Tampilkan postingan dengan label obat 12. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label obat 12. Tampilkan semua postingan

obat 12





 memberikan hasil positif. 

Vaksinasi BCG memberikan perlindungan 

yang cukup baik terhadap infeksi bentuk LM. 

Dibuktikan pada penelitian besar-besaran di 

Malawi pada tahun 1996. Banyak vaksin baru 

terhadap lepra sedang diteliti.

PENGOBATAN

Sejak dulu obat satu-satunya terhadap kusta 

yaitu  minyak kaulmogra, yang sering 

kali efektif untuk meredakan gejala tanpa 

menyembuhkan penyakit. Penelitian akan 

obat-obat yang lebih baik dan bekerja kausal 

menemui banyak kesulitan, karena basil

lepra tidak dapat dikembangbiakkan in vitro 

(obligat intraseluler). Baru pada tahun 1962 

seorang peneliti berhasil membiakkan basil 

lepra pada binatang percobaan (telapak 

kaki tikus), kemudian pada binatang armadillo (1971). Di tahun 1975 ditemukan bahwa 

Mycobacterium leprae dapat dibiakkan bila 

pada biakan diberikan hyaluronic acid. 

Dapson, suatu zat bakteriostatik, diperkenalkan pada tahun 1948. Penemuan ini 

menimbulkan revolusi pada terapi lepra, 

karena obat ini mampu menghentikan pertumbuhan basil lepra, yang kemudian, walaupun lama (tahunan sampai seumur hidup), dapat memusnahkannya melalui sistem imun tubuh pasien sendiri. Pasien dapat 

diobati secara rawat jalan —artinya tidak 

usah dirawat di rumah sakit— secara murah 

dan efektif di rumahnya sendiri, tentu saja 

tindakan untuk mencegah penularan pada 

keluarganya harus tetap ditaati.

Pada tahun 1960-an M. leprae mulai memperlihatkan resistensi terhadap dapson, ketika itu obat satu-satunya terhadap lepra. 

Kemudian ditemukan obat-obat lepra lain 

dengan kerja bakterisid antara lain rifampisin (1965) dan klofazimin(1967). Meskipun 

harga obat ini jauh lebih mahal daripada 

dapson, namun penyembuhan berlangsung 

lebih cepat dan efektif. Tetapi dapson dan 

rifampisin dapat cepat menimbulkan resistensi. Untuk mengurangi risiko resistensi 

obat-obat tersebut dan mempersingkat jangka 

waktu pengobatan, kini tidak dipergunakan 

lagi sebagai monoterapi, tetapi dalam bentuk 

kombinasi 3 obat (multidrug therapy). 

Multidrug therapy (MDT) yang dianjurkan 

WHO sebagai terapi pilihan pertama pada 

bentuk-bentuk lepra, yaitu :

* lepra paucibacillair: dapson 100 mg 1x 

sehari dan rifampin 600 mg 1x sebulan 

selama 6 bulan;

* lepra multibacillair: dapson 100 mg 1x 

sehari, rifampisin 600 mg 1x sebulan dan 

klofazimin 50 mg 1x sehari + 300 mg 

1x sebulan selama minimal 2 tahun (dan 

maksimal 3 tahun).

Sampai sekarang belum ada  resistensi 

terhadap MDT.

Lama pengobatan. MDT menyembuhkan 

gejala kulit dan luka dalam beberapa bulan, 

tetapi kuman masih tetap berada dalam 

selaput lendir, kulit dan saraf. Oleh karena itu 

terapi harus dilanjutkan lama sekali sampai 

kuman lenyap seluruhnya dari jaringan, yaitu 

6 bulan untuk LP dan 2-3 tahun untuk LM. 

WHO menganggap penderita yang telah 

menyelesaikan kur dan tidak usah minum 

obat lagi sebagai «sembuh». Akan tetapi pasien demikian perlu dipantau selama 8-10 

tahun untuk mewaspadai timbulnya residif. 

Wanita hamil dan laktasi. Keamanan penggunaan dapson dan klofazimin pada wanita 

hamil belum diketahui dengan jelas karena 

belum ada  cukup data mengenai keamanannya bagi janin. Berhubung risiko 

akan eksaserbasi selama hamil, maka WHO 

menganjurkan agar jangan menghentikan 

pengobatan, juga selama hamil. Obat-obat 

ini dikeluarkan melalui air susu ibu, maka 

selama terapi tidak dianjurkan menyusui 

bayi. Rifampisin dapat menimbulkan perdarahan pada ibu dan anak bila dipakai  

selama minggu terakhir kehamilan. Untuk 

menghindarinya diberikan vitamin K pada 

keduanya. pemakaian  rifampisin selama 

laktasi diperbolehkan, walaupun masuk dalam air susu ibu.

REHABILITASI SOSIAL

Banyak pasien kusta menderita cacat di 

muka atau mutilasi pada anggota tubuhnya. 

Hal ini membawa stigma bagi dirinya dan 

seumur hidup akan dianggap sebagai pasien 

lepra. Mereka dikucilkan dari masyarakat, 

dijauhi dari pergaulan sehari-hari dan terpaksa menjalani kehidupan terisolasi. Oleh 

karena itu sesudah  penyembuhan penting 

sekali pasien menjalani psikoterapi untuk 

merehabilitasi kehidupan sosialnya.

MONOGRAFI

1. Minyak kaulmogra: Oleum hydnocarpi.

Minyak nabati ini sudah dianggap kuno 

dan tidak akan dibicarakan lagi di sini. Untuk 

yang berkepentingan lihat Edisi IV, hal. 134.

2. Dapson: diaminodifenilsulfon, DDS

Dapson (1943) termasuk kelompok sulfon dengan rumus bangun, aktivitas antimikroba 

dan mekanisme kerja yang kurang lebih 

sama dengan sulfonamida. Khasiatnya kurang lebih 10x lebih kuat dan juga lebih 

toksik. Bekerja bakteriostatik kuat terhadap 

basil lepra berdasar  persaingan substrat 

dengan PABA serta inhibisi enzim folat 

sintetase kuman, hingga pembentukan folat 

dan DNA dicegah (antagonis folat). Aktivitasnya ditiadakan oleh turunan PABA. 

dipakai  terutama pada lepra dan juga 

pada TB, dermatitis herpetiformis dan sebagai 

profilaksis terhadap malaria (bersama pirimetamin = Maloprim). pemakaian nya selalu 

dalam kombinasi dengan obat-obat lain, 

karena monoterapi dengan cepat menimbulkan resistensi. 

Resorpsi dari usus hampir lengkap dengan 

kadar darah puncak terjadi dalam 1-3 jam. 

PP-nya 70%, plasma-t½-nya rata-rata 28 jam 

(10 - 50 jam). Di dalam hati zat ini mengalami 

siklus enterohepatik dan terjadi asetilasi menjadi 

metabolit inaktif. Ekskresinya berlangsung 

20% melalui urin dan sebagian kecil lewat 

feses.

Efek samping yang jarang terjadi pada dosis 

biasa, antara lain sakit kepala, mual, muntah, 

sukar tidur dan takikardia. Pada dosis tinggi 

dapat terjadi kelainan darah, (a.l. hemolisis, 

methemoglobinemia) dan risiko meningkat 

oleh antagonis folat seperti pirimetamin dan 

sulfonamida. Sulfonamida menyebabkan resistensi silang.

Dosis: bersama obat-obat lain permulaan 1 

x sehari 50 mg, kemudian 1 x sehari 100 mg, 

maks. 200 mg, anak-anak 1x sehari 1-1,5 mg 

/kg. Pada dermatitis herp. 3-4 x sehari 50 mg, 

maks.300 mg/hari.

