instrumen yang dapat
dipakai untuk sebagai penyaring adanya
migren pada pasien dengan nyeri kepala,
termasuk juga untuk menilai derajat keparahan dan disabilitas yang ditimbulkannya.
Instrumen ID-MigraineTM dan Migraine
Screen Questionnaire (MS-Q) telah terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang baik, bahkan MS-Q sudah divalidasi
ke dalam bahasa negara kita . Migren pada
anak juga cukup sering dan lebih sulit dideteksi, oleh karena itu dapat memakai
Pediatric migraine disability assessment
(PedMIDAS). Penegakan diagnosa migren
ditegakkan terutama melalui anamnesis
berdasarkan kriteria diagnosa IHS yang
dibagi menjadi migren tanpa aura dan migren dengan aura.
1. Migren tanpa Aura
Kriteria diagnostik berdasarkan IHS:
a. Nyeri kepala minimal berlangsung
selama 4-7 2 jam (baik dalam kondisi
belum diobati atau sudah diobati namun belum berhasil).
b. Nyeri kepala memiliki minimal dua di
antara karakteristik berikut:
1) Unilateral
2) Kualitas berdenyut
3) Intensitasnya nyeri sedang sampai
berat
4} Diperberat dengan aktivitas fisik rutin maupun tidak rutin (seperti: berjalan jauh, naik tangga)
c. ada salah satu gejala penyerta di
bawah ini:
1) Mual dan/atau muntah
2) Fotofobia dan fonofobia
d. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan
penyakit lain (nyeri kepala sekunder).
2. Migren dengan Aura
Migren dengan aura yaitu serangan
nyeri kepala berulang yang didahului
dengan gejala neurologis fokal yang reversibel secara bertahap dalam waktu
5-2 0 menit. Gejala neurologis fokal ini
dikenai dengan aura dan berlangsung
dalam waktu kurang dari 60 menit.
Kriteria diagnostik berdasarkan IHS:
a. Sekurang-kurangnya telah terjadi 2
serangan nyeri kepala yang memenuhi
kriteria migren tanpa aura.
b. ada aura tipikal yang dapat
berupa aura visual dan atau sensoris
dan atau gangguan berbahasa.
c. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan
penyakit lain (nyeri kepala sekunder).
diagnosa Banding
diagnosa banding migren yaitu TTH,
nyeri kepala klaster, sindrom diseksi, atau
aneurisma serebral.
pengobatan
Tujuan terapi migren yaitu mengurangi
serangan, atau kalaupun muncul, serangannya tidak terlalu berat dan tidak mengganggu kehidupan sehari-hari, Hal ini terutama dapat dicapai dengan menghindari
pencetus dan pemakaian terapi yang sesuai. Perlu edukasi yang jelas kepada pasien,
karena serangan yang berulang atau terapi
yang tidak adekuat akan membuat ambang
nyeri menurun dan lebih susah diatasi. Oleh
karena itu, secara umum terapi migren
dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu terapi
abortif, nonmedikamentosa, dan profilaksis.
Terapi Abortif
Terapi abortif yaitu terapi yang dibutuhkan saat pasien sedang dalam serangan akut
dan berfungsi untuk menghentikan progresi
nyeri. Pengobatan harus diberikan sesegera
mungkin dengan obat yang bekerja cepat.
Pemilihan jenis obat didasarkan pada durasi
dan intensitas nyeri, gejala penyerta, derajat
disabilitas, respons terhadap pengobatan,
dan penyakit komorbid. Jika pasien mengalami gejala penyerta berupa mual dan atau
muntah, obat harus diberikan melalui rektal, nasal, subkutan, atau intravena.
Terapi abortif dapat dibed akan menjadi 2,
yaitu: terapi abortif nonspesifik dan terapi
abortif spesifik.
1. Terapi Abortif Nonspesifik:
Terapi ini diperuntukkan bagi pasien
dengan serangan migren ringan sampai
sedang atau serangan berat yang berespons baik terhadap obat yang sama.
Obat yang dipakai pada terapi abortif
nonspesifik yaitu obat dari golongan
obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS]
atau obat nyeri over the counter (OTC].
Berikut ini yaitu beberapa obat yang
menjadi pilihan:
a. Parasetamol 500-1000m g tiap 6-8
jam, dosis maksimal 4g/hari
b. Ibuprofen 400-800m g tiap 6 jam, dosis maksimal 2,4g/hari
c. Natrium naproksen 275-550m g tiap
2-6jam , dosis maksimal l,5g/hari
d. Kaliumdiklofenak (powder} 50-lOOmg/
hari dosis tunggal
e. Metoklopramid 10 mg IV atau oral
20-30 menit sebelum atau bersamaan
dengan pemberian analgetik, OAINS
atau derivat ergotamin. Obat ini efektif menghilangkan nyeri yang disertai
mual dan muntah, serta memperbaiki
motilitas lambung, mempertinggi absorpsi obat dalam usus dan efektif jika
dikombinasikan dengan dihidroergotamin intravena
f. Ketorolak 60mg IM per 15-30 menit
Dosis maksimal 12mg/hari dan diberikan tidak lebih dari 5 hari
g. Butorfanol spray lm g dalam sediaan
nostril yang dapat diberikan dan di-
ulang tiap 1 jam. Maksimal 4 spray/
hari dan pemakaian nya terbatas 2
kali dalam seminggu
h. Proklorperazin 25mg oral atau suppositoria. Dosis maksimal 75mg
dalam 24 jam
i. Steroid seperti deksametason atau
metilprednisolon merupakan obat
pilihan untuk status migrenosus.
2. Terapi Abortif Spesifik
a. Obatgolongan agonis 5HTIB/[D (triptans)
seperti sumatriptan 6mg subkutan atau
sumatriptan 50-100mg peroral.
b. Derivat ergot seperti ergotamin l-2m g
yang dapat diberikan secara oral, subkutan, maupun per rektal.
Terapi abortif dikatakan berhasil jika:
a. Pasien bebas nyeri sesudah 2 jam
pengobatan
b. ada perbaikan nyeri kepala dari
skala 2 (sedang) atau 3 (berat) menjadi skala 1 (ringan) atau 0 (tidak ada
nyeri kepala) sesudah 2 jam
c. Efikasi pengobatan konsisten pada
2-3 kali serangan
d. Tidak ada nyeri kepala rekuren atau
tidak ada pemakaian obat kembaii
dalam waktu 24 jam sesudah pengobatan terakhir berhasil.
3. Terapi Nonmedikamentosa
Pasien harus menghindari faktor pencetus munculnya migren, seperti: perubahan pola tidur, makanan/minuman (keju,
cokelat, monosodium glutamat/MSG,
alkohol), stres, cahaya terang, cahaya
kelap-kelip, perubahan cuaca, tempat
yang tinggi (seperti: gunung atau pesawat udara), dan rutinitas sehari-hari
yang dapat memicu serangan migren.
4. Terapi Profilaksis
Sebelum memberikan obat sebagai terapi preventif migren, harus diperhatikan
perubahan pola hidup untuk mendukung kerja obat profilaksis yang meliputi
SEEDS, yaitu:
Sleep hygiene (tidur cukup dengan
jadwal teratur)
Eating schedules (makan bergizi dan
teratur)
Exercise regimen (olahraga teratur)
Drinking water (minum cukup air)
Stress reduction (kurangi stres)
Pada prinsipnya pemberian obat profilaksis
dilakukan dengan cara memberikan dosis
rendah pada awalnya, kemudian dosis dinaikkan perlahan. Peningkatan dosis dihentikan jika dosis dosis yang efektif sudah
didapatkan, dosis maksimal sudah tercapai,
atau muncul efek samping yang tidak bisa
ditoleransi. Efek klinis akan terlihat setelah
2 -3 bulan pengobatan, asal teratur dan rasional agar dapat meminimalisir efek samping obat. Jika setelah 6-12 bulan migren
mulai terkontrol, dosis pengobatan profilaksis dapat diturunkan perlahan hingga
selanjutnya dihentikan.
Indikasi terapi profilaksis, yaitu:
1. Terganggunya aktivitas sehari-hari akibat serangan migren walaupun pasien
telah mendapat pengobatan nonmedikamentosa maupun abortif
2. Frekuensi serangan migren terlalu sering
sehingga pasien berisiko mengalami
ketergantungan terhadap obat abortif
migren (medication overuse) 3. Pasien mengalami serangan nyeri kepala
migren sedang sampai berat lebih dari 3
hari dalam 1 bulan dan sudah tidak responsifdengan pemberian pengobatan abortif
4. Pasien mengalami serangan nyeri kepala
migren lebih dari 8 kali sehari walaupun
pengobatan abortifnya efektif
5. Pasien mengalami serangan nyeri kepala
migren yang berulang >2x/minggu dan
mengganggu aktivitas, walaupun telah diberikan pengobatan abortif yang adekuat
6. Nyeri kepala migren yang berlangsung
sering dan >48 jam
7. Pengobatan abortif gagal atau tidak efektif
8. Muncuinya gejala-gejala dan kondisi
yang luar biasa, misalnya migren basiler
hemiplegik, aura yang memanjang
9. Pasien menginginkan obat profilaksis.
Tujuan terapi profilaksis yaitu :
1. Menurunkan frekuensi serangan hingga
50% atau lebih
2. Menurunkan intensitas dan durasi serangan
3. Meningkatkan respons terapi abortif
4. Meningkatkan kemampuan fungsional
pasien dan menurunkan disabilitas
5. Mencegah transformasi migren episodik
menjadi migren kronik
6. Mencegah pemakaian obat secara berlebihan {medication overuse)
7. Mencegah terjadinya rebound headache
ketika obat abortif dihentikan pemakaiannya.
