neurologi 28












  berdasar  penelitan saat ini 

gejala lobus frontal dapat terjadi pada 

kerusakan area lain yang mempunyai 

hubungan dengan lobus frontal. Hilangnya inisiasi dan motivasi, apati, serta 

hilangnya kemampuan tilikan (insight) 

juga berkaitan dengan gangguan fungsi 

eksekutif yang memicu  masalah 

keluarga dalam proses rehabilitasi. 

Pemeriksaan Neurobehavior 

1. Pra-PENGOBATAN 

Derajat keparahan cedera otak, prediksi 

prognosis jangka pendek dan panjang, 

dapat ditentukan oleh durasi PTA. PTA 

dan gangguan orientasi dapat dinilai 

dengan pemeriksaan Tes Orientasi dan 

Amnesia Galvaston (TOAG). Pada pasien 

rawat inap yang sudah pulih kesadarannya, harus dilakukan pemeriksaan TOAG 

serial (harian) sampai mencapai nilai 

minimal 75 untuk memperkirakan durasi PTA. Hasil pemeriksaan klinis ini di- 

Komplikasi Pascacedera Kepala 

selaraskan dengan gambaran pencitraan 

untuk menilai keparahan cedera kepala. 

2. Pascacedera 

Pemeriksaan kognitif dengan MMSE dan 

frontal battery assessment (FBA) diperlukan untuk menentukan strategi restorasi 

kognitif. 

Diagnosa  dan Diagnosa  Banding 

Evaluasi menyeluruh merupakan prasyarat 

sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap gangguan fungsi kognitif pascacedera. Harus dipastikan bah,wa gangguan 

terse but memang terkait cedera otak, bukan 

oleh pemicu  lain karena gangguan kognitif yang terjadi pada masa akut dan kronik 

setelah cedera kepala dapat disebabkan dan 

dipengaruhi oleh faktor lain, seperti: 

• Fungsi kognitif dan intelektual premorbid 

• Penyakit neurologis lain 

• Masalah metabolik yang menyertai 

• Masalah psikiatrik 

• Adanya riwayat pemakaian  atau penghentian tiba-tiba obat dan zat adiktif 

• Malingering 

Selain melakukan pemeriksaan klinis, baik 

anamnesis maupun pemeriksaan fisik serta 

neuropsikologik yang cermat, penentuan 

gangguan fungsi kognitif pascacedera dapat 

ditunjang dengan pemakaian  pencitraan. 

PENGOBATAN 

1. Medikamentosa 

Belum ada hasil studi yang memadai 

mengenai efek pemakaian  medikamentosa terhadap gangguan fungsi kognitif 

pascacP.dera, namun beberapa penelitian 

menunjukkan potensi perbaikan. Dianjurkan memakai  pendekatan 'start 

ow, go slow, but go: Selanjutnya perlu 

penilaian ulang berkesinambungan untuk 

mengetahui manfaat, efek samping, dan 

interaksi obat. Titrasi dilakukan sampai 

tercapai dosis yang diinginkan atau jika 

ada efek samping obat. 

a. Antagonis reseptor n-metil-d-aspartat 

(NMDA-antagonis) nonkompetitif 

Antagonis glutamatergic berguna untuk 

menghambat input pada neuron dopaminergik presinaptik dan memperkuat 

neurotransmisi dopaminergik sekunder. 

Memantin dan amantadin merupakan 

contoh dari jenis ini dan bekerja secara 

antagonis nonkompetitif terhadap kompleks reseptor NMDA melalui ikatan 

phencyclidine di dalam kanal ion reseptor. 

Pemberian pada beberapa hari pertama 

akan meningkatkan kesadaran di minggu 

pertama setelah cedera (kelas IV). Pada fase 

subakut, pemakaian  amantadin menunjukkan perbaikan pada atensi, fungsi visuospasial (praksis konstruksi), fungsi eksekutif, dan fungsi kognitif umum pascacedera 

kepala sedang sampai berat (kelas IV). 

b. Augmentasi katekolamin 

Metilfenidat dapat meningkatkan kadar 

dopamin serebral melalui peningkatan 

pelepasannya dan memblokade ambilan 

monoamin pada dosis tinggi serta inhibisi monoamin oksidase. (kelas I), atensi, kecepatan proses pikir (kelas II) dan 

fungsi kognitif umum (kelas IV). Selain 

memperbaiki fungsi kognitif, metilfenidat juga menurunkan rasa kantuk siang 

hari pada depresi (kelas II). 

c. Augmentasi kolinergik 

1) Donepezil  

Donepezil meningkatkan gangguan 

atensi dan memori pada periode subakut (kelas I). Pada periode kronik, 

meningkatkan gangguan memori dan 

atensi (kelas II), gangguan sensori 

(kelas II), gangguan memori deklaratif (kelas III), dan gangguan perilaku 

yang terkait (kelas IV). 

2) Rivastigmin 

Rivastigmin menghambat asetilkolinesterase dan butiril-kolinesterase 

yang mempengaruhi kerja fungsi 

kolinergik serebral. Pengobatan 

dengan rivastigmin pada periode 

kronik dapat meningkatkan atensi 

dan working memory (kelas 1). Pada 

gangguan memori persisten pascacedera, rivastigmin meningkatkan 

memori deklaratif, juga atensi, kecepatan proses pikir, fungsi eksekutif 

dan status neuropsikiatrik (kelas IV). 