3. Klofazimin: Lampren

Derivat fenazin ini (1967) memiliki efek 

bakterisid terhadap M. leprae berdasar  

pengikatan pada DNA sehingga fungsinya 

diblokir. Kerjanya lambat sekali dan efeknya 

baru tampak sesudah ± 50 hari. Basil-basil 

di dalam mukosa dan kulit mati, kecuali 

di tempat yang sulit dicapai, seperti dalam 

saraf dan otot memerlukan waktu lebih lama. 

Begitu pula untuk mengeluarkan seluruh 

basil dari jaringan. Di samping itu klofazimin 

juga berkhasiat anti radang dan khusus digunakan pada bentuk LL dan terhadap 

benjolan (ENL). Zat ini juga dipakai  pada 

tuberkulosis multiresisten dan terhadap 

infeksi dengan Mycobacterium avium (MAI) 

pada pasien AIDS.

 Resorpsi dari usus lambat dan kurang 

baik (50%). Kadar puncak darah baru dicapai sesudah  8-12 jam. Bersifat lipofil kuat, 

ditimbun dalam jaringan lemak dan makrofag 

dari sistem imun untuk kemudian dilepaskan 

lagi secara berangsur-angsur. Plasma-t½-nya 

lama sekali, ± 70 hari, maka dapat ditakarkan 

secara intermiten. Ekskresi berlangsung terutama lewat feses.

Efek samping terpenting yaitu  pewarnaan 

merah yang reversibel dari air kencing, keringat, air mata dan selaput mata, ludah 

dan tinja. Gangguan lambung usus biasanya 

baru terjadi sesudah 6 bulan. Efek samping 

yang lebih serius yaitu  pengendapan 

kristal klofazimin pada dinding usus dan 

cairan mata pada dosis tinggi untuk ENL, 

sehingga pemakaian  lebih dari 3 bulan tidak 

dianjurkan.

Dosis: lepra multibasiler bersama dapson 

dan rifampin: 3x seminggu 100 mg + 1x 

sebulan 300 mg pada waktu makan selama 

minimal 2 tahun atau sampai pembiakan 

apus kulit menjadi negatif. Pada ENL: 2-3 x 

sehari 100 mg selama maks. 3 bulan. Infeksi

basil TB multiresisten atau M. avium: 2-3 x 

sehari 100 mg bersama 2-3 obat TB lain.

4. Rifampisin: rifampin, Rifadin, Rimactane

Antibiotik dari kelompok rifampisin ini 

(1965) berkhasiat leprosid berdasar  penghambatan enzim kuman polimerase RNA.

Kerjanya lebih cepat dan efektif daripada 

dapson. Dalam waktu 3-4 minggu, bentuk 

LM yang ganas sudah bersifat tidak menular 

lagi. Resistensi dapat timbul dalam waktu 

singkat, sehingga selalu dipakai  bersama 

obat lain, terutama pada lepra dan TB. Air 

kencing berwarna merah muda. 

Interaksi. Akibat induksi enzim, rifampisin 

dapat mengurangi efek estrogen (pil antihamil!), fenitoin, siklosporin dan turunan

kumarin, mungkin juga kortikosteroid, kinidin dan metadon. INH dan halotan meningkatkan risikonya akan toksisitas hati.

Dosis: umumnya 1 x sehari 600 mg a.c., 

atau menurut WHO 1 kali sebulan. Lihat selanjutnya Bab 9, Obat-obat tuberkulosa.

5. Talidomid: Softenon, Synovir

Senyawa ftalat ini (1957) dipasarkan sebagai obat tidur dan dilarang peredarannya pada permulaan tahun 60an, karena 

mengakibatkan cacat pada bayi (fokomelia). 

Duapuluh lima tahun kemudian ditemukan 

khasiat anti radang dan imunosupresifnya. 

Selain itu juga berkhasiat anti angiogenesis 

kuat. Sejak 1997 secara resmi mulai digunakan lagi untuk meredakan reaksi lepra ENL,

pada multiple myeloma serta lupus eritematosus.

Efek sampingnya berupa sedasi dan rasa 

kantuk, pusing, eksantema, gangguan penglihatan dan rasa lelah.

Dosis: ENL berat 50 – 400 mg sehari selama 

3-24 bulan.


”What malaria is nobody knows…there is no 

doubt however that malaria is some mysterious 

poison in the atmosphere.” Scientific American 

1801.

“The ancients were quite right – the disease 

(malaria) is caused by the emanation of the marsh. 

That emanation, however, is not a gas, nor even 

a contagium vivum, but an insect.” Ronald Ross, 

1910.

PROTOZOA

Protozoa (tunggal: protozoon) yaitu  mikroorganisme bersel tunggal yang yaitu  

organisme hidup terendah dalam dunia 

hewan. Organisme ini hidup sebagai parasit 

pada hewan/serangga sebagai tuan rumah 

dan dapat mengakibatkan infeksi pada 

manusia. Protozoa yang sering kali menyebabkan infeksi yaitu : 

Plasmodium: malaria (tuan rumah: nyamuk)

Entamoeba histolytica: amubiasis (disentri)

Trichomonas vaginalis: trikomoniasis (vaginitis, keputihan)

Giardia lamblia: giardiasis/lambliasis (diare kronis)

Toxoplasma gondii: toksoplasmosis (tuan 

rumah: antara lain kucing, babi dan 

domba)

Pneumocystis carinii: pneumokistosis (radang paru)

Trypanosoma gambiense: tripanosomiasis 

(penyakit tidur; tuan rumah: lalat tsetse) 

Penyakit yang paling sering timbul adalah malaria, tetapi juga amubiasis, trikomoniasis dan giardiasis yang tersebar di seluruh dunia. Sejumlah infeksi meluas insidensinya pada pasien AIDS, misalnya toksoplasmosis dan pneumokistosis. Yang akan 

dibahas yaitu  hanya obat-obat anti protozoa terhadap penyakit infeksi yang banyak 

ada  di negara kita , yakni dalam Bab 11, 

Obat malaria dan di Bab 12, Obat amubiasis 

dan trikomoniasis.

Sejarah malaria

Istilah malaria (berasal dari bahasa Italia:

mala = buruk, aria = udara) dahulu (1846) 

dipakai  untuk setiap bentuk gangguan 

kesehatan yang penyebabnya diperkirakan 

karena uap beracun yang datang dari rawarawa (lihat citation di atas). Charles Laveran, 

seorang dokter Prancis (1845-1922) pertama 

kali menemukan parasit plasmodium dalam 

darah seorang pasien malaria (1880) dan 

mengemukakan hipotesis bahwa malaria 

diakibatkan oleh parasit ini, tetapi tidak dapat 

menerangkan mekanisme infeksinya. Baru di 

tahun 1898 siklus hidup dari plasmodium 

dalam nyamuk diuraikan dengan lengkap 

oleh seorang zoolog Italia G. Battista Grassi 

(1854-1925), yang juga membuktikan bahwa 

hanya nyamuk sejenis Anopheles yang dapat mengalihkan parasit malaria kepada manusia. Seorang ahli bedah tentara Inggris 

Ronald Ross (1857-1932) yaitu  orang yang 

melakukan eksperimen dasar pertama untuk 

mengindentifikasi parasit malaria pada nyamuk.

Baru menjelang akhir abad ke-19 diketahui 

bahwa penyakit ini disebabkan oleh gigitan 

nyamuk Anopheles betina.

Malaria yaitu  penyakit infeksi dengan 

demam berkala yang disebabkan oleh parasit 

Plasmodium dan ditularkan oleh sejenis nya

muk tertentu (Anopheles). Berbeda dengan 

nyamuk biasa (Culex), nyamuk Anopheles 

khususnya menggigit pada malam hari 

dengan posisi yang khas, yakni bagian 

belakangnya mengarah ke atas dengan sudut 

48°, lihat gambar. 

Menurut catatan WHO (2010) sekitar 200 

juta orang menderita malaria dengan hampir 660.000 kematian dan 86% yaitu  balita. 

