada  perdarahan, atau trombosis pada vena kortikal 


atau supratentorial, menjadi kandidat untuk pemberian antikonvulsan.


Peningkatan tekanan atau hipertensi intrakranial dapat terjadi pada 50% pasien trombosis

 vena serebri, Namun demikian, hanya 20% 


pasien yang biasanya memerlukan terapi antiedema dengan elevasi kepala 30°, dan pemberian diuretik osmotik. Mannitol dapat diberikan selama 4-72 jam dengan dosis 4-6xl25mL 


intravena. Jika tekanan intrakranial tidak terkontrol dan pasien mengalami herniasi serebri, dapat dilakukan hiperventilasi atau tata 


laksana bedah dekompresi intrakranial.


Pada sebagian besar masalah , hipertensi intrakranial bersifat lokal dengan gejala terisolasi seperti gangguan visual. Pada masalah  seperti ini dapat dilakukan pungsi lumbal untuk 


mengeluarkan cairan serebrospinal dikombinasi dengan pemberian asetazolamid. Jika 


tidak berespons sehingga gangguan visus 


disertai dengan papiledema semaldn berat, 


dapat dipertimbangkan tindakan pirau ventrikuloperitoneal {ventriculoperitoneal shunt),


Pada masalah  dengan gejala psikosis dan agitasi psikomotor, dapat diberikan haloperidol 5-20mg intravena (IV) atau oral. Terapi 


ini dapat diberikan sesuai evaluasi klinis. 


Alternatif lain yaitu  pemberian midazolam 


10-20mg IV, suatu obat sedasi yang bersifat 


short-acting. Obat ini dapat diberikan bila 


pasien akan menjalani tindakan atau prosedur diagnostik maupun terapeutik.


Manajemen nyeri kepala dilakukan dengan 


pemberian asetaminofen (500-1000mg 3 


kali sehari) pada nyeri ringan atau tramadol 


5-100mg 3x sehari pada nyeri kepala berat 


Jika ada  mual dapat diberikan antiemetik. Pada masalah  trombosis vena serebri septik 


direkomendasikan pemberian antibiotik dan 


drainase fokus infeksi. pemakaian  steroid tidak dianjurkan, sebab  berisiko memicu 


kondisi hiperkoagulasi lebih lanjut dan berhubungan dengan risiko prognosis yang buruk


Terapi Pragm atis 


1. Antikoagulan


Terapi pragmatis medikamentosa dilakukan dengan pemberian antikoagulan untuk 


mencegah propagasi trombus, membuat 


rekanalisasi sinus dan vena yang mengalami oldusi, serta mencegah komplikasi trombosis vena dalam dan emboli paru.


Meskipun memiliki rekomendasi yang 


kuat, pemberian antikoagulan cukup 


kontroversial pada masalah  trombosis yang 


disertai perdarahan intrakranial. Dalam 


meta-analisis oleh Coutinho dkk, pemberian heparin mengurangi risiko kematian 


absolut sebesar 13% tanpa meningkatkan 


angka perdarahan baru, disertai angka kejadian emboli paru yang lebih rendah.


Heparin aman untuk diberikan pada pasien 


trombosis vena serebri dengan perdarahan intrakranial. Pada studi kohort Ferro dick, 


83% pasien trombosis vena serebri dengan 


perdarahan intrakranial tidak mengalami 


perburukan klinis dengan pemberian heparin. Studi ini membuktikan hipotesis bahwa 


perbaikan aliran vena dengan pemberian 


antikoagulan akan mengurangi tekanan 


dalam vena dan kapiler sehingga mengurangi risiko perdarahan lebih lanjut Berdasarkan berbagai studi ini , dapat 


disimpulkan bahwa antikoagulan aman untuk diberikan pada trombosis vena serebri 


dengan atau tanpa perdarahan intrakranial.


Antikoagulan diberikan segera di tahap  akut 


baik dengan unfractionated heparin intravena atau low-molecular weight heparin


(LMWH) subkutan, sebelum dilanjutkan 


dengan antikoagulan oral warfarin. Pemberian warfarin dilakukan dengan target 


international normalized ratio (INR) 2,0-

 3,0 selama 3-6 bulan pada pasien dengan 


falctor risiko yang jelas atau 6-12 bulan 


pada pasien tanpa falctor risiko yang sudah 


terdetelcsi. Pada pasien dengan trombosis vena serebri berulang, pasien dengan 


trombosis vena dalam atau emboli paru 


yang mengalami trombosis vena serebri, 


atau pasien trombosis vena serebri dengan trombofilia berat harus mendapat  antikoagulan seumur hidup.


2. Manajemen Neurointervensi


Manajemen neurointervensi pada lcasus 


trombosis vena serebri antara lain yaitu  


pemberian trombolisis lokal melalui telcnik 


endovaskular melalui akses jugular dan 


femoral. Telcnik ini pertama lcali dilcerjakan 


pada tahun 1971. Trombolisis endovaskular umumnya dilakukan pada masalah  yang 


berat. ada  penelitian yang menunjuklcan bahwa pemberian trombolisis endovaskular dapat merestorasi aliran darah 


vena pada 71,4% masalah  lebih cepat dan 


lebih efisien dari pemberian heparin intravena. Namun teknik ini berisiko 


perdarahan yang lebih tinggi. Trombektomi mekanik memakai  stent retriever


maupun Penumbra System mengurangi 


dosis trombolisis yang dipakai , sehingga 


mengurangi risiko perdarahan intrakranial.


Hingga saat ini, belum ada uji klinis dalam 


slcala besar tentang manajemen neurointervensi (trombolisis endovaskular maupun trombektomi mekanik). Tindakan ini 


hanya dilcerjakan bila terjadi perburukan Minis pasca pemberian antikoagulan 


atau jilca ada  perburukan perdarahan intrakranial meskipun pasien telah 


mendapat  modalitas terapi lain.