Tampilkan postingan dengan label neurologi 19. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 19. Tampilkan semua postingan

neurologi 19












  instrumen yang dapat 

dipakai  untuk sebagai penyaring adanya 

migren pada pasien dengan nyeri kepala, 

termasuk juga untuk menilai derajat keparahan dan disabilitas yang ditimbulkannya. 

Instrumen ID-MigraineTM dan Migraine

Screen Questionnaire (MS-Q) telah terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas 

yang baik, bahkan MS-Q sudah divalidasi 

ke dalam bahasa negara kita . Migren pada 

anak juga cukup sering dan lebih sulit dideteksi, oleh karena itu dapat memakai  

Pediatric migraine disability assessment

(PedMIDAS). Penegakan diagnosa  migren 

ditegakkan terutama melalui anamnesis 

berdasarkan kriteria diagnosa  IHS yang 

dibagi menjadi migren tanpa aura dan migren dengan aura.

1. Migren tanpa Aura

Kriteria diagnostik berdasarkan IHS:

a. Nyeri kepala minimal berlangsung 

selama 4-7 2 jam (baik dalam kondisi 

belum diobati atau sudah diobati namun belum berhasil).

b. Nyeri kepala memiliki minimal dua di 

antara karakteristik berikut:

1) Unilateral

2) Kualitas berdenyut

3) Intensitasnya nyeri sedang sampai 

berat

4} Diperberat dengan aktivitas fisik rutin maupun tidak rutin (seperti: berjalan jauh, naik tangga)

c. ada  salah satu gejala penyerta di 

bawah ini:

1) Mual dan/atau muntah

2) Fotofobia dan fonofobia

d. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan 

penyakit lain (nyeri kepala sekunder).

2. Migren dengan Aura

Migren dengan aura yaitu  serangan 

nyeri kepala berulang yang didahului 

dengan gejala neurologis fokal yang reversibel secara bertahap dalam waktu 

5-2 0 menit. Gejala neurologis fokal ini 

dikenai dengan aura dan berlangsung 

dalam waktu kurang dari 60 menit.

Kriteria diagnostik berdasarkan IHS:

a. Sekurang-kurangnya telah terjadi 2 

serangan nyeri kepala yang memenuhi 

kriteria migren tanpa aura.

b. ada  aura tipikal yang dapat 

berupa aura visual dan atau sensoris 

dan atau gangguan berbahasa.

c. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan 

penyakit lain (nyeri kepala sekunder).

diagnosa  Banding

diagnosa  banding migren yaitu  TTH, 

nyeri kepala klaster, sindrom diseksi, atau 

aneurisma serebral.

pengobatan 

Tujuan terapi migren yaitu  mengurangi 

serangan, atau kalaupun muncul, serangannya tidak terlalu berat dan tidak mengganggu kehidupan sehari-hari, Hal ini terutama dapat dicapai dengan menghindari 

pencetus dan pemakaian  terapi yang sesuai. Perlu edukasi yang jelas kepada pasien, 

karena serangan yang berulang atau terapi 

yang tidak adekuat akan membuat ambang 

nyeri menurun dan lebih susah diatasi. Oleh 

karena itu, secara umum terapi migren 

dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu terapi 

abortif, nonmedikamentosa, dan profilaksis.

Terapi Abortif

Terapi abortif yaitu  terapi yang dibutuhkan saat pasien sedang dalam serangan akut 

dan berfungsi untuk menghentikan progresi 

nyeri. Pengobatan harus diberikan sesegera 

mungkin dengan obat yang bekerja cepat. 

Pemilihan jenis obat didasarkan pada durasi 

dan intensitas nyeri, gejala penyerta, derajat 

disabilitas, respons terhadap pengobatan, 

dan penyakit komorbid. Jika pasien mengalami gejala penyerta berupa mual dan atau

muntah, obat harus diberikan melalui rektal, nasal, subkutan, atau intravena.

Terapi abortif dapat dibed akan menjadi 2, 

yaitu: terapi abortif nonspesifik dan terapi 

abortif spesifik.

1. Terapi Abortif Nonspesifik:

Terapi ini diperuntukkan bagi pasien 

dengan serangan migren ringan sampai 

sedang atau serangan berat yang berespons baik terhadap obat yang sama. 

Obat yang dipakai  pada terapi abortif 

nonspesifik yaitu  obat dari golongan 

obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS] 

atau obat nyeri over the counter (OTC].

Berikut ini yaitu  beberapa obat yang 

menjadi pilihan:

a. Parasetamol 500-1000m g tiap 6-8 

jam, dosis maksimal 4g/hari

b. Ibuprofen 400-800m g tiap 6 jam, dosis maksimal 2,4g/hari

c. Natrium naproksen 275-550m g tiap 

2-6jam , dosis maksimal l,5g/hari

d. Kaliumdiklofenak (powder} 50-lOOmg/ 

hari dosis tunggal

e. Metoklopramid 10 mg IV atau oral 

20-30 menit sebelum atau bersamaan 

dengan pemberian analgetik, OAINS 

atau derivat ergotamin. Obat ini efektif menghilangkan nyeri yang disertai 

mual dan muntah, serta memperbaiki 

motilitas lambung, mempertinggi absorpsi obat dalam usus dan efektif jika 

dikombinasikan dengan dihidroergotamin intravena

f. Ketorolak 60mg IM per 15-30 menit 

Dosis maksimal 12mg/hari dan diberikan tidak lebih dari 5 hari

g. Butorfanol spray lm g dalam sediaan 

nostril yang dapat diberikan dan di-

 

ulang tiap 1 jam. Maksimal 4 spray/ 

hari dan pemakaian nya terbatas 2 

kali dalam seminggu

h. Proklorperazin 25mg oral atau suppositoria. Dosis maksimal 75mg 

dalam 24 jam

i. Steroid seperti deksametason atau 

metilprednisolon merupakan obat 

pilihan untuk status migrenosus.

2. Terapi Abortif Spesifik

a. Obatgolongan agonis 5HTIB/[D (triptans) 

seperti sumatriptan 6mg subkutan atau 

sumatriptan 50-100mg peroral.

b. Derivat ergot seperti ergotamin l-2m g 

yang dapat diberikan secara oral, subkutan, maupun per rektal.

Terapi abortif dikatakan berhasil jika:

a. Pasien bebas nyeri sesudah 2 jam 

pengobatan

b. ada  perbaikan nyeri kepala dari 

skala 2 (sedang) atau 3 (berat) menjadi skala 1 (ringan) atau 0 (tidak ada 

nyeri kepala) sesudah 2 jam

c. Efikasi pengobatan konsisten pada 

2-3 kali serangan

d. Tidak ada nyeri kepala rekuren atau 

tidak ada pemakaian obat kembaii 

dalam waktu 24 jam sesudah pengobatan terakhir berhasil.

3. Terapi Nonmedikamentosa

Pasien harus menghindari faktor pencetus munculnya migren, seperti: perubahan pola tidur, makanan/minuman (keju, 

cokelat, monosodium glutamat/MSG, 

alkohol), stres, cahaya terang, cahaya 

kelap-kelip, perubahan cuaca, tempat 

yang tinggi (seperti: gunung atau pesawat udara), dan rutinitas sehari-hari

yang dapat memicu serangan migren.

4. Terapi Profilaksis

Sebelum memberikan obat sebagai terapi preventif migren, harus diperhatikan 

perubahan pola hidup untuk mendukung kerja obat profilaksis yang meliputi 

SEEDS, yaitu:

   Sleep hygiene (tidur cukup dengan 

jadwal teratur)

   Eating schedules (makan bergizi dan 

teratur)

   Exercise regimen (olahraga teratur)

   Drinking water (minum cukup air)

   Stress reduction (kurangi stres)

Pada prinsipnya pemberian obat profilaksis 

dilakukan dengan cara memberikan dosis 

rendah pada awalnya, kemudian dosis dinaikkan perlahan. Peningkatan dosis dihentikan jika dosis dosis yang efektif sudah 

didapatkan, dosis maksimal sudah tercapai, 

atau muncul efek samping yang tidak bisa 

ditoleransi. Efek klinis akan terlihat setelah 

2 -3 bulan pengobatan, asal teratur dan rasional agar dapat meminimalisir efek samping obat. Jika setelah 6-12 bulan migren 

mulai terkontrol, dosis pengobatan profilaksis dapat diturunkan perlahan hingga 

selanjutnya dihentikan.

