Tampilkan postingan dengan label obat 11. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label obat 11. Tampilkan semua postingan

obat 11




 d

Fluorkuinolon ini (1987) lebih kurang sama 

khasiatnya dengan siprofloksasin. dipakai  

pada ISK, prostatitis, infeksi pernapasan, 

gonore dan infeksi mata, juga sebagai obat 

tuberkulosis sekunder.

Resorpsinya cepat dan praktis lengkap dengan PP ±25% dan plasma-t½ ±6 jam, yang 

dapat meningkat sampai 10-30 jam pada 

gangguan fungsi ginjal. Ekskresi dalam keadaan utuh melalui urin dan dalam 24 jam 

mencapai 80%.

 Dosis: pada ISK tanpa komplikasi 1-2 

dd 200 mg selama 7-10 hari. Sebagai obat 

sekunder terhadap tuberkulosis paru 300-600 

mg seharinya.

* Levofloksasin (Tavanic, Levoxal) yaitu  

isomer levo (1997) dengan sifat yang sama, 

hanya spektrum kerjanya terhadap kuman 

Gram-positif sedikit lebih luas, t½-nya 6-8 

jam. Efek sampingnya lebih ringan. 

Dosis: 1-2 dd 250-500 mg.

6. Lomefloksasin: Omniquin, Maxiquin.

Derivat difluor ini (1989) berkhasiat terhadap ISK dengan atau tanpa komplikasi dan 

sebagai profilaksis terhadap infeksi sesudah  

pembedahan transuretral. Di samping itu 

juga dipakai  terhadap serangan (eksaserbasi) bronkitis kronis.

Resorpsinya cepat dan baik (BA 98%), tetapi 

dapat diperlambat oleh makanan. PP-nya 

rendah sekali (±10%) Kadar plasma maksimal 

tercapai sesudah  1-1,5 jam dan ekskresi ±65% 

melalui urin dalam bentuk utuh dan 6% 

sebagai glukuronida. Diekskresi dengan tinja 

±10% dalam bentuk utuh. Plasma-t½-nya 8 

jam. 

Efek samping. Selain efek samping yang 

lazim timbul, obat ini cenderung lebih sering 

menimbulkan fotosensibilisasi.

Dosis: 1 dd 400 mg, lazimnya selama 14 hari.

7. Sparfloksasin: Newspar, Redspar, Resflok

Derivat difluor ini (1995) berkhasiat lebih luas 

terhadap kuman Gram-positif dibandingkan 

siprofloksasin, lagipula masa paruhnya panjang (20 jam) sehingga dapat diberikan 1 kali 

sehari. Terhadap Pseudomonas dan Proteus, 

obat ini kurang efektif dibandingkan dengan 

siprofloksasin. Sparfloksasin dipakai  pada 

semua bentuk ISK, pneumonia akibat pneumokok yang resisten terhadap penisilin dan 

pada gonore.

Efek sampingnya yang serius yaitu  fotosensitasi yang sangat membatasi penggunaannya.

Dosis: permulaan 400 mg, lalu 1 dd 200 mg 

selama 10 hari. Gonore: single dose dari 200 

mg. 

8. Gatifloksasin: Tequin

Termasuk generasi ketiga yang dapat digunakan per oral maupun i.v. terhadap infeksi 

saluran urin (gonore) dan infeksi pernapasan 

(pneumonia). Juga aktif terhadap kuman 

anaerob. Memiliki t½ 7 jam dan dieliminasi 

dari tubuh melalui ginjal.

Interaksi. Tidak boleh diberikan pada penderita gangguan jantung, khususnya yang 

menggunakan obat-obat anti aritmia (kinidin, disopiramida, amiodaron, sotalol) atau 

neuroleptika. Juga dapat mengakibatkan 

gangguan pada peredaran gula darah (glucosehomeostasis), oleh karena itu perlu pemantauan 

kadar gula pada pemakaian  antidiabetika 

oral.22

Dosis: 1 dd 400 mg.

9. Moksifloksasin: Avelox

Juga termasuk generasi ketiga dan digunakan terhadap infeksi saluran pernapasan 

(pneumonia) dan terhadap infeksi oleh 

kuman anaerob. Memiliki t½ 12 jam dan dieliminasi dari tubuh melalui hati.

Sama dengan gatifloksasin agar dihindari 

pemberiannya pada penderita gangguan aritmia jantung.

Dosis: 1 dd 400 mg

TUBERKULOSIS

Tuberkulosis, disingkat TB, yaitu  suatu 

penyakit menular yang paling sering (±80%) 

terjadi di paru-paru. Penyebabnya yaitu  

suatu basil Gram-positif tahan-asam dengan pertumbuhan sangat lamban, yaitu 

Mycobacterium tuberculosis (Yun.mycos = dinding selnya bersifat sebagai lilin) (dr. Robert 

Koch, 1882). 

Bakteri ini terdiri dari beberapa spesies 

yang semuanya dapat menyebabkan tuberkulosis, yaitu a.l. M.tuberculosis (typus humanus), M.africanum dan M.bovis (typus sapi). 

Gejala TB terdiri dari a.l. batuk kronis, 

demam, berkeringat waktu malam, keluhan 

pernapasan, perasaan letih, malaise, hilang 

nafsu makan, turunnya berat badan dan rasa 

nyeri di bagian dada. Dahak penderita berupa lendir mucoid, purulent (bernanah) atau 

mengandung darah. 

* Infeksi primer. sesudah  terjadi infeksi melalui saluran pernapasan, di dalam gelembung paru (alveoli) berlangsung reaksi peradangan setempat dengan timbulnya benjolan-benjolan kecil (tuberkel). Sering kali sistem imun tubuh sehat dapat memberantas basil dengan menyelubunginya dengan 

jaringan pengikat. Infeksi primer ini pada 

umumnya menjadi abses “terselubung” (incapsulated) dan berlangsung tanpa gejala, 

hanya kadangkala disertai batuk dan napas 

berbunyi. 

Pada mereka dengan sistem imun lemah 

(anak-anak, manula, pasien AIDS) dapat timbul radang paru hebat. Basil TB memperbanyak diri di dalam makrofag dan benjolanbenjolan bergabung menjadi infiltrat yang 

akhirnya menimbulkan rongga (caverna) di 

paru-paru. Bila kemudian terjadi hubungan 

antara paru-paru dan cabang bronchi, maka 

terjadilah TB terbuka (tuberculosis cavernosus) 

dengan adanya basil di dahak (sputum). TB 

terbuka berbahaya sekali. Walaupun hanya 

bercirikan batuk kronis, tetapi bersifat sangat 

menular. Pasien dengan kondisi demikian 

yaitu  sumber meluasnya TB di 

sekelompok masyarakat, tetapi hanya terjadi 

pada lebih kurang 10% dari semua infeksi.

Infeksi dapat menyebar melalui darah dan 

limfe ke organ lain dari tubuh, a.l. ke:

– saluran pencernaan (intestinal tuberculosis); 

TB selaput perut (tuberculous peritonitis) 

yang menimbulkan ascites (busung perut) 

yaitu  TB lambung kedua yang 

Robert Koch (1843-1910) paling umum


– ginjal dan juga bagian-bagian dari sistem 

urogenital (penyebab kemandulan pada 

wanita)

– susunan saraf pusat, penyebab radang selaput otak (tuberculous meningitis) pada 

anak-anak)

– kerangka tubuh, mengakibatkan a.l. 

osteomyelitis (radang sumsum tulang)

Di samping itu organ lain juga dapat 

terinfeksi, yaitu kulit (lupus vulgaris), mata, 

pericardium (kandung jantung) (menyebabkan Addison’s disease) dan simpul-simpul 

limfe.

Di organ yang terinfeksi timbul abses bernanah atau pertumbuhan liar dari jaringan 

pengikat yang selalu disertai dengan pembesaran simpul limfe. Tanpa pengobatan akhirnya dapat terjadi kerusakan hebat yang berakhir fatal.

