sempit .
7. Plasma half-life (eliminasi)
Telah kita lihat, bahwa turunnya kadar plasma obat dan lama efeknya tergantung pada
kecepatan metabolisme dan ekskresi. Kedua
faktor ini menentukan kecepatan eliminasi
obat, yang dinyatakan dengan pengertian
masa paruh (plasma-t½, plasma half-life eliminasi), yaitu rentang waktu di mana kadar
obat dalam plasma pada fase eliminasi menurun sampai separuhnya.
Pada Gambar 3-3, masa paruh obat yaitu 1
jam, kadar menurun dari 80 (pada titik waktu
1) sampai 40 mg% (titik waktu 2) dalam waktu
1 jam, begitu pula dari 40 sampai 20 mg%
(titik waktu 2 ke 3) dan seterusnya. Plasma-t½
obat B yaitu 2 jam: kadarnya menurun
dari 80 sampai 40 mg% dari titik waktu 0.5
sampai 2,5. Plasma-t½ etanol pada Gambar
3-4 yaitu 1 jam: kadarnya menurun dari 80
sampai 40 mg% dalam waktu 60 menit.
Setiap obat memiliki masa paruh berlainan dan bervariasi dari 23 detik (adrenalin)
hingga 2 tahun lebih (obat kontras-iod organik), sebagaimana dapat dilihat dalam tabel
berikut ini.
Half-life obat berlainan pula bagi binatang
percobaan, bahkan secara perorangan pun
dapat berbeda berdasar variasi individual, oleh karena itu yang tercantum di
atas yaitu nilai rata-rata.
Kecepatan eliminasi obat dan dengan demikian juga plasma t½-nya tergantung dari
kecepatan biotransformasi dan ekskresi.
Obat dengan metabolisme cepat half-lifenya juga singkat, misalnya insulin sesudah
injeksi s.k. diuraikan dengan cepat, t½-nya
hanya 40 menit. Sebaliknya obat yang tidak
mengalami biotransformasi, atau obat dengan siklus enterohepatik atau juga yang
diresorpsi kembali oleh tubuli ginjal, dengan
sendirinya t½-nya panjang. Begitu pula obat
dengan persentase pengikatan pada protein
(PP) tinggi, misalnya sulfametoksipiridazin
PP 85% dengan t½ 34 jam, dibandingkan
dengan sulfamezatin PP 30% dengan t½ 7 jam.
Digoksin yang dikumulasi pada otot jantung
juga mempunyai t½ panjang, lebih kurang 2
hari.
Fungsi organ-organ eliminasi penting sekali,
karena pada kerusakan hati atau ginjal halflife dapat meningkat sampai 20 kali atau
lebih. Misalnya pada penyakit ginjal tertentu
t½ penisilin bisa naik dari 0,5 jam sampai
lebih kurang 10 jam dan t½ streptomisin dari
2,5 jam menjadi 60 jam lebih.
Akhirnya cara pemberian obat turut menentukan nilai half-lifenya. Misalnya t½ penisilin sesudah injeksi i.v. yaitu 2-3 menit,
sedangkan pada pemberian oral nilainya 1-2
jam.
Area Under the Curve (A.U.C.) yaitu luas
permukaan di bawah kurve (grafik) yang
menggambarkan naik-turunnya kadar plasma sebagai fungsi dari waktu. AUC dapat
dihitung secara matematik dan yaitu
ukuran untuk bio-availability (BA) suatu
obat. AUC dapat dipakai untuk membandingkan kadar masing-masing plasma obat
bila penentuan kecepatan eliminasinya tidak
mengalami perubahan.
Pada Gambar 3-3(A), AUC diberi warna
gelap. Selain itu antara kadar plasma puncak
dan bio-availability ada hubungan langsung.
8. Dosis dan skema pentakaran
Plasma half-life yaitu ukuran jangka
waktu efek obat, maka t½ bersama grafik
kadar-waktu penting sekali sebagai dasar untuk menentukan dosis dan frekuensi
pemberian obat yang rasional, dengan kata
lain berapa kali sehari sekian mg. Dosis
yang terlalu tinggi atau terlalu sering dapat
menimbulkan efek toksik, sedangkan dosis
yang terlampau rendah atau terlalu jarang
tidak menghasilkan efek yang diharapkan,
bahkan pada kemoterapeutika dapat menimbulkan resistensi kuman (lihat Bab 4,
Resistensi).
Obat dengan half-life panjang, lebih dari 24
jam, pada umumnya cukup diberikan dosis
(pemeliharaan) satu kali sehari dan tidak
perlu sampai 2 atau 3 kali, misalnya digoksin.
Terkecuali bila obat terikat kuat pada protein
dan diperlukan kadar plasma tinggi untuk
efek terapeutiknya, sebagaimana halnya
dengan fenilbutazon (t½ lebih kurang 60 jam,
PP = 98%).
Sebaliknya, obat yang dimetabolisasi cepat
dan t½-nya pendek, perlu diberikan sampai
3-6 kali sehari agar kadar plasmanya tetap
tinggi. Misalnya oksitosin dan noradrenalin
yang eliminasinya demikian cepat, sehingga
perlu diberikan melalui infus kontinu. Pengecualian yaitu obat hipertensi reserpin
dengan t½ ± 15 menit, namun kegiatannya
bertahan lebih dari 36 jam, lihat Bab 35,
Antihipertensiva. Begitu pula efek obat-obat
hipertensi lainnya, antara lain beta-blockers
dan metildopa tidak berkorelasi dengan
plasma-t½-nya. Hal ini mungkin disebabkan
didudukinya reseptor secara irreversibel oleh
obat tersebut. Lihat Gambar 3 - 5.
MIC dan MEC. Pada umumnya pentakaran
ditujukan pada efek terapeutik yang cepat.
Untuk mencapainya sering kali dimulai dengan dosis tinggi (loading-dose, stootdosis )
agar kadar plasma meningkat ke konsentrasi
aktif dengan pesat. Misalnya terapi dengan
sulfonamida diawali dengan loading dose,
disusul dengan dosis separuhnya setiap 6
jam, atau setiap 24 jam pada sulfa long-acting.
Dengan demikian akan terpelihara kadar
darah yang untuk beberapa waktu terletak di
atas kadar penghambatan minimum untuk
kuman tertentu (MIC= Minimum Inhibitory
Concentration). MIC yaitu kadar obat,
di mana kuman tidak tumbuh atau tidak
berkembang-biak lagi. Bagi obat lain (bukan
kemoterapeutika) dipakai MEC (Minimum
Effective Concentration), yakni kadar plasma,
di mana obat baru memberikan efek terapeutik yang diinginkan.
Untuk penisilin yang berkhasiat bakterisid terhadap kuman yang sedang tumbuh, diperlukan kadar tinggi sekali yang
tidak perlu kontinu, sehingga dapat diselingi dengan kadar yang lebih rendah.
Sebaliknya, pada obat-obat yang berkhasiat
bakteriostatik, seperti sulfonamida dan tetrasiklin, perlu dipelihara kadar plasma yang
berada tetap di atas MIC agar kuman tidak
diberi kesempatan berkembang lagi. Gambar
3-5 mengilustrasikan hal-hal ini.
