ugs: LSD, kanabis (marihuana, hashiz),
XTC, meskalin, jamur (psilosibin), alkohol dan
inhalansia. Zat-zat ini pada pemakaian kronis (hampir) tidak menyebabkan ketergantungan fisik atau toleransi. Ketergantungan
psikis dapat terjadi.
* Stepping-stone-theory. Suatu hipotesis
menyatakan bahwa pemakaian soft drugs
lambat laun mengakibatkan kecenderungan
seseorang untuk beralih ke pemakaian hard
drugs (eskalasi). Alasannya yaitu bahwa
pemakaian soft drugs lambat atau cepat
akan menjurus ke obat-obat yang dapat
memberikan efek euforia (perasaan nyaman)
dan pengkhayalan yang lebih kuat. Namun
para ahli belum seluruhnya sepakat dengan
teori ini.
a. Eco-drugs. Pada permulaan tahun 1990-
an, timbul suatu gerakan yang disebut
New Age yang memberikan perhatian baru
bagi spiritualitas dan masalah kerohanian.
Akibat-nya banyak pemuda mulai
menggunakan drugs tidak hanya untuk
tujuan rekreatif. Kemudian di seluruh
dunia orang melakukan eksperimen dengan
bahan-bahan yang dapat meningkatkan
kesadaran lahir dan batin (body and mind
awareness). Tumbuh-tumbuhan dan jamur
dengan efek psiko-aktif (psikedelika) menjadi
sangat populer dan didatangkan dari negaranegara tertentu (Amerika Tengah/Selatan,
Somalia dan Yemen), di mana bahan-bahan
itu sudah lazim dipakai oleh rakyatnya.
Yang terpenting yaitu drugs alami (ecodrugs) seperti: qat (Afrika Utara-Timur),
meskalin (kaktus dari Meksiko), psilo-sibin
(sejenis jamur), guarana (hutan rimba Brasil)
dan Kava (kepulauan Polinesia).
Karena efek toksik bagi hati pengguna,
kava-kava di negeri Belanda telah dilarang
peredarannya per 1 Sept. 20021. Q a t (pelafalan: kat) terdiri dari batang
muda yang harus dikunyah berjamjam lamanya untuk melepaskan zat-zat
aktifnya, yaitu cathinon dan cathine. Qat
sangat populer di Somalia, Yemen dan
Etiopia, yang dipakai dalam pergaulan sosial saat misalnya, minum kopi.
Efeknya menyegarkan dengan daya halusinogen ringan. Risiko ketagihan kecil
sekali. pemakaian intensif dapat menimbulkan iritasi lambung-usus, konstipasi
kronis dan peradangan.
2. Jamur halusinasi25 (“psilo‘s“, “paddo‘s“).
Jamur dari genus Psilocybe (bah Indian:
kepala gundul), misalnya Psilocybe semilanceata (= “Liberty cup“), yang ada
di Eropa/Amerika dan Stopharia Cubensis
(dari pegunungan Meksiko) dewasa ini
sangat populer di kalangan remaja. “Jamur-jamur sihir“ ini (magic mushrooms)
mengandung psilosibin dan psilosin,
yang memengaruhi neurotransmitter serotonin. Zat-zat ini memberikan efek halusinogen (“trip“) yang berlangsung selama 4-6 jam tergantung dari dosisnya.
Jamur ini dimakan dalam keadaan segar
atau dikeringkan, tidak menimbulkan
ketagihan dan juga tidak mengakibatkan
‘efek samping‘ buruk bila tidak dimakan
berlebihan. Khasiat halusinogennya diberitakan 100 kali lebih lemah daripada LSD
(pada dosis yang sama). Pada dosis tinggi
dapat terjadi gejala intoksikasi (bad trip)
dengan kecenderungan bunuh diri. Pada
suku Indian Maya di Amerika Tengah
dan Amerika Selatan sejak berabad-abad,
syamannya (curanderos), yaitu “dukun”
yang dapat menjalin kontak dengan para dewa, sudah menggunakan jamur
itu untuk mencapai keadaan kesurupan
(trance). Di Meksiko jamur halusinasi disebut teonanacatl (bah. Aztek: daging
Allah) dan sejak dahulu dipakai pada
berbagai ritual rakyat. Tetapi sejak tahun
1973 pemerintah melarang pemakaian nya oleh umum, kecuali oleh curanderos. Psilosibin dan psilosin termasuk dalam Daftar Narkotika di kebanyakan negara, sedangkan jamurnya sendiri tidak.
b. Alkohol. Sebagai variasi dari masalah
drug abuse dapat disebut bahwa alkohol merupakan zat yang paling umum disalahgunakan berhubung fungsinya sebagai unsur
sosial dan rekreasi. Sebagai sedativum yang
bersifat short-acting, alkohol dalam dosis
ke-cil mampu mengurangi atau menghilangkan kecanggungan atau ketegangan dan
menambah keluwesan dalam pergaulan, di
samping menimbulkan perasaan euforia.
Namun pemakaian alkohol yang di negara
Barat sangat umum, sering kali menghasilkan
peminum alkohol kronis (physical dependence,
alcoholism) dalam jumlah yang sangat besar
dan yaitu masalah sosial serius.
c. Rokok dan nikotin. Ketagihan merokok
disebabkan oleh nikotin di dalam tembakau,
yang memiliki sifat merangsang (lemah) terhadap SSP dan menyebabkan euforia serta
menghilangkan perasaan mengantuk.
d. Obat-obat. Pada umumnya setiap obat yang
memengaruhi kesadaran dapat disalahgunakan, bahkan obat untuk penyakit Parkinson,
misalnya levo-dopa dan antikolinergika. Oleh
karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 213/1985
tentang Obat Keras Tertentu (OKT), yang mencakup antara lain obat-obat psikotropika
seperti hipnotika/sedativa dari kelompok
barbiturat, juga tranquillizers. Maksudnya
yaitu pengendalian dan pengawasan yang
lebih ketat terhadap impor, produksi dan
distribusi beberapa obat keras tertentu yang
bila dipakai di luar tujuan pengobatan
sangat membahayakan kesehatan manusia
serta berpengaruh kepada masyarakat.
Undang-undang tersebut di atas kemudian
disusul dengan Undang-undang RI Nomor 5
tahun 1997 tentang Psikotropika. Lihat juga
Bab 1, sub 4, Peraturan perundang-undangan
di bidang farmasi.
1. Senyawa benzodiazepin. Kelompok tranquillizer, terutama benzodiazepin (diazepam, klordiazepoksida, flunitrazepam) menimbulkan masalah besar di negara-negara Barat. Menurut taksiran, pencandu
benzodiazepin di negara-negara ini berjumlah lebih besar daripada yang keta- gihan alkohol dan drugs. sesudah digunakan 4-8 minggu, pemakai sudah menunjukkan toleransi dan ketergantungan, sedangkan penghentiannya menimbulkan gejala penarikan yang mirip keluhan semula, tetapi bersifat lebih hebat
(rebound/kick off symptoms). Oleh karena itu
ketagihan benzodiazepin sering kali tidak
dikenali dan pemakaian nya dilanjutkan.
Semakin lama pemakaian nya, semakin
hebat gejalanya, a.l. rasa takut, sukar
tidur, tremor, kontraksi otot tak terkendali
serta hipersensitivitas bagi cahaya, bunyibunyian dan sentuhan. Pada umumnya
gejala ini tidak sehebat hard drugs, tetapi
masa pengobatannya sering kali lebih
panjang daripada ketagihan alkohol dan
drugs seperti heroin. Lihat selanjutnya
Bab 24. Sedativa dan Hipnotika.
