Tampilkan postingan dengan label obat 56. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label obat 56. Tampilkan semua postingan

obat 56


 oksilasi enzimatik. 

Asam amino ini masuk ke dalam tubuh 

terutama melalui daging (protein) yang 

kemudian di jaringan (juga di usus halus) 

diubah secara enzimatik menjadi histamin 

(dekarboksilasi). 

ada nya. Hampir semua organ dan jaringan memiliki histamin dalam keadaan 

terikat dan inaktif, terutama dalam sel-sel 

tertentu. ‘Mast cells’ ini (Ing. mast = menimbun) menyerupai bola-bola kecil berisi gelembung yang penuh dengan histamin dan 

zat-zat mediator lain (lihat di bawah). Sel-sel 

ini banyak ditemukan di bagian tubuh yang 

bersentuhan dengan dunia luar, yaitu di kulit, 

mukosa dari mata, hidung, saluran napas 

(bronchia, paru-paru) dan usus, juga dalam 

lekosit basofil darah. Dalam keadaan bebas 

aktif juga ada  dalam darah dan otak, di 

mana histamin bekerja sebagai neurotransmitter. Di luar tubuh manusia histamin ada  

dalam bakteri, tanaman (bayam, tomat) dan 

makanan (keju tua).

Histamin dapat dibebaskan dari mast cells 

oleh berbagai unsur, contoh  oleh suatu 

reaksi alergi (penggabungan antigen-antibody, 

lihat di bawah), kecelakaan dengan cedera 

serius dan sinar UV dari matahari. Selain itu, 

dikenal pula zat-zat kimia dengan daya kerja 

membebaskan histamin (‘histamine liberators’)

seperti racun ular dan tawon, enzim proteolitik dan obat-obat tertentu (morfin dan 

kodein, tubokurarin, klordiazepoksida).

Fungsi dan kegiatannya. Histamin memegang peran utama pada proses peradangan dan 

pada sistem daya tahan. Mekanisme kerjanya 

berlangsung melalui tiga jenis reseptor, yaitu reseptor-H1

, -H2

dan -H3

. Reseptor-H1

secara selektif diblok oleh antihistaminika(H1

-blockers), reseptor-H2

 oleh penghambat 

asam lambung(H2

-blockers), lihat di bawah. 

Reseptor-H3

 memegang peranan pada regulasi tonus saraf simpatikus.

Aktivitas terpenting histamin yaitu :

- kontraksi otot polos bronchi, usus dan 

rahim;

- vasodilatasi semua pembuluh dengan 

penurunan tekanan darah;

- memperbesar permeabilitas kapiler untuk cairan dan protein, dengan akibat 

udema dan pengembangan mukosa;

- hipersekresi ingus dan air mata, ludah, 

dahak dan asam lambung; 

- stimulasi ujung saraf dengan eritema dan 

gatal-gatal.

Dalam keadaan normal, kadar histamin dalam darah hanya rendah, ±50 mcg/l, sehingga 

tidak memicu  efek. Baru bila mast 

cells dirusak membrannya sebagai akibat 

dari salah satu faktor ini di atas, maka 

dibebaskanlah banyak histamin sehingga 

efeknya menjadi nyata. Setelah melakukan 

kegiatannya, kelebihan histamin diuraikan 

oleh enzim histaminase yang juga ada  

dalam jaringan.

A. REAKSI ALERGI

Alergi (Lat. = berlaku berlainan). Istilah ini, 

yang juga disebut hipersensitivitas, pertama 

kali (1906) dicetuskan oleh Von Pirquet yangAlergi (Lat. = berlaku berlainan). Istilah ini, 

yang juga disebut hipersensitivitas, pertama 

kali (1906) dicetuskan oleh Von Pirquet 

yang menggambarkan reaktivitas khusus 

dari tuan rumah (host) terhadap suatu unsur 

eksogen, yang timbul pada kontak kedua kali 

atau berikutnya. Reaksi hipersensitivitas ini 

meliputi sejumlah peristiwa auto-imun dan 

alergi serta merupakan kepekaan berbe da terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses 

imunologi. Pada hakekatnya reaksi imun 

tersebut, walaupun bersifat “merusak“, 

berfungsi melindungi organis me terhadap 

zat-zat asing yang menyerang tubuh. Peristiwa alergi dapat lebih diperjelas sbb.

Bila suatu protein asing (antigen) masuk 

berulangkali ke dalam aliran darah sepasien  

yang berbakat hipersensitif, maka limfosit-B 

akan membentuApabila kemudian antigen(alergen) yang 

sama atau yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali 

dan mengikat padanya. Hasilnya yaitu  sama atau yang mirip rumus bangunnya 

memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali dan mengi kat padanya. Hasilnya yaitu  

suatu reaksi alergi akibat pecah nya membran mast-cells (degranul asi; lihat Gambar 

51-2). Sejumlah zat perantara (media tor)

dilepas kan, yakni histamin bersama serotonin, bradi ki nin dan asam arachido nat, yang 

kemudian diubah menjadi prostaglan din 

dan leukot riën). Zat-zat itu menarik makro fag 

dan neutro fil (= lek osit terten tu, lihat Bab 49, 

Dasar-dasar imunolo gi) ke tempat infek si 

untuk memusnahkan penyerbu. Di sam ping 

itu juga mengaki bat kan beberapa gejala, a.l. 

broncho konstrik si, vasodila tasi dan pembengkakan jaringan sebagai reaksi terhadap 

masuk nya antigen. Mediator ini secara 

langsung atau melalui susunan saraf otonom 

memicu  bermacam-macam penyakit 

alergi penting, seperti asma, rhinitis allergica (hay fever) dan eksim.

Syukurlah bahwa kebanyakan pasien  tidak 

berbakat hipersen sitif sehingga reaksi alergicontoh  di hidung (rhinitis allergica), di kulit eksim, urticaria = biduran, kaligata), mukosa 

mata (conjunctivitis) atau di bronchi (serangan asma). Gejala ini juga dapat timbul 

bersamaan waktu di beberapa tempat, misalnya pada asma, ‚demam merang‘ (hay fever, 

pollinosis) dan eksim.

Anafilaksis. Dalam keadaan gawat dapat 

timbul suatu reaksi anafilaktik (Yun. ana = 

tanpa, phylaxis = perlindungan). Pada syok 

anafilaktik, masuknya antigen pertama kali 

membuat tubuh tanpa perlindungan terhadap 

pemasukan antigen berikutnya. Kadar histamin dapat meningkat dengan drastis, 

seperti pada peristiwa kecelakaan dengan 

banyak kehilangan darah atau cedera bakar 

hebat.

Pada kelompok pasien  tertentu yang telah 

disensibilisasi terhadap satu atau beberapa 

jenis alergen dapat timbul suatu reaksi 

anafilaktik hebat. contoh , alergen dalam 

makanan (kacang-kacangan, buah kiwi, arbai, dan lain-lain) atau obat-obat dari kelompok penisilin.

Penggolongan

Reaksi alergi dapat digolongkan berdasar  

prinsip kerjanya menurut Gell & Coombs 

(1968) dalam 4 tipe hipersensitivitas, yaitu 

tipe I-IV.

– Tipe I, reaksi segera berdasar  reaksi 

antara alergen-antibody (IgE-dependant) dengan degranulasi mast cells dan khusus terjadi pada mereka yang berbakat genetik (keturunan). Tipe-I ini juga 

disebut alergi atopik atau reaksi anafilaktik dan terutama berlangsung di 

saluran napas (serangan pollinosis, rhinitis, 

asma) dan di kulit (eksim resam = dermatitis 

atopik), jarang di saluran cerna (alergi 

makanan) dan di pembuluh (syok anafilaksis). Mulai reaksinya cepat, dalam waktu 

5 sampai 20 menit setelah kontak dengan 

alergen, maka sering kali disebut reaksi 

segera. Gejalanya bertahan ±1 jam.

