kelompok, yakni sinus posterior superior
(P-S) dan sinus anterior inferior (A-I). Sinus
P-S mencakup sinus sagitalis superior (SSS),
sinus sagitalis inferior (SSI), sinus lateral/
transversus (SL), straight sinus, dan sinus
oksipital. Kelompok A-I mencakup sinus petrosalis superior dan inferior serta sinus kavernous. SSS menjadi drainase bagi seluruh
korteks serebri. Sinus transversus dan sinus
menjadi drainase bagi serebelum, batang
otak dan bagian posterior hemisfer otak
(Gambar 2 dan Tabel 1}.
Vena dan sinus di otak dapat mengalami kelainan akibat trauma kepala maupun pada
masalah yang lebih jarang, akibat trombosis.
Pada penelitian kohort International Study
on Cerebral Vein and Dural Sinus Trombosis
(ISCVT), pemicu trombosis pada pasien
sebagian besar yaitu kondisi trombofilia
(34% ), seperti defisiensi antitrombin, sindrom antifosfolipid dan hiperhomosisteinemia. Faktor risiko lainnya dapat berupa
kehamilan dan nifas, kontrasepsi hormonal,
infeksi lokal (otitis, mastoiditis, sinusitis,
dan meningitis) maupun infeksi sistemik,
penyakit inflamasi kronik seperti vaskulitis, keganasan, dan gangguan darah (seperti
polisitemia). Meskipun jarang, trombosis
vena serebral dapat pula disebabkan oleh
kanulasi vena jugularis, prosedur bedah
saraf, maupun lumbal pungsi. Pada >85%
masalah trombosis vena otak, dapat ditemukan salah satu Sumbatan pada sinus dan vena di otak akan
memicu gejala klinis melalui beberapa mekanisme (Gambar 3). Terjadinya
sumbatan atau okiusi pada vena akan mengakibatkan peningkatan tekanan vena dan
kapiler. Peningkatan tekanan vena yang makin bertambah akan menurunkan perfusi
serebral, sehingga terjadi iskemia dan edema
sitotoksik. Selain itu, terjadi kerusakan sawar
darah otak yang memicu edema vasogenik. Aldbat tekanan yang maldn meningkat,
akhimya terjadi ruptur vena dan kapiler; menyebabkan perdarahan petekial yang dapat
berakumulasi menjadi perdarahan besar di
parenkim.
Mekanisme kedua terjadi akibat obstruksi
pada sinus serebri yang memicu
berkurangnya absorpsi cairan serebrospinal.
Pada kondisi normal cairan serebrospinal
akan diabsorpsi oleh granulasio araknoid dan
mengalami drainase menuju sinus sagitalis
superior sebelum akhirnya dialirkan ke vena
jugularis interna. Trombosis vena akan mengakibatkan peningkatan tekanan vena dan
gangguan absorpsi cairan serebrospinal sehingga terjadi peninggian tekanan intrakranial. Peningkatan ini akan maldn memperburuk
tingginya tekanan di vena, venula, dan kapiler,
sehingga terjadi perdarahan parenkim, edema
vasogenik, dan edema sitotoksik
Dalam hal lokasi trombosis, studi ISCVT
mendapat bahwa sinus transversus
yang tersering (86% } diikuti sinus sagitalis
superior (62%}, straight sinus (18% ), vena
kortikal (superfisial) sebesar 17%, vena
jugularis (12% ), vena serebri magna Galen
dan vena internal (profunda) sebesar 11%.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Gejala klinis trombosis vena serebri amat bervariasi, dengan onset yang dapat bersifat akut,
subakut, atau kronik. Pada 30% masalah , gejala
bersifat akut dan umumnya hilang dalam 48
jam. Pada 50% masalah , gejala bersifat subakut
(dapat muncul dalam 30 hari) dan sisanya
pada 20% masalah gejala bersifat kronik (dirasakan antara 30 hari hingga 6 bulan).