2. GHB (gamma-hydroxybutyric acid) yaitu
suatu cairan yang dahulu dipakai
sebagai obat narkosa (induksi anestesi)
untuk “menidurkan“ pasien yang akan
dibedah. Secara keliru juga dinamakan
“XTC cairan“. Disebabkan efeknya sukar
diramalkan, obat ini sudah lama tidak digunakan lagi (kecuali di Prancis) karena
ada nya obat-obat yang lebih cocok
dengan risiko efek samping (mual dan
muntah) lebih rendah. Akhir tahun 1998,
pemakaian nya sebagai party drug dilaporkan lagi dan sering kali juga untuk
membius wanita (“date-rape-drug“). Senyawa ini sangat berbahaya, karena
do-sis stimulasi dan menyegarkan
(eufori) berdekatan dengan dosis
menidurkannya. ada risiko besar
untuk menimbulkan koma dengan mual
dan muntah yang dapat berakibat fatal.
GHB yaitu derivat dari neurotransmitter GABA dan berlainan dengannya
dapat menembus barier darah-otak. GHB
memiliki t½ yang sangat singkat (21 menit)21 dan absorpsinya dari saluran
pencernaan luar biasa cepat dengan
efek maksimal sesudah 30-60 menit.
berdasar perkiraan efek anabolnya,
GHB dahulu banyak dipakai oleh
olahragawan bina raga21,22 sebagai
penguat otot.
Ketergantungan, adiksi
dan habituasi
Sebelum dilanjutkan dengan pembahasan
penyalahgunaan obat (drug abuse), terlebih
dahulu akan diuraikan definisi beberapa
istilah yang berhubungan dengan hal ini.
“Drug abuse” (penyalahgunaan) berarti
pemakaian berlebihan yang terus-menerus
ataupun kadang-kadang dari suatu obat
secara tidak layak, yaitu menyimpang dari
indikasi pengobatan yang lazim.
Adiksi (“addiction“, ketagihan, compulsive
drug taking) dan habituasi (“habituation“, kebiasaan) yaitu istilah yang berhubungan
erat dengan abuse. Untuk kedua istilah ini,
WHO dalam laporan ke-18-nya (1970) menggunakan istilah “drug dependence“ (ketergantungan). Namun dalam praktik masih sering
dipakai istilah adiksi untuk melukiskan
ketergantungun yang sangat hebat.
Ketergantungan (“drug dependence“) adalah suatu keadaan fisik dan/atau psikis, yang
diakibatkan oleh interaksi antara makhluk
hidup dan satu atau lebih obat. Keadaan
ini ditandai oleh perilaku yang terdorong
oleh suatu hasrat kuat untuk terus-menerus
atau periodik menggunakan obat tertentu.
Tujuannya yaitu untuk menyelami efekefek psikisnya atau untuk menghindari
gejala abstinensi, karena bila pemakaian nya dihentikan segera akan muncul efek
“withdrawal“ yang sangat tidak nyaman. Hasrat ini menguasai seluruh pikiran dan tingkah laku si pencandu dan keinginannya
untuk memperoleh obat tersebut sangat kuat sehingga melebihi kebutuhannya akan
makan, tidur, seks dan membuatnya bertindak asosial atau kriminal.
Kemungkinan timbulnya ketergantungan
berdasar beberapa faktor seperti jenisnya obat/drug, cara pemakaian dan individunya. Kecepatan absorpsi oleh tubuh, misalnya pemberian melalui injeksi intravena atau
menghisapnya sebagai rokok (kokain, heroin)
meningkatkan potensi ketergantungan.
Berlainan dengan ketergantungan, pada
habituasi seseorang dapat menghentikan kebiasaannya (misalnya minum kopi) tanpa menimbulkan konsekuensi yang parah Ada dua jenis dependence, yakni ketergantungan
fisik dan ketergantungan psikis, juga fenomena
ketergantungan silang.
1. Ketergantungan fisik bercirikan terjadinya
gejala abstinensi bila pemakaian obat yang
berulangkali dihentikan dan yang kadangkadang menimbulkan efek “rebound“ yang
berlebihan. SSP menggunakan zat sejenis
morfin (endorfin) sebagai neurotrans-mitter
yang produksinya oleh tubuh dihentikan, bila
misalnya diberikan suatu opiat. Bila kemudian pemberian opiat ini mendadak dihentikan, segera timbul kekurangan endorfin
tersebut dan terjadilah gejala abstinensi,
yang dapat berlangsung sampai bermingguminggu. Pada jenis dependence ini, terjadinya
toleransi berperan penting.
a. Ketergantungan silang (cross-dependence
atau cross tolerance). Dengan istilah ini
dimaksudkan kemampuan suatu obat
untuk menekan gejala ketergantungan fisik
dari lain obat. Dengan lain kata, efek
penarikan dari satu obat dapat dikurangi
oleh pemberian obat lain. Misalnya,
kebanyakan sedativa-hipnotika memiliki
ketergantungan silang satu dengan yang
lain, juga terhadap alkohol dan senyawa benzodiazepin. Bila suatu long-acting
drug, seperti metadon, disubstitusikan bagi morfin selama beberapa hari (maks.150
mg/hari) dan kemudian dihentikan secara mendadak, maka sindrom withdrawal
yang timbul yaitu khas dari metadon
dan bukannya dari morfin. Aspek dari
ketergantungan silang ini mempunyai
implikasi klinik penting, karena gejala
withdrawal yang timbul dari obat dengan
masa paruh yang lebih panjang (metadon,
fenobarbital, diazepam) pada umumnya
tidak begitu hebat walaupun berlangsung
lebih lama. Hal inilah yaitu dasar
dari terapi substitusi terhadap ketergantungan fisik dari opioida dan obat-obat
depresan SSP lainnya.
b. Toleransi, yang sering kali berkaitan dengan ketergantungan, dimaksudkan kecenderungan untuk secara progresif meningkatkan dosis dari suatu obat untuk
mencapai efek semula. Singkatnya istilah
toleransi dapat didefinisikan sebagai penurunan respons terhadap suatu obat
sesudah pemberian berulang kali. Dengan
lain kata, efek obat berkurang sesudah
pemakaian (lama) dalam dosis yang
sama, sehingga diperlukan dosis yang
semakin besar untuk mencapai efek yang
sama (misalnya euforia) sehingga dapat
menimbulkan efek toksik. Penyebabnya
antara lain meningkatnya kecepatan metabolisme (toleransi farmakokinetik) dari suatu
obat, tetapi penyebab utamanya sebagai
respons biokimiawi yaitu terjadinya
adaptasi dari sel-sel sistem saraf (neuroadaptif) terhadap daya kerja obat. Toleransi terhadap opioida dapat timbul
dengan cepat sekali, misalnya pencandu
morfin dapat menerima dosis harian dari
500 mg morfin hanya dalam waktu 10
hari! Singkatnya, ketergantungan fisik
maupun toleransi yaitu mekanisme
adaptasi sel-sel tubuh sebagai akibat
didudukinya reseptor opiat secara terusmenerus.
