atau antikolinergika
(ipratropium) sebagai bronchodilator untuk mengurangi obstruksi bronchi.
d. Asma serius (serangan > 3 x seminggu)
Walaupun pemakaian ICS dalam dosis
cukup tinggi, namun pada malam hari
masih timbul sesak napas (dyspnoe). Dalam hal ini dapat diberikan β2
-mimetikum kerja-panjang sebagai inhalasi (salmeterol, formoterol). Bila perlu obat ini
dapat dikombinasi dengan teofilin dalam
bentuk slow-release.
* Inhalasi yaitu suatu cara pemakaian
adrenergika dan kortikosteroida yang memberikan beberapa keuntungan dibandingkan
pengobatan per oral. Pemberian obat melalui inhalasi merupakan cara terpilih bagi
kebanyakan obat yang memerlukan efek
langsung pada saluran pernapasan, khususnya pada penderita asma dan COPD
(Berger, 2009)42‘ Untuk ini kehalusan partikel
merupakan hal yang sangat penting.
Efeknya lebih cepat, dosisnya jauh lebih
rendah dan tidak diresorpsi ke dalam darah
sehingga risiko efek samping sistemiknya
ringan sekali. Ada beberapa cara untuk memberikan obat sebagai inhalasi, antara lain
(Virchow et al., 2008)43:
a. Metered Dose Inhaler: obat disemprotkan
dari suatu wadah di bawah tekanan suatu propellant yang ozon-friendly (hidrofluoroalkan, HFA).
b. Dry Powder Inhaler (Turbuhaler): obat dihisap sebagai serbuk halus.
c. Nebulizer: obat dihisap sebagai aerosol.
Inhalasi dilakukan 3-4 kali sehari 2 semprotan (puffs), sebaiknya pada saat-saat tertentu, seperti sebelum atau sesudah mengeluarkan tenaga, sesudah bersentuhan dengan
zat-zat yang merangsang (asap rokok, kabut,
alergen) dan saat sesak napas di tengah
malam dan pagi hari (‘morning dip’).
Dianjurkan untuk pengobatan dengan
kortikosteroida inhalasi pada anak dan dewasa dilakukan dalam waktu dini untuk
memperbaiki fungsi paru (O’Byrne et al.,
2006)44 sebab obat ini dapat menghindari
akibat buruk dari peradangan kronis di
saluran pernapasan.
2. BRONCHITIS KRONIS
dan EMFISEMA
COPD menempatkan urutan ketiga dari
kematian penduduk di negeri Belanda (setelah PJP dan kanker).26 Juga secara global
mortalitas akibat gangguan ini meningkat,
sedangkan kematian sebab penyakit kardiovaskuler (PJP) menurun.27 Menurunkan
angka kematian COPD merupakan salah
satu tujuan dari “Global initiative for chronic
obstructive lung disease” (GOLD), suatu organisasi dari WHO dan US National Heart,
Lung and Blood Institute. Petunjuk-petunjuk
dalam GOLD ini dapat dipakai untuk
klasifikasi parahnya COPD.
Penyebab
Juga bergejala inflamasi dari saluran pernapasan namun dengan corak yang berlainan
dari asma.
Kelanjutan dari peradangan memicu
penyempitan dari saluran udara dan timbulnya fibrosis dan destruksi dari parenkim
paru-paru (emfisema). Akibatnya yaitu sesak napas pada waktu menjalani kegiatan
fisik dan sewaktu berolahraga, yang merupakan gejala khas dari COPD.
Pengobatan utama dari COPD yaitu
bronchodilator yang berfungsi melegakan
saluran pernapasan.
Berbeda dengan asma penyumbatan saluran udara pada COPD yaitu progresif
dan peradangannya pada umumnya resisten terhadap obat-obat kortikosteroid. Di
samping gangguan alat pernapasan, kebanyakan penderita COPD juga menderita
gangguan jantung, hipertensi dan diabetes
(Barnes and Celli, 2009)41, menurunnya berat
badan, depresi, osteoporosis dan anemia.
Bronchitis bercirikan batuk ‘produktif’ menahun dengan pengeluaran banyak dahak,
tanpa sesak napas atau hanya ringan. Dalam
kebanyakan kasus (80%) disebabkan infeksi
akut saluran pernapasan oleh virus, yang
mudah disuprainfeksi oleh bakteri, terutama
Haemophilus influenzae yang sangat terkenal.
Namun, di negara-negara dingin juga terjadi
(supra)-infeksi dengan Str. pneumoniae (Pneumococcus) dan Branhamella catarrhalis.
Emfisema paru (L. pengembangan) bercirikan dilatasi dan destruksi dari jaringan paruparu, yang mengakibatkan sesak napas terusmenerus dan menghebat pada waktu mengeluarkan tenaga (exertion); penderita sering
kali merasa letih dan tidak bergairah.
Gelembung paru (alveoli) terus mengembang
dan rongganya membesar, sehingga dindingdindingnya yang mengandung pembuluh
darah menjadi sangat tipis dan sebagian
akhirnya rusak. Dengan demikian permukaan
paru yang tersedia bagi penyerapan oksigen
berkurang sampai di bawah 30%, sehingga
jantung harus bekerja lebih keras untuk
memenuhi kebutuhan akan oksigen. Tonus di
cabang-cabang batang nadi (aorta) bertambah
dan tekanan darah di arteriole paru-paru
meningkat. Akhirnya pembebanan ini dapat
memicu hipertrofi ventrikel kanan
jantung dan terjadilah cor pulmonale (jantung membesar).
Penyebab utama emfisema yaitu bronchitis kronis dengan batuk bertahun-tahun
lamanya, juga asma. Emfisema dapat dianggap sebagai fase terakhir dari asma dan
bronchitis, yang tidak dapat disembuhkan
lagi (irreversibel). Sebetulnya, setiap orang di
atas usia 60 tahun kurang lebih menderita
emfisema ringan sebagai bagian dari proses
menua, namun terutama pada penderita bronchitis kronis terjadi keluhan-keluhan ini
di atas.
* Merokok.Faktor utama timbulnya COPD
yaitu merokok (sigaret). Rangsangan terusmenerus dari asap rokok mengakibatkan
hipertrofi dari sel-sel pembentuk mucus di
saluran pernapasan yang merupakan ciri
patologis yang konsisten dari bronchitis
kronis. Asap rokok mengandung banyak oksidan, seperti radikal bebas, NO, radikal
hidroksil dan H2
O2
. Lekosit perokok membentuk lebih banyak oksidansia seperti superoksida-anion (O2
-
) dan H2
O2 dibanding
dengan non-smokers. Juga mengandung zatzat perangsang enzim elastase, yang merombak serat-serat elastin dalam dinding gelembung paru, sehingga kekenyalannya menurun.
Akhirnya terjadi kelainan irreversibel dalam
bentuk fibrosis dan destruksi dari dinding
ini di mana ada pembuluh darah,
sehingga fungsi paru terganggu secara permanen. Kebanyakan pasien bronchitis kronis dan emfisema terdiri dari pria, yang
sering kali yaitu perokok berat (lebih dari
30 batang sehari). Bahkan ada hubungan
langsung dengan jumlah sigaret yang dihisap
seharinya. Risiko kematian akibat bronchitis
pada perokok berat yaitu 20 kali lebih besar
daripada orang yang tidak merokok.