* Reaktivasi. Kadang-kadang dalam waktu 

setahun atau lebih infeksi primer —akibat 

proses reaktivasi penyakit lama (post-primary 

tuberculosis) atau kadangkala karena reinfeksi dengan kuman tuberkel yang menyebar melalui saluran darah––berkembang 

menjadi TB-miliar (sebesar “padi”) yang pada umumnya berakibat fatal. Reaktivasi demikian terutama dapat timbul bila daya 

tahan tubuh menurun, misalnya pada manula, pengidap HIV dan pasien yang menjalani terapi imunosupresiva (dengan kortikosteroid atau sitostatika).

Mycobacteria lain. Pengidap AIDS semakin sering dihinggapi infeksi dengan berbagai jenis Mycobacteria lain (“atipis”, tidak khas), 

seperti Mycobacterium avium intracellulare (MAI) yang ada  di air dan tanah. 

Mikroorganisme ini pada umumnya bersifat 

resisten terhadap obat-obat TB biasa sehingga 

menjadi masalah serius pada terapi AIDS. 

Infeksi MAI tidak dapat ditulari dari manusia 

ke manusia. 

Penularan Mycobacterium bovis akibat 

minum susu sapi yang menderita TB kelenjarsusu jarang sekali terjadi. Infeksi demikian 

dapat dihindari dengan mempasteurisasikan 

atau memasak susu.

PENYEBARAN

Penyakit TB tersebar di seluruh dunia, di samping banyak kasus baru ±8 juta per tahun 

dengan angka kematian meningkat sampai 

2-3 juta manusia per tahun. Di seluruh dunia setiap 18 detik ada  seorang yang 

meninggal akibat penyakit ini. TB yaitu  

penyakit infeksi tunggal yang paling mematikan dan yaitu  penyebab kematian 

nomor dua, sesudah  penyakit jantung. Prevalensinya sangat tinggi di negara-negara Asia 

dan Afrika, yang 60-80% dari anak-anak 

di bawah usia 14 tahun sudah terinfeksi. 

Misalnya Filipina dengan prevalensi TB positif 0,40%; artinya 40 orang di antara 10.000 

orang mengidap TB. Di negara-negara berkembang pada umumnya infeksi timbul 

pada masa anak-anak dan sekarang ini masih 

yaitu  pembunuh utama, yang a.l. diakibatkan oleh resistensi terhadap antibiotik.

Di negara kita  dengan prevalensi TB positif 0,22% (laporan WHO 1998), penyakit 

ini yaitu  salah satu penyakit rakyat 

penting yang tiap tahun mengakibatkan 

banyak korban. Jumlah penderita di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar 

sesudah  India dan Cina, dengan angka kematian sebesar 140.000 jiwa per tahun dan 

lebih dari 500.000 kasus baru per tahun yang 

yaitu  tingkat infeksi ketiga tertinggi 

di dunia. Pada setiap 100.000 penduduk ada 

125 penderita tuberkulosis yang menular. 

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) 

di negara kita  setiap empat menit satu orang 

meninggal atau ekivalen dengan ±400 kematian setiap hari akibat TB yang yaitu  

penyebab kematian kedua bagi orang dewasa 

di negara kita .


Kawasan negara kita  Timur yaitu  daerah yang banyak penderitanya. Prevalensi 

di NTT dan Timor Timur yaitu  700 per 

100.000 penduduk. Penyakit ini diketemukan 

terutama di antara rakyat jelata yang gizi 

makanannya tidak memadai dan hidup 

dalam keadaan sosial-ekonomi dan hygiene 

di bawah normal. Lagi pula krisis ekonomi 

meningkatkan jumlah penderita, karena daya 

tahan tubuh berkurang akibat menurunnya 

asupan gizi dan kualitas lingkungan. 

Menurut WHO penyebaran HIV, virus 

penyebab AIDS, di kawasan Asia Pasifik

meningkatkan kasus TB. Diperkirakan 3% 

dari seluruh pasien TB memberikan tes positif terhadap HIV. 

Ref. USAID Health: Infectious Diseases, 

Tuberculosis, Countries, negara kita .” U.S. 

Agency for International Development. May 

2009. Web. 07 Dec. 2010.

Hal ini disebabkan HIV merusak sistem kekebalan tubuh penderita, sehingga meningkatkan peluang terjadinya infeksi oleh kuman. 

Mortalitasnya kini berjumlah 3 juta penderita

yang setiap tahun semakin meningkat. Hampir dua pertiga dari penderita TB di seluruh 

dunia ada  di kawasan Asia Pasifik. Sisanya banyak ada  di sub-Sahara (Afrika), terutama sebagai infeksi-multiresisten 

dalam kombinasi dengan AIDS (WHO 1998).

Di negara Barat TB hampir punah seluruhnya sesudah  dilakukan pengobatan dan 

vaksinasi intensif pada tahun 1950-an. Namun 

pada dasawarsa terakhir timbul kembali 

bersamaan dengan meningkatnya pengidap 

HIV serta terjadinya resistensi terhadap obat 

TB, a.l. disebabkan oleh penyalahgunaan 

antibiotika. Bentuk yang paling serius yaitu  

TB multi-drug resisten. Jenis TB dengan 

mortalitas tinggi ini disebabkan oleh kumankuman yang resisten terhadap dua obat 

utama (rifampisin dan isoniazida) dan sangat 

sukar pengobatannya.

Walaupun Robert Koch telah mengisolasi 

bakteri tuberkel sebagai penyebab dari TB 

(1882), ada sebagian orang yang memandang 

penyebabnya dalam konteks yang lebih luas. 

Salah satunya yang terkenal yaitu  René Dubos (1901-82) walaupun dia sarjana mikrobiologi, beranggapan bahwa TB yaitu  

suatu penyakit masyarakat dan harus ada 

pengertian bahwa imbas faktor sosial dan 

ekonomi terhadap seorang juga harus diperhitungkan sama seperti mekanisme merusaknya bakteri tuberkel terhadap tubuh manusia. 

Dalam dekade-dekade sesudah  penemuan 

bakteri TB dan dimulainya pengobatan dengan obat-obat antiTB, angka kematian karena tuberkulosis menurun drastis di negaranegara industri. Menurut Dubos penurunan 

ini terutama disebabkan oleh kebijakan 

sosial yang memperbaiki standar kehidupan 

keseluruhannya. Kesimpulannya walaupun 

TB yaitu  penyakit infeksi, tetapi juga – 

sampai hari ini– yaitu  ekspresi biologis 

dari ketimpangan sosial.

PENULARAN

Penyakit TB ditularkan dari orang ke orang, 

terutama melalui saluran napas dengan 

menghisap atau menelan percikan ludah/

dahak (droplet infection) yang mengandung 

basil dan dibatukkan oleh penderita TB 

terbuka. Atau juga karena adanya kontak 

antara tetes ludah/dahak tersebut dan luka 

di kulit. Dalam percikan ludah ini kuman 

dapat hidup beberapa jam dalam udara 

panas lembap, dalam nanah bahkan beberapa 

hari. Untuk membatasi penyebaran perlu 

sekali diperiksa semua anggota keluarga dekat yang erat hubungannya dengan penderita. Dengan demikian penderita baru dapat 

dideteksi pada waktu dini.

Ada banyak kesalahfahaman mengenai daya penularan penyakit TB. Umumnya terda-pat anggapan bahwa TB bersifat sangat menular, tetapi pada hakikatnya bahaya infeksi 

relatif tidak begitu besar dan dapat disamakan 

dengan penularan penyakit infeksi saluran 

pernapasan lainnya, seperti selesma dan 

influenza. Akan tetapi bahaya semakin meningkat, karena sering kali seseorang tidak 

diketahui sudah menderita TB (terbuka) dan 

dapat menularkannya pada orang-orang di 

sekitarnya sebelum penyakitnya terdeteksi.

