berdasar penelitan saat ini
gejala lobus frontal dapat terjadi pada
kerusakan area lain yang mempunyai
hubungan dengan lobus frontal. Hilangnya inisiasi dan motivasi, apati, serta
hilangnya kemampuan tilikan (insight)
juga berkaitan dengan gangguan fungsi
eksekutif yang memicu masalah
keluarga dalam proses rehabilitasi.
Pemeriksaan Neurobehavior
1. Pra-PENGOBATAN
Derajat keparahan cedera otak, prediksi
prognosis jangka pendek dan panjang,
dapat ditentukan oleh durasi PTA. PTA
dan gangguan orientasi dapat dinilai
dengan pemeriksaan Tes Orientasi dan
Amnesia Galvaston (TOAG). Pada pasien
rawat inap yang sudah pulih kesadarannya, harus dilakukan pemeriksaan TOAG
serial (harian) sampai mencapai nilai
minimal 75 untuk memperkirakan durasi PTA. Hasil pemeriksaan klinis ini di-
Komplikasi Pascacedera Kepala
selaraskan dengan gambaran pencitraan
untuk menilai keparahan cedera kepala.
2. Pascacedera
Pemeriksaan kognitif dengan MMSE dan
frontal battery assessment (FBA) diperlukan untuk menentukan strategi restorasi
kognitif.
Diagnosa dan Diagnosa Banding
Evaluasi menyeluruh merupakan prasyarat
sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap gangguan fungsi kognitif pascacedera. Harus dipastikan bah,wa gangguan
terse but memang terkait cedera otak, bukan
oleh pemicu lain karena gangguan kognitif yang terjadi pada masa akut dan kronik
setelah cedera kepala dapat disebabkan dan
dipengaruhi oleh faktor lain, seperti:
• Fungsi kognitif dan intelektual premorbid
• Penyakit neurologis lain
• Masalah metabolik yang menyertai
• Masalah psikiatrik
• Adanya riwayat pemakaian atau penghentian tiba-tiba obat dan zat adiktif
• Malingering
Selain melakukan pemeriksaan klinis, baik
anamnesis maupun pemeriksaan fisik serta
neuropsikologik yang cermat, penentuan
gangguan fungsi kognitif pascacedera dapat
ditunjang dengan pemakaian pencitraan.
PENGOBATAN
1. Medikamentosa
Belum ada hasil studi yang memadai
mengenai efek pemakaian medikamentosa terhadap gangguan fungsi kognitif
pascacP.dera, namun beberapa penelitian
menunjukkan potensi perbaikan. Dianjurkan memakai pendekatan 'start
ow, go slow, but go: Selanjutnya perlu
penilaian ulang berkesinambungan untuk
mengetahui manfaat, efek samping, dan
interaksi obat. Titrasi dilakukan sampai
tercapai dosis yang diinginkan atau jika
ada efek samping obat.
a. Antagonis reseptor n-metil-d-aspartat
(NMDA-antagonis) nonkompetitif
Antagonis glutamatergic berguna untuk
menghambat input pada neuron dopaminergik presinaptik dan memperkuat
neurotransmisi dopaminergik sekunder.
Memantin dan amantadin merupakan
contoh dari jenis ini dan bekerja secara
antagonis nonkompetitif terhadap kompleks reseptor NMDA melalui ikatan
phencyclidine di dalam kanal ion reseptor.
Pemberian pada beberapa hari pertama
akan meningkatkan kesadaran di minggu
pertama setelah cedera (kelas IV). Pada fase
subakut, pemakaian amantadin menunjukkan perbaikan pada atensi, fungsi visuospasial (praksis konstruksi), fungsi eksekutif, dan fungsi kognitif umum pascacedera
kepala sedang sampai berat (kelas IV).
b. Augmentasi katekolamin
Metilfenidat dapat meningkatkan kadar
dopamin serebral melalui peningkatan
pelepasannya dan memblokade ambilan
monoamin pada dosis tinggi serta inhibisi monoamin oksidase. (kelas I), atensi, kecepatan proses pikir (kelas II) dan
fungsi kognitif umum (kelas IV). Selain
memperbaiki fungsi kognitif, metilfenidat juga menurunkan rasa kantuk siang
hari pada depresi (kelas II).
c. Augmentasi kolinergik
1) Donepezil
Donepezil meningkatkan gangguan
atensi dan memori pada periode subakut (kelas I). Pada periode kronik,
meningkatkan gangguan memori dan
atensi (kelas II), gangguan sensori
(kelas II), gangguan memori deklaratif (kelas III), dan gangguan perilaku
yang terkait (kelas IV).
2) Rivastigmin
Rivastigmin menghambat asetilkolinesterase dan butiril-kolinesterase
yang mempengaruhi kerja fungsi
kolinergik serebral. Pengobatan
dengan rivastigmin pada periode
kronik dapat meningkatkan atensi
dan working memory (kelas 1). Pada
gangguan memori persisten pascacedera, rivastigmin meningkatkan
memori deklaratif, juga atensi, kecepatan proses pikir, fungsi eksekutif
dan status neuropsikiatrik (kelas IV).
Peningkatan subyektif pada atensi,
memori, motivasi, dan fatigue juga dilaporkan (kelas IV).
d. Augmentasi kombinasi katekolamin dan
kolinergik
Cytidine 5-diphosphocholine ( sitikolin atau
CDP-choline) merupakan obat intermediate essential dalam jaras biosintetik fosfolipid ke dalam membran sel. Pengobatan
dengan sitikolin selama periode awal
cedera ringan dan sedang dapat menurunkan post-concussion syndrome dan meningkatkan memori rekognisi (kelas 1).
e. Pertimbangan pemakaian obat golongan
lain
Obat antiepilepsi berkontribusi terhadap gangguan kognitifpada cedera kepala
(kelas IV). Pengobatan profilaksis dengan
fenitoin atau karbamazepin setelah minggu
pertama cedera memicu gangguan
kognitif. Valproat memperlihatkan fungsi
kognitifyang stabil (kelas 1).
Benzodiazepin sebagai agonis GABA dapat
memicu eksaserbasi gangguan kognitif pada pasien dengan cedera kepala.
Agonis GABA dapat berdampak negatif
terhadap neuroplastisitas.
2. Nonmedikamentosa
Rehabilitasi kognitifmerupakan program
intervensi sistematis yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan kognitif
dan aplikasinya ditujukan untukaktivitas
fungsi sehari-hari. Rehabilitasi neuropsikologi secara komprehensif-holistik
direkomendasikan selama pascaakut
untuk memperbaiki gangguan kognitif
dan disabilitas fungsional pada pasien
cedera kepala sedang dan berat (kelas I).
2. Komplikasi Nonkognitif Pascacedera
A. Cedera Saraf Kranialis
Cedera yang terjadi pada saraf kranial
merupakan defisit neurologis yang paling sering terjadi akibat trauma kepala.
Patel dan Coello menyebutkan bahwa
cedera saraf kranial pascacedera lebih
banyak merupakan lesi tunggal (67-
77,6%) dibandingkan lesi multipel
(22,4-32%). Separuh diantaranya diakibatkan oleh cedera kepala ringan.
Insidens cedera saraf kranial bervariasi
antara 5-23%. Secara umum nervus olfaktorius, fasialis, dan akustikus merupakan
tiga saraf kranial yang paling sering terkena, diikuti nervus optikus dan okulomotorius. Nervus trigeminus dan saraf-saraf
kranial bawah paling jarang terlibat. 1) N. I (Olfaktorius)
Lamina kribrosa merupakan bagian dari
tulang etmoid yang memiliki foramenforamen kecil tempat keluarnya serabut
saraf dari N. Olfaktorius. Fraktur pada
daerah ini akan memicu disrupsi serabut saraf hal us N. Olfaktorius, sehingga
terjadi hilangnya kemampuan penghidu.
Trauma pada daerah oksipital lebih
sering memicu gangguan penciuman dibandingkan trauma langsung di
daerah frontal. Setiap benturan pada kepala, bahkan benturan ringan sekalipun,
tetap akan berpotensi memicu
gangguan penghidu permanen, namun
secara umum insidens anosmia bersifat
paralel dengan derajat cedera.
Gejala klinis gangguan penciuman dapat
berupa anosmia, hiposmia, ataupun parosmia. Seringkali pasien tidak menyadari
adanya gangguan ini, namun mengeluhkan
adanya perubahan sensasi pengecapan.
Kecurigaan cedera pada N. Olfaktorius bila
didapatkan adanya rinorea karena kebocoran cairan serebrospinal (CSS), perdarahan dari dalam kavum nasi, ekimosis periorbital, dan ptosis. Pemeriksaan rinorea
akibat kebocoran CSS dilakukan dengan
melakukan tes halo ( cara pemeriksaan
dapat dilihat di bab Cedera Kepala). Diperlukan CT scan kepala dengan bone window
pada trauma untuk menilai ada/tidaknya
fraktur tulang kranium, khususnya daerah
basis kranii anterior.
