MRI [Gambar 3), dapat dipertimbangkan pada pasien dengan defisit neurologis yang jelas tetapi tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan radiologis
sebelumnya ([spinal cord injury without radiological abnormality/SCIWORA) Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kecurigaan abnormalitas jaringan lunak, seperti herniasi diskus, ekstraaksial
hematom, dan abnormalitas ligamen.
Akan tetapi mempertimbangkan prosedur
pemeriksaan MRI yang sulit dilakukan
dan berisiko, maka MRI sebaiknya dilakukan secara elektif.
TATA LAKSANA
Seperti halnya penegakan diagnosa , konsep
penanganan cedera medula spinalis yaitu
semua korban trauma harus dicurigai mengalami dan ditangani sebagai masalah cedera
medula spinalis sampai terbukti tidak adanya cedera. Selama belum terbukti tidak ada
cedera, pada saat pemeriksaan pasien harus
dilakukan imobilisasi untuk menghindari
cedera sekunder.
ada tiga tujuan utama yang perlu dicapai dalam tata laksana cedera medula spinalis, yaitu maksimalisasi pemulihan neurologis, stabilisasi spinal, dan rehabilitasi. Untuk
itu, ada alur tata laksana yang dimulai
sejak tahap pra-RS (prehospital), tahap RS (hospital), dan rehabilitasi pascacedera yang
berkesinambungan.
T a ta L a k s a n a P ra -R S (prehospital)
ada 10-25% pasien cedera medula
spinalis yang mengalami defisit neurologis
akibat tata laksana prarumah sakit yang tidak mumpuni. Penanganan tahap ini berperan penting dalam menentukan prognosis
pasien trauma medula spinalis.
Dibutuhkan koordinasi yang baik antara
petugas di tempat kejadian dan rumah sakit
tujuan. Rumah sakit tujuan harus dipastikan
dapat melakukan tata laksana Ianjutan pada
pasien sebelum dilakukan transfer pasien.
Informasi yang penting diketahui antara
lain yaitu keadaan pasien, waktu terjadinya trauma, dan mekanisme trauma.
Penekanan yang diutamakan pada tahap
prarumah sakit yaitu 1) imobilisasi
pasien; 2] penjagaan jalan napas; 3) kontrol
perdarahan dan syok; dan 4] transfer pasien
ke rumah sakit dengan fasilitas memadai sesegera mungkin.
1. Im obilisasi Pasien
Upaya imobilisasi pada tahap prarumah
sakit, meliputi imobilisasi area servikal dan
sepanjang tulang belakang (Gambar 4).
a. Imobilisasi area servikal
Tata laksana yang dapat dilakukan
untuk melindungi dan imobilisasi
area servikal, antara lain:
• Stabilisasi manual dengan memposisikan kepala sedikit ekstensi dan
minimal distraksi, untuk mencegah
terjadinya fleksi dan kompresi spinal
yang lebih Ianjut,
® Memasangkan bidai servikal, atau
® memakai sand bag atau towel
roll pada sisi lateral atau dengan
mengikat (taping) kepala pada spine
board.
Kelebihan dalam pemakaian bidai servikal yaitu manipulasi minimal pada leher
saat pemasangannya. Bidai servikal dapat
dijadikan sebagai penanda bahwa ada
risiko cedera servikal yang belum dapat
disingkirkan. Kombinasi dengan cara lain,
misalnya taping, dapat lebih memfiksasi
leher (Gambar 4).
Yang perlu diperhatikan dalam metode
taping yaitu agitasi pasien. Pasien
dengan agitasi dapat bergerak-gerak
yang dapat menimbulkan cedera spinal
sekunder. Taping daerah dada sebaiknya
diminimalisasi sebab mengurangi ruang gerak rongga paru, Taping pada posisi terlentang (supine) meningkatkan
risiko terjadi bronkopneumonia aspirasi.
pemakaian sandbag dipikirkan lebih
aman dibandingkan taping sebab tidak
mengganggu jalan napas tetapi dapat
meminimalisasi timbulnya gerakan yang
tidak diinginkan. Sandbag direkomendasikan pada pemindahan pasien pada
keadaan yang tidak memungkinkan
de-ngan spine board. Selain keadaan
ini , sandbag kurang praktis untuk
dipakai . Minimalisasi gerakan lateral kepala pun dapat dilakukan dengan
pengaplikasian towel roil pada kedua sisi
kepala. Sebaiknya pengaplikasian sandbag
atau towel roll tanpa dikombinasikan dengan taping atau pelindung leher tipe rigid.
Pada pasien trauma yang memakai
helm, dapat dipertimbangkan untuk tidak melepaskan helm selama dilakukan
tata laksana awal kecuali ditemukan adanya
gangguan jalan napas pada pasien. Walaupun hal ini berisiko terjadinya
fleksi leher yang mengacu pada kejadian
perdarahan yang mengancam nyawa,
pelepasan helm oleh tenaga yang kurang
terampil dapat memberikan cedera
yang lebih buruk pada region servikal.
Pelepasan helm sebaiknya dilakukan
oleh dua orang sesuai dengan prosedur
dari American College o f Surgeon.
b. Imobilisasi sepanjang tulang belakang
Imobiiisasi tulang belakang bertujuan
untuk meminimalisir gerakan serta
menjagakesejajaran (alignment) tulang
belakang dengan memakai spine
board. Spine board tidak diperuntukkan untuk pemakaian jangka panjang
sebab berisiko terjadinya dekubitus
akibat penekanan berlebih di bagian
sakrum, belikat, tumit, dan oksipital
2. T in d ak an R esu sitasi
Tindakan resusitasi pada tahap pra-RS,
meliputi penjagaan jalan napas dan
kontrol perdarahan serta syok, dengan
tetap mengutamakan imobilisasi pasien.
Protokol tindakan resusitasi ini telah dire ko me ndasikan oleh American College
o f Surgeon.
a. Penjagaan jalan napas dan ventilasi
Penjagaan jalan napas wajib dilakukan
pada seluruh pasien trauma terutama
yang mengalami penurunan kesadaran. Pasien dengan jalan napas yang
tidak adekuat akan mengalami gangguan ventilasi yang akan berlanjut
pada kurangnya oksigenasi jaringan
jika terjadi dalam waktu yang lama.
Pembukaan jalan napas pada pasien
dengan trauma spinal prarumah sakit
dapat dilakukan dengan manuver jaw
thrust untuk meminimalisasi pergerakan leher. Pemasangan nasopharyngeal airway atau oropharyngeal airway
dapat dilakukan untuk menjaga jalan
napas tetap terbuka, namun perlu diperhatikan bahwa pemakaian ini
dapat menginduksi refleks muntah dan
memberikan efek agitasi pada pasien.
Pembukaan jalan napas definitif
dilakukan bila alat pembuka jalan
napas sementara tidak adekuat.
Dapat dipertimbangkan tindakan
krikotiroidektomi emergensi atau
trakeostomi definitif di rumah sakit
bila kondisi tidak memungkinkan untuk diintubasi.
Ventilasi adekuat dilakukan sesudah
jalan napas dipastikan adekuat. Perlu
diperhatikan ada-tidaknya kegagalan
respirasi pada pasien trauma medula
spinal. Kondisi ini ditandai oleh adanya gerak dinding dada paradoksikal,
serta kapasitas vital paru yang dipengaruhi oieh postur tubuh pasien.
Posisi tegak dan Tredelenburg sebaiknya dihindari pada pasien cedera medula spinalis dengan Minis tetraplegia.
Hal ini berkaitan dengan tertariknya
diafragma oleh organ-organ abdomen ke arah kaudal atau terdorong
ke arah rostral, sehingga mengganggu
kapasitas vital pasien.
b. Kontrol perdarahan dan renjatan
Renjatan hipovolemik pada trauma
spinal merupakan hal yang rumit.
Kondisi hipotensi dapat ditemukan
tanpa disertai dengan adanya hipoperfusi, atau disebut juga renjatan spinal.
Cedera setinggi segmen servikalis
atau torakalis tinggi dapat dijumpai
hipotensi dan bradikardi, Keadaan ini
dapat terjadi akibat adanya renjatan
spinal, sehingga tidak disarankan untuk dilakukan resusitasi cairan berlebihan.
