Tampilkan postingan dengan label neurologi 13. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 13. Tampilkan semua postingan

neurologi 13












 MRI [Gambar 3), dapat dipertimbangkan pada pasien dengan defisit neurologis yang jelas tetapi tidak ditemukan 


kelainan pada pemeriksaan radiologis 


sebelumnya ([spinal cord injury without radiological abnormality/SCIWORA) Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kecurigaan abnormalitas jaringan lunak, seperti herniasi diskus, ekstraaksial 


hematom, dan abnormalitas ligamen. 


Akan tetapi mempertimbangkan prosedur 


pemeriksaan MRI yang sulit dilakukan 


dan berisiko, maka MRI sebaiknya dilakukan secara elektif.


TATA LAKSANA


Seperti halnya penegakan diagnosa , konsep 


penanganan cedera medula spinalis yaitu  


semua korban trauma harus dicurigai mengalami dan ditangani sebagai masalah  cedera 


medula spinalis sampai terbukti tidak adanya cedera. Selama belum terbukti tidak ada 


cedera, pada saat pemeriksaan pasien harus 


dilakukan imobilisasi untuk menghindari 


cedera sekunder.


ada  tiga tujuan utama yang perlu dicapai dalam tata laksana cedera medula spinalis, yaitu maksimalisasi pemulihan neurologis, stabilisasi spinal, dan rehabilitasi. Untuk 


itu, ada  alur tata laksana yang dimulai 


sejak tahap  pra-RS (prehospital), tahap  RS (hospital), dan rehabilitasi pascacedera yang 


berkesinambungan.


T a ta L a k s a n a P ra -R S (prehospital)


ada  10-25% pasien cedera medula 


spinalis yang mengalami defisit neurologis 


akibat tata laksana prarumah sakit yang tidak mumpuni. Penanganan tahap  ini berperan penting dalam menentukan prognosis 


pasien trauma medula spinalis.


Dibutuhkan koordinasi yang baik antara 


petugas di tempat kejadian dan rumah sakit 


tujuan. Rumah sakit tujuan harus dipastikan 


dapat melakukan tata laksana Ianjutan pada 


pasien sebelum dilakukan transfer pasien.


Informasi yang penting diketahui antara 


lain yaitu  keadaan pasien, waktu terjadinya trauma, dan mekanisme trauma.


Penekanan yang diutamakan pada tahap  


prarumah sakit yaitu  1) imobilisasi 


pasien; 2] penjagaan jalan napas; 3) kontrol 


perdarahan dan syok; dan 4] transfer pasien 


ke rumah sakit dengan fasilitas memadai sesegera mungkin.


1. Im obilisasi Pasien


Upaya imobilisasi pada tahap  prarumah 


sakit, meliputi imobilisasi area servikal dan 


sepanjang tulang belakang (Gambar 4).


a. Imobilisasi area servikal


Tata laksana yang dapat dilakukan 


untuk melindungi dan imobilisasi 


area servikal, antara lain:


• Stabilisasi manual dengan memposisikan kepala sedikit ekstensi dan 


minimal distraksi, untuk mencegah 


terjadinya fleksi dan kompresi spinal 


yang lebih Ianjut,


® Memasangkan bidai servikal, atau 


® memakai  sand bag atau towel


roll pada sisi lateral atau dengan 


mengikat (taping) kepala pada spine


board.


Kelebihan dalam pemakaian  bidai servikal yaitu  manipulasi minimal pada leher 


saat pemasangannya. Bidai servikal dapat 


dijadikan sebagai penanda bahwa ada  


risiko cedera servikal yang belum dapat 


disingkirkan. Kombinasi dengan cara lain, 


misalnya taping, dapat lebih memfiksasi 


leher (Gambar 4).


Yang perlu diperhatikan dalam metode 


taping yaitu  agitasi pasien. Pasien

 dengan agitasi dapat bergerak-gerak 


yang dapat menimbulkan cedera spinal 


sekunder. Taping daerah dada sebaiknya 


diminimalisasi sebab  mengurangi ruang gerak rongga paru, Taping pada posisi terlentang (supine) meningkatkan 


risiko terjadi bronkopneumonia aspirasi.


pemakaian  sandbag dipikirkan lebih 


aman dibandingkan taping sebab  tidak 


mengganggu jalan napas tetapi dapat 


meminimalisasi timbulnya gerakan yang 


tidak diinginkan. Sandbag direkomendasikan pada pemindahan pasien pada 


keadaan yang tidak memungkinkan 


de-ngan spine board. Selain keadaan 


ini , sandbag kurang praktis untuk 


dipakai . Minimalisasi gerakan lateral kepala pun dapat dilakukan dengan 


pengaplikasian towel roil pada kedua sisi 


kepala. Sebaiknya pengaplikasian sandbag


atau towel roll tanpa dikombinasikan dengan taping atau pelindung leher tipe rigid.


Pada pasien trauma yang memakai  


helm, dapat dipertimbangkan untuk tidak melepaskan helm selama dilakukan 


tata laksana awal kecuali ditemukan adanya 


gangguan jalan napas pada pasien. Walaupun hal ini berisiko terjadinya 


fleksi leher yang mengacu pada kejadian 


perdarahan yang mengancam nyawa, 


pelepasan helm oleh tenaga yang kurang 


terampil dapat memberikan cedera 


yang lebih buruk pada region servikal. 


Pelepasan helm sebaiknya dilakukan 


oleh dua orang sesuai dengan prosedur 


dari American College o f Surgeon.


b. Imobilisasi sepanjang tulang belakang 


Imobiiisasi tulang belakang bertujuan 


untuk meminimalisir gerakan serta


menjagakesejajaran (alignment) tulang 


belakang dengan memakai  spine


board. Spine board tidak diperuntukkan untuk pemakaian jangka panjang 


sebab  berisiko terjadinya dekubitus 


akibat penekanan berlebih di bagian 


sakrum, belikat, tumit, dan oksipital


2. T in d ak an R esu sitasi


Tindakan resusitasi pada tahap  pra-RS, 


meliputi penjagaan jalan napas dan 


kontrol perdarahan serta syok, dengan 


tetap mengutamakan imobilisasi pasien. 


Protokol tindakan resusitasi ini telah dire ko me ndasikan oleh American College


o f Surgeon.


a. Penjagaan jalan napas dan ventilasi 


Penjagaan jalan napas wajib dilakukan 


pada seluruh pasien trauma terutama 


yang mengalami penurunan kesadaran. Pasien dengan jalan napas yang 


tidak adekuat akan mengalami gangguan ventilasi yang akan berlanjut 


pada kurangnya oksigenasi jaringan 


jika terjadi dalam waktu yang lama.


Pembukaan jalan napas pada pasien 


dengan trauma spinal prarumah sakit 


dapat dilakukan dengan manuver jaw


thrust untuk meminimalisasi pergerakan leher. Pemasangan nasopharyngeal airway atau oropharyngeal airway


dapat dilakukan untuk menjaga jalan 


napas tetap terbuka, namun perlu diperhatikan bahwa pemakaian  ini 


dapat menginduksi refleks muntah dan 


memberikan efek agitasi pada pasien.


Pembukaan jalan napas definitif 


dilakukan bila alat pembuka jalan 


napas sementara tidak adekuat.

 

Dapat dipertimbangkan tindakan 


krikotiroidektomi emergensi atau 


trakeostomi definitif di rumah sakit 


bila kondisi tidak memungkinkan untuk diintubasi.


Ventilasi adekuat dilakukan sesudah  


jalan napas dipastikan adekuat. Perlu 


diperhatikan ada-tidaknya kegagalan 


respirasi pada pasien trauma medula 


spinal. Kondisi ini ditandai oleh adanya gerak dinding dada paradoksikal, 


serta kapasitas vital paru yang dipengaruhi oieh postur tubuh pasien.


Posisi tegak dan Tredelenburg sebaiknya dihindari pada pasien cedera medula spinalis dengan Minis tetraplegia. 


Hal ini berkaitan dengan tertariknya 


diafragma oleh organ-organ abdomen ke arah kaudal atau terdorong 


ke arah rostral, sehingga mengganggu 


kapasitas vital pasien.


b. Kontrol perdarahan dan renjatan 


Renjatan hipovolemik pada trauma 


spinal merupakan hal yang rumit. 


Kondisi hipotensi dapat ditemukan 


tanpa disertai dengan adanya hipoperfusi, atau disebut juga renjatan spinal.


Cedera setinggi segmen servikalis 


atau torakalis tinggi dapat dijumpai 


hipotensi dan bradikardi, Keadaan ini 


dapat terjadi akibat adanya renjatan 


spinal, sehingga tidak disarankan untuk dilakukan resusitasi cairan berlebihan.