Seringkali pemeriksaan terhadap fungsi
N. Olfaktorius terlewatkan oleh klinisi,
terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran. Biasanya gangguan
baru diketahui ketika pasien sadar ataupun saat sudah pulang perawatan.
2) N. II (Optikus)
Cedera pada N. Optikus dikenal dengan
nama traumatic optic neuropathy (TON).
Trauma ini dapat akibat trauma langsung dan tidak langsung. Trauma langsung (direct) pada TON (DTON) umumnya berupa disrupsi anatomis serabut
saraf optikus. Sekitar satu dari empat pemicu nya diakibatkan oleh luka tembus
dan tersering berupa luka tembak. Bentuk disrupsi yang terjadi dapat berupa
avulsi, kompresi, dan transeksi.
Berbeda dengan trauma langsung, trauma N. Optikus tidak langsung (indirect)
atau ITQN diakibatkan oleh transmisi energi dari trauma tumpul di daerah supraorbital ipsilateral ke kanalis N. Optikus.
Mekanisme ini secara tidak langsung
akan memicu terjadinya konkusio
(concussion), laserasi, maupun kontusio
N. Optikus. Selain itu, edema, iskemia,
trombosis mikrovaskular, dan infark dari
N. Optikus juga turut berperan dalam
ITON sebagai faktor cedera sekunder.
Keluhan utama pada trauma N. Optikus
yaitu kebutaan monokular, namun gangguan visus juga biasa terjadi. Pada cedera
parsial, seringkali ada defek altitudinal inferior. Gangguan lapang pandang
terjadi pada 10% kasus akibat kerusakan
kiasma pada cedera kepala berat. Banyak
cedera di daerah kiasma yang sifatnya
asimetris, disertai neuropati optikus
unilateral yang berat berkaitan dengan
hemianopia temporal kontralateral.
Gangguan penglihatan yang terjadi dapat
terjadi segera ataupun tertunda. Gangguan
penglihatan tertunda biasanya memiliki
prognosis yang lebih baik karena masih
dapat reversibel dibandingkan tipe segera.
Sebagian kecil kasus mengalami perburukan dalam hitungan jam sampai dengan
hari setelah trauma, diduga akibat edema
atau iskemia dalam kanal atau kompresi
oleh hematom subperiosteal orbita.
Diagnosa menjadi sulit ditegakkan pada
pasien dengan penurunan kesadaran,
namun apabila ditemukan kelainan pada
refleks cahaya berupa pupil MarcusGunn, dapat dijadikan sebagai penanda
adanya TON. Pemeriksaan funduskopi di
awal kejadian dapat tidak menunjukkan
kelainan, karena papil atrofi baru dapat
terlihat dalam 4-6 minggu. Trauma bola
mata dengan avulsi N. Optikus dapat
disertai gambaran funduskopi berupa
perdarahan dan disrupsi.
Pemeriksaan penunjang yang perlu dikerjakan yaitu visual evoked potential (VEP)
dan MRI kepala. VEP berperan dalam
manajemen penatalaksanaan dan prognosis, sedangkan MRI menunjukkan gambaran perubahan kontinuitas saraf berupa
peningkatan intensitas sinyal diN. Optikus.
3) N. III (Okulomotorius)
Paralisis N. Okulomotorius akibat trauma biasanya terjadi pada cedera kepala
yang berat disertai hilang kesadaran,
atau fraktur tulang kranium. pemicu
tersering yaitu peningkatan intrakranial
disertai herniasi unkus sehingga memicu kompresi sarafkranial ipsilateral.
Pupil abnormal merupakan tanda awal
adanya paralisis saraf ini.
Biasanya N. Okulomotorius terdesak pada
tepi tulangtengkorakyangtajam dari tentorium sisi berlawanan. Paralisis terjadi
pada sisi yang kontralateral dari herniasi,
kecuali lesi pada daerah otak tengah bagian rostral, seperti herniasi transtentorial dapat mempengaruhi sarafini bilateral.
Secara umum, trauma saraf kranialis III,
IV, dan VI akan memberikan gambaran
gangguan gerak bola mata berupa diplopia. Perbedaan ketiganya terletak pacta
gerakan bola mata ke arah mana yang
terganggu (Gambar 5). Adanya pupil
yang berdilatasi dan eksotropia unilateral
merupakan klinis utama yang ditemukan
pada paralisis N. Okulomotorius, bahkan
pacta pasien dengan penurunan kesadaran.
Pasien dengan penurunan kesadaran
perlu dilakukan pemeriksaan gerak bola
mata segera setelah perbaikan kesadaran. Pacta proptosis yag disertai pembengkakan kelopak mata, sebaiknya beri waktu sampai pembengkakan tidak terlalu
berat, agar penilaian gerakan bola mata
lebih akurat.
4) N. IV (Troklearis)
N. Troklearis memiliki struktur anatomis
yang ramping dan panjang, sebingga rentan cedera. Trauma kepala memang merupakan pemicu tersering cedera saraf
kranialis ini dan biasanya unilateral. Nukleus saraf ini terletak di mesensefalon.
Fasikulus menyilang di dorsum mesensefalon pada saat keluar dari batang otak,
sebingga lesi di nukleus dan fasikulus
akan memberi gambaran kontralateral,
berbeda dengan lesi di ruang subaraknoid, sinus kavernosus, ataupun orbita.
Gejala yang dikelubkan pasien paralisis N.
Troklearis berupa diplopia saat menaiki
tangga, membaca koran atau buku. Pasien
atau keluarga juga mengelubkan bila saat
membaca, pasien cenderung memiringkan kepalanya ke arab yang sebat.
Pemeriksaan cedera N. Troklearis umumnya banya dapat dilakukan pada pasien
dengan kesadaran penub dan koperatif.
Pemeriksaan fisik terbadap klinis diplopia pada cedera N. Troklearis adalab
dengan memiringkan kepala ke arab
bawab ipsilaterallesi (Gam bar Sb ). ada bipertropia yang memberat saat
melirik ke arab kontralateral.
5) N. V (Trigeminus)
Cedera cabang dari N. Trigeminus seringkali terlibat pada laserasi wajah dan fraktpr
tulang wajab, terutama daerah maksilofasial dan basis kranii, karena percabangan
N. Trigeminus keluar melalui beberapa
foramen dari tulang kranium (Gambar 6).
N. Trigeminus cabang infra dan supraorbita biasanya mengalami cedera pada
trauma daerab dabi, kavum orhita, dan
maksila. Cedera cabang ketiga N. Trigeminus biasa terjadi pada fraktur mandib-
ula. Foramen rotundum dan ovale merupakan tempat keluarnya percabangan N.
Trigeminus. Trauma tertutup maupun
trauma tembus juga berpotensi memicu cedera pada ganglion trigeminal.
Gejala yang dikeluhkan oleb pasien biasa-nya sensasi nyeri sesuai cabang penjalaran dari N. Trigeminus yang termasuk
dalam neuralgia trigeminal simtomatik.
Terkadang disertai juga keluban berupa
biperpati se-suai distribusi sarafini .
Setiap pasien dengan kecurigaan trauma
kepala di daerab wajab dan sekitar telinga, perlu diperbatikan kemungkinan adanya paralisis sarafini. Berikut ini merupakan kriteria Diagnosa dari neuralgia
trigeminal simtomatik berdasar Konsensus Nyeri Kepala Perdossi dan The
International Classification of Headache
Disorders:
1) Serangan nyeri paroksismal beberapa
detik sampai dua menit dengan atau
tanpa nyeri persisten diantara serangan,
melibatkan satu atau lebih cabang/divisi N. Trigeminus.
2) Memenubi paling sedikit karakteristik
nyeri sebagai berikut:
• Kuat, tajam, superfisial atau rasa
se-perti ditikam
• Dipresipitasi dari area pencetus
atau oleb faktor pencetus
3) Jenis serangan stereotipik pada setiap individu.
4) Etiologi adalab selain kompresi pembulub darah, berdasar pemeriksaan khusus dan atau eksplorasi fossa
posterior.
Pemeriksaan refleks kornea perlu dikerjakan. Adanya anestesi kornea atau hilangnya refleks kornea membuat pasien
rentan mengalami keratitis eksposur
hingga terjadinya ulkus kornea.