Merokok yaitu penyebab penting dari
kanker dan secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan timbulnya 10 jenis
tumor dan penyebab 30% dari semua kematian sebab kanker. Walaupun pengetahuan mengenai efek buruk dari merokok
sudah diketahui, namun jumlah perokok
masih tetap besar dan sekitar lebih dari 1,3
milyar perokok ada di seluruh dunia.
Ref.: Guindon GE et al.; Past, current and future trends in tobacco use. Washington, The
International Bank for Reconstruction and
Development, 2012.
Asap rokok mengandung a.l. senyawa
karbohidrat polisiklis aromatik yang dapat
menginduksi enzim metabolisasi cytochrom
P450 (CYP). Oleh sebab ini farmakokinetik
dari berbagai jenis obat dapat dipengaruhi,
misalnya klozapin dan propranolol (dipercepat).
* Polusi udara juga merupakan faktor pada
terjadinya COPD. Walaupun hal ini tidak
terlalu penting, namun nyatanya mortalitas
akibat COPD sangat meningkat pada saat
timbulnya polusi berat. Di negara-negara
Barat situasi ini terutama terjadi pada musim
dingin (smog) saat asap dan SO2
(kendaraan
bermotor) terjebak di udara
Radikal bebas. Lihat juga boks Antioksidansia di Bab 54, Dasar-dasar diet sehat.
Pada banyak proses metabolisme di dalam tubuh terbentuk radikal bebas (free radicals, FR), yaitu
molekul-molekul yang sangat reaktif sebab kehilangan satu elektron. Hal yang juga terjadi saat
granulosit neutrofil meningkatkan metabolisme oksidatifnya, pada saat mana dibebaskan produk
oksigen aktif, seperti hidrogenperoksida, oksigen singlet (O2
), anion-superoksida (O2
-
), dan radikalhidroksil (OH-
). FR ini memasuki dan “menari-nari” di dalam sel-sel tubuh sambil „mencuri“ elektron
dari molekul lain, yang terpaksa berbuat sama. Reaksi rantai ini berlangsung terus-menerus bila tidak
dihentikan oleh antioksidansia dan mampu merusak langsung bagian vital dari sel (DNA) atau secara
tak langsung via peroksidasi-lipida dari membran sel.
Antioksidansia. FR ini lazimnya diinaktifkan oleh antioksidansia alamiah kuat yang ada dalam
tubuh, seperti vitamin A dan E, katalase, super-oksida-dismutase (SOD) dan glutationperoksidase
(GPx). Senyawa-senyawa ini dapat menyerahkan elektron pada FR, misalnya anion-superoksida
pertama-tama diubah menjadi H2
O2
untuk kemudian direduksi menjadi H2
O oleh katalase dan GPx.
Radikal bebas juga dapat “dihirup” dari luar melalui udara, sebagai asap rokok, asap pabrik dan gas
pembuang mobil (NO2
, SO2
). Paru-paru dilindungi terhadap FR ini oleh antioksidansia alamiah yang
ada di mucus dan sekret khusus dari gelembung paru. Pada proses antioksidasi ini di paru,
khususnya suatu tripeptida glutation, berperan penting.
Nitrogenoksida (NO) telah ditemukan di tahun 1992 sebagai radikal bebas dengan sifat
neurotransmitter dan ternyata berperan penting pada ketahanan umum serta imunomodulasi.
Dengan demikian senyawa ini terkait pada banyak proses peradangan. Misalnya NO berperan pada
aterosklerosis, hipertensi, ARDS (adult respiratory distress syndrome), radang usus kronis, ALS (amyotrofe
laterale sclerosis), rema dan penyakit auto-imun lain. Gas bermolekul kecil ini mudah melintasi
dinding sel dan akibat elektron bebasnya bersifat radikal dan instabil dengan masa paruhnya yang
singkat sekali (<500 msec). NO bereaksi sangat cepat dengan a.l. oksigen dan superoksida (O2
-
) dan
membentuk metabolit, seperti nitrit (NO2
-
), nitrat (NO3
-
) dan peroxynitrit (ONOO-
). Selanjutnya NO
juga mengaktivasi enzim guanilatsiklase.
NO dibebaskan pada reaksi oksidasi dari asam amino arginin di bawah pengaruh enzim NO-sintetase
sebagai berikut:
l-arginin ––––––––––> l-citrulin + *N=O
Dalam darah NO dengan pesat mengikat pada ion-ferro dari haem (= bagian nonprotein dari hemoglobin)
atau zat-zat thiol dengan pembentukan nitrosothiol yang bersifat lebih stabil (masa paruhnya
lebih panjang daripada NO). Senyawa ini dapat mengaktivasi guanilatsiklase yang menstimulisasi
pengubahan GTP menjadi “second messenger” cGMP (cyclic guanil-mono-phosphate). cGMP ini berperan
di banyak proses tubuh, a.l. di paru-paru dengan efek relaksasi langsung atas otot polos.Lihat jugaBab
43. Zat-zat Androgen, boks Viagra.
*NO dalam paru. NO yang berasal dari endotel berefek vasodilatasi bronchi sehingga berperan pada
regulasi lokal dan umum dari paru-paru. Gas ini merupakan neurotransmitter utama dari sistem non-
adrenerg dan non-kolinerg yang menghambat penciutan bronchi berlebihan. NO dibentuk dalam
jumlah besar pada sel-sel beradang, oleh sebab itu penting pada ketahanan paru terhadap mikroorganisme dan sel-sel tumor, yang dapat dimusnahkannya. Dalam hal ini, makrofag berperan sentral,
sebab berdaya membentuk berlebihan NO sesudah aktivasi oleh a.l. sitokin, seperti IFN-gamma, IL-1-
beta, atau TNF-alfa. NO dalam konsentrasi tinggi bersifat mematikan sel secara langsung.
Peranan NO pada patologi asma yaitu besar,namun makna sebenarnya belum begitu jelas sebab
efeknya dapat bertentangan. Misalnya di dalam paru NO memicu penciutan saluran pernapasan
akibat stimulasi peradangan, sedangkan di pihak lain merelaksasi otot polos kecil bronchi dengan efek
dilatasi. NO juga dapat meningkatkan permeabilitas dari pembuluh kecil yang terlibat dalam proses
peradangan asma serta berfungsi imunomodulasi, yang turut bertanggungjawab atas terjadi dan
terpeliharanya asma. Caranya ialah dengan mengakibatkan dan memperkuat disbalans (terganggunya
keseimbangan) antara limfo-T-helpercells (helper-1 dan helper-2). Akhirnya diperkirakan bahwa
kadar tinggi NO menstimulasi obstruksi bronchi dan hiperreaktivitas aspesifik.
* stres oksidatif. Masalah ini penting pada asma parah dan COPD yang dapat meningkatkan resistensi
kortikosteroid. Bila timbul terlalu banyak FR, seperti pada perokok, maka jumlah antioksidansia faal
tidak mencukupi lagi untuk menginaktifkannya. Epitel paru-paru dengan bulu-bulu getar akan
dirusak, sedangkan sel-sel lendir justru bertambah banyak. Produksi lendir bertambah dengan efek
peningkatan jumlah makrofag yang membentuk zat-zat chemotactis. Oleh sebab itu granulosit „ditarik“
ke paru-paru yang bersama makrofag membentuk enzim peroksidase dan elastase dalam jumlah
besar. Pada proses ini terbentuk pula FR yang toksik (merusak) bagi enzim-pelindung anti-elastase.
Dengan demikian elastase „berkuasa“ dan merombak serat elastin di dinding alveoli.