Penyakit ini terutama ada  di negaranegara beriklim panas dan lembap yang 

letaknya lebih rendah dari 2.200 m di atas 

permukaan laut; tempat ini yaitu  tempat ideal untuk berkembangbiaknya nyamuk 

Anopheles. Menurut laporan tahun 2006, 

sekitar 2 juta anak-anak di Afrika meninggal

dalam satu tahun akibat terserang malaria. 

Namun Amerika, Australia dan kebanyakan 

negara-negara di sekitar Laut Tengah (Mediterrania) dapat dikatakan telah bebas malaria. 

Di negara kita  (terutama Irian Jaya, Timor 

dan Flores), malaria yaitu  salah satu 

penyakit endemis penting. Di tahun 2004, 

wabah malaria menimbulkan ± 2000 kasus 

dan ± 33 kematian, terutama di propinsi Jawa 

Barat, KalSel dan Aceh Barat. Kemudian di 

tahun 2005, wabah ini menyerang Kalimantan 

Barat dan Maluku dengan menimbulkan ± 

1100 kasus dan hampir 50 kematian (data 

DepKes. R.I.). 

Pemerintah berusaha menurunkan insidensi penyakit ini dengan mengendalikan faktorfaktor risiko infeksi malaria antara lain pemberantasan terus-menerus terhadap nyamuk 

dan tempat pembenihannya (vector control), 

penyuluhan, deteksi dini dan pengobatan.

Dengan meningkatnya hubungan transportasi melalui udara, benih penyakit malaria 

juga dapat diimpor melalui nyamuk yang 

terinfeksi, sehingga disebut “malaria bandar 

udara” (airport malaria). Nyamuk “lokal” juga 

dapat ditulari oleh “pendatang“ dari luar 

negeri.

Jenis Malaria dan Gejalanya

Bagi manusia, malaria disebabkan oleh lima 

spesies Plasmodium yaitu P. falciparum, P. 

vivax, P. ovale, P. malariae dan P. knowlesi yang 

menimbulkan tiga jenis penyakit malaria, yaitu malaria tropikana, tersiana dan kwartana. 

P.knowlesi yang semula dikira hanya menginfeksi suku-suku monyet (macaca), sekarang 

ini yaitu  penyebab malaria yang 

kadang-kadang mematikan di wilayah Asia 

Tenggara, termasuk Malaysia, negara kita , 

Thailand dan Singapura (Cox-Singh et al., 

2008)23.

P. knowlesi sering kali dikelirukan dengan P. 

malariae dengan perbedaan siklus eritrosit 

yang lebih singkat (24 jam) dibanding dengan 72 jam pada P. malariae. Kedua jenis ini 

peka terhadap klorokuin, walaupun tetap 

fatal pada penderita malaria jenis P. knowlesi

yang sudah parah. 

Sama seperti asal mula penyakit Sindroma Cacat Kekebalan (AIDS), malaria diperkirakan berasal dari penyakit malaria hewan 

di Afrika Tengah yang kemudian tersebar 

ke seluruh dunia oleh a.l. migrasi penduduk dan nyamuk yang terinfeksi (lihat di 

atas), transfusi darah yang tercemar, kadangkadang oleh alat suntik (pengguna narkoba) 

dan peralatan rumah sakit yang tercemar. 

Walaupun telah diusahakan berbagai cara 

untuk memberantas penyakit ini mis. dengan vaksin anti malaria yang sampai kini 

belum berhasil, setiap tahun ± 300 juta orang 

terinfeksi dan 1-3 juta orang meninggal. 

Kurang lebih 40% umat manusia menghadapi risiko terinfeksi. Derajat mortalitasnya tinggi terutama pada bayi dan anak-anak.

Suatu berita menarik telah disiarkan dalam 

majalah kedokteran The New England journal 

of Medecin dalam tahun 2011 mengenai hasil 

pendahuluan Phase III clinical trial dari suatu 

vaksin malaria baru, RTS, S (Mosquirix) bagi 

anak-anak di Afrika.

a. Malaria tropika. Plasmodium falciparum

yaitu  penyebab jenis malaria yang 

paling ganas dan berbahaya dengan 

mortalitas terbesar. Bila tidak diobati, 

penyakit ini dapat menyebabkan kematian hanya dalam beberapa hari akibat 

adanya relatif banyak eritrosit yang 

rusak (sampai 50%!) menyumbat kapiler 

otak. Terutama pada anak-anak timbul 

koma dan kematian hanya dalam waktu beberapa jam. Gejalanya yaitu  berkurangnya kesadaran dan serangan demam yang tidak menentu, adakalanya 

terus-menerus (suhu rektal di atas 48°C), 

dapat pula berkala tiga hari sekali. Tidak 

menimbulkan residif (kambuh) seperti 

jenis malaria lainnya. 

Sering kali ditandai dengan pembesaran 

hati dan ada nya penyakit kuning 

(icterus) dan urin yang berwarna cokelat 

tua/hitam akibat hemolisis (‘black-water 

fever’). Gejala lainnya yaitu  demam 

tinggi yang timbul mendadak, hemoglobinuria, hiperbilirubinemia, muntah dan 

gagal ginjal akut.

Malaria otak yaitu  komplikasi 

malaria tropikana yang gawat sekali dengan ciri cepat hilang kesadaran, timbul 

kejang-kejang, koma dan kematian. Sebagian orang memiliki kecenderungan 

genetik mendapat malaria otak sesudah  

terinfeksi oleh P. falciparum.

b. Malaria tersiana disebabkan oleh Plasmodium vivax atau P. ovale. Ciri-cirinya 

demam berkala tiga hari sekali dengan 

puncak sesudah  setiap 48 jam. Gejala lainnya berupa nyeri kepala dan punggung, 

mual, pembesaran limpa dan malaise 

umum. Tidak bersifat mematikan, meskipun tidak diobati. Sering kali kambuh 

kembali berhubung adanya bentuk-EE 

sekunder.

c. Malaria kwartana. Pada penyakit ini 

Plasmodium malariae mengakibatkan demam berkala empat hari sekali, dengan 

puncak demam setiap 72 jam. Gejalanya 

sama dengan tertiana. Residif juga sering 

terjadi karena bentuk-eksoeritrositer (EE) 

sekunder.

Masa Inkubasi dan gejalanya.

Masa inkubasi P. falciparum yaitu  7-12 hari, 

P. ovale/vivax 10-14 hari dan P. malariae 4-6 

minggu. Periode prodromal 3-5 hari dengan 

tanda-tanda penyakit tidak khas, seperti 

nyeri kepala dan otot, mual, anoreksia, rasa 

letih dan nyeri. Kemudian timbul serangan 

demam yang khas, seperti menggigil dan 

merasa sangat dingin, disusul oleh perasaan 

panas dengan demam tinggi, yang disertai 

banyak keringat. Gejala penting lainnya 

yaitu  membesarnya limpa dan anemia yang 

diakibatkan oleh: hemolisis semua sel (sel 

sehat dan terinfeksi) yang menyebabkan 

urin berwarna hitam (blackwater fever). Juga 

ada  defisiensi asam folat dan gangguan 

pembentukan sel darah merah. 

Serangan panas dingin terdiri atas tiga fase:

1. Fase dingin berlangsung dari 30 menit 

sampai 1 jam karena timbulnya penyempitan pembuluh darah (vasokontriksi). 

Penderita menggigil karena merasa kedinginan dan suhu badan meningkat dengan cepat sampai 41° C.

2. Fase panas segera menyusul fase dingin 

pada saat tubuh terasa sangat panas selama kira-kira 2 - 6 jam. Pada fase ini 

penderita kadang-kadang mengigau (delirium). Kemudian fase ini disusul oleh 

fase berkeringat.

3. Fase berkeringat: penderita merasa sangat 

letih dan mengantuk.