6) N. VI (Abdusens)
Paralisis N. Abdusens akibat trauma
cukup sering terjadi dan kebanyakan
dapat pulih sempurna. Kenaikan tekanan intrakranial pada trauma kepala memicu penekanan batang otak ke
bawah berakibat peregangan berlebihan
pada N. Abdusens di daerah ujungjtip
petrosus, sehingga terjadi paralisis.
Pada paralisis total saraf VI, bola mata
tidak dapat melakukan abduksi dan
Komplikasi Pascacedera Kepa/a
seringkali terfiksasi pada posisi aduksi.
Diplopia horizontal yang memberat saat
melihat jauh merupakan gejala dari paralisis inkomplit yang lebih sering terjadi.
Selain itu juga didapatkan strabismus
paralitik (nonkonkomitan) yang akan
tampak jelas bila melirik ke arah otot yang
terlibat pada pemeriksaan. Kelemahan
ringan akan menunjukkan esotropia pada
pemeriksaan cover uncover.
Pasien dengan kesadaran penuh akan
mengeluhkan diplopia saat melihat jauh.
Pada pemeriksaan gerak bola mata, dalam
posisi primer sisi yang terganggu akan tampak berkonvergensi ke arah aksis. Pada saat
me Jirik ke arah lateral, akan ada paralisis di sisi yang terganggu (Gambar Sc).
7) N. VII (Fasialis)
Trauma N. Fasialis terjadi pada sekitar
50% kasus. Cedera pada N. Fasialis terbagi menjadi trauma langsung dan tidak
langsung. Pada trauma langsung, komponen fraktur memicu kerusakan
pada saraf. Lain halnya dengan trauma
langsung, trauma tidak langsung diakibatkan oleh adanya edema atau hematom jaringan lunak sekitar saraf yang
memicu kompresi pada saraf.
Fraktur tulang petrosa pada trauma kepala dapat melukai daerah labirin dan
saraf fasialis. Garis fraktur dapat terjadi
SEGMEN:
Meatal
La birintin
longitudinal ke bawah mengikuti aksis
piramid petrosus, ataupun transversal
melintasi tulang ini . Kedua mekanisme fraktur ini dapat memicu perlukaan saraf fasialis. Fraktur
longitudinallebih sering terjadi, memicu edema pada saraf fasialis.
Gejala yang timbul pada cedera N. Fasialis dapat segera setelah trauma maupun
kemudian. Pada gejala yang tidak timbul segera biasanya cenderung sembuh
spontan. Berbeda dengan paralisis pada
fraktur transversal, N. Fasialis seringkali
mengalami laserasi, kontusio, ataupun
cedera yang berat. Paralisis yang timbul
biasanya segera pada cedera jenis ini.
Gejala cedera N. Fasialis bergantung pada
lokasi lesi berdasar anatominya (Gambar 7). Hilangnya fungsi pengecapan pada
dua pertiga anterior terjadi pada cedera
segmen vertikal mastoid. Pada cedera
segmen horizonal (N. Fasialis segmen telinga tengah) akan memicu hilangnya refleks stapedius, sehingga terjadi
hiperakusis (hipersensitivitas terhadap
bunyi yang keras) dan hilangnya pengecapan ipsila-teral. Meski demikian, hilangnya fungsi gustatorik setelah trauma
kepala sebenarnya jarang terjadi. Gejala
klinis lain yang dapat terjadi pada cedera
N. Fasialis, yaitu gangguan lakrimasi ipsilateral yang diakibatkan oleh adanya lesi
pada segmen labirin.
ada beberapa macam penilaian
fungsi N. Fasialis, antara lain klasifikasi
House-Brackmann (Tabell)
8) N. VIII (Vestibulokoklearis)
Cedera saraf ini terutama diakibatkan
oleh trauma tumpul langsung pada
daerah parietal dan temporal. Cedera
yang terjadi biasanya bersamaan dengan
para-lisis N. VII akibat trauma yang mengenai kanalis auditorik interna, yaitu
pada:
a) Fraktur basis kranii
Fraktur tulang temporal paling sering
diakibatkan oleh trauma tumpul langsung pada tengkorak bagian parietal.
Fraktur biasanya terjadi di sekitar foramen mayor basis kranii karena kapsula
otik yang meliputi telinga bagian dalam
sangat tebal. Fraktur biasanya terjadi di
sekitar akar meatus akustikus eksternus dan berjalan paralel dengan apeks
petrosus, kemudian menjalar ke bagian
depan foramen laserum dan arteri karotis. Kadang kala melibatkan regio sendi
temporomadibular.
Fraktur longitudinal terjadi antara 70-
90% dari total fraktur tulang temporal.
Kurang dari 20% diantaranya berupa
fraktur transversal, namun paling sering
dikaitkan dengan kerusakan saraf VII
dan VIII. Biasanya fraktur ini akan melintas daerah telinga dalam, merobek membran labirin dan menimbulkan laserasi
saraf vestibularis dan koklearis, sehingga memicu hilangnya fungsi vestibuler dan koklear secara komplit. Oleh
karena membran timpani umumnya
tetap intak, mekanisme di atas akan memicu perdarahan tertimbun pada
daerah telinga tengah.
b) Labyrinthine concussion
Mekanisme ini disebabkan oleh energi
yang dihasilkan oleh trauma dan kemudian dihantarkan oleh tulang ke koklea
seperti gelombang tekanan melalui mekanisme konduksi udara. Sesuai dengan
studi eksperimental pada hewan percobaan, ada perubahan patologis
dalam koklea akibat stimulus suara keras.
Perubahan ini ditandai dengan degenerasi sel rambut dan neuron koklear pada
tengah koklea dan memicu penurunan pendengaran nada murni. Nada
yang hilang biasanya pada 4000-SOOOHz.
Gejala dan tanda klinis:
• Labyrinthine concussion; berupa keluhan
auditorik dan vestibuler yang menyertai
fraktur tulang temporal. Ketiadaan keluhan dan tanda batang otak, merupakan
pembeda terhadap cedera perifer dengan sentral. Ketulian mendadak dapat
terjadi tanpa harus disertai dengan keluhan vestibuler. Hal ini dapat bersifat
reversibel, baik parsial maupun total.
• Posttraumatic positional vertigo; terjadi
kurang dari satu menit, namun pasien
akan merasakan dizziness disertai mual
dan sempoyongan. Sebuah penelitian
melaporkan vertigo posisional terjadi
pada 4 7% trauma kepala terkait fraktur
tulang temporal dan 21% trauma kepala
berat tanpa fraktur tulang tengkorak.
Mekanisme terjadinya akibat kristal kalsium karbonat terlepas dari makula utrikulus, memasuki kanalis semisirkularis
posterior.
• Traumatic perilymph fistula; trauma ini
akan memicu hilangnya pendengaran, vertigo, atau tinitus segera
setelah trauma kepala, terutama hila gejala berfluktuasi dari waktu ke waktu.
Trauma ini karena disrupsi pada labirin,
biasanya jendela oval ataupun bulat.
Oleh karena itu, perlu dicurigai adanya
lesi pada N. Vestibulokoklearis terutama pada pasien dengan ditemukannya
gangguan pendengaran, perdarahan dari
telinga, otorea CSS, dan gambaran tanda Battle Pemeriksaan otoskopi dapat
menunjukkan adanya gambaran kerusakan membran timpani, hemotimpanum, atau adanya CSS dalam rongga
telinga tengah. Pemeriksaan audiometri,
Komplikasi Pascacedera Kepala
tes kalori (hila tidak ditemukan tandatanda perforasi membran timpani), dan
brain auditory evoked potential (BAEP)
dapat dikerjakan hila pasien stabil.
9) N. IX, X, XI (Giosofaringeus, Vagus, Asesorius)
Ketiga saraf ini merupakan 'trio saraf
kranial bawah' yang sering mengalami
cedera secara bersamaan dikarenakan
kedekatan anatomisnya di foramen jugularis. Cedera ketiganya biasanya berkaitan
dengan fraktur basis kranii regia posterior, namun jarang terjadi. Cedera N. IX, X,
XI terutama akibat trauma ekstrakranial
se-perti trauma tusuk ataupun tembak.
Adanya mekanisme cedera akibat hiperekstensi leher terkadang juga dapat
memicu cedera di area craniocervical junction, terutama pada N. IX dan X.
Insidens lebih tinggi pada cedera kepala
berat. Cedera N. Asesorius, khususnya
akibat trauma kepala terhitung jarang
terjadi. Avulsi yang dapat terjadi lebih
banyak dikaitkan dengan trauma spinal
ataupun tindakan operatif.
Gejala-gejala yang dapat dikeluhkan atau
ditemukan pada pasien dengan cedera
ketiga saraf kranial ini berupa disfonia, disfagia, hilangnya refleks muntah,
kelemahan palatum ipsilateral, dan hilangnya kemampuan pengecapan sepertiga posterior lidah. Disfungsi vagal pascacedera (trauma N. Vagus) juga harus
dicurigai pada pasien dengan pengosongan lam bung yang terlambat dan hilangnya respons kardiak terhadap suction
trakeal.