PENCEGAHAN

Penularan perlu diwaspadai dengan tindakan-tindakan pencegahan seperlunya untuk 

menghindari infeksi karena percikan dahak 

dari seorang penderita ke orang lain. Salah 

satu cara yaitu  batuk dan bersin dengan 

menutup mulut/hidung dengan saputangan 

atau tissue yang kemudian didesinfeksi dengan lysol atau dibakar. Juga harus menjaga 

jarak bila berbicara dengan seorang penderita. Saluran udara ruangan yang baik dapat 

memperkecil bahaya penularan. 

Anak-anak di bawah usia satu tahun dari 

keluarga yang menderita TB perlu divaksinasi 

BCG sebagai pencegahan, bersamaan dengan 

pemberian isoniazida 5-10 mg/kg selama 6 

bulan (kemoprofilaksis),lihat di bawah. 

Reaksi Mantoux (reaksi tuberkulin, 1907) 

dilakukan untuk menentukan belum atau 

sudahnya seseorang terinfeksi basil TB. 

Reaksi ini dilakukan dengan penyuntikan 

tuberkulin intradermal, yaitu filtrat dari pembiakan basil yang mengandung produk 

pemisahannya yang khas.

Reaksi positif tampak sebagai kemerahmerahan setempat dan menunjukkan ada nya antibodies terhadap basil TB di dalam darah. Hal ini berarti bahwa yang bersangkutan pernah mengalami infeksi primer 

atau telah divaksinasi dengan BCG. Antibodi 

tersebut telah menjadikannya kebal terhadap 

infeksi baru. Orang dengan reaksi tuberkulin 

positif harus diperiksa lebih lanjut sputum 

dan paru-parunya melalui sinar Röntgen. 

Hasil tuberkulin skin test lebih dari 15 mm 

menunjukkan risiko besar mendapatkan penyakit ini dan perlu menjalani pengobatan 

profilaktik untuk menghindari timbulnya TB 

aktif.

Pengobatan profilaktik bagi orang dewasa 

terdiri dari oral tiap hari 300 mg isoniazida 

atau dua kali seminggu selama 6 bulan. Bagi penderita yang tidak tahan terhadap isoniazida harus diberikan 10 mg/kg rifampisin 

tiap hari selama 4 bulan.

Reaksi negatif berarti bahwa yang bersangkutan belum pernah mengalami infeksi 

primer dan lebih mudah diserang TB daripada orang dengan reaksi positif.

Vaksin BCG (Basil Calmette-Guérin). Daya 

tahan orang dengan reaksi tuberkulin negatif 

dapat diperkuat melalui vaksinasi dengan 

vaksin BCG. Vaksin ini mengandung basil TB 

sapi yang telah dihilangkan keganasannya 

(virulensi) sesudah  dibiakkan di laboratorium 

selama bertahun-tahun. Vaksinasi meninggalkan tanda bekas luka yang nyata, biasanya 

di lengan-bawah dan memberikan kekebalan 

selama 3-6 tahun terhadap infeksi primer dan 

efektif untuk rata-rata 70%. Vaksin BCG terutama efektif untuk menghindari TB miliar 

dan TB meningitis. Bayi di daerah dengan 

insidensi TB tinggi sering kali secara rutin diimunisasi dengan BCG. 

Efektivitas vaksin BCG yaitu  kontroversial, walaupun sudah dipakai  lebih dari 

50 tahun di seluruh dunia. Hasilnya sangat 

bervariasi; beberapa penelitian baru menunjukkan perlindungan terhadap lepra, tetapi 

sama sekali tidak terhadap TB.

Vaksin BCG diberikan intradermal 0,1 ml 

bagi anak-anak dan orang dewasa; bayi 0,05 

ml.

Kemoprofilaktik terutama dilakukan dengan 

isoniazida. Anak-anak di bawah usia empat 

tahun dari keluarga penderita TB dan mereka 

yang berisiko besar terhadap infeksi dapat 

diberikan isoniazida selama 6 bulan secara 

kontinu sebagai profilaksis. Bila ada  

intoleransi dapat diganti dengan rifampisin,

maksimal 6 bulan. Di samping itu dilakukan 

juga imunisasi dengan BCG. 

Untuk profilaksis terhadap infeksi M. avium,

dianjurkan monoterapi dengan antibiotik 

makrolida azitromisin (1 x seminggu 1200 

mg a.c.)

PENGOBATAN

Dahulu TB sukar sekali disembuhkan, karena 

belum ada obat yang dapat memusnahkan 

Mycobacterium. Basil ini lambat sekali pertumbuhannya dan sangat ulet, karena dinding selnya mengandung kompleks lipidaglikolipida serta lilin (wax), yang sulit ditembus zat kimia. 

Sebagian dari basil ini juga dapat bersembunyi di dalam sel-sel penderita dan melindungi diri dengan membentuk suatu rintangan (barrier) kimiawi yang yaitu 

hambatan kedua terhadap obat TB.

Mycobacteri tidak mengeluarkan enzim 

ekstraseluler maupun toksin. Penyakit berkembang karena kuman mampu memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit dan tahan 

terhadap enzim-enzim pencernaan.

Terapi kuno hanya terbatas pada penanggulangan gejala penyakit (terapi simtomatik). 

Pengobatan dapat dibantu dengan istirahat 

lengkap (bedrest, sanatorium) dan diet sehat. 

Dianjurkan mengonsumsi banyak lemak dan 

vitamin A untuk membentuk jaringan lemak baru yang dapat menyelubungi kuman 

(encapsulate) dan meningkatkan daya tahan 

tubuh. 

Terapi modern menggunakan tuberkulostatika dan pada umumnya pasien dapat 

dirawat jalan (ambulan). Sebagian penderita 

malahan dapat bekerja sebagaimana biasa. 

Biasanya sesudah  4-6 minggu tidak ada bahaya infeksi lagi, walaupun sering kali di 

dalam sputumnya masih ada  basil TB. 

Ada dua kelompok obat yang dipakai  

terhadap tuberkulosis, yaitu yang disebut 

first line anti-TB, seperti isoniazida, pirazinamida, rifampisin, etambutol dan streptomisin. Masih dalam penelitian lanjutan 

sebagai obat first-line yaitu  moksifloksazin. 

Obat-obat dari kelompok ini lebih efektif 

dan penerimaannya lebih baik dari obatobat kelompok second line seperti PAS, 

etionamida, sikloserin, amikasin, kanamisin 

dan kapreomisin, yang baru diberikan bila 

obat-obat dari kelompok pertama menimbulkan resistensi atau penderita tidak tahan 

terhadap obat-obat ini. 

Resistensi terutama akan timbul pada penggunaan dari hanya satu jenis obat TB (monoterapi) tetapi peluang timbulnya resistensi 

akan lebih kecil bila dipakai  lebih dari dua 

jenis obat. 

Oleh karena itu dianjurkan pemakaian  

multi-drug terapi yang juga akan mempersingkat jarak waktu pengobatan.

Pengobatan TB paru terdiri dari dua tingkat, 

yaitu fasa terapi intensif dan fasa pemeliharaan.

a. Fasa intensif yaitu  terapi dengan

isoniazida yang dikombinasi dengan rifampisin dan pirazinamida selama 2 bulan. Untuk menghindari resistensi ditambahkan pula etambutol.

b. Fase pemeliharaan menggunakan isoniazida bersama rifampisin selama 4 bulan lagi, sehingga seluruh masa pengobatan mencakup 6 bulan. Telah dibuktikan 

bahwa kur singkat ini sama efektifnya 

dengan kur lama dari 2 + 7 bulan. Persentase residifnya juga kurang lebih sama 

(1%) Untuk mengurangi efek samping 

dari isoniazida (neuropati) juga diberikan 

piridoksin (10-50 mg sehari), terutama bagi 

a.l. lansia, penderita dengan gizi buruk, 

wanita hamil dan penderita diabetes untuk menghindari timbulnya gangguan 

saraf (neurological toxicity).