Peningkatan subyektif pada atensi, 

memori, motivasi, dan fatigue juga dilaporkan (kelas IV). 

d. Augmentasi kombinasi katekolamin dan 

kolinergik 

Cytidine 5-diphosphocholine ( sitikolin atau 

CDP-choline) merupakan obat intermediate essential dalam jaras biosintetik fosfolipid ke dalam membran sel. Pengobatan 

dengan sitikolin selama periode awal 

cedera ringan dan sedang dapat menurunkan post-concussion syndrome dan meningkatkan memori rekognisi (kelas 1). 

e. Pertimbangan pemakaian  obat golongan 

lain 

Obat antiepilepsi berkontribusi terhadap gangguan kognitifpada cedera kepala 

(kelas IV). Pengobatan profilaksis dengan 

 

fenitoin atau karbamazepin setelah minggu 

pertama cedera memicu gangguan 

kognitif. Valproat memperlihatkan fungsi 

kognitifyang stabil (kelas 1). 

Benzodiazepin sebagai agonis GABA dapat 

memicu eksaserbasi gangguan kognitif pada pasien dengan cedera kepala. 

Agonis GABA dapat berdampak negatif 

terhadap neuroplastisitas. 

2. Nonmedikamentosa 

Rehabilitasi kognitifmerupakan program 

intervensi sistematis yang dirancang untuk meningkatkan kemampuan kognitif 

dan aplikasinya ditujukan untukaktivitas 

fungsi sehari-hari. Rehabilitasi neuropsikologi secara komprehensif-holistik 

direkomendasikan selama pascaakut 

untuk memperbaiki gangguan kognitif 

dan disabilitas fungsional pada pasien 

cedera kepala sedang dan berat (kelas I). 

2. Komplikasi Nonkognitif Pascacedera 

A. Cedera Saraf Kranialis 

Cedera yang terjadi pada saraf kranial 

merupakan defisit neurologis yang paling sering terjadi akibat trauma kepala. 

Patel dan Coello menyebutkan bahwa 

cedera saraf kranial pascacedera lebih 

banyak merupakan lesi tunggal (67-

77,6%) dibandingkan lesi multipel 

(22,4-32%). Separuh diantaranya diakibatkan oleh cedera kepala ringan. 

Insidens cedera saraf kranial bervariasi 

antara 5-23%. Secara umum nervus olfaktorius, fasialis, dan akustikus merupakan 

tiga saraf kranial yang paling sering terkena, diikuti nervus optikus dan okulomotorius. Nervus trigeminus dan saraf-saraf 

kranial bawah paling jarang terlibat.  1) N. I (Olfaktorius) 

Lamina kribrosa merupakan bagian dari 

tulang etmoid yang memiliki foramenforamen kecil tempat keluarnya serabut 

saraf dari N. Olfaktorius. Fraktur pada 

daerah ini akan memicu disrupsi serabut saraf hal us N. Olfaktorius, sehingga 

terjadi hilangnya kemampuan penghidu. 

Trauma pada daerah oksipital lebih 

sering memicu gangguan penciuman dibandingkan trauma langsung di 

daerah frontal. Setiap benturan pada kepala, bahkan benturan ringan sekalipun, 

tetap akan berpotensi memicu 

gangguan penghidu permanen, namun  

secara umum insidens anosmia bersifat 

paralel dengan derajat cedera. 

Gejala klinis gangguan penciuman dapat 

berupa anosmia, hiposmia, ataupun parosmia. Seringkali pasien tidak menyadari 

adanya gangguan ini, namun  mengeluhkan 

adanya perubahan sensasi pengecapan. 

Kecurigaan cedera pada N. Olfaktorius bila 

didapatkan adanya rinorea karena kebocoran cairan serebrospinal (CSS), perdarahan dari dalam kavum nasi, ekimosis periorbital, dan ptosis. Pemeriksaan rinorea 

akibat kebocoran CSS dilakukan dengan 

melakukan tes halo ( cara pemeriksaan 

dapat dilihat di bab Cedera Kepala). Diperlukan CT scan kepala dengan bone window 

pada trauma untuk menilai ada/tidaknya 

fraktur tulang kranium, khususnya daerah 

basis kranii anterior. 

Seringkali pemeriksaan terhadap fungsi 

N. Olfaktorius terlewatkan oleh klinisi, 

terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran. Biasanya gangguan  

baru diketahui ketika pasien sadar ataupun saat sudah pulang perawatan. 

2) N. II (Optikus) 

Cedera pada N. Optikus dikenal dengan 

nama traumatic optic neuropathy (TON). 

Trauma ini dapat akibat trauma langsung dan tidak langsung. Trauma langsung (direct) pada TON (DTON) umumnya berupa disrupsi anatomis serabut 

saraf optikus. Sekitar satu dari empat pemicu nya diakibatkan oleh luka tembus 

dan tersering berupa luka tembak. Bentuk disrupsi yang terjadi dapat berupa 

avulsi, kompresi, dan transeksi. 

Berbeda dengan trauma langsung, trauma N. Optikus tidak langsung (indirect) 

atau ITQN diakibatkan oleh transmisi energi dari trauma tumpul di daerah supraorbital ipsilateral ke kanalis N. Optikus. 

Mekanisme ini secara tidak langsung 

akan memicu terjadinya konkusio 

(concussion), laserasi, maupun kontusio 

N. Optikus. Selain itu, edema, iskemia, 

trombosis mikrovaskular, dan infark dari 

N. Optikus juga turut berperan dalam 

ITON sebagai faktor cedera sekunder. 

Keluhan utama pada trauma N. Optikus 

yaitu  kebutaan monokular, namun  gangguan visus juga biasa terjadi. Pada cedera 

parsial, seringkali ada defek altitudinal inferior. Gangguan lapang pandang 

terjadi pada 10% kasus akibat kerusakan 

kiasma pada cedera kepala berat. Banyak 

cedera di daerah kiasma yang sifatnya 

asimetris, disertai neuropati optikus 

unilateral yang berat berkaitan dengan 

hemianopia temporal kontralateral.  