Pasien dengan gejala dan tanda klinis
ini perlu dilakukan pemeriksaan
memakai laringoskop indirek untuk menemukan adanya paralisis plika
vokalis ipsilateral. Dapat juga ditemukan
klinis sindrom Horner bila cedera mengenai saraf simpatis daerah servikal.
10) N. XII (Hipoglosus)
N. Hipoglosus merupakan salah satu dari
saraf kranial yang paling jarang mengalami cedera akibat trauma kepala. pemicu terseringnya yaitu akibat trauma
iatrogenik, terutama pascaoperasi carotid end-arterectomy. Serabut saraf ini
keluar dari intrakranial melalui kanalis
hipoglosus, medial dari kondilus oksipitalis. pemicu akibat trauma biasanya
akibat hiperekstensi leher dengan atau
tanpa fraktur tuberkel hipoglosus maupun kondilus oksipitalis.
pemicu tersering cedera pada N. Hipoglosus yaitu akibat trauma pembedahan. namun cedera ini dapat disebabkan oleh luka tembak ataupun luka
tusuk. Keluhan biasanya berupa kesulitan 'mengendalikan' makanan padat di
dalam mulut dan bicara pelo.
Diagnosa ditegakkan bila didapatkan
klinis adanya paresis N. Hipoglosus perifer. Keadaan ini dibedakan dengan paresis sentral dengan menemukan adanya
tanda-tanda klinis perifer pada lidah
berupa papil atrofi (pada onset paresis
yang subakut-kronis), fasikulasi otot lidah, flaksid, dan lateralisasi lidah ipsilateral trauma bila lidah dijulurkan.
PENGOBATAN
Seperti halnya penanganan pada cedera
sistem saraf lainnya, tidak ada PENGOBATAN
yang dinilai cukup efektif terhadap cedera
saraf kranialis. Secara umum penatalaksanaannya dibagi menjadi penatalaksanaan
medikamentosa dan non-medikamentosa.
Beberapa cedera saraf kranial dapat dilakukan koreksi dengan tindakan pembedahan
maupun konservatif.
Tindakan pembedahan biasanya meliputi
tindakan dekompresi, penyambungan saraf
yang mengalami avulsi, dan pembedahan
korektif ( seperti pada cedera N. Okulomotorius). Penanganan konservatif meliputi tindakan rehabilitasi-fisioterapi, pemakaian
penutup mata dan kacamata lensa prisma,
serta pemakaian alat bantu dengar.
a. Medikamentosa
1) Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat diberikan pada
trauma akibat benturan, yang pemulihannya tergantung pada fungsi respons imun. Namun ada beberapa keadaan yang pemberian steroid
tidak memberikan dampak positif
yang berarti.
Beberapa kepustakaan menyebutkan
pemakaian kortikosteroid pada ITON
seperti halnya pemberian steroid pada
cedera medula spinalis, yaitu metilprednisolon dosis tinggi (regimen
dapat dilihat pada Bab Trauma Medula
Spinalis). Ada pula studi lain yang menyebutkan pemakaian deksametason
dengan dosis inisial 0,75mgjkg setiap
6 jam selama 24 jam.
Steroid diberikan pada paralisis N.
Fasialis tipe tunda. Seperti halnya
pemakaian steroid pada cedera N.
Optikus, tidak ada pedoman khusus
pemberian dosis steroid. Beberapa
kepustakaanpun menyebutkan tanpa
pemberian steroid klinis dapat membaik dengan sendirinya.
2) Medikamentosa lainnya
Pada cedera N. Trigeminus yang
menetap, biasanya pasien akan membutuhkan pengobatan simtomatik
untuk mengurangi atau menghilangkan gejala hiperalgesia. Dosis dan
lama pemakaian nya dapat bervariasi pada masing-masing individu.
Jenis obat-obatan yang dipakai biasanya merupakan golongan antikonvulsan dan adjuvan. Dosis pemberian
dimulai dari dosis terkecil dikarenakan golongan antikonvulsan berisiko
menimbulkan efek samping. Jika
pemakaian antikonvulsan dan ajuvan
yang tidak berhasil pada hiperalgesia
N. Trigeminus, dapat dipertimbangkan tindakan ablasi ganglion.
Adanya tuli sensorineural terkait
cedera N. Vestibulokoklearis biasanya akan sulit mengalami pemulihan,
terutama bila ketulian sampai dengan nol. Tinitus dan manifestasi klinis vertigo (pusing berputar /bergoyang, mual, muntah) biasanya dapat
sembuh total. Jika keluhan menetap,
dapat dipertimbangkan pemakaian
vestibulosupresan (regimen dapat
dilihat pada bab Vertigo Perifer).
b. Nonmedikamentosa
Pada cedera saraf kranialis okulomotor (N. III, N. rv, dan N. VI), dipakai
penutup mata secara bergantian dari
satu mata dengan mata yang lain. Selain
itu, dapat dipakai lensa prisma untuk
Komplikasi Pascacedera Kepala
mengoreksi keluhan diplopia. Tindakan
pembedahan dapat menjadi pilihan bila
pemulihan tidak sempurna.
Tindakan dekompresi merupakan pilihan utama pada cedera N. Fasialis segera
dan N. Trigeminus, namun prognosis perbaikannya tergantung dari berat-ringannya cedera saraf yang terjadi. Jika telah
terjadi avulsi saraf, paralisis yang terjadi
biasanya menetap.
B. Bangkitan Pascacedera Kepala
Bangkitan pascacedera kepala [posttraumatic seizurejPTS) biasanya berkaitan dengan
cedera kepala berat dan dapat terjadi segera
setelah cedera maupun tertunda. Bangkitan
yang terjadi segera setelah trauma kepala
dalam waktu 24 jam memerlukan terapi medikamentosa segera.
Insidens terjadinya epilepsi pascacedera
kepala berat tanpa disrupsi duramater
berkisar antara 7-39%. Angka ini dapat
lebih tinggi pada kondisi cedera kepala yang
disertai disrupsi duramater, yaitu sekitar
20-57%. Berikut yaitu faktor-faktor yang
berhubungan dengan pe-ningkatan insidens
terjadinya epilepsi tunda (Tabel2):
Patofi.siologi
Bangkitan yang terjadi segera setelah adanya
cedera kepala ( dalam 24 jam) dipikirkan sebagai bangkitan akibat gegar (convulsive concussion). Keadaan ini terjadi karena adanya
mekanisme trauma singkat pada otak yang
memicu gangguan inhibisi kortikal dan
bukan merupakan peristiwa epileptik.
Epileptogenesis pascacedera kepala terjadi
akibat adanya perubahan molekular dan seluler setelah adanya cedera jaringan otak. Kejadian ini yang akhimya meningkatkan proses
eksitabilitas. Cedera kepala akibat trauma
tembus akan memicu terbentuknya sikatriks pada lapisan korteks dan berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya
epilepsi sampai dengan 50%. Mekanisme
awalnya akan terjadi disrupsi jaringan disertai proses iskemik dan perdarahan.
Pada cedera otak nonpenetratif, seperti
kontusio fokal dan perdarahan intrakranial,
epileptogenesis sebagian terjadi akibat adanya efek toksik dari pemecahan produk hemoglobin terhadap fungsi neuron. Cedera
kepala tertutup akan memicu cedera
aksonal difus disertai peregangan akson,
edema difus, dan iskemia. Lokasi yang paling sering terlibat yaitu di gray-white
matter junction terutama daerah frontal dan
temporal.
Proses ini di atas akan memicu
pelepasan asam amino, sitokin, lipid bioaktif, dan mediator toksik lainnya, sehingga
memicu cedera seluler sekunder. Epileptogenesis diduga dipicu oleh hilangnya
tipe sel tertentu dan reorganisasi neuronal.
Peristiwa terse but tidak hanya mempertinggi kejadian eksitasi, namun juga menurunkan
ambang inhibisi yang akhimya mengakibat-
kan hipersinkronasi.
Peningkatan sitokin proinflamasi dan aktivasi imun pada akhimya akan memicu serangkaian proses termasuk di dalamnya kematian sel, terbentuknya kaskade
inflamasi, dan transkripsi gen baru. Proses
ini terjadi setelah beberapa hari sampai
dengan minggu, memicu terbentuknya tunas aksonal, dan modifikasi dendritik.
Gejala dan Tanda Klinis
Bentuk bangkitan pascacedera kepala dapat
berupa bangkitan fokal maupun umum. berdasar studi Wiedemayer dkk, sebagian
besar bentuk bangkitan pascacedera kepala
berupa bangkitan umum (63,3%). Ear{y-PTS
dapat terjadi berulang pada 53,2% kasus.
