n dengan ligamen posterior atau
struktur musculotendinosus. Pernyataan lain yaitu bahwa beberapa
dari robekan ini mungkin melibatkan serabut otot atau dikaitkan
dengan fraktur end-plate vertebra nondisplaced atau minimally displaced.
Apapun penyebabnya, kondisi ini memiliki respons yang baik
terhadap masa istirahat yang diikuti dengan dimulainya kembali
aktivitas normal secara bertahap.
Gambar 2.4. Gambaran klinis dari nyeri pinggang akut (tipe I), yang dapat
merusak sejumlah struktur ligamen, otot, atau bahkan memicu patah
tulang end-vertebra. SLR, tes straight leg raising.
TIPE II: INGESTI FLUIDA ORGANIK ATAU IDIOPATIS
Serangan nyeri pinggang bawah dan kekakuan pada otot dapat
diakibatkan oleh aliran cairan yang tiba-tiba ke nukleus pulposus
karena beberapa alasan yang tidak diketahui. Charnley menyarankan
bahwa aliran cairan ini dapat mengganggu serat anular perifer,
yang memicu rasa sakit yang khas. Naylor mengemukakan
bahwa peningkatan penyerapan cairan di dalam nukleus merupakan
faktor penyebab rangkaian kejadian biokimiawi yang dapat memicu
terjadinya penyakit pada
diskus. Bukti tidak langsung menunjukkan bahwa peningkatan
cairan dalam struktur diskus tidak memicu nyeri tulang
belakang.
Gambar 2.5. Penyerapan cairan organik atau idiopatik (tipe II). Mekanisme
ini dapat memicu sebagian besar keluhan nyeri pinggang yang tidak
terdiagnosis atau akibat adanya penyebab yang berbeda.
TIPE III: DISRUPSI ANULUS POSTEROLATERAL
Jika terjadi kegagalan atau terganggunya beberapa serat
annular, iritasi posterolateral di wilayah ini dapat memicu
nyeri pinggang dengan penjalaran ke daerah sakroiliaka, pantat, atau
bagian belakang paha. Rasa sakit yang dirujuk ini disebabkan oleh
stimulasi pelepasan sensorik oleh iritasi mekanis, kimia, atau
inflamasi. Dengan demikian, "referred sciatica", seperti yang disebut
Charnley, dibedakan dari nyeri pada pinggang yang sebenarnya
dengan uji straight leg raising (SLR) dan defisit neuromuskular. Seperti
yang disarankan, rasa sakit yang disebut ini dapat dijelaskan oleh
teori "gate control". Referred sciatica ini dapat sembuh dengan
sendirinya melalui reabsorpsi atau netralisasi iritan dan/atau
fagositosis serta penyembuhan tanpa rasa sakit dari serat anular yang
terganggu.
TIPE IV: TONJOLAN PADA DISKUS
Mekanisme lain yang kemungkinan menjadi penyebab dari
nyeri pinggang bawah yaitu nyeri pinggang yang diakibatkan oleh
tonjolan pada nukleus pulposus yang ditutupi oleh serat annular dan
ligamen posterior longitudinal. "Sciatica akut sejati" mungkin
disebabkan oleh iritasi secara mekanis dan/ atau kimiawi, atau
inflamasi pada akar saraf. Nyeri juga dapat ditemukan di bagian
belakang, pantat, paha, kaki bagian bawah, bahkan kaki, dan
mungkin akan bertambah dengan kondisi batuk dan bersin. Tes SLR
akan didapatkan positif. Dalam situasi ini, pemeriksaan Radiografi
biasanya tidak menunjukkan adanya penyempitan. Traksi atau
manipulasi tulang belakang dapat mengubah mekanika, dan
mungkin bersifat terapeutik. Dengan istirahat, iritasi bisa mereda dan
tetap stabil, atau bisa kembali secara spontan setelah dilakukan
mobilisasi.
Gambar 2.6. Disrupsi anulus posterolateral (tipe III). Garis
putus-putus mewakili kontur normal asli dari diskus. Nyeri
pinggul dan paha merupakan nyeri rujukan dan bukan nyeri
pinggang yang sesungguhnya.
Gambar 2.7. Tonjolan pada diskus (tipe IV). Pada pasien dengan diskus yang
menonjol, anulus akan ikut menonjol hingga memicu iritasi pada akar saraf
sehingga memicu sciatica. Garis putus-putus menunjukkan posisi normal
pinggiran annulus.
TIPE V: SEQUESTERED FRAGMENT (Material Diskus yang
keluar jalur)
Tipe ini merupakan suatu keadaan dimana fragmen sequestra
nukleus polposus yang masih berhubungan dengan .mulus fibrosus
dan terkait dengan proses degeneratif pada diskus. Fragmen ini
dapat bergerak secara acak tergantung besarnya kekuatan yang
dihasilkan pada segmen akibat gerakan aktivitas individu. Gerakan
ini dapat mengiritasi serat anular untuk memicu sequestrum
(dikarenakan pemecahan produk fisik dan kimia) dan menginisiasi
nyeri pinggang dengan atau tanpa sciatica. Sekuestrasi dapat
bergerak, sehingga dapat bersifat asimtomatik atau memicu
beberapa kombinasi keluhan nyeri pada tulang belakang, yaitu nyeri
yang menjalar, dan true radiculopathy. Karena pergerakan fragmen
menunjukkan respon terhadap gaya pada segmen mobile vertebra,
maka dapat dilakukan traksi axial atau manipulasi tulang belakang
segmen mobile untuk menggerakkan sequestrum ini secara
sementara atau permanen ke lokasi yang tidak memicu iritasi
akar saraf.
POSITIVE SLR SURGICAL EXCISION
Gambar 2.8. Sequestered fragmen (diskus yang keluar jalur) (tipe V).
Hasil terapi dengan pembedahan memberi hasil lebih baik
pada pasien dengan tipe V daripada tipe I sampai IV, tetapi
mungkin tidak sebaik pada pasien tipe VI dan tipe VII. Diskus yang
keluar jalur yaitu penjelasan yang memungkinkan terhadap
gambaran klinis dari eksaserbasi dan remisi yang sering ditemui.
Ini juga sebagai penjelasan awal mengapa beberapa pasien
menunjukkan respons yang baik terhadap traksi atau manipulasi
TIPE VI: DISPLACED SEQUESTERED FRAGMENT
(ANCHORED)
Penyebab klinis dan mekanik lainnya dari nyeri pinggang
bawah dan sciatica yaitu bergesernya sekuestrum anulus atau
nucleus ke dalam kanalis vertebralis atau foramen intervertebralis.
Fragmen ini pada tingkat tertentu tetap pada posisinya. Iritasi akar
saraf diakibatkan dari peradangan yang disebabkan oleh tekanan
mekanik, iritasi kimia, respons autoimun, atau kombinasi dari
ketiganya. True sciatica ditandai dengan SLR yang positif. Apabila
fragmen dari diskus intervertebralis mengalami displaced
(sequestration), maka dapat terjadi penyempitan interspace pada
segmen vertebral yang terlibat. Traksi axial, manipulasi, dan
Gambar 2.9. Tipe VI, ada penyerapan dan perpindahan fragmen diskus, tapi
ada beberapa anchoring ligamen sehingga diskus tidak bisa bergerak. Gerakan
fragmen kemungkinan dapat dibantu oleh traksi atau manipulasi
gerakan acak tidak dapat memberi perbaikan. Chymopapain
yang disuntikkan ke dalam ruang diskus mungkin tidak akan
mencapai atau mempengaruhi sequestrum, terutama |ika jaringan
parut atau penyumbatan terjadi pada struktur diskus. Bila keadaan
ini membaik secara spontan, maka hal ini merupakan hasil
fagositosis atau penyesuaian fisiologis struktur saraf terhadap
iritasi.
TIPE VII: DISKUS DEGENERATIF
Degenerasi diskus melibatkan gangguan dari serat annular
fibrus pada diskus yang normal, sehingga diskus tidak lagi mampu
memberi fungsi mekanik yang memadai. Gangguan ini dapat
dikaitkan dengan proses degeneratif pada vertebral atau sendi
intervertebralis. Nyeri mungkin kronis, berselang, atau bahkan
tidak ada.
PENYAKIT DEGENERASI LUMBAL I Diagnosis dan Tata Laksana
60
SPINE PAIN ANALGESICS
» SCIATICA SOMETIMES ARTHRODESIS
± SPINAL STENOSIS
OSTEOPHYTES AND NARROWING
Gambar 2.10. Disk yang degeneratif (tipe VI) dapat merupakan suatu proses
akhir dari efek mekanis dan biologis yang mengalami degenerasi dan
dikaitkan dengan rasa sakit dan disabilitas.
Arthritis juga bisa terjadi pada sendi intervertebralis. Penting
untuk ditekankan bahwa berbagai tahap ini merupakan suatu
tahapan. Sebuah disk dapat bergerak, melambat, berhenti, atau,
dalam beberapa kasus, bahkan dapat terjadi kemunduran.
