Tampilkan postingan dengan label obat 10. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label obat 10. Tampilkan semua postingan

obat 10





 tio normal terhambat karena misalnya obstruksi, 

ISK dapat timbul lebih mudah.

b. gangguan pengosongan kandung kemih akibat obstruksi (batu ginjal), disfungsi atau 

hipertrofi prostat dapat mengakibatkan 

tersisanya urin dalam kandung kemih 

sehingga kuman-kuman mudah berkembang biak.

c. hygiene pribadi kurang baik dapat menyebabkan kolonisasi kuman uropatogen di 

sekitar (ujung) uretra, misalnya penggunaan pembalut wanita. Kuman lalu menjalar ke atas menuju uretra, lalu ke kandung kemih untuk kemudian menyebar 

melalui ureter ke ginjal (ISK bagian atas). 

d. pemakaian  kateter, melalui senggama dan 

infeksi lokal (misalnya vaginitis) dapat 

mempermudah infeksi.

e. penderita diabetes lebih peka terhadap ISK 

karena meningkatnya daya lekat bakteri 

pada epitel SK yang diakibatkan oleh beberapa faktor1

.

Sebetulnya urin dalam kandung kemih adalah steril karena mekanisme perlindungan 

terhadap infeksi oleh antara lain selaput 

lendir kandung kemih. Di atas usia 60 tahun,

jumlah ISK pada pria mulai meningkat secara 

drastis, mungkin karena pembesaran prostat

yang lazim terjadi pada pria usia lanjut. 

Akibatnya yaitu  pengosongan kandung kemih sering kali tidak sempurna lagi dan urin 

yang tertinggal yaitu  perbenihan yang 

sangat baik bagi kuman.

Pencegahan. Tindakan pertama yaitu  menghindari (re-)infeksi dengan memperhatikan 

faktor-faktor tersebut di atas. Salah satu tindakan pencegahan yang penting yaitu  minum air lebih banyak dan buang air kecil 

lebih sering terutama bagi pasien diabetes 

dan manula.

Infeksi menahun. Adakalanya infeksi menjadi kronis dengan serangan akut berkala. 

Dalam keadaan demikian dianjurkan untuk 

melanjutkan kur antibiotika selama 3-6 bulan 

dengan dosis separuhnya. Untuk tujuan 

ini paling tepat dipakai  obat yang tidak 

mengganggu RK dan jarang menimbulkan 

resistensi. Misalnya nitrofurantoin atau kotrimoksazol. Obat-obat ini hendaknya diminum 

malam hari sebelum tidur mengingat kuman 

lebih mudah memperbanyak diri bila kandung kemih penuh seperti halnya pada waktu tidur. 

Untuk profilaksis infeksi saluran kemih 

non-antibiotik, dapat dipakai  sediaan dengan probiotikum laktobasil yang berkhasiat 

menurunkan jumlah mikroorganisme patogen misalnya di vagina. Minum 300 ml/

hari jus cranberry ternyata efektif untuk menyembuhkan ISK pada wanita dan menurunkan risiko akan infeksi baru. Khasiatnya diduga akibat penurunan daya melekat 

bakteri pada sel-sel epitel dari vagina dan 

juga diduga bahwa zat kandungannya hippuric acid memegang peranan.23,24

Menurut penelitian cranberry ternyata merupakan alternatif baik dibandingkan antibiotik bagi wanita dengan ISK dengan radang 

kandung kemih. Walaupun efeknya tidak 

se-kuat antibiotik, tetapi kebaikannya yaitu  

tidak menimbulkan resistensi. Ko-trimoksazol menimbulkan resistensi pada 90% wanita 

hanya dalam waktu sebulan, demikian juga 

untuk antibiotik lain.

Membuat urin menjadi asam dengan amoniumnitrat/amoniumklorida masih diragukan 

manfaatnya.

Ref. Archives of Internal Medicine [2011; 

171(14):1270-8].

Pengobatan

Ternyata bahwa ±50% dari wanita yang 

sering berkemih dengan perasaan nyeri tidak 

menderita bakteriuria. Oleh karena itu sebelum 

menjalani terapi dengan antibiotika perlu 

dipastikan terlebih dahulu adanya infeksi 

kuman (dip-slide test). Atau dilakukan tes 

pembiakan lengkap untuk mengidentifikasi 

kuman penyebab di samping penentuan jenis 

obat mana yang efektif. Namun dalam praktik 

terapi sudah dimulai berdasar  gejalagejala klinis tertentu dan hasil pemeriksaan 

sedimen urin. 

Obat-obat yang banyak dipakai  pada ISK 

dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu:

a. obat-obat yang menurunkan RK: sulfonamida, ampisilin dan tetrasiklin. Amoksisilin, sefradin dan sefaklor hanya pada 

dosis tinggi.

b. obat-obat yang tidak mengganggu RK:

nitrofurantoin, kotrimoksazol, trimetoprim, nalidiksinat dan pipemidinat.

Pilihan obat. berdasar  pertimbangan di 

atas pilihan utama pada ISK bagian bawah 

tanpa komplikasi yaitu  trimetoprim, nitrofurantoin atau sulfametizol berturut-turut selama 3-5 hari. Di samping ini pasien harus 

banyak minum air, minimal 2 liter sehari, dengan tujuan menstimulasi diuresis sehingga 

kuman tidak berkesempatan memperbanyak 

diri dalam kandung kemih. Bila sesudah  3-5 

hari gejalanya belum hilang atau belum berkurang, sebaiknya pengobatan diganti dengan obat dari kelompok kuinolon, misalnya 

pipemidinat atau suatu fluorkuinolon (siprofloksasin, norfloksasin dan lain-lain.) dengan spektrum kerja yang lebih luas. Akan tetapi sebaiknya obat kelompok ini hanya digunakan sebagai obat cadangan untuk menghindari timbulnya resistensi dengan pesat. 

Amoksisilin + klavulanat dipakai  bila diperkirakan adanya kuman yang sudah resisten. 

Nitrofurantoin kurang aktif bila urin bereaksi 

basa. Terhadap Pseudomonas dapat diberikan 

gentamisin atau/dan suatu sefalosporin dari 

generasi ketiga. 

ISK bagian lebih tinggi. Untuk pyelitis dan

prostatitis dapat dipakai  kotrimoksazol, siprofloksasin atau kombinasi amoksisilin + asam 

klavulanat, bila diperkirakan adanya resistensi. Penisilin dan sefalosporin dalam dosis 

tertentu menghasilkan kadar antibiotik sangat tinggi dalam urin yang efektif terhadap kuman Gram-positif dan Gram-negatif. 

Fluorkuinolon (siprofloksasin dan norfloksasin)

memberikan hasil baik terhadap Pseudomonas dan bila perlu dikombinasi dengan aminoglikosida (gentamisin). Lihat selanjutnya 

Bab 5 Antibiotika.

Pada pyelonefritis akut dengan demam tinggi dan sakit pinggang, perlu pengobatan 

parenteral dengan injeksi i.v. ampisilin atau

amoksisilin (4 dd 1 g) atau i.v. gentamisin (2-5 

mg per kg/hari dalam 2-3 dosis). sesudah  ini 

terapi perlu dilanjutkan dengan pengobatan 

oral selama 7 hari.

Lamanya pengobatan. Pada ISK bagian bawah tanpa komplikasi yang pertama-tama 

dianjurkan yaitu  terapi selama 7-10 hari 

untuk mencapai penyembuhan optimal (95-

98%) tanpa risiko kambuhnya infeksi. Pada

ISK bagian lebih tinggi, pengobatan harus 

dijalani lebih lama, sampai 3 minggu.

Resistensi. Akibat pemakaian  antibiotika 

yang kurang bijaksana di banyak negara 

semakin banyak bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika. Khususnya antibiotika 

yang mengganggu RK di usus ternyata lebih 

sering mengakibatkan timbulnya resistensi. 