PengobatanTB tulang harus lebih lama (9 

bulan) dan untuk meningitis-TBC selama 1 

tahun. Obat yang dipakai  sama seperti 

untuk TB paru dengan penambahan 

pirazinamida hanya untuk 2 bulan 

pertama. Obat-obat yang di-gunakan 

terhadap kuman M. tuberculosis resisten

yaitu  kapreomisin, sikloserin, klaritromisin, azitromisin, siprofloksasin, oflosoksasin, ethionamida, kanamisin dan amikasin.

Terapi kombinasi berefek potensiasi, karena 

obat-obat bekerja di titik tangkap berlainan, 

lagi pula menghindari terjadinya resistensi. 

Dengan cara ini sebagian besar penderita dapat diobati secara efektif. Semua kuman termasuk basil yang berada intraseluler juga 

dimusnahkan. Kombinasi tersebut juga sangat praktis, karena dapat diberikan serentak dalam dosis tunggal 1 kali sehari dengan 

efek samping ringan. Terapi kombinasi yang terdiri dari isoniazida, pirazinamida dan rifampisin yaitu  dasar dari terapi singkat 

(short-course therapy).

Kesetiaan minum obat. Terapi perlu dilakukan sekian lama untuk memusnahkan 

seluruh “sumber infeksi” dan kuman yang 

berada dalam keadaan «tidur» intraseluler 

(dormant) untuk menghindari kambuhnya 

penyakit. Tetapi faktor terpenting untuk berhasilnya pengobatan yaitu  kesetiaan terapi dari penderita untuk secara teratur dan 

terus-menerus minum obatnya selama 6 

bulan. Sering kali penderita yang berobat 

baru separuh jalan sudah merasa sembuh 

sehingga mengabaikan kewajiban menyelesaikan kur. Kurangnya patient compliance tersebut yaitu  sebab utama gagalnya 

pengobatan bagi 5% dari jumlah penderita. 

Lagi pula hal ini mengakibatkan basil TB 

menjadi kebal terhadap obat.

Untuk meningkatkan kepatuhan minum 

obat telah didirikan klinik-klinik khusus 

untuk tujuan ini dengan supervisi langsung 

serta pemberian insentif. Program ini disebut 

Directly Observed Therapy Short Course (DOTS) 

dan telah diterapkan di negara kita  sejak tahun 

1995. 

*Terapi infeksi MAI yang multiresisten 

pada pasien AIDS dapat dilakukan efektif 

dengan makrolida klaritromisin (2 dd 0,5 

g), rifampisin (10 mg/kg/hari) dan etambutol 

(25 mg/kg/hari). Kombinasi ini bekerja 

sinergistik.

Obat TB umumnya dibagi dalam obat-obat 

primer dan obat-obat sekunder.

a. Obat primer: INH, rifampisin, pirazinamida dan etambutol. Obat-obat ini 

paling efektif dan paling rendah toksisitasnya, tetapi menimbulkan resistensi 

dengan cepat bila dipakai  sebagai obat 

tunggal. Maka terapi selalu dilakukan 

dengan kombinasi dari 3-4 obat. Sukusuku yang sekaligus kebal terhadap dua 

atau lebih jenis obat sangat jarang terjadi. Yang paling banyak dipakai  adalah kombinasi INH, rifampisin dan pirazinamida.

b. Obat sekunder: streptomisin, klofazimin, 

fluorkinolon dan sikloserin. Obat ini memiliki kegiatan yang lebih lemah dan 

bersifat lebih toksik, oleh karena itu hanya 

dipakai  bila ada  resistensi atau 

intoleransi terhadap obat primer, juga 

terhadap infeksi MAI pada pasien HIV. 

Fluorkinolon (siprofloksasin, ofloksasin, 

moksifloksasin, dan lain-lain) bekerja sebagai bakterisida berdasar  penghambatan DNA-gyrase kuman. Obat ini berperan penting pada TB multi-resisten; 

aktivitasnya dapat disamakan dengan 

INH. 

pemakaian  obat TB harus berhati-hati 

pada penderita gangguan fungsi hati dan 

ginjal.

Kehamilan dan laktasi. Wanita hamil yang 

menderita TB aktif dapat diobati dengan 

isoniazida, rifampisin dan pirazinamida. 

Etambutol juga dapat dipakai  dalam 

keadaan tertentu. Streptomisindan amikasin

dilarang pemakaian nya karena risiko ketulian pada janin. Data dari obat TB sekunder 

terhadap kehamilan masih belum lengkap. 

Perlu juga diperhatikan bahwa kebanyakan 

tuberkulostatika masuk ke dalam air susu 

ibu. Namun bayi dapat diberi susu ibu tanpa 

ada keberatan.

MONOGRAFI

1. Etambutol: Myambutol

Derivat etilendiamin ini (1961) berkhasiat 

spesifik terhadap M. tuberculosa dan M. 

atipis (termasuk MAI), tetapi tidak terhadap 

bakteri lain. Daya kerja bakteriostatiknya

sama kuatnya dengan INH, tetapi pada dosis 

terapi kurang efektif dibandingkan obat-obat 

primer. Mekanisme kerjanya berdasar  

penghambatan sintesis RNA pada kuman 

yang sedang membelah, juga menghalangi 

terbentuknya mycolic acid pada dinding sel 

yang lebih dari 60% terdiri dari lipid.

Resorpsinya baik (75-80%) dan mudah 

memasuki eritrosit, yang berfungsi sebagai 

depot yang lambat-laun melepaskan obat 

kembali ke plasma. Penetrasinya ke CCS

buruk. PP-nya 20-30%, plasma-t½-nya 3-4 jam 

dan dapat meningkat sampai ±8 jam pada 

gangguan ginjal. Ekskresinya lewat ginjal 

(80%) yang sebagian dalam bentuk utuh dan 

15% sebagai metabolit non-aktif.

Efek samping yang terpenting yaitu  neuritis optica (radang saraf mata) yang mengakibatkan gangguan penglihatan, a.l. kurang tajamnya penglihatan dan buta warna 

terhadap warna merah dan hijau. Reaksi 

toksik ini baru timbul pada dosis besar (di 

atas 50 mg/kg/hari) dan bersifat reversibel 

bila pengobatan segera dihentikan, tetapi 

dapat menimbulkan kebutaan bila pemberian 

obat dilanjutkan. Sebaiknya jangan diberikan 

pada anak kecil, karena kemungkinan gangguan penglihatan sulit dideteksi. Dianjurkan 

untuk memeriksakan mata secara periodik, terutama kepekaannya terhadap warna. 

Etambutol juga meningkatkan kadar 

asam urat dalam plasma akibat penurunan 

ekskresinya oleh ginjal. 

Kehamilan: dapat diberikan pada wanita 

hamil. Etambutol masuk ke dalam air susu 

ibu.

Dosis: oral sekaligus 20-25 mg/kg/hari 

(garam di-HCl), selalu dalam kombinasi 

dengan INH. I.v.(infus) 1 dd 15 mg/kg dalam 

2 jam.

2. Isoniazida (F.I.): INH 

Derivat asam isonikotinat ini (1952) 

berkhasiat tuberkulostatik paling kuat 

terhadap M. tuberculosis (dalam fase istirahat) 

dan bersifat bakterisid terhadap basil yang 

sedang tumbuh pesat. Aktif terhadap kuman 

yang berada intraseluler dalam makrofag 

maupun di luar sel (ekstraseluler). Obat ini 

praktis tidak aktif terhadap bakteri lain. 