RESPON NYERI PADA
DEGENERASI LUMBAL
regenerasi lumbal terjadi akibat menurunnya komponen
mekanis dan komponen kimiawi pada diskus. Hal ini
disebabkan oleh karena proses penuaan dan diperberat
oleh laktor lingkungan seperti trauma, aktifitas dengan high
impact, jenis pekerjaan dan merokok. Proses degenerasi pada
tulang belakang diawali dengan adanya degenerasi diskus.
Degenerasi diskus ini memicu ketidakstabilan segmental
yang .ikan meningkatkan beban pada sendi facet dan
memicu kerusakan pada tulang rawan sendi. Pada proses
degenerasi diskus akan terjadi penurunan jumlah cairan pada
nukleus pulposus yang memicu terjadinya robekan pada
annulus librosus. Robekan pada annulus fibrosus memicu
pertumbuhan pembuluh darah baru dan nociceptor pada bagian
luar dan dalam annulus. Stimulasi dari nociceptor dan stimulasi
sitokin inflamasi akan memicu hiperalgesia yang sering
terjadi pada nyeri pinggang bawah.
Respon Inflamasi pada Degenerasi Lumbal
Mediator inflamasi memicu adanya nyeri melalui jalur
biokimia. Adapun mediator yang terlibat antara lain IFN-y, IL-
1(3, dan TNF-a. Produksi IL-6 juga meningkat secara signifikan
oleh stimulasi dengan TNF-a. Pada tulang rawan sendi manusia,
IL-6 menghambat sintesis proteoglikan, yang secara normal
menjaga hidrasi nukleus pulposus dan mencegah pertumbuhan
dari pembuluh darah.
Cedera pada diskus intervertebralis dapat menginduksi sel
diskus memproduksi mediator inflamasi: IL-ip, dan TNF-a.
Interleukin-ip yaitu sitokin utama yang bertanggung jawab
memperluas respon inflamasi dari diskus, dan telah ditunjukkan
bahwa peningkatan dari level IL-1(3 meningkat sesuai dengan
keparahan degenerasi diskus. Selain itu IL-1(3 juga menginduksi
Nitrit Oksida (NO), Interleukin-6 (IL-6) dan Prostaglandin E2
(PGF2) yang nantinya akan mempercepat kaskade inflamasi.
Gambar 2.11. Respon inflamasi terhadap degenerasi diskus
Peran imunitas dalam degenerasi lumbal jauh lebih
kompleks dan tidak hanya sel mast. Substance P juga merangsang
kemotaksis dari sel imun ke dalam sendi, mengaktifkan
neutrophil, sinoviosit dan makrofag, menstimulasi proliferasi
limfosit, menginduksi lepasnya sitokin proinflamasi dan
menstimulasi fagositosis. Sitokin TNF, IL-1 dan IL-6 diproduksi
oleh makrofag, sinoviosit, sel mast, endotel, fibroblast dan
kondrosit dalam sendi. Sitokin proinflamasi ini menstimulasi
kondrosit, osteoklas, osteoblast, fibroblast, dan sinoviosit. Hal ini
yang memicu pertumbuhan berlebihan dari sinovium dan
proliferasi fibroblast, produksi berlebihan dari enzim yang
mendegradasi jaringan penghubung yang berasal dari sinoviosit,
fibroblast dan kondrosit, prostaglandin akan memicu
resorbsi berlebihan dari kalsium oleh sel tulang.
Gambar 2.12. Peran Sitokin pada Respon Nyeri. Keratinosit dan fibroblast
dalam kulit membuat, menyimpan dan melepaskan bentuk prekursor dari IL- 1
Gambar 2.12. Peran Sitokin pada Respon Nyeri. Keretinosit dan Fibroblast
dalam membuat, menyimpan dan melepasakan bentuk Prekursor dari IL-1(pro
IL-1). Kerusakan kulit membuat sel mast yang berada dalam kulit akan
bergabung dengan sel mast yang lainnya melakukan migrasi ke area trauma. Sel
mast ini melepaskan TNF, IL-1, IL-6 dan chymase. Chymase berperan utk
membelah dan mengaktifkan pro IL-1 menjadi aktif. IL-1 berikatan dengan saraf
perifer terminal, memicu aktivasi neural dan lepasnya Substance P.
Aktivasi neural ini berikutnya akan memicu aktivasi CNS, memicu
hiperalgesia dan respon nyeri lainnya. Substance P yang dilepaskan dari saraf
terminal ke kulit akan menginisiasi positive feedback loop, dimana Substance P
akan menstimulasi sel mast dan makrofag untuk melepaskan lebih banyak lagi
IL-1, TNF, IL-6 dan chymase
Jalur Nyeri pada Degenerasi Lumbal
Sistem saraf untuk nosiseptif akan memberi otak informasi
terhadap rangsangan sensorik yang berbahaya dan tidak berbahaya
secara terpisah. Berdasarkan serabut sarafnya, klasifikasi nociceptor ada 2
tipe yaitu serabut C (C fiber) dengan diameter lebih kecil, yang
merupakan saraf tanpa myelin yang menginduksikan impuls saraf
secara perlahan dan serabut Ab (Ab fiber) dengan diameter lebih besar,
bermyelin yang menghantarkan impuls saraf lebih cepat. Sensasi nyeri
ada 2 kategori yaitu epritic (di awal cepat dan tajam), dan protopathic
(lambat, tumpul dan bertahan lama). Impuls cepat pada konduksi cepat
dari serabut A6 menghasilkan sensasi nyeri tajam dan cepat, sedangkan
nosiseptor serabut C yang lambat menghasilkan sensasi nyeri yang
tertunda dan tumpul. Aktivasi perifer dari nociceptor (transduksi)
dimodulasi oleh sejumlah zat kimia, yang dihasilkan atau dilepaskan
saat ada kerusakan sel (Tabel 2.1). Stimulasi yang berulang akan
memicu sensitisasi dari serabut saraf perifer yang memicu
menurunnya ambang batas rasa sakit dan nyeri spontan.
Pelepasan substasi kimia secara lokal seperti substance-P
memicu vasodilatasi dan edema serta melepaskan histamin dari
sel mast, yang memicu meningkatnya vasodilatasi. Kompleks
sinyal kimia ini melindungi darah yang rusak dengan menghasilkan
suatu keadaan yang membuat area ini jauh dari stimulus mekanis
atau lainnya.
Dorongan penyembuhan serta proteksi terhadap infeksi dibantu
oleh peningkatan aliran darah dan inflamasi yang merupakan fungsi
protektif dari nyeri.
Gambar 2.13. Beberapa substansi kimia yang dilepaskan pada kerusakan
jaringan yang menstimulasi nociceptor
Menurut Nilesh B.P. (2010), sensasi rasa nyeri dapat timbul karena
adanya:
1) Peradangan saraf, misalnya neuritis temporal.
2) Cedera pada saraf dan ujung saraf
3) Invasi ke saraf oleh kanker, misalnya, plexopathy brakialis.
4) Cidera pada struktur di sumsum tulang belakang, thalamus, atau
daerah kortikal yang memproses informasi nyeri, yang dapat
memicu rasa sakit yang hebat
5) Aktivitas abnormal di sirkuit saraf yang dirasakan sebagai nyeri,
misalnya, nyeri phantom dengan reorganisasi kortikal.
Gambar 2.14. Jalur nyeri dari perifer menuju ke otak
Pada jalur nyeri perifer ke otak, serabut afferen primer (serabut
Ab-, Ad-, dan C-) mengirimkan impuls dari perifer, melalui dorsal root
ganglion (DRG) dan ke kornu dorsal sumsum tulang belakang.
Nosiseptif Spesifik (NS) sel terutama ditemukan di komu dorsal
superfisial (Lamina I-1I), sedangkan yang kebanyakan wide dynamic
ranges (WDRs) terletak lebih dalam (lamina V). Proyeksi neuron dari
lamina I menginervasi
BAB II NYERI PINGGANG BAWAH (LOW BACK PAIN)
daerah seperti daerah parabrachial (PB) dan periaqueductalgray matter
(PAG) dan jalur ini dipengaruhi oleh daerah limbik. lalu
jalur ini turun (panah kuning) dari inti batang otak dan medula
ventromedial rostral (RVM) diaktifkan untuk memodulasi pengolahan
signal pada tulang belakang. Neuron lamina V terutama memproyeksi
ke thalamus (traktus spinotalamikus), dan dari sini berbagai daerah
korteks yang membentuk matriks nyeri (primer dan sekunder
somatosensori, insular, anterior ringulate, dan korteks prefrontal)
diaktifkan.
Setelah cedera saraf atau inflamasi kronis, sel imun (makrofag dan
limfosit T) migrasi dari pembuluh darah ke jaringan inflamasi dari
proses ekstravasasi dan kemotaksis yang dikontrol oleh kemokin
(Gambar 2.6). Sel imun mengeluarkan sitokin pro inflamasi (TNF-a),
interleukin-1 (IL-l)dan interleukin- 6 (IL-6) dan kemokin yang
menginisiasi dan menjaga pesan berbahaya (noxious). Selanjutnya,
peptide opioid (lingkaran hijau) yang dihasilkan dari sel imun yang
teraktivasi memberi efek antinosiseptif, melalui aktivasi dari reseptor
peripheral, yang disintesis (seperti reseptor kemokin) pada ganglion
akar dorsal.
