Tampilkan postingan dengan label neurologi 20. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 20. Tampilkan semua postingan

neurologi 20

 











ptif, bukan nyeri neuropatik. Misalnya 

pada neuralgia trigeminal, rasa nyeri bisa 

berasal dari daerah gusi yang menjalar ke 

daerah wajah hingga ke kepala. Maka perlu 

disingkirkan ada tidaknya abses di daerah 

gusi atau infeksi gigi lainnya yang dapat menyebabkan nyeri.

Yang terakhir, rasa nyeri neuropatik biasanya menjalar sesuai dengan area saraf 

atau radiks yang dipersarafinya. Jadi perlu 

ditanyakan atau pasien diminta untuk menunjuk area-area nyeri yang dirasakannya. 

Contohnya pada NPB daerah L5-S1, akan 

ada  rasa nyeri dari daerah pinggang ke 

tungkai bawah yang dapat dibuktikan dengan adanya gangguan sensorik pada pemeriksaan sensibilitas di area ini .

diagnosa  DAN diagnosa  BANDING

Rasa nyeri bersifat subyektif, kompleks, dan 

pribadi, yang hanya bisa dinilai secara tidak 

langsung melalui laporan si penderita. SeIain itu dibutuhkan suatu anamnesis yang 

lengkap dari pasien dan keluarga, karena 

nyeri juga bisa berkaitan dengan masalah 

biopsikososial. Anamnesis ini meliputi onset, karakteristik, dan kualitas nyeri, 

serta lokasi, distribusi, dan penjalaran nyeri. 

Ditanyakan juga faktor yang memperingan 

atau memperberat nyeri dan keluhan psikologis yang menyertainya. Lalu dilakukan 

pemeriksaan fisik umura, terutama lokal di 

aera nyeri dan neurologis.

Pengukuran nyeri dapat berdasarkan laporan pribadi pasien atau juga kesimpulan 

yang diambil oleh dokter berdasarkan keluhan pasien dengan memakai  beberapa 

perangkat, seperti: verbal scale {Me Gill Pain

Questioners'), numeric scale {numeric rating

scale, termometer nyeri), pictorial scale

{painful face scale, visual analog scale). Numeric rating scale (NRS) merupakan skala 

yang paling sering dipakai  pada nyeri secara umum, yang dapat membagi tingkat intensitas nyeri pasien dalam kelompok nyeri 

ringan (NRS 1-3), sedang (NRS 4-7), atau 

berat (NRS 8-10).

Namun NRS kurang dapat mendeteksi gejala nyeri neuropatik yang bervariasi. Oleh 

karena itu diperlukan suatu perangkat yang 

spesifik untuk nyeri neuropatik, antara lain; 

kuesioner nyeri McGill, Leeds Assessment o f

Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS), 

Neuropathic Pain Questionnaire (NPQ), Douleur Neuropathique en 4 Questions (DN4), 

Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS), 

dan kuesioner PainDetect DN4 dan BPNS

dipakai  terutama pada pasien-pasien 

HIV dan sudah divalidasi ke dalam bahasa 

negara kita  dengan sensitivitas dan spesifitas 

yang baik.

LANSS merupakan instrumen yang dipercaya dalam menilai nyeri neuropatik dan 

telah divalidasi di berbagai negara dengan 

sensitivitas 82-91% dan spesifisitas 80- 

94%. Instrumen ini dianggap sebagai instrumen baku emas karena mampu mendeteksi 

komponen nyeri neuropatik memakai  

pemeriksaan sensibilitas. Namun untuk kepentingan penapisan ada tidaknya komponen nyeri neuropatik, dapat memakai  

kuesioner yang lebih sederhana seperti paindetect yang sudah divalidasi ke dalam bahasa 

negara kita  dengan sensitivitas dan spesifisitas 

yang cukup baik, yaitu masing-masing 78%.

Pemeriksaan fisik pasien nyeri pada prinsipnya dilakukan untuk mencari kelainan struktural penyebab nyeri. Dimulai dari pemeriksaan fisik umum, dilakukan inspeksi, palpasi, 

dan pergerakan di area yang dikeluhkan. Selanjutnya pemeriksaan fisik untuk mencari 

defisit neurologis sebagai analisis penyebab 

nyeri, terutama membuktikan adanya gangguan sensibilitas sesuai dengan area nyeri.

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk 

memastikan kerusakan jaringan atau gangguan struktural yang memicu  penekanan atau iritasi radiks penyebab nyeri 

neuropatik. Hal ini akan menentukan terapi 

definitif nyeri, bukan hanya bersifat simtomatis. Pada NPB dan semua nyeri yang 

berkaitan dengan saraf perifer, dilakukan 

pemeriksaan elektromiografi (EMG) dan kecepatan hantar saraf (KHS), dilanjutkan pemeriksaan imajing sesuai dengan indikasi. 

TATALAKSANA

Nyeri neuropatik memunculkan masalah 

bukan hanya menyangkut kerusakan atau 

lesi dari jaringan saraf itu sendiri, tetapi karena dapat memicu  nyeri kronik yang 

menurunkan quality o f life penderita. Dalam 

hal pengobatan juga menyulitkan karena 

tidak berespons terhadap obat-obatan antinyeri tradisional Oleh sebab itu, penanggulangan nyeri neuropatik membutuhkan 

tim yang multidisiplin untuk pemberian 

terapi farmakologis maupun nonfarmakologis. Penanggulangan secara farmakologis 

bukan hanya sebatas pada tingkat reseptor 

dan perbaikan lesi jaringan saraf saja, tapi 

juga yang berkaitan dengan efek kronik dari 

nyeri ini , yaitu efek psikologis seperti 

depresi dan ansietas.

Patofisologi nyeri neuropatik memiliki kesamaan dengan epilepsi. Nyeri neuropatik 

juga termasuk kindling pada epilepsi, serupa 

halnya dengan kejadian wind-up pada nyeri 

neuropatik. Jadi permasalahan nyeri neuropatik yaitu  di kanal ion sebagaimana pada 

epilepsi. Oleh sebab itu target terapi tertuju 

pada voltage-gate kanal Na+ dan Ca2+. Atas 

dasar ini, maka antikonvulsan dapat digunakan karena berkemampuan untuk menekan 

kepekaan abnormal neuron-neuron di sistem saraf pusat dengan memblokade reseptor glutamat (NMDA, AMPA, kainat).

Namun yang paling penting yaitu  analisis 

nyeri secara keseluruhan hingga diketahui 

penyebab, intensitas, dan karakteristiknya. 

Perlu diketahui apakah nyeri neuropatik merupakan satu-satunya nyeri atau campuran 

ada komponen nyeri nosiseptif, sehingga 

perlu diberikan terapi kombinasi. Apalagi 

jika nyeri sudah berubah menjadi nyeri kronik, sehingga yang dibutuhkan yaitu  terapi 

untuk memperbaiki sensitisasi sentral atau 

perifer, bukan lagi analgesik untuk nyeri akut.

European Federation o f Neurological Societies (EFNS) merekomendasikan antidepresan trisiklik, gabapentin, pregabalin, dan 

antidepresan golongan selective norepinephrine re-uptake inhibitors (SNRI) seperti 

duloksetin sebagai lini pertama (Level A), 

Golongan opioid tramadol merupakan pilihan lini kedua (Level A) terutama jika ada  nyeri eksaserbasi akut atau komponen 

nyeri nosiseptif, seperti pada Tabel 1. Opioid 

kerja kuat hanya disarankan sebagai 

lini ketiga, mengingat efek samping yang 

mungkin muncul, Untuk nyeri neuropatik 

pada HIV disarankan lamotrigin (Level B) jika disertai terapi antiretroviral.

Gabapentin berperan mensupresi voltage-gated channels Ca2+ dan ectopic-discharge

pada bagian saraf yang rusak, sehingga dapat mengatur elektrik potensial dalam hal 

influks Ca2+berupa depolarisasi dan hiperpolarisasi. Pregabalin dikenal sebagai antinyeri neuropatik, demikian pula lamotrigin 

sebagai antikonvulsan untuk nyeri neuropatik. Dari hasil uji klinik, obat antikonvulsan 

seperti lamotrigin mempunyai sifat analgesik dalam lingkup yang luas. Mekanisme 

kerja lamotrigin ialah membatasi influks 

kalsium melalui penekanan voltage-gated 

Tidak semua nyeri kronik memicu  

depresi yang membutuhkan antidepresan, 

akan tetapi banyak diantara penderita nyeri 

kronik menunjukan gejala depresi. Pemberian obat antidepresan paralel dengan analgesik lainnya dilakukan jika terapi perilaltu 

tidak berhasil. Pilihan antidepresan juga dilihat dari efektivitasnya karena efeknya bisa 

berbeda satu penderita dengan penderita 

lain. pemakaian  obat antidepresan untuk 

terapi nyeri neuropatik utamanya, karena 

obat ini berfungsi untuk menginhibisi pembentukan monoamine oxidase (MAO) yang 

diduga berperan dalam kanal natrium (Na+). 

pemakaian  antidepresan golongan selective serotonin re-uptake inhibitors (SSRI) dan 

selective norepinephrine re-uptake inhibitors

(SNRI) bertujuan untuk menjamin keseimbangan 5-HT dan NA yang spesifik pada jaras 

desending di medula spinalis. Antidepresan 

juga berperan dalam sekresi 5-HT melalui reseptornya, dalam proses modulasi kanal Na+.