Isoniazida masih tetap yaitu  obat 

kemoterapi terpenting terhadap berbagai 

jenis tuberkulosa dan selalu dipakai  sebagai multiple terapi dengan rifampisin 

dan pirazinamida. Struktural senyawa ini 

berkaitan dengan pirazinamida.

Profilaktik dipakai  sebagai obat tunggal 

bagi mereka yang berhubungan dengan pasien TB terbuka.

Mekanisme kerjanya berdasar  terganggunya sintesis mycolic acid, yang diperlukan 

untuk membangun dinding bakteri. Senyawa 

ini memasuki sel bakteri melalui difusi pasif 

dan baru akfif sesudah  diaktivasi oleh enzim 

katalasa-peroksidase.

Resorpsi dari usus sangat cepat; difusi ke 

dalam jaringan dan cairan tubuh baik sekali, 

bahkan dapat menembus jaringan yang sudah mengeras. Penetrasi yang cepat ini sangat penting dalam pengobatan tuberculous 

meningitis. 

Di dalam hati INH diasetilasi oleh enzim 

asetiltransferase menjadi metabolit inaktif. PPnya ringan sekali, plasma-t½-nya antara 1 dan 

4 jam tergantung pada kecepatan asetilasi. 

Ekskresi terutama melalui ginjal (75-95% 

dalam 24 jam) dan sebagian besar sebagai 

asetilisoniazida.

Efek samping pada dosis normal (200-300 

mg sehari) jarang terjadi dan ringan (gatalgatal, ikterus), tetapi lebih sering timbul 

bila dosis melebihi 400 mg. Yang terpenting yaitu  polineuritis, yakni radang saraf 

dengan gejala kejang dan gangguan penglihatan. Penyebabnya yaitu  persaingan dengan piridoksin yang rumus kimiawinya 

mirip INH. Perasaan tidak sehat, letih dan 

lemah, serta anoreksia juga sering kali timbul. 

Untuk menghindari efek samping ini biasanya diberikan piridoksin (vitamin B6) 10 mg 

sehari bersama vitamin B1 (aneurin) 100 mg. 

Kadangkala terjadi kerusakan hati dengan 

hepatitis dan ikterus yang fatal, khususnya 

pada orang pengasetilir-lambat (slow-acetylators) terutama bila dikombinasi dengan 

rifampisin. Kecepatan proses asetilasi yang 

memengaruhi kadar obat dalam plasma dan 

masa paruhnya, tergantung dari banyaknya 

asetiltransferase yang genetik pada masingmasing orang berbeda.

Perlu diwaspadai bila dipakai  oleh 

penderita gangguan fungsi ginjal/hati dan 

mereka yang berusia di atas 45 tahun, karena 

risiko timbulnya efek samping meningkat 

sesuai usia. Dianjurkan periodik memantau 

pasien yang menjalani terapi dengan obat ini 

terhadap gejala hepatitis (anoreksia, keletihan, 

mual dan ikterus). 

Antasida yang mengandung aluminium 

dapat mengganggu absorpsi INH.

Resistensi dapat timbul agak cepat bila di-

gunakan sebagai obat tunggal, tetapi resistensi silang dengan obat TB lainnya tidak 

terjadi. 

Dosis: oral/i.m. dewasa dan anak-anak 1 dd 

4-8 mg/kg/hari atau 1 dd 300-400 mg, atau 

sebagai dosis tunggal bersama rifampisin, pagi 

hari sebelum makan atau sesudah makan bila 

terjadi gangguan lambung. 

Profilaktik: 5-10 mg/kg/hari. 

3. Pirazinamida: pirazinkarboksamida, Prazina, 

Pezeta

Analogon pirazin dari nikotinamida ini 

(1952) bekerja sebagai bakterisid (pada 

suasana asam: pH 5-6) atau bakteriostatik, 

tergantung pada pH dan kadarnya di dalam 

darah. Spektrum kerjanya sangat sempit dan 

hanya meliputi M.tuberculosis. 

Mekanisme kerjanya berdasar  pengubahannya menjadi asam pirazinat oleh enzim pyrazinamidase yang berasal dari basil 

TB. sesudah  pH dalam makrofag menurun, 

maka kuman yang berada di “sarang” infeksi yang menjadi asam akan mati. Khasiatnya diperkuat oleh INH. Obat ini khusus dipakai  pada fase intensif; pada fasa 

pemeliharaan hanya bila ada  multiresistensi.

Resorpsi cepat dan hampir sempurna; 

kadar maksimal dalam plasma sudah dicapai 

dalam 1-2 jam. PP-nya ±50%, plasma-t½-nya 

9-10 jam. Distribusi ke jaringan dan cairan 

serebrospinal baik, oleh karena itu dipakai  

terhadap meningitis tuberkulosa. Ekskresi 

lewat urin 70%, sebagian utuh dan sebagian 

besar sebagai produk hidrolisisnya, yaitu 

asam pirazinat. 

Efek samping yang sering kali terjadi dan 

berbahaya yaitu  kerusakan hati dengan 

ikterus (hepatotoksik), terutama pada dosis 

di atas 2 g sehari. Pengobatan harus segera 

dihentikan bila ada tanda-tanda kerusakan hati. Pada hampir semua pasien, pirazinamida menghambat pengeluaran asam 

urat sehingga meningkatkan kadarnya dalam 

darah (hiperuricemia) dan menimbulkan serangan encok (gout). Obat ini juga dapat 

menimbulkan gangguan saluran cerna, fotosensibilisasi dengan reaksi kulit (menjadi 

merah-cokelat), artralgia, demam, malaise 

dan anemia, juga menurunkan kadar gula 

darah. 

Resistensi dapat timbul dengan cepat bila 

sebagai monoterapi.

Dosis: oral 1 dd 30 mg/kg selama 2-4 bulan, 

maksimal 2 g sehari, pada meningitis TB 50 

mg/kg/hari.

4. Rifampisin: Rifadin, Rimactane

Antibiotikum ini yaitu  derivat semisintetik dari rifamisin B (1965) yang dihasilkan 

oleh Streptomyces mediterranei, suatu jamur 

tanah yang berasal dari Prancis Selatan. Zat 

yang berwarna merah-bata ini bermolekul 

besar dengan banyak cincin (makrosiklis). 

Rifampisin berkhasiat bakterisid luas terhadap fase pertumbuhan M.tuberkulosae dan 

M.leprae, baik yang berada di luar maupun 

di dalam sel. Juga membunuh kuman yang 

«dormant» selama fase pembelahannya yang 

singkat. Oleh karena itu sangat penting untuk 

membasmi semua basil untuk mencegah 

kambuhnya TB. 

Rifampisin juga aktif terhadap kuman 

Gram-positif lain dan kuman Gram-negatif 

(a.l. E.coli, Klebsiella, suku-suku Proteus 

dan Pseudomonas), terutama terhadap stafilokoki, termasuk yang resisten terhadap 

penisilin. Terhadap kuman terakhir, aktivitasnya agak lemah. Mekanisme kerjanya 

berdasar  perintangan spesifik dari suatu 

enzim bakteri RNA-polymerase, sehingga 

sintesis RNA terganggu. Juga efektif sebagai 

profilaktik terhadap infeksi meningoccus dan 

H.influenza meningitis.

pemakaian  pada terapi TB paru sangat 

dibatasi oleh harganya yang cukup mahal. 

Manfaat utamanya terletak pada terapi yang 

dapat dipersingkat dari ±2 tahun hingga 

6-12 bulan. Rifampisin juga yaitu  obat 

pilihan pertama terhadap lepra (lihat Bab 

10, Leprostatika) dan sebagai obat pencegah 

infeksi meningococci pada orang yang berhubungan dengan pasien meningitis. Begitu 

pula sangat efektif terhadap gonore (± 90%).

