kol toksik yang dibentuk oleh kuman usus.
Telah dipastikan bahwa obat diuraikan oleh
sinar-UV-A menjadi senyawa nitro(so) yang
toksik bagi sel-sel sumsum tulang. Foto degradasi ini berlangsung baik dalam wadah gelap
(misalnya, botol berwarna cokelat), maupun
sesudah pemakaian di kulit dan mata.
Perhatian! Pada pengobatan lama dengan dosis tinggi misalnya pada terapi tifus, gambaran
darah tepi perlu dimonitor.
Resistensi dapat timbul dengan agak
lambat (tipe banyak tingkat), tetapi resistensi ekstra-kromosomal melalui plasmid
juga terjadi, antara lain terhadap basil tifus
perut.
Interaksi. Kloramfenikol meningkatkan
daya kerja dari antikoagulan, fenitoin dan
antidiabetika oral. Lagi pula menghambat
metabolisme dari obat-obat lain, sehingga
dapat meningkatkan daya kerja dari mis. difenilhidantoin, sulfonilurea dan warfarin.
Kehamilan dan laktasi. pemakaian nya
tidak dianjurkan, khususnya selama minggu-minggu terakhir dari kehamilan, karena
dapat menimbulkan cyanosis dan hypothermia
pada neonati ("grey baby syndrome“), akibat
ketidakmampuannya untuk menkonyugasi
dan mengekskresi obat ini, sehingga sangat
meningkatkan kadarnya dalam darah.
Berhubung kemampuannya melintasi plasenta dan mencapai air susu ibu, maka tidak
boleh diberikan selama laktasi. Larangan tersebut juga berlaku bagi tiamfenikol.
Dosis: pada tifus permulaan 1-2 g (palmitat), lalu 4 dd 500-750 mg p.c. Neonati
maksimal 25 mg/kg/hari dalam 4 dosis,
anak-anak di atas 2 minggu 25-50 mg/kg/
hari dalam 2-3 dosis. Pada infeksi parah (meningitis, abses otak) i.v. 4 dd 500-1500 mg
(Na-suksinat).
* Tiamfenikol (Urfamycin) yaitu derivat
p-metilsulfonil (-SO2
CH3
) dengan spektrum kerja dan sifat mirip kloramfenikol,
tetapi aktivitasnya agak lebih ringan.
Resorpsinya juga baik sekali, PP-nya lebih
ringan (±10%), plasma-t½-nya 2 jam, pengikatan pada glukuronat dalam hati hanya
5-10%, sedangkan ekskresinya lewat kemih
dalam kadar tinggi sebagai zat utuh aktif
(±65%). Kadar tiamfenikol di dalam empedu
lebih tinggi daripada kloramfenikol. Maka,
selain pada infeksi tifus dan Salmonella,
juga dipakai pada infeksi saluran kemih
dan saluran empedu oleh kuman yang resisten terhadap antibiotika lain.Toksisitasnya
bagi sumsum tulang dan darah sama dengan
kloramfenikol!
Dosis: tifus perut 4 dd 250-500 mg selama
maksimal 8 hari, di atas 60 tahun 2 dd 500 mg,
anak-anak 20-30 mg/kg/hari. Gonore: 1 x 2,5 g.
2. Vankomisin: Ledervan, Vancocin.
Antibiotikum glikopeptida ini dihasilkan
oleh Streptomyces orientalis (1955). Berkhasiat
bakterisid terhadap kuman Gram-positif aerob dan anaerob, termasuk Stafilokok yang
resisten terhadap metisilin (MRSA).Daya
kerjanya berdasar penghindaran pembentukan peptidoglikan. Penting sekali sebagai
antibiotik yang dipakai terakhir pada infeksi parah jika obat lain tidak sensitif (lagi)!
Obat ini juga dipakai bila ada alergi
terhadap penisilin/sefalosporin. pemakaian lainnya yaitu pada colitis tertentu akibat terapi dengan antibiotika (antara lain linkomisin
dan klindamisin) dan pada radang mukosa
usus (enteritis) akibat stafilokok. Di AS sering
kali ditambahkan pada makanan ternak guna
menstimulisasi pertumbuhannya dengan akibat timbulnya banyak kasus resistensi pada
manusia (N Engl J Med 1999;340: 556-7).
Resorpsinya dari usus sehat sangat buruk,
pada enteritis lebih baik. Kadar terapeutik
dicapai dalam cairan pleura (selaput dada),
cairan sendi (synovia) dan kemih. Plasma-t½-
nya 5-11 jam. Ekskresinya berlangsung 80%
melalui kemih.
Efek sampingnya berupa gangguan fungsi
ginjal, terutama pada pemakaian lama
dengan dosis tinggi, juga neuropati perifer, reaksi alergi kulit, mual dan demam.
Kombinasinya dengan aminoglikosida meningkatkan risiko nefro- dan ototoksisitas.
Kehamilan dan laktasi. Tidak ada cukup
data untuk pemakaian selama kehamilan.
Vankomisin mencapai air susu ibu.
Dosis: infeksi parah i.v. (infus) 1 g dalam
200 ml larutan NaCl 0,9% (atau glukosa 5%)
setiap 12 jam dengan jangka waktu minimal
2 jam. Oral pada colitis pseudomembr. 4 dd
125-500 mg selama 7-10 hari, pada enteritis 4
dd 500 mg selama 3-5 hari.
3. Spektinomisin: Trobicin.
Dihasilkan oleh Streptomycin spectabilis (1961). Antibiotikum broad-spectrum ini
berkhasiat bakterisid terhadap sejumlah
kuman Gram-positif dan Gram-negatif, termasuk Gonococci, Pseudomonas, Proteus,
dan Klebsiella. Khusus dipakai sebagai
obat pilihan ketiga pada gonore akut (urethritis, proctitis, cervicitis) yang diakibatkan
oleh suku N. gonorroe yang membentuk penisilinase. sesudah injeksi i.m., zat ini dengan
cepat diserap, tidak diikat pada protein darah dan diekskresikan secara utuh terutama
dengan kemih. Plasma-t½-nya ±2 jam.
Efek sampingnya berupa antara lain nyeri
di tempat injeksi, mual, pusing, urticaria dan
sukar tidur.Tidak ada data mengenai penggunaannya selama kehamilan.
Dosis: i.m. pria single dose 3,2 g sebagai 2 injeksi di kedua bokong (garam sulfat/diHCl).
4. Linezolid14 : Zyvox
Senyawa antimikrobial ini (2000) merupakan yang pertama dari kelompok antibiotik
terbaru oxazolidinon, yang telah ditemukan pada tahun 1980 dan baru dipakai
secara klinis dua dasawarsa kemudian.
Khasiatnya bakteriostatik berdasar titik
kerjanya yang unik, yaitu penghambatan
sintesis protein kuman pada taraf dini sekali. Oleh karenanya tidak memperlihatkan
resistensi silang (cross-resistance) dengan
antibiotika lain, seperti makrolida, linkosamida, tetrasiklin dan kloramfenikol.
Linezolid juga aktif terhadap stafilokok
dan pneumokok yang resisten terhadap
metisilin, begitu pula terhadap enterokok
yang resisten untuk vankomisin. Per oral
memiliki kesetaraan biologik yang sangat
tinggi (hampir100%), tetapi toksisitas dan
cepatnya timbul resistensi yaitu
hambatan. Lagi pula bersifat menghambat
MAO secara tak-selektif reversibel, tetapi
dalam doses yang dipakai i, tidak bekerja antidepresif.
pemakaian nya terhadap pneumonia dan
infeksi rumit dari kulit serta jaringan lembut
akibat kuman Grampositif, yang selayaknya
juga dapat ditangani dengan antibiotika seperti flukloksasilin, amoksilin-klavulanat
dan makrolida. Juga dipakai pada tuberkulosa yang multiresisten dalam kombinasi
dengan tuberkulostatika lain.