Misalnya, sebagian besar dari bakteri Coli sudah menjadi resisten terhadap sulfonamida, 

tetrasiklin dan ampisilin, sedangkan hanya 

sebagian kecil terhadap kotrimoksazol dan 

nitrofurantoin.

Jenis resistensi yaitu  ekstrakromosomal dan 

terjadi melalui plasmid yang memuat kode 

genetik untuk sistem enzim. Plasmid ini ditulari melalui kontak dalam usus, juga dengan kuman dari famili lain, melalui suatu 

jembatan konyugasi (lihat Bab 4, sub 7).

MONOGRAFI

1. Nitrofurantoin: Macrofuran, Furadantin/

MC. 

Derivat nitrofuran ini (1944) berkhasiat 

bakterisid dengan spektrum luas terhadap 

kuman-kuman Gram-positif dan Gram-negatif, termasuk Str. fecalis dan E. coli. Nitrofurantoin tidak aktif terhadap Pseudomonas dan Proteus sedangkan banyak species 

Klebsiella dan Enterobacter sudah resisten. 

Khasiat bakterisidnya berdasar  inhibisi 

enzim kuman yang terkait pada siklus-Krebs 

(siklus sitrat) sehingga timbul kekurangan 

energi bagi pertumbuhannya. Resistensi tidak 

mudah terjadi dan hanya dapat timbul setelah pemakaian  lama, tetapi jarang terhadap E. coli dan bakteri usus lainnya yang 

justru sering kali menjadi resisten terhadap 

sulfa dan antibiotika. Hal ini disebabkan oleh 

resorpsinya yang baik sehingga sedikit sekali 

obat tiba di usus besar untuk selanjutnya 

dikeluarkan melalui tinja. Kombinasi. Nitrofurantoin dapat dikombinasi dengan desinfektans kemih lainnya 

yang juga bekerja bakterisid, begitu pula dengan sulfonamida. Tetapi tidak dapat dikombinasi dengan asam nalidiksinat karena bekerja 

antagonistis. 

Resorpsinya dari usus hampir lengkap dengan ekskresi pesat (t½ 20 menit), Oleh karena itu kadar dalam plasma tetap rendah 

sedangkan dalam kemih mencapai kadar 

bakterisid. Dalam hati separuhnya dirombak 

menjadi metabolit inaktif (aminofuran) yang 

membuat kemih berwarna cokelat. Nitrofurantoin, yang berwarna kuning, bekerja optimal dalam urin asam (pH 5-6). Pada pH 

tinggi tidak efektif misalnya pada infeksi 

oleh kuman pembentuk urease. Oleh karena 

itu dianjurkan untuk terlebih dahulu mencek 

pH air seni sebelum menjalani terapi dengan 

obat ini. Saran ini terutama berlaku bagi 

pasien yang mengalami infeksi residif.

Efek samping yang sering terjadi yaitu  

mual dan muntah (10%) mungkin karena 

efek emetik sentral. Kadang-kadang terjadi 

neuritis. Zat ini tidak boleh dipakai  bila 

fungsi ginjal terganggu.

Kehamilan. Nitrofurantoin dapat dipakai  

selama 6 bulan pertama dari kehamilan tetapi 

tidak dianjurkan pada 3 bulan terakhir karena 

risiko anemia hemolitik pada bayi. Obat juga 

ditemukan di air susu ibu dalam jumlah kecil, 

oleh karena itu perlu berhati-hati penggunaannya selama laktasi.

Dosis: selama 3-5 hari 4 dd 50-100 mg d.c. 

untuk mengurangi mual. Pada infeksi menahun 3 dd 50 mg; sebagai profilaktikum malam 

hari 50-100 mg. Tablet MC mengandung 

kristal (macrocrystal) dari 75-180 mikron yang 

melarut maupun resorpsinya lebih lambat. 

Karena itu dapat menghasilkan kadar dalam 

darah tanpa mencapai puncaknya, sehingga 

lebih jarang timbul mual dan muntah. 

* Nifurtoinol (hidroksimetilnitrofurantoin, Urfadyn, Uridurin) yaitu  derivat hidroksimetil 

dengan sifat-sifat yang sama. Obat ini dapat 

dianggap sebagai prodrug yang dalam saluran cerna terurai menjadi nitrofurantoin dan 

formaldehida. 

Dosis: 4 dd 2 kapsul dari 40 mg pada waktu 

makan.

2. Methenamin: hexamine, heksametilentetramin, *Nephrolit

Dalam air seni asam (pH < 5,5) produk 

kondensasi dari amoniak dan formaldehida

ini terurai dan menghasilkan komponenkomponennya kembali. Khasiatnya berdasarkan formaldehida yang kadarnya dalam urin 

cukup tinggi untuk menghentikan pertumbuhan bakteri. Obat ini khusus dipakai  

sebagai terapi lanjutan ISK kronis sesudah 

terapi dengan desinfektans. Resistensi jarang 

terjadi. Methenamin tidak dapat dikombinasi 

dengan sulfonamida karena terjadi kompleks 

dengan HCOH yang sukar larut. Juga tidak 

aktif terhadap bakteri yang membebaskan 

amoniak dari ureum (misalnya Proteus). 

Obat ini sekarang sudah jarang dipakai  

dan telah diganti dengan obat-obat bakterisid 

modern.

Efek-efek samping terpenting berupa gangguan saluran cerna (akibat HCOH) dan reaksi-reaksi kulit. Wanita hamil dapat menggunakan obat ini.

Dosis: 3 dd 0,5-1 g dengan banyak minum 

air.

* Heksamin-mandelat: methenamin amygdalat, Reflux

Senyawa molekuler antara heksamin dan 

asam mandelat ini berkhasiat bakterisid

terhadap bakteri Gram-positif dan Gramnegatif, termasuk E. coli, Str.fecalis dan St. 

aureus. sesudah  resorpsi zat ini dikeluarkan 

oleh ginjal dalam bentuk utuh dan di urin 

asam (pH < 5,5) terurai menjadi formaldehida

dan asam mandelat. Zat ini tidak memberikan efek sistemik. Asam mandelat sendiri 

pada dosis tinggi berefek bakterisid terhadap 

terutama kuman-kuman Gram-negatif. 

Dosis: 4 dd 2 tablet dari 0,5 g (atau pagi 1,5 

g dan malam 2,5 g) sebaiknya dengan zat 

pengasam urin; dosis pemeliharaan 2 dd 1 g.

3. Fosfomisin-trometamol: Monuril

Bersifat bakterisid melalui penghambatan 

enzim enolpyruvyltransferase yang diperlukan 

untuk sintesis dinding sel bakteri. Memiliki 

spektrum daya kerja yang cukup lebar dan 

mencakup mikroorganisme Gram-positif (a.l. 

Staph. aureus) dan Gram-negatif (a.l. Esch. 

coli, Haemoph. influenzae)

dipakai  pada wanita sesudah  usia 12 

tahun terhadap infeksi saluran kemih akut 

tanpa komplikasi akibat infeksi oleh mikroorganisme yang peka terhadap fosfomisin. 

Tetapi tidak memiliki keunggulan lebih dibandingkan pengobatan dengan nitrofurantoin atau trimetoprim.

Efek samping terdiri dari gangguan saluran 

cerna seperti diare, mual dan juga gangguan 

kulit.

Dosis: wanita di atas 12 tahun (>50 kg) satu 

kali 3 g pada perut kosong.

B. SULFONAMIDA

Sulfonamida yaitu  kelompok zat antibakteri dengan rumus dasar yang sama yaitu 

H2

N-C6

H4

-SO2

NHR dan R yaitu  pelbagai 

jenis substituen. Pada prinsipnya senyawa ini 

dapat dipakai  terhadap berbagai infeksi. 

Namun sesudah  ditemukannya antibiotika 

dan zat-zat lain yang lebih efektif (tetapi 

kurang toksik), sejak tahun 1980-an indikasi 

dan pemakaian nya semakin berkurang, juga karena banyak kuman telah menjadi resisten terhadap sulfonamida. Meskipun demikian dari sudut sejarah senyawa ini penting karena yaitu  kelompok obat pertama yang dipakai  secara efektif terhadap 

infeksi sistemik bakteri. 