 

Tata L ak san a di Hu m all Sakit


i , P en an g an an g aw at d a ru ra t


Penanganan gawat darurat pasien cedera 


medula spinalis di unit gawat darurat RS 


tergantung pada penanganan pertama 


pra-RS. Apabila pasien belum mendapat  pra-RS sebelumnya, maka protokol 


penanganan gawat darurat cedera medula spinalis harus dilakukan dari awal. 


Berbeda jika pasien telah mendapat  


penanganan prarumah sakit yang tepat, 


maka langkah-langkah dalam protokol 


dapat dilewati atau dimodifikasi sesudah  


memastikan kembali bahwa tindakan 


yang dilakukan sebelumnya tepat dan 


keadaan-keadaan yang mengancam


nyawa sudah ditangani.


a. Imobilisasi


Imobilisasi pada tahap  rumah sakit 


merupakan lanjutan dari tata laksana 


prarumah sakit. Pasien yang datang 


dalam keadaan terimobilisasi dengan 


spine board dan pelindung leher sebaiknya dipindahkan segera mengingat tindakan imobilisasi juga memberikan 


risiko komplikasi. Sebaiknya penilaian 


dan pemeriksaan penunjang lengkap 


dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 


dua jam. Apabila dalam dua jam tidak 


tercapai, sebaiknya mobilisasi terkontrol 


tetap dilakukan dengan memperhatikan 


kesegarisan tulang belakang.

 

b. Primary survey


Tindakan primary survey merupakan 


evaiuasi uiang dari tindakan prarumah 


sakit (Tabel 4). Primary survey tetap dilakukan walaupun sudah dilakukan se- 


, belum tiba di rumah sakit.


c. Secondary survey dan pemeriksaan 


neurologis


sesudah  primary survey pasien dinyatakan 


aman, maka pemeriksaan dilanjutkan ke 


secondary survey, meliputi anamnesis dan 


pemeriksaan dari kepala hingga ujung 


kaki, termasuk pemeriksaan neurologis 


lengkap (Tabel 5]. Tindakan secondary


survey ini bertujuan untuk mencari tandatanda cedera medula spinalis secara klinis.


d. Medikamentosa akut


Obat-obatan yang dapat diberikan sebagai pengobatan akut, antara lain:


• Glukokortiko steroid do sis tinggi 


Studi oleh NASCISII menghasilkan bahwa pemberian metilprednisolon dosis 


tinggi dalam 24 jam pertama memberikan perbaikan fungsi motorik yang 


signifikan dibandingkan kelompok 


kontrol (plasebo atau nalokson). Penelitian ini  telah dikembangkan 


dan saat ini sudah ditetapkan metilprednisolon dosis tinggi dalam 8 jam 


pertama sebagai tata laksana standar 


pasien cedera medula spinalis. Cara 


pemberian sebagai berikut:

 

Pasien onset <3 jam diberikan metilprednisolon 30mg/kgBB IV bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit (tidak diberikan metilprednisolon 


dalam kurun waktu ini}. Dilanjutkan 


dengan infus terus menerus selama 23 


jam dengan dosis 5,4mg/kgBB/jam.


- Pasien onset 3-8 jam, diberikan dengan cara yang sama namun dosis infus dilakukan selama 47 jam.


- Bila diagnosa  baru ditegakkan >8 jam, 


maka pemberian steroid tidak dianjurkan.


© Opiat reseptor antagonis 


© Nonglukokortikoid steroid tirilazad 


© Monosialoganglioside (GM-l}


1. P era w a ta n in ten sif


Perawatan penderita cedera medula spinalis di ruang rawat intensif ditekankan 


pada upaya mempertahankan pasien 


tetap imobilisasi dan mengevaluasi masalah neurologis maupun kesehatan lain 


yang mungkin timbul sebagai keadaan 


primer maupun sekunder akibat upaya 


imobilisasi sendiri. Insiden morbiditas 


dan mortalitas pasien cedera medula 


spinalis lebih tinggi terjadi pada dua 


minggu awal pascacedera.


Kriteria tempat tidur yang sesuai dalam 


perawatan pasien cedera medula spinalis, antara lain 1) dapat menunjang stabilitas dan kesegarisan tulang belakang; 


2} nyaman dan berisiko rendah 


ulkus dekubitus; 3} memudahkan akses 


perawatan; dan 4} memudahkan upaya 


reposisi pasien untuk mencegah komplikasi imobilisasi.


a. Perawatan masalah kesehatan yang 


mungkin muncul


Selama perawatan di rumah sakit, pasien 


cedera medula spinalis dapat mengalami 


beberapa komplikasi akut atau subakut 


(Tabel 6 dan 7). Hal ini harus diperhatikan 


oleh klinisi. Komplikasi ini bisa mengenai 


sistem kardiovaskular, pernapasan, dan saluran cerna.


a] Perawatan masalah kardiopulmoner 


Masalah kardiopulmuner dapat terjadi pada cedera medula spinalis 


sebab  gangguan sistem saraf otonom simpatis dan parasimpatis serta 


pasien yang dalam kondisi imobilisasi. Proses cedera pada segmen 


servikal hingga torakal atas (T4) 


memicu hilangnya efek simpatis akibat cedera medula spinalis, 


sehingga resistensi vaskular sistemik 


menurun dan efek parasimpatis meningkat. Hal ini disebut juga renjatan 


neurogenik. Manifestasi klinis yang 


dijumpai yaitu  hipotensi dengan 


selisih tekanan sistolik dan diastolik 


yang lebar (wide pulse pressure), bradikardia, serta ekstrimitas yang hangat. 


Hal ini berbeda dengan tanda renjatan 


pada umumnya yang ditandai dengan 


takikardia, hipotensi dengan selisih 


tekanan sistolik dan diastolik yang 


sempit (narrow pulse pressure), serta 


ekstrimitas yang dingin dan pucat. 


Penanganan awal renjatan neurogenik yaitu  resusitasi cairan kristaloid 


intravena untuk menjaga kecukupan 


volume intravascular. Jika hipotensi 


tetap terjadi sesudah  resusitasi, maka dapat dipertimbangkan pemakaian  


vasopresor. Pemilihan regimen vasopresor yang terbaik hingga saat ini 


masih dalam penelitian, tetapi lebih 


diutamakan yang memilki aktivitas 


alfa dan beta adrenergik, misalnya 


norepinefrin, dopamin, dan adrenalin.


Bila pasien mengalami renjatan hipovolemik, maka terapi utamanya yaitu  


resusitasi cairan dengan kristaloid 


(NaCl 0,9% atau ringer laktat). Kombinasi dengan koloid, misalnya albumin 


5%, dapat juga dipertimbangkan pada 


kemungkinan kondisi overload serta 


adanya kontraindikasi pemakaian 


kristaloid pada cedera kepala. Pemantauan saturasi oksigen memakai  


oksimeter [pulse oximeter) perlu dilakukan selama perawatan.


Selain hipotensi, cedera medula spinalis pada segmen servikal dan torakal 


atas dapat memicu disritmia 


jantung. Sinus bradikardia yang timbul akibat gangguan simpatis supraspinal merupakan bentuk disritmia 


yang paling sering terjadi. Selain itu, 


blok konduksi atrioventrikular (A-V 


block) serta takikardia supraventrikel 


dan ventrikel juga dapat ditemukan. 


Timbulnya disritmia ini lebih sering 


terjadi pada cedera medula spinalis 


yangkomplet (ASIA/IMSOP derajat A).

 Bradiaritmia dapat diatasi   dengan 


pemberian atrofin. Sebagian kecil pasien 


memerlukan pemasangan pacu jantung 


untuk mengontrol denyut jantungnya. Bila 


hal ini disertai hipotensi, pemakaian  vasopresor yang hanya memiliki aktivitas alfe 


adrenergik, seperti fenilefrin, sebaiknya 


dihindari sebab  dapat memicu perlambatan kerja jantung dan eksaserbasi 


bradikardia.


Gangguan pernapasan sekunder terjadi akibat fungsi otot-otot interkostalis 


terganggu pada cedera medula spinalis 


servikal, sehingga terjadi gangguan refleks batuk. Pasien menjadi tidak mampu membersihkan sekresi mukus dan


rentan mengalami retensi mukus berulang. Penggunakan tracheal bronchial


suctioning berkala, pulmonary toilet,


dan fisioterapi dada direkomendasikan 


untuk masalah ini. Selain itu dapat terjadi atelektasis sebagai salah satu predisposisi pneumonia. Kombinasi gangguan refleks batuk dan atelektasis akan 


meningkatkan risiko pneumonia. Oleh 


sebab  itu, pemberian antibiotik dapat 


dipertimbangkan sesuai dengan pola kuman di RS. Pasien juga berisiko mengalami aspirasi terutama bila tidak terintubasi. Salah satu cara pencegahan aspirasi 


yaitu  pemasangan pipa nasogatrik dan 


dilakukan suctioning berkala.