– Tipe II, autoimunitas (reaksi sitolitik). 

Antigen yang terikat pada membran sel bereaksi dengan IgG atau IgM dalam 

darah dan memicu  sel musnah 

(cytos = sel, lysis = melarut). Reaksi ini 

terutama berlangsung di sirkulasi darah. 

Contohnya yaitu  gangguan auto-imun 

akibat obat, seperti anemia hemolitik

(akibat penisilin), agranulositosis (akibat 

sulfonamida), arthritis rheumatica, SLE 

(systemic lupus erythematodes), akibat hidralazin atau prokainamida. Reaksi autoimun jenis ini umumnya sembuh dalam 

waktu beberapa bulan setelah penggunaan obat dihentikan. 

Timbulnya penyakit autoimun adalah bila sistem imun tidak “mengenali” jaringan tubuh sendiri dan menyerangnya. Gangguan ini bercirikan 

ada nya auto-antibodies atau selsel-T autoreaktif dan lazimnya dibagi 

dalam dua kelompok:

– auto-imunitas organ-spesifik (menyangkut organ tunggal), mis. anemia 

pernicious, Addison’s disease, lih. Bab 46, 

ACTH dan Kortikosteroida.

– auto-imunitas non-organ spesifik (menyangkut berbagai organ), mis. SLE, MS 

dan rema.

– Tipe III, gangguan imun-kompleks (reaksi Arthus). Pada peristiwa ini antigen 

dalam sirkulasi bergabung dengan terutama IgG menjadi suatu imun-kompleks, 

yang diendapkan pada endotel pembuluh.

Sebagai respons timbul peradangan, yang 

disebut penyakit serum yang bercirikan 

urticaria, demam serta nyeri otot dan sendi. Reaksinya dimulai 4-6 jam setelah 

„terkena“ (exposure) dan lamanya 6-12 

hari. Obat-obat yang dapat menginduksi 

reaksi ini yaitu  sulfonamida, penisilin 

dan iodida. Imun-kompleks dapat terjadi 

di jaringan yang memicu  reaksi 

lokal (Arthus) atau dalam sirkulasi 

(gangguan sistemik).

– Tipe IV (reaksi lambat,‘delayed’). Antigen terdiri dari suatu kompleks hapten + 

protein, yang bereaksi dengan T-limfosit 

yang sudah disensitasi. Limfokin tertentu 

(= sitokin dari limfosit) dibebaskan, lalu 

menarik makrofag dan neutrofil, sehingga timbul reaksi peradangan. Proses 

penarikan itu disebut chemotaxis. Mulai 

reaksinya sesudah 24-48 jam dan bertahan 

beberapa hari. Contohnya yaitu  reaksi 

tuberkulin dan dermatitis kontak.

Bentuk alergi tipe I s/d III berkaitan 

dengan imunoglobulin dan imunitas humoral

(Lat. humor = cairan tubuh), artinya ada 

hubungan dengan plasma. Hanya tipe IV 

berdasar  imunitas seluler(limfosit-T).

Alergi atas dasar IgE

Diagnosis untuk alergi atopik dilakukan 

melalui tes kulit (intrakutan) dengan ekstrak 

alergen inhalasi. Reaksi dini ditentukan 

sesudah 15-20 menit dan reaksi lambat 

setelah 6-10 jam. Tes kulit ini dilengkapi 

dengan penentuan laboratorium mengenai 

antibodies IgE dalam darah. Gangguan alergi 

atopik yang terpenting yaitu  asma, rhinitis, 

eksim resam dan alergi makanan.

a. Alergi makanan

Jenis alergi ini disebabkan oleh protein 

yang ada  dalam makanan dan berlangsung melalui IgE dan pelepasan mediator. 

Alergen makanan terkenal yaitu  ikan, udang, 

kerang, daging babi, putih telur, susu 

sapi, keju/mentega (diaries), juga gluten, 

suatu protein dari jenis gandum. Selain itu 

termasuk pula additiva, seperti zat pengawet (asam benzoat, asam sorbat, nipagin), 

zat warna(tartrazin kuning), zat rasa dan zat 

penyedap(monosodiumglutamat/MSG, Vetsin). 

Gejalanya dapat berupa serangan asma, 

urticaria dan keluhan lambung-usus (mual, 

muntah, kejang perut, diare). Bila penyebabnya dikeluarkan dari makanan, gejala 

akan hilang dalam waktu 1-2 hari. Alergi 

makanan dapat terjadi bersamaan waktu 

dengan intoleransi untuk makanan. Keduanya dapat dideteksi dengan jalan mengeluarkan jenis pangan yang dicurigai dari diet 

atau menambahkannya lagi padanya.

* Intoleransi makanan yaitu  bentuk alergi berdasar  pembebasan mediator langsung dari mastcells, jadi tanpa perantaraan

reaksi alergen-antibodi. Oleh sebab  itu disebut juga pseudo-alergi(pseudo = imitasi, mirip). Contohnya yaitu  makanan dengan 

kandungan amin vasoaktif, yang dapat 

memicu serangan migrain, contoh  histaminliberators (tomat, arbai, bayem), feniletilamin

(cokelat) dan tiramin (keju Prancis masak, 

anggur merah). Intoleransi untuk obat-obat

juga dapat terjadi, a.l. untuk asetosal dan zatzat kontras-iod.

b. Eksim atopik (= dermatitis atopik) 

Alergen hanya memicu  reaksi IgE 

signyifikan pada individu yang berdasar  

keturunan terdisposisi, keadaan ini disebut 

atopik. Salah satu penyakit atopik yaitu  

eksim atopik yang juga disebut eksim 

endogen, yang timbul pada 10-15% anakanak atopik. Gangguan ini terutama timbul 

pada tahun-tahun pertama sejak kelahiran, yang umumnya akan membaik dengan 

meningkatnya usia. Eksim ini dapat diperhebat oleh alergi terhadap bahan makanan, 

sering kali putih telur, susu sapi dan kacang 

tanah. 

Gejalanya berupa bercak kemerah-merahan tanpa batasan tajam, benjolan dan gelembung kecil yang menggerisik dan gatal-gatal. Lokasi eksim lazimnya di muka, juga di 

bagian dalam siku dan lutut, pergelangan 

tangan dan tengkuk. Kerapkali ada hubungan dengan asma, pollinosis dan rhinitis. 

Lazimnya bentuk eksim ini hilang pada usia 

5-7 tahun namun  pada usia pubertas dapat 

muncul kembali dalam bentuk asma, rhinitis 

atau alergi makanan.

Pengobatannya dapat dimulai dengan salep/

krem yang mengandung ter (pix lithantracis, 

liquor carbonis detergens) yang berkhasiat 

a.l. antiradang dan antigatal. Bila efeknya 

tidak memuaskan, maka dapat dipakai 

krem kortikosteroida (hidrokortison 1-2%, 

triamsinolon 0,05-0,1%), lihat Bab 46, ACTH 

dan Kortikosteroida.

* Eksim kontak alergik yaitu  bentuk eksim 

yang juga berdasar  reaksi alergi lambat

(tipe IV). Zat-zat tertentu mampu menimbulkan sensibilisasi kuat pada kontak intensif, namun  gejala hipersensitivitas baru dapat 

terjadi setelah bertahun-tahun. Biasanya 

berkaitan dengan pekerjaan, perhiasan 

atau benda yang dipakai . Contohnya 

yaitu  logam (nikel dalam gelang, anting, 

senyawa krom dalam semen), zat-zat kimia 

formaldehida, p-fenilendiamin (dalam cat 

rambut), zat-zat warna, obat-obat (balsem 

Peru, neomisin, kloramfenikol), minyak wangi

dan zat pengawet dalam kosmetika.