Selain sebagai kemoterapeutika terutama untuk pengobatan infeksi saluran kencing yang 

disebabkan oleh bakteri Gram-positif atau 

Gram-negatif yang peka, sulfonamida juga 

dipakai  sebagai diuretika (zat perintang karbonanhidrase) dan antidiabetika oral, lihat Babbab 33 dan 47.

Perkembangan sejarah. Pada tahun 1935, 

Domagk telah menemukan bahwa suatu zat 

warna merah, prontosil rubrum, bersifat bakterisid in vivo tetapi inaktif in vitro. Ternyata 

zat ini di dalam tubuh diuraikan menjadi 

sulfanilamida yang juga aktif in vitro. Berdasarkan penemuan ini kemudian disintesis 

sulfapiridin, yaitu obat pertama yang digunakan secara sistemik untuk pengobatan radang paru (1937). Dalam waktu singkat obat 

ini diganti oleh sulfatiazol (*Cibazol) yang 

kurang toksik (1939), kemudian disusul pula 

oleh sulfadiazin, sulfmetoksazol dan turunan lainnya yang lebih aman. sesudah  diintroduksi derivat-derivat yang sukar resorpsinya 

dari usus (sulfaguanidin,dll.) akhirnya disintesis sulfa dengan efek panjang, antara lain 

sulfadimetoksin (Madribon), sulfametoksipiridazin (Lederkyn) dan sulfalen.

Kimia. Sulfonamida bersifat amfoter artinya 

dapat membentuk garam dengan asam maupun dengan basa. Daya larutnya dalam air 

sangat kecil; garam alkalinya lebih baik, 

walaupun larutan ini tidak stabil karena 

mudah terurai.

Aktivitas dan mekanisme kerja

Sulfonamida memiliki efek bakteriostatik

yang luas terhadap banyak bakteri Grampositif dan Gram-negatif, kecuali terhadap

Pseudomonas, Proteus dan Streptococcus faecalis. 

Mekanisme kerjanya berdasar  pencegahan 

sintesis (dihidro) folat dalam kuman melalui 

antagonisme saingan dengan PABA. Secara 

kimiawi sulfonamida yaitu  analoganalog dari asam p-aminobenzoat (PABA, 

H2N-C6H4-COOH). Banyak jenis bakteri 

membutuhkan asam folat untuk membangun 

asam intinya DNA dan RNA. Asam ini 

dibentuknya sendiri dari bahan pangkal 

PABA (= para-aminobenzoic acid) yang ada  

di berbagai tempat dalam tubuh manusia. 

Bakteri keliru menggunakan sulfa sebagai 

bahan untuk mensintesis asam folatnya sehingga DNA/RNA tidak terbentuk lagi dan 

pertumbuhan bakteri terhenti. 

Manusia dan beberapa jenis bakteri (mis. Str. 

faecalis dan Enterococci lain) tidak membuat 

asam folat sendiri tetapi menerimanya dalam bentuk jadi dari bahan makanan, sehingga tidak mengalami gangguan pada metabolismenya. Dalam nanah ada  banyak 

PABA maka sulfonamida tidak dapat bekerja 

di lingkungan ini. Begitu pula sulfa tidak 

boleh diberikan serentak dengan obat-obat 

lain yang rumusnya mirip PABA, mis. prokain, prokain-penisilin, benzokain, PAS, dan sebagainya. 

Kinetik. Resorpsinya dari lambung dan 

usus baik (terkecuali sulfa usus), PP-nya berkisar antara rata-rata 40% (sulfadiazin), 70% 

(sulfametazin dan sulfamerazin) dan 85%-97% untuk derivat long-acting sulfametoksipiridazin dan sulfadimetoksin. Kecuali obat-obat 

de-ngan pengikatan protein (PP) tinggi, 

difusinya ke dalam jaringan agak baik. Di 

dalam hati sebagian diinaktifkan lewat 

perombakan menjadi senyawa asetilnya 

yang bersamaan dengan bentuk utuhnya 

diekskresi melalui ginjal. Kadar sulfa aktif 

dalam urin yaitu  10 kali lebih tinggi 

daripada kadarnya dalam plasma, maka 

layak sekali dipakai  sebagai desinfektans 

saluran urin.

Kombinasi sulfonamida

a. Trisulfa yaitu  kombinasi dari tiga sulfonamida, biasanya sulfadiazin, sulfamerazin dan sulfamezatin dalam perbandingan yang sama. Karena dosis setiap 

obat hanya sepertiga dari dosis biasa dan 

daya larutnya masing-masing tidak saling dipengaruhi, maka bahaya kristaluria

sangat diperkecil. Pemberian bikarbonat 

tidak diperlukan lagi, cukup dengan 

minum lebih dari 1,5 liter air sehari selama pengobatan. 

b. Kotrimoksazol yaitu  suatu kombinasi 

dari sulfametoksazol + trimetoprim dalam perbandingan 5:1 (400 + 80 mg). Trimetoprim memiliki efek antibakteriil mirip sulfonamida dengan menghambat 

enzim dihidrofolat reduktase. Afinitasnya 

terhadap enzim bakteri ini 50.000 kali 

lebih kuat dibandingkan dengan afinitasnya terhadap enzim manusia, oleh karena itu yaitu  dasar dari daya kerja 

selektivitasnya. Di samping sebagai obat 

malaria, trimetoprim memiliki spektrum kerja antibakteriil yang mirip sulfonamida, efektif terhadap sebagian besar 

kuman Gram-positif dan Gram-negatif 

dan banyak dipakai  terhadap ISK.

Walaupun kedua komponennya masingmasing hanya bersifat bakteriostatik, 

kombinasinya berkhasiat bakterisid

terhadap bakteri yang sama, juga terhadap Salmonella, Proteus dan H. influenzae. Kotrimoksazol terutama dipakai  

untuk pengobatan infeksi saluran napas. 

Pada umumnya kombinasi dari sulfonamida + trimetoprim memperkuat khasiatnya (potensiasi) serta menurunkan risiko 

resistensi dengan kuat, lihat di bawah.

* Kombinasi trimetoprim + sulfa lain

dengan sifat-sifat dan pemakaian  sama 

dengan kotrimoksazol yaitu :

– Supristol = sulfamoksol 200 mg + trimetoprim 40 mg

– Kelfiprim = sulfalen 200 mg + trimetoprim 250 mg

– Lidatrim = sulfametrol 400 mg + trimetoprim 80 mg

Mekanisme kerjanya berdasar  teori sequential blockade dari Hitchings (1965), 

yakni bila dua obat bekerja terhadap 

dua titik berturut-turut dari suatu proses 

enzim bakteri, maka efeknya yaitu  

potensiasi. Dalam hal ini proses enzim 

yaitu  sintesis protein (DNA/RNA) dari 

PABA, yang skematis dapat digambarkan 

sebagai berikut:

Di sini terlihat bahwa sulfonamida mengganggu proses enzim ini, antara langkah 1 dan 2, melalui persaingan substrat 

(bahan pangkal) sedangkan trimetoprim

mengintervensi antara langkah 2 dan 3 

dengan merintangi enzim dihidrofolatreduktase yang mereduksi dihidrofolic 

acid (DHFA) menjadi tetrahidrofolic acid

(THFA). Akibatnya yaitu  terhentinya 

sintesis asam folat yang yaitu  bahan pangkal untuk sintesis purin dan 

DNA/RNA, sehingga pembelahan sel 

bakteri dihentikan.