berdasar lokasi dan luas trombosis yang
terjadi, ada 4 gejala utama yang dapat saling tumpang tindih atau berdiri sendiri-sendiri,
yaitu: gejala hipertensi intrakranial, defisit fokal
neurologis, kejang, dan ensefalopati (Gambar 4). dari faktor risiko di atas. Sumbatan pada sinus dan vena di otak akan
memicu gejala klinis melalui beberapa mekanisme (Gambar 3). Terjadinya
sumbatan atau okiusi pada vena akan mengakibatkan peningkatan tekanan vena dan
kapiler. Peningkatan tekanan vena yang makin bertambah akan menurunkan perfusi
serebral, sehingga terjadi iskemia dan edema
sitotoksik. Selain itu, terjadi kerusakan sawar
darah otak yang memicu edema vasogenik. Aldbat tekanan yang maldn meningkat,
akhimya terjadi ruptur vena dan kapiler; menyebabkan perdarahan petekial yang dapat
berakumulasi menjadi perdarahan besar di
parenkim.
Mekanisme kedua terjadi akibat obstruksi
pada sinus serebri yang memicu
berkurangnya absorpsi cairan serebrospinal.
Pada kondisi normal cairan serebrospinal
akan diabsorpsi oleh granulasio araknoid dan
mengalami drainase menuju sinus sagitalis
superior sebelum akhirnya dialirkan ke vena
jugularis interna. Trombosis vena akan mengakibatkan peningkatan tekanan vena dan
gangguan absorpsi cairan serebrospinal sehingga terjadi peninggian tekanan intrakranial. Peningkatan ini akan maldn memperburuk
tingginya tekanan di vena, venula, dan kapiler,
sehingga terjadi perdarahan parenkim, edema
vasogenik, dan edema sitotoksik
Dalam hal lokasi trombosis, studi ISCVT
mendapat bahwa sinus transversus
yang tersering (86% } diikuti sinus sagitalis
superior (62%}, straight sinus (18% ), vena
kortikal (superfisial) sebesar 17%, vena
jugularis (12% ), vena serebri magna Galen
dan vena internal (profunda) sebesar 11%.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Gejala klinis trombosis vena serebri amat bervariasi, dengan onset yang dapat bersifat akut,
subakut, atau kronik. Pada 30% masalah , gejala
bersifat akut dan umumnya hilang dalam 48
jam. Pada 50% masalah , gejala bersifat subakut
(dapat muncul dalam 30 hari) dan sisanya
pada 20% masalah gejala bersifat kronik (dirasakan antara 30 hari hingga 6 bulan).
berdasar lokasi dan luas trombosis yang
terjadi, ada 4 gejala utama yang dapat saling tumpang tindih atau berdiri sendiri-sendiri,
yaitu: gejala hipertensi intrakranial, defisit fokal
neurologis, kejang, dan ensefalopati (Gambar 4)
Gejala dan tanda hipertensi intrakranial dapat
berupa nyeri kepala, papiledema, dan gangguan penglihatan, Nyeri kepala merupakan
gejala trombosis vena serebri yang paling
sering dikeluhkan, Hal ini berbeda dengan
stroke arterial yang umumnya tidak disertai
nyeri kepala. Lebih dari 90% pasien trombosis
vena serebral memiliki keluhan nyeri kepala,
dan lebih dari 60% masalah bersifat subakut.
Nyeri kepala dapat merupakan satu-satunya
gejala pada pasien, tanpa disertai defisit fokal
neurologis maupun papilledema. Hal ini terjadi pada 25%-40% pasien. Nyeri ini terjadi
akibat distensi dinding vena, inflamasi lokal
atau akibat leakage darah pada permukaan
otak yang mengiritasi area peka nyeri di duramater, Karakteristik nyeri umumnya bersifat difiis, namun dapat juga bersifat unilateral
atau terlokalisir. Nyeri kepala dapat diperberat
dengan manuver Valsalva atau perubahan posisi. Meskipun amat jarang, dapat dijumpai
gejala nyeri kepala thunderclap, seperti pada
perdarahan subaraknoid. Nyeri kepala yang
disebabkan trombosis vena serebri seringkali
keliru didiagnosa sebagai migren.