Adanya bangkitan ini dapat memicu
peningkatan morbiditas berupa penurunan
fungsi neurokognitif, fungsi status pasien
secara umum, luaran buruk terhadap defisit
neurologis yang ada, terjadi status epileptikus, dan yang terburuk yaitu kematian.
Diagnosa dan Diagnosa Banding
Bangkitan pascacedera dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Ear{y-posttraumatic seizure
Bangkitan terjadi dalam kurun waktu 7
hari setelah cedera kepala. Sekitar 25% kasus berisiko mengalami rekurensi dalam
beberapa bulan atau tahun kemudian.
2. Late-posttraumatic seizure
Bangkitan yang terjadi di atas 7 hari
setelah cedera kepala. Sebagian besar bangkitan yang terjadi (80%) akan
berisiko mengalami bangkitan berulang.
3. Posttraumatic epilepsy
Didefinisikan seperti epilepsi pada
umumnya berdasar definisi menurut
ILAE. Epilepsi pascacedera terjadi
biasanya merupakan kelanjutan dari lateposttraumatic seizure.
Adapun kriteria lain menurut Brain Injury
Special Interest Group (1998) yaitu sebagai berikut:
1. Early-posttraumatic seizure (early-PTS):
bangkitan terjadi kurang dari 24 jam
pascacedera.
2. Immediate-posttraumatic seizure (immediate-PTS): bangkitan terjadi dalam kurun waktu 7 hari pascacedera.
3. Late-posttraumatic seizure (late-PTS):
bangkitan terjadi di atas 7 hari pascacedera.
4. Posttraumatic epilepsy: bangkitan berulang yang merupakan kelanjutan dari
late-posttraumatic seizure, namun tidak berkaitan dengan pemicu selain
cedera kepala.
5. Non-epileptic seizures: suatu klinis yang
bukan termasuk dalam bangkitan akibat adanya aktivitas paroksismal di otak
(brain origin).
Seperti halnya penegakkan Diagnosa epilepsi pada umumnya, penegakkan Diagnosa
didapatkan dari gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, berupa:
• Elektroensefalografi (EEG).
• Pencitraan kepala (CT scan dan atau MRI
kepala).
• Pemeriksaan Iaboratorium darah; untuk
menyingkirkan gangguan metabolik lain
yang dapat berkontribusi terhadap ter-
Komplikasi Pascacedera Kepala
jadinya bangkitan.
• Lain-lain ( elektrokardiografi /EKG, pungsi lumbal).
PENGOBATAN
ada beberapa kontroversi dalam pemberian antikonvulsan sebagai profilaksis bangkitan pascacedera. Sebagian menyebutkan
pemberian profilaksis karena tingginya insidens bangkitan pada pasien cedera kepala
berat. Namun hal ini bukanlah tanpa risiko,
terutama bila pemberian antikonvulsan tidak
efektif dalam mencegah terjadinya bangkitan.
berdasar rekomendasi dari brain trauma
foundation, pemberian profilaksis bangkitan
pascacedera termasuk dalam level II A:
• pemakaian fenitoin atau valproat tidak
direkomendasikan untuk pencegahan
late-PTS.
• Fenitoin direkomendasikan untuk menurunkan insidens early-PTS bila manfaatnya dirasa lebih banyak dibandingkan
komplikasi yang dapat terjadi. Obat ini
diberikan selama 7 hari pertama.
Beberapa studi terbaru juga menyatakan
bahwa selain fenitoin, levetirasetam
dinilai memiliki efektivitas yang sama
dengan fenitoin sebagai profilaksis bangkitan. Adapun pemakaian antikonvulsan golongan lama juga dapat diberikan
untuk mengurangi terjadinya epilepsi
pascacedera yaitu, fentoin, valproat, dan
karbamazepin.
KOMPLIKASI METABOLIK PASCACEDERA
A. Hiponatremia Pascacedera
Gangguan elektrolit terjadi pada hampir
60% kasus cedera kepala berat, terutama hiponatremia. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH) dan cerebral salt wasting syndrome
(CSWS) merupakan dua gangguan yang
umumnya terjadi pada kasus hiponatremia pascacedera kepala.
Patofisiologi
1. Syndrome of inappropriate antidiuretic
hormone secretion (SIADH)
Stres akibat trauma memicu
pelepasan hormon antidiuretik (antidiuretic hormone/ ADH) dan aldosteron.
Peningkatan tekanan intrakranial dan
tekanan positif pada pernafasan juga
dapat memicu pelepasan ADH. Adanya
pelepasan ADH memicu konsentrasi urin dengan meningkatkan reabsorpsi cairan dari distal tubulus renal
dan duktus kolektifus. SIADH juga memicu terjadinya dilusi hiponatremia oleh ekspansi volume cairan ke
ekstrasel ular.
2. Cerebral salt wasting syndrome (CSWS)
Mekanisme yang mendasari CSWS pada
cedera kepala belum diketahui secara
pasti dan belum ada etiologi yang jelas
bertanggung jawab memicu keadaan ini. Dihipotesiskan bahwa CSWS
terjadi akibat kenaikan peptida natridiuretik dan adanya perubahan pasa sistem
saraf simpatis, sistem renin-angiotensinaldosteron, dan adrenomedulin.
Gejala dan Tanda Klinis
Secara umum gejala klinis dari SIADH dan
CSWS dapat berupa letargi, linglung, fatig,
anoreksia, haus, muntah, keram otot, dan
hilangnya refleks peregangan otot. Pada keadaan lebih berat, dapat ditemukan klinis
hipotermia, bangkitan, pernafasan CheyneStokes, stupor, koma, dan yang terburuk
kematian. Manifestasi keduanya sulit untuk
dibedakan sehingga membutuhkan pemeriksaan penunjang untuk dapat menegakkan Diagnosa .
Diagnosa dan Diagnosa Banding
Kedua jenis hiponatremia ini merupakan
Diagnosa banding antara satu dengan
yang lain. Penegakan Diagnosa didapatkan
berdasar pemeriksaan kadar natrium
dalam darah dan urin (Tabel 3).
PENGOBATAN
Perbedaan temuan klinis dan mekanisme
yang mendasari antara kedua sindrom
ini menjadi landasan adanya perbedaan tata laksana. Pada SIADH, restriksi
cairan merupakan penanganan utama, sedangkan rehidrasi dengan normal salin
merupakan penanganan utama terhadap
CSWS. Kegagalan klinisi dalam menentukan
terapi yang akan diberikan berakibat kondisi kedua gangguan ini tidak teratasi
dan dapat memperburuk kondisi cedera
otak yang ada.
1. Penatalaksanaan SIADH
ada perbedaan dari kepustakaan
mengenai jumlah cairan yang direstriksi,
namun diperkirakan jumlahnya berkisar
antara 800-1000mL/24jam. Medikamentosa lain yang dapat diberikan yaitu sebagai berikut:
• Vasopresin (belum tersedia di Indonesia).
• Diuretik: golongan loop diuretics [furosemid), golongan agen osmotik (urea,
manitol).
• Urea: urea diberikan dalam jangka panjang dengan dosis O,Sgr /kgbb. Hati-hati
dalam pemberian urea.
2. Penatalaksanaan CSWS
Koreksi cairan dan hiponatremia dengan
salin hipertonik intravena, diberikan selama 24 jam tetes lambat. Selama pemberian salin hipertonik, tetesan infus
harus dipantau ketat, karena pemberian
salin hipertonik yang terlalu cepat dapat
memicu terjadinya central pontine myelinolysis (CPM). Beberapa studi
menyebutkan bahwa pemakaian steroid golongan mineralokortikoid dinilai
memberikan respons yang cukup baik.
Dapat dipertimbangkan pemberian suplemen garam (NaCl) setelah kondisi
pasien dinilai stabil.
B. Koagulopati Pascacedera
Selain gangguan elektrolit, gangguan koagulasi juga menjadi salah satu masalah
yang dapat terjadi pada cedera kepala, yaitu
berkisar 10-90%. Beberapa studi menyatakan
koagulopati dapat diguna-kan sebagai prediktor luaran perawatan pascacedera kepala.
Koagulopati pascacedera kepala dapat berupa
keadaan hi-perkoagulasi atau hipokoagulasi.
Kedua-nya dapat meyebabkan cedera jaringan
sekjnder baik dengan cara menginduksi mikrotrombosis atau dengan memicu terjadinya
lesi perdarahan di otak.