Pada ganglion akar dorsal, reseptor kemokin dan reseptor opioid
co-expressed pada subpopulasi neuron sensori. Saat nyeri, kemokin
disekresi oleh terminal aferen utama, dan dalam aksi ini sebuah otokrin
atau parakrin menginduksi keluarnya calcitonin gene-related peptide
(CGRP), Substance-P (SP) dan glutamate (Glu).
68
Kemokin yang dilepaskan juga berpartisipasi dalam aktivasi
neuran lini kedua pada medulla spinalis dorsal. Sebagai tambahan,
interneuron yang teraktivasi mengeluarkan opioid endogen, yang
lalu memediasi analgesia dengan menghambat pelepasan SP,
CGRP dan Glu dari terminal aferen utama, dan dengan
hiperpolarisasi (melalui efflux K") dari neuron lini kedua. Pesan
berbahaya yang naik lalu diintegrasi di daerah otak bagian
atas (thalamus, korteks cingulate anterior, basal ganglia dan
amygdale). Sebagai gantinya, aktivitas yang terkoordinasi dari
struktur sentral memodulasi sinyal nociceptive pada neuron aferen
primer lini kedua yang bersinapsis melalui pelepasan opioid
endogen dari proyeksi analgesik desenden dari
Gambar 2.15. Potensi crosstalk antara reseptor kemokin dan reseptor opioid di
jalur nociceptive
BAB II NYERI PINGGANG BAWAH (LOW BACK PAIN)
69
periaqueductual grey (PAG) dan rostral ventromedial medulla
(RVM) menuju cornu dorsal spinalis serta memodulasi transient receptor
potential subfamily V member I (TRPV).
Daftar Pustaka
Dugan T.R., Kang J.D. 2013. The role of inflammation in disc
degeneration. In: Sharan A.D., Tang S.Y., Vaccaro A.R., editors.
Basic Science of Spinal Diseases. 1st ed. India: Jaypee Brothers
Medical Publisher, p. 85-94.
Mello R.D., Dickenson A.H., 2008. Spinal Cord Mechanisms of Pain.
British Journal of Anesthesia, 101 (1): 8-16 Nilesh B.P., 2010. Physiology
of Pain. Guide to Pain Management in Low-Resource
Settings.International Association for the Study of Pain,(3);13-17
Parsadaniantz S.M., Rivat C., Goazigo A.R., 2015. Potensial sites of
Crosstalk between Chemokine and Opioid Receptors in
Nociceptive Pathways: a Promising Target for Pain Therapy.
Nature Reviews Neuroscience. 16, 69-78.
Watkins L.R., Maier S.F., Goehler L.E., 1995. Immune Activation:
The Role of Pro-Inflammatory Cytokines in Inflammation,
Illness Reponses and Pathological Pain States. Pain: Elsevier
Science, 63:289-302.
70
PERANAN INFLAMASI PADA PENYAKIT
DEGENERATIF LUMBAL
A A Wiradewi Lestari
Degenerasi Lumbal
roses degenerasi pada tulang belakang diduga diawali
dengan adanya degenerasi disk. Degenerasi disk ini
memicu ketidakstabilan segmental yang meningkatkan
beban pada sendi facet dan memicu kerusakan pada tulang
rawan sendi. Degenerasi tulangbelakang pada daerah lumbal yang
melibatkan three joint complex, selalu diawali dengan degenerasi
pada diskus intervertebralis, yang ditandai dengan penyempitan
diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada
sendi facet. Ketiga komponen ini saling mempengaruhi dan
memicu keluhan nyeri pinggang. Berbagai faktor diduga
menjadi penyebab terjadinya nyeri pinggang antara lain: beban
mekanik, usia, hormonal dan terjadinya proses inflamasi.
Proses Inflamasi
Pada reaksi inflamasi, banyak substansi berupa hormon dan
faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh limfosit T dan B maupun
oleh sel-sel lain yang berfungsi sebagai sinyal interseluler yang
mengatur aktifitas sel yang terlibat dalam respon immune dan
respon inflamasi baik lokal maupun sistemik terhadap rangsangan
dari luar. Substansi ini secara umum disebut sitokin. Substansi yang
dilepaskan oleh limfosit disebut limfokin, sedangkan yang
dilepaskan oleh monosit disebut monokin.
Sitokin ini berperan dalam pengendalian hemopoesis dan
limfopoesis dan juga berfungsi dalam mengendalikan respon
immune dan reaksi inflamasi dengan cara mengatur
BAB II NYERI PINGGANG BAWAH (LOW BACK PAIN)
pertumbuhan, dan mobilitas serta differensiasi leukosit
maupun sel-sel lain. Pada reaksi inflamasi, sitokin yang berperan
menstimuli terjadinya inflamasi pada sendi dikenal sebagai sitokin
pro inflamasi misalnya TNF-a dan IL-6. Sedangkan sitokin yang
berperan sebagai faktor penghambat sintesis disebut sitokin anti
inflamasi misalnya IL-10.
Sitokin yaitu polipeptida yang diproduksi sebagai respon
terhadap mikroba dan antigen lain yang memperantarai dan
mengatur reksi imunologik dan rekasi inflamasi. Setiap jenis sitokin
mempunyai struktur yang berbeda satu dengan yang lainnya,
walaupun demikian ada beberapa sifat umum yang dimiliki
bersama yaitu:
1. Sekresi sitokin terjadi singkat dan tidak pernah disimpan
sebagai molekul yang preformed dan sintesisnya biasanya
diawali dengan transkripsi gen yang terjadi akibat stimulasi.
Segera setelah disintesis, sitokin dengan cepat disekresikan
dan menghasilkan aktivitas yang diperlukan.
2. Aktivitas sitokin seringkah pleiotropic dan redundant. Pleiotropic
berarti kemampuan satu jenis sitokin untuk merangsang
berbagai jenis sel yang berbeda. Sedangkan redundant berarti
banyak sitokin yang menghasilkan efek fungsional yang sama.
3. Sitokin sering mempengaruhi sintesis dan aktivitas sitokin
lainnya.
4. Aktivitas sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sebagian besar
sitokin bereaksi dekat dengan tempatnya diproduksi. Bila
dalam sel yang memproduksinya disebut autocrine reaction, bila
bereaksi pada sel yang berdekatan disebut paracrine reaction,
dan bila diproduksi dalam jumlah yang banyak, masuk ke
dalam sirkulasi dan bekerja sistemik disebut endocrine action.
5. Sitokin merupakan mediator respon imun yang sangat poten
dan mampu berinteraksi dengan reseptor pada permukaan sel.
6. Sinyal eksternal mengatur ekspresi reseptor sitokin, sehingga
juga mengatur repon sel terhadap sitokin.
7. Respon selular terhadap sebagian besar sitokin terdiri atas
perubahan ekspresi gen pada sel sasaran yang berakibat
ekspresi fungsi baru atau proliferasi sel sasaran.
8. Respon seluler terhadap sitokin diatur secara ketat dan ada
mekanisme umpan balik untuk menghambat dan menekan
respon imun ini .
Sitokin merupakan messenger kimia atau perantara dalam
komunikasi interseluler yang sangat poten, aktif pada kadar yang
sangat rendah (10'IO-1015 mol/L dapat merangsang sel sasaran).
Seperti halnya hormon polipeptida, sitokin mengawali aksinya
dengan berikatan dengan reseptor sitokin pada membran sel
sasaran dengan afinitas yang sangat tinggi.
Berdasarkan aktivitas biologik yang utama, sitokin dapat
diklasifikasikan dalam 3 kelompok fungsional:
1. Mediator dan regulator imunitas bawaan.
Kelompok sitokin ini terutama diproduksi oleh fagosist
mononuklear sebagai respon terhadap agen infeksi. Sebagian
besar sitokin kelompok ini bekerja pada sel endotel dan
leukosit untuk merangsang reaksi inflamasi dini dan sebagian
lagi untuk mengontrol respon ini.
2. Mediator dan regulator imunitas didapat.
Diproduksi terutama oleh limfosit T, sebagai respon terhadap
pengenalan antigen asing yang spesifik, berfungsi terutama
untuk mengatur pertumbuhan dan diferensiasi berbagai
populasi limfosit. Disamping itu juga berfungsi merekrut,
mengaktivasi dan mengatur sel-sel efektor spesifik seperti
fagosit mononuklear, neutrophil dan eosinophil untuk
mengeliminasi antigen pada tahap respon imun yang didapat.
BAB II NYERI PINGGANG BAWAH (LOW BACK PAIN)
3. Stimulator hemopoesis.
Sitokin ini diproduksi oleh sel-sel stroma dalam sumsum
tulang, leukosit dan sel-sel lain, dan merangsang pertumbuhan
dan diferensiasi leukosit imatur.