Penanganannya terdiri dari menghindari 

alergen penyebab dan mengobati gejalanya 

dengan krem kortikosteroida.

c. Asma

Asma atau bengek sering kali timbul pada 

pasien  dengan resam (konstitusi) atopik 

yang dalam darah dan ludahnya terjadi 

peningkatan jumlah granulosit eosinofil 

(eosinofilia). Pernapasan dipersulit oleh penyempitan bronchia akibat reaksi antigenIgE dan terlepasnya mediator dengan efek 

vasokonstriksi. Ditambah pula dengan obstruksi bronchia akibat peradangan kronis, pembengkakan mukosa serta banyaknya dahak 

dan kejang-kejang, turut mengakibatkan sesak napas. Selanjutnya lihat Bab 40, Obatobat Asma. 

d. Demam merang(hay fever)

Rhinitis allergica yaitu  radang mukosa 

hidung (Yun. rhino = hidung), yang merupakan gangguan alergi (atopik) yang paling 

banyak terjadi. Sering kali disertai radang 

selaput ikat mata (conjunctivitis).

Gejalanya a.l. selesma berat, banyak mengeluarkan ingus dan air mata, bersin, hidung 

mampat dan gatal-gatal di sekitar mata dan 

hidung. Umumnya, gejala ini bertahan lebih 

dari empat minggu dan sering kali kambuh. 

Terutama diderita pada usia 5-45 tahun dan 

setelah masa ini dapat berkurang atau hilang 

dengan sendirinya.

Rhinitis merupakan suatu reaksi tipe I, di 

mana IgE yang spesifik bagi alergen tertentu 

memegang peranan. Sistem imun membuat 

antibodies khas ini dengan maksud 

„memerangi“ alergen dan memusnahkannya, 

juga memicu  suatu reaksi peradangan. 

Lagi pula akibat chemotaxis, jumlah granulosit 

eosinofil setempat (sejenis lekosit, lihat Bab 

49, Dasar-dasar Imunologi) meningkat dan 

membentuk zat-zat yang diperkirakan mengakibatkan hiperreaktivitas.* Rhinitis hiperreaktif (non-alergik) yaitu  

suatu bentuk rhinitis yang disebabkan oleh 

kepekaan berlebihan, pada mana terjadi reaksi 

yang abnormal hebatnya. Dengan pengertian hiperreaktivitas dimaksud terjadinya 

gejala akibat rangsangan tak-spesifik (asap 

rokok, bau, uap, udara dingin dan lain-lain), 

yang pada pasien  sehat tidak memicu  

reaksi. Istilah ini khusus dipakai untuk 

asma/bronchitis kronis untuk melukiskan hipersensitivitas saluran napas terhadap rangsangan demikian. Efeknya yaitu  gejala di 

hidung, mata dan bronchia (batuk, sesak) 

seperti ini di atas.

Penyebab

Rhinitis dapat diakibatkan oleh reaksi alergi terhadap tepung sari (pollen), tungau debu 

rumah, spora jamur, serpihan kulit hewan atau 

bahan makanan. Dalam semua kasus ini protein sebagai salah satu zat kandungannya 

selalu merupakan alergen yang sebenarnya.

* Pollen yaitu  sel-sel perbanyakan jantan 

dari rumput dan pohon, yang penyerbukannya dilakukan oleh angin. Di negara dingin 

dengan empat musim, pollen mempunyai 

peranan penting pada terjadinya rhinitis. 

Khususnya di musim semi dan musim panas, 

banyak sari bunga ada  di udara. Di 

Indonesia alergi pollen (pollinosis) berperan 

lebih ringan. 

Bila pollen diinhalasi bersama udara, maka 

dengan perantaraan makrofag dan limfosit T 

(helper cells,) sel-sel limfo-B membentuk IgE 

khas. IgE ini terutama mengikat diri pada 

reseptor di membran mast cells dan juga 

pada makrofag, eosinofil dan basofil yang 

disensitasi. Pollen yang kemudian memasuki darah lagi ‚ditangkap‘ oleh IgE ini 

pada mast cells, yang disertai pelepasan 

mediator. Juga alergen yang terikat pada 

sel-sel tersensitasi ini mensintesis dan/

atau melepaskan mediator seperti histamin, 

prostaglandin dan leukotriën. Efeknya yaitu  

pollinosis, juga disebut ‚demam merang‘(hay 

fever), dengan gejala rhinitis alergik ini 

di atas.

* Debu rumah merupakan “cocktail” dari 

beragam produk: tungau, fungi (spora) dan 

bakteri, serpihan kulit, rambut pasien  dan 

binatang piaraan, sisa serangga mati pada 

pakaian, tanah dan lain-lain. 

– Tungau debu rumah (Dermatophagoides 

farinae) yaitu  serangga transparan sebesar 0,3 mm. Syarat hidupnya yang optimal 

yaitu  suhu 25°C dan derajat kelembapan 

relatif di atas 75%. Ditemukan praktis 

pada semua benda di rumah, paling 

banyak di kasur kapuk dan kasur bulu 

burung, selimut serta karpet. Dalam satu 

gram debu kasur ada  sampai 15.000 

tungau yang hidup dari serpihan kulit. Tinjanya sebesar 2-10 micron bersifat alergen dan memasuki saluran napas melalui 

pernapasan. Lihat Gambar 51-3.

– Jamur dapat memperbanyak diri dengan 

sangat cepat pada suhu dan kelembapan 

tinggi. Terutama spora banyak ada  

di udara dan mudah dihirup ketika bernapas, namun  juga myceliumnya (benangbenang) dapat berperan sebagai alergen 

dan penyebab rhinitis. Alergi untuk jamur tidak sering terjadi dan terutama 

jenis Aspergillus dan Penicillium.

Prevensi

Tindakan umum. Pada prinsipnya sedapat 

mungkin semua alergen inhalasi yang dapat 

memicu  reaksi alergi harus dijauhi. 

Untuk pollen, hal ini yaitu  sesuatu yang 

mustahil, namun  kontak dapat dikurangi dengan a.l. memakai  kaca mata atau menutup jendela mobil dan ruang tidur pada 

malam hari. Rumah pasien  yang berbakat 

alergis dibuat bebas alergen semaksimal 

mungkin. Hal ini sukar sekali dicapai, namun  

risiko penghirupan alergen dari debu rumah

dapat diperkecil dengan mentaati higiene 

di seluruh rumah. Kamar tidur perlu dibersihkan setiap hari dengan saksama, meskipun debunya tidak nampak. Lantai dipel atau 

disedot debunya dengan ‚vacuum cleaner‘, 

sprei (dan selimut) perlu dicuci secara teratur. 

Kasur sebaiknya dari polieter atau karet busa 

sebagai pengganti kapuk. Hewan piaraan 

hendaknya jangan masuk ke dalam rumah 

dan terutama tidak ke ruang tidur. Ventilasi yang baik yaitu  penting sekali untuk 

menjamin udara kering di dalam rumah.

Profilaksis terhadap serangan rhinitis dapat 

dilakukan dengan obat-obat yang pada reaksi 

alergen-IgE mencegah degranulasi mast cells, 

sehingga mediator peradangan tidak dibebaskan. Tersedia natrium kromoglikat dan 

nedokromil (Tilade) dalam bentuk serbuk 

inhalasi (aerosol), tetes hidung dan tetes 

mata. Obat-obat ini efektif pula terhadap 

conjunctivitis alergis.

Hiposensibilisasi (desensitasi)

Cara ini dilakukan pada pengidap alergi atopik untuk mengurangi kepekaan terhadap suatu alergen dan dengan demikian mengurangi parahnya keluhan. Mekanismenya yaitu  mengurangi respons dari IgE dan mengalihkannya menjadi IgG. 