Indikasi terapi profilaksis, yaitu:

1. Terganggunya aktivitas sehari-hari akibat serangan migren walaupun pasien 

telah mendapat pengobatan nonmedikamentosa maupun abortif

2. Frekuensi serangan migren terlalu sering 

sehingga pasien berisiko mengalami 

ketergantungan terhadap obat abortif 

migren (medication overuse) 3. Pasien mengalami serangan nyeri kepala 

migren sedang sampai berat lebih dari 3 

hari dalam 1 bulan dan sudah tidak responsifdengan pemberian pengobatan abortif

4. Pasien mengalami serangan nyeri kepala 

migren lebih dari 8 kali sehari walaupun 

pengobatan abortifnya efektif

5. Pasien mengalami serangan nyeri kepala 

migren yang berulang >2x/minggu dan 

mengganggu aktivitas, walaupun telah diberikan pengobatan abortif yang adekuat

6. Nyeri kepala migren yang berlangsung 

sering dan >48 jam

7. Pengobatan abortif gagal atau tidak efektif

8. Muncuinya gejala-gejala dan kondisi 

yang luar biasa, misalnya migren basiler 

hemiplegik, aura yang memanjang

9. Pasien menginginkan obat profilaksis.

Tujuan terapi profilaksis yaitu :

1. Menurunkan frekuensi serangan hingga 

50% atau lebih

2. Menurunkan intensitas dan durasi serangan

3. Meningkatkan respons terapi abortif

4. Meningkatkan kemampuan fungsional 

pasien dan menurunkan disabilitas

5. Mencegah transformasi migren episodik 

menjadi migren kronik

6. Mencegah pemakaian obat secara berlebihan {medication overuse)

7. Mencegah terjadinya rebound headache

ketika obat abortif dihentikan pemakaiannya.

Berikut golongan obat pilihan:

1. Antidepresan Trisiklik

Obat ini bekerja dengan cara menginhibisi norepinefrin dan ambilan serotonin

{serotonin uptake), serta menurunkan 

regulasi reseptor beta-adrenergik dan 

eksitasi. Obat golongan ini juga meningkatkan regulasi reseptor gamma amino

butyric acid-B (GABA-B) dan menginhibisi ambilan kembali (reuptake] adenosin oleh neuron. Golongan antidepresan 

trisiklik yang banyak dipakai  yaitu  

amitriptilin 30-150mg/hari, nortriptilin 25-100mg/hari, dan doksepin 30 - 

150mg/hari. Obat golongan ini sangat tepat diberikan pada pasien migren dengan 

komorbid depresi, ansietas, atau gangguan tidur. Efek samping yang sering 

muncul yaitu  sedasi, penambahan berat badan, konstipasi, mulut kering, dan 

pandangan kabur.

2. Serotonin R euptake Inhibitors

Bekerja dengan cara menginhibisi ambilan kembali {reuptake) serotonin, obat 

ini baik untuk terapi profilaksis pada 

pasien dengan komorbid depresi. Obat 

ini juga memiliki toleransi yang lebih 

baik dibanding obat golongan antidepresan trisiklik. Efek samping yang sering 

muncul yaitu  ansietas, mual, muntah, 

mudah lelah, anoreksia, penambahan berat badan, pusing, dan disfungsi seksual. 

Obat dari golongan ini yang sering digunakan yaitu  fluoksetin 10-80mg/hari. 

Namun, pada guideline terbaru disebutkan bahwa level o f evidence fluoksetin 

berada pada level U, yang berarti tidak 

cukup bukti untuk membuktikan efikasi 

obat ini sebagai terapi profilaksis.

3. Serotonin N orepinephrine Reuptake

Inhibitor

Obat dari golongan ini yang sering digunakan untuk terapi profilaksis yaitu 

 

venlafaxine dengan dosis efektif 150mg/ 

hari. Umumnya dimulai dengan obat extended release 37,5mg di minggu pertama, 

75mg di minggu kedua, dan 150mg pada 

minggu-minggu berikutnya. Efek samping 

yang sering muncul yaitu  insomnia, ansietas, gugup, dan disfimgsi seksual.

4. Pengham bat Beta (Beta Blocker)

Obat golongan ini bekerja dengan cara 

menurunkan fungsi adrenergik serta 

menghalangi kerja reseptor presinaps 

noradrenergik dan enzim tirosin hidroksilase. Penghambat beta baik digunakan pada pasien dengan komorbid 

hipertensi, namun tidak pada diabetes 

melitus, asma, depresi, dan pasien dengan 

tekanan darah rendah. Obat ini berpotensi 

memicu  disfungsi ereksi dan kondisi 

mudah lelah, sehingga sebaiknya tidak 

diberikan pada pasien yang berprofesi 

sebagai atlet Pilihannya yaitu  timolol 

20-30mg/hari, propanolol 120--140mg/ 

hari, nadolol 40-240 mg/hari, atenolol 

50-100mg/hari, dan metoprolol 100- 

200mg/hari.

5. Pengham bat Kanal Kalsium (Calcium

Channel B locker}

Obat golongan ini bekerja dengan mereduksi pelepasan glutamat dan menginhibisi pelepasan serotonin, pada migren 

dengan aura atau migrainous infarction.

Selain itu, obat ini baik diberikan pada 

pasien dengan komorbid hipertensi, 

asma, dan penyakit Raynaud. Efek samping yang sering muncul yaitu  konstipasi, hipotensi, dan edema perifer. Obat 

yang sering dipakai  yaitu  diltiazem 

60-90mg sebanyak 4 kali sehari. Sementara itu nikardipin, nifedipin, nimodipin,

dan verapamil memiliki level o f evidence

U.

6. Angiotensin-converting Enzyme Inhibitor (ACE-I)

Berdasarkan hasil penelitian, lisinopril 

20mg/hari berhasil menurunkan frekuensi migren hingga 50% pada 30% pasien 

jika dibandingkan dengan plasebo. Efek 

sampingnya berupa batuk, cepat lelah, 

sakit kepala, dan diare, serta dikontraindikasikan pada pasien dengan angioedema dan kehamilan.

7. Angiotensin-II R eceptor Antagonist

(ARB)

Berdasarkan hasil penelitian, candesartan 16mg/hari memiliki efek menurunkan frekuensi migren dibandingkan 

plasebo. Efek samping yang sering muncul yaitu  sakit kepala, mual, nyeri perut, mialgia, dan atralgia, serta dikontraindikasikan pada kehamilan.

8. Sodium Valproat

Merupakan golongan obat yang bekerja 

dengan cara meningkatkan kadar gamma amino butirat (GABA) di otak, meningkatkan sintesis GABA, menginhibisi 

degradasinya, dan menghiperpolarisasi 

membran pascasinaps dengan cara meningkatkan konduksi potasium. Golongan ini juga menurunkan respons glutamat. Sodium valproat 500-1500m g/ 

hari terbukti dapat menurunkan frekuensi serangan migren. Efek samping yang 

sering muncul yaitu  mual, dispepsia, cepat lelah, dan peningkatan berat 

badan. Obat golongan ini bersifat teratogenik, sehingga sebaiknya tidak diberikan pada perempuan usia reproduks 9. Topiram at

Cara kerja obat ini sebagai terapi profilaksis migren diduga berkaitan dengan kanal 

natrium dan kalsium, reseptor GABA A, 

dan reseptor glutamat, serta memiliki efek 

inhibisi enzim karbonik anhidrase. Topiramat 50mg dan lOOmg/hari diketahui 

merupakan dosis optimal terapi proftlaksis migren, walaupun tidak ditemukan 

perbedaan efektivitas yang bermakna 

di antara kedua dosis ini . Namun, 

dalam pemakaiannya obat ini harus diberikan dengan dosis awal yang rendah 

(15-25mg/hari saat jam tidur) dan dinaikkan secara perlahan tiap 2-3 minggu. Efek 

samping yang sering muncul yaitu  cepat 

lelah, kehilangan berat badan, anoreksia, 

parestesia, dan kesulitan mengingat.

10. Gabapentin

Merupakan obat yang bekerja pada neurotransmiter glisin dan glutamat Obat 

golongan ini pada guideline terbaru dikategorikan memiliki level o f evidence U.

Migren yaitu  suatu penyakit kronik, 

tetapi dapat terjadi remisi dalam waktu 

panjang. Pada suatu studi diketahui bahwa pada orang-orang yang mengalami migren dengan onset pada masa anak-anak, 

62% akan bebas serangan selama 2 tahun 

atau lebih pada saat pubertas. Keparahan 

dan frekuensi migren cenderung untuk 

menurun seiring dengan penambahan 

usia. Setelah 15 tahun seringkali mengalami serangan migren, sekitar 30% lelaki 

dan 40% perempuan tidak lagi mengalami serangan di usia lanjut.

NYERI KEPALA TIPE TEGANG

Nyeri kepala tipe tegang atau tension type

headache (TTH) merupakan nyeri kepala

primer tersering dengan prevalensi 78%. 

Nyeri kepala tipe ini mengenai hampir 1,4 

juta orang atau 20,8% populasi di dunia. 

TTH lebih sering dialami oleh pasien dewasa muda (berusia >20 tahun, puncaknya 

usia 30-39 tahun), terutama perempuan 

dua kali lebih banyak dibanding lelaki.