Antidepresan golongan trisiklik, seperti 

amitriptilin merupakan golongan SSRI yang 

menjadi pilihan utama untuk nyeri neuropatik, karena menginhibisi pengambilan kembali 5-HT dan NA di sinaps. Demikian pula 

cara kerja golongan SSRI seperti fluoksetin, 

paroksetin, dan sertralin bekerja mengatasi nyeri sekaligus memperbaild sensitisasi 

sentral yang sering terjadi pada nyeri neuropatik yang menjadi kronik (Gambar 5). 

Duloksetin, golongan SNRI sering juga digunakan untuk penanggulangan depresi pada 

penderita nyeri neuropatik. Tujuannya yaitu  mencegah (menginhibisi) pengambilan 

kembali 5-HT dan NA di sinaps untuk mempertahankan keseimbangan neurotransmiter NA dan dopamin di sentral.

Pada neuralgia trigeminal, obat lini pertama 

yaitu  karbamazepin 200-12 OOmg/hari dan 

okskarbazepin 600-1800mg/hari, sedangkan lini kedua yaitu  baklofen, lamotrigin, 

dan pregabalin 150-600mg/hari. Lini per-

 

tama neuralgia trigeminal yaitu  antidepresan trisiklik (Level A), seperti amitriptilin 

lOmg malam titrasi perlahan hingga lOOmg, 

gabapentin hingga 1800mg/hari dalam 3 

kali pemberian, atau pregabalin 150-300mg 

(maksimum 600mg/hari}. pengobatan  nyeri 

pada nyeri neuropati diabetika yaitu  pregabalin (Level A}, atau gabapentin, duloksetin, 

dan amitriptilin (Level B), Namun yang paling penting yaitu  pengendalian kadar gula 

darah agar tetap dalam kadar normal.

Pada nyeri neuropatik daerah punggung 

bawah biasanya disertai komponen nyeri 

nosiseptif -terutama pada yang akut- sehingga tetap diperlukan analgesik golongan nonsteroid serta opioid jika nyeri sedang-berat. Kombinasi terapi seperti itu 

juga penting pada penyebab nyeri neuropatik yang kompleks seperti nyeri kanker. 

Adanya kerusakan jaringan dan infiltrasi 

ke serabut saraf sekitarnya membuat nyeri 

menjadi hebat dan berlangsung lama. Oleh 

karena itu pilihan utama nyeri kanker yaitu  opioid kerja sedang sampai kuat bersama dengan terapi antikankernya. Kombinasi 

opioid dengan gabapentin dapat meningkatkan potensi analgesik opioid, sehingga dosis 

masing-masing tidak perlu terlalu tinggi 

dan mengurangi efek samping.

Terapi nonfarmakologik diperlukan sesuai 

dengan penyebab nyerinya. Pada nyeri neuropatik akibat sistem muskuloskeletal seperti nyeri bahu atau nyeri punggung bawah, 

penting dilakukan terapi nonfarmakologis 

berupa tindakan rehabilitasi, seperti modalitas termal, masase, latihan peregangan, dan 

sebagainya secara rutin. Terapi invasif dapat dilakukan untuk memblok atau memutus jaras nyeri. Blok saraf dilakukan dengan 

menyuntikkan anestesi dan steroid Iokal di 

daerah nyeri atau pemberian agen neurolitik seperti alkohol dan bupivakain pada 

pleksus tertentu. 








NYERI LEHER


Nyeri leher yaitu  keluhan yang sering 

dijumpai dalam praktik sehari-hari. Beberapa 

aktivitas kita seperti bekerja di depan komputer, 

membaca buku, memakai  gawai, dan 

kesalahan posisi tidur, merupakan sebagian 

dan penyebab nyeri leher. Namun demildan, 

penyebab pasti dari nyeri leher kadang-kadang 

tidak diketahui.

Seperti halnya nyeri pada umumnya, nyeri 

leher dapat pula berlangsung kronik Stres 

psikologis yaitu  salahsatu faktoryangmenyebabkan nyeri leher menjadi kronik Kelainan 

pada struktur tulang belakang leher seringkali 

dikaitkan dengan nyeri leher kronik meskipun 

pada faktanya tidak selalu demikian.

Sebagian pasien nyeri leher menghindari 

aktivitas fisik untuk mengurangi nyeri. Hal 

ini sebenarnya tidak perlu dilakukan, kecuali 

ada  tan da bahaya [red flags). Pasien 

nyeri leher sebaiknya tetap aktif dan bekerja 

seperti biasa. Latihan spesifik untuk menguatkan regio leher dapat dilakukan untuk 

mencegah berulangnya nyeri leher.

EPIDEMIOLOGI

Nyeri leher amat sering terjadi. Diperkirakan 

setidaknya 1 dari 3 orang akan mengalami 

nyeri leher setidaknya sekali dalam setahun. 

Perempuan lebih sering mengalami nyeri 

leher dibandingkan lald-laki. Nyeri leher yang

muncul biasanya akan hilang sendiri dalam

1-2 minggu, namun dapat muncul kembali.

Nyeri leher dapat menjadi kronik pada 14% 

pasien. Risiko kronisitas meningkat pada 

pasien lanjut usia, pasien yang sebelumnya 

memiliki masalah nyeri punggung bawah, 

dan pasien dengan kelainan diskus intervertebralis. Nyeri leher karena trauma (whiplash injury) umumnya juga akan memberat 

dan menjadi kronik, terutama bila benturan 

yang terjadi cukup hebat. Pada kondisi 

ini , pasien cemas berlebihan dengan 

konsekuensi akibat cedera yang dialaminya, 

di samping trauma servikal yang juga serius.

PATOFISIOLOGI

Struktur anatomi leher dibentuk oleh tujuh 

tulang vertebra servikal yang saling tersusun satu sama lain. Bersama ligamen dan 

otot-otot leher sebagai jaringan pendukung, 

tulang belakang servikal membentuk kanalis spinalis yang mengelilingi dan melindungi medulla spinalis (Gambar 1).

Di antara setiap tulang vertebra servikal ada  diskus intervertebralis yang menjadi 

peredam antar tulang [shock absorber) satu 

dengan yang lainnya. Pemberian tekanan yang 

besar pada diskus akan memicu  material yang menyerupai gelatin dalam diskus 

mengalami protrusi keluar dari kapsulnya, sehingga terjadi hemiasi diskus yang menyebabkan radikulopaH Di sekitar tulang dan diskus juga ada  

lapisan tebal ligamen yang menegang untuk membatasi gerakan antara satu tulang 

servikal dengan lainnya. Trauma leher maupun trauma kepala dapat memicu  

whiplash injury yang merobek ligamen ini. 

Selain itu, ada  pula otot-otot kecil antara tulang vertebra dan otot-otot utama 

leher yang berfungsi sebagai lapisan pelindung berikutnya. Otot-otot ini bertanggungjawab untuk membantu menegakkan 

kepala, mempertahankan postur normal, 

serta menyangga dan menggerakkan leher 

[Gambar 2). Iritasi dan overuse pada otototot ini memicu  terjadinya cervical

strain atau ketegangan leher.

ada  beberapa kemungkinan yang mendasari nyeri leher. Namun demikian, seringkali sulit untuk memastikan penyebab definitif nyeri leher ini . Hal ini dikarenakan 

pemeriksaan ldinis dan pemeriksaan radiologis seringkali tumpang tindih dan tidak 

berkorelasi langsung dengan keluhan pasien. 

Penting untuk disadari bahwa gambaran 

radiologis, terutama gambaran degeneratif 

pada pencitraan seringkali tidak berhubungan dengan derajat nyeri, disabilitas, atau gejala lain yang dikeluhkan oleh pasien.