Banyak sitokin yang telah teridentifikasi, baik struktur molekul
maupun fungsinya. Beberapa diantaranya merupakan mediator
utama yang meningkatkan reaksi imunologik yang melibatkan
makrofag, limfosit dan sel- sel lain. Sehingga berfungsi sebagai
imunoregulator spesifik maupun non spesifik. Mediator-mediator
ini ternyata mempunyai sifat biokimia dan sifat biologik serta
fungsi yang serupa dan lalu diberi nama interleukin (IL) yang
berarti adanya komunikasi antar sel. Sampai saat ini telah
ditemukan berbagai jenis interleukin yaitu IL-1 hingga IL-35.
Tumor Necrosis Factoralpha
Tumor Necrosis Factor alpha (TNF-a) yaitu sitokin yang
berperan dalam peradangan sistemik dan merupakan salah satu
sitokin yang membentuk reaksi tahap akut. TNF-a diproduksi
terutama oleh makrofag aktif, walaupun dapat diproduksi oleh
banyak jenis sel lainnya seperti limfosit CD4 +, sel NK, neutrofil, sel
mast, eosinofil, dan neuron. Peran utama TNF-a yaitu dalam
pengaturan sel kekebalan tubuh. TNF-a menjadi pirogen endogen,
dapat memicu demam, kematian sel apoptosis, cachexia,
radang dan menghambat replikasi virus.
Interleukin 1
Interleukin 1 yaitu sitokin yang disekresi oleh sel dendritik
dan monosit atau makrofag. Sekresinya dirangsang oleh
dikenalinya antigen virus, parasit, bakteri oleh reseptor imun
alamiah. Interleukin 1 bersifat proinflamasi, yang artinya bahwa
IL-1 ini menginduksi peningkatan permiabilitas kapiler di
tempatnya disekresikan, untuk meningkatkan migrasi leukosit ke
jaringan yang terinfeksi.
Interleukin 1 terdiri dari 11 protein (IL-1F1 sampai IL-1F11)
yang dikodekan oleh 11 gen berbeda pada manusia dan tikus. 1L-1
yaitu mediator utama reaksi kekebalan bawaan, dan memiliki
peran sentral dalam sejumlah penyakit autoimun. Ada dua bentuk
IL-1, yaitu IL-la atau IL-1 [3 dan dalam kebanyakan penelitian,
aktivitas biologis mereka tidak dapat dibedakan. IL-1
mempengaruhi hampir setiap jenis sel, dan seringkah bersamaan
dengan sitokin pro-inflamasi lainnya, seperti Tumor Necrosis Factor
(TNF). IL-1 dengan cepat meningkatkan ekspresi RNA pembawa
pesan dari ratusan gen pada beberapa jenis sel yang berbeda.
Meskipun IL-1 dapat meningkatkan pertahanan host dan
berfungsi sebagai imunoadjuvant, IL-1 yaitu highly inflammatory
cytokine. Margin antara manfaat klinis dan toksisitasnya pada
manusia sangat sempit. Sintesis, pengolahan, sekresi dan aktivitas
IL-1, terutama IL-1 beta, diatur dengan ketat. Aspek unik dari
biologi sitokin ini yaitu antagonis reseptor IL-1 alami (IL-IRa).
IL-IRa secara struktural mirip dengan IL-1 beta, namun memiliki
aktivitas agonis yang rendah dan digunakan dalam uji klinis untuk
mengurangi tingkat keparahan penyakit.
IL-1 merangsang prostaglandin E2, oksida nitrat, dan matriks
metaloprotease, yang meningkatkan degradasi sendi. Selain itu,
IL-1 juga menghambat sintesis kolagen. Selanjutnya, IL-1 yaitu
pirogen endogen, mengatur sistem kekebalan tubuh secara sistemik
dan lokal pada penyakit akut dan kronis, meningkatkan aktivasi
limfosit T dan B, memicu makrofag melepaskan enzim
proteolitik dan faktor kemotaktik, dan juga merangsang osteoklas
untuk menyerap tulang.
Gambar 2.16. Peranan Interleukin 1 pada Degradasi Sendi
Interleukin 6
Interleukin 6 dahulu dikenal sebagai IFN-(32, hepatocyte
stimulating factor dan plasmacytoma growth factor. Merupakan sitokin
yang berfungsi pada imunitas bawaan maupun didapat. IL-6
dibentuk oleh banyak sel dan mempengaruhi banyak sasaran.
Sumber utama dari IL-6 yaitu makrofag dan limfosit didaerah
inflamasi. IL-6 dapat juga diproduksi oleh sel tulang d iba wah
pengaruh hormon osteotropik (hormon paratiroid, 1,25- dihidroksi
vitamin D3) dan Interleukin-1. Selain berperan dalam proses
imunologi dan inflamasi, IL-6 juga berperan penting dalam
metabolisme tulang melalui induksi osteoklastogenesis dan
merangsang aktifitas osteoklas. IL-6 meningkatkan pembentukan
sel osteoklas, terutama apabila kadar hormon estrogen menurun.
IL-6 juga meningkat pada penuaan dan penderita menopause.
Sehingga diduga bahwa IL-6 merupakan salah satu sitokin yang
memegang peranan penting dalam proses penyerapan tulang,
melalui pengaruh aktivitas sel osteoklas, termasuk pada tulang
subchondral.
76
Interleukin 10
Interleukin-10 sebelumnya dikenal sebagai cytokine synthesis
inhibitory factor. IL-10 dikenal juga sebagai anti inflamasi dan sitokin
imunosupresif. IL-10 sangat ampuh dalam menekan makrofag
untuk melepaskan TNF-a. Dua fungsi utama IL-10 yaitu
menghambat produksi beberapa jenis sitokin (TNF, IL- 1,
chemokine dan IL-12) dan menghambat fungsi makrofag dan sel
dendritik dalam membantu aktivasi sel T, sehingga bersifat
immunosupresi. Hambatan fungsi makrofag terjadi karena IL- 10
menekan ekspresi molekul MHC kelas II pada makrofag, dan
mengurangi ekspresi ko-stimulator ( B7-1 dan B7-2). Dampak akhir
dari aktifitas IL-10 yaitu hambatan reaksi inflamasi non spesifik
maupun spesifik yang diperantarai sel T, sehingga IL- 10 juga
disebut cytokine synthesis inhibitory factor dan sitokin anti inflamasi.
Reaksi Inflamasi pada Degerasi Lumbal
Proses inflamasi yang terjadi pada osteoarthritis lumbal yaitu
proses inflamasi kronik yang melibatkan peran sitokin, baik sitokin
pro inflamasi seperti TNF- a, dan IL-6, maupun sitokin anti
inflamasi seperti IL-lra atau IL-10. Sitokin ini bekerja dengan
berinteraksi secara kompleks.
Inflamasi kronik dapat bermula dari inflamasi akut bila
agen perusak menetap, tetapi yang lebih sering terjadi yaitu
bahwa respons inflamasi itu merupakan respons inflamasi kronik
sejak awal. Berbeda dengan perubahan atau kerusakan vaskuler
luas dan infiltrasi neutrofil yang tampak pada inflamasi akut,
inflamasi kronik menunjukkan ciri-ciri infiltrasi jaringan dengan
sel-sel monokuler seperti makrofag, limfosit dan sel plasma, disertai
dengan destruksi jaringan. Makrofag merupakan pemain kunci dari
respons inflamasi kronik. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
produk bioaktif atau mediator yang dilepaskannya.
Mediator-mediator ini merupakan bagian dari sistem pertahanan
tubuh yangsangatkuatterhadap invasi benda asing dan kerusakan
jaringan. Yang merugikan yaitu bahwa aktivasi makrofag secara
lerus menerus dapat berakibat kerusakan jaringan berkelanjutan.
Mekanisme yang mengatur transisi rekrutmen neutrofil ke
rekrutmen monosit selama transformasi dari inflamasi akut ke
inflamasi kronik belum diketahui. Ada kemungkinan bahwa IL- <i
dan reseptor IL-6 terlarut (sIL-6R) memegang peran penting pada
transisi ini.
Osteoarthritis lumbal yaitu terjadinya degenerasi tulang
rawan yang melibatkan three joint complex lumbal yang ditandai
dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya
vertebral osteofit dan terjadinya osteoarthritis pada sendi facet.
Ketiga patologis ini dapat terjadi oleh karena beban stress mekanik
akibat peningkatan berat badan, bertambahnya usia yang akan
memicu makin tipisnya cartilage, maupun oleh karena
terjadinya proses inflamasi. Cedera pada diskus seperti robekan
pada annulus fibrosus, mengubah karakteristik histologis dari
diskus. Studi histologis dari pasien dengan nyeri diskogenik
menunjukkan jaringan granulasi bervaskular di sepanjang robekan
annular. Jaringan bervaskular ini meluas dari bagian luar annulus,
melalui bagian dalam annulus sampai ke nukleus pulposus.