 Pasien dengan ventilator harus diperhatikan antara kebutuhan terhadap 


ventilator dan kondisi kemampuan pernapasan pasien sendiri. Penyapihan dari 


ventilator harus segera dilakukan bila 


fungsi pernapasan pasien kembali membaik, mengingat pemakaian  ventilator 


juga meningkatkan risiko masalah pernapasan sekunder, seperti ventilator acquired pneumonia (VAP), trakeomalasia, 


sinusitis, dan intoksisitas oksigen.


b) Trombosis vena dalam


Kejadian trombosis vena dalam dan emboli paru merupakan dua kemungkinan 


komplikasi yang harus diwaspadai selama perawatan penderita cedera medula spinalis. Sebanyak 15% penderita 


cedera medula spinalis mengalami trombosis vena dalam dan setengah di antaranya menjadi emboli paru. Oleh sebab  


itu, upaya pencegahan diutamakan dan 


harus dilakukan sedini mungkin. Upaya 


yang dapat dilakukan, di antaranya (1) 


pemakaian compression stocking; (2) 


pemberian heparin dosis rendah; atau 


(3) pemasangan filter vena cava inferior


pada masalah  kontraindikasi heparin yang 


masih harus imobilisasi dalam jangka 


waktu yang cukup lama. Selain itu, 


upaya mobilisasi penderita segera juga 


merupakan langkah untuk menghindari 


komplikasi trombosis vena dalam.


c) Perawatan masalah sistem pencernaan 


Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu  


gangguan saluran pencernaan, yaitu salah 


satunya ileus. Salah satu gejala ileus yaitu  


distensi abdominal yang akan mempengaruhi kinerja diafragma sehingga 


mempengaruhi fungsi pernapasan dan


meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. 


Tata laksana akut untuk masalah ileus 


yaitu  kompresi dengan pipa nasogastrik atau orogastrik.


Adanya risiko perdarahan saluran cerna 


pada penderita cedera medula spinalis diperberat dengan intervensi pengobatan, 


misalnya pada pemberian steroid dosis 


tinggi. Pilihan agen profilaksis yang dapat 


diberikan, antara lain (1) antasid oral dosis 


tinggi; (2) penyekat H2; atau (3} pelindung 


mukosa. pemakaian  kombinasi dua obat 


disarankan untuk pencegahan komplikasi 


perdarahan saluran cerna pada pasien 


dengan riwayat ulkus saluran cerna.


Selain kedua hal di atas, kebutuhan energi 


tidak kalah penting untuk diperhatikan. 


Kebutuhan kalori akan meningkat pada 


beberapa hari pertama pascacedera. 


Oleh sebab  itu, penurunan berat badan 


penderita cedera medula spinalis pada 


minggu-minggu awal perawatan menjadi tidak dapat dihindarkan. Pemberian 


nutrisi yang tepat dapat mencegah malnutrisi pada masalah  ini.


Terputusnya persarafan otonom kolon 


dan rektum dan persarafan volunter otot 


din-ding perut dan pelvis memicu 


kesulitan defekasi. Jika tidak ditangani dengan tepat, maka impaksi feses dapat terjadi. Penanganan masalah ini  dengan 


pemberian tambahan asupan makanan 


tinggi serat (10-20g per hari] dan agen 


pelunak feses. Agen pelunak feses dapat 


diberikan secara oral Qaktulosa) maupun 


supositoria (gliserin). Selain itu, evakuasi 


digital dapat dipertimbangkan 2-3 kali 


dalam seminggu sebagai tata laksana akut d) Perawatan masalah berkemih


Gangguan berkemih yang sering ditemukan pada masalah  cedera medula spinalis, 


antara lain (1) retensi urin disertai distensi berlebih kandung kemih dan (2} 


priapismus yang sering ditemukan pada 


pasien laki-laki. Retensi urin pada penderita cedera medula spinalis dapat diakibatkan oleh (1) kelemahan otot detrusor; (2) hiperaktivitas sfingter, atau (3) 


kerja kandung kemih dan sfingter yang 


tidak sinergi dalam bentuk lain.


Apapun masalah yang mendasarinya, 


tata laksana akut dari retensi urin yaitu  


pemasangan kateter urin. Pemasangan 


kateter urin indwelling direkomendasikan hingga kondisi stabil, dilanjutkan 


dengan pemasangan kateter intermiten 


setiap 6 jam. Pemasangan pipa suprapubik dapat dilakukan pada kondisi 


priapismus untuk menghindari cedera 


sekunder saluran kemih. Penanganan selanjutnya tergantung dari hasil pemeriksaan urodinamik.


2. Tata laksana operatif


Tujuan utama pembedahan yaitu  


melakukan dekompresi terhadap medula spinalis dan melakukan stabilisasi 


tulang belakang. Operasi pada pasien 


cedera medula spinalis diindikasikan 


pada keadaan-keadaan sebagai berikut:


• ada  fraktur, pecahan tulang 


menekan medula spinalis


® Gambaran neurologis progresif memburuk


• Fraktur dan dislokasi yang labil


• Herniasi diskus intrevertebralis yang 


menekan medula spinalis


Prognosis penderita sangat tergantung 


dari berat cedera dan lamanya pertolongan hingga tindakan pembedahan. Tindakan operatif dapat dilakukan 


dalam rentang waktu 24 jam hingga 3 


minggu pascacedera namun tindakan 


operatif dini (<24 jam) lebih bermakna 


dalam menurunkan risiko komplikasi 


dan perburukan neurologis.


Tata Laksana Rehabilitatif


Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan 


kualitas individu yang mengalami gangguan 


secara optimal dalam bidang mental, fisik, 


kognitif, dan sosial. Proses rehabilitasi pada 


pasien cedera medula spinalis yaitu  untuk:


® Memberikan pengertian mengenai cedera 


medula spinalis kepada pasien dan keluarga. 


® Memaksimalkan fungsi mobilisasi dan kemampuan perawatan diri [kemandirian] 


pasien.


® Mencegah masalah kesehatan komorbid, 


seperti kontraktur, luka decubitus, masalah pernapasan, dan seterusnya.


Pencapaian ini  melibatkan kerjasama multidisiplin, yang dimulai sejak tahap  akut, perawatan, hingga sesudah  


perawatan. Adapun tindakan-tindakan 


rehabilitasi sendiri, meliputi fisioterapi, 


terapi okupasi, latihan miksi dan defekasi rutin, terapi psikologis, dan, konseling.


CONTOH masalah 


Wanita usia 39 tahun datang dengan keluhan 


utama kelemahan keempat ekstremitas sejak 


1 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien 


diketahui mengalami kecelakaan lalu lintas 1 


jam sebelum masuk 1GD. Pasien mengendarai 


sepeda motor dengan kecepatan 20-30km/ 


jam. Pasien diserempet dari belakang dan ke-

 mudian terjatuh ke arah depan dengan posisi 


tertelungkup dengan dagu terkena aspal dan 


helm terlepas. Pasien terseret beberapa meter ke depan. Pasien sadar dan ingat semua 


kejadian sebelum, saat, dan sesudah kecelakaan. Tidalt ada  darah yang keluar 


dari telinga dan hidung. Pasien menyangkal 


adanya benturan pada kepala.


Sesaat sesudah  kejadian, pasien mengeluhkan nyeri hebat pada pada leher belakang 


disertai dengan kelemahan pada kedua 


tangan dan kaki. Kedua lengan masih dapat 


digeser, siku dapat ditekuk, jari-jari tangan 


masih dapat digerakkan, lengan kiri terasa 


lebih berat jika dibandingkan dengan lengan kanan, Kedua kaki sama sekali tidak 


dapat digerakkan. Pasien juga m eras a baal 


dari setinggi bahu sampai tubuh bagian 


bawah dan ekstremitas bawah.


P erta n y a a n :


1. Ananmnesis apa yang masih kurang?


2. Apa saja pemeriksaan fisik yang akan 


dilakukan dan apa hasil yang diharapkan?


3. Pemeriksaan penunjang apa yang 


akan dilakukan dan apa hasil yang 


akan diharapkan?


4. Apa diagnosa  dan diagnosa  banding 


masalah  ini?


5. Apa tata laksana medikamentosa dan 


non-medikamentosa yang akan dilakukan?


6. Bagaimana prognosis wanita pada 


masalah  ini? 