Secara umum, nyeri leher klasifikasi penyebab nyeri leher dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar yakni: 

L NyeriAksial

Nyeri aksial merupakan nyeri muskuloskeletal yang dapat dipicu  karena 

kelainan pada otot, sendi, atau tulang 

di daerah leher. Nyeri aksial pada leher 

dapat dipicu  karena hal-hal di 

bawah ini:

a. Ketegangan otot leher (cervical strain

&. sprain]

Ketegangan otot leher dapat terjadi 

ketika terjadi cedera pada otot-otot

leher yang memicu  terjadinya spasme pada otot-otot leher 

dan punggung atas. Cervical strain

sering timbul akibat stres fisik pada 

kehidupan sehari-hari, termasuk kebiasaan postur yang buruk, ketegangan otot akibat stress psikologis, atau 

kebiasaan tidur yang buruk. Cedera 

akibat olahraga juga dapat memicu  ketegangan otot leher. 


pada 

tulang terbentuk pada bagian pinggir 

atau tepi tulang belakang dan sendi faset, akibat peningkatan tekanan pada 

jaringan di sekitarnya. Pada sebagian 

kasus, proses degeneratif merupakan 

hal yang normal sesuai dengan bertambahnya usia. Namun demikian, 

perubahan degeneratif yang berat 

merupakan hal yang abnormal dan 

akan memicu  gejala klinis 

yang mengganggu.

d. Nyeri diskogenik

Nyeri diskogenik diduga merupakan penyebab tersering nyeri leher, terutama 

pada rentang usia 45-50 tahun. Nyeri 

ini dipicu  karena adanya perubahan 

struktural pada satu atau beberapa diskus intervertebralis servikal. Diskus yang 

paling sering bermasalah yaitu  C5-C6 

dan C6-C7, mencapai 75% kasus.

e. Sindrom faset servikal

Sendi faset merupakan salah satu daerah

yang seringkali menjadi sumber nyeri 

pada tulang belakang. Sendi yang terletak pada sisi ldri dan kanan tulang vertebra ini (Gambar 4] merupakan daerah 

yang paling dipengaruhi oleh nyeri leher 

aldbat cedera whiplash, Cedera whiplash

yang paling sering dalam kehidupan 

sehari-hari yaitu  kecelakaan bermotor 

yang memicu  gerakan kepala ke 

depan dan ke belakang secara tiba-tiba. 

Kemungkinan patofisiologi lain yaitu  

pekerjaan atau aktivitas yang menuntut 

penderitanya melakukan gerakan ekstensi leher berulang.

f. Diffuse skeletal hyperostosis

Diffuse skeletal hyperostosis (DISH) 

merupakan sindrom Minis akibat kalsifikasi abnormal pada ligamen dan tendon sepanjang tulang belakang leher, 

yang memicu  pengerasan pada 

ligamen dan tendon ini Kondisi 

ini selain terjadi pada tulang belakang 

servikal juga dapat melibatkan tulang 

belakang torakal dan lumbal. 

2. Radikulopati Servikal

Radikulopati servikal dapat menyebabkan nyeri yang menjalar akibat iritasi 

atau penekanan pada radiks akibat protrusi diskus intervertebralis, artritis pada 

tulang belakang, atau adanya massa yang 

menekan saraf [seperti kista sinovial]. Penyebab paling sering radikulopati yaitu  

perubahan degeneratif akibat penuaan 

atau cedera dan herniasi diskus intervertebralis servikal.

Nyeri yang menjalar biasanya disertai 

gejala lain seperti gangguan sensorik dan 

kelemahan motorik. Pembahasan lebih 

detail mengenai nyeri radikulopati dibahas 

dalam bab Radikulopati buku ini.

3. Mielopati Servikal

Mielopati merupakan gangguan pada medula spinalis yang umumnya dipicu  

karena kompresi. Mielopati servikal paling 

sering dipicu  karena spondilosis atau 

perubahan degeneratif yang mengaldbatkan penyempitan kanalis spinalis sentral. 

Penyempitan yang terjadi memicu  

cedera pada medula spinalis. Penyebab 

lain dapat berupa penekanan oleh tumor.

GEJALA DAN TANDA KL1NIS

Gejala utama nyeri aksial leher yaitu  nyeri. 

Pada cervical strain dan sprain, gejala nyeri 

disertai kekakuan dan ketegangan pada otot 

leher, punggung atas dan bahu yang dapat 

berlangsung berminggu-minggu, tanpa kelainan neurologis. Pada nyeri miofasial, nyeri 

disertai oleh kekakuan dan nyeri tekan pada 

otot servikal yang sensitif terhadap nyeri.

Sementara itu, gejala klinis spondilosis 

servikal mencakup nyeri leher yang 

diperberat dengan gerakan; nyeri alih yang 

dirasakan di daerah oksiput, di antara 

tulang belikat dan lengan atas; nyeri di 

daerah retroorbita atau temporal [dari ClC2]; kekakuan leher; abnormalitas sensorik 

atau kelemahan pada lengan atas; dizziness

dan gangguan kese-imbangan; kadangkadang ada  keluhan sinkop, migrain, 

atau pseudo-angina. diagnosa  spondilosis 

servikal seringkali cukup berdasarkan 

gejala dan tanda klinis di atas.

Pada nyeri diskogenik servikal, gejala ldinis 

mencakup nyeri pada leher pada saat menengokkan atau memiringkan kepala. Nyeri 

dapat memberat jika leher dipertahankan 

pada satu posisi dalam waktu lama, seperti 

saat berkendara, membaca atau bekerja 

dengan komputer, Seringkali ada  pula 

gejala ketegangan otot dan spasme. Nyeri 

diskogenik seringkali juga memberikan gejala 

nyeri yang menjalar ke daerah bahu dan 

lengan,

Gambaran ldinis nyeri faset servikal umumnya 

berupa nyeri leher hingga nyeri kepala dan 

keterbatasan rentang gerak (range o f motion

/ROM] leher. Rasa nyeri dirasakan tumpul dan 

tidak nyaman, terutama pada bagian posterior 

leher dan dapat menjalar hingga pundak 

atau daerah punggung tengah (Gambar 5). 

Pemeriksaan fisik yang didapatkan yaitu  

nyeri palpasi pada daerah faset atau otot 

paraspinal dan nyeri pada saat melakukan 

gerakan ekstensi atau rotasi leher tanpa 

disertai adanya defisit neurologis. 

Pasien diffuse skeletal hyperostosis (DISH] 

memiliki gejala yang amat bervariasi, muiai 

dari asimtomatik hingga atau memiliki gejala 

berupa kekakuan otot, keterbatasan gerak 

(mobilitas), dan nyeri. Radikulopati servikal 

memiliki gejala Minis nyeri radikular, muiai 

dari leher, bahu, lengan atas, hingga jari. Selain nyeri, pasien radikulopati servikal dapat 

merasakan hipestesia atau paresthesia sesuai 

dermatom dan monoparesis tipe LMN. Sementara itu, gejala mielopati servikal dapat 

berupa nyeri yang disertai kelemahan motorik, gangguan sensorik, gangguan koordinasi, 

serta ganggauan otonom (inkontinensia dan 

disfungsi ereksi).

diagnosa  DAN diagnosa  BANDING

Evaluasi nyeri leher biasanya dimulai dengan 

mengamati kemampuan seseorang untuk 

menggerakkan kepala ke kiri dan kanan, 

fleksi ke depan dan ekstensi ke belakang, 

serta fleksi ke tiap sisi. Amati pula postur dan 

gerakan pada leher dan bahu pasien. Lakukan 

palpasi dan rasakan otot-otot di leher, kepala, 

punggung atas, dan bahu untuk mendeteksi 

daerah nyeri, adanya kelemahan, atau ketegangan otot. Jika ada  kelemahan atau 

gangguan sensorik, lakukan pula evaluasi 

kekuatan motorik dan sensorik di ekstremitas. Dalam beberapa kasus, tergantung pada 

usia pasien, gejala Minis dan riwayat medis, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, seperti foto Rontgen, CT scan, MRI, atau elektromiografi (EMG).

Pada kasus dengan kecurigaan cedera leher, 

pemeriksaan foto Rontgen servikal anteroposterior, lateral, oblik, dan odontoid menjadi 

pemeriksaan awal yang rutin di-kerjakan. 

Seluruh 7 tulang vertebral servikal harus 

tervisualisasi dan jarak diskus intervertebralis antar tulang kurang lebih sama. Foto 

lateral bermanfaat untuk menilai kesegarisan (alignment] dan adanya pembengkakan 

jaringan lunak. Jarak normal antara bagian 

depan C3-C5 dan bayangan trakea yaitu  

5mm pada dewasa. Jika jarak ini melebar, diperldrakan adanya pembengkakan 

jaringan lunak dan cedera yang signifikan. 

Sisi posterior korpus vertebral dalam keadaan normal akan berada dalam satu garis 

yang membentuk kurva lordosis. Garis yang 

ditarik dari aksis horizontal tiap prosesus 

spinosus tulang vertebra servikal dalam 

kondisi normal akan terjadi konvergensi 

pada 1 titik di posterior. Hilangnya lordosis 

mengimplikasikan adanya spasme otot, sementara hilangnya konvergensi menandakan kemungkinan instabilitas tulang vertebra. Posisi lateral juga bermanfaat dalam 

menilai stabilitas Cl dari C2. Posisi oblik 

paling baik dalam menilai sendi faset dan 

foramen neural.

Pemeriksaan CT scan servikal dikerjakan 

pada pasien yang memilki kelainan pada 

foto Rontgen, atau pada pasien dengan kecurigaan fraktur, namun hasil foto tidak 

konklusif. Adanya disrupsi korpus vertebra 

atau lamina, fraktur pada sendi faset, dan 

fragmen tulang intrakanal akan jelas terlihat 

dengan CT scan. Karena itu, CT scan merupakan pencitraan utama untuk mengevaluasi lesi traumatik pada tulang servikal.