Berikut golongan obat pilihan:
1. Antidepresan Trisiklik
Obat ini bekerja dengan cara menginhibisi norepinefrin dan ambilan serotonin
{serotonin uptake), serta menurunkan
regulasi reseptor beta-adrenergik dan
eksitasi. Obat golongan ini juga meningkatkan regulasi reseptor gamma amino
butyric acid-B (GABA-B) dan menginhibisi ambilan kembali (reuptake] adenosin oleh neuron. Golongan antidepresan
trisiklik yang banyak dipakai yaitu
amitriptilin 30-150mg/hari, nortriptilin 25-100mg/hari, dan doksepin 30 -
150mg/hari. Obat golongan ini sangat tepat diberikan pada pasien migren dengan
komorbid depresi, ansietas, atau gangguan tidur. Efek samping yang sering
muncul yaitu sedasi, penambahan berat badan, konstipasi, mulut kering, dan
pandangan kabur.
2. Serotonin R euptake Inhibitors
Bekerja dengan cara menginhibisi ambilan kembali {reuptake) serotonin, obat
ini baik untuk terapi profilaksis pada
pasien dengan komorbid depresi. Obat
ini juga memiliki toleransi yang lebih
baik dibanding obat golongan antidepresan trisiklik. Efek samping yang sering
muncul yaitu ansietas, mual, muntah,
mudah lelah, anoreksia, penambahan berat badan, pusing, dan disfungsi seksual.
Obat dari golongan ini yang sering digunakan yaitu fluoksetin 10-80mg/hari.
Namun, pada guideline terbaru disebutkan bahwa level o f evidence fluoksetin
berada pada level U, yang berarti tidak
cukup bukti untuk membuktikan efikasi
obat ini sebagai terapi profilaksis.
3. Serotonin N orepinephrine Reuptake
Inhibitor
Obat dari golongan ini yang sering digunakan untuk terapi profilaksis yaitu
venlafaxine dengan dosis efektif 150mg/
hari. Umumnya dimulai dengan obat extended release 37,5mg di minggu pertama,
75mg di minggu kedua, dan 150mg pada
minggu-minggu berikutnya. Efek samping
yang sering muncul yaitu insomnia, ansietas, gugup, dan disfimgsi seksual.
4. Pengham bat Beta (Beta Blocker)
Obat golongan ini bekerja dengan cara
menurunkan fungsi adrenergik serta
menghalangi kerja reseptor presinaps
noradrenergik dan enzim tirosin hidroksilase. Penghambat beta baik digunakan pada pasien dengan komorbid
hipertensi, namun tidak pada diabetes
melitus, asma, depresi, dan pasien dengan
tekanan darah rendah. Obat ini berpotensi
memicu disfungsi ereksi dan kondisi
mudah lelah, sehingga sebaiknya tidak
diberikan pada pasien yang berprofesi
sebagai atlet Pilihannya yaitu timolol
20-30mg/hari, propanolol 120--140mg/
hari, nadolol 40-240 mg/hari, atenolol
50-100mg/hari, dan metoprolol 100-
200mg/hari.
5. Pengham bat Kanal Kalsium (Calcium
Channel B locker}
Obat golongan ini bekerja dengan mereduksi pelepasan glutamat dan menginhibisi pelepasan serotonin, pada migren
dengan aura atau migrainous infarction.
Selain itu, obat ini baik diberikan pada
pasien dengan komorbid hipertensi,
asma, dan penyakit Raynaud. Efek samping yang sering muncul yaitu konstipasi, hipotensi, dan edema perifer. Obat
yang sering dipakai yaitu diltiazem
60-90mg sebanyak 4 kali sehari. Sementara itu nikardipin, nifedipin, nimodipin,
dan verapamil memiliki level o f evidence
U.
6. Angiotensin-converting Enzyme Inhibitor (ACE-I)
Berdasarkan hasil penelitian, lisinopril
20mg/hari berhasil menurunkan frekuensi migren hingga 50% pada 30% pasien
jika dibandingkan dengan plasebo. Efek
sampingnya berupa batuk, cepat lelah,
sakit kepala, dan diare, serta dikontraindikasikan pada pasien dengan angioedema dan kehamilan.
7. Angiotensin-II R eceptor Antagonist
(ARB)
Berdasarkan hasil penelitian, candesartan 16mg/hari memiliki efek menurunkan frekuensi migren dibandingkan
plasebo. Efek samping yang sering muncul yaitu sakit kepala, mual, nyeri perut, mialgia, dan atralgia, serta dikontraindikasikan pada kehamilan.
8. Sodium Valproat
Merupakan golongan obat yang bekerja
dengan cara meningkatkan kadar gamma amino butirat (GABA) di otak, meningkatkan sintesis GABA, menginhibisi
degradasinya, dan menghiperpolarisasi
membran pascasinaps dengan cara meningkatkan konduksi potasium. Golongan ini juga menurunkan respons glutamat. Sodium valproat 500-1500m g/
hari terbukti dapat menurunkan frekuensi serangan migren. Efek samping yang
sering muncul yaitu mual, dispepsia, cepat lelah, dan peningkatan berat
badan. Obat golongan ini bersifat teratogenik, sehingga sebaiknya tidak diberikan pada perempuan usia reproduks 9. Topiram at
Cara kerja obat ini sebagai terapi profilaksis migren diduga berkaitan dengan kanal
natrium dan kalsium, reseptor GABA A,
dan reseptor glutamat, serta memiliki efek
inhibisi enzim karbonik anhidrase. Topiramat 50mg dan lOOmg/hari diketahui
merupakan dosis optimal terapi proftlaksis migren, walaupun tidak ditemukan
perbedaan efektivitas yang bermakna
di antara kedua dosis ini . Namun,
dalam pemakaiannya obat ini harus diberikan dengan dosis awal yang rendah
(15-25mg/hari saat jam tidur) dan dinaikkan secara perlahan tiap 2-3 minggu. Efek
samping yang sering muncul yaitu cepat
lelah, kehilangan berat badan, anoreksia,
parestesia, dan kesulitan mengingat.
10. Gabapentin
Merupakan obat yang bekerja pada neurotransmiter glisin dan glutamat Obat
golongan ini pada guideline terbaru dikategorikan memiliki level o f evidence U.
Migren yaitu suatu penyakit kronik,
tetapi dapat terjadi remisi dalam waktu
panjang. Pada suatu studi diketahui bahwa pada orang-orang yang mengalami migren dengan onset pada masa anak-anak,
62% akan bebas serangan selama 2 tahun
atau lebih pada saat pubertas. Keparahan
dan frekuensi migren cenderung untuk
menurun seiring dengan penambahan
usia. Setelah 15 tahun seringkali mengalami serangan migren, sekitar 30% lelaki
dan 40% perempuan tidak lagi mengalami serangan di usia lanjut.
NYERI KEPALA TIPE TEGANG
Nyeri kepala tipe tegang atau tension type
headache (TTH) merupakan nyeri kepala
primer tersering dengan prevalensi 78%.
Nyeri kepala tipe ini mengenai hampir 1,4
juta orang atau 20,8% populasi di dunia.
TTH lebih sering dialami oleh pasien dewasa muda (berusia >20 tahun, puncaknya
usia 30-39 tahun), terutama perempuan
dua kali lebih banyak dibanding lelaki.