Tata L ak san a di Hu m all Sakit
i , P en an g an an g aw at d a ru ra t
Penanganan gawat darurat pasien cedera
medula spinalis di unit gawat darurat RS
tergantung pada penanganan pertama
pra-RS. Apabila pasien belum mendapat pra-RS sebelumnya, maka protokol
penanganan gawat darurat cedera medula spinalis harus dilakukan dari awal.
Berbeda jika pasien telah mendapat
penanganan prarumah sakit yang tepat,
maka langkah-langkah dalam protokol
dapat dilewati atau dimodifikasi sesudah
memastikan kembali bahwa tindakan
yang dilakukan sebelumnya tepat dan
keadaan-keadaan yang mengancam
nyawa sudah ditangani.
a. Imobilisasi
Imobilisasi pada tahap rumah sakit
merupakan lanjutan dari tata laksana
prarumah sakit. Pasien yang datang
dalam keadaan terimobilisasi dengan
spine board dan pelindung leher sebaiknya dipindahkan segera mengingat tindakan imobilisasi juga memberikan
risiko komplikasi. Sebaiknya penilaian
dan pemeriksaan penunjang lengkap
dilakukan dalam waktu tidak lebih dari
dua jam. Apabila dalam dua jam tidak
tercapai, sebaiknya mobilisasi terkontrol
tetap dilakukan dengan memperhatikan
kesegarisan tulang belakang.
b. Primary survey
Tindakan primary survey merupakan
evaiuasi uiang dari tindakan prarumah
sakit (Tabel 4). Primary survey tetap dilakukan walaupun sudah dilakukan se-
, belum tiba di rumah sakit.
c. Secondary survey dan pemeriksaan
neurologis
sesudah primary survey pasien dinyatakan
aman, maka pemeriksaan dilanjutkan ke
secondary survey, meliputi anamnesis dan
pemeriksaan dari kepala hingga ujung
kaki, termasuk pemeriksaan neurologis
lengkap (Tabel 5]. Tindakan secondary
survey ini bertujuan untuk mencari tandatanda cedera medula spinalis secara klinis.
d. Medikamentosa akut
Obat-obatan yang dapat diberikan sebagai pengobatan akut, antara lain:
• Glukokortiko steroid do sis tinggi
Studi oleh NASCISII menghasilkan bahwa pemberian metilprednisolon dosis
tinggi dalam 24 jam pertama memberikan perbaikan fungsi motorik yang
signifikan dibandingkan kelompok
kontrol (plasebo atau nalokson). Penelitian ini telah dikembangkan
dan saat ini sudah ditetapkan metilprednisolon dosis tinggi dalam 8 jam
pertama sebagai tata laksana standar
pasien cedera medula spinalis. Cara
pemberian sebagai berikut:
Pasien onset <3 jam diberikan metilprednisolon 30mg/kgBB IV bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit (tidak diberikan metilprednisolon
dalam kurun waktu ini}. Dilanjutkan
dengan infus terus menerus selama 23
jam dengan dosis 5,4mg/kgBB/jam.
- Pasien onset 3-8 jam, diberikan dengan cara yang sama namun dosis infus dilakukan selama 47 jam.
- Bila diagnosa baru ditegakkan >8 jam,
maka pemberian steroid tidak dianjurkan.
© Opiat reseptor antagonis
© Nonglukokortikoid steroid tirilazad
© Monosialoganglioside (GM-l}
1. P era w a ta n in ten sif
Perawatan penderita cedera medula spinalis di ruang rawat intensif ditekankan
pada upaya mempertahankan pasien
tetap imobilisasi dan mengevaluasi masalah neurologis maupun kesehatan lain
yang mungkin timbul sebagai keadaan
primer maupun sekunder akibat upaya
imobilisasi sendiri. Insiden morbiditas
dan mortalitas pasien cedera medula
spinalis lebih tinggi terjadi pada dua
minggu awal pascacedera.
Kriteria tempat tidur yang sesuai dalam
perawatan pasien cedera medula spinalis, antara lain 1) dapat menunjang stabilitas dan kesegarisan tulang belakang;
2} nyaman dan berisiko rendah
ulkus dekubitus; 3} memudahkan akses
perawatan; dan 4} memudahkan upaya
reposisi pasien untuk mencegah komplikasi imobilisasi.
a. Perawatan masalah kesehatan yang
mungkin muncul
Selama perawatan di rumah sakit, pasien
cedera medula spinalis dapat mengalami
beberapa komplikasi akut atau subakut
(Tabel 6 dan 7). Hal ini harus diperhatikan
oleh klinisi. Komplikasi ini bisa mengenai
sistem kardiovaskular, pernapasan, dan saluran cerna.
a] Perawatan masalah kardiopulmoner
Masalah kardiopulmuner dapat terjadi pada cedera medula spinalis
sebab gangguan sistem saraf otonom simpatis dan parasimpatis serta
pasien yang dalam kondisi imobilisasi. Proses cedera pada segmen
servikal hingga torakal atas (T4)
memicu hilangnya efek simpatis akibat cedera medula spinalis,
sehingga resistensi vaskular sistemik
menurun dan efek parasimpatis meningkat. Hal ini disebut juga renjatan
neurogenik. Manifestasi klinis yang
dijumpai yaitu hipotensi dengan
selisih tekanan sistolik dan diastolik
yang lebar (wide pulse pressure), bradikardia, serta ekstrimitas yang hangat.
Hal ini berbeda dengan tanda renjatan
pada umumnya yang ditandai dengan
takikardia, hipotensi dengan selisih
tekanan sistolik dan diastolik yang
sempit (narrow pulse pressure), serta
ekstrimitas yang dingin dan pucat.
Penanganan awal renjatan neurogenik yaitu resusitasi cairan kristaloid
intravena untuk menjaga kecukupan
volume intravascular. Jika hipotensi
tetap terjadi sesudah resusitasi, maka dapat dipertimbangkan pemakaian
vasopresor. Pemilihan regimen vasopresor yang terbaik hingga saat ini
masih dalam penelitian, tetapi lebih
diutamakan yang memilki aktivitas
alfa dan beta adrenergik, misalnya
norepinefrin, dopamin, dan adrenalin.
Bila pasien mengalami renjatan hipovolemik, maka terapi utamanya yaitu
resusitasi cairan dengan kristaloid
(NaCl 0,9% atau ringer laktat). Kombinasi dengan koloid, misalnya albumin
5%, dapat juga dipertimbangkan pada
kemungkinan kondisi overload serta
adanya kontraindikasi pemakaian
kristaloid pada cedera kepala. Pemantauan saturasi oksigen memakai
oksimeter [pulse oximeter) perlu dilakukan selama perawatan.
Selain hipotensi, cedera medula spinalis pada segmen servikal dan torakal
atas dapat memicu disritmia
jantung. Sinus bradikardia yang timbul akibat gangguan simpatis supraspinal merupakan bentuk disritmia
yang paling sering terjadi. Selain itu,
blok konduksi atrioventrikular (A-V
block) serta takikardia supraventrikel
dan ventrikel juga dapat ditemukan.
Timbulnya disritmia ini lebih sering
terjadi pada cedera medula spinalis
yangkomplet (ASIA/IMSOP derajat A).
Bradiaritmia dapat diatasi dengan
pemberian atrofin. Sebagian kecil pasien
memerlukan pemasangan pacu jantung
untuk mengontrol denyut jantungnya. Bila
hal ini disertai hipotensi, pemakaian vasopresor yang hanya memiliki aktivitas alfe
adrenergik, seperti fenilefrin, sebaiknya
dihindari sebab dapat memicu perlambatan kerja jantung dan eksaserbasi
bradikardia.
Gangguan pernapasan sekunder terjadi akibat fungsi otot-otot interkostalis
terganggu pada cedera medula spinalis
servikal, sehingga terjadi gangguan refleks batuk. Pasien menjadi tidak mampu membersihkan sekresi mukus dan
rentan mengalami retensi mukus berulang. Penggunakan tracheal bronchial
suctioning berkala, pulmonary toilet,
dan fisioterapi dada direkomendasikan
untuk masalah ini. Selain itu dapat terjadi atelektasis sebagai salah satu predisposisi pneumonia. Kombinasi gangguan refleks batuk dan atelektasis akan
meningkatkan risiko pneumonia. Oleh
sebab itu, pemberian antibiotik dapat
dipertimbangkan sesuai dengan pola kuman di RS. Pasien juga berisiko mengalami aspirasi terutama bila tidak terintubasi. Salah satu cara pencegahan aspirasi
yaitu pemasangan pipa nasogatrik dan
dilakukan suctioning berkala.