Jaringan granulasi yang baru, mengandung Vascular Endothelial
Growth Factor (VEGF), Fibroblast Growth Factor (FGF) dan
Transforming Growth Factor lp (TGF-lp) yang lebih tinggi
dibandingkan dengan diskus yang tidak cidera.
Tulang rawan yang rusak karena berbagai sebab akan
memicu kegagalan resistensi elastik dari anyaman kolagen
(menurunnya sintesis kolagen tipe 2) sehingga pada tahap awal
terjadinya OA kadar air pada sendi tulang rawan meningkat
sehingga konsentrasi proteoglikan pun menurun. Perubahan
komposisi ini memicu sekresi IL-ip, TNF-a dan nitric oxide (NO)
yang memicu peradangan (swelling) dan apoptosis sehingga
kekuatan regang dan ketahanan sendi tulang rawan menurun.
Khondrosit yang berada di lapisan dalam akan memberi respon
dengan berproliferasi dan berusaha untuk memperbaiki
kerusakan dengan memproduksi kolagen dan proteoglikan baru.
Pada awalnya respon ini bisa mengimbangi kerusakan sendi tulang
rawan. Namun pada akhirnya sinyal-sinyal molekul (IL- 1(3, TNF-a
dan NO) inilah yang mendominasi. Tulang rawan yang terus
berproliferasi juga menambah kekakuan sendi dan menghasilkan
osteofit / spurs (tulang baru yang terbentuk di pinggir permukaan
sendi) yang secara perlahan akan mengeras (kalsifikasi).
Osteoarthritis terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi
rawan sendi, remodelling tulang dan inflamasi cairan sendi.
Inflamasi akan memicu degradasi proteoglikan dan juga
kandungan air yang berkontribusi terhadap berkurangnya tinggi
diskus dan kemampuan untuk mengabsorpsi tekanan. saat
diskus intervertebralis mengabsorpsi tekanan kompresif, sendi facet
juga memiliki peranan penting untuk menahan beban. Beban
berlebih secara kronis pada sendi facet dapat memicu
osteoarthritis dan osteofit dengan merusak cartilage artikularis.
Rangkaian ini memicu peningkatan tekanan pada sendi facet
yang memiliki efek pada kaskade inflamasi yang mengubah
cartilage hyaline yang halus menjadi fibrocartilage. Fibrocartilage yang
dihasilkan tidak memiliki kapasitas mekanik yang sama dan lebih
sering mengalami degenerasi dengan tekanan.
Interleukin-1(3 yaitu sitokin utama yang bertanggung jawab
memperluas respon inflamasi dari diskus, dan kadar IL- 1(3
meningkat sesuai dengan keparahan degenerasi diskus. Selain itu
IL-1(3 juga menginduksi NO, Interleukin-6 dan Prostaglandin E2
(PGF2) yang nantinya akan mempercepat kaskade inflamasi.
Sitokin pro inflamasi IL-6 meningkatkan pembentukan sel
osteoklas, terutama apabila kadar hormon estrogen menurun. IL-6
menstimulasi pembentukan prekursor osteoklas dari unit
pembentuk koloni granulosit makrofag dan meningkatkan jumlah
osteoklas, yang memicu peningkatan resorpsi tulang, yang
berkontribusi pada perubahan spondiloarthrosis dan degenerasi
diskus intervertebralis. Pada proses penuaan dan menopause,
ditemukan peningkatan IL-6. Sehingga diduga bahwa IL-6
merupakan salah satu sitokin yang memegang peranan penting
dalam proses penyerapan tulang, melalui pengaruh aktivitas sel
osteoklas, termasuk pada tulang subchondral. Produksi IL-6 juga
meningkat secara signifikan oleh stimulasi TNF-a. Pada cartilage
artikular manusia, IL-6 menghambat sintesa proteoglikan, yang
secara normal menjaga hidrasi nukleous pulposus dan mencegah
pertumbuhan dari pembuluh darah. Dengan demikian akan terjadi
peningkatan TNF-a dan IL-6 pada osteoarthritis lumbal.
Gambar 2.17. Respon Inflamasi terhadap Degenerasi Diskus
Peningkatan TNF-a dan IL-6 akan direspon oleh sitokin anti
inflamasi. Interleukin-10 sangat ampuh dalam menekan makrofag
untuk melepaskan TNF-a. Rendahnya kadar IL-10 merupakan
indikator gagalnya IL-10 menekan produksi TNF-a dan IL-6.
Daftar Pustaka
AbbasAK, Lichtman AH, Pillai S. Cytokines. In Cellular and
Molecular immunology 6th edition. Philadelphia, WB Saunders
C, 2007: 267 - 301
Bullough P. 2004. Spinal arthritis and degenerative disc disease in
Orthopaedic Pathology. 4th ed. Mosby. 311-315.
Dugan T.R., Kang J.D. 2013. The role of inflammation in disc
degeneration. In: Sharan A.D., Tang S.Y., Vaccaro A.R., editors.
Basic Science of Spinal Diseases. 1st ed. India: Jaypee Brothers
Medical Publisher, p. 85-94.
Gabay C. 2006. Interleukin-6 and chronic inflammation. Arthritis
Res Ther. Available from: URL: http://arthritis-research.com/
content/8/S2/S3
Monocytes T„17/y6 T cells ILC3 Osteoclasts Neutrophils
CSF-1
RANKL
Matrix enzyme Osteoclast Intimal Fever response (J-cell
production activation inflammation Pain processing apoptosis
Cartilage damage Bone loss Atherogenesis
Diabetes
Gambar 2.18. Peranan TNF, IL-6 dan IL-1 dalam Aktivasi Okteoklas dan Kerusakan
Tulang rawan
TNF
IL-6
IL-17
IL-22
IL 17
IL-22
PEMERIKSAAN FISIK REGIO LUMBAL
I Ketut Suyasa
Pemeriksaan fisik pada pada lumbal meliputi:
• Inspeksi
• Palpasi
• Range of motion (ROM) o
Fleksi
o Ekstensi o Lateral
Bending
• Pemeriksaan neurologis o
Motorik
o Sensorik o
Refleks
• Pemeriksaan khusus/provokatif
Inspeksi
Inspeksi pada daerah lumbal dilakukan untuk menilai apakah
ada kelainan pada kulit dan apakah ada deformitas pada tulang
belakang. Perhatikan lengkung normal tulang belakang yaitu
lumbar lordosis, apakah ada bentuk yang abnormal (hilangnya
lordosis atau deformitas kifosis)
Gambar 2.19 Inspeksi apakah ada kglainan pada kulit daerah lumbal
Gambar 2.20 (a) Bentuk normal dari lumbal yaitu lordosis (b) Paravertebral
muscle spasme (c) Deformitas kifosis (Gibbus)
Palpasi
• Aspek posterior
• Aspek anterior
• Soft tissue (jaringan lunak)
Gambar 2.21. Palpasi pada rongga antara L4-5 yang terletak setingkat dengan
tepi atas krista iliaca
Range of motion
Gambar 2.22. Gerakan dari lumbal: Fleksi, ekstensi, lateral bending, rotasi
Gambar 2.23. (a) Otot - Otot Iliopsoas dipersarafi oleh T12, LI, L2, dan L3. (b) Otot -
Otot Quadriceps dipersarafi oleh femoral nerve (L2, L3, and L4).
Vastus
medial»
Pemeriksaan Neurologis •
Evaluasi Neurologis L1-L3
Motorik
LI, L2, dan L3 diperiksa dengan kombinasi karena kurangnya
muscle testing yang spesifik. Otot yang biasanya diperiksa yaitu
iliopsoas, quadriceps, dan hip adductor
Fleksi Hip
Untuk memeriksa fleksi pinggul, instruksikan pasien untuk
duduk di ujung meja permeriksaan. Berdiri di sebelah pasien, dan
letakkan satu tangan pada paha di atas lutut pasien. Letakkan
tangan yang satu lagi pada bahu pasien. Minta pasien untuk
menaikkan lututnya melawan tahanan. Tes ini diulangi pada sisi
yang satu lagi. Perbedaan kekuatan diantara dua sisi atau kelainan
yan lain harus dicatat.
• Otot : Iliopsoas
• Inervasi : Nerve roots (T12, Ll, L2, L3)
Ekstensi Lutut
Untuk memeriksa ekstensi lutut, instruksikan pasien untuk
duduk pada meja pemeriksaan dengan lutut ditekuk 90 derajat dan
kaki digantung kearah lantai. Letakkan satu tangan pada paha
pasien dan yang tangan yang lain di kaki bagian distal. Minta pasien
untuk mengekstensikan kaki secara penuh, lalu coba
fleksikan kakinya. Bandingkan kaki yang satu dengan yang lainnya.