Gejala neurologis fokal yang paling sering
muncul yaitu defisit motorik [>40%) dan
kejang, termasuk kejang fokal dan kejang
umum (30-40%). Kejang umumnya dijumpai
pada trombosis di sinus sagitalis dan vena
kortikal. Frekuensi kejang pada trombosis
vena jauh lebih sering dibandingkan pada
stroke arterial. Oleh sebab itu, adanya defisit neurologis akut disertai kejang, harus
dipikirkan sebagai trombosis vena serebri.
Gejala ensefalopati seringkali terjadi pada
pasien usia lanjut, trombosis di straight sinus, serta pada trombosis berat yang disertai edema serebri, infark luas, dan perdarahan parenkim. diagnosa DAN diagnosa BANDING
Mengingat gejala Minis yang amat bervariasi,
diagnosa banding trombosis vena serebri cukup banyak, antara lain stroke iskemik dan
hemoragik, pseudotumor serebri, tumor intrakranial, status epileptikus, dan abses intrakranial. Untuk mencari etiologi, menyingkirkan diagnosa banding, dan memastikan
diagnosa trombosis vena serebral, diperlukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium dan pencitraan.
Pemeriksaan Laboratorium
Kadar D-dimer dalam darah merupakan penanda terjadinya proses trombosis. Meskipun demikian, hasil D-dimer yang normal
tidak dap at dipakai untuk mengeksklusi
kemungkinan diagnosa trombosis vena serebral. Dalam beberapa studi D-dimer pada
masalah trombosis vena serebral, didapatkan
bahwa pemeriksaan D-dimer memiliki angka positif palsu sebesar 9% dan angka negatif palsu 24%.
Mengingat tingginya insidens trombofilia
pada pasien trombosis vena serebral, maka
kondisi ini harus didiagnosa awal. Trombofilia yaitu kondisi dimana ada kecenderungan untuk terjadi trombosis. Kelainan
ini ditandai oleh abnormalitas molekular
atau hemostasis yang menjadi predisposisi
terjadinya tromboemboli. Trombofilia dapat
bersifat herediter akibat defisiensi antitrombin, atau defisiensi protein C atau S. Trombofilia yang didapat {acquired thrombophilia)
umumnya berhubungan dengan sindrom antifosfolipid dan adanya antikoagulan lupus.
Pada beberapa masalah , tidak ditemukan adanya kelainan molekular maupun hemostasis,
namun sering terjadi episode trombosis berulang, yang disebut sebagai trombofilia Minis.
Pemeriksaan skrining kondisi trombofilia
mencakup evaluasi mutasi faktor V Leiden,
mutasi gen protrombin 20210, antikoagulan lupus, antibodi antikardiolipin, hiperhomosisteinemia, serta defisiensi protein
C, protein S, dan antitrombin. Kadar Protein C, protein S, dan antitrombin yang
abnormal juga dapat dijumpai pada trombosis akut, pemakaian antikoagulan, kontrasepsi oral maupun kehamilan.
Pem eriksaan Pencitraan
Pencitraan yang menjadi pilihan pada
pasien kecurigaan trombosis vena serebral yaitu computed tom ography (CT)
scan, m agnetic resonance imaging (MRI),
CT venografi, dan magnetic resonance (MR)
venografi. Selain itu, saat ini tengah berkembang pemeriksaan non-invasif memakai
ultrasonografi. Prosedur digital subtraction
angiography (DSA) merupakan pemeriksaan baku emas, namun bersifat invasif,
sehingga baru dikerjakan bila hasil pemeriksaan MR venografi atau CT venografi
belum konklusif, atau jika tindakan endovaskular dipertimbangkan untuk dikerjakan.
1. CT Scan
Pemeriksaan CT scan dengan atau tanpa
kontras merupakan pencitraan yang paling banyak tersedia di fasilitas kesehatan dan paling banyak dikerjakan pada
masalah neurologi akut, termasuk pasien
yang dicurigai trombosis vena serebri.
Pemeriksaan CT scan dapat membantu
untuk menyingkirkan beberapa kondisi
yang menyerupai trombosis vena serebri.