Siklus Hidup Parasit

Pada garis besar semua jenis Plasmodium memiliki siklus hidup rumit yang sama, yaitu 

sebagian di dalam tubuh manusia (siklus 

aseksual) dan sebagian di tubuh Anopheles 

(siklus seksual).

Di dalam tubuh manusia Plasmodium 

pertama-tama berkembang di dalam sel-sel 

hati (hepatosit), kemudian di sel-sel darah 

merah (eritrosit). Di samping itu Plasmodium 

vivax dan Plasmodium ovale juga berkembang 

menjadi hipnozoit di dalam sel hati, yaitu fase 

tidur dari sporozoit

1. Siklus aseksual dapat dipecah dalam dua 

bagian, yaitu:

a. Siklus hati. Penularan terjadi bila nyamuk betina yang terinfeksi parasit, menggigit manusia dan dengan ludahnya 

“menyuntikkan” sporozoit ke dalam peredaran darah yang untuk selanjutnya 

tinggal di sel parenkim hati (bentuk preeritrositer). 

Nyamuk jantan tidak menyengat karena hanya hidup dari tumbuh-tumbuhan. Parasit tumbuh dan aktif membelah 

(proses schizogoni, dengan menghasilkan schizont). 6-9 hari kemudian, schizont menjadi masak dan melepaskan 

diri berupa beribu-ribu merozoit. Fase 

pertama ini (di dalam hati) disebut bentuk-EE primer (ekso-eritrositer = di luar 

eritrosit). 

b. Siklus darah (siklus eritrosit). Dari hati 

sebagian merozoit memasuki sel darah 

merah dan berkembang di sini menjadi 

trofozoit. Sebagian lainnya memasuki 

jaringan lain, antara lain limpa atau 

berdiam di hati dan disebut bentukEE sekunder. Di dalam eritrosit terjadi 

pembelahan aseksual pula (schizogoni). 

Dalam waktu 48 - 72 jam sel-sel darah 

merah pecah dan ribuan merozoit yang dilepaskan dapat memasuki eritrosit lain 

dan kemudian siklus dimulai kembali. 

Setiap saat sel darah merah pecah, penderita merasa kedinginan dan demam; 

hal ini disebabkan oleh merozoit dan 

protein asing yang dilepaskan. Kejadian 

ini terjadi setiap 48 jam pada infeksi oleh 

P. falciparum, 48-72 jam pada infeksi P. 

vivax/ovale dan kira-kira 72 jam pada P. 

malariae. Kemampuan P. falciparum untuk menembus semua eritrosit sekaligus 

membuatnya begitu “ganas“ dan berbahaya.

2. Siklus seksual. sesudah  beberapa siklus, 

sebagian merozoit di dalam eritrosit dapat 

berubah menjadi bentuk seksual betina dan 

jantan. Gametosit ini tidak berkembang 

lagi dan akan mati bila tidak “diisap” oleh 

Anopheles betina. Di dalam lambung nyamuk 

terjadi penggabungan (pembuahan) dari gametosit jantan dan betina menjadi zygote, yang kemudian memenetrasi dinding lambung dan berkembang menjadi ookista.

Dalam waktu tiga minggu, lahirlah banyak 

sporozoit kecil yang memasuki kelenjar ludah nyamuk. Akhirnya, bila nyamuk (betina) ini menyengat manusia, lengkaplah siklus-hidup parasit. Dengan ini jelaslah bahwa 

gametosit yaitu  sumber penularan baru!

Diagnosis

Plasmodium dapat dideteksi dan diidentifikasi secara mikroskopis dalam preparat 

darah tebal yang diwarnai menurut Giemsa atau Wright. Ciri lainnya yaitu  adanya 

monosit yang berisi pigmen. Petunjuk penting, terutama untuk malaria kronis, berupa 

munculnya antibodi spesifik. Kini sedang 

dikembangkan tes ELISA untuk mendeteksi 

antigen dan metode untuk menemukan DNA 

parasit.

Pasien baru dapat dinyatakan bebas malaria bila 2 - 3 preparat darah yang diambil 

tiap hari selama 3 - 4 hari memberikan hasil 

negatif pada tes pewarnaan.

Residivitas

Seorang penderita yang telah diobati dan 

tampaknya sembuh total bisa kambuh kembali penyakitnya beberapa bulan sampai 

beberapa tahun kemudian. Penyebabnya ialah bentuk-EE sekunder dari P. vivax dan P. 

ovale yang masih berada di dalam hati, limpa 

atau organ lain tanpa menimbulkan gejala 

nyata, juga bila semua bentuk EE sudah dimusnahkan.

Hipnozoit P. vivax dan P. ovale yang “tidur” bisa aktif kembali bila daya tahan tubuh 

menurun atau bila pasien mengalami keletihan fisik sesudah  beberapa bulan bahkan 

beberapa tahun sesudah  tampaknya sembuh total. Mereka memperbanyak diri, membelah, kemudian memasuki eritrosit dan menimbulkan kambuhnya penyakit. 

Bentuk-EE sekunder hanya ada  pada 

malaria tertiana dan kwartana, tidak pada 

malaria tropika, sehingga pembasmian bentuk 

EE-nya berarti penyembuhan tuntas. Sebaliknya, semua sporozoit P. falciparum dalam sel 

hati berkembang sekaligus menjadi merozoit, 

sedangkan pada Plasmodia lainnya sebagian 

dari sporozoit tertinggal dalam sel parenkim 

hati. Kebanyakan obat malaria tidak dapat 

mencapai sporozoit dan menjadi penyebab 

timbulnya residif.

Imunitas

Di negara-negara tropik, di mana malaria 

endemik seperti di negara kita , rakyat semenjak lahir sudah mengalami infeksi dengan 

parasit malaria dan karena itu orang Indonesia memiliki derajat imunitas yang agak 

tinggi. sesudah  terjadi infeksi berulang, antara tubuh dan parasit terjadilah suatu keseimbangan, sehingga serangan demam menjadi lebih ringan dan kurang nyata. Imunitas 

ini akan pudar sesudah  beberapa tahun bila 

tidak terjadi infeksi ulang. 

Secara skematis siklus hidup Plasmodium 

dapat digambarkan sebagai berikut, lihat 

Gambar 11-3.

Tindakan Pencegahan Umum

Tindakan pencegahan umum perlu diusahakan untuk menghindari kontak antara 

manusia dan vektor (nyamuk Anopheles) 

dengan cara membasmi nyamuk dan larvalarvanya. Begitu pula menghilangkan penyebaran infeksi oleh manusia dengan pengobatan semua jenis demam di daerah malaria 

dengan obat anti malaria. 

Janganlah mengabaikan cara-cara sederhana dan murah untuk menghindari penyakit 

ini, a.l. menghindari gigitan nyamuk pada 

waktu pagi dan magrib, terutama di daerah 

yang endemik. Juga sangat efektif yaitu  

pemakaian  obat penangkal serangga (mosquito repellent) seperti minyak sereh, DEET 

(30% diethyltoluamide) dan dibutilftalat.

Tidur di bawah kelambu yang telah diimpregnasi dengan insektisida permethrin19

sangat dianjurkan.

Ikan Lele (Clarias fuscus) sering pula dipelihara di kolam-kolam atau tempat-­tempat 

air yang tergenang untuk menghindari 

tumbuhnya jentik-jentik/larva nyamuk.

 Walaupun kemoprofilaksis telah diberikan (lih. di bawah) penyakit malaria tetap 

timbul. Hal ini dapat disebabkan oleh a.l

– cara profilaksis yang tidak tepat;

– tidak patuhnya minum obat (non-compliance);

– jenis profilaktik yang dipakai  tidak 

tepat.