Pasien dengan ventilator harus diperhatikan antara kebutuhan terhadap
ventilator dan kondisi kemampuan pernapasan pasien sendiri. Penyapihan dari
ventilator harus segera dilakukan bila
fungsi pernapasan pasien kembali membaik, mengingat pemakaian ventilator
juga meningkatkan risiko masalah pernapasan sekunder, seperti ventilator acquired pneumonia (VAP), trakeomalasia,
sinusitis, dan intoksisitas oksigen.
b) Trombosis vena dalam
Kejadian trombosis vena dalam dan emboli paru merupakan dua kemungkinan
komplikasi yang harus diwaspadai selama perawatan penderita cedera medula spinalis. Sebanyak 15% penderita
cedera medula spinalis mengalami trombosis vena dalam dan setengah di antaranya menjadi emboli paru. Oleh sebab
itu, upaya pencegahan diutamakan dan
harus dilakukan sedini mungkin. Upaya
yang dapat dilakukan, di antaranya (1)
pemakaian compression stocking; (2)
pemberian heparin dosis rendah; atau
(3) pemasangan filter vena cava inferior
pada masalah kontraindikasi heparin yang
masih harus imobilisasi dalam jangka
waktu yang cukup lama. Selain itu,
upaya mobilisasi penderita segera juga
merupakan langkah untuk menghindari
komplikasi trombosis vena dalam.
c) Perawatan masalah sistem pencernaan
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu
gangguan saluran pencernaan, yaitu salah
satunya ileus. Salah satu gejala ileus yaitu
distensi abdominal yang akan mempengaruhi kinerja diafragma sehingga
mempengaruhi fungsi pernapasan dan
meningkatkan risiko pneumonia aspirasi.
Tata laksana akut untuk masalah ileus
yaitu kompresi dengan pipa nasogastrik atau orogastrik.
Adanya risiko perdarahan saluran cerna
pada penderita cedera medula spinalis diperberat dengan intervensi pengobatan,
misalnya pada pemberian steroid dosis
tinggi. Pilihan agen profilaksis yang dapat
diberikan, antara lain (1) antasid oral dosis
tinggi; (2) penyekat H2; atau (3} pelindung
mukosa. pemakaian kombinasi dua obat
disarankan untuk pencegahan komplikasi
perdarahan saluran cerna pada pasien
dengan riwayat ulkus saluran cerna.
Selain kedua hal di atas, kebutuhan energi
tidak kalah penting untuk diperhatikan.
Kebutuhan kalori akan meningkat pada
beberapa hari pertama pascacedera.
Oleh sebab itu, penurunan berat badan
penderita cedera medula spinalis pada
minggu-minggu awal perawatan menjadi tidak dapat dihindarkan. Pemberian
nutrisi yang tepat dapat mencegah malnutrisi pada masalah ini.
Terputusnya persarafan otonom kolon
dan rektum dan persarafan volunter otot
din-ding perut dan pelvis memicu
kesulitan defekasi. Jika tidak ditangani dengan tepat, maka impaksi feses dapat terjadi. Penanganan masalah ini dengan
pemberian tambahan asupan makanan
tinggi serat (10-20g per hari] dan agen
pelunak feses. Agen pelunak feses dapat
diberikan secara oral Qaktulosa) maupun
supositoria (gliserin). Selain itu, evakuasi
digital dapat dipertimbangkan 2-3 kali
dalam seminggu sebagai tata laksana akut d) Perawatan masalah berkemih
Gangguan berkemih yang sering ditemukan pada masalah cedera medula spinalis,
antara lain (1) retensi urin disertai distensi berlebih kandung kemih dan (2}
priapismus yang sering ditemukan pada
pasien laki-laki. Retensi urin pada penderita cedera medula spinalis dapat diakibatkan oleh (1) kelemahan otot detrusor; (2) hiperaktivitas sfingter, atau (3)
kerja kandung kemih dan sfingter yang
tidak sinergi dalam bentuk lain.
Apapun masalah yang mendasarinya,
tata laksana akut dari retensi urin yaitu
pemasangan kateter urin. Pemasangan
kateter urin indwelling direkomendasikan hingga kondisi stabil, dilanjutkan
dengan pemasangan kateter intermiten
setiap 6 jam. Pemasangan pipa suprapubik dapat dilakukan pada kondisi
priapismus untuk menghindari cedera
sekunder saluran kemih. Penanganan selanjutnya tergantung dari hasil pemeriksaan urodinamik.
2. Tata laksana operatif
Tujuan utama pembedahan yaitu
melakukan dekompresi terhadap medula spinalis dan melakukan stabilisasi
tulang belakang. Operasi pada pasien
cedera medula spinalis diindikasikan
pada keadaan-keadaan sebagai berikut:
• ada fraktur, pecahan tulang
menekan medula spinalis
® Gambaran neurologis progresif memburuk
• Fraktur dan dislokasi yang labil
• Herniasi diskus intrevertebralis yang
menekan medula spinalis
Prognosis penderita sangat tergantung
dari berat cedera dan lamanya pertolongan hingga tindakan pembedahan. Tindakan operatif dapat dilakukan
dalam rentang waktu 24 jam hingga 3
minggu pascacedera namun tindakan
operatif dini (<24 jam) lebih bermakna
dalam menurunkan risiko komplikasi
dan perburukan neurologis.
Tata Laksana Rehabilitatif
Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan
kualitas individu yang mengalami gangguan
secara optimal dalam bidang mental, fisik,
kognitif, dan sosial. Proses rehabilitasi pada
pasien cedera medula spinalis yaitu untuk:
® Memberikan pengertian mengenai cedera
medula spinalis kepada pasien dan keluarga.
® Memaksimalkan fungsi mobilisasi dan kemampuan perawatan diri [kemandirian]
pasien.
® Mencegah masalah kesehatan komorbid,
seperti kontraktur, luka decubitus, masalah pernapasan, dan seterusnya.
Pencapaian ini melibatkan kerjasama multidisiplin, yang dimulai sejak tahap akut, perawatan, hingga sesudah
perawatan. Adapun tindakan-tindakan
rehabilitasi sendiri, meliputi fisioterapi,
terapi okupasi, latihan miksi dan defekasi rutin, terapi psikologis, dan, konseling.
CONTOH masalah
Wanita usia 39 tahun datang dengan keluhan
utama kelemahan keempat ekstremitas sejak
1 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien
diketahui mengalami kecelakaan lalu lintas 1
jam sebelum masuk 1GD. Pasien mengendarai
sepeda motor dengan kecepatan 20-30km/
jam. Pasien diserempet dari belakang dan ke-
mudian terjatuh ke arah depan dengan posisi
tertelungkup dengan dagu terkena aspal dan
helm terlepas. Pasien terseret beberapa meter ke depan. Pasien sadar dan ingat semua
kejadian sebelum, saat, dan sesudah kecelakaan. Tidalt ada darah yang keluar
dari telinga dan hidung. Pasien menyangkal
adanya benturan pada kepala.
Sesaat sesudah kejadian, pasien mengeluhkan nyeri hebat pada pada leher belakang
disertai dengan kelemahan pada kedua
tangan dan kaki. Kedua lengan masih dapat
digeser, siku dapat ditekuk, jari-jari tangan
masih dapat digerakkan, lengan kiri terasa
lebih berat jika dibandingkan dengan lengan kanan, Kedua kaki sama sekali tidak
dapat digerakkan. Pasien juga m eras a baal
dari setinggi bahu sampai tubuh bagian
bawah dan ekstremitas bawah.
P erta n y a a n :
1. Ananmnesis apa yang masih kurang?
2. Apa saja pemeriksaan fisik yang akan
dilakukan dan apa hasil yang diharapkan?
3. Pemeriksaan penunjang apa yang
akan dilakukan dan apa hasil yang
akan diharapkan?
4. Apa diagnosa dan diagnosa banding
masalah ini?
5. Apa tata laksana medikamentosa dan
non-medikamentosa yang akan dilakukan?
6. Bagaimana prognosis wanita pada
masalah ini?