Radikal oksigen toksik ini selain pada COPD, juga memegang peranan penting pada
patogenesis dari berbagai penyakit, a.l. aterosklerosis, katarak dan gagal hati akut akibat intoksikasi
parasetamol.
Antioksidansia. Proses perusakan ini oleh FR dapat dihambat dengan jalan memberikan
antioksidansia tambahan dari luar (eksogen), a.l. vitamin A, vitamin E, selenium, seng dan asetilsistein.
Yang terakhir yaitu precursor dari glutation dan berkhasiat mengurangi produksi FR yang meningkat
oleh makrofag alveoler di bawah pengaruh asap sigaret.
sebab daya kerja anti-oksidan ini di atas hanya lemah, usaha mencari anti-oksidan yang
lebih kuat masih dalam perkembangan (Kirkham and Rahman, 2006)47.
Penanganan COPD
Tindakan umum yang dapat diambil untuk
menghindari perusakan lebih jauh dari
saluran pernapasan dan paru-paru yaitu
kurang lebih sama dengan langkah-langkah
preventif terhadap asma. Yang mutlak yaitu
berhenti merokok, juga menjauhi zat-zat
perangsang lainnya.
Pengobatan. Pada terapi COPD, tujuan utama yaitu bronchodilatasi melalui inhalasi
β2
-mimetika atau antikolinergika untuk mengurangi obstruksi bronchi. Pada eks-perokok ipratropium lebih efektif daripada β2
-
mimetika untuk memperbaiki fungsi paruparu (Rennard, 1996). Kombinasi kedua
jenis obat pada umumnya berefek lebih baik
(aditif). Teofilin bila perlu dapat ditambahkan
dan sebaiknya sebagai sediaan-retard agar
pelepasan obat berlangsung secara teratur.
*Exacerbatio (serangan) perlu diobati secara intensif dengan bronchodilator (β2-mimetika, ipratropium) bersama kur oral kortikosteroid dengan dosis tinggi. Antibiotik
baru dipakai bila ada gejala infeksi
bakteriil dan bila kedua obat sesudah 48 jam
tidak menghasilkan (cukup) efek.
Pada serangan akut dengan bakteri biasanya diberikan antibiotik selama minimal 10
hari agar infeksi tidak kambuh.
Antibiotik terpilih yang sering dipakai
yaitu co-amoxiclav, kotrimoksazol, sefiksim, sefradin atau sefaklor yang semuanya
berkhasiat bakterisid. Doksisiklin bekerja
bakteriostatik dan sebaiknya hanya diberikan
bila daya tahan pasien masih baik, yaitu
memiliki cukup granulosit dan limfosit.
Bila ada komponen asma, pemakaian
kortikosteroida inhalasi (ICS) sangat bermanfaat untuk mengurangi HRB dan menghadapi peradangan di saluran pernapasan.
Pada permulaan bab ini telah diungkapkan
bahwa pemakaian ICS pada COPD tidak
memberikan efek terhadap fungsi paru, tetapi timbul pertanyaan apakah fungsi paru
merupakan parameter yang cocok untuk
mengevaluasi efek pengobatan dengan steroid, sebab obat-obat ini juga mampu
memperbaiki kwalitas hidup, menurunkan
jumlah eksaserbasi dan angka kematian.
Juga ternyata bahwa masih cukup banyak
penderita COPD di obati dengan kortikosteroida inhalasi.28 Di samping itu dewasa ini
mulai diterima pengertian efektivitas dari
tambahan antioksidansia untuk melindungi
paru-paru terhadap efek merusak dari radikal bebas.
Peradangan dan stres oksidatif memegang
peranan penting pada patogenesis dan progres COPD. Radikal oksigen reaktif yang
dihirup melalui asap rokok dan radikal oksigen yang dibentuk endogen oleh sel-sel
radang memicu beban yang meningkat
pada paru-paru penderita. Sel radang ini,
pada COPD terutama makrofag, limfo-T CD8+
dan sel neutrofil membentuk mediator-mediator seperti interleukin-8, TNF-alfa dan LT-B4,
yang selanjutnya menarik lagi sel radang dan
meningkatkan lebih lanjut produksi radikal
oksigen reaktif, lihat selanjutnya boks.
Akibatnya ialah perubahan struktural
pada sel-sel paru, seperti kontraksi jaringan
otot polos, aktivasi mastcells, bertambahnya
permeabilitas epitel alveoli dan pelarutan
sel (lysis) yang akhirnya merusak sel secara
irreversibel.
Selain itu, stres oksidatif menurunkan daya tahan imunologik di paru, yang meningkatkan risiko akan infeksi dan pemburukan
fungsi paru.
pemakaian kontinu dari asetilsistein
(NAC) mampu mengurangi kumatnya (exacerbatio) penyakit, terutama bila bronchitis
diakibatkan oleh merokok. Suatu studi besar-besaran (BRONCUS-studi) telah menemukan a.l. bahwa NAC (600 mg sehari)
memberikan efek baik pada penderita COPD
parah dengan serangan frekuen dibanding
yang tidak memakai ICS.37,38
OBAT ASMA DAN COPD
berdasar mekanisme kerjanya, obat asma
dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu
zat-zat yang menghindari degranulasi mastcells
(anti-alergika) dan zat-zat yang meniadakan efek
mediator (bronchodilator, antihistaminika dan
kortikosteroida). Penggolongan lengkapnya
yaitu sebagai berikut:
1. Anti-alergika yaitu zat-zat yang berkhasiat menstabilisasi mastcells, sehingga tidak pecah dan mengakibatkan terlepasnya
histamin dan mediator peradang lainnya.
Yang terkenal yaitu kromoglikat dan nedocromil, namun juga antihistaminika (ketotifen,
oksatomida) dan β2-adrenergika (lemah) memiliki khasiat ini. Obat ini sangat berguna untuk
prevensi serangan asma dan rhinitis alergik
(hay fever).
2. Bronchodilator
Obat-obat ini mengatasi penyempitan
bronchi dan dengan demikian juga berfungsi
melindungi bronchi.
Pelepasan kejang dan bronchodilatasi dapat dicapai dengan 3 cara, yakni merangsang sistem adrenergik dengan adrenergika
(simpatikomimetika) atau melalui penghambatan sistem kolinergik dengan antikolinergika
(antagonis reseptor muskarin), juga dengan
teofilin.
2a. Agonis-β2
-adrenergik (β-mimetika): salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol, klenbuterol(Spiropent) dan indakaterol (Onbrez Breezhaler). Juga salmeterol dan formoterol (longacting).19
Obat-obat ini bekerja selektif terhadap reseptor-β2
adrenergik (bronchospasmolysis) dan
praktis tidak terhadap reseptor-β1
(stimulasi
jantung). Obat dengan efek terhadap kedua
reseptor sebaiknya jangan dipakai lagi
berhubung efeknya terhadap jantung, seperti efedrin, isoprenalin dan orsiprenalin. Pengecualian yaitu adrenalin (reseptor -α dan
-β) yang sangat efektif pada keadaan kemelut.Mekanisme kerjanya yaitu melalui stimulasi reseptor β2
yang banyak ada di
trachea (batang tenggorok) dan bronchi,
yang memicu aktivasi dari adenilsiklase.