Obat tidur yang hanya dipakai sesekali
sebaiknya memiliki half-life agak pendek
(t½ 6-8 jam) agar tidak mengakibatkan perasaan pusing dan tak nyaman (hang-over)
sesudah bangun tidur seperti pada fenobarbital.
Sebaliknya, obat tidur yang sering kali digunakan (secara teratur) lebih baik bermasa
paruh panjang, karena risiko ketagihan lebih
ringan.
Begitu pula obat yang perlu dipakai
terus-menerus pada penyakit kronis, hendaknya t½-nya panjang agar pentakaran tidak
perlu terlalu sering, misalnya antiepileptika,
antihipertensiva dan antidiabetika oral.
Obat yang mengalami first pass effect (FPE)
besar, dosis oralnya harus tinggi sekali dibandingkan dengan dosis parenteral. Misalnya thiazinamium (Multergan), yang resorpsinya dari usus sedikit sekali (hanya ±20%
dengan BA 10% dan FPE 50%) diberikan
dalam dosis oral 300 mg untuk memperoleh
BA (kadar plasma) yang sama dengan dosis
25 mg i.m. atau 6,5 mg i.v.
Farmakodinamika berkaitan dengan efekefek farmakologi dari suatu obat dalam tubuh melalui ikatan/pengaruhnya terhadap
misalnya suatu reseptor, enzim atau saluran
ion (ion channel).
1. MEKANISME
KERJA OBAT
Walaupun sudah banyak diketahui mengenai efek obat dalam tubuh manusia, tetapi
mengenai mekanisme kerjanya banyak yang
belum dipahami dengan baik.
Mekanisme kerja obat yang kini telah diketahui dapat digolongkan sebagai berikut:
a. secara fisik, misalnya anestetika inhalasi,
laksansia dan diuretika osmotik.
Aktivitas anestetika inhalasi terkait langsung dengan sifat lipofilnya. Obat ini diperkirakan melarut dalam lapisan lemak dari
membran sel, yang oleh karena itu berubah
demikian rupa sehingga transpor normal
dari oksigen dan zat-zat gizi terganggu dan
aktivitas sel terhambat. Akibatnya yaitu
timbulnya mati rasa.
Pencahar osmotik (magnesium dan natriumsulfat) lambat sekali resorpsinya oleh
usus, lalu melalui proses osmotik menarik
air dari sekitarnya. Volume usus bertambah
besar dan dengan demikian yaitu
rangsangan mekanis atas dindingnya untuk
memicu peristaltik dan mengeluarkan isinya.
Untuk diuretika osmotik, lihat Bab 33.
b. secara kimiawi, misalnya antasida lambung
dan zat-zat chelasi (chelator).
Antasida, seperti natrium bikarbonat, aluminium dan magnesiumhidroksida dapat
mengikat kelebihan asam lambung melalui
reaksi netralisasi kimiawi.
Zat-zat chelasi mengikat ion-ion logam
berat pada molekulnya dengan suatu ikatan
kimiawi khusus. Kompleks yang terbentuk
tidak toksik lagi dan mudah diekskresi
oleh ginjal. Contohnya yaitu dimerkaprol
(BAL), natriumedetat (EDTA) dan penisilamin
(=dimetilsistein), yang dipakai sebagai
obat rematik.
c. melalui proses metabolisme berbagai
cara, misalnya antibiotika yang mengganggu
pembentukan dinding sel kuman, sintesis
protein atau metabolisme asam nukleinat.
Begitu pula antimitotika mencegah pembelahan inti sel dan diuretika yang menghambat atau menstimulasi proses filtrasi.
Contoh lain yaitu probenesid, suatu obat
encok yang dapat menyaingi penisilin dan
derivatnya (antara lain amoksisilin) pada
proses sekresi tubuler, sehingga ekskresinya
diperlambat dan efeknya diperpanjang.
d. melalui kompetisi (saingan), padamana
dapat dibedakan dua kemungkinan, yaitu
kompetisi untuk reseptor spesifik atau untuk
enzim.
Reseptor-reseptor
Pada tahun 1970-an telah dilakukan banyak
penyelidikan pada tingkat molekuler untuk
memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai interaksi biokimiawi antara
zat-zat endogen dan sel-sel tubuh. Ternyata bahwa reaksi demikian hampir selalu
berlangsung di suatu tempat reaksi spesifik,
yaitu di reseptor (sel penerima) atau di enzim. Pengetahuan ini menghasilkan antara
lain betabloker pertama, yaitu propranolol.
Sejak lama diketahui bahwa semua proses
fisiologi dalam tubuh diregulasi oleh zat-zat
pengatur kimiawi (regulator endogen), yang
masing-masing memiliki titik kerja khas di
satu atau berbagai organ. Meskipun ada
ratusan regulator, terutama hormon dan
neurotransmitter (noradrenalin, serotonin,
dopamin, dan lain-lain) namun setiap zat
mengetahui dengan tepat di mana letaknya
sel dan organ tujuannya. Hal ajaib ini dapat didijelaskan dengan adanya sejenis informasi biologi di setiap zat dalam bentuk
konfigurasi khusus, struktur ruang dan sifatsifat kimianya yang dengan eksak mencocoki
sel-sel reseptor di organ-tujuan. Sistem ini
dapat disamakan dengan prinsip kunci anak
kunci. Selain (neuro)hormon tersebut, ada
juga reseptor untuk zat-zat lain, misalnya
untuk zat-zat endorfin(morfin endogen) dan
benzodiazepin.
Letak reseptor ini khusus di membran sel
dan terdiri dari suatu protein yang merupakan komplemen (kunci) tepat dari struktur
ruang dan muatan hormon bersangkutan
(anak-kunci). sesudah hormon “ditangkap”
dan diikat oleh reseptor, terjadilah interaksi yang mengubah rumus dan pembagian
muatannya. Akibatnya yaitu suatu reaksi
dengan perubahan aktivitas sel yang sudah
ditentukan (prefixed) dan suatu efek fisiologi.
Receptor-blockers. Obat yang struktur kimiawinya mirip dengan suatu hormon, juga
mampu menduduki reseptor bersangkutan
dan dengan demikian memblokir aktivitas
hormon tersebut. Obat demikian dinamakan
perintang reseptor (receptor blocker) dan
sebagai contoh dapat disebutkan adrenoreceptor blockers (beta-blockers) yang menyaingi noradrenalin pada dua jenis reseptor (131 dan 82), antara lain propranolol
dan metoprolol. Derivatnya yaitu labetalol, memblokir baik reseptor-α maupun reseptor-β dari susunan saraf adrenergik. Begitupula histamin—suatu neurohormon jaringan—aktif terhadap dua reseptor berlainan, yakni jenis H1
dan H2. Antihistaminika memblokir reseptor H1
, sedangkan
penghambat asam (anti tukak usus) simetidin
dan ranitidin memblokir reseptor H2
.
Enzim-enzim
Enzim terdiri dari protein dan bekerja sebagai katalisator antara dua zat kimia, yakni
mempermudah atau mendorong suatu reaksi tanpa sendirinya turut ambil bagian. Pada
permukaan enzim ada suatu ‘titik aktif’,
biasanya suatu celah sempit, di mana dua
zat kimia yang berada di sirkulasi darah
dapat “diperangkap”, sehingga interaksi bisa
berlangsung. Tanpa enzim, kedua zat tidak
akan “bersentuhan” dan bergerak terus dalam
plasma. Enzim tidak hanya menggabungkan,
melainkan dapat juga merombak molekul
dari zat, yang dinamakan substrat.