Keuntungan penting lain dari kombinasi ini yaitu  resistensi timbulnya lebih 

lambat daripada komponen-komponennya sendiri. Hal ini yaitu  jelas karena 

bakteri yang menjadi resisten untuk salah 

satu komponen masih dapat dimusnahkan oleh yang lain.

c. Kombinasi sulfadoksin + pirimetamin

(Fansidar) dipakai  sebagai profilaksis 

dan pengobatan malaria tropika yang 

diakibatkan oleh Plasmodium falciparum

yang resisten terhadap klorokuin, lihat 

Bab 11, Obat-obat malaria.

d. Kombinasi sulfonamida + penisilin 

memperlihatkan efek adisi. Sesuai aturan 

dasar dari penggabungan kemoterapeutika sebetulnya penisilin tidak dapat dikombinasi dengan bakteriostatika. 

Tetapi dalam hal ini ternyata tidak terjadi 

antagonisme. Hal ini mungkin dapat dijelaskan karena diperlambatnya efek sulfa sebab bakteri dapat menghabiskan 

dahulu persediaan asam folatnya. Kombinasi ini jarang dipakai  lagi.

e. Sulfasalazin yaitu  senyawa molekuler 

dari sulfapiridin dan aminosalisilat yang 

berkhasiat antiradang kuat dan dalam 

usus diuraikan menjadi komponennya. 

Khusus dipakai  pada rematik dan 

penyakit radang usus, p.Crohn dan colitisulcerosa, yaitu radang usus halus dan usus 

besar yang bersifat menahun dan mudah 

kambuh. Kedua gangguan ini dianggap 

termasuk penyakit auto-imun pada mana 

antibodies dari sistem imun tubuh menyerang dan merusak jaringan/organ 

sendiri.

pemakaian 

Sulfonamida yaitu  kemoterapeutika bakteriostatik dengan spektrum luas yang di 

tahun 1950-an sampai dengan 1970-an banyak dipakai  dengan sukses terhadap 

banyak jenis penyakit infeksi akibat kuman 

Gram-positif maupun Gram-negatif. Sejak 

tahun 1980-an pemakaian nya sudah banyak sekali berkurang karena banyak jenis 

kuman sudah menjadi resisten di samping 

telah ditemukannya berbagai antibiotika baru dengan efek bakterisid yang lebih efektif dan lebih aman. 

Sekarang ini masih ada  sejumlah indikasi untuk pemakaian  oral dari sulfonamida 

dan senyawa kombinasinya, yakni: 

Infeksi saluran urin: sulfametizol, sulfafurazol dan kotrimoksazol, sering kali 

dipakai  sebagai desinfektans infeksi 

saluran urin bagian atas yang menahun. 

Juga dipakai  terhadap cystitis. 

Infeksi mata: sulfasetamida, sulfadikramida dan sulfametizol dipakai  topikal 

terhadap infeksi mata akibat kuman yang 

peka terhadap sulfonamida. Sistemik zat 

ini juga dipakai  untuk penyakit mata 

berbahaya trachoma, yang yaitu  sebab utama dari kebutaan di dunia ketiga.

Radang usus: sufasalazin khusus digunakan pada penyakit radang usus kronis 

Crohn dan colitis.

Malaria tropika: Fansidar, lihat di atas.

Radang otak (meningitis). Berkat daya 

penetrasinya yang baik ke dalam cairan 

otak (CCS) obat-obat sulfa sampai beberapa tahun yang lalu masih dianggap 

sebagai obat terbaik untuk mengobati atau 

mencegah meningitis, terutama sulfadiazin. 

Timbulnya banyak resistensi dengan cepat 

menyebabkan obat ini telah diganti dengan ampisilin atau rifampisin.

Infeksi lain: silversulfadiazin banyak 

dipakai  untuk pengobatan luka bakar. 

Kotrimoksazol sama efektifnya dengan 

ampisilin pada tifus perut, infeksi saluran napas bagian atas, radang paruparu (pada pasien AIDS!) serta penyakit 

kelamin gonore. Sulfonamida tidak digunakan secara rektal (suppositoria) karena 

resorpsinya tidak sempurna (antara 10-

70%) dan kurang teratur. 

Efek samping. Yang terutama yaitu  kerusakan parah pada sel-sel darah, antara lain 

agranulositosis dan anemia hemolitik, terutama pada penderita defisiensi glukosa-6-

fosfodehidrogenase. Oleh karena itu bila obat 

sulfa dipakai  lebih dari dua minggu perlu 

dilakukan pemantauan dengan pemeriksaan 

hematologi. 

Efek samping lainnya yaitu  reaksi alergi, 

antara lain urticaria, fotosensitasi dan sindrom Stevens-Johnson, sejenis eritema multiform dengan risiko kematian tinggi terutama 

pada anak-anak. Selama terapi sebaiknya 

pasien jangan terlalu banyak terkena sinar 

matahari. Gangguan saluran cerna (mual, 

diare, dan sebagainya.) adakala juga terjadi. 

Bahaya kristaluria di dalam tubuli ginjal 

sering terjadi pada sulfa yang sukar larut 

dalam air seni asam, mis. sulfadiazin dan 

turunannya. Risiko kristalisasi ini sangat 

diperkecil dengan menggunakan trisulfa, 

atau pemberian zat alkali (natriumbikarbonat)

untuk melarutkan senyawa asetil tersebut 

dan banyak minum air.

pemakaian  lokal sebagai salep atau serbuk 

terhadap borok (inaktivasi oleh nanah!) tidak 

dianjurkan karena sering kali menimbulkan 

sensibilisasi dan reaksi kepekaan. Pengecualian 

yaitu  sulfasetamid/sulfadikramid dalam tetes 

atau salep mata dan silversulfadiazin untuk 

luka bakar serius. 

Kehamilan dan laktasi. pemakaian  sulfonamida harus dihindari pada triwulan terakhir 

kehamilan karena risiko timbulnya icterusinti pada neonati (akibat pembebasan bilirubin dari ikatan protein plasma). Mengenai 

pemakaian nya pada bulan-bulan pertama 

kehamilan tidak ada  cukup data. Karena 

sulfonamida dikeluarkan melalui air susu ibu 

ada kemungkinan timbulnya icterus, hiperbilirubinemia dan reaksi-reaksi alergi pada 

bayi yang disusui.

Kotrimoksazol tidak boleh diberikan pada 

bayi di bawah usia 6 bulan karena risiko efek 

sampingnya. Semua sulfonamida juga tidak 

boleh diberikan pada penderita gangguan 

fungsi hati dan ginjal. 

Resistensi sering kali terjadi dengan cepat 

terutama bila dipakai  untuk profilaksis, mis. pada infeksi saluran urin kronis. 

Khususnya gonocci dan meningococci agak 

mudah menjadi resisten, begitu pula streptococci bila dipakai  lebih lama dari 3 minggu. 

Actinomyces dan Chlamydia trachomatis masih 

sensitif, sedangkan efeknya terhadap E. coli, 

Hemophilus dan kuman Gram-negatif lainnya tidak menentu. Di antara semua derivat 

ada  resistensi silang. Tipe resistensi 

yaitu  berdasar  plasmid (faktor R) dan 

juga karena bakteri mampu membuat PABAnya dalam jumlah berlebihan.

Dosis. Untuk mencapai kadar darah yang 

cukup tinggi pengobatan harus dimulai dengan loading dose, yaitu dosis ganda dari 1-2 

g untuk kemudian disusul dengan 0,5-1 g setiap 6 jam. Derivat-derivat long-acting dapat 

diberikan 1 kali sehari. 

Dosis anak. Dosis yang diberikan atas dasar 

berat badan anak-anak sampai usia 7 tahun 

relatif tinggi karena plasma-t½ pada mereka 

jauh lebih singkat daripada t½ orang dewasa. Hanya lambat laun pada usia ±7 tahun 

nilainya mencapai taraf normal. Pada umumnya dosis anak yaitu  100-150 mg/kg berat 

badan atau menurut usia: antara 1-3 tahun 

sepertiga, antara 4-10 tahun setengah dan antara 11-15 tahun tigaperempat dosis dewasa.

Pengobatan dengan dosis yang tepat harus dijalani selama minimal 5-7 hari untuk 

menghindari gagalnya terapi dan timbulnya 

resistensi yang cepat.

