Tampilkan postingan dengan label tumor otak 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tumor otak 1. Tampilkan semua postingan

tumor otak 1

 




PNPK ini dibuat sebagai arahan pemberi layanan di institusi layanan kesehatan baik tingkat I, 

II dan III dalam menyusun suatu Panduan Praktik Klinik (PPK); suatu panduan rinci dalam 

memberikan layanan atas pasien tumor otak di institusinya masing-masing dengan penyesuaian 

situasi. Namun PNPK ini dapat juga secara langsung dipakai  sebagai panduan dalam 

melayanai pasien tumor otak dengan penyesuaian individu pasien dan kearifan setempat bila 

PPK belum dibuat. 

 

PNPK Penanganan Tumor Otak berisi pedoman layanan atas pasien tumor otak mulai dari 

pencegahan, diagnosa , pengobatan, dan follow up. PNPK atas seluruh aspek penanganan tumor 

otak diperlukan oleh sebab  keberhasilan program penanganan (management) tumor otak 

memang diperlukan sebab  semua aspek itu akan memberi kontribusi yang ideal guna 

tercapainya keberhasilan penanganan tumor otak secara keseluruhan. 

 

Pencegahan primer sebagai usaha  agar tumor otak tidak terjadi, yang dilakukan dengan 

penelusuran beberapa faktor risiko, masih sulit dilakukan sebab  beberapa faktor risiko bersifat 

tidak dapat diubah (unmodifiable). Faktor risiko pada meningioma misalnya adanya kelainan 

genetik (kehilangan kromosom 22 dan neurofibromatosis tipe 2) dan  riwayat radiasi kranial, 

dan trauma kepala. Sementara faktor risiko schwannoma berupa neurofibromatosis, pemberian 

dosis tinggi sinar radiasi, dan paparan kebisingan. Pencegahan sekunder sebagai usaha  untuk 

menemukan tumor otak dalam stadium dini, dapat dilakukan dengan uji penapisan pada pasien-

pasien yang faktor risiko tinggi terjadinya tumor otak. 


Pemeriksaan-pemeriksaan yang diperlukan untuk diagnosa  tumor otak yaitu  Computed 

Tomography (CT) Scan dengan kontras, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan kontras, 

Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS), dan Diffusion Weighted Imaging (DWI), dan  

Positron Emission Tomography (PET) Scan (atas indikasi). CT Scan berguna untuk melihat 

adanya tumor pada langkah awal penegakkan diagnosa  dan sangat baik untuk melihat 

kalsifikasi, lesi erosi/destruksi pada tulang tengkorak. MRI dapat melihat gambaran jaringan 

lunak dengan lebih jelas dan sangat baik untuk tumor infratentorial, namun mempunyai 

keterbatasan dalam hal menilai kalsifikasi. Pemeriksaan fungsional MRI seperti MRS sangat 

baik untuk menentukan daerah nekrosis dengan tumor yang masih viabel sehingga baik 

dipakai  sebagai penuntun biopsi dan  untuk menyingkirkan diagnosa  banding, demikian 

juga pemeriksaan DWI. Pemeriksaan PET dapat berguna pascaterapi untuk membedakan antara 

tumor yang rekuren dan jaringan nekrosis akibat radiasi. 

 

Pemeriksaan sitologi dan flowcytometry cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk 

menegakkan diagnosa  limfoma pada susunan saraf pusat, kecurigaan metastasis 

leptomeningeal, atau penyebaran kraniospinal seperti ependymoma. 

 

Pemeriksaan laboratorium terutama dilakukan untuk melihat keadaan umum pasien dan 

kesiapannya untuk terapi yang akan dijalani (bedah, radiasi, ataupun kemoterapi). Pemeriksaan 

yang perlu dilakukan, yaitu: darah lengkap, hemostasis, Lactate Dehydrogenase (LDH), fungsi 

hati dan ginjal, gula darah, serologi hepatitis B dan C, dan elektrolit lengkap. 

 

pengobatan  pada tumor otak yaitu  reseksi total bila memungkinkan dan melakukan biopsi 

terbuka, biopsi stereotaktik, atau reseksi parsial. lalu  dilakukan penahapan (staging) 

dan pasien diberikan radiasi kraniospinal, kemoradiasi, ataupun radiasi dengan kemoterapi 

ajuvanbergantung pada hasil penahapan. 

 

Keadaan gawat darurat saraf (neuroemergency) seringkali terjadi pada pasien dengan tumor 

otak, dan pasien ini  membutuhkan terapi berupa pemberian kortikosteroid, hingga terapi 

bedah untuk pemasangan pirau (VP-shunt) untuk menurunkan tekanan intrakranial. Proses 

evaluasi dan pemantauan pasien dilakukan dengan foto MRI, yaitu setiap 2 bulan selama 2 

tahun, lalu  setiap 6 bulan selama 3 tahun, dan lalu  setiap tahun. 

 

 


 


Seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup dan kemajuan teknologi kedokteran, 

insidensi tumor otak terus meningkat. Tumor otak dapat memicu  terjadinya perubahan 

status mental, defisit neurologis, dan  menciptakan beban sosial yang besar.(1) 

Di Amerika dan Eropa, insidensi tumor otak meningkat dari 17.6/100.000 sampai 

22.0/100.000 populasi dimana sekitar 18.500 masalah  baru tumor otak primer didiagnosa  tiap tahun 

di Amerika dan masalah  ini  memiliki angka kematian yang cukup tinggi sebesar 3% untuk 5 

tahun survival rate.(2) Di Republik Korea pada tahun 2010 sebanyak 10.004 masalah  tumor otak 

didiagnosa  dari populasi 49,9 juta penduduk dimana 601 masalah  (6%) berkembang pada anak - 

anak di bawah usia 19 tahun.(1) Insiden pada laki–laki sebesar 38,6% dan pada wanita sebesar 61,4 

%. Insidensi tumor otak jinak yaitu  sebesar 71% dan tumor otak jinak ini berkembang dua kali 

lebih sering pada wanita dibandingkan pada laki –laki. Insiden berdasar  lokasi asalnya (tumor 

origin) yaitu pada meninges (33%), parenkim otak (29,8%), bagian sellar (21,8%), nervus spinalis 

dan cranialis (15,4%).(1) 

Meskipun tumor otak primer dan metastasis secara menonjol  memicu  morbiditas dan 

mortalitas, namun informasi epidemiologi tumor otak masih kurang, oleh sebab  pendataan masalah  

tumor otak masih belum wajib di beberapa negara termasuk di Indonesia. Selain itu, pencatatan 

tumor otak sering terbatas hanya tumor otak ganas saja, sehingga tumor otak jinak sering 

diabaikan. Beberapa negara (seperti Spanyol, Italia dan Perancis) juga memberikan data yang 

bermanfaat, akan tetapi informasi klinis dan biologisnya jarang diinvestigasi.(2) 

Pada tahun 2016 World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan tumor Susunan 

Saraf Pusat (SSP) berdasar  nomenklatur molekular baru dan berdasar  karakteristik 

histologinya. Deskripsi histologi didasarkan pada kesamaan sel tumor dan gambaran sel otak yang 

normal. Sebagai contoh, Glioma yang selnya mirip dengan astrosit akan menjadi astrositoma 

namun jika selnya terlihat seperti oligodendrosit maka akan menjadi oligodendroglioma.(3) 

Tumor otak dapat dibagi menjadi tumor otak primer dan sekunder. Tumor otak primer 

merupakan tumor otak yang berkembang dari sel otak itu sendiri, sedang  tumor otak sekunder 

 


 

merupakan tumor otak yang berkembang sekunder atau metastasis dari tumor di bagian tubuh lain. 