Klasifikasi
Berdasarkan 1HS, TTH dapat dibagi menjadi
TTH episodik tipe jarang (infrequent) dan
sering {frequent), serta TTH kronik, yaitu:
1. Tension-type H eadache Episodik yang
Infrequent
a. Tension-type headache episodik yang
infrequent berhubungan dengan
nyeri tekan perikranial
b. Tension-type headache episodik
yang infrequent tidak berhubungan
dengan nyeri tekan perikranial
2. Tension-type H eadache Episodik yang
Frequent
a. Tension-type headache episodik yang
frequent berhubungan dengan nyeri
tekan perikranial
b. Tension-type headache yang frequent
tidak berhubungan dengan nyeri
tekan perikranial
3. Tension-type H eadache Kronik
a. Tension-type headache kronik berhubungan dengan nyeri tekan perikranial
b. Tension-type headache kronik tidak
berhubungan dengan nyeri tekan
perikranial
4. P robable Tension-type H eadache
a. Probable tension-type headache episodik yang infrequent
b. Probable tension-type headache episodik yang frequent
c. Probable tension-type headache kronik
Patofisiologi
Nyeri kepala akibatTTH muncul lebih sering
saat pasien terlalu lama dalam posisi kepala
ditekuk ke bawah (misalnya pada saat membaca dan menulis), sehingga otot belakang
leher akan tegang. Sementara itu, pada pasien
yang sering tidur dengan posisi tidak baik,
nyeri kepala muncul akibat mereka seringkali tidur memakai bantal yang terlalu
tinggi. Hal ini dapat memicu otot leher
belakang akan tertekan lebih kuat.
Kontraksi otot yang terus menerus akan
memicu turunnya perfusi darah dan
lepasnya substansi pemicu nyeri (laktat,
asam piruvat, dan sebagainya}. Substansisubstansi ini kemudian menstimulasi saraf
yang kemudian akan menghasilkan sensasi
nyeri pada otot dan ligamen yang dipersarafi
(Gambar 3}. Nyeri ini akan bersifat tumpul
Pada TTH, nyeri muncul pada otot leher belakang di daerah oksipital. Pada waktu yang
bersamaan, nyeri akan menjalar melewati
sisi kiri dan kanan kepala atau melewati sisi
retroorbita. Oleh karena itu, nyeri juga dapat
dirasakan pada daerah-derah ini . Sementara itu, pada otot dan ligamen yang
tidak terlalu banyak mendapat persarafan,
sensasi yang akan dirasakan yaitu pegal.
1. Hipotensi dan Anemia
Pasien dengan hipotensi dan anemia
lebih sering terkena TTH. Hal ini berkaitan dengan rendahnya suplai oksigen menuju otot yang memicu
kondisi iskemia pada otot. Pada kasus
hipotensi, nyeri kepala muncul karena
suplai oksigen berkurang. Berkurangnya
suplai oksigen merupakan konsekuensi
dari berkurangnya perfusi darah ke otot
akibat rendahnya tekanan pada pembuluh darah. Sementara itu, suplai oksigen pada pasien dengan anemia terjadi
akibat kurangnya sel darah merah yang
mengangkut oksigen ke jaringan.
2. Stres dan Depresi
Stres dan depresi bukan merupakan pemicu langsung munculnya TTH, melainkan memicu munculnya kontraksi
otot yang berlebihan, sehingga terjadi
defisiensi suplai oksigen dan pelepasan
substansi pemicu nyeri. Selain itu, sirkulasi darah bisa menurun hingga 50%
pada saat stres.
3. Sensitisasi Sentral dan Perifer
Nyeri dan stres yang berulang terus
menerus akan memicu sensitisasi
perifer dan sentral sehingga menyebabkan turunnya ambang nyeri. Nyeri akan
lebih mudah muncul oleh penyebab yang
sederhana sekalipun, dengan durasi
yang lebih lama. Hal ini akan memicu
stres dan seterusnya.
Gejala Klinis
Karakteristik nyeri kepala ini yaitu bilateral, menekan atau mengikat, tidakberdenyut
dengan intensitas ringan sampai sedang,
serta rasa tegang di sekitar leher dan kepala
belakang. Oleh karena mekanisme kerjanya
yang berbeda dengan migren, maka pada
TTH seharusnya tidak ditemukan adanya
mual/mimtah dan akan berlangsung lebih
lama. Walaupun durasinya bisa lebih panjang, nyeri pada TTH tidak seberat migren,
sehingga sering terabaikan. Hal ini yang menyebabkan TTH lebih cenderung kronik dan
lebih sulit untuk diterapi secara sederhana.
Pada kasus TTH kronik, pasien juga umumnya mengeluh insomnia, nyeri kepala saat
di pagi hari, penurunan berat badan, susah
berkonsentrasi, dan mudah lelah. Nyeri biasanya dipicu pada keadaan stres dan/atau
cemas, kelelahan, depresi, posisi tidur atau
bekerja yang tidak baik, kurang tidur, dan
kebiasaan merokok.
Pemeriksaan fisik secara umum dan neurologis seharusnya dalam batas normal, untuk
menyingkirkan nyeri kepala sekunder yang
memiliki karakteristik yang mirip TTH. Pada
keadaan tertentu dapat ditemukan adanya
trigger point, yaitu daerah otot yang tegang,
sehingga memicu nyeri tekan di area
leher dan kepala.
diagnosa
Kriteria diagnosa TTH episodik tipe jarang
(infrequent) yaitu :
1. Sekurang-kurangnya ada 10 episode serangan dengan rerata <1 hari/
bulan (<12 hari/tahun} dan memenuhi
kriteria 2 -5
2. Nyeri kepala dapat berlangsung 30 menit hingga 7 hari
3. Nyeri kepala memiliki paling tidak 2 gejala khas, yaitu:
a. Bilateral
b. Terasa menekan atau mengikat (bukan berdenyut)
c. Intensitasnya ringan hingga sedang
d. Tidak diperberat dengan aktivitas rutin seperti berjalan atau naik tangga
4. Tidak didapatkan keluhan atau gejala
berupa:
a. Mual atau muntah (walaupun pasien
mengeluh anoreksia}
b. Fotofobia atau fonofobia
5. Tidak berkaitan dengan kelainan lain
pada kepala atau organ tubuh lainnya
(bukan nyeri kepala sekunder).
Mirip dengan TTH episodik tipe jarang,
TTH episodik tipe sering (frequent)
mempunyai frekuensi yang lebih sering
pada kriteria pertama, yaitu paling tidak ada 10 episode serangan dalam
1-15 hari/bulan selama paling tidak 3
bulan (12-180 hari/thn).
Kriteria diagnostic TTH kronik yaitu :
1. Nyeri kepala yang terjadi >15 hari/bulan
dan berlangsung >3 bulan (>180 hari/
tahun).
2. Nyeri kepala ini harus memenuhi kriteria berikut:
a. Berlangsung beberapa jam atau secara
terus menerus
b. Nyeri kepala memiliki sekurangnya 2
karakteristik berikut:
Lokasi bilateral
Terasa menekan atau mengikat (bukan berdenyut)
• Intensitas ringan hingga sedang
(dapat mengganggu aktivitas tetapi
pasien masih bisa beraktivitas)
• Tidak memberat dengan aktivitas
fisik rutin seperti: berjalan atau naik
tangga
3. Tidak didapatkan:
a. Lebih dari satu keluhan ini, yaitu fotofobia, fonofobia, atau mual
b. Muntah
4. Tidak berkaitan dengan kelainan lain
pada kepala atau organ tubuh lainnya
(bukan nyeri kepala sekunder).
Selama tidak ada defisit neurologis,
diagnosa banding TTH yaitu nyeri
kepala primer lainnya, seperti migren,
TTH episodik, TTH kronik, nyeri kepala
tipe Master, dan neuralgia trigeminal.
Walaupun TTH tidak boleh ditegakkan
jika ada gejala-gejala migren, seperti
muntah, fotopsia, dan fonofobia, namun
pada migren kronik dapat menyebabkan ansietas sehingga memicu TTH.
Yang penting yaitu anamnesis frekuensi, karakteristik durasi, dan onset
masing-masing nyeri yang berbeda, sehingga dapat ditentukan polanya (Gambar 4). Intensitas nyeri saat serangan
migren lebih tinggi dibandingkan TTH
dan lebih singkat, sehingga pasien bisa
kembali ke kondisi normal.
pengobatan
Prinsip pengobatan TTH meliputi:
1. Modifikasi gaya hidup untuk mengurangi
faktor pencetus TTH. Mayoritas [80%]
penyebab TTH yaitu stres dan postur
yang tidak benar, terutama saat duduk
atau bekerja di depan komputer selama
berjam-jam. Oleh karena itu perlu penguatan otot-otot belakang (back exercise) dan olah raga rutin.
2. Tahap awal pengobatan harus dimulai
dengan edukasi faktor dan mengimplementasikan menejemen stres guna mencegah atau mengurangi serangan TTH.
3. TTH akut pada umumnya dapat membaik dengan sendirinya. Namun, jika
sangat mengganggu bisa dikurangi dengan mengonsumsi analgesikyang dapat
dikombinasi dengan kafein.
4. pengobatan nonfarmakologis berupa
relaksasi, cognitive-behavioral therapy,
serta pemijatan dapat membantu mengurangi dan mencegah serangan.
5. Terapi profilaksis diberikan jika nyeri
kepala terjadi secara rutin, berhubungan
dengan pekerjaan, sekolah dan kualitas
hidup, dan atau pemakaian .