Klasifikasi

Berdasarkan 1HS, TTH dapat dibagi menjadi 

TTH episodik tipe jarang (infrequent) dan 

sering {frequent), serta TTH kronik, yaitu:

1. Tension-type H eadache Episodik yang

Infrequent

a. Tension-type headache episodik yang 

infrequent berhubungan dengan 

nyeri tekan perikranial

b. Tension-type headache episodik 

yang infrequent tidak berhubungan 

dengan nyeri tekan perikranial

2. Tension-type H eadache Episodik yang

Frequent

a. Tension-type headache episodik yang 

frequent berhubungan dengan nyeri 

tekan perikranial

b. Tension-type headache yang frequent

tidak berhubungan dengan nyeri 

tekan perikranial

3. Tension-type H eadache Kronik

a. Tension-type headache kronik berhubungan dengan nyeri tekan perikranial

b. Tension-type headache kronik tidak 

berhubungan dengan nyeri tekan 

perikranial

4. P robable Tension-type H eadache

a. Probable tension-type headache episodik yang infrequent 

b. Probable tension-type headache episodik yang frequent

c. Probable tension-type headache kronik 

Patofisiologi

Nyeri kepala akibatTTH muncul lebih sering 

saat pasien terlalu lama dalam posisi kepala 

ditekuk ke bawah (misalnya pada saat membaca dan menulis), sehingga otot belakang 

leher akan tegang. Sementara itu, pada pasien 

yang sering tidur dengan posisi tidak baik, 

nyeri kepala muncul akibat mereka seringkali tidur memakai  bantal yang terlalu 

tinggi. Hal ini dapat memicu  otot leher 

belakang akan tertekan lebih kuat.

Kontraksi otot yang terus menerus akan 

memicu  turunnya perfusi darah dan 

lepasnya substansi pemicu nyeri (laktat, 

asam piruvat, dan sebagainya}. Substansisubstansi ini kemudian menstimulasi saraf 

yang kemudian akan menghasilkan sensasi 

nyeri pada otot dan ligamen yang dipersarafi 

(Gambar 3}. Nyeri ini akan bersifat tumpul 

Pada TTH, nyeri muncul pada otot leher belakang di daerah oksipital. Pada waktu yang 

bersamaan, nyeri akan menjalar melewati 

sisi kiri dan kanan kepala atau melewati sisi 

retroorbita. Oleh karena itu, nyeri juga dapat 

dirasakan pada daerah-derah ini . Sementara itu, pada otot dan ligamen yang 

tidak terlalu banyak mendapat persarafan, 

sensasi yang akan dirasakan yaitu  pegal.

1. Hipotensi dan Anemia

Pasien dengan hipotensi dan anemia 

lebih sering terkena TTH. Hal ini berkaitan dengan rendahnya suplai oksigen menuju otot yang memicu  

kondisi iskemia pada otot. Pada kasus 

hipotensi, nyeri kepala muncul karena 

suplai oksigen berkurang. Berkurangnya 

suplai oksigen merupakan konsekuensi 

dari berkurangnya perfusi darah ke otot 

akibat rendahnya tekanan pada pembuluh darah. Sementara itu, suplai oksigen pada pasien dengan anemia terjadi 

akibat kurangnya sel darah merah yang 

mengangkut oksigen ke jaringan.

2. Stres dan Depresi

Stres dan depresi bukan merupakan pemicu langsung munculnya TTH, melainkan memicu  munculnya kontraksi 

otot yang berlebihan, sehingga terjadi 

defisiensi suplai oksigen dan pelepasan 

substansi pemicu nyeri. Selain itu, sirkulasi darah bisa menurun hingga 50% 

pada saat stres.

3. Sensitisasi Sentral dan Perifer

Nyeri dan stres yang berulang terus 

menerus akan memicu  sensitisasi 

perifer dan sentral sehingga menyebabkan turunnya ambang nyeri. Nyeri akan 

lebih mudah muncul oleh penyebab yang 

sederhana sekalipun, dengan durasi 

yang lebih lama. Hal ini akan memicu 

stres dan seterusnya. 

Gejala Klinis

Karakteristik nyeri kepala ini yaitu  bilateral, menekan atau mengikat, tidakberdenyut 

dengan intensitas ringan sampai sedang, 

serta rasa tegang di sekitar leher dan kepala 

belakang. Oleh karena mekanisme kerjanya 

yang berbeda dengan migren, maka pada 

TTH seharusnya tidak ditemukan adanya 

mual/mimtah dan akan berlangsung lebih 

lama. Walaupun durasinya bisa lebih panjang, nyeri pada TTH tidak seberat migren, 

sehingga sering terabaikan. Hal ini yang menyebabkan TTH lebih cenderung kronik dan 

lebih sulit untuk diterapi secara sederhana. 

Pada kasus TTH kronik, pasien juga umumnya mengeluh insomnia, nyeri kepala saat 

di pagi hari, penurunan berat badan, susah 

berkonsentrasi, dan mudah lelah. Nyeri biasanya dipicu pada keadaan stres dan/atau 

cemas, kelelahan, depresi, posisi tidur atau 

bekerja yang tidak baik, kurang tidur, dan 

kebiasaan merokok.

Pemeriksaan fisik secara umum dan neurologis seharusnya dalam batas normal, untuk 

menyingkirkan nyeri kepala sekunder yang 

memiliki karakteristik yang mirip TTH. Pada 

keadaan tertentu dapat ditemukan adanya 

trigger point, yaitu daerah otot yang tegang, 

sehingga memicu  nyeri tekan di area 

leher dan kepala.

diagnosa 

Kriteria diagnosa  TTH episodik tipe jarang 

(infrequent) yaitu :

1. Sekurang-kurangnya ada  10 episode serangan dengan rerata <1 hari/ 

bulan (<12 hari/tahun} dan memenuhi 

kriteria 2 -5

2. Nyeri kepala dapat berlangsung 30 menit hingga 7 hari

3. Nyeri kepala memiliki paling tidak 2 gejala khas, yaitu:

a. Bilateral

b. Terasa menekan atau mengikat (bukan berdenyut)

c. Intensitasnya ringan hingga sedang

d. Tidak diperberat dengan aktivitas rutin seperti berjalan atau naik tangga

4. Tidak didapatkan keluhan atau gejala 

berupa:

a. Mual atau muntah (walaupun pasien 

mengeluh anoreksia}

b. Fotofobia atau fonofobia

5. Tidak berkaitan dengan kelainan lain 

pada kepala atau organ tubuh lainnya 

(bukan nyeri kepala sekunder).

Mirip dengan TTH episodik tipe jarang, 

TTH episodik tipe sering (frequent) 

mempunyai frekuensi yang lebih sering 

pada kriteria pertama, yaitu paling tidak ada  10 episode serangan dalam 

1-15 hari/bulan selama paling tidak 3 

bulan (12-180 hari/thn).

Kriteria diagnostic TTH kronik yaitu :

1. Nyeri kepala yang terjadi >15 hari/bulan 

dan berlangsung >3 bulan (>180 hari/ 

tahun).

2. Nyeri kepala ini harus memenuhi kriteria berikut:

a. Berlangsung beberapa jam atau secara 

terus menerus

b. Nyeri kepala memiliki sekurangnya 2 

karakteristik berikut:

   Lokasi bilateral

   Terasa menekan atau mengikat (bukan berdenyut) 

• Intensitas ringan hingga sedang 

(dapat mengganggu aktivitas tetapi 

pasien masih bisa beraktivitas)

• Tidak memberat dengan aktivitas 

fisik rutin seperti: berjalan atau naik 

tangga

3. Tidak didapatkan:

a. Lebih dari satu keluhan ini, yaitu fotofobia, fonofobia, atau mual

b. Muntah

4. Tidak berkaitan dengan kelainan lain 

pada kepala atau organ tubuh lainnya 

(bukan nyeri kepala sekunder).

Selama tidak ada defisit neurologis, 

diagnosa  banding TTH yaitu  nyeri

kepala primer lainnya, seperti migren, 

TTH episodik, TTH kronik, nyeri kepala 

tipe Master, dan neuralgia trigeminal. 

Walaupun TTH tidak boleh ditegakkan 

jika ada gejala-gejala migren, seperti 

muntah, fotopsia, dan fonofobia, namun 

pada migren kronik dapat menyebabkan ansietas sehingga memicu TTH. 

Yang penting yaitu  anamnesis frekuensi, karakteristik durasi, dan onset 

masing-masing nyeri yang berbeda, sehingga dapat ditentukan polanya (Gambar 4). Intensitas nyeri saat serangan 

migren lebih tinggi dibandingkan TTH 

dan lebih singkat, sehingga pasien bisa 

kembali ke kondisi normal.

 

pengobatan 

Prinsip pengobatan  TTH meliputi:

1. Modifikasi gaya hidup untuk mengurangi 

faktor pencetus TTH. Mayoritas [80%] 

penyebab TTH yaitu  stres dan postur 

yang tidak benar, terutama saat duduk 

atau bekerja di depan komputer selama 

berjam-jam. Oleh karena itu perlu penguatan otot-otot belakang (back exercise) dan olah raga rutin.

2. Tahap awal pengobatan  harus dimulai 

dengan edukasi faktor dan mengimplementasikan menejemen stres guna mencegah atau mengurangi serangan TTH.

3. TTH akut pada umumnya dapat membaik dengan sendirinya. Namun, jika 

sangat mengganggu bisa dikurangi dengan mengonsumsi analgesikyang dapat 

dikombinasi dengan kafein.

4. pengobatan  nonfarmakologis berupa 

relaksasi, cognitive-behavioral therapy,

serta pemijatan dapat membantu mengurangi dan mencegah serangan.

5. Terapi profilaksis diberikan jika nyeri 

kepala terjadi secara rutin, berhubungan 

dengan pekerjaan, sekolah dan kualitas 

hidup, dan atau pemakaian .