Patofisiologi
Cedera otak akibat trauma akan menimbulkan kerusakan endotel pembuluh darah dart
jaringan otak itu sendiri. Kerusakan endotel
ini akan mengaktitkan faktor pembekuan
darah XII dan kaskade koagulasi, sedangkan kerusakan jaringan otak akan memicu
pelepasan tromboplastin di jaringan otak.
Kedua mekanisme ini mengaktifkan
faktor pembekuan X yang bekerja sebagai
katalisator pemecah protrombin menjadi
trombin.
Trombin memicu tiga proses: membantu pembentukan fibrin, mengaktivasi
plasminogen, dan memicu degradasi
trombosit. Pembentukan fibrin akan memicu terjadinya trombosis, sehingga
terjadi keadaan hiperkoagulasi. Baik aktivasi plasminogen dan degradasi trombosit
akan berakibat timbulnya tanda-tanda
perdarahan akibat hipokoagulasi. Kedua keadaan ini merupakan status koagulasi pada
koagulopati (Gam bar 9).
Gejala dan Tanda Klinis
Klinis yang tampak pada pasien dengan koagulopati pascacedera kepala secara umum
dinilai berdasar parameter klinisnya,
yaitu:
• Perdarahan masif dari lokasi intravena
dan luka terbuka lainnya.
• Adanya tanda perdarahan spontan dan
mengancam nyawa, termasuk perdarahan intrakranial.
• Adanya tanda trombosis difus atau lokal.
• Manifestasi pada kulit dapat berupa petekie, purpura, ekimosis, dan lain-lain.
Diagnosa dan Diagnosa Banding
Parameter klinis yaitu adanya manifestasi
klinis dan kelainan pada pemeriksaan profil
hemostasis (hi tung jenis platelet, kadar prothrombine time (PT), activated prothrombine time (aPTT), international normalized
ratio (INR), fibrinogen, dan d-Dimer), yaitu:
• Trombositopenia sedang sampai dengan
berat ditemukan pada hitung platelet.
• Pemanjangan PT dan aPTT. Peningkatan
aPTT ringan diawal pemeriksaan merupakan indikator adanya koagulopati dini pada
cedera kepala. Meskipun demikian, nilai PT
dan aPTT yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan terjadinya koagulopati.
• Fibrinogen merupakan reaktan fase akut
yang akan meningkat pada keadaan inflamasi. Kadarnya akan menurun seiring
dengan perkembangan penyakit.
• ada peningkatan d-Dimer yang
berkaitan dengan pemecahan fibrin. dDimer dinilai sebagai parameter terbaik
untuk mengetahui adanya tanda-tanda
koagulasi atau tidak.
• Penilaian terhadap nilai INR biasanya dipakai untuk memantau efek dari pemakaian antikoagulan warfarin.
PENGOBATAN
1. Fresh frozen plasma (FFP) atau kriopresipitat.
2. Agen antifibrinolitik (asam traneksamat) dapat diberikan, walaupun studi
dari Clinical randomization of an Antifibrinolytic in Significant Hemorrhage
(CRASH-2) menyimpulkan bahwa peng-
gunaan asam traneksamat tidak bermanfaat pada pasien trauma kepala.
Meski demikian, asam traneksamat rnasib dapat diberikan pada keadaan akut
dan dalam waktu singkat.
3. Rekombinan faktor VIla; akan menginisiasi pembentukan trombus dengan
cara mengikat tissue factor (TF). Sebuah
studi menyebutkan bahwa pemakaian
rekombinan faktor VIla pada perdarahan akibat trauma kepala dapat mengurangi perkembangan hematom, namun
tidak memberikan manfaat klinis.
TRANSIENT ISCHEMIC ATTACK
Transient ischemic attack (TIA) yaitu defisit neurologis akut yang disebabkan oleh
kelainan vaskular serta pulih dalam jangka
waktu kurang dari 24 jam. Sementara itu,
definisi TIA berdasar kondisi jaringan
yaitu disfungsi neurologis sementara
yang disebabkan oleh iskemia fokal otak,
medula spinalis, atau retina tanpa ada infark akut. Perubahan definisi ini terjadi
karena adanya perkembangan teknologi
pemeriksaan pencitraan otak.
Gejala TIA yang khas yaitu onset yang
mendadak, terdapatnya defisit neurologi fokal dan gangguan bicara. Namun, seringkali
diju~pai gejala yang tidak khas dan onset
yang bertahap menyerupai gejala stroke
(stroke mimic), atau malah tidak dikenali, sehingga tidak mendapat terapi yang adekuat.
Padahal TIA berpotensi untuk menjadi
stroke berulang jika tidak dilakukan terapi
pencegahan segera.
EPIDEMIOLOGI
Setiap tahun, ada 200.000-500.000
pasien yang diDiagnosa mengalami TIA di
Amerika Serikat. Sementara itu, 300.000-
700.000 pasien diketahui mengalami gejala
neurologis yang dicurigai akibat TIA, namun
tidak memeriksakan diri ke dokter. Data epi-
demiologi TIA kebanyakan berdasar data
insidens dan prevalensi, serta dihubungkan
dengan faktor risiko stroke. Insidens TIA dipengaruhi usia, jenis kelamin dan suku bangsa.
Laki-laki cenderung lebih tinggi dibandingkan
perempuan dan meningkat dengan bertambahnya usia. Insidens TIA di Eropa pada lakilaki dan perempuan masing-masing 0,52-2,37
dan 0,05-1,14, sedangkan berdasar usia
yakni 0,94-3,39 (usia 55-64 tahun), 0,71-1,47
(usia 65-74 tahun), 3,04-7,20 (usia 65-74 tahun), 2,18-6,06 (usia 75-84 tahun). Insidens
di Amerika hampir sama dengan Eropa, dan
lebih rendah di Jepang.
Kejadian stroke pada penderita TIA dapat
diprediksi berdasar skor ABCD dengan
peningkatan kejadian stroke seiring makin
tingginya skor ini . Sebuah penelitian
berbasis populasi menunjukkan skor ini
merupakan prediktor yang cukup kuat terjadinya stroke dalam 24 jam, yakni 76% dari
pasien dengan skor ABCD 5 atau lebih akan
mengalami stroke berulang. Angka prognosis kejadian stroke pasca TIA berdasar
persentase pada masyarakat umum meningkat seiring waktu, yakni 1, 7 kali setelah
2 hari, 4,8 kali setelah 1 minggu, 6,6 kali
setelah 1 bulan, 8,5 kali setelah 3 bulan, dan
mencapai 11,4 kali setelah 6 bulan pascaTIA.
PATOFISIOLOGI
Faktor Risiko
Berikut ini yaitu beberapa kondisi yang
.dapat meningkatkan risiko terjadinya TIA:
1. Umur; dihubungkan dengan risiko terjadinya peningkatan terjadinya TIA, kecuali
pada umur <!:85 tahun sedikit menurun.
2. Jenis kelamin; laki-laki mempunyai faktor risiko TIA dan stroke rata-rata 1,25
kali dibandingkan perempuan.
3. Hipertensi; berkontribusi sebagai faktor risiko sebesar 50% tergantung pada
usia pasien.
4. Fibrilasi atrial (atrial fibrillation/ AF);
risiko TIA dan stroke pada AF nonvalvular
yaitu sekitar 3-5% pertahun dengan duapertiga kasus akibat kardioemboli.
5. Diabetes mellitus (DM); merupakan
faktor risiko TIA dan stroke potensial,
dengan risiko relatif 1,8-3,0. DM dihubungkan dengan perkembangan aterosklerosis,
hipertensi, obesitas, dan kadar lipid darah
yang abnormal.
6. Merokok; sekitar 18% TIA dan stroke
dihubungkan dengan merokok aktif dan
risiko ini meningkat pada perokok berat.
7. Konsumsi alkohol; dalam jumlah besar
dapat meningkatkan kejadian hipertensi,
hiperkoagulasi, aritmia kardiak, penurunan
aliran darah otak, serta meningkatkan
kejadian stroke.
Patofisiologi TIA hampir sama dengan stroke
iskemik, akibat berkurangjberhentinya aliran
darah pada pembuluh darah serebral yang
memperdarahi suatu area tertentu di otak
secara sementara, sehingga menimbulkan
gejala neurologis fokal. Hal ini disebabkan
oleh oklusi parsial atau total akibat tromboemboli akut atau stenosis pembuluh darah,
yang dapat berasal dari plak aterosklerosis
pada pembuluh darah jantung, pembuluh
darah besar, dan pembuluh darah ekstrakranial. Manifestasi klinis yang diperlihatkan
bergantung pada daerah yang diperdarahi
pembuluh darah yang terkena.