KOMPLIKASI PASCACEDERA KEPALA
Komplikasi pascacedera pada masalah -masalah
neurologi dapat terjadi segera ataupun kemudian, Kerusakan sekunder sel saraf akibat cedera kepala traumatik dapat ter] ad i
dalam hitungan menit hingga hitungan hari
sesudah cedera awal. Setiap kali jaringan
saraf mengalami cedera, serangkaian perubahan terjadi pada kompartemen intra
maupun ekstraselular. Perubahan inilah
yang pada akhirnya akan menimbulkan
komplikasi akut maupun kronis. Semakin
berat cedera, tentunya akan meningkatkan
risiko serta besar masalah komplikasi yang
terjadi.
Secara garis besar, komplikasi pascacedera di
bidang neurologi terbagi menjadi komplikasi
neurologis yang terdiri dari komplikasi kognitif dan nonkognitif, serta komplikasi metabolik. Komplikasi metabolik yang sering
muncul dan menimbulkan gangguan yaitu
hiponatremia dan koagulopati pascacedera
yang akan dibahas dalam bab ini.
KOMPLIKASI NEUROLOGIS
1. Komplikasi Kognitif Pascacedera Kepala
Masalah neurobehavior sering terjadi sesudah
cedera kepala, di antaranya gejala neuropsikiatrik, masalah kognitif, dan agresi. Gangguan kognitif sering terjadi sekitar 40-60%
dalam 1 sampai 3 bulan pascacedera. Jenis gangguan ini berbeda-beda tergantung
dari berat-ringannya cedera, tetapi secara
umum dibagi menjadi adanya perubahan
ke-sadaran, gangguan atensi/konsentrasi,
memori, dan fungsi eksekutif. Gangguan
atensi, kecepatan proses pikir, memori
episodik, dan fungsi eksekutif merupa-kan
gangguan yang paling sering terjadi pada
periode cedera subakut
Gangguan kognitif merupakan sekuele yang
akan menghambat proses rehabilitasi dan
penyembuhan serta memengaruhi keluaran yang buruk. Hal ini dapat mengganggu
kualitas hidup, kemampuan kembali kerja
dan h'ilangnya produktivitas, serta hilangnya komunikasi terhadap keluarga.
Patofisiologi
Trauma kepala memicu otak bersentuhan dengan tulang tengkorak atau objek luar,
akibat proses akselerasi-deselerasi (Gambar 1). Momen inersia akibat mekanisme
akselerasi-deselerasi berhubungan dengan
tarikan, robekan, dan penekanan yang menyebabkan kerusakan akson.
Cedera akibat mekanisme ini terjadi
segera (cedera primer) dan berlangsung seterusnya, sehingga memicu pelepasan
neurotransmiter yang dipicu oleh kaskade
kerusakan eksitotoksik dan hal lain, seperti
hipoksia, edema, dan peningkatan tekanan
intrakranial (cedera sekunder). Lokasi yang
paling sering terlibat dalam cedera kepala
yaitu lobus temporal anterior, inferior,
dan lateral, serta lobus frontal. ada
keteriibatan perubahan neurotransmiter
pada sekuele neurobehavior, termasuk
gangguan fungsi kognitif. Perubahan yang
terjadi melibatkan katekolamin, kolinergik,
dan serotonin.
Area frontal-subkortikal dengan tiga
sirkuit utamanya berperan penting pada
pengaturan perilaku. Area ini tumpang
tindih dengan area yang rentan terhadap
cedera yang memicu perubahan
perilaku dan emosional pascacedera (Gambar 2). Setiap sirkuit memulai perjalanannya dari korteks di frontal dan diproyeksikan secara sekuensial ke striatum, globus
palidus, talamus, dan kembali ke korteks
fronatal.
Sirkuit yang terlibat yaitu (Gambar 3):
® Frontal/prefrontal-subkotikal dorsolateral akan mengganggu fungsi eksekutif
seperti memori, pengambilan keputusan, penyelesaian masalah, dan fleksibilitas mental.
® Orbitofrontal-subkortikal lateral akan
mengganggu intuisi, perilaku sosial, dan
mekanisme konrol diri.
® Medial frontal-subkortikal anterior akan
memicu gangguan motivasi dan
inisiasi. Gejala dan Tanda Klinis
Modalitas atau ranah (domain) kognitif dibagi menjadi atensi, fungsi eksekutif, memori,
bahasa, visuospasial-visuokonstruksi, dan
keterampilan motorik serta persepsi sensorik. Gangguan fungsi kognitif pada cedera
kepala dapat berupa cedera difus atau fokal
tergantung dari mekanisme cedera. Cedera
otak difus sering mengikuti cedera otak tertutup akibat mekanisme akselerasi-deselerasi, akan melibatkan banyak ranah kognitif. Gangguan yang bersifat fokal biasanya
akibat cedera kepala penetrasi/laserasi.
Ranah kognitif yang terganggu mengikuti
cedera kepala:
1. Atensi dan kecepatan proses pikir
Gangguan atensi sering mengikuti cedera
kepala dan berkaitan dengan kerusakan
difus atau struktur dan sistem otak multipel termasuk korteks parietal inferior,
korteks frontal, dan sistim limbik. Walaupun ada banyak tipe atensi, yang
paling sering terkena yaitu atensi fokus/
selektif, sustained attent/on/konsentrasi,
atensi terbagi (distrakbilitas), dan alternating attention/set shifting (kesulitan
melakukan tugas jamak pada satu waktu).
Renting untuk menilai kemampuan atensi
sebab gangguan atensi mempunyai efek
pada kemampuan kognitif lain, terutama
memori dan fungsi eksekutif.
2. Memori
Gangguan memori merupakan salah satu
gangguan tersering pada cedera kepala,
dan hal ini berkaitan dengan kerusakan
lobus temporal medial, struktur talamus
medial dan garis tengah, basal frontal,
serta sistem koneksi frontal. Perbedaan
antara amnesia anterograd dan retrograd
penting pada klinis. Amnesia anterograd
atau posttraumatic amnesia (PTA) merupakan ketidakmampuan atau terbatasnya
kemampuan untuk mempelajari informasi baru atau pengetahuan sejak terjadinya
cedera otak, sedangkan amnesia retrograd merupakan ketidakmampuan untuk
memanggil [recall] kejadian yang mendahului onset cedera otak. Fungsi memori
yang sering terganggu yaitu proses
memori deklaratif, seperti recall kejadian
dan waktu, serta subranah yang berkaitan
seperti encoding dan retrieval.
3. Fungsi eksekutif
Gangguan fungsi eksekutif dapat meliputi, (1] gangguan kemampuan penalaran/
reasoning [diperlukan untuk mengambil
keputusan), [2] perencanaan, [3] inhibisi, (4) organisasi, dan (5) sequencing.
Gangguan fungsi eksekutif (sindrom
diseksekutif) pada awalnya dipikirkan
merupakan kerusakan iobus frontal,
namun berdasar penelitan saat ini
gejala lobus frontal dapat terjadi pada
kerusakan area lain yang mempunyai
hubungan dengan lobus frontal. Hilangnya inisiasi dan motivasi, apati, serta
hilangnya kemampuan tilikan (insight')
juga berkaitan dengan gangguan fungsi
eksekutif yang memicu masalah
keluarga dalam proses rehabilitasi.
Pemeriksaan N eurobehavior
1. Pra-tata laksana
Derajat keparahan cedera otak, prediksi
prognosis jangka pendek dan panjang,
dapat ditentukan oleh durasi PTA. PTA
dan gangguan orientasi dapat dinilai
dengan pemeriksaan Tes Orientasi dan
Amnesia Galvaston (TOAG]. Pada pasien
rawat inap yang sudah pulih kesadarannya, harus dilakukan pemeriksaan TOAG
serial (harian) sampai mencapai nilai
minimal 75 untuk memperkirakan durasi PTA. Hasil pemeriksaan klinis ini diselaraskan dengan gambaran pencitraan
untuk menilai keparahan cedera kepala.