6. Kesemua poin di atas perlu dilakukan 

secara adekuat untuk menghindari nyeri 

berkembang menjadi kronik, karena tata 

laksana akan menjadi sangat berbeda 

akibat telah terjadinya sensitisasi baik 

sentral maupun perifer.

A. Terapi Medikamentosa

Terapi medikamentosa diberikan pada 

serangan akut dan tidak boleh diberikan 

lebih dari 2 hari/minggu.

Pilihan untuk TTH akut yaitu  (Tabel 2):

1. Analgesik, pilihannya yaitu : aspirin 

lOOOmg/hari, parasetamol lOOOmg/hari, 

NSAIDs (Naproksen 660-750mg/hari, 

ketoprofen 25-50mg/hari, tol-fenamat 

200~400mg/hari, asam mefenamat, 

fenoprofen, ibuprofen 800mg/hari, 

diklofenak 50-lOOmg/hari). Pemberian 

analgesik dalam waktu lama memiliki 

efek samping berupa ulkus gaster, ulkus 

duodenum, penyakit ginjal, penyakit 

hepar, dan gangguan fungsi platelet

2. Kafein (analgesik ajuvan) 65mg.

3. Kombinasi:

a. 325mg (aspirin atau asetaminofen] + 

40mg kafein

b. Ibuprofen 400mg + kafein

c. Aspirin/asetaminofen 5O0-lOOOmg 

+ kafein

Pemakaian obat analgesik yang dikombinasi 

dengan kafein dapat memunculkan ketergantungan.

Terapi medikamentosa untuk TTH kronik:

1. Antidepresan

Antidepresan jenis trisiklik: amitriptilin. 

Selain berfungsi sebagai obat analgesik, 

obat ini juga dipakai  sebagai obat 

profilaksis TTH, Obat ini memiliki efek 

analgesik dengan cara mengurangi firing

rate o f trigeminal nucleus caudatus. Pemakaian obat antidepresan trisiklik memiliki efek samping berupa penambahan 

berat badan (merangsang nafsu makan), 

mengganggu jantung, hipotensi ortostatik, dan efek antikolinergik (mulut leering, 

mata kabur, tremor, disuria, retensi urin, 

dan konstipasi. 

2. Antiansietas

Golongan obat ini dipakai  untuk penyembuhan maupun pencegahan TTH. 

Obat ini terutama diberikan pada pasien 

dengan komorbid ansietas. Golongan antiansietas yang sering dipakai  yaitu  

benzodiazepin.

B. Terapi Nonmedikamentosa

1. Edukasi: menjelaskan sedildt patofisiologi 

TTH secara sederhana serta pengobatan 

yang diperlukan. Memastikan pasien mengetahui bahwa TTH bukanlah penyakit 

serius seperti tumor otak, perdarahan otak. 

Hal ini akan mengurangi ketegangan pasien.

2. Kontroldiet.

3. Terapi fisik:

   Latihan postur dan posisi 

   Masase

   Ultrasound, manual terapi^

   Kompres panas/dingin 

   Akupuntur transcutaneus electrical

stimulation (TENS)

   Obat anestesi atau bahan lain pada 

titik pemicu

4. Hindari pemakaian harian obat analgesik, sedatif, dan ergotamin.

5. Behaviour treatment dalam bentuk biofeedback, manajemen stres, reassurance,

konseling, terapi relaksasi, atau terapi 

kognitif-sikap.

C. Terapi Profilaksis

Terapi ini diberikan pada pasien TTH episodik yang sering mendapat serangan atau 

pasien dengan serangan >15 hari dalam 

satu bulan (TTH kronik) (Tabel 3). Prinsip 

terapi ini yaitu  memberikan obattunggal 

yang dititrasi hingga dosis terendah yang 

efektif dan dapat ditoleransi dengan baik 

oleh pasien.

Indikasi:

Pasien yang mengalami disabilitas akibat 

nyeri kepala >4 hari/bulan atau pasien yang 

tidak respons terhadap terapi simptomatis 

walaupun frekuensi nyeri kepalanya lebih 

jarang, Terapi profilaksis dikatakan berhasil jika bisa mengurangi frekuensi serangan 

dan/atau mengurangi derajat keparahan 

minimal 50%. 

Prinsip pemilihan obat profilaksis yaitu :

1. Harus sesuai lini yang disarankan 

(lini pertama lebih diutamakan dari lini 

kedua), tetapi harus mempertimbangkan 

efek samping dan faktor komorbid pasien

2. Dimulai dengan dosis rendah, kemudian 

dosis dinaikkan perlahan-lahan hingga 

didapatkan dosis maksimal yang efektif 

untuk pasien

3. Obat diberikan dalam jangka waktu 

seminggu/lebih

4. Obat dapat diganti dengan obat lain jika 

obat pilihan pertama gagal

5. Obat lebih utama diberikan dalam bentuk monoterapi

Sebelum diberikan terapi profilaksis, perlu 

ditanyakan penyakit komorbid lain yang 

juga dialami oleh pasien, misalnya: pasien 

dengan hipertrofi prostat dan glaukoma 

tidak boleh diberikan amitriptilin. Pasien 

harus diinformasikan mengenai cara kerja 

obat dan kapan saja waktu mengonsumsi 

obat Selain itu, pasien juga perlu mendapat 

penjelasan mengenai tingkat efikasi dan 

efek samping obat ini 

Pasien juga perlu mencatat tiap serangan 

nyeri pada catatan harian (headache diary).

Catatan ini berfungsi untuk mengetahui pola,

frekuensi, dan durasi nyeri, serta gangguan 

fungsional, jumlah obat simptomatis yang 

dikonsumsi, efikasi terapi profilaksis, dan 

efek samping dari obat profilaksis maupun 

obat simptomatis. Oleh karena faktor penting pencegahan kekambuhan nyeri kepala 

yaitu  dengan mengidentifikasi faktor yang 

mencetuskan dan mengurangi nyeri kepala.

Walaupun tidak berbahaya, TTH dapat 

mengganggu aktivitas sehari-hari. Kasus TTH 

terbanyak yaitu  kasus TTH episodik, namun 

akan sangat mudah menjadi kronik akan 

meningkat jika pemicu dan stresor tidak bisa 

diatasi,

NYERI KEPALA TIPE KLASTER

Kelompok trigeminal autonomic cephalalgias (TAC) terdiri dari: (1) nyeri kepala tipe 

Master, [2) paroksismal hemikrania, (3) 

short-lasting unilateral neuralgiform headache attacks/SUN CT, (4) kontinua hemikrania, dan (5) probable TAC. Nyeri kepala tipe 

Master atau cluster headache (CH) merupakan nyeri kepala tersering pada TAC, sehingga fokus pembahasan pada bagian ini 

ialah mengenai CH.

CH memiliki karakteristik berupa nyeri kepala hebat yang disertai gejala otonom di 

temp at yang spesifik, seperti orbita, supra  

orbita, temporal, atau kombinasi tempattempatini . Nyeri ini berlangsung 

secara periodik, sehingga disebut sebagai 

klaster [cluster), dalam waktu 15-180 menit dengan frekuensi dari 1 kali tiap 2 hari 

hingga 8 kali sehari. Serangan nyeri kepala 

selalu disertai satu atau lebih gejala, seperti 

injeksi konjungtiva, lakrimasi, kongesti nasal, rhinorrhea, berkeringat di kening dan 

wajah, miosis, ptosis, dan edema palpebra. 

Semua gejala ini bersifat ipsilateral. 

Pasien sebagian besar gelisah dan agitasi 

selama serangan CH berlangsung.

Prevalensi CH sangat jarang, hanya kurang 

dari 1%. Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada lelaki dibanding perempuan, dengan rasio sekitar 6:1, serta berusia lebih 

dari 30 tahun. Selain itu faktor risiko juga 

jika mengkonsumsi vasodilator seperti 

alkohol, riwayat trauma dan operasi kepala, 

merokok, serta adanya stressor.

Klasifikasi

ada  dua jenis CH, yaitu:

1. CH episodik, merupakan serangan nyeri 

kepala klaster yang terjadi periodik dan 

berlangsung tujuh hari sampai satu tahun. Setiap periode dipisahkan oleh 

periode bebas nyeri yang akan berlangsung satu bulan atau lebih lama.

2. CH kronik, merupakan serangan nyeri 

kepala klaster yang terjadi selama lebih 

dari satu tahun tanpa remisi atau disertai remisi namun berlangsung hanya 

kurang dari satu bulan.

Patofisiologi

Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak 

lama, tetapi patofisiologi yang mendasari 

berbagai gejalanya hingga saat ini masih

belum bisa dimengerti secara jelas. Untuk 

memudahkan pemahaman penyakit ini, 

maka dilakukan pendekatan patofisiologis 

berdasarkan gejala yang dialami pasien, yaitu: (1) nyeri kepala; (2} gejala otonom; dan 

[3) periodisitas yang stereotipik.