Sementara itu, pemeriksaan MRI servikal 

diindikasikan pada pasien dengan defisit 

neurologis, jika pada foto Rontgen tidak 

ditemukan kelainan yang pasti. MRI bermanfaat dalam mengevaluasi kelainan pada 

medula spinalis dan radiks, kelainan pada 

soft tissue; herniasi diskus intervertebral is, 

disrupsi ligamen, dan siringomielia.

pengobatan 

Sebelum memberikan pengobatan , harus 

ditentukan penyebab nyeri leher. Pasien diharuskan segera ke RS pada kondisi cedera 

kepala atau cedera leher berat, gangguan 

kontrol buang air besar atau buang air kecil, 

nyeri leher yang sangat berat (visual analog

scale/VAS >6], atau jika ada  kelemahan 

atau gangguan sensorik pada ekstremitas. 

Demikian pula jika ada  nyeri leher yang 

tidak membaik dalam 1 minggu, dianjurkan 

untuk dibawa ke RS. Kondisi-kondisi ini  merupakan bagian dari tanda bahaya 

(red flags) yang harus selalu dinilai pada 

pasien dengan keluhan nyeri leher, selain 

keadaan berikut:

a. Tanda keganasan, infeksi, dan inflamasi 

Demam, keringat malam, berat badan yang 

turun drastis, riwayat tuberkulosis, riwayat infeksi human immunodeficiency virus

[HIV], atau riwayat pemakaian  imunosupresan, nyeri yang sangat hebat [VAS 10], 

nyeri yang intraktabel pada malam hari, 

Iimfadenopati servikal, dan nyeri tekan 

pada korpus vertebra servikal.

b. Mielopati

Gangguan gait, clumsy hand, defisit neurologis yang objektif berupa gejala upper motor neuron (UMN) di tungkai dan gejala lower motor neuron (LMN) di lengan.

c. Kondisi lain

Riwayat osteoporosis berat, riwayat operasi 

leher drop attack saat menengokkan leher, 

serta nyeri yang berat dan menetap atau 

makin meningkat.

Pada sebagian besar kasus, nyeri leher 

cukup diterapi secara konservatif dengan 

analgesik over-the-counter, dan terapi fisik 

memakai  pemanasan, massage, dan 

latihan penguatan dan/atau peregangan 

yang dapat dikerjakan di rumah. Jika nyeri 

tidak menghilang setelah 1-2 minggu 

terapi di rumah, disarankan untuk 

dilakukan evaluasi lebih lanjut di fasilitas 

kesehatan.

Secara umum, pengobatan  nyeri leher 

di fasilitas kesehatan dapat dibagi menjadi terapi konservatif, terapi intervensi 

nyeri, dan terapi surgikal. Terapi konservatif terdiri atas:

1. Terapi medikamentosa

Terapi medikamentosa dapat berupa 

pemberian analgesik asetaminofen atau 

obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS], 

seperti ibuprofen, meloksikam, dan 

naproksen, dapat membantu mengatasi nyeri derajat ringan dan sedang. Jika 

ada spasm e otot yang berat, dapat 

diberikan golongan pelemas otot. Jika 

derajat nyeri leher dirasakan berat, direkomendasikan pemberian antidepresan trisiklik.

2. Terapi fisik

Terapi fisik dapat dibagi dalam 3 tahap 

yakni tahap akut, tahap pemulihan [recovery), dan tahap rumatan [maintenance). Terapi fisik fase akut bertujuan 

untuk mengurangi nyeri dan inflamasi, 

mengembalikan ROM daerah yang tidak 

nyeri, memperbaiki kontrol postural 

leher, dan mencegah atrofi otot-otot 

leher.

Pada fase pemulihan, terapi fisik bertujuan 

untuk menghilangkan nyeri secara sempurna, memperbaiki dan menormalisasi 

ROM pasif dan aktif, melanjutkan perbaikan kontrol postural, dan memulai tahap 

agar otot leher dapat dipakai  untuk 

latihan olahraga. Selanjutnya, terapi fisik 

fase rumatan bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki keseimbangan, 

meningkatkan kekuatan dan ketahanan 

otot leher dalam melakukan gerakan aktif, 

sehingga pasien memiliki postur yang 

normal dan dapat beraktivitas sehari-hari 

tanpa nyeri.

Modalitas yang dapat dipakai  dalam 

terapi fisik mencakup:

a. Pendinginan — dengan kantung es 

pada daerah yang nyeri di leher juga 

dapat membantu mengurangi derajat 

nyeri.

b. Pemanasan — dengan air atau uap 

hangat juga dapat membantu mengurangi nyeri. Namun demikian, pada 

nyeri akut gunakan es lebih dulu sebagai terapi inisial. Pemanasan boleh 

dijadikan terapi inisial jika pasien 

tidak sensitif dan tidak dapat mentoleransi dingin.

c. Massage — Pemijatan dapat membantu menghilangkan spasme otot 

dan dapat dikerjakan setelah pemanasan atau pendinginan pada otot 

leher. Dapat dilakukan secara manual 

dengan tangan atau dengan vibrator 

elektrik, Pada saat dilakukan pemijatan, otot leher harus dalam keadaan 

relaks dengan menyangga kepada atau 

posisi berbaring.

3. Latihan penguatan dan peregangan 

Setelah mengalami cedera, rentang gerak 

leher harus direstorasi dan dipertahankan. Hal ini dilakukan dengan latihan yang 

meregangkan dan menguatkan otot-otot 

leher. Latihan ROM dan peregangan dapat 

membantu mengurangi nyeri pascacedera 

otot. Latihan paling baik dilakukan saat 

otot dalam keadaan hangat, misalnya 

pascapemanasan atau beberapa menit 

setelah latihan kardio. Latihan dapat dilakukan pada pagi hari untuk menghilangkan kekakuan otot dan malam hari sebelum tidur.

Beberapa gerakan dibawah ini dapat dilakukan untuk menguatkan dan meregangkan otot leher cervical strain yang 

merupakan penyebab nyeri leher terbanyak. Jangan lakukan gerakan ini 

pada kasus selain cervical strain, terlebih 

pada radikulopati atau mielopati.

a. Neck tilting

Tundukkan leher hingga maksimal 

dan tahan selama 5 detik sebelum 

kembali ke posisi normal (Gambar 6). 

Ulangi sebanyak 5 kali.

b. Neck tilting side to side

Miringkan leher ke arah bahu, tahan 

selama 5 detik ke setiap sisi dan ulangi 

masing-masing sisi 5 kali [Gambar 7).

c. Neck turn

Tengokkan leher ke arah kiri dan

kanan hingga maksimal dengan posisi dagu sejajar [Gambar 8). Lakukan masing-masing selama 5 detik ke 

setiap sisi dan ulangi masing-masing 

sisi 5 kali

d. Neck stretch

Anglcat leher ke arah dagu, tahan selama 

5 detik, dan ulangi 5 kali [Gambar 9}.

e. Stimulasi elektrik

Dengan memakai  transcutaneous electrical nerve stimulation

[TENS] dapat membantu mengurangi 

nyeri serta meningkatkan mobilisasi 

dan kekuatan otot.

f. Traksi servikal

Traksi ini memakai  beban yang 

bertujuan menarik tulang leher dan 

mengkoreksi kolumna spinalis menjadi 

sejajar {good alignment). Sayangnya, 

berbagai studi menunjukkan teknik 

traksi tidak memilild manfaat yang signifikan dalam pengobatan  nyeri leher.

g. pemakaian  bidai servikal {collar neck)

Bidai servikal diindikasikan pada kasus 

nyeri leher. pemakaian nya harus sesuai 

anjuran dokter, karena dapat menunda 

proses pemulihan dan memicu  kelemahan leher jika dipakai rutin 

dalam jangka panjang.

4. Kurangistres

Stres emosional akan dapat meningkatkan ketegangan otot leher dan akan 

mempengaruhi serta memperlambat 

proses pemulihan. Teknik relaksasi akan 

mengatasi ketegangan muskuloskeletal, 

Aktivitas lain yang dapat mengurangi 

stres mencakup meditasi, ibadah, dan 

hipnosis 

5. Menjaga postur tubuh

Aktivitas dan posisi tubuh yang dapat 

mencegah atau mengurangi nyeri leher 

yaitu  posisi leher netral dan meminimalisir ketegangan sepanjang otot dan 

ligamen pendukung leher. Gerakan leher 

yang berlebihan, aktivitas, dan posisi 

tubuh yang memicu  ketegangan 

konstan harus dihindari atau diminimalisir. Hindari duduk dalam posisi yang 

sama selama berjam-jam dan lakukan 

istirahat berkala selama 5 menit, bila pekerjaan mengharuskan kita pada posisi 

tertentu dalam waktu lama. Atur posisi

monitor komputer sejajar dengan mata, 

agar kepala tidak terlalu menunduk atau 

mendongak. Hindari menaruh juga beban 

berat di punggung atas serta pertahankan posisi postur leher yang baik dalam 

setiap kondisi termasuk saat tidur.