KOMPLIKASI PASCACEDERA KEPALA



Komplikasi pascacedera pada masalah -masalah  


neurologi dapat terjadi segera ataupun kemudian, Kerusakan sekunder sel saraf akibat cedera kepala traumatik dapat ter] ad i 


dalam hitungan menit hingga hitungan hari 


sesudah  cedera awal. Setiap kali jaringan 


saraf mengalami cedera, serangkaian perubahan terjadi pada kompartemen intra 


maupun ekstraselular. Perubahan inilah 


yang pada akhirnya akan menimbulkan 


komplikasi akut maupun kronis. Semakin 


berat cedera, tentunya akan meningkatkan 


risiko serta besar masalah komplikasi yang 


terjadi.


Secara garis besar, komplikasi pascacedera di 


bidang neurologi terbagi menjadi komplikasi 


neurologis yang terdiri dari komplikasi kognitif dan nonkognitif, serta komplikasi metabolik. Komplikasi metabolik yang sering 


muncul dan menimbulkan gangguan yaitu  


hiponatremia dan koagulopati pascacedera 


yang akan dibahas dalam bab ini.


KOMPLIKASI NEUROLOGIS


1. Komplikasi Kognitif Pascacedera Kepala


Masalah neurobehavior sering terjadi sesudah  


cedera kepala, di antaranya gejala neuropsikiatrik, masalah kognitif, dan agresi. Gangguan kognitif sering terjadi sekitar 40-60% 


dalam 1 sampai 3 bulan pascacedera. Jenis gangguan ini berbeda-beda tergantung 


dari berat-ringannya cedera, tetapi secara 


umum dibagi menjadi adanya perubahan 


ke-sadaran, gangguan atensi/konsentrasi, 


memori, dan fungsi eksekutif. Gangguan 


atensi, kecepatan proses pikir, memori 


episodik, dan fungsi eksekutif merupa-kan 


gangguan yang paling sering terjadi pada 


periode cedera subakut


Gangguan kognitif merupakan sekuele yang 


akan menghambat proses rehabilitasi dan 


penyembuhan serta memengaruhi keluaran yang buruk. Hal ini dapat mengganggu 


kualitas hidup, kemampuan kembali kerja 


dan h'ilangnya produktivitas, serta hilangnya komunikasi terhadap keluarga.


Patofisiologi


Trauma kepala memicu otak bersentuhan dengan tulang tengkorak atau objek luar, 


akibat proses akselerasi-deselerasi (Gambar 1). Momen inersia akibat mekanisme 


akselerasi-deselerasi berhubungan dengan 


tarikan, robekan, dan penekanan yang menyebabkan kerusakan akson.


Cedera akibat mekanisme ini  terjadi 


segera (cedera primer) dan berlangsung seterusnya, sehingga memicu pelepasan 


neurotransmiter yang dipicu oleh kaskade 


kerusakan eksitotoksik dan hal lain, seperti 


hipoksia, edema, dan peningkatan tekanan 


intrakranial (cedera sekunder). Lokasi yang 

paling sering terlibat dalam cedera kepala 


yaitu  lobus temporal anterior, inferior, 


dan lateral, serta lobus frontal. ada  


keteriibatan perubahan neurotransmiter 


pada sekuele neurobehavior, termasuk 


gangguan fungsi kognitif. Perubahan yang 


terjadi melibatkan katekolamin, kolinergik, 


dan serotonin.


Area frontal-subkortikal dengan tiga 


sirkuit utamanya berperan penting pada 


pengaturan perilaku. Area ini tumpang 


tindih dengan area yang rentan terhadap 


cedera yang memicu perubahan 


perilaku dan emosional pascacedera (Gambar 2). Setiap sirkuit memulai perjalanannya dari korteks di frontal dan diproyeksikan secara sekuensial ke striatum, globus 


palidus, talamus, dan kembali ke korteks 


fronatal.


Sirkuit yang terlibat yaitu  (Gambar 3):


® Frontal/prefrontal-subkotikal dorsolateral akan mengganggu fungsi eksekutif 


seperti memori, pengambilan keputusan, penyelesaian masalah, dan fleksibilitas mental.


® Orbitofrontal-subkortikal lateral akan 


mengganggu intuisi, perilaku sosial, dan 


mekanisme konrol diri.


® Medial frontal-subkortikal anterior akan 


memicu gangguan motivasi dan 


inisiasi. Gejala dan Tanda Klinis


Modalitas atau ranah (domain) kognitif dibagi menjadi atensi, fungsi eksekutif, memori, 


bahasa, visuospasial-visuokonstruksi, dan 


keterampilan motorik serta persepsi sensorik. Gangguan fungsi kognitif pada cedera 


kepala dapat berupa cedera difus atau fokal 


tergantung dari mekanisme cedera. Cedera 


otak difus sering mengikuti cedera otak tertutup akibat mekanisme akselerasi-deselerasi, akan melibatkan banyak ranah kognitif. Gangguan yang bersifat fokal biasanya 


akibat cedera kepala penetrasi/laserasi.


Ranah kognitif yang terganggu mengikuti 


cedera kepala:


1. Atensi dan kecepatan proses pikir


Gangguan atensi sering mengikuti cedera 


kepala dan berkaitan dengan kerusakan 


difus atau struktur dan sistem otak multipel termasuk korteks parietal inferior, 


korteks frontal, dan sistim limbik. Walaupun ada  banyak tipe atensi, yang


paling sering terkena yaitu  atensi fokus/ 


selektif, sustained attent/on/konsentrasi, 


atensi terbagi (distrakbilitas), dan alternating attention/set shifting (kesulitan 


melakukan tugas jamak pada satu waktu).


Renting untuk menilai kemampuan atensi 


sebab  gangguan atensi mempunyai efek 


pada kemampuan kognitif lain, terutama 


memori dan fungsi eksekutif.


2. Memori


Gangguan memori merupakan salah satu 


gangguan tersering pada cedera kepala, 


dan hal ini berkaitan dengan kerusakan 


lobus temporal medial, struktur talamus 


medial dan garis tengah, basal frontal, 


serta sistem koneksi frontal. Perbedaan 


antara amnesia anterograd dan retrograd 


penting pada klinis. Amnesia anterograd 


atau posttraumatic amnesia (PTA) merupakan ketidakmampuan atau terbatasnya 


kemampuan untuk mempelajari informasi baru atau pengetahuan sejak terjadinya

 cedera otak, sedangkan amnesia retrograd merupakan ketidakmampuan untuk 


memanggil [recall] kejadian yang mendahului onset cedera otak. Fungsi memori 


yang sering terganggu yaitu  proses 


memori deklaratif, seperti recall kejadian 


dan waktu, serta subranah yang berkaitan 


seperti encoding dan retrieval.


3. Fungsi eksekutif


Gangguan fungsi eksekutif dapat meliputi, (1] gangguan kemampuan penalaran/ 


reasoning [diperlukan untuk mengambil 


keputusan), [2] perencanaan, [3] inhibisi, (4) organisasi, dan (5) sequencing.


Gangguan fungsi eksekutif (sindrom 


diseksekutif) pada awalnya dipikirkan 


merupakan kerusakan iobus frontal, 


namun berdasar  penelitan saat ini 


gejala lobus frontal dapat terjadi pada 


kerusakan area lain yang mempunyai 


hubungan dengan lobus frontal. Hilangnya inisiasi dan motivasi, apati, serta 


hilangnya kemampuan tilikan (insight')


juga berkaitan dengan gangguan fungsi 


eksekutif yang memicu  masalah 


keluarga dalam proses rehabilitasi.


Pemeriksaan N eurobehavior


1. Pra-tata laksana


Derajat keparahan cedera otak, prediksi 


prognosis jangka pendek dan panjang, 


dapat ditentukan oleh durasi PTA. PTA 


dan gangguan orientasi dapat dinilai 


dengan pemeriksaan Tes Orientasi dan 


Amnesia Galvaston (TOAG]. Pada pasien 


rawat inap yang sudah pulih kesadarannya, harus dilakukan pemeriksaan TOAG 


serial (harian) sampai mencapai nilai 


minimal 75 untuk memperkirakan durasi PTA. Hasil pemeriksaan klinis ini diselaraskan dengan gambaran pencitraan 


untuk menilai keparahan cedera kepala.