Kebanyakan tumor yang metastasis ke otak merupakan tumor payudara, ginjal, paru-paru, 

melanoma dan kolorektal.(3) 

Klasifikasi WHO pada tahun 2016 untuk tumor otak relevan untuk glioma. Berkembang 

menjadi nomenklatur astrositoma/oligodendroglioma/Oligo-astrositoma/glioblastoma dengan 

menilai alterisasi genetik Isocitrate Dehydrogenase 1 (IDH1) atau dua gen yaitu gen Alpha 

Thalassemia/Mental Retardation Syndrome X-Linked (ATRX 1p) dan kromosom 19q.(3) 

Dari seluruh tumor primer susunan saraf pusat, insidensi astrositoma anaplastik dan 

glioblastoma multiforme (GBM) sekitar 38% dari keseluruhan tumor otak primer, sedang  

meningioma dan tumor mesenkim lainnya 27%. Sisanya terdiri dari tumor otak primer yang 

bervariasi, meliputi tumor hipofisis, schwannoma, limfoma SSP, oligodendroglioma, 

ependimoma, astrositoma derajat rendah, dan medulloblastoma.(4) 

Glioma dan meningioma merupakan masalah  tumor otak yang paling sering ditemukan. Satu 

dari tiga tumor otak primer yang terdiagnosa  setiap tahunnya yaitu  glioma. Glioblastoma 

merupakan jenis glioma yang paling ganas. Dalam sebuah studi populasi di Inggris, didapatkan 4 

masalah  glioblastoma dari 100.000 populasi setiap tahunnya. Insiden tertinggi glioblastoma pada usia 

63 tahun namun juga dapat mengenai berbagai usia.(3)  

Infiltratif atau difus glioma yaitu  termasuk astrositoma dan oligodendroglioma yang 

merupakan jenis tumor otak yang paling banyak. Bailey dan Cushing mengklasifikasikan tumor 

ini pertama kali pada tahun 1926 dari pola diferensiasi sel nya dan pendekatan ini meningkat dalam 

beberapa dekade memakai  gambaran histopatologis untuk mengklasifikasikan, menentukan 

derajat (grading) dan prognosis.(5) 

Meningioma juga merupakan salah satu jenis tumor otak primer yang paling sering 

didapatkan. Tumor ini berkembang dari arachnoid cap cell dari duramater. Kebanyakan 

meningioma muncul secara acak meskipun riwayat radiasi sebelumnya merupakan salah satu 

faktor risikonya. Meningioma multipel muncul pada neurofibromatosis tipe 2. Mutasi spontan 

pada gen Neurofibromatosis Type 2 (NF2) juga dilaporkan berhubungan dengan meningioma. 

biasanya  meningioma didiagnosa  pada usia di atas 60 tahun dan insidennya meningkat 

seiring peningkatan usia. Meningioma jarang ditemukan pada anak – anak dan dua kali lebih sering 

terjadi pada wanita dibandingkan pada laki – laki.(6) 

 

saat  kita menduga adanya tumor otak maka pemeriksaan radiologi otak dapat dengan 

cepat mendiagnosa  tumor otak dan harus segera dilakukan. berdasar  pedoman National 

Institute for Health and Care Excellence (NICE) pada tahun 2017 merekomendasikan dilakukan 

Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada otak atau Computed Tomography (CT) Scan dengan 

kontras jika tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan CT Scan atau MRI dengan kontras akan 

memberikan gambaran adanya tumor otak lebih rinci dalam membantu menentukan jenis tumor, 

rencana pembedahan dan radioterapi.(3)  

Teknik pencitraan juga berperan penting sebagai penanda prognosis pada uji coba klinis 

tumor otak. Kriteria luas yang dipakai  yaitu  melalui penilaian respons berdasar  Neuro-

Oncology Working Group secara primer berdasar  MRI yang disebut Response Assessment in 

Neuro-Oncology (RANO). Positron Emission Tomography (PET) juga memiliki potensi dalam 

keterbatasan MRI.(6) 

Meskipun radiologi dapat memberikan prediksi jenis tumor dengan baik, namun 

pemeriksaan jaringan diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosa  dan untuk memberikan detil 

molekuler yang penting. Prioritasnya lalu  yaitu  biopsi tumor. Jika lokasi tumor 

memungkinkan dilakukan pembedahan maka pendekatan pembedahan dirancang untuk dilakukan 

debulking yang lebih ekstensif dari biopsi, oleh sebab  mereduksi ukuran tumor akan mengurangi 

gejala yang dirasakan pasien.(3)  

Terapi radiasi diberikan untuk tumor–tumor yang inoperable atau tumor yang tidak dapat 

diangkat sepenuhnya dengan pembedahan, tumor-tumor atipikal dan tumor ganas atau tumor yang 

rekuren.(7) Kemoterapi sistemik dapat diberikan dengan indikasi tumor otak ganas yang tidak dapat 

dilakukan prosedur operasi atau pada pasien pascaoperasi yang tidak mampu diberikan radiasi 

lebih lanjut.(7) 

1.2 Permasalahan 

Tumor otak memerlukan penanganan multidisiplin, sementara belum terdapat 

keseragaman secara nasional dalam pendekatan terapi. Selain itu terdapat kesenjangan dalam 

fasilitas sumber daya manusia dan sumber daya alat/sistem dari berbagai fasilitas/institusi layanan 

kesehatan, baik untuk skrining, Diagnosa , maupun terapi, sehingga diperlukan kebijakan standar 

yang profesional agar masing masing fasilitas ini  dapat berperan optimal dalam penanganan 

tumor otak di Indonesia.

 

1.3 Tujuan 

1. Menurunkan morbiditas tumor otak di Indonesia 

2. Membuat pedoman berdasar  evidence based medicine untuk membantu tenaga medis 

dalam melakukan diagnosa  dan pengobatan  tumor otak 

3. Mendukung usaha diagnosa  dini pada masyarakat umum dan pada kelompok risiko tinggi 

4. Memberi rekomendasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan primer sampai dengan tersier 

dan  penentu kebijakan untuk penyusunan protokol setempat atau Panduan Praktik Klinik 

(PPK), dengan melakukan adaptasi terhadap Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran 

(PNPK) ini. 

1.4 Sasaran 

1. Seluruh jajaran tenaga kesehatan yang terlibat dalam pengelolaan tumor otak, sesuai 

dengan relevansi tugas, wewenang, dan kondisi sarana dan prasarana yang tersedia di 

pelayanan kesehatan masing-masing. 

2. Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, dan  kelompok profesi 

terkait. 

 

 

 


BAB II 

METODOLOGI 

 

2.1 Penelusuran Kepustakaan 

Penelusuran pustaka dilakukan secara elektronik dan secara manual. Penelusuran bukti 

sekunder berupa uji klinis, meta-analisis, uji kontrol teracak samar (randomized controlled trial), 

telaah sistematik, ataupun pedoman berbasis bukti sistematik dilakukan pada situs Cochrane 

Systematic Database Review, dan termasuk semua istilah-istilah yang ada dalam Medical Subject 

Heading (MeSH). Penelusuran bukti primer dilakukan pada mesin pencari Pubmed, Medline, dan 

TRIPDATABASE dengan kata kunci yang sesuai. Penelusuran secara manual dilakukan pada daftar 

pustaka artikel-artikel review dan  buku-buku teks yang ditulis 5 tahun terakhir. Penyusunan 

panduan ini juga memakai  konsensus dari European Association of Neuro-oncology (EANO), 

National Comprehensive Cancer Network (NCCN), klasifikasi dari WHO dan lain-lain. 

2.2 Penilaian – Telaah Kritis Kepustakaan 

Seluruh bukti yang diperoleh telah dilakukan telaah kritis oleh dokter spesialis/subspesialis 

yang kompeten sesuai dengan kepakaran keilmuan masing-masing. 