• Otot : Quadriceps
• Inervasi : Femoral nerve (L2, L3, L4)
Gambar 2.24 Tes kekuatan Hip fleksi
dengan lutut ditekuk, kaki dinaikkan
melawan tahanan(otot - otot iliopsoas)
BAB II NYERI PINGGANG BAWAH (LOW BACK PAIN)
Gambar 2.26. Memeriksa kekuatan aduksi pinggul
Adduksi Pinggul
Untuk memeriksa aduksi pinggul, instruksikan pasien untuk
supinasi pada meja pemeriksaan dan abduksikan kakinya. Letakkan
tangan pemeriksa pada bagian medial lutut, dan minta pasien untuk
mengaduksi kakinya secara bersamaan.
Otot : Adductor brevis, adductor longus, adductor magnus Inervasi:
Obturator nerve (L2, L3, L4)
Gambar 2.25. Memeriksa kekuatan ekstensi
lutut untuk mengevaluasi fungsi quadrisep.
Refleks
Refleks Cremaster (T12, Ll)
Refleks cremaster yaitu refleks neuron motorik atas pada pria
yang dikendalikan oleh korteks serebral. Kehilangan refleks
bilateral menunjukkan lesi neuron motorik atas di atas T12.
Kehilangan unlilateralreflex cremaster mengindikasikan lesi neuron
motorik yang bawah, paling sering antara Ll dan L2. Untuk menguji
refleks cremaster, instruksikan pasien untuk menanggalkan pakaian
di daerah bawah pinggang. Dengan lembut tempelkan sisi medial
paha bagian atas dengan benda yang cukup tajam seperti gagang
palu refleks. Kantung skrotum di sisi itu harus diangkat dengan
kontraksi otot cremaster.
Gambar 2.27. Refleks Cremasteric pada T12,
Ll. Kehilangan reflex kremaster unilateral
mengindikasikanlesi lower motor neuron,
biasanya antara Ll dan L2.
Sensorik
SensorikLl :Pangkal paha
SensorikL2 :Lateral pangkal paha and aspek anterior dari paha.
SensorikL3 :Aspek anteromedial dari paha sampai malleolus.
• Pemeriksaan Neurologis L4
Motorik
Ekstensi Lutut
Lihat LI-L3, di atas
Dorsofleksi Ankle
Untuk memeriksa dorsofleksi kaki, instruksikan pasien duduk
di tepi meja pemeriksaan. Pegang kaki distal pasien lebih tinggi dari
malleolus. Instruksikan pasien untuk dorsofleksi dan
Gambar 2.28. (a) Distribusi
dermatomal pada ekstremitas bawah,
L1 sampai SI.
(b) Distribusi dermatomal pada
ekstremitas bawah, L1 sampai S2
inversikan kakinya. Dengan tangan Anda yang lain, cobalah
untuk memaksa kaki ke plantar fleksi dan eversi. Bandingkan
otot anterior tibialis. Meminta pasien untuk berjalan di atas
tumit juga merupakan tes yang berguna untuk fungsi motor
L4.
• Otot : Tibialis anterior
• Persarafan : L4, L5
Refleks
Refleks Patella (L4)
Untuk memeriksa refleks tendon patela, mintalah pasien
duduk di meja pemeriksaan dengan paha depan benar-benar
rileks dan kaki menggantung. Dengan palu refleks, ketuk
tendon patela perlahan-lahan tepat di bawah patela. Hal ini
akan memicu paha depan berkontraksi dan lutut
tersentak. Bandingkan pantulan kedua kaki.
Sensorik L4
Aspek anterolateral daripada dan kaki sampai aspek medial
dari ibu jari kaki.
• Pemeriksaan Neurologis L5
Motorik
Ekstensi Ibu Jari Kaki
Untuk memeriksa ekstensi ibu jari kaki, mintalah pasien untuk
duduk di meja pemeriksaan dan mengekstensikan kaki. Dengan
satu tangan, pegang kaki dari proksimal ke malleolus. Tempatkan
jari telunjuk atau ibu jari tangan Anda yang lain pada sendi
interphalangeal jempol kaki. Minta pasien untuk mengekstensikan
jari kaki saat tahanan diberikan.
Otot : Extensor hallucis longus
Inervasi : Deep peroneal nerve (L4, L5)
Gambar 2.32. Gambar Pemerisaan abduksi pinggul
Gambar 2.31.Gambar pemeriksaan ekstensi ibu jari kaki
Abduksi Pinggul
Untuk memeriksa abduksi pinggul, instruksikan pasien untuk
berbaring miring. Stabilkan pinggul dengan satu tangan, dan
letakkan yang lainnya di lutut pasien. Mintalah pasien mengangkat
kaki ke dalam abduksi sementara tahanan diberikan.
Otot : Gluteus medius
Inervasi : Superior gluteal nerve (L5)
Refleks
Refleks Posterior Tibial Jerk
Untuk mendapatkan refleks tibialis posterior jerk, pegang kaki
pasien dan sedikit eversi dan dorsofleksi. Dengan palu refleks,
tekan tendon otot posterior tibialis dari proksimal ke insersinya
pada tuberositas navicular. Stimulasi refleks harus menghasilkan
inversi plantar dari kaki.
Sensorik L5
Aspek posterior dari paha dan kaki bawah, aspek lateral dari
ibu jari kaki, jari kedua, jari ketiga, dan aspek medial dari jari
keempat.
Gambar 2.33. Gambar pemeriksaan refleks
posterior tibial jerk
Gambar 2.35. Gambar pemeriksaan motorik Plantar Fleksi
• Pemeriksaan Neurologis SI
Motorik
Plantar Fleksi
Dengan pasien duduk, pegang dan kencangkan sisi medial
kaki pasien dengan cara memperbaiki calcaneus. Mintalah pasien
untuk mengeversi dan memplantarfleksikan kaki. Tahan gerak
dengan memakai metatarsal kelima. Meminta pasien untuk
berjinjit juga efektif dalam memeriksa fungsi motorik SI.
Otot - otot : Peroneus longus dan peroneus brevis,
gastrocnemius-soleus complex Inervasi : Superficial peroneal nerve
(SI)
Ekstensi Pinggul
Gambar 2.34. Gambar Pemeiksaan
neurologis L5
Untuk memeriksa ekstensi pinggul, instruksikan pasien untuk
berbaring pronasi pada meja pemeriksaan dan fleksikan lutut yang
sedang diuji. Tempatkan satu tangan pada iliac crest untuk
stabilisasi dan sisi lain pada aspek posterior paha. Minta pasien
menaikkan paha dari meja saat anda melawan gerakannya.
Bandingkan kedua sisi.
Otot : Gluteus maximus
Inervasi : Inferior gluteal nerve (SI)
Refleks
Refleks Calcaneal Tendon
Untuk mendapatkan refleks tendon calcaneal, instruksikan
pasien duduk di tepi meja pemeriksaan dengan kaki tertekuk,
menggantung, dan rileks. Letakkan kaki sedikit dorsofleksi.
Temukan tendon kalkaneus, dan pindahkan perlahan dengan palu
refleks. Ini seharusnya memicu plantar-directed jerk.
Gambar 2.36. Gambar pemeriksaan ekstensi pinggul
Gambar 2.37. Gambar pemeriksaan Refleks Calcaneal Tendon
Sensorik SI
Aspek posterior dari paha dan kaki bawah, aspek lateral dari
kaki, aspek paling lateral darijari keempat, dan jari kelima.
• Pemeriksaan Neurologis S2, S3, dan S4
Motorik
S2, S3, dan S4 mempersarafi otot intrinsik kaki dan sfingter
anus. Periksa setiap kaki, dan cari kelainan bentuk jari kaki.
Kandung kemih juga disarati oleh akar saraf ini, jadi pertanyaan
tentang fungsi kandung kemih harus disertakan saat melakukan
anamnesis pada pasien.
External Anal Sphincter (S4, S5)
Untuk menguji sfingter anus eksternal, instruksikan pasien
untuk melepaskan pakaian di bawah pinggang. Pasien berbaring
dan pinggul lutut difleksikan. Instruksikan pasien untuk rileks,
dan masukkan jari yang dilapisi dan dilumasi ke dalam rektum.
Instruksikan pasien untuk mengontraksi sfingter anus, dan rasakan
perubahan tonus sfingter
Refleks
Refleks Babinski (S2, S3)
Untuk melakukan tes Babinski, ambillah kaki pasien dengan
satu tangan. Dengan memakai gagang palu refleks atau benda
tajam untuk menggores bagian bawah kaki. Mulai di tumit,
goreskan pegangan palu refleks di sepanjang permukaan plantar
lateral kaki.
Gambar 2.39.Gambar pemeriksaan External
Anal Sphincter
saat sampai di tuberositas metatarsal kelima, arahkan
pegangan palu refleks itu ke medial menuju tuberositas pada jempol
kaki. Inisiasi yang tepatdari reflex ini mungkin memerlukan tekanan
yang kuat. Tes ini positif jika terjadi dorsofleksi jempol kaki dan
pemekaran (Fanning) jari kaki lainnya. Tanda Babinski positif
menunjukkan lesi neuron motorik bagian atas. Ini harus
dimasukkan sebagai tes untuk menyingkirkan mielopati cervical
dan / atau toraks dalam semua pemeriksaan tulang belakang.