2. Pascacedera
Pemeriksaan kognitif dengan MMSE dan
frontal battery assessment (F8A) diperlukan untuk menentukan strategi restorasi
kognitif.
diagnosa dan diagnosa Banding
Evaluasi menyeluruh merupakan prasyarat
sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap gangguan fungsi kognitif pascacedera. Harus dipastikan bahwa gangguan
ini memang terkait cedera otak, bukan
oleh pemicu lain sebab gangguan kognitif yang terjadi pada masa akut dan kronik
sesudah cedera kepala dapat disebabkan dan
dipengaruhi oleh faktor lain, seperti:
© Fungsi kognitif dan intelektual premorbid
© Penyakit neurologis lain
© Masalah metabolik yang menyertai
© Masalah psildatrik
® Adanya riwayat pemakaian atau penghentian tiba-tiba obat dan zat adiktif
® Malingering
Selain melakukan pemeriksaan klinis, baik
anamnesis maupun pemeriksaan fisik serta
neuropsikologik yang cermat, penentuan
gangguan fungsi kognitif pascacedera dapat
ditunjang dengan pemakaian pencitraan.
Tata Laksana
1. Medikamentosa
Belum ada hasil studi yang memadai
mengenai efek pemakaian medikamentosa terhadap gangguan fungsi kognitif
pascacedera, namun beberapa penelitian
menunjukkan potensi perbailtan. Dianjurkan memakai pendekatan 'start low, go slow, but go'. Selanjutnya perlu
penilaian ulangberkesinambungan untuk
mengetahui manfaat, efek samping, dan
interaksi obat Titrasi dilakukan sampai
tercapai dosis yang diinginkan atau jika
ada efek samping obat.
a. Antagonis reseptor n-metil-d-aspartat
(NMDA-antagonis) nonkompetitif
Antagonis glutamatergic berguna untuk
menghambat input pada neuron dopaminergik presinaptik dan memperkuat
neurotransmisi dopaminergik sekunder.
Memantin dan amantadin merupakan
contoh dari jenis ini dan bekerja secara
antagonis nonkompetitif terhadap kompleks reseptor NMDA melalui ikatan
phencyclidine di dalam kanal ion reseptor.
Pemberian pada beberapa hari pertama
akan meningkatkan kesadaran di minggu
pertama sesudah cedera (kelas IV]. Pada tahap
subakut, pemakaian amantadin menunjukkan perbaikan pada atensi, fungsi visuospasial (praksis konstruksi), fungsi elcsekutif, dan fungsi kognitif umum pascacedera
kepala sedang sampai berat (kelas IV).
b. Augmentasi katekolamin
Metilfenidat dapat meningkatkan kadar
dopamin serebral melalui peningkatan
pelepasannya dan memblokade ambilan
monoamin pada dosis tinggi serta inhibisi monoamin oksidase. (kelas I], atensi, kecepatan proses pikir (kelas II) dan
fungsi kognitif umum (kelas IV). Selain
memperbaiki fungsi kognitif, metilfenidat juga menurunkan rasa kantuk siang
hari pada depresi (kelas II).
c. Augmentasi kolinergik
1) Donepezil
Donepezil meningkatkan gangguan
atensi dan memori pada periode subakut (kelas I). Pada periode kronik,
meningkatkan gangguan memori dan
atensi (kelas II), gangguan sensori
(kelas II), gangguan memori deklaratif (kelas III), dan gangguan perilaku
yang terkait (kelas IV).
2) Rivastigmin
Rivastigmin menghambat asetilkolinesterase dan butiril-kolinesterase
yang mempengaruhi kerja fungsi
kolinergik serebral. Pengobatan
dengan rivastigmin pada periode
kronik dapat meningkatkan atensi
dan working memory (kelas I). Pada
gangguan memori persisten pascacedera, rivastigmin meningkatkan
memori deklaratif, juga atensi, kecepatan proses pikir, fungsi eksekutif
dan status neuropsikiatrik (kelas IV).
Peningkatan subyektif pada atensi,
memori, motivasi, dan fatigue juga dilaporkan (kelas IV).
d. Augmentasi kombinasi katekolamin dan
kolinergik
Cytidine 5-diphosphocholine (sitikolin atau
CDP-choline) merupakan obat intermediate essential dalam jaras biosintetik fosfolipid ke dalam membran set Pengobatan
dengan sitikolin selama periode awal
cedera ringan dan sedang dapat menurunkan post-concussion syndrome dan meningkatkan memori rekognisi (kelas I).
e. Pertimbangan pemakaian obat golongan
lain
Obat antiepilepsi berkontribusi terhadap gangguan kognitif pada cedera kepala
(kelas IV). Pengobatan profilaksis dengan
fenitoin atau karbamazepin sesudah minggu
pertama cedera memicu gangguan
kognitif. Valproat memperlihatkan fungsi
kognitif yang stabil (kelas I}.
Benzodiazepin sebagai agonis GABA dapat
memicu eksaserbasi gangguan kognitif pada pasien dengan cedera kepala.
Agonis GABA dapat berdampak negatif
terhadap neuroplastisitas.
2. Nonmedikamentosa
Rehabilitasi kognitif merupakan program
intervensi sistematis yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan kognitif
dan aplikasinya ditujukan untuk aktivitas
fungsi sehari-hari. Rehabilitasi neuropsikologi secara komprehensif-holistik
direkomendasikan selama pascaakut
untuk memperbaild gangguan kognitif
dan disabilitas fungsional pada pasien
cedera kepala sedang dan berat (kelas I].
2. Komplikasi Nonkognitif Pascacedera
A. Cedera Saraf Kranialis
Cedera yang terjadi pada saraf kranial
merupakan defisit neurologis yang paling sering terjadi akibat trauma kepala.
Patel dan Coello menyebutkan bahwa
cedera saraf kranial pascacedera lebih
banyak merupakan lesi tunggal (67-
77,6%] dibandingkan lesi multipel
(22,4-32% ]. Separuh diantaranya diakibatkan oleh cedera kepala ringan.
Insidens cedera saraf kranial bervariasi
antara 5-23%. Secara umum nervus olfaktorius, fasialis, dan akustikus merupakan
tiga saraf kranial yang paling sering terkena, diikuti nervus optikus dan okulomotorius. Nervus trigeminus dan saraf-saraf
kranial bawah paling jarang terlibat.
1) N. I (Olfaktorius)
Lamina kribrosa merupakan bagian dari
tulang etmoid yang memiliki foramenforamen kecil tempat keluarnya serabut
saraf dari N. Olfaktorius. Fraktur pada
daerah ini akan memicu disrupsi serabut saraf halus N. Olfaktorius, sehingga
terjadi hilangnya kemampuan penghidu.
Trauma pada daerah oksipital lebih
sering memicu gangguan penciuman dibandingkan trauma langsung di
daerah frontal. Setiap benturan pada kepala, bahkan benturan ringan sekalipun,
tetap akan berpotensi memicu
gangguan penghidu permanen, tetapi
secara umum insidens anosmia bersifat
paralel dengan derajat cedera.
Gejala klinis gangguan penciuman dapat
berupa anosmia, hiposmia, ataupun parosmia. Seringkali pasien tidak menyadari
adanya gangguan ini, tetapi mengeluhkan
adanya perubahan sensasi pengecapan,
Kecurigaan cedera pada N. Olfaktorius bila
didapatkan adanya rinorea sebab kebocoran cairan serebrospinal (CSS], perdarahan dari dalam kavum nasi, ekimosis periorbital, dan ptosis. Pemeriksaan rinorea
akibat kebo coran CSS dilakukan dengan
melakukan tes halo (cara pemeriksaan
dapat dilihat di bab Cedera Kepala]. Diperlukan CT scan kepala dengan bone window
pada trauma untuk menilai ada/tidaknya
fraktur tulang kranium, khususnya daerah
basis kranii anterior.
Seringkali pemeriksaan terhadap fungsi
N. Olfaktorius terlewatkan oleh klinisi,
terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran. Biasanya gangguan baru diketahui ketika pasien sadar ataupun saat sudah pulang perawatan.
2) N. II (Optikus)
Cedera pada N. Optikus dikenal dengan
nama traumatic optic neuropathy (TON}.
Trauma ini dapat akibat trauma Iangsung dan tidak langsung. Trauma langsung (direct) pada TON (DTON) umumnya berupa disrupsi anatomis serabut
saraf optikus. Sekitar satu dari empatpemicu nya diakibatkan oleh luka tembus
dan tersering berupa luka tembak. Bentuk disrupsi yang terjadi dapat berupa
avulsi, kompresi, dan transeksi.
Berbeda dengan trauma langsung, trauma N. Optikus tidak langsung (indirect}
atau ITON diakibatkan oleh transmisi energi dari trauma tumpul di daerah supraorbital ipsilateral ke kanalis N. Optikus.