6. Lain-lain

Adapun modalitas terapi lain, seperti 

akupuntur, biofeedback, dan chiropractic,

masih memerlukan beberapa penelitian 

untuk mengetahui efektivitasnya.

Sementara itu, terapi intervensi nyeri 

mencakup tindakan injeksi untuk men-

gurangi nyeri dengan atau tanpa panduan 

(guiding tools). Di antara tindakan intervensi nyeri leher yang tidak memerlukan 

panduan yaitu  injeksi trigger point

dengan anestetik lokal, seperti lidokain. 

Tindakan ini dapat direkomendasikan bila latihan peregangan dan massage

tidak mengurangi nyeri secara signifikan 

pada kasus cervical strain atau nyeri miofasial. Sayangnya, tidak ada  cukup 

bukti bahwa injeksi trigger point dapat 

mengurangi nyeri atau mempercepat 

penyembuhan dalam jangka panjang. Injeksi steroid pada otot leher tidak dianjurkan, karena berisiko memicu  

cedera pada otot, Pada kasus nyeri leher 

lainnya, seperti nyeri diskogenik atau 

nyeri faset, jika akan dilakukan tindakan intervensi nyeri, dapat dipandu dengan memakai  ultras onografi atau 

fluoroskopi/C-arm.

Modalitas terakhir manajemen nyeri 

leher yaitu  dengan tindakan surgikal. 

Meskipun tidak diperlukan dalam mengatasi mayoritas nyeri leher, tindakan 

bedah dapat dipertimbangkan pada kasus hernias! diskus intervertebralis yang 

memicu  radikulopati servikal atau 

pada kasus mielopati akibat spondilosis 

servikal, setelah terapi konservatif tidak 

mengalami perbaikan. Selain itu pertimbangkan tindakan bedah jika ada  

defisit neurologi yang progresif.

CONTOH KASUS

1. Seorang perempuan 63 tahun datang ke 

klinik dengan keluhan nyeri leher sejak 

9 bulan lalu. Nyeri dirasakan lokal di belakang leher, seperti pegal, tidak menjalar.

Nyeri juga hilang timbul, terutama memberat saat posisi tidur.

Pertanyaan:

Menurut karakteristik temporal nyeri, 

apa jenis nyeri yang dialami pasien ini?

a. Nyeri akut

b. Nyeri somatik

c. Nyeri kronik

d. Nyeri kronik eksaserbasi akut

e. Nyeri viseral

Jawaban: c. Nyeri kronik

2. Berdasarkan epidemiologi, apakah penyebab tersering dari nyeri leher?

a. Faktor mekanik

b. Trauma

c. Keganasan/ neoplasma

d. Autoimun

e. Idiopatik

Jawaban e. Idiopatik

3. Lanjutan kasus:

Sejak 3 bulan lalu, nyeri bertambah parah. 

Nyeri dirasakan ter us menerus dan 

kadang ada rasa kesetrum ke lengan kiri 

dan kanan. Pasien mulai berobat ke dokter umum dan diberikan obat penghilang 

nyeri, tetapi keluhan hanya membaik sementara dan kemudian kambuh sakit lagi. 

Selanjutnya, pasien berobat ke dokter 

saraf. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan ada  tetraparesis UMN (kekuatan 

motorik 4/5 untuk tiap ekstremitas), refleks patologis Hoffman Tromner (+) bilateral, refleks fisiologis meningkat (+3), 

serta ada  hipestesi dan hipohidrosis 

setinggi C6 ke bawah. Berdasarkan data 

klinis saat ini, apakah tanda bahaya yang 

ditemukan pada kasus ini? 

a. Demam

b. Penurunan berat badan

c. Nyeri yang memberat

d. ada  kelemahan elcstremitas

e. Pilihan c dan d benar 

Jawaban: e. Pilihan c dan d benar

4. Lanjutan kasus:

Setelah melakukan anamnesis lebih 

lanjut, ternyata pasien memilild riwayat 

tumor otak pada ayah pasien dan kanker 

payudara pada kakak kandung. Pasien 

juga mengeluh batuk-batuk yang kadang 

disertai darah dan berat badan menurun. 

Pasien lalu menjalani pemeriksaan paru 

dan didapatkan diagnosa  tumor paru. 

Apakah penyebab nyeri leher pada pasien 

ini?

a. Degeneratif usia tua

b. Osteoporosis

c. Terlalu sering batuk

d. Keganasan/neoplasma

e. Hernia nukleus pulposus

Jawaban: d. Keganasan/neoplasma

5. Bila intensitas nyeri pasien yaitu  VAS 

6, maka apa pilihan obat yang diberikan 

pada pasien?

a. Parasetamol

b. Ibuprofen

c. Tramadol

d. Fentanil

e. Morfin

Jawaban: c. Tramadol 







NYERI PUNGGUNG BAWAH

Salim Harris; Winnugroho Wiratman,

Ramdinal Aviesena Zairinal

PENDAHULUAN

Nyeri punggung bawah (NPB) merupakan 

nyeri, ketegangan otot, atau kekakuan yang 

terlokalisir di antara batas iga bagian bawah 

dan lipatan gluteus inferior, dengan atau 

tanpa penjalaran ke paha dan/atau tungkai 

{sciatica). NPB dapat terjadi dengan/tanpa 

nyeri radikular atau nyeri alih yang menandakan kerusakan jaringan organ lain. Pada 

prinsipnya, NPB dipicu  oleh kerusakan 

jaringan saraf dan nonsaraf yang sangat dipengaruhi oleh aspek psikologis.

Keluhan NPB sering dijumpai pada praktik 

sehari-hari. Sebanyak 17-31% dari total 

populasi pernah mengalami NPB semasa 

hidupnya. Oleh karena NPB sangat dipengaruhi oleh aktivitas fisik dan posisi tubuh, 

maka pasien NPB memiliki keterbatasan 

dalam bergerak (disabilitas). Hal ini 

memicu  penurunan kualitas hidup 

serta memiliki dampak sosial dan ekonomi 

yang buruk.

Berdasarkan studi The Global Burden o f Disease tahun 2010, NPB merupakan penyumbang terbesar kecacatan global, yang diukur 

melalui years lived with disability (YLD). 

Studi di Inggris mengemukakan bahwa 

NPB merupakan penyebab utama disabilitas pada dewasa muda yang memicu  

lebih dari 100 juta hari kerja hilang tiap 

tahun. Dengan demildan, NPB penyebab

penurunan produktivitas kerja dan berkaitan dengan beban ekonomi yang besar.

Secara temporal, NPB terbagi menjadi akut 

(<6 minggu), subakut (7-12 minggu), kronik 

(>12 minggu/3 bulan), dan rekuren. Sebagian besar penderita NPB mengalami rekurensi, yang sebenarnya merupakan bentuk 

eksaserbasi akut pada NPB kronik. Penanganan NPB akut yang tidak cepat dan adekuat akan beraldbat progresivitas keluhan 

menjadi kronik dan rekuren. Selain itu, faktor stres psikologis juga turut meningkatkan 

risiko kronisitas NPB. Kondisi kronik seperti 

ini harus dicegah oleh klinisi yang menangani pasien NPB.

EPIDEMIOLOG!

Prevalensi NPB cukup bervariasi, dengan 

hasil studi di negara-negara berkembang 

menunjukkan prevalensi pertahun sekitar 

22-65% . Data Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI menyatakan sebesar 18,37% dari 

keseluruhan pasien nyeri yaitu  NPB. Data 

epidemiologi lain memperkirakan sekitar 

40% penduduk Jawa Tengah berusia antara 

65 tahun pernah menderita nyeri punggung, 

dengan prevalensi 18,2% pada laki-laki dan 

13,6% pada perempuan.

Di Amerika Serikat, NPB secara umum 

merupakan penyebab kelima tersering 

pasien datang untuk berobat. Data lain me-

 

laporkan bahwa 7,6% populasi dewasa di 

Amerika Serikat mengalami NPB berat selama 1 tahun terakhir, dan hanya 39% di antara mereka mencari pengobatan.

PATOFISIOLOGI

Seperti nyeri pada umumnya, NPB dapat 

terjadi akibat adanya kerusakan jaringan 

saraf dan/atau nonsaraf pada punggung 

bawah. Di samping saraf, kerusakan dapat 

pula mengenai tulang vertebra, kapsul sendi apofisial, anulus fibrosus, otot, dan ligamentum. Peregangan {stretching), robekan 

{tearing), atau kontusio jaringan-jaringan 

ini dapat terjadi akibat aktivitas seperti mengangkat beban berat, gerakan memutar tulang belakang, dan whiplash injury.

Patofisiologi yang mendasari NPB sangat 

berkaitan dengan mekanisme nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik sebagai akibat 

dari kerusakan jaringan pada alinea sebelumnya. Pada NPB yang kronik dan rekuren, 

ada  proses patologis yang disebut sensitisasi sentral.

