memberikan hasil positif.
Vaksinasi BCG memberikan perlindungan
yang cukup baik terhadap infeksi bentuk LM.
Dibuktikan pada penelitian besar-besaran di
Malawi pada tahun 1996. Banyak vaksin baru
terhadap lepra sedang diteliti.
PENGOBATAN
Sejak dulu obat satu-satunya terhadap kusta
yaitu minyak kaulmogra, yang sering
kali efektif untuk meredakan gejala tanpa
menyembuhkan penyakit. Penelitian akan
obat-obat yang lebih baik dan bekerja kausal
menemui banyak kesulitan, karena basil
lepra tidak dapat dikembangbiakkan in vitro
(obligat intraseluler). Baru pada tahun 1962
seorang peneliti berhasil membiakkan basil
lepra pada binatang percobaan (telapak
kaki tikus), kemudian pada binatang armadillo (1971). Di tahun 1975 ditemukan bahwa
Mycobacterium leprae dapat dibiakkan bila
pada biakan diberikan hyaluronic acid.
Dapson, suatu zat bakteriostatik, diperkenalkan pada tahun 1948. Penemuan ini
menimbulkan revolusi pada terapi lepra,
karena obat ini mampu menghentikan pertumbuhan basil lepra, yang kemudian, walaupun lama (tahunan sampai seumur hidup), dapat memusnahkannya melalui sistem imun tubuh pasien sendiri. Pasien dapat
diobati secara rawat jalan —artinya tidak
usah dirawat di rumah sakit— secara murah
dan efektif di rumahnya sendiri, tentu saja
tindakan untuk mencegah penularan pada
keluarganya harus tetap ditaati.
Pada tahun 1960-an M. leprae mulai memperlihatkan resistensi terhadap dapson, ketika itu obat satu-satunya terhadap lepra.
Kemudian ditemukan obat-obat lepra lain
dengan kerja bakterisid antara lain rifampisin (1965) dan klofazimin(1967). Meskipun
harga obat ini jauh lebih mahal daripada
dapson, namun penyembuhan berlangsung
lebih cepat dan efektif. Tetapi dapson dan
rifampisin dapat cepat menimbulkan resistensi. Untuk mengurangi risiko resistensi
obat-obat tersebut dan mempersingkat jangka
waktu pengobatan, kini tidak dipergunakan
lagi sebagai monoterapi, tetapi dalam bentuk
kombinasi 3 obat (multidrug therapy).
Multidrug therapy (MDT) yang dianjurkan
WHO sebagai terapi pilihan pertama pada
bentuk-bentuk lepra, yaitu :
* lepra paucibacillair: dapson 100 mg 1x
sehari dan rifampin 600 mg 1x sebulan
selama 6 bulan;
* lepra multibacillair: dapson 100 mg 1x
sehari, rifampisin 600 mg 1x sebulan dan
klofazimin 50 mg 1x sehari + 300 mg
1x sebulan selama minimal 2 tahun (dan
maksimal 3 tahun).
Sampai sekarang belum ada resistensi
terhadap MDT.
Lama pengobatan. MDT menyembuhkan
gejala kulit dan luka dalam beberapa bulan,
tetapi kuman masih tetap berada dalam
selaput lendir, kulit dan saraf. Oleh karena itu
terapi harus dilanjutkan lama sekali sampai
kuman lenyap seluruhnya dari jaringan, yaitu
6 bulan untuk LP dan 2-3 tahun untuk LM.
WHO menganggap penderita yang telah
menyelesaikan kur dan tidak usah minum
obat lagi sebagai «sembuh». Akan tetapi pasien demikian perlu dipantau selama 8-10
tahun untuk mewaspadai timbulnya residif.
Wanita hamil dan laktasi. Keamanan penggunaan dapson dan klofazimin pada wanita
hamil belum diketahui dengan jelas karena
belum ada cukup data mengenai keamanannya bagi janin. Berhubung risiko
akan eksaserbasi selama hamil, maka WHO
menganjurkan agar jangan menghentikan
pengobatan, juga selama hamil. Obat-obat
ini dikeluarkan melalui air susu ibu, maka
selama terapi tidak dianjurkan menyusui
bayi. Rifampisin dapat menimbulkan perdarahan pada ibu dan anak bila dipakai
selama minggu terakhir kehamilan. Untuk
menghindarinya diberikan vitamin K pada
keduanya. pemakaian rifampisin selama
laktasi diperbolehkan, walaupun masuk dalam air susu ibu.
REHABILITASI SOSIAL
Banyak pasien kusta menderita cacat di
muka atau mutilasi pada anggota tubuhnya.
Hal ini membawa stigma bagi dirinya dan
seumur hidup akan dianggap sebagai pasien
lepra. Mereka dikucilkan dari masyarakat,
dijauhi dari pergaulan sehari-hari dan terpaksa menjalani kehidupan terisolasi. Oleh
karena itu sesudah penyembuhan penting
sekali pasien menjalani psikoterapi untuk
merehabilitasi kehidupan sosialnya.
MONOGRAFI
1. Minyak kaulmogra: Oleum hydnocarpi.
Minyak nabati ini sudah dianggap kuno
dan tidak akan dibicarakan lagi di sini. Untuk
yang berkepentingan lihat Edisi IV, hal. 134.
2. Dapson: diaminodifenilsulfon, DDS
Dapson (1943) termasuk kelompok sulfon dengan rumus bangun, aktivitas antimikroba
dan mekanisme kerja yang kurang lebih
sama dengan sulfonamida. Khasiatnya kurang lebih 10x lebih kuat dan juga lebih
toksik. Bekerja bakteriostatik kuat terhadap
basil lepra berdasar persaingan substrat
dengan PABA serta inhibisi enzim folat
sintetase kuman, hingga pembentukan folat
dan DNA dicegah (antagonis folat). Aktivitasnya ditiadakan oleh turunan PABA.
dipakai terutama pada lepra dan juga
pada TB, dermatitis herpetiformis dan sebagai
profilaksis terhadap malaria (bersama pirimetamin = Maloprim). pemakaian nya selalu
dalam kombinasi dengan obat-obat lain,
karena monoterapi dengan cepat menimbulkan resistensi.
Resorpsi dari usus hampir lengkap dengan
kadar darah puncak terjadi dalam 1-3 jam.
PP-nya 70%, plasma-t½-nya rata-rata 28 jam
(10 - 50 jam). Di dalam hati zat ini mengalami
siklus enterohepatik dan terjadi asetilasi menjadi
metabolit inaktif. Ekskresinya berlangsung
20% melalui urin dan sebagian kecil lewat
feses.
Efek samping yang jarang terjadi pada dosis
biasa, antara lain sakit kepala, mual, muntah,
sukar tidur dan takikardia. Pada dosis tinggi
dapat terjadi kelainan darah, (a.l. hemolisis,
methemoglobinemia) dan risiko meningkat
oleh antagonis folat seperti pirimetamin dan
sulfonamida. Sulfonamida menyebabkan resistensi silang.
Dosis: bersama obat-obat lain permulaan 1
x sehari 50 mg, kemudian 1 x sehari 100 mg,
maks. 200 mg, anak-anak 1x sehari 1-1,5 mg
/kg. Pada dermatitis herp. 3-4 x sehari 50 mg,
maks.300 mg/hari.
3. Klofazimin: Lampren
Derivat fenazin ini (1967) memiliki efek
bakterisid terhadap M. leprae berdasar
pengikatan pada DNA sehingga fungsinya
diblokir. Kerjanya lambat sekali dan efeknya
baru tampak sesudah ± 50 hari. Basil-basil
di dalam mukosa dan kulit mati, kecuali
di tempat yang sulit dicapai, seperti dalam
saraf dan otot memerlukan waktu lebih lama.