2. Pascacedera


Pemeriksaan kognitif dengan MMSE dan 


frontal battery assessment (F8A) diperlukan untuk menentukan strategi restorasi 


kognitif.


diagnosa  dan diagnosa  Banding


Evaluasi menyeluruh merupakan prasyarat 


sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap gangguan fungsi kognitif pascacedera. Harus dipastikan bahwa gangguan 


ini  memang terkait cedera otak, bukan 


oleh pemicu  lain sebab  gangguan kognitif yang terjadi pada masa akut dan kronik 


sesudah  cedera kepala dapat disebabkan dan 


dipengaruhi oleh faktor lain, seperti:


© Fungsi kognitif dan intelektual premorbid 


© Penyakit neurologis lain 


© Masalah metabolik yang menyertai 


© Masalah psildatrik


® Adanya riwayat pemakaian  atau penghentian tiba-tiba obat dan zat adiktif 


® Malingering


Selain melakukan pemeriksaan klinis, baik 


anamnesis maupun pemeriksaan fisik serta 


neuropsikologik yang cermat, penentuan 


gangguan fungsi kognitif pascacedera dapat 


ditunjang dengan pemakaian  pencitraan.


Tata Laksana


1. Medikamentosa


Belum ada hasil studi yang memadai 


mengenai efek pemakaian  medikamentosa terhadap gangguan fungsi kognitif 


pascacedera, namun beberapa penelitian 


menunjukkan potensi perbailtan. Dianjurkan memakai  pendekatan 'start low, go slow, but go'. Selanjutnya perlu 


penilaian ulangberkesinambungan untuk 


mengetahui manfaat, efek samping, dan 


interaksi obat Titrasi dilakukan sampai 


tercapai dosis yang diinginkan atau jika 


ada  efek samping obat.


a. Antagonis reseptor n-metil-d-aspartat 


(NMDA-antagonis) nonkompetitif 


Antagonis glutamatergic berguna untuk 


menghambat input pada neuron dopaminergik presinaptik dan memperkuat 


neurotransmisi dopaminergik sekunder. 


Memantin dan amantadin merupakan 


contoh dari jenis ini dan bekerja secara 


antagonis nonkompetitif terhadap kompleks reseptor NMDA melalui ikatan 


phencyclidine di dalam kanal ion reseptor.


Pemberian pada beberapa hari pertama 


akan meningkatkan kesadaran di minggu 


pertama sesudah  cedera (kelas IV]. Pada tahap  


subakut, pemakaian  amantadin menunjukkan perbaikan pada atensi, fungsi visuospasial (praksis konstruksi), fungsi elcsekutif, dan fungsi kognitif umum pascacedera 


kepala sedang sampai berat (kelas IV).


b. Augmentasi katekolamin 


Metilfenidat dapat meningkatkan kadar 


dopamin serebral melalui peningkatan 


pelepasannya dan memblokade ambilan 


monoamin pada dosis tinggi serta inhibisi monoamin oksidase. (kelas I], atensi, kecepatan proses pikir (kelas II) dan 


fungsi kognitif umum (kelas IV). Selain 


memperbaiki fungsi kognitif, metilfenidat juga menurunkan rasa kantuk siang 


hari pada depresi (kelas II).


c. Augmentasi kolinergik


1) Donepezil


Donepezil meningkatkan gangguan 


atensi dan memori pada periode subakut (kelas I). Pada periode kronik, 


meningkatkan gangguan memori dan 


atensi (kelas II), gangguan sensori 


(kelas II), gangguan memori deklaratif (kelas III), dan gangguan perilaku 


yang terkait (kelas IV).


2) Rivastigmin


Rivastigmin menghambat asetilkolinesterase dan butiril-kolinesterase 


yang mempengaruhi kerja fungsi 


kolinergik serebral. Pengobatan 


dengan rivastigmin pada periode 


kronik dapat meningkatkan atensi 


dan working memory (kelas I). Pada 


gangguan memori persisten pascacedera, rivastigmin meningkatkan 


memori deklaratif, juga atensi, kecepatan proses pikir, fungsi eksekutif 


dan status neuropsikiatrik (kelas IV). 


Peningkatan subyektif pada atensi, 


memori, motivasi, dan fatigue juga dilaporkan (kelas IV).


d. Augmentasi kombinasi katekolamin dan 


kolinergik


Cytidine 5-diphosphocholine (sitikolin atau 


CDP-choline) merupakan obat intermediate essential dalam jaras biosintetik fosfolipid ke dalam membran set Pengobatan 


dengan sitikolin selama periode awal 


cedera ringan dan sedang dapat menurunkan post-concussion syndrome dan meningkatkan memori rekognisi (kelas I).


e. Pertimbangan pemakaian  obat golongan 


lain


Obat antiepilepsi berkontribusi terhadap gangguan kognitif pada cedera kepala 


(kelas IV). Pengobatan profilaksis dengan

 fenitoin atau karbamazepin sesudah  minggu 


pertama cedera memicu gangguan 


kognitif. Valproat memperlihatkan fungsi 


kognitif yang stabil (kelas I}.


Benzodiazepin sebagai agonis GABA dapat 


memicu eksaserbasi gangguan kognitif pada pasien dengan cedera kepala. 


Agonis GABA dapat berdampak negatif 


terhadap neuroplastisitas.


2. Nonmedikamentosa


Rehabilitasi kognitif merupakan program 


intervensi sistematis yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan kognitif 


dan aplikasinya ditujukan untuk aktivitas 


fungsi sehari-hari. Rehabilitasi neuropsikologi secara komprehensif-holistik 


direkomendasikan selama pascaakut 


untuk memperbaild gangguan kognitif 


dan disabilitas fungsional pada pasien 


cedera kepala sedang dan berat (kelas I].


2. Komplikasi Nonkognitif Pascacedera


A. Cedera Saraf Kranialis


Cedera yang terjadi pada saraf kranial 


merupakan defisit neurologis yang paling sering terjadi akibat trauma kepala. 


Patel dan Coello menyebutkan bahwa 


cedera saraf kranial pascacedera lebih 


banyak merupakan lesi tunggal (67- 


77,6%] dibandingkan lesi multipel 


(22,4-32% ]. Separuh diantaranya diakibatkan oleh cedera kepala ringan.


Insidens cedera saraf kranial bervariasi 


antara 5-23%. Secara umum nervus olfaktorius, fasialis, dan akustikus merupakan 


tiga saraf kranial yang paling sering terkena, diikuti nervus optikus dan okulomotorius. Nervus trigeminus dan saraf-saraf 


kranial bawah paling jarang terlibat.


1) N. I (Olfaktorius)


Lamina kribrosa merupakan bagian dari 


tulang etmoid yang memiliki foramenforamen kecil tempat keluarnya serabut 


saraf dari N. Olfaktorius. Fraktur pada 


daerah ini akan memicu disrupsi serabut saraf halus N. Olfaktorius, sehingga 


terjadi hilangnya kemampuan penghidu.


Trauma pada daerah oksipital lebih 


sering memicu gangguan penciuman dibandingkan trauma langsung di 


daerah frontal. Setiap benturan pada kepala, bahkan benturan ringan sekalipun, 


tetap akan berpotensi memicu 


gangguan penghidu permanen, tetapi 


secara umum insidens anosmia bersifat 


paralel dengan derajat cedera.


Gejala klinis gangguan penciuman dapat 


berupa anosmia, hiposmia, ataupun parosmia. Seringkali pasien tidak menyadari 


adanya gangguan ini, tetapi mengeluhkan 


adanya perubahan sensasi pengecapan,


Kecurigaan cedera pada N. Olfaktorius bila 


didapatkan adanya rinorea sebab  kebocoran cairan serebrospinal (CSS], perdarahan dari dalam kavum nasi, ekimosis periorbital, dan ptosis. Pemeriksaan rinorea 


akibat kebo coran CSS dilakukan dengan 


melakukan tes halo (cara pemeriksaan 


dapat dilihat di bab Cedera Kepala]. Diperlukan CT scan kepala dengan bone window


pada trauma untuk menilai ada/tidaknya 


fraktur tulang kranium, khususnya daerah 


basis kranii anterior.


Seringkali pemeriksaan terhadap fungsi 


N. Olfaktorius terlewatkan oleh klinisi, 


terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran. Biasanya gangguan baru diketahui ketika pasien sadar ataupun saat sudah pulang perawatan.


2) N. II (Optikus)


Cedera pada N. Optikus dikenal dengan 


nama traumatic optic neuropathy (TON}. 


Trauma ini dapat akibat trauma Iangsung dan tidak langsung. Trauma langsung (direct) pada TON (DTON) umumnya berupa disrupsi anatomis serabut 


saraf optikus. Sekitar satu dari empatpemicu nya diakibatkan oleh luka tembus 


dan tersering berupa luka tembak. Bentuk disrupsi yang terjadi dapat berupa 


avulsi, kompresi, dan transeksi.


Berbeda dengan trauma langsung, trauma N. Optikus tidak langsung (indirect} 


atau ITON diakibatkan oleh transmisi energi dari trauma tumpul di daerah supraorbital ipsilateral ke kanalis N. Optikus. 