Penggolongan

Setiap sulfonamida memiliki banyak perbedaan mengenai metabolisme (asetilasi dan 

glukuronidasi di dalam hati) maupun ekskresinya. berdasar  ini sulfonamida dapat 

di bagi dalam zat-zat dengan kerja singkat (t½< 

24 jam) dan zat-zat dengan kerja panjang (t½ 

24-65 jam), sulfonamida usus dan sulfonamida 

untuk pemakaian  lokal.

a. Sulfonamida short-acting: sulfametizol, 

derivat isoksazol (sulfafurazol, sulfametoksazol), 

derivat oksazol (sulfamoksol) dan derivat pirimidin (sulfadiazin, sulfamerazin, sulfamezatin 

dan sulfasomidin). Sulfametizol dan sulfafurazol cepat resorpsinya dari usus dan daya 

larutnya dalam urin asam atau urin netral 

lebih baik dibandingkan dengan sulfa lainnya, sedangkan asetilasinya di dalam hati 

lebih ringan. Dengan demikian kadarnya 

dalam urin sangat tinggi hingga mencapai

efek bakterisid. Oleh karena itu zat-zat 

ini khusus dipakai  pada infeksi saluran 

urin tanpa komplikasi, terutama yang disebabkan oleh E. coli dan pada cystitis. 

b. Sulfonamida long-acting: antara lain 

sulfadoksin.

Zat-zat ini resorpsinya juga baik tetapi 

ekskresinya lambat sekali akibat PP-nya yang 

tinggi dan ada nya penyerapan kembali 

pada tubuli ginjal. Keuntungan praktisnya 

yaitu  dapat dipakai  sebagai dosis tunggal sehari sehingga dahulu banyak digunakan, mis. sulfadimetoksin dan sulfametoksipiridazin. Tetapi khasiatnya lebih lemah daripada sulfa lainnya di samping kadar plasma 

dari sulfa bebas (aktif) relatif rendah pada 

dosis lazimnya. Efek samping berupa erythema multiforme hebat (sindrom StevensJohnson, demam dengan luka pada mukosa 

mulut, anus, organ kelamin) lebih sering 

terjadi. Oleh karena itu di kebanyakan 

negara Barat semua sulfa longacting telah 

ditarik dari peredaran, kecuali kombinasinya 

dengan pirimetamin atau trimetoprim. 

c. Sulfonamida usus: sulfaguanidin dan salazosulfapiridin.

Obat-obat ini hanya sedikit sekali (5-10%) 

diserap oleh usus sehingga menghasilkan 

konsentrasi obat yang tinggi di dalam usus 

besar. Sulfaguanidin ternyata lebih baik 

resorpsinya (sampai ±50%) dan sebaiknya 

jangan dipakai  untuk pengobatan infeksi usus berhubung efek sistemiknya. Di waktu 

yang lalu sulfa ini banyak dipakai  untuk 

mensterilkan usus sebelum pembedahan 

tetapi untuk maksud ini sudah digantikan 

oleh antibiotika bakterisid seperti neomisin 

dan basitrasin yang juga tidak diserap 

usus. Sulfaguanidin, ftalilsulfatiazol dan suksinilsulfatiazol dahulu banyak dipakai  dalam sediaan kombinasi anti diare, tetapi 

sekarang praktis tidak dipakai  lagi. Lihat 

Ed.4 untuk monografinya.

d. Sulfonamida lokal: sulfasetamida, sulfadikramida dan silversulfadiazin. Kedua obat 

pertama banyak dipakai  sebagai obat 

luar dalam sediaan salep dan tetes mata, 

sedangkan yang terakhir dalam salep terhadap luka bakar.

SULFONAMIDA

1. Sulfametizol: sulfametiltiodiazol

Derivat tiodiazol ini (1940) PP-nya ±90% 

dengan plasma-t½ 1-2 jam. Daya larutnya 

dalam urin (asam) baik. Berhubung ekskresinya cepat sekali zat ini menghasilkan kadar 

tinggi dalam urin dan sering kali dipakai  

terhadap radang kandung kemih. Sebaliknya, 

kadarnya dalam darah dan jaringan rendah. 

Sulfametizol memiliki persentase resistensi 

yang agak tinggi.

Dosis: pada ISK oral 3-4 dd 0,5-1 g selama 

3-5 hari, sebagai profilaksis 2 dd 1 g selama 

3 hari. 

* Uro Nebacetin = sulfametizol 2,4 g + 

neomisinsulfat 428 mg per 30 ml suspensi.

2. Sulfametoksazol : kotrimoksazol, *Bactrim

yaitu  derivat isoksazol (1961) dengan 

PP 65% dan plasma-t½ ±10 jam. Ekskresinya 

via urin, 25% dalam keadaan utuh dan 60% 

sebagai metabolit asetilnya. Obat ini terutama 

dipakai  dalam kombinasi dengan trimetoprim.

* Kotrimoksazol: *Bactrim, *Septrin

Kombinasi dari sulfametoksazol dan trimetoprim dalam perbandingan 5:1 bersifat 

bakterisid dengan spektrum kerja lebih luas 

dibandingkan sulfonamida, antara lain juga 

aktif terhadap Proteus dan Chlamydia. Lagipula lebih jarang menimbulkan resistensi 

sehingga sering kali dipakai  terhadap 

berbagai penyakit infeksi, antara lain infeksi 

saluran urin (Coli, Enterobacter), alat kelamin 

(prostatitis), saluran cerna (salmonellosis) dan 

pernapasan (bronchitis). Kotrimoksazol dalam 

dosis tinggi juga dipakai  untuk pengobatan dan pencegahan radang paru (Pneumocystis carinii-pneumoni) pada penderita AIDS. 

Resorpsinya baik dan cepat, sesudah  lebih 

kurang 4 jam sudah mencapai puncaknya 

dalam darah. Distribusinya ke dalam semua 

jaringan, ludah dan cairan otak (CCS) sangat baik; terutama trimetoprim lebih lancar

berhubung sifat lipofilnya. PP sulfa dan trimetoprim yaitu  masing-masing ±60% dan 

45%, sedangkan plasma-t½-nya sama, yaitu 

±10 jam. Ekskresinya melalui ginjal sebagai 

zat aktif yaitu  masing-masing 20-25% dan 

50-60%. 

Efek samping tidak sering terjadi dan biasanya berupa gangguan kulit (exanthema),

stomatitis dan gangguan lambung-usus. Juga 

dapat timbul efek samping khas dari sulfonamida seperti fotosensitasi dan sindrom 

Stevens-Johnson. Pada dosis tinggi efek sampingnya dapat berupa demam, gangguan 

fungsi hati dan terhadap darah (neutropenia, 

trombositopenia). Oleh karena itu pemakaian  

lebih lama dari dua minggu hendaknya 

disertai pemantauan darah. Risiko kristaluria 

dapat dihindari dengan minum lebih dari 1,5 

liter air sehari.

Dosis: umum 2 dd 2 tablet kotrimoksazol 

(= sulfametoksazol 400 + trimetoprim 80 mg). 

Radang kandung kemih tanpa komplikasi 

pada wanita: 2 dd 2 tablet selama 3-7 hari. 

Pada tifus dan infeksi parah 2 dd 3 tablet 

selama maksimal 14 hari. 

* Trimetoprim (*Bactrim, *Septrin).

Senyawa pirimidin ini (1961) yaitu  derivat dari obat malaria pirimetamin; selain 

berkhasiat antiprotozoa juga berefek bakteriostatik. Zat ini aktif terhadap banyak kuman 

Gram-positif dan Gram-negatif termasuk 

E. coli, jenis-jenis Proteus, Salmonella, Shigella, Klebsiella dan Enterobacter, tetapi terhadap Gonokok dan Pseudomonas tidak efektif. Mekanisme kerjanya sama dengan sulfonamida yaitu berdasar  penghambatan 

reduksi DHFA menjadi THFA lewat blokade 

reduktase, sehingga sintesis DNA kuman 

gagal. Trimetoprim dipakai  dengan efektif sebagai monoterapi pada ISK akut tanpa 

komplikasi dan ternyata sama efektifnya 

dengan kotrimoksazol. Pada infeksi kronis 

dengan kelainan organik, khasiatnya lebih 

rendah. 