Stimulus nyeri kepala disampaikan ke 

sistem saraf pusat melalui cabang nosiseptif 

oftalmikus nervus Trigeminus. Cabang saraf 

ini menginervasi struktur intrakranial yang 

sensitif terhadap nyeri, seperti: duramater 

dan pembuluh darah dural. Ketika saraf 

atau ganglion trigeminus teraktivasi, substansi P dan calcitonin gene-related peptide

(CGRP) akan dilepaskan. Pelepasan kedua 

jenis neuropeptida trigeminovaskular ini 

merangsang inflamasi neurogenik dan dilatasi pembuluh darah yang kemudian menimbulkan sensasi nyeri kepala.

Gejala otonom pada nyeri kepala klaster 

merupakan indikasi adanya aktivasi saraf 

parasimpatis. Saraf ini merupakan cabang 

dari neuron orde pertama nukleus salivatorius superior dan memiliki hubungan fungsional dengan nukleus trigeminus. Serabut 

saraf ini selanjutnya memanjang sejajar 

nervus fasialis dan bersinaps di ganglion 

pterigopalatina. Saraf post-ganglionik berfungsi sebagai vasomotor dan sekretomotor 

pembuluh darah serebral, kelenjar lakrimal, dan mukosa hidung. Hal lain yang juga 

memicu munculnya gejala otonom yaitu  

perubahan vaskular yang menginduksi 

gangguan aktivitas saraf simpatis. Munculnya gejala sindroma Horner (ptosis, miosis, 

injeksi konjungtiva) selama serangan nyeri 

kepala klaster, mengindikasikan adanya 

pengaruh pleksus simpatis karotis, terutama pleksus di sekitar arteri karotis interna l

segmen kavernosus.

Sementara itu, periode serangan yang episodik diduga berhubungan dengan adanya 

disfungsi aktivitas hipotalamus. Hal ini dibuktikan dengan abnormalitas kadar hormon kelenjar hipofisis yang mengindikasikan adanya perubahan ritme sekretorik 

hipotalamus.

diagnosa  dan diagnosa  Banding 

1. diagnosa 

Kriteria diagnostik cluster headache

yaitu :

a. ada  minimal 5 serangan yang 

memenuhi kriteria B-D

b. Nyeri hebat atau sangat hebat di orbita, supraorbita, dan atau temporal 

yang unilateral, berlangsung 15-180 

menit bila tidak diobati

c. Nyeri kepala disertai setidaknya satu 

dari gejala berikut:

1) Injeksi konjungtiva dan atau lakrimasi ipsilateral

2) Kongesti nasal dan atau rhinorrhoea 

ipsilateral

3) Edema palpebra ipsilateral

4) Dahi dan wajah berkeringat ipsilateral

5) Miosis dan atau ptosis ipsilateral

6) Perasaan gelisah atau agitasi

d. Serangan-serangan ini mempunyai frekuensi: dari 1 kali setiap 2 

hari sampai 8 kali per hari

e. Tidak berkaitan dengan gangguan lain

2. diagnosa  Banding

a. Paroksismal hemikrania

b. Short-lasting unilateral neuralgiform

headache attack with conjungtival injection and tearing/cranial autonomic

features (SUNCT/SUNA].

c. Migren

d. Arteritis temporal 

pengobatan 

Pada prinsipnya pengobatan  nyeri kepala 

ldaster bertujuan untuk menekan periode 

serangan, menghentikan serangan akut, 

mengurangi frekuensi serangan, serta mengurangi berat atau intensitas serangan.

Terapi untuk serangan akut nyeri kepala 

Master:

1. Inhalasi oksigen 100% 7 L/menit selama 

15 menit dengan sungkup

2. Dihidroergotamin (DHE) 0,5-l,5m g secara intravena akan mengurangi nyeri 

dalam 10 m enit Pemberian melalui intramuskular atau nasal memeiliki awitan 

lebih lama.

3. Sumatriptan injeksi subkutan 6mg akan 

mengurangi nyeri dalam waktu 5-15 men it Dapat diulang setelah 24 jam. Sumatriptan dikontraindikasi untuk pasien 

dengan penyaldt jantung iskemik dan/ 

atau hipertensi tidak terkontrol. Sumatriptan nasal spray 20mg juga dapat diberikan, tetapi kurang efektif jika dibandingkan sumatriptan injeksi subkutan. 

Efek sampingnya yaitu  pusing, letih, 

parestesia, dan kelemahan di wajah.

4. Anestesi lokal lm L lidokain 4% yang 

diteteskan pada kapas kemudian kapas 

diletakkan di tiap lubang hidung selama 

5 menit.

 

a. Nyeri kepala klaster yang sulit hilang 

walaupun telah diberikan terapi abortif 

(gagal terapi abortif)

b. Nyeri kepala klaster terjadi setiap hari 

dan berlangsung selama lebih dari 15 

menit

c. Pasien yang bersedia dan mampu mengonsumsi obat setiap hari

Obat yang dapat dipakai  untuk profilaksis:

1. Verapamil 120-160m g dapat diberikan

3 -4 kali sehari (merupakan pilihan pertama terapi profilaksis). Selain itu dapat 

juga memakai  nimodipin 240mg/ 

hari atau nifedipin 40-120mg/hari.

2. Prednisolon 50-75mg/hari. Dosis dikurangi 10% pada hari ketiga. Obat ini 

tidak boleh diberikan dalam jangka waktu yang lama. Efektif mencegah serangan 

pada 80-90% kasus.

3. Litium 300-1500mg/hari per oral (ratarata pemberian 600-900mg/hari)

4. Metisergid 4 -1 0 mg/hari per oral

5. Ergotamin tartrat 2mg diberikan 2-3 

kali per hari. Dapat diberikan dengan 

cara 2mg per oral atau lm g per rektal, 

2 jam sebelum serangan terutama pada 

malam hari.

Selain terapi medikamentosa, pasien perlu 

disarankan untuk membiasakan diri hidup 

dan istirahat teratur, hindari konsumsi alkohoi, batasi paparan terhadap zat volatil seperti gasolin, hati-hati bila sedang berada di 

ketinggian, serta hindari paparan terhadap 

produk tembakau dan sinar yang terlalu 

terang atau suara yang terlalu gaduh {glare

and bright light).

Prognosis pada pasien CH dapat bervariasi, 

mulai dari persistennya serangan yang berulang, memanjangnya masa remisi, hingga 

berubahnya CH episodik menjadi CH kronik. 

Sekitar 80% pasien CH episodik akan tetap 

mengalami CH episodik selama hidupnya. Sementara itu, 4-13% pasien CH episodik ditemukan mengalami transformasi menjadi CH 

kronik. Remisi spontan ditemukan pada 12% 

pasien, umumnya pada pasien CH episodik. 

Tidak ada laporan mortalitas yang diakibatkan langsung oleh CH, namun banyak pasien 

dikatakan mengalami depresi dan bunuh diri 

akibat serangan CH yang periodik.

NEURALGIA TRIGEMINAL

Neuralgia trigeminal atau yang dikenal juga 

dengan tic douloureux yaitu  nyeri akibat 

lesi di sepanjang cabang nervus trigeminus. 

Insidensnya lebih banyak pada perempuan 

dibanding lelaki (2:1). Pada 90% pasien, 

awitan terjadi ketika pasien berusia di atas 

usia 40 tahun, terutama usia 6 0 -7 0 tahun. 

Jika terjadi. di usia 2 0-40 tahun, penyebab 

demielinisasi akibat multipel sklerosis perlu dipertimbangkan.

Rlasifikasi

1HS membedakan neuralgia trigeminal menjadi 2 kategori:

1. Neuralgia trigeminal klasik, umumnya 

idiopatik. Namun seringkali berkaitan 

dengan kompresi vaskular pada tempat 

masuknya cabang nervus trigeminus di 

batang otak.

2. Neuralgia trigeminal simtomatik, sering 

dipicu  oleh lesi struktural, seperti multipel sklerosis, anuerisma arteri basilar, atau 

tumor (neuroma trigeminal, meningioma, 

epidermoid) pada cerebellopontine angle. 

Gejala Klinis

Gejala yang paling sering dikeluhkan berupa 

serangan nyeri pada wajah unilateral yang 

bersifat episodik, spontan, menusuk, dan 

seperti tersengat listrik pada daerah wajah 

yang dipersarafi oleh percabangan nervus 

trigeminus. Nyeri bersifat progresif dalam 

waktu 20 detik, sehingga pasien terlihat 

kesakitan yang kemudian menghilang dan 

menyisakan rasa terbakar yang bertahan 

beberapa detik hingga menit

Neuralgia yang klasik biasanya memiliki titik picu (trigger point) daerah wajah yang 

dipersarafi nervus trigeminus cabang kedua atau ketiga (terutama daerah pipi dan 

dagu]. Hanya >5% pasien yang memiliki titik picu di daerah nervus trigeminus cabang 

pertama. Pada 60% kasus, nyeri berasal dari 

ujung mulut hingga ke arah sudut rahang, 

sedangkan 30% dari bibir atas atau gigi taring atas hingga ke sekitar mata dan alis.

Nyeri tidak pernah menjalar dari satu sisi 

ke sisi lainnya, tetapi nyeri pada beberapa 

kasus dapat bilateral, umumnya penyebab 

sentral berupa multipel sklerosis. Umumnya akan ada periode bebas nyeri yang 

dapat berlangsung beberapa minggu hingga 

beberapa tahun. Di antara dua serangan 

dapat terasa nyeri tumpul yang bertahan 

dan menetap di beberapa kasus. Sesudah 

serangan nyeri umumnya akan ada periode 

refrakter, yaitu suatu periode bebas rasa 

nyeri (kondisi tidak dapat dipicu).