Gambaran CT scan trombosis vena serebri yang paling banyak dijumpai yaitu area hiperdens umum atau terlokalisir di
sekitar dalam area hipodens yang menunjukkan gambaran infark hemoragik di
area otak yang tidak khas untuk stroke
arterial. Selain itu dapat dijumpai pula
gambaran perdarahan subaraknoid aldbat adanya ektravasasi atau ruptur darah
dari vena t nenuju ruang subaraknoid.
Sensitivitas CT scan tanpa kontras dalam
mendiagnosa trombosis vena serebri cukup rendah, sekitar 25-56%. Mesldpun
demikian, ditemukannya gambaran direct
sign [visualisasi trombus dalam pembuluh
darah) atau indirect sign (kerusakan parenk' otak akibat iskemia atau gangguan
aliran vena) akan membantu meningkatkan spesifisitas diagnosa .
a. Direct sign
ada 3 direct sign trombosis vena serebri pada CT scan yakni string sign,
dense triangle sign, dan empty delta sign.
String sign atau cord sign (Gambar 5)
merupakan gambaran hiperdens memanjang pada CT scan tanpa kontras,
ditemukan pada 25% masalah . Gambaran ini terjadi akibat adanya trombosis
pada vena kortikal. Namun dapat ditemukan pada kondisi slowflow, sehingga
tanda ini merupakan tanda yang nonspesifik.
Dense triangle sign (Gambar 6) ditemukan pada 2% dari seluruh masalah trombosis vena serebral, dan 60% ditemukan pada 2 minggu pertama. Tanda ini
terjadi akibat opasifikasi spontan pada
SSS akibat proses koaguiasi darah yang
baru terjadi. Empty delta atau empty triangle sign
(Gambar 7), dapat dijumpai pada CT scan
dengan kontras, sebanyak 10-35% masalah .
Gejala ini terjadi akibat adanya defek
pengisian kontras intraluminal di bagian
posterior SSS. Pada CT scan, tampak penyangatan dinding sinus yang mengelilingi area hipodens (gambaran clot)
dalam lumen.
b. Indirect sign
Tanda ini lebih sering ditemukan pada CT
scan dibandingkan direct sign. Meskipun
tidak spesifik, jika dijumpai adanya indirect
sign maka pemeriksaan venografi perlu dipertimbangkan untuk memastikan diagnosis. Gambarannya antara lain berupa edema
serebri, ukuran ventrikel yang mengecil,
hidrosefalus, penyangatan pada folks atau
tentorium (Gambar 8), serta infark vena
dengan atau tanpa perdarahan. Selain itu,
dapat pula dijumpai erosi struktur telinga
tengah dan perubahan regio mastoid pada
trombosis septik sinus lateralis (Gambar 9).
2. M R I, M R V e n o g ra fi, d a n CT V e n o g r a fi
Gambaran MRI trombosis venaserebrijuga
bervariasi, bergantung pada usia trombus,
bisa normal pada lebih dari 30% pasien.
Sekuens T2 merupakan sekuens terpenting pada trombosis tahap akut, sebab gambaran pada sekuens lain kurang jelas. Pada
tahap akut, seltuens T1 menunjukkan gambaran isointens, dan gambaran hipointens
pada sekuens T2. Pada tahap subakut, trombus akan terlihat hiperintens pada seltuens
T1 dan T2. Pada tahap kronik, trombus
kurang jelas terlihat, namun dapat tervisualisasi sebagai gambaran heterogen dengan intensitas yang bervariasi tergantung
jaringan otak sekitarnya. Pada sekuens T2, dapat ditemukan edema di talamus pada masalah oklusi vena
profunda. Tanda ini merupakan merupakan tanda bahaya, mengingat pasien
dapat memburuk hingga koma. Sekuens
T2 juga peka untuk menentukan karakteristik perdarahan parenldmal.
Pada trombosis SSS dapat dijumpai perdarahan lobar berbentuk flame-shaped, irreguler, di daerah frontal parasagital dan
lobus parietal. Pada trombosis sinus transversus lesi hemoragik dapat ditemukan di
lobus temporal atau oksipital. Adanya gambaran ini dapat mengarahkan perlunya pemeriksaan MR atau CT venografi,
mengingat keduanya memilild kemampuan untuk menggambarkan pembuluh
darah secara detail. Dibandingkan dengan
pemeriksaan DSA sebagai baku emas, kedua pemeriksaan ini juga memilild sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (mencapai
100%} dalam penegakan diagnosa trombosis vena serebral.