Gangguan penglihatan yang terjadi dapat 

terjadi segera ataupun tertunda. Gangguan 

penglihatan tertunda biasanya memiliki 

prognosis yang lebih baik karena masih 

dapat reversibel dibandingkan tipe segera. 

Sebagian kecil kasus mengalami perburukan dalam hitungan jam sampai dengan 

hari setelah trauma, diduga akibat edema 

atau iskemia dalam kanal atau kompresi 

oleh hematom subperiosteal orbita. 

Diagnosa  menjadi sulit ditegakkan pada 

pasien dengan penurunan kesadaran, 

namun  apabila ditemukan kelainan pada 

refleks cahaya berupa pupil MarcusGunn, dapat dijadikan sebagai penanda 

adanya TON. Pemeriksaan funduskopi di 

awal kejadian dapat tidak menunjukkan 

kelainan, karena papil atrofi baru dapat 

terlihat dalam 4-6 minggu. Trauma bola 

mata dengan avulsi N. Optikus dapat 

disertai gambaran funduskopi berupa 

perdarahan dan disrupsi. 

Pemeriksaan penunjang yang perlu dikerjakan yaitu  visual evoked potential (VEP) 

dan MRI kepala. VEP berperan dalam 

manajemen penatalaksanaan dan prognosis, sedangkan MRI menunjukkan gambaran perubahan kontinuitas saraf berupa 

peningkatan intensitas sinyal diN. Optikus. 

3) N. III (Okulomotorius) 

Paralisis N. Okulomotorius akibat trauma biasanya terjadi pada cedera kepala 

yang berat disertai hilang kesadaran, 

atau fraktur tulang kranium. pemicu  

tersering yaitu  peningkatan intrakranial 

disertai herniasi unkus sehingga memicu kompresi sarafkranial ipsilateral. 

Pupil abnormal merupakan tanda awal 

adanya paralisis saraf ini.  

Biasanya N. Okulomotorius terdesak pada 

tepi tulangtengkorakyangtajam dari tentorium sisi berlawanan. Paralisis terjadi 

pada sisi yang kontralateral dari herniasi, 

kecuali lesi pada daerah otak tengah bagian rostral, seperti herniasi transtentorial dapat mempengaruhi sarafini bilateral. 

Secara umum, trauma saraf kranialis III, 

IV, dan VI akan memberikan gambaran 

gangguan gerak bola mata berupa diplopia. Perbedaan ketiganya terletak pacta 

gerakan bola mata ke arah mana yang 

terganggu (Gambar 5). Adanya pupil 

yang berdilatasi dan eksotropia unilateral  

merupakan klinis utama yang ditemukan 

pada paralisis N. Okulomotorius, bahkan 

pacta pasien dengan penurunan kesadaran. 

Pasien dengan penurunan kesadaran 

perlu dilakukan pemeriksaan gerak bola 

mata segera setelah perbaikan kesadaran. Pacta proptosis yag disertai pembengkakan kelopak mata, sebaiknya beri waktu sampai pembengkakan tidak terlalu 

berat, agar penilaian gerakan bola mata 

lebih akurat. 

4) N. IV (Troklearis) 

N. Troklearis memiliki struktur anatomis  

yang ramping dan panjang, sebingga rentan cedera. Trauma kepala memang merupakan pemicu  tersering cedera saraf 

kranialis ini dan biasanya unilateral. Nukleus saraf ini terletak di mesensefalon. 

Fasikulus menyilang di dorsum mesensefalon pada saat keluar dari batang otak, 

sebingga lesi di nukleus dan fasikulus 

akan memberi gambaran kontralateral, 

berbeda dengan lesi di ruang subaraknoid, sinus kavernosus, ataupun orbita. 

Gejala yang dikelubkan pasien paralisis N. 

Troklearis berupa diplopia saat menaiki 

tangga, membaca koran atau buku. Pasien 

atau keluarga juga mengelubkan bila saat 

membaca, pasien cenderung memiringkan kepalanya ke arab yang sebat. 

Pemeriksaan cedera N. Troklearis umumnya banya dapat dilakukan pada pasien 

dengan kesadaran penub dan koperatif. 

Pemeriksaan fisik terbadap klinis diplopia pada cedera N. Troklearis adalab 

dengan memiringkan kepala ke arab 

bawab ipsilaterallesi (Gam bar Sb ). ada bipertropia yang memberat saat 

melirik ke arab kontralateral. 

5) N. V (Trigeminus) 

Cedera cabang dari N. Trigeminus seringkali terlibat pada laserasi wajah dan fraktpr 

tulang wajab, terutama daerah maksilofasial dan basis kranii, karena percabangan 

N. Trigeminus keluar melalui beberapa 

foramen dari tulang kranium (Gambar 6). 

N. Trigeminus cabang infra dan supraorbita biasanya mengalami cedera pada 

trauma daerab dabi, kavum orhita, dan 

maksila. Cedera cabang ketiga N. Trigeminus biasa terjadi pada fraktur mandib- 

ula. Foramen rotundum dan ovale merupakan tempat keluarnya percabangan N. 

Trigeminus. Trauma tertutup maupun 

trauma tembus juga berpotensi memicu cedera pada ganglion trigeminal. 

Gejala yang dikeluhkan oleb pasien biasa-nya sensasi nyeri sesuai cabang penjalaran dari N. Trigeminus yang termasuk 

dalam neuralgia trigeminal simtomatik. 

Terkadang disertai juga keluban berupa 

biperpati se-suai distribusi sarafini . 