6. Kesemua poin di atas perlu dilakukan
secara adekuat untuk menghindari nyeri
berkembang menjadi kronik, karena tata
laksana akan menjadi sangat berbeda
akibat telah terjadinya sensitisasi baik
sentral maupun perifer.
A. Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada
serangan akut dan tidak boleh diberikan
lebih dari 2 hari/minggu.
Pilihan untuk TTH akut yaitu (Tabel 2):
1. Analgesik, pilihannya yaitu : aspirin
lOOOmg/hari, parasetamol lOOOmg/hari,
NSAIDs (Naproksen 660-750mg/hari,
ketoprofen 25-50mg/hari, tol-fenamat
200~400mg/hari, asam mefenamat,
fenoprofen, ibuprofen 800mg/hari,
diklofenak 50-lOOmg/hari). Pemberian
analgesik dalam waktu lama memiliki
efek samping berupa ulkus gaster, ulkus
duodenum, penyakit ginjal, penyakit
hepar, dan gangguan fungsi platelet
2. Kafein (analgesik ajuvan) 65mg.
3. Kombinasi:
a. 325mg (aspirin atau asetaminofen] +
40mg kafein
b. Ibuprofen 400mg + kafein
c. Aspirin/asetaminofen 5O0-lOOOmg
+ kafein
Pemakaian obat analgesik yang dikombinasi
dengan kafein dapat memunculkan ketergantungan.
Terapi medikamentosa untuk TTH kronik:
1. Antidepresan
Antidepresan jenis trisiklik: amitriptilin.
Selain berfungsi sebagai obat analgesik,
obat ini juga dipakai sebagai obat
profilaksis TTH, Obat ini memiliki efek
analgesik dengan cara mengurangi firing
rate o f trigeminal nucleus caudatus. Pemakaian obat antidepresan trisiklik memiliki efek samping berupa penambahan
berat badan (merangsang nafsu makan),
mengganggu jantung, hipotensi ortostatik, dan efek antikolinergik (mulut leering,
mata kabur, tremor, disuria, retensi urin,
dan konstipasi.
2. Antiansietas
Golongan obat ini dipakai untuk penyembuhan maupun pencegahan TTH.
Obat ini terutama diberikan pada pasien
dengan komorbid ansietas. Golongan antiansietas yang sering dipakai yaitu
benzodiazepin.
B. Terapi Nonmedikamentosa
1. Edukasi: menjelaskan sedildt patofisiologi
TTH secara sederhana serta pengobatan
yang diperlukan. Memastikan pasien mengetahui bahwa TTH bukanlah penyakit
serius seperti tumor otak, perdarahan otak.
Hal ini akan mengurangi ketegangan pasien.
2. Kontroldiet.
3. Terapi fisik:
Latihan postur dan posisi
Masase
Ultrasound, manual terapi^
Kompres panas/dingin
Akupuntur transcutaneus electrical
stimulation (TENS)
Obat anestesi atau bahan lain pada
titik pemicu
4. Hindari pemakaian harian obat analgesik, sedatif, dan ergotamin.
5. Behaviour treatment dalam bentuk biofeedback, manajemen stres, reassurance,
konseling, terapi relaksasi, atau terapi
kognitif-sikap.
C. Terapi Profilaksis
Terapi ini diberikan pada pasien TTH episodik yang sering mendapat serangan atau
pasien dengan serangan >15 hari dalam
satu bulan (TTH kronik) (Tabel 3). Prinsip
terapi ini yaitu memberikan obattunggal
yang dititrasi hingga dosis terendah yang
efektif dan dapat ditoleransi dengan baik
oleh pasien.
Indikasi:
Pasien yang mengalami disabilitas akibat
nyeri kepala >4 hari/bulan atau pasien yang
tidak respons terhadap terapi simptomatis
walaupun frekuensi nyeri kepalanya lebih
jarang, Terapi profilaksis dikatakan berhasil jika bisa mengurangi frekuensi serangan
dan/atau mengurangi derajat keparahan
minimal 50%.
Prinsip pemilihan obat profilaksis yaitu :
1. Harus sesuai lini yang disarankan
(lini pertama lebih diutamakan dari lini
kedua), tetapi harus mempertimbangkan
efek samping dan faktor komorbid pasien
2. Dimulai dengan dosis rendah, kemudian
dosis dinaikkan perlahan-lahan hingga
didapatkan dosis maksimal yang efektif
untuk pasien
3. Obat diberikan dalam jangka waktu
seminggu/lebih
4. Obat dapat diganti dengan obat lain jika
obat pilihan pertama gagal
5. Obat lebih utama diberikan dalam bentuk monoterapi
Sebelum diberikan terapi profilaksis, perlu
ditanyakan penyakit komorbid lain yang
juga dialami oleh pasien, misalnya: pasien
dengan hipertrofi prostat dan glaukoma
tidak boleh diberikan amitriptilin. Pasien
harus diinformasikan mengenai cara kerja
obat dan kapan saja waktu mengonsumsi
obat Selain itu, pasien juga perlu mendapat
penjelasan mengenai tingkat efikasi dan
efek samping obat ini
Pasien juga perlu mencatat tiap serangan
nyeri pada catatan harian (headache diary).
Catatan ini berfungsi untuk mengetahui pola,
frekuensi, dan durasi nyeri, serta gangguan
fungsional, jumlah obat simptomatis yang
dikonsumsi, efikasi terapi profilaksis, dan
efek samping dari obat profilaksis maupun
obat simptomatis. Oleh karena faktor penting pencegahan kekambuhan nyeri kepala
yaitu dengan mengidentifikasi faktor yang
mencetuskan dan mengurangi nyeri kepala.
Walaupun tidak berbahaya, TTH dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Kasus TTH
terbanyak yaitu kasus TTH episodik, namun
akan sangat mudah menjadi kronik akan
meningkat jika pemicu dan stresor tidak bisa
diatasi,
NYERI KEPALA TIPE KLASTER
Kelompok trigeminal autonomic cephalalgias (TAC) terdiri dari: (1) nyeri kepala tipe
Master, [2) paroksismal hemikrania, (3)
short-lasting unilateral neuralgiform headache attacks/SUN CT, (4) kontinua hemikrania, dan (5) probable TAC. Nyeri kepala tipe
Master atau cluster headache (CH) merupakan nyeri kepala tersering pada TAC, sehingga fokus pembahasan pada bagian ini
ialah mengenai CH.
CH memiliki karakteristik berupa nyeri kepala hebat yang disertai gejala otonom di
temp at yang spesifik, seperti orbita, supra
orbita, temporal, atau kombinasi tempattempatini . Nyeri ini berlangsung
secara periodik, sehingga disebut sebagai
klaster [cluster), dalam waktu 15-180 menit dengan frekuensi dari 1 kali tiap 2 hari
hingga 8 kali sehari. Serangan nyeri kepala
selalu disertai satu atau lebih gejala, seperti
injeksi konjungtiva, lakrimasi, kongesti nasal, rhinorrhea, berkeringat di kening dan
wajah, miosis, ptosis, dan edema palpebra.
Semua gejala ini bersifat ipsilateral.
Pasien sebagian besar gelisah dan agitasi
selama serangan CH berlangsung.
Prevalensi CH sangat jarang, hanya kurang
dari 1%. Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada lelaki dibanding perempuan, dengan rasio sekitar 6:1, serta berusia lebih
dari 30 tahun. Selain itu faktor risiko juga
jika mengkonsumsi vasodilator seperti
alkohol, riwayat trauma dan operasi kepala,
merokok, serta adanya stressor.
Klasifikasi
ada dua jenis CH, yaitu:
1. CH episodik, merupakan serangan nyeri
kepala klaster yang terjadi periodik dan
berlangsung tujuh hari sampai satu tahun. Setiap periode dipisahkan oleh
periode bebas nyeri yang akan berlangsung satu bulan atau lebih lama.
2. CH kronik, merupakan serangan nyeri
kepala klaster yang terjadi selama lebih
dari satu tahun tanpa remisi atau disertai remisi namun berlangsung hanya
kurang dari satu bulan.
Patofisiologi
Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak
lama, tetapi patofisiologi yang mendasari
berbagai gejalanya hingga saat ini masih
belum bisa dimengerti secara jelas. Untuk
memudahkan pemahaman penyakit ini,
maka dilakukan pendekatan patofisiologis
berdasarkan gejala yang dialami pasien, yaitu: (1) nyeri kepala; (2} gejala otonom; dan
[3) periodisitas yang stereotipik.
Stimulus nyeri kepala disampaikan ke
sistem saraf pusat melalui cabang nosiseptif
oftalmikus nervus Trigeminus. Cabang saraf
ini menginervasi struktur intrakranial yang
sensitif terhadap nyeri, seperti: duramater
dan pembuluh darah dural. Ketika saraf
atau ganglion trigeminus teraktivasi, substansi P dan calcitonin gene-related peptide
(CGRP) akan dilepaskan. Pelepasan kedua
jenis neuropeptida trigeminovaskular ini
merangsang inflamasi neurogenik dan dilatasi pembuluh darah yang kemudian menimbulkan sensasi nyeri kepala.