Toleransi silang (cross-tolerance) dapat
terjadi antara zat-zat dari kelompok
kimiawi yang sama, tetapi kadangkadang juga dari kelompok yang berlainan, misalnya barbital, alkohol dan
benzodiazepin.
c. Sindrom penarikan (“withdrawal symptoms”). Penghentian secara mendadak
dari pemakaian narkotika mengakibatkan timbulnya suatu rangkaian gejala
hebat yang adakalanya dapat mematikan.
Misalnya pada morfin dan derivat-derivatnya, ’sindrom abstinensi’ dapat berbentuk ketakutan, berkeringat, mata berair, gangguan saluran cerna, sakit perut
dan punggung, tidak bisa tidur dan kadangkala psikosis atau konvulsi. Gejala
ini hanya dapat diatasi dengan memberikan obat bersangkutan atau yang sejenis. Kekhawatiran yang mendalam akan
timbulnya gejala abstinensi ini mendorong pencandu untuk kembali menggunakan narkotika. Pada obat-obat yang
menyebabkan ketergantungan fisik ini, tubuh lambat laun menyesuaikan diri (toleransi) terhadapnya bila dipakai seca- ra kontinu. Gejala withdrawal juga akan
timbul bila efeknya dihambat oleh suatu
obat antagonis.
Gejala-gejala penarikan yaitu kebalikan dari efek obat aslinya (“originalnya“). Timbulnya sindrom gejala withdrawal bila pemberian drug/narkotika dihentikan yaitu bukti nyata dari ketergantungan fisik.
*Toleransi dan ketergantungan fisik tidak
saja timbul pada opioida, alkohol dan hipnotika,
tetapi pada pemakaian lama juga timbul
pada antikolinergika, antagonis dopamin dan
imipramin. Begitu juga dapat timbul pada
penghentian mendadak dari beta-blocker, antagonis-Ca atau agonis-alfa-adrenergik.
2. Ketergantungan psikis bercirikan terjadinya gejala abstinensi psikis bila pemberian
obat dihentikan, karena telah terjalin suatu
ikatan psikis yang kuat antara pemakai dan
obat.
pemakaian drugs dapat menciptakan suatu keadaan seolah-olah seseorang dapat
melepaskan diri dari keadaan konflik dan
melarikan diri dari kesulitan. Namun, begitu pemakaian nya dihentikan, segala masalah dan kesulitan akan timbul kembali,
sehingga untuk dapat melupakannya penggunaan harus dilanjutkan. Dengan perkataan lain, secara mental ia tergantung dari
pemakaian drug. Hasrat kuat akan obat dapat
menimbulkan gejala mudah tersinggung dan
kegelisahan, tetapi dapat pula meningkat
menjadi kelakuan asosial dan tindakan kriminal untuk memperoleh obat. Pada drugs
yang bersifat sangat adiktif, ikatan psikis
demikian kuat sekali dan dapat bertahan
lama (sampai bertahun-tahun), juga sesudah
obat dihentikan.
Faktor-faktor penyebab. Singkatnya, ketergantungan psikis didasarkan atas hasrat untuk terus-menerus menggunakan drug dengan tujuan kenikmatan atau untuk menghilangkan ketegangan dan perasaan tidak
nyaman. Obat-obat yang menimbulkan ketergantungan psikis pada umumnya bekerja
terhadap otak dan menimbulkan antara lain
efek sebagai berikut:
– menghilangkan/mengurangi ketegangan
dan kecemasan
– memberikan perasaan nyaman (eufori)
dan
– menimbulkan perasaan meningkatnya
kemampuan fisik maupun mental.
Batasan antara ketergantungan fisik dan
psikis tidak selalu jelas, misalnya menghentikan merokok dapat mengakibatkan suatu
beban mental bagi seorang perokok berat
yang dapat menimbulkan gejala fisik, seperti
gangguan pencernaan dan gemetar (tremor).
Mekanisme adiksi
Ada indikasi kuat bahwa terjadinya toleransi
dan ketergantungan berkaitan erat dengan
aktivasi dari sistem dopaminerg di otak.
Semua zat yang bersifat adiksi berkhasiat
meningkatkan jumlah dopamin secara akut,
yang dihubungkan dengan efek eufori, labilitas emosional, kekacauan dan histeri. Misalnya
heroin, amfetamin, marihuana, alkohol, nikotin dan kofein mencetuskan pelepasan
dopamin (berlebihan), sedangkan kokain
menghambat re-uptakenya. Lebih dari sepuluh neurotransmitter lain, antaranya noradrenalin dan serotonin memegang peranan
pula pada adiksi, tetapi pengaruhnya jauh
lebih ringan. Kadar dopamin yang terlalu
tinggi dapat mengakibatkan halusinasi dan
psikosis akut, seperti pada schizofrenia. Lihat
juga Bab 29, Antipsikotika.
Pengobatan adiksi
Pengobatan ketagihan terutama ditujukan pada dua aspek, yaitu penghentian pemakaian
(withdrawal) dan rehabilitasi sosial pasien. Pada
pengobatan harus diperhatikan beberapa faktor, yaitu:
1. taraf ketergantungan fisik penderita harus ditelaah
2. penderita harus diberikan drug lain (metadon atau agonis-α2
-adrenerg seperti klonidin) untuk menekan gejala abstinensi
serius sambil lambat-laun mengurangi
dosisnya (terapi substitusi).
Gejala withdrawal dari narkotika juga dapat diringankan dengan pemberian obat hipertensi/migrain klonidin (Catapres, Dixarit).
Obat ini dapat memberikan efek samping seperti turunnya tekanan darah, pusing-pusing, gelisah, tidak bisa tidur, mudah tersinggung, detak jantung yang lebih cepat dan
sakit kepala.
* Antagonis opiat. Lihat juga Bab 22, Analgetika Narkotika.
Secara farmakoterapeutik, suatu jenis pengobatan yang lebih spesifik untuk menghilangkan ketagihan terhadap opiat didasarkan
pada teori bahwa bila reseptornya di SSP
sudah dihambat oleh zat-zat antagonis narkotika, maka pemakaian opiat tidak akan
menyebabkan suatu ketergantungan fisik.
Dalam hal ini, antagonis opiat spesifik nalokson telah dicoba secara klinik, tetapi hasilnya jauh lebih kurang memuaskan dibandingkan terapi metadon. Naltrekson adalah suatu antagonis morfin murni (tanpa
kerja agonis) yang dapat menghindari efek
opioida, sepert euforia. Obat ini dipakai
sebagai obat pembantu selama proses menanggulangi adiksi untuk mendukung “to
stay clean“. Hanya boleh diberikan pada
pencandu yang sudah tidak menggunakan
drug selama 7-10 hari. Bila opiat dipakai
lagi, dalam waktu 15 menit akan muncul
gejala abstinensi akut yang serius dan dapat
bertahan 48 jam. Daya kerja naltrekson berlangsung selama 24 sampai 72 jam. Dosisnya
50 mg tiap hari atau 3 kali seminggu.
Penanganan ketagihan adakalanya dilakukan dengan metode "cold turkey” pada
mana pemberian zat narkotika kepada penderita dihentikan dengan serentak, walaupun timbul gejala-gejala penarikan yang hebat seperti kejang-kejang perut, diare, muntah, sakit otot, hidung meler, mata berair, berkeringat dingin dan merinding (“gooseflesh“)
yang berlangsung sekitar satu minggu.
Kebanyakan pasien memiliki risiko/kecenderungan untuk kembali menggunakan narkoba, sehingga perlu mendapatkan terapi
jangka panjang. (McLellan et al., Drug dependence, a chronic medical illness.