Enzim ini memperkuat pengubahan adenosintrifosfat (ATP) yang kaya enersi menjadi
cyclic-adenosine-monophosphat (cAMP) dengan
pembebasan enersi yang dipakai untuk
proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan beberapa efek melalui enzim fosfokinase, a.l.
bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh mastcells. Lihat Gambar
40-1: Sistem cAMP.
pemakaian nya semula sebagai monoterapi
kontinu, yang ternyata secara berangsur
meningkatkan HRB dan akhirnya memperburuk
fungsi paru, sebab tidak menanggulangi
peradangan dan peningkatan kepekaan bagi
alergen pada pasien alergis. Oleh sebab
itu sejak beberapa tahun hanya dipakai
terhadap serangan dan sebagai obat pemeliharaan dalam kombinasi dengan zat antiradang, yaitu kortikosteroida inhalasi. Kombinasi dengan kortikosteroid yaitu juga
untuk menghindari timbulnya toleransi (desensitasi) pada pemakaian kontinu.
Efek samping dari β2
-agonis yaitu antara
lain tremor otot, tachycardia, hipokalemia
dan kegelisahan.
Kehamilan dan laktasi. Salbutamol dan terbutalin dapat dipakai oleh wanita hamil,
begitu pula fenoterol dan heksoprenalin
sesudah minggu ke-16. Salbutamol, terbutalin
dan salmeterol mencapai air susu ibu. Dari
obat lainnya belum ada cukup data
untuk menilai keamanannya pada binatang
percobaan; salmeterol ternyata merugikan
janin.
2b. Antikolinergika: ipratropium (Atrovent),
tiotropium (Spiriva) dan deptropin. Di dalam selsel otot polos ada keseimbangan antara
sistem adrenergik dan sistem kolinergik.
Bila sebab sesuatu sebab reseptor β2
dari
sistem adrenergik terhambat, maka sistem
kolinergik akan berkuasa dengan akibat
bronchokonstriksi. Antikolinergika memblok
reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergik
di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf
adrenergik menjadi dominan dengan efek
bronchodilatasi.
pemakaian nya terutama untuk terapi
pemeliharaan HRB, namun juga berguna untuk
meniadakan serangan asma akut (melalui
inhalasi dengan efek pesat). Ipratropium dan
tiotropium khusus dipakai sebagai inhalasi,
kerjanya lebih panjang daripada salbutamol.
Kedua obat ini terutama dipakai terhadap COPD, namun bagi kebanyakan penderita asma obat-obat ini kurang efektif.
Kombinasinya dengan β2
-mimetika sering
kali dipakai sebab menghasilkan efek
aditif. Deptropin(Brontin) berkhasiat mengurangi HRB namun kerja spasmolitiknya ringan,
sehingga diperlukan dosis tinggi dengan
risiko efek samping yang lebih tinggi pula.
Adakalanya senyawa ini masih dipakai
untuk anak-anak kecil dengan hipersekresi
dahak, yang belum dapat diberikan terapi
melalui inhalasi.
Efek samping yang tidak dikehendaki yaitu
sifatnya yang mengentalkan dahak dan tachycardia, yang tidak jarang mengganggu
terapi. Begitupula efek atropin lainnya seperti
mulut kering, obstipasi, sukar berkemih dan
penglihatan kabur akibat gangguan akomodasi. pemakaian nya sebagai inhalasi meringankan efek samping ini.
Sejak beberapa dekade antikolinergika
dianggap sebagai bronchodilator of choice
untuk pengobatan COPD, namun kurang diminati oleh pasien asma disebabkan mulai
kerjanya lambat dan efeknya yang kurang baik
bagi fungsi paru bila dibandingkan dengan
beta-agonis (dihisap). Oleh sebab itu betaagonis long-acting yang dikombinasi dengan
glukokortikoid menjadi pengobatan standar
bagi pasien asma yang kurang memberikan
respons terhadap glukokortikoid saja.
Disamping tiotropium yang bekerja panjang, sejak tahun 2013 telah dipasarkan
obat inhalasi yang mengandung parasimpatikolitikum glikopironium (Seebri) dan
aklidinium (Eklira Genuair). Kedua-duanya
dipakai sebagai obat pemeliharaan terhadap COPD.
Untuk indikasi yang sama juga tersedia
senyawa beta-2-simpatikomimetikum kerja
panjang olodaterol (Striverdi Respimat) yang dipakai melalui inhalator dengan dosis 5
mcg sehari.
2c. Derivat ksantin:teofilin, aminofilin
Khasiat bronchorelaksasinya diperkirakan
berdasar blokade reseptor adenosin. Selain itu, teofilin –seperti juga kromoglikat–
mencegah meningkatnya hiperreaktivitas
dan berdasar ini bekerja profilaktik.
Resorpsi dari turunan teofilin sangat bervariasi; yang terbaik yaitu teofilin microfine
(particle size: 1-5 micron) dan garam-garamnya
aminofilin dan kolinteofilinat.
pemakaian nya secara terus-menerus pada
terapi pemeliharaan ternyata efektif mengurangi frekuensi serta hebatnya serangan.
Pada keadaan akut (injeksi aminofilin) dapat
dikombinasi dengan obat asma lainnya, namun
kombinasi dengan β2-mimetika hendaknya
dipakai dengan hati-hati berhubung kedua jenis obat saling memperkuat efek terhadap jantung. Kombinasinya dengan efedrin (Asmadex, Asmasolon) praktis tidak meningkatkan efek bronchodilatasi, sedangkan
efeknya terhadap jantung dan efek sentralnya
sangat diperkuat. Oleh sebab itu, sediaan
kombinasi demikian tidak dianjurkan, terutama bagi para manula.
Tablet sustained release (Euphyllin retard 125-
250 mg) yaitu efektif untuk memperoleh
kadar darah yang konstan, khususnya pada
waktu tidur dan dengan demikian mencegah
serangan tengah malam dan ‘morning dip’.
Kehamilan dan laktasi. Teofilin aman bagi
wanita hamil. sebab dapat mencapai air
susu ibu, sebaiknya ibu menyusui bayinya
sebelum minum obat ini.
3. Kortikosteroid: hidrokortison, prednison,
deksametason
Kortikosteroid berkhasiat meniadakan efek
mediator, seperti peradangan dan gatal-gatal.
Khasiat antiradang ini berdasar blokade
enzim fosfolipase-A2, sehingga pembentukan
mediator peradangan prostaglandin dan
leukotriën dari asam arachidonat tidak terjadi
(Lihat Bab 21, Analgetika antiradang/rema).
Lagipula pelepasan asam ini oleh mastcells
juga dihalangi. Singkatnya kortikosteroid
menghambat mekanisme kegiatan alergen
yang melalui IgE dapat memicu degranulasi mastcells, juga meningkatkan kepekaan reseptor-β2 hingga efek β-mimetika diperkuat.
pemakaian nya terutama bermanfaat pada
serangan asma akibat infeksi virus, selain itu juga pada infeksi bakteri terhadap
reaksi peradangan. Pada reaksi alergi lambat
(type IV) juga efektif. Untuk mengurangi
hiperreaktivitas bronchi, zat-zat ini dapat
diberikan per inhalasi atau peroral. Dalam
kasus gawat dan status asthmaticus (kejang
bronchi), obat ini diberikan secara i.v. (per
infus), kemudian disusul dengan pemberian
oral.
pemakaian oral untuk jangka waktu lama
hendaknya dihindari, sebab menekan fungsi anak ginjal dan dapat mengakibatkan
osteoporosis, maka hanya diberikan untuk
satu kur singkat. Pada serangan hebat dan
status asthmaticus, obat ini tidak dapat dipakai . Lazimnya pengobatan dimulai dengan
dosis tinggi, yang dalam waktu 2 minggu
dikurangi sampai nihil. Bila perlu kur singkat
demikian dapat diulang lagi. Lihat selanjutnya Bab 46, ACTH dan Kortikosteroida.