Gejala otonom pada nyeri kepala klaster
merupakan indikasi adanya aktivasi saraf
parasimpatis. Saraf ini merupakan cabang
dari neuron orde pertama nukleus salivatorius superior dan memiliki hubungan fungsional dengan nukleus trigeminus. Serabut
saraf ini selanjutnya memanjang sejajar
nervus fasialis dan bersinaps di ganglion
pterigopalatina. Saraf post-ganglionik berfungsi sebagai vasomotor dan sekretomotor
pembuluh darah serebral, kelenjar lakrimal, dan mukosa hidung. Hal lain yang juga
memicu munculnya gejala otonom yaitu
perubahan vaskular yang menginduksi
gangguan aktivitas saraf simpatis. Munculnya gejala sindroma Horner (ptosis, miosis,
injeksi konjungtiva) selama serangan nyeri
kepala klaster, mengindikasikan adanya
pengaruh pleksus simpatis karotis, terutama pleksus di sekitar arteri karotis interna l
segmen kavernosus.
Sementara itu, periode serangan yang episodik diduga berhubungan dengan adanya
disfungsi aktivitas hipotalamus. Hal ini dibuktikan dengan abnormalitas kadar hormon kelenjar hipofisis yang mengindikasikan adanya perubahan ritme sekretorik
hipotalamus.
diagnosa dan diagnosa Banding
1. diagnosa
Kriteria diagnostik cluster headache
yaitu :
a. ada minimal 5 serangan yang
memenuhi kriteria B-D
b. Nyeri hebat atau sangat hebat di orbita, supraorbita, dan atau temporal
yang unilateral, berlangsung 15-180
menit bila tidak diobati
c. Nyeri kepala disertai setidaknya satu
dari gejala berikut:
1) Injeksi konjungtiva dan atau lakrimasi ipsilateral
2) Kongesti nasal dan atau rhinorrhoea
ipsilateral
3) Edema palpebra ipsilateral
4) Dahi dan wajah berkeringat ipsilateral
5) Miosis dan atau ptosis ipsilateral
6) Perasaan gelisah atau agitasi
d. Serangan-serangan ini mempunyai frekuensi: dari 1 kali setiap 2
hari sampai 8 kali per hari
e. Tidak berkaitan dengan gangguan lain
2. diagnosa Banding
a. Paroksismal hemikrania
b. Short-lasting unilateral neuralgiform
headache attack with conjungtival injection and tearing/cranial autonomic
features (SUNCT/SUNA].
c. Migren
d. Arteritis temporal
pengobatan
Pada prinsipnya pengobatan nyeri kepala
ldaster bertujuan untuk menekan periode
serangan, menghentikan serangan akut,
mengurangi frekuensi serangan, serta mengurangi berat atau intensitas serangan.
Terapi untuk serangan akut nyeri kepala
Master:
1. Inhalasi oksigen 100% 7 L/menit selama
15 menit dengan sungkup
2. Dihidroergotamin (DHE) 0,5-l,5m g secara intravena akan mengurangi nyeri
dalam 10 m enit Pemberian melalui intramuskular atau nasal memeiliki awitan
lebih lama.
3. Sumatriptan injeksi subkutan 6mg akan
mengurangi nyeri dalam waktu 5-15 men it Dapat diulang setelah 24 jam. Sumatriptan dikontraindikasi untuk pasien
dengan penyaldt jantung iskemik dan/
atau hipertensi tidak terkontrol. Sumatriptan nasal spray 20mg juga dapat diberikan, tetapi kurang efektif jika dibandingkan sumatriptan injeksi subkutan.
Efek sampingnya yaitu pusing, letih,
parestesia, dan kelemahan di wajah.
4. Anestesi lokal lm L lidokain 4% yang
diteteskan pada kapas kemudian kapas
diletakkan di tiap lubang hidung selama
5 menit.
a. Nyeri kepala klaster yang sulit hilang
walaupun telah diberikan terapi abortif
(gagal terapi abortif)
b. Nyeri kepala klaster terjadi setiap hari
dan berlangsung selama lebih dari 15
menit
c. Pasien yang bersedia dan mampu mengonsumsi obat setiap hari
Obat yang dapat dipakai untuk profilaksis:
1. Verapamil 120-160m g dapat diberikan
3 -4 kali sehari (merupakan pilihan pertama terapi profilaksis). Selain itu dapat
juga memakai nimodipin 240mg/
hari atau nifedipin 40-120mg/hari.
2. Prednisolon 50-75mg/hari. Dosis dikurangi 10% pada hari ketiga. Obat ini
tidak boleh diberikan dalam jangka waktu yang lama. Efektif mencegah serangan
pada 80-90% kasus.
3. Litium 300-1500mg/hari per oral (ratarata pemberian 600-900mg/hari)
4. Metisergid 4 -1 0 mg/hari per oral
5. Ergotamin tartrat 2mg diberikan 2-3
kali per hari. Dapat diberikan dengan
cara 2mg per oral atau lm g per rektal,
2 jam sebelum serangan terutama pada
malam hari.
Selain terapi medikamentosa, pasien perlu
disarankan untuk membiasakan diri hidup
dan istirahat teratur, hindari konsumsi alkohoi, batasi paparan terhadap zat volatil seperti gasolin, hati-hati bila sedang berada di
ketinggian, serta hindari paparan terhadap
produk tembakau dan sinar yang terlalu
terang atau suara yang terlalu gaduh {glare
and bright light).
Prognosis pada pasien CH dapat bervariasi,
mulai dari persistennya serangan yang berulang, memanjangnya masa remisi, hingga
berubahnya CH episodik menjadi CH kronik.
Sekitar 80% pasien CH episodik akan tetap
mengalami CH episodik selama hidupnya. Sementara itu, 4-13% pasien CH episodik ditemukan mengalami transformasi menjadi CH
kronik. Remisi spontan ditemukan pada 12%
pasien, umumnya pada pasien CH episodik.
Tidak ada laporan mortalitas yang diakibatkan langsung oleh CH, namun banyak pasien
dikatakan mengalami depresi dan bunuh diri
akibat serangan CH yang periodik.
NEURALGIA TRIGEMINAL
Neuralgia trigeminal atau yang dikenal juga
dengan tic douloureux yaitu nyeri akibat
lesi di sepanjang cabang nervus trigeminus.
Insidensnya lebih banyak pada perempuan
dibanding lelaki (2:1). Pada 90% pasien,
awitan terjadi ketika pasien berusia di atas
usia 40 tahun, terutama usia 6 0 -7 0 tahun.
Jika terjadi. di usia 2 0-40 tahun, penyebab
demielinisasi akibat multipel sklerosis perlu dipertimbangkan.
Rlasifikasi
1HS membedakan neuralgia trigeminal menjadi 2 kategori:
1. Neuralgia trigeminal klasik, umumnya
idiopatik. Namun seringkali berkaitan
dengan kompresi vaskular pada tempat
masuknya cabang nervus trigeminus di
batang otak.
2. Neuralgia trigeminal simtomatik, sering
dipicu oleh lesi struktural, seperti multipel sklerosis, anuerisma arteri basilar, atau
tumor (neuroma trigeminal, meningioma,
epidermoid) pada cerebellopontine angle.
Gejala Klinis
Gejala yang paling sering dikeluhkan berupa
serangan nyeri pada wajah unilateral yang
bersifat episodik, spontan, menusuk, dan
seperti tersengat listrik pada daerah wajah
yang dipersarafi oleh percabangan nervus
trigeminus. Nyeri bersifat progresif dalam
waktu 20 detik, sehingga pasien terlihat
kesakitan yang kemudian menghilang dan
menyisakan rasa terbakar yang bertahan
beberapa detik hingga menit
Neuralgia yang klasik biasanya memiliki titik picu (trigger point) daerah wajah yang
dipersarafi nervus trigeminus cabang kedua atau ketiga (terutama daerah pipi dan
dagu]. Hanya >5% pasien yang memiliki titik picu di daerah nervus trigeminus cabang
pertama. Pada 60% kasus, nyeri berasal dari
ujung mulut hingga ke arah sudut rahang,
sedangkan 30% dari bibir atas atau gigi taring atas hingga ke sekitar mata dan alis.
Nyeri tidak pernah menjalar dari satu sisi
ke sisi lainnya, tetapi nyeri pada beberapa
kasus dapat bilateral, umumnya penyebab
sentral berupa multipel sklerosis. Umumnya akan ada periode bebas nyeri yang
dapat berlangsung beberapa minggu hingga
beberapa tahun. Di antara dua serangan
dapat terasa nyeri tumpul yang bertahan
dan menetap di beberapa kasus. Sesudah
serangan nyeri umumnya akan ada periode
refrakter, yaitu suatu periode bebas rasa
nyeri (kondisi tidak dapat dipicu).