Resorpsinya dari usus cepat dan praktis 

lengkap, PP-nya ±50% dengan plasma-t½ 

dari 9-17 jam. Sebagian zat dirombak di 

dalam hati; kadar obat utuh di dalam urin 

tinggi sekali dan bertahan selama minimal 24 

jam untuk kemudian diekskresikan.

Efek sampingnya terutama gangguan saluran cerna yang lebih ringan daripada 

obat kombinasinya. Untuk menghindari 

resistensi lebih lanjut yang semakin sering 

terjadi, sebaiknya jangan dipakai  sebagai 

obat profilaksis. Resistensi kuman uropatogen 

terhadap trimetoprim sudah meningkat dari 

6% (1971) ke 25% di tahun 1992. 

Dosis: setiap malam 300 mg atau 2 dd 200 

mg selama 3-7 hari. Untuk anak-anak 5-12 

tahun 2 dd 3 mg/kg berat badan. 

3. Sulfadiazin: sulfapirimidin, *Triacef, *Temasud

Derivat pirimidin ini (1947), seperti juga 

sulfametoksazol dan sulfafurazol memiliki 

atas dasar jumlah mg, khasiat terkuat dari 

semua sulfa. Resorpsinya dari usus agak lambat sehingga sebagian obat dapat mencapai 

usus besar. Oleh karena itu sulfadiazin berkhasiat terhadap disentri basiler, bahkan 

lebih efektif dibandingkan dengan kloramfenikol dan tetrasiklin. 

PP-nya paling rendah (±40%), oleh karena 

itu kadar obat dalam cairan tubuh paling 

tinggi dan sering kali dipakai  pada meningitis. Kombinasi dengan pirimetamin 

dipakai  terhadap infeksi dengan Toxo -

plasma gondii (toxoplasmosis). Plasma-t½-nya 

10 jam. Sulfadiazin yaitu  obat pilihan 

kedua untuk infeksi saluran urin. Daya larutnya dalam urin rendah (sering menyebabkan 

kristaluria) sehingga perlu diberikan natriumbikarbonat 3 kali sehari 3-4 g dan minum 

air ±1,5 liter sehari.

Dosis: permulaan 2-4 g, kemudian 4-6 dd 1 g.

* Sulfamerazin (F.I.) (sulfametildiazin, *Triacef)

yaitu  derivat metil (1943) dengan khasiat 

sama. Tetapi PP-nya lebih tinggi, ±70%, 

plasma-t½-nya panjang, yaitu di atas 20 jam. 

Efek samping lebih sering terjadi, begitu pula 

bahaya kristaluria lebih besar dan sering 

mengakibatkan kerusakan ginjal. Oleh karena 

itu pemakaian nya di Inggris telah dilarang.

Dosis: 4 dd 1 g. 

* Triacef = s.diazin + s.metazin + s.merazin 

aaa 167 mg per tablet.

* Sulfamezatin (F.I.) (sulfadimidin, sulfametazin, sulfadimetildiazin,*Triacef) yaitu  de-rivat dimetil (1945). Daya larut obat ini dan 

begitu pula senyawa asetilnya dalam urin 

lebih baik daripada sulfadiazin sehingga bahaya kristaluria juga lebih kecil. PP-nya lebih 

tinggi (±70%) dan ekskresinya lebih lambat. 

Dosis: permulaan 3 g, lalu 4 dd 1-1,5 g.

* Sulfasomidin (sulfa-2,4-dimetildiazin, Elkosin) yaitu  isomer dari sulfadimidin (1944) 

dengan PP 85% dan plasma-t½ 8 jam. Ekskresinya dengan urin cepat, rata-rata 15% 

sebagai derivat asetil yang kelarutannya 

dalam urin kurang baik. Oleh sebab itu perlu 

minum minimal 1,5 l air sehari. Dosis: permulaan 2 g, kemudian 3 dd 1g.

4. Sulfadoksin: sulfametoxine, *Fansidar

Derivat pirimidin ini (1965) memiliki PP 

tinggi (90-95%) dan t½ yang panjang sekali 

(rata-rata 6 hari). Senyawa ini khusus digunakan dalam kombinasi dengan obat antiprotozoa 

pirimetamin pada terapi dan profilaksis malaria tropika yang resisten terhadap klorokuin, 

juga pada toxoplasmosis, suatu infeksi oleh 

protozoon Toxoplasma gondii yang ditularkan 

lewat kucing, domba atau babi. 

Wanita hamil tidak boleh diberikan 

Fansidar selama 3 bulan pertama kehamilan 

karena bersifat teratogen, begitu pula pada 

bulan terakhir kehamilan karena risiko 

icterus-inti pada bayi.

Dosis: infeksi umum permulaan 2 g, lalu 

1-1,5 g seminggu. 

* Fansidar= sulfadoksin 500 + pirimetamin 25 

mg. Pada toxoplasmosis: 1 x 2 tablet seminggu sampai 4-6 minggu sesudah  sembuh. Untuk 

dosis terhadap malaria, lihat Bab 11, Obatobat malaria.

5. Sulfasalazin: salazosulfapiridin, Sulcolon, 

Salazopyrin

Senyawa azo ini dari 5-aminosalicylic 

acid (5-ASA) dengan sulfapiridin, berwarna kuning kecokelat-cokelatan dan berkhasiat anti-radang. In vitro zat ini tidak aktif. 

Sebagian kecil diserap di usus; di dalam 

darah separuh dipecah menjadi komponenkomponennya dan sisanya yang utuh mengalami siklus enterohepatik. Bagian terbesar 

yang tidak diserap tiba di usus besar dan di 

sini diuraikan oleh bakteri menjadi komponennya dan hanya sedikit diekskresi dengan 

tinja dalam bentuk utuh. 5-ASA juga diekskresi dengan tinja sedangkan sulfapiridin

diserap hampir seluruhnya. 

Karena eliminasinya oleh ginjal yang cepat 

(sebagai metabolit asetil dan glukuronida) 

kadar plasma dari zat yang agak toksik ini 

tetap rendah. Penelitian menunjukkan aktivitas sulfasalazin berdasar  efek antiradang lokal dari 5-ASA terhadap mukosa 

usus. Sulfasalazin khusus dipakai  pada 

rematik dan penyakit usus beradang colitis 

ulcerosa dan penyakit Crohn. Lihat Bab 21, 

Analgetika Antiradang.

Efek samping yang dapat terjadi berupa 

mual, anoreksia, demam, nyeri kepala dan 

erythema. Pada dosis lebih tinggi efek sulfapiridin berupa antara lain kelainan darah, hematuria, proteinuria dan kristaluria.

 Dosis: pada rema 1 dd 500 mg d.c. selama 

5-7 hari, dinaikkan setiap 5-7 hari dengan 

500 mg sampai 2 g sehari, maksimal 3 g/

hari. Pada colitis 4 dd 0,5-1,5 g d.c. selama 3 

minggu, lalu pemeliharaan 1-2 g sehari.

* Mesalazin (5-aminosalisilat, 5-ASA, Salofalk) 

yaitu  komponen aktif dari sulfasalazin 

(1985) terutama khasiat antiradang langsung 

terhadap mukosa usus yang beradang. Zat 

ini juga dipakai  sebagai monoterapi pada 

radang usus ringan.

Resorpsinya dari tablet (harus e.c.) buruk, 

hanya 20%, PP-nya ±50%, plasma-t½-nya ±1 

jam. Ekskresi terutama dengan tinja dalam 

keadaan utuh dan sebagai derivat asetil. 

Efek samping terpenting yaitu  gangguan 

lambung-usus, nyeri kepala, pusing dan 

reaksi alergi.