Ref.: JAMA, 2000, 13:1689-1695; O’Brien CP,
Treatment of alcoholism as a chronic disorder,
EXS, 1994, ,71:349-359).
Medikasi berkelanjutan dapat efektif pada
ketergantungan opioid (metadon) dan pada
ketagihan alkohol (disulfiram atau akamprosat). Prosedur ini juga dapat memperbaiki keadaan fisik, maupun fungsi mental
dan sosial pencandu.
Obat-obat alkoholisme
Untuk mengobati ketagihan alkohol tersedia
disulfiram dan akamprosat yang mengakibatkan konsumsi alkohol sangat tidak nyaman,
karena menyebabkan akumulasi asetaldehida.
Klordiazepoksida dan diazepam adakalanya
juga dipakai untuk pengobatan substitusi
terhadap alkoholisme.
*Disulfiram (Antabus, Refusal) menghambat
enzim aldehida-dehidrogenase, sehingga penguraian alkohol terhenti pada tingkat asetaldehida, lihat persamaan reaksi di bawah
ini.
Dengan demikian, kadar metabolit ini dalam darah meningkat dan mengakibatkan
suatu kompleks gejala tidak nyaman seperti
mual, muntah-muntah, flushing, hipotensi,
sakit kepala berat, pusing dan debar jantung
(palpitasi). Semua ini timbul hanya dalam
beberapa menit sesudah seseorang minum
alkohol. Kerjanya panjang sekali (t½ 25 jam).
Efek sampingnya berupa rasa lelah, mengantuk, sakit kepala dan gangguan alat cerna.
Dosis: permulaan 800 mg sehari selama 2-3
hari, kemudian 2 x seminggu 400-800 mg.
*Akamprosat (Campral) yaitu obat kedua
(1998) yang ternyata lebih efektif sebagai
obat pembantu penanganan psikososial
untuk menghindari terpuruknya kembali si
pencandu pada kebiasaan minum alkohol.
Obat ini khusus bagi para alkoholis yang
sudah tidak ketagihan lagi, tetapi tidak sebagai obat untuk menghentikan. Efeknya baru
nampak sesudah 2-3 minggu.
Efek samping yang terpenting yaitu diare
dan gatal-gatal, juga mual, muntah dan sakit
perut. Akamprosat dapat dipakai pada
gangguan hati, sedangkan antabus tidak.
Dosis pagi 2 tablet e.c. dari 333 mg, malam
hari 1 tablet.
PENGGOLONGAN
DRUGS
Zat-zat dengan efek psikoaktif yang dapat
menimbulkan ketergantungan dan/atau ketagihan pada umumnya dikelompokkan berdasarkan perubahan yang diakibatkannya
terhadap fungsi SSP dan keadaan jiwa seseorang. berdasar efek psikotropnya dapat dibedakan empat kelompok sebagai berikut.
A. Psikodepresiva
Zat-zat ini berefek menekan SSP dengan
ketergantungan fisik dan psikis yang kuat
sekali. Pada alkohol sangat lambat terjadinya,
sedangkan pada heroin cepat sekali. Toleransi sering kali terjadi. Gejala penarikan umumnya hebat.
1. Opioida: opium, morfin, heroin, metadon,
petidin dan dekstromoramida
Zat-zat ini memiliki khasiat analgetik kuat
(lihat Bab 20, Analgetika Perifer), memberikan
perasaan nyaman dan suatu perasaan khayal
yang bebas dari kesulitan maupun frustrasi
yang mencekam pikiran. Perasaan eufori
demikian lebih nyata pada keadaan jiwa yang
tertekan, cemas dan tegang, sehingga mudah
sekali berkembangnya suatu ketergantungan
psikis terhadap zat-zat ini. Ketergantungan
fisik maupun silang juga timbul pada morfin,
heroin, kodein dan senyawa opioida sintetik
maupun semi-sintetik seperti metadon dan
petidin.
sesudah pemakaian kronis, penghentian
dengan mendadak dapat menimbulkan suatu sindrom abstinensi hebat yang terdiri dari ketakutan, ketegangan, tidak bisa tidur,
menggigil, diare dan perasaan sakit yang
hebat. Dalam keadaan demikian, penderita berusaha dengan segala daya upaya, kadangkala secara kriminal, untuk memperoleh
zat yang dianggap dapat menghilangkan
penderitaannya.
Khasiatnya. Opioida berkhasiat analgetik,
mengurangi perasaan nyeri, sifat agresi dan
hasrat seksual. Zat ini juga menimbulkan
depresi pernapasan, miosis, bradycardia,
turunnya tensi, obstipasi, perasaan pusing
dan turunnya suhu badan. Timbulnya perasaan nyaman (eufori) kadang-kadang disebabkan oleh karena hilangnya perasaan
sakit yang hebat. Gejala withdrawal/abstinensi
pada umumnya yaitu kebalikan dari
efek obat, seperti meningkatnya kewaspadaan, pernapasan yang cepat di samping
berkeringat, meningkatnya denyut jantung,
gemetar, pupil melebar, diare dan demam.
Gejala ini sudah dapat timbul 4 sampai 6 jam
sesudah penghentian pemberian narkotika
dan mencapai puncaknya dalam 27-36
jam. Sifat dan kehebatan gejala abstinensi
ini tergantung dari banyak faktor, seperti
jenis drug, dosis per hari, jangka waktu
pemakaian dan status kesehatan pencandu.
Karena narkotika dikeluarkan dari tubuh
dengan kecepatan yang berbeda-beda, gejala
withdrawalnya ju-ga berbeda bagi setiap
obat.
pemakaian . Opioida dipakai dalam
ilmu pengobatan sebagai obat-obat penghalang nyeri yang kuat, lihat Bab 22, Analgetika
Narkotika. Heroin, yang yaitu obat
ilegal, yaitu narkotikum yang terkuat. Penggunaan secara injeksi i.v. dari suatu opioid
(misalnya heroin) menghasilkan perasaan
hangat pada kulit dan sensasi seksual. Perasaan ini berlangsung ±45 detik dan disebut
‘rush‘, ‘kick‘ atau ‘thrill‘. Sama dengan kokain,
heroin oleh pencandu juga dipakai melalui inhalasi uapnya sesudah dipanaskan,
yang yaitu cara yang paling banyak
dipakai di negeri Belanda.
Toleransi timbul sesudah suatu jangka waktu
tertentu yang tergantung dari pola penggunaannya, yaitu cara intermitten atau terus
menerus. sesudah pengobatan withdrawal,
sebagian besar dari toleransi ini hilang. Segera
sesudah menyelesaikan terapi withdrawal banyak pencandu kembali menggunakan drug
dengan dosis semula, sehingga mengalami
overdosis yang fatal.
Antidotum terhadap keracunan yaitu pemberian nalokson sebagai injeksi intravena
(0.8-2 mg) yang perlu diulang beberapa kali,
karena daya kerjanya yang singkat.
Dengan meningkatnya overdosis fatal, sebagai penanganan baku (standard treatment)
sekarang tersedia injeksi nalokson hidroklorida melalui auto-injector (Evzio) yang pada
keadaan darurat dapat diberikan secara
s.k. atau i.m. untuk opioid overdosis yang
ditandai dengan menurunnya fungsi pernapasan atau heart rate atau hilangnya kesadaran.