Obat Malaria

Sejarah. Obat tertua untuk mengobati demam 

malaria yaitu  kulit pohon kina dan alkaloid 

yang dikandungnya (kinin, 1820). Baru pada tahun 1932 ditemukan obat yang sama 

khasiatnya, yaitu mepakrin, yang terutama 

banyak dipakai  selama perang dunia ke-II 

sewaktu tentara Sekutu tidak menerima kinin 

lagi dari negara kita . 

Pada tahun 1944, klorokuin yang lebih 

ringan efek sampingnya, menggantikan mepakrin yang agak toksik, juga lebih cepat efek 

kuratifnya. Pada tahun 1946 diintroduksi 

proguanil sebagai obat yang tidak hanya 

aktif terhadap bentuk darah (trofozoit) sebagaimana ketiga obat terdahulu, tetapi juga 

terhadap bentuk hati, khususnya bentuk EE 

primer dari P. falciparum. Primakuin (1948)

terutama berkhasiat kuat terhadap bentuk EE

dari P. vivax/ ovale. 

Dengan demikian proguanil dan primakuin sangat ampuh sebagai obat pencegah

malaria. Kemudian dipasarkan pula derivat 

klorokuin yaitu amodiakuin (1950), pirimetamin (1952) dan meflokuin (1981). Pada 

tahun 1990, WHO telah mengeluarkan amodiakuin dari program terapi malaria, karena 

dilaporkan timbulnya efek samping serius 

pada pemakaian nya sebagai profilaksis.

Artemeter (1991) yaitu  suatu derivat 

semisintetik dari artemisinin, yang ada  

dalam tumbuhan China qinghaosu (pelafalan: 

cinghausu, nama Latin Artemisia annua). 

Obat tradisional ini sudah sejak tahun 

1970-an banyak dipakai  dengan sukses 

di China Selatan (Hainan) dan Thailand 

terhadap P. falciparum (malaria otak) yang 

multiresisten. Efeknya lebih cepat daripada 

kinin dan obat-obat lain dengan efek samping lebih ringan.

Pyronaridin yaitu  obat eksperimen 

ter-baru yang sangat efektif terhadap P. 

falci-parum multiresisten. Derivat akridin 

ini berasal dari China dan telah dibuktikan 

efektivitasnya pada malaria, begitu pula 

di Kamerun. Harganya juga murah hingga 

layak dipakai  di negara-negara miskin, 

walaupun lebih sering menimbulkan gangguan lambung.

Catatan. Obat-obat anti malaria seperti 

klorokuin, kuinakrin dan terutama hidroksiklorokuin (2x sehari 200 mg) juga digunakan pada penyakit kulit, a.l. terhadap lupus 

eritematosus (LaDuca and Gaspari, 2008)22. 

Mekanisme kerja anti inflamasinya belum 

jelas.

Mekanisme Kerja

Klorokuin mencegah ‘dimakannya’ hemoglobin (zat warna darah merah) oleh parasit, 

sehingga timbul kekurangan asam amino 

esensial untuk sintesis DNA-nya. Meflokuin

diperkirakan memiliki mekanisme kerja 

yang sama dengan klorokuin. Kinin dan 

artemeter menghambat sintesis protein dengan membentuk kompleks dengan DNA 

parasit, di samping memblokir banyak sistem 

enzimnya.

Proguanil dan pirimethamin yaitu  antagonis folat yang memblokir enzim yang mengubah asam folat menjadi asam folinat, sehingga sintesis DNA/RNA terganggu (lihat 

Bab 8, Sulfonamida, Kombinasi). 

Trimetoprim yaitu  derivat pirimethamin 

yang berkhasiat lebih kuat terhadap enzim 

bakteri daripada terhadap enzim Plasmodium. 

Karena itu senyawa ini tidak dipakai  

pada pengobatan malaria, tetapi sebagai obat 

anti bakteri (kotrimoksazol = trimetoprim + 

sulfisoksazol).

Primakuin juga dapat mengikat DNA 

dan diduga dalam tubuh nyamuk zat ini 

dirombak menjadi metabolit yang bersifat 

oksidan dan lebih aktif terhadap parasit.

Penggolongan

berdasar  titik kerjanya dalam tubuh (eritrosit atau hati), obat malaria dapat dikelompokkan sebagai berikut, 

a. Obat skizontisid darah: kinin, klorokuin, 

meflokuin, pirimetamin + sulfadoksin, atovaquon + proguanil dan artemeter. Berkhasiat 

mematikan bentuk darah (skizon) dan 

dipakai  pada serangan demam, juga 

untuk pencegahan. Senyawa ini tidak 

menghalangi infeksi eritrosit, tetapi menekan timbulnya gejala klinis (profilaksis 

supresif). 

b. Obat skizontisid hati: proguanil, primakuin

dan doksisiklin. Khusus dipakai  sebagai 

profilaksis kausal, karena memusnahkan 

bentuk EE (merozoit dan hipnozoit) dalam sel parenchym hati. Obat ini menghindari penembusan eritrosit dan demikian menghalangi serangan. 

Penggolongan lain bertolak dari titik-kerja 

obat pada siklus hidup parasit serta tujuan 

terapi yang dikehendaki dan terdiri dari 4 

kelompok berikut:

a. Obat pencegah = profilaktika kausal: 

proguanil dan pirimethamin. Berkhasiat 

terhadap bentuk-EE primer dalam hati 

dari P. falciparum dan P. vivax sedangkan 

P. malariae hanya peka untuk sebagian. 

Primakuin juga aktif terhadap bentuk ini 

tetapi terlalu toksik untuk dipakai 

dalam jangka waktu lama sebagai obat 

pencegah. 

b. Obat penyembuh/pencegah demam = 

kurativa/supressiva

Berkhasiat terhadap siklus darah, mematikan trofozoit serta skizon (skizontisid) 

sehingga menghentikan atau mencegah 

gejala klinis. Kinin bekerja lambat, artemeter dan klorokuin cepat dan kuat, 

maka banyak dipakai  sebagai obat 

pencegah. Tetapi berhubung meningkatnya resistensi untuk klorokuin, obat ini 

telah terdesak oleh meflokuin, yang 

di A.S. dianggap sebagai obat malaria 

paling unggul dan aman. Lagipula 

meflokuin ampuh terhadap M. tropica 

tanpa komplikasi dan jenis baru M. 

knowlesi. Namun pada tahun-tahun 

terakhir dilaporkan efek samping seperti 

depresi, sukar tidur, mimpi buruk 

dan hilangnya konsentrasi. Selain itu 

wanita hamil tidak boleh meminumnya 

selama triwulan pertama. Inilah sebabnya mengapa meflokuin mulai terdesak 

oleh kombinasi dari obat baru atovakuon 

dengan proguanil (Malarone) yang di 

negeri Belanda yaitu  obat profilaksis yang paling banyak dipakai  dengan 

efektivitas ± 84%.

Proguanil dan pirimetamin juga sangat 

aktif, tetapi jauh lebih lambat kerjanya 

dan lebih sering menimbulkan resistensi. 

Obat-obat ini tidak menyembuhkan 

secara radikal karena masih ada  

bentuk-EE sekunder (hipnozoit) yang 

tidak peka terhadap obat ini. Pada malaria 

tropikana tidak ada  bentuk ini dan 

penyembuhan radikal dapat dicapai bila 

dilanjutkan pemakaian nya selama 4 - 6 

minggu sesudah  meninggalkan daerah 

malaria. Dengan demikian bentuk hati 

yang masa hidupnya singkat tidak dapat 

berkembang lagi dan akan mati dengan 

sendirinya.

c. Obat pencegah kambuh = penyembuh 

radikal: primakuin. Obat ini mematikan 

bentuk-EE sekunder dari malaria tertiana 

dan kwartana. Primakuin yaitu  satusatunya obat yang sangat efektif untuk 

terapi jangka pendek. Tetapi untuk rakyat 

setempat tidak cocok karena kemungkinan besar akan reinfeksi.

d. Obat gametosid = pencegah tersebarnya 

penyakit: mematikan gametosit dalam 

darah penderita yang menjadi penyebab 

penularan dari manusia ke nyamuk. Oleh 

karena itu obat-obat ini menghindari 

penyebaran parasit sesudah  semua bentuk 

lainnya dimusnahkan.