Begitu pula untuk mengeluarkan seluruh
basil dari jaringan. Di samping itu klofazimin
juga berkhasiat anti radang dan khusus digunakan pada bentuk LL dan terhadap
benjolan (ENL). Zat ini juga dipakai pada
tuberkulosis multiresisten dan terhadap
infeksi dengan Mycobacterium avium (MAI)
pada pasien AIDS.
Resorpsi dari usus lambat dan kurang
baik (50%). Kadar puncak darah baru dicapai sesudah 8-12 jam. Bersifat lipofil kuat,
ditimbun dalam jaringan lemak dan makrofag
dari sistem imun untuk kemudian dilepaskan
lagi secara berangsur-angsur. Plasma-t½-nya
lama sekali, ± 70 hari, maka dapat ditakarkan
secara intermiten. Ekskresi berlangsung terutama lewat feses.
Efek samping terpenting yaitu pewarnaan
merah yang reversibel dari air kencing, keringat, air mata dan selaput mata, ludah
dan tinja. Gangguan lambung usus biasanya
baru terjadi sesudah 6 bulan. Efek samping
yang lebih serius yaitu pengendapan
kristal klofazimin pada dinding usus dan
cairan mata pada dosis tinggi untuk ENL,
sehingga pemakaian lebih dari 3 bulan tidak
dianjurkan.
Dosis: lepra multibasiler bersama dapson
dan rifampin: 3x seminggu 100 mg + 1x
sebulan 300 mg pada waktu makan selama
minimal 2 tahun atau sampai pembiakan
apus kulit menjadi negatif. Pada ENL: 2-3 x
sehari 100 mg selama maks. 3 bulan. Infeksi
basil TB multiresisten atau M. avium: 2-3 x
sehari 100 mg bersama 2-3 obat TB lain.
4. Rifampisin: rifampin, Rifadin, Rimactane
Antibiotik dari kelompok rifampisin ini
(1965) berkhasiat leprosid berdasar penghambatan enzim kuman polimerase RNA.
Kerjanya lebih cepat dan efektif daripada
dapson. Dalam waktu 3-4 minggu, bentuk
LM yang ganas sudah bersifat tidak menular
lagi. Resistensi dapat timbul dalam waktu
singkat, sehingga selalu dipakai bersama
obat lain, terutama pada lepra dan TB. Air
kencing berwarna merah muda.
Interaksi. Akibat induksi enzim, rifampisin
dapat mengurangi efek estrogen (pil antihamil!), fenitoin, siklosporin dan turunan
kumarin, mungkin juga kortikosteroid, kinidin dan metadon. INH dan halotan meningkatkan risikonya akan toksisitas hati.
Dosis: umumnya 1 x sehari 600 mg a.c.,
atau menurut WHO 1 kali sebulan. Lihat selanjutnya Bab 9, Obat-obat tuberkulosa.
5. Talidomid: Softenon, Synovir
Senyawa ftalat ini (1957) dipasarkan sebagai obat tidur dan dilarang peredarannya pada permulaan tahun 60an, karena
mengakibatkan cacat pada bayi (fokomelia).
Duapuluh lima tahun kemudian ditemukan
khasiat anti radang dan imunosupresifnya.
Selain itu juga berkhasiat anti angiogenesis
kuat. Sejak 1997 secara resmi mulai digunakan lagi untuk meredakan reaksi lepra ENL,
pada multiple myeloma serta lupus eritematosus.
Efek sampingnya berupa sedasi dan rasa
kantuk, pusing, eksantema, gangguan penglihatan dan rasa lelah.
Dosis: ENL berat 50 – 400 mg sehari selama
3-24 bulan.
”What malaria is nobody knows…there is no
doubt however that malaria is some mysterious
poison in the atmosphere.” Scientific American
1801.
“The ancients were quite right – the disease
(malaria) is caused by the emanation of the marsh.
That emanation, however, is not a gas, nor even
a contagium vivum, but an insect.” Ronald Ross,
1910.
PROTOZOA
Protozoa (tunggal: protozoon) yaitu mikroorganisme bersel tunggal yang yaitu
organisme hidup terendah dalam dunia
hewan. Organisme ini hidup sebagai parasit
pada hewan/serangga sebagai tuan rumah
dan dapat mengakibatkan infeksi pada
manusia. Protozoa yang sering kali menyebabkan infeksi yaitu :
Plasmodium: malaria (tuan rumah: nyamuk)
Entamoeba histolytica: amubiasis (disentri)
Trichomonas vaginalis: trikomoniasis (vaginitis, keputihan)
Giardia lamblia: giardiasis/lambliasis (diare kronis)
Toxoplasma gondii: toksoplasmosis (tuan
rumah: antara lain kucing, babi dan
domba)
Pneumocystis carinii: pneumokistosis (radang paru)
Trypanosoma gambiense: tripanosomiasis
(penyakit tidur; tuan rumah: lalat tsetse)
Penyakit yang paling sering timbul adalah malaria, tetapi juga amubiasis, trikomoniasis dan giardiasis yang tersebar di seluruh dunia. Sejumlah infeksi meluas insidensinya pada pasien AIDS, misalnya toksoplasmosis dan pneumokistosis. Yang akan
dibahas yaitu hanya obat-obat anti protozoa terhadap penyakit infeksi yang banyak
ada di negara kita , yakni dalam Bab 11,
Obat malaria dan di Bab 12, Obat amubiasis
dan trikomoniasis.
Sejarah malaria
Istilah malaria (berasal dari bahasa Italia:
mala = buruk, aria = udara) dahulu (1846)
dipakai untuk setiap bentuk gangguan
kesehatan yang penyebabnya diperkirakan
karena uap beracun yang datang dari rawarawa (lihat citation di atas). Charles Laveran,
seorang dokter Prancis (1845-1922) pertama
kali menemukan parasit plasmodium dalam
darah seorang pasien malaria (1880) dan
mengemukakan hipotesis bahwa malaria
diakibatkan oleh parasit ini, tetapi tidak dapat
menerangkan mekanisme infeksinya. Baru di
tahun 1898 siklus hidup dari plasmodium
dalam nyamuk diuraikan dengan lengkap
oleh seorang zoolog Italia G. Battista Grassi
(1854-1925), yang juga membuktikan bahwa
hanya nyamuk sejenis Anopheles yang dapat mengalihkan parasit malaria kepada manusia. Seorang ahli bedah tentara Inggris
Ronald Ross (1857-1932) yaitu orang yang
melakukan eksperimen dasar pertama untuk
mengindentifikasi parasit malaria pada nyamuk.
Baru menjelang akhir abad ke-19 diketahui
bahwa penyakit ini disebabkan oleh gigitan
nyamuk Anopheles betina.
Malaria yaitu penyakit infeksi dengan
demam berkala yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium dan ditularkan oleh sejenis nya
muk tertentu (Anopheles). Berbeda dengan
nyamuk biasa (Culex), nyamuk Anopheles
khususnya menggigit pada malam hari
dengan posisi yang khas, yakni bagian
belakangnya mengarah ke atas dengan sudut
48°, lihat gambar.
Menurut catatan WHO (2010) sekitar 200
juta orang menderita malaria dengan hampir 660.000 kematian dan 86% yaitu balita.