FDA News Release April 2014
Pencandu opiat memiliki derajat mortalitas
relatif tinggi yang disebabkan oleh antara lain
mudahnya overdosis karena kekhilafan dan
juga cenderung terinfeksi parah akibat jarum
suntik yang dipakai bersamaan, a.l. AIDS,
TBC dan endokarditis. Infeksi lain seperti
tetanus, malaria, hepatitis B dan C juga dapat
timbul.
2. Depresiva SSP umum: senyawa benzodiazepin, barbital dan mepobramat.
Obat-obat ini juga dapat menimbulkan
ketergantungan psikis maupun fisik. Taraf
ketergantungan dan toleransinya berbedabeda, karena masing-masing memiliki mekanisme kerja sendiri. Pada umumnya ketergantungan sudah dapat timbul sesudah 2
minggu pemakaian kontinu. Gejala withdrawal serius terutama timbul pada barbiturat, lebih ringan pada benzodiazepin. Insidensi penyalahgunaan senyawa barbiturat,
benzodiazepin dan sejenisnya melampaui
opioida. Lihat Bab 24, Sedativa dan Hipnotika.
* Benzodiazepin termasuk kelompok obat
yang paling banyak dipreskripsikan di dunia Barat sebagai tranquilizer dan anksiolitik, dengan efek menghalau kecemasan, frustrasi, ketegangan dan stress yang banyak
ada dalam masyarakat maju. Zat seperti klordiazepoksida memiliki efek euforia
minimal, lambat kerjanya dan pada umumnya tidak disalahgunakan. Sebaliknya, derivat-derivat yang bersifat lebih lipofil, seperti
diazepam, alprazolam dan lorazepam, yang juga
lebih cepat bekerjanya, sering kali dipakai
untuk tujuan non-medikal. Populer di kalangan tertentu yaitu hipnoticum flunitrazepam
(Rohypnol) berkat efeknya terhadap SSP
dan temazepam bagi pencandu opiat dengan
tujuan mengurangi gejala withdrawal.
Ketergantungan fisik, psikis dan toleransi
dapat terjadi bila dipakai lebih lama dari
2-4 minggu. Sindrom abstinensi terutama
dapat timbul pada zat-zat dengan masa
paruh singkat yang dipakai dalam dosis
tinggi. Juga bila pemakaian nya dihentikan
secara mendadak.
Di tahun 1970-an dan 1980-an, sedativa
non-barbiturat telah banyak disalahgunakan,
seperti meprobamat, glutetimida dan metakualon,
begitu pula paraldehida dan kloralhidrat.
B. Psikostimulansia
Ketergantungan fisik tidak begitu kuat, sedangkan ketergantungan psikis bervariasi
dari lemah (kofein) sampai sangat kuat
(amfetamin, kokain). Toleransi dapat terjadi,
misalnya pada amfetamin. Selain amfetamin
dan kokain, juga nikotin dan kofein termasuk
kelompok ini.
*Senyawa amfetamin: amfetamin, metamfetamin (“speed”), MTA dan ecstasy (XTC).
Pada waktu perang dunia ke-II, senyawa ini
banyak dipakai untuk efek stimulansnya,
antara lain meningkatkan daya tahan
prajurit dan penerbang, menghilangkan rasa
letih, menghilangkan rasa kantuk maupun
lapar dan meningkatkan kewaspadaan dan
akti-vitas. Lihat juga Bab 31, Adrenergika. Di
samping ini, berdasar efek simpatomimetik periferalnya zat ini juga meningkatkan
tekanan darah dan denyut jantung, yang
dapat mengakibatkan stroke maupun
serang-an jantung. Zat ini juga berefek
melepaskan dopamin dan norepinefrin dari
ujung-ujung saraf, yang menyebabkan efekefek tersebut di atas. Kokain memblokir
penarikan kemba-li dopamin ke ujungujung saraf, sehingga memberikan efek sama
seperti amfetamin.
Seusai perang zat-zat ini yang juga disebut
„pep-pills“, sering kali disalahgunakan oleh
a.l. mahasiswa dan pengemudi mobil truk
untuk memberikan perasaan euforia serta
menghilangkan rasa kantuk dan letih. Juga di
kalangan atlet sering kali dipakai sebagai
“doping“ untuk meningkatkan prestasi yang
melampaui kemampuan normalnya. Keadaan ini tidak wajar dan berbahaya karena
perasaan letih yaitu suatu peringatan, suatu pertanda, telah tercapainya batas maksimal kemampuan seseorang. Paksaan untuk
berprestasi melebihi batas ini dapat mengakibatkan keadaan “exhaustion“, yang membahayakan kesehatan. Lihat Bab 43, Hormonhormon pria, Doping.
Overdosis dapat menimbulkan kekacauan
pikiran, delirium, halusinasi, perilaku
ganas dan juga aritmia jantung, yang dapat
yaitu masalah serius. Untuk mengatasi gejala ini dipakai sedativa, misalnya
diazepam.
Ketergantungan psikis maupun fisik dan
toleransi dapat terjadi dengan cepat pada
pengguna kronis. Bila pemakaian dihentikan dengan mendadak, timbul gejala withdrawal, seperti perasaan letih dan mengantuk
yang berlangsung sampai 2-3 hari. Mereka
yang semula menggunakan zat ini sewaktu
mengalami depresi, sesudah menghentikan
pemakaian akan menjadi lebih parah depresinya sampai menjurus ke percobaan
bunuh diri. Oleh karena itu pengguna kronis harus dirawat di rumah sakit untuk
menghentikan pemakaian zat-zat ini.
C. Zat-zat halusinogen
Termasuk kelompok ini yaitu LSD, kanabis
(THC), ecstacy, peyote (meskalin), psilosibin (dalam jamur), fensiklidin, ketamin dan DOM
(dimetoksimethylamphetamin) (STEP, 2,5-dimetoksi-4-amfetamin). Zat-zat ini yang juga dinamakan psikedelika, bekerja halusinogen
(kuat) dengan risiko besar akan ketergantungan psikis, sedangkan ketergantungan
fisik lazimnya ringan sekali. Toleransi dapat
terjadi tetapi penghentian pemakaian nya
tidak menyebabkan gejala abstinensi. Zatzat ini menyebabkan distorsi penglihatan
dan pendengaran, antara lain mampu menimbulkan efek khayalan, seperti halusinasi
dan penglihatan warna-warni (meskalin), juga mengakibatkan ketegangan dan depresi. Perlu diperhatikan bahwa senyawa am-
fetamin (XTC, dan lain-lain) juga dapat
menimbulkan halusinasi.
Salah satu kekhususan zat-zat dari kelompok ini yaitu pengaruhnya terhadap
akal budi (ratio), dengan menghilangkan
daya seleksi dan kemampuan mengoordinasi
persepsi dan rangsangan dunia luar. Dengan
demikian timbul perasaan seolah-olah daya
penampungan psikis lebih luas (“widening
of the mind”) dan daya asosiasi menjadi
lebih cepat. Pemakai tergantung sekali pada
lingkungan dan keadaan jiwa saat sebelum
menggunakan suatu halusinogen, maka efeknya bisa yaitu suatu keadaan euforia
(“high”) atau justru kemurungan (depresi).
Dalam dosis lebih tinggi dapat mengakibatkan
perasaan ketakutan, kebingungan dan panik,
yang biasanya disebut “bad trip” atau “flip”.