Primakuin dalam dosis kecil efektif dalam 3 hari, proguanil dan pirimethamin

tidak mematikan gametosit, tetapi merintangi perkembangannya di tubuh nyamuk. Klorokuin bekerja gametosid terhadap P. vivax, P. ovale dan P. malariae, tetapi 

tidak terhadap P. falciparum. Kinin aktif 

terhadap game-tosit P.vivax dan P. malariae.

Kemoprofilaksis

Dengan semakin meningkatnya kepariwisataan internasional dan perjalanan ke luar 

negeri, semakin bertambah pula pentingnya 

profilaksis malaria, terutama bagi mereka 

yang belum pernah menderita infeksi Plasmodium. 

pemakaian  obat-obat anti malaria untuk 

terapi atau pencegahan ditentukan oleh farmakokinetika dan keamanan dari senyawasenyawa tersebut. Misalnya kinin dan primakuin yang cukup toksik dan memiliki 

masa paruh relatif singkat khusus dipakai  

sesudah terjadinya infeksi malaria dan tidak 

dipakai  sebagai pencegahan kimiawi bagi 

orang sehat yang sedang melawat. Sebaliknya 

klorokuin yang memiliki masa paruh panjang 

dan kurang toksik, dapat dipakai  sebagai 

pencegahan malaria di mana parasitnya 

masih peka terhadap klorokuin

Untuk menentukan pilihan obat mana 

yang harus dipakai , masalah resistensi merupakan faktor penting (lihat di bawah

Resistensi). Juga perlu diketahui bahwa pola 

resistensi suatu daerah dapat berubah.

Profilaktika seperti klorokuin, meflokuin 

dan doksisiklin bekerja terhadap siklus darah dan tidak dapat menghindari serangan 

kambuhan, sedangkan atovaquone proguanil (Malarone) dan primakuin bekerja ter

hadap siklus hati dan dapat menghindari 

kambuhnya penyakit.

Profilaksis dapat dilakukan dengan empat 

jenis obat, tergantung dari tujuan perjalanan, 

yaitu:

a. Proguanil (2x sehari 100 mg sesudah 

makan) untuk daerah dengan hanya P. 

vivax dan/atau tanpa resistensi terhadap P. falciparum, berhubung ada nya 

lebih sedikit laporan mengenai resistensi 

dibandingkan dengan pirimetamin.

b. Klorokuin (1x seminggu 300 mg basa 

sesudah makan.) untuk daerah dengan 

terutama resistensi terhadap proguanil. 

Klorokuin dimulai dengan dosis awal 300 

mg/hari pada 2 hari pertama. Atau, juga 

kombinasi klorokuin dan proguanil. 

c. Meflokuin (1x seminggu 250 mg sesudah 

makan.) untuk daerah di mana P. falciparum resisten terhadap proguanil dan klorokuin (misalnya Irian Jaya, Afrika di Selatan Sahara dan daerah Amazon). Meflokuin sebagai obat pencegah harus mulai 

diminum 3 minggu sebelum tiba di daerah 

rawan malaria dan dilanjutkan sampai 4 

minggu sesudah  pulang ke rumah.

d. Pirimetamin juga efektif sebagai obat 

pencegah, tetapi karena meluasnya resistensi dan kurang aktif terhadap P. vivax, 

maka sekarang tidak dianjurkan lagi sebagai obat pencegahan. Begitu pula 

kombinasinya dengan sulfadoksin (*Fansidar)

yang dipakai  sebagai obat penyembuh. 

Di Australia masih dianjurkan sediaan 

kombinasi *Maloprim(= pirimetamin 12,5 + 

dapson 100 mg) 1x seminggu dan dimulai 

sebelum keberangkatan ke pulau-pulau 

Pasifik Barat dan Papua N-Guinea.

Minum obat pencegahan harus dimulai sehari 

sebelum (untuk mencapai kadar terapeutik 

dari darah) atau selambat-lambatnya pada 

hari keberangkatan ke daerah yang rawan 

malaria dan dilanjutkan selama minimal 4 

minggu sesudah  meninggalkan daerah tersebut.

Malaria tropika dapat timbul sampai beberapa bulan sesudah  kembali, malaria tersiana 

bahkan sampai beberapa tahun kemudian!

Vaksinasi. Sejak beberapa dasawarsa telah 

diupayakan pembuatan vaksin terhadap 

khusus P. falciparum. Vaksin itu dapat diarahkan terhadap berbagai stadia dari siklus 

hidup parasit. Sayang sekali usaha penelitian 

untuk menghasilkan vaksin yang efektif 

hingga kini belum terwujud. 

Suatu vaksin eksperimentil berdasar  

antigen-sporozoit menghasilkan imunitas selama 3 minggu dan akan diselidiki lebih 

lanjut. Lihat selanjutnya Bab 50, Sera dan

vaksin, Perkembangan baru. Mengingat 

adanya lebih dari 1 juta pengidap malaria 

yang meninggal setiap tahun di Afrika, maka 

kampanye vaksinasi akan terus dilangsungkan. 

Pengobatan

Pada umumnya penderita diberi analgetika 

dan antipiretika, seperti asetosal dan parasetamol. Untuk menanggulangi dehidrasi dan 

shock dapat diberikan cairan dalam bentuk 

infus atau per oral (ORS). Sesuai dengan 

tujuan terapi yang ingin dicapai, maka dapat 

dipilih obat dari empat kelompok di atas 

(a,b,c atau d). Harus diperhatikan juga bahwa orang asing, yang belum pernah mengalami infeksi parasit malaria, membutuhkan jenis atau lama terapi yang berlainan dari 

pada rakyat setempat, yang umumnya sudah 

memiliki imunitas minimal (sudah menjadi 

semi-imun).

Terapi tergantung pada keadaan, yaitu pada 

serangan akut dari berbagai bentuk malaria, 

sebagai berikut, 

• Malaria tersiana/kwartana biasanya ditanggulangi dengan klorokuin yang 

kerjanya cepat selama 2-4 hari. P. vivax

yang resisten terhadap klorokuin perlu 

ditangani dengan meflokuin dosis tunggal 

500 mg sesudah makan (atau kinin

maksimal 3 x sehari 600 mg selama 4-7 

hari). Terapi harus selalu dilanjutkan 

dengan primakuin (15 mg/hari selama 

14 hari) untuk mematikan bentuk EE 

(hipnozoit dalam hati) dan menghindari 

kambuhnya penyakit. Bila ada  mual 

dan muntah perlu diberikan kinin secara

intravena.

• Malaria tropika tak-parah ditangani dengan klorokuin, bila infeksi terjadi di 

Amerika Tengah, Afrika Utara dan Asia 

Kecil (Asia Minor). Di negara-negara 

lain di mana ada  multiresistensi, a.l. 

untuk klorokuin, perlu diberikan obat lain, 

yakni kinin + doksisiklin (hari pertama 

200 mg, lalu 1 x sehari 100 mg selama 6 

hari) atau meflokuin (2 dosis dari masingmasing 15 dan 10 mg/kg dengan interval 

4-6 jam). Kemungkinan lain yaitu  halofantrin (hanya bila ECG normal), 1 

hari 3 dd 500 mg a.c., diulang sesudah  

1 minggu Begitu pula pirimethaminsulfadoksin (dosis tunggal dari 3 tablet), 

yang biasanya dikombinasi dengan kinin (3 x sehari 600 mg selama 3 hari, 

tidak untuk Asia Tenggara dan daerah 

Amazon). 