Mekanisme ini secara tidak langsung 


akan memicu terjadinya konkusio 


(concussion}, laserasi, maupun kontusio 


N. Optikus. Selain itu, edema, iskemia, 


trombosis mikrovaskular, dan infark dari 


N. Optikus juga turut berperan dalam 


ITON sebagai faktor cedera sekunder.


Keluhan utama pada trauma N. Optikus 


yaitu  kebutaan monokular, tetapi gangguan visus juga biasa terjadi. Pada cedera 


parsial, seringkali ada  defek altitudinal inferior. Gangguan lapang pandang 


terjadi pada 10% masalah  akibat kerusakan 


kiasma pada cedera kepala berat. Banyak 


cedera di daerah kiasma yang sifatnya 


asimetris, disertai neuropati optikus 


unilateral yang berat berkaitan dengan 


hemianopia temporal kontralateral.


Gangguan penglihatan yang terjadi dapat 


terjadi segera ataupun tertunda, Gangguan 


penglihatan tertunda biasanya memiliki 


prognosis yang lebih baik sebab  masih 


dapat reversibel dibandingkan tipe segera. 


Sebagian kecil masalah  mengalami perburukan dalam hitungan jam sampai dengan 


hari sesudah  trauma, diduga akibat edema 


atau iskemia dalam kanal atau kompresi 


oleh hematom subperiosteal orbita.


diagnosa  menjadi sulit ditegakkan pada 


pasien dengan penurunan kesadaran, 


tetapi apabila ditemukan kelainan pada 


refleks cahaya berupa pupil MarcusGunn, dapat dijadikan sebagai penanda 


adanya TON. Pemeriksaan funduskopi di 


awal kejadian dapat tidak menunjukkan 


kelainan, sebab  papil atrofi baru dapat 


terlihat dalam 4-6 minggu. Trauma bola 


mata dengan avulsi N. Optikus dapat 


disertai gambaran funduskopi berupa 


perdarahan dan disrupsi.


Pemeriksaan penunjang yang perlu dikerjakan yaitu  visual evoked potential (VEP} 


dan MR! kepala. VEP berperan dalam 


manajemen penatalaksanaan dan prognosis, sedangkan MRI menunjukkan gambaran perubahan kontinuitas saraf berupa 


peningkatan intensitas sinyal di N. Optikus.


3) N. Ill (Okulomotorius)


Paralisis N. Okulomotorius akibat trauma biasanya terjadi pada cedera kepala 


yang berat disertai hilang kesadaran, 


atau fraktur tulang kranium. pemicu  


tersering yaitu  peningkatan intrakranial 


disertai herniasi unkus sehingga menyebabkan kompresi saraf kranial ipsilateral. 


Pupil abnormal merupakan tanda awal 


adanya paralisis saraf ini. Biasanya N. Okulomotorius terdesak pada 


tepi tulang tengkorakyangtajam dari tentorium sisi berlawanan. Paralisis terjadi 


pada sisi yang kontralateral dari herniasi, 


kecuali lesi pada daerah otak tengah bagian rostral, seperti herniasi transtentorial dapat mempengaruhi saraf ini bilateral.


Secara umum, trauma saraf kranialis III, 


IV, dan VI akan memberikan gambaran 


gangguan gerak bola mata berupa diplopia. Perbedaan ketiganya terletak pada 


gerakan bola mata ke arah mana yang 


terganggu (Gambar 5). Adanya pupil 


yang berdilatasi dan eksotropia unilateral


merupakan klinis utama yang ditemukan 


pada paralisis N. Okulomotorius, bahkan 


pada pasien dengan penurunan kesadaran.


Pasien dengan penurunan kesadaran 


perlu dilakukan pemeriksaan gerak bola 


mata segera sesudah  perbaikan kesadaran. Pada proptosis yag disertai pembengkakan kelopak mata, sebaiknya beri waktu sampai pembengkakan tidak terlalu 


berat, agar penilaian gerakan bola mata 


lebih akurat.


4) N. IV (Troklearis)


N. Troklearis memiliki struktur anatomis yang ramping dan panjang, sehingga rentan cedera. Trauma kepala memang merupakan pemicu  tersering cedera saraf 


kranialis ini dan biasanya unilateral. Nukleus saraf ini terletak di mesensefalon. 


Fasikulus menyilang di dorsum mesensefalon pada saat keluar dari batang otak, 


sehingga lesi di nukleus dan fasikulus 


akan memberi gambaran kontralateral, 


berbeda dengan lesi di ruang subaraknoid, sinus kavernosus, ataupun orbita.


Gejala yang dikeluhkan pasien paralisis N. 


Troldearis berupa diplopia saat menaiki 


tangga, membaca koran atau buku. Pasien 


atau keluarga juga mengeluhkan bila saat 


membaca, pasien cenderung memiringkan kepalanya ke arah yang sehat.


Pemeriksaan cedera N. Troklearis umumnya hanya dapat dilakukan pada pasien 


dengan kesadaran penuh dan koperatif. 


Pemeriksaan fisik terhadap klinis diplopia pada cedera N. Troklearis yaitu  


dengan memiringkan kepala ke arah 


bawah ipsilateral lesi (Gambar 5b). Terdapat hipertropia yang memberat saat 


melirik ke arah kontralateral.


5) N. V (Trigeminus)


Cedera cabang dari N. Trigeminus seringkali terlibatpada laserasi wajah dan fraktur 


tulang wajah, terutama daerah maksilofasial dan basis kranii, sebab  percabangan 


N. Trigeminus keluar melalui beberapa 


foramen dari tulang kranium (Gambar 6).


N. Trigeminus cabang infra dan supraorbita biasanya mengalami cedera pada 


trauma daerah dahi, kavum orhita, dan 


maksila. Cedera cabang ketiga N. Trigeminus biasa terjadi pada fraktur mandibula. Foramen rotundum dan ovale merupakan tempat keluarnya percabangan N. 


Trigeminus. Trauma tertutup maupun 


trauma tembus juga berpotensi menyebabkan cedera pada ganglion trigeminal.


Gejala yang dikeluhkan oleh pasien biasa-nya sensasi nyeri sesuai cabang penjalaran dari N. Trigeminus yang termasuk 


dalam neuralgia trigeminal simtomatik. 


Terkadang disertai juga keluhan berupa 


hiperpati se-suai distribusi saraf ini .


Setiap pasien dengan kecurigaan trauma 


kepala di daerah wajah dan sekitar telinga, perlu diperhatikan kemungkinan adanya paralisis saraf ini. Berikut ini merupakan kriteria diagnosa  dari neuralgia 


trigeminal simtomatik berdasar  Konsensus Nyeri Kepala Perdossi dan The


International Classification o f Headache


Disorders:


1) Serangan nyeri paroksismal beberapa 


detik sampai dua menit dengan atau 


tanpa nyeri persisten diantara serangan, 


melibatkan satu atau lebih cabang/divisi N. Trigeminus.


2) Memenuhi paling sedikit karakteristik 


nyeri sebagai berikut:


® Kuat, tajam, superfisial atau rasa 


se-perti ditikam


® Dipresipitasi dari area pencetus 


atau oleh faktor pencetus


3) Jenis serangan stereotipik pada setiap individu.


4) Etiologi yaitu  selain kompresi pembuluh darah, berdasar  pemeriksaan khusus dan atau eksplorasi fossa 


posterior. Pemeriksaan refleks kornea perlu dikerjakan. Adanya anestesi kornea atau hilangnya refleks kornea membuat pasien 


rentan mengalami keratitis eksposur 


hingga terjadinya ulkus kornea.


6) N. V! (Abdusens)


paralisis N. Abdusens akibat trauma 


cukup sering terjadi dan kebanyakan 


dapat pulih sempurna. Kenaikan tekanan intrakranial pada trauma kepala menyebabkan penekanan batang otak ke 


bawah berakibat peregangan berlebihan 


pada N. Abdusens di daerah ujung/tip 


petrosus, sehingga terjadi paralisis.


Pada paralisis total saraf VI, bola mata 


tidak dapat melakukan abduksi dan


seringkali terfiksasi pada posisi aduksi. 


Diplopia horizontal yang memberat saat 


melihat jauh merupakan gejala dari paralisis inkomplit yang lebih sering terjadi. 


Selain itu juga didapatkan strabismus 


paralitik (nonkonkomitan) yang akan 


tampak jelas bila melirik ke arah otot yang 


terlibat pada pemeriksaan. Kelemahan 


ringan akan menunjukkan esotropia pada 


pemeriksaan cover uncover.


Pasien dengan kesadaran penuh akan 


mengeluhkan diplopia saat melihat jauh. 