Dosis: colitis akut 3-4 dd 0,5-1 g.

* Olsalazin (Dipentum) terdiri dari 2 molekul 

mesalazin yang dihubungkan oleh ikatan 

azo. Dalam usus besar kuman-kuman menguraikannya tuntas menjadi mesalazin. 

Dosis: colitis akut 3 dd 250-1000 mg p.c., 

profilaksis 2 dd 500 mg.

6. Sulfasetamid: N-asetilsulfasetamid, Albucid.

Garam natrium dari sulfa ini tidak bersifat alkalis seperti garam natrium dari sulfa lainnya sehingga terutama dipakai  dalam 

tetes mata (10%) dan salep mata (10%). Sebaiknya zat ini jangan dipakai  untuk 

profilaksis karena risiko sensibilisasi.

7. Silverdiazin: Flammazine, Darmazin, 

Silvadene

Garam perak dari sulfadiazin ini berkhasiat bakterisid terhadap banyak bakteri 

termasuk E. coli, Klebsiella dan Proteus dan 

tidak diinaktifkan oleh PABA. Sangat efektif 

untuk pengobatan luka bakar parah (derajat 

kedua dan ketiga), terutama bila terinfeksi 

oleh Pseudomonas. Kulit yang diobati dengan 

silversulfadiazin menjadi kelabu kehitamhitaman karena endapan perak. dipakai  

dalam bentuk krem 1-3%. Lihat juga Bab 15, 

Antiseptika.

C. SENYAWA KUINOLON

Pada tahun-tahun terakhir senyawa kuinolon sangat efektif sebagai pengobatan 

per oral dari berbagai penyakit infeksi 

oleh kuman Gram-negatif yang semula 

hanya dapat diatasi melalui pengobatan 

parenteral, misalnya prostatitis dan osteomyelitis. Zat-zat dari generasi pertama, 

misalnya asam nalidiksinat hanya 

efektif terhadap kuman Gram-negatif 

(terkecuali Pseudomonas), tetapi tidak berkhasiat terhadap kuman Gram-positif 

maupun kuman anaerob. Efek sampingnya 

pun banyak dan tidak memberikan kadar 

yang optimal dalam darah dan jaringan. 

Dengan introduksi atom fluor ke dalam 

molekulnya terbentuk fluorkuinolon pertama yakni nor-floksasin yang aktif terhadap 

Pseudomonas tetapi belum menghasilkan 

kadar serum yang efektif. Pada permulaan tahun delapan puluhan telah disintesis siprofloksasin (generasi kedua) yang 

memiliki spektrum kerja lebih luas dan 

lebih efektif terhadap Enterobacteriaceae, 

Pseudomonas aeruginosa, Staph. aureus 

dan Legionella pneumophila.

Pada pemakaian  per oral senyawa ini 

juga dapat mencapai kadar dalam darah dan 

jaringan yang optimal, di samping toksisitasnya yang rendah. Terhadap infeksi saluran 

napas, misalnya Streptococcus pneumoniae 

masih kurang bermanfaat.

Modifikasi pada struktur kimia selanjutnya 

menghasilkan sederetan kuinolon baru seperti 

antara lain gemifloksasin, grepafloksasin, levofloksasin, moksifloksasin, sparfloksasin dan trovafloksasin. Semua senyawa ini memperlihatkan 

aktivitas yang meningkat terhadap kuman 

Gram-positif, tetapi berkurang bagi Pseudomonas. Karena beberapa di antaranya kurang 

aman dibandingkan dengan siprofloksasin, 

sehingga antara lain sparfloksasin dan trovafloksasin (Trovan) di Amerika telah ditarik 

dari peredaran. Trovafloksasin dapat mengakibatkan gangguan hati sangat parah, 

terutama bila dipakai  lebih lama dari 2 

minggu. Di negara kita  sparfloksasin masih diperbolehkan beredar.

Resorpsi per oral dari kuinolon baru ini 

sangat baik, kesetaraan biologisnya melebihi 

90% dan tidak dipengaruhi oleh makanan 

maupun oleh senyawa reseptor H2. Tetapi 

resorpsi akan sangat berkurang oleh antasida yang mengandung magnesium dan aluminium, juga oleh garam-garam kalsium dan 

besi.

Mekanisme kerja

Senyawa kuinolon berkhasiat bakterisid pada fase pertumbuhan kuman berdasar  

inhibisi dua enzim bakteriil (topo-isomerase), 

yaitu DNA-gyrase dan topo-isomerase IV sehingga sintesis DNA-nya terganggu. DNAgyrase yaitu  enzim yang mengkompres 

DNA bakteri sehingga dapat diinkorporasi 

dalam sel bakteri, sedangkan topo-isomerase 

diperlukan bagi struktur ruang DNA. Kedua 

proses itu dihambat oleh kuinolon. Enzim 

tersebut hanya ada  pada kuman dan 

tidak pada sel dari organisme lebih tinggi, 

sehingga sintesis DNA manusia tidak dihambat. Hal yang sama berlaku bagi sulfonamida 

dan antibiotika beta-laktam.

pemakaian 

Senyawa kuinolon hanya dapat dipakai  

pada infeksi saluran kemih (ISK) tanpa komplikasi, sedangkan fluorkuinolon lebih luas spektrum indikasinya berkat kadarnya dalam darah yang mencapai nilai lebih tinggi. 

Dengan demikian zat-zat ini dapat pula 

dipakai  pada ISK berkomplikasi oleh kuman 

multiresisten, misalnya yang melibatkan jaringan ginjal. Selain dari itu fluorkuinolon 

juga dipakai  untuk infeksi saluran napas 

(radang paru), infeksi lambung-usus (salmonella, 

shigella), prostatitis kronis, infeksi kulit dan 

jaringan lunak oleh khususnya kuman Gramnegatif. Juga dipakai  terhadap karier

Salmonella kronis danpada infeksi mata, serta 

preventif pada pembedahan transuretra.

Dengan tujuan menghambat meluasnya 

resistensi, sangat dianjurkan untuk menggunakan fluorkuinolon sebagai kemoterapeutika 

cadangan pada infeksi oleh bakteri yang 

resisten terhadap obat-obat standar. Sebagai 

pilihan pertama pada ISK tanpa komplikasi

sebaiknya dipakai  trimetoprim, nitrofurantoin atau sulfametizol.

Fluorkuinolon yaitu  satu-satunya 

antibiotikum oral yang berkhasiat terhadap 

Pseudomonas dan oleh sementara peneliti 

dianggap sebagai obat pilihan pertama pada 

traveller’s diarrhoea.

Efek samping dan kontraindikasi

Efek samping yang paling sering terjadi 

yaitu  gangguan lambung-usus (2%), seperti 

sakit perut, mual (4-8%), muntah, anoreksia 

dan diare (4-5%), jarang timbul sejenis radang 

usus besar (colitis pseudomembranosis). Di samping itu terjadi pula reaksi alergi (eritema, urticaria). Efek neurologi (sakit kepala, pening, 

termangu-mangu, neuropati dan perasaan 

kacau), efek psikis hebat (eksitasi, ketakutan, gelisah, reaksi panik) dan konvulsi jarang 

terjadi, terkecuali pada penderita SLE (Systemic Lupus Erythemathodes) dan pada penggunaan serentak NSAIDs. Efek samping yang 

lebih serius yaitu  terhadap jantung dengan 

mengakibatkan aritmia bilik (tachyaritmia 

ventricular).

Kehamilan dan laktasi. Karena ada indikasi 

kelainan pada pembentukan tulang rawan 

dan persendian pada hewan percobaan, 

senyawa ini tidak dianjurkan pemakaian nya 

oleh wanita hamil, juga selama laktasi karena 

dikeluarkan melalui air susu ibu. 

Juga jangan diberikan pada anak-anak di 

bawah usia 16 tahun, karena dapat menimbulkan penyimpangan pada pembentukan 

tulang rawan terutama oleh asam nalidiksinat 

(jarang oleh siprofloksasin dan ofloksasin).