Senyawa dari satu kelompok memiliki banyak kesamaan dalam daya kerjanya, walaupun juga ada perbedaan. Biasanya obat-obat
ini jarang dipakai sebagai drug tunggal,
misalnya pencandu opioida pada umumnya
juga yaitu perokok berat dan pengguna
alkohol, kanabis, sedativa, stimulansia serta
kokain.
D. Inhalansia
Inhalansia sebetulnya termasuk kelompok
psikodepresiva, karena menekan fungsi otak
dengan kuat (brain depressants). Zat ini banyak ada sebagai zat pelarut/minyak
yang mudah menguap, pada bahan pembersih keperluan rumah tangga seperti perekat, aerosol (hair spray, deodorant spray,
penyegar udara), nailpolish remover (thinner)
dan bahan pembersih (dry cleaning fluid).
Praktik menginhalasi uap pelarut organik
ini, terutama oleh para remaja, yaitu
masalah umum. Yang banyak disalahgunakan
yaitu cairan pelarut seperti toluen dalam
perekat (“glue sniffing”), etilasetat, aseton,
amilnitrit, metiletilketon dan ksilen, begitu
pula gas “tertawa”, butan, propan dan fluorokarbon. Ciri-ciri pencandu inhalansia
yaitu antara lain luka-luka atau peradangan di sekitar hidung dan mulut.
Intoksikasi timbul cepat dengan gejala pusing-pusing, perasaan bingung, bicara tidak
lancar dan berdiri maupun berjalan limbung.
Kematian dapat terjadi akibat gangguan
jantung (aritmia) atau akibat tertekannya
pernapasan (engap), karena penyaluran oksigen ke peredaran darah dihambat akibat
sel paru-paru tertutup oleh uap pelarut. Penyalahgunaan kronis dapat merusak otak,
jantung, ginjal, hati, paru dan sumsum tulang
dengan mengganggu pembentukan sel darah
merah (anemia).
MONOGRAFI
A. PSIKODEPRESIVA
1. Morfin
Morfin yaitu alkaloid terpenting yang
ada dalam candu, yaitu getah yang
dikeringkan dari tumbuhan Papaver somniferum. Sebagai zat psikotrop, morfin memiliki
tiga kelompok khasiat penting, yaitu:
– menekan SSP: analgetik, hipnotik, supresi
pernapasan dan kadangkala menimbulkan euforia
– menstimulasi SSP: miosis, mual, muntah,
eksitasi dan konvulsi
– efek perifer : obstipasi dan retensi urin
Di permulaan abad ke-20 candu lazim
dipakai sebagai drug di banyak negara
Asia, terutama Cina dan negara sekitarnya.
Di jaman Nederlands Indië, pemerintah kolonial telah mengesahkan penjualan opium
berdasar pertimbangan ekonomi dan
pencandu opium kurang lebih dilegalisasikan. Sekarang ini para pencandu lebih
menyukai heroin karena efeknya lebih
kuat. Lihat selanjutnya Bab 22, Analgetika
narkotika.
*Heroin (diasetilmorfin, diamorfin) yaitu derivat semi-sintetik dengan khasiat sentral 2 kali
lebih kuat. Resorpsinya dari usus dan selaput
lendir baik. Dalam darah heroin dideasetilasi
menjadi 6-monoasetilmorfin (yang juga farmakologik aktif) dan lalu menjadi morfin. Kedua
metabolit ini melintasi barrier darah-liquor
dengan cepat. Adiksi dapat timbul cepat
sekali, sehingga tidak dipakai lagi dalam
terapi.
Kombinasi dari heroin dan kokain disebut
“speedball” di antara pencandu.
Substitusi dengan obat oral yang memiliki
daya kerja panjang, seperti metadon atau
buprenorfin, mengurangi efek heroin yang
dahsyat dan dapat yaitu cara proses
detoksifikasi. Cara ini dapat juga dilakukan
dengan pemberian lofeksidin, suatu agonis-α2
pusat yang dapat menekan beberapa gejala
withdrawal, terutama mual, muntah dan
diare.
2. Flunitrazepam: Rohypnol
Derivat fluor/metil ini dari kelompok benzodiazepin berkhasiat hipnotik sangat kuat
(1974). Mulai kerjanya cepat, dalam 30 menit.
Toleransi dapat terjadi sesudah dipakai
lebih dari 2-3 minggu. Masa paruhnya panjang (19 jam), distribusi dan ekskresinya
cepat. Pada dosis lebih dari 2 mg sering kali
timbul hilang ingatan pada hal-hal yang baru
terjadi (amnesia anterograde) dan adakalanya
dipakai sebagai anestetik premedikasi
pembedahan. Sangat diminati oleh pencandu
narkotika, walaupun keracunan serius dapat
timbul bila dikombinasi dengan alkohol atau
obat penekan SSP lainnya. Lihat juga Bab 24.
Sedativa dan Hipnotika, benzodiazepin.
3. Alkohol: etilalkohol, etanol
Etanol bersifat bakterisid, fungisid dan
virusid, yang banyak dipakai untuk desinfeksi kulit dan sebagai zat pembantu
dalam farmasi, lihat Bab 15. Desinfektansia.
Pada pemakaian oral, etanol memengaruhi SSP, yaitu semula merangsang untuk
kemudian menekan fungsi otak, juga menyebabkan vasodilatasi (muka menjadi merah dan perasaan panas). Efek vasodilatasi
ini dapat memperkuat khasiat hipotensif dari
obat hipertensi. Bila diminum pada perut
kosong, etanol menstimulasi produksi getah
lambung (tonikum, aperitif, sherry).
Efek atas psike. Minum sedikit alkohol merangsang semangat, semua hambatan terlepas dan peminum mulai berbicara banyak,
karena fungsi inhibisi dari otak telah
dibius. Daya reaksi berkurang, pergerakan
menjadi kurang terkendali. Bila minum
terlampau cepat dan banyak, hati tidak dapat
mengolahnya lagi (lihat kinetik) dan orang
menjadi mabuk sampai pingsan. Overdosis
dapat langsung mematikan. pemakaian alkohol dalam jumlah banyak secara teratur
mengakibatkan hati “berlemak”, fungsinya
terganggu dan akhirnya sel-selnya mengeras
(cirrhosis). Organ-organ lain dapat dirusak,
terutama pankreas dan otak. Minum banyak
alkohol juga menyebabkan orang menjadi
gemuk, karena 1 g menghasilkan 7 kcal (= 30
kJ).
Kadar alkohol darah (KAD) tinggi mengakibatkan berkurangnya daya prestasi, daya kritik dan efisiensi, juga mabuk. Efek ini
tergantung dari jumlah cairan tubuh. Oleh
karena itu, orang gemuk lebih tahan terhadap efek buruk alkohol daripada yang
kurus. Begitupula KAD pada pria naik lebih
lambat daripada pada wanita, karena volume
darahnya lebih besar (masing-masing ±5 dan
4,5 liter). Pada KAD tinggi terjadi letargi,
amnesia, supresi medulla dan pernapasan,
hipothermi, hipoglikemia (pada anak-anak),
stupor dan koma.
Perasaan sakit dan pikiran keruh sesudah
minum alkohol (hang-over, kater) mungkin
dapat dihindari dan diatasi dengan a.l. vitamin-B kompleks.