Saat nyeri rekuren, titik picu umumnya akan 

berada pada tempat yang sama. Pemeriksaan neurologis akan menunjukkan kondisi 

normal, kecuali jika dilakukan pemeriksaan segera setelah nyeri muncul, berupa 

berkurangnya fungsi sensoris pada daerah

nyeri. Sebanyak 60% pasien dapat melokalisasi titik picu nyeri.

Patofisiologi

Sampai saat ini patofisiologi neuralgia trigeminal masih kontroversial. Etiologinya 

dapat berasal dari sentral, perifer, atau 

keduanya. Nervus trigeminus (N. V} dapat 

menghantarkan nyeri karena memiliki serabut saraf sensorik dari ketiga cabangnya 

(Gambar 5), yaitu cabang VI (cabang oksipital) yang mempersarafi kulit kepala, dahi, 

dan kepala bagian depan; cabang V2 (cabang maksila] untuk hidung, pipi, serta rahang, bibir, gigi, dan gusi atas; serta cabang 

V3 (cabang mandibula) pada area rahang, 

bibir, gigi, dan gusi bawah.

Umumnya tidak ada kelainan struktural 

(85% ], namun sebagian ditemukan adanya 

kompresi nervus trigeminal oleh arteri dan 

vena pada tempat masuknya cabang nervus 

ini di batang otak. Kompresi ini menyebabkan demielinisasi yang dapat memicu  cedera nervus trigeminal, terutama 

pada cabang kedua dan ketiga. Dapat ditemukan juga penekanan akibat tumor di daerah cerebellopontine angle (CPA] yang biasanya disertai adanya baal di daerah wajah 

pada area ketiga cabang N. V, serta paresis 

N. VII perifer dan gangguan pendengaran 

pada telinga ipsilateral.

Nyeri neuropatik merupakan penanda utama dari kerusakan serat saraf aferen kecil 

yang tidak bermielinisasi atau bermielinisasi tipis. Rusaknya mielin (demielinisasi] 

ini memicu  hilangnya barrier antara 

satu serat saraf dengan serat saraf lainnya, 

sehingga rentan terjadi "korsleting". Hal ini 

diperburuk oleh mekanisme re-entry yang 

memicu  amplifikasi stimulus, se-

 

hingga stimulus akan dihantarkan secara 

berlebihan. Kondisi lain yang dapat menyebabkan kerusakan pada mielin yaitu  multipel slderosis, kompresi oleh tumor nervus 

V, dan proses degeneratif.

diagnosa 

diagnosa  terutama berdasarkan nyeri yang 

khas pada daerah wajah yang dipersarafi 

nervus trigeminal unilateral. Faktor pencetus nyeri yaitu  stimulus non-nyeri yang 

merupakan bagian dari aktivitas seharihari, dapat berupa sentuhan, berbicara, 

makan, minum, mengunyah, menyikat gigi, 

menyisir rambut, bercukur rambut, terkena 

air saat mandi. Titik picu nyeri umumnya di 

daerah plika nasolabialis.

Kriteria diagnostik neuralgia trigeminal

berdasarkan IHS yaitu :

1. Serangan nyeri paroksismal beberapa 

detik hingga dua menit yang melibatkan 

1 atau lebih cabang N, Trigeminal dan 

memenuhi kriteria B dan C.

2. Nyeri paling sedikit memenuhi 1 karakteristik berikut:

a. Kuat, tajam, superfisial atau rasa tertikam.

b. Dicetuskan dari satu titik pada zona 

nyeri atau oleh satu faktor pencetus.

3. Jenis serangan stereotipik pada tiap individu.

4. Tidak ada defisit neurologis.

5. Tidak berkaitan dengan gangguan pada 

organ lain. 

diagnosa  banding dari penyakit ini meliputi sindroma nyeri fasial atipikal, nyeri 

kepala kluster, neuralgia pascaherpes, dan 

nyeri akibat penyakit pada gigi atau orbita. 

Pemeriksaan pencitraan yang ideal yaitu  

MRI dengan kontras untuk membedakan 

neuralgia trigeminal klasik dan simtomatik, 

berupa adanya gambaran kompresi saraf 

trigeminal oleh pembuluh darah atau tumor.

pengobatan 

Prinsip utama pengobatan  nyeri trigeminal 

yaitu  mencari penyebab utamanya, sebelum memberikan obat-obatan selama jangka panjang, dilanjutkan dengan tindakan 

pembedahan jika memang terjadi kelainan 

struktural.

1. Terapi Medikamentosa

Neuralgia trigeminal klasik umumnya 

akan responsif dengan terapi medikamentosa. Sementara itu, pengobatan  

neuralgia trigeminal simtomatik harus 

disesuaikan dengan etiologinya. Terapi 

alternatif seperti stimulus mekanik, elektrik, atau termal dapat dipakai  untuk 

mengurangi nyeri dengan efek samping 

yang lebih kecil dibanding dengan terapi 

medikamentosa.

Pilihan terapi yang dapat dipakai  

yaitu  oral berupa:

   Karbamazepin 100-600mg/hari 

   Pregabalin 150-300mg/hari 

   Gabapentin 1200-3600mg/hari 

   Baklofen 60-80mg/hari

• Fenitoin 200-400mg/hari

   Lamotrigin 100-400mg/hari

• Topiramat 150-300mg/hari

• Okskarbazepin 300-2400mg/hari

1. Terapi Nonmedikamentosa

pengobatan  pembedahan diindikasikan pada nyeri yang sulit dikontrol walaupun sudah diberikan pengobatan  

medikamentosa, atau pada nyeri yang 

simtomatik akibat penekanan oleh arteri 

atau tumor. ada  5 prosedur terapi 

pembedahan pada neuralgia trigeminal, 

sesuai dengan etiologinya, yaitu gamma

knife radiosurgery, radiofrequency electrocoagulation, injeksi gliserol, balloon

microcompression, dan microvascular decompression. Namun terapi pembedahan 

berisiko terjadinya anestesia dolorosa, 

yaitu rasa baal di area yang dipersarafi 

nervus trigeminus.

Walaupun neuralgia trigeminal tidak 

membahayakan nyawa, namun sangat 

mengganggu kualitas hidup akibat nyerinya yang hebat saat serangan dan dapat 

berulang setiap saat. Hal ini dapat menyebabkan sindrom nyeri kronik dan 

memicu  depresi. Pasien akan 

cenderung membatasi aktivitas yang 

merangsang nyeri seperti mengunyah, 

sehingga akan kehilangan berat badan 

yang signifikan. Bahkan pada kasus nyeri 

yang parah dapat mendorong pasien untuk bunuh diri.

Pasien perlu diedukasi tentang perjalanan penyakit bahwa serangan nyeri memiliki kemungkinan remisi beberapa bulan, lalu dapat rekuren dengan frekuensi 

lebih sering. Demikian pula tentang efek 

samping obat, terutama obat anti-konvulsan yang dapat memicu  sedasi 

dan ataksia, serta memengaruhi fungsi 

hati, agar pasien dapat mengenali gejala menurunnya fungsi hati dan segera 

berobat jika perlu. Pasien juga sebaiknya 

mengurangi manuver-manuver yang 

akan memicu munculnya nyeri.

NYERI KEPALA SEKUNDER

Kelompok nyeri kepala sekunder pada 

dasarnya berbeda dengan nyeri kepala 

primer karena merupakan sebuah gejala 

dari suatu proses organik dan berhubungan 

dengan lebih dari 316 gangguan dan penyak it Oleh karena nyeri kepala sekunder ini 

merepresentasikan suatu proses organik di 

tubuh, maka setiap klinisi harus bisa mendeteksi dini masalah ini dengan cara mengenali tanda bahaya nyeri kepala agar pasien 

tidak jatuh ke dalam kondisi yang mengancam nyawa. Setelah diagnosa  nyeri kepala 

sekunder ditegakkan, selanjutnya pasien 

harus direncanakan beberapa pemeriksaan 

lebih lanjut untuk mengetahui proses organik penyakit yang mendasarinya.