Penyakit ini terutama ada di negaranegara beriklim panas dan lembap yang
letaknya lebih rendah dari 2.200 m di atas
permukaan laut; tempat ini yaitu tempat ideal untuk berkembangbiaknya nyamuk
Anopheles. Menurut laporan tahun 2006,
sekitar 2 juta anak-anak di Afrika meninggal
dalam satu tahun akibat terserang malaria.
Namun Amerika, Australia dan kebanyakan
negara-negara di sekitar Laut Tengah (Mediterrania) dapat dikatakan telah bebas malaria.
Di negara kita (terutama Irian Jaya, Timor
dan Flores), malaria yaitu salah satu
penyakit endemis penting. Di tahun 2004,
wabah malaria menimbulkan ± 2000 kasus
dan ± 33 kematian, terutama di propinsi Jawa
Barat, KalSel dan Aceh Barat. Kemudian di
tahun 2005, wabah ini menyerang Kalimantan
Barat dan Maluku dengan menimbulkan ±
1100 kasus dan hampir 50 kematian (data
DepKes. R.I.).
Pemerintah berusaha menurunkan insidensi penyakit ini dengan mengendalikan faktorfaktor risiko infeksi malaria antara lain pemberantasan terus-menerus terhadap nyamuk
dan tempat pembenihannya (vector control),
penyuluhan, deteksi dini dan pengobatan.
Dengan meningkatnya hubungan transportasi melalui udara, benih penyakit malaria
juga dapat diimpor melalui nyamuk yang
terinfeksi, sehingga disebut “malaria bandar
udara” (airport malaria). Nyamuk “lokal” juga
dapat ditulari oleh “pendatang“ dari luar
negeri.
Jenis Malaria dan Gejalanya
Bagi manusia, malaria disebabkan oleh lima
spesies Plasmodium yaitu P. falciparum, P.
vivax, P. ovale, P. malariae dan P. knowlesi yang
menimbulkan tiga jenis penyakit malaria, yaitu malaria tropikana, tersiana dan kwartana.
P.knowlesi yang semula dikira hanya menginfeksi suku-suku monyet (macaca), sekarang
ini yaitu penyebab malaria yang
kadang-kadang mematikan di wilayah Asia
Tenggara, termasuk Malaysia, negara kita ,
Thailand dan Singapura (Cox-Singh et al.,
2008)23.
P. knowlesi sering kali dikelirukan dengan P.
malariae dengan perbedaan siklus eritrosit
yang lebih singkat (24 jam) dibanding dengan 72 jam pada P. malariae. Kedua jenis ini
peka terhadap klorokuin, walaupun tetap
fatal pada penderita malaria jenis P. knowlesi
yang sudah parah.
Sama seperti asal mula penyakit Sindroma Cacat Kekebalan (AIDS), malaria diperkirakan berasal dari penyakit malaria hewan
di Afrika Tengah yang kemudian tersebar
ke seluruh dunia oleh a.l. migrasi penduduk dan nyamuk yang terinfeksi (lihat di
atas), transfusi darah yang tercemar, kadangkadang oleh alat suntik (pengguna narkoba)
dan peralatan rumah sakit yang tercemar.
Walaupun telah diusahakan berbagai cara
untuk memberantas penyakit ini mis. dengan vaksin anti malaria yang sampai kini
belum berhasil, setiap tahun ± 300 juta orang
terinfeksi dan 1-3 juta orang meninggal.
Kurang lebih 40% umat manusia menghadapi risiko terinfeksi. Derajat mortalitasnya tinggi terutama pada bayi dan anak-anak.
Suatu berita menarik telah disiarkan dalam
majalah kedokteran The New England journal
of Medecin dalam tahun 2011 mengenai hasil
pendahuluan Phase III clinical trial dari suatu
vaksin malaria baru, RTS, S (Mosquirix) bagi
anak-anak di Afrika.
a. Malaria tropika. Plasmodium falciparum
yaitu penyebab jenis malaria yang
paling ganas dan berbahaya dengan
mortalitas terbesar. Bila tidak diobati,
penyakit ini dapat menyebabkan kematian hanya dalam beberapa hari akibat
adanya relatif banyak eritrosit yang
rusak (sampai 50%!) menyumbat kapiler
otak. Terutama pada anak-anak timbul
koma dan kematian hanya dalam waktu beberapa jam. Gejalanya yaitu berkurangnya kesadaran dan serangan demam yang tidak menentu, adakalanya
terus-menerus (suhu rektal di atas 48°C),
dapat pula berkala tiga hari sekali. Tidak
menimbulkan residif (kambuh) seperti
jenis malaria lainnya.
Sering kali ditandai dengan pembesaran
hati dan ada nya penyakit kuning
(icterus) dan urin yang berwarna cokelat
tua/hitam akibat hemolisis (‘black-water
fever’). Gejala lainnya yaitu demam
tinggi yang timbul mendadak, hemoglobinuria, hiperbilirubinemia, muntah dan
gagal ginjal akut.
Malaria otak yaitu komplikasi
malaria tropikana yang gawat sekali dengan ciri cepat hilang kesadaran, timbul
kejang-kejang, koma dan kematian. Sebagian orang memiliki kecenderungan
genetik mendapat malaria otak sesudah
terinfeksi oleh P. falciparum.
b. Malaria tersiana disebabkan oleh Plasmodium vivax atau P. ovale. Ciri-cirinya
demam berkala tiga hari sekali dengan
puncak sesudah setiap 48 jam. Gejala lainnya berupa nyeri kepala dan punggung,
mual, pembesaran limpa dan malaise
umum. Tidak bersifat mematikan, meskipun tidak diobati. Sering kali kambuh
kembali berhubung adanya bentuk-EE
sekunder.
c. Malaria kwartana. Pada penyakit ini
Plasmodium malariae mengakibatkan demam berkala empat hari sekali, dengan
puncak demam setiap 72 jam. Gejalanya
sama dengan tertiana. Residif juga sering
terjadi karena bentuk-eksoeritrositer (EE)
sekunder.
Masa Inkubasi dan gejalanya.
Masa inkubasi P. falciparum yaitu 7-12 hari,
P. ovale/vivax 10-14 hari dan P. malariae 4-6
minggu. Periode prodromal 3-5 hari dengan
tanda-tanda penyakit tidak khas, seperti
nyeri kepala dan otot, mual, anoreksia, rasa
letih dan nyeri. Kemudian timbul serangan
demam yang khas, seperti menggigil dan
merasa sangat dingin, disusul oleh perasaan
panas dengan demam tinggi, yang disertai
banyak keringat. Gejala penting lainnya
yaitu membesarnya limpa dan anemia yang
diakibatkan oleh: hemolisis semua sel (sel
sehat dan terinfeksi) yang menyebabkan
urin berwarna hitam (blackwater fever). Juga
ada defisiensi asam folat dan gangguan
pembentukan sel darah merah.
Serangan panas dingin terdiri atas tiga fase:
1. Fase dingin berlangsung dari 30 menit
sampai 1 jam karena timbulnya penyempitan pembuluh darah (vasokontriksi).
Penderita menggigil karena merasa kedinginan dan suhu badan meningkat dengan cepat sampai 41° C.
2. Fase panas segera menyusul fase dingin
pada saat tubuh terasa sangat panas selama kira-kira 2 - 6 jam. Pada fase ini
penderita kadang-kadang mengigau (delirium). Kemudian fase ini disusul oleh
fase berkeringat.
3. Fase berkeringat: penderita merasa sangat
letih dan mengantuk.