Efek samping kortikosteroid pada penggunaan jangka waktu lama terdiri dari osteoporosis (ini di atas), retensi cairan,
meningkatkan nafsu makan dan berat badan,
borok lambung, hipertensi, katarak, diabetes
dan gangguan psikis. Frekuensi dari efek
samping ini meningkat dengan usia.
Usaha dilakukan untuk mengembangkan
senyawa kortikoid dengan efek samping
lebih sedikit, misalya yang dimetabolisasi
cepat di saluran pernapasan („soft steroids“).
Hambatan utama dari terapi penderita
asma parah dan COPD yaitu resistensi kortikosteroid (Barnes and Adcock, 2009)45. Asma
yang „steroid resistance“ ini disebabkan oleh
menurunnya khasiat anti-peradangan dari
kortikosteroid.
*Kortikosteroid inhalasi: beklometason
(Qvar), triamsinolon, flunisolida (Aerobid) dan
budesonida (Pulmicort). flutikason (Aerospan,
Flovent),mometason (Asmanex) dan siklesonida
(Alvesco).
Sejak beberapa tahun obat-obat ini telah
mendesak β2-mimetika sebagai terapi utama,
sebab juga dapat mencegah peradangan lokal di bronchi. Keuntungannya dibandingkan kortikosteroid oral yaitu efek lokalnya yang langsung tanpa diserap ke dalam
darah. Dengan demikian tidak memicu
efek samping sistemik serius (osteoporosis,
tukak dan perdarahan lambung, hipertensi,
diabetes dan lain-lain) walaupun absorpsi
dalam jumlah kecil di paru tidak dapat
dihindari.
Efek samping dari kortikosteroid inhalasi
terdiri dari efek lokal akibat deposit dari obat
ini pada selaput mulut dan tenggorok (suara
serak, kandidiasis mulut dan tenggorok,
batuk) dan efek sistemik (a.l. penipisan kulit dan fragilitas pembuluh kulit terutama
pada lansia, katarak dan glaukoma (pada
pemakaian intra-okuler), pneumonia pada
penderita COPD, gangguan metabolisme
(glukosa, insulin, trigliserida) dan gangguan
psikis (eufori dan depresi).
Daya kerja dari triamsinolon dan flunisolida paling rendah, beklometason dan budesonida hampir seimbang, sedangkan flutikason 2 kali lebih kuat dari beklometason.
4. Mukolitika dan ekspektoransia: asetil-/
karbosistein, mesna, bromheksin, guaifenesin, ambroksol, kaliumiodida dan amoniumklorida.
Semua obat ini mengurangi kekentalan
dahak, mukolitika dengan merombak mukoprotein dan ekspektoransia dengan mengencerkan dahak, sehingga pengeluarannya
dipermudah. Obat ini dapat meringankan
perasaan sesak napas dan terutama bermanfaat pada serangan asma hebat yang bisa
fatal bila sumbatan lendir sedemikian kental
tidak dapat dikeluarkan. Kaliumiodida sebaiknya jangan dipakai untuk jangka
waktu lama berhubung efek sampingnya
(udema, urticaria, acne).
Penanganan simtomatik dengan menghirup uap air panas dapat membantu pencairan
dahak yang kental sehingga lebih mudah
dikeluarkan. Penderita dianjurkan untuk berbatuk guna mengeluarkan dahak. Lihat juga
Bab 41, Obat-obat Batuk.
5. Antihistaminika: ketotifen, oksatomida
Obat-obat ini memblokir reseptor histamin
(H1
-receptor blockers) dan dengan demikian
mencegah efek bronchokonstriksi. Antihistaminika sangat efektif terhadap sejumlah
gejala rhinitis allergica (hay fever), urticaria,
kepekaan terhadap obat-obat (rash), pruritus
dan gigitan/sengatan serangga. namun efeknya pada asma umumnya terbatas dan
kurang memuaskan, sebab antihistaminika
tidak mencegah efek bronchokonstriksi dari
mediator lain yang dilepaskan mastcells.
Banyak antihistaminika juga memiliki efek
antikolinergik dan sedatif, mungkin inilah
sebabnya mengapa kini masih agak banyak
dipakai pada terapi pemeliharaan. Ketotifen dan oksatomida berkhasiat menstabilisasi mastcells, oksatomida bahkan bekerja antiserotonin dan antileukotriën. Antihistaminika lain (cetirizin, azelastin) pun memiliki khasiat antileukotriën. Lihat juga Bab
51, Antihistaminika.
Antihistaminika generasi pertama (mis.
klorfeniramin, prometazin) memiliki khasiat
anti-muscarinic dan dapat menembus barrier darah-otak, sehingga mengakibatkan pusing dan gangguan pergerakan (psikomotor
impairment). Generasi ketiga dari senyawasenyawa ini (mis. loratadin, setirizin, feksofenadin) tidak memiliki efek ini dan praktis
tidak memicu perasaan pusing sebab
tidak menembus barrier darah-otak.
6. Zat-zat antileukotriën (LT)
Pada pasien asma leukotriën turut memicu bronchokonstriksi dan sekresi mucus. berdasar fakta ini para sarjana telah
mengembangkan obat-obat „baru“, yaitu antagonis leukotriën yang bekerja spesifik dan
efektif pada terapi pemeliharaan terhadap
asma.
Untuk penanganan rematik, para ahli berupaya mensintesis obat-obat yang selain
berdaya antiprostaglandin, juga bersifat antileukotriën (lihat juga Bab 21). Daya kerja
antileukotriën bisa berdasar penghambatan sintesis LT dengan jalan blokade enzim
lipoksigenase atau berdasar penempatan
reseptor LT dengan LT C4/D4-blocker.
a. Lipoksigenase-blocker, misalnya antihistaminika generasi-2, yang disamping
memblok reseptor-H2 juga menghambat
pembentukan leukotriën dan mediator
radang lainnya (prostaglandin, kinin).
Beberapa contohnya yaitu setirizin, loratadin, azelastin (Astelin) dan ebastin. Lihat
juga Bab 51, Antihistaminika.
b. LT-receptorblocker (leukotriënreceptorantagonis LTRA) yang kini tersedia yaitu
montelukast, zafirlukast (Accolate) dan pranlukast (Ultair). Obat-obat anti-asma dari
golongan ini berkhasiat menempati reseptor LTB4 dan/atau LT-cysteinyl (C4,
D4 dan E4), lihat Bab 21. Obat2 rema.
Antagonis leukotriën ini mengurangi
efek konstriksi bronchi dan inflamasi dari
LTD4.
MONOGRAFI
1. ANTI ALERGIKA
1a. Kromoglikat: cromolyn sodium, Intal, Lomudal/Lomusol
Zat sintetik ini merupakan keturunan
dari khellin, suatu zat dengan kerja bronchospasmolitis yang ada dalam biji saga
(Amni visaga). Kromoglikat berkhasiat menstabilisasi membran mastcell, sehingga
menghalangi pelepasan mediator vasoaktif,
seperti histamin, serotonin dan leukotriën,
pada waktu terjadinya reaksi antigen-antibody.
pemakaian . Kromoglikat sangat efektif
sebagai obat pencegah serangan asma dan
bronchitis yang bersifat alergis, conjunctivitis/rhinitis allergica (hay fever) dan alergi
akibat bahan makanan. Untuk profilaksis
yang optimal, obat ini perlu diberikan
minimal 4 kali sehari yang efeknya baru
nyata sesudah 2-4 minggu. Sering kali dosis
bronchodilator dan prednison dengan ini
dapat dikurangi. pemakaian nya tidak boleh dihentikan dengan tiba-tiba sebab dapat
memicu serangan. Pada serangan akut, kromolin tidak efektif sebab tidak memblok
reseptor histamin.