Pengenalan tanda bahaya nyeri kepala akan 

menuntun klinisi untuk memutuskan urgensi 

pemeriksaan lanjutan (pencitraan otak, analisis cairan otak, pemeriksaan darah) pada 

pasien dengan keluhan nyeri kepala. Tanda 

bahaya ini berbeda antara orang dewasa dan 

anak-anak. Beberapa tanda bahaya nyeri-kepala pada orang dewasa, antara lain:

   Nyeri kepala pertama kali dan sangat 

parah (thunderclap headache)

   Nyeri kepala awitan pertama kali di atas 

usia 50 tahun

   Nyeri kepala dengan peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan 

   Nyeri kepala kronik sehari-hari yang tidak responsif dengan terapi

   Nyeri kepala yang terjadi selalu di satu sisi

   Nyeri kepala yang terjadi setelah trauma 

kepala

   Nyeri kepala dengan penyakit sistemik 

(demam, kaku kuduk, ruam kulit)

   Nyeri kepala yang berhubungan dengan 

kejang dan aura atipikal

   Nyeri kepala dengan defisit neurologis

   Nyeri kepala awitan baru pada pasien 

imunodefisiensi atau kanker

   Nyeri kepala yang dicetuskan oleh perubahan posisi, aktivitas, dan peregangan

   Nyeri kepala pada pasien dengan sindroma 

neurokutaneus

Berbeda dengan orang dewasa, tanda bahaya nyeri kepala pada anak, antara lain:

   Nyeri kepala persisten dengan durasi <6 

bulan yang tidak respon dengan pengobatan

   Nyeri kepala berhubungan dengan defisit neurologis, termasuk edema papil, 

nistagmus, dan gangguan gait

   Nyeri kepala persisten pada pasien yang 

tidak memiliki riwayat migren di keluarga

   Nyeri kepala persisten yang disertai 

gangguan kesadaran, disorientasi, atau 

muntah

   Nyeri kepala yang sering membangunkan anak dari tidurnya, atau terjadi 

segera setelah anak bangun tidur

   Adanya riwayat penyakit saraf sebelumnya atau riwayat serupa di keluarga yang 

mendukung ke arah kelainan susunan 

saraf pusat 

Beberapa pemeriksaan lanjutan yang diindikasikan pada nyeri kepala sekunder 

yaitu  pencitraan otak, laboratorium, analisis cairan otak, dan elektroensefalogram 

(EEG), seperti pada Tabel 4. Pencitraan otak 

seperti CT scan dan MRI dapat dilakukan 

untuk mendeteksi kelainan struktural. Kedua pemeriksaan ini memiliki karakteristik 

masing-masing. CT scan lebih sensitif daripada MRI pada kasus stroke akut, perdarahan subaraknoid (<24 Jam). MRI lebih 

sensitif daripada CT scan untuk mendeteksi 

keganasan, lesi di medulla spinalis, kelainan 

pituitari, dan malformasi arterivena. CT angiografi, MR angiografi, dan MR venografi 

merupakan pemeriksaan pencitraan yang 

dapat dilakukan untuk mengetahui kelainan 

vaskular.

Pemeriksaan laju endap darah dan protein 

C-reaktif diindikasikan pada nyeri kepala 

sekunder terkait arteritis temporal. Pemeriksaan ANA dan faktor reumatoid dikerjakan 

untuk mengetahui adanya kelainan autoimun. 

Skrining toksikologi, darah lengkap, hormon 

tiroid, dan tes fungsi hati yaitu  beberapa

pemeriksaan yang dapat dikerjakan untuk 

mengetahui penyakit yang mendasari nyeri 

kepala. Pungsi lumbal dikerjakan pada kasus 

meningitis, ensefalitis, metastasis tumor leptomeningeal, perdarahan subaraknoid, atau 

adanya perubahan tekanan cairan otak, sedangkan elektroensefalografi (EEG) dilakukan 

pada nyeri kepala yang berhubungan dengan 

bangkitan kejang atau epilepsi.

Setelah mengetahui penyakit organik yang 

mendasari nyeri kepala, pengobatan  selanjutnya diberikan sesuai etiologinya. Adapun 

pembahasan lebih rinci mengenai beberapa 

penyakit yang mendasar ini dapat dilihat di 

topik lain dalam buku ini.

CONTOH KASUS

X. Seorang perempuan berusia 32 tahun 

mengeluh nyeri kepala sebelah yang didahului dengan melihat bintik-bintik hitam 

disertai kilatan cahaya. Penglihatan ini  berlangsung sekitar 30 menit dan diikuti nyeri kepala di sebelah kanan. Nyeri 

kepala terasa berdenyut dan semakin hebat dengan visual analog scale (VAS) 8. Ti-

 

dak didapatkan defisit neurologis dalam 

pemeriksaan fisik. Pasien sering mengalami nyeri kepala seperti ini sejak remaja.

Pertanyaan:

Apakah diagnosa  pada pasien ini ?

a. Tension headache

b. Nyeri kepala Master

c. Tumor otak

d. Migren dengan aura

e. Migren tanpa aura

Jawaban: d. Migren dengan aura

2. Seorang pasien perempuan usia 28 tahun 

datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala sebelah kiri disertai nyeri pada mata 

kiri. Intensitas nyeri cukup berat [VAS 

9-10} dengan durasi sekitar 3-4 jam. Nyeri 

dirasakan seperti tertekan, berdenyut, 

atau ditusuk-tusuk Saat serangan mata 

kiri menjadi merah, berair, dan sangat silau melihat cahaya. Nyeri hilang timbul dengan frekuensi hingga 3 kali dalam sehari, 

bahkan membuat terbangun pada malam 

hari karena nyerinya. Pasien pernah mengalami nyeri seperti ini kira-kira 7 tahun 

yang lalu dan berulang setiap tahun.

Pertanyaan:

Apa diagnosa  pasien ini ?

a. Migren tanpa aura

b. Migren dengan aura

c. SOL (space occupaying lesion} intrakranial

d. Nyeri kepala Master

Apa ciri khas yang mengarahkan diagnosis terhadap pasien ini ?

1) Nyeri kepala berdenyut

2) Nyeri kepala sebelah 

3} Nyeri kepala hebat

4} Keterlibatan mata 

Jawaban: d. Nyeri kepala Master, d. Keterlibatan mata

3. Seorang perempuan berusia 47 tahun 

datang dengan keluhan nyeri kepala sejak 3 hari sebelumnya. Nyeri dirasakan 

seperti terikat di seluruh bagian kepala. 

Nyeri kepala diperberat dengan aktivitas, seperti terlalu lama di depan komputer atau terlalu lama membaca dan 

berkurang dengan istirahat. Pemeriksaan fisik dalam batas normal.

Pertanyaan:

Apakah diagnosa  pasien ini ?

a. Tension type-headache

b. Nyeri kepala Master

c. Tumor otak

d. Migren dengan aura

e. Migren tanpa aura 

Jawaban: a. Tension type-headache

4. Seorang perempuan 78 tahun datang 

dengan keluhan nyeri seperti tertusuk 

pada pipi kanan, daerah atas rahang, dan 

seldtar hidung sejak 8 bulan sebelumnya. 

Nyeri terasa berat (VAS 8-9}, hingga mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari 

pasien. Nyeri kadang muncul saat mengunyah atau menelan, dan menyebar ke arah 

telinga dan tenggorokan. Pasien pernah 

mendapat karbamazepin, tetapi semaMn 

lama dikatakan tidak ampuh menghilangkan nyeri. Pasien memilild riwayat mengalami angina pektoris tidak stabil.

Pertanyaan:

Apakah diagnosa  pasien ini di atas?

a. Cluster headache

b. Nyeri akibat gigi berlubang 

c. Migren

d. Neuralgia trigeminal 

Jawaban: d. Neuralgia trigeminal

5. Seorang laki-laki 24 tahun datang ke IGD 

dengan nyeri kepala hebat sejak 1 hari. 

Nyeri kepala dirasakan di seluruh kepala, terus menerus, dan tidak dipengaruhi aktivitas. Intensitas nyeri VAS 7-8. 

Pasien masih sadar penuh, tetapi demam 

39°C sejak sehari sebelumnya. Pemeriksaan neurologis ditemukan kaku kuduk 

dan ruam kulit. Pemeriksaan laboratorium ada  leukositosis 21,000/mm3.

Pertanyaan:

Apakah diagnosa  kerja yang paling 

mungkin pada pasien ini?

a. Perdarahan subaraknoid

b. Ensefalitis viral

c. Meningitis bakterialis

d. Epidural hematom 

Jawaban: c. meningitis bakterialis

6. Seorang perempuan 26 tahun, staf keuangan, datang ke poliklinik dengan keluhan 

nyeri leher belakang sejak 8 bulan. Nyeri dirasakan hilang timbul dengan intensitas sedang, dan tidak berdenyut, sekitar 1-2 kali 

seminggu. Nyeri menjalar ke kepala bagian 

belakang, bahu kanan, dan sekitar wajah sisi 

kanan, terutama bila pasien sedang banyak 

kerjaan dan kurang tidur. Tidak ada riwayat 

demam, penurunan berat badan, dan mual 

muntah. Pemeriksaan fisik menunjukkan 

postur kepala ke depan. Saat palpasi leher, 

teraba spasme pada m. trapezius bilateral 

dan m. paravertebra servikalis, tidak ada 

defisit neurologis. Pasien merasa nyeri saat 

gerakan hiperekstensi kepala secara pasif. 

Pemeriksaan Rontgen servikal menunjukkan hasil straight cervical.

Pertanyaan:

Apakah diagnosa  paling mungkin pada 

pasien ini?

a. HNP servikal

b. Nyeri kepala servikogenik

c. Neuralgia trigeminal

d. Migren tanpa aura

Jawaban: b. Nyeri kepala servikogenik

7. Seorang perempuan 37 tahun datang ke 

poliklinik dengan keluhan nyeri kepala 

sejak setahun lalu. Nyeri kepala terutama 

dirasakan di sisi kanan kepala. Awalnya, 

nyeri kepala memiliki frekuensi satu kali 

seminggu, hilang timbul, durasi sekitar 

setengah hari, dan intensitas ringan. Namun, sejak 1 bulan terakhir, nyeri muncul setiap hari, terus menerus, dan intensitas sedang-berat. Saat datang, pasien 

sadar, namun terlihat kesakitan (VAS 

8-9) dan bingung, serta bicara kadang 

tidak sesuai dengan pertanyaan.