Untuk ini pasien disuntik subkutan dengan 

larutan ekstrak alergen dalam kadar 

meningkat menurut suatu pola tertentu 

selama beberapa tahun. Hasil yang baik 

dicapai dengan ekstrak pollen, tungau debu 

rumah, serpihan kulit binatang dan racun tawon.

Hiposensibilisasi memperbaiki keadaan 

pasien dan meringankan reaksi kulit lambat, 

juga meningkatkan antibodies khas IgG.

Pada pelaksanaan desensitasi ini tetap 

harus waspada terhadap risiko reaksi anafilaktik, walaupun penyuntikan dimulai dengan dosis alergen yang kecil sekali.

Pengobatan

Sebagai tindakan pertama perlu diusahakan 

identifikasi dari alergen penyebab alergi dan 

menyingkirkannya. contoh , bulu hewan 

piaraan (anjing, kucing dan sebagainya) serta 

debu rumah, lihat di atas. Obat-obat yang 

kemudian dapat dipakai terhadap gejala 

rhinitis yaitu  antihistaminika, decongestiva 

dan kortikosteroida inhalasi.

*Antihistaminika-H1

 (lihat di bawah) dapat 

menanggulangi gejalanya secara efektif, terutama bersin dan gatal-gatal pada mata. 

Bila dipakai pada waktunya, obat ini 

juga berkhasiat menekan produksi mediator 

dalam mastcells, dengan efek meringankan 

reaksi alergi lambat. Antihistaminika generasi kedua lebih disukai sebab  longacting dan (hampir) tidak bekerja sedatif, 

yaitu astemizol, terfenadin, cetirizin dan 

loratadin.

*Decongestiva dipakai untuk membuka 

saluran yang tersumbat (hidung mampat) 

dengan mengurangi penumpukan mukosa 

(congestio). Untuk ini banyak dipakai 

adrenergika, seperti ksilometazolin dan

oksimetazolin dalam bentuk tetes hidung 

atau spray, adakalanya juga secara oral. Lihat 

Bab 31 A, Adrenergika dan Adrenolitika.

* Kortikosteroida dalam dosis rendah sering kali dipakai sebagai spray dan sangat efektif terhadap hiperreaktivitas 

dan semua gejala lambat. Tersedia beklometason,budesonida dan flutikason (Flixotide).

B. ANTIHISTAMINIKA

Antihistaminika yaitu  zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek 

histamin terhadap tubuh dengan memblok 

reseptor histamin (penghambatan saingan). 

Pada awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, namun  setelah ditemukannya 

jenis reseptor khusus pada tahun 1972, yang 

disebut reseptor-H2

, maka secara farmakologis 

reseptor histamin dapat dibagi dalam dua 

tipe, yaitu reseptor-H1

 dan reseptor-H2

berdasar  penemuan ini, antihistaminika 

dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu antagonis reseptor-H1

 (singkatnya disebut H1

-

blockers atau antihistaminika) dan antagonis 

reseptor-H2

 (H2

-blockers atau zat penghambat 

asam).

1. H1

-blocker (antihistaminika klasik) menentang histamin dengan memblok reseptor-H1 di otot licin dari dinding pembuluh, 

bronchi dan saluran cerna, kandung kemih 

dan rahim. Begitu pula melawan efek 

histamin di kapiler dan ujung saraf (gatal, 

flare reaction). Efeknya yaitu  simtomatis, 

antihistaminika tidak dapat menghindari 

timbulnya reaksi alergi.

Dahulu antihistaminika dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok, namun  kini dipakai  penggolongan dalam 2 kelompok atas 

dasar kerjanya terhadap SSP, yaitu zat-zat 

generasi ke-1 dan ke-2.

a. Antihistaminika generasi ke-1: prometazin, oksomemazin, tripelennamin, (klor) 

feniramin, difenhidramin, klemastin (Tavegil,) siproheptadin (Periactin), azelastin 

(Allergodil), sinarizin, meklozin, hidroksizin, ketotifen (Zaditen) dan oksatomida 

(Tinset).

Obat-obat ini berkhasiat sedatif terhadap SSS dan sebagian besar memiliki 

efek antikolinergik.

b. Antihistaminika generasi ke-2: astemizol, terfenadin dan fexofenadin, akrivastin (Semprex), setirizin, loratidin, 

levokabastin (Livocab) dan emedastin 

(Emadin). Zat-zat ini bersifat hidrofil 

dan sukar mencapai CCS (cairan cerebrospinal), maka pada dosis terapeutik tidak bekerja sedatif. Keuntungan 

lainnya yaitu  plasma-t½-nya yang lebih panjang, sehingga dosisnya cukup 

dengan 1-2 kali sehari. Efek anti alerginya 

selain berdasar  khasiat antihistamin , 

juga berkat kemampuannya menghambat 

sintesis mediator radang, seperti prostaglandin, leukotriën dan kinin. Lihat Bab 

40, Obat-obat Asma, Antileukotriën.

2. H2

-blocker (penghambat asam). Obat-obat 

ini secara selektif menghambat sekresi asam 

lambung yang meningkat akibat histamin, 

melalui persaingan terhadap reseptor-H2 

di lambung. Efeknya yaitu  berkurangnya 

hipersekresi asam klorida, juga mengurangi 

vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Senyawa ini banyak dipakai pada

terapi tukak lambung-usus untuk mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai 

zat pelindung tambahan pada terapi dengan kortikosteroida. Lagi pula sering kali 

dipakai bersama suatu perangsang motilitas lambung (cisaprida) pada penderita 

reflux.

Penghambat asam yang dewasa ini banyak 

dipakai yaitu  simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklik dari 

histamin. Lihat selanjutnya Bab 16, Obat-obat 

Lambung. 

pemakaian 

Lazimnya dengan “antihistaminika” selalu 

dimaksud H1

-blockers. Selain bersifat antihistamin, obat-obat ini juga memiliki berbagai khasiat lain, yaitu antikolinergik, 

antiemetik dan efek menekan SSP (sedatif), 

sedangkan beberapa di antaranya memiliki 

efek antiserotonin dan lokal anestetik (lemah).

berdasar  efek-efek ini, antihistaminika 

dipakai secara sistemik (oral, injeksi) untuk mengobati gejala berbagai gangguan 

alergi yang disebabkan oleh pembebasan 

histamin. Di samping rhinitis, pollinosis dan

alergi makanan/obat (lihat di atas) juga sering 

kali dipakai pada sejumlah gangguan 

berikut:

a. Asma yang bersifat alergi, untuk menanggulangi gejala bronchokonstriksi. 

Walaupun kerjanya baik, namun efek 

keseluruhannya hanya rendah sebab  

tidak berdaya terhadap mediator lain 

(leukotriën) yang juga mengakibatkan 

penciutan bronchi. ada  indikasi bahwa pemakaian  dalam bentuk sediaan 

inhalasi menghasilkan efek yang lebih 

baik. Obat-obat ketotifen dan oksatomida

berkhasiat mencegah degranulasi dari 

mastcells dan efektif untuk mencegah 

serangan.

b. Sengatan serangga, khususnya tawon 

dan lebah, yang mengandung a.l. histamin 

dan suatu enzim yang mengakibatkan 

pembebasannya dari mastcells. Untuk 

memperoleh hasil yang memuaskan, obat 

perlu diberikan segera dan sebaiknya 

melalui injeksi. Dalam keadaan hebat 

biasanya diberikan injeksi adrenalin i.m. 

atau hidrokortison i.v.

c. Urticaria (kaligata, biduran). Pada umumnya bermanfaat terhadap meningkatnya 

permeabilitas kapiler dan gatal-gatal, 

terutama zat-zat dengan kerja antiserotonin seperti alimemazin (Nedeltran), 

azatadin dan oksatomida. Khasiat antigatal 

mungkin berkaitan pula dengan efek 

sedatif dan efek anestetik lokalnya.

d. Stimulasi nafsu makan. Untuk menstimulasi nafsu makan dan meningkatkan 

berat badan, yaitu siproheptadin (dan turunannya pizotifen) dan oksatomida. Semua 

zat ini berefek antiserotonin.

e. Sebagai sedativum berdasar  efeknya 

menekan SSP, khususnya prometazin dan

difenhidramin serta turunannya. Obat-obat 

ini juga berkhasiat meredakan rangsangan batuk, sehingga banyak dipakai 

dalam sediaan obat batuk populer.

f. Penyakit Parkinson berdasar  efek 

antikolinergiknya, khusus difenhidramin

dan turunan 4-metil(orfenadrin) yang juga 

berkhasiat spasmolitik.

g. Mabuk jalan (mual) dan pusing (vertigo) berdasar  efek antiemetiknya 

yang juga berkaitan dengan khasiat 

antikolinergik, terutama siklizin, meklizin 

dan dimenhidrinat, sedangkan sinarizin

dipakai terutama pada vertigo.

h. Syok anafilaktik, di samping pemberian 

adrenalin dan kortikosteroid.