MR venografi menjadi pilihan utama mengingat keterbatasan CT venografi yang membutuhkan walctu pengerjaan lebih lama,
bergantung pada kemampuan operator
dalam hal editing tulang untuk visualisasi
pembuluh darah intrakranial, paparan radiasi, dan masalah pemakaian kontras
pada pasien gagal ginjal atau alergi kontras. American Heart Association (AHA}/
American Stroke Association (ASA) Scientific Statement 2011 merekomendasikan
pemeriksaan MRI dengan seloiens T2 dan
MR venografi sebagai tes diagnostik pilihan
dalam masalah trombosis vena serebral.
3. Ultrasonografi
Ultrasonografi vena dan sinus serebral
dapat membantu menegakkan diagnosa
dan membantu follow-up pasien dengan
trombosis vena serebral. Namun demikian,
pemerilcsaan ini relatif baru dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tidak terlalu
tinggi. Pada tahap akut, oklusi pada sinus
dapat didiagnosa dengan memakai
transcranial color-coded duplex sonography
(TCCD). Selain itu, TCCD dan juga Doppler
transkranial/transcranial Doppler (TCD}
dapat membantu mengevaluasi sistem dan
aliran kolateral vena otak.
TATA LAKSANA
Manajemen trombosis vena serebri secara
umum dibagi menjadi 2 macam, yakni terapi
umum simtomatik dan terapi pragmatis,
seperti terapi medikamentosa dan neurointervensi.
Tata Laksana Umum dan Simptomatik
Tata laksana umum terdiri atas elevasi kepala 30°, oksigenasi, dan proteksi jalan
napas terhadap risiko pneumonia aspirasi.
Terapi simtomatik mencakup pemberian
obat antikonvulsan, tata laksana peningkatan intrakranial, kontrol gejala psikosis dan
agitasi psikomotor, terapi analgetik serta
pemberian antibiotik jika trombosis vena
serebri disebabkan sebab infeksi (septik}.
Kejang dapat terjadi pada lebih dari 30%
pasien dan berisiko berulang selama perawatan. Kejang juga meningkatkan risiko
kerusakan anoksik. Oleh sebab itu, pada
pasien dengan klinis kejang, ada perdarahan, atau trombosis pada vena kortikal
atau supratentorial, menjadi kandidat untuk pemberian antikonvulsan.
Peningkatan tekanan atau hipertensi intrakranial dapat terjadi pada 50% pasien trombosis
vena serebri, Namun demikian, hanya 20%
pasien yang biasanya memerlukan terapi antiedema dengan elevasi kepala 30°, dan pemberian diuretik osmotik. Mannitol dapat diberikan selama 4-72 jam dengan dosis 4-6xl25mL
intravena. Jika tekanan intrakranial tidak terkontrol dan pasien mengalami herniasi serebri, dapat dilakukan hiperventilasi atau tata
laksana bedah dekompresi intrakranial.
Pada sebagian besar masalah , hipertensi intrakranial bersifat lokal dengan gejala terisolasi seperti gangguan visual. Pada masalah seperti ini dapat dilakukan pungsi lumbal untuk
mengeluarkan cairan serebrospinal dikombinasi dengan pemberian asetazolamid. Jika
tidak berespons sehingga gangguan visus
disertai dengan papiledema semaldn berat,
dapat dipertimbangkan tindakan pirau ventrikuloperitoneal {ventriculoperitoneal shunt),
Pada masalah dengan gejala psikosis dan agitasi psikomotor, dapat diberikan haloperidol 5-20mg intravena (IV) atau oral. Terapi
ini dapat diberikan sesuai evaluasi klinis.
Alternatif lain yaitu pemberian midazolam
10-20mg IV, suatu obat sedasi yang bersifat
short-acting. Obat ini dapat diberikan bila
pasien akan menjalani tindakan atau prosedur diagnostik maupun terapeutik.