Efek samping utamanya yaitu nyeri kepala, mual, muntah, diare dan rasa logam
di mulut. Juga harus waspada terhadap
penekanan sumsum tulang, sifatnya sebagai penghambat MAO terutama pada dosis
tinggi dan timbulnya resistensi.yang pesat.
Dianjurkan untuk memonitor hematologi setiap minggu, terutama bila dipakai lebih
lama dari 14 hari
Dosis: 2 dd 600 mg selama 10-14 hari, maks
28 hari.
5. Asam fusidat: *Fucidin.
Antibiotikum dengan rumus steroida
yang mirip dengan struktur asam empedu
ini dihasilkan oleh jamur Fusidium coccineum
(Denmark, 1961). Spektrum kerjanya sempit
dan terbatas pada kuman Gram-positif, terutama stafilokok, juga yang membentuk penisilinase. Kuman Gram-negatif bersifat
resisten terkecuali Neisseria. Khasiatnya
bersifat bakteriostatik berdasar penghambatan sintesis protein kuman.
pemakaian . Antibiotikum pilihan kedua
ini dipakai oral atau intravena pada infeksi stafilokok, khususnya bila ada
resistensi atau hipersensitivitas terhadap
penisilin dan/atau obat lain. Secara topikal
pada infeksi stafilokok kulit (krem, salep 2%)
dan mata (gel 1%) (Fucithalmic).
Daya penetrasinya ke dalam berbagai jaringan baik, antara lain jaringan lunak, tulang
(osteomyelitis), sendi, otot jantung (endocarditis), mata, nanah dan sputum, sedangkan
ke dalam CCS buruk. PP-nya ±95%, plasmat½-nya 10-12 jam. Ekskresinya terutama
berlangsung melalui empedu dan tinja sebagai metabolit inaktif.
Efek sampingnya ringan dan berupa gangguan lambung-usus (mual, muntah, nyeri
perut), kadang-kadang reaksi kulit (erytema, iritasi). Resistensi dapat timbul dengan
cepat, maka biasanya dikombinasi dengan
penisilin atau eritromisin.
Kehamilan dan laktasi. pemakaian pada
akhir kehamilan dapat mengakibatkan antara lain penyakit kuning (icterus) pada bayi.
Zat ini melintasi plasenta dan timbul dalam
air susu ibu.
Dosis: oral 3 dd 500 mg p.c., anak-anak
di bawah 12 tahun 25-50 mg/kg/hari, i.v.
(infus) 3 dd 500 mg selama 2-4 jam dalam larutan garam/glukosa.
6. Mupirosin: Bactroban.
Dihasilkan oleh kuman Pseudomonas fluorescens (1985), maka semula dinamakan
pseudomonic acid. Berkhasiat khusus terhadap kuman Gram-positif, a.l. St. aureus,
Str. pyogenes dan Str. pneumoniae. Tidak
aktif terhadap kuman Gram-negatif,
terkecuali H. influenzae dan Neisseria gonorrhoea. Bersifat bakterisid (salep 2%)
berdasar penghambatan RNA-sintetase
yang berakibat penghentian sintesis protein kuman. Khusus dipakai topikal
sebagai salep kulit pada infeksi kuman
Gram-positif, juga dalam salep hidung
pada pembawa-MRSA untuk eliminasi
kuman resisten ini. Tidak dipakai sistemik, karena resorpsi oralnya buruk dengan
perombakan pesat. Kasus resistensi mulai
semakin banyak dilaporkan.
Efek sampingnya berupa gatal-gatal, nyeri,
rasa terbakar, kulit kering dan kemerahmerahan. Di hidung: bersin, iritasi dan
gatal-gatal.
Dosis: salep 2% 2-3 dd dioleskan pada kulit
selama 6-14 hari, bila perlu ditutup dengan
kasa; 2-3 dd di dalam kedua lubang hidung
selama 5-7 hari.
Dari sekitar 200.000 species jamur yang
dikenal ada ±400 yang mengakibatkan
penyakit pada hewan dan di antaranya
ada jenis-jenis yang dapat menyebabkan
penyakit serius pada manusia.
Pada dasawarsa terakhir, di seluruh dunia disinyalir adanya peningkatan luar
biasa kasus infeksi oleh jamur. Yang utama
yaitu mycosis kulit (Yun. mykes = jamur;
mycosis = penyakit jamur) yang disebabkan
oleh dermatofit dan infeksi mukosa mulut,
bronchia, usus, vagina dan lain-lain oleh
sejenis ragi Candida albicans. Penyebaran luas
infeksi karena jamur (Lat. fungi) mungkin
disebabkan oleh sangat meningkatnya penggunaan antibiotika berspektrum luas dan
hormon kelamin (pil antihamil) yang merusak keseimbangan normal dari biologi
flora kuman. Faktor risiko lain untuk timbulnya mycosis yaitu daya tahan tubuh
yang menurun akibat a.l. infeksi HIV
(AIDS), kanker dan leukemi, radioterapi
dan kemoterapi (sitostatika). Begitu pula
kerusakan pada kulit (luka bakar) dan mukosa serta pemakaian untuk waktu lama
senyawa kortikosteroida, imunosupresiva
dan hormon kelamin (pil antihamil), yang
menstimulir infeksi dengan Candida (candidiasis). Akhirnya, faktor-faktor hygiene —
kolam renang, sauna dan sebagainya —
serta bertambahnya kontak internasional di
bidang kepariwisataan dan perdagangan
juga memegang peranan dalam penyebaran
infeksi tersebut.
BENTUK JAMUR
Jamur atau fungi yaitu tumbuhan
yang tidak memiliki klorofil sehingga tidak
mampu melakukan fotosintesis untuk memelihara sendiri kehidupannya. Oleh karena
itu jamur hanya bisa hidup sebagai parasit
pada organisme hidup lain atau sebagai
saprofit pada benda organik mati. Berlainan
dengan bentuk jamur yang lazim kita kenal,
yakni yang menyerupai payung, sebagian
besar jamur hanya terdiri dari benangbenang halus sekali (hyphen) yang terdiri
dari rangkaian sel-sel. Sekelompok hyphen
kemudian membentuk suatu jaringan yang
disebut mycelium. Fungsi alami dari jamur
yaitu sebagai pembersih alam, yaitu untuk
melenyapkan benda-benda mati seperti
pohon mati, daun, sampah, dan sebagainya.
Untuk proses perbanyakannya, jamur
membentuk sel-sel yang disebut spora
(Yun. = benih), yang resisten terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan bagi
kehidupannya. Bila keadaan membaik,
terutama suhu dan kelembapan, spora dapat
tumbuh lagi dan membentuk mycelium.
Lihat gambar jamur Penisilium.
Ragi (yeast) yaitu bentuk jamur yang
berlainan dengan fungi lainnya dan terdiri
dari hanya satu sel dan memperbanyak
diri melalui pertunasan. Ragi yang dapat
menimbulkan dermatomikosis yaitu jenisjenis Candida dan Pytirosporum.