Resorpsi di usus sangat kuat; distribusi ke 

jaringan dan cairan tubuh juga baik, termasuk 

CCS. Hal ini nyata sekali pada pewarnaan 

jingga/merah dari air seni, tinja, ludah, keringat dan air mata. Lensa kontak (lunak) juga 

dapat berwarna permanen. Efek ini juga 

timbul pada pemakaian  rifabutin. Plasma-t

½-nya berkisar antara 1,5 sampai 5 jam dan 

meningkat bila ada gangguan fungsi hati. Di 

lain pihak masa paruh akan turun pada pasien 

yang bersamaan waktu menggunakan INH. 

Di hati terjadi desasetilasi dengan terbentuknya metabolit-metabolit dengan kegiatan 

antibakteri. Ekskresinya khusus melalui empedu, sedangkan lewat ginjal berlangsung fakultatif. 

Efek samping yang terpenting tetapi tidak 

sering terjadi yaitu  penyakit kuning (icterus), terutama bila dikombinasi dengan 

INH yang juga agak toksik bagi hati. Pada 

pemakaian  lama dianjurkan untuk memantau fungsi hati secara periodik. Obat ini juga 

agak sering menyebabkan gangguan saluran 

cerna seperti mual, muntah, sakit ulu hati, 

kejang perut dan diare, begitu juga gangguan 

SSP dan reaksi hipersensitasi. 

Interaksi. Melalui induksi enzim dalam 

hati, rifampisin mempercepat perombakan 

obat lain bila diberikan bersamaan waktu. 

Akibatnya BA menurun, misalnya dari klaritromisin dan penghambat protease (obat 

AIDS). Kadar darah dari obat-obat ini bisa 

menurun sampai 80%, yang dapat mengakibatkan timbulnya resistensi cepat terhadap 

HIV. Obat lain yang dipercepat metabolismenya yaitu  antikoagulansia, sehingga dosisnya harus dinaikkan. Pil antihamil menjadi tidak terjamin lagi efeknya, karena rifampisin mempercepat katabolisme dari berbagai zat steroid. Resistensi dapat terjadi dengan agak cepat. 

Kehamilan. Pada umumnya rifampisin dapat 

diberikan pada wanita hamil. pemakaian  

pada minggu-minggu terakhir kehamilan dapat menimbulkan perdarahan postnatal pada 

ibu dan bayi. Untuk pencegahannya dapat 

diberikan fitomenadion (vitamin K). Rifampisin 

dikeluarkan melalui air susu ibu, tetapi ibu 

diperbolehkan menyusui bayinya.

Dosis: pada TB oral 1 dd 450-600 mg sekaligus pagi hari sebelum makan, karena kecepatan dan kadar resorpsi dihambat oleh isi 

lambung. Selalu diberikan dalam kombinasi dengan INH 300 mg dan untuk 2 bulan 

pertama juga ditambah dengan 1,5-2 g 

pirazinamida setiap hari. 

Pada gonore: oral 1 dd 900 mg sekaligus selama 2-3 hari; pada infeksi lain 2 dd 300 mg a.c. 

Profilaksis pada meningitis 2 dd 10 mg/kg/

hari selama 2 hari.

* Rimactazid 225/200 = rifampisin 225 + INH 

200 mg

* Rimactazid 450/300 = rifampisin 450 + INH 

300 mg

* Rimcure3-FDC = rifampisin 150 + INH 75 + 

pirazinamida 400 mg 

* Rimstar 4-FDC = rifampisin 150 + INH 75 

+ pirazinamida 400 + etambutol 275 mg

* Rifabutin (Mycobutin) yaitu  turunan (1995) 

dengan khasiat dan sifat mirip rifampisin. 

Obat ini terutama dipakai  pada pasien 

HIV-positif bila ada  (multi)resistensi 

untuk obat lain dan selalu dikombinasi dengan minimal 2 obat TB lainnya. Dengan rifampisin ada  resistensi silang. Rifabutin 

dipakai  profilaktik dan terapi infeksi MAC 

pada pasien dengan sistem imun menurun, 

misalnya pada penderita AIDS. Infeksi demikian sulit terapinya. Untuk profilaktik 

MAC yaitu  efektif kombinasi rifabutin + azitromisin, dan kombinasi rifabutin + etambutol 

+ klaritromisin. (MAC terdiri dari minimal dua 

jenis, yakni M.intracellulare dan M.avium yang 

ada  di dalam air, tanah dan makanan). 

Efek samping yang paling sering terjadi 

mirip rifampisin dan terdiri dari gangguan 

pencernaan, reaksi kulit, kelainan darah dan 

hati, adakalanya gejala influenza (demam, 

nyeri otot). Berlainan dengan rifampisin, 

rifabutin dapat menimbulkan artritis dan

artralgia.

Kombinasi rifabutin/rifampisin dengan 

klaritromisin dan penghambat protease (indinavir, ritonavir, saquinavir) sangat meningkatkan kadar rifabutin/rifamisin di dalam darah 

dengan peningkatan toksisitasnya. Oleh karena itu dosis rifabutin (c.q. rifampisin) harus 

diparuh.

Dosis: TB MAC oral 1 dd 300-600 mg dalam 

kombinasi dengan 2 dd 0,5 g klaritromisin 

dan etambutol 1 dd 150 mg. Profilaktik MAC: 

1 dd 300 mg.

5. Streptomisin (F.I.)

Streptomisin, suatu aminoglikosid, diperoleh dari Streptomyces griseus (Waksman dan Schatz, 1944), sedangkan kanamisin dari 

Str. kanamyceticus. Senyawa ini berkhasiat 

bakterisid terhadap banyak kuman Gramnegatif dan Gram positif, termasuk M.tuberculosa dan beberapa M.atipis. Streptomisin 

khusus aktif terhadap mycobacteria ekstraseluler yang sedang membelah aktif dan 

pesat (misalnya di dalam caverne). Mekanisme 

kerjanya berdasar  penghambatan sintesis 

protein kuman melalui pengikatan pada 

RNA ribosomal. Antibiotik ini toksik untuk 

organ pendengaran dan keseimbangan. Oleh 

karena itu jangan dipakai  untuk jangka waktu lama, karena efek neurotoksiknya

terhadap saraf cranial ke-8 dapat menimbulkan 

ketulian permanen. 

Resorpsinya di usus buruk sekali, maka 

hanya diberikan sebagai injeksi i.m. Sejak 

adanya obat-obat ampuh lain, pemakaian  

streptomisin untuk TB paru telah jauh berkurang. Obat ini masih dipakai  bersamaan dengan tiga obat lainnya terhadap TB otak 

yang sangat parah (meningitis).

Dosis: i.m. 1 dd 0,5-1 g tergantung dari 

usia (garam sulfat) selama maksimal 2 bulan. 

Lihat selanjutnya Bab 5, Antibiotika.

* Kanamisin (Kanoxin) yaitu  derivat (1958) 

dengan khasiat dan sifat yang sama dengan 

streptomisin. Obat ini jarang dipakai  lagi 

pada TB. 

Dosis: i.m./i.v. 15 mg/kg dalam 2-3 kali 

(garam sulfat) setiap hari atau 2-4 x seminggu, 

maksimal 1 g sehari. 

* Kapreomisin (Capastat) diperoleh dari 

Streptomyces capreolus (1960). Bekerja sebagai 

obat anti-TB second line bila terapi lain 

tidak berhasil. Mekanisme kerja dan efek 

sampingnya sama dengan aminoglikosida 

lain.

Efek samping: gangguan terhadap saraf otak 

ke-8 (hilangnya pendengaran, mungkin lebih

ringan daripada derivat lainnya), tinnitus, 

juga toksik untuk ginjal dan hati, eosinofilia 

dan lekopenia. 

Dosis: injeksi 1 g sehari (tidak melebihi 20 

mg/kg) selama minimal 6 bulan.