Selain itu antihistaminika banyak dipakai  dalam sediaan kombinasi terhadap selesma 

dan flu.

* Pilihan obat hendaknya secara individual, 

tergantung pada efek dan kerja sampingnya. 

Kadang-kadang terjadi tachyfylaxis (berkurangnya respons) dan obat harus diganti 

dengan obat lain dari golongan kimiawi yang 

berlainan.

Efek samping

Kebanyakan antihistaminika tidak menyebabkan efek samping serius bila diberikan 

dalam dosis terapeutik. Yang paling sering 

terjadi yaitu :

– efek sedatif-hipnotik (mengantuk) akibat 

depresi SSP dan khasiat antikolinergiknya. Efek ini paling nyata pada prometazin 

dan difenhidramin, namun  agak kurang 

pada d-klorfeniramin dan mebhidrolin, 

walaupun sifat ini sangat bervariasi 

secara individual. Pada umumnya dalam beberapa minggu terjadi toleransi

terhadap efek sedatif-hipnotis ini. 

Efek sedatif ini tidak dimiliki oleh 

antihistaminika generasi kedua (lihat 

di bawah), contoh  astemizol dan terfenadin, sehingga dengan aman dapat 

diberikan pada contoh  pengemudi 

kendaraan bermotor. Sebaliknya, kedua 

obat ini bila diminum serentak dengan 

suatu obat yang menghambat perombakannya dalam hati, kadar histamin 

dalam plasma dapat meningkat kuat 

sehingga memicu  gangguan jantung berbahaya (cardiac arrest, aritmia 

ventrikuler). Obat-obat induktor enzim 

demikian yaitu  ketokonazol, antibiotika makrolida (eritromisin) dan makanan (jus 

grapefruit). 

– efek sentral lainnya berupa pusing, gelisah, rasa letih, lesu dan tremor (tangan 

gemetar), sedangkan dosis berlebihan dapat mengakibatkan konvulsi dan koma;

– gangguan saluran cerna juga sering terjadi dengan gejala mual, muntah dan 

diare sampai anoreksia dan sembelit. Efek 

ini dapat dikurangi bila obat diminum 

setelah makan.

– efek antikolinergik (anti muskarin) dapat 

terjadi, seperti mulut kering, gangguan 

akomodasi dan saluran cerna, sembelit 

dan retensi kemih. Berhubung sifatnya 

ini, antihistaminika jangan diberikan pada pasien glaukoma dan hipertrofi prostat. 

– efek antiserotonin dapat meningkatkan 

nafsu makan dan berat badan. Bila efek 

ini tidak dikehendaki, maka untuk penggunaan lama sebaiknya jangan diberikan 

siproheptadin atau oksatomida;

– sensibilisasi dapat terjadi pada pemberian oral, namun  terutama pada penggunaan lokal. Obat-obat dengan efek 

menstabilisasi mastcells pada dosis tinggi memperlihatkan efek paradoksal, yaitu 

justru menstimulasi pelepasan histamin 

(histamin liberator), bahkan tanpa adanya 

antigen. Efek ini mungkin disebabkan 

oleh mekanisme merusaknya terhadap 

membran sel;

– efek teratogen, mungkin pada derivat 

piperazin (meklizin, siklizin, hidroksizin 

dan setirizin).

* Wanita hamil dan menyusui. Hanya 

sinarizin, hidroksizin, siklizin dan meklozin, 

ketotifen, mebhidrolin dan siproheptadin 

dianggap aman bagi janin. Dari obat-obat 

lainnya kurang tersedia data mengenai 

keamanannya selama kehamilan dan laktasi. 

Terfenadin, cetirizin dan loratadin masuk ke 

dalam air susu.

Penggolongan

Sesuai struktur kimianya antihistaminika 

dapat dibagi dalam beberapa kelompok, 

yang di antaranya memiliki rumus dasar 

sebagai berikut: 

 R1

R—X—C—C—N

R2

di mana X = atom O, N, atau C; R = gugus 

aromatik dan/atau heterosiklik; R1

 dan R2

 = 

gugus metil atau heterosiklik. Dapat dilihat 

bahwa inti molekul terdiri atas etilamin, 

yang juga ada  pada molekul histamin. 

Adakalanya gugus ini merupakan bagian 

dari suatu struktur siklik, contoh  pada 

antazolin dan klemastin.

MONOGRAFI

1. Derivat etanolamin (X=O)

Zat-zat ini memiliki khasiat antikolinergik 

dan sedatif yang agak kuat.

1a. Difenhidramin: Benadryl

Di samping efek antikolinergik dan sedatif 

yang kuat, antihistamin ini juga bersifat 

spasmolitik, anti-emetik dan antivertigo. 

dipakai sebagai obat tambahan pada 

terapi penyakit Parkinson (lihat Bab 28, Obatobat Parkinson) dan sebagai obat antigatal 

pada urticaria akibat alergi (Caladryl).

Dosis: oral 4 dd 25-50 mg, i.v. 10-50 mg.

* Orfenadrin (2-metildifenhidramin, Disipal) 

memiliki khasiat antikolinergik dan sedatif 

ringan, sehingga lebih disukai sebagai obat 

tambahan pada pengobatan Parkinson dan 

terhadap gejala ekstrapiramidal pada terapi 

dengan antipsikotika. Dosis: oral 3 dd 50 mg.

* Dimenhidrinat (Dramamine) yaitu  senyawa klorteofilinat dari difenhidramin yang khusus dipakai terhadap mabuk jalan dan 

muntah kehamilan. Dosis: oral 4 dd 50-100 

mg, i.m. 50 mg.

* Klorfenoksamin(Systral) yaitu  derivat 

klor dan metil, yang kadang-kadang dipakai  sebagai obat tambahan pada terapi 

penyakit Parkinson. Dosis: oral 2-3 dd 20-40 

mg (klorida); dalam krem 1,5%. 

1b.Klemastin: Tavegyl

Zat ini memiliki struktur yang mirip 

klorfenoksamin, namun  dengan substituen siklik (piridil). Efek antihistaminnya sangat 

kuat; mulai bekerja cepat (dalam beberapa 

menit) dan bertahan lebih dari 10 jam. Mekanisme kerjanya yaitu  a.l. mengurangi 

permeabilitas kapiler dan efektif terhadap 

pruritus allergica (gatal-gatal).

Dosis: oral 2 dd 1 mg a.c. (fumarat), i.m. 2 

dd 2 mg.

2. Derivat Etilendiamin (X = N)

Obat-obat dari kelompok ini pada umumnya memiliki khasiat sedatif yang lebih 

ringan.