Pertanyaan:

Pemeriksaan lanjutan apa yang paling 

utama dikerjakan untuk mengetahui 

penyaldt yang mendasari nyeri kepala 

pasien?

a. Analisis cairan otak

b. MRI

c. Angiografi

d. CT scan

Jawaban: b. MRI 









NYERI NEUROPATIK

Jan Sudir Purba, Tiara Aninditha

PENDAHULUAN

Nyeri neuropatik yaitu  nyeri yang dipicu  oleh kerusakan jaringan saraf, baik 

di susunan saraf pusat (SSP) maupun perifer. Nyeri ini dapat muncul walaupun kerusakan jaringan sudah sembuh atau bahkan 

tanpa adanya kerusakan jaringan. Nyeri 

neuropatik perifer sering digambarkan sebagai rasa terbakar, serasa sengatan listrik, 

rasa ditusuk, atau rasa kesemutan. Ditemukan juga gangguan sensorik berupa alodinia, hiperalgesia dengan lokasi yang kurang 

jelas, tidak pada daerah terluka saja, atau 

hiperpatia. Hampir semua proses patologis 

yang memicu  kerusakan/disfungsi jaringan saraf atau neuropati berpotensi menimbulkan nyeri neuropatik, seperti infeksi 

virus, bakteri, radang aseptik, tekanan karena neoplasma atau lesi struktural lainnya, 

degeneratif, iskemia, autoimun, zat beracun, 

trauma, dan endokrin/mekanisme metabolisme.

EPIDEMIOLOGI

Nyeri neuropatik dijumpai setidaknya pada 

7-8% populasi di Eropa. Di negara kita  sendiri berdasarkan hasil penelitian multisenter unit rawat jalan 14 RS pendidikan yang 

dilakukan Pokdi Nyeri PERDOSSI tahun 

2002 didapatkan 4.456 kasus nyeri, 9,5%

di antaranya yaitu  nyeri neuropatik. Angka ini meningkat pada tahun 2012 di 13 RS 

di negara kita  terhadap 8.160 subjek dengan 

instrumen penapis yang lebih sensitif, menjadi 21,8%. Mayoritas subyek yaitu  lelaki 

(62,1%) berusia 40-60 tahun dengan nyeri 

punggung bawah (NPB), sindrom terowongan karpal (STK), frozen shoulder, neuropati 

diabetika, dan brakialgia. Penelitian di 

Bandung (2013) mendapatkan prevalensi 

yang lebih tinggi (31,6%), terutama perempuan (66,9%) dan berusia >40 tahun (91%).

PATOFISIOLOGS

Munculnya nyeri neuropatik diawali oleh 

lesi atau disfungsi jaringan saraf sebagai 

sistem somatosensorik. Nyeri ini muncul 

spontan dengan sensasi yang ’tidak biasa', 

seperti disestesia, rasa seperti tusukan, rasa 

terbakar, nyeri seperti tersengat listrik, dan 

sebagainya. Kerusakan jaringan saraf ditemukan pada penderita neuropati diabetika, postherpetic neuralgia (PHN), neuralgia 

trigeminal, nyeri fantom, complex regional

pain syndrome (CRPS), pascabedah atau 

neuropati akibat trauma, toksik, neuropati 

idiopatik, nyeri sentral pascastroke, serta 

akibat tekanan tumor terhadap jaringan saraf (Gambar 1). Mekanisme Perifer

Dalam keadaan normal, sensasi nyeri dihantarkan oleh serabut saraf C dan AS. Lesi jaringan saraf di perifer yang beregenerasi 

dapat membentuk neuroma pada puntung 

[stump], sehingga neuron menjadi lebih 

sensitif. Akibatnya terjadi sensitisasi perifer 

yang ditandai oleh adanya aktivitas patologis secara spontan, eksitabilitas yang tidak 

normal, dan hipersensitif terhadap stimulus 

kimiawi, termal, dan mekanik, Mekanisme 

nyeri neuropatik di perifer muncul akibat perubahan struktur anatomi berupa kerusakan 

jaringan saraf atau akibat munculnya regenerasi jaringan saraf. Keadaan ini dapat berupa 

a) ectopic discharges dan ephatic condition, b] 

sprouting neuron kolateral, dan c) coupling

antara sistem saraf sensorik dengan saraf 

simpatis. Coupling ke saraf simpatis diakibatkan oleh regenerasi jaringan saraf pada lesi 

yang tumbuh menyimpang dari jalur anatomi yang sebenarnya (Gambar 2].

Pengaruh aktivitas simpatik dan katekolamin terjadi pada saraf aferen primer yang

mengalami kerusakan. Pada lesi saraf perifer, 

terjadi upregulation adrenoreseptor a, sehingga terjadi peningkatan sensitivitas terhadap noradrenalin pada neuron aferen di 

ganglion radiks dorsalis. Selain itu terjadi pula 

sprouting pada saraf aferen primer ini .

Mekanisme Sentral

Neuron di komu dorsalis akan memacu traktus spinotalamikus, yaitu bagian besar dari jaras asending nosiseptif, Konsekuensi aktivitas 

spontan secara terus menerus yang berasal 

dari perifer memicu  meningkatnya aktivitas jaras spinotalamikus, meluasnya areal 

penerima, dan meningkatkan respons terhadap impuls aferen. Fenomena ini disebut sebagai sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral ini 

diduga merupakan mekanisme penting terjadinya nyeri neuropatik yang persisten. Pada 

saraf sentral ditemukan beberapa perubahan 

antara lain: a) terjadinya reorganisasi anatomi 

medula spinalis, b) hipereksitabilitas medula 

spinalis, serta c) perubahan pada sistem opioid 

endogen. Pada kerusakan jaringan saraf perifer; juga terjadi aktivasi mikroglia di medula spinalis sehingga reseptor purin dan p-38, sebagian dari MAP 

kinase, turut menjadi alrtif. Hal ini merupakan 

kunci utama patogenesis dari hipersensitivitas 

reseptor di traktus spinotalamikus. Kerusakan 

di daerah ini akan memberikan keluhan 

yang sangat spesifik dan didefinisikan sebagai 

keluhan nyeri neuropatik

Lesi di jaringan saraf ini memicu  kerusakan mielin, protein membran, atau reseptor sinaps, sehingga terjadi gangguan 

elektrisitas berupa sensitisasi yang terus menerus dari jaringan saraf yang rusak dan disebut sebagai ectopic-discharge. Nyeri neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) 

maupun dengan stimulus atau juga kombinasi. Kejadian ini berhubungan dengan aktivasi 

kanal ion Ca2+ atau Na+ di akson yang berperan pada reseptor glutamat, yaitu N-metil-Daspartat (NMDA) atau a-am m o-3-hidroksi-5-

metiI-4-asam isoksaazolepropionat (AMPA) 

dalam memodulasi transmisi nosiseptif sinapsis di susunan saraf pusat.

Nyeri yang muncul dipicu  oleh ectopic

discharges sebagai akibat dari kerusakan jaringan saraf (Gambar 3). Ectopic discharge

ini merupakan akibat dari kerusakan jaringan saraf baik perifer maupun sentral, yang 

berkaitan dengan fungsi sistem inhibitorik, 

gangguan interaksi antara somatik dan simpatis. Terkadang pada inflamasi dan neuropatik ditemukan perubahan secara fenotip 

di sel saraf perifer yang memicu  eksitasi ataupun disinhibisi, baik di kornu dorsalis 

maupun di jaras nyeri sampai ke areal korteks 

sensorik. Keadaan ini memberikan gambaran 

umum berupa alodinia dan hiperalgesia yang 

merupakan keluhan spesifik dari nyeri neuropatik. Keluhan ini jika tidak diterapi secepat 

mungkin akan memicu  kerusakan 

neuron yang bersifat ireversibel. 

GEJALA DAN TANDA K U N IS

Pada prinsipnya gejala nyeri neuropatik 

sangat khas, berbeda dengan nyeri nosiseptif. Pada nyeri neuropatik tidak ada  kerusakan jaringan yang dapat menjadi stimulus, namun pasien merasa nyeri. Sensasinya 

juga tidak 'lazim', tidak sesuai dengan pemicu nyerinya (alodinia). Pasien dapat merasakan gejala positif, seperti rasa panas/dingin, nyeri seperti ditusuk, disayat, ditikam, 

disetrum, atau kesemutan, disertai gejala 

negatif, seperti baal atau hipestesia. Sensasi 

nyeri bisa juga sesuai dengan stimulusnya, 

namun terasa berlebihan (hiperalgesia).

Oleh karena itu, pada pemeriksaan fisik perlu dicari ada tidaknya daerah yang berpotensi menjadi sumber nyeri atau adanya kerusakan jaringan, sehingga bila ditemukan

berarti nyeri yang dirasakan ialah nyeri nosise