Setidaknya ada tiga mekanisme yang
dapat memicu TIA, yakni: 1) aliran
lambat pada arteri besar (large artery low
flow TIA); 2) emboli pembuluh darah atau
jantung; dan 3) oklusi pembuluh darah kecil
di otak (lacunar or small penetrating vessel
TIA). TIA akibat aliran lambat pada arteri
besar umumnya terjadi dalam hitungan
menit hingga jam, berulang, dan memiliki
karakteristik yang sama Perlambatan aliran berkaitan dengan stenosis akibat lesi aterosklerosis, yang dapat terjadi pada arteri
karotis interna, pembuluh darah kolateral
sirkulus Willisi, arteri serebri media, ataupun pada pertemuan arteri vertebralis dan
arteri basilaris. Prinsipnya, setiap obstruksi
pada arteri ekstrakranial dan intrakranial
dapat memicu perlambatan aliran
darah dan berpotensi menimbulkan iskemia.
TIA akibat emboli memiliki gejala yang
berbeda, umumnya fokal dan episodenya
lebih lama. Risiko stroke pada TIA akibat
emboli lebih tinggi dibandingkan kasus
lain. Emboli terbentuk akibat proses patologis pada arteri yang biasanya berlokasi
di ekstrakranial atau berkaitan dengan kelainan jantung (seperti fibrilasi atrial atau
trombus ventrikel kiri)
Lacunar or small penetrating vessel TIA dapat
disebabkan oleh stenosis salah satu penetrating vessel yang berasal dari arteri serebral
media, arteri basilar, arteri vertebralis, atau
arteri yang berasal dari sirkulus Willisi. Oklusi
pembuluh darah kecil ini dapat disebabkan
oleh lipohialinosis akibat hipertensi atau lesi
aterosklerosis.
Pacta TIA, terjadi gangguan perfusi sesaat
sehingga tidak ada kerusakan permanen pacta sel neuron. Defisit neurologis
yang terjadi akan pulih sempurna seiring
dengan perbaikan fungsi dari sel-sel yang
mengalami reperfusi.
GEJALA KLINIS
Gejala TIAyang khas umumnya terjadi tibatiba, bersifat sementara dan hilang dalam
waktu 30-60 menit. Gejala ini dapat
tipikal ataupun atipikal (Tabel 1 ), an tara
lain gangguan perilaku (behaviour), bahasa,
gait, memori, dan gerakan (movement).
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Penegakan Diagnosa dilakukan berdasar
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus teliti tidak
hanya pacta pasien, namun juga keluarga atau
orang lain yang menyaksikan kejadian. Pacta
anamnesis, sebaiknya diperoleh gejala dan
karakteristik TIA seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pemeriksaan fisik harus lengkap meliputi
tanda vital meliputi tekanan darah, nadi,
napas, suhu, dan saturasi oksigen, serta
pemeriksaan fisik umum dan neurologis.
Pacta pemeriksaan fisik umum, perlu dicari
penyakityang dapat memicu terjadinya
TIA, seperti kelainan jantung, DM, dan lainlain. Pemeriksaan fisik neurologis dilakukan
untuk mencari defisit neurologis yang mungkin masih tersisa, meliputi pemeriksaan saraf
kranial, kekuatan motorik, sensoris, fungsi
bahasa, sistem keseimbangan, dan kontrol
motorik yang diatur oleh serebelum.
Pemeriksaan penunjang untuk memastikan
faktor risiko terjadinya TIA, yakni:
• Mendapatkan bukti tanda dan gejala
pembuluh darah secara langsung ataupun tidak langsung. Bukti secara langsung, yakni adanya hipoperfusi dan
atau infark akut, sedangkan bukti tidak
Iangsung berupa identifikasi kemung
kinan terjadinya stenosis arteri besar.
• Menyingkirkan adanya akibat noniskemik.
• Mencari faktor risiko mekanisme gangguan pembuluh darah seperti aterotrombotik pembuluh darah besar, kardioemboli, dan gangguan pembuluh darah
kecil (small vessel disease).
• Menentukan dan meramalkan prognosis pasien terhadap terjadinya stroke di
kemudian hari.
Beberapa pemeriksaan penunjang awal yang
perlu dilakukan yaitu kadar glukosa darah
dengan ftngerstick, darah perifer lengkap, elektrolit serum, profil koagulasi, profil lipid, dan
EKG 12 sadapan. Pemeriksaan laju endap darah dan kadar enzim jantung hanya jika ada
indikasi berhubungan dengan kelainan jantung. Selanjutnya pencitraan otak berupa MRI
(diutamakan) danjatau CT scan Qika MRI tidak
tersedia ), serta Doppler transkranial ( transcranial Doppler /TCD) dan Doppler karotis.
TIA dapat menyerupai berbagai penyakit,
antara lain:
• Migren dengan aura
e Hipotensi dan atau sinkop
0 Gejala fokal episodik sementara (misalnya confusion)
e Gangguan keseimbangan perifer (misalnya vertigo terisolasi)
ill Kejang parsial
e Ansietas atau hiperventilasi
ill Amnesia global sementara (transient
global amnesia)
e Drop attacks, yaitu hilangnya tonus postural sementara yang memicu
pasien terjatuh
• Hipoglikemia
Setelah menegakkan Diagnosa TIA, perlu
ditentukan prognosis kejadian stroke
pascaTIA dengan skor ABCD. Sistem ini
mampu memprediksi risiko stroke dalam
2-90 hari pascaTIA melalui penjumlahan
5 faktor independen (Tabel 2). Skor ABCD
yang lebih tinggi mengindikasikan risiko
terkena stroke yang lebih tinggi dalam
waktu 2, 7, 30, dan 90 hari pascaTIA, sehingga direkomendasikan untuk dirawat
di RS (Tabel 3).
PENGOBATAN
1. PENGOBATAN Medikamentosa
a. 'if'era i Litrombotik:
• Untuk TIA akibat aterotrombotik:
Pemberian..-rffiltiplatei-et yang dikonsumsi setiap hari dalam jangka-panjang, yaitu kombinasi dipiridamol lepas lambat
ditambah aspirin CJini pertama), klopidogr:el, atau aspirin. Antikoagulan tidak
direkomendasikan.
• Untuk TIA akibat kardioembolik:
Pernberian antikoagulan jangkapanjang
untuk atrial 'brilasi (terus-menerus
atau intermiten). Pada pasien yang memiliki intoleransi terhadap antikoagulan, dapat diberikan aspirin 325mg per
hari, a tau jika intoleran terhadap aspirin
dapat diberikan klopidogrel 75mg per
hari.
b. PENGOBATAN penyakit penyerta yakni :
• Hipertensi
Jika ditemukan hipertensi, dilakukan penurunan tekanan darah hingga
<140/ 90mmHg atau <130/ SOmmHg
untuk pasien dengan diabetes dengan
pemberian angiotensin converting enzyme inhibitors (ACE-inhibitor) atau
kombinasi ACE-inhibitor dan diuretik
atau angiotensin-receptor blocker (ARB).
• Hiperlipidemia
Jika ditemukan hiperlipidemia, mulai
diberikan statin, dengan target kadar
LDL-kolesterol <1 00mgj dL.
• DM
Jika ditemukan DM, dilakukan tata
laksana DM dengan target glukosa
darah <126mgjdL.
2. PENGOBATAN Nonmedikamentosa
a. Mengatur pola makan dengan gizi
seimbang.
b. Berhenti merokok dan membatasi
konsumsi alkohol (bagi pasien yang
merokok dan mengonsumsi alkohol).
c. Melakukan aktivitas fisik ::::::10 menit
dalam sehari, seperti bersepeda, jalan
cepat, berlari, atau berenang.
PROGNOSIS
berdasar penelitian diketahui % pasLe_n
TIA berubah menjadi stroke dalam waktu 2
hari, 8% pasien dalam waktu 1 bulan, dan 9%
pasien dalam waktu 90 hari. Semen tara itu, ketika pasien diikuti secara prospektif diketahui
bahwa 11% pasien mengalami stroke dalam 7
hari. Besarnya risiko pasien TIA untukterkena
stroke dalam waktu 5 tahun yaitu sebesar
24-29%. Selain itu, pasien dengan TIA atau
stroke memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
terkena penyakit arteri koroner.
CONTOH KASUS
Seorang perempuan umur 61 tahun, datang
dengan keluhan utama kelemahan mendadak
pada anggota gerak kiri. Pasien tidak ada keluhan penurunan kesadaran, sakit kepala atau
kejang, serta belum pernah mengalami keluhan
ini sebelumnya. Pasien segera dibawa ke RS.
Dalam perjalanan, keluhan pasien membaik
Didapatkan riwayat hipertensi terkontrol dan
rutin mengkonsumsi Captopril 2x12,5mg.