Nyeri Nosiseptif dan Neuropatik

Nyeri nosiseptif timbul akibat kerusakan 

pada jaringan nonneural dan aktivasi nosiseptor. Nyeri ini menyertai aktivasi peripheral receptive terminals dari neuron 

aferen primer sebagai respons terhadap 

stimulus kimiawi, mekanik, atau termal 

yang berbahaya, Di lain pihak, nyeri neuropatik didefinisikan sebagai nyeri yang 

dipicu  karena lesi primer sistem saraf 

somatosensorik. Secara klinis, istilah nyeri 

nosiseptif berarti nyeri yang timbul {output)

sebanding dengan input nosiseptif, berbeda 

dengan yang terjadi pada nyeri neuropatik.

Sensitisasi Sentral (SS)

Definisi SS yaitu  amplifikasi dari neuronal

signaling di dalam sistem saraf pusat yang 

meningkatkan hipersensitivitas terhadap 

nyeri, sehingga terjadi peningkatan respons 

neuron nosiseptif di dalam sistem saraf 

pusat terhadap input aferen normal atau 

ambang batas {subthreshold). Dengan kata 

lain, ada  augmentasi respons susunan 

saraf pusat terhadap terhadap input dari reseptor unimodalitas dan polimodalitas. Hal 

yang penting diingat dari patofisiologi SS 

yaitu  peningkatan respons neuronal terhadap stimulus di dalam sistem saraf pusat 

(seperti hipereksitabilitas sentral].

Gangguan yang diakibatkan oleh SS terhadap sistem saraf pusat ini meliputi 

beberapa hal, yaitu perubahan pemrosesan 

stimulus sensorik di dalam otak, gangguan 

fungsi mekanisme antinosiseptif desenden, peningkatan aktivitas jalur fasilitator 

nosiseptif, dan peningkatan sumasi nyeri 

sekunder (wind up) di temporal. Selain itu, 

SS meningkatkan aktivitas pain neuro matrix. SS juga meningkatkan aktivitas otak 

pada area-area yang terlibat dalam sensasi 

nyeri akut (insula, korteks cinguli anterior, 

dan korteks prefrontal] dan yang tidak terlibat dalam sensasi nyeri akut (berbagai 

nukleus di batang otak, korteks dorsolateral 

frontalis, dan korteks asosiasi parietal],

Berbagai studi mengemukakan bahwa SS 

ditemukan pada NPB kronik. Hal ini mempengaruhi pengobatan  pasien, mengingat 

pasien NPB dengan SS membutuhkan 

pengobatan dengan target spesifik pada 

sistem saraf pusat.

 

ANATOMI

Tulang belakang bagian lumbal terdiri dari 

5 segmen vertebra lumbalis yang terletak 

kranial dari sakrum dan koksigeus. Kelima 

vertebra ini menyokong vertebra torakalis, 

servikalis, dan tulang kepala yang merupakan sebagian besar dari berat badan tubuh, 

sehingga ukuran korpusnya paling besar 

dibandingkan segmen vertebra lainnya,

Sisi posterior korpus vertebra memiliki 

struktur pedikel, lamina, prosesus transversus, dan prosesus spinosus yang membentuk lingkaran mengelilingi kanalis spinalis. 

Kanalis spinalis dibungkus oleh kantong 

dura yang berisi cairan serebrospinal.

Sendi faset merupakan persendian yang

menghubungkan korpus vertebra yang satu 

dengan lainnya. Prosesus artikularis superior 

dan inferior dari lamina vertebra yang berdekatan 

membentuk sendi faset atau zigapofisial. Sendi 

ini merupakan sendi sinovial di artrodial yang 

berfimgsi menanggung beban kompresif serta 

tekanan biomekanik diskus intervertebralis.

Tulang belakang disokong oleh berbagai 

ligamentum yang merupakan jaringan ikat 

yang menghubungkan satu tulang ke tulang 

lainnya. Dari anterior ke posterior, ligamenturn ini meliputi, ligamentum longitudinal anterior, ligamentum longitudinal 

posterior, ligamentum flavum, ligamentum 

intertransversal, ligamentum interspinosus, 

dan ligamentum supraspinosus (Gambar 1} Ligamentum longitudinal anterior merupakan ligamentum luas dan fibrous yang berasal dari dasar tengkorak, meliputi bagian 

anterior dari korpus vertebralis dan diskus 

vertebralis dari Cl hingga sakrum. Ligamentum ini berfungsi dalam mempertahankan 

stabilitas dari sendi intervertebral is dan 

mencegah terjadinya gerakan hiperekstensi.

Ligamentum longitudinals posterior berjalan dari dasar tengkorak dan C2 hingga ke 

sakrum, berhubungan dengan bagian posterior dari korpus vertebralis dan diskus 

intervertebral is, sehingga ligamentum ini 

membentuk satu kesatuan dengan dinding 

kanalis vertebralis. Hal ini berkaitan 

dengan pencegahan terjadinya protrusi diskus ke arah posterior, tetapi tidak mencegah 

ke arah posterolateral, serta mencegah terjadinya gerakan hiperfleksi kolumna vertebralis.

Di seberang ligamentum longitudinalis posterior, ada  ligamentum flavum. Kedua 

ligamentum ini membentuk bagian dari kanalis spinalis. Ligamentum flavum berperan 

dalam mempertahankan kontur dan keutuhan posisi tulang belakang saat membungkuk dan sebaliknya.

Ligamentum intertransversal berjalan diantara prosesus transversus kolumna vertebralis pada tiap segmen, dan biasanya 

bergabung dengan muskulus intertransversarii. Peran ligamentum ini yaitu  untuk 

membatasi gerakan fleksi lateral ke kiri dan 

kanan.

Ligamentum interspinosus terdiri dari 

lapisan-lapisan tipis yang menghubungkan 

prosesus spinosus Cl hingga SI pada tiap 

segmen. Pada bagian anterior, serat ligamentum ini berhubungan dengan flavum, 

sedangkan pada bagian posterior serat ligamentum ini berhubungan dengan ligamentum supraspinosus. Ligamentum ini untuk 

membatasi gerakan fleksi ke depan atau 

membungkuk.

Ligamentum supraspinosus melekat pada 

apeks prosesus spinosus. Ligamentum ini 

terdiri dari serat yang panjang dan tebal 

yang berjalan secara vertikal, mulai dari 

C7 hingga sakrum. Di atas C7, ligamentum 

ini disebut ligamentum nuchae. Bagian internal/anterior dari serat ini berhubungan 

dengan ligamentum interspinosus, sehingga 

berperan membatasi gerakan fleksi,

Diskus intervertebralis yaitu  sendi yang 

terletak di antara korpus vertebralis. Sendi 

ini berperan dalam hal mekanik dikarenakan fungsinya dalam menanggung beban 

berat badan dan aktivitas otot melalui kolumna spinalis. Adanya fleksibilitas sendi 

ini membuat tulang belakang mampu beregerak membungkult, fleksi ke lateral, dan 

memutar.

Diskus intervertebralis memiliki ketebalan 

sekitar 7-10mm dan diameter 4cm pada regio lumbalis. Diskus intervertebralis merupakan struktur kompleks yang terdiri dari 

lapisan luar tebal jaringan fibrosa kartilago 

yang disebut anulus fibrosus. Struktur anulus fibrosus terdiri dari 15 hingga 25 cincin 

konsentrik atau lamela, dengan serat kolagen yang berada paralel di antara tiap lamela. Selain itu, ada  serat elastin yang berada di antara lamela, sehingga membantu 

diskus untuk kembali ke posisi awal setelah 

gerakan. Serat elastin ini menyatu 

dengan lamela saat serat ini berjalan 

secara radial antar lapisan lamela. Sel-sel

 

dari anulus, terutama yang berada di bagian 

luar, bersifat fibroblast-like, berukuran panjang, tipis, dan teletak paralel dengan serat 

kolagen. Bentuk sel ini menjadi lebih oval 

pada bagian dalam anulus fibrosus.

Cartilage endplate merupakan lapisan horizontal tipis dengan ketebalan 1mm, yang 

tersusun atas jaringan kartilago hialin. 

Struktur ini mempertemukan diskus intervertebral is dengan korpus vertebralis. 

Pada kondisi normal, diskus intervertebralis memiliki sedikit pembuluh darah dan 

saraf, terutama terbatas pada lamela luar 

yang berakhir pada proprioseptor. Cartilage endplate bersifat avaskular dan aneural 

pada orang dewasa normal. Pembuluh darah ada pada ligamentum longitudinal yang 

berdekatan dengan diskus intervertebralis 

dan pada cartilage endplate yang berasal 

dari percabangan arteri spinalis.

Anulus fibrosus mengelilingi inti yang lebih 

bersifatgelatin (gelatinous), disebutnuldeus 

pulposus (Gambar 2). Batas atas dan bawah

Gambar 2. Anatomi Diskus Intervertebralis

dari nukleus pulposus yaitu  struktur cartilage endplates. Bagian tengah dari nukleus 

pulposus mengandung serat kolagen yang 

tersusun acak, dan serat elastin yang tersusun secara radial. Di antaranya ada  

sel menyerupai kondrosit (chondrocyte-like

cells) dengan densitas yang rendah yang berada di dalam kapsul.