2a. Antazolin: Antistin

Efek antihistaminnya tidak begitu kuat 

namun  tidak merangsang selaput lendir, sehingga cocok dipakai pada pengobatan 

gejala alergis pada mata dan hidung (selesma) 

sebagai sediaan kombinasi dengan nafazolin 

(Antistin-Privine).

Dosis: oral 2-4 dd 50-100 mg (sulfat).

* Tripelennamin (Tripel), kini hanya dipakai  sebagai krem 2% pada gatal-gatal akibat alergi terhadap sinar matahari, sengatan 

serangga, dan lain-lain.

* Mepirin (piranisamin) yaitu  derivat metoksi dari tripelennamin yang dipakai 

dalam kombinasi dengan feniramin dan 

fenilpropanolamin (*Triaminic drops) terhadap 

hay fever.

* Klemizol yaitu  derivat klor yang sekarang 

hanya dipakai dalam salep/suppositoria 

antiwasir (*Scheriproct, *Ultraproct).

3. Derivat Propilamin (X = C)

Obat-obat dari kelompok ini memiliki 

khasiat antihistamin kuat.

3a.Feniramin: Avil

Feniramin memiliki khasiat antihistamin 

dan efek meredakan batuk yang cukup 

baik, oleh sebab  itu juga dipakai dalam 

ramuan obat batuk.

Dosis: oral 3 dd 12,5 - 25 mg (maleat) atau 1 

dd 50 mg tablet retard; i.v. 1-2 dd 50 mg; krem 

1,25%.

* Klorfeniramin (klorfenamin, klorfenon) adalah derivat klor dengan khasiat 10 kali lebih 

kuat dan derajat toksisitas yang sama. Efek 

sampingnya sedatif ringan dan sering kali 

dipakai dalam obat batuk.

* Deksklorfeniramin (Polaramine) yaitu  

bentuk dekstronya yang dua kali lebih kuat 

daripada bentuk-dl (rasemis)-nya.

*Triprolidin (*Actifed, *Stop-Cold) yaitu  derivat dengan rantai sisi pirolidin, yang khasiatnya agak kuat. Mulai kerjanya cepat dan 

bertahan lama, sampai 24 jam (tablet retard). 

Dosis: oral 1 dd 10 mg (klorida) pada malam 

hari sebab  efek sedatifnya.

4. Derivat Piperazin

Obat-obat dari kelompok ini tidak memiliki 

inti etilamin namun  inti piperazin dan pada 

umumnya bersifat long-acting (lebih dari 10 

jam).

4a. Siklizin: Marzine, *Migril

Mulai kerjanya cepat dan bertahan 4-6 jam. 

Terutama dipakai sebagai obat antiemetik

dan pencegah mabuk jalan. Pada hewan percobaan siklizin dan derivatnya meklozin 

(Suprimal) bersifat teratogen. sebab  sifatnya 

ini, peredarannya di Indonesia dilarang 

sejak Januari 1963. namun  pada manusia efek 

teratogennya belum pernah terbukti dan di 

kebanyakan negara Barat masih dipasarkan. 

Meskipun demikian, obat-obat ini jangan 

diberikan pada wanita hamil, terutama selama trimester pertama.

Dosis: mabuk jalan 1 jam sebelum berangkat 

50 mg, bila perlu 3 kali sehari; untuk mual 

dan muntah 3-4 dd 50 mg, anak-anak 6-13 

tahun 3 dd 25 mg.

* Homoklorsiklizin (Homoclomin) yaitu  

derivat klor, pada mana cincin piperazin 

diganti dengan cincin 7-diazepin. Bersifat 

anti-serotonin dan dipakai pada pruritus 

allergica (gatal-gatal). Dosis: oral 1-3 dd 10 mg.

4b. Sinarizin:Stugeron

Derivat cinnamyl dari siklizin ini di samping sifat antihistaminnya juga berkhasi- at vasodilatasi perifer. Sifat ini berkaitan 

dengan efek relaksasinya terhadap arteriole 

perifer (betis, kaki-tangan) dan otak, sebab  

penghambatan masuknya ion kalsium ke 

dalam sel-sel otot polos. Lihat selanjutnya 

Bab 34, Vasodilator, antagonis kalsium. Di 

samping itu juga berkhasiat antipusing 

dan antiemetik serta sering kali dipakai 

sebagai obat vertigo, telinga berdengung 

(tinnitus) dan pada mabuk jalan. Mulai 

kerjanya agak cepat, bertahan selama 6-8 jam 

dengan efek sedatif ringan.

Dosis: oral 2-3 dd 25-50 mg.

* Flunarizin (Sibelium) yaitu  derivat difluor dengan khasiat antihistamin lemah. 

namun  sebagai antagonis kalsium, sifat vasorelaksasinya kuat. dipakai terhadap

vertigo dan sebagai obat pencegah migrain 

(lihat Bab 52, Obat-obat Migrain dan Bab 34, 

Vasodilator).

4c. Oksatomida: Tinset

Derivat siklizin ini (1982) memiliki khasiat 

antihistamin, antiserotonin, anti-leukotriën 

dan juga efek menstabilisasi mastcells. Berdasarkan sifat-sifat ini, oksatomida dipakai  sebagai obat pencegah maupun pengobatan asma dan “hay fever”. Juga memiliki 

efek stimulasi nafsu makan. Lihat juga Bab 

40, Obat-obat Asma. 

Dosis: oral 2 dd 30 mg p.c.; untuk asma 120 

mg sehari.

4d. Hidroksizin:Iterax, Atarax

 Derivat klor ini yaitu  salah satu antihistamin pertama (1957) dengan berbagai 

jenis khasiat, a.l. sedatif dan anksiolitik, 

spasmolitik, anti-emetik serta antikolinergik. Sangat efektif pada urticaria dan gatalgatal. 

Dosis: 1-2 dd 50 mg. Sebagai anksiolitik: 1-4 

dd 50 - 100 mg.

* Cetirizin (Riztec, Ryzen, Zyrtec) yaitu  

metabolit aktif dari hidroksizin (1987) dengan efek kuat dan panjang (t½ 8-10 jam). 

Merupakan obat generasi kedua, bersifat 

hidrofil, sehingga tidak bekerja sedatif, juga 

tidak antikolinergik. Menghambat migrasi 

dari granulosit eosinofil, yang berperan pada reaksi alergi lambat. dipakai pada 

urticaria dan rhinitis/conjunctivitis. Dosis: 1 

dd 10 mg malam hari.

5. Derivat Fenotiazin

Senyawa trisiklik ini memiliki khasiat 

antihistamin dan antikolinergik yang tidak begitu kuat, namun  sering kali berefek 

sentral kuat dengan khasiat neuroleptik. 

berdasar  sifat ini, turunannya banyak 

dipakai pada gangguan psikosis, lihat Bab 

29. Antipsikotika. Juga sering kali dipakai 

dalam obat batuk berdasar  efek sedatifnya 

di samping meredakan batuk.

5a. Prometazin:Phenergan

Antihistamin tertua ini (1949) dipakai 

pada reaksi alergi terhadap tumbuhan dan 

akibat gigitan serangga, juga sebagai antiemetikum terhadap mual dan mabuk jalan. 

Selain itu, prometazin dipakai pada vertigo dan sebagai sedativum pada batuk dan 

sukar tidur, terutama untuk anak-anak.

Efek samping bersifat umum, namun  kadangkala dapat terjadi hipotensi, fotosensibilisasi, hipothermia (suhu badan rendah) 

dan efek terhadap darah (leukopenia, agranulositosis). Semua senyawa fenotiazin dapat 

memicu  reaksi ini.

Dosis: oral 3 dd 25-50 mg dan sebaiknya 

dimulai pada malam hari; i.m. 50 mg.

* Oksomemazin (Doxergan) yaitu  derivat 

dioksi (pada atom-S) dengan efek dan penggunaan sama seperti prometazin, a.l. dipakai  dalam obat batuk (Toplexil). Dosis: oral 

2-3 dd 10 mg.