Tanda vital dan pemeriksaan fisik dalam batas
normal. Tidak ditemukan hipotensi ortostatik
Pasien dikatakan dalam keadaan sehat dan
disarankan melanjutkan terapi antihipertensi. Tidak ditemukan riwayat keluhan serupa
pada keluarga, riwayat konsumsi alkohol,
obat-obatan lain atau riwayat sinkop.
Pertanyaan:
1. Apakah kemungkinan Diagnosa pasien?
2. Apakah pemeriksaan selanjutnya yang
dibutuhkannya?
3. PENGOBATAN apa yang dibutuhkan pasien
ini ?
Jawaban:
1. Transient ischemic attack (TIA)
2. Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk penapisan faktor risiko TIA, antara
lain pemeriksaan kadar glukosa darah
dengan fingerstick, pemeriksaan darah
perifer lengkap, elektrolit serum, faktor
koagulasi darah, profil lipid, laju endap
darah, serta EKG 12 sadapan. Selain itu,
diperlukan pencitraan pembuluh darah
intrakranial maupun ekstrakranial berupa pemeriksaan Doppler transkranial dan
Doppler karotis. Hal lain yang juga perlu
dilakukan yaitu menentukan skor risiko
stroke pasca TIA (sistem skor ABCD). 3. PENGOBATAN yang dapat diberikan pada
pasien dengan TIA yaitu terapi antitrombotik. Selain itu, dilakukan PENGOBATAN penyakit penyerta, seperti hipertensi.
STROKE ISKEMIK
Stroke merupakan penyakit kegawatdaruratan neurologi yang bersifat akut dan salah
satu pemicu kecacatan dan kematian tertinggi di beberapa negara di dunia. Pada tahun 2013, ada sekitar 25,7 juta kasus
stroke, dengan hampir separuh kasus (10,3
juta kasus) merupakan stroke pertama. Sebanyak 6,5 juta pasien mengalami kematian
dan 11,3 juta pasien mengalami kecacatan.
Di negara berkembang, secara umum angka
kecacatan dan kematian stroke cukup tinggi
yakni 81% dan 75,2%. Di Indonesia, stroke
merupakan pemicu kematian tertinggi
berdasar data Riset Kesehatan Dasar
tahun 2007, yaitu 15,4%. Data Indonesia
Stroke Registrytahun 2012-2013 mendapatkan sebanyak 20,3% kematian pada 48 jam
pertama pascastroke.
Kecacatan dapat berupa defisit neurologi yang
berdampak pada gangguan emosional dan
sosial, tidak hanya bagi pasien namun juga
bagi keluarganya. Hal ini diperberat dengan
tingginya serangan stroke berulang, jika faktor risiko stroke tidak teratasi dengan baik.
EPIDEMIOLOGI
Insidens stroke di Asia sangat bervariasi,
antara lain Malaysia (67 per 100.000 penduduk) dan Taiwan (330 per 100.000 penduduk). berdasar Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) Kementerian Kesehatan tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia
meningkat dari 8,3% pada tahun 2007
menjadi 12,1% pada tahun 2013. ada
perbedaan prevalensi di berbagai propinsi
dengan posisi tiga besar secara berurutan,
yakni Sulawesi Selatan (17.9%), Daerah Istimewa Yogyakarta (16.9%), dan Sulawesi
Tengah (16.6%).
Prevalensi stroke meningkat seiring bertambahnya usia, dengan puncaknya pada usia
~75 tahun. Di Indonesia, prevalensi stroke
tidak berbeda berdasar jenis kelamin.
Namun di Jepang, insidens stroke pada jenis
kelamin laki-laki dua kali lipat dari perempuan yakni masing-masing 442 per 100.000
penduduk dan 212 per 100.000.
Persentase stroke iskemik lebih tinggi
dibandingkan dengan stroke hemoragik.
Laporan American Heart Association (AHA)
tahun 2016 mendapatkan stroke iskemik
mencapai 87% serta sisanya yaitu perdarahan intraserebral dan subaraknoid. Hal
ini sesuai dengan data Stroke Registry tahun
2012-2014 terhadap 5.411 pasien stroke di
Indonesia, mayoritas yaitu stroke iskemik
(67%). Demikian pula dari 384 pasien stroke
yang menjalani rawat inap di RSUPN Cipto
Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2014,
sebanyak 71,4 % yaitu stroke iskemik.
Adapun angka kematian akibat stroke iske
mik (11,3%) relatif lebih kecil dibandingkan
stroke perdarahan (17,2%). Secara umum
dari 61,9% pasien stroke iskemik yang dilakukan pemeriksaan CT scan di Indonesia didapatkan infark terbanyak pada sirkulasi anterior (27%), diikuti infark lakunar (11,7%),
dan infark pada sirkulasi posterior ( 4,2%).
PATOFISIOLOGI
Secara umum faktor risiko stroke terbagi
menjadi dua, yaitu (1) faktor risiko yang
dapat dimodifikasi atau dilakukan tata laksana, antara lain hipertensi, diabetes melitus (DM), merokok, obesitas, asam urat, dan
hiperkole~terol, serta (2) faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi, seperti usia, jenis
kelamin, dan etnis.
1. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko
stroke tersering, sebanyak 60% penyandang hipertensi akan mengalami
stroke. Hipertensi dapat menimbulkan
stroke iskemik (SO%) maupun stroke
perdarahan (60%). Data menunjukkan
bahwa risiko stroke trombotik pada
penyandang hipertensi sekitar 4,5 kali
Iebih tinggi dibandingkan normotensi.
Pada usia >65 tahun, penyandang hipertensi memiliki risiko 1,5 kali lebih tinggi
dibandingkan normotensi.
Patofisiologi hipertensi memicu
terjadinya perubahan pada pembuluh
darah. Perubahan dimulai dari penebaIan tunika intima dan peningkatan permeabilitas endotel oleh hipertensi lama,
terutama pada arteri dengan ukuran kecil, yaitu sekitar 300-SOOmm (cabang
perforata). Proses akan berlanjut dengan terbentuknya deposit lipid teruta-
Stroke Iskemik
rna kolesterol dan kolesterol oleat pada
tunika muskularis yang memicu
lumen pembuluh darah menyempit serta
berkelok-kelok.
Pada hipertensi kronik akan terbentuk
nekrosis fibrinoid yang memicu
kelemahan dan herniasi dinding arteriol, serta ruptur tunika intima, sehingga
terbentuk suatu mikroaneurisma yang
disebut Charcot-Bouchard. Kelainan ini
terjadi terutama pada arteri yang berdiameter 100-300mm (arteriol).
Pengerasan dinding pembuluh darah
dapat memicu gangguan autoregulasi, berupa kesulitan untuk berkontraksi atau berdilatasi terhadap perubahan tekanan darah sistemik. Jika terjadi
penurunan tekanan darah sistemik yang
mendadak, tekanan perfusi otak menjadi
tidak adekuat, sehinggga memicu iskemik jaringan otak. Sebaliknya,
jika terjadi peningkatan tekanan darah
sistemik, maka akan terjadi peningkatan
tekanan perfusi yang hebat yang akan
memicu hiperemia, edema, dan
perdarahan.
2. Diabetes Melitus
Sebanyak 10-30% penyandang DM dapat
mengalami stroke. Suatu studi terhadap 4 72 pasien stroke selama 10 tahun
menunjukkan adanya riwayat DM pada
10,6% Iaki-Iaki dan 7,9% perempuan.
Penelitian menunjukan adanya peranan
hiperglikemi dalam proses aterosklerosis, yaitu gangguan metabolisme berupa
akumulasi sorbitol di dinding pembuluh darah arteri. Hal ini mennyebabkan
gangguan osmotik dan bertambahnya
kandungan air di dalam sel yang dapat
memicu kurangnya oksigenisasi.
Peranan genetik pada DM belum diketahui
secara pasti. Dipikirkan ada abnormalitas genetik yang dihubungkan dengan abnormalitas seluler secara intrinsik berupa
pemendekan usia kehidupan (life span) sel
dan peningkatan proses pergantian (tumover) sel di dalam jaringan. Proses ini dapat
juga terjadi pada sel endotel dan sel otot polos dinding pembuluh darah.
Penyandang DM sering disertai dengan
hiperlipidemia yang merupakan faktor
risiko terjadinya proses aterosklerosis.
Pada penelitian oleh National Cholesterol
Education Program (NCEP), kurang lebih
40% penyandang DM termasuk dalam
kriteria hiperlipidemia serta 23% mengalami hipertrigliserida dan kadar high
density lipoprotein (HDL) yang rendah.
3. Merokok
Secara prospektif merokok dapat meningkatkan perburukan serangan stroke
sebesar 3,5 kali dan dihubungkan dengan
banyaknya konsumsi rokok Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa mekanisme.
Pertama, akibat derivat rokok