• Malaria tropika parah (atau berkomplikasi) 

harus dimulai dengan kinin parenteral, 

kemudian disusul dengan pemberian oral 

seperti di atas. 

Stadium EE tidak ada  pada malaria 

tropika, oleh karena itu terapi menghasilkan 

penyembuhan tuntas dan tidak perlu dilanjutkan dengan primakuin.

Kehamilan dan laktasi

Klorokuin dan proguanil boleh dipakai ; klorokuin yaitu  pilihan pertama terhadap 

serangan dan profilaksis, juga selama laktasi. 

Pada malaria tropika yang resisten terhadap 

klorokuin dapat dipakai  kinin (hanya pada 

dosis tinggi sekali kinin bekerja teratogen 

dan dapat menyebabkan keguguran). Meflokuin dan sediaan kombinasi pirimethamin 

+ sulfadoksin tidak dapat diberikan selama 

triwulan pertama, pada triwulan kedua dan 

ketiga (sampai minggu ke-34) umumnya 

dianggap aman. Primakuin dan doksisiklin tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan 

selama laktasi. Mengenai artemeter belum 

ada  cukup data, tetapi pada kasus 

darurat (multiresistensi) mungkin aman pada triwulan ke-2 dan ke-3. Untuk triwulan 

pertama lebih banyak dipakai  kinin.

Resistensi

Resistensi untuk obat malaria yaitu  

masalah penting sekali bagi terutama P. falciparum karena yaitu  penyebab utama 

dari kematian. Kemoprofilaksis terhadap 

P. falciparum terutama di Asia Tenggara 

semakin sedikit karena resistensinya yang 

progresif. 

Malaria tersiana dan kwartana tidak sering 

menimbulkan resistensi, baru pada tahuntahun terakhir dilaporkan resistensi untuk

klorokuin di Irian Jaya, Papua New Guinea 

dan kepulauan Salomon. 

Resistensi untuk P.falciparum

Kinin tidak atau jarang sekali menimbulkan 

resistensi. Pada permulaan tahun 1960-an, 

di Kolombia dan Thailand terjadi resistensi 

dari spesies falciparum untuk (hidroksi)

klorokuin, sehingga jenis malaria ini bisa 

menjalar dengan pesat ke daerah Amazon 

dan Asia Tenggara. Sejak tahun 1979 juga 

mulai ditemukan di Afrika Timur (Kenya, 

Tanzania) dan menyebar ke seluruh benua 

Afrika. Pada tahun 1983 resistensi untuk meflokuin ditemukanhanya di Thailand. 

Halofantrin jarang sekali menimbulkan resistensi, dengan meflokuin ada  resisensi 

silang. Suku-suku resisten tersebut ternyata 

resisten pula untuk primakuin dan proguanil 

(multiresistensi). Pirimethamin tunggal dengan cepat dapat menimbulkan resistensi, 

sehingga untuk menghindarkan atau memperlambatnya dipakai  kombinasi dengan 

sulfadoksin (*Fansidar = 25 + 500 mg). Resistensi P. falciparum terhadap *Fansidar ada  

sejak 1982 di Kampuchea dan Afrika Timur, 

tetapi tidak begitu banyak kasusnya.

Multiresistensi. Dalam kasus multiresistensi demikian biasanya diberikan kinin, 

yang sebaiknya dikombinasi dengan tetrasiklin/doksisiklin yang bekerja sinergis.

Masalah resistensi tidak jarang timbul setelah pelaksanaan program pemberantasan 

malaria besar-besaran, kemungkinan disebabkan oleh dosis yang kurang tepat atau 

kurang disiplinnya pasien minum obat. 

Multidrug therapy. pemakaian  kombinasi 

dari beberapa jenis obat pada umumnya semakin banyak dilakukan, karena sering kali 

lebih efektif dan dapat menghindari timbulnya resistensi.

Dewasa ini tidak ada satu obat pun terhadap mana parasit malaria tidak resisten. Oleh 

karena itu penting sekali telah ditemukannya 

suatu kelompok obat baru terhadap malaria, 

yaitu senyawa imidazopyrazine (2013). Senyawa ini bekerja terhadap tiap fase dari perkembangan parasit malaria dan oleh karena 

itu tidak saja preventif terhadap malaria, tetapi 

juga untuk penanganan dan menghalangi 

transmisi dari orang ke nyamuk. Mekanisme 

kerjanya berdasar  perintangan enzim fosfatidylinositol-4-OH-kinase (PI(4)K) yang bertanggung jawab untuk perkembangan dari 

parasit bersel tunggal ini

MONOGRAFI

1. Kinin (F.I.)

Kinin yaitu  alkaloid utama dari kulit 

pohon kina (Cinchona rubra) yang berasal 

dari Amerika Selatan dan dimasukkan ke 

negara kita  di zaman kolonial. Dari kurang 

lebih 20 alkaloid lainnya hanya isomer 

optiknya, yaitu kinidin, yang dipakai  

dalam terapi sebagai obat pereda jantung. 

Sintesis kinin secara kimiawi sudah diketahui, 

namun dalam praktik tidak dilaksanakan 

karena jauh lebih mahal. 

Kinin memiliki banyak kegunaan, yaitu:

a. Anti plasmodium. Kinin bekerja sebagai 

skizontisid darah yang kuat dan dapat 

mematikan trofozoit dalam eritrosit. Zat 

ini juga aktif terhadap gametosit P. vivax 

dan P. malariae, tetapi tidak terhadap 

bentuk-EE sekunder. Oleh karena itu 

kinin dipakai  untuk menyembuhkan 

dan sebagai supresivum, terutama pada 

malaria tropika yang resisten untuk 

klorokuin (dan meflokuin). Kombinasinya dengan primakuin efektif untuk 

menyembuhkan secara radikal malaria 

tersiana dan kuartana yang sering sekali 

kambuh.

Pada serangan malaria tropika yang 

mengancam jiwa diberikan injeksi i.v. 

b. Kerja antipiretik dan analgetik lemah, 

khususnya pada nyeri otot dan persendian. Karena itu dahulu kinin meru

pakan komponen dari banyak obat paten 

influenza. Kini sudah dianggap kuno 

karena toksisitasnya.

c. Kerja oksitosik, yaitu kontraksi pada otot 

rahim wanita hamil, terkenal sebagai obat 

pengguguran.Tetapi efeknya sangat tidak 

dapat dipercaya, bahkan pada dosis tinggi 

bersifat mematikan. 

d. Spasmolitik, efektif untuk meredakan 

kejang malam di betis kaki (restless legs).

Resorpsi garam-garam kinin di usus (sebagai 

basa) baik dan cepat, PP-nya tinggi yaitu 

sebesar 70-90%, plasma-t½-nya 8-21 jam. Di 

dalam hati sebagian besar dirombak menjadi 

metabolit hidroksinya yang diekskresi melalui ginjal.

Efek samping pada dosis biasa yaitu  cinchonisme berupa nyeri kepala, pusing, gangguan pendengaran seperti berdengung (tinnitus), tremor, mual dan menggigil. Pada 

dosis tinggi atau pemakaian  lama dapat terjadi ketulian dan gangguan penglihatan, bahkan 

kebutaan. Jarang terjadi anemia hemolitik 

dan hepatitis.

Dosis: sebagai kurativum terhadap malaria 

yang resisten untuk klorokuin oral 3 x sehari 

600 mg garam bisulfat p.c. selama 5 hari 

(orang “luar” selama 7 hari). Disusul oleh 

primakuin 1 x seminggu 45 mg selama 6-8 

minggu. Pada malaria tropika akut oral 3 x 

sehari 650 mg selama 7 hari, bila ada  

resistensi bersama doksisiklin. Pada malaria 

tropika parah dimulai dengan injeksi i.v dari 

20 mg/kg berat badan garam kinin klorida. 