Saat nyeri rekuren, titik picu umumnya akan
berada pada tempat yang sama. Pemeriksaan neurologis akan menunjukkan kondisi
normal, kecuali jika dilakukan pemeriksaan segera setelah nyeri muncul, berupa
berkurangnya fungsi sensoris pada daerah
nyeri. Sebanyak 60% pasien dapat melokalisasi titik picu nyeri.
Patofisiologi
Sampai saat ini patofisiologi neuralgia trigeminal masih kontroversial. Etiologinya
dapat berasal dari sentral, perifer, atau
keduanya. Nervus trigeminus (N. V} dapat
menghantarkan nyeri karena memiliki serabut saraf sensorik dari ketiga cabangnya
(Gambar 5), yaitu cabang VI (cabang oksipital) yang mempersarafi kulit kepala, dahi,
dan kepala bagian depan; cabang V2 (cabang maksila] untuk hidung, pipi, serta rahang, bibir, gigi, dan gusi atas; serta cabang
V3 (cabang mandibula) pada area rahang,
bibir, gigi, dan gusi bawah.
Umumnya tidak ada kelainan struktural
(85% ], namun sebagian ditemukan adanya
kompresi nervus trigeminal oleh arteri dan
vena pada tempat masuknya cabang nervus
ini di batang otak. Kompresi ini menyebabkan demielinisasi yang dapat memicu cedera nervus trigeminal, terutama
pada cabang kedua dan ketiga. Dapat ditemukan juga penekanan akibat tumor di daerah cerebellopontine angle (CPA] yang biasanya disertai adanya baal di daerah wajah
pada area ketiga cabang N. V, serta paresis
N. VII perifer dan gangguan pendengaran
pada telinga ipsilateral.
Nyeri neuropatik merupakan penanda utama dari kerusakan serat saraf aferen kecil
yang tidak bermielinisasi atau bermielinisasi tipis. Rusaknya mielin (demielinisasi]
ini memicu hilangnya barrier antara
satu serat saraf dengan serat saraf lainnya,
sehingga rentan terjadi "korsleting". Hal ini
diperburuk oleh mekanisme re-entry yang
memicu amplifikasi stimulus, se-
hingga stimulus akan dihantarkan secara
berlebihan. Kondisi lain yang dapat menyebabkan kerusakan pada mielin yaitu multipel slderosis, kompresi oleh tumor nervus
V, dan proses degeneratif.
diagnosa
diagnosa terutama berdasarkan nyeri yang
khas pada daerah wajah yang dipersarafi
nervus trigeminal unilateral. Faktor pencetus nyeri yaitu stimulus non-nyeri yang
merupakan bagian dari aktivitas seharihari, dapat berupa sentuhan, berbicara,
makan, minum, mengunyah, menyikat gigi,
menyisir rambut, bercukur rambut, terkena
air saat mandi. Titik picu nyeri umumnya di
daerah plika nasolabialis.
Kriteria diagnostik neuralgia trigeminal
berdasarkan IHS yaitu :
1. Serangan nyeri paroksismal beberapa
detik hingga dua menit yang melibatkan
1 atau lebih cabang N, Trigeminal dan
memenuhi kriteria B dan C.
2. Nyeri paling sedikit memenuhi 1 karakteristik berikut:
a. Kuat, tajam, superfisial atau rasa tertikam.
b. Dicetuskan dari satu titik pada zona
nyeri atau oleh satu faktor pencetus.
3. Jenis serangan stereotipik pada tiap individu.
4. Tidak ada defisit neurologis.
5. Tidak berkaitan dengan gangguan pada
organ lain.
diagnosa banding dari penyakit ini meliputi sindroma nyeri fasial atipikal, nyeri
kepala kluster, neuralgia pascaherpes, dan
nyeri akibat penyakit pada gigi atau orbita.
Pemeriksaan pencitraan yang ideal yaitu
MRI dengan kontras untuk membedakan
neuralgia trigeminal klasik dan simtomatik,
berupa adanya gambaran kompresi saraf
trigeminal oleh pembuluh darah atau tumor.
pengobatan
Prinsip utama pengobatan nyeri trigeminal
yaitu mencari penyebab utamanya, sebelum memberikan obat-obatan selama jangka panjang, dilanjutkan dengan tindakan
pembedahan jika memang terjadi kelainan
struktural.
1. Terapi Medikamentosa
Neuralgia trigeminal klasik umumnya
akan responsif dengan terapi medikamentosa. Sementara itu, pengobatan
neuralgia trigeminal simtomatik harus
disesuaikan dengan etiologinya. Terapi
alternatif seperti stimulus mekanik, elektrik, atau termal dapat dipakai untuk
mengurangi nyeri dengan efek samping
yang lebih kecil dibanding dengan terapi
medikamentosa.
Pilihan terapi yang dapat dipakai
yaitu oral berupa:
Karbamazepin 100-600mg/hari
Pregabalin 150-300mg/hari
Gabapentin 1200-3600mg/hari
Baklofen 60-80mg/hari
• Fenitoin 200-400mg/hari
Lamotrigin 100-400mg/hari
• Topiramat 150-300mg/hari
• Okskarbazepin 300-2400mg/hari
1. Terapi Nonmedikamentosa
pengobatan pembedahan diindikasikan pada nyeri yang sulit dikontrol walaupun sudah diberikan pengobatan
medikamentosa, atau pada nyeri yang
simtomatik akibat penekanan oleh arteri
atau tumor. ada 5 prosedur terapi
pembedahan pada neuralgia trigeminal,
sesuai dengan etiologinya, yaitu gamma
knife radiosurgery, radiofrequency electrocoagulation, injeksi gliserol, balloon
microcompression, dan microvascular decompression. Namun terapi pembedahan
berisiko terjadinya anestesia dolorosa,
yaitu rasa baal di area yang dipersarafi
nervus trigeminus.
Walaupun neuralgia trigeminal tidak
membahayakan nyawa, namun sangat
mengganggu kualitas hidup akibat nyerinya yang hebat saat serangan dan dapat
berulang setiap saat. Hal ini dapat menyebabkan sindrom nyeri kronik dan
memicu depresi. Pasien akan
cenderung membatasi aktivitas yang
merangsang nyeri seperti mengunyah,
sehingga akan kehilangan berat badan
yang signifikan. Bahkan pada kasus nyeri
yang parah dapat mendorong pasien untuk bunuh diri.
Pasien perlu diedukasi tentang perjalanan penyakit bahwa serangan nyeri memiliki kemungkinan remisi beberapa bulan, lalu dapat rekuren dengan frekuensi
lebih sering. Demikian pula tentang efek
samping obat, terutama obat anti-konvulsan yang dapat memicu sedasi
dan ataksia, serta memengaruhi fungsi
hati, agar pasien dapat mengenali gejala menurunnya fungsi hati dan segera
berobat jika perlu. Pasien juga sebaiknya
mengurangi manuver-manuver yang
akan memicu munculnya nyeri.
NYERI KEPALA SEKUNDER
Kelompok nyeri kepala sekunder pada
dasarnya berbeda dengan nyeri kepala
primer karena merupakan sebuah gejala
dari suatu proses organik dan berhubungan
dengan lebih dari 316 gangguan dan penyak it Oleh karena nyeri kepala sekunder ini
merepresentasikan suatu proses organik di
tubuh, maka setiap klinisi harus bisa mendeteksi dini masalah ini dengan cara mengenali tanda bahaya nyeri kepala agar pasien
tidak jatuh ke dalam kondisi yang mengancam nyawa. Setelah diagnosa nyeri kepala
sekunder ditegakkan, selanjutnya pasien
harus direncanakan beberapa pemeriksaan
lebih lanjut untuk mengetahui proses organik penyakit yang mendasarinya.