Siklus Hidup Parasit
Pada garis besar semua jenis Plasmodium memiliki siklus hidup rumit yang sama, yaitu
sebagian di dalam tubuh manusia (siklus
aseksual) dan sebagian di tubuh Anopheles
(siklus seksual).
Di dalam tubuh manusia Plasmodium
pertama-tama berkembang di dalam sel-sel
hati (hepatosit), kemudian di sel-sel darah
merah (eritrosit). Di samping itu Plasmodium
vivax dan Plasmodium ovale juga berkembang
menjadi hipnozoit di dalam sel hati, yaitu fase
tidur dari sporozoit
1. Siklus aseksual dapat dipecah dalam dua
bagian, yaitu:
a. Siklus hati. Penularan terjadi bila nyamuk betina yang terinfeksi parasit, menggigit manusia dan dengan ludahnya
“menyuntikkan” sporozoit ke dalam peredaran darah yang untuk selanjutnya
tinggal di sel parenkim hati (bentuk preeritrositer).
Nyamuk jantan tidak menyengat karena hanya hidup dari tumbuh-tumbuhan. Parasit tumbuh dan aktif membelah
(proses schizogoni, dengan menghasilkan schizont). 6-9 hari kemudian, schizont menjadi masak dan melepaskan
diri berupa beribu-ribu merozoit. Fase
pertama ini (di dalam hati) disebut bentuk-EE primer (ekso-eritrositer = di luar
eritrosit).
b. Siklus darah (siklus eritrosit). Dari hati
sebagian merozoit memasuki sel darah
merah dan berkembang di sini menjadi
trofozoit. Sebagian lainnya memasuki
jaringan lain, antara lain limpa atau
berdiam di hati dan disebut bentukEE sekunder. Di dalam eritrosit terjadi
pembelahan aseksual pula (schizogoni).
Dalam waktu 48 - 72 jam sel-sel darah
merah pecah dan ribuan merozoit yang dilepaskan dapat memasuki eritrosit lain
dan kemudian siklus dimulai kembali.
Setiap saat sel darah merah pecah, penderita merasa kedinginan dan demam;
hal ini disebabkan oleh merozoit dan
protein asing yang dilepaskan. Kejadian
ini terjadi setiap 48 jam pada infeksi oleh
P. falciparum, 48-72 jam pada infeksi P.
vivax/ovale dan kira-kira 72 jam pada P.
malariae. Kemampuan P. falciparum untuk menembus semua eritrosit sekaligus
membuatnya begitu “ganas“ dan berbahaya.
2. Siklus seksual. sesudah beberapa siklus,
sebagian merozoit di dalam eritrosit dapat
berubah menjadi bentuk seksual betina dan
jantan. Gametosit ini tidak berkembang
lagi dan akan mati bila tidak “diisap” oleh
Anopheles betina. Di dalam lambung nyamuk
terjadi penggabungan (pembuahan) dari gametosit jantan dan betina menjadi zygote, yang kemudian memenetrasi dinding lambung dan berkembang menjadi ookista.
Dalam waktu tiga minggu, lahirlah banyak
sporozoit kecil yang memasuki kelenjar ludah nyamuk. Akhirnya, bila nyamuk (betina) ini menyengat manusia, lengkaplah siklus-hidup parasit. Dengan ini jelaslah bahwa
gametosit yaitu sumber penularan baru!
Diagnosis
Plasmodium dapat dideteksi dan diidentifikasi secara mikroskopis dalam preparat
darah tebal yang diwarnai menurut Giemsa atau Wright. Ciri lainnya yaitu adanya
monosit yang berisi pigmen. Petunjuk penting, terutama untuk malaria kronis, berupa
munculnya antibodi spesifik. Kini sedang
dikembangkan tes ELISA untuk mendeteksi
antigen dan metode untuk menemukan DNA
parasit.
Pasien baru dapat dinyatakan bebas malaria bila 2 - 3 preparat darah yang diambil
tiap hari selama 3 - 4 hari memberikan hasil
negatif pada tes pewarnaan.
Residivitas
Seorang penderita yang telah diobati dan
tampaknya sembuh total bisa kambuh kembali penyakitnya beberapa bulan sampai
beberapa tahun kemudian. Penyebabnya ialah bentuk-EE sekunder dari P. vivax dan P.
ovale yang masih berada di dalam hati, limpa
atau organ lain tanpa menimbulkan gejala
nyata, juga bila semua bentuk EE sudah dimusnahkan.
Hipnozoit P. vivax dan P. ovale yang “tidur” bisa aktif kembali bila daya tahan tubuh
menurun atau bila pasien mengalami keletihan fisik sesudah beberapa bulan bahkan
beberapa tahun sesudah tampaknya sembuh total. Mereka memperbanyak diri, membelah, kemudian memasuki eritrosit dan menimbulkan kambuhnya penyakit.
Bentuk-EE sekunder hanya ada pada
malaria tertiana dan kwartana, tidak pada
malaria tropika, sehingga pembasmian bentuk
EE-nya berarti penyembuhan tuntas. Sebaliknya, semua sporozoit P. falciparum dalam sel
hati berkembang sekaligus menjadi merozoit,
sedangkan pada Plasmodia lainnya sebagian
dari sporozoit tertinggal dalam sel parenkim
hati. Kebanyakan obat malaria tidak dapat
mencapai sporozoit dan menjadi penyebab
timbulnya residif.
Imunitas
Di negara-negara tropik, di mana malaria
endemik seperti di negara kita , rakyat semenjak lahir sudah mengalami infeksi dengan
parasit malaria dan karena itu orang Indonesia memiliki derajat imunitas yang agak
tinggi. sesudah terjadi infeksi berulang, antara tubuh dan parasit terjadilah suatu keseimbangan, sehingga serangan demam menjadi lebih ringan dan kurang nyata. Imunitas
ini akan pudar sesudah beberapa tahun bila
tidak terjadi infeksi ulang.
Secara skematis siklus hidup Plasmodium
dapat digambarkan sebagai berikut, lihat
Gambar 11-3.
Tindakan Pencegahan Umum
Tindakan pencegahan umum perlu diusahakan untuk menghindari kontak antara
manusia dan vektor (nyamuk Anopheles)
dengan cara membasmi nyamuk dan larvalarvanya. Begitu pula menghilangkan penyebaran infeksi oleh manusia dengan pengobatan semua jenis demam di daerah malaria
dengan obat anti malaria.
Janganlah mengabaikan cara-cara sederhana dan murah untuk menghindari penyakit
ini, a.l. menghindari gigitan nyamuk pada
waktu pagi dan magrib, terutama di daerah
yang endemik. Juga sangat efektif yaitu
pemakaian obat penangkal serangga (mosquito repellent) seperti minyak sereh, DEET
(30% diethyltoluamide) dan dibutilftalat.
Tidur di bawah kelambu yang telah diimpregnasi dengan insektisida permethrin19
sangat dianjurkan.
Ikan Lele (Clarias fuscus) sering pula dipelihara di kolam-kolam atau tempat-tempat
air yang tergenang untuk menghindari
tumbuhnya jentik-jentik/larva nyamuk.
Walaupun kemoprofilaksis telah diberikan (lih. di bawah) penyakit malaria tetap
timbul. Hal ini dapat disebabkan oleh a.l
– cara profilaksis yang tidak tepat;
– tidak patuhnya minum obat (non-compliance);
– jenis profilaktik yang dipakai tidak
tepat.
