Tampilkan postingan dengan label obat 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label obat 3. Tampilkan semua postingan

obat 3




  

sempit .

7. Plasma half-life (eliminasi)

Telah kita lihat, bahwa turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada 

kecepatan metabolisme dan ekskresi. Kedua 

faktor ini menentukan kecepatan eliminasi 

obat, yang dinyatakan dengan pengertian 

masa paruh (plasma-t½, plasma half-life eliminasi), yaitu rentang waktu di mana kadar 

obat dalam plasma pada fase eliminasi menurun sampai separuhnya.

Pada Gambar 3-3, masa paruh obat yaitu  1 

jam, kadar menurun dari 80 (pada titik waktu 

1) sampai 40 mg% (titik waktu 2) dalam waktu 

1 jam, begitu pula dari 40 sampai 20 mg% 

(titik waktu 2 ke 3) dan seterusnya. Plasma-t½ 

obat B yaitu  2 jam: kadarnya menurun 

dari 80 sampai 40 mg% dari titik waktu 0.5 

sampai 2,5. Plasma-t½ etanol pada Gambar 

3-4 yaitu  1 jam: kadarnya menurun dari 80 

sampai 40 mg% dalam waktu 60 menit. 

Setiap obat memiliki masa paruh berlainan dan bervariasi dari 23 detik (adrenalin) 

hingga 2 tahun lebih (obat kontras-iod organik), sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 

berikut ini.

Half-life obat berlainan pula bagi binatang 

percobaan, bahkan secara perorangan pun 

dapat berbeda berdasar  variasi individual, oleh karena itu yang tercantum di 

atas yaitu  nilai rata-rata. 

Kecepatan eliminasi obat dan dengan demikian juga plasma t½-nya tergantung dari 

kecepatan biotransformasi dan ekskresi. 

Obat dengan metabolisme cepat half-lifenya juga singkat, misalnya insulin sesudah  

injeksi s.k. diuraikan dengan cepat, t½-nya 

hanya 40 menit. Sebaliknya obat yang tidak 

mengalami biotransformasi, atau obat dengan siklus enterohepatik atau juga yang 

diresorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan 

sendirinya t½-nya panjang. Begitu pula obat 

dengan persentase pengikatan pada protein

(PP) tinggi, misalnya sulfametoksipiridazin

PP 85% dengan t½ 34 jam, dibandingkan 

dengan sulfamezatin PP 30% dengan t½ 7 jam. 

Digoksin yang dikumulasi pada otot jantung 

juga mempunyai t½ panjang, lebih kurang 2 

hari.

Fungsi organ-organ eliminasi penting sekali, 

karena pada kerusakan hati atau ginjal halflife dapat meningkat sampai 20 kali atau 

lebih. Misalnya pada penyakit ginjal tertentu 

t½ penisilin bisa naik dari 0,5 jam sampai 

lebih kurang 10 jam dan t½ streptomisin dari 

2,5 jam menjadi 60 jam lebih.

Akhirnya cara pemberian obat turut menentukan nilai half-lifenya. Misalnya t½ penisilin sesudah  injeksi i.v. yaitu  2-3 menit, 

sedangkan pada pemberian oral nilainya 1-2 

jam. 

Area Under the Curve (A.U.C.) yaitu  luas 

permukaan di bawah kurve (grafik) yang 

menggambarkan naik-turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat 

dihitung secara matematik dan yaitu  

ukuran untuk bio-availability (BA) suatu 

obat. AUC dapat dipakai  untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat 

bila penentuan kecepatan eliminasinya tidak 

mengalami perubahan. 

Pada Gambar 3-3(A), AUC diberi warna 

gelap. Selain itu antara kadar plasma puncak 

dan bio-availability ada  hubungan langsung.

8. Dosis dan skema pentakaran

Plasma half-life yaitu  ukuran jangka 

waktu efek obat, maka t½ bersama grafik 

kadar-waktu penting sekali sebagai dasar untuk menentukan dosis dan frekuensi 

pemberian obat yang rasional, dengan kata 

lain berapa kali sehari sekian mg. Dosis 

yang terlalu tinggi atau terlalu sering dapat 

menimbulkan efek toksik, sedangkan dosis 

yang terlampau rendah atau terlalu jarang 

tidak menghasilkan efek yang diharapkan, 

bahkan pada kemoterapeutika dapat menimbulkan resistensi kuman (lihat Bab 4, 

Resistensi).

Obat dengan half-life panjang, lebih dari 24 

jam, pada umumnya cukup diberikan dosis 

(pemeliharaan) satu kali sehari dan tidak 

perlu sampai 2 atau 3 kali, misalnya digoksin. 

Terkecuali bila obat terikat kuat pada protein 

dan diperlukan kadar plasma tinggi untuk 

efek terapeutiknya, sebagaimana halnya 

dengan fenilbutazon (t½ lebih kurang 60 jam, 

PP = 98%). 

Sebaliknya, obat yang dimetabolisasi cepat 

dan t½-nya pendek, perlu diberikan sampai 

3-6 kali sehari agar kadar plasmanya tetap 

tinggi. Misalnya oksitosin dan noradrenalin 

yang eliminasinya demikian cepat, sehingga 

perlu diberikan melalui infus kontinu. Pengecualian yaitu  obat hipertensi reserpin 

dengan t½ ± 15 menit, namun kegiatannya 

bertahan lebih dari 36 jam, lihat Bab 35, 

Antihipertensiva. Begitu pula efek obat-obat 

hipertensi lainnya, antara lain beta-blockers 

dan metildopa tidak berkorelasi dengan 

plasma-t½-nya. Hal ini mungkin disebabkan 

didudukinya reseptor secara irreversibel oleh 

obat tersebut. Lihat Gambar 3 - 5. 

MIC dan MEC. Pada umumnya pentakaran 

ditujukan pada efek terapeutik yang cepat. 

Untuk mencapainya sering kali dimulai dengan dosis tinggi (loading-dose, stootdosis ) 

agar kadar plasma meningkat ke konsentrasi 

aktif dengan pesat. Misalnya terapi dengan 

sulfonamida diawali dengan loading dose, 

disusul dengan dosis separuhnya setiap 6 

jam, atau setiap 24 jam pada sulfa long-acting. 

Dengan demikian akan terpelihara kadar 

darah yang untuk beberapa waktu terletak di 

atas kadar penghambatan minimum untuk 

kuman tertentu (MIC= Minimum Inhibitory 

Concentration). MIC yaitu  kadar obat, 

di mana kuman tidak tumbuh atau tidak 

berkembang-biak lagi. Bagi obat lain (bukan 

kemoterapeutika) dipakai  MEC (Minimum 

Effective Concentration), yakni kadar plasma, 

di mana obat baru memberikan efek terapeutik yang diinginkan.

Untuk penisilin yang berkhasiat bakterisid terhadap kuman yang sedang tumbuh, diperlukan kadar tinggi sekali yang 

tidak perlu kontinu, sehingga dapat diselingi dengan kadar yang lebih rendah. 

Sebaliknya, pada obat-obat yang berkhasiat 

bakteriostatik, seperti sulfonamida dan tetrasiklin, perlu dipelihara kadar plasma yang 

berada tetap di atas MIC agar kuman tidak 

diberi kesempatan berkembang lagi. Gambar 

3-5 mengilustrasikan hal-hal ini. 

Obat tidur yang hanya dipakai  sesekali 

sebaiknya memiliki half-life agak pendek 

(t½ 6-8 jam) agar tidak mengakibatkan perasaan pusing dan tak nyaman (hang-over) 

sesudah  bangun tidur seperti pada fenobarbital. 