Pada restless legs 100-200 mg sebelum tidur.

Kadar kinin basa dalam garam-garamnya 

yaitu  sebagai berikut: 

K. bisulfat: 59% (daya larut 1:11), K. sulfat: 

83% (daya larut 1:600) dan K. klorida: 81,5% 

(daya larut 1:25).

2. Klorokuin (F.I.): Nivaquine, Resochin, Avloclor.

Senyawa 4-aminokinolin ini bekerja kuat 

dan cepat; berkhasiat skizontisid terhadap 

bentuk darah (trofozoit) dari semua jenis 

malaria. Zat ini juga berdaya gametosid terhadap P. vivax dan P. malariae. Tidak aktif terhadap bentuk-EE sekunder. Klorokuin merupakan obat pilihan pertama sebagai kurativum, karena dibandingkan dengan kinin 

lebih cepat kerjanya dengan jangka terapi 

lebih singkat, sedangkan efek sampingnya 

lebih ringan. Zat ini juga dipakai  sebagai 

profilaktik, sering kali bersama proguanil.

Selain itu, klorokuin juga berkhasiat anti 

ameba (amebisid) dan anti radang (anti flogistis). Oleh karena itu juga dipakai  pada 

infeksi ameba (amebiasis hati, lihat Bab 12, 

Obat amebiasis) dan dahulu sebagai obat 

rematik, lihat Bab 21, Analgetika anti radang/

rema.

Resorpsinya di usus cepat dan lengkap; distribusinya baik dengan afinitas kuat untuk 

jaringan, misalnya hati, limpa, paru-paru dan 

ginjal, pada mana kadarnya bisa tinggi sekali 

sampai ratusan kali dibandingkan dengan 

plasma. PP-nya ± 55%, biotransformasi berlangsung lambat. Ekskresinya melalui ginjal 

juga lambat sekali dan sebagian dikeluarkan 

dalam bentuk utuh. Ekskresi dapat dipercepat 

dengan mengasamkan kemih dengan amonium klorida atau vitamin C. Plasma-t½-nya 

sangat panjang, yaitu 3 sampai 6 hari, sehingga 

kerjanya disebut long-acting. 

Efek samping pada dosis biasa bersifat 

agak serius, tetapi tidak sering terjadi dan 

reversibel, yaitu gangguan saluran cerna, kejang-kejang, sakit kepala, gatal-gatal, gangguan penglihatan, perubahan mental dan 

kelainan darah (agranulositosis, anemia aplastis). Pada dosis tinggi (lebih dari 250 mg 

sehari) atau pemakaian  lama (di atas 1 

tahun), efek sampingnya lebih parah, yaitu 

rambut rontok, gangguan pendengaran (tuli) 

dan kerusakan mata (retinopati menetap!)20. 

Anak-anak sangat peka terhadap klorokuin; dosis tunggal melebihi 30 mg/kg berat badan 

dapat mengakibatkan keracunan fatal.

Dosis biasa: pada serangan akut oral permulaan 600 mg basa pada waktu makan, 6 

jam kemudian 300 mg, kemudian 1 x sehari 

300 mg selama 2 hari. Orang asing yang tidak 

semi- imun harus meneruskan kur 2 hari lagi. 

Bagi anak-anak dosis awal 5 mg/kg berat 

badan sehari. pemakaian  intravena hanya 

dilakukan pada keadaan parah, misalnya 

malaria otak, karena ada  bahaya hipotensi mendadak disertai kematian, terutama

pada anak-anak. Sebagai profilaktik (di atas 

usia 15 tahun): pada 2 hari pertama 1 x sehari 

300 mg (loading dose).

Sediaan. Resochin dan Avloclor: 250 mg 

klorokuin fosfat (= 150 mg basa); Nivaquin: 

100 mg basa.

* Hidroksiklorokuin (Plaquenil) yaitu  derivat hidroksi yang sama kuatnya, tetapi 

dengan efek samping lebih ringan. Dahulu 

lebih banyak dipakai  sebagai obat rematik 

(lihat Bab 21).

3. Meflokuin: Lariam.

Senyawa 4-aminokinolon sintetik ini (1981) 

berkhasiat skizontisid darah dari semua 

Plasmodia. Kadar dalam eritrosit 2-4 x lebih 

tinggi daripada dalam plasma. Tidak berdaya 

terhadap semua bentuk hati. Senyawa ini 

dipakai  terhadap malaria yang resisten 

terhadap klorokuin dan kinin, juga sebagai 

obat profilaktik. Karena efek preventif baru 

efektif sesudah  tercapai kadar stabil dalam darah, sesudah  rata-rata menelan 4 tablet, maka 

perlu dimulai 3 minggu sebelum keberangkatan ke daerah endemik malaria. 

Resorpsi lambat dan tidak menentu, ratarata 87%, PP-nya 98%, plasma-t½-nya ratarata 21 jam. Ekskresi terutama melalui empedu dan feses.

Efek samping pada dosis tinggi berupa gejala 

neuropsikis, seperti perasaan takut, gelisah, 

agitasi, depresi, mimpi buruk, sukar tidur 

dan sukar konsentrasi. Gejala ini terjadi lebih 

buruk pada 1:10.000 pasien. Gejala disertai 

pula pusing-pusing, gangguan lambung 

usus dan anoreksia. Wanita hamil tidak boleh 

minum obat ini 3 bulan sebelum hamil dan 

pada trimester pertama.

Dosis: pada serangan akut (di atas 15 kg 

berat badan) dosis tunggal dari 15 mg/kg, 

maksimal 1 g, bila perlu diulang sesudah  1 

minggu (saran WHO). Profilaksis: 3 minggu 

sebelum berangkat 1x seminggu 250 mg 

basa sebelum makan., kemudian 250 mg 

seminggu sampai 4 minggu sesudah  pulang. 

Alternatifnya yaitu  250 mg pada hari ke 1, 

2, 3 dan 8, lalu 1 tablet seminggu. Pada dosis 

ini risiko akan efek samping psikis menjadi 

lebih tinggi. 

4. Primakuin (F.I.)

Senyawa 8-aminokinolin (dengan -NH2

pada posisi-8, 1948) yaitu  obat satusatunya yang berkhasiat mematikan bentukEE sekunder dari P. vivax maupun P. ovale dan 

dapat menghasilkan penyembuhan radikal. 

Zat ini juga aktif terhadap bentuk-EE primer

dari terutama P. falciparum, tetapi kerjanya 

terlalu lambat sehingga sebaiknya tidak digunakan untuk terapi. Selain itu, bekerja

gametosid pada semua jenis Plasmodium, 

sehingga dapat mencegah penyebaran infeksi 

dari manusia ke nyamuk. Primakuin kurang 

efektif terhadap bentuk darah.

pemakaian nya hanya terbatas pada followup penanganan serangan akut dengan suatu 

skizontisida (kinin atau klorokuin), karena 

aktivitasnya terhadap siklus darah lemah 

sekali. Untuk pemakaian  lama sebagai pencegah kausal terlalu toksik.

Resorpsi di usus baik dan cepat, begitu pula 

metabolismenya dalam hati. Ekskresinya melalui ginjal dan sebagian besar berupa metabolit. Plasma-t½-nya 3-6 jam. Resistensi dari 

P. vivax sudah ada  di Asia Tenggara dan 

Afrika.

Efek samping pada dosis biasa agak ringan, 

sedangkan pada dosis lebih besar dapat 

menyebabkan gangguan saluran cerna, nyeri 

kepala, gangguan penglihatan dan gatal-gatal. Jarang sekali terjadi kerusakan sel-sel 

darah (hemolisis, leukemia, anemia).

Suatu enzim yang normal ada  dalam sel darah merah yaitu  glukosa-6-fosfat 

dehidrogenase (G6PD) yang berfungsi mengatur kadar glutation (GSH), suatu antioksidan