Mekanisme ini secara tidak langsung
akan memicu terjadinya konkusio
(concussion}, laserasi, maupun kontusio
N. Optikus. Selain itu, edema, iskemia,
trombosis mikrovaskular, dan infark dari
N. Optikus juga turut berperan dalam
ITON sebagai faktor cedera sekunder.
Keluhan utama pada trauma N. Optikus
yaitu kebutaan monokular, tetapi gangguan visus juga biasa terjadi. Pada cedera
parsial, seringkali ada defek altitudinal inferior. Gangguan lapang pandang
terjadi pada 10% masalah akibat kerusakan
kiasma pada cedera kepala berat. Banyak
cedera di daerah kiasma yang sifatnya
asimetris, disertai neuropati optikus
unilateral yang berat berkaitan dengan
hemianopia temporal kontralateral.
Gangguan penglihatan yang terjadi dapat
terjadi segera ataupun tertunda, Gangguan
penglihatan tertunda biasanya memiliki
prognosis yang lebih baik sebab masih
dapat reversibel dibandingkan tipe segera.
Sebagian kecil masalah mengalami perburukan dalam hitungan jam sampai dengan
hari sesudah trauma, diduga akibat edema
atau iskemia dalam kanal atau kompresi
oleh hematom subperiosteal orbita.
diagnosa menjadi sulit ditegakkan pada
pasien dengan penurunan kesadaran,
tetapi apabila ditemukan kelainan pada
refleks cahaya berupa pupil MarcusGunn, dapat dijadikan sebagai penanda
adanya TON. Pemeriksaan funduskopi di
awal kejadian dapat tidak menunjukkan
kelainan, sebab papil atrofi baru dapat
terlihat dalam 4-6 minggu. Trauma bola
mata dengan avulsi N. Optikus dapat
disertai gambaran funduskopi berupa
perdarahan dan disrupsi.
Pemeriksaan penunjang yang perlu dikerjakan yaitu visual evoked potential (VEP}
dan MR! kepala. VEP berperan dalam
manajemen penatalaksanaan dan prognosis, sedangkan MRI menunjukkan gambaran perubahan kontinuitas saraf berupa
peningkatan intensitas sinyal di N. Optikus.
3) N. Ill (Okulomotorius)
Paralisis N. Okulomotorius akibat trauma biasanya terjadi pada cedera kepala
yang berat disertai hilang kesadaran,
atau fraktur tulang kranium. pemicu
tersering yaitu peningkatan intrakranial
disertai herniasi unkus sehingga menyebabkan kompresi saraf kranial ipsilateral.
Pupil abnormal merupakan tanda awal
adanya paralisis saraf ini. Biasanya N. Okulomotorius terdesak pada
tepi tulang tengkorakyangtajam dari tentorium sisi berlawanan. Paralisis terjadi
pada sisi yang kontralateral dari herniasi,
kecuali lesi pada daerah otak tengah bagian rostral, seperti herniasi transtentorial dapat mempengaruhi saraf ini bilateral.
Secara umum, trauma saraf kranialis III,
IV, dan VI akan memberikan gambaran
gangguan gerak bola mata berupa diplopia. Perbedaan ketiganya terletak pada
gerakan bola mata ke arah mana yang
terganggu (Gambar 5). Adanya pupil
yang berdilatasi dan eksotropia unilateral
merupakan klinis utama yang ditemukan
pada paralisis N. Okulomotorius, bahkan
pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Pasien dengan penurunan kesadaran
perlu dilakukan pemeriksaan gerak bola
mata segera sesudah perbaikan kesadaran. Pada proptosis yag disertai pembengkakan kelopak mata, sebaiknya beri waktu sampai pembengkakan tidak terlalu
berat, agar penilaian gerakan bola mata
lebih akurat.
4) N. IV (Troklearis)
N. Troklearis memiliki struktur anatomis yang ramping dan panjang, sehingga rentan cedera. Trauma kepala memang merupakan pemicu tersering cedera saraf
kranialis ini dan biasanya unilateral. Nukleus saraf ini terletak di mesensefalon.
Fasikulus menyilang di dorsum mesensefalon pada saat keluar dari batang otak,
sehingga lesi di nukleus dan fasikulus
akan memberi gambaran kontralateral,
berbeda dengan lesi di ruang subaraknoid, sinus kavernosus, ataupun orbita.
Gejala yang dikeluhkan pasien paralisis N.
Troldearis berupa diplopia saat menaiki
tangga, membaca koran atau buku. Pasien
atau keluarga juga mengeluhkan bila saat
membaca, pasien cenderung memiringkan kepalanya ke arah yang sehat.
Pemeriksaan cedera N. Troklearis umumnya hanya dapat dilakukan pada pasien
dengan kesadaran penuh dan koperatif.
Pemeriksaan fisik terhadap klinis diplopia pada cedera N. Troklearis yaitu
dengan memiringkan kepala ke arah
bawah ipsilateral lesi (Gambar 5b). Terdapat hipertropia yang memberat saat
melirik ke arah kontralateral.
5) N. V (Trigeminus)
Cedera cabang dari N. Trigeminus seringkali terlibatpada laserasi wajah dan fraktur
tulang wajah, terutama daerah maksilofasial dan basis kranii, sebab percabangan
N. Trigeminus keluar melalui beberapa
foramen dari tulang kranium (Gambar 6).
N. Trigeminus cabang infra dan supraorbita biasanya mengalami cedera pada
trauma daerah dahi, kavum orhita, dan
maksila. Cedera cabang ketiga N. Trigeminus biasa terjadi pada fraktur mandibula. Foramen rotundum dan ovale merupakan tempat keluarnya percabangan N.
Trigeminus. Trauma tertutup maupun
trauma tembus juga berpotensi menyebabkan cedera pada ganglion trigeminal.
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien biasa-nya sensasi nyeri sesuai cabang penjalaran dari N. Trigeminus yang termasuk
dalam neuralgia trigeminal simtomatik.
Terkadang disertai juga keluhan berupa
hiperpati se-suai distribusi saraf ini .
Setiap pasien dengan kecurigaan trauma
kepala di daerah wajah dan sekitar telinga, perlu diperhatikan kemungkinan adanya paralisis saraf ini. Berikut ini merupakan kriteria diagnosa dari neuralgia
trigeminal simtomatik berdasar Konsensus Nyeri Kepala Perdossi dan The
International Classification o f Headache
Disorders:
1) Serangan nyeri paroksismal beberapa
detik sampai dua menit dengan atau
tanpa nyeri persisten diantara serangan,
melibatkan satu atau lebih cabang/divisi N. Trigeminus.
2) Memenuhi paling sedikit karakteristik
nyeri sebagai berikut:
® Kuat, tajam, superfisial atau rasa
se-perti ditikam
® Dipresipitasi dari area pencetus
atau oleh faktor pencetus
3) Jenis serangan stereotipik pada setiap individu.
4) Etiologi yaitu selain kompresi pembuluh darah, berdasar pemeriksaan khusus dan atau eksplorasi fossa
posterior. Pemeriksaan refleks kornea perlu dikerjakan. Adanya anestesi kornea atau hilangnya refleks kornea membuat pasien
rentan mengalami keratitis eksposur
hingga terjadinya ulkus kornea.
6) N. V! (Abdusens)
paralisis N. Abdusens akibat trauma
cukup sering terjadi dan kebanyakan
dapat pulih sempurna. Kenaikan tekanan intrakranial pada trauma kepala menyebabkan penekanan batang otak ke
bawah berakibat peregangan berlebihan
pada N. Abdusens di daerah ujung/tip
petrosus, sehingga terjadi paralisis.
Pada paralisis total saraf VI, bola mata
tidak dapat melakukan abduksi dan
seringkali terfiksasi pada posisi aduksi.
Diplopia horizontal yang memberat saat
melihat jauh merupakan gejala dari paralisis inkomplit yang lebih sering terjadi.
Selain itu juga didapatkan strabismus
paralitik (nonkonkomitan) yang akan
tampak jelas bila melirik ke arah otot yang
terlibat pada pemeriksaan. Kelemahan
ringan akan menunjukkan esotropia pada
pemeriksaan cover uncover.
Pasien dengan kesadaran penuh akan
mengeluhkan diplopia saat melihat jauh.