Obat Malaria
Sejarah. Obat tertua untuk mengobati demam
malaria yaitu kulit pohon kina dan alkaloid
yang dikandungnya (kinin, 1820). Baru pada tahun 1932 ditemukan obat yang sama
khasiatnya, yaitu mepakrin, yang terutama
banyak dipakai selama perang dunia ke-II
sewaktu tentara Sekutu tidak menerima kinin
lagi dari negara kita .
Pada tahun 1944, klorokuin yang lebih
ringan efek sampingnya, menggantikan mepakrin yang agak toksik, juga lebih cepat efek
kuratifnya. Pada tahun 1946 diintroduksi
proguanil sebagai obat yang tidak hanya
aktif terhadap bentuk darah (trofozoit) sebagaimana ketiga obat terdahulu, tetapi juga
terhadap bentuk hati, khususnya bentuk EE
primer dari P. falciparum. Primakuin (1948)
terutama berkhasiat kuat terhadap bentuk EE
dari P. vivax/ ovale.
Dengan demikian proguanil dan primakuin sangat ampuh sebagai obat pencegah
malaria. Kemudian dipasarkan pula derivat
klorokuin yaitu amodiakuin (1950), pirimetamin (1952) dan meflokuin (1981). Pada
tahun 1990, WHO telah mengeluarkan amodiakuin dari program terapi malaria, karena
dilaporkan timbulnya efek samping serius
pada pemakaian nya sebagai profilaksis.
Artemeter (1991) yaitu suatu derivat
semisintetik dari artemisinin, yang ada
dalam tumbuhan China qinghaosu (pelafalan:
cinghausu, nama Latin Artemisia annua).
Obat tradisional ini sudah sejak tahun
1970-an banyak dipakai dengan sukses
di China Selatan (Hainan) dan Thailand
terhadap P. falciparum (malaria otak) yang
multiresisten. Efeknya lebih cepat daripada
kinin dan obat-obat lain dengan efek samping lebih ringan.
Pyronaridin yaitu obat eksperimen
ter-baru yang sangat efektif terhadap P.
falci-parum multiresisten. Derivat akridin
ini berasal dari China dan telah dibuktikan
efektivitasnya pada malaria, begitu pula
di Kamerun. Harganya juga murah hingga
layak dipakai di negara-negara miskin,
walaupun lebih sering menimbulkan gangguan lambung.
Catatan. Obat-obat anti malaria seperti
klorokuin, kuinakrin dan terutama hidroksiklorokuin (2x sehari 200 mg) juga digunakan pada penyakit kulit, a.l. terhadap lupus
eritematosus (LaDuca and Gaspari, 2008)22.
Mekanisme kerja anti inflamasinya belum
jelas.
Mekanisme Kerja
Klorokuin mencegah ‘dimakannya’ hemoglobin (zat warna darah merah) oleh parasit,
sehingga timbul kekurangan asam amino
esensial untuk sintesis DNA-nya. Meflokuin
diperkirakan memiliki mekanisme kerja
yang sama dengan klorokuin. Kinin dan
artemeter menghambat sintesis protein dengan membentuk kompleks dengan DNA
parasit, di samping memblokir banyak sistem
enzimnya.
Proguanil dan pirimethamin yaitu antagonis folat yang memblokir enzim yang mengubah asam folat menjadi asam folinat, sehingga sintesis DNA/RNA terganggu (lihat
Bab 8, Sulfonamida, Kombinasi).
Trimetoprim yaitu derivat pirimethamin
yang berkhasiat lebih kuat terhadap enzim
bakteri daripada terhadap enzim Plasmodium.
Karena itu senyawa ini tidak dipakai
pada pengobatan malaria, tetapi sebagai obat
anti bakteri (kotrimoksazol = trimetoprim +
sulfisoksazol).
Primakuin juga dapat mengikat DNA
dan diduga dalam tubuh nyamuk zat ini
dirombak menjadi metabolit yang bersifat
oksidan dan lebih aktif terhadap parasit.
Penggolongan
berdasar titik kerjanya dalam tubuh (eritrosit atau hati), obat malaria dapat dikelompokkan sebagai berikut,
a. Obat skizontisid darah: kinin, klorokuin,
meflokuin, pirimetamin + sulfadoksin, atovaquon + proguanil dan artemeter. Berkhasiat
mematikan bentuk darah (skizon) dan
dipakai pada serangan demam, juga
untuk pencegahan. Senyawa ini tidak
menghalangi infeksi eritrosit, tetapi menekan timbulnya gejala klinis (profilaksis
supresif).
b. Obat skizontisid hati: proguanil, primakuin
dan doksisiklin. Khusus dipakai sebagai
profilaksis kausal, karena memusnahkan
bentuk EE (merozoit dan hipnozoit) dalam sel parenchym hati. Obat ini menghindari penembusan eritrosit dan demikian menghalangi serangan.
Penggolongan lain bertolak dari titik-kerja
obat pada siklus hidup parasit serta tujuan
terapi yang dikehendaki dan terdiri dari 4
kelompok berikut:
a. Obat pencegah = profilaktika kausal:
proguanil dan pirimethamin. Berkhasiat
terhadap bentuk-EE primer dalam hati
dari P. falciparum dan P. vivax sedangkan
P. malariae hanya peka untuk sebagian.
Primakuin juga aktif terhadap bentuk ini
tetapi terlalu toksik untuk dipakai
dalam jangka waktu lama sebagai obat
pencegah.
b. Obat penyembuh/pencegah demam =
kurativa/supressiva
Berkhasiat terhadap siklus darah, mematikan trofozoit serta skizon (skizontisid)
sehingga menghentikan atau mencegah
gejala klinis. Kinin bekerja lambat, artemeter dan klorokuin cepat dan kuat,
maka banyak dipakai sebagai obat
pencegah. Tetapi berhubung meningkatnya resistensi untuk klorokuin, obat ini
telah terdesak oleh meflokuin, yang
di A.S. dianggap sebagai obat malaria
paling unggul dan aman. Lagipula
meflokuin ampuh terhadap M. tropica
tanpa komplikasi dan jenis baru M.
knowlesi. Namun pada tahun-tahun
terakhir dilaporkan efek samping seperti
depresi, sukar tidur, mimpi buruk
dan hilangnya konsentrasi. Selain itu
wanita hamil tidak boleh meminumnya
selama triwulan pertama. Inilah sebabnya mengapa meflokuin mulai terdesak
oleh kombinasi dari obat baru atovakuon
dengan proguanil (Malarone) yang di
negeri Belanda yaitu obat profilaksis yang paling banyak dipakai dengan
efektivitas ± 84%.
Proguanil dan pirimetamin juga sangat
aktif, tetapi jauh lebih lambat kerjanya
dan lebih sering menimbulkan resistensi.
Obat-obat ini tidak menyembuhkan
secara radikal karena masih ada
bentuk-EE sekunder (hipnozoit) yang
tidak peka terhadap obat ini. Pada malaria
tropikana tidak ada bentuk ini dan
penyembuhan radikal dapat dicapai bila
dilanjutkan pemakaian nya selama 4 - 6
minggu sesudah meninggalkan daerah
malaria. Dengan demikian bentuk hati
yang masa hidupnya singkat tidak dapat
berkembang lagi dan akan mati dengan
sendirinya.
c. Obat pencegah kambuh = penyembuh
radikal: primakuin. Obat ini mematikan
bentuk-EE sekunder dari malaria tertiana
dan kwartana. Primakuin yaitu satusatunya obat yang sangat efektif untuk
terapi jangka pendek. Tetapi untuk rakyat
setempat tidak cocok karena kemungkinan besar akan reinfeksi.
d. Obat gametosid = pencegah tersebarnya
penyakit: mematikan gametosit dalam
darah penderita yang menjadi penyebab
penularan dari manusia ke nyamuk. Oleh
karena itu obat-obat ini menghindari
penyebaran parasit sesudah semua bentuk
lainnya dimusnahkan.