5b. Isotipendil:Andantol

Derivat azofenotiazin ini bekerja lebih 

singkat dari prometazin dengan efek sedatif 

yang lebih ringan. 

Dosis: oral 3-4 dd 4-8 mg; i.m./i.v. 10 mg.

6. Derivat Trisiklik lainnya

Sejumlah antihistaminika memiliki rumus dasar yang terdiri atas satu cincin tujuh yang terikat pada dua cincin enam di 

kanan dan kiri. Zat-zat ini memiliki khasiat 

antiserotonin kuat dengan menstimulasi nafsu makan. pemakaian nya terutama sebagai perangsang nafsu makan dan pada 

urticaria, juga sebagai obat interval pada 

migrain.

6a. Siproheptadin:Periactin, Pronicy

berdasar  efek stimulasinya terhadap 

pertumbuhan jaringan normal, dahulu obat 

ini banyak dipakai untuk pasien kurus 

dengan nafsu makan buruk. Lama kerjanya 

4-6 jam, efek antikolinergiknya ringan. 

Efek sampingnya umum a.l. rasa kantuk 

yang biasanya lewat sesudah seminggu. Obat 

ini sekarang hanya dianjurkan sebagai antihistaminikum.

Dosis: oral 3 dd 4 mg (klorida).

6b. Pizotifen:Lysagor, Sandomigran

Zat ini berkhasiat antihistamin dan antiserotonin. Di samping sebagai stimulan nafsu 

makan, zat ini juga dipakai pada terapi 

interval migrain, lihat Bab 52, Obat-obat Migrain.

Dosis: oral semula 1 dd 0,5 mg (maleat), 

berangsur-angsur dinaikkan sampai 3 dd 0,5 

mg.

* Ketotifen (Zaditen) yaitu  derivat keto longacting tanpa efek antiserotonin. berdasar  

sifat menstabilisasi mastcells, obat ini dipakai  sebagai obat pencegah serangan asma. 

Dosis: oral 2 dd 1-2 mg (fumarat).

* Loratadin(*Clarinase, Claritin) yaitu  derivat klor (1988) yang sebagai zat generasi 

kedua pada dosis biasa tidak berefek sedatif 

maupun antikolinergik. Plasma-t½-nya lebih 

panjang: 12 jam, sedangkan metabolit aktifnya 20 jam. dipakai pada rhinitis dan 

conjunctivitis alergis, juga pada urticaria 

kronis. Dosis: 1 dd 10 mg.

6c. Azelastin:Alergodil

yaitu  obat generasi kedua (1991) yang 

berkhasiat antihistamin, antileukotriën dan 

antiserotonin dan juga menstabilisasi mastcells. Khusus dipakai pada rhinitis alergis. 

Efeknya minimal 12 jam (t½ ±20 jam, dari 

metabolit aktifnya 50 jam!)

Dosis: oral 1-2 dd 2 mg. 

7. OBAT GENERASI KEDUA

Obat-obat generasi kedua memiliki 

khasiat antihistamin tanpa efek sedatifhipnotik. berdasar  sifat ini, layak sekali diberikan pada penderita alergi yang 

pekerjaannya memerlukan kewaspadaan, 

seperti pengemudi kendaraan bermotor dan 

mereka yang bekerja dengan mesin. Tersedia 

beberapa obat yaitu terfenadin, astemizol, 

levokabastin, loratadin, azelastin dan setirizin. 

Ketiga obat terakhir sudah dibahas di atas, 

yang pada hakikatnya termasuk kelompok ini sebab  efek sedatifnya relatif ringan 

dibandingkan obat-obat lain. Berhubung efek 

sampingnya terhadap jantung, walaupun 

jarang terjadi namun  bisa bersifat fatal, maka 

terfenadin dan astemizol sudah dihentikan 

peredarannya di AS dan banyak negara 

Eropa.

7a. Terfenadin: Nadane, Triludan

Derivat butilamin heterosiklik ini (1982) 

yaitu  suatu prodrug, dengan khasiat antihistamin (H1

) yang menyerupai klorfeniramin. Tidak dapat melintasi barrier liquor 

(CCS), maka tidak memiliki efek sentral 

(sedatif). dipakai pada rhinitis allergica, 

urticaria dan reaksi alergi lainnya.

Resorpsi dari usus baik, mulai kerjanya 

sesudah 1 jam dan bertahan 12-24 jam. 

Dalam hati dengan cepat dan tuntas dirombak oleh sistem enzim cytochrom P450

menjadi a.l. metabolit aktifnya terfenadin karboksilat dengan plasma-t½ ±17 jam. Ekskresi 

berlangsung lewat tinja (60%) dan urin (40%).

Efek samping jarang terjadi dan berupa 

gangguan saluran cerna, nyeri kepala dan 

berkeringat. Dengan beberapa obat (eritromisin, klaritromisin, ketokonazol, itrakonazol)

terjadi interaksi berbahaya dengan efek 

gangguan ritme dan terhentinya jantung, 

yang adakalanya fatal! Kelainan ritme ini 

juga dapat timbul pada dosis terlampau 

tinggi dan juga akibat grapefruit juice, yang 

bersifat menghambat enzim cytochrom 

P450 sehingga kadar terfenadin dalam 

darah meningkat. Oleh sebab  itu, pada 

awal tahun 1997, DepKes AS telah menarik 

dari peredaran semua sediaan terfenadin 

(Allergin, Fenalan). Dosis: oral 2 dd 60 mg; anak-anak 3-6 thn 2 

dd 15 mg, 6-12 thn 2 dd 30 mg.

*Fexofenadin(Telfast) yaitu  suatu metabolit 

aktif dari terfenadin (1996) yang tidak perlu 

diaktivasi oleh hati. Sifat dan pemakaian nya 

sama. Dosis: oral 1 dd 120 mg.

7b. Astemizol: Hismanal

Senyawa fluor ini (1983) memiliki khasiat 

antihistamin kuat, juga tanpa efek sentral 

maupun antikolinergik. pemakaian  dan 

efek sampingnya sama dengan terfenadin. 

Begitu pula metabolit aktifnya, terutama 

desmetilastemizol, berperan bagi daya kerjanya. Jangka waktu kerjanya panjang sekali 

dengan plasma-t½ 20 jam sampai 10 hari. 

Juga dipakai terhadap hay fever. namun  

efek optimalnya baru dicapai setelah 2-3 hari, 

sehingga tidak layak untuk terapi serangan 

alergis akut.

Efek samping kurang lebih sama dengan 

terfenadin. Pertengahan tahun 1999 astemizol 

ditarik dari peredaran oleh pabriknya di 

banyak negara Eropa.

Interaksi. Pada dosis di atas 10 mg sehari dan pemakaian  serentak dengan eritromisin, ketokonazol dan itrakonazol ada 

kalanya menghambat metabolisme yang 

mengakibatkan gangguan ritme serius, bahkan terhentinya kegiatan jantung (sama 

dengan terfenadin).

Dosis: 1 dd 10 mg sebelum makan; anakanak 6-12 tahun 1 dd 5 mg, di bawah 6 tahun 

1 dd 0,2 mg/kg.

7c. Levokabastin:Livostin, Livocab

Senyawa piperidinecarbonic acid ini (1991) 

berkhasiat antihistamin kuat dan praktis 

tidak bekerja sentral. Hanya dipakai 

topikal dalam tetes mata dan spray hidung 

(0,05%).

* Ebastin(Kestine) yaitu  derivat (1995) yang 

sebagai prodrug dalam hati diubah menjadi 

zat aktif karebastin. Khusus dipakai pada 

rhinitis alergis kronis dengan efektivitas 

sama seperti astemizol 10 mg, cetirizin 10 mg, 

loratadin 10 mg dan terfenadin (2 dd 60 mg).