Pada pemeriksaan gerak bola mata, dalam
posisi primer sisi yang terganggu akan tampak berkonvergensi ke arah aksis. Pada saat
melirik ke arah lateral, akan ada paralisis di sisi yang terganggu [Gambar 5c). 7) N. VII (Fasialis)
Trauma N. Fasialis terjadi pada sekitar
50% masalah . Cedera pada N. Fasialis terbagi menjadi trauma langsung dan tidak
langsung. Pada trauma langsung, komponen fraktur memicu kerusakan
pada saraf. Lain halnya dengan trauma
langsung, trauma tidak langsung diakibatkan oleh adanya edema atau hematom jaringan lunak sekitar saraf yang
memicu kompresi pada saraf.
Fraktur tulang petrosa pada trauma kepala dapat melukai daerah labirin dan
saraf fasialis. Garis fraktur dapat terjadi
longitudinal ke bawah mengikuti aksis
piramid petrosus, ataupun transversal
melintasi tulang ini . Kedua mekanisme fraktur ini dapat mengakibatkan perlukaan saraf fasialis. Fraktur
longitudinal lebih sering terjadi, mengakibatkan edema pada saraf fasialis.
Gejala yang timbul pada cedera N. Fasialis dapat segera sesudah trauma maupun
kemudian. Pada gejala yang tidak timbul segera biasanya cenderung sembuh
spontan. Berbeda dengan paralisis pada
fraktur transversal, N. Fasialis seringkali
mengalami laserasi, kontusio, ataupun cedera yang berat Paralisis yang timbul
biasanya segera pada cedera jenis ini.
Gejala cedera N. Fasialis bergantung pada
lokasi lesi berdasar anatominya (Gambar 7]. Hilangnya fungsi pengecapan pada
dua pertiga anterior terjadi pada cedera
segmen vertikal mastoid. Pada cedera
segmen horizonal (N. Fasialis segmen telinga tengah) akan memicu hilangnya refleks stapedius, sehingga terjadi
hiperakusis (hipersensitivitas terhadap
bunyi yang keras] dan hilangnya pengecapan ipsila-teral. Meski demikian, hilangnya fungsi gustatorik sesudah trauma
kepala sebenarnya jarang terjadi. Gejala
Minis lain yang dapat terjadi pada cedera
N. Fasialis, yaitu gangguan lakrimasi ipsilateral yang diakibatkan oleh adanya lesi
pada segmen labirin.
ada beberapa macam penilaian
fungsi N. Fasialis, antara lain klasifikasi
House-Brackmann (label 1].
8) N. VIII (Vestibulokoklearis)
Cedera saraf ini terutama diakibatkan
oleh trauma tumpul langsung pada
daerah parietal dan temporal Cedera
yang terjadi biasanya bersamaan dengan
para-lisis N. VII akibat trauma yang mengenai kanalis auditorik interna, yaitu
pada:
a] Fraktur basis kranii
Fraktur tulang temporal paling sering
diakibatkan oleh trauma tumpul langsung pada tengkorak bagian parietal.
Fraktur biasanya terjadi di sekitar foramen mayor basis kranii sebab kapsula
otik yang meliputi telinga bagian dalam
sangat tebal. Fraktur biasanya terjadi di
sekitar akar meatus akustikus eksternus dan berjalan paralel dengan apeks
petrosus, kemudian menjalar ke bagian
depan foramen laserum dan arteri karotis. Kadang kala melibatkan regio sendi
temporomadibular.
Fraktur longitudinal terjadi antara 70-
90% dari total fraktur tulang temporal.
Kurang dari 20% diantaranya berupa
fraktur transversal, tetapi paling sering
dikaitkan dengan kerusakan saraf VII
dan VIII. Biasanya fraktur ini akan melintas daerah telinga dalam, merobek membran labirin dan menimbulkan laserasi
saraf vestibularis dan koklearis, sehingga memicu hilangnya fungsi vestibular dan koklear secara komplit. Oleh
sebab membran timpani umumnya
tetap intak, mekanisme di atas akan menyebabkan perdarahan tertimbun pada
daerah telinga tengah.
b) Labyrinthine concussion
Mekanisme ini disebabkan oleh energi
yang dihasilkan oleh trauma dan kemudian dihantarkan oleh tulang ke koklea
seperti gelombang tekanan melalui mekanisme konduksi udara. Sesuai dengan
studi eksperimental pada hewan percobaan, ada perubahan patologis
dalam koklea akibat stimulus suara keras.
Perubahan ini ditandai dengan degenerasi sel rambut dan neuron koklear pada
tengah koklea dan memicu penurunan pendengaran nada murni. Nada
yang hilang biasanya pada 4000-8000Hz. Gejala dan tan da Minis:
« Labyrinthine concussion; berupa keluhan
auditorik dan vestibuler yang menyertai
fraktur tulang temporal Ketiadaan keluhan dan tanda batang otak, merupakan
pembeda terhadap cedera perifer dengan sentral. Ketulian mendadak dapat
terjadi tanpa harus disertai dengan keluhan vestibuler. Hal ini dapat bersifat
reversibel, baik parsial maupun total.
s Posttraumatic positional vertigo; terjadi
kurang dari satu menit, namun pasien
akan merasakan dizziness disertai mual
dan sempoyongan. Sebuah penelitian
melaporkan vertigo posisional terjadi
pada 47% trauma kepala terkait fraktur
tulang temporal dan 21% trauma kepala
berat tanpa fraktur tulang tengkorak.
Mekanisme terjadinya akibat kristal kalsium karbonat terlepas dari makula utrikulus, memasuki kanalis semisirkularis
posterior.
• Traumatic perilymph fistula; trauma ini
akan memicu hilangnya pendengaran, vertigo, atau tinitus segera
sesudah trauma kepala, terutama bila gejala berfluktuasi dari waktu ke waktu.
Trauma ini sebab disrupsi pada labirin,
biasanya jendela oval ataupun bulat.
Oleh sebab itu, perlu dicurigai adanya
lesi pada N. Vestibulokoklearis terutama pada pasien dengan ditemukannya
gangguan pendengaran, perdarahan dari
telinga, otorea CSS, dan gambaran tanda Battle Pemeriksaan otoskopi dapat
menunjukkan adanya gambaran kerusakan membran timpani, hemotimpanum, atau adanya CSS dalam rongga
telinga tengah. Pemeriksaan audiometri,
tes kalori (bila tidak ditemukan tandatanda perforasi membran timpani), dan
brain auditory evoked potential (BAEP)
dapat dikerjakan bila pasien stabil
9) N. IX, X, XI (Glosofaringeus, Vagus, Asesorius)
Ketiga saraf ini merupakan 'trio saraf
kranial bawah' yang sering mengalami
cedera secara bersamaan disebab kan
kedekatan anatomisnya di foramen jugularis. Cedera ketiganya biasanya berkaitan
dengan fraktur basis kranii regio posterior, namun jarang terjadi. Cedera N. IX, X,
XI terutama akibat trauma ekstrakranial
se-perti trauma tusuk ataupun tembak.
Adanya mekanisme cedera akibat hiperekstensi leher terkadang juga dapat
memicu cedera di area craniocervical junction, terutama pada N. IX dan X.
Insidens lebih tinggi pada cedera kepala
berat. Cedera N. Asesorius, khususnya
akibat trauma kepala terhitung jarang
terjadi. Avulsi yang dapat terjadi lebih
banyak dikaitkan dengan trauma spinal
ataupun tindakan operatif.
Gejala-gejala yang dapat dikeluhkan atau
ditemukan pada pasien dengan cedera
ketiga saraf kranial ini berupa disfonia, disfagia, hilangnya refleks muntah,
kelemahan palatum ipsilateral, dan hilangnya kemampuan pengecapan sepertiga posterior lidah. Disfungsi vagal pascacedera (trauma N. Vagus) juga harus
dicurigai pada pasien dengan pengosongan lambung yang terlambat dan hilangnya respons kardiak terhadap suction
trakeal.
Pasien dengan gejala dan tanda klinis
ini perlu dilakukan pemeriksaan memakai laringoskop indirek untuk menemukan adanya paralisis plika
vokalis ipsilateral. Dapat juga ditemukan
klinis sindrom Horner bila cedera mengenai saraf simpatis daerah servikal.