Manajemen nyeri kepala dilakukan dengan
pemberian asetaminofen (500-1000mg 3
kali sehari) pada nyeri ringan atau tramadol
5-100mg 3x sehari pada nyeri kepala berat
Jika ada mual dapat diberikan antiemetik. Pada masalah trombosis vena serebri septik
direkomendasikan pemberian antibiotik dan
drainase fokus infeksi. pemakaian steroid tidak dianjurkan, sebab berisiko memicu
kondisi hiperkoagulasi lebih lanjut dan berhubungan dengan risiko prognosis yang buruk
Terapi Pragm atis
1. Antikoagulan
Terapi pragmatis medikamentosa dilakukan dengan pemberian antikoagulan untuk
mencegah propagasi trombus, membuat
rekanalisasi sinus dan vena yang mengalami oldusi, serta mencegah komplikasi trombosis vena dalam dan emboli paru.
Meskipun memiliki rekomendasi yang
kuat, pemberian antikoagulan cukup
kontroversial pada masalah trombosis yang
disertai perdarahan intrakranial. Dalam
meta-analisis oleh Coutinho dkk, pemberian heparin mengurangi risiko kematian
absolut sebesar 13% tanpa meningkatkan
angka perdarahan baru, disertai angka kejadian emboli paru yang lebih rendah.
Heparin aman untuk diberikan pada pasien
trombosis vena serebri dengan perdarahan intrakranial. Pada studi kohort Ferro dick,
83% pasien trombosis vena serebri dengan
perdarahan intrakranial tidak mengalami
perburukan klinis dengan pemberian heparin. Studi ini membuktikan hipotesis bahwa
perbaikan aliran vena dengan pemberian
antikoagulan akan mengurangi tekanan
dalam vena dan kapiler sehingga mengurangi risiko perdarahan lebih lanjut Berdasarkan berbagai studi ini , dapat
disimpulkan bahwa antikoagulan aman untuk diberikan pada trombosis vena serebri
dengan atau tanpa perdarahan intrakranial.
Antikoagulan diberikan segera di tahap akut
baik dengan unfractionated heparin intravena atau low-molecular weight heparin
(LMWH) subkutan, sebelum dilanjutkan
dengan antikoagulan oral warfarin. Pemberian warfarin dilakukan dengan target
international normalized ratio (INR) 2,0-
3,0 selama 3-6 bulan pada pasien dengan
falctor risiko yang jelas atau 6-12 bulan
pada pasien tanpa falctor risiko yang sudah
terdetelcsi. Pada pasien dengan trombosis vena serebri berulang, pasien dengan
trombosis vena dalam atau emboli paru
yang mengalami trombosis vena serebri,
atau pasien trombosis vena serebri dengan trombofilia berat harus mendapat antikoagulan seumur hidup.
2. Manajemen Neurointervensi
Manajemen neurointervensi pada lcasus
trombosis vena serebri antara lain yaitu
pemberian trombolisis lokal melalui telcnik
endovaskular melalui akses jugular dan
femoral. Telcnik ini pertama lcali dilcerjakan
pada tahun 1971. Trombolisis endovaskular umumnya dilakukan pada masalah yang
berat. ada penelitian yang menunjuklcan bahwa pemberian trombolisis endovaskular dapat merestorasi aliran darah
vena pada 71,4% masalah lebih cepat dan
lebih efisien dari pemberian heparin intravena. Namun teknik ini berisiko
perdarahan yang lebih tinggi. Trombektomi mekanik memakai stent retriever
maupun Penumbra System mengurangi
dosis trombolisis yang dipakai , sehingga
mengurangi risiko perdarahan intrakranial.
Hingga saat ini, belum ada uji klinis dalam
slcala besar tentang manajemen neurointervensi (trombolisis endovaskular maupun trombektomi mekanik). Tindakan ini
hanya dilcerjakan bila terjadi perburukan Minis pasca pemberian antikoagulan
atau jilca ada perburukan perdarahan intrakranial meskipun pasien telah
mendapat modalitas terapi lain.