Adiksi. pemakaian dalam jangka waktu
lama meningkatkan kapasitas tubuh untuk
metabolisasi alkohol (toleransi). Kemampuan
ini menurun kembali sesudah abstinensi selama beberapa minggu. Mereka yang toleran
terhadap alkohol, juga menunjukkan toleransi silang untuk berbagai obat lain, misalnya
untuk anestetika umum dan sedativa-hipnotika, termasuk benzodiazepin. Alkohol menimbulkan ketergantungan fisik maupun
psikis, juga adiksi, yang menurut perkiraan
disebabkan karena alkohol mencetuskan pelepasan dopamin dan memengaruhi neurotransmitter lain.
Toleransi silang untuk depresiva SSP lain
juga terjadi, seperti untuk barbital dan benzodiazepin, sehingga diperlukan dosis yang
lebih tinggi untuk mencapai efek terapeutik
yang diinginkan.
Gejala penarikan berupa gemetar, mual, malaise, hiperaktivitas dan sukar tidur.
Juga mengakibatkan “hangover”, serangan
epileptik (epileptic fits) sampai suatu keadaan
yang disebut “delirium tremens”, pada mana penderita menjadi sangat terangsang (agitated), bingung dengan gangguan kesadaran
dan halusinasi visual dan akustik, serta
desorientasi. Untuk mengatasi kejang-kejang
dapat antara lain dipakai diazepam.
Mengonsumsi minuman beralkohol, seperti bir, anggur, sherry dan whisky, sudah
termasuk pada pola hidup dan pergaulan
sosial, sehingga sudah diterima umum. Bahkan adakalanya dianggap sebagai meningkatan gengsi (status) seseorang. Dengan demikian timbulnya ketagihan biasanya secara
tak terasa. Alkohol (dan juga nikotin) merupakan zat-zat psikoaktif yang penyalahgunaannya mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang cukup tinggi, terutama di
negara Barat.
Bertambah banyaknya kasus ketagihan
alkohol (alkoholisme) di banyak negara
Barat yaitu suatu masalah yang meresahkan, karena insidensinya jauh lebih besar
daripada kasus kecanduan drugs. Alkoholisme merusak banyak jenjang karier pencandu beserta keluarganya, karena menyebabkan kesengsaraan yang luar biasa. Di
banyak negara ada klinik-klinik (Alcohol
Anonymous) untuk mengobati penderita ketagihan alkohol, yang sering kali dibiayai
oleh pemerintah. Oleh IOC (Komite Olimpik
Internasional) alkohol dimasukkan dalam
daftar zat-zat doping yang hanya dapat diminum dengan restriksi ketat.
Kinetik. Etanol diserap dengan cepat dari
usus halus ke dalam darah untuk kemudian
disebarkan melalui cairan tubuh. Kadarnya
dalam darah meningkat dengan cepat, karena
absorpsinya lebih cepat daripada penguraian
dan ekskresinya dari tubuh. Makanan dalam
lambung, terutama protein dan lemak, memperlambat resorpsinya sehingga minum alkohol pada lambung kosong memberikan
efek (samping) lebih cepat dan kuat dari pada sesudah makan. Dalam hati sebagian besar zat ini diuraikan oleh alkoholdehidrogenase menjadi asetaldehida, yang bertanggungjawab atas efek samping yang tidak
nyaman. Kemudian aldehida dirombak menjadi asam asetat, yang dikembalikan lagi ke
cairan tubuh, di mana perombakan diakhiri
sampai karbondioksida dan air. Untuk persamaan reaksinya, lihat di atas pada disulfiram.
Waktu rata-rata untuk metabolisme ini
yaitu 1-1,5 jam bagi satu gelas minuman
beralkohol (bir, anggur, sherry, arak) dengan
± 10 g etanol. Hanya sebagian kecil etanol
yang diekskresikan dalam bentuk utuh melalui urin, keringat dan pernapasan.
*Defisiensi dehidrogenase. Banyak orang Asia
dan Afrika memiliki kekurangan enzim
aldehid-dehidrogenase, sehingga perombakan
asetaldehida tidak bisa berlangsung dengan
sempurna. Penumpukan zat toksik ini dapat
menimbulkan efek seperti muka merah, sakit
kepala hebat, mual, muntah-muntah, rasa
haus, sesak napas, tachycardia dan berkeringat. Efek ini yang juga disebut efek disulfiram, yaitu penyebab mengapa
mereka tidak suka minuman beralkohol.
Efek samping. pemakaian lama dalam
jumlah berlebihan merusak banyak organ
tubuh, terutama hati, otak dan jantung.
Etanol dapat menimbulkan gastritis dan
perdarahan lambung (terutama bila sekaligus menggunakan obat-obat salisilat dan
NSAID). Kerusakan pada hati berakhir dengan matinya sel-sel dan pengerasan (cirrhosis), sehingga kemampuan organ ini untuk
menghalau zat-zat toksik menurun dan menyebabkan koma hepatik fatal. Alkohol juga
bersifat neurotoksik: alkoholisme kronis dengan kerusakan otak mengakibatkan sindrom
Korsakoff (suatu gangguan neuropsikiatrik
yang gejalanya mirip demensia Alzheimer) dan
ensefalopati Wernicke. Gejalanya diperkuat
oleh defisiensi tiamin (vitamin B1
).
*Kehamilan dan laktasi. Alkohol juga bersifat
teratogen dan pemakaian nya dalam jumlah
besar selama kehamilan dapat menyebabkan
kelainan kongenital (alkoholsindrom fetal). Dosis kecil pun dapat menimbulkan abortus
dan gangguan psikis maupun terhambatnya
perkembangan bayi yang dilahirkan. Alkohol
masuk ke dalam air susu ibu. Oleh karena itu
mengonsumsi minuman beralkohol secara
insidentil juga tidak dianjurkan sekitar pembuahan dan selama kehamilan dan laktasi.
Interaksi. Alkohol memperkuat efek obat-obat
berikut:
* vasodilatansia seperti nitrat dan nitrit,
serta efek antihipertensi dari metildopa
dan guanetidin
* antidiabetika oral; pada biguanida risiko
acidosis laktat meningkat
* obat-obat yang menekan SSP, risiko bunuh diri meningkat
Efek alkohol dikurangi akibat induksi enzim
oleh doksisiklin, fenitoin dan kumarin.
Efek alkohol diperkuat oleh simetidin, akibat
terhambatnya perombakan alkohol dalam
hati dan/atau peningkatan absorpsinya di
usus.
* Efek buruk. Selain itu alkohol menimbulkan
efek buruk terhadap obat-obat berikut ini:
– asetosal dan NSAID: risiko perdarahan
lambung meningkat
– parasetamol dan MTX: toksisitasnya terhadap hati meningkat
– menimbulkan efek disufiram bila dikombinasi dengan tolbutamida, sefalosporin,
griseofulvin, ketokonazol, metronidazol,
tinidazol dan prokarbazin, lihat di bawah.
* Efek baik. Penyelidikan pada dasawarsa
terakhir menunjukkan, bahwa minum alkohol secara moderat sehari (2-3 gelas anggur,
sherry dan sebagainya) memberikan perlindungan preventif terhadap penyakit jantung dan pembuluh (PJP). Efek baik ini
mungkin berkaitan dengan efek meningkatkan HDL-kolesterol dan/atau ada nya banyak antioksidansia (flavonoida) dalam
anggur merah.
Peminum berat berisiko lebih tinggi mengidap kanker hati dan usus besar, juga PJP
(hipertensi, aritmia, perdarahan otak dan
kelemahan otot jantung (myocard).