Dahulu pemakaian nya cukup banyak sebab keamanannya yang baik, namun akhirakhir ini menurun drastis sebab tersedianya
obat inhalasi kortikosteroid yang lebih efektif
terutama bagi anak-anak.
Resorpsi. Di dalam usus tidak terjadi resorpsi. Dari suatu dosis inhalasi (serbuk
halus), senyawa ini hanya 5-10% mencapai bronchi dan diserap, yang segera diekskresikan lewat urin dan empedu secara
utuh. Plasma-t½ 1,5-2 jam, namun efeknya
bertahan 6 jam.
Efek samping berupa rangsangan lokal pada selaput lendir tenggorok dan trachea,
dengan gejala a.l. perasaan kering, batukbatuk, kadang-kadang kejang bronchi dan
serangan asma selewat. Untuk mencegah hal
ini terlebih dahulu, dapat dipakai inhalasi
salbutamol. Rangsangan mukosa dapat terjadi pada pemakaian nasal (Rynacrom, Lomusol) dan pemakaian pada mata (Opticrom).
Wanita hamil dapat memakai kromoglikat.
Dosis: inhalasi minimal 4 dd 1 puff (20 mg)
sebagai serbuk halus dengan memakai
alat khusus (spinhaler), atau sebagai larutan
(aerosol). Nasal: 4 dd 10 mg serbuk dan untuk
mata 4-6 dd 1-2 tetes dari larutan 2%.
* Nedocromil (Tilade) yaitu senyawa dicarbonic acid, sebagai turunan kromoglikat
(1986). Daya kerja dan pemakaian nya sama,
begitupula efek-efek sampingnya. Dosis: tracheal 4 dd 4 mg (garam di-Na).
2.Adrenergika
2a. Adrenalin: epinefrin, *Lidonest 5%
Zat adrenergik dengan efek alfa + beta ini
yaitu bronchodilator terkuat dengan kerja
cepat namun singkat dan dipakai untuk
serangan asma hebat. Sering kali dikombinasi
dengan tranquillizer peroral untuk mengatasi
rasa takut dan cemas yang menyertai serangan. Secara oral, adrenalin tidak aktif.
Lihat selanjutnya Bab 31, Adrenergika dan
Adrenolitika.
Efek samping berupa efek sentral (gelisah,
tremor, nyeri kepala) dan terhadap jantung
(palpitasi, aritmia), terutama pada dosis lebih
tinggi. Timbul pula hiperglikemia, sebab efek
antidiabetika oral diperlemah.
Dosis: pada serangan asma i.v. 0,3 ml dari
larutan 1:1000 yang dapat diulang dua kali
setiap 20 menit (tartrat).
2b. Efedrin: *Asmadex, *Asmasolon, *Bronchicum
Derivat adrenalin ini memiliki efek sentral
yang lebih kuat dengan efek bronchodilatasi
lebih ringan dan bertahan lebih lama (4 jam).
Efedrin dapat diberikan secara oral, maka
banyak dipakai sebagai obat asma (bebas
terbatas, tanpa resep) dalam berbagai sediaan
populer, walaupun efek sampingnya dapat
membahayakan.
Resorpsi baik dan dalam waktu ½-1 jam
sudah terjadi bronchodilatasi. Di dalam hati
sebagian zat dirombak; ekskresinya terutama
lewat urin secara utuh. Plasma-t½ 3-6 jam.
Efek samping. Pada orang yang peka, efedrin
dalam dosis rendah sudah dapat menim-
bulkan kesulitan tidur, tremor, gelisah dan
gangguan berkemih. Pada overdosis timbul
efek berbahaya terhadap SSP dan jantung
(palpitasi).
Dosis: 3-6 dd 25-50 mg, anak-anak 2-3 mg/
kg/hari dalam 4-6 dosis, dalam tetes hidung
(anti-mampat) larutan 1%, tidak boleh dipakai untuk jangka waktu lama.
* Fenilpropanolamin (norefedrin, *Koldex, Triaminic) yaitu derivat tanpa gugusan -CH3
dengan kerja dan pemakaian yang sama,
namun bertahan lebih lama. Efek sentralnya
lebih ringan. Obat ini banyak ada dalam sediaan anti-pilek dan anti-selesma,
dalam kombinasi dengan analgetika, antihistaminika dan/atau obat batuk. Dosis: 3 dd
25-50 mg (HCl), tetes hidung 1-3%.
2c. Isoprenalin: Isuprel, Aleudrin
Derivat ini (1949) mempunyai efek β1
+ β2-adrenergik dan memiliki daya bronchodilatasi baik, namun resorpsinya di usus
buruk dan tidak teratur. Resorpsinya dari
mulut (oromukosal) sebagai tablet atau larutan
agak lebih baik serta cepat dan efeknya sudah
timbul sesudah beberapa menit dan bertahan
sampai 1 jam.
pemakaian nya sebagai obat asma sudah
terdesak oleh adrenergika dengan khasiat
spesifik terhadap reseptor-β2 (bronchi) dan
praktis tanpa efek β-1 (jantung), sehingga lebih
jarang memicu efek samping. Turunan
berikut juga dianggap obsolet dan sebaiknya
jangan dipakai lagi.
* Orsiprenalin (metaproterenol, Alupent, *Silomat comp) yaitu isomer-isoprenalin dengan
resorpsi lebih baik, namun efeknya dimulai
lebih lambat (oral sesudah 15-20 menit) namun
bertahan lebih lama, sampai 4 jam. Mulai
kerjanya sesudah 10 menit melalui inhalasi
atau injeksi. Dosis: 4 dd 20 mg (sulfat), i.m.
atau s.c. 0,5 mg yang dapat diulang sesudah ½
jam, inhalasi 3-4 dd 2 semprotan.
3. Beta2-Mimetika
3a. Salbutamol: Ventolin, Volmax, Salbuven,
*Ventide
Derivat isoprenalin ini merupakan adrenergikum pertama (1968) yang pada dosis biasa memiliki daya kerja yang lebih
kurang spesifik terhadap reseptor-β2. Selain
berdaya bronchodilatasi baik, salbutamol
juga memiliki efek lemah terhadap stabilisasi
mastcell, maka sangat efektif untuk mencegah
maupun meniadakan serangan asma. Dewasa ini obat ini sudah lazim dipakai
dalam bentuk aerosol sebab efeknya pesat
dengan efek samping yang lebih ringan
daripada pemakaian per oral. Pada saat
inhalasi serbuk halus atau larutan, ±80% dari
semprotan (puff) terendap pada langit-langit
tenggorok dan ±20% mencapai trachea, namun
hanya 7-8% dari bagian terhalus (1-5 mikron)
tiba di bronchioli dan paru-paru.