Proses enzimatik di dalam tubuh yang
terkenal yaitu proses pencernaan asupan
makanan: protein, karbohidrat, lemak, kolesterol dan sebagainya. Contoh lain yaitu
pembentukan dan perubahan hormon maupun
vitamin, begitu pula perombakan dari banyak
zat/obat endogen maupun eksogen di dalam
hati, lihat jugaBab 3, sub 3, Biotransformasi.
Enzyme-blockers. Obat-obat tertentu yang
memiliki kesamaan struktur kimiawi dengan suatu substrat mampu menduduki
‘titik aktif’ dari enzim bersangkutan, hingga
reaksi normal tidak terjadi dan produk akhir
tidak dibentuk. Perintang-enzim demikian
dipakai dalam terapi untuk berbagai
tujuan, yaitu:
a. mencegah pembentukan produk akhir
– alopurinol, yang menduduki tempat
ksantin di enzim ksantinoksidase, hingga
sintesis asam urat sangat dihambat (pada
encok).
– metildopa. Obat hipertensi ini menyaingi
dopa, hingga dekarboksilase tidak mengkatalisasi pembentukan noradrenalin (meningkatkan tekanan darah), sehingga terbentuk metil-NA yang inaktif
– asetazolamida memblokir karbonanhidrase,
sehingga pembentukan asam karbonat terhenti dengan efek peningkatan diuresis
– antagonis folat: sulfonamida, trimetoprim
dan MTX menyaingi PABA pada enzim
folatreduktase, sehingga sintesis asam folat yang diperlukan bakteri dan sel-sel
tumor terhenti. Dapson serta obat malaria proguanil dan pirimetamin juga bekerja menurut prinsip ini.
– antagonis-purin: merkaptopurin dan azatioprin.
– antagonis-pirimidin: 5-fluorourasil, sitarabin. Keempat onkolitika (= sitostatika) ini
menduduki tempat purin dan pirimidin
pada asam nukleinat, hingga sintesis protein sel-sel tumor menjadi kacau.
b. melindungi substrat:
– disulfiram merintangi aldehidoksidase, sehingga oksidasi asetaldehida (menjadi asam
asetat) tidak dilanjutkan dan kadar plasmanya naik. Obat ini dipakai pada
pengobatan adiksi alkohol.
– fisostigmin dan neostigmin yaitu perintang
kolinesterase sementara, hingga asetilkolin
terhambat penguraiannya dan kadarnya
naik. Insektisida organofosfat (parathion dan
malathion) memblokir enzim tersebut
secara irreversibel, maka sangat toksik!
– perintang MAO memblokir monoaminoksidase sehingga zat-zat monoamin (noradrenalin, serotonin, dopamin, dan lainlain) tidak diuraikan lagi dan kadar
plasmanya meningkat. Dahulu obat ini
sering dipakai sebagai obat depresi,
tetapi ditinggalkan karena mengakibatkan tekanan darah sangat meningkat.
Sekarang tersedia obat-obat yang berdaya
selektif terhadap MAO-A tanpa efek
samping buruk tersebut (moklobemida
dan ekstrak Hyperici).
– asam klavulanat khusus dipakai untuk
memblokir enzim beta-laktamase, sehingga
tidak dapat menginaktifkan lagi penisilin.
2. EFEK TERAPEUTIK
Tidak semua obat mampu menyembuhkan
penyakit secara tuntas; banyak di antaranya
hanya meniadakan atau meringankan gejalanya. Oleh karena itu, dapat dibedakan tiga
jenis pengobatan, yaitu:
– terapi kausal, pada mana penyebab penyakit dihalau, khususnya pemusnahan
kuman, virus atau parasit. Contohnya
kemoterapeutika (sulfonamida dan antibiotika, antimikotika, fungisida, obat-obat
malaria);
– terapi simtomatik: hanya gejala penyakit
yang diobati dan diringankan, tetapi
sebabnya tidak dipengaruhi, misalnya
kerusakan pada suatu organ atau saraf.
Contohnya analgetika pada rematik atau
sakit kepala, obat hipertensi dan obat
jantung;
– terapi substitusi: obat menggantikan zat
yang lazimnya dibuat oleh organ yang
sakit. Misalnya insulin pada diabetes, karena produksinya oleh pankreas kurang
atau terhenti, tiroksin pada fungsi tiroid
berkurang (hipotirosis) dan estrogen pada
hipofungsi ovarium pada masa klimakterium wanita.
Efek terapeutik obat tergantung dari banyak
sekali faktor, antara lain cara dan bentuk
pemberian, sifat fisikokimiawinya yang
menentukan resorpsi, biotransformasi dan
ekskresinya dalam tubuh. Begitu pula dari
kondisi fisiologi penderita (fungsi hati, ginjal,
usus dan peredaran darah). Faktor-faktor
individual lainnya misalnya etnis, kelamin,
luas permukaan badan dan kebiasaan makan
juga dapat memegang peranan penting.
Variasi biologi. Akibat faktor individual,
efek obat dapat sangat berbeda. Setiap orang
dapat memberikan respons yang berlainan
terhadap suatu obat sesuai kepekaannya
masing-masing. Perbedaan respons ini bisa
besar sekali, karena untuk setiap obat selalu
ada orang yang sangat rentan dan dengan
dosis rendah sekali sudah dapat memberikan
efek terapeutis. Sebaliknya, ada pula orang
yang hanya memberikan respons pada dosis
yang sangat tinggi. Inilah sebabnya mengapa
dosis obat yang diberikan pada suatu pasien
dengan hasil baik, adakalanya tidak ampuh
untuk pasien lain, pada siapa mungkin dosisnya harus dinaikkan untuk memberikan
efek yang sama. Dalam keadaan penting
hendaknya kadar obat pasien ditentukan
dalam darahnya untuk mendapatkan kepastian mengenai takaran yang optimal. Libat
juga Bab 3, sub 3: Variasi individual.
Kesetiaan terapi (patient compliance).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa
sejumlah besar pasien tidak minum obatnya
dengan taat dan teratur, atau tidak meng-habiskan kur yang diberikan padanya sesuai resep dokter. Jelaslah bahwa dengan
demikian obat tidak memberikan efek optimal yang diinginkan, bahkan dapat menimbulkan resistensi, khususnya pada antibiotika. Kesetiaan dan kerelaan pasien untuk minum obat dipengaruhi oleh sejumlah
faktor dan yang utama yaitu :
a. sifat individual: misalnya watak, tingkat
pendidikan dan kepekaan untuk rasa
nyeri, pengobatan dianggap tidak perlu,
kekhawatiran mengenai efek samping
dan ketergantungan, kurang percaya terhadap terapi.
b. relasi dokter-pasien: bila pasien tidak
senang dengan perlakuan dokter atau
tidak menerima perhatian dan informasi
secukupnya mengenai penyakitnya, compliance akan menurun. Begitu pula bila
dokter tidak memberikan instruksi yang
lengkap atau cukup jelas mengenai
pemakaian obat. Misalnya antibiotika
harus diselesaikan kurnya, walaupun gejala penyakit infeksi sudah lenyap.
c. jenis penyakit: semakin berat penyakit,
semakin baik compliance-nya, juga bila
pasien merasa nyeri. Sebaliknya compliance berkurang bila obat harus diminum untuk waktu yang lama atau menahun, sedangkan penyakit tidak memperlihatkan gejala tidak nyaman (radang,
nyeri), seperti diabetes dan hipertensi.
d. jumlah obat dan frekuensi takarannya.
Semakin sering kali pemberian obat,
semakin turun compliance. Bila obat harus
dipakai lebih dari dua kali sehari,
compliance menurun dengan nyata, begitupun bila obat tidak diberikan sebagai
tablet atau kapsul, tetapi dalam bentuk
cairan (larutan, suspensi) atau supositoria.
e. faktor-faktor individual seperti pelupa
(dosis yang rumit, polifarmasi), kemampuan terbatas untuk mengerti tujuan
pengobatan, gangguan mata (tidak bisa
membaca dengan jelas).
Industri farmasi juga telah memahami pentingnya masalah ini, oleh karena itu telah
dikembangkan tablet/kapsul dengan efek
panjang, delayed action atau slow/sustained
release, yang cukup diminum satu atau
maksimal dua kali sehari. Sekarang tersedia
banyak obat single-dose dari bermacammacam jenis, misalnya tablet atau kapsul
dengan analgetika (Voltaren retard), hipertensi
(Selozok) dan obat jantung (Isoptin SR), lihat di
bawah ini.
Keuntungan tambahan dari tablet kerja
panjang yaitu resorpsi obat bisa berlangsung lebih teratur selama waktu yang lebih
panjang dan kadar darah yang kurang berfluktuasi. Dengan demikian efek klinis obat
bisa lebih stabil dengan efek samping yang
berkurang.
Cara memperpanjang efek obat. Daya
kerja obat dapat diperpanjang dengan beberapa cara, antara lain memperlambat resorpsinya ke dalam sirkulasi darah atau
menghambat ekskresinya oleh ginjal. Misalnya berdasar kompetisi enzim, efek
amoksisilin (per oral) dapat diperpanjang
melalui kombinasi dengan obat encok probenesid.
Sediaan long-acting. Tablet dan kapsul kini
sudah banyak diproduksi dalam ben-tuk
kerja panjang, Yang terkenal yaitu sediaan
timespan atau retard (Ronicol), durule atau
durette (kinidine), repetab (Polaramine) dan
spansule (kapsul Stelazine). Bentuk lain adalah sediaan ZOC (Zero Order Control, Selozok)
dan (Oral Regulation Osmotic system, Adalat
Oros).
Cara mutakhir yang semakin banyak diterapkan, yaitu “mempegilir” obat, yaitu
menggabungkan polietilenglikol (PEG) dengan obat (konyugasi). Polimer etilenglikol
tersebut cenderung menghimpun molekul
air di sekitarnya yang membentuk sejenis
barrier, sehingga molekul lain yang dapat
menguraikannya (misalnya protease) sukar
mencapainya. Penerapannya terutama pada
obat yang berdasar protein, seperti peginterferon-alfa dan pegfilgastrim, yang digunakan pada terapi hepatitis C dan prevensi
neutropenia. (Geneesk Bull 2005; 39: 37-41).
Ada berbagai cara pembuatan sediaan oral
long-acting. Ada obat yang diserap pada
suatu matriks plastik (semacam spons) dengan lubang-lubang kecil, yang dalam usus
melepaskan obat secara berangsur (durules).
Ada pula obat yang butir-butirnya diselubungi coating yang lambat laun larut dalam air,
misalnya etilselulose (spansule), atau coating
lilin (carnaubawax, stearyalcohol). Tablet
mantel mengandung inti dengan enteric
coating sehingga pecah dalam dua tingkat.
Pada sistem ZOC=Zero Order Control (1990)
tersebut di atas, obat dibebaskan di usus
dengan kecepatan konstan. Obat terkandung
dalam butir-butir kecil yang masing-masing
diselubungi membran semipermeabel. Setiap
tablet mengandung 1.500-2.000 butir zat aktif
dan zat pengisi netral (laktosa, tepung dan
sebagainya). Di saluran cerna, zat pengisi
melarut dan butir-butir obat dibebaskan dari
tablet. Cairan usus melintasi membran butir
dan obat secara berangsur didesak keluar.
Kecepatan pelepasan obat konstan sampai
±20 jam sesudah tablet diminum. Contoh
sistem ini yaitu Seloken ZOC atau Selozok
tersebut di atas.
Keberatannya. Salah satu keberatan dari
tablet kerja-panjang yaitu kadang-kadang
resorpsinya di usus berlangsung kurang
eksak. Selain itu kemungkinan besar peristaltik usus yang agak kuat menyebabkan obat
dikeluarkan dari tubuh sebelum resorpsinya
lengkap. Agar matriks atau coating khusus
jangan sampai dirusak dan pembebasan
obat dipercepat, maka tablet harus ditelan
utuh, artinya tidak dipecah, dikunyah atau
dilarutkan dalam air.
Injeksi kerja-panjang. Untuk sediaan parenteral, perlambatan resorpsi dan perpanjangan
daya kerjanya dapat dicapai dengan cara
berikut:
– menggunakan minyak sebagai zat pelarut
untuk zat lipofil, misalnya hormon kelamin dan penisilin;
– memperkecil daya larut obat melalui penggabungan dengan suatu zat (lipofil), misalnya estrogen-enantat, flufenazin-dekanoat dan protamin-seng-insulin;
– menggunakan kristal lebih kasar, untuk menekan daya larutnya, misalnya insulin;
– penambahan vasokonstriktor (zat penciut
pembuluh), agar penyebaran obat diperlambat, misalnya adrenalin pada prokain.
3. PLASEBO
The state of the body is linked to the state of the
mind (Razi, d.c. 925)
Suatu faktor penting yang turut menentukan
efek terapeutik obat yaitu kepercayaan
atas dokter dan obat yang diberikannya.
berdasar kepercayaan ini pada situasi
tertentu adakalanya diberikan suatu obat
plasebo(Lat. = saya ingin menyenangkan).
Plasebo yaitu sediaan obat tanpa kegiatan
farmakologi (tablet, kapsul, cairan) dan khusus diberikan untuk menyenangkan dan
menenangkan pasien yang menurut diagnosis dokter sebetulnya tidak menderita
gangguan organik. Atau untuk meningkatkan semangat hidup, misalnya pada penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi.
Pada azasnya plasebo yaitu cara pengobatan melalui sugesti, yang sering kali
menghasilkan efek tidak terduga walaupun
bertahan hanya sebentar.
Efek plasebo yang paling nyata yaitu
pada obat tidur, juga hasil baik telah dicapai
dengan analgetika, obat asma atau obat
penguat (tonikum). Suatu studi menyatakan bahwa lebih dari 30% pasien dengan
suatu penyakit organik dan lebih dari 40%
pasien dengan gangguan jiwa memberikan
reaksi baik terhadap pengobatan dengan
plasebo. Jelaslah bahwa tidak semua penyakit dapat ditangani dengan plasebo,
misalnya penyakit insufisiensi organ, seperti diabetes.
Zat inaktif dalam plasebo umumnya terdiri dari laktosa dengan dibubuhi sedikit
kinin untuk rasa pahit dan sering kali zat
warna. Bentuk tablet sebaiknya kecil sekali
atau sangat besar dengan warna mencolok
(kuning atau cokelat) guna menambah efek
psikologisnya.
4. EFEK OBAT YANG TAK
DIINGINKAN
a. Efek samping
Menurut definisi WHO (1970) efek samping
suatu obat yaitu segala sesuatu efek yang
tidak diinginkan untuk tujuan terapi yang
dimaksudkan pada dosis yang dianjurkan.
Atau dapat juga didefinisikan: efek samping
yaitu efek yang tidak diinginkan atau tidak
ditujukan dari suatu obat yang timbul pada
dosis yang lazim dipakai untuk profilaksis,
diagnosis atau terapi suatu penyakit.
Dapat dibedakan dua jenis efek samping
obat, yaitu tipe I (juga disebut tipe A) dan
tipe II (juga disebut tipe B). Efek samping
Tipe I yaitu reaksi-reaksi yang berdasar
sifat-sifat farmokologi obat tersebut dapat
diperkirakan dan biasaya tergantung dari
dosis.
Efek samping Tipe II yaitu reaksi-reaksi
tidak lumrah dan berdasar sifat-sifat
farmakologi obat tersebut tidak dapat diperkirakan.
Dengan terjadinya drama talidomid*
pada
tahun enam puluhan, masalah efek samping
obat (baru) mulai diteliti dengan saksama. Di
banyak negara didirikan pusat-pusat khusus
untuk memonitor efek samping obat agar
dengan cepat dapat diperoleh informasi bila
suatu obat (baru) ternyata menimbulkan efek
samping berbahaya.
Obat yang ideal hendaknya bekerja cepat
untuk waktu tertentu saja dan secara selektif,
artinya hanya berkhasiat terhadap keluhan
atau gangguan tertentu tanpa aktivitas lain.
Semakin selektif kerja obat, semakin kurang
efek sampingnya, yaitu semua aktivitas yang
tidak menjurus ke penyembuhan penyakit.
Sebagai contoh obat dengan kerja tidak selektif dapat disebut klorpromazin, yang dapat
mengganggu banyak proses fisiologi lain.
Obat yang sangat selektif yaitu perintang
enzim, seperti fisostigmin dan alopurinol.
Kerja utama dan efek samping obat yaitu
pengertian yang sebetulnya tidak mutlak.
Kebanyakan obat memiliki lebih dari satu
khasiat farmakologik; tergantung dari tujuan
pemakaian nya. Efek samping pada suatu
saat mungkin menjadi kerja utama yang
diinginkan. Contoh terkenal yaitu asetosal,
yang efek sampingnya yaitu mengencerkan
darah dimanfaatkan sebagai khasiat utama
untuk prevensi infark kedua. Juga antihistaminika (prometazin, dan sebagainya.)
yang efek sedatifnya semula dianggap sebagai efek samping yang tidak diinginkan.
Sifat ini kemudian justru dijadikan titiktolak untuk mengembangkan psikofarmaka
dari golongan klorpromazin. Contoh lain
yaitu minoksidil dan finasteride yang telah dipasarkan sebagai masing-masing obat
hipertensi (Lonnoten) dan obat hipertrofi
prostat (Proscar). Kedua obat dapat memicu
pertumbuhan rambut sebagai efek sampingnya, oleh karena itu kemudian diluncurkan
sebagai obat penumbuh rambut (Regaine dan
Propecia).
Efek samping adakalanya tidak dapat dihindari, misalnya rasa mual pada penggunaan digoksin, ergotamin atau estrogen
dengan dosis yang melebihi dosis normal.
Kadang-kadang efek samping yaitu
kelanjutan efek utama sampai tingkat yang
tidak diinginkan, misalnya rasa kantuk
pada fenobarbital bila dipakai sebagai
obat epilepsi. Bila efek samping (misalnya
mual) terlalu hebat, dapat diatasi dengan
obat lain, misalnya obat antimual (meklizin,
proklorperazin) atau obat anti-mengantuk
(kofein, amfetamin).
Kerja tambahan atau kerja sekunder yaitu
efek tidak langsung akibat kerja utama obat.
Misalnya, antibiotika spektrum-luas dapat
mengganggu keseimbangan bakteri/flora
usus dan menimbulkan defisiensi vitamin atau
supra-infeksi dengan jamur. Untuk menghindari kerja tambahan tersebut biasanya
dalam hal ini terapi dilengkapi dengan vitamin B kompleks atau obat fungistatik.
b. Idiosinkrasi
Idiosinkrasi yaitu reaksi abnormal terhadap obat, pada mana suatu obat memberikan efek yang secara kualitatif total
berlainan dari efek normalnya. Umumnya
hal ini disebabkan oleh kelainan genetik pada
pasien bersangkutan (misalnya defisiensi
G6PD). Sebagai contoh dapat disebutkan
anemia hemolitik (kekurangan darah akibat
terurainya eritrosit) sesudah pengobatan
malaria dengan primakuin atau derivatnya.
Contoh lain yaitu pasien yang pada peng obatan dengan neuroleptika untuk menenangkannya, justru memperlihatkan reaksi
bertentangan dan menjadi gelisah dan
cemas. Begitu pula pada morfin dan analgetika lain, adakalanya terjadi suatu reaksi
idiosinkrasi. Anemia aplastik pada penggunaan kloramfenikol, mungkin juga yaitu
suatu fenomena idiosinkrasi walaupun jarang terjadi.
c. Alergi
Bilamana seseorang diberikan penisilin
secara topikal, sebagian kecil akan diresorpsi
oleh kulit dan di dalam darah bergabung
dengan salah satu protein. Penisilin disebut
hapten dan kompleks penisilin-protein disebut antigen yang mendorong tubuh untuk
membentuk zat-zat penangkis tertentu, yaitu
antibodies. Pasien tersebut telah disensitasi
dan menjadi rentan berlebihan terhadap penisilin (hipersensitif). Bila pada kesempatan
lain ia diberi penisilin lagi, kemungkinan
besar akan terjadi reaksi khusus antara
antigen dan antibodies tersebut, yang dinamakan reaksi alergi. Lihat juga Bab 51,
Antihistaminika, alergi.
Zat dengan molekul besar (makromolekul),
seperti protein (asing) dan polisakarida juga
dapat berfungsi sebagai antigen dengan menimbulkan reaksi alergi. Selain penisilin
banyak obat bermolekul kecil (Berat Molekul < 1000), dapat pula berperan sebagai
hapten, yaitu antigen tak lengkap. Obat yang
sering menimbulkan reaksi alergi yaitu
antihistaminika, sulfonamida, prokain, obatobat tbc, fenilbutazon dan DDT, oleh karena
itu sebaiknya jangan dipakai secara topikal.
Sensitasi oleh obat. Banyak orang tanpa
diketahui memiliki antibodies terhadap penisilin di tubuhnya, karena obat ini banyak
dipakai pada penyakit hewan (sapi, babi)
atau sebagai stimulans pertumbuhan hewan.
Akibatnya ada sebagai residu dalam
daging atau susu dalam jumlah yang kecil
tetapi cukup untuk menimbulkan sensitasi
(lihat juga di bawah Resistensi dan Makanan).
Tetapi hanya sedikit sekali terjadi reaksi
alergi pada orang yang diberi penisilin untuk mengobati suatu penyakit. Penyebabnya
belum jelas, begitu pula mengapa suatu
zat lebih bersifat antigen daripada zat lain.
Kenyataannya yaitu , bahwa pasien yang
sudah menderita penyakit alergi, misalnya
eksem atau asma, lebih cenderung disensitasi
oleh obat.
Gejala alergi terpenting dan sering tampak
pada kulit yaitu urtikaria (gatal dan bentolbentol) serta rash (kemerah-merahan). Adakalanya berlangsung lebih hebat dan berupa
demam, serangan asma, anaphylactic shock.
Berlainan dengan efek toksik obat, gejala
alergi pada umumnya sudah timbul oleh
dosis yang sangat kecil dan tidak dapat
dikurangi dengan menurunkan dosisnya.
Pada kebanyakan kasus. reaksi alergi dapat
cepat diatasi dengan injeksi adrenalin, antihistamin atau kortikosteroid.
Alergi silang dapat terjadi antara zat dengan
struktur kimiawi yang lebih kurang sama,
misalnya sulfonamida dengan turunannya
yang dipakai sebagai diuretika (klortiazida)
atau antidiabetika oral (tolbutamid), begitu
pula antara semua derivat penisilin dengan
derivat sefalosporin.
d. Fotosensitasi
Fotosensitasi yaitu kepekaan berlebihan
untuk cahaya akibat pemakaian obat, terutama pemakaian topikal. Yang terkenal
yaitu antiseptikum bithionol (dalam sabun
Bris), yang karena efek ini sejak tahun 1973
dilarang pemakaian nya dalam sediaan
topikal, antara lain di AS dan Kanada. Begitu
pula minosiklin dan turunannya kadangkadang menyebabkan fotosensitasi pada
pemakaian oral.
Untuk sebanyak mungkin menghindari
timbulnya alergi kontak, dianjurkan agar bila
mungkin tidak menggunakan secara lokal
alergen-alergen kontak terkenal, yaitu ‘lima
A’: Antibiotika, Antiseptika, Anestetika lokal,
Antimikotika dan Antihistaminika.
5. EFEK TOKSIK
“Sola dosis facit venenum” The dose makes the
poison: dosis menentukan beracunnya suatu zat.
Paracelsus (1493-1541,”father” of toxicology)Setiap obat dalam dosis yang cukup tinggi dapat mengakibatkan efek toksik. Pada
umumnya, hebatnya reaksi toksik berhubungan langsung dengan besarnya dosis:
bila dosis diturunkan, efek toksik juga dapat
dikurangi.
Efek teratogen
Dari peredaran darah ibu semua zat gizi dan
zat pertumbuhan masuk ke dalam sirkulasi
janin dengan melintasi plasenta (uri). Plasenta dapat disamakan dengan sawar darah-otak (lihat Bab 3, Distribusi) dengan
membran semipermeabel pula, oleh karena
itu zat-zat lipofil dapat melaluinya dengan
lancar. Zat-zat hidrofil, bila kadar plasmanya
tinggi, akhirnya akan melintasi plasenta juga.
Dalam peredaran janin obat akan bertahan
lebih lama, karena sistem eliminasinya belum
berkembang dengan optimal.
Obat teratogen yaitu obat yang pada dosis
terapeutik bagi sang ibu dapat mengakibatkan
cacat pada janin, berupa focomelia (kaki
tangan seperti singa laut atau adakalanya
tidak terbentuk sama sekali), kerusakan pada
mata, telinga dan jantung, juga saluran pencernaan dan saluran kemih. Perhatian dunia
yang tersentak terhadap peningkatan secara
“epidemik” dari kelainan yang sangat serius
dan langka ini, pertama kali yaitu berkat
penelitian luar biasa dari 2 ahli kedokteran di
German (Lenz) dan Australia (McBride) pada
akhir 1960. Tetapi baru pada akhir 1961, ialah
3 tahun sesudah dipasarkan, akibat desakan
kuat internasional obat penyebab kelainan
tersebut (Softenon, Grünenthal), ditarik dari
peredaran.
• Kehamilan muda. Kerusakan yang terhebat terjadi pada masa kehamilan muda,
yaitu selama 12 minggu pertama kehamilan,
mungkin antara minggu ke-3 sampai ke-8
terhitung dari hari pertama haid terakhir.
Selama masa inilah terbentuk kaki, tangan
dan semua organ penting bayi. Oleh karena
itu untuk mengatasi keluhan-keluhan yang
tidak begitu serius pada triwulan pertama
kehamilan, dianjurkan pemakaian obat
seminimal mungkin. Misalnya, untuk rasa
mual di pagi hari (morning sickness) yang
sering kali terjadi, sebaiknya jangan diberi
obat antimual, melainkan jahe (dalam bentuk manisan) yang “aman”, lihat Bab 17,
Antiemetika.
Penyakit virus tertentu, khususnya campak
Jerman(rubella, German measles), sudah lama
diketahui dapat mengakibatkan cacat pada
janin, terutama gangguan penglihatan dan
pendengaran. Oleh karena itu, di banyak
negara Eropa, semua gadis dari usia 10–12
tahun, yang belum pernah menderita rubella,
diberi vaksinasi terhadap penyakit ini. Kemungkinan terjadinya cacat janin akibat obat
yang diminum oleh sang ayah pada saat
pembuahan juga diteliti pada hewan percobaan.
• Kehamilan tua. Obat yang diberikan
pada masa akhir kehamilan dapat pula
menimbulkan efek yang tidak diinginkan,
misalnya hormon androgen dan progesteron,
yang menimbulkan ciri-ciri jantan pada bayi
wanita (virilisasi). Juga tetrasiklin dan turunannya dapat mengganggu pertumbuhan
tulang dan gigi. Klorokuin dan klorpromazin
dikumulasi pada mata janin dan dapat me
mePeristiwa talidomida. Pada tahun 1960-61 di Eropa, terutama di Jerman Barat dan lnggris, dilahirkan
± 350 bayi dengan cacat hebat, yaitu para bayi yang ibunya pada permulaan kehamilan menggunakan
obat tidur talidomida. Baru sesudah bencana ini terjadi, para sarjana farmakologi mulai menelaah
secara sistematik semua obat terhadap efek teratogennya pada hewan percobaan. Obat yang dicurigai
yaitu antara lain barbital, sulfonamida, obat-obat epilepsi karbamazepin, fenitoin dan valproat,
serta turunan vitamin A, etretinat dan asitretin.
pemakaian obat-obat baru dengan pengalaman kurang dari 10 tahun harus dilakukan dengan
sangat hati-hati oleh para wanita, walaupun tidak sedang hamil.
Teratologi
Cacat lahir dapat diakibatkan oleh antara lain, faktor-faktor etiologi berikut:
- faktor eksternal: obat-obat, sinar ionisasi, infeksi (toksoplasmosis, rubella);
- faktor genetik: dominan atau resesif
- faktor kromosom: mongolisme (Down’s syndrome)
Sekitar 60% dari cacat lahir etiologinya tidak jelas.
Yang akan diuraikan di bawah ini yaitu cacat lahir yang diakibatkan oleh obat (teratogenitas).
Faktor-faktor terpenting yang menentukan timbulnya efek samping teratogenetik obat-obat yaitu
antara lain:
- waktu kehamilan;
- jenis dan dosis obat;
- kepekaan janin terhadap obat tertentu;
- passage plasenta.
1. Taraf perkembangan janin sewaktu bekerjanya obat yaitu sangat penting. Selama fase embrional
(trimester pertama kehamilan) janin sangat peka terhadap daya kerja teratogen obat. Kepekaan tiap
organ dari janin terhadap obat teratogen sangat ditentukan oleh faktor waktu.
Periode paling kritis bagi jantung yaitu hari ke-20 dan ke-40 sesudah konsepsi; untuk sistem saraf
antara hari ke-15 dan ke-25, lalu untuk alat gerak antara hari ke-24 dan ke-36.
Di samping ini ada pula obat-obat tertentu (misalnya talidomid) yang memiliki kecenderungan
luar biasa untuk bermanifestasi pada perkembangan organ atau sistem organ tertentu.
2. Dosis dari obat teratogen bukannya yaitu faktor yang menentukan, tetapi yang lebih penting
yaitu jenis dan sifat obat tersebut, permeabilitas dari plasenta, dan cara metabolismenya oleh
janin. Bahkan pernah dipertanyakan (Wilson) apakah tiap zat dapat bekerja teratogen, bila saja
diberikan dalam dosis yang tepat, pada saat yang kritis dan kepada species yang tepat.
3. Predisposisi genetik juga menentukan kecenderungan terhadap cacat bawaan tertentu yang
dapat diakibatkan oleh zat teratogen. Menurut statistik yaitu tidak betul pengertian one drug
= one malformation. Obat-obat tertentu hanya bersifat teratogen terhadap orang yang memiliki
kecenderungan genetik dan sangat peka terhadapnya.
4. Plasenta-barrier bukan yaitu suatu membran semi-permeabel pasif, tetapi dapat disamakan
dengan sawar darah-otak. Transpor melalui plasenta bisa secara difusi pasif atau transpor aktif.
Tiap zat yang ada dalam darah maternal, dapat mencapai sistem janin. Bukan menjadi
pertanyaan apakah obat melewati plasenta tetapi yang lebih penting yaitu kuantumnya.
rusak retina. Juga antidiabetika oral dan
sulfonamida diduga dapat mengakibatkan
efek yang tidak diinginkan. Lihat juga Lampiran A. Daftar obat selama Kehamilan dan
Laktasi.
6. TOLERANSI, HABITUASI,
DAN ADIKSI
Toleransi yaitu peristiwa pada mana dosis
obat perlu ditingkatkan terus-menerus untuk
mencapai efek terapeutik yang sama. Tidak
begitu banyak obat dapat menimbulkan
toleransi yang berarti, sedangkan di lain
pihak banyak sekali obat dapat dipakai bertahun-tahun tanpa menimbulkan toleransi, antara lain glikosida digitalis.
Toleransi primer (bawaan) ada pada
sebagian orang dan hewan tertentu, misalnya
kelinci1
sangat tahan terhadap atropin, yaitu
zat yang sangat toksik untuk manusia dan
binatang menyusui.
Toleransi sekunder (yang diperoleh) bisa
timbul sesudah suatu obat dipakai untuk
beberapa waktu dan organisme menjadi kurang rentan terhadap obat tersebut. Peristiwa
ini juga disebut kebiasaan atau habituasi.
Toleransi silang dapat terjadi antara zat-zat
dengan struktur kimiawi serupa (diazepam
dan oksazepam) atau antara beberapa zat berlainan, misalnya alkohol dan barbital
(walaupun jarang sekali).
Takifilaksis yaitu toleransi obat yang
timbul dengan pesat sekali (dalam waktu
beberapa jam), bila pemberian obat diulang
dalam jangka waktu singkat, misalnya
efedrin dan propranolol dalam tetes mata
terhadap glaukoma.
Habituasi atau kebiasaan dapat terjadi melalui beberapa cara, yaitu:
• induksi enzim, misalnya barbital dan
fenilbutazon, menstimulasi terbentuknya
enzim yang menguraikan obat-obat tersebut;
• reseptor sekunder, yang dibentuk ekstra
oleh obat-obat tertentu, misalnya morfin.
Dengan demikian jumlah molekul obat
yang menduduki reseptor (di mana efek
obat terjadi) akan menurun;
• penghambatan resorpsi sesudah pemberian oral, misalnya habituasi bagi sediaan
arsen.
Dengan meningkatkan dosis obat terus
menerus, pasien bisa menderita keracunan,
karena efek sampingnya juga menjadi lebih
kuat. Habituasi dapat diatasi dengan menghentikan pemberian obat dan pada umumnya tidak menimbulkan gejala penghentian
(abstinensi) seperti pada adiksi.
Adiksi atau ketagihan berbeda dengan habituasi dalam dua hal, yaitu:
a. adiksi bercirikan adanya ketergantungan
jasmaniah dan rohaniah; dan
b. penghentian pemakaian obat adiktif menimbulkan efek fisik dan mental hebat,
yang dinamakan gejala abstinensi.
Adiksi yaitu bentuk penyalahgunaan
obat yang sangat serius dan terjadi dengan
antara lain obat-obat narkotika, kokain dan
hashiz, lihat pula Bab 23, Drugs. Obat-obat
ini menimbulkan efek euforia kuat, yaitu
perasaan nyaman dan kemampuan besar
akan prestasi mental dan artistik, di samping
segala kecemasan hilang. Dengan setiap
pemberian kebutuhan akan suasana euforia
meningkat dan pasien akan semakin sering
menggunakan obat bersangkutan.
Terapi. Adiksi drugs dapat disembuhkan, misalnya dengan cara menggantikan morfin,
heroin, kokain dan sebagainya dengan
metadon dalam dosis yang setara. Kemudian secara berangsur-angsur dosis diturunkan
sampai akhirnya pasien bebas obat sama
sekali. Dasar terapi ini yaitu bahwa metadon, amfetamin dan obat stimulansia lain
pada umumnya juga bisa menimbulkan
toleransi dan adiksi. Tetapi, bila pemberian
dihentikan, gejala abstinensi fisiknya tidak
sekuat narkotika.
7. RESISTENSI BAKTERI
Kemoterapeutika yang dipakai pada
penyakit infeksi adakalanya tidak bekerja
(lagi) terhadap kuman-kuman tertentu yang
ternyata memiliki daya tahan kuat dan
resisten terhadap obat tersebut. Bahaya resistensi ini jelas yaitu mengakibatkan pengobatan penyakit menjadi sangat sulit dan progresnya menjadi lama, di samping risiko
timbulnya komplikasi atau kematian akan
meningkat. Resistensi yaitu masalah
global yang sangat serius. pemakaian berlebihan (overuse) atau penyalahgunaan (mis -
use) obat-obat penting seperti antibiotik dan
obat antimalaria dan tidak tersedianya obatobat perkembangan baru, mengakibatkan beberapa jenis infeksi tidak dapat disembuhkan.
Dikenal tiga jenis resistensi bakteri, yaitu
resistensi primer, sekunder dan episomal.
a. Resistensi bawaan (primer), yang secara
alamiah sudah ada pada kuman.
Misalnya, ada nya enzim penisilinase
pada stafilokoki yang merombak penisilin
dan sefaloridin. Ada pula bakteri yang
dinding selnya tidak dapat ditembusi
obat, misalnya basil tuberkulosa dan
lepra.
b. Resistensi yang diperoleh (sekunder)
yaitu akibat kontak dari kuman dengan kemoterapeutika dan biasanya disebabkan oleh pembentukan spontan
jenis baru dengan ciri yang berlainan.
Mutan ini segera memperbanyak diri dan
menjadi suku baru yang resisten. Terbentuknya mutan adakalanya cepat, seperti pada streptomisin, INH dan rifampisin
(resistensi setingkat). Sebaliknya, pembentukannya dapat pula berlangsung
lebih lambat, misalnya pada penisilin,
eritromisin dan tetrasiklin (resistensi
banyak tingkat).
* Adaptasi yaitu cara lain untuk
menjadi resisten, yaitui bakteri menyesuaikan metabolismenya untuk melawan
efek obat. Misalnya, bakteri mengubah
pola enzimnya dan membentuk enzim
khusus untuk menguraikan obat, umpamanya penisilinase, asetilase (terhadap
kloramfenikol), adenilase/fosforilase terhadap streptomisin, kanamisin dan neomisin. Dikenal pula kuman yang memperkuat dinding selnya, sehingga tidak dapat
ditembus lagi oleh antibiotika; atau ada
pula yang melepaskan dinding selnya,
sehingga tidak peka lagi untuk penisilin
(kuman bentuk-L).
c. Resistensi episomal. Berlainan dengan
kedua jenis tersebut di atas, pada tipe
resistensi ini pembawa faktor genetik
berada di luar kromosom(= rangkaian
pendukung sifat genetik). Faktor R
(= resistensi) ini disebut episom atau
plasmid, terdiri dari DNA(desoxynucleic
acid) dan dapat “ditulari” pada kuman
lain dengan penggabungan atau kontak
sel-dengan-sel. Penularan ini terutama
terjadi di dalam usus melalui pengoperan
gen. Transmisi tidak terbatas pada satu
jenis kuman saja tetapi juga dapat terjadi
antara berbagai jenis, misalnya dari E. Coli
dan Enterococci dengan kuman patogen
Salmonella, Klebsiella, atau Vibrio dan kebalikannya.
Telah diketahui bahwa dengan masuknya
faktor-R, daya memperbanyak diri bakteri
sangat meningkat. Hal ini jelas meresahkan
karena dengan demikian resistensi dapat
menjalar dengan pesat. Kini faktor-R dari
banyak kuman di rumah sakit sudah diisolir
yang berasal dari tinja dan urin. Kumankuman ini resisten terhadap banyak kemoterapeutika, termasuk ampisilin, kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida, sulfonamida, trimetoprim dan golongan (fluor) kuinolon.
Ketergantungan (dependence) yaitu peristiwa di mana pertumbuhan bakteri tergantung dari keberadaan antibiotika tertentu.
Misalnya, penisilin, streptomisin, INH dan
kloramfenikol dapat dipakai oleh kuman
sebagai bahan pertumbuhan. Sifat ganjil
ini bisa terjadi pada mutasi berikutnya dari
suatu mutan yang telah menjadi resisten.
Resistensi-silang (cross-resistence) yaitu kejadian padamana kuman yang resisten terhadap suatu antibiotikum juga resisten terhadap semua derivatnya, misalnya penisilin dengan ampisilin dan amoksisilin.
Begitu juga ada resistensi silang antara,
misalnya turunan tetrasiklin, berbagai jenis
sulfonamida, antara linkosin dan klindamisin,
juga antara rifamisin dan rifampisin.
Prevensi. Resistensi dapat dihindarkan dengan menggunakan dosis obat yang relatif
tinggi (dibandingkan dosis efektif minimalnya) selama waktu yang agak singkat, sebagai
ganti dari kur jangka lama tanpa istirahat.
Atau pemakaian kombinasi dari dua atau lebih
obat, terutama pada tuberkulosis, lepra dan
kanker. Akhirnya membatasi pemakaian
antibiotika dengan aktivitas terhadap kumankuman berbahaya hanya untuk penyakit parah
dan tidak untuk membasmi kuman “biasa”,
seperti misalnya pada sakit tenggorok atau
radang telinga.
Antibiotika dalam makanan hewan sering kali dipakai untuk menstimulasi
pertumbuhannya dan sudah menjadi lazim
di kebanyakan negara Barat. Praktik ini
sudah lama dilarang karena kekhawatiran
berkembangnya kuman-kuman yang resisten
pada hewan. Selain itu residu antibiotika
dapat tertinggal di dagingnya yang kemudian
dikonsumsi manusia. Sebagai contoh yaitu
vancomisin, yaitu suatu antibiotikum yang
sejak lama dianggap sebagai obat penolong
terakhir (last resort drug), yang masih ampuh bila antibiotika lain tidak berefek lagi
akibat resistensi. Di AS vancomisin, di samping hormon, banyak dipakai dalam
makanan hewan dan kini sudah banyak
dilaporkan resistensi pada manusia terhadap antibiotikum ini. Sebaliknya untuk me- ngurangi risiko penularan resistensi kepada
manusia, sebagai gantinya di Eropa banyak
dipakai ‘derivat hewan’, yaitu avoparacine dalam jumlah besar dan resistensi terhadap vancomisin praktis tidak disinyalir.
Tetapi sejak 1997 avoparacine juga dilarang
di Eropa.
Namun para pembela pemakaian antibiotika dalam animal food berpendapat
bahwa belum ada cukup bukti ilmiah
mengenai kemungkinan transmisi resistensi terhadap antibiotika dari hewan ke manusia. Malah dikemukakan adanya indikasi kuat bahwa pemakaian nya telah mengurangi penyebaran kuman patogen Salmonella. Kuman ini setiap tahun mengakibatkan banyak kematian di seluruh dunia
pada lansia dan orang dengan daya tahan
lemah. Lihat selanjutnya Bab 5, Kemoterapeutika, pemakaian lainnya.
8. DOSIS
Dosis obat yang diberikan pada pasien
untuk menghasilkan efek yang diharapkan
tergantung dari banyak faktor, antara lain
usia, bobot badan, kelamin, luasnya permukaan badan, beratnya penyakit dan daya
tahan penderita.
Takaran/dosis yang dimuat dalam Farmakope negara kita dan farmakope negaranegara lain hanya dimaksudkan sebagai
pedoman saja. Begitu pula dosis maksimal
(MD), yang bila dilampaui dapat mengakibatkan efek toksik, bukan yaitu
batas yang mutlak harus ditaati. Dosis maksimal dari banyak obat dimuat di berbagai
farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah ditinggalkan oleh Farmakope Eropa dan negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian mengenai ketepatannya, antara lain
berhubung dengan variasi biologi dan faktorfaktor tersebut di atas. Sebagai gantinya, kini
dipakai dosis lazim, yaitu dosis rata-rata
yang pada umumnya memberikan efek yang
diinginkan.
Dosis yang tercantum di farmakope luar
negeri sebetulnya berlaku untuk orang Barat
dewasa berdasar bobot badan rata-rata
150 pound (= 68 kg). Tubuh orang negara kita
pada umumnya lebih kecil dengan rata-rata
beratnya 56 kg, sehingga seharusnya mendapatkan takaran yang lebih rendah pula.
Dalam praktik, hal ini tidak atau kurang
diperhatikan, tidak pula soal variasi mengenai bes