6. Obat-obat TB lainnya

Obat cadangan tersebut di bawah ini hanya 

dipakai  bila obat TB primer kurang efektif, 

ada  resistensi atau hipersensitasi. 

a. PAS: para-aminosalicylic acid. 

Senyawa ini yaitu  obat pertama yang 

efektif terhadap TB (Lehman, 1943). Berkhasiat 

bakteriostatik sangat lemah terhadap 

Mycobacteria, maka pemakaian nya sebagai 

obat TB sudah terdesak oleh obat-obat 

tersebut di atas yang jauh lebih kuat, kurang 

toksik dan lebih baik penerimaannya oleh 

pasien. Obat yang menggantikan PAS dalam 

terapi TB yaitu  terutama etambutol.

b. Etionamida: Trecator

Turunan dari tioisonikotinamida ini juga 

menghambat biosintesis asam mikolik sehingga memperburuk sintesis dinding sel 

bakteri.

Efek samping utamanya terdiri dari gangguan saluran cerna, mual, muntah dan gangguan neurologik. Terhadap gejala terakhir ini 

dianjurkan pengobatan dikombinasi dengan 

piridoksin. 

Dosis: hanya dipakai  peroral dengan 

dosis awal 2 dd 250 mg dan dinaikkan dengan 

125 mg per hari selama 5 hari sampai tercapai 

dosis 15-20 mg/kg/hari; dosis maksimal 1 

gram per hari. Diminum sesudah  makan untuk 

mengurangi rangsangan terhadap lambung.

c. Klofazimin: Lampren

Derivat fenazin ini (1967) berkhasiat bakterisid terhadap basil lepra dan TB/avium, 

juga yang multiresisten. Obat ini terutama 

dipakai  pada infeksi dengan M. leprae. 

Lihat selanjutnya Bab 10, Obat-obat lepra. 

Dosis: oral 2-3 dd 100 mg bersama dengan 

dapson atau dengan 2-3 obat TB lainnya. 

d. Sikloserin: Seromycin

Antibiotik berspektrum luas ini diperoleh 

dari Streptomyes orchidaceous. Efektif terhadap 

M.tuberculosis, MAC, E.coli, S.aureus dan 

Chlamydia. Terutama dipakai  bersama 

obat TB lain, bila obat-obat primer kurang 

berhasil. Mekanisme kerjanya menghambat 

sintesis dinding bakteri melalui persaingan 

inkorporasi d-alanin.

Efek samping terdiri dari gejala neuropsikiatrik, kejang-kejang (terutama bila menggunakan minuman beralkohol), oleh sebab itu sikloserin tidak boleh diberikan bagi penderita epilepsi dan yang mengalami depresi. 

Obat ini dapat berkumulasi sampai kadar 

toksik pada penderita gangguan ginjal. 

Dosis: peroral 2 dd 250-500 mg.

e. Moksifloksasin: Avelox, Megaxin. 

Fluorkinolon berspektrum luas ini (2003) 

pada awalnya dipakai  terhadap infeksi 

saluran pernapasan, kemudian juga terhadap 

TB. Masih dalam taraf perkembangan yaitu  

kombinasinya dengan rifampisin. Diperkirakan dapat mempersingkat terapi dengan 

beberapa bulan dan mengatasi masalah resistensi. Juga mengurangi efek samping dari 

obat-obat TB terdahulu. 

Efek samping : sering kali gangguan urat 

(tendon, Achilles). Juga sendi bengkak dan 

nyeri, terutama pada lansia di atas 60 tahun. 

Dosis: 1 dd 400 mg tablet atau melalui infus.

f. Kapreomisin: Capastat

yaitu  antimikobakterial yang terdiri 

dari 4 senyawa aktif dan bekerja sebagai obat 

anti-tuberkulosa second line. Mekanisme 

kerja dan efek sampingnya sama dengan zatzat aminoglikosida seperti kanamisin dan 

neomisin.

Efek samping: gangguan terhadap saraf 

otak ke VIII, seperti hilangnya pendengaran, 

tinnitus, juga eosinofilia dan lekopenia.

Dosis: 1 g sehari (tidak melebihi 20 mg/kg) 

selama 60-120 hari, disusul dengan 2-3 kali 

seminggu 1 g


Lepra atau kusta (Sansekerta) yaitu  suatu 

penyakit infeksi kronis yang merusak terutama jaringan saraf dan kulit. Penyebab 

lepra yaitu Mycobacterium leprae ditemukan 

oleh seorang dokter Norwegia Hansen (lahir 

1873, wafat 1912), maka lepra juga disebut 

penyakit Hansen. Basil lepra memiliki sifat 

mirip dengan basil TB, yakni sangat ulet 

karena mengandung banyak lilin (wax) 

yang sukar ditembus obat, tahan-asam dan 

pertumbuhannya lambat sekali. 

G. H. A. Hansen (29 July 1841 – 12

February 1912) Discoverer of M. leprae

Penularan pada umumnya terjadi dalam 

bentuk lepra multibasiler (lihat di bawah) 

pada usia anak-anak melalui percikan ludah 

di saluran pernapasan (batuk, bersin, ingus) 

dan terutama melalui kontak yang erat dan 

lama. Penyakit ini lebih banyak timbul pada 

pria dibandingkan dengan wanita. Juga diperkirakan bahwa faktor keturunan turut 

berperan. Lepra khususnya menyerang orang 

yang sistem imunnya tidak aktif atau lemah 

(immunodeficient). Penelitian baru menunjukkan bahwa 5-10% dari semua penduduk di 

suatu daerah kusta telah terinfeksi M. leprae. 

Hal ini dapat mudah ditentukan dengan 

carik celup kapas yang dimasukkan ke dalam 

liang hidung dan lalu diperiksa di laboratorium untuk mengetahui keberadaan basil 

kusta. Berhubung masa inkubasinya panjang, rata-rata 2-5 tahun, bahkan adakalanya 

sampai 10 tahun lebih, penyakit ini baru 

diketahui dengan pasti sesudah  5-6 tahun.Hal 

ini berarti bahwa daya penularannya sangat 

besar, meskipun pada dasarnya kusta yaitu  

penyakit yang memiliki derajat penularan 

rendah.

ada NYA

Sejak 1985 jumlah kasus baru kusta setiap 

tahun di dunia menurun secara spektakuler 

(kira-kira 90%). Penurunan telah dimulai pada 

tahun 1980-an saat WHO menyelenggarakan 

terapi kombinasi (Multidrug Therapy, MDT) 

yang dalam 2 tahun dapat menyembuhkan 

kusta secara tuntas. Multidrug therapy ini terdiri dari tiga obat yakni rifampisin, dapson 

dan klofazimin yang sejak1995 diberikan oleh 

WHO secara gratis kepada penderita di seluruh dunia dan yaitu  suatu terapi yang 

sederhana tetapi sangat efektif untuk semua 

bentuk lepra.

WHO pada tahun 1991 telah menerbitkan 

resolusi untuk menghapus lepra dari dunia 

pada tahun 2000. Eliminasi didefinisikan se-

bagai ada  kurang dari satu pasien dalam 

10.000 penduduk di suatu kawasan. Masalah 

yang memprihatinkan yaitu  walaupun prevalensi (jumlah pasien yang sedang diobati) 

menurun drastis, namun insidensinya tidak 

menurun melainkan terlihat meningkat. Maka target WHO tersebut di atas oleh banyak 

ahli dianggap terlalu optimistis dan ambisius.