Primakuin dalam dosis kecil efektif dalam 3 hari, proguanil dan pirimethamin
tidak mematikan gametosit, tetapi merintangi perkembangannya di tubuh nyamuk. Klorokuin bekerja gametosid terhadap P. vivax, P. ovale dan P. malariae, tetapi
tidak terhadap P. falciparum. Kinin aktif
terhadap game-tosit P.vivax dan P. malariae.
Kemoprofilaksis
Dengan semakin meningkatnya kepariwisataan internasional dan perjalanan ke luar
negeri, semakin bertambah pula pentingnya
profilaksis malaria, terutama bagi mereka
yang belum pernah menderita infeksi Plasmodium.
pemakaian obat-obat anti malaria untuk
terapi atau pencegahan ditentukan oleh farmakokinetika dan keamanan dari senyawasenyawa tersebut. Misalnya kinin dan primakuin yang cukup toksik dan memiliki
masa paruh relatif singkat khusus dipakai
sesudah terjadinya infeksi malaria dan tidak
dipakai sebagai pencegahan kimiawi bagi
orang sehat yang sedang melawat. Sebaliknya
klorokuin yang memiliki masa paruh panjang
dan kurang toksik, dapat dipakai sebagai
pencegahan malaria di mana parasitnya
masih peka terhadap klorokuin
Untuk menentukan pilihan obat mana
yang harus dipakai , masalah resistensi merupakan faktor penting (lihat di bawah
Resistensi). Juga perlu diketahui bahwa pola
resistensi suatu daerah dapat berubah.
Profilaktika seperti klorokuin, meflokuin
dan doksisiklin bekerja terhadap siklus darah dan tidak dapat menghindari serangan
kambuhan, sedangkan atovaquone proguanil (Malarone) dan primakuin bekerja ter
hadap siklus hati dan dapat menghindari
kambuhnya penyakit.
Profilaksis dapat dilakukan dengan empat
jenis obat, tergantung dari tujuan perjalanan,
yaitu:
a. Proguanil (2x sehari 100 mg sesudah
makan) untuk daerah dengan hanya P.
vivax dan/atau tanpa resistensi terhadap P. falciparum, berhubung ada nya
lebih sedikit laporan mengenai resistensi
dibandingkan dengan pirimetamin.
b. Klorokuin (1x seminggu 300 mg basa
sesudah makan.) untuk daerah dengan
terutama resistensi terhadap proguanil.
Klorokuin dimulai dengan dosis awal 300
mg/hari pada 2 hari pertama. Atau, juga
kombinasi klorokuin dan proguanil.
c. Meflokuin (1x seminggu 250 mg sesudah
makan.) untuk daerah di mana P. falciparum resisten terhadap proguanil dan klorokuin (misalnya Irian Jaya, Afrika di Selatan Sahara dan daerah Amazon). Meflokuin sebagai obat pencegah harus mulai
diminum 3 minggu sebelum tiba di daerah
rawan malaria dan dilanjutkan sampai 4
minggu sesudah pulang ke rumah.
d. Pirimetamin juga efektif sebagai obat
pencegah, tetapi karena meluasnya resistensi dan kurang aktif terhadap P. vivax,
maka sekarang tidak dianjurkan lagi sebagai obat pencegahan. Begitu pula
kombinasinya dengan sulfadoksin (*Fansidar)
yang dipakai sebagai obat penyembuh.
Di Australia masih dianjurkan sediaan
kombinasi *Maloprim(= pirimetamin 12,5 +
dapson 100 mg) 1x seminggu dan dimulai
sebelum keberangkatan ke pulau-pulau
Pasifik Barat dan Papua N-Guinea.
Minum obat pencegahan harus dimulai sehari
sebelum (untuk mencapai kadar terapeutik
dari darah) atau selambat-lambatnya pada
hari keberangkatan ke daerah yang rawan
malaria dan dilanjutkan selama minimal 4
minggu sesudah meninggalkan daerah tersebut.
Malaria tropika dapat timbul sampai beberapa bulan sesudah kembali, malaria tersiana
bahkan sampai beberapa tahun kemudian!
Vaksinasi. Sejak beberapa dasawarsa telah
diupayakan pembuatan vaksin terhadap
khusus P. falciparum. Vaksin itu dapat diarahkan terhadap berbagai stadia dari siklus
hidup parasit. Sayang sekali usaha penelitian
untuk menghasilkan vaksin yang efektif
hingga kini belum terwujud.
Suatu vaksin eksperimentil berdasar
antigen-sporozoit menghasilkan imunitas selama 3 minggu dan akan diselidiki lebih
lanjut. Lihat selanjutnya Bab 50, Sera dan
vaksin, Perkembangan baru. Mengingat
adanya lebih dari 1 juta pengidap malaria
yang meninggal setiap tahun di Afrika, maka
kampanye vaksinasi akan terus dilangsungkan.
Pengobatan
Pada umumnya penderita diberi analgetika
dan antipiretika, seperti asetosal dan parasetamol. Untuk menanggulangi dehidrasi dan
shock dapat diberikan cairan dalam bentuk
infus atau per oral (ORS). Sesuai dengan
tujuan terapi yang ingin dicapai, maka dapat
dipilih obat dari empat kelompok di atas
(a,b,c atau d). Harus diperhatikan juga bahwa orang asing, yang belum pernah mengalami infeksi parasit malaria, membutuhkan jenis atau lama terapi yang berlainan dari
pada rakyat setempat, yang umumnya sudah
memiliki imunitas minimal (sudah menjadi
semi-imun).
Terapi tergantung pada keadaan, yaitu pada
serangan akut dari berbagai bentuk malaria,
sebagai berikut,
• Malaria tersiana/kwartana biasanya ditanggulangi dengan klorokuin yang
kerjanya cepat selama 2-4 hari. P. vivax
yang resisten terhadap klorokuin perlu
ditangani dengan meflokuin dosis tunggal
500 mg sesudah makan (atau kinin
maksimal 3 x sehari 600 mg selama 4-7
hari). Terapi harus selalu dilanjutkan
dengan primakuin (15 mg/hari selama
14 hari) untuk mematikan bentuk EE
(hipnozoit dalam hati) dan menghindari
kambuhnya penyakit. Bila ada mual
dan muntah perlu diberikan kinin secara
intravena.
• Malaria tropika tak-parah ditangani dengan klorokuin, bila infeksi terjadi di
Amerika Tengah, Afrika Utara dan Asia
Kecil (Asia Minor). Di negara-negara
lain di mana ada multiresistensi, a.l.
untuk klorokuin, perlu diberikan obat lain,
yakni kinin + doksisiklin (hari pertama
200 mg, lalu 1 x sehari 100 mg selama 6
hari) atau meflokuin (2 dosis dari masingmasing 15 dan 10 mg/kg dengan interval
4-6 jam). Kemungkinan lain yaitu halofantrin (hanya bila ECG normal), 1
hari 3 dd 500 mg a.c., diulang sesudah
1 minggu Begitu pula pirimethaminsulfadoksin (dosis tunggal dari 3 tablet),
yang biasanya dikombinasi dengan kinin (3 x sehari 600 mg selama 3 hari,
tidak untuk Asia Tenggara dan daerah
Amazon).
• Malaria tropika parah (atau berkomplikasi)
harus dimulai dengan kinin parenteral,
kemudian disusul dengan pemberian oral
seperti di atas.
Stadium EE tidak ada pada malaria
tropika, oleh karena itu terapi menghasilkan
penyembuhan tuntas dan tidak perlu dilanjutkan dengan primakuin.
Kehamilan dan laktasi
Klorokuin dan proguanil boleh dipakai ; klorokuin yaitu pilihan pertama terhadap
serangan dan profilaksis, juga selama laktasi.
Pada malaria tropika yang resisten terhadap
klorokuin dapat dipakai kinin (hanya pada
dosis tinggi sekali kinin bekerja teratogen
dan dapat menyebabkan keguguran). Meflokuin dan sediaan kombinasi pirimethamin
+ sulfadoksin tidak dapat diberikan selama
triwulan pertama, pada triwulan kedua dan
ketiga (sampai minggu ke-34) umumnya
dianggap aman. Primakuin dan doksisiklin tidak dianjurkan untuk wanita hamil dan
selama laktasi. Mengenai artemeter belum
ada cukup data, tetapi pada kasus
darurat (multiresistensi) mungkin aman pada triwulan ke-2 dan ke-3. Untuk triwulan
pertama lebih banyak dipakai kinin.
Resistensi
Resistensi untuk obat malaria yaitu
masalah penting sekali bagi terutama P. falciparum karena yaitu penyebab utama
dari kematian. Kemoprofilaksis terhadap
P. falciparum terutama di Asia Tenggara
semakin sedikit karena resistensinya yang
progresif.
Malaria tersiana dan kwartana tidak sering
menimbulkan resistensi, baru pada tahuntahun terakhir dilaporkan resistensi untuk
klorokuin di Irian Jaya, Papua New Guinea
dan kepulauan Salomon.
Resistensi untuk P.falciparum
Kinin tidak atau jarang sekali menimbulkan
resistensi. Pada permulaan tahun 1960-an,
di Kolombia dan Thailand terjadi resistensi
dari spesies falciparum untuk (hidroksi)
klorokuin, sehingga jenis malaria ini bisa
menjalar dengan pesat ke daerah Amazon
dan Asia Tenggara. Sejak tahun 1979 juga
mulai ditemukan di Afrika Timur (Kenya,
Tanzania) dan menyebar ke seluruh benua
Afrika. Pada tahun 1983 resistensi untuk meflokuin ditemukanhanya di Thailand.
Halofantrin jarang sekali menimbulkan resistensi, dengan meflokuin ada resisensi
silang. Suku-suku resisten tersebut ternyata
resisten pula untuk primakuin dan proguanil
(multiresistensi). Pirimethamin tunggal dengan cepat dapat menimbulkan resistensi,
sehingga untuk menghindarkan atau memperlambatnya dipakai kombinasi dengan
sulfadoksin (*Fansidar = 25 + 500 mg). Resistensi P. falciparum terhadap *Fansidar ada
sejak 1982 di Kampuchea dan Afrika Timur,
tetapi tidak begitu banyak kasusnya.
Multiresistensi. Dalam kasus multiresistensi demikian biasanya diberikan kinin,
yang sebaiknya dikombinasi dengan tetrasiklin/doksisiklin yang bekerja sinergis.
Masalah resistensi tidak jarang timbul setelah pelaksanaan program pemberantasan
malaria besar-besaran, kemungkinan disebabkan oleh dosis yang kurang tepat atau
kurang disiplinnya pasien minum obat.
Multidrug therapy. pemakaian kombinasi
dari beberapa jenis obat pada umumnya semakin banyak dilakukan, karena sering kali
lebih efektif dan dapat menghindari timbulnya resistensi.
Dewasa ini tidak ada satu obat pun terhadap mana parasit malaria tidak resisten. Oleh
karena itu penting sekali telah ditemukannya
suatu kelompok obat baru terhadap malaria,
yaitu senyawa imidazopyrazine (2013). Senyawa ini bekerja terhadap tiap fase dari perkembangan parasit malaria dan oleh karena
itu tidak saja preventif terhadap malaria, tetapi
juga untuk penanganan dan menghalangi
transmisi dari orang ke nyamuk. Mekanisme
kerjanya berdasar perintangan enzim fosfatidylinositol-4-OH-kinase (PI(4)K) yang bertanggung jawab untuk perkembangan dari
parasit bersel tunggal ini
MONOGRAFI
1. Kinin (F.I.)
Kinin yaitu alkaloid utama dari kulit
pohon kina (Cinchona rubra) yang berasal
dari Amerika Selatan dan dimasukkan ke
negara kita di zaman kolonial. Dari kurang
lebih 20 alkaloid lainnya hanya isomer
optiknya, yaitu kinidin, yang dipakai
dalam terapi sebagai obat pereda jantung.
Sintesis kinin secara kimiawi sudah diketahui,
namun dalam praktik tidak dilaksanakan
karena jauh lebih mahal.
Kinin memiliki banyak kegunaan, yaitu:
a. Anti plasmodium. Kinin bekerja sebagai
skizontisid darah yang kuat dan dapat
mematikan trofozoit dalam eritrosit. Zat
ini juga aktif terhadap gametosit P. vivax
dan P. malariae, tetapi tidak terhadap
bentuk-EE sekunder. Oleh karena itu
kinin dipakai untuk menyembuhkan
dan sebagai supresivum, terutama pada
malaria tropika yang resisten untuk
klorokuin (dan meflokuin). Kombinasinya dengan primakuin efektif untuk
menyembuhkan secara radikal malaria
tersiana dan kuartana yang sering sekali
kambuh.
Pada serangan malaria tropika yang
mengancam jiwa diberikan injeksi i.v.
b. Kerja antipiretik dan analgetik lemah,
khususnya pada nyeri otot dan persendian. Karena itu dahulu kinin meru
pakan komponen dari banyak obat paten
influenza. Kini sudah dianggap kuno
karena toksisitasnya.
c. Kerja oksitosik, yaitu kontraksi pada otot
rahim wanita hamil, terkenal sebagai obat
pengguguran.Tetapi efeknya sangat tidak
dapat dipercaya, bahkan pada dosis tinggi
bersifat mematikan.
d. Spasmolitik, efektif untuk meredakan
kejang malam di betis kaki (restless legs).
Resorpsi garam-garam kinin di usus (sebagai
basa) baik dan cepat, PP-nya tinggi yaitu
sebesar 70-90%, plasma-t½-nya 8-21 jam. Di
dalam hati sebagian besar dirombak menjadi
metabolit hidroksinya yang diekskresi melalui ginjal.
Efek samping pada dosis biasa yaitu cinchonisme berupa nyeri kepala, pusing, gangguan pendengaran seperti berdengung (tinnitus), tremor, mual dan menggigil. Pada
dosis tinggi atau pemakaian lama dapat terjadi ketulian dan gangguan penglihatan, bahkan
kebutaan. Jarang terjadi anemia hemolitik
dan hepatitis.
Dosis: sebagai kurativum terhadap malaria
yang resisten untuk klorokuin oral 3 x sehari
600 mg garam bisulfat p.c. selama 5 hari
(orang “luar” selama 7 hari). Disusul oleh
primakuin 1 x seminggu 45 mg selama 6-8
minggu. Pada malaria tropika akut oral 3 x
sehari 650 mg selama 7 hari, bila ada
resistensi bersama doksisiklin. Pada malaria
tropika parah dimulai dengan injeksi i.v dari
20 mg/kg berat badan garam kinin klorida.