Pada pemeriksaan gerak bola mata, dalam 


posisi primer sisi yang terganggu akan tampak berkonvergensi ke arah aksis. Pada saat 


melirik ke arah lateral, akan ada  paralisis di sisi yang terganggu [Gambar 5c). 7) N. VII (Fasialis)


Trauma N. Fasialis terjadi pada sekitar 


50% masalah . Cedera pada N. Fasialis terbagi menjadi trauma langsung dan tidak 


langsung. Pada trauma langsung, komponen fraktur memicu kerusakan 


pada saraf. Lain halnya dengan trauma 


langsung, trauma tidak langsung diakibatkan oleh adanya edema atau hematom jaringan lunak sekitar saraf yang 


memicu kompresi pada saraf.


Fraktur tulang petrosa pada trauma kepala dapat melukai daerah labirin dan 


saraf fasialis. Garis fraktur dapat terjadi


longitudinal ke bawah mengikuti aksis 


piramid petrosus, ataupun transversal 


melintasi tulang ini . Kedua mekanisme fraktur ini  dapat mengakibatkan perlukaan saraf fasialis. Fraktur 


longitudinal lebih sering terjadi, mengakibatkan edema pada saraf fasialis.


Gejala yang timbul pada cedera N. Fasialis dapat segera sesudah  trauma maupun 


kemudian. Pada gejala yang tidak timbul segera biasanya cenderung sembuh 


spontan. Berbeda dengan paralisis pada 


fraktur transversal, N. Fasialis seringkali 


mengalami laserasi, kontusio, ataupun cedera yang berat Paralisis yang timbul 


biasanya segera pada cedera jenis ini.


Gejala cedera N. Fasialis bergantung pada 


lokasi lesi berdasar  anatominya (Gambar 7]. Hilangnya fungsi pengecapan pada 


dua pertiga anterior terjadi pada cedera 


segmen vertikal mastoid. Pada cedera 


segmen horizonal (N. Fasialis segmen telinga tengah) akan memicu hilangnya refleks stapedius, sehingga terjadi 


hiperakusis (hipersensitivitas terhadap 


bunyi yang keras] dan hilangnya pengecapan ipsila-teral. Meski demikian, hilangnya fungsi gustatorik sesudah  trauma 


kepala sebenarnya jarang terjadi. Gejala 


Minis lain yang dapat terjadi pada cedera 


N. Fasialis, yaitu gangguan lakrimasi ipsilateral yang diakibatkan oleh adanya lesi 


pada segmen labirin.


ada  beberapa macam penilaian 


fungsi N. Fasialis, antara lain klasifikasi 


House-Brackmann (label 1].


8) N. VIII (Vestibulokoklearis)


Cedera saraf ini terutama diakibatkan 


oleh trauma tumpul langsung pada 


daerah parietal dan temporal Cedera 


yang terjadi biasanya bersamaan dengan 


para-lisis N. VII akibat trauma yang mengenai kanalis auditorik interna, yaitu 


pada:


a] Fraktur basis kranii


Fraktur tulang temporal paling sering 


diakibatkan oleh trauma tumpul langsung pada tengkorak bagian parietal. 


Fraktur biasanya terjadi di sekitar foramen mayor basis kranii sebab  kapsula 


otik yang meliputi telinga bagian dalam 


sangat tebal. Fraktur biasanya terjadi di 


sekitar akar meatus akustikus eksternus dan berjalan paralel dengan apeks 


petrosus, kemudian menjalar ke bagian 


depan foramen laserum dan arteri karotis. Kadang kala melibatkan regio sendi 


temporomadibular.

 Fraktur longitudinal terjadi antara 70- 


90% dari total fraktur tulang temporal. 


Kurang dari 20% diantaranya berupa 


fraktur transversal, tetapi paling sering 


dikaitkan dengan kerusakan saraf VII 


dan VIII. Biasanya fraktur ini akan melintas daerah telinga dalam, merobek membran labirin dan menimbulkan laserasi 


saraf vestibularis dan koklearis, sehingga memicu hilangnya fungsi vestibular dan koklear secara komplit. Oleh 


sebab  membran timpani umumnya 


tetap intak, mekanisme di atas akan menyebabkan perdarahan tertimbun pada 


daerah telinga tengah.


b) Labyrinthine concussion


Mekanisme ini disebabkan oleh energi 


yang dihasilkan oleh trauma dan kemudian dihantarkan oleh tulang ke koklea 


seperti gelombang tekanan melalui mekanisme konduksi udara. Sesuai dengan 


studi eksperimental pada hewan percobaan, ada  perubahan patologis 


dalam koklea akibat stimulus suara keras. 


Perubahan ini ditandai dengan degenerasi sel rambut dan neuron koklear pada 


tengah koklea dan memicu penurunan pendengaran nada murni. Nada 


yang hilang biasanya pada 4000-8000Hz. Gejala dan tan da Minis:


« Labyrinthine concussion; berupa keluhan 


auditorik dan vestibuler yang menyertai 


fraktur tulang temporal Ketiadaan keluhan dan tanda batang otak, merupakan 


pembeda terhadap cedera perifer dengan sentral. Ketulian mendadak dapat 


terjadi tanpa harus disertai dengan keluhan vestibuler. Hal ini dapat bersifat 


reversibel, baik parsial maupun total.


s Posttraumatic positional vertigo; terjadi 


kurang dari satu menit, namun pasien 


akan merasakan dizziness disertai mual 


dan sempoyongan. Sebuah penelitian 


melaporkan vertigo posisional terjadi 


pada 47% trauma kepala terkait fraktur 


tulang temporal dan 21% trauma kepala 


berat tanpa fraktur tulang tengkorak. 


Mekanisme terjadinya akibat kristal kalsium karbonat terlepas dari makula utrikulus, memasuki kanalis semisirkularis 


posterior.


• Traumatic perilymph fistula; trauma ini 


akan memicu  hilangnya pendengaran, vertigo, atau tinitus segera 


sesudah  trauma kepala, terutama bila gejala berfluktuasi dari waktu ke waktu. 


Trauma ini sebab  disrupsi pada labirin, 


biasanya jendela oval ataupun bulat.


Oleh sebab  itu, perlu dicurigai adanya 


lesi pada N. Vestibulokoklearis terutama pada pasien dengan ditemukannya 


gangguan pendengaran, perdarahan dari 


telinga, otorea CSS, dan gambaran tanda Battle Pemeriksaan otoskopi dapat 


menunjukkan adanya gambaran kerusakan membran timpani, hemotimpanum, atau adanya CSS dalam rongga 


telinga tengah. Pemeriksaan audiometri,


tes kalori (bila tidak ditemukan tandatanda perforasi membran timpani), dan 


brain auditory evoked potential (BAEP) 


dapat dikerjakan bila pasien stabil


9) N. IX, X, XI (Glosofaringeus, Vagus, Asesorius)


Ketiga saraf ini merupakan 'trio saraf 


kranial bawah' yang sering mengalami 


cedera secara bersamaan disebab kan 


kedekatan anatomisnya di foramen jugularis. Cedera ketiganya biasanya berkaitan 


dengan fraktur basis kranii regio posterior, namun jarang terjadi. Cedera N. IX, X, 


XI terutama akibat trauma ekstrakranial 


se-perti trauma tusuk ataupun tembak. 


Adanya mekanisme cedera akibat hiperekstensi leher terkadang juga dapat 


memicu cedera di area craniocervical junction, terutama pada N. IX dan X. 


Insidens lebih tinggi pada cedera kepala 


berat. Cedera N. Asesorius, khususnya 


akibat trauma kepala terhitung jarang 


terjadi. Avulsi yang dapat terjadi lebih 


banyak dikaitkan dengan trauma spinal 


ataupun tindakan operatif.


Gejala-gejala yang dapat dikeluhkan atau 


ditemukan pada pasien dengan cedera 


ketiga saraf kranial ini berupa disfonia, disfagia, hilangnya refleks muntah, 


kelemahan palatum ipsilateral, dan hilangnya kemampuan pengecapan sepertiga posterior lidah. Disfungsi vagal pascacedera (trauma N. Vagus) juga harus 


dicurigai pada pasien dengan pengosongan lambung yang terlambat dan hilangnya respons kardiak terhadap suction


trakeal.


Pasien dengan gejala dan tanda klinis 


ini  perlu dilakukan pemeriksaan memakai  laringoskop indirek untuk menemukan adanya paralisis plika 


vokalis ipsilateral. Dapat juga ditemukan 


klinis sindrom Horner bila cedera mengenai saraf simpatis daerah servikal.