Prevalensi. Menurut laporan resmi dari 

WHO pada akhir kwartal pertama tahun 

2013 dari 115 negara tercatat 189,018 kasus sedangkan kasus baru pada tahun 2012 

ada sejumlah 232.857 dibandingkan dengan 

226.626 kasus di tahun 2011. Jumlah penderita lepra di negara kita  masih tinggi dan 

menduduki peringkat ketiga di dunia sesudah  

India dan Brazil. Dewasa ini tercatat 33.700 

penderita dengan setiap tahun tercatat 17 

ribu hingga 20 ribu kasus baru. Insidensi yang 

tinggi ada  di Jawa Timur, Papua, Sulawesi Selatan dan Maluku (Yogyakarta, Indonesia-Dutch Tropical Dermatology Meeting 

2011). Penderita diobati di sejumlah rumah 

sakit (leproseri) yang diawasi oleh Lembaga 

Kusta DepKes. Begitu pula di perkampungan 

kusta tersendiri, seperti Sumberglagah di 

Jawa Timur, yang letaknya dekat gunung 

Bromo. 

Negara-negara lain dengan jumlah penderita lepra yang cukup tinggi yaitu  Myanmar

(50.800), Nigeria dan Zaire (masing-masing 

30.000), Sudan (25.000), Nepal (24.500) dan

Filipina (20.000).

Di negara Barat lepra praktis sudah diberantas sama sekali, mungkin karena ketahanan penduduknya terhadap basil lepra 

lebih kuat, berkat gizi dan keadaan hidup 

yang lebih baik. Tetapi bahkan di AS masih 

ada  pasien kusta, yakni 500 pasien di 

suatu klinik Los Angeles dengan 30 pasien 

baru setiap tahunnya. 

BENTUK-BENTUK LEPRA

Lazimnya kusta dibagi dalam 3 bentuk klinis 

dengan sifat-sifat khusus, yaitu:

a. lepra paucibacillair (LP), juga disebut 

lepra tuberkuloid, yaitu  bentuk terlokalisasi dengan 1-5 luka (laesio). Bentuk ini 

paling sering terjadi, ± 75% dari semua 

penderita, tidak bersifat menular dan agak 

mudah disembuhkan. Pasien LP ternyata 

masih memiliki daya tahan imunologi 

yang agak baik. 

Gejala utama berupa noda-noda pucat di 

kulit yang hilang-rasa dan penebalan sarafsaraf yang nyeri di berbagai tempat di 

tubuh, biasanya sangat nyata di cuping 

telinga, muka dan kaki-tangan. Bila tidak 

diobati saraf-saraf tersebut akan dirusak, 

menjadi hilang rasa dan mudah terluka. 

Karena luka-luka ini tidak dirasakan 

oleh penderita, biasanya luka menjadi 

borok serius dengan merusak jaringan. 

Akibatnya yaitu  cacat hebat sekunder, 

terutama di telapak kaki dan jeriji tangan 

yang akhirnya menjadi buntung. Basil 

lepra hanya dapat dideteksi dalam jumlah 

kecil (Lat. pauci- = sedikit, pelafalan 

pauki) pada luka-luka LP.

b. lepra multibacillair (LM), juga disebut 

lepra lepromateus (Levis and Ernst, 

2005), yaitu  bentuk tersebar (generalized)

yang bersifat sangat menular, lebih sukar 

dan lebih lama disembuhkan. Bentuk ini 

bercirikan benjol kemerah-merahan kecil 

(noduli) yang penuh dengan basil (Lat. 

multi- banyak), dengan hampir semua 

saraf perifer terkena infeksi. Lebih sering 

timbul gejala seperti demam, anemia 

dan turunnya berat badan. Lagi pula 

dapat timbul deformasi akibat infiltrat di 

muka, kelumpuhan urat saraf muka (paresis facialis) dan mutilasi hidung karena 

keruntuhan tulang rawan, yang menyebabkan pasien “berparas-singa”. Kelumpuhan dan kebutaan sering kali terjadi 

pada kasus ini. Kerusakan saraf timbul 

lebih lambat dibandingkan dengan LP. 

Bila tidak diobati, selain saraf juga organ 

dalam akan dirusak.

c. lepra borderline (LB) yaitu  kombinasi 

dari LP dan LM, yang dapat dibagi lagi 

dalam 3 bentuk peralihan. Tergantung dari 

cirinya lepra dibagi atas L. paucibacillair 

borderline (LPB), L. multibacillair borderline 

(LMB) dan lepra tak tertentu.

DIAGNOSIS

Perkiraan terjangkitnya penyakit lepra harus 

diwaspadai bila:

* timbul bercak-bercak pada kulit yang 

hilang warna pigmennya dan hilang rasa 

terhadap tekanan dan suhu;

* penebalan atau pekanya urat saraf;

* ada nya basil tahan asam dari apus 

kulit atau dari selaput lendir hidung yang 

tidak dapat dibiakkan secara biasa.

Diagnosis definitif dicapai dengan hasil 

positif melalui pembiakan basil ini pada 

telapak kaki tikus. Pada semua bentuk lepra, 

DNA kuman dapat dideteksi melalui reaksi 

polimerase berantai untuk menentukan efektivitas pengobatan.

Reaksi-reaksi lepra

Kusta yaitu  suatu penyakit kronis yang 

ditandai dengan periode berkurangnya gejala (remisi), yang diselingi rentang waktu 

pada mana penyakit menjadi aktif lagi. 

Reaksi lepra yaitu  reaksi imunologi serius 

terhadap Mycobacterium leprae yang terjadi 

selama pengobatan, jadi bukan disebabkan 

oleh obat lepra.

Ada dua tipe reaksi lepra, yaitu:

a. tipe I (reaksi kebalikan = “reversal”)

menimbulkan eksaserbasi mendadak dari 

luka-luka kulit dan saraf yang meradang 

serta membengkak, terutama terjadi pada 

bentuk borderline dari LP dan LM. Penyebabnya yaitu  suatu reaksi imun seluler 

(oleh limfosit T) terhadap antigen basil 

lepra (lihat Bab 49. Imunosupressiva).

b. tipe II (erythema nodosum leprosum, ENL)

terjadi hanya pada LM sebagai reaksi

imun humoral (dari antibodi) terhadap 

antigen basil lepra. Kompleks imun yang 

diendapkan pada endotel pembuluh dan 

saraf kulit, mengakibatkan meningkatnya 

permeabilitas dinding pembuluh dan berkurangnya oksigen di jaringan. Gejalanya 

berupa demam tinggi, noduli dengan ruam merah dan radang saraf.

Bila terjadi reaksi lepra tersebut, terapi tidak boleh dihentikan. Keluhan ringan (tipe 

I) dapat diatasi dengan analgetika dan obat 

anti radang, yang lebih serius (tipe II) dengan 

imunosupresiva seperti prednisolon dan talidomida. 

Talidomida bekerja antara lain sebagai 

sedatif, anti radang dan imunosupresif (antiTNF) dengan mencegah produksi berlebihan

dari sitokin TNF-alfa (Tumor Necrosis Factor)

yang memegang peranan pada reaksi lepra, 

selanjutnya lihat monografi talidomida di 

Bab 49, Dasar-dasar imunologi. Talidomida 

yang sesudah  tragedi Softenon di tahun 1960-

an dilarang peredarannya di seluruh dunia, 

sejak akhir 1997 diperbolehkan lagi penjualannya oleh FDA (USA) untuk indikasi ENL 

ini. Tetapi pemakaian nya yang kurang 

rasional di Amerika Selatan menyebabkan 

terlahirnya kembali bayi-bayi dengan kaki 

dan tangan cacat.

PENCEGAHAN

Tes lepromin dipakai  untuk menilai apakah seseorang memiliki daya tahan yang 

cukup terhadap bentuk LM. Tes diberikan 

sebagai suatu injeksi intrakutan dari basil 

lepra mati. 

Hasil negatif berarti orang tersebut memiliki sistem imun lemah dan sangat peka terinfeksi basil lepra. Dengan vaksinasi BCG 

ybs dapat dijadikan lepromin-positif (basil dari 

Calmette – Guérin, lihat Bab 9, Obat-obat TB).

Pasien LM selalu memberikan hasil negatif, 

sedangkan pasien LP dengan respons imun 

agak normal