Tes Oppenheim
Untuk melakukan tes Oppenheim, gunakan benda tajam, atau
jari telunjuk dan ibu jari anda, ke bawah sambil memegang
sepanjang tibia. Jika jempol kaki melebar, menunjukkan tes positif
dan menunjukkan lesi neuron motorik atas.
Gambar 2.40. Gambar pemeriksaan reflex Babinski
Gambar 2.42. Gambar pemeriksaan Refleks Bulbocavernosus
Gambar 2.41. Gambar Pemeriksaan Tes Oppenheim
Refleks Bulbocavernosus (S2, S3, S4)
Untuk mendapatkan refleks bulbocavernosus, instruksikan
pasien untuk melepaskan pakaian di daerah bawah pinggang.
Pasien berbaring dan memfleksikan pinggul dan lutut.
Instruksikan pasien untuk rileks, dan masukkan jari yang dilapisi
dan dilumasi gel ke dalam rektum. Tangan yang lain memegang
dan menekan glans penis atau klitoris. Jari yang bersarung di
rektum harus merasakan kontraksi sfingter anus.
Sensoris
Sensoris S2
SensorisS3
SensorisS4
SensorisS5
Refleks Anocutaneous (S3, S4, S5)
Untuk mendapatkan refleks anokutan, instruksikan pasien
untuk berbaring terlentang di atas meja pemeriksaan dan kedua
pinggul sehingga paha dan kaki membentuk sudut 90 derajat
dengan batang tubuh. Dengan jarum, rangsang dermatom sensorik
S3, S4, dan S5, dan perhatikan kontraksi sfingter anal.
Aspek posterior dari paha dan kaki bawah,
termasuk aspek plantar dari tumit.
Aspek medial dari paha.
Perineum.
RegioPerianal
Gambar 2.43. Gambar pemeriksaan Refleks
Anocutaneous
PEMERIKSAAN KHUSUS / PROVOKATIF
Pasien Posisi Duduk Minor's sign (Tanda
Minor)
Tanda minor muncul saat pasien, yang bangun dari duduk,
mengangkat berat badan dengan tangan dan menempatkan berat
badan pada kaki yang tidak terpengaruh. Pasien dapat
menempatkan tangan di pinggang: Dengan demikian, ekstremitas
bawah yang nyeri terhindar dari beban berat.
Bechterew's sign (Tanda Bechterew)
Tes untuk Bechterew sign dilakukan dengan menyuruh pasien
meekstensikan lutut saat berada dalam posisi duduk. Ini
mengangkat kaki lurus kembali meregangkan akar saraf sciatica dan
membuat nyeri pada pinggang atau kaki atau keduanya jika ada lesi
pada diskus.
Gambar 2.44. Gambar tanda minor
SLR sign yaitu tanda lesi diskus yang lebih positif pada orang
usia muda (di bawah usia 40) daripada pada orang tua. Hal ini
karena, karena tekanan intradiskus menurun seiring bertambahnya
usia, turgor nukleus berkurang, dan nukleus cenderung menekan
secara ketat terhadap nerve root selama manuver ini seperti
SLR, Valsalva, atau Bechterew.
SLR sign bersifat positif, sedangkan SLR berbaring telentang
yaitu negatif. Alasan perbedaan ini yaitu tekanan intradiskus
yang lebih tinggi pada pasien dengan posisi duduk menambah
kompresi pada nerve root; Bila ditambah dengan peregangan nerve
root pada saat mengangkat kaki, memberi tanda kompresi saraf
yang jauh lebih positif. Selalu lakukan tes SLR secara perlahan,
apakah pasien sedang duduk atau telentang, karena dapat
memicu banyak rasa sakit pada pinggangatau ekstremitas
bawah bagi pasien dan berdampak negatif terhadap hasil
pemeriksaan lainnya.
Valsalva maneuver and Lindner's sign (Tanda Lindner)
Untuk manuver Valsava, pasien mencoba mengeluarkan
udarakeglotisyang tertutup. Pergerakan inibisa dijelaskan kepada
pasien saat berusaha menggerakkan perut. Selama manuver ini,
tekanan intradiskus meningkat, dan peningkatan kekuatan terhadap
lapisan dura anterior dari nerve root menonjolkan nyeri
Gambar 2.45. Tanda Bechterew
pinggang atau kaki pasien. Perhatikan juga bahwa pasien
diminta memfleksikan kepala di dada, yang meningkatkan traksi
dari nerve root terhadap tonjolan diskus (Lindner sign).
Bechterew's test, Lindner's sign, and Valsalva maneuver
Jika Bechterew tes ditambahkan ke Valsava manuver,
meregangkanlebihjauhnerwrootdibelakangruangintervertebralis
disk, peregangan yang meningkat ini menonjolkan nyeri pasien
pada pelepasan zat nuklir. Reaksi positif gabungan dari Valsava
manuver, Bechterew tes, dan Lindner sign menunjukkan adanya lesi
diskus. Satu tes saja mungkin tidak positif.
Pasien Berdiri
Neri's bowing sign
Gambar 2.46. Tanda Lindner
Gambar 2.47.Gabungan dariValsava manuver,
Bechterew tes, danLindner sign
Dengan Neri sign, saat pasien membungkuk ke depan, kaki
yang nyeri fleksi, seperti dalam tekanan, karena iritasi sciatic nerve.
Lutut fleksi menghilangkan iritasi aktif dari nervus sciatic yang
meradang.
Gambar 2.48 Neri's bowing sign
Lewin's standing sign
Lewin standing sign muncul pada pasien dengan lutut
ekstensi. Nyeri yang meningkat pada pinggang atau kaki dapat
memicu lutut kembali tertekuk. Jika hal ini didapati, diskus,
gluteal, atau gangguan sakroiliac diindikasikan.
Gait
Catat saat pasien berjalan pincang dan bagaimana
ekstremitasnya dipengaruhi.
Gambar 2.50.Pemeriksaan Gait
Kemp's sign
Kemp sign harus dilakukan di kedua posisi. Kemp sign
didapatkan positif pada iritasi facet atau kompresi yang menonjol
terhadap nerve root. Jika keduanya muncul, maka akan timbul nyeri
pinggang. Dengan adanya tonjolan diskus, akselerasi radikulopati
ekstremitas bawah akan meningkat. Beberapa pasien dengan lesi
diksus hanya mengalami nyeri pinggang dengan Kemp sign.
Dengan medial diskus, Kemp sign biasanya positif saat pasien
memfleksikan ke kanan atau ke kiri saat ekstensi.
Nyeri terjadi karena medial diskus dapat mengiritasi nerve root
terlepas dari arah di mana pasien berada di posterior dan lateral
fleksi. Pada tonjolan medial diskus diharapkan pasien akan
mengalami nyeri yang lebih besar saat difleksi dari sisi nyeri atau
lesi diskus, sedangkan pada tonjolan diskus lateral, pasien akan
mengalami nyeri yang lebih besar saat difleksi ke sisi nyeri
pinggang dan nyeri ekstremitas bawah.
Gambar 2.51. Kemp's sign
Toe walk
Ketidakmampuan untuk berjalan memakai jari kaki
menunjukkan masalah diskus L5-S 1 yang disebabkan oleh
kelemahan otot betis yang diinervasi oleh tibial nerve.
Heel walk
Ketidakmampuan berjalan memakai tumit
mengindikasikan masalah pada diskus L4-L5 yang di sebabkan oleh
kelemahan otot kaki anterior oleh common peroneal nerve
Gambar 2.52. Toe Walk
Gambar 2.53. Heel Walk
Pemeriksaan pada Posisi Pasien Supine
Beberapa tes mungkin dilakukan pada pasien dengan posisi
pronasi, tergantung pada posisi mana yang lebih nyaman terhadap
dokter dan pasien.
Lindner's sign
Tes untuk tanda Lindner sign (juga dikenal sebagai Brudzinski
sign atau Soto-Hall sign) sering dilakukan bersamaan dengan SLR
tes atau Valsava manuver untuk memberi efek maksimal.
Lindner sign mengacu pada peregangan lapisan dural nerve wot di
belakang diskus yang menonjol, yang memicu nyeri saat
dilakukan tes.
Straight Leg Raising sign (SLR)
Selama SLR, nerve root lumbosakral bergerak melalui foramina
intervertebralis hingga beberapa milimeter, tergantung pada penulis
yang dikutip. Fisk menyatakan bahwa nerve root bergerak 2,5 cm.
Banyak traksi ditemukan pada sciatic nerve di sacral ala dan sciatic
notch, dengan gerakan yang pertama kali terlihat pada sciatic notch
dan lalu di rootnya. Jika pasien merasa nyeri segera setelah
memulai manuver SLR, dapat mengindikasikan adanya tonjolan
diskus yang besar atau sensitivitas saraf pada
Gambar 2.54. Lindner's sign pada Posisi
Pasien Supine
M
NYERI PINGGANG BAWAH (LOW BACK PAIN)
Gambar 2.55. Test Straight Leg Raising sign (SLR)
sacral ain atau sciatic notch. Gerakan sciatic nerve berkurang seiring
bertambahnya usia dan posisi semakin dekat dengan spinal cord.