B. PSIKOSTIMULANSIA
4. d-Amfetamin: Dexedrin
Obat-obat dari kelompok amfetamin terutama memicu pelepasan noradrenalin dan
menghambat re-uptakenya. Akibatnya antara
lain peningkatan frekuensi jantung dan
tekanan darah. Euforia terutama disebabkan
oleh meningkatnya dopamin bebas yang
disusul dengan perasaan lelah serta depresi
dan dapat berlangsung berminggu-minggu.
Peningkatan DA juga bertanggung jawab atas
gejala ketagihan dan perubahan perilaku.
Masa paruh amfetamin dan metilamfetamin
(“speed”) masing-masing 10 dan 5 jam. Ketergantungan lebih bersifat psikologis daripada
fisiologis.
Party-drugMTA(4-methylthioamfetamin,
“flatliner”) telah dipasarkan (1997) sebagai
drug antidepresi dan pep-pill. MTA berbahaya dan telah mengakibatkan sejumlah
kematian di Inggris, mungkin akibat
dikombinasi de-ngan alkohol atau XTC. Lihat
selanjutnya Bab 31. Adrenergika, Amfetamin.
5. Kokain: ”crack”, “snow”, “gold dust”
Alkaloid ini dikandung daun pohon Erythroxylon coca (lihat juga Bab 26, Anestetika
Lokal) dan terutama ada pada lereng
gunung di Bolivia dan Peru. Kedua negara
ini dianggap sebagai penghasil kokain dalam
bentuk pasta koka mentah terbesar di seluruh
dunia, sedangkan negara tetangganya Kolumbia, dengan “jungle labs”-nya, memurnikan pasta ini menjadi serbuk kokain murni.
Equador dan Brasil mengkultivasi tanaman
sejenis tumbuhan koka, yang dinamakan
epadu dan mengandung 40% lebih sedikit
alkaloid aktif daripada varietas koka yang
biasa dikultivasi di pegunungan Andes. Dengan demikian usaha kokain ini menjerat
praktis tiap negara Amerika Selatan.
Dalam dunia drugs kokain diberi pelbagai
nama (“cake“, “snow“, “gold dust, “lady“) dan
dijual dalam bentuk serbuk yang bervariasi
dalam kemurniannya. Sering kali zat ini dipalsu melalui “pengenceran“ dengan prokain.
Serbuk kokain biasanya dipakai dengan
cara menyedotnya melalui lubang hidung
(“sniffing”, intranasal), tetapi sering kali diinjeksikan melalui vena. pemakaian nya
melalui lubang hidung dapat menyebabkan
komplikasi lokal di hidung (perforasi septum
hidung) maupun sistemik pada praktis semua organ.
Daya kerja faali. Berlainan dengan opium,
morfin dan heroin yang memiliki sifat menenangkan terhadap jasmani dan rohani,
kokain betul-betul yaitu suatu obat
perangsang, sama dengan psikostimulansia
golongan amfetamin, tetapi jauh lebih kuat.
Zat ini memacu jantung (bahaya serangan
jantung), meningkatkan tekanan darah dan
suhu badan, juga menghambat perasaan
lapar dan menurunkan perasaan letih serta
kebutuhan tidur. Sifat-sifat inilah yang merupakan dasar bagi kebiasaan rakyat Indian
miskin di Amerika Selatan untuk mengunyah
daun Coca.
Mekanisme kerjanya masih belum jelas,
mungkin berdasar perintangan re-uptake neurotransmitter noradrenalin di ujung
neuron, yang memelihara penyaluran impuls dari SSP di otak. Dalam larutan dengan
kadar rendah, kokain menghambat penyaluran ini, sehingga dipakai untuk anestesi
lokal. Lihat juga Bab 26, Anestetika Lokal.
Sebaliknya, dalam konsentrasi tinggi, kokain merangsang penyaluran impuls listrik.
Teori baru menyimpulkan bahwa dopamin
bertanggung jawab bagi banyak efek kokain,
termasuk khasiat stimulasi dan perasaan
nyamannya. Kokain memelihara kadar DA
tinggi di ujung-ujung saraf dengan merintangi zat-zat transpor yang berfungsi mengangkut kembali dopamin ke sel-sel produksinya. Sebaliknya, amfetamin menstimulasi
produksi dan pelepasan dopamin di sel-sel
ujung saraf tertentu.
Efeknya sebagai drug. Sifat-sifat yang didambakan oleh pecandu yaitu kemampuannya untuk meningkatkan suasana jiwa dan
kewaspadaan yang tinggi serta perasaan percaya
diri akan kapasitas mental dan fisik. Dalam dosis kecil kokain yang dihisap melalui lubang
hidung menimbulkan eufori, tetapi segera
disusul oleh depresi berat, yang menimbulkan keinginan untuk memperbesar lagi
dosisnya. Dengan demikian timbullah suatu
ketergantungan psikis yang kuat, toleransi untuk efek pusat, tetapi untuk efek SSP lainnya
justru timbul sensitasi. Pada umumnya kokain diperkirakan tidak menimbulkan ketergantungan fisik, toleransi atau sindrom penarikan. Perkiraan bahwa kokain dapat menimbulkan rangsangan seksual tidak pernah
terbukti. Malah sebaliknya, kokain dapat
menyebabkan kegagalan seksual dan impotensi.
“Crack“. Akhir-akhir ini di Amerika dibuat
pula sejenis kokain (“crack“) yang yaitu
alkaloid basa bebas yang lebih mudah menguap
dan diperoleh dengan memasak garam HClnya dengan natriumbikarbonat. Berlainan
dengan kokain (-HCl) yang disedot melalu
lubang hidung, crack dihisap seperti rokok yang
diabsorpsi dengan cepat dan efisien dari
paru. Dalam waktu hanya beberapa detik
sesudah inhalasi, zat ini sudah memengaruhi
otak dan menghasilkan efek psikotropiknya
(euforia) untuk waktu yang singkat (“rush”)
dan segera disusul dengan halusinasi serta
keinginan kuat sekali untuk menghisapnya
lagi. “Crack“ mampu membuat seseorang
menjadi pencandu hanya dalam waktu
beberapa minggu.
Dahulu kokain hanya dipakai di kalangan orang berada sebagai suatu status symbol dan membutuhkan waktu kurang lebih
12 tahun untuk mempenetrasi ke semua
lapisan penduduk. Sebaliknya, “crack“ membutuhkan waktu hanya 1 tahun untuk mencapai keadaan demikian.
Efek buruk yang dapat timbul pada penggunaan kokain dapat berupa sembelit, perasaan sangat gugup, kerusakan pada urat
saraf, konvulsi, halusinasi, tidak bisa tidur
dan perilaku ganas. Pada dosis tinggi timbul perasaan ketakutan yang sangat kuat,
destruksi dari selaput lendir hidung dan
tenggorok, kehilangan berat badan sampai
ambruknya jasmaniah total. Pada penelitian
terhadap hewan, ternyata kokain pada akhirnya mematikan sel-sel otak tertentu dan mengganggu fungsi neuron di otak. Overdosis
dapat menimbulkan kematian karena antara lain infark jantung dan aritmia. Kokain
dan metabolitnya bekerja vasokonstriktif
terhadap arteri otak, di samping meningkatkan agregasi trombosit. Mekanisme ini diperkirakan berperan dalam timbulnya stroke.28,29
Kehamilan. Ibu-ibu pencandu narkoba te