Setiap pasien dengan kecurigaan trauma 

kepala di daerab wajab dan sekitar telinga, perlu diperbatikan kemungkinan adanya paralisis sarafini. Berikut ini merupakan kriteria Diagnosa  dari neuralgia 

trigeminal simtomatik berdasar  Konsensus Nyeri Kepala Perdossi dan The 

International Classification of Headache 

Disorders: 

1) Serangan nyeri paroksismal beberapa 

detik sampai dua menit dengan atau 

tanpa nyeri persisten diantara serangan, 

melibatkan satu atau lebih cabang/divisi N. Trigeminus. 

2) Memenubi paling sedikit karakteristik 

nyeri sebagai berikut: 

• Kuat, tajam, superfisial atau rasa 

se-perti ditikam 

• Dipresipitasi dari area pencetus 

atau oleb faktor pencetus 

3) Jenis serangan stereotipik pada setiap individu. 

4) Etiologi adalab selain kompresi pembulub darah, berdasar  pemeriksaan khusus dan atau eksplorasi fossa 

posterior.  

Pemeriksaan refleks kornea perlu dikerjakan. Adanya anestesi kornea atau hilangnya refleks kornea membuat pasien 

rentan mengalami keratitis eksposur 

hingga terjadinya ulkus kornea. 

6) N. VI (Abdusens) 

Paralisis N. Abdusens akibat trauma 

cukup sering terjadi dan kebanyakan 

dapat pulih sempurna. Kenaikan tekanan intrakranial pada trauma kepala memicu penekanan batang otak ke 

bawah berakibat peregangan berlebihan 

pada N. Abdusens di daerah ujungjtip 

petrosus, sehingga terjadi paralisis. 

Pada paralisis total saraf VI, bola mata 

tidak dapat melakukan abduksi dan 

Komplikasi Pascacedera Kepa/a 

seringkali terfiksasi pada posisi aduksi. 

Diplopia horizontal yang memberat saat 

melihat jauh merupakan gejala dari paralisis inkomplit yang lebih sering terjadi. 

Selain itu juga didapatkan strabismus 

paralitik (nonkonkomitan) yang akan 

tampak jelas bila melirik ke arah otot yang 

terlibat pada pemeriksaan. Kelemahan 

ringan akan menunjukkan esotropia pada 

pemeriksaan cover uncover. 

Pasien dengan kesadaran penuh akan 

mengeluhkan diplopia saat melihat jauh. 

Pada pemeriksaan gerak bola mata, dalam 

posisi primer sisi yang terganggu akan tampak berkonvergensi ke arah aksis. Pada saat 

me Jirik ke arah lateral, akan ada paralisis di sisi yang terganggu (Gambar Sc).  

7) N. VII (Fasialis) 

Trauma N. Fasialis terjadi pada sekitar 

50% kasus. Cedera pada N. Fasialis terbagi menjadi trauma langsung dan tidak 

langsung. Pada trauma langsung, komponen fraktur memicu kerusakan 

pada saraf. Lain halnya dengan trauma 

langsung, trauma tidak langsung diakibatkan oleh adanya edema atau hematom jaringan lunak sekitar saraf yang 

memicu kompresi pada saraf. 

Fraktur tulang petrosa pada trauma kepala dapat melukai daerah labirin dan 

saraf fasialis. Garis fraktur dapat terjadi 

SEGMEN: 

Meatal 

La birintin 

longitudinal ke bawah mengikuti aksis 

piramid petrosus, ataupun transversal 

melintasi tulang ini . Kedua mekanisme fraktur ini  dapat memicu  perlukaan saraf fasialis. Fraktur 

longitudinallebih sering terjadi, memicu  edema pada saraf fasialis. 

Gejala yang timbul pada cedera N. Fasialis dapat segera setelah trauma maupun 

kemudian. Pada gejala yang tidak timbul segera biasanya cenderung sembuh 

spontan. Berbeda dengan paralisis pada 

fraktur transversal, N. Fasialis seringkali 

mengalami laserasi, kontusio, ataupun  

cedera yang berat. Paralisis yang timbul 

biasanya segera pada cedera jenis ini. 

Gejala cedera N. Fasialis bergantung pada 

lokasi lesi berdasar  anatominya (Gambar 7). Hilangnya fungsi pengecapan pada 

dua pertiga anterior terjadi pada cedera 

segmen vertikal mastoid. Pada cedera 

segmen horizonal (N. Fasialis segmen telinga tengah) akan memicu hilangnya refleks stapedius, sehingga terjadi 

hiperakusis (hipersensitivitas terhadap 

bunyi yang keras) dan hilangnya pengecapan ipsila-teral. Meski demikian, hilangnya fungsi gustatorik setelah trauma 

kepala sebenarnya jarang terjadi. Gejala 

klinis lain yang dapat terjadi pada cedera 

N. Fasialis, yaitu gangguan lakrimasi ipsilateral yang diakibatkan oleh adanya lesi 

pada segmen labirin. 

ada beberapa macam penilaian 

fungsi N. Fasialis, antara lain klasifikasi 

House-Brackmann (Tabell) 

8) N. VIII (Vestibulokoklearis) 

Cedera saraf ini terutama diakibatkan 

oleh trauma tumpul langsung pada 

daerah parietal dan temporal. Cedera 

yang terjadi biasanya bersamaan dengan 

para-lisis N. VII akibat trauma yang mengenai kanalis auditorik interna, yaitu 

pada: 

a) Fraktur basis kranii 

Fraktur tulang temporal paling sering 

diakibatkan oleh trauma tumpul langsung pada tengkorak bagian parietal. 

Fraktur biasanya terjadi di sekitar foramen mayor basis kranii karena kapsula 

otik yang meliputi telinga bagian dalam 

sangat tebal. Fraktur biasanya terjadi di 

sekitar akar meatus akustikus eksternus dan berjalan paralel dengan apeks 

petrosus, kemudian menjalar ke bagian 

depan foramen laserum dan arteri karotis. Kadang kala melibatkan regio sendi 

temporomadibular.  