Dikenal lebih dari 100.000 jenis jamur
yang untuk sebagian besar tidak merugikan manusia, bahkan dapat dimakan, misalnya sampinyon dan jamur-jamur yang
tumbuh di atas makanan, seperti Rhizopus
oryzae (tempe), Monilia sitophilae (oncom) dan
Penicillum camemberti (keju Prancis). Semua
jamur ini tidak beracun dan dapat dimakan,
tetapi ada pula fungi yang bersifat racun
dan bisa mematikan bila dimakan, seperti
sampinyon merah Amanita muscaria dan
Aspergillus flavus dengan toksinnya masingmasing muskarin dan aflatoksin.
Flora organisme normal dari kulit. Kulit dan
selaput lendir selalu dihuni oleh sejumlah
organisme yang dapat dibagi dalam 2 kelompok.
1. Flora tetap (resident flora) yang terdiri dari
mikroorganisme tetap (kuman, jamur
dan ragi) pada umumnya ada pada
lokasi tertentu dan pada usia tertentu
pula. Bila susunan flora ini terganggu,
maka keseimbangan segera akan pulih
dengan sendirinya. Flora penting untuk
mempertahankan kesehatan dan fungsi
normal tubuh. Misalnya flora tetap di usus
mensintesis vitamin K, mengkonversi
asam empedu dan membantu penyerapan
gizi dari makanan. Flora tetap menjaga
terhadap serangan kuman-kuman patogen seperti juga flora di kulit.
2. Flora selewat (transient flora) terdiri dari mikroorganisme nonpatogen maupun
yang potensial patogen, tetapi tidak
mengakibatkan penyakit. Namun bila
flora tetap terganggu, kelompok flora
ini dapat berkembang biak dan menyebabkan penyakit.
Flora normal pada vagina. Pada usia dewasa
sebagian besar flora ini terdiri dari lactobacilli (Döderlein’s bacilli) yang mempertahankan lingkungan asam dengan memproduksi
asam laktat dari karbohidrat (glikogen).
Suasana asam ini menghindari berkembangnya mikroorganisme patogen di vagina.
Bila lactobacilli ini dihambat, misalnya pada
pemakaian antibiotika, maka jumlah ragi
dan kuman lain yang menyebabkan iritasi
dan peradangan akan meningkat.
Cara penularan. Spora dan serpih kulit
penderita infeksi fungi [(dermato) mycosis]
yaitu sumber utama penularan. sesudah
terjadi infeksi, spora tumbuh dan membentuk
mycelium dengan menggunakan serpih kulit
sebagai bahan makanan. Enzim-enzim yang
diproduksi oleh jamur mampu menembus
kulit dan menimbulkan peradangan.
Bila fungi ini tumbuh ke dalam tabung
rambut (folikel), maka rambut akan rontok.
Fungi yang menembus ke dalam kuku
mengakibatkan gangguan yang disebut kuku kapur (onychomycosis) yang berwarna
keputih-putihan di samping kuku menjadi
regas.
Prevensi dan tindakan umum. Yang terpenting untuk menghindari infeksi jamur
yaitu memelihara kebersihan (hygiene)
tu-buh sebaik-baiknya, terutama di tempat
yang potensial yaitu sumber infeksi,
misalnya kolam renang, kamar ganti pakaian
dan ruang olahraga. Di tempat-tempat ini
pada umumnya orang tidak mengenakan
alas kaki. Sumber infeksi lain yang perlu
dihindari yaitu hewan peliharaan yang sering kali dipeluk oleh anak-anak. Kemudian
yang juga penting sekali untuk diwaspadai
yaitu kecenderungan beberapa jenis obat
yang menimbulkan predisposisi untuk superinfeksi jamur, lihat di atas.
Diagnosis. Gejala dermatomycosis tidak
jarang mirip dengan gangguan kulit lain,
terutama dapat dikelirukan dengan eksim.
Adakalanya ada pula bentuk-bentuk
campuran akibat infeksi bakteri.
Tes KOH. Untuk memastikan adanya infeksi fungi, perlu dilakukan tes KOH. Pada
serpihan kulit, kikisan kuku, atau sepotong
rambut diberikan beberapa tetes larutan
KOH 10-20%. Di bawah mikroskop fungi
dapat dikenali dari benang-benangnya yang
khas bercabang (hyphen) dan spora di sekitar rambut. Untuk penentuan jenis fungi
dapat dilakukan pembiakan pada suatu persemaian, yang dinamakan glukosa agar dari
Sabouraud.
ANTIMIKOTIKA
Infeksi dari kulit, rambut dan kuku oleh jamur
(dermatofyt) atau ragi, disebut dermatomycosis.
Gangguan ini biasanya ringan dan terbatas
pada lapisan kulit permukaan. Bila infeksi
jamur ini menjalar sampai di bawah stratum
corneum (aspergillosis) gangguan ini disebut
mycosis dalam yang bersifat sistemik dan
terutama timbul pada pasien dengan daya
tahan yang menurun. Selain daripada ragi,
pada kulit sehat pada umumnya tidak ada dermatofit.
Dermatofit timbul karena keseimbangan
kulit normal terganggu, antara lain disebabkan kelembapan kulit yang meningkat
(pakaian yang terlalu ketat) atau menurunnya
daya tahan tubuh.
Antimikotika yaitu obat-obat yang berkhasiat menghentikan pertumbuhan atau
mematikan jamur yang menghinggapi manusia. Mekanisme kerjanya antara lain berdasarkan efeknya terhadap sintesis komponen
membran dari dinding sel, permeabilitas
membran sel dan sintesis asam nukleat. Dalam garis besar antimikotika dibagi dalam
pemakaian topikal (setempat) atau sistemik,
walaupun pembagian ini tidak terlalu ketat.
Misalnya antimikotika imidazol, triazol dan
polyene dapat dipakai untuk kedua tujuan.
Untuk pengobatan infeksi jamur dapat digolongkan sebagai berikut.
a. antibiotika antimikotik: griseofulvin dan
senyawa polyen (amfoterisin B, nistatin)
yang pada umumnya bekerja fungistatik. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan diri pada zat-zat sterol di dinding
sel jamur. Akibatnya yaitu kerusakan
dari membran sel dan peningkatan permeabilitasnya, sehingga komponen intraseluler yang penting untuk kehidupan
sel merembas keluar dan akhirnya sel-sel
mati. Griseofulvin sekarang ini jarang
dipakai lagi karena antimikotika lain
lebih efektif dengan efek samping yang
lebih ringan.
b. derivat imidazol: mikonazol, ketokonazol,
klotrimazol, bifonazol, ekonazol, isokonazol
dan tiokonazol (Trosyd, Vagistat). Mekanisme kerjanya berdasar pengikatan
pada enzim sitokrom P450, sehingga sintesis ergosterol yang perlu untuk pemeliharaan membran sel jamur, dirintangi
dan terjadi kerusakan membran. Pada
pemakaian sistemik, sistem enzim
manusia juga dapat dirintangi, yang
mengakibatkan efek-efek samping
tertentu. Bekerja fungistatik terhadap
dermatofit dan ragi, juga bakteriostatik
lemah terhadap kuman Gram-positif.
Obat ini terutama dipakai sebagai
obat topikal, kecuali ketokonazol yang juga
dapat dipakai secara sistemik.
c. derivat triazol: flukonazol, vorikonazol dan
itrakonazol.
Pada umumnya juga bekerja fungistatik
dengan mekanisme kerja seperti imidazol,
tetapi bersifat lebih selektif terhadap
sistem enzim jamur daripada terhadap
sistem enzim manusia, oleh karena itu
kurang menghambat sintesis steroida.
Efektif terhadap dermatofit dan Candida,
itrakonazol juga terhadap Aspergillus.
Obat-obat ini khusus dipakai secara
sistemik.
Senyawa antifungal azol memiliki berbagai interaksi dengan banyak jenis obat.