ETIOLOGI

Pasien yang datang dengan NPB harus dieksplorasi etiologinya karena sebenarnya NPB 

yaitu  suatu gejala, bukan penyakit. NPB 

memiliki beberapa etiologi yang mendasari 

kondisi patologisnya yang harus ditentukan 

untuk pengobatan  dan prognosisnya (Tabel 1). Berdasarkan etiologinya, NPB dibagi 

menjadi spesifik dan nonspesifik/idiopatik. NPB yang diketahui etiologinya dengan 

jelas disebut NPB spesifik. Sayangnya dalam 

praktik sehari-hari, sebagian besar NPB tidak diketahui etiologinya dengan jelas, atau 

disebut juga NPB nonspesifik atau idiopatik.

Nyeri Sendi Faset

Seperti sendi sinovial lainnya, proses trauma 

dan inflamasi yang terjadi pada memiliki manifestasi klinis berupa nyeri, kekakuan, disfungsi 

sendi, serta spasme otot sekunder, yang kemudian akan memicu  kekakuan dan degenerasi sendi yang memicu  osteoartritis.

Salah satu struktur yang terlibat pada proses 

degenerasi sendi yaitu  kapsul fibrosa dari 

sendi faset yang mengandung ujung saraf encapsulated, encapsulated, dan bebas. Studi 

imunohistokimia menunjukan bahwa ujung 

saraf ini mengandung neuropeptida yang 

memediasi dan memodulasi nosiseptor, misalnya substansi P, calcitonin gene related peptide (CGRP), dan vasoactive intestinal peptide 

(VIP). Adanya neuropeptida ini menandakan proses penuaan serta beban biomekanik 

yang kumulatif. Mediator kimiawi dan inflamasi ini berhubungan dengan enzim proteolitik dan kolagenolitik yang dapat memicu  

degradasi matriks kartilago sendi. Bila neuropeptida ini ditemukan bersama dengan jaringan perivaskular dan input aferen nosiseptif, 

maka kombinasi ini dapat menjadi penghasil 

nyeri {pain generator').

Facet arthrosis merupakan bentuk patologi 

sendi faset yang paling banyak ditemukan. 

Penyakit ini sering mengenai usia tua di atas 

60 tahun, walaupun pada beberapa kasus 

dapat dimulai pada usia sebelum 20 tahun. 

Tidak ada perbedaan prevalensi antar jenis kelamin. Penyakit ini dikaitkan dengan

kebiasaan mengangkut beban berat dan 

cedera minor berulang. Stres mekanik timbul pada faset yang iebih horizontal pada 

potongan sagital, terutama tingkat L4-L5.

Gejala dan tanda klinis facet arthrosis sangat tidak spesifik dan bervariasi tergantung pada progresivitasnya, mulai dari nyeri 

pada leher atau punggung bawah hingga tidak ada nyeri. Gejala nyeri yang muncul tidak menjalar ke bawah lutut dan diperberat 

dengan gerakan ekstensi, serta membaik 

dengan gerakan fleksi. Nyeri tidak berkorelasi dengan tingkat degenerasi.

Nyeri Sendi Sakroiliaka

Sendi sakroiliaka merupakan sendi sinovial diartrodial yang menerima inervasi atau persara-

 fan utaraa dari rami dorsalis 4 nervus sakralis 

pertama. Artrografi atau injeksi larutan iritan 

kedalam sendi sakroiliaka dapat memprovokasi 

nyeri dengan berbagai pola nyeri lolcal maupun 

nyeri alih pada daerah bokong, lumbal bawah, 

dan paha. Prevalensi nyeri sakroiliaka bervariasi antara 2-30% pada pasien NPB kronik.

Nyeri Otot

Otot punggung bawah membantu menstabilisasikan tulang belakang serta memungkinkan gerakan rotasi, fleksi, dan ekstensi. Otototot profunda melekat pada rongga-rongga 

yang berada di antara prosesus spinosus 

[Gambar 3). Adapun otot-otot penting yang 

menyongkong vertebra lumbalis meliputi M.

Longisimus, M. Multifidus, dan M, Spinalis. 

Kondisi salah posisi dapat memicu terjadinya 

peregangan berlebih pada ligamentum dan 

otot-otot ini sehingga memicu  robekan, 

perdarahan kecil dan inflamasi, serta menimbulkan nyeri. Hal ini dikenal dengan 

strain atau regangan, maupun sprain atau regangan yang memicu  kerusakan.

Sindrom Nyeri Miofasial

Reseptor nyeri di otot sensitif terhadap berbagai stimulus mekanik, termasuk tekanan, cubitan (pinching), irisan (cutting), dan peregangan (stretching. Unit kontraksi otot dan tendon 

yang terpapar beban biomekanilc tunggal atau 

rekuren dapat mengalami cedera dan menim 

bulkan nyeri. Otot ini akan memendek secara abnormal dan disertai peningkatan tonus 

akibat spasme atau kontraksi yang berlebihan. 

Otot yang cedera ini merupakan area nyeri 

yang dianggap sebagai trigger point (TrP) atau 

taut band yang menjadi kriteria diagnosa  sindrom nyeri miofasial.

Karakteristik yang khas dari sindrom nyeri 

miofasial yaitu  adanya TrP berupa nodul 

berukuran 3-6mm, bersifat nyeri dan kaku, 

dan dapat diidentifikasi melalui palpasi otot. 

Palpasi TrP akan memprovokasi nyeri hebat 

dan menjalar ke zona-zona tertentu, Stimulus 

mekanik seperti penusukan atau peraberian 

tekanan pada area yang hiperiritasi di TrP akan 

memicu  kedutan otot (muscle twitch).

Palpasi TrP kadang-kadang dapat menimbulkan refleks involunter (jump sign), atau flinching yang tidak sesuai dengan tekanan palpasi 

yang diberikan. Sindrom nyeri miofasial dapat 

menjadi simtomatik akibat trauma langsung 

atau tidak langsung, paparan strain kumulatif, 

disfungsi postural, dan physical deconditioning.

Sindrom nyeri miofasial dapat terjadi pada 

daerah yang mengalami kerusakan jaringan 

atau daerah tempat penjalaran nyeri neuropatik/radikular. Otot yang terpengaruh oleh nyeri 

neuropatik dapat mengalami kerusakan akibat 

spasme berkepanjangan, beban mekanik berlebihan atau gangguan metabolik serta nutrisi.

NPB yang dipicu  oleh Trauma

Ada beberapa kondisi patologis NPB yang 

dipicu  oleh trauma, antara lain:

• NPB muskular akut atau sprain terjadi 

saat punggung bawah terpapar trauma 

eksternal, seperti terbentur orang lain 

atau mengangkat benda berat, sehingga 

terjadi kerusakan otot dan fasia. Trauma

ini juga dapat memicu  herniasi diskus intervertebralis lumbalis dan 

mengkompresi saraf.

   NPB muskular kronik terjadi akibat 

pemakaian  otot berulang secara terus 

menerus.

   Traumatic vertebral body fractures terjadi saatkorpus vertebralis kolaps akibat 

jatuh dan sebagainya.

   Fragile vertebral body fractures biasanya 

memicu  NPB terkait osteoporosis, 

meskipun tidak terpapar trauma yang 

hebat

NPB yang dipicu  oleh Infeksi/Inflamasi

Spondilitis tuberkulosis yaitu  infeksi tulang belakang yang seringkali bermanifestasi sebagai nyeri punggung bawah. Infeksi 

ini dapat mengenai tulang belakang torakolumbal (50%), servikal (25% ), dan lumbal (25% ). Mikroorganisme patogen dapat 

menghancurkan korpus vertebralis atau 

diskus intervertebralis. Untuk mencegah 

timbulnya komplikasi neurologis, maka diagnosis harus cepat dan pengobatannya tepat. Anamnesis mengenai riwayat penyakit 

tuberkulosis dapat membantu diagnosa  penyakit ini. Pencitraan MRI merupakan salah 

satu pemeriksaan penunjang untuk melihat 

gambaran destruksi tulang, abses, serta keterlibatan jaringan lunak seldtar tulang dan 

medulla spinalis (Gambar 4).

Anlylosing spondylitis (Gambar 5) yaitu  suatu 

penyakit rematik dengan faktor rematoid 

negatif yang memicu  tulang vertebra menyambung seperti bambu (bamboo spine), osifikasi ligamentum supraspinosus dan interspinosus (dagger sign), dan fusi sendi sakroiliaka. 

Penyatuan ini memicu  elastisitasnya berkurang dan postur tubuh membungkuk 

ke depan. Jika tulang iga terlibat, maka pasien

 

menjadi sulit untuk bemafas dalam. Penyakit 

ini lebih sering mengenai laki-laki daripada 

perempuan dengan gejala dan tanda penyakit 

dimulai saatusia muda.