Pengenalan tanda bahaya nyeri kepala akan
menuntun klinisi untuk memutuskan urgensi
pemeriksaan lanjutan (pencitraan otak, analisis cairan otak, pemeriksaan darah) pada
pasien dengan keluhan nyeri kepala. Tanda
bahaya ini berbeda antara orang dewasa dan
anak-anak. Beberapa tanda bahaya nyeri-kepala pada orang dewasa, antara lain:
Nyeri kepala pertama kali dan sangat
parah (thunderclap headache)
Nyeri kepala awitan pertama kali di atas
usia 50 tahun
Nyeri kepala dengan peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan
Nyeri kepala kronik sehari-hari yang tidak responsif dengan terapi
Nyeri kepala yang terjadi selalu di satu sisi
Nyeri kepala yang terjadi setelah trauma
kepala
Nyeri kepala dengan penyakit sistemik
(demam, kaku kuduk, ruam kulit)
Nyeri kepala yang berhubungan dengan
kejang dan aura atipikal
Nyeri kepala dengan defisit neurologis
Nyeri kepala awitan baru pada pasien
imunodefisiensi atau kanker
Nyeri kepala yang dicetuskan oleh perubahan posisi, aktivitas, dan peregangan
Nyeri kepala pada pasien dengan sindroma
neurokutaneus
Berbeda dengan orang dewasa, tanda bahaya nyeri kepala pada anak, antara lain:
Nyeri kepala persisten dengan durasi <6
bulan yang tidak respon dengan pengobatan
Nyeri kepala berhubungan dengan defisit neurologis, termasuk edema papil,
nistagmus, dan gangguan gait
Nyeri kepala persisten pada pasien yang
tidak memiliki riwayat migren di keluarga
Nyeri kepala persisten yang disertai
gangguan kesadaran, disorientasi, atau
muntah
Nyeri kepala yang sering membangunkan anak dari tidurnya, atau terjadi
segera setelah anak bangun tidur
Adanya riwayat penyakit saraf sebelumnya atau riwayat serupa di keluarga yang
mendukung ke arah kelainan susunan
saraf pusat
Beberapa pemeriksaan lanjutan yang diindikasikan pada nyeri kepala sekunder
yaitu pencitraan otak, laboratorium, analisis cairan otak, dan elektroensefalogram
(EEG), seperti pada Tabel 4. Pencitraan otak
seperti CT scan dan MRI dapat dilakukan
untuk mendeteksi kelainan struktural. Kedua pemeriksaan ini memiliki karakteristik
masing-masing. CT scan lebih sensitif daripada MRI pada kasus stroke akut, perdarahan subaraknoid (<24 Jam). MRI lebih
sensitif daripada CT scan untuk mendeteksi
keganasan, lesi di medulla spinalis, kelainan
pituitari, dan malformasi arterivena. CT angiografi, MR angiografi, dan MR venografi
merupakan pemeriksaan pencitraan yang
dapat dilakukan untuk mengetahui kelainan
vaskular.
Pemeriksaan laju endap darah dan protein
C-reaktif diindikasikan pada nyeri kepala
sekunder terkait arteritis temporal. Pemeriksaan ANA dan faktor reumatoid dikerjakan
untuk mengetahui adanya kelainan autoimun.
Skrining toksikologi, darah lengkap, hormon
tiroid, dan tes fungsi hati yaitu beberapa
pemeriksaan yang dapat dikerjakan untuk
mengetahui penyakit yang mendasari nyeri
kepala. Pungsi lumbal dikerjakan pada kasus
meningitis, ensefalitis, metastasis tumor leptomeningeal, perdarahan subaraknoid, atau
adanya perubahan tekanan cairan otak, sedangkan elektroensefalografi (EEG) dilakukan
pada nyeri kepala yang berhubungan dengan
bangkitan kejang atau epilepsi.
Setelah mengetahui penyakit organik yang
mendasari nyeri kepala, pengobatan selanjutnya diberikan sesuai etiologinya. Adapun
pembahasan lebih rinci mengenai beberapa
penyakit yang mendasar ini dapat dilihat di
topik lain dalam buku ini.
CONTOH KASUS
X. Seorang perempuan berusia 32 tahun
mengeluh nyeri kepala sebelah yang didahului dengan melihat bintik-bintik hitam
disertai kilatan cahaya. Penglihatan ini berlangsung sekitar 30 menit dan diikuti nyeri kepala di sebelah kanan. Nyeri
kepala terasa berdenyut dan semakin hebat dengan visual analog scale (VAS) 8. Ti-
dak didapatkan defisit neurologis dalam
pemeriksaan fisik. Pasien sering mengalami nyeri kepala seperti ini sejak remaja.
Pertanyaan:
Apakah diagnosa pada pasien ini ?
a. Tension headache
b. Nyeri kepala Master
c. Tumor otak
d. Migren dengan aura
e. Migren tanpa aura
Jawaban: d. Migren dengan aura
2. Seorang pasien perempuan usia 28 tahun
datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala sebelah kiri disertai nyeri pada mata
kiri. Intensitas nyeri cukup berat [VAS
9-10} dengan durasi sekitar 3-4 jam. Nyeri
dirasakan seperti tertekan, berdenyut,
atau ditusuk-tusuk Saat serangan mata
kiri menjadi merah, berair, dan sangat silau melihat cahaya. Nyeri hilang timbul dengan frekuensi hingga 3 kali dalam sehari,
bahkan membuat terbangun pada malam
hari karena nyerinya. Pasien pernah mengalami nyeri seperti ini kira-kira 7 tahun
yang lalu dan berulang setiap tahun.
Pertanyaan:
Apa diagnosa pasien ini ?
a. Migren tanpa aura
b. Migren dengan aura
c. SOL (space occupaying lesion} intrakranial
d. Nyeri kepala Master
Apa ciri khas yang mengarahkan diagnosis terhadap pasien ini ?
1) Nyeri kepala berdenyut
2) Nyeri kepala sebelah
3} Nyeri kepala hebat
4} Keterlibatan mata
Jawaban: d. Nyeri kepala Master, d. Keterlibatan mata
3. Seorang perempuan berusia 47 tahun
datang dengan keluhan nyeri kepala sejak 3 hari sebelumnya. Nyeri dirasakan
seperti terikat di seluruh bagian kepala.
Nyeri kepala diperberat dengan aktivitas, seperti terlalu lama di depan komputer atau terlalu lama membaca dan
berkurang dengan istirahat. Pemeriksaan fisik dalam batas normal.
Pertanyaan:
Apakah diagnosa pasien ini ?
a. Tension type-headache
b. Nyeri kepala Master
c. Tumor otak
d. Migren dengan aura
e. Migren tanpa aura
Jawaban: a. Tension type-headache
4. Seorang perempuan 78 tahun datang
dengan keluhan nyeri seperti tertusuk
pada pipi kanan, daerah atas rahang, dan
seldtar hidung sejak 8 bulan sebelumnya.
Nyeri terasa berat (VAS 8-9}, hingga mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari
pasien. Nyeri kadang muncul saat mengunyah atau menelan, dan menyebar ke arah
telinga dan tenggorokan. Pasien pernah
mendapat karbamazepin, tetapi semaMn
lama dikatakan tidak ampuh menghilangkan nyeri. Pasien memilild riwayat mengalami angina pektoris tidak stabil.
Pertanyaan:
Apakah diagnosa pasien ini di atas?
a. Cluster headache
b. Nyeri akibat gigi berlubang
c. Migren
d. Neuralgia trigeminal
Jawaban: d. Neuralgia trigeminal
5. Seorang laki-laki 24 tahun datang ke IGD
dengan nyeri kepala hebat sejak 1 hari.
Nyeri kepala dirasakan di seluruh kepala, terus menerus, dan tidak dipengaruhi aktivitas. Intensitas nyeri VAS 7-8.
Pasien masih sadar penuh, tetapi demam
39°C sejak sehari sebelumnya. Pemeriksaan neurologis ditemukan kaku kuduk
dan ruam kulit. Pemeriksaan laboratorium ada leukositosis 21,000/mm3.
Pertanyaan:
Apakah diagnosa kerja yang paling
mungkin pada pasien ini?
a. Perdarahan subaraknoid
b. Ensefalitis viral
c. Meningitis bakterialis
d. Epidural hematom
Jawaban: c. meningitis bakterialis
6. Seorang perempuan 26 tahun, staf keuangan, datang ke poliklinik dengan keluhan
nyeri leher belakang sejak 8 bulan. Nyeri dirasakan hilang timbul dengan intensitas sedang, dan tidak berdenyut, sekitar 1-2 kali
seminggu. Nyeri menjalar ke kepala bagian
belakang, bahu kanan, dan sekitar wajah sisi
kanan, terutama bila pasien sedang banyak
kerjaan dan kurang tidur. Tidak ada riwayat
demam, penurunan berat badan, dan mual
muntah. Pemeriksaan fisik menunjukkan
postur kepala ke depan. Saat palpasi leher,
teraba spasme pada m. trapezius bilateral
dan m. paravertebra servikalis, tidak ada
defisit neurologis. Pasien merasa nyeri saat
gerakan hiperekstensi kepala secara pasif.
Pemeriksaan Rontgen servikal menunjukkan hasil straight cervical.
Pertanyaan:
Apakah diagnosa paling mungkin pada
pasien ini?
a. HNP servikal
b. Nyeri kepala servikogenik
c. Neuralgia trigeminal
d. Migren tanpa aura
Jawaban: b. Nyeri kepala servikogenik
7. Seorang perempuan 37 tahun datang ke
poliklinik dengan keluhan nyeri kepala
sejak setahun lalu. Nyeri kepala terutama
dirasakan di sisi kanan kepala. Awalnya,
nyeri kepala memiliki frekuensi satu kali
seminggu, hilang timbul, durasi sekitar
setengah hari, dan intensitas ringan. Namun, sejak 1 bulan terakhir, nyeri muncul setiap hari, terus menerus, dan intensitas sedang-berat. Saat datang, pasien
sadar, namun terlihat kesakitan (VAS
8-9) dan bingung, serta bicara kadang
tidak sesuai dengan pertanyaan.