Fraktur longitudinal terjadi antara 70-

90% dari total fraktur tulang temporal. 

Kurang dari 20% diantaranya berupa 

fraktur transversal, namun  paling sering 

dikaitkan dengan kerusakan saraf VII 

dan VIII. Biasanya fraktur ini akan melintas daerah telinga dalam, merobek membran labirin dan menimbulkan laserasi 

saraf vestibularis dan koklearis, sehingga memicu hilangnya fungsi vestibuler dan koklear secara komplit. Oleh 

karena membran timpani umumnya 

tetap intak, mekanisme di atas akan memicu perdarahan tertimbun pada 

daerah telinga tengah. 

b) Labyrinthine concussion 

Mekanisme ini disebabkan oleh energi 

yang dihasilkan oleh trauma dan kemudian dihantarkan oleh tulang ke koklea 

seperti gelombang tekanan melalui mekanisme konduksi udara. Sesuai dengan 

studi eksperimental pada hewan percobaan, ada perubahan patologis 

dalam koklea akibat stimulus suara keras. 

Perubahan ini ditandai dengan degenerasi sel rambut dan neuron koklear pada 

tengah koklea dan memicu penurunan pendengaran nada murni. Nada 

yang hilang biasanya pada 4000-SOOOHz.  

Gejala dan tanda klinis: 

• Labyrinthine concussion; berupa keluhan 

auditorik dan vestibuler yang menyertai 

fraktur tulang temporal. Ketiadaan keluhan dan tanda batang otak, merupakan 

pembeda terhadap cedera perifer dengan sentral. Ketulian mendadak dapat 

terjadi tanpa harus disertai dengan keluhan vestibuler. Hal ini dapat bersifat 

reversibel, baik parsial maupun total. 

• Posttraumatic positional vertigo; terjadi 

kurang dari satu menit, namun pasien 

akan merasakan dizziness disertai mual 

dan sempoyongan. Sebuah penelitian 

melaporkan vertigo posisional terjadi 

pada 4 7% trauma kepala terkait fraktur 

tulang temporal dan 21% trauma kepala 

berat tanpa fraktur tulang tengkorak. 

Mekanisme terjadinya akibat kristal kalsium karbonat terlepas dari makula utrikulus, memasuki kanalis semisirkularis 

posterior. 

• Traumatic perilymph fistula; trauma ini 

akan memicu  hilangnya pendengaran, vertigo, atau tinitus segera 

setelah trauma kepala, terutama hila gejala berfluktuasi dari waktu ke waktu. 

Trauma ini karena disrupsi pada labirin, 

biasanya jendela oval ataupun bulat. 

Oleh karena itu, perlu dicurigai adanya 

lesi pada N. Vestibulokoklearis terutama pada pasien dengan ditemukannya 

gangguan pendengaran, perdarahan dari 

telinga, otorea CSS, dan gambaran tanda Battle Pemeriksaan otoskopi dapat 

menunjukkan adanya gambaran kerusakan membran timpani, hemotimpanum, atau adanya CSS dalam rongga 

telinga tengah. Pemeriksaan audiometri,  

Komplikasi Pascacedera Kepala 

tes kalori (hila tidak ditemukan tandatanda perforasi membran timpani), dan 

brain auditory evoked potential (BAEP) 

dapat dikerjakan hila pasien stabil. 

9) N. IX, X, XI (Giosofaringeus, Vagus, Asesorius) 

Ketiga saraf ini merupakan 'trio saraf 

kranial bawah' yang sering mengalami 

cedera secara bersamaan dikarenakan 

kedekatan anatomisnya di foramen jugularis. Cedera ketiganya biasanya berkaitan 

dengan fraktur basis kranii regia posterior, namun jarang terjadi. Cedera N. IX, X, 

XI terutama akibat trauma ekstrakranial 

se-perti trauma tusuk ataupun tembak. 

Adanya mekanisme cedera akibat hiperekstensi leher terkadang juga dapat 

memicu cedera di area craniocervical junction, terutama pada N. IX dan X. 

Insidens lebih tinggi pada cedera kepala 

berat. Cedera N. Asesorius, khususnya 

akibat trauma kepala terhitung jarang 

terjadi. Avulsi yang dapat terjadi lebih 

banyak dikaitkan dengan trauma spinal 

ataupun tindakan operatif. 

Gejala-gejala yang dapat dikeluhkan atau 

ditemukan pada pasien dengan cedera 

ketiga saraf kranial ini berupa disfonia, disfagia, hilangnya refleks muntah, 

kelemahan palatum ipsilateral, dan hilangnya kemampuan pengecapan sepertiga posterior lidah. Disfungsi vagal pascacedera (trauma N. Vagus) juga harus 

dicurigai pada pasien dengan pengosongan lam bung yang terlambat dan hilangnya respons kardiak terhadap suction 

trakeal. 

Pasien dengan gejala dan tanda klinis 

ini  perlu dilakukan pemeriksaan  

memakai  laringoskop indirek untuk menemukan adanya paralisis plika 

vokalis ipsilateral. Dapat juga ditemukan 

klinis sindrom Horner bila cedera mengenai saraf simpatis daerah servikal. 

10) N. XII (Hipoglosus) 

N. Hipoglosus merupakan salah satu dari 

saraf kranial yang paling jarang mengalami cedera akibat trauma kepala. pemicu  terseringnya yaitu  akibat trauma 

iatrogenik, terutama pascaoperasi carotid end-arterectomy. Serabut saraf ini 

keluar dari intrakranial melalui kanalis 

hipoglosus, medial dari kondilus oksipitalis. pemicu  akibat trauma biasanya 

akibat hiperekstensi leher dengan atau 

tanpa fraktur tuberkel hipoglosus maupun kondilus oksipitalis. 

pemicu  tersering cedera pada N. Hipoglosus yaitu  akibat trauma pembedahan. namun  cedera ini dapat disebabkan oleh luka tembak ataupun luka 

tusuk. Keluhan biasanya berupa kesulitan 'mengendalikan' makanan padat di 

dalam mulut dan bicara pelo. 