 

NPB yang dipicu  oleh Neoplasma

Tumor ganas, seperti kanker paru-paru, 

lambung, payudara, dan prostat, dapat bermetastasis ke tulang lumbal sebagai lesi 

multipel yang berbercak-bercak (Gambar

6). Gambaran ini juga dijumpai pada keganasan hematologi, seperti mieloma multipel. Tumor primer, seperti schwanoma dan 

angioma, dapat berkembang pada daerah 

lumbal dan memicu  nyeri yang hebat.

NPB yang dipicu  oleh Proses De~

generatif

Dengan bertambahnya usia, insidens NPB 

akan meningkat dengan terbentuknya lesi 

akibat degenerasi lumbal dan jaringan sekitarnya. Proses degenerasi ini juga 

berkaitan dengan terbentuknya spondylosis deforman, degenerasi diskus intervertebraiis, nyeri punggung bawah artikular 

intervertebraiis, spondilolistesis nonspondilolitik, ankylosing spinal hiperostosis, dan 

stenosis spinalis lumbalis.

1. Osteoporosis

Pada osteoporosis terjadi deformitas tulang belakang disertai fraktur yang menyebabkan nyeri di berbagai tingkat. Di 

lain pihak, osteoporosis kadang-kadang 

tidak disertai fraktur dan deformitas, 

tetapi tetap ada nyeri. Hal ini dipicu  

oleh hipersensitivitas nyeri terkait dengan menopause.

2. Hernia Nukleus Pulposus (HNP)

Kehilangan proteoglikan dan disorganisasi matriks memiliki dampak mekanik 

yang penting, yaitu memicu  stres 

pada cartilage endplate atau anulus fibrosus. Perubahan ini memicu  

diskus intervertebraiis rentan terhadap 

cedera dengan memicu  perubahan 

osteoarthritik. Kondisi ini dapat menyebabkan herniasi nukleus pulposus, yaitu 

prolapsnya diskus intervertebraiis akibat 

robeknya annulus fibrosus (Gambar 7).

Proses degeneratif ini akan berdampak pada struktur sekitarnya, misalnya radiks. Kompresi radiks akibat herniasi ini 

bukan satu-satunya penyebab timbulnya 

gejala nyeri, karena 70% pasien dengan 

prolaps diskus yang menekan radiks tidak 

mengeluhkan nyeri. Hipotesis yang mendasari timbulnya nyeri yaitu  kompresi 

yang ditimbulkan akan meningkatkan sensitisasi radiks. Proses ini terutama dipicu  oleh molekul-molekul kaskade inflamasi, seperti asam arakidonat, prostaglandin 

E2, tromboksan, fosfolipase A2, tumor necrotizing factor [TNF]a, interleukin, dan matriks 

metalloprotease.

NPB Akibat Penyebab la in 

NPB dapat timbul akibat nyeri alih dari penyaldt organ intraabdominal seperti hati, 

kandung empedu, dan pankreas. Nyeri alih 

ke punggung bawah juga dapat timbul dari 

organ-organ abdomen bagian posterior, seperti uterus, ovarium, dan kandung kemih.

Kemungkinan adanya nyeri psikogenik yang 

berkaitan dengan histeria dan depresi juga tidak boleh dilupakan. Fibromialgia merupakan salah satu bentuk NPB kronikyang paling 

sering ditemukan pada daerah perkotaan. Diagnosis fibromialgia ditegakkan secara klinis, 

ditandai oleh nyeri dengan distribusi yang 

luas pada tubuh, ada  titik-titik nyeri, 

dan seringkali disertai penyakit komorbid 

seperti fatig kronik, insomnia, dan depresi. 

Oleh karena itu, penyakit ini sering dikaitkan 

dengan faktor sosial dan psikologis.

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Pasien NPB datang biasanya dengan keluhan utama nyeri. Selain nyeri, keluhan lain 

yang dapat timbul yaitu  rasa kaku, pegal, 

kesulitan bergerak, atau perubahan bentuk punggung (deformitas). Keluhan utama 

nyeri pada NPB harus dieksplorasi karakteristiknya lebih lanjut, antara lain jenis dan 

lokasi, durasi [menetap/intermiten], intensitas (ringan/sedang/berat), hubungan

temporal (akut/kronik), dan faktor yang 

memperberat atau meringankan nyeri.

Ada empat jenis nyeri yang harus diidentifikasi pada pasien NPB, yaitu nyeri lokal, 

nyeri alih, nyeri radikular, dan spasme otot 

sekunder. Nyeri lokal dipicu  oleh proses 

patologis yang mengenai struktur peka nyeri 

di tulang belakang, antara lain periosteum 

korpus vertebra, kapsul sendi apofisial, annulus fibrosus, dan ligamentum-ligamentum. 

Oleh sebab itu, segala proses patologis yang 

melibatkan struktur-struktur ini akan 

memicu  nyeri lokal. Nyeri ini memiliki 

intensitas stabil, tetapi kadang-kadang nyeri 

terasa lebih berat dan tajam. Batasan nyeri 

tidak terlalu tegas, namun dirasakan di sekitar struktur peka nyeri pada tulang belakang 

yang terkena ini .

Salah satu contoh proses patologis yang menimbulkan nyeri lokal yaitu  strain/sprain

akut. Penyebabnya yaitu  cedera minor, 

seperti mengangkat benda berat, kesalahan postur (duduk, berkendara], atau pergerakan punggung yang mendadak. Pasien 

kadang-kadang merubah postur tubuh akibat nyeri yang dirasakan. Otot-otot sakrospinalis dan punggung bawah menjadi kaku, 

sehingga nyeri bertambah berat bila pasien 

melakukan pergerakan punggung.

Nyeri alih pada NPB dapat berupa nyeri 

pada vertebra yang merujuk ke organ dalam 

abdomen dan pelvis, atau sebaliknya. Penyakit-penyakit pada organ dalam abdomen 

atau pelvis dapat memicu  nyeri alih 

pada punggung bawah. Hal ini dapat dibedakan dengan NPB akibat proses patologis 

di tulang belakang dan struktur sekitarnya 

karena intensitas nyerinya tidak berubah 

dengan pergerakan punggung.

 

Proses patologis pada bagian atas vertebra 

lumbal dapat memicu  nyeri alih pada 

daerah kostovertebral [flank) medial, panggul sisi lateral, selangkangan, dan paha bagian anterior. Hal ini terjadi karena iritasi 

nervus kluneal superior yang berasal dari divisi posterior nervus spinalis L1-L3. Sementara itu, proses patologis yang terjadi pada 

bagian bawah vertebra lumbal dapat memiliki nyeri alih ke bagian bawah bokong dan 

paha bagian posterior akibat iritasi nervus 

spinalis L4-L5. Nervus spinalis ini mengaktivasi sekumpulan neuron intraspinal yang 

sama dengan nervus yang menginervasi 

paha bagian posterior. Nyeri alih ini 

biasanya difus, tidak lokal, dan terasa dalam. 

Intensitas nyeri alih tidak jauh berbeda dengan nyeri lokal. Setiap gerakan yang memperberat atau meringankan intensitas nyeri 

lokal juga dapat memengaruhi nyeri alih.

Contoh proses patologis yang menimbulkan nyeri alih yaitu  strain pada sendi 

sakroiliaka. Pasien dapat merasakan nyeri 

alih dari punggung bawah ke bokong atau 

paha bagian posterior. Saat pasien bergerak 

abduksi paha melawan tahanan, nyeri akan 

bertambah berat dan dapat dirasakan di 

simfisis pubis atau selangkangan.

Nyeri radikular berasal dari struktur radiks 

spinalis yang mengalami proses tarikan, 

iritasi, atau kompresi. Karakteristik nyeri 

radikular memiliki intensitas yang lebih 

berat, penjalaran hingga ke tungkai bawah 

sesuai perjalanan sarafnya, dengan batas 

yang lebih tegas. Penjalaran nyeri radikular 

yang paling khas terjadi pada iskialgia, yang 

berasal dari bokong menjalar ke sepanjang 

posterior paha, betis, hingga ke kaki. Nyeri 

terasa tajam dan kadang-kadang tumpang 

tindih dengan nyeri bersifat tumpul. Perilaku

batuk, bersin, atau mengedan dapat memperberat nyeri radikular. Oleh karena struktur saraf yang terkena pada nyeri radikular, 

maka defisit neurologis, seperti parestesia, 

hipestesia, monoparesis, hiporefleks, dan 

atrofi otot, dapat ditemukan pada pasien. 

Dengan demikian, nyeri radikular berbeda 

dengan nyeri alih. Walaupun nyeri alih juga 

bisa menjalar, tetapi tidak sampai distal dari 

lutut dan tidak disertai defisit neurologis.

Segala proses patologis yang mengenai radiks pada punggung bawah akan menimbulkan nyeri radikular, contohnya herniasi 

diskus intervertebralis dan kanalis stenosis. 

Herniasi diskus intervertebralis memiliki 

karakteristik tambahan berupa nyeri yang 

bertambah berat saat membungkuk, duduk, 

atau berubah posisi duduk ke berdiri. Nyeri 

terasa berkurang saat pasien berbaring 

telentang dengan l