Penting untuk diingat bahwa kompresi atau meregangkan
saraf normal tidak menyakitkan. Nyeri SLR yaitu mekanisme
input refleks atau sensorik yang melindungi seseorang dari cedera.
Alasan untuk nyeri SLR dijelaskan sebagai sensitivitas dorsal root
yang disebabkan oleh tekanan mekanis.
Straight leg raising dan Lindner's signs
Kapanpun tes SLR menghasilkan hasil yang patut
dipertanyakan untuk nyeri, kombinasikan dengan fleksi cervical
spine (Lindner sign). Kombinasi ini menempatkan tarikan dan
peregangan terbesar pada nerve root di belakang intervertebral disk
dan sering memicu nyeri. Seiring dengan kombinasi ini,
lakukan dorsoflexksi kaki, batuk pada pasien, atau melakukan
manuver Valsava. Manuver ini selanjutnya menonjolkan tekanan
intradiskus dan memicu nyeri yang mungkin dilewatkan.
Swan dan Zervas menemukan bahwa fleksi leher dan elevasi
kaki kontralateral secara simultan menghasilkan nyeri pada sciatic
notch ipsilateral pada lima pasien dengan fragmen bebas atau diskus
yang herniasi yang ditemukan pada saat operasi. Mengangkat kaki
kontralateral saja tidak memicu nyeri di kedua kaki. Adduksi
dan rotasi internal kaki saat SLR dilakukan membawa respon nyeri
lebih mudah; ini disebut Bonet's phenomenon. Melakukan dorsofleksi
kaki selama SLR disebut Braggard's sign; dan ekstensi ibu jari kaki
selama SLR untuk menonjolkan peregangan nerve root disebut
Sicard's sign.
Well leg raising (Fajersztajn) sign
Fajersztajnsign yaitu eksaserbasi nyeri yang melibatkan
ekstremitas bawah saat ekstremitas berlawanan atau ekstremitas
yang tidak terlibat ditempatkan pada SLR. Hudgins menyatakan
bahwa peningkatan nyeri sciatica pada mengangkat kaki yang
berlawanan atau kaki yang sehat (the cross straight leg raising sign)
dikaitkan dengan hemiasi lumbal diskus pada 97% pasien.
Myelography tidak diperlukan untuk diagnosis herniasi disk pada
pasien dengan tanda ini. Meskipun mungkin bagi pasien dengan
tanda ini memiliki mielogram normal, 90% membuktikan memiliki
herniasi diskus.
Gambar 2.56. Straight leg raising dan Lindner's signs
Gambar 2.57. saat tonjolan diskus digerakkan ke lateral nerve root,
mengangkat kaki yang tidak terlibat akan menarik nerve root menjauh dari
diskus dan dapat meringankan nyeri pinggang atau kaki.
Gambar 2.58. saat tonjolan diskus digerakkan medial ke nerve root,
mengangkat kaki yang tidak terlibat benar-benar menarik nerve root ke dalam
tonjolan diskus dan memicu radikulopati menjalar ke kaki yang terlibat.
Tes Straight Leg Raising dianggap sebagai tes klinis yang paling
penting untuk mengevaluasi ketegangan lumbal lumbar nerve root
yang disebabkan oleh herniasi diskus. Insiden tes SLR yang positif
bervariasi antara 81 dan 99%. Tes SLR positif pasca operasi
berkorelasi dengan hasil inferior pada pembedahan. Straight leg lift
yaitu tanda diagnostik fisik pra operasi yang paling sensitif (90%)
untuk menghubungkan patologi intraoperatif herniasi diskus
lumbal.
Straight leg raising lebih cenderung positif dengan herniasi
diskus L4-L5 atau L5-S1 dibandingkan dengan herniasi lumbar
(L1-L4) tinggi lainnya dimana tes ini hanya positif pada 73,3%
pasien. Alasan yang mungkin yaitu nerve root L5 dan SI bergerak 2
sampai 6 mm pada tingkat neural foramen, sedangkan nerve root
lumbar yang lebih tinggi menunjukkan hanya sedikit
penyimpangan.
Ketegangan akan ditransmisikan ke nerve root begitu kaki
diangkat melewati 30°, namun setelah 70°, pergerakan saraf lebih
lanjut dapat diabaikan. Tanda SLR yang khas yaitu salah satu yang
menghasilkan sciatic pada pasien antara elevasi kaki 30 0 dan 60 °.
Hubungan antara tes SLR dan ukuran, bentuk, dan posisi hernia
dievaluasi sebelum dimulainya terapi non operatif dan lalu 3
dan 24 bulan setelah terapi.
Patrick's sign
Tanda Patrick mengacu pada rasa sakit di area selangkangan
dan pinggul, yang umum terjadi pada lesi diskus karena iritasi
suplai saraf ke struktur ini. Evaluasi radiografi pinggul akan
menyingkirkan setiap penyakit pinggul.
Gambar 2.59. Patrick's sign
Gaenslen's sign
Tes untuk tanda Gaenslen dilakukan dengan fleksi satu lutut di
dada, sementara kaki yang lainnya pada posisi ekstensi,
ditempatkan di sisi atas meja. Ini yaitu tanda diferensial antara
nyeri tulang belakang sacroiliac dan lumbal. Saat tes dilakukan, rasa
sakit akan muncul di lokasi lesi, apakah berada di tulang belakang
sacroiliac atau lumbal.
Gambar 2.60. Gaenslen's sign
Cox's sign
Tanda Cox terjadi saat , selama SLR, pelvis naik dari meja dan
bukan fleksi pada pinggul, perlu diperhatikan kejadian ini pada
pasien dengan prolaps ke foramen intervertebralis yang merupakan
kondisi serius.
Amoss' sign
Tanda Amoss dimanifestasikan dengan sulitnya bangkit dari
posisi supinasi. Pasien harus memakai lengan untuk
mengangkat dirinya dan mencegah fleksi atau gerakan pada lumbal
Milgram's sign
Ketidakmampuan untuk menahan kaki 6 inci dari lantai
sementara pada posisi supinasi mengindikasikan iritasi nerve root
yang ekstrem dan diyakini merupakan tanda arachnoiditis yang
Gambar 2.61. Cox's sign
Gambar 2.62. Amoss's sign
disebabkan oleh pewarna iophendylate seperti lesi pada diskus.
IMAGING PADA NYERI
PINGGANG BAWAH
Low back pain (nyeri pinggang bawah) merupakan kondisi yang
dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, tetapi puncak prevalensi
dari nyeri pinggang bawah dijumpai pada kelompok usia setengah
tua dan usia tua. Untuk menegakkan penyebab nyeri pinggang
bawah, seringkah diperlukan pemeriksaan radiologi (imaging)
sebagai pemeriksaan penunjang. Imaging diagnostik membantu
mendeteksi kelainan-kelainan struktur anatomi vertebra, sehingga
dapat memudahkan klinisi dalam melakukan tatakelola terapi yang
adekuat.
Terjadi peningkatan frekuensi imaging diagnostik untuk nyeri
pinggang bawah pada dekade terakhir, bersamaan dengan
pergeseran ke arah cross-sectional imaging yang tentu saja
memerlukan biaya yang lebih tinggi. Pada era dimana pelayanan
kesehatan sangat menekankan angka kesembuhan pasien, manfaat
dan biaya setiap pemeriksaan penunjang, sangatlah penting untuk
memahami aplikasi yang tepat dari setiap imaging diagnostik.
Pemeriksaan radiologi 'rutin' memakai berbagai modalitas
imaging yang dilakukan untuk kasus-kasus nyeri pinggang bawah
tanpa mempertimbangkan risk dan benefit kadangkala justru
memberi kerugian seperti adanya paparan radiasi yang
seharusnya tidak diterima pasien, serta beban finansial terhadap
pasien dan sistem kesehatan untuk pemeriksaan radiologi yang
sebenarnya tidak perlu dilakukan. Mengetahui kelebihan dan
keterbatasan serta peruntukan dari setiap modalitas imaging akan
membantu mengurangi pemeriksaan imaging diagnostik yang tidak
perlu.
Saat membuat keputusan apakah perlu melakukan
pemeriksaan imaging diagnostik, sangat penting bagi klinis untuk
memfokuskan pada riwayat pasien dan temuan klinis, dimana
dikelompokkan menjadi: (a) nyeri pinggang bawah yang disertai
sciatica atau stenosis spinal canal; (b) patologi spinal yang serius
seperti infiltrasi neoplastik, infeksi, fraktur dan sindroma cauda
equina; (c) nyeri pinggang bawah non spesifik. Sekitar 90% pasien
datang dengan nyeri pinggang bawah non spesifik. Pasien yang
tidak memenuhi kedua kategori pertama dapat diklasifikasikan ke
dalam nyeri pinggang bawah non spesifik, dimana sekitar 90%
pasien termasuk dalam nyeri pinggang bawah non spesifik.
Modalitas imaging diagnostik pada