a ialah
untuk mengurangi frekuensi dan hebatnya
serangan berikutnya serta mencegah kerusakan jangka panjang pada sendi dan ginjal.
Terapi prevensi ini penting pula pada hiperurikemia asimtomatik dengan batu ginjal atau
tofi bila kadar urat darah melebihi 6 mgl/
dl. Obat-obat yang dipakai untuk terapi
prevensi yaitu :
a. alopurinol dan febuxostat bila ada
overproduksi urat. Obat ini menghambat
sintesisnya dan menurunkan kadar urat darah. Sebaiknya dosis berangsur-angsur ditingkatkan sampai masing-masing maks. 800
mg dan 120 mg sehari.
b. urikosurika (benzbromaron, probenesid)
bila ada ekskresi urat rendah tanpa
produksi berlebihan. Obat ini menghindari
resorpsi urat kembali di tubuli proksimal,
sehingga ekskresinya ditingkatkan dan kadar
darahnya menurun. Peningkatan kadar urat
dalam urin dapat menimbulkan batu ginjal
(Ca-urat/fosfat). Untuk menghindarinya perlu minum minimal 2 l/hari termasuk 2 gelas
larutan natriumsitrat/bikarbonat 1% untuk
membuat kemih alkalis dan membantu
pelarutan asam urat (pH ca 6,5).
Urikosurika memobilisasi urat dari depotnya di jaringan, sehingga dapat memicu serangan. Guna mencegah hal ini selama 6
minggu pertama harus dipakai zat antiradang (NSAID) dalam dosis rendah. Pentakaran juga perlu dimulai rendah dengan
peningkatan berangsur-angsur, berdasar
tuntunan kadar urat darah. Tindakan ini
berlaku pula bagi alopurinol.
c. obat-obat alternatif: vitamin C, Ca-pantotenat dan EPA. Vitamin C (1-2 x 1 g p.c.)
berkhasiat meningkatkan ekskresi asam urat;
Ca-pantotenat (2 x 250 mg) perlu untuk perombakan urat menjadi urea dan amoniak
sedangkan EPA/DHA (2 x 500 mg) berkhasiat
menghambat peradangan. Senyawa-senyawa
ini dapat dipakai sebagai makanan tambahan (foodsupplement) pada terapi regular.
Efek paradoksal. Pada dosis rendah alopurinol dan probenesid memperlihatkan
efek kebalikannya, yaitu justru menghambat
ekskresi urat dengan mekanisme yang belum
jelas. Pengecualian yaitu zat-zat benzofuran
(benzbromaron).
Kehamilan dan laktasi. Berhubung kurangnya data mengenai keamanan obat-obat
prevensi ini, wanita hamil dan selama laktasi
tidak dianjurkan menggunakannya.
Lamanya terapi. Pada dasarnya terapi prevensi ini harus dilanjutkan seumur hidup.
Tetapi sesudah satu tahun pemakaian
alopurinol dapat dihentikan dengan pengawasan saksama kadar urat darah. Bila 3-6
bulan kemudian kadar naik lagi di atas 0,55
mmol/l, terapi dapat diulang.
Pembedahan dapat dilakukan untuk mengeluarkan tofi yang terlalu besar dan mengganggu.
MONOGRAFI
1. Kolkisin (colchicine)
Alkaloid ini diperoleh dari kembang dan
biji tumbuhan Colchicum autumnale(autumn
crocus), yang berasal dari India, Afrika Utara,
dan Eropa. Zat ini sudah dipakai sebagai
obat encok di abad ke-6 oleh dokter-dokter
Arab.
Kolkisin berkhasiat antiradang lemah dengan efek baik pada serangan akut (efektivitas 90%) dan efeknya baru nyata sesudah
12 jam. Tidak menurunkan kadar urat darah
dan tidak berdaya analgetik. Mekanisme
kerjanya diduga berdasar penghambatan
sekresi zat-zat chemotactic dan/atau glikoprotein
dari granulosit yang memegang peranan
pada rangkaian proses peradangan, sehingga siklusnya dihentikan. Pengendapan urat
berkurang, karena pembentukan laktat dan
fagositosis dihambat. Di samping itu, kolkisin
juga berdaya antimitotik, yaitu menghambat
pembelahan sel (mitosis), tetapi sebagai obat
kanker tidak efektif.
pemakaian nya terutama untuk mengatasi
serangan akut (sebaiknya dalam 2 jam), tetapi
juga pada terapi prevensi bersama alopurinol
atau urikosurika untuk mencegah provokasi
serangan (selama 6 minggu). Profilaksis de- ngan kolkisin tunggal tidak dianjurkan berhubung kadar urat tetap tinggi dan penyakit
dapat terus berlangsung. Obat ini tidak
bermanfaat bagi gejala rema.
Resorpsinya dari usus cepat dan hampir
lengkap, PP 30%, plasma-t½ 30-60 menit.
Kolkisin terutama menumpuk dalam lekosit
dengan masa paruh panjang, ±60 jam.
Efek samping sering terjadi karena efek terapeutiknya berdekatan dengan efek toksik
dan berupa gangguan lambung-usus. Pada
pemakaian lama dapat terjadi rambut rontok, neuritis, depresi sumsum tulang (agranulositosis, anemia aplastik) dan kerusakan
ginjal. Bila timbul gejala intoksikasi (rasa terbakar di leher, kejang perut, diare dengan
perdarahan, mual hebat), pemakaian nya
harus segera dihentikan.
Wanita hamil dan menyusui tidak dianjurkan
menggunakan obat ini.
Dosis: pada serangan akut oral 1 mg, lalu
0,5 mg setiap 2 jam sampai maksimal 8 mg
atau timbul diare. Kur tidak boleh diulang
dalam jangka waktu 3 hari. Profilaksis (terapi
kombinasi): 0,5-1,5 mg malam hari setiap dua
hari.
2. Alopurinol: Zyloric, Urica
Derivat pirimidin ini (1967) efektif sekali
untuk menormalkan kadar urat darah dan
urin yang meningkat. Berkhasiat mengurangi
sintesis urat atas dasar persaingan sub-strat
dengan zat-zat purin berlandasan penghambatan enzim xanthinoxidase (XO). Purin
seperti hipoxanthin dan xanthin dirombak oleh
XO menjadi asam urat. Tetapi dengan adanya
alopurinol, XO melakukan aktivitasnya terhadap obat ini sebagai ganti purin. Akibatnya
perombakan hipoxanthin dikurangi dan
sintesis urat menurun dengan ±50%. Kadar
urat berangsur turun, tofi menyusut dan batu
urat tidak dibentuk lagi. sesudah 1-3 minggu
kadar urat mencapai nilai normal. Untuk
jelasnya lihat persamaan reaksi di atas. Guna
menghindari tercetusnya serangan encok
akut pada awal terapi dianjurkan untuk
bersamaan dipakai kolkisin per oral atau
suatu NSAID dosis rendah. Selain pada terapi
interval encok, alopurinol juga dipakai
sebagai obat pencegah selama kur sitostatika
untuk jangka waktu minimal 4 minggu, pada
mana perombakan cepat dari jaringan tumor
dapat menimbulkan hiperurikemia sekunder.
Resorpsi dari usus baik (80%) dan cepat, tidak terikat pada protein darah. Di dalam
hati, obat ini dioksidasi oleh XO menjadi
oksipurinol(= alloxanthine) aktif, yang terutama diekskresi dengan urin. Plasma-t½ 2-8
jam, pada oksipurinol melebihi 20 jam berhubung adanya resorpsi kembali di tubuli.
Efek samping agak sering terjadi, terutama
reaksi alergi kulit, juga gangguan lambungusus, nyeri kepala, pusing dan rambut rontok. Adakalanya timbul pula demam dan
kelainan darah. Kerusakan hati dan ginjal
pernah dilaporkan, begitu juga sindrom Stevens-Johnson41 pada dosis di atas 200 mg.
Untuk mewaspadai hipersensitivitas terhadap alopurinol dianjurkan untuk menggunakan dosis awal rendah dan lambat laun ditingkatkan, singkatnya sesuai anjuran
“Start Low, Go Slow With Allopurinol”.
Interaksi. Alopurinol menghambat enzim
XO, maka perombakan zat-zat yang diubah
oleh XO juga dirintangi, sehingga efeknya
diperkuat. Contohnya yaitu antagonis purin azathioprin (Imuran) dan merkaptopurin. Oleh karena itu, dosis sitostatika tersebut perlu diturunkan sampai 25-30%. Daya
kerja antikoagulansia dan klorpropamida
diperkuat. Pada pemakaian kombinasi
salisilat dan urikosurika dosisnya perlu
dinaikkan, karena ekskresi oksipurinol
dipercepat oleh zat-zat tersebut.
Dosis: pada hiperurikemia 1 dd 100 mg p.c.,
bila perlu dinaikkan setiap minggu dengan
100 mg sampai maksimum 10 mg/kg/hari.
Profilaksis pada pemakaian sitostatika: 600
mg sehari dimulai 3 hari sebelum terapi.
* Febuxostat (Uloric).
40 sesudah jangka waktu
40 tahun kini telah dikembangkan lagi suatu
obat baru terhadap encok (2010), yaitu
febuxostat (dosis 40,80 dan 120 mg) dengan
mekanisme kerja serupa dengan alopurinol,
yaitu menurunkan kadar asam urat melalui
penghambatan selektif oleh ksantin-oxidase. Penyelidikan lebih lanjut mengenai
efektivitas dan keamanannya telah selesai
dan sejak 2006 obat ini beredar di USA dan
banyak negara lain. pemakaian nya agak
jarang karena harganya hampir 3 kali lebih tinggi. Dosis dimulai rendah 1dd 40 mg dan
berangsur-angsur dapat ditingkatkan sampai
80-120 mg. Untuk menghindari timbulnya
serangan sebaiknya seperti pada alopurinol,
diberikan bersamaan kolkisin atau NSAID
dengan dosis rendah selama 4-6 minggu.
* Pegloticase (Krystexxa) yaitu rekatan kimia dari PEG (polietilenglikol) dengan urikase (peptida). Enzim ini dapat mengubah
asam urat menjadi alantoin yang jauh lebih mudah melarut daripada asam urat,
sehingga menghindari pengendapannya.
Dengan demikian kadar urat diturunkan
dan deposit kristal urat di sendi dan jaringan
lunak dikurangi. Pada tahun 2010 FDA
mengidzinkan peredaran obat baru ini untuk
indikasi encok kronis parah yang tidak dapat
diturunkan kadar asam uratnya dengan
alopurinol. Obat ini memiliki t½ panjang,
sekitar 10-12 hari, oleh karena itu cukup
diberikan intravena 1 kali setiap minggu
sampai 4 minggu.
3. Benzbromaron: Narcaricin, Desuric
Derivat benzofuran ini (1970) bersifat
urikosurik dengan merintangi penyerapan
kembali urat di tubuli proximal. Ekskresinya
ditingkatkan dan kadar urat darah menurun.
Tidak menimbulkan efek paradoksal pada dosis
rendah. Kerjanya panjang, maka pada penggunaan lama dapat dihentikan selama 2-3
minggu.
Resorpsi dari usus hanya untuk 50%, PP
99% dan t½ 12-24 jam. Dalam hati obat ini
dirombak menjadi metabolit aktif bromaron
dan brombenzaron, yang untuk 90% lebih
diekskresi melalui empedu dan feses. Sisanya
dikeluarkan lewat urin sebagai glukuronida.
Efek samping berupa gangguan lambungusus (diare), reaksi alergi kulit, nyeri kepala,
kolik ginjal, sering berkemih dan provokasi
serangan encok. Overdosis mengakibatkan
mual dan muntah, hepatitis dan gangguan
fungsi ginjal.
Dosis: oral permulaan 1 dd 50 mg d.c.,
berangsur dinaikkan sampai maksimal 300
mg; pemeliharaan 50-200 mg sehari. Selama
6 minggu pertama bersama kolkisin atau
NSAID untuk menghindari serangan.
4. Probenesid:Probenid, Benemid, Benuryl
Derivat asam benzoat ini (1951) juga bersifat urikosurik dengan mekanisme sama
seperti benzbromaron. Dengan meningkatnya
kadar urat dalam urin, penderita harus
banyak minum untuk mengurangi risiko
timbulnya batu ginjal. Juga dianjurkan untuk
pada awal terapi menggunakan kolkisin atau
obat NSAID untuk menghindari tercetusnya
serangan encok, yang dapat timbul pada sekitar 20% penderita yang diobati hanya dengan
probenesid saja.
Kini obat ini khusus dipakai pada terapi interval encok. Probenesid tidak efektif
terhadap serangan akut. Pada dosis yang lebih
rendah dari 500 mg/hari berefek paradoksal,
yakni justru menghambat ekskresi. Semula
zat ini dipasarkan berdasar khasiatnya dapat menghambat ekskresi tubuler
dari penisilin, sehingga kadar darahnya
meningkat dan efeknya diperpanjang.
Obat ini juga merintangi ekskresi dari
banyak obat lain, antara lain sefalosporin
(kecuali sefaloridin), eritromisin, sulfonamida, diuretika thiazida dan furosemida,
indometasin, naproksen dan PAS sehingga
kadar plasma dari obat-obat ini meningkat.
Oleh karena itu dosisnya sering kali harus
dikurangi.
Resorpsi di usus cepat dan tuntas, efek
urikosurik sudah dimulai sesudah 30 menit
dan penghambatan ekskresi penisilin sesudah
2 jam. PP ±90%. Ekskresi terutama sebagai
metabolit melalui urin. Plasma-t½ 4-17 jam
dan tergantung dosis.
Efek samping tidak begitu sering terjadi
dan berupa gangguan lambung-usus, sakit
kepala, reaksi alergi kulit, sering berkemih
dan kolik ginjal. Juga dapat terbentuk batu
urat, yang dapat dihindari dengan membuat
kemih alkalis sampai pH 6,5 (dengan natriumsitrat atau -bikarbonat). Jarang sekali menimbulkan kelainan darah atau nefritis.
Interaksi: Toksisitas MTX dapat meningkat,
sehingga dosisnya harus diturunkan. Salisilat
di atas 1,5 g/hari dapat mengurangi efeknya,
oleh karena itu jangan dipakai selama
terapi.
Dosis: oral 2 dd 250 mg d.c. selama 1 minggu,
lalu 2 dd 500 mg dan bila perlu berangsur-angsur dinaikkan sampai maksimal 2 g sehari. Untuk memperpanjang daya kerja penisilin: 4 dd 500 mg; sebagai adjuvans pada
gonore single dose dari 1 g.
ANALGETIKA NARKOTIK
Analgetika narkotik, kini disebut juga opioida (= mirip opiat) yaitu obat-obat yang
mekanisme kerjanya meniru (mimic) opioid
endogen dengan memperpanjang aktivasi
dari reseptor-reseptor opioid (biasanya µ-reseptor). Zat-zat ini bekerja terhadap reseptor
opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan
respons emosional terhadap nyeri berubah
(dikurangi). Daya kerjanya dirintangi oleh a.l.
nalokson. Minimal ada 4 jenis reseptor, yang
pengikatan padanya menimbulkan analgesia.
Tubuh dapat mensintesis zat-zat opioidnya
sendiri, yaitu zat-zat endorfin, yang juga bekerja melalui reseptor opioid tersebut.
Endorfin (morfin endogen) yaitu kelompok
polipeptida yang ada di CCS dan dapat menimbulkan efek yang menyerupai
efek morfin. Zat-zat ini dapat dibedakan antara ß-endorfin, dynorfin dan enkefalin (Yun.
enkephalos = otak), yang menduduki reseptorreseptor berlainan. Secara kimiawi zat-zat ini
berkaitan dengan hormon-hormon hipofisis
dan berefek menstimulasi pelepasan kortikotropin (ACTH), juga somatropin dan prolaktin.
Sebaliknya, pelepasan LH dan FSH dihambat
oleh zat ini. β-endorfin pada hewan berkhasiat menekan pernapasan, menurunkan suhu tubuh
dan menimbulkan ketagihan. Lagipula berefek
analgetik kuat, dalam arti tidak mengubah
persepsi nyeri, melainkan memperbaiki “penerimaannya”. Rangsangan listrik dari bagianbagian tertentu otak mengakibatkan peningkatan kadar endorfin dalam CCS. Mungkin
hal ini menjelaskan efek analgesia yang
timbul selama elektrostimulasi pada akupunktur atau pada stres, misalnya pada cedera hebat. Peristiwa efek plasebo juga dihubungkan dengan endorfin.
Penggolongan
Atas dasar mekanisme kerjanya, obat-obat ini
dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu:
1. agonis opiat, yang dapat dibagi dalam:
– alkaloida candu: morfin, kodein, heroin,
nikomorfin
– zat-zat sintetik: metadon dan derivatnya
(dekstromoramida, propoksifen, bezitramida), petidin dan derivatnya (fentanil,
sufentanil) dan tramadol.
Mekanise kerja obat-obat ini sama dengan
morfin, hanya berlainan mengenai potensi
dan lama kerjanya, efek samping dan risiko
akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik.
2. antagonis opiat: nalokson, nalorfin, pentazosin dan buprenorfin (Temgesic). Bila digunakan sebagai analgetik, obat-obat ini dapat
menduduki salah satu reseptor.
3. campuran: nalorfin, nalbufin (Nubain). Zatzat ini dengan kerja campuran juga mengikat
pada reseptor opioid, tetapi tidak atau hanya sedikit mengaktivasi daya kerjanya. Kurva dosis/efeknya memperlihatkan plafon
yang berarti sesudah dosis tertentu, peningkatan dosis tidak memperbesar lagi efek
analgetikya. Praktis tidak menimbulkan depresi pernapasan.
Potensi analgetik
Khasiat analgetik dari morfin oral 30-60 mg
dapat disamakan dengan dekstromoramida
5-10 mg, metadon 20 mg, dekstropropoksifen
100 mg, tramadol 120 mg, pentazosin 100/180
mg dan kodein 200 mg.
Khasiat analgetik dari morfin subkutan/
i.m. 10 mg yaitu kurang lebih ekivalen dengan fentanil 0,1 mg, heroin 5 mg, metadon 10 mg, nalbufin 10 mg, petidin 75/100 mg,
pentazosin 30/60 mg dan tramadol 100 mg.
Undang-Undang Narkotik. Di kebanyakan
negara, beberapa unsur dari kelompok obat
ini, seperti propoksifen, pentazosin dan tramadol, tidak termasuk dalam Undang-undang
Narkotik, karena bahaya kebiasaan dan
adiksinya ringan sekali. Namun penggunaannya untuk jangka waktu lama tidak dianjurkan. Sejak tahun 1978 sediaan-sediaan
dengan kandungan propoksifen di atas 135
mg di negeri Belanda dimasukkan dalam
Opiumwet (Undang-Undang opiat). Lihat selanjutnya Bab 23, Drugs.
Mekanisme kerja
Endorfin bekerja dengan jalan menduduki
reseptor-reseptor nyeri di SSP, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgetik
opioida berdasar kemampuannya untuk
menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang
belum ditempati endorfin. Tetapi bila analgetika tersebut dipakai terus-menerus,
pembentukan reseptor-reseptor baru distimulasi dan produksi endorfin di ujung saraf
otak dirintangi. Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.
pemakaian
Rasa nyeri hebat (seperti pada kanker)
Ada banyak penyakit yang disertai rasa
nyeri, yang terkenal yaitu influenza dan
kejang-kejang (pada otot atau organ), artrose dan rema (pada sendi) dan migrain. Untuk gangguan-gangguan ini tersedia obatobat khas (a.l. parasetamol, NSAID’s, sumatriptan). Tetapi yang paling hebat dan mencemaskan yaitu rasa sakit pada kanker,
walaupun sebetulnya hanya kurang lebih dua
per tiga dari penderita yang mengalaminya.
Begitu pula hanya ±70% disebabkan langsung
oleh penyakit ganas ini, di luar ini perasaan
sakit memiliki etiologi lain, mis. artritis. Oleh
karena itu prinsip untuk menghilangkan
atau mengurangi rasa sakit berupa penelitian
dengan saksama penyebabnya, obat-obat apa
yang layak dipakai sesuai tangga analgetika
(lih. di bawah) dan memantaunya secara
periodik untuk mendapatkan cara pengendalian rasa sakit yang optimal.
Rasa sakit yaitu suatu pengalaman
yang rumit dan unik untuk tiap individu
yang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor psikososial dan spiritual dari ybs. Oleh karena
itu untuk kasus-kasus perasaan nyeri yang
tidak/sukar terkendalikan yaitu penting
untuk memperhitungkan faktor-faktor tersebut. di atas.
Tangga analgetika (tiga tingkat). WHO telah
menyusun suatu program pemakaian analgetika untuk nyeri hebat, seperti pada kanker,
yang menggolongkan obat dalam tiga kelas,
yaitu:
a. non-opioida: NSAID’s, termasuk asetosal,
parasetamol dan kodein
b. opioida lemah: d-propoksifen, tramadol
dan kodein, atau kombinasi parasetamol
dengan kodein
c. opioida kuat: morfin dan derivatnya
(heroin) serta opioida sintetik
Menurut program pengobatan ini pertamatama diberikan 4 dd 1 g paracetamol, bila
efeknya kurang, beralih ke 4-6 dd parasetamol-kodein 30-60 mg. Baru bila langkah
kedua ini tidak menghasilkan analgesi yang
memuaskan, dapat diberikan opioid kuat.
Pilihan pertama dalam hal ini yaitu morfin
(oral, subkutan kontinu, intravena, epidural
atau spinal).
Tujuan utama dari program ini yaitu
untuk menghindari risiko kebiasaan dan
adiksi untuk opioida, bila diberikan tanpa
aturan.
Efek-efek samping umum
Morfin dan opioida lainnya menimbulkan
sejumlah besar efek samping yang tidak diinginkan, yaitu:
– supresi SSP, misalnya sedasi, menekan
pernapasan dan batuk, miosis, hipothermia
dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi langsung dari CTZ (Chemo
Trigger Zone) timbul mual dan muntah.
Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan
menurunnya aktivitas mental dan motorik.
– saluran pernapasan: bronchokonstriksi,
pernapasan menjadi lebih dangkal dan
frekuensinya menurun
– sistem sirkulasi: vasodilatasi perifer, pada dosis tinggi hipotensi dan bradycardia
– saluran cerna: motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter kandung empedu (kolik batu empedu), sekresi pankreas, usus
dan empedu berkurang
– saluran urogenital: retensi urin (karena
naiknya tonus dari sfingter kandung kemih), motilitas uterus berkurang (waktu
persalinan di perpanjang)
– histamin liberator: urticaria dan gatalgatal, karena stimulasi pelepasan histamin
– kebiasaan dengan risiko adiksi pada penggunaan lama. Bila terapi dihentikan dapat terjadi gejala abstinensi.
Kehamilan dan laktasi. Opioida dapat melintasi plasenta, tetapi boleh dipakai sampai beberapa waktu sebelum persalinan.
Bila diminum terus menerus, zat ini dapat
merusak janin akibat depresi pernapasan
dan memperlambat persalinan. Bayi dari ibu
yang ketagihan menderita gejala abstinensi.
Selama laktasi ibu dapat menggunakan opioida karena hanya sedikit yang masuk ke
dalam air susu ibu.
Kebiasaan dan ketergantungan
pemakaian untuk jangka waktu lama pada
sebagian pemakai menimbulkan kebiasaan
dan ketergantungan. Penyebabnya mungkin
karena berkurangnya resorpsi opioid atau
perombakan/eliminasinya yang dipercepat,
atau bisa juga karena penurunan kepekaan
jaringan. Obat menjadi kurang efektif, sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi
untuk mencapai efek semula. Peristiwa ini
disebut toleransi (menurunnya respons) dan
bercirikan bahwa dosis tinggi dapat diterima
tanpa menimbulkan efek intoksikasi.
Di samping ketergantungan fisik tersebut
ada pula ketergantungan psikis, yaitu kebutuhan mental akan efek psikotrop (euforia,
rasa nyaman dan segar) yang bisa menjadi
sangat kuat, sehingga pasien seolah-olah terpaksa melanjutkan pemakaian obat. Lihat
juga Bab 23, Drugs.
Gejala abstinensi (withdrawal syndrome) selalu timbul bila pemakaian obat dihentikan dengan mendadak dan pada awalnya
bergejala menguap, berkeringat hebat dan
air mata mengalir, tidur gelisah dan kedinginan. Lalu timbul muntah-muntah, diare,
tachycardia, mydriasis (pupil membesar), tremor, kejang otot, peningkatan tensi, yang dapat
disertai dengan reaksi psikis hebat (gelisah,
mudah marah, kekhawatiran mati).
Efek-efek ini menjadi penyebab mengapa
penderita yang sudah ketagihan sukar sekali menghentikan pemakaian opiat. Guna
menghindari efek-efek tidak nyaman ini, mereka “terpaksa” melanjutkan pemakaian nya.
Ketergantungan fisik lazimnya sudah hilang dua minggu sesudah pemakaian obat
dihentikan. Ketergantungan psikis sering
kali sangat erat, oleh karena ittu pembebasan
yang tuntas sukar sekali dicapai.
Antagonis morfin
Antagonis morfin yaitu zat-zat yang dapat
melawan efek-efek samping opioida tertentu
tanpa mengurangi kerja analgetiknya. Yang
paling terkenal yaitu nalokson, naltrekson
dan nalorfin. Obat-obat ini terutama digunakan pada overdosis atau intoksikasi. Khasiat antagonisnya diperkirakan berdasar
penggeseran opioda dari tempatnya di reseptor-reseptor otak. Antagonis morfin ini
sendiri juga berkhasiat analgetik, tetapi tidak
dipakai dalam terapi karena khasiatnya
lemah dan efek samping tertentu mirip morfin (depresi pernapasan, reaksi psikotik).
MONOGRAFI
1. Morfin (F.I.): MSTcontinus, MS Contin, Kapanol
Candu atau opium yaitu getah yang
dikeringkan dan diperoleh dari tumbuhan
Papaver somniferum (Lat., menyebabkan tidur).
Morfin mengandung dua kelompok alkaloid
yang secara kimiawi sangat berlainan. Kelompok fenantren meliputi morfin, kodein
dan tebain; kelompok kedua yaitu kelompok
isokinolin dengan struktur kimiawi dan
khasiat sangat berlainan (a.l. non-narkotik),
yaitu papaverin, noskapin (= narkotin) dan
narsein. Morfin berkhasiat analgetik sangat
kuat, lagi pula memiliki banyak jenis efek
pusat lainnya, a.l. sedatif dan hipnotik,
menimbulkan euforia, menekan pernapasan
dan menghilangkan refleks batuk, yang
semuanya berdasar supresi sususan saraf
pusat (SSP). Morfin juga menimbulkan efek
stimulasi SSP, mis. miosis (penciutan pupil
mata), eksitasi dan konvulsi. Efek stimulasinya
pada CTZ mengakibatkan mual dan muntahmuntah sedangkan efek perifernya yang
penting yaitu obstipasi, retensi urin dan
pelepasan histamin yang mengakibatkan
vasodilatasi pembuluh kulit dan gatal-gatal
(urticaria).
pemakaian nya khusus pada nyeri hebat
akut dan kronis, seperti pasca-bedah dan
sesudah infark jantung, juga pada fase terminal
dari kanker. Banyak dipakai sebagai tablet
retard untuk memperpanjang efeknya .
Resorpsi di usus baik, tetapi BA hanya ±25%
akibat FPE besar. Mulai kerjanya sesudah 1-2
jam dan bertahan sampai 7 jam. Resorpsi
dari suppositoria umumnya sedikit lebih
baik, secara s.c./i.m. baik sekali. PP-nya 35%;
dalam hati 70% dari morfin dimetabolisasi
melalui senyawa konyugasi dengan asam
glukuronat menjadi morfin-3-glukuronida
yang tidak aktif dan hanya sebagian kecil (3%)
dari jumlah ini terbentuk morfin-6-glukuronida dengan daya kerja analgetik lebih kuat
dari morfin sendiri. Ekskresinya melalui urin,
empedu dengan siklus enterohepatik dan feses.
Antidota. Pada intoksikasi dipakai antagonis morfin sebagai antidotum, yaitu nalokson, lihat nr 6.
Dosis: dewasa oral 3-6 dd 10-20 mg garamHCl, s.c/i.m. 3-6 dd 5-20 mg. Anak-anak: oral
2 dd 0,1-0,2 mg/kg.
Sediaan:
* Pulv. Opii: 10% morfin
* Pulv. Doveri: 1% morfin + Radix Ipecacuanhae + K2
SO4
.
* Acidov II: pulvis Doveri 150 mg + salamid
350 mg.
* Heroin (diamorfin, diasetilmorfin) adalah turunan semi-sintetik (Bayer, 1897) dengan kerja analgetik yang 2 x lebih kuat,
tetapi mengakibatkan adiksi yang cepat
serta hebat sekali dan dianggap sebagai
salah satu obat yang paling berbahaya di
sejarah modern. Dengan alasan ini, heroin
tidak dipakai lagi dalam terapi, tetapi
sangat diminati oleh para pecandu drugs,
lihat Bab 23. Drugs. Kelarutannya dalam
lipid lebih baik daripada morfin, oleh
karena itu mulai bekerjanya juga lebih
pesat bila diberikan per injeksi.
2. Kodein (F.I.): metilmorfin, *Codipront
Alkaloid candu ini memiliki khasiat yang
sama dengan induknya, tetapi lebih lemah,
misalnya efek analgetiknya 6-7 x kurang kuat.
Efek samping dan risiko adiksinya lebih ringan, sehingga sering kali dipakai sebagai obat batuk, obat anti-diare dan obat antinyeri, yang diperkuat melalui kombinasi
dengan parasetamol/asetosal. Obstipasi dan
mual dapat terjadi terutama pada dosis lebih
tinggi (di atas 3 dd 20 mg). Resorpsi oral dan
rektal baik; di dalam hati zat ini didemetilasi
menjadi norkodein dan morfin (10%) yang
memberikan sifat analgetiknya.
Ekskresi lewat urin sebagai glukuronida
dan 10% secara utuh. Plasma-t½ 3-4 jam.
Dosis: untuk nyeri, oral 3-6 dd 15-60 mg
garam-HCl, anak-anak di atas 1 thn 3-6 dd 0,5
mg/kg. Untuk batuk 4-6 dd 10-20 mg, maks.
120 mg/hari, anak-anak 4-6 dd 1 mg/kg.
* Etilmorfin (Dionin) yaitu derivat dengan
khasiat analgetik dan hipnotik lebih lemah;
penghambatannya terhadap pernapasan juga
lebih ringan. Untuk menekan batuk, zat ini
kurang efektif dibandingkan kodein, tetapi
dahulu banyak dipakai dalam sediaan
obat batuk.
* Noskapin (narkotin, Longatin, Mercotin,
Neocodin) yaitu alkaloid candu lain, tanpa
sifat narkotik, yang lebih efektif sebagai
obat batuk, lihat selanjutnya Bab 41, Obatobat Batuk. Noskapin tidak termasuk dalam
Daftar Narkotik karena tidak menimbulkan
ketagihan. Dosis: pada batuk 2-3 dd 15-30 mg,
maks. 200 mg/hari.
3. Fentanil: Fentanyl, Durogesic, *Thalamonal
Derivat piperidin ini (1963) yaitu turunan dari petidin (Dolantin) yang jarang di-
gunakan lagi karena efek samping dan sifat
adiksinya, lagi pula daya kerjanya singkat
(3 jam) sehingga tidak layak untuk meredakan rasa sakit jangka panjang. Efek analgetik agonis opiat ini 80 x lebih kuat daripada
morfin. Mulai kerjanya cepat, yaitu dalam
2-3 menit (i.v.), tetapi singkat, hanya ±30
menit. Zat ini dipakai pada anestesi dan
infark jantung.
Efek sampingnya mirip morfin, termasuk
depresi pernapasan, bronchospasme dan kekakuan otot (thorax). Zat ini jarang menimbulkan penghambatan sirkulasi seperti penurunan cardiac output dan bradycardia.
Dosis: pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg
droperidol (Thalamonal), bila perlu diulang
sesudah ½ jam. Plester transdermal (Durogesic)
melepaskan senyawa ini dengan konstan selama 72 jam dan dipakai pada nyeri parah
kronik yang memerlukan zat opioid dan
analgetika lain tidak dapat dipakai .
* Sufentanil (Sufenta/forte) yaitu derivat
(1982) dengan efek analgetik ±10x lebih kuat.
Sifat dan efek sampingnya sama dengan
fentanil. Zat ini terutama dipakai pada
anestesi dan pasca-bedah, juga pada waktu
his dan persalinan (dikombinasi dengan suatu anestetikum).
Dosis: pada waktu his dan persalinan epidural 10 mcg bersama bupivakain, bila perlu
diulang dua kali.
4. Metadon: Amidon, Symoron
Zat sintetik ini (1947) yaitu suatu campuran rasemis, yang memiliki efek analgetik
2x lebih kuat daripada morfin dan juga
berkhasiat anestetik lokal.
Resorpsi di usus baik, PP 90%, plasma-t½
rata-rata 25 jam dan efeknya dapat bertahan
sampai 48 jam pada terapi pemeliharaan bagi
para pecandu. Umumnya metadon tidak menimbulkan euforia, sehingga banyak digunakan untuk menghindari gejala abstinensi
sesudah penghentian pemakaian opioida lain. Khusus dipakai bagi para pecandu
sebagai obat pengganti heroin dan morfin
pada terapi substitusi.
Efek samping kurang hebat dari morfin,
terutama efek hipnotik dan efek euforianya
lemah, tetapi bertahan lebih lama. Penggunaan lama juga menimbulkan adiksi yang
lebih mudah disembuhkan. Lihat selanjutnya
Bab 23, Drugs. Efek obstipasinya agak ringan,
tetapi pemakaian nya selama persalinan harus dengan berhati-hati karena dapat menekan pernapasan.
Dosis: pada nyeri oral 4-6 dd 2,5-10 mg
garam-HCl, maks. 150 mg/hari. Terapi pemeliharaan bagi pecandu: permulaan 20-30 mg,
sesudah 3-4 jam 20 mg, lalu 1 dd 50-100 mg
selama 6 bulan.
Dekstromoramida (Palfium) yaitu opioid
sintetik (1956) yang rumusnya mirip metadon. Khasiat analgetiknya sedikit lebih kuat
daripada morfin. Mulai kerjanya cepat, efeknya sesudah 20-30 menit dan bertahan lebih
singkat, ±3 jam. Depresi pernapasan lebih
kuat dibandingkan morfin (pada dosis biasa
dapat terjadi apnoe), begitu pula efek adiksinya. Tidak cocok untuk pengobatan nyeri
kronis. Efek sedasi dan obstipasinya lebih ringan.
Dosis: oral, s.c. atau i.m. 3-4 dd 2,5-5 mg
sebagai hidrogentartrat. Dapat juga diberikan
sublingual.
5. Tramadol: Tramal
Derivat sikloheksanol sintetik ini (1977)
yaitu campuran rasemis dari 2 isomer. Khasiat analgetiknya sedang dan berkhasiat
menghambat reuptake noradrenalin dan bekerja antitussif (anti-batuk). Obat ini di sebagian negara dianggap sebagai analgetikum opiat karena bekerja sentral, yaitu
melalui pendudukan reseptor µ-opioid oleh
cis-isomernya. Tetapi zat ini tidak menekan
pernapasan, praktis tidak memengaruhi sistem kardiovaskuler atau motilitas lambungusus. Walaupun memiliki sifat adiksi ringan,
dalam praktik ternyata risikonya hampir nihil sehingga tidak termasuk Daftar Narkotika di kebanyakan negara (AS, GB, BRD,
Belanda, Swis, Swedia dan Jepang) termasuk negara kita . Efek analgetik dari 120 mg
tramadol oral setaraf dengan 30-60 mg
morfin oral. pemakaian nya juga rektal
dan parenteral untuk nyeri sedang sampai
hebat, bila kombinasi parasetamol-kodein dan NSAIDs kurang efektif atau tidak dapat
dipakai . Untuk nyeri akut atau kanker
umumnya morfin lebih ampuh.
Resorpsi di usus cepat dan tuntas dengan
BA rata-rata 78%, PP 20%, plasma-t ½ 6 jam.
Efeknya dimulai sesudah 1 jam dan dapat
bertahan 6-8 jam. Dalam hati sebagian besar
diuraikan menjadi a.l. o-desmetil, metabolit
dengan daya kerja 6 kali lebih kuat melalui
pengikatan pada reseptor µ-opioid. Ekskresi
berlangsung lewat urin, untuk 10% secara
utuh.
Efek samping tidak begitu serius dan paling
sering berupa termangu-mangu, berkeringat,
pusing, mulut kering, mual dan muntah, juga
obstipasi, gatal-gatal, rash, nyeri kepala dan
rasa letih. Risiko habituasi, ketergantungan
dan adiksi ringan, tetapi tidak dianjurkan
pemakaian nya oleh penderita dengan sejarah penyalahgunaan drugs.
Catatan. Semua reseptor µ-opioid agonis
mengakibatkan gejala mual dan muntah melalui stimulasi langsung reseptor opioid di
pusat muntah (lih. Bab 17, Antiemetika). Efek
samping gastro-intestinal lainnya yaitu obstipasi yang juga terkait dengan sifat opioid
yakni penurunan peristaltik dan peningkatan
absorpsi air dari usus.7
Wanita hamil dan menyusui. Opioida dapat
melintasi plasenta dan selama ini diketahui
tidak merugikan janin bila dipakai jauh
sebelum partus. Hanya 0,1% dari dosis masuk
ke dalam air susu ibu. Meskipun demikian
tramadol tidak dianjurkan selama kehamilan
dan laktasi.
Dosis: di atas 14 tahun 3-4 dd 50-100 mg,
maks. 400 mg sehari. Anak-anak di atas 1 tahun: 3-4 dd 1-2 mg/kg.
6. Nalokson: Narcan
Antagonis morfin ini memiliki rumus morfin dengan gugus-alil pada atom-N (1969).
Senyawa ini dapat meniadakan semua khasiat morfin dan opioida lainnya, terutama
depresi pernapasan tanpa mengurangi efek
analgetiknya. Penekanan pernapasan dari
obat-obat depresi SSP lain (barbital, siklopropan, eter) tidak dihilangkan, tetapi juga tidak
diperkuat seperti halnya dengan nalorfin.
Juga tidak memiliki kerja agonistis (analgetik). pemakaian nya sebagai antidotum pada
overdosis opioida (dan barbital), pasca-bedah
untuk mengatasi depresi pernapasan oleh
opioida. Secara diagnostik untuk menentukan
adiksi sebelum dimulai dengan pemakaian
naltrexon.
Kinetik. sesudah injeksi i.v. sudah timbul
efek sesudah 2 menit, yang bertahan 1-4 jam.
Plasma-t½ hanya 45-90 menit, lama kerjanya
lebih singkat dari opioida, maka biasanya
perlu diulang beberapa kali.
Efek samping dapat berupa tachycardia
(sesudah bedah jantung), jarang reaksi alergi
dengan syok dan udema paru-paru.
Pada penangkalan efek opioida terlalu pesat dapat terjadi mual, muntah, berkeringat,
pusing-pusing, hipertensi, tremor, serangan
epilepsi dan terhentinya fungsi jantung.
Dosis: pada overdosis opioida, intravena permulaan 0,4 mg, bila perlu diulang setiap 2-3
menit.
* Nalorfin (alilnormorfin) yaitu zat induk
nalokson (1952) dengan khasiat sama, kecuali juga berkhasiat analgetik lemah di samping memperkuat depresi yang bersifat ringan. Zat ini mampu meniadakan depresi
pernapasan yang hebat oleh opioida atau
akibat opioida dengan kerja campuran (agonistis dan antagonistis) dan zat-zat sentral
lain. Zat ini hanya dipakai pada overdosis
opioida, bila nalokson tidak tersedia.
Dosis: pada overdosis s.c./i.m./i.v. 5-10 mg,
bila perlu diulang sesudah 10-15 menit sampai
maks. 40 mg sehari.
* Naltrekson (Nalorex) yaitu juga derivat
nalokson, pada mana gugus-alil diganti dengan siklopropil (1985). Sifatnya antagonis
murni yang tidak mengakibatkan toleransi
atau ketergantungan fisik dan psikis. Dalam
hati zat ini diubah menjadi a.l. metabolit
aktif 6β-naltreksol yang terutama diekskresi
melalui urin. Naltrekson mengalami siklus
enterohepatik dengan masa paruh 4-12 jam.
Pengunaannya terutama untuk menghambat efek opioida berdasar pengikatan
kompetitif pada reseptor opioid dan sebagai
obat anti-ketagihan heroin. Pada pecandu
opiat menimbulkan gejala abstinensi hebat
dalam waktu 5 menit, yang dapat bertahan 48
jam. Obat ini hanya boleh diberikan sesudah penghentian heroin/morfin atau metadon
minimal masing-masing 7 dan 10 hari. Dosis:
permulaan 25 mg, bila tidak terjadi efek
abstinensi sesudah 1 jam diulang dengan 25
mg. Lalu 50 mg sehari selama 3 bulan atau
lebih lama.
7. Pentazosin: Fortral
Zat sintetik ini yaitu turunan dari
morfin (1964), pada mana cincin fenantren
diganti oleh naftalen. Gugus-N-allil memberikan efek antagonis terhadap opioida lainnya. Khasiatnya beragam, yaitu di samping
antagonis lemah, juga yaitu agonis
parsiil. Khasiat analgetiknya sedang sampai
kuat, antara kodein dan petidin (3-6 x lebih
lemah daripada morfin). Di AS sering kali
disalahgunakan dalam kombinasi dengan
antihistaminika dan nalokson.
Resorpsi di usus baik, tetapi BA hanya ±20%
akibat FPE besar. Mulai kerjanya cepat, setelah 15-30 menit dan bertahan minimal 3 jam.
Efek rektalnya sama dengan pemakaian
oral. PP 60%, plasma-t½ 2-3 jam. Dalam
hati zat ini diubah menjadi metabolit yang
diekskresi terutama lewat urin.
Dosis: pada nyeri sedang sampai kuat 3-4
dd 50-100 mg, maks. 600 mg sehari.
8. Kanabis: marihuana, *hashiz, weed, grass
Pucuk dengan kembang dan buah-buah
muda yang dikeringkan dari bentuk wanita tumbuhan Cannabis sativa (Asia Barat).
Kandungannya 0,3% minyak atsiri dengan
zat-zat terpen, terutama tetrahidrokanabinol
(THC). Zat ini banyak khasiat farmakologisnya, yang terpenting di antaranya yaitu
sedatif, hipnotik dan analgetik, antimual
dan spasmolitik.
Khasiat analgetik dari THC terjadi di batang
otak, di mana juga ada titik kerja dari
opioida. Hanya mekanisme kerjanya yang
berlainan, reseptor morfin tidak memegang
peranan dan nalokson tidak melawan efek
analgesiknya. Di samping itu, ambang nyeri
diturunkan (Lancet 1998; 352: 1040). Dahulu
(meskipun jarang) kanabis dipakai sebagai obat tidur, sedativum dan spasmolitikum
pada tetanus, umumnya dalam bentuk ekstrak 2-3 dd 30-50 mg. Sekarang kanabis
banyak disalahgunakan sebagai zat penyegar
narkotik (“drug”).
Penelitian akhir-akhir ini melaporkan efektivitas dan pemakaian nya sebagai antiemetikum (dan analgetikum) pada kanker,
stimulans nafsu makan pada penderita
AIDS dan obat relaksasi kejang/otot pada
MS. Lihat selanjutnya Bab 23, Drugs.
9. Alfentanil: Rapifen
berdasar indikasinya senyawa ini penggunaannya di (poli) klinik terbatas. Agonis opiat sintetik ini memiliki daya kerja
analgetik kuat dan bekerja maks. sesudah 1
menit dengan lama kerja 10-20 menit. PP
92% dan dimetabolisasi dalam hati menjadi metabolit-metabolit tidak aktif yang diekskresi terutama via urin.T1/2 di antara 80-
220 menit. dipakai sebagai zat analgetik
pada anestesi singkat.
Efek samping sering kali (>10%) nyeri pada
lokasi injeksi, mual dan muntah, mengantuk,
kaku otot, depresi pernapasan, pusing dan
gangguan penglihatan.
Dosis: untuk penanganan lebih singkat dari
10 menit: i.v. 7-15 mcg/kg.
10. Buprenorfin: Transtec, Butrans, Temgesic
Agonis opiat semisintetik ini memiliki
daya kerja analgetik kuat dan antara lain
dipakai dalam bentuk plester yang
melepaskan senyawa ini dengan kecepatan
yang relatif konstan.
Kecepatan kerja: i.v. sesudah 15-30 menit
dan i.m./oromukosal sesudah 30-50 menit
selama 6 jam. Resorpsi sesudah injeksi i.m.
cepat tetapi lambat melalui oromukosal. PP
95% dan dimetabolisasi dalam hati menjadi
a.l. norbuprenorfin.
Ekskresi 2/3 bagian utuh melalui feses dan
sepertiga via urin. T1/2 dari tablet oromukosal
3-4 jam dan dari plester ± 20 jam. dipakai
terhadap nyeri pasca bedah dan nyeri akibat
kanker. Jangan dipakai oleh wanita hamil
dan yang menyusui.
Efek samping tergantung dari bentuk pemberiannya. Pada pemberian parenteral mengantuk dan apathi. Melalui plester sering
kali mual, eritem dan gatal di tempat injeksi,
juga muntah, obstipasi, sakit perut, mulut
kering, sakit kepala dan pusing Dosis: untuk nyeri pasca bedah permulaan
i.m. 0,3-0,6 mg. Lansia 1-4 dd 0,2 mg. Nyeri
karena kanker: oromukosal 3-4 dd 0,2-0,4 mg
11. Hidromorfon: Paladon
yaitu alkaloid candu dengan khasiat
analgetik kuat yang efektif dalam 5 menit
sesudah injeksi i.v., atau 5 – 10 menit sesudah
injeksi s.k. dan 30 menit sesudah pemberian
per oral yang berlangsung untuk 4 jam. Daya kerjanya berlangsung selama 12 jam pada
pemberian per oral dari sediaan time released.
Di dalam hati dimetamobilisasi melalui
konyugasi menjadi terutama glukuronida.
Ekskresi via urin terutama sebagai hidromorfon terkonyugasi. T1/2 2-4 jam. dipakai
pada nyeri kanker hebat dan nyeri pasca
bedah.
Dosis: untuk nyeri kanker permulaan 1,3-2,6
mg tiap 4-6 jam dan tergantung dari hebatnya
nyeri dosis dapat ditingkatkan 25-50% per 24
jam. I.v. permulaan 1-1,5 mg tiap 3-4 jam.
Injeksi s.k. 1-2 mg tiap 3-4 jam. Untuk lansia
dosis awal dianjurkan untuk dikurangi.
12. Oksikodon: OxyContin, OxyNorm
Khasiat farmakologiknya tidak banyak berbeda dari morfin, yaitu analgetik, anksiolitik
dan sedatif. Resorpsi fase cepat ±37 menit dan
fase lambat ±6 jam. Di metabolisasi terutama
menjadi metabolit senyawa noroksikodon
dan senyawa oksimorfon. Sifat analgetik dari
noroksikodon yaitu ±1% dari oksikodon
sedangkan dari oksimorfon 14 kali lebih kuat. T1/2 ±3 jam (kapsul, tablet) dan 3,5 jam
(larutan injeksi). dipakai terhadap nyeri
hebat a.l. pasca bedah.
Efek samping sering kali (>10%) sedasi, obstipasi, mual , muntah dan sakit kepala. Juga
anoreksia, diare, pusing, tremor, tidak bisa
tidur, perasaan kacau-balau dan depresi.
Dosis: tergantung dari taraf nyeri dan analgetika yang sudah dipakai . Nyeri kronis
hebat: awal oral 5 mg tiap 4-6 jam dan dapat
ditingkatkan sampai rasa nyeri diatasi. 10
mg oksikodon hampir setara dengan 20 mg
morfin.
13. Remifentanil
Agonis opiat dengan sifat analgetik kuat,
bekerja cepat dan sangat singkat. Dimetabolisasi dalam darah dan jaringan menjadi
metabolit yang praktis tidak aktif. Ekskresi
terutama via urin. T1/2 3-10 menit. dipakai
sebagai analgetik pada taraf induksi dan/
atau taraf pemeliharaan anestesi total.
Efek samping sering kali (>10%) kaku otot,
hipotensi, mual dan muntah. Juga sering kali
bradikardi, hipertensi pasca bedah, depresi
pernapasan dan apneu.
Dosis: sebagai analgetik pada anestesi i.v.
0,5-1 ug/kg berat badan
DRUGS
Drugs didefinisikan sebagai zat-zat yang memengaruhi keadaan jiwa (psyche) dan yang
tidak dipakai ntuk pengobatan. Sejak
dahulu manusia telah menggunakan obatobatan yang memengaruhi suasana jiwa,
pikiran dan perasaan. Masalah penyalahgunaannya sama tuanya seperti peradaban
itu sendiri. Pemicu penyalahgunaan obat
yang mengakibatkan ketergantungan terdiri
dari 3 faktor bersamaan, yaitu tersedianya
obat-obat tersebut, sifat kepribadian yang
mudah terpengaruh dan tekanan-tekanan
sosial.
Istilah “drugs” pada awalnya bersumber dari
bahan-bahan obat yang dikeringkan, tetapi
kemudian diperluas sampai obat pada umumnya. Sekarang ini istilah tersebut terutama
terbatas pada obat-obat yang tercakup dalam
definisi tersebut di atas.
Sejak tahun 1969, kecenderungan penyalahgunaan drugs atau obat-obat narkotika dan
zat adiktif semakin bervariasi. Dari morfin
dan ganja/hashish menjadi berturut-turut
obat penenang (psikotropika golongan IV),
heroin (putaw), ecstasy dan shabu-shabu.
Yang terakhir ini yaitu drug dengan dasar
amfetamin.
Istilah dan Pengertian. Narkoba yaitu singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain “narkoba”, istilah lain yang
diperkenalkan khususnya oleh Kementerian
Kesehatan Republik negara kita yaitu Napza
yang yaitu singkatan dari Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif.
Narkotika yaitu zat atau obat yang berasal
dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetik maupun semi-sintetik, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009
atau yang kemudian ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Kesehatan.
Yang termasuk jenis narkotika yaitu :
• Tanaman papaver, opium mentah, opium
masak (candu, jicing, jicingko), opium,
morfina, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, dan damar ganja.
• Garam-garam dan turunan-turunan dari
morfina dan kokaina, serta campurancampuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan tersebut di atas.
Beberapa istilah yang berkaitan dengan narkotika yaitu sebagai berikut.
• Peredaran gelap Narkotika yaitu setiap
kegiatan atau serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara tanpa hak dan melawan
hukum yang ditetapkan sebagai tindak
pidana narkotika.
• Pecandu yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan a dan dalam
keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
• Ketergantungan narkotika yaitu gejala
dorongan untuk menggunakan narkotika
secara terus menerus, toleransi dan gejala
putus narkotika apabila pemakaian dihentikan.
• Penyalahgunaan yaitu orang yang
menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.
Psikotropika yaitu zat atau obat, baik alamiah maupun sintetik bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental
dan perilaku (Undang-Undang No. 5/1997).
ada empat golongan psikotropika menurut undang-undang tersebut, namun setelah diundangkannya UU No. 35 tahun
2009 tentang narkotika, maka psikotropika
golongan I dan II dimasukkan ke dalam
golongan narkotika. Dengan demikian saat
ini apabila bicara masalah psikotropika hanya menyangkut psikotropika golongan III
dan IV sesuai Undang-Undang No. 5/1997.
Jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia berjumlah sekitar 130.000 orang dari 200
juta penduduk dengan peredaran ±Rp. 390
miliar per hari! Angka 130.000 ini yaitu
hanya bagian dari fenomena gunung es, jadi
angka sebenarnya yaitu jauh lebih besar.
Obat-obat terlarang ini umumnya diselundupkan ke negara kita dari jalur distribusi
yang terkenal dengan sebutan Segitiga Emas
(Golden Triangle) yang terletak antara Thailand, Myanmar, Laos dan Cina (heroin dan
candu). Ecstasy dipasok dari kawasan Eropa,
seperti Belanda yang yaitu tempat
penghasil dan pengekspor ecstasy terbesar.
Beberapa waktu yang lalu di negara kita juga
telah terbongkar pabrik pembuat ecstasy
terbesar di Asia. Dengan demikian sekarang
ini negara kita bukan saja “pengimpor” tetapi
juga yaitu produsen dan eksportir
ilegal dari obat psikotropik.
Shabu-shabu didatangkan dari propinsi
Guangdong (Cina) dan kokain (juga disebut
crack, coke atau rock) dari Peru. Ganja (Cannabis, marijuana) berasal dari daerah Aceh,
yang tumbuhannya ada di hutan-hutan.
Obat bius (narkotika)
Istilah negara kita untuk “drugs” yaitu obat
bius atau narkotika. Namun bila ditinjau dari
sifat-sifat farmakologinya, yaitu sifat membiusnya, istilah ini hanya tepat untuk suatu
kelompok dari zat-zat ini (opioida), termasuk
morfin dan opium.
Sejak berlakunya Undang-undang RI No.
9/1976 tentang Narkotika, istilah obat bius
telah diganti dengan narkotika.
Istilah “drugs“ pada umumnya tidak terbatas
hanya pada opiat-opiat ini saja, tetapi terutama dipakai untuk zat-zat yang memiliki sifat merangsang terhadap keadaan jiwa
seseorang. Misalnya marihuana, wekamin
dan lain-lain, yang kebanyakan dalam dosis
tinggi bisa mengakibatkan pembiusan. Dalam
kelompok “drugs” ini pada umumnya dikategorikan juga obat-obat perangsang jiwa
(psikostimulansia) dengan khasiat “pembebasan jiwa”(“high”, widening of the mind). Dalam
uraian selanjutnuya akan dipakai istilah
yang resmi di negara kita , yakni narkotika. Lihat juga Bab 25, Anestetika Umum.
Keruntuhan moril dan jasmani yang diakibatkan oleh narkotika mendorong pemerintah
untuk mengadakan pengawasan yang sangat
ketat terhadap penyalahgunaan obat-obatan
ini. Masalah ini yaitu suatu masalah
sosial dan kesehatan masyarakat yang mut -
lak perlu ditanggulangi dengan seluruh
kekuatan yang ada. Karena kebutuhan akan
uang untuk memperoleh narkotika, maka
secara tidak langsung pemakaian drug juga
menginduksi kriminalitas.
Masalah narkotika. Ancaman bahaya narkotika dihadapi oleh seluruh dunia dan
hampir semua negara bertekad meningkatkan usaha untuk menanggulangi bahaya
ini. Dalam konperensi Jenewa pada awal
tahun 1977 utusan dari semua negara sepakat untuk mengadakan pengawasan yang
lebih ketat terhadap arus lalu-lintas bahanbahan narkotika dari negara “Golden Triangle” di Asia, yang yaitu sumber utama dari narkotika yang beredar di pasaran
dunia. Mengingat bahwa operasi kelompok pengedar narkotika gelap beredar secara “transnasional”, maka PBB perlu meningkatkan usaha-usahanya untuk memberantas
penyebaran bahaya “penyakit masyarakat”
ini yang menyebabkan kesengsaraan bagi
para penderita dan keluarganya.
Upaya negara kita
Badan Narkotika Nasional (disingkat BNN) yaitu sebuah Lembaga Pemerintah Non
Kementerian (sejak 2010) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursornya, psikotropika dan bahan adiktif
lainnya.
Dasar hukum BNN yaitu Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Sebelumnya, BNN yaitu lembaga
nonstruktural yang dibentuk berdasar
Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002,
yang kemudian diganti dengan Peraturan
Presiden Nomor 83 Tahun 2007.
Hard dan soft drugs
Dalam kepustakaan ilmiah sering kali kelompok “drugs” ini dibagi lagi dalam “hard”
dan “soft drugs”. Pemisahan yang betul-betul
ilmiah dalam hard dan soft drugs sukar sekali
dilakukan, misalnya pada LSD dan kokain.
Sudah jelaslah bahwa hard drugs jauh lebih
berbahaya daripada soft drugs berdasar
sifat-sifat dan cara pemakaian nya.
1. Hard drugs: opium, morfin, heroin, kokain
dan dekstromoramida (Palfium).
Hard drugs yaitu zat-zat yang pada penggunaan kronis menyebabkan perubahanperubahan di dalam tubuh pemakai, sehingga
penghentian pemberiannya mengakibatkan
gangguan serius bagi fisiologi tubuh, yang
disebut gejala penarikan atau gejala abstinensi. Gejala ini mendorong pencandu (“addict”) untuk terus-menerus menggunakan
zat-zat ini untuk menghindarkan timbulnya
gejala tidak nyaman itu. Di lain pihak dosis
yang dipakai lambat-laun harus ditingkatkan untuk memperoleh efek sama yang
dikehendaki (toleransi). Hard drugs mengakibatkan suatu ketergantungan fisik (ketagihan) yang hebat dan menyebabkan toleransi
terhadap dosis yang dipakai . Hard drugs
dapat dipakai melalui injeksi (parenteral),
sedangkan soft drugs tidak disuntikkan.
pemakaian drug secara intravena merupakan suatu masalah internasional yang
sangat serius. Kebiasaan menggunakan tabung dan jarum injeksi bersama-sama para
pencandu lainnya yaitu sebab utama
penyebaran virus HIV, virus hepatitis (B,C)
yang merusak hati dan lain-lain. Di seluruh
dunia dewasa ini ada sekitar 16 juta
pengguna drug intervena dan ±3 juta di
antaranya terinfeksi HIV terutama di Asia
dan Eropa Timur.
2. Soft dr