Efek samping jarang terjadi dan biasanya
berupa nyeri kepala, pusing-pusing, mual,
dan tremor tangan. Pada overdosis dapat
terjadi stimulasi reseptor β-1 dengan efek
kardiovaskuler: tachycardia, palpitasi, aritmia dan hipotensi. Oleh sebab itu, sangat
penting untuk memberikan instruksi yang
cermat agar jangan mengulang inhalasi
dalam waktu yang terlalu singkat, sebab
dapat terjadi tachyfylaxis (efek obat menurun
dengan pesat pada pemakaian yang terlalu
sering).
Dosis: 3-4 dd 2-4 mg (sulfat), inhalasi 3-4
dd 2 semprotan dari 100 mcg, pada serangan
akut 2 puff yang dapat diulang sesudah 15
menit. Pada serangan hebat i.m. atau s.c. 250-
500 mcg, yang dapat diulang sesudah 4 jam.
3b. Terbutalin: Bricasma, Bricanyl
Derivat metil dari orsiprenalin ini (1970)
juga berkhasiat β-2 selektif. Per oral mulai
kerjanya sesudah 1-2 jam, sedangkan lama
kerjanya ±6 jam. Lebih sering mengakibatkan
tachycardia.
Dosis: 2-3 dd 2,5-5 mg (sulfat), inhalasi 3-4
dd 1-2 semprotan dari 250 mcg, maks. 16 puff
sehari, s.c. 250 mcg, maks. 4 kali sehari.
* Fenoterol (Berotec,*Berodual) yaitu derivat
terbutalin dengan khasiat dan pemakaian
yang sama. Efeknya lebih kuat dan bertahan
±6 jam, lebih lama daripada salbutamol
(±4 jam). Dosis: 3 dd 2,5-5 mg (bromida),
suppositoria malam hari 15 mg dan inhalasi
3-4 dd 1-2 semprotan dari 200 mcg. *Berodual
= fenoterol 50 + ipratropium 20 mcg per puff.
3c. Salmeterol:Serevent, *Seretide
Senyawa long-acting ini (1990) kerjanya
cepat (sesudah 10-20 menit) dan bertahan selama minimal 12 jam. Pada asma bronchial
perlu dikombinasi dengan kortikoida inhalasi.
Bila perlu dapat diberikan bersamaan obat
asma kerja singkat (salbutamol) atau dengan
suatu antikolinergikum (ipratropium, tiotropium).
Dosis: pemeliharaan 2 dd 50 mcg, pada
COPD parah: 2 dd 100 mcg; anak-anak di atas
4 tahun 2 dd 50 mcg.
* Seretide =salmeterol 50 + fluticason 100-
250-500 mcg per puff (serbuk inhalasi).
3d. Prokaterol: Meptin
Derivat kuinolin ini memiliki daya kerja
bronchodilatasi yang sangat kuat dan hanya
dipakai secara oral dengan dosis 2 dd 50
mcg.
3e. Teofilin: 1,3 dimetilksantin, Quibron-T/SR,
Theobron
Alkaloid ini (1908) ada bersama kofein (= trimetilksantin) di daun teh (Yun.
theos = Allah, phyllon = daun) dan memiliki
sejumlah khasiat, antara lain berefek spasmolitis terhadap otot polos, khususnya otot
bronchi, menstimulasi jantung (efek inotrop
positif) dan mendilatasinya. Teofilin juga
menstimulasi SSP dan pernapasan, serta
bekerja diuretik lemah dan singkat. Kofein
juga memiliki semua khasiat ini walaupun
lebih lemah, kecuali efek stimulasi sentralnya
yang lebih kuat. Obat ini banyak dipakai
sebagai obat prevensi dan terapi serangan
asma9 sejak tahun 1930, terutama di negaranegara berkembang sebab harganya yang
murah. namun pemakaian nya semakin berkurang sebab masalah efek samping dan
tersedianya obat-obat yang lebih efektif
seperti kortikosteroid inhalasi yang menghindari timbulnya efek samping sistemik.
Efek bronchodilatasi tidak berkorelasi
baik dengan dosis, namun memperlihatkan
hubungan jelas dengan kadar darah (dan
kadar di air liur). Luas terapeutiknya sempit
artinya dosis efektif berdekatan dengan dosis
toksik. Untuk efek optimal diperlukan kadar
dalam darah dari 10-15 mcg/ml, sedangkan
pada 20 mcg/ml sudah terjadi efek toksik.
Oleh sebab itu, dianjurkan untuk dosis
ditetapkan secara individual berdasar
kadar dalam darah. Hal ini terutama perlu
pada anak-anak di bawah usia 2 tahun
dan manula di atas 60 tahun, yang sangat
peka terhadap overdosis, juga pada pasien
gangguan hati dan ginjal.
Resorpsi di usus buruk dan tidak teratur.
Itulah sebabnya mengapa bronchodilator
tua ini (1935) dahulu jarang dipakai . Baru pada tahun 1970-an, diketahui bahwa
resorpsi dapat menjadi lebih sempurna bila
dipakai dalam bentuk serbuk microfine (besar partikel 5-10 mikron). Juga pada
pemakaian sebagai larutan, yang seperlunya ditambahkan alkohol 20%. Plasma-t½
3-7 jam, ekskresi berlangsung sebagai asam
metilurat lewat urin dan hanya 10% dalam
keadaan utuh. Teofilin sebaiknya dipakai
sebagai sediaan ‘sustained release’ (walaupun
hasilnya tidak begitu besar) yang menghasilkan resorpsi konstan dan kadar dalam
darah yang lebih teratur.
Efek samping yang terpenting berupa mual dan muntah, baik pada pemakaian oral
maupun rektal atau parenteral. Pada overdosis timbul efek sentral (gelisah, sukar
tidur, tremor dan konvulsi) serta gangguan
pernapasan, juga efek kardiovaskuler, seperti
tachycardia, aritmia dan hipotensi. Anak kecil
sangat peka terhadap efek samping teofilin.
Dosis: 3-4 dd 125-250 mg microfine (retard).
1 g teofilin 0 aq = 1,1 g teofilin 1 aq = 1,17 g
aminofilin 0 aq = 1,23 g aminofilin 1 aq.
*Aminofilin (teofilin-etilendiamin, Phyllocontin
continus, Euphyllin) yaitu garam yang dalam darah membebaskan teofilin. Garam
ini bersifat basa dan sangat merangsang selaput lendir, sehingga per oral sering kali
mengakibatkan gangguan lambung (mual,
muntah), juga pada pemakaian dalam suppositoria dan injeksi intra-muskuler (nyeri!).
Pada serangan asma, obat ini dipakai sebagai injeksi i.v. Dosis: oral 2-4 dd 175-350 mg
dalam bentuk tablet salut (tanpa dikunyah);
pada serangan hebat i.v. 240 mg, rektal 2-3 dd
360 mg. Dosis maks. 1,5 g sehari.
4. Antikolinergika.
Lihat juga Bab 32, Kolinergika dan antikolinergika.
4a Ipratropium: Atrovent, *Berodual, *Combivent
Derivat-N-propil dari atropin ini (1974)
yaitu antagonis-muskarin dan berkhasiat
bronchodilatasi, sebab menghindari pembentukan cGMP yang memicu kon_
striksi. Ipratropin mengurangi hipersekresi
di bronchi, yaitu „efek mengeringkan“ dari
obat antikolinergika, maka sangat efektif
pada pasien yang mengeluarkan banyak
dahak. Khusus dipakai sebagai inhalasi
efeknya dimulai lebih lambat (15 menit)
daripada β2-mimetika. Efek maksimal dicapai
sesudah 1-2 jam dan bertahan rata-rata 6 jam.