Diagnosa  ditegakkan bila didapatkan 

klinis adanya paresis N. Hipoglosus perifer. Keadaan ini dibedakan dengan paresis sentral dengan menemukan adanya 

tanda-tanda klinis perifer pada lidah 

berupa papil atrofi (pada onset paresis 

yang subakut-kronis), fasikulasi otot lidah, flaksid, dan lateralisasi lidah ipsilateral trauma bila lidah dijulurkan. 

PENGOBATAN 

Seperti halnya penanganan pada cedera 

sistem saraf lainnya, tidak ada PENGOBATAN 

yang dinilai cukup efektif terhadap cedera  

saraf kranialis. Secara umum penatalaksanaannya dibagi menjadi penatalaksanaan 

medikamentosa dan non-medikamentosa. 

Beberapa cedera saraf kranial dapat dilakukan koreksi dengan tindakan pembedahan 

maupun konservatif. 

Tindakan pembedahan biasanya meliputi 

tindakan dekompresi, penyambungan saraf 

yang mengalami avulsi, dan pembedahan 

korektif ( seperti pada cedera N. Okulomotorius). Penanganan konservatif meliputi tindakan rehabilitasi-fisioterapi, pemakaian  

penutup mata dan kacamata lensa prisma, 

serta pemakaian  alat bantu dengar. 

a. Medikamentosa 

1) Kortikosteroid 

Kortikosteroid dapat diberikan pada 

trauma akibat benturan, yang pemulihannya tergantung pada fungsi respons imun. Namun ada beberapa keadaan yang pemberian steroid 

tidak memberikan dampak positif 

yang berarti. 

Beberapa kepustakaan menyebutkan 

pemakaian  kortikosteroid pada ITON 

seperti halnya pemberian steroid pada 

cedera medula spinalis, yaitu metilprednisolon dosis tinggi (regimen 

dapat dilihat pada Bab Trauma Medula 

Spinalis). Ada pula studi lain yang menyebutkan pemakaian  deksametason 

dengan dosis inisial 0,75mgjkg setiap 

6 jam selama 24 jam. 

Steroid diberikan pada paralisis N. 

Fasialis tipe tunda. Seperti halnya 

pemakaian  steroid pada cedera N. 

Optikus, tidak ada pedoman khusus 

pemberian dosis steroid. Beberapa 

 

kepustakaanpun menyebutkan tanpa 

pemberian steroid klinis dapat membaik dengan sendirinya. 

2) Medikamentosa lainnya 

Pada cedera N. Trigeminus yang 

menetap, biasanya pasien akan membutuhkan pengobatan simtomatik 

untuk mengurangi atau menghilangkan gejala hiperalgesia. Dosis dan 

lama pemakaian nya dapat bervariasi pada masing-masing individu. 

Jenis obat-obatan yang dipakai  biasanya merupakan golongan antikonvulsan dan adjuvan. Dosis pemberian 

dimulai dari dosis terkecil dikarenakan golongan antikonvulsan berisiko 

menimbulkan efek samping. Jika 

pemakaian  antikonvulsan dan ajuvan 

yang tidak berhasil pada hiperalgesia 

N. Trigeminus, dapat dipertimbangkan tindakan ablasi ganglion. 

Adanya tuli sensorineural terkait 

cedera N. Vestibulokoklearis biasanya akan sulit mengalami pemulihan, 

terutama bila ketulian sampai dengan nol. Tinitus dan manifestasi klinis vertigo (pusing berputar /bergoyang, mual, muntah) biasanya dapat 

sembuh total. Jika keluhan menetap, 

dapat dipertimbangkan pemakaian  

vestibulosupresan (regimen dapat 

dilihat pada bab Vertigo Perifer). 

b. Nonmedikamentosa 

Pada cedera saraf kranialis okulomotor (N. III, N. rv, dan N. VI), dipakai  

penutup mata secara bergantian dari 

satu mata dengan mata yang lain. Selain 

itu, dapat dipakai  lensa prisma untuk  

Komplikasi Pascacedera Kepala 

mengoreksi keluhan diplopia. Tindakan 

pembedahan dapat menjadi pilihan bila 

pemulihan tidak sempurna. 

Tindakan dekompresi merupakan pilihan utama pada cedera N. Fasialis segera 

dan N. Trigeminus, namun  prognosis perbaikannya tergantung dari berat-ringannya cedera saraf yang terjadi. Jika telah 

terjadi avulsi saraf, paralisis yang terjadi 

biasanya menetap. 

B. Bangkitan Pascacedera Kepala 

Bangkitan pascacedera kepala [posttraumatic seizurejPTS) biasanya berkaitan dengan 

cedera kepala berat dan dapat terjadi segera 

setelah cedera maupun tertunda. Bangkitan 

yang terjadi segera setelah trauma kepala 

dalam waktu 24 jam memerlukan terapi medikamentosa segera. 

Insidens terjadinya epilepsi pascacedera 

kepala berat tanpa disrupsi duramater 

berkisar antara 7-39%. Angka ini dapat 

lebih tinggi pada kondisi cedera kepala yang 

disertai disrupsi duramater, yaitu sekitar 

20-57%. Berikut yaitu  faktor-faktor yang 

berhubungan dengan pe-ningkatan insidens 

terjadinya epilepsi tunda (Tabel2):  

Patofi.siologi 

Bangkitan yang terjadi segera setelah adanya 

cedera kepala ( dalam 24 jam) dipikirkan sebagai bangkitan akibat gegar (convulsive concussion). Keadaan ini terjadi karena adanya 

mekanisme trauma singkat pada otak yang 

memicu gangguan inhibisi kortikal dan 

bukan merupakan peristiwa epileptik. 