2.3 Peringkat Bukti (Level of Evidence) 

Dalam menetapkan rekomendasi untuk pengelolaan, sejauh mungkin dipakai tingkatan 

bukti ilmiah tertinggi. Level of evidence ditentukan berdasar  klasifikasi yang dikeluarkan oleh 

Oxford Centre for Evidence Based Medicine Levels of Evidence yang dimodifikasi untuk 

keperluan praktis, sehingga peringkat bukti yaitu  sebagai bukti IA untuk telaah sistematik 

(systematic review) atau metaanalisis dari uji klinik, IB uji klinis yang besar dengan validitas yang 

baik, IC all or none, II uji klinis tidak terandomisasi, III studi observasional (kohort, masalah  kontrol) 

dan IV konsensus dan pendapat ahli. 

Pembuatan pedoman ini berdasar  evidence based medicine dengan membagi tingkat 

terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori rekomendasi yaitu A, B dan C. (1, 2) 

A. Didapat dari level pembuktian klas I, yaitu  metode terapi atau intervensi/pembedahan 

yang diperoleh dari penelitian yang bersifat prospektif Randomized Controlled Trial 

 

(RCT) atau metaanalisis dari penelitian yang bersifat RCT. Metode ini merupakan gold 

standard dari penelitian klinis (high degree of clinical certainty).(1) 

B. Didapat dari level pembuktian klas II, yaitu  metode terapi atau intervensi/ 

pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat analisis baik prospektif 

maupun retrospektif (studi observasional, kohort, masalah -kontrol, dan studi prevalensi). 

Metode ini merupakan guideline (moderate clinical certainty).(1) 

C. Didapat dari level pembuktian klas III, yaitu  metode terapi atau intervensi/ 

pembedahan yang diperoleh dari penelitian retrospektif, masalah  serial, dari data 

registrasi pasien, laporan masalah , review masalah , dan pendapat ahli (level pembuktian IV). 

Metode ini merupakan option (unclear clinical certainty).(1) 

 

Tabel 2.1 Level of Evidence Modified SIGN (Scottish Intercollegiate Guideline Network ) 2015 

Level of 

Evidence 

Evidence Finding 

IA 

Evidence diperoleh berdasar hasil metaanalisis atau sistemik review dari 

berbagai uji klinik acak dengan kontrol/kelola (randomized controlled trials 

study/RCT) 

IB Evidence berasal dari minimal satu uji klinik acak dengan kontrol/kelola (RCT) 

IIA 

Evidence berasal dari paling sedikit satu uji klinik dengan pembanding, tapi 

tanpa randomisasi 

IIB 

Evidence berasal dari paling sedikit satu hasil penelitian 

dengan rancangan quasi-eksperimental 

III 

Evidence berasal dari penelitian deskriptif non-eksperimental (studi 

komparatif, korelasi dan studi masalah ) 

IV 

 

Evidence berasal dari laporan komite ahli atau opini, maupun pengalaman 

klinik ahli yang diakui. 

 

2.4 Derajat Rekomendasi 

berdasar  peringkat itu dapat dibuat rekomendasi sebagai berikut: Rekomendasi A bila 

berdasar pada bukti level IA, IB atau IC, Rekomendasi B bila berdasar pada bukti level II. 

  

 

Klasifikasi Rekomendasi berdasar  Evidence Based Medicine–High Technology Assesment baik 

Diagnosa  maupun tindakan:(2) 

1. Gold Standard (High degree of clinical certainty) > ( I-A, I-B ) 

Rekomendasi : A 

2. Guideline (Moderate clinical certainty) > ( II-A, II-B) 

Rekomendasi : B 

3. Option (Unclear clinical certainty) > ( III- IV ) 

Rekomendasi : C 

 

Rekomendasi C bila berdasar atas bukti level III  

Rekomendasi D bila berdasar atas bukti level IV 

 

 

 

 

 


BAB III 

HASIL DAN PEMBAHASAN 

 

3.1. Prinsip Penanganan Tumor Otak Secara Umum 

3.1.1. Definisi dan Klasifikasi 

Istilah “tumor otak” merujuk pada berbagai grup neoplasma yang berasal dari jaringan 

intrakranial, termasuk meningen (contoh : meningioma) dengan berbagai derajat keganasan, 

dimulai dari yang jinak hingga ganas atau agresif. Setiap jenis tumor memiliki gambaran 

biologi, pengobatan , dan  prognosis tersendiri yang biasanya dipicu  oleh berbagai faktor 

risiko. Prognosis pada tumor otak sangat bergantung pada lokasi, sifat infiltratif dan biologis 

tumor.(1) berdasar  asal jaringannya, tumor otak dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu 

tumor otak primer dan tumor otak sekunder atau metastasis. Tumor otak primer berasal dari 

berbagai jaringan intrakranial termasuk neuron, sel glia, astrosit dan termasuk meningen. 

Tumor otak sekunder merupakan metastasis dari tumor primer di tempat lain, biasanya berasal 

dari tumor primer ganas solid, seperti kanker paru, payudara, melanoma dan ginjal, maupun 

keganasan hematologi, seperti limfoma dan leukemia.(2) Metastasis ini dapat menyerang 

parenkim otak, leptomeningen maupun duramater.(1, 3)  

Tabel 3.1 menunjukkan pembagian berbagai jenis tumor otak berdasar  jaringan asal, 

lokasi, histopatologi dan keganasan berdasar  World Health Organization (WHO).(4-6) 

Tabel 3.1. Klasifikasi Tumor Otak berdasar  World Health Organization (WHO).(4-6) 

Diffuse Astrocytic and Oligodendroglial Tumours  

Diffuse Astrocytoma, IDH- mutant  9400/3 

Gemistocytic astrocytoma, IDH-mutant  9411/3 

Diffuse Astrocytoma, IDH-wildtype  9400/3 

Diffuse Astrocytoma, NOS  9440/3 

Anaplastic astrocytoma, IDH- mutant  9401/3 

Anaplastic astrocytoma, IDH- wildtype  9401/3 

Anaplastic astrocytoma, NOS  9401/3 

Glioblastoma, IDH-wildtype  9440/3 

Giant cell glioblastoma  9441/3 

Gliosarcoma  9442/3 

Epitheloid Glioblastoma  9440/3 

Glioblastoma, IDH-mutant  9445/3 

Glioblastoma, NOS  9440/3 

Diffuse midline glioma, H3 K27M-mutant 9385/3 

Oligodendroglioma, IDH-mutant and 1 p/19q codeleted  9450/3 

  

 

Oligodendroglioma, NOS  9450/3 

Anaplastic oligodendroglioma, IDH-mutant and 1p/19q codeleted  9451/3 

Anaplastic oligodendroglioma, NOS  9451/3 

Oligoastrocytoma, NOS  9382/3 

Anaplastic oligoastrocytoma, NOS  9382/3 

Other Astrocytic tumours   

Pilocytic astrocytoma  9421/1 

Pilomyxoid astrocytoma  9425/3 

Subependymal giant cell astrocytoma  9384/1 

Pleomorphic Xantroastrocytoma  9424/3 

Anaplastic pleomorphic xanthoastrocytoma  9424/3 

Ependymal tumours   

Subependimoma  9383/1 

Myxopapilalry ependymoma  9394/1 

Papillary ependymoma 9393/3 

Clear cell ependymoma  9391/3 

Tanycytic ependymoma  9391/3 

Ependymoma, RELA fusion-positve  9396/3 

Anaplastic ependymoma  9392/3 

Other gliomas   

Choroid glioma of the thrid ventricle  9444/1 

Angiocentric glioma  9431/1 

Astroblastoma  9430/3 

Choroid plexus tumours   

Choroid plexus papilloma  9390/0 

Atypical choroid plexus papilloma  9390/1 

Choroid-plexus carcinoma  9390/3 

Neuronal and mixed neuronal-glial tumours   

Dysembryoplastic neuroepithelial tumor  9413/0 

Gangliocytoma  9492/0 

Ganglioglioma  9505/1 

Anaplastic ganglioglioma  9505/3 

Dysplastic cerbellar gangliocytoma  9493/0 

(Lhermite-Duclos disease)   

Desmoplastic infantile astrocytoma and ganglioglioma  9412/1 

Papillary glioneural tumour  9509/1 

Rosette-forming glioneural tumour  9509/1 

Diffuse leptomeningeal glioneural tumor   

Central neurocytoma  9506/1 

Extraventricular neurocytoma  9506/1 

Cerebellar Liponeurocytoma  9506/1 

Paraganglioma  8693/1 

Tumours of the pineal region  9361/1 

Pineal parenchymal tumour of intermediate differentiation  9362/3 

Pineoblastoma  9362/3 

Papillary tumour of the pineal region  9395/3 

Embryonal tumours   

Medulloblastomas, gentically defined  9475/3 

Medulloblastoma, NWT-activated  9476/3 

Medulloblastoma, SHH-activated and TP53-mutant  9471/3 

Medulloblastoma, non WNT/non SHH  9477/3 

Medulloblastoma group 3  

Medulloblastoma, group 4   

Medulloblastomas, histologically defined   

Medulloblastoma, classic  9470/3 

Medulloblastoma, desmoplastic/nodular  9471/3 

Medulloblastoma with extensive nodularity  9471/3 

Medulloblastoma, large cell/anaplastic  9474/3 

Medulloblastoma, NOS  9470/3 

Embryonal tumour with multilayered rosettes, C19MC-altered  9478/3 

Embryonal tumour with multilayered rosettes, NOS  9478/3 

Medulloepithelioma  9501/3 

CNS neuroblastoma  9500/3 

CNS ganglioneuroblastoma  9490/3 

CNS embryonal tumour, NOS  9473/3 

Atypical teratoid/rhaboid tumour  9508/3 

CNS embryonal tumour with rhabdoid features  9508/3 

Tumours of the cranial and paraspinal nerves  9560/0 

Cellular schwannoma  9560/0 

Plexiform schwannoma  9560/0 

Melanotic schwannoma  9560/1 

Atypical neurofibroma  9540/0 

Plexiform neurofibroma  9550/0 

Hybrid nerve sheath tumours  9540/3 

Malignant peripheral nerve sheath tumour   

Epitheloid MPNST  9540/3 

MPNST with perineurial differentiation  9540/3 

Meningothelial meningioma  9531/0 

Ifbrous meningioma  9532/0 

Transisional meningioma  9537/0 

Psammomatous meningioma  9533/0 

Angiomatous meningioma  9534/0 

Microcystic meningioma  9530/0 

Secretory meningioma  9530/0 

Lymphoplasmacyte-rich meningioma  9530/0 

Metaplastic meningioma  9538/1 

Choroid meningioma  9538/1 

Clear cell meningioma 9539/1 

Atypical meningioma  9538/3 

Papillary meninggioma  9538/3 

Rhabdoid meninggioma  9538/3 

Anaplastic (malignant) meninggioma  9530/3 

Mesenchymal, non-meningothelial tumours  8815/0 

Solitary fibrous tumour / hamangiopercytoma  

Grade 1 

Grade 2 

Grade 3 

 

8815/1 

8815/3 

Haemangioblastoma  9161/1 

Haemangioma  9120/0 

Epitheliod haemangioendothelioma  9133/3 

Angiosarcoma  9120/0 

Kaposi sarcoma  9140/3 

Ewing sarcoma /PNET 9364/3 

Lipoma  8850/0 

Angiolipoma  8861/0 

Hibernoma 8880/0 

 

Lipsarcoma  8850/0 

Desmoid-type fibromatosis  8821/1 

Myofibroblastoma  8825/0 

Infallmatory myofibroblastic tumour  8825/1 

Benign fibrous histiocytoma  8830/0 

Fibrosarcoma 8810/3 

Undifferentiated pleomorphic sarcoma/malignant fibrous histiocytoma  8802/3 

Leimyoma 8890/0 

Leiomyosarcoma  8890/3 

Rhabdomyoma  8900/0 

Rhabdomyosarcoma  8900/3 

Chondroma  9220/0 

Chrondrosarcoma  9220/3 

Osteoma 9180/0 

Osteochondroma  9210/0 

Osteosarcom 9180/3 

Melanocytic tumours   

Meningeal melanocytosis  8728/0 

Meningeal melanocytoma 8728/1 

Meningeal melanoma  8720/3 

Meningeal melanomatosis  8728/3 

Lymphomas   

Diffuse large B-cell lymphoma of the CNS  9680/3 

Immunodefficiency-associated CNS lymphomas  

AIDS-related diffuse large B-cell Lymphoma   

EBV-positive diffuse large B-cell lymphoma, NOS  

Lymphomatoid granulomatosis  9766/1 

Intavascular large B-cell lymphoma  9712/3 

Low grade B-cell lymphomas of the CNS T-cell and NK/T-cell lymphomas of the CNS 

Anaplastic Large cell Lymphoma, ALK-positive 

9714/3 

Anaplastic large cell lymphoma, ALK-negative 9702/3 

MALT lymphoma of the dura  9699/3 

Histiocytic tumours   

Langerhans cell histiocytosis  9751/3 

Erdheim-Chester disease  9750/1 

Rosai-Dorfman disease  9755/3 

Juvenile xanthogranuloma   

Histiocytic sarcoma   

Germ cell tumours   

Germinoma  9064/3 

Embryonal carcinoma  9070/3 

Yolk sac tumour 9071/3 

Choriocarcinoma  9100/3 

Teratoma  9080/1 

Mature teratoma  9080/0 

Immature teratoma  9080/3 

Teratoma with malignant transformation  9084/3 

Mixed gem cell tumour  9085/3 

Tumour of the sellar region   

Craniopharyngioma  9350/1 

Adamantinomatous craniopharyngioma  9351/1 

 

 

Papillary craniopharyngioma  9352/1 

Granular cell tumour of the sellar region  9582/0 

Pituicytoma  9432/1 

Spindle Cell oncocytoma  8290/0 

 

Tabel 3.2. Derajat Tumor Otak berdasar  WHO 2016 

Tumor astrositik difus dan 

oligodendroglial 

GRADE Tumor regio pineal I 

Diffuse astrocytoma, IDH-mutant II Pineocytoma II atau III 

Anaplastic astrocytoma, IDH-mutant 

III 

Pineal parenchymal tumour of 

intermediate differentiation 

 

Glioblastoma, IDH-wildtype IV Pineoblastoma IV 

Diffuse midline glioma, H3 K2&M-

mutant 

IV 

Papillary tumour of the pineal region 

II atau III 

Oligodendroglioma, IDH-mutant and 

1p/19q-codeleted 

III Tumor embryonal  

Tumor astrositik lainnya  Medulloblastoma (semua jenis) IV 

Pilocytic astrocytoma I 

Embryonal tumour with multilayered 

rosettes, C19MC-altered 

IV 

Subependymal giant cell astrocytoma I Medulloepithelioma IV 

Pleomorphic xanthoastrocytoma II CNS embryonal tumour, NOS IV 

Anaplastic pleomorphic 

xanthoastrocytoma 

III Atypical teratoid/rhabdoid tumour IV 

Tumor Ependimal  

CNS embryonal tumour with rhabdoid 

features 

IV 

Subependymoma I Tumor nervus kranial dan paraspinal  

Myxopapillary ependymoma I Schwannoma I 

Ependymoma II Neurofibroma I 

Ependymoma, RELA fusion-positive II atau III Perineurinoma I 

Anaplastic ependymoma III 

Malignant peripheral nerve sheath 

tumour (MPNST) I 

1, III, atau 

IV 

Glioma Lainnya  Meningioma  

Angiocentric glioma I Meningioma I 

Choroid glioma of third ventricle II Atypical meningioma II 

Tumor pleksus choroid  Anaplastic (malignant) meningioma III 

Choroid plexus papilloma I 

Tumor mesenkimal non- 

meningotelial 

 

Atypical choroid plexus papilloma II 

Solitary fibrous tumour/ 

haemangiopericytoma 

I, II, atau III 

Choroid plexus carcinoma III Haemangioblastoma I 

Tumor neuronal dan campuran 

neuronal-glial 

 Tumor regio selar I 

Dysembryoplastic neuroepithelial 

tumour 

I Craniopharyngioma I 

Gangliocytoma I Granular cell tumour I 

Ganglioglioma I Pituicytoma I 

Anaplastic ganglioglioma III Spindle cell oncocytoma I 

Dysplastic gangliocytoma of 

cerebellum (Lhermitte-Duclos) 

Desmoplastic infantile astrocytoma and 

ganglioglioma 

 

 

Papillary glioneuronal tumor I   

Rosette-forming glioneuronal tumour I   

Central neurocytoma II   

Extraventricular neurocytoma II   

Cerebellar liponeurocytoma II   

 

3.1.2. Tanda Dan Gejala Umum 

Gejala yang timbul pada pasien tumor susunan saraf pusat bergantung dari lokasi dan 

pertumbuhan tumor. Pasien dengan tumor otak dapat datang dengan keluhan akibat 

peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala, mual, muntah proyektil), baik sebab  efek 

massa maupun sebab  hidrosefalus yang dalam kondisi berat dapat memicu  penurunan 

kesadaran.(7-11) Pada glioma derajat rendah gejala yang biasa ditemui yaitu  kejang, sementara 

glioma derajat tinggi lebih sering menimbulkan gejala defisit neurologis progresif dan tekanan 

intrakranial meningkat. 

Gejala lain yang mungkin ditemukan yaitu  defisit neurologis (gangguan penciuman, 

gangguan penglihatan, pandangan ganda, baal-baal atau nyeri di wajah, kelemahan otot wajah, 

gangguan pendengaran, menelan, dan lain-lain) yang bersifat progresif dan bergantung lokasi 

tumor, kejang, penurunan kognitif, gangguan keseimbangan dan gangguan kepribadian. Tanda 

dan gejala ini dapat dipakai  untuk menentukan lokasi tumor sebelum dilakukan pemeriksaan 

penunjang radiologis, sesuai dengan struktur anatomis yang terganggu.   

3.1.3. Diagnosa  

3.1.3.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 

Keluhan yang timbul dapat berupa sakit kepala, mual, penurunan nafsu makan, muntah 

proyektil, kejang, defisit neurologik (penglihatan dobel, strabismus, gangguan keseimbangan, 

kelumpuhan ekstremitas gerak), perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan fungsi 

kognitif. 

3.1.3.2. Pemeriksaan status generalis dan status neurologis 

3.1.3.2.1. Pemeriksaan Neurooftalmologi  

Tumor otak ganas melibatkan struktur yang dapat mendestruksi jaras penglihatan dan 

gerakan bola mata, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga beberapa tumor otak 

ganas dapat memiliki manifestasi neurooftalmologi yang khas seperti tumor regio sela, tumor 

regio pineal, tumor fossa posterior, dan tumor basis kranii.  

Oleh sebab  itu perlu dilakukan pemeriksaan neurooftalmologi terutama untuk 

menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional tumor otak ganas. Pemeriksaan ini 

juga berguna untuk mengevaluasi pre- dan post tindakan (operasi, radioterapi dan kemoterapi) 

pada tumor-tumor ini . 

3.1.3.2.2. Pemeriksaan Fungsi Luhur 

Gangguan kognitif dapat merupakan soft sign, gejala awal pada tumor otak ganas, 

khususnya pada glioma derajat rendah, limfoma, atau metastasis. Fungsi kognitif juga dapat 

mengalami gangguan baik melalui mekanisme langsung akibat destruksi jaras kognitif oleh 

tumor otak ganas, maupun mekanisme tidak langsung akibat terapi, seperti operasi, kemoterapi, 

atau radioterapi. Oleh sebab  itu, pemeriksaan fungsi luhur berguna untuk menjelaskan 

kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional tumor otak ganas, dan  mengevaluasi pre- dan 

post tindakan (operasi, radioterapi dan kemoterapi). Bagi keluarga, penilaian fungsi luhur akan 

sangat membantu dalam merawat pasien dan melakukan pendekatan berdasar  hendaya.  

3.1.3.2.3. Penilaian Fungsional 

memakai  Karnofsky Performance Status (KPS), dinilai saat awal masuk dan saat 

keluar dari perawatan. 

3.1.3.3. Pemeriksaan Laboratorium 

Pemeriksaan sistemik dilakukan baik yang berhubungan dengan tumor otak, komorbid 

maupun efek terapi.  Hal ini dilakukan untuk melihat keadaan umum pasien dan kesiapannya 

untuk terapi yang akan dijalani (pembedahan, radiasi atau kemoterapi), berupa darah lengkap, 

hemostasis, LDH, fungsi hati dan ginjal, gula darah, serologi hepatitis B dan C dan  elektrolit 

lengkap. (7-11) 

Pemeriksaan sitologi dan flowcytometry cairan serebrospinal (CSS) dapat dilakukan, 

untuk menyingkirkan infeksi, menegakkan diagnosa  limfoma pada sistem saraf pusat (SSP), 

kecurigaan metastasis leptomeningeal atau pada penyebaran kraniospinal, dan  pemantauan 

terapi. (10, 11) 

3.1.3.4. Pemeriksaan Radiologis 

Prinsip gambaran tumor otak dan spinal merupakan daftar modalitas gambaran yang 

tersedia dan dipakai  utamanya di bagian neuro-onkologi untuk membuat keputusan 

pengobatan. pemakaian  yang paling sering yaitu  MR spectroscopy. Perfusi MR, dan 

scanning PET bertujuan untuk membedakan radiasi nekrosis dari tumor yang aktif, sebab  ini 

mungkin meniadakan kebutuhan untuk operasi atau tidak melanjutkan terapi yang tidak efektif. 

Gambaran selalu direkomendasikan untuk mengidentifikasi tanda atau gejala yang muncul.(8) 

MRI dari otak dan spinal (dengan atau tanpa kontras), merupakan standar baku emas 

dan mampu menyediakan sebuah gambaran ‘statis’ dari tumor. Keuntungannya, MRI 

menyediakan sebuah penggambaran yang cukup baik dari tumor, tumor dengan derajat yang 

lebih tinggi dan metastasis leptomeningeal otak biasanya tidak meningkat. Keterbatasan MRI 

yaitu  sensitif terhadap gerakan, objek metalik yang dapat memicu  artefak, pasien 

dengan alat yang ditempel tidak dapat melakukan MRI, claustrophobia dapat menjadi sebuah 

masalah, atau ketidakmampuan ginjal.  

MRI otak pascaoperasi harus dilakukan dalam 24-72 jam pada masalah  glioma dan tumor 

otak untuk menentukan reseksi lanjutan. MRI otak dan spinal harus ditunda setidaknya 2-3 

minggu untuk menghindari artefak akibat operasi. MR Spectroscopy menilai metabolit dalam 

tumor dan jaringan normal. Dapat berguna dalam membedakan tumor dari radiasi nekrosis; 

dapat membantu dalam menentukan derajat tumor atau menilai respons.  

Daerah yang paling abnormal dapat menjadi tempat paling baik untuk dilakukan biopsi. 

Keterbatasannya untuk tumor dekat pembuluh darah, rongga udara, atau tulang. Perfusi MR 

untuk menghitung volume darah cerebral di tumor, dapat berguna untuk membedakan derajat 

tumor atau tumor dengan nekrosis radiasi. Daerah dengan perfusi paling tinggi dapat menjadi 

tempat terbaik untuk biopsi. Keterbatasannya untuk tumor dengan pembuluh darah, rongga 

udara, tulang, lesi bervolume kecil, atau tumor di korda spinalis.(7) 

CT Scan dari otak dan spinal (dengan atau tanpa kontras) dapat dipakai  pada pasien 

yang tidak dapat memakai  MRI. Keuntungannya klaustrofobia atau alat yang tertempel 

tidak menjadi masalah, dapat dilakukan lebih cepat dibandingkan  MRI. Keterbatasannya  resolusi 

lebih jelek dibanding MRI, khususnya dibagian fossa posterior, atau ketidakmampuan 

ginjal.(7-10) 

3.1.4. Prinsip Terapi Medikamentosa pada Tumor Otak 

3.1.4.1. pengobatan  Penurunan Tekanan Intrakranial 

Pasien dengan tumor otak sering datang dalam keadaan neuroemergency akibat 

peningkatan tekanan intrakranial baik pada tumor otak primer maupun tumor metastasis. 

Hal ini terutama diakibatkan oleh efek desak ruang dari edema peritumoral atau edema 

difus. Edema serebri dipicu  oleh efek tumor langsung maupun terkait terapi, seperti 

pasca operasi atau radioterapi dimana terjadi kebocoran plasma melalui dinding pembuluh 

darah ke rongga interstisial akibat terganggunya sawar darah otak.(3, 4, 12) Gejala yang 

muncul tergantung dari lokasi dan ekstensi dari edema berupa nyeri kepala, mual dan 

muntah, perburukan gejala neurologis, dan penurunan kesadaran. Terapi medikamentosa 

yang diberikan untuk tumor otak berupa steroid, manitol, salin hipertonik, dan anti kejang.(3, 

4, 12) 

3.1.4.1.1. Steroid 

Pemberian steroid sangat efektif untuk mengurangi edema serebri dan memperbaiki 

gejala yang dipicu  oleh edema serebri, yang efeknya sudah terlihat dalam 24-36 jam. 

Steroid yang direkomendasikan dan menjadi pilihan yaitu  deksametason.(1) Untuk pasien 

yang sebelumnya tidak mengkonsumsi steroid diberikan dosis bolus 10 mg intravena, 

lalu  dilanjutkan 6 mg per oral atau intravena setiap 6 jam atau 4 kali sehari. Pada 

masalah  dengan edema vasogenik yang berat, dosis ditingkatkan hingga 10 mg setiap 4 jam 

atau 6 kali sehari. Pada anak-anak diberikan dosis bolus 0,5-1 mg/kgBB intravena, 

dilanjutkan 0,25-0,5 mg/kgBB per oral atau intravena dengan interval yang sama dengan 

pasien dewasa. Pada pasien yang sedang mengkonsumsi steroid dan mengalami defisit 

neurologis mendadak diberikan dosis sebesar dua kali lipat.(3) 

Pada pemberian steroid jangka panjang harus diperhatikan efek penekanan terhadap 

aksis hipofise-hipotalamus yang memicu  insufisiensi kelenjar adrenal. 

Pemberhentian yang cepat dan tiba-tiba akan memperberat kondisi edema yang sudah ada. 

Pada pemakaian  selama 5-7 hari dapat dihentikan sesaat  tanpa memberikan efek 

samping yang menonjol . Sementara pemakaian  hingga 2 minggu atau lebih harus 

dilakukan tappering off.(3) 

Efek samping pemberian steroid yakni gangguan toleransi glukosa, stress ulcer, 

miopati, perubahan mood, peningkatan nafsu makan, Cushingoid dan sebagainya. Sebagian 

besar dari efek samping ini  bersifat reversibel apabila steroid dihentikan.(3) 

3.1.4.1.2. Manitol 

Gangguan sawar darah otak yang terjadi pada pasien tumor otak memicu  

kebocoran manitol ke dalam rongga interstisial dan memicu  edema semakin berat 

dalam pemakaian  jangka panjang. Oleh sebab  itu, manitol tidak dianjurkan diberikan 

sebab  dapat memperburuk edema, kecuali bersamaan dengan deksametason pada situasi 

yang berat, seperti adanya peningkatan tekanan intrakranial yang berat dan pasca operasi.(4) 

Manitol (20%) dengan dosis 0,5-1,5 gr/kgBB efektif dalam menurunkan tekanan 

intrakranial dalam waktu 15-35 menit sesudah  pemberian. Hiperosmolaritas darah harus 

dipertahankan untuk menjaga cairan tidak keluar ke rongga interstisial dengan memberikan 

dosis rumatan 0,25-0,5 gr/kgBB dengan interval pemberian setiap 6 jam atau 4 kali sehari. 

Batas atas osmolaritas yang aman untuk pemberian manitol yaitu  320 mOsm/L.(4) 

Adanya efek samping berupa diuresis osmotik memerlukan pengawasan yang ketat 

terhadap cairan dan elektrolit setiap 6 hingga 8 jam. Komplikasi yang terjadi antara lain 

hipokalemia dan alkalosis akibat diuresis, hiperglikemik hiperosmolar pada pasien diabetes 

melitus, hiperosmolaritas yang terlalu tinggi dapat memicu  kerusakan fungsi ginjal. (4) 

3.1.4.2 Anti-kejang 

Kejang merupakan komplikasi yang sering terjadi dan memberikan efek yang 

merugikan, terjadi pada 20-40% pasien dengan tumor otak. Kejang mengganggu jalur 

pernapasan, meningkatkan tekanan CO2, dan memperberat edema serebri dan pada akhirnya 

meningkatkan tekanan intrakranial.(12) Oleh sebab  itu, pasien yang mengalami kejang 

sebab  tumor otak harus segera diberikan antikonvulsan atau obat antiepilepsi (OAE) untuk 

mencegah kejang berulang yang dapat memicu  perburukan kondisi. (13) 

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat, antara lain 

kemungkinan interaksi obat dengan kemoterapi dan deksamethason, terutama pada OAE 

generasi lama seperti fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital. Obat-obat ini  dapat 

dipengaruhi dan dapat mengurangi tingkat sirkulasi obat-obat kemoterapi dan  

deksametason, sehingga menjadi kurang efektif. Demikian pula pada pemberian radioterapi. 

Dosis fenitoin yaitu  maksimal 300mg/hari sebab  bersifat toksik pada pasien dengan 

kondisi-kondisi ini . (13-15) 

Kondisi yang harus diwaspadai yaitu  status epileptikus tonik klonik, yaitu 

bangkitan epileptik yang berlangsung secara terus menerus selama minimal 30 menit, atau 

berulang tanpa pulihnya kesadaran di antara bangkitan. Namun Pengobatan  sudah dapat 

diberikan jika kejang berlangsung lebih dari 5 menit dengan pemberian diazepam IV 0,15-

0,2mg/kgBB/kali, maksimal 10mg/kali, dapat diulang 1 kali. lalu  jika masih 

terdapat kejang dapat diberikan terapi lini kedua, antara lain fenitoin, asam valproat, atau 

levetiracetam. Dosis fenitoin yaitu  IV 15-20mg/kgBB perlahan-lahan (kecepatan 

50mg/menit) dosis tunggal, dapat diulang 5-10mg/kgBB/kali intravena. Adapun dosis asam 

valproat yaitu  20-40mg/kgBB per oral, maksimal 3000mg/kali, sedang  dosis 

levetiracetam yaitu  20-60mg/kgBB per oral, maksimal 4500mg/kali, dosis tunggal. (16, 17) 

Asam valproat merupakan salah satu OAE generasi lama yang lebih sedikit 

interaksinya dan aman untuk dipakai  dengan dosis 20-40mg/kgBB/hari, titrasi mulai dari 

10mg/kgBB/hari. Terapi kejang yang disarankan juga memakai  OAE generasi terbaru, 

yaitu levetiracetam (kecuali pada gangguan ginjal) dengan dosis 20-40mg/kgBB/hari 

dimulai dari 250mg/hari, lamotrigin (kecuali pada gangguan hepar) 25mg per hari dinaikkan 

tiap 2 minggu hingga maksimal 400mg/hari, atau topiramat yang memberikan tingkat 

keamanan lebih baik dibandingkan  obat-obatan sebelumnya. Dosis loading topiramat yaitu  6-

9mg/kgBB/hari, titrasi mulai dari 3mg/kgBB/hari. (12, 16) 

Pasien dengan kejang perlu dilakukan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) yang 

dikombinasikan dengan CT scan atau MRI kepala dengan kontras, didan i dengan 

gambaran klinis kejang untuk menentukan kemungkinan rekurensi kejang berikutnya dan  

memastikan diagnosa  dan kesesuaian fokus kejang dengan lokasi tumor. (16) 

Kondisi ekstrakranial juga harus dikendalikan untuk mencegah kejang berulang, 

antara lain hipoksia, hipernatremia, hiponatremia, hiperglikemia, dan asidosis.(12) Perhatian 

khusus pada keadaan trombositopenia untuk tidak diberikan asam valproat ataupun 

levetiracetam. Efektivitas obat-obatan anti kejang profilaksis masih belum terbukti lebih 

baik dibandingkan tanpa profilaksis, malah berpotensi terdapat efek samping obat. Pada 

epilepsi refrakter dipertimbangkan reseksi bedah. (13, 15) 

3.1.4.3   Pengobatan  Nyeri 

 Pada tumor otak ganas, nyeri yang muncul biasanya yaitu  nyeri kepala. berdasar  

patofisiologinya, pengobatan  nyeri ini berbeda dengan nyeri kanker biasanya . Nyeri 

kepala akibat tumor otak bisa dipicu  akibat traksi langsung tumor terhadap reseptor 

nyeri di sekitarnya. Namun nyeri kepala tersering yaitu  akibat peningkatan tekanan 

intrakranial, yang jika bersifat akut terutama dipicu  oleh adanya edema peritumoral. 

Oleh sebab  itu pengobatan  utama bukanlah obat golongan analgesik, namun golongan 

glukokortikoid seperti deksametason atau metilprednisolon intravena atau oral sesuai 

dengan derajat nyerinya. 

 Pada tumor tertentu, gejala klinis nyeri biasanya bersifat lokal atau radikular ke 

sekitarnya, yang disebut nyeri neuropatik, seperti pada nyeri di daerah retroorbita, sela, sinus 

kavernosus, atau klivus Pada masalah  ini pilihan obat nyeri yaitu  analgesik yang tidak 

menimbulkan efek sedasi atau muntah sebab  dapat mirip dengan gejala tumor otak pada 

umumnya. Oleh sebab  itu dapat diberikan parasetamol dengan dosis 20 mg/kg berat badan 

perkali dengan dosis maksimal 4000 mg/hari, baik secara oral maupun intravena sesuai 

dengan beratnya nyeri. Jika komponen nyeri neuropatik yang lebih dominan, maka golongan 

antikonvulsan menjadi pilihan utama, seperti gabapentin 600-1200 mg/hari, maksimal 3600 

mg/hari. 

3.1.5. Pembedahan pada Tumor Otak 

Pembedahan merupakan salah satu modalitas terapi yang sangat penting dalam terapi tumor 

otak baik untuk perbaikan kondisi klinis dan penegakan diagnosa  patologi anatomi. 

Perencanaan sebelum operasi, posisi pasien pada saat operasi, dan ukuran prosedur 

kraniotomi bertujuan agar dokter dapat melakukan yang terbaik untuk mengangkat tumor 

secara aman.(6, 18) 

Prinsip operasi tumor otak meliputi prinsip pemandu, total reseksi, morbiditas operasi 

minimal dan diagnosa  akurat. Faktor yang berpengaruh meliputi usia, status KPS (Karnofsky 

Performance Status), kelayakan untuk menurunkan efek massa dengan operasi, tumor baru 

dengan tumor berulang, patologi yang diduga jinak atau maligna, kemungkinan diagnosa  lain 

non-kanker dan riwayat yang diproyeksikan. Pilihan meliputi total reseksi saat  layak, biopsi 

stereotaktik, biopsi terbuka/ debulking. (6, 18) 

Waktu untuk dilakukan pembedahan pada umumya bersifat elektif dengan 

perencanaan, tetapi pada kondisi tertentu bisa menjadi tindakan emergensi/cito jika 

didapatkan tanda-tanda tekanan intrakranial yang meningkat baik akibat langsung dari 

ukuran tumor yang besar dan adanya perdarahan disekitar tumor (intratumoral bleeding) 

ataupun akibat sekunder dari tumor sebab  edema otak yang tidak membaik dengan 

manajemen pengobatan dan obstruktif hidrosefalus. (6, 18) 

Tujuan pembedahan pengangkatan tumor berbeda-beda tergantung pada patologi 

penyakitnya berdasar  intepretasi pada MRI atau CT Scan. Korelasi positif antara intepretasi 

yang baik pada MRI atau CT Scan dan biologi tumor menjadi sangat penting disini. Prinsip 

“first do no harm” harus menjadi dasar penentuan tujuan tindakan. Tujuan secara umum operasi 

pengangkatan tumor yaitu  maksimal eksisi tanpa memicu  kerusakan fungsi otak jangka 

panjang atau dengan kata lain seorang dokter bedah harus mampu menentukan kapan harus 

menyisakan tumor jika diduga  berisiko tinggi memicu  morbiditas pada pasien.(7, 8) 

Saat ini telah berkembang peralatan yang dapat memfasilitasi tindakan reseksi tumor 

secara maksimal dan aman (maximum safe surgical resection) pada saat operasi diantaranya 

yaitu  intraoperative navigation dengan sistem frameless stereotaktik, pemantuan intraoperatif 

(intraoperative monitoring), ultrasonography intraoperative, flourescence guided surgery, 

teknik pembedahan mikro memakai  mikroskop, endoscopic neurosurgery, dan MRI 

intraoperatif.(6, 9-11, 18) 

3.1.6. Prinsip Radioterapi pada Tumor SSP 

Radioterapi merupakan modalitas terapi penting pada masalah  tumor SSP. Radioterapi 

dapat diberikan sebagai terapi definitif, ajuvan atau sebagai terapi paliatif. Dalam pemberian 

radioterapi pada tumor SSP, terdapat beberapa teknik radioterapi yang dapat diberikan: 

1. Radioterapi 2-D, diberikan pada masalah  definitif pada radiasi kraniospinal dan 

masalah  paliatif seperti metastasis otak dan tulang 

2. Radioterapi 3-D konformal, merupakan terapi standar pada masalah  tumor SSP 

dapat diberikan sebagai terapi definitif, ajuvan atau paliatif. 

  

 

3. Intensity modulated radiotherapy (IMRT) atau Volumetric modulated arc 

therapy (VMAT) diberikan pada tumor SSP yang letaknya berdekatan dengan 

jaringan sehat penting seperti batang otak, chiasma optik atau saraf optik. 

4. Stereotacic radiosurgery (SRS) diberikan pada masalah  tumor SSP yang 

berukuran kecil (diameter <3,5 cm) dan letaknya tidak menempel dengan 

dengan jaringan sehat penting seperti batang otak, chiasma optik atau saraf 

optik.(19) 

5. Stereotacic radiotherapy (SRT) diberikan pada masalah  tumor SSP yang tidak 

dapat dilakukan SRS, seperti diameter > 3,5 cm atau letaknya menempel dengan 

dengan jaringan sehat penting seperti batang otak, chiasma optik atau saraf 

optik. (19) 

6. Stereotacic body radiotherapy (SBRT) diberikan pada masalah  metastases spinal 

dengan keterlibatan tumor maksimal 3 ruas vertebrae, namun tidak boleh lebih 

dari 2 ruas vertebrae berurutan. SBRT spinal diberikan pada masalah  dengan 

potensi kuratif atau dapat diberikan pada masalah  reiradiasi.(20) 

Volume tumor sebagai target radiasi ditentukan dengan memakai  imaging pra dan 

post-operasi, memakai  MRI (T1 dengan kontras, T2 dan FLAIR) untuk menentukan gross 

tumor volume (GTV). Clinical target volume (CTV) = GTV ditambah margin 1-2 cm ,  

diberikan dengan radiasi dosis 45-60 Gy dengan 1,8-2 Gy/fraksi. Untuk teknik SRT atau SRS, 

terdapat beberapa skema dosis dan fraksinasi disesuaikan dengan histopatologis tumor dan 

tujuan terapi sebagai definitif atau booster. Pada masalah  reiradiasi, dosis yang diberikan 

tergantung dosis radiasi sebelumnya dan rentang waktu dengan radiasi sebelumnya, dengan 

prioritas utama yaitu  limitasi dosis pada organ sehat kritis seperti batang otak, medula spinalis, 

chiasma optik dan saraf optik. Namun keputusan akhir  penentuan dosis dikembalikan lagi 

kapada dokter yang merawat. (1, 21, 22) 

3.1.6.1. Glioma Derajat Rendah (Derajat I dan II) 

Volume tumor sebagai target radiasi ditentukan memakai  foto pra dan pasca 

operasi, memakai  MRI (T1 dengan kontras dan FLAIR/T2) untuk menentukan GTV. CTV 

yaitu  GTV ditambah 2-3 cm untuk mencakup infiltrasi tumor yang subDiagnosa . (21, 22) 

3.1.6.2. Glioma Derajat Tinggi (Derajat III dan IV) 

 

Volume tumor sebagai target radiasi ditentukan memakai  foto pra dan pasca 

operasi, memakai  MRI (T1 dengan kontras dan FLAIR/T2) untuk menentukan GTV. CTV 

yaitu  GTV ditambah 2-3 cm untuk mencakup infiltrasi tumor yang subDiagnosa . (21, 22) 

Lapangan radiasi dibagi menjadi 2 fase. Dosis yang direkomendasikan yaitu  60 Gy 

dengan 2 Gy/fraksi atau 59,4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi, dosis yang sedikit lebih kecil seperti 

55,8-59,4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi atau 57 Gy dengan 1,9 Gy/fraksi dapat dilakukan jika 

volume tumor terlalu besar (gliomatosis) atau untuk astrositoma derajat III. Pada pasien dengan 

KPS (Karnofsky Performance Status) yang buruk atau pada pasien usia tua, hipofraksinasi yang 

diakselerasi dapat dilakukan dengan tujuan menyelesaikan terapi dalam 2-4 minggu. Fraksinasi 

yang dipakai  antara lain 34 Gy/10 fraksi, 40,5 Gy/15 fraksi, 50 Gy/20 fraksi.  (21, 22) 

3.1.6.3. Ependimoma 

Volume tumor ditentukan dengan memakai  pencitraan pra dan pasca operasi, 

memakai  MRI (T1 dengan kontras dan FLAIR/T2) untuk menentukan GTV. CTV 

merupakan area anatomis tempat tumor primer praoperasi ditambah dengan abnormalitas signal 

yang ditemukan pada MRI post-operasi (CTV = GTV + 1-2 cm), radiasi diberikan dengan dosis 

54-60 Gy dengan 1,8-2 Gy per fraksi untuk gross tumor.  

Pada ependymoma tanpa keterlibatan cairan serebrospinal, cukup diberikan radiasi 

lokal dengan dosis dan target radiasi seperti ini  di atas. Pada ependymoma dengan 

keterlibatan cairan serebrospinal diperlukan Craniospinal Irradition (CSI) dengan lapangan 

spinal sampai dengan bawah thecal sac untuk mengatasi microscopic tumor spread pada cairan 

cerebrospinal.(23) Radiasi CSI untuk microscopic tumor diberikan dengan dosis 36 Gy 

dengan1,8 Gy per fraksi. Apabila terdapat gross tumor pada spinal maka sesudah  radiasi CSI 

harus diikuti dengan booster lapangan terbatas pada lesi spinal sampai dengan 45-54 Gy dalam 

1,8-2 Gy per fraksi. Apabila lokasi lesi primer di otak harus diberikan dosis total pada lesi 

ini  sampai dengan 54-60 Gy dalam 1,8-2 Gy per fraksi.  (21, 22) 

3.1.6.4. Medulloblastoma (Dewasa) dan PNET Supratentorial 

Pada pasien dengan risiko rekurensi, diberikan dosis konvensional 30-36 Gy CSI 

(Cranio-Spinal Irradiation)  lalu  booster pada tumor otak primer sampai dengan 54-55,8 

Gy dengan atau tanpa kemoterapi ajuvan. Untuk dewasa muda dapat dipertimbangkan untuk 

mengurangi dosis radiasi dengan tambahan pemberian ajuvan kemoterapi sehingga dosis 

radiasi 23,4 Gy CSI, lalu booster pada lokasi tumor otak primer sampai dengan 54-55,8 Gy. 

Pada pasien dengan risiko tinggi untuk rekurensi, diberikan dosisi radiasi 36 Gy CSI diikuti 

booster pada lokasi tumor otak primer sampai dengan 54 – 55,8 Gy dengan tambahan 

kemoterapi ajuvan. (21, 22) 

3.1.6.5. CNS Limfoma Primer 

Whole brain radiotherapy (WBRT) dapat dilakukan pada pasien dengan CNS limfoma 

primer yang mendapatkan dan atau tanpa kemoterapi. WBRT diberikan hingga dosis 23,4 Gy 

dengan 1,8 Gy per-fraksi bila dijumpai complete respone (CR) pasca kemoterapi. Untuk respon 

yang kurang dari CR, dapat diberikan dosis WBRT yang sama diikuti dengan booster radiasi 

lapangan terbatas pada gross tumor sampai dengan 45-54 Gy dengan 1,6-2 Gy per fraksi untuk 

radiasi lokal pada residu tumor. Untuk pasien yang bukan kandidat kemoterapi, diberikan 

WBRT dosis 24-36 Gy diikuti dengan booster pada gross tumor sampai dengan total dosis 45-

54 Gy dengan 1,6-2 Gy per fraksi. (21, 22) 

3.1.6.6. Tumor Medula Spinalis Primer 

Pada pasien dengan tumor medula spinalis primer, dapat diberikan radiasi lokal pada 

masalah  tanpa keterlibatan cairan cerebro spinal dengan total dosis 50,4Gy dengan 1,8 Gy per 

fraksi. (24) Radiasi craniospinal (CSI) pada keterlibatan cairan cerebro spinal untuk mengatasi 

microscopic tumor spread pada cairan cerebrospinal dengan dosis radiasi 36 Gy dengan 1,8 Gy 

per fraksi dilanjutkan dengan booster radiasi pada gorss tumor hingga 45-54 Gy dengan 

memakai  1,8 Gy/fraksi. Untuk tumor yang letaknya dibawah conus medullaris, dapat 

diberikan radiasi CSI hingga 36 Gy dengan 1,8 Gy per fraksi dilanjutkan dengan booster hingga 

to