Sebaliknya, obat tidur yang sering kali digunakan (secara teratur) lebih baik bermasa 

paruh panjang, karena risiko ketagihan lebih 

ringan.

Begitu pula obat yang perlu dipakai  

terus-menerus pada penyakit kronis, hendaknya t½-nya panjang agar pentakaran tidak 

perlu terlalu sering, misalnya antiepileptika, 

antihipertensiva dan antidiabetika oral.

Obat yang mengalami first pass effect (FPE) 

besar, dosis oralnya harus tinggi sekali dibandingkan dengan dosis parenteral. Misalnya thiazinamium (Multergan), yang resorpsinya dari usus sedikit sekali (hanya ±20% 

dengan BA 10% dan FPE 50%) diberikan 

dalam dosis oral 300 mg untuk memperoleh 

BA (kadar plasma) yang sama dengan dosis 

25 mg i.m. atau 6,5 mg i.v.




Farmakodinamika berkaitan dengan efekefek farmakologi dari suatu obat dalam tubuh melalui ikatan/pengaruhnya terhadap 

misalnya suatu reseptor, enzim atau saluran 

ion (ion channel).

1. MEKANISME 

KERJA OBAT

Walaupun sudah banyak diketahui mengenai efek obat dalam tubuh manusia, tetapi 

mengenai mekanisme kerjanya banyak yang 

belum dipahami dengan baik.

Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat digolongkan sebagai berikut:

a. secara fisik, misalnya anestetika inhalasi, 

laksansia dan diuretika osmotik. 

Aktivitas anestetika inhalasi terkait langsung dengan sifat lipofilnya. Obat ini diperkirakan melarut dalam lapisan lemak dari 

membran sel, yang oleh karena itu berubah 

demikian rupa sehingga transpor normal 

dari oksigen dan zat-zat gizi terganggu dan 

aktivitas sel terhambat. Akibatnya yaitu  

timbulnya mati rasa.

Pencahar osmotik (magnesium dan natriumsulfat) lambat sekali resorpsinya oleh 

usus, lalu melalui proses osmotik menarik 

air dari sekitarnya. Volume usus bertambah 

besar dan dengan demikian yaitu  

rangsangan mekanis atas dindingnya untuk 

memicu peristaltik dan mengeluarkan isinya. 

Untuk diuretika osmotik, lihat Bab 33. 

b. secara kimiawi, misalnya antasida lambung 

dan zat-zat chelasi (chelator).

Antasida, seperti natrium bikarbonat, aluminium dan magnesiumhidroksida dapat 

mengikat kelebihan asam lambung melalui 

reaksi netralisasi kimiawi.

Zat-zat chelasi mengikat ion-ion logam 

berat pada molekulnya dengan suatu ikatan 

kimiawi khusus. Kompleks yang terbentuk 

tidak toksik lagi dan mudah diekskresi 

oleh ginjal. Contohnya yaitu  dimerkaprol 

(BAL), natriumedetat (EDTA) dan penisilamin 

(=dimetilsistein), yang dipakai  sebagai 

obat rematik. 

c. melalui proses metabolisme berbagai 

cara, misalnya antibiotika yang mengganggu 

pembentukan dinding sel kuman, sintesis 

protein atau metabolisme asam nukleinat. 

Begitu pula antimitotika mencegah pembelahan inti sel dan diuretika yang menghambat atau menstimulasi proses filtrasi. 

Contoh lain yaitu  probenesid, suatu obat 

encok yang dapat menyaingi penisilin dan 

derivatnya (antara lain amoksisilin) pada 

proses sekresi tubuler, sehingga ekskresinya 

diperlambat dan efeknya diperpanjang.

d. melalui kompetisi (saingan), padamana 

dapat dibedakan dua kemungkinan, yaitu 

kompetisi untuk reseptor spesifik atau untuk 

enzim.

Reseptor-reseptor

Pada tahun 1970-an telah dilakukan banyak 

penyelidikan pada tingkat molekuler untuk 

memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai interaksi biokimiawi antara 

zat-zat endogen dan sel-sel tubuh. Ternyata bahwa reaksi demikian hampir selalu 

berlangsung di suatu tempat reaksi spesifik, 

yaitu di reseptor (sel penerima) atau di enzim. Pengetahuan ini menghasilkan antara 

lain betabloker pertama, yaitu propranolol.

Sejak lama diketahui bahwa semua proses 

fisiologi dalam tubuh diregulasi oleh zat-zat 

pengatur kimiawi (regulator endogen), yang 

masing-masing memiliki titik kerja khas di 

satu atau berbagai organ. Meskipun ada  

ratusan regulator, terutama hormon dan 

neurotransmitter (noradrenalin, serotonin, 

dopamin, dan lain-lain) namun setiap zat 

mengetahui dengan tepat di mana letaknya 

sel dan organ tujuannya. Hal ajaib ini dapat didijelaskan dengan adanya sejenis informasi biologi di setiap zat dalam bentuk 

konfigurasi khusus, struktur ruang dan sifatsifat kimianya yang dengan eksak mencocoki 

sel-sel reseptor di organ-tujuan. Sistem ini 

dapat disamakan dengan prinsip kunci anak 

kunci. Selain (neuro)hormon tersebut, ada 

juga reseptor untuk zat-zat lain, misalnya 

untuk zat-zat endorfin(morfin endogen) dan 

benzodiazepin.

Letak reseptor ini khusus di membran sel 

dan terdiri dari suatu protein yang merupakan komplemen (kunci) tepat dari struktur 

ruang dan muatan hormon bersangkutan 

(anak-kunci). sesudah  hormon “ditangkap” 

dan diikat oleh reseptor, terjadilah interaksi yang mengubah rumus dan pembagian 

muatannya. Akibatnya yaitu  suatu reaksi 

dengan perubahan aktivitas sel yang sudah 

ditentukan (prefixed) dan suatu efek fisiologi.

Receptor-blockers. Obat yang struktur kimiawinya mirip dengan suatu hormon, juga 

mampu menduduki reseptor bersangkutan 

dan dengan demikian memblokir aktivitas 

hormon tersebut. Obat demikian dinamakan 

perintang reseptor (receptor blocker) dan 

sebagai contoh dapat disebutkan adrenoreceptor blockers (beta-blockers) yang menyaingi noradrenalin pada dua jenis reseptor (131 dan 82), antara lain propranolol

dan metoprolol. Derivatnya yaitu labetalol, memblokir baik reseptor-α maupun reseptor-β dari susunan saraf adrenergik. Begitupula histamin—suatu neurohormon jaringan—aktif terhadap dua reseptor berlainan, yakni jenis H1

 dan H2. Antihistaminika memblokir reseptor H1

, sedangkan 

penghambat asam (anti tukak usus) simetidin 

dan ranitidin memblokir reseptor H2

.

Enzim-enzim

Enzim terdiri dari protein dan bekerja sebagai katalisator antara dua zat kimia, yakni 

mempermudah atau mendorong suatu reaksi tanpa sendirinya turut ambil bagian. Pada 

permukaan enzim ada  suatu ‘titik aktif’, 

biasanya suatu celah sempit, di mana dua 

zat kimia yang berada di sirkulasi darah 

dapat “diperangkap”, sehingga interaksi bisa 

berlangsung. Tanpa enzim, kedua zat tidak 

akan “bersentuhan” dan bergerak terus dalam 

plasma. Enzim tidak hanya menggabungkan, 

melainkan dapat juga merombak molekul 

dari zat, yang dinamakan substrat.

Proses enzimatik di dalam tubuh yang 

terkenal yaitu  proses pencernaan asupan 

makanan: protein, karbohidrat, lemak, kolesterol dan sebagainya. Contoh lain yaitu  

pembentukan dan perubahan hormon maupun 

vitamin, begitu pula perombakan dari banyak 

zat/obat endogen maupun eksogen di dalam 

hati, lihat jugaBab 3, sub 3, Biotransformasi.

Enzyme-blockers. Obat-obat tertentu yang 

memiliki kesamaan struktur kimiawi dengan suatu substrat mampu menduduki 

‘titik aktif’ dari enzim bersangkutan, hingga 

reaksi normal tidak terjadi dan produk akhir 

tidak dibentuk. Perintang-enzim demikian 

dipakai  dalam terapi untuk berbagai 

tujuan, yaitu:

a. mencegah pembentukan produk akhir

– alopurinol, yang menduduki tempat 

ksantin di enzim ksantinoksidase, hingga 

sintesis asam urat sangat dihambat (pada 

encok).

– metildopa. Obat hipertensi ini menyaingi 

dopa, hingga dekarboksilase tidak mengkatalisasi pembentukan noradrenalin (meningkatkan tekanan darah), sehingga terbentuk metil-NA yang inaktif

– asetazolamida memblokir karbonanhidrase, 

sehingga pembentukan asam karbonat terhenti dengan efek peningkatan diuresis 

– antagonis folat: sulfonamida, trimetoprim 

dan MTX menyaingi PABA pada enzim 

folatreduktase, sehingga sintesis asam folat yang diperlukan bakteri dan sel-sel 

tumor terhenti. Dapson serta obat malaria proguanil dan pirimetamin juga bekerja menurut prinsip ini.

– antagonis-purin: merkaptopurin dan azatioprin.

– antagonis-pirimidin: 5-fluorourasil, sitarabin. Keempat onkolitika (= sitostatika) ini 

menduduki tempat purin dan pirimidin 

pada asam nukleinat, hingga sintesis protein sel-sel tumor menjadi kacau.

b. melindungi substrat:

– disulfiram merintangi aldehidoksidase, sehingga oksidasi asetaldehida (menjadi asam 

asetat) tidak dilanjutkan dan kadar plasmanya naik. Obat ini dipakai  pada 

pengobatan adiksi alkohol.

– fisostigmin dan neostigmin yaitu  perintang 

kolinesterase sementara, hingga asetilkolin 

terhambat penguraiannya dan kadarnya 

naik. Insektisida organofosfat (parathion dan 

malathion) memblokir enzim tersebut 

secara irreversibel, maka sangat toksik!

– perintang MAO memblokir monoaminoksidase sehingga zat-zat monoamin (noradrenalin, serotonin, dopamin, dan lainlain) tidak diuraikan lagi dan kadar 

plasmanya meningkat. Dahulu obat ini 

sering dipakai  sebagai obat depresi, 

tetapi ditinggalkan karena mengakibatkan tekanan darah sangat meningkat. 

Sekarang tersedia obat-obat yang berdaya 

selektif terhadap MAO-A tanpa efek 

samping buruk tersebut (moklobemida 

dan ekstrak Hyperici).

– asam klavulanat khusus dipakai  untuk 

memblokir enzim beta-laktamase, sehingga 

tidak dapat menginaktifkan lagi penisilin. 

2. EFEK TERAPEUTIK

Tidak semua obat mampu menyembuhkan 

penyakit secara tuntas; banyak di antaranya 

hanya meniadakan atau meringankan gejalanya. Oleh karena itu, dapat dibedakan tiga 

jenis pengobatan, yaitu:

– terapi kausal, pada mana penyebab penyakit dihalau, khususnya pemusnahan 

kuman, virus atau parasit. Contohnya 

kemoterapeutika (sulfonamida dan antibiotika, antimikotika, fungisida, obat-obat 

malaria);

– terapi simtomatik: hanya gejala penyakit 

yang diobati dan diringankan, tetapi 

sebabnya tidak dipengaruhi, misalnya 

kerusakan pada suatu organ atau saraf. 

Contohnya analgetika pada rematik atau 

sakit kepala, obat hipertensi dan obat 

jantung;

– terapi substitusi: obat menggantikan zat 

yang lazimnya dibuat oleh organ yang 

sakit. Misalnya insulin pada diabetes, karena produksinya oleh pankreas kurang 

atau terhenti, tiroksin pada fungsi tiroid 

berkurang (hipotirosis) dan estrogen pada 

hipofungsi ovarium pada masa klimakterium wanita. 

Efek terapeutik obat tergantung dari banyak 

sekali faktor, antara lain cara dan bentuk 

pemberian, sifat fisikokimiawinya yang 

menentukan resorpsi, biotransformasi dan 

ekskresinya dalam tubuh. Begitu pula dari 

kondisi fisiologi penderita (fungsi hati, ginjal, 

usus dan peredaran darah). Faktor-faktor 

individual lainnya misalnya etnis, kelamin, 

luas permukaan badan dan kebiasaan makan 

juga dapat memegang peranan penting.

Variasi biologi. Akibat faktor individual, 

efek obat dapat sangat berbeda. Setiap orang 

dapat memberikan respons yang berlainan 

terhadap suatu obat sesuai kepekaannya 

masing-masing. Perbedaan respons ini bisa 

besar sekali, karena untuk setiap obat selalu 

ada orang yang sangat rentan dan dengan 

dosis rendah sekali sudah dapat memberikan 

efek terapeutis. Sebaliknya, ada pula orang 

yang hanya memberikan respons pada dosis 

yang sangat tinggi. Inilah sebabnya mengapa 

dosis obat yang diberikan pada suatu pasien 

dengan hasil baik, adakalanya tidak ampuh 

untuk pasien lain, pada siapa mungkin dosisnya harus dinaikkan untuk memberikan 

efek yang sama. Dalam keadaan penting 

hendaknya kadar obat pasien ditentukan 

dalam darahnya untuk mendapatkan kepastian mengenai takaran yang optimal. Libat 

juga Bab 3, sub 3: Variasi individual.

Kesetiaan terapi (patient compliance).

Banyak penelitian menunjukkan bahwa 

sejumlah besar pasien tidak minum obatnya 

dengan taat dan teratur, atau tidak meng-habiskan kur yang diberikan padanya sesuai resep dokter. Jelaslah bahwa dengan 

demikian obat tidak memberikan efek optimal yang diinginkan, bahkan dapat menimbulkan resistensi, khususnya pada antibiotika. Kesetiaan dan kerelaan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh sejumlah 

faktor dan yang utama yaitu : 

a. sifat individual: misalnya watak, tingkat 

pendidikan dan kepekaan untuk rasa 

nyeri, pengobatan dianggap tidak perlu, 

kekhawatiran mengenai efek samping 

dan ketergantungan, kurang percaya terhadap terapi.

b. relasi dokter-pasien: bila pasien tidak 

senang dengan perlakuan dokter atau 

tidak menerima perhatian dan informasi 

secukupnya mengenai penyakitnya, compliance akan menurun. Begitu pula bila 

dokter tidak memberikan instruksi yang 

lengkap atau cukup jelas mengenai 

pemakaian  obat. Misalnya antibiotika 

harus diselesaikan kurnya, walaupun gejala penyakit infeksi sudah lenyap.

c. jenis penyakit: semakin berat penyakit, 

semakin baik compliance-nya, juga bila 

pasien merasa nyeri. Sebaliknya compliance berkurang bila obat harus diminum untuk waktu yang lama atau menahun, sedangkan penyakit tidak memperlihatkan gejala tidak nyaman (radang, 

nyeri), seperti diabetes dan hipertensi.

d. jumlah obat dan frekuensi takarannya. 

Semakin sering kali pemberian obat, 

semakin turun compliance. Bila obat harus 

dipakai  lebih dari dua kali sehari, 

compliance menurun dengan nyata, begitupun bila obat tidak diberikan sebagai 

tablet atau kapsul, tetapi dalam bentuk 

cairan (larutan, suspensi) atau supositoria. 

e. faktor-faktor individual seperti pelupa 

(dosis yang rumit, polifarmasi), kemampuan terbatas untuk mengerti tujuan 

pengobatan, gangguan mata (tidak bisa 

membaca dengan jelas).

Industri farmasi juga telah memahami pentingnya masalah ini, oleh karena itu telah 

dikembangkan tablet/kapsul dengan efek 

panjang, delayed action atau slow/sustained 

release, yang cukup diminum satu atau 

maksimal dua kali sehari. Sekarang tersedia 

banyak obat single-dose dari bermacammacam jenis, misalnya tablet atau kapsul 

dengan analgetika (Voltaren retard), hipertensi 

(Selozok) dan obat jantung (Isoptin SR), lihat di 

bawah ini. 

Keuntungan tambahan dari tablet kerja 

panjang yaitu  resorpsi obat bisa berlangsung lebih teratur selama waktu yang lebih 

panjang dan kadar darah yang kurang berfluktuasi. Dengan demikian efek klinis obat 

bisa lebih stabil dengan efek samping yang 

berkurang.

Cara memperpanjang efek obat. Daya 

kerja obat dapat diperpanjang dengan beberapa cara, antara lain memperlambat resorpsinya ke dalam sirkulasi darah atau 

menghambat ekskresinya oleh ginjal. Misalnya berdasar  kompetisi enzim, efek 

amoksisilin (per oral) dapat diperpanjang 

melalui kombinasi dengan obat encok probenesid.

Sediaan long-acting. Tablet dan kapsul kini 

sudah banyak diproduksi dalam ben-tuk 

kerja panjang, Yang terkenal yaitu  sediaan 

timespan atau retard (Ronicol), durule atau 

durette (kinidine), repetab (Polaramine) dan 

spansule (kapsul Stelazine). Bentuk lain adalah sediaan ZOC (Zero Order Control, Selozok)

dan (Oral Regulation Osmotic system, Adalat 

Oros). 

Cara mutakhir yang semakin banyak diterapkan, yaitu  “mempegilir” obat, yaitu 

menggabungkan polietilenglikol (PEG) dengan obat (konyugasi). Polimer etilenglikol 

tersebut cenderung menghimpun molekul 

air di sekitarnya yang membentuk sejenis 

barrier, sehingga molekul lain yang dapat 

menguraikannya (misalnya protease) sukar 

mencapainya. Penerapannya terutama pada 

obat yang berdasar  protein, seperti peginterferon-alfa dan pegfilgastrim, yang digunakan pada terapi hepatitis C dan prevensi 

neutropenia. (Geneesk Bull 2005; 39: 37-41).

Ada berbagai cara pembuatan sediaan oral 

long-acting. Ada obat yang diserap pada 

suatu matriks plastik (semacam spons) dengan lubang-lubang kecil, yang dalam usus

melepaskan obat secara berangsur (durules). 

Ada pula obat yang butir-butirnya diselubungi coating yang lambat laun larut dalam air, 

misalnya etilselulose (spansule), atau coating 

lilin (carnaubawax, stearyalcohol). Tablet 

mantel mengandung inti dengan enteric 

coating sehingga pecah dalam dua tingkat. 

Pada sistem ZOC=Zero Order Control (1990) 

tersebut di atas, obat dibebaskan di usus 

dengan kecepatan konstan. Obat terkandung 

dalam butir-butir kecil yang masing-masing 

diselubungi membran semipermeabel. Setiap 

tablet mengandung 1.500-2.000 butir zat aktif 

dan zat pengisi netral (laktosa, tepung dan 

sebagainya). Di saluran cerna, zat pengisi 

melarut dan butir-butir obat dibebaskan dari 

tablet. Cairan usus melintasi membran butir 

dan obat secara berangsur didesak keluar. 

Kecepatan pelepasan obat konstan sampai 

±20 jam sesudah  tablet diminum. Contoh 

sistem ini yaitu  Seloken ZOC atau Selozok

tersebut di atas.

Keberatannya. Salah satu keberatan dari 

tablet kerja-panjang yaitu  kadang-kadang 

resorpsinya di usus berlangsung kurang 

eksak. Selain itu kemungkinan besar peristaltik usus yang agak kuat menyebabkan obat 

dikeluarkan dari tubuh sebelum resorpsinya 

lengkap. Agar matriks atau coating khusus 

jangan sampai dirusak dan pembebasan 

obat dipercepat, maka tablet harus ditelan 

utuh, artinya tidak dipecah, dikunyah atau 

dilarutkan dalam air. 

Injeksi kerja-panjang. Untuk sediaan parenteral, perlambatan resorpsi dan perpanjangan 

daya kerjanya dapat dicapai dengan cara 

berikut:

– menggunakan minyak sebagai zat pelarut 

untuk zat lipofil, misalnya hormon kelamin dan penisilin;

– memperkecil daya larut obat melalui penggabungan dengan suatu zat (lipofil), misalnya estrogen-enantat, flufenazin-dekanoat dan protamin-seng-insulin;

– menggunakan kristal lebih kasar, untuk menekan daya larutnya, misalnya insulin;

– penambahan vasokonstriktor (zat penciut 

pembuluh), agar penyebaran obat diperlambat, misalnya adrenalin pada prokain.

3. PLASEBO

The state of the body is linked to the state of the 

mind (Razi, d.c. 925)

Suatu faktor penting yang turut menentukan 

efek terapeutik obat yaitu  kepercayaan 

atas dokter dan obat yang diberikannya. 

berdasar  kepercayaan ini pada situasi 

tertentu adakalanya diberikan suatu obat 

plasebo(Lat. = saya ingin menyenangkan). 

Plasebo yaitu  sediaan obat tanpa kegiatan 

farmakologi (tablet, kapsul, cairan) dan khusus diberikan untuk menyenangkan dan

menenangkan pasien yang menurut diagnosis dokter sebetulnya tidak menderita 

gangguan organik. Atau untuk meningkatkan semangat hidup, misalnya pada penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi. 

Pada azasnya plasebo yaitu  cara pengobatan melalui sugesti, yang sering kali 

menghasilkan efek tidak terduga walaupun 

bertahan hanya sebentar. 

Efek plasebo yang paling nyata yaitu  

pada obat tidur, juga hasil baik telah dicapai 

dengan analgetika, obat asma atau obat 

penguat (tonikum). Suatu studi menyatakan bahwa lebih dari 30% pasien dengan 

suatu penyakit organik dan lebih dari 40% 

pasien dengan gangguan jiwa memberikan 

reaksi baik terhadap pengobatan dengan 

plasebo. Jelaslah bahwa tidak semua penyakit dapat ditangani dengan plasebo, 

misalnya penyakit insufisiensi organ, seperti diabetes.

Zat inaktif dalam plasebo umumnya terdiri dari laktosa dengan dibubuhi sedikit 

kinin untuk rasa pahit dan sering kali zat 

warna. Bentuk tablet sebaiknya kecil sekali 

atau sangat besar dengan warna mencolok 

(kuning atau cokelat) guna menambah efek 

psikologisnya.

4. EFEK OBAT YANG TAK 

DIINGINKAN

a. Efek samping

Menurut definisi WHO (1970) efek samping 

suatu obat yaitu  segala sesuatu efek yang

tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang 

dimaksudkan pada dosis yang dianjurkan. 

Atau dapat juga didefinisikan: efek samping 

yaitu  efek yang tidak diinginkan atau tidak 

ditujukan dari suatu obat yang timbul pada 

dosis yang lazim dipakai  untuk profilaksis, 

diagnosis atau terapi suatu penyakit. 

Dapat dibedakan dua jenis efek samping 

obat, yaitu tipe I (juga disebut tipe A) dan 

tipe II (juga disebut tipe B). Efek samping 

Tipe I yaitu  reaksi-reaksi yang berdasar  

sifat-sifat farmokologi obat tersebut dapat 

diperkirakan dan biasaya tergantung dari 

dosis.

Efek samping Tipe II yaitu  reaksi-reaksi 

tidak lumrah dan berdasar  sifat-sifat 

farmakologi obat tersebut tidak dapat diperkirakan.

Dengan terjadinya drama talidomid*

 pada 

tahun enam puluhan, masalah efek samping 

obat (baru) mulai diteliti dengan saksama. Di 

banyak negara didirikan pusat-pusat khusus 

untuk memonitor efek samping obat agar 

dengan cepat dapat diperoleh informasi bila 

suatu obat (baru) ternyata menimbulkan efek 

samping berbahaya. 

Obat yang ideal hendaknya bekerja cepat 

untuk waktu tertentu saja dan secara selektif, 

artinya hanya berkhasiat terhadap keluhan 

atau gangguan tertentu tanpa aktivitas lain. 

Semakin selektif kerja obat, semakin kurang 

efek sampingnya, yaitu semua aktivitas yang 

tidak menjurus ke penyembuhan penyakit. 

Sebagai contoh obat dengan kerja tidak selektif dapat disebut klorpromazin, yang dapat 

mengganggu banyak proses fisiologi lain. 

Obat yang sangat selektif yaitu  perintang 

enzim, seperti fisostigmin dan alopurinol.

Kerja utama dan efek samping obat yaitu  

pengertian yang sebetulnya tidak mutlak. 

Kebanyakan obat memiliki lebih dari satu 

khasiat farmakologik; tergantung dari tujuan 

pemakaian nya. Efek samping pada suatu 

saat mungkin menjadi kerja utama yang 

diinginkan. Contoh terkenal yaitu  asetosal, 

yang efek sampingnya yaitu mengencerkan 

darah dimanfaatkan sebagai khasiat utama 

untuk prevensi infark kedua. Juga antihistaminika (prometazin, dan sebagainya.) 

yang efek sedatifnya semula dianggap sebagai efek samping yang tidak diinginkan. 

Sifat ini kemudian justru dijadikan titiktolak untuk mengembangkan psikofarmaka 

dari golongan klorpromazin. Contoh lain 

yaitu  minoksidil dan finasteride yang telah dipasarkan sebagai masing-masing obat 

hipertensi (Lonnoten) dan obat hipertrofi 

prostat (Proscar). Kedua obat dapat memicu 

pertumbuhan rambut sebagai efek sampingnya, oleh karena itu kemudian diluncurkan 

sebagai obat penumbuh rambut (Regaine dan

Propecia).

Efek samping adakalanya tidak dapat dihindari, misalnya rasa mual pada penggunaan digoksin, ergotamin atau estrogen 

dengan dosis yang melebihi dosis normal. 

Kadang-kadang efek samping yaitu  

kelanjutan efek utama sampai tingkat yang 

tidak diinginkan, misalnya rasa kantuk 

pada fenobarbital bila dipakai  sebagai 

obat epilepsi. Bila efek samping (misalnya 

mual) terlalu hebat, dapat diatasi dengan 

obat lain, misalnya obat antimual (meklizin, 

proklorperazin) atau obat anti-mengantuk 

(kofein, amfetamin).

Kerja tambahan atau kerja sekunder yaitu  

efek tidak langsung akibat kerja utama obat. 

Misalnya, antibiotika spektrum-luas dapat 

mengganggu keseimbangan bakteri/flora 

usus dan menimbulkan defisiensi vitamin atau 

supra-infeksi dengan jamur. Untuk menghindari kerja tambahan tersebut biasanya 

dalam hal ini terapi dilengkapi dengan vitamin B kompleks atau obat fungistatik.

b. Idiosinkrasi

Idiosinkrasi yaitu  reaksi abnormal terhadap obat, pada mana suatu obat memberikan efek yang secara kualitatif total 

berlainan dari efek normalnya. Umumnya 

hal ini disebabkan oleh kelainan genetik pada 

pasien bersangkutan (misalnya defisiensi 

G6PD). Sebagai contoh dapat disebutkan 

anemia hemolitik (kekurangan darah akibat 

terurainya eritrosit) sesudah  pengobatan 

malaria dengan primakuin atau derivatnya. 

Contoh lain yaitu  pasien yang pada peng obatan dengan neuroleptika untuk menenangkannya, justru memperlihatkan reaksi 

bertentangan dan menjadi gelisah dan 

cemas. Begitu pula pada morfin dan analgetika lain, adakalanya terjadi suatu reaksi

idiosinkrasi. Anemia aplastik pada penggunaan kloramfenikol, mungkin juga yaitu  

suatu fenomena idiosinkrasi walaupun jarang terjadi.

c. Alergi

Bilamana seseorang diberikan penisilin

secara topikal, sebagian kecil akan diresorpsi 

oleh kulit dan di dalam darah bergabung 

dengan salah satu protein. Penisilin disebut 

hapten dan kompleks penisilin-protein disebut antigen yang mendorong tubuh untuk 

membentuk zat-zat penangkis tertentu, yaitu 

antibodies. Pasien tersebut telah disensitasi 

dan menjadi rentan berlebihan terhadap penisilin (hipersensitif). Bila pada kesempatan 

lain ia diberi penisilin lagi, kemungkinan 

besar akan terjadi reaksi khusus antara 

antigen dan antibodies tersebut, yang dinamakan reaksi alergi. Lihat juga Bab 51, 

Antihistaminika, alergi.

Zat dengan molekul besar (makromolekul),

seperti protein (asing) dan polisakarida juga 

dapat berfungsi sebagai antigen dengan menimbulkan reaksi alergi. Selain penisilin 

banyak obat bermolekul kecil (Berat Molekul < 1000), dapat pula berperan sebagai 

hapten, yaitu antigen tak lengkap. Obat yang 

sering menimbulkan reaksi alergi yaitu  

antihistaminika, sulfonamida, prokain, obatobat tbc, fenilbutazon dan DDT, oleh karena 

itu sebaiknya jangan dipakai  secara topikal.

Sensitasi oleh obat. Banyak orang tanpa 

diketahui memiliki antibodies terhadap penisilin di tubuhnya, karena obat ini banyak 

dipakai  pada penyakit hewan (sapi, babi) 

atau sebagai stimulans pertumbuhan hewan. 

Akibatnya ada  sebagai residu dalam 

daging atau susu dalam jumlah yang kecil 

tetapi cukup untuk menimbulkan sensitasi 

(lihat juga di bawah Resistensi dan Makanan). 

Tetapi hanya sedikit sekali terjadi reaksi 

alergi pada orang yang diberi penisilin untuk mengobati suatu penyakit. Penyebabnya 

belum jelas, begitu pula mengapa suatu 

zat lebih bersifat antigen daripada zat lain. 

Kenyataannya yaitu , bahwa pasien yang 

sudah menderita penyakit alergi, misalnya 

eksem atau asma, lebih cenderung disensitasi 

oleh obat.

Gejala alergi terpenting dan sering tampak 

pada kulit yaitu  urtikaria (gatal dan bentolbentol) serta rash (kemerah-merahan). Adakalanya berlangsung lebih hebat dan berupa 

demam, serangan asma, anaphylactic shock.

Berlainan dengan efek toksik obat, gejala 

alergi pada umumnya sudah timbul oleh 

dosis yang sangat kecil dan tidak dapat 

dikurangi dengan menurunkan dosisnya. 

Pada kebanyakan kasus. reaksi alergi dapat 

cepat diatasi dengan injeksi adrenalin, antihistamin atau kortikosteroid. 

Alergi silang dapat terjadi antara zat dengan 

struktur kimiawi yang lebih kurang sama, 

misalnya sulfonamida dengan turunannya 

yang dipakai  sebagai diuretika (klortiazida) 

atau antidiabetika oral (tolbutamid), begitu 

pula antara semua derivat penisilin dengan 

derivat sefalosporin.

d. Fotosensitasi

Fotosensitasi yaitu  kepekaan berlebihan 

untuk cahaya akibat pemakaian  obat, terutama pemakaian  topikal. Yang terkenal 

yaitu  antiseptikum bithionol (dalam sabun 

Bris), yang karena efek ini sejak tahun 1973 

dilarang pemakaian nya dalam sediaan 

topikal, antara lain di AS dan Kanada. Begitu 

pula minosiklin dan turunannya kadangkadang menyebabkan fotosensitasi pada 

pemakaian oral.

Untuk sebanyak mungkin menghindari 

timbulnya alergi kontak, dianjurkan agar bila 

mungkin tidak menggunakan secara lokal 

alergen-alergen kontak terkenal, yaitu ‘lima 

A’: Antibiotika, Antiseptika, Anestetika lokal, 

Antimikotika dan Antihistaminika.

5. EFEK TOKSIK

“Sola dosis facit venenum” The dose makes the 

poison: dosis menentukan beracunnya suatu zat.

Paracelsus (1493-1541,”father” of toxicology)Setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat mengakibatkan efek toksik. Pada 

umumnya, hebatnya reaksi toksik berhubungan langsung dengan besarnya dosis: 

bila dosis diturunkan, efek toksik juga dapat 

dikurangi. 

Efek teratogen

Dari peredaran darah ibu semua zat gizi dan 

zat pertumbuhan masuk ke dalam sirkulasi 

janin dengan melintasi plasenta (uri). Plasenta dapat disamakan dengan sawar darah-otak (lihat Bab 3, Distribusi) dengan 

membran semipermeabel pula, oleh karena 

itu zat-zat lipofil dapat melaluinya dengan 

lancar. Zat-zat hidrofil, bila kadar plasmanya 

tinggi, akhirnya akan melintasi plasenta juga. 

Dalam peredaran janin obat akan bertahan 

lebih lama, karena sistem eliminasinya belum 

berkembang dengan optimal.

Obat teratogen yaitu  obat yang pada dosis 

terapeutik bagi sang ibu dapat mengakibatkan 

cacat pada janin, berupa focomelia (kaki 

tangan seperti singa laut atau adakalanya 

tidak terbentuk sama sekali), kerusakan pada 

mata, telinga dan jantung, juga saluran pencernaan dan saluran kemih. Perhatian dunia 

yang tersentak terhadap peningkatan secara 

“epidemik” dari kelainan yang sangat serius 

dan langka ini, pertama kali yaitu  berkat 

penelitian luar biasa dari 2 ahli kedokteran di 

German (Lenz) dan Australia (McBride) pada 

akhir 1960. Tetapi baru pada akhir 1961, ialah 

3 tahun sesudah  dipasarkan, akibat desakan 

kuat internasional obat penyebab kelainan 

tersebut (Softenon, Grünenthal), ditarik dari 

peredaran.

• Kehamilan muda. Kerusakan yang terhebat terjadi pada masa kehamilan muda, 

yaitu selama 12 minggu pertama kehamilan, 

mungkin antara minggu ke-3 sampai ke-8 

terhitung dari hari pertama haid terakhir. 

Selama masa inilah terbentuk kaki, tangan 

dan semua organ penting bayi. Oleh karena 

itu untuk mengatasi keluhan-keluhan yang 

tidak begitu serius pada triwulan pertama 

kehamilan, dianjurkan pemakaian  obat 

seminimal mungkin. Misalnya, untuk rasa 

mual di pagi hari (morning sickness) yang 

sering kali terjadi, sebaiknya jangan diberi 

obat antimual, melainkan jahe (dalam bentuk manisan) yang “aman”, lihat Bab 17, 

Antiemetika.

Penyakit virus tertentu, khususnya campak 

Jerman(rubella, German measles), sudah lama 

diketahui dapat mengakibatkan cacat pada 

janin, terutama gangguan penglihatan dan 

pendengaran. Oleh karena itu, di banyak 

negara Eropa, semua gadis dari usia 10–12 

tahun, yang belum pernah menderita rubella, 

diberi vaksinasi terhadap penyakit ini. Kemungkinan terjadinya cacat janin akibat obat 

yang diminum oleh sang ayah pada saat 

pembuahan juga diteliti pada hewan percobaan.

• Kehamilan tua. Obat yang diberikan 

pada masa akhir kehamilan dapat pula 

menimbulkan efek yang tidak diinginkan, 

misalnya hormon androgen dan progesteron, 

yang menimbulkan ciri-ciri jantan pada bayi 

wanita (virilisasi). Juga tetrasiklin dan turunannya dapat mengganggu pertumbuhan 

tulang dan gigi. Klorokuin dan klorpromazin 

dikumulasi pada mata janin dan dapat me


mePeristiwa talidomida. Pada tahun 1960-61 di Eropa, terutama di Jerman Barat dan lnggris, dilahirkan 

± 350 bayi dengan cacat hebat, yaitu para bayi yang ibunya pada permulaan kehamilan menggunakan 

obat tidur talidomida. Baru sesudah  bencana ini terjadi, para sarjana farmakologi mulai menelaah 

secara sistematik semua obat terhadap efek teratogennya pada hewan percobaan. Obat yang dicurigai 

yaitu  antara lain barbital, sulfonamida, obat-obat epilepsi karbamazepin, fenitoin dan valproat, 

serta turunan vitamin A, etretinat dan asitretin.

pemakaian  obat-obat baru dengan pengalaman kurang dari 10 tahun harus dilakukan dengan 

sangat hati-hati oleh para wanita, walaupun tidak sedang hamil.


Teratologi

Cacat lahir dapat diakibatkan oleh antara lain, faktor-faktor etiologi berikut:

- faktor eksternal: obat-obat, sinar ionisasi, infeksi (toksoplasmosis, rubella);

- faktor genetik: dominan atau resesif

- faktor kromosom: mongolisme (Down’s syndrome)

Sekitar 60% dari cacat lahir etiologinya tidak jelas.

Yang akan diuraikan di bawah ini yaitu  cacat lahir yang diakibatkan oleh obat (teratogenitas).

Faktor-faktor terpenting yang menentukan timbulnya efek samping teratogenetik obat-obat yaitu  

antara lain:

- waktu kehamilan;

- jenis dan dosis obat;

- kepekaan janin terhadap obat tertentu;

- passage plasenta.

1. Taraf perkembangan janin sewaktu bekerjanya obat yaitu  sangat penting. Selama fase embrional 

(trimester pertama kehamilan) janin sangat peka terhadap daya kerja teratogen obat. Kepekaan tiap 

organ dari janin terhadap obat teratogen sangat ditentukan oleh faktor waktu. 

Periode paling kritis bagi jantung yaitu  hari ke-20 dan ke-40 sesudah  konsepsi; untuk sistem saraf 

antara hari ke-15 dan ke-25, lalu untuk alat gerak antara hari ke-24 dan ke-36. 

Di samping ini ada  pula obat-obat tertentu (misalnya talidomid) yang memiliki kecenderungan 

luar biasa untuk bermanifestasi pada perkembangan organ atau sistem organ tertentu. 

2. Dosis dari obat teratogen bukannya yaitu  faktor yang menentukan, tetapi yang lebih penting 

yaitu  jenis dan sifat obat tersebut, permeabilitas dari plasenta, dan cara metabolismenya oleh 

janin. Bahkan pernah dipertanyakan (Wilson) apakah tiap zat dapat bekerja teratogen, bila saja 

diberikan dalam dosis yang tepat, pada saat yang kritis dan kepada species yang tepat.

3. Predisposisi genetik juga menentukan kecenderungan terhadap cacat bawaan tertentu yang 

dapat diakibatkan oleh zat teratogen. Menurut statistik yaitu  tidak betul pengertian one drug 

= one malformation. Obat-obat tertentu hanya bersifat teratogen terhadap orang yang memiliki 

kecenderungan genetik dan sangat peka terhadapnya.

4. Plasenta-barrier bukan yaitu  suatu membran semi-permeabel pasif, tetapi dapat disamakan 

dengan sawar darah-otak. Transpor melalui plasenta bisa secara difusi pasif atau transpor aktif. 

Tiap zat yang ada  dalam darah maternal, dapat mencapai sistem janin. Bukan menjadi 

pertanyaan apakah obat melewati plasenta tetapi yang lebih penting yaitu  kuantumnya.

rusak retina. Juga antidiabetika oral dan 

sulfonamida diduga dapat mengakibatkan 

efek yang tidak diinginkan. Lihat juga Lampiran A. Daftar obat selama Kehamilan dan 

Laktasi.

6. TOLERANSI, HABITUASI, 

DAN ADIKSI

Toleransi yaitu  peristiwa pada mana dosis 

obat perlu ditingkatkan terus-menerus untuk 

mencapai efek terapeutik yang sama. Tidak 

begitu banyak obat dapat menimbulkan 

toleransi yang berarti, sedangkan di lain 

pihak banyak sekali obat dapat dipakai  bertahun-tahun tanpa menimbulkan toleransi, antara lain glikosida digitalis.

Toleransi primer (bawaan) ada  pada 

sebagian orang dan hewan tertentu, misalnya 

kelinci1

 sangat tahan terhadap atropin, yaitu 

zat yang sangat toksik untuk manusia dan 

binatang menyusui.

Toleransi sekunder (yang diperoleh) bisa 

timbul sesudah  suatu obat dipakai  untuk 

beberapa waktu dan organisme menjadi kurang rentan terhadap obat tersebut. Peristiwa 

ini juga disebut kebiasaan atau habituasi.

Toleransi silang dapat terjadi antara zat-zat 

dengan struktur kimiawi serupa (diazepam 

dan oksazepam) atau antara beberapa zat berlainan, misalnya alkohol dan barbital 

(walaupun jarang sekali). 

Takifilaksis yaitu  toleransi obat yang 

timbul dengan pesat sekali (dalam waktu 

beberapa jam), bila pemberian obat diulang 

dalam jangka waktu singkat, misalnya 

efedrin dan propranolol dalam tetes mata 

terhadap glaukoma.

Habituasi atau kebiasaan dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu: 

• induksi enzim, misalnya barbital dan 

fenilbutazon, menstimulasi terbentuknya 

enzim yang menguraikan obat-obat tersebut;

• reseptor sekunder, yang dibentuk ekstra 

oleh obat-obat tertentu, misalnya morfin. 

Dengan demikian jumlah molekul obat 

yang menduduki reseptor (di mana efek 

obat terjadi) akan menurun;

• penghambatan resorpsi sesudah  pemberian oral, misalnya habituasi bagi sediaan 

arsen. 

Dengan meningkatkan dosis obat terus 

menerus, pasien bisa menderita keracunan, 

karena efek sampingnya juga menjadi lebih 

kuat. Habituasi dapat diatasi dengan menghentikan pemberian obat dan pada umumnya tidak menimbulkan gejala penghentian 

(abstinensi) seperti pada adiksi. 

Adiksi atau ketagihan berbeda dengan habituasi dalam dua hal, yaitu:

a. adiksi bercirikan adanya ketergantungan 

jasmaniah dan rohaniah; dan 

b. penghentian pemakaian  obat adiktif menimbulkan efek fisik dan mental hebat, 

yang dinamakan gejala abstinensi. 

Adiksi yaitu  bentuk penyalahgunaan 

obat yang sangat serius dan terjadi dengan 

antara lain obat-obat narkotika, kokain dan 

hashiz, lihat pula Bab 23, Drugs. Obat-obat 

ini menimbulkan efek euforia kuat, yaitu 

perasaan nyaman dan kemampuan besar 

akan prestasi mental dan artistik, di samping 

segala kecemasan hilang. Dengan setiap 

pemberian kebutuhan akan suasana euforia 

meningkat dan pasien akan semakin sering 

menggunakan obat bersangkutan.

Terapi. Adiksi drugs dapat disembuhkan, misalnya dengan cara menggantikan morfin, 

heroin, kokain dan sebagainya dengan 

metadon dalam dosis yang setara. Kemudian secara berangsur-angsur dosis diturunkan 

sampai akhirnya pasien bebas obat sama 

sekali. Dasar terapi ini yaitu  bahwa metadon, amfetamin dan obat stimulansia lain 

pada umumnya juga bisa menimbulkan 

toleransi dan adiksi. Tetapi, bila pemberian 

dihentikan, gejala abstinensi fisiknya tidak 

sekuat narkotika.

7. RESISTENSI BAKTERI

Kemoterapeutika yang dipakai  pada 

penyakit infeksi adakalanya tidak bekerja 

(lagi) terhadap kuman-kuman tertentu yang 

ternyata memiliki daya tahan kuat dan 

resisten terhadap obat tersebut. Bahaya resistensi ini jelas yaitu mengakibatkan pengobatan penyakit menjadi sangat sulit dan progresnya menjadi lama, di samping risiko 

timbulnya komplikasi atau kematian akan 

meningkat. Resistensi yaitu  masalah 

global yang sangat serius. pemakaian  berlebihan (overuse) atau penyalahgunaan (mis -

use) obat-obat penting seperti antibiotik dan 

obat antimalaria dan tidak tersedianya obatobat perkembangan baru, mengakibatkan beberapa jenis infeksi tidak dapat disembuhkan.

Dikenal tiga jenis resistensi bakteri, yaitu 

resistensi primer, sekunder dan episomal.

a. Resistensi bawaan (primer), yang secara 

alamiah sudah ada  pada kuman. 

Misalnya, ada nya enzim penisilinase 

pada stafilokoki yang merombak penisilin 

dan sefaloridin. Ada pula bakteri yang 

dinding selnya tidak dapat ditembusi 

obat, misalnya basil tuberkulosa dan 

lepra.

b. Resistensi yang diperoleh (sekunder)

yaitu  akibat kontak dari kuman dengan kemoterapeutika dan biasanya disebabkan oleh pembentukan spontan 

jenis baru dengan ciri yang berlainan. 

Mutan ini segera memperbanyak diri dan 

menjadi suku baru yang resisten. Terbentuknya mutan adakalanya cepat, seperti pada streptomisin, INH dan rifampisin 

(resistensi setingkat). Sebaliknya, pembentukannya dapat pula berlangsung 

lebih lambat, misalnya pada penisilin, 

eritromisin dan tetrasiklin (resistensi 

banyak tingkat). 

* Adaptasi yaitu  cara lain untuk 

menjadi resisten, yaitui bakteri menyesuaikan metabolismenya untuk melawan 

efek obat. Misalnya, bakteri mengubah 

pola enzimnya dan membentuk enzim 

khusus untuk menguraikan obat, umpamanya penisilinase, asetilase (terhadap 

kloramfenikol), adenilase/fosforilase terhadap streptomisin, kanamisin dan neomisin. Dikenal pula kuman yang memperkuat dinding selnya, sehingga tidak dapat 

ditembus lagi oleh antibiotika; atau ada 

pula yang melepaskan dinding selnya, 

sehingga tidak peka lagi untuk penisilin 

(kuman bentuk-L).

c. Resistensi episomal. Berlainan dengan 

kedua jenis tersebut di atas, pada tipe 

resistensi ini pembawa faktor genetik 

berada di luar kromosom(= rangkaian 

pendukung sifat genetik). Faktor R 

(= resistensi) ini disebut episom atau 

plasmid, terdiri dari DNA(desoxynucleic 

acid) dan dapat “ditulari” pada kuman 

lain dengan penggabungan atau kontak 

sel-dengan-sel. Penularan ini terutama 

terjadi di dalam usus melalui pengoperan 

gen. Transmisi tidak terbatas pada satu 

jenis kuman saja tetapi juga dapat terjadi 

antara berbagai jenis, misalnya dari E. Coli 

dan Enterococci dengan kuman patogen 

Salmonella, Klebsiella, atau Vibrio dan kebalikannya.

Telah diketahui bahwa dengan masuknya 

faktor-R, daya memperbanyak diri bakteri 

sangat meningkat. Hal ini jelas meresahkan 

karena dengan demikian resistensi dapat 

menjalar dengan pesat. Kini faktor-R dari 

banyak kuman di rumah sakit sudah diisolir 

yang berasal dari tinja dan urin. Kumankuman ini resisten terhadap banyak kemoterapeutika, termasuk ampisilin, kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida, sulfonamida, trimetoprim dan golongan (fluor) kuinolon.

Ketergantungan (dependence) yaitu  peristiwa di mana pertumbuhan bakteri tergantung dari keberadaan antibiotika tertentu. 

Misalnya, penisilin, streptomisin, INH dan 

kloramfenikol dapat dipakai  oleh kuman 

sebagai bahan pertumbuhan. Sifat ganjil 

ini bisa terjadi pada mutasi berikutnya dari 

suatu mutan yang telah menjadi resisten. 

Resistensi-silang (cross-resistence) yaitu  kejadian padamana kuman yang resisten terhadap suatu antibiotikum juga resisten terhadap semua derivatnya, misalnya penisilin dengan ampisilin dan amoksisilin. 

Begitu juga ada  resistensi silang antara, 

misalnya turunan tetrasiklin, berbagai jenis 

sulfonamida, antara linkosin dan klindamisin, 

juga antara rifamisin dan rifampisin.

Prevensi. Resistensi dapat dihindarkan dengan menggunakan dosis obat yang relatif 

tinggi (dibandingkan dosis efektif minimalnya) selama waktu yang agak singkat, sebagai 

ganti dari kur jangka lama tanpa istirahat. 

Atau pemakaian  kombinasi dari dua atau lebih 

obat, terutama pada tuberkulosis, lepra dan 

kanker. Akhirnya membatasi pemakaian  

antibiotika dengan aktivitas terhadap kumankuman berbahaya hanya untuk penyakit parah 

dan tidak untuk membasmi kuman “biasa”, 

seperti misalnya pada sakit tenggorok atau 

radang telinga.

Antibiotika dalam makanan hewan sering kali dipakai  untuk menstimulasi 

pertumbuhannya dan sudah menjadi lazim 

di kebanyakan negara Barat. Praktik ini 

sudah lama dilarang karena kekhawatiran 

berkembangnya kuman-kuman yang resisten 

pada hewan. Selain itu residu antibiotika 

dapat tertinggal di dagingnya yang kemudian 

dikonsumsi manusia. Sebagai contoh yaitu  

vancomisin, yaitu suatu antibiotikum yang 

sejak lama dianggap sebagai obat penolong 

terakhir (last resort drug), yang masih ampuh bila antibiotika lain tidak berefek lagi 

akibat resistensi. Di AS vancomisin, di samping hormon, banyak dipakai  dalam 

makanan hewan dan kini sudah banyak 

dilaporkan resistensi pada manusia terhadap antibiotikum ini. Sebaliknya untuk me- ngurangi risiko penularan resistensi kepada 

manusia, sebagai gantinya di Eropa banyak 

dipakai  ‘derivat hewan’, yaitu avoparacine dalam jumlah besar dan resistensi terhadap vancomisin praktis tidak disinyalir. 

Tetapi sejak 1997 avoparacine juga dilarang 

di Eropa. 

Namun para pembela pemakaian  antibiotika dalam animal food berpendapat 

bahwa belum ada  cukup bukti ilmiah 

mengenai kemungkinan transmisi resistensi terhadap antibiotika dari hewan ke manusia. Malah dikemukakan adanya indikasi kuat bahwa pemakaian nya telah mengurangi penyebaran kuman patogen Salmonella. Kuman ini setiap tahun mengakibatkan banyak kematian di seluruh dunia 

pada lansia dan orang dengan daya tahan 

lemah. Lihat selanjutnya Bab 5, Kemoterapeutika, pemakaian  lainnya.

8. DOSIS

Dosis obat yang diberikan pada pasien 

untuk menghasilkan efek yang diharapkan 

tergantung dari banyak faktor, antara lain 

usia, bobot badan, kelamin, luasnya permukaan badan, beratnya penyakit dan daya 

tahan penderita.

Takaran/dosis yang dimuat dalam Farmakope negara kita  dan farmakope negaranegara lain hanya dimaksudkan sebagai 

pedoman saja. Begitu pula dosis maksimal 

(MD), yang bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksik, bukan yaitu  

batas yang mutlak harus ditaati. Dosis maksimal dari banyak obat dimuat di berbagai 

farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah ditinggalkan oleh Farmakope Eropa dan negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian mengenai ketepatannya, antara lain 

berhubung dengan variasi biologi dan faktorfaktor tersebut di atas. Sebagai gantinya, kini 

dipakai  dosis lazim, yaitu dosis rata-rata 

yang pada umumnya memberikan efek yang 

diinginkan.

Dosis yang tercantum di farmakope luar 

negeri sebetulnya berlaku untuk orang Barat 

dewasa berdasar  bobot badan rata-rata 

150 pound (= 68 kg). Tubuh orang negara kita  

pada umumnya lebih kecil dengan rata-rata 

beratnya 56 kg, sehingga seharusnya mendapatkan takaran yang lebih rendah pula. 

Dalam praktik, hal ini tidak atau kurang 

diperhatikan, tidak pula soal variasi mengenai bes