Sangat efektif sebagai obat pencegah dan
pemeliharaan, terutama pada bronchitis kronis. Kini zat ini tidak dipakai (lagi) sebagai monoterapi (pemeliharaan), namun selalu bersama kortikosteroid-inhalasi. Kombinasinya dengan β2-mimetika memperkuat
efeknya (adisi).
Resorpsi peroral buruk (seperti semua senyawa amonium kuaterner). Secara tracheal
hanya bekerja setempat dan praktis tidak
diserap. Keuntungannya ialah zat ini juga
dapat dipakai oleh pasien jantung yang
tidak tahan terhadap adrenergika.
Efek samping jarang terjadi dan biasanya
berupa mulut kering, mual, nyeri kepala dan
pusing.
Dosis: inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 20
mcg (bromida).
*Tiotropium (Spiriva) yaitu derivat longacting (2000) yang juga memiliki rumus
amonium kuaterner dan merupakan antagonis muskarin-reseptor kuat yang agak
selektif. Banyak dipakai sebagai bronchodilator kerja panjang yang efektif pada
terapi pemeliharaan COPD.36
Antagonis muskarin-reseptor banyak dipakai pada berbagai gangguan, khususnya
untuk menghambat efek aktivitas parasimpatolitik di saluran cerna dan urin, saluran
pernapasan, mata dan jantung. Dosis: 1 dd 1
serbuk inhalasi (kapsul 18 mcg tiotropium)
dengan memakai alat khusus “HandiHaler” (Ph Wkbl 2002;137:871-5)
5. MUKOLITIKA.
5a Asetilsistein: Fluimucil
Di samping kerja mukolitiknya juga berefek antioksidan dengan melindungi jaringan paru terhadap kerusakan (lanjutan)
pada COPD. Kerjanya langsung berkat
gugus-thiol bebas yang dapat bereaksi dengan gugus elektrofil dari FR reaktif. Berefek
antioksidans tak-langsung sebagai precursor
dari glutathion (melalui zat antara sistein).
Glutathion (GSH), suatu tripeptida dari
tiga asam amino (glutamin, sistein dan glisin)
merupakan anti-oksidans alamiah esensial,
yang, ada di semua sel hewan. GSH
berperan sentral pada berbagai proses biokimiawi, seperti sintesis dari precursor DNA,
prostaglandin dan leukotriën serta inaktivasi
dari obat-obat tertentu, a.l. parasetamol. GSH
merupakan unsur utama dari cairan-UW
(University of Wisconsin), yang dipakai
untuk menyimpan organ-organ donor berkat
daya kerjanya dapat melindungi organ
ini terhadap kerusakan.
Asetilsistein dengan dosis 600 mg sehari
sesudah 2 bulan dapat mengencerkan sputum, mempermudah pengeluarannya dan
meringankan parahnya batuk. Juga berkhasiat mengurangi jumlah kuman di saluran
pernapasan.
Resorpsi dari saluran cerna pesat, namun BA
hanya ±5% akibat FPE yang tinggi. Seperti
semua asam amino distribusi dalam tubuh
baik dengan mencapai kadar tinggi, a.l.
di saluran pernapasan dan sekret bronchi.
Dalam hati diubah menjadi asam amino
sistein, sistin dan taurin yang ekskresinya berlangsung melalui urin.
Mekanisme kerja. Sifat melindungi dari
asetilsistein didasarkan atas peningkatan
persediaan GSH di samping memperkuat
aktivitas antioksidan alamiah lain (a.l. dismutase). Asetilsistein juga dapat ‘melahap’ FR
dan mengurangi produksi FR oleh makrofag
alveoler akibat asap rokok di samping juga
mencegah inaktivasi oksidatif dari anti-elastase,
yang melindungi alveoli terhadap elastase.
sebab itu elastase tidak dapat merombak
dinding alveoli, sehingga timbulnya dan
progresi emfisema dihentikan.
pemakaian . Berkat kerja antioksidansnya
AS yang dikombinasi dengan bronchodilator, pada COPD berkhasiat mengurangi
frekuensi exacerbatio dan keluhan (batuk,
banyaknya dan viskositas dahak), terutama
pada pasien di atas 50 tahun. Di samping
itu dahak kental dicairkan dan produksinya
dikurangi. Bermanfaat pula bagi penderita cystic fibrosis, suatu penyakit keturunan
yang memicu kelenjar-kelenjar tertentu
memproduksi sekret abnormal yang liat,
kental atau padat dan yang gejala-gejalanya
terutama memengaruhi saluran cerna dan
paru-paru.
Asetilsistein juga merupakan zat penawar
(antidotum) terhadap keracunan parasetamol
berdasar peningkatan persediaan glutathion. Senyawa ini mengikat metabolit toksik
dari parasetamol dan dengan demikian dapat menghindari necrosis hati bila diberikan
dalam waktu 10 jam (peroral atau i.v.) sesudah
terjadinya intoksikasi parasetamol.
Efek samping yang paling sering terjadi
yaitu mual dan muntah, maka penderita
tukak lambung perlu waspada. Sebagai obat
inhalasi dapat memicu kejang-kejang
bronchi pada penderita asma. Pada dosis
tinggi (seperti pada intoksikasi parasetamol)
dapat timbul reaksi anafilaktik dengan rash,
gatal, udema, hipotensi dan bronchospasme.
Wanita hamil dan selama laktasi boleh memakai obat ini.
Dosis: oral 3-6 dd 200 mg atau 1-2 dd 600
mg granulat, anak-anak 2-7 tahun 2 dd 200
mg, di bawah 2 thn 2 dd 100 mg. Sebagai
antidotum keracunan parasetamol, oral 140
mg/kg berat badan dari larutan 5%, disusul
dengan 70 mg/kg setiap 4 jam. Lihat juga Bab
41, Obat-obat Batuk.
*Karbosistein(Broncholit, Rhinathiol) yaitu
derivat (1969) dengan sifat dan pemakaian
sama. Juga dapat memutuskan „jembatan“
sulfur dari mukopolisakarida di selaput
lendir lambung, sehingga mucus menjadi
lebih cair.Dosis 2-3 dd 1 g.
6. Antihistaminika.
Lihat juga Bab 51.
6a. Ketotifen: Zaditen
Turunan pizotifen dengan =O pada cincin
tujuh ini (1980) selain memblokir reseptor
histamin, juga menstabilisasi mastcells.
Zat ini sama efektifnya dengan kromoglikat
pada profilaksis asma yang bersifat alergi.
Efeknya baru nyata sesudah 6 minggu. Peroral, efek antikejangnya ringan, oleh sebab itu tidak berguna pada serangan asma
akut. Telah dibuktikan bahwa pemakaian
antihistaminika dalam bentuk inhalasi dapat
menghasilkan bronchodilatasi baik. Dengan
dipakai nya obat ini dosis adrenergika dan
prednison yang diberikan bersamaan dapat
dikurangi.
Resorpsi dari usus cepat dan baik (lebih
dari 90%), namun FPE besar (70%) sehingga
BA hanya ±27%. Zat ini terikat pada protein
untuk 80%, plasma-t½ panjang ialah 8 jam.
Ekskresi melalui urin sebagai glukuronida.
Efek samping berupa rasa kantuk, kadangkala mulut kering dan perasaan pusing yang
hanya selewat. Zat ini dapat memperkuat
efek sedatif dari alkohol. Kombinasi dengan
antidiabetika oral