Epileptogenesis pascacedera kepala terjadi 

akibat adanya perubahan molekular dan seluler setelah adanya cedera jaringan otak. Kejadian ini yang akhimya meningkatkan proses 

eksitabilitas. Cedera kepala akibat trauma 

tembus akan memicu terbentuknya sikatriks pada lapisan korteks dan berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya 

epilepsi sampai dengan 50%. Mekanisme 

awalnya akan terjadi disrupsi jaringan disertai proses iskemik dan perdarahan. 

Pada cedera otak nonpenetratif, seperti 

kontusio fokal dan perdarahan intrakranial, 

epileptogenesis sebagian terjadi akibat adanya efek toksik dari pemecahan produk hemoglobin terhadap fungsi neuron. Cedera 

kepala tertutup akan memicu cedera 

aksonal difus disertai peregangan akson, 

edema difus, dan iskemia. Lokasi yang paling sering terlibat yaitu  di gray-white 

matter junction terutama daerah frontal dan 

temporal. 

Proses ini  di atas akan memicu 

pelepasan asam amino, sitokin, lipid bioaktif, dan mediator toksik lainnya, sehingga 

memicu cedera seluler sekunder. Epileptogenesis diduga dipicu oleh hilangnya 

tipe sel tertentu dan reorganisasi neuronal. 

Peristiwa terse but tidak hanya mempertinggi kejadian eksitasi, namun  juga menurunkan 

ambang inhibisi yang akhimya mengakibat- 

kan hipersinkronasi. 

Peningkatan sitokin proinflamasi dan aktivasi imun pada akhimya akan memicu serangkaian proses termasuk di dalamnya kematian sel, terbentuknya kaskade 

inflamasi, dan transkripsi gen baru. Proses 

ini terjadi setelah beberapa hari sampai 

dengan minggu, memicu terbentuknya tunas aksonal, dan modifikasi dendritik. 

Gejala dan Tanda Klinis 

Bentuk bangkitan pascacedera kepala dapat 

berupa bangkitan fokal maupun umum. berdasar  studi Wiedemayer dkk, sebagian 

besar bentuk bangkitan pascacedera kepala 

berupa bangkitan umum (63,3%). Ear{y-PTS 

dapat terjadi berulang pada 53,2% kasus. 

Adanya bangkitan ini dapat memicu 

peningkatan morbiditas berupa penurunan 

fungsi neurokognitif, fungsi status pasien 

secara umum, luaran buruk terhadap defisit 

neurologis yang ada, terjadi status epileptikus, dan yang terburuk yaitu  kematian. 

Diagnosa  dan Diagnosa  Banding 

Bangkitan pascacedera dapat dikelompokkan sebagai berikut: 

1. Ear{y-posttraumatic seizure 

Bangkitan terjadi dalam kurun waktu 7 

hari setelah cedera kepala. Sekitar 25% kasus berisiko mengalami rekurensi dalam 

beberapa bulan atau tahun kemudian. 

2. Late-posttraumatic seizure 

Bangkitan yang terjadi di atas 7 hari 

setelah cedera kepala. Sebagian besar bangkitan yang terjadi (80%) akan 

berisiko mengalami bangkitan berulang. 

3. Posttraumatic epilepsy 

Didefinisikan seperti epilepsi pada 

umumnya berdasar  definisi menurut 

ILAE. Epilepsi pascacedera terjadi 

biasanya merupakan kelanjutan dari lateposttraumatic seizure. 

Adapun kriteria lain menurut Brain Injury 

Special Interest Group (1998) yaitu  sebagai berikut: 

1. Early-posttraumatic seizure (early-PTS): 

bangkitan terjadi kurang dari 24 jam 

pascacedera. 

2. Immediate-posttraumatic seizure (immediate-PTS): bangkitan terjadi dalam kurun waktu 7 hari pascacedera. 

3. Late-posttraumatic seizure (late-PTS): 

bangkitan terjadi di atas 7 hari pascacedera. 

4. Posttraumatic epilepsy: bangkitan berulang yang merupakan kelanjutan dari 

late-posttraumatic seizure, namun  tidak berkaitan dengan pemicu  selain 

cedera kepala. 

5. Non-epileptic seizures: suatu klinis yang 

bukan termasuk dalam bangkitan akibat adanya aktivitas paroksismal di otak 

(brain origin). 

Seperti halnya penegakkan Diagnosa  epilepsi pada umumnya, penegakkan Diagnosa  

didapatkan dari gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, berupa: 

• Elektroensefalografi (EEG). 

• Pencitraan kepala (CT scan dan atau MRI 

kepala). 

• Pemeriksaan Iaboratorium darah; untuk 

menyingkirkan gangguan metabolik lain 

yang dapat berkontribusi terhadap ter- 

Komplikasi Pascacedera Kepala 

jadinya bangkitan. 

• Lain-lain ( elektrokardiografi /EKG, pungsi lumbal). 

PENGOBATAN 

ada beberapa kontroversi dalam pemberian antikonvulsan sebagai profilaksis bangkitan pascacedera. Sebagian menyebutkan 

pemberian profilaksis karena tingginya insidens bangkitan pada pasien cedera kepala 

berat. Namun hal ini bukanlah tanpa risiko, 

terutama bila pemberian antikonvulsan tidak 

efektif dalam mencegah terjadinya bangkitan. 

berdasar  rekomendasi dari brain trauma 

foundation, pemberian profilaksis bangkitan 

pascacedera termasuk dalam level II A: 

• pemakaian  fenitoin atau valproat tidak 

direkomendasikan untuk pencegahan 

late-PTS. 