Misalnya dapat meningkatkan kadar
plasma dari obat yang diberikan bersamaan (misalnya alprazolam, astemizol,
karbamazepin, cisapride, digoksin dan
docetaxel). Sebaliknya beberapa jenis
obat yang diberikan bersamaan (misalnya
barbital, H2
antagonis, nevirapin, proton
pump inhibitor, fenitoin dan rifampisin)
dapat menurunkan kadar plasma dari
antimikotik azol.
berdasar ini banyak kombinasi dari
obat-obat tertentu dengan azol merupakan kontra-indikasi seperti misalnya
kombinasi flukonazol dengan klopidogrel, nisoldipin, kinin, salmeterol dan
simvastatin, atau kombinasi itrakonazol
dengan alfazosin, dabigatran, nisoldipin,
salmeterol, simvastatin dan topotekan.
d. echinokandin: terbinafin, flusitosin, kaspofungin, anidulafungin dan mikafungin.
Echinokandin yaitu lipopeptida siklik dengan inti heksapeptida dan aktif
terhadap jenis-jenis Candida dan Aspergillus
Bennet JE. Echinocandins for candidemia
in adults without neutropenia. N Engl J
Med, 2006, 355:1154-1159.
Mekanisme kerjannya berdasar
penghambatan sintesis glikan di dinding
sel fungi dan menurunkan kekuatan
strukturnya sehingga mengakibatkan instabilitas osmolitas dan matinya sel.
Wiederhold and Lewis. The echinocandin
antifungals. Expert Opin Invest Drugs,
2003, 12:1313-1333.
e. asam-asam organik: asam benzoat, salisilat,
propionat, kaprilat dan undesilinat.
f. lainnya: terbinafin, flusitosin, tolnaftat, haloprogin, naftifin, siklopiroks, selensulfida
dan pirition.
Khasiat
Pada hakikatnya semua antimikotika tersebut berkhasiat fungistatik pada dosis yang
dipakai . Pengecualian yaitu itrakonazol
dan terbinafin, yang bekerja fungisid. Pada
dosis tinggi amfoterisin dan nistatin juga
dapat berkhasiat fungisid.
Nistatin dan amfoterisin B sering kali
dipakai dalam kombinasi dengan tetrasiklin untuk menghindari timbulnya candidiasis usus.
pemakaian
Antimikotika terutama dipakai pada
mycosis permukaan atau setempat (topikal). Pada mycosis umum (sistemik) yang
meliputi organ dalam (misalnya candidiasis,
actinomycosis dan aspergillosis), sejumlah obat
(juga) dipakai secara sistemis, yakni per
oral. Begitu pula lazimnya pada infeksi di
tubuh dan pityriasis versicolor yang luas (tinea
corporis), juga pada infeksi jamur di kepala
dan mycosis kuku.
Antimikotika oral yang dipakai meliputi a.l. griseofulvin, ketokonazol, itrakonazol,
flukonazol, terbinafin dan flusitosin. Ketoko-nazol tidak dianjurkan berhubung risiko
necrosis hati yang dapat timbul dengan
akut. Itrakonazol dianjurkan pada infeksi
Pityrosporum danpada candidiasis, juga
flukonazol. Griseofulvin dan terbinafin dapat dipakai terhadap tinea capitis pada
anak-anak. Untuk pemakaian setempat di
dalam usus tersedia amfoterisin B dan nistatin
yang buruk absorpsinya.
Terhadap infeksi kuku pada jari-jari kaki
dan tangan (onychomycosis) khusus digunakan obat yang ditimbun dalam lapisan
tanduk (stratum corneum), yakni griseofulvin,
ketokonazol, itrakonazol dan terbinafin.
FUNGI PATOGEN
Infeksi jamur pada manusia berlangsung
melalui sporanya dan dapat dibagi dalam
mycosis umum dan mycosis permukaan.
1. Mycosis umum (sistemik) Pada infeksi
umum, jamur atau ragi tersebar di tubuh
atau mengakibatkan infeksi dalam organ tubuh, yang kadang-kadang dapat
membahayakan jiwa, terutama penderita
yang daya tahan imunnya menurun akibat misalnya infeksi (AIDS) atau yang
menggunakan obat-obat yang menekan
daya imunitas. Contohnya yaitu actinomycosis, aspergillosis dan candidiasis
(infeksi Candida dari khusus saluran
cerna dan alat pernapasan).
2. Mycosis permukaan (Tinea). Infeksi ini
yang jauh lebih sering terjadi, terbatas
pada kulit, rambut, kuku dan mukosa.
Infeksi ini mencakup dermatomycosis,
candidiasis vaginal, candidiasis mulut
dan alat cerna. Mycosis kulit juga dinamakan Tinea (Lat.= dimakan oleh ngengat, “moth-eaten”) disusul dengan lokasinya, misalnya Tinea corporis, cruris,
capitis dan pedis, masing-masing berarti
infeksi di tubuh, lipat paha, kepala dan
kaki. Penyebabnya sering kali yaitu
fungi berikut ini:
a. dermatofit (jamur permukaan) dari
suku Trichophyton (kulit, rambut,
kuku), Epidermophyton (kulit, kuku)
dan Microsporum (kulit, rambut).
Mikroorganisme ini hidup di lapisan tanduk, kuku, serta rambut dan
memiliki enzim yang mampu melarutkan keratin (bagian utama dari
jaringan tanduk). Infeksi berbentuk
bercak-bercak melingkar (“ringworm”)
di kulit dengan batas-batas tajam, yang
tertutup dengan sisik atau gelembung
kecil. Dermatofitosis (dermatomikosis)
yaitu infeksi jamur kronis dari kulit,
rambut dan kuku berdasar unsur
keratinnya. Jamur-jamur ini yang
juga dinamakan fungi “ringworm”,
mengakibatkan antara lain “kutu air”,
panu, kurap dan kuku kapur.
b. Candida albicans (dahulu disebut
Monilia) yaitu suatu jenis ragi yang
sering kali menghinggapi mukosa
mulut, bronchia dan vagina.
c. Pityrosporum ovale, yang berperan
pada ketombe dan Malassezia furfur,
penyebab panu.
Beberapa dermatomikosis dan
pengobatannya
Di bawah ini diuraikan beberapa jenis dermatomikosis yang paling sering ditemukan
dan cara pengobatannya.
1. Kutu air (athlete’s foot, Tinea pedis)
Kutu air disebabkan oleh jenis Trichofyton
dan yaitu dermatomikosis yang paling
banyak ada .
Gejalanya berupa gatal-gatal di antara jari
kaki, kemudian terbentuk gelembung yang
lalu pecah dan mengeluarkan cairan. Kulit
menjadi lunak (maserasi) dan terkelupas,
sehingga membuka peluang bagi infeksi
sekunder oleh kuman. Penyebarannya melalui pemakaian bersama kamar mandi
dan ruang ganti pakaian umum sedangkan
sumber infeksinya yaitu serpihan kulit
yang terkelupas. Pengobatan dengan krem
mikonazol atau Ung. Whitfield (benzoat
5%, salisilat 5% dalam lanolin-vaselin ana).
Untuk kasus-kasus sulit dapat dipakai
griseofulvin atau ketokonazol per oral.
2. Kuku kapur (‘ram’s horn nail’, onychomycosis)
Kuku kapur bercirikan kuku menebal,
mengeras, regas dan mudah patah, berwarna
keputih-putihan dan adakalanya tidak lurus.
Infeksi ini sering kali menular dari kuku ke
kuku. Para lansia lebih sering mendapatkan
infeksi jamur ini, terlebih pula bila sirkulasi
darah di jari-jari kaki kurang baik. Bila
seluruh kuku sudah terinfeksi, dokter dapat
mencabutnya dan disusul pengobatan dengan
terbinafin: oral 1 dd 250 mg atau itrakonazol.
Dahulu sering kali dipakai griseofulvin
peroral, tetapi pada mycosis kuku jempol
kaki tidak begitu ampuh. Karena sukar sekali
disembuhkan, terapi membutuhkan waktu
yang lama, minimal 6-12 bulan dan infeksi
selalu bisa kambuh lagi.
Walaupun gangguan ini lebih yaitu
masalah kosmetik (terutama kuku jari kaki),
tetapi kuku kapur dapat yaitu pintu
masuk (porte d’entrée) bagi infeksi lain, terutama pasien diabetes dan yang daya tahannya terganggu harus waspada.
3. Panu (pityriasis versicolor)
Infeksi permukaan ini banyak terjadi di
negara kita dan daerah tropik. Infeksi berupa bercak-bercak putih kecokelatan-merah
di tengkuk, dada, punggung dan lengan.
Terutama hipopigmentasi di muka merupakan suatu masalah kosmetik. Penyebabnya
yaitu Malassezia furfur, suatu jamur yang
terdiri dari kelompok sel dengan hyphen
pendek. Pengobatan dapat dilakukan dengan
mengoleskan bercak-bercak dengan larutan
salisilat 5-10% dalam spiritus dilutus atau
krem mikonazol/ketokonazol selama 2-3
minggu atau terbinafin. Untuk kasus-kasus
yang resisten dapat dipakai itrakonazol 2
dd 100 mg selama 1 minggu. Walaupn terapi
berhasil, tetapi repigmentasi baru timbul
sesudah beberapa bulan.
4. Ketombe (dandruff,pityriasis capitis)
Ketombe bercirikan terlepasnya serpihserpih berlebihan dari kulit kepala yang
biasanya disertai gatal-gatal. Menurut perkiraan, penyerpihan meningkat disebabkan
oleh Pityrosporum ovale. Penghuni normal
kulit kepala ini sangat meningkat jumlahnya
dan menstimulir pembentukan lipase. Trigliserida dirombak olehnya menjadi asamasam lemak, yang merangsang kulit dan
mengakibatkan hiperproliferasi sel-sel epidermisnya. Akibatnya keratosit dilepaskan lebih
pesat, keratin mati yang melekat satu pada
yang lain, lalu dilepaskan sebagai gumpalangumpalan serpih dan tidak berangsur-angsur
satu demi satu seperti pada keadaan normal.
Ketombe umumnya dianggap sebagai bentuk
ringan dari eczema seborois.Tidak diketahui
mengapa orang-orang tertentu dihinggapi
ketombe dan orang lain tidak. Sebagai faktor
penyebab disebut keadaan sistem imun
lemah, yang pada orang peka menimbulkan
reaksi kulit abnormal terhadap Pityrosporum.
Selain itu, peningkatan derajat asam dan
kadar lemak dari kulit, susunan lemak dan
stres turut menyebabkan perubahan fungi
tersebut menjadi patogen.
Pengobatan dapat dilakukan dengan sampo yang mengandung selensulfida 2,5%,
seng-pirithion 2% dan piroctone olamine
(octopirox). Pada kasus hebat (eczema seborois),
dianjurkan gel ketokonazol 2%. Di samping
itu juga dipakai zat-zat yang berkhasiat
menghambat pembelahan sel (mitosis), misalnya ter (juga berkhasiat anti radang).
Selensulfida juga berkhasiat antimitotik dan
merintangi keluarnya palit berlebihan dari
kelenjar talg.
5. Candidiasis
Candida albicans (nama lama Monilia) yaitu
jamur yang terdiri dari sel-sel oval seperti
ragi dan sel-sel yang memanjang sambungmenyambung yaitu hyphae dan disebut
pseudomycelium. Jamur ini yaitu bagian
dari flora normal (komensal) selaput lendir
pada saluran pernapasan, saluran cerna dan
vagina.
a. Candidiasis mulut. Infeksi di mulut
bergejala luka perih dan bercak-bercak
putih pada mukosa mulut serta lidah,
yang dapat menjalar ke tenggorok dan
oesophagus. Ciri lainnya berupa cheilitis
(radang di sudut-sudut mulut).Infeksi
ini sering kali terjadi akibat pemakaian
antibiotika berspektrum luas, kortikosteroida dan sitostatika, selama terapi ra-diasi, leukemia dan pada bayi yang
baru dilahirkan, juga pada pasien AIDS
dengan daya tahan lemah (CD4+ < 300
mm3
). Diagnosis dapat dilakukan dengan
preparat KOH.
Pengobatan efektif dapat dilakukan
dengan flukonazol oral. Pilihan kedua
yaitu itrakonazol dan ketokonazol oral
dan pilihan ketiga berupa pengobatan
lokal (suspensi nystatin, tablet hisap
amfoterisin). Pada pasien AIDS tidak
jarang terjadi resistensi akibat profilaksis
jangka panjang dengan antimikotika.
Dalam hal ini dosis perlu dinaikkan atau
dipakai kombinasi dari 2 antimikotika
(baru). Resistensi dapat dicegah dengan
cara pengobatan intermiten.
b. Candidiasis usus. Candidiasis di usus
bergejala diare, nyeri perut, obstipasi atau
terbentuknya banyak gas. Ditemukannya
Candida dalam jumlah banyak di saluran cerna dapat diakibatkan oleh
pemakaian antibiotika broad-spectrum,
yang mengubah susunan normal dari
flora kuman. Selain faktor-faktor tersebut
di atas, penyakit diabetes juga dapat
menunjang terjadinya infeksi.
c. Candidiasis vagina (vaginitis). Infeksi
paling umum pada alat kelamin wanita
bergejala iritasi, keputihan, gatal-gatal
dan rasa terbakar. Gatal-gatal dapat
yaitu gejala dari penyakit kelamin
lain (trichomonas, chlamydia, gonore, atau
herpes). Di samping faktor-faktor tersebut
di atas, kehamilan, hygiene yang tidak
memadai, pemakaian antibiotika berspektrum luas dan pil antihamil membantu terjadinya infeksi. Pengobatan dapat
dilakukan dengan senyawa imidazol mikonazol, klotrimazol dan ketokonazol
dalam bentuk ovula (supp. vaginal)
selama 2-6 malam. Sama efektifnya yaitu
pemakaian oral dari ketokonazol, itrakonazol dan flukonazol sebagai single
dose atau 2 doses dengan jarak waktu 8
jam. Pasangan penderita perlu diobati
karena biasanya juga dihinggapi infeksi
yang sama. Pada candidiasis yang terusmenerus kambuh, terapi harus dilanjutkan
untuk rentang waktu panjang (lokal atau
oral) untuk memusnahkan semua spora
secara intermitten. Misalnya 6 malam
ovula, 2 minggu istirahat, 6 malam lagi
ovula, 2 minggu istirahat dan seterusnya
selama 3 - 6 bulan.
d. Candidiasis kulit. Terutama timbul pada
bagian tubuh yang lembap dan hangat,
misalnya ketiak dan lipatan paha. Infeksi
kebanyakan ada pada orang gemuk
dan penderita diabetes. Gejalanya berupa
kulit memerah dan mengeluarkan cairan.
Pengobatan dapat dilakukan dengan krem
mikonazol atau ketokonazol.
e. Sistemik. Pada dekade terakhir semakin
banyak timbul candidiasis sistemik (umum)
yang bercirikan rasa penat dan lemah,
keletihan kronis, disertai perasaan mengantuk, lemah ingatan, nyeri otot dan
persendian. Pada sindroma ini, karena
berbagai sebab Candida menjadi ganas.
sesudah menembus mukosa usus, ragi
ini melalui sirkulasi darah menyebar ke
semua organ, jaringan ikat dan sebagainya. Diagnosis ragi tidak dapat dilakukan
dengan tes KOH, tetapi secara mikroskopis
dengan teknik pewarnaan dari preparat
darah. Cara ini tidak sempurna, oleh
karena itu timbul keluhan bahwa sering
kali tidak dikenali sebagai candidiasis
umum dan tidak diobati semestinya. Cara
deteksi secara umum yaitu penelitian
darah dengan mikroskop fase-contrast,
di mana ragi tampak jelas sebagai butirbutir kecil. Pengobatan infeksi (parah)
dapat dilakukan sistemik dengan ketokonazol atau itrakonazol, ditunjang dengan diet ketat untuk menghambat
perbanyakan ragi, terutama gula dan
produk-produk yang mengandung ragi
dan jamur (roti, kue, sampinyon, tempe,
oncom) perlu dihindari, begitu juga buahbuahan manis, alkohol, susu dan daging
babi. Obat alternatif yang mulai banyak
dipakai yaitu asam kaprilat (caprylic
acid, C7H15COOH) dengan dosis 2 dd
680 mg selama minimal 1 tahun. Asam
lemak yang terkandung dalam minyak
kelapa ini berkhasiat merusak membran
Candida.
MONOGRAFI
1. ANTIBIOTIKA ANTIMIKOTIK
1a. Griseofulvin: Fulcin, Griseofort
Griseofulvin dihasilkan oleh Penicillium
griseofulvum dan pada pemakaian oral
berkhasiat fungistatik terhadap banyak
dermatofit. Tetapi zat ini tidak aktif terhadap
Candida, Pityriasis versicolor, ragi dan bakteri.
Mekanisme kerjanya diperkirakan melalui
penghambatan sintesis RNA (sama seperti
kolkisin). Resorpsinya di usus kurang baik,
karena sukar sekali melarut, tetapi dapat
diperbaiki dengan menggunakan serbuk
yang sangat halus (microfine) atau diminum
bersamaan dengan makanan berlemak. Sebagian besar dikeluarkan lewat feses dalam
keadaan utuh. Bagian yang diserap akan
mendifusi ke dalam lapisan tanduk (keratin)
dari kulit (stratum corneum), kuku dan akar
rambut. Oleh karena itu griseofulvin efektif
untuk pengobatan infeksi kulit dan kuku
yang menahun, meskipun penyembuhannya
berlangsung sangat lambat, yaitu lebih kurang 2-3 bulan, bahkan membutuhkan satu
tahun untuk menyembuhkan infeksi kuku.
Hal ini disebabkan waktu penyembuhan
tergantung pada jangka waktu penggantian
jaringan yang terinfeksi oleh jaringan baru.
Efek sampingnya ringan, jarang terjadi dan
berupa sakit kepala, gatal-gatal (urtikaria) dan
kepekaan terhadap cahaya (fotosensitasi), juga
gangguan hati. Griseofulvin mengurangi aktivitas antikoagulansia (Warfarin) dan memperkuat daya kerja alkohol.
Kehamilan. Tidak boleh diberikan pada
wanita hamil, karena risiko teratogen dan
keguguran. Zat ini dapat mengganggu pembentukan kromosom pada waktu pembelahan sel.
Dosis: oral 4 dd 125 mg serbuk microfine
(1-5 mikron) atau sekaligus 500 mg p.c.
1b. Amfoterisin B : *Talsutin, Fungizone.
Amfoterisin B dihasilkan oleh Streptomyces
nodosus bersama dengan derivatnya, yaitu
amfoterisin A yang kurang aktif. Zat ini termasuk kelompok antibiotika polyen, karena
rumus bangunnya mengandung banyak
ikatan tak-jenuh (poly = banyak, -en = akhiran
untuk zat tak-jenuh), seperti juga nistatin dan
pimarisin. Spektrum kerja dan pemakaian nya
mirip nistatin.
Zat ini (1959) dipakai sebagai obat
sistemik (oral dan i.v. sebagai infus) pilihan
pertama yang efektif terhadap infeksi jamur
invasif (aspergilosis) dan selama 4½ dekade
dianggap sebagai “golden standard” untuk terapi antifungal, karena pada saat
itu belum ditemukan obat-obat alternatif
(senyawa azol dan echinocandin) yang
lebih ampuh.
Mekanisme kerja. Zat polyen ini mengikat
ergosterol dalam membran sel jamur dan
membentuk pori-pori yang menyebabkan
bahan-bahan esensial dari sel jamur merembas keluar. Amfoterisin memiliki toksisitas selektif, karena dalam sel manusia sterol
utamanya yaitu kolesterol dan bukannya
ergosterol. pemakaian nya semakin meluas
bagi penderita infeksi jamur sistemik dengan
daya tahan tubuh yang lemah (immunocompromised patients).
Efek samping terpenting yaitu toksisitasnya
(demam, merinding) dan terutama gangguan
fungsi ginjal (nefrotoksis; gagal ginjal), yang
membatasi dosis dan lamanya pemakaian .
Untuk mengurangi nefrotoksisitas, telah
dikembangkan formulasi yang dikaitkan
dengan lipida, yaitu amfoterisin B liposomal
(LamB, Ambisome), kompleks lipida dari
amfoterisin B (ABLC, Abelcet) dan dispersi
koloidal dari amfoterisin B (ABCD). Ternyata
bahwa efektivitas dari formulasi baru ini
tidak jauh berbeda dengan amfoterisin B
konvensional walaupun nefrotoksisitasnya
jelas berkurang. 16,17
Dosis: oral maks. 1-1,5 mg/kg/hari amfoterisin B koloidal.
* Talsutin vaginal tab = amfoterisin B 50 mg +
tetrasiklin 100 mg .
1c. Nistatin: Mycostatin, *Flagystatin, *Naxogin
complex
Nistatin berasal dari Streptomyces noursei
yang namanya diambil dari New York State
Department of Health (1951) dan memiliki
struktur kimia yang menyerupai amfoterisin
B. Resorpsinya di usus praktis tidak terjadi,
begitu pula tidak diserap oleh kulit atau
mukosa. Sering kali zat ini dipakai pada
candidiasis usus atau untuk mencegahnya
pada terapi dengan antibiotika berspektrum
luas yang buruk resorpsinya (tetrasiklin)
atau sewaktu terapi dengan kortikosteroida,
juga pada candidiasis mulut (stomatitis)
atau vagina (vaginitis). Lokal dipakai sebagai salep atau krem tetapi berhubung dengan toksisitasnya tidak dipakai secara
parenteral.
Efek sampingnya pada pemakaian oral
berupa mual dan muntah. Zat ini dapat digunakan pada waktu hamil.
Dosis: oral 3 dd 0,5-1 MU (l juta unit);
vaginal: selama 14 hari 1 tablet dari 100.000 U;
salep atau bedak tabur dengan 100.000 U/g
2-3 kali sehari. 1 mg nistatin= 3.000 U.
2. SENYAWA IMIDAZOL
Pada umumnya senyawa imidazol merupakan pilihan pertama pada infeksi kulit
akibat jamur. Berkhasiat fungistatik, memiliki spektrum anti-fungal luas dan pada
dosis tinggi bekerja fungisid. Zat-zat ini
menghambat sintesis sterol di membran
sel fungi dan mengakibatkan peningkatan
permeabilitas dinding sel yang membuatnya
rentan terhadap tekanan osmotik. Terutama
dipakai secara lokal terhadap dermatofit
dan Candida; ketokonazol juga per oral,
tetapi bersifat toksik bagi hati.
Senyawa-senyawa turunan imidazol, misalnya mikonazol, dapat memengaruhi metabolisme senyawa kumarin (warfarin) melalui blokade enzim CYP2C9 dengan akibat
meningkatnya kadar plasma dari antikoagulan. Hal ini sudah diuraikan dengan jelas
untuk pemakaian per oral maupun per
vaginal, tetapi ternyata bahwa pemakaian
topikal sesudah absorpsi melalui kulit juga
dapat mengakibatkan interaksi demikian.
Oleh karena itu pasien yang menggunakan
antikoagulan harus waspada terhadap interaksi demikian yang hanya timbul pada
absorpsi sistemik dari obat antimikotik.
Ref.
1. Interacties tussen cumarinederivaten en
antimycotica. Ook mogelijk bij cutaan
gebruik van antimycotica; Ned Tijdschr
Geneesk 2013; l157:a5317
2. Broos N, et al.;. Interaction between
topical miconazole and coumarins. Eur J
Clin Pharmacol. 2010; 66:1171-2
2a. Mikonazol: Daktarin, Gyno-Daktarin, Monistat
Derivat imidazol ini (1971) berkhasiat
fungisid kuat dengan spektrum kerja lebar
sekali; lebih aktif dan efektif terhadap
dermatofit biasa dan Candida daripada
fungistatika lainnya, tetapi kurang berkhasiat
terhadap Aspergillus. Zat ini juga bekerja
bakterisid pada dosis terapi terhadap sejumlah kuman Gram-positif, kecuali basilbasil Döderlein yang ada dalam vagina.
Resorpsi dari usus hanya ringan dengan BA
±25%, maka mikonazol terutama dipakai
untuk mengobati infeksi kulit dan kuku.
pemakaian nya juga sebagai krem/tablet
vaginal yang dapat dipakai oleh wanita
hamil.
Efek sampingnya berupa iritasi, reaksi alergi
dan rasa terbakar di kulit. Mikonazol dan
juga ketokonazol meningkatkan daya kerja
antikoagulan warfarin.
Dosis: infeksi kulit 1-2 dd salep 2% (garam
nitrat) selama 3-5 minggu, infeksi kuku 1-2
dd tingtur 2% selama 8 bulan atau lebih.
Krem vaginal 2% (Gyno-Daktarin) malam hari
selama 2 minggu.
* Isokonazol (Travogen) yaitu isomer dari
mikonazol dengan khasiat dan pemakaian
yang sama. Zat ini terutama dipakai untuk
candidiasis vagina (keputihan) dalam bentuk
krem 1% dan dosis tunggal tablet vaginal dari
600 mg malam hari.
* Ekonazol (Pevaryl) yaitu derivat mikonazol, pada mana satu dari 4 atom klor diganti oleh atom H (1974). Spektrum kerjanya
kurang lebih sama, hanya lebih aktif terhadap
Aspergillus. Zat ini terutama dipakai pada
candidiasis dengan dosis malam hari 1 ovula
selama 3 hari; pada infeksi kulit: salep atau
serbuk 1%. Ekonazol dapat dipakai pada
waktu hamil.
2b. Ketokonazol: Nizoral, Nizoral-SS
Ketokonazol yaitu fungistatikum imidazol pertama yang dipakai per oral (1981).
Spektrum kerjanya mirip dengan mikonazol
dan meliputi banyak fungi patogen (ragi,
dermatofit, termasuk Pityrosporum ovale). Zat
ini dipakai pada infeksi jamur sistemik
yang parah dan kronis; secara lokal pada
gangguan ketombe hebat. Tetapi tidak efektif
terhadap infeksi oleh Aspergillus. Resorpsi
dari lambung-usus praktis lengkap pada pH
di bawah 3, tetapi mengalami first pass effect
yang besar. PP-nya tinggi, rata-rata 90%,
sedangkan plasma-t½-nya bersifat bifasis
2 dan 8 jam. Di dalam hati zat ini dirombak menjadi metabolit tidak aktif; ekskresi
terutama melalui empedu dan feses. Penetrasinya ke dalam CCS hanya ringan.
Efek sampingnya berupa gangguan alat
cerna (mual, muntah, diare) nyeri kepala,
pusing, gatal-gatal dan exanthema. Yang lebih serius yaitu hepatotoksisitasnya, yang
dapat mengakibatkan hepatitis pada 1 per
2.000-10.000 pasien, terutama bila dipakai
lebih dari 14 hari. Oleh karena itu dianjurkan
memantau fungsi hati setiap 14 hari pada
pasien-pasien tertentu.
Pada dosis tinggi (lebih dari 600 mg sehari) ketokonazol dapat menghambat sintesis hormon testosteron, yang mengakibatkan terganggunya produksi sperma dan
impotensi. Oleh karena itu dianjurkan untuk
menggunakan antimikotika lain, kecuali dalam kasus tertentu. Resistensi belum dilaporkan. Wanita hamil dan yang menyusui tidak
dianjurkan menggunakan obat ini. Dosis:
oral 1 kali sehari 200 mg pada waktu makan
sampai 7 hari sesudah gejala hilang, bila perlu
maksimal 400 mg sehari; anak-anak 3 mg/kg
berat badan. Antasida, antikolinergika dan
H2
-blockers meningkatkan pH lambung, oleh
karena itu menurunkan absorpsinya, maka
pemakaian nya harus 2 jam sesudah pembe-
rian ketokonazol. Pada vaginitis Candida: oral
2 dd 200 mg untuk 5 hari.
2c. Klotrimazol: Canesten, *Baycuten-N, Gyne/
Lotremin
Derivat imidazol ini (1973) memiliki
spektrum fungistatik yang relatif lebih sempit
daripada mikonazol. Pada konsentrasi tinggi
zat ini juga berdaya bakteriostatik terhadap
kuman Gram-positif. Pada vaginitis Candida:
malam hari tablet vaginal 200 mg selama 3
hari atau single dose 1 tablet vaginal dari 500
mg; pada infeksi kulit (panu): krem atau
lotion 1% dengan catatan jangan dikenakan
pada selaput lendir atau mata. Klotrimazol
dapat dipakai pada waktu hamil.
Dosis: krem atau spray 1% 2x sehari selama
minimal 3-4 minggu.
* Bifonazol (Mycospor) yaitu derivat imidazol (1983) yang berkhasiat terhadap beberapa
jenis jamur (a.l. Malassezia furfur, penyebab
panu) dan ragi (jenis-jenis Candida) yang
patogen bagi manusia, serta terhadap beberapa kuman Gram-positif. Resorpsinya lemah, sedangkan daya kerjanya berlangsung
±48 jam. Wanita hamil dapat menggunakan
bifonazol sebagai obat luar. Dosis: mycosis
kaki krem 1%, diolesi malam hari; candidiasis
permukaan selama 4 minggu.
3. DERIVAT TRIAZOL
Strukturnya mirip dengan imidazol, tetapi
aktivitas antifungalnya lebih luas. Mekanisme kerjanya juga menghambat sintesis ergosterol.
Wanita hamil tidak dianjurkan minum
obat-obat ini, karena pada hewan ternyata
memberikan efek buruk bagi janin.
Efek sampingnya yang utama berupa gangguan lambung-usus, sakit kepala dan pusingpusing, gangguan haid dan reaksi alergi
kulit. Pada pemakaian lebih lama dari 1
bulan dilaporkan kasus rontok rambut dan
kerusakan hati.
3a. Itrakonazol: Sporanox, Trisporal
Sama dengan ketokonazol derivat triazol
ini (1988) juga dipakai per oral tetapi lebih
sedikit efek sampingnya, misalnya gangguan
fungsi hati dan ginjal. Zat ini berkhasiat
fungisid luas terhadap dermatofit dan ragi
patogen, juga terhadap Aspergillus, berlainan
dengan senyawa imidazol dan flukonazol.
Itrakonazol menghambat metabolisme dari
antihistaminika long-acting terfenadin dan
astemizol, maka jangan dipakai bersamaan waktu untuk menghindarkan timbulnya gangguan ritme jantung.
Dosis: pada vaginitis Candida satu kali
sehari 200 mg selama 3 hari.
* Posakonazol (Noxafil)
Senyawa sintetik ini yaitu analog struktural dari itrakonazol dan memiliki khasiat
antifungal broad-spektrum yang juga sama.
3b. Flukonazol: Diflucan.
Derivat difluortriazol ini (1988) memiliki
sifat farmakologi baru. Efektif terhadap
candidiasis mulut, kerongkongan dan vagina. Resorpsinya dari saluran pencernaan
baik dan cepat, dengan BA ±90%, PP-nya
±12% dan mudah sekali merembas ke CCS.
Plasma-t½-nya ±30 jam. Zat ini hanya sedikit
dimetabolisir; ekskresinya lewat urin dan
80% dalam bentuk utuh.
Efek sampingnya umum. Berlainan dengan
ketokonazol, senyawa ini tidak hepatotoksik
dan tidak menekan sintesis steroid adrenal.
Harus waspada bila ada gangguan fungsi
ginjal.
Dosis: candidiasis mulut 1 dd 50-100 mg
selama 1-2 minggu, candidiasis vaginal 150
mg sebagai dosis tunggal. Pada candidiasis
sistemik, permulaan 400 mg, lalu 1 dd 200-
400 mg.
3c. Vorikonazol : Vfend
Derivat trifluortriazol ini (2002) berspektrum antifungal luas. Resorpsinya cepat
sesudah pemberian per oral dan puncak kadar
plasma sudah tercapai dalam waktu 2 jam.
Memiliki BA baik (96%) dengan t½ 6-9 jam,
sehingga pemberian dosis 2 kali sehari sudah
mencukupi.
Zat ini yaitu antifungal pertama yang
efektivitasnya terbukti terhadap aspergillosis
serebral. Juga yaitu antifungal pilihan
pertama (terapi standar) terhadap infeksi
Aspergillus invasif (aspergilosis) parah pada
penderita yang daya imunnya terganggu.
Efek sampingya (selewat) terutama terdiri
dari gangguan visual, seperti penglihatan kabur, fotofobia dan penglihatan warna yang
berubah. Dengan beberapa obat tertentu,
misalnya siklosporin, barbiturat dan derivat
kumarin dapat terjadi interaksi berbahaya.
Dosis: i.v. 2 dd 4 mg/kg dan oral 2 dd 200
mg.
4. ASAM ORGANIK
4a. Asam salisilat: *Ung. Whitfield.
Asam organik ini berkhasiat fungisid terhadap banyak fungi pada konsentrasi 3-6%
dalam salep. Di samping itu, zat ini berkhasiat bakteriostatik lemah dan berdaya
keratolitik, yaitu dapat melarutkan lapisan
tanduk kulit pada konsentrasi 5-10%. Asam
salisilat banyak dipakai dalam sediaan
obat luar terhadap infeksi jamur ringan.
Sering kali asam ini dikombinasi dengan
asam benzoat (salep Whitfield) dan belerang
(sulfur precipitatum) yang keduanya memiliki
kerja fungistatik maupun bakteriostatik.
Bila dikombinasi dengan obat lain, misalnya
kortikosteroida, asam salisilat meningkatkan
penetrasinya ke dalam kulit. Tidak dapat
dikombinasi dengan sengoksida karena akan
terbentuk garam sengsalisilat yang tidak
aktif.
4b. Asam benzoat (F.I.):
Asam ini dan ester hidroksinya dalam
konsentrasi 0,1% berkhasiat fungistatik dan
bakteriostatik lemah. Biasanya zat ini digunakan bersamaan dengan asam salisilat, juga
sebagai zat pengawet untuk bahan makanan,
minuman (0,5-1 mg/ml) dan krem (1-5 mg/
ml), sebagai asam maupun esternya Nipagin
dan Nipasol. Daya pengawetnya hanya efektif
pada pH di bawah 5.
* Ung Whitfield terdiri dari 5% asam benzoat
(sebagai fungistatik) dan 5% asam salisilat
(keratolitik) dengan perbandingan 2:1 (6:3%)
dalam lanolin-vaselin ana 90%. Khusus digunakan terhadap tinea pedis.
* Nipagin= metiloksibenzoat; Nipasol =
propiloksibenzoat.
4c. Asam undesilenat (Desenex)
Asam lemak ini berwarna kuning dengan baunya yang khas tengik. Berkhasiat
fungistatik terhadap banyak dermatofit dan
terutama dipakai terhadap kutu air (tinea
pedis) dalam konsentrasi 5-10%. Kegiatannya paling kuat dalam lingkungan asam.
Garam sengnya dipakai untuk maksud
yang sama, dengan keuntungan bekerja
adstringens dan antiradang lemah.
4d. Asam lemak lainnya: asam propionat
dan asam kaprilat juga bersifat bakteriostatik, sama dengan keringat manusia yang mengandung asam-asam lemak tertentu. Asam
kaprilat dipakai per oral pada candidiasis
sistemik.
Sediaan: tingtur 5%, salep dan serbuk: asam
kaprilat 5% + sengundesilenat 20%.
5. ECHINOKANDIN
5a. Flusitosin: Ancobon
Derivat fluorpirimidon ini (1972) dalam
sel jamur diubah menjadi 5-FU (fluorourasil)
suatu antagonis pirimidin, yang melalui
perintangan pembentukan RNA mengacaukan sintesis protein. Tergantung dari kadarnya dapat bekerja fungistatik atau fungisid.
Terutama aktif terhadap infeksi sistemik
oleh Cryptococcus dan Candida. Karena
cepat timbul resistensi biasanya dipakai
bersamaan dengan amfoterisin-B (sinergi)
terhadap infeksi sistemik parah, seperti septicaemia, endocarditis, infeksi paru, saluran
kemih dan meningitis.
Efek sampingya yang umum yaitu mual,
muntah dan diare. Kadang-kadang timbul
efek samping yang lebih parah a.l. penekanan sumsum tulang, leukopenia dan trombositopenia.
Dosis: terkombinasi dengan amfoterisin B,
anak-anak dan dewasa oral 25-50 mg per kg
berat badan sehari, pada candidiasis saluran
kemih 100 mg/kg.
5b. Terbinafin: Lamisil.
Derivat naftilamin ini (1991) bekerja fungisid, a.l. terhadap Malassezia furfur, penyebab panu, juga bekerja fungistatik terhadap
Candida. Zat ini dipakai lebih banyak
terhadap kuku kapur (onychomycosis) daripada griseofulvin, karena efeknya lebih kuat
dan waktu pengobatannya lebih singkat.14
Zat ini juga dipakai sebagai obat luar
(krem 1%) untuk mengobati panu dan
Tinea capitis pada anak-anak. Mekanisme
kerjanya berdasar perintangan biosintesis ergosterol di membran sel akibat penghambatan enzim (bukan sitokrom P 450),
yang mengaki