10) N. XII (Hipoglosus)
N. Hipoglosus merupakan salahsatu dari
saraf kranial yang paling jarang mengalami cedera akibat trauma kepala. pemicu terseringnya yaitu akibat trauma
iatrogenik, terutama pascaoperasi carotid end-arterectomy. Serabut saraf ini
keluar dari intrakranial melalui kanalis
hipoglosus, medial dari kondilus oksipitalis. pemicu akibat trauma biasanya
akibat hiperekstensi leher dengan atau
tanpa fraktur tuberkel hipoglosus maupun kondilus oksipitalis.
pemicu tersering cedera pada N. Hipoglosus yaitu akibat trauma pembedahan, Tetapi cedera ini dapat disebabkan oleh luka tembak ataupun luka
tusuk. Keluhan biasanya berupa kesulitan 'mengendalikan' makanan padat di
dalam mulut dan bicara pelo.
diagnosa ditegakkan bila didapatkan
klinis adanya paresis N. Hipoglosus perifen Keadaan ini dibedakan dengan paresis sentral dengan menemukan adanya
tanda-tanda klinis perifer pada lidah
berupa papil atrofi (pada onset paresis
yang subakut-kronis), fasikulasi otot lidah, flaksid, dan lateralisasi lidah ipsilateral trauma bila lidah dijulurkan.
Tata Laksana
Seperti halnya penanganan pada cedera
sistem saraf lainnya, tidak ada tata laksana
yang dinilai cukup efektif terhadap cedera
saraf kranialis. Secara umum penatalaksanaannya dibagi menjadi penatalaksanaan
medikamentosa dan non-medikamentosa.
Beberapa cedera saraf kranial dapat dilakukan koreksi dengan tindakan pembedahan
maupun konservatif,
Tindakan pembedahan biasanya meliputi
tindakan dekompresi, penyambungan saraf
yang mengalami avulsi, dan pembedahan
korektif (seperti pada cedera N. Okulomotorius). Penanganan konservatif meliputi tindakan rehabilitasi-fisioterapi, pemakaian
penutup mata dan kacamata lensa prisma,
serta pemakaian alat bantu dengar.
a. Medikamentosa
1] Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan pada
trauma akibat benturan, yang pemulihannya tergantung pada fungsi respons imun. Namun ada beberapa keadaan yang pemberian steroid
tidak memberikan dampak positif
yang berarti.
Beberapa kepustakaan menyebutkan
pemakaian kortikosteroid pada ITON
seperti halnya pemberian steroid pada
cedera medula spinalis, yaitu metilprednisolon dosis tinggi (regimen
dapat dilihat pada Bab Trauma Medula
Spinalis). Adapula studi lain yang menyebutkan pemakaian deksametason
dengan dosis inisial 0,75mg/kg setiap
6 jam selama 24 jam.
Steroid diberikan pada paralisis N.
Fasialis tipe tunda. Seperti halnya
pemakaian steroid pada cedera N.
Optikus, tidak ada pedoman khusus
pemberian dosis steroid. Beberapa kepustakaanpun menyebutkan tanpa
pemberian steroid Minis dapat membaik dengan sendirinya.
2) Medikamentosa lainnya
Pada cedera N. Trigeminus yang
menetap, biasanya pasien akan membutuhkan pengobatan simtomatik
untuk mengurangi atau menghilangkan gejala hiperalgesia. Dosis dan
lama pemakaian nya dapat bervariasi pada masing-masing individu.
}enis obat-obatan yang dipakai biasanya merupakan golongan antikonvulsan dan adjuvan. Dosis pemberian
dimulai dari dosis terkecil disebab kan golongan antikonvulsan berisiko
menimbulkan efek samping. jika
pemakaian antikonvulsan dan ajuvan
yang tidak berhasil pada hiperalgesia
N. Trigeminus, dapat dipertimbangkan tindakan ablasi ganglion.
Adanya tuli sensorineural terkait
cedera N. Vestibulokoklearis biasanya akan sulit mengalami pemulihan,
terutama bila ketulian sampai dengan nol. Tinitus dan manifestasi Minis vertigo (pusing berputar/bergoyang, mual, muntah) biasanya dapat
sembuh total. Jika keluhan menetap,
dapat dipertimbangkan pemakaian
vestibulosupresan (regimen dapat
dilihat pada bab Vertigo Perifer].
b. Nonmedikamentosa
Pada cedera saraf kranialis okulomotor (N. Ill, N. IV, dan N. VI], dipakai
penutup mata secara bergantian dari
satu mata dengan mata yang lain. Selain
itu, dapat dipakai lensa prisma untuk
mengoreksi keluhan diplopia. Tindakan
pembedahan dapat menjadi pilihan bila
pemulihan tidak sempurna.
Tindakan dekompresi merupakan pilihan utama pada cedera N. Fasialis segera
dan N. Trigeminus, tetapi prognosis perbaikannya tergantung dari berat-ringannya cedera saraf yang terjadi. Jika telah
terjadi avulsi saraf, paralisis yang terjadi
biasanya menetap.
B. Bangkitan Pascacedera Kepala
Bangkitan pascacedera kepala (posttraumatic seizure/PTS] biasanya berkaitan dengan
cedera kepala berat dan dapat terjadi segera
sesudah cedera maupun tertunda. Bangkitan
yang terjadi segera sesudah trauma kepala
dalam waktu 24 jam memerlukan terapi medikamentosa segera.
Insidens terjadinya epilepsi pascacedera
kepala berat tanpa disrupsi duramater
berkisar antara 7-39%. Angka ini dapat
lebih tinggi pada kondisi cedera kepala yang
disertai disrupsi duramater, yaitu sekitar
20-57% . Berikut yaitu faktor-faktor yang
berhubungan dengan pe-ningkatan insidens
terjadinya epilepsi tunda (Tabel 2): Patofisiologi
Bangkitan yang terjadi segera sesudah adanya
cedera kepala (dalam 24 jam) dipikirkan sebagai bangkitan akibat gegar [convulsive concussion), Keadaan ini terjadi sebab adanya
mekanisme trauma singkat pada otak yang
memicu gangguan inhibisi kortikal dan
bukan merupakan peristiwa epileptik.
Epileptogenesis pascacedera kepala terjadi
akibat adanya perubahan molekular dan seluler sesudah adanya cedera jaringan otak. Kejadian ini yang akhirnya meningkatkan proses
eksitabilitas. Cedera kepala akibat trauma
tembus akan memicu terbentuknya sikatriks pada lapisan korteks dan berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
epilepsi sampai dengan 50%. Mekanisme
awalnya akan terjadi disrupsi jaringan disertai proses iskemik dan perdarahan.
Pada cedera otak nonpenetratif, seperti
kontusio fokal dan perdarahan intrakranial,
epileptogenesis sebagian terjadi akibat adanya efek toksik dari pemecahan produk hemoglobin terhadap fungsi neuron. Cedera
kepala tertutup akan memicu cedera
aksonal difus disertai peregangan akson,
edema difus, dan iskemia. Lokasi yang paling sering terlibat yaitu di gray-white
matter junction terutama daerah frontal dan
temporal.
Proses ini di atas akan memicu
pelepasan asam amino, sitokin, lipid bioaktif, dan mediator toksik lainnya, sehingga
memicu cedera seluler sekunder, Epileptogenesis diduga dipicu oleh hilangnya
tipe sel tertentu dan reorganisasi neuronal.
Peristiwa ini tidakhanya mempertinggi kejadian eksitasi, tetapi juga menurunkan
ambang inhibisi yang akhirnya mengakibatkan hipersinkronasi.
Peningkatan sitokin proinflamasi dan aktivasi imun pada akhirnya akan menyebabkan serangkaian proses termasuk di dalamnya kematian sel, terbentuknya kaskade
inflamasi, dan transkripsi gen baru. Proses
ini terjadi sesudah beberapa hari sampai
dengan minggu, memicu terbentuknya tunas aksonal, dan modifikasi dendritik.
Gejala dan Tanda Klinis
Bentuk bangkitan pascacedera kepala dapat
berupa bangkitan fokal maupun umum. Berdasarkan studi Wiedemayer dkk, sebagian
besar bentuk bangkitan pascacedera kepala
berupa bangkitan umum (63,3%]. Early-PTS
dapat terjadi berulang pada 53,2% masalah .
Adanya bangkitan ini dapat memicu
peningkatan morbiditas