Resistensi

Fluorkinolon juga dapat menimbulkan resistensi akibat mutasi pada kromosom bakteri, 

walaupun tidak sedemikian cepat dibandingkan kuinolon lama tanpa fluor. Saat terjadinya resistensi pada kuman Gram-negatif, 

enzim DNA-gyrase berperan utama dan topoisomerase IV memegang peranan sekunder. Pada kuman Gram-positif situasinya 

terbalik. Suku-suku yang resisten dapat melakukan mutasi pada enzim ini, sehingga 

menjadi sangat resisten (Piddock LJV. Fluorquinolone resistance. BMJ 1998; 317: 1029-30). 

Perkembangan resistensi sangat tergantung dari dosis, frekuensi19 dan tujuan penggunaannya, misalnya sebagai stimulator 

pertumbuhan dalam industri ternak. Sebagai 

contoh yaitu  resistensi dari Campylobacter, 

Pseudomonas dan Enterobacter akibat penggunaannya secara besar-besaran dalam 

industri unggas.18 Karena itu fluorkinolon 

hendaknya dipakai  secara terbatas sebagai antibiotika cadangan, khususnya hanya 

bagi penderita yang alergis terhadap antibiotika betalaktam.

Resistensi silang ada  antara semua 

fluorkuinolon, juga dengan antibiotika 

betalaktam.

MONOGRAFI

1. Asam nalidiksinat: Negram, Urineg.

Derivat naftiridin ini (1962) berkhasiat 

bakterisid terhadap terutama bakteri Gramnegatif, termasuk E. coli, Proteus dan Klebsiella, 

tetapi Pseudomonas dan Str. faecalis tidak peka 

terhadapnya (1962). Mekanisme kerjanya 

melalui penghambatan sintesis DNA. Seperti 

juga penisilin, hanya berkhasiat terhadap 

bakteri yang sedang tumbuh. Oleh karena 

itu tidak dapat dikombinasi dengan zat-zat 

bakteriostatik (tetrasiklin, kloramfenikol) juga

tidak dengan nitrofurantoin. Aktivitasnya 

optimal pada pH asam (5-7). Resistensi dapat 

terjadi dengan agak cepat, terutama pada 

dosis di bawah 4 g sehari, sehingga tidak dianjurkan untuk pemakaian  jangka lama. Oleh 

sebab itu dan dengan tersedianya derivat fluor 

dengan spektrum kerja lebih luas dan khasiat 

lebih kuat, pemakaian nya bagi infeksi saluran kemih tanpa komplikasi dewasa ini 

tidak dianjurkan lagi. Di sejumlah negara 

Barat, antara lain negeri Belanda, peredarannya sudah dihentikan.

Resorpsinya baik (± 96%) dan cepat, begitupula ekskresinya melalui ginjal (t½ = ±1,5 

jam), oleh karena itu kadarnya di dalam urin 

relatif tinggi. Di samping itu PP-nya tinggi 

(±90%), sehingga kadar plasmanya hanya 

rendah. Dalam hati zat ini dirombak menjadi 

glukuronida tidak aktif dan derivat hidroksi 

aktif, hanya sebagian kecil dikeluarkan dalam bentuk utuh (±15%). Efek samping yang 

kadang-kadang timbul yaitu  mual, muntah 

dan reaksi alergi (urtikaria). Selanjutnya, 

lihat di atas (efek samping umum).

Dosis: 4 dd 1 g selama maksimal 7-14 hari.

2. Asam pipemidinat: Urixin, Pipram, Impresial, Urotractin

Derivat piperizanil dari nalidiksinat ini 

(1975) memiliki spektrum kerja lebih luas, 

yang juga meliputi Pseudomonas. Efek bakterisid terhadap kuman yang sedang membelah yaitu  dua kali lebih kuat. Ekskresi oleh 

ginjal demikian cepat sehingga kadarnya 

dalam darah rendah sedangkan dalam urin 

relatif tinggi. Oleh karena itu asam pipemidinat khususnya dipakai  pula pada ISK 

tanpa komplikasi.

Resorpsinya cepat dan kadar plasma maksimal tercapai sesudah  1-2 jam. Dalam 24 jam 

sejumlah 50-60% diekskresi melalui urin terutama dalam bentuk utuh. Resistensi silang 

dengan nalidiksinat dapat terjadi. 

Efek samping yang terpenting yaitu  mual, 

muntah, diare dan foto-sensibilisasi. Efekefek neurologi tidak dilaporkan.

Dosis: 2 dd 400 mg (3 aq.) d.c., selama 10 

hari.

3. Norfloksasin: Lexinor, Noroxin

Derivat fluor dari pipemidinat (1983) 

ini yaitu  obat pertama dari kelompok 

fluorkuinolon (generasi ketiga). Di samping 

khasiatnya terhadap ISK, juga efektif pada 

gonore, saluran cerna (gastro-enteritis) dan 

infeksi mata, tetapi tidak berkhasiat terhadap bakteri anaerob. 

Resorpsinya cepat dengan BA 80% dan kadar maksimal dalam plasma sudah tercapai sesudah  1-2 jam. PP-nya rendah (15%) 

dan hanya sebagian yang dimetabolisasikan 

menjadi metabolit yang juga memiliki khasiat 

antibakteriil. Zat ini diekskresi melalui urin 

sebanyak 30% sampai 50% dalam bentuk 

utuh dan 28% dengan feces. Plasma-t½-nya 

3-4 jam.

Dosis: terhadap ISK 2 dd 400 mg selama 

7-10 hari, untuk gonore single dose 800 mg. 

Pada infeksi mata 4 dd 1 tetes obat mata 

(3mg/4ml).

* Pefloksasin (Peflacine) yaitu  derivat metil 

dari norfloksasin (1985) dengan efek kurang 

kuat terhadap Pseudomonas. Zat ini digunakan pada ISK tanpa maupun dengan komplikasi. Resorpsi cepat dan hampir sempurna, PP 

±30%. Kadar plasma maksimal dicapai sesudah  

±1,5 jam. Metabolit yang terpenting yaitu  Ndesmetil-pefloksasin (= norfloksasin) yang aktif. 

Diekskresi ±60% melalui urin dan 40% dengan 

tinja. Plasma-t½ 9-14 jam, tetapi dapat mencapai 31 jam pada gangguan fungsi hati.

Dosis: oral pada ISK 2 dd 400 mg (mesilat-2 aq.) d.c. sampai 48-72 jam sesudah  gejala 

hilang atau tidak diketemukannya lagi kuman-kuman patogen. Pada ISK akut wanita 

tanpa komplikasi, dosis tunggal dari 800 mg.

4. Siprofloksasin: Ciproxin

Derivat siklopropil dari kelompok fluorkuinolon (1987) ini berkhasiat lebih luas dan 

lebih kuat daripada nalidiksinat dan pipemidinat, juga menghasilkan kadar dalam 

darah/jaringan dan plasma-t½ yang lebih 

tinggi. pemakaian  sistemiknya lebih luas 

dan meliputi ISK berkomplikasi, infeksi saluran napas bila disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa, infeksi saluran cerna, jaringan 

lunak, kulit dan gonore.

Resorpsi baik dengan BA ±70% dan kadar 

plasma maksimal tercapai 0,5-1,5 jam sesudah 

pemakaian  oral. PP-nya ±30%. Dimetabolisasi menjadi 4 metabolit aktif yang diekskresi melalui urin (55%) dan feces (39%). 

Plasma-t½ 3-5 jam dan bisa mencapai ±8 jam 

pada gangguan fungsi ginjal yang serius.

 Efek samping lihat di atas. Secara insidentil 

dapat timbul kristaluria atau hematuria.

Dosis: pada ISK oral 2 dd 125-250 mg (-HCl) 

dan sebagai infus i.v. 2 dd 100 mg (laktat), 

pada infeksi lain oral 2 dd 500 mg.

5. Ofloksasin: Tarivi