Pertanyaan:
Pemeriksaan lanjutan apa yang paling
utama dikerjakan untuk mengetahui
penyaldt yang mendasari nyeri kepala
pasien?
a. Analisis cairan otak
b. MRI
c. Angiografi
d. CT scan
Jawaban: b. MRI
NYERI NEUROPATIK
Jan Sudir Purba, Tiara Aninditha
PENDAHULUAN
Nyeri neuropatik yaitu nyeri yang dipicu oleh kerusakan jaringan saraf, baik
di susunan saraf pusat (SSP) maupun perifer. Nyeri ini dapat muncul walaupun kerusakan jaringan sudah sembuh atau bahkan
tanpa adanya kerusakan jaringan. Nyeri
neuropatik perifer sering digambarkan sebagai rasa terbakar, serasa sengatan listrik,
rasa ditusuk, atau rasa kesemutan. Ditemukan juga gangguan sensorik berupa alodinia, hiperalgesia dengan lokasi yang kurang
jelas, tidak pada daerah terluka saja, atau
hiperpatia. Hampir semua proses patologis
yang memicu kerusakan/disfungsi jaringan saraf atau neuropati berpotensi menimbulkan nyeri neuropatik, seperti infeksi
virus, bakteri, radang aseptik, tekanan karena neoplasma atau lesi struktural lainnya,
degeneratif, iskemia, autoimun, zat beracun,
trauma, dan endokrin/mekanisme metabolisme.
EPIDEMIOLOGI
Nyeri neuropatik dijumpai setidaknya pada
7-8% populasi di Eropa. Di negara kita sendiri berdasarkan hasil penelitian multisenter unit rawat jalan 14 RS pendidikan yang
dilakukan Pokdi Nyeri PERDOSSI tahun
2002 didapatkan 4.456 kasus nyeri, 9,5%
di antaranya yaitu nyeri neuropatik. Angka ini meningkat pada tahun 2012 di 13 RS
di negara kita terhadap 8.160 subjek dengan
instrumen penapis yang lebih sensitif, menjadi 21,8%. Mayoritas subyek yaitu lelaki
(62,1%) berusia 40-60 tahun dengan nyeri
punggung bawah (NPB), sindrom terowongan karpal (STK), frozen shoulder, neuropati
diabetika, dan brakialgia. Penelitian di
Bandung (2013) mendapatkan prevalensi
yang lebih tinggi (31,6%), terutama perempuan (66,9%) dan berusia >40 tahun (91%).
PATOFISIOLOGS
Munculnya nyeri neuropatik diawali oleh
lesi atau disfungsi jaringan saraf sebagai
sistem somatosensorik. Nyeri ini muncul
spontan dengan sensasi yang ’tidak biasa',
seperti disestesia, rasa seperti tusukan, rasa
terbakar, nyeri seperti tersengat listrik, dan
sebagainya. Kerusakan jaringan saraf ditemukan pada penderita neuropati diabetika, postherpetic neuralgia (PHN), neuralgia
trigeminal, nyeri fantom, complex regional
pain syndrome (CRPS), pascabedah atau
neuropati akibat trauma, toksik, neuropati
idiopatik, nyeri sentral pascastroke, serta
akibat tekanan tumor terhadap jaringan saraf (Gambar 1). Mekanisme Perifer
Dalam keadaan normal, sensasi nyeri dihantarkan oleh serabut saraf C dan AS. Lesi jaringan saraf di perifer yang beregenerasi
dapat membentuk neuroma pada puntung
[stump], sehingga neuron menjadi lebih
sensitif. Akibatnya terjadi sensitisasi perifer
yang ditandai oleh adanya aktivitas patologis secara spontan, eksitabilitas yang tidak
normal, dan hipersensitif terhadap stimulus
kimiawi, termal, dan mekanik, Mekanisme
nyeri neuropatik di perifer muncul akibat perubahan struktur anatomi berupa kerusakan
jaringan saraf atau akibat munculnya regenerasi jaringan saraf. Keadaan ini dapat berupa
a) ectopic discharges dan ephatic condition, b]
sprouting neuron kolateral, dan c) coupling
antara sistem saraf sensorik dengan saraf
simpatis. Coupling ke saraf simpatis diakibatkan oleh regenerasi jaringan saraf pada lesi
yang tumbuh menyimpang dari jalur anatomi yang sebenarnya (Gambar 2].
Pengaruh aktivitas simpatik dan katekolamin terjadi pada saraf aferen primer yang
mengalami kerusakan. Pada lesi saraf perifer,
terjadi upregulation adrenoreseptor a, sehingga terjadi peningkatan sensitivitas terhadap noradrenalin pada neuron aferen di
ganglion radiks dorsalis. Selain itu terjadi pula
sprouting pada saraf aferen primer ini .
Mekanisme Sentral
Neuron di komu dorsalis akan memacu traktus spinotalamikus, yaitu bagian besar dari jaras asending nosiseptif, Konsekuensi aktivitas
spontan secara terus menerus yang berasal
dari perifer memicu meningkatnya aktivitas jaras spinotalamikus, meluasnya areal
penerima, dan meningkatkan respons terhadap impuls aferen. Fenomena ini disebut sebagai sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral ini
diduga merupakan mekanisme penting terjadinya nyeri neuropatik yang persisten. Pada
saraf sentral ditemukan beberapa perubahan
antara lain: a) terjadinya reorganisasi anatomi
medula spinalis, b) hipereksitabilitas medula
spinalis, serta c) perubahan pada sistem opioid
endogen. Pada kerusakan jaringan saraf perifer; juga terjadi aktivasi mikroglia di medula spinalis sehingga reseptor purin dan p-38, sebagian dari MAP
kinase, turut menjadi alrtif. Hal ini merupakan
kunci utama patogenesis dari hipersensitivitas
reseptor di traktus spinotalamikus. Kerusakan
di daerah ini akan memberikan keluhan
yang sangat spesifik dan didefinisikan sebagai
keluhan nyeri neuropatik
Lesi di jaringan saraf ini memicu kerusakan mielin, protein membran, atau reseptor sinaps, sehingga terjadi gangguan
elektrisitas berupa sensitisasi yang terus menerus dari jaringan saraf yang rusak dan disebut sebagai ectopic-discharge. Nyeri neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus)
maupun dengan stimulus atau juga kombinasi. Kejadian ini berhubungan dengan aktivasi
kanal ion Ca2+ atau Na+ di akson yang berperan pada reseptor glutamat, yaitu N-metil-Daspartat (NMDA) atau a-am m o-3-hidroksi-5-
metiI-4-asam isoksaazolepropionat (AMPA)
dalam memodulasi transmisi nosiseptif sinapsis di susunan saraf pusat.
Nyeri yang muncul dipicu oleh ectopic
discharges sebagai akibat dari kerusakan jaringan saraf (Gambar 3). Ectopic discharge
ini merupakan akibat dari kerusakan jaringan saraf baik perifer maupun sentral, yang
berkaitan dengan fungsi sistem inhibitorik,
gangguan interaksi antara somatik dan simpatis. Terkadang pada inflamasi dan neuropatik ditemukan perubahan secara fenotip
di sel saraf perifer yang memicu eksitasi ataupun disinhibisi, baik di kornu dorsalis
maupun di jaras nyeri sampai ke areal korteks
sensorik. Keadaan ini memberikan gambaran
umum berupa alodinia dan hiperalgesia yang
merupakan keluhan spesifik dari nyeri neuropatik. Keluhan ini jika tidak diterapi secepat
mungkin akan memicu kerusakan
neuron yang bersifat ireversibel.
GEJALA DAN TANDA K U N IS
Pada prinsipnya gejala nyeri neuropatik
sangat khas, berbeda dengan nyeri nosiseptif. Pada nyeri neuropatik tidak ada kerusakan jaringan yang dapat menjadi stimulus, namun pasien merasa nyeri. Sensasinya
juga tidak 'lazim', tidak sesuai dengan pemicu nyerinya (alodinia). Pasien dapat merasakan gejala positif, seperti rasa panas/dingin, nyeri seperti ditusuk, disayat, ditikam,
disetrum, atau kesemutan, disertai gejala
negatif, seperti baal atau hipestesia. Sensasi
nyeri bisa juga sesuai dengan stimulusnya,
namun terasa berlebihan (hiperalgesia).
Oleh karena itu, pada pemeriksaan fisik perlu dicari ada tidaknya daerah yang berpotensi menjadi sumber nyeri atau adanya kerusakan jaringan, sehingga bila ditemukan
berarti nyeri yang dirasakan ialah nyeri nosise