10) N. XII (Hipoglosus)


N. Hipoglosus merupakan salahsatu dari 


saraf kranial yang paling jarang mengalami cedera akibat trauma kepala. pemicu  terseringnya yaitu  akibat trauma 


iatrogenik, terutama pascaoperasi carotid end-arterectomy. Serabut saraf ini 


keluar dari intrakranial melalui kanalis 


hipoglosus, medial dari kondilus oksipitalis. pemicu  akibat trauma biasanya 


akibat hiperekstensi leher dengan atau 


tanpa fraktur tuberkel hipoglosus maupun kondilus oksipitalis.


pemicu  tersering cedera pada N. Hipoglosus yaitu  akibat trauma pembedahan, Tetapi cedera ini dapat disebabkan oleh luka tembak ataupun luka 


tusuk. Keluhan biasanya berupa kesulitan 'mengendalikan' makanan padat di 


dalam mulut dan bicara pelo.


diagnosa  ditegakkan bila didapatkan 


klinis adanya paresis N. Hipoglosus perifen Keadaan ini dibedakan dengan paresis sentral dengan menemukan adanya 


tanda-tanda klinis perifer pada lidah 


berupa papil atrofi (pada onset paresis 


yang subakut-kronis), fasikulasi otot lidah, flaksid, dan lateralisasi lidah ipsilateral trauma bila lidah dijulurkan.


Tata Laksana


Seperti halnya penanganan pada cedera


sistem saraf lainnya, tidak ada tata laksana


yang dinilai cukup efektif terhadap cedera


saraf kranialis. Secara umum penatalaksanaannya dibagi menjadi penatalaksanaan 


medikamentosa dan non-medikamentosa. 


Beberapa cedera saraf kranial dapat dilakukan koreksi dengan tindakan pembedahan 


maupun konservatif,


Tindakan pembedahan biasanya meliputi 


tindakan dekompresi, penyambungan saraf 


yang mengalami avulsi, dan pembedahan 


korektif (seperti pada cedera N. Okulomotorius). Penanganan konservatif meliputi tindakan rehabilitasi-fisioterapi, pemakaian  


penutup mata dan kacamata lensa prisma, 


serta pemakaian  alat bantu dengar.


a. Medikamentosa


1] Kortikosteroid


Kortikosteroid dapat diberikan pada 


trauma akibat benturan, yang pemulihannya tergantung pada fungsi respons imun. Namun ada  beberapa keadaan yang pemberian steroid 


tidak memberikan dampak positif 


yang berarti.


Beberapa kepustakaan menyebutkan 


pemakaian  kortikosteroid pada ITON 


seperti halnya pemberian steroid pada 


cedera medula spinalis, yaitu metilprednisolon dosis tinggi (regimen 


dapat dilihat pada Bab Trauma Medula 


Spinalis). Adapula studi lain yang menyebutkan pemakaian  deksametason 


dengan dosis inisial 0,75mg/kg setiap 


6 jam selama 24 jam.


Steroid diberikan pada paralisis N. 


Fasialis tipe tunda. Seperti halnya 


pemakaian  steroid pada cedera N. 


Optikus, tidak ada pedoman khusus 


pemberian dosis steroid. Beberapa kepustakaanpun menyebutkan tanpa 


pemberian steroid Minis dapat membaik dengan sendirinya.


2) Medikamentosa lainnya


Pada cedera N. Trigeminus yang 


menetap, biasanya pasien akan membutuhkan pengobatan simtomatik 


untuk mengurangi atau menghilangkan gejala hiperalgesia. Dosis dan 


lama pemakaian nya dapat bervariasi pada masing-masing individu. 


}enis obat-obatan yang dipakai  biasanya merupakan golongan antikonvulsan dan adjuvan. Dosis pemberian 


dimulai dari dosis terkecil disebab kan golongan antikonvulsan berisiko 


menimbulkan efek samping. jika 


pemakaian  antikonvulsan dan ajuvan 


yang tidak berhasil pada hiperalgesia 


N. Trigeminus, dapat dipertimbangkan tindakan ablasi ganglion.


Adanya tuli sensorineural terkait 


cedera N. Vestibulokoklearis biasanya akan sulit mengalami pemulihan, 


terutama bila ketulian sampai dengan nol. Tinitus dan manifestasi Minis vertigo (pusing berputar/bergoyang, mual, muntah) biasanya dapat 


sembuh total. Jika keluhan menetap, 


dapat dipertimbangkan pemakaian  


vestibulosupresan (regimen dapat 


dilihat pada bab Vertigo Perifer].


b. Nonmedikamentosa


Pada cedera saraf kranialis okulomotor (N. Ill, N. IV, dan N. VI], dipakai  


penutup mata secara bergantian dari 


satu mata dengan mata yang lain. Selain 


itu, dapat dipakai  lensa prisma untuk


mengoreksi keluhan diplopia. Tindakan 


pembedahan dapat menjadi pilihan bila 


pemulihan tidak sempurna.


Tindakan dekompresi merupakan pilihan utama pada cedera N. Fasialis segera 


dan N. Trigeminus, tetapi prognosis perbaikannya tergantung dari berat-ringannya cedera saraf yang terjadi. Jika telah 


terjadi avulsi saraf, paralisis yang terjadi 


biasanya menetap.


B. Bangkitan Pascacedera Kepala


Bangkitan pascacedera kepala (posttraumatic seizure/PTS] biasanya berkaitan dengan 


cedera kepala berat dan dapat terjadi segera 


sesudah  cedera maupun tertunda. Bangkitan 


yang terjadi segera sesudah  trauma kepala 


dalam waktu 24 jam memerlukan terapi medikamentosa segera.


Insidens terjadinya epilepsi pascacedera 


kepala berat tanpa disrupsi duramater 


berkisar antara 7-39%. Angka ini dapat 


lebih tinggi pada kondisi cedera kepala yang 


disertai disrupsi duramater, yaitu sekitar 


20-57% . Berikut yaitu  faktor-faktor yang 


berhubungan dengan pe-ningkatan insidens 


terjadinya epilepsi tunda (Tabel 2): Patofisiologi


Bangkitan yang terjadi segera sesudah  adanya 


cedera kepala (dalam 24 jam) dipikirkan sebagai bangkitan akibat gegar [convulsive concussion), Keadaan ini terjadi sebab  adanya 


mekanisme trauma singkat pada otak yang 


memicu gangguan inhibisi kortikal dan 


bukan merupakan peristiwa epileptik.


Epileptogenesis pascacedera kepala terjadi 


akibat adanya perubahan molekular dan seluler sesudah  adanya cedera jaringan otak. Kejadian ini yang akhirnya meningkatkan proses 


eksitabilitas. Cedera kepala akibat trauma 


tembus akan memicu terbentuknya sikatriks pada lapisan korteks dan berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya 


epilepsi sampai dengan 50%. Mekanisme 


awalnya akan terjadi disrupsi jaringan disertai proses iskemik dan perdarahan.


Pada cedera otak nonpenetratif, seperti 


kontusio fokal dan perdarahan intrakranial, 


epileptogenesis sebagian terjadi akibat adanya efek toksik dari pemecahan produk hemoglobin terhadap fungsi neuron. Cedera 


kepala tertutup akan memicu cedera 


aksonal difus disertai peregangan akson, 


edema difus, dan iskemia. Lokasi yang paling sering terlibat yaitu  di gray-white


matter junction terutama daerah frontal dan 


temporal.


Proses ini  di atas akan memicu 


pelepasan asam amino, sitokin, lipid bioaktif, dan mediator toksik lainnya, sehingga 


memicu cedera seluler sekunder, Epileptogenesis diduga dipicu oleh hilangnya 


tipe sel tertentu dan reorganisasi neuronal. 


Peristiwa ini  tidakhanya mempertinggi kejadian eksitasi, tetapi juga menurunkan 


ambang inhibisi yang akhirnya mengakibatkan hipersinkronasi.


Peningkatan sitokin proinflamasi dan aktivasi imun pada akhirnya akan menyebabkan serangkaian proses termasuk di dalamnya kematian sel, terbentuknya kaskade 


inflamasi, dan transkripsi gen baru. Proses 


ini terjadi sesudah  beberapa hari sampai 


dengan minggu, memicu terbentuknya tunas aksonal, dan modifikasi dendritik.


Gejala dan Tanda Klinis


Bentuk bangkitan pascacedera kepala dapat 


berupa bangkitan fokal maupun umum. Berdasarkan studi Wiedemayer dkk, sebagian 


besar bentuk bangkitan pascacedera kepala 


berupa bangkitan umum (63,3%]. Early-PTS 


dapat terjadi berulang pada 53,2% masalah . 


Adanya bangkitan ini dapat memicu 


peningkatan morbiditas