Pada restless legs 100-200 mg sebelum tidur.
Kadar kinin basa dalam garam-garamnya
yaitu sebagai berikut:
K. bisulfat: 59% (daya larut 1:11), K. sulfat:
83% (daya larut 1:600) dan K. klorida: 81,5%
(daya larut 1:25).
2. Klorokuin (F.I.): Nivaquine, Resochin, Avloclor.
Senyawa 4-aminokinolin ini bekerja kuat
dan cepat; berkhasiat skizontisid terhadap
bentuk darah (trofozoit) dari semua jenis
malaria. Zat ini juga berdaya gametosid terhadap P. vivax dan P. malariae. Tidak aktif terhadap bentuk-EE sekunder. Klorokuin merupakan obat pilihan pertama sebagai kurativum, karena dibandingkan dengan kinin
lebih cepat kerjanya dengan jangka terapi
lebih singkat, sedangkan efek sampingnya
lebih ringan. Zat ini juga dipakai sebagai
profilaktik, sering kali bersama proguanil.
Selain itu, klorokuin juga berkhasiat anti
ameba (amebisid) dan anti radang (anti flogistis). Oleh karena itu juga dipakai pada
infeksi ameba (amebiasis hati, lihat Bab 12,
Obat amebiasis) dan dahulu sebagai obat
rematik, lihat Bab 21, Analgetika anti radang/
rema.
Resorpsinya di usus cepat dan lengkap; distribusinya baik dengan afinitas kuat untuk
jaringan, misalnya hati, limpa, paru-paru dan
ginjal, pada mana kadarnya bisa tinggi sekali
sampai ratusan kali dibandingkan dengan
plasma. PP-nya ± 55%, biotransformasi berlangsung lambat. Ekskresinya melalui ginjal
juga lambat sekali dan sebagian dikeluarkan
dalam bentuk utuh. Ekskresi dapat dipercepat
dengan mengasamkan kemih dengan amonium klorida atau vitamin C. Plasma-t½-nya
sangat panjang, yaitu 3 sampai 6 hari, sehingga
kerjanya disebut long-acting.
Efek samping pada dosis biasa bersifat
agak serius, tetapi tidak sering terjadi dan
reversibel, yaitu gangguan saluran cerna, kejang-kejang, sakit kepala, gatal-gatal, gangguan penglihatan, perubahan mental dan
kelainan darah (agranulositosis, anemia aplastis). Pada dosis tinggi (lebih dari 250 mg
sehari) atau pemakaian lama (di atas 1
tahun), efek sampingnya lebih parah, yaitu
rambut rontok, gangguan pendengaran (tuli)
dan kerusakan mata (retinopati menetap!)20.
Anak-anak sangat peka terhadap klorokuin; dosis tunggal melebihi 30 mg/kg berat badan
dapat mengakibatkan keracunan fatal.
Dosis biasa: pada serangan akut oral permulaan 600 mg basa pada waktu makan, 6
jam kemudian 300 mg, kemudian 1 x sehari
300 mg selama 2 hari. Orang asing yang tidak
semi- imun harus meneruskan kur 2 hari lagi.
Bagi anak-anak dosis awal 5 mg/kg berat
badan sehari. pemakaian intravena hanya
dilakukan pada keadaan parah, misalnya
malaria otak, karena ada bahaya hipotensi mendadak disertai kematian, terutama
pada anak-anak. Sebagai profilaktik (di atas
usia 15 tahun): pada 2 hari pertama 1 x sehari
300 mg (loading dose).
Sediaan. Resochin dan Avloclor: 250 mg
klorokuin fosfat (= 150 mg basa); Nivaquin:
100 mg basa.
* Hidroksiklorokuin (Plaquenil) yaitu derivat hidroksi yang sama kuatnya, tetapi
dengan efek samping lebih ringan. Dahulu
lebih banyak dipakai sebagai obat rematik
(lihat Bab 21).
3. Meflokuin: Lariam.
Senyawa 4-aminokinolon sintetik ini (1981)
berkhasiat skizontisid darah dari semua
Plasmodia. Kadar dalam eritrosit 2-4 x lebih
tinggi daripada dalam plasma. Tidak berdaya
terhadap semua bentuk hati. Senyawa ini
dipakai terhadap malaria yang resisten
terhadap klorokuin dan kinin, juga sebagai
obat profilaktik. Karena efek preventif baru
efektif sesudah tercapai kadar stabil dalam darah, sesudah rata-rata menelan 4 tablet, maka
perlu dimulai 3 minggu sebelum keberangkatan ke daerah endemik malaria.
Resorpsi lambat dan tidak menentu, ratarata 87%, PP-nya 98%, plasma-t½-nya ratarata 21 jam. Ekskresi terutama melalui empedu dan feses.
Efek samping pada dosis tinggi berupa gejala
neuropsikis, seperti perasaan takut, gelisah,
agitasi, depresi, mimpi buruk, sukar tidur
dan sukar konsentrasi. Gejala ini terjadi lebih
buruk pada 1:10.000 pasien. Gejala disertai
pula pusing-pusing, gangguan lambung
usus dan anoreksia. Wanita hamil tidak boleh
minum obat ini 3 bulan sebelum hamil dan
pada trimester pertama.
Dosis: pada serangan akut (di atas 15 kg
berat badan) dosis tunggal dari 15 mg/kg,
maksimal 1 g, bila perlu diulang sesudah 1
minggu (saran WHO). Profilaksis: 3 minggu
sebelum berangkat 1x seminggu 250 mg
basa sebelum makan., kemudian 250 mg
seminggu sampai 4 minggu sesudah pulang.
Alternatifnya yaitu 250 mg pada hari ke 1,
2, 3 dan 8, lalu 1 tablet seminggu. Pada dosis
ini risiko akan efek samping psikis menjadi
lebih tinggi.
4. Primakuin (F.I.)
Senyawa 8-aminokinolin (dengan -NH2
pada posisi-8, 1948) yaitu obat satusatunya yang berkhasiat mematikan bentukEE sekunder dari P. vivax maupun P. ovale dan
dapat menghasilkan penyembuhan radikal.
Zat ini juga aktif terhadap bentuk-EE primer
dari terutama P. falciparum, tetapi kerjanya
terlalu lambat sehingga sebaiknya tidak digunakan untuk terapi. Selain itu, bekerja
gametosid pada semua jenis Plasmodium,
sehingga dapat mencegah penyebaran infeksi
dari manusia ke nyamuk. Primakuin kurang
efektif terhadap bentuk darah.
pemakaian nya hanya terbatas pada followup penanganan serangan akut dengan suatu
skizontisida (kinin atau klorokuin), karena
aktivitasnya terhadap siklus darah lemah
sekali. Untuk pemakaian lama sebagai pencegah kausal terlalu toksik.
Resorpsi di usus baik dan cepat, begitu pula
metabolismenya dalam hati. Ekskresinya melalui ginjal dan sebagian besar berupa metabolit. Plasma-t½-nya 3-6 jam. Resistensi dari
P. vivax sudah ada di Asia Tenggara dan
Afrika.
Efek samping pada dosis biasa agak ringan,
sedangkan pada dosis lebih besar dapat
menyebabkan gangguan saluran cerna, nyeri
kepala, gangguan penglihatan dan gatal-gatal. Jarang sekali terjadi kerusakan sel-sel
darah (hemolisis, leukemia, anemia).
Suatu enzim yang normal ada dalam sel darah merah yaitu glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G6PD) yang berfungsi mengatur kadar glutation (GSH), suatu antioksidan