Dosis: oral 1 dd 10-20 mg.

8. LAIN-LAIN

8a. Mebhidrolin (Interhistin, Incidal) dipakai  a.l. pada pruritus dengan dosis 2-3 dd 50 

mg.

8b. Dimetinden (Fenistil) juga dipakai 

terhadap pruritus dengan dosis 3 dd 1-2 mg 

(maleat).

8c. Kortikosteroida(lihat Bab 46. Kortikosteroida). Glukokortikoida dapat menekan daya 

tangkis seluler sehingga mengurangi reaksi 

alergi. dipakai terhadap peradangan dan 

mengurangi pembentukan mediator-mediator. Kortikosteroida dipakai sebagai berikut:

* lokal terutama 

- terhadap asma dan hay fever: beklometason 

(Beconase, Becotide), budesonida (Pulmicort, Symbicort) dan fluticason (Flixotide, 

Seretide), sebagai obat semprot hidung 

atau aerosol;

- terhadap radang mata: deksametason, 

fluormetolon (FML-Neo tetes mata), hidrokortison dan prednisolon; 

- terhadap dermatoses (gangguan kulit).

* sistemik (bersamaan dengan adrenalin) 

pada syok anafilaktik, kejang bronchi sebab  

reaksi alergi dan status asthmaticus (lihat Bab 

40, Obat-obat Asma).

8d. Natrium kromoglikat:Intal, Rynacrom

Zat ini bukan suatu antihistamin, namun  

disinggung di sini berkat khasiat profilaksisnya terhadap hay fever. Mekanisme 

kerjanya melalui stabilisasi membran mastcells, sehingga menghambat pembebasan 

histamin dan mediator lain. Khasiat menstabilisasi ini juga diberikan oleh ketotifen, suatu obat profilaksis lain terhadap 

asma yang dapat diberikan per oral, lihat 

Bab 41, Obat-obat Batuk. Zat ini bermanfaat 

bila diberikan sebelum terjadi granulasi 

mastcells dan hanya bekerja profilaksis 

terhadap reaksi alergi. sebab  absorpsi dari 

usus buruk, maka pada asma dipakai 

dalam bentuk aerosol atau inhalasi serbuk 

halus. Juga dalam tetes hidung pada rhinitis

allergica dan tetes/salep mata (Opticrom), 

pada radang selaput mata alergis 

(conjunctivitis).

Efek samping lemah, a.l. iritasi setempat.

Dosis: 4 dd 20 mg serbuk halus kering untuk inhalasi (garam dinatrium).

* Nedokromil(Tilade) yaitu  suatu senyawa 

kuinolin (1986) dengan khasiat sama dengan 

kromoglikat. dipakai untuk prevensi serangan asma, juga yang diprovokasi oleh 

pengeluaran tenaga (‚exertion‘). Dosis: dosis 

aerosol 4 dd 4 mg.


OBAT-OBAT MIGRAIN

Migrain (Yun. hemicrania = nyeri sebelah 

kepala; hemi = setengah, cranium = tengkorak) 

yaitu  penyakit yang bercirikan serangan 

nyeri hebat dari satu sisi kepala (unilateral) yang datang secara berkala, disertai 

gangguan saluran cerna seperti mual dan 

muntah. Serangan dapat terjadi beberapa 

kali setahun sampai beberapa kali seminggu, 

sedangkan lama serangan umumnya 1-2 jam, 

yang bisa disusul oleh sakit kepala tersebar 

selama beberapa hari. Sakit kepala kronis ini 

merupakan suatu masalah sosial-ekonomis 

besar yang memengaruhi kebahagiaan hidup 

dan mengakibatkan kehilangan ratusan ribu 

hari kerja setahunnya.

Jenis nyeri kepala

lainnya

Sindroma sakit kepala yang sejak berabadabad menjadi keluhan banyak pasien , tidak 

semuanya sama. Di samping migrain

yang diakibatkan oleh pembuluh darah 

yang secara bergiliran berkontraksi dan 

berelaksasi, masih dikenal dua bentuk sakit 

kepala yang agak sering terjadi. 

* Sakit kepala tegang (tension headache), yang 

paling mudah diobati dan disebabkan oleh 

otot-otot yang menegang di bagian kepala 

dan tengkuk. Kerapkali sakit kepala ini 

disebabkan oleh stres dalam berbagai bentuk, 

seperti kerja di bawah tekanan dan hubungan 

buruk di rumah atau di pekerjaan. Jenis sakit 

kepala ini dapat muncul selama masa dengan 

penuh kekhawatiran dan perasaan murung. 

Gejalanya berupa sakit terus-menerus di 

sebagian atau di seluruh kepala dan adakalanya dirasakan seperti bando yang diikat 

ketat di sekitar kepala, namun  tanpa denyutan 

seperti pada migrain. Nyeri kerapkali sudah 

terasa bila kulit kepala disentuh, yang dapat 

bertahan berbulan-bulan. 

Penanganan dapat dilakukan secara 

efektif dengan jalan masase kulit kepala 

dan latihan-latihan tertentu untuk menghilangkan ketegangan otot. Bila stres merupakan penyebab terjadinya sakit kepala, 

‘terapi wicara’ dengan petunjuk bagaimana menanggulangi dan menghadapi ketegangan, sering kali ampuh (stress management). Pengobatan dengan analgetika hanya 

efektif untuk sementara.

* Sakit kepala cluster (cluster headache) 

terhitung sakit kepala vaskuler pula (seperti 

migrain), yang disebabkan oleh pembuluh 

darah yang hiperreaktif (Ing. cluster = kelompok). Meskipun gejalanya mirip, bahkan 

bersifat lebih parah, namun tidak termasuk 

penyakit migrain. Gejalanya berupa sakit 

sebelah kepala yang sangat hebat dan berpusat di sekitar satu mata, disertai keluarnya 

air mata dan hidung mampat, juga muntah. 

Ciri khas jenis sakit kepala ini yaitu  serangannya timbul dalam siklus-siklus tertentu, kadang-kadang 2-3 gelombang seharinya, terutama pada tengah malam. Lamanya serangan beberapa jam. Masa bebas 

serangan bisa sampai 1 tahun. Gangguan ini 

lebih sering diderita kaum pria (antara usia 

30-50 tahun) daripada wanita. 

Pengobatan dilakukan dengan sumatriptan

subkutan, sedangkan efek pengobatan dengan ergotamin hasilnya kurang optimal 

atau tidak menentu. Untuk memutuskan 

siklus, dapat dipakai metisergida, pizotifen

atau antidepresivum litiumkarbonat sebagai 

profilaksis dan obat interval. * Diagnosis. Kadang-kadang timbul kesulitan 

untuk mengetahui jenis sakit kepala guna 

menentukan apakah penderita memerlukan 

pengobatan atau harus menjalani terapi 

“stress management”. 

Akhir-akhir ini telah dikembangkan suatu screening test 15 menit (Ohio University) untuk memperoleh informasi di mana 

letaknya nyeri, keparahan dan faktor penyebabnya. 

Gejala-gejalanya

Fasa prodromal. Sekitar 25% penderita migrain mendapat serangan setelah didahului oleh suatu fasa pertanda, umumnya ½ - 2 

jam sebelum nyeri kepala muncul. Fasa ini 

bercirikan tanda-tanda pertama (aura) yang 

berupa gejala neurologik, seperti fonofobia dan 

fotofobia, yaitu kepekaan berlebihan terhadap 

bunyi-bunyian yang keras, bau yang tajam, 

maupun cahaya yang tampak seperti kilat 

(teichopsia), bintik-bintik hitam atau warnawarni (scotomata). Gejala ini disertai perasaan gelisah, mudah tersinggung, pusing 

dan termenung-menung. Umumnya terjadi gang