• Fenitoin direkomendasikan untuk menurunkan insidens early-PTS bila manfaatnya dirasa lebih banyak dibandingkan 

komplikasi yang dapat terjadi. Obat ini 

diberikan selama 7 hari pertama. 

Beberapa studi terbaru juga menyatakan 

bahwa selain fenitoin, levetirasetam 

dinilai memiliki efektivitas yang sama 

dengan fenitoin sebagai profilaksis bangkitan. Adapun pemakaian  antikonvulsan golongan lama juga dapat diberikan 

untuk mengurangi terjadinya epilepsi 

pascacedera yaitu, fentoin, valproat, dan 

karbamazepin.  

KOMPLIKASI METABOLIK PASCACEDERA 

A. Hiponatremia Pascacedera 

Gangguan elektrolit terjadi pada hampir 

60% kasus cedera kepala berat, terutama hiponatremia. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH) dan cerebral salt wasting syndrome 

(CSWS) merupakan dua gangguan yang 

umumnya terjadi pada kasus hiponatremia pascacedera kepala. 

Patofisiologi 

1. Syndrome of inappropriate antidiuretic 

hormone secretion (SIADH) 

Stres akibat trauma memicu 

pelepasan hormon antidiuretik (antidiuretic hormone/ ADH) dan aldosteron. 

Peningkatan tekanan intrakranial dan 

tekanan positif pada pernafasan juga 

dapat memicu pelepasan ADH. Adanya 

pelepasan ADH memicu konsentrasi urin dengan meningkatkan reabsorpsi cairan dari distal tubulus renal 

dan duktus kolektifus. SIADH juga memicu terjadinya dilusi hiponatremia oleh ekspansi volume cairan ke 

ekstrasel ular.  

2. Cerebral salt wasting syndrome (CSWS) 

Mekanisme yang mendasari CSWS pada 

cedera kepala belum diketahui secara 

pasti dan belum ada etiologi yang jelas 

bertanggung jawab memicu keadaan ini. Dihipotesiskan bahwa CSWS 

terjadi akibat kenaikan peptida natridiuretik dan adanya perubahan pasa sistem 

saraf simpatis, sistem renin-angiotensinaldosteron, dan adrenomedulin. 

Gejala dan Tanda Klinis 

Secara umum gejala klinis dari SIADH dan 

CSWS dapat berupa letargi, linglung, fatig, 

anoreksia, haus, muntah, keram otot, dan 

hilangnya refleks peregangan otot. Pada keadaan lebih berat, dapat ditemukan klinis 

hipotermia, bangkitan, pernafasan CheyneStokes, stupor, koma, dan yang terburuk 

kematian. Manifestasi keduanya sulit untuk 

dibedakan sehingga membutuhkan pemeriksaan penunjang untuk dapat menegakkan Diagnosa . 

Diagnosa  dan Diagnosa  Banding 

Kedua jenis hiponatremia ini merupakan 

Diagnosa  banding antara satu dengan 

yang lain. Penegakan Diagnosa  didapatkan 

berdasar  pemeriksaan kadar natrium 

dalam darah dan urin (Tabel 3).  

PENGOBATAN 

Perbedaan temuan klinis dan mekanisme 

yang mendasari antara kedua sindrom 

ini  menjadi landasan adanya perbedaan tata laksana. Pada SIADH, restriksi 

cairan merupakan penanganan utama, sedangkan rehidrasi dengan normal salin 

merupakan penanganan utama terhadap 

CSWS. Kegagalan klinisi dalam menentukan 

terapi yang akan diberikan berakibat kondisi kedua gangguan ini  tidak teratasi 

dan dapat memperburuk kondisi cedera 

otak yang ada. 

1. Penatalaksanaan SIADH 

ada perbedaan dari kepustakaan 

mengenai jumlah cairan yang direstriksi, 

namun  diperkirakan jumlahnya berkisar 

antara 800-1000mL/24jam. Medikamentosa lain yang dapat diberikan yaitu  sebagai berikut: 

• Vasopresin (belum tersedia di Indonesia).  

• Diuretik: golongan loop diuretics [furosemid), golongan agen osmotik (urea, 

manitol). 

• Urea: urea diberikan dalam jangka panjang dengan dosis O,Sgr /kgbb. Hati-hati 

dalam pemberian urea. 

2. Penatalaksanaan CSWS 

Koreksi cairan dan hiponatremia dengan 

salin hipertonik intravena, diberikan selama 24 jam tetes lambat. Selama pemberian salin hipertonik, tetesan infus 

harus dipantau ketat, karena pemberian 

salin hipertonik yang terlalu cepat dapat 

memicu terjadinya central pontine myelinolysis (CPM). Beberapa studi 

menyebutkan bahwa pemakaian  steroid golongan mineralokortikoid dinilai 

memberikan respons yang cukup baik. 

Dapat dipertimbangkan pemberian suplemen garam (NaCl) setelah kondisi 

pasien dinilai stabil.  

B. Koagulopati Pascacedera 

Selain gangguan elektrolit, gangguan koagulasi juga menjadi salah satu masalah 

yang dapat terjadi pada cedera kepala, yaitu 

berkisar 10-90%. Beberapa studi menyatakan 

koagulopati dapat diguna-kan sebagai prediktor luaran perawatan pascacedera kepala. 

Koagulopati pascacedera kepala dapat berupa 

keadaan hi-perkoagulasi atau hipokoagulasi. 

Kedua-nya dapat meyebabkan cedera jaringan 

sekjnder baik dengan cara menginduksi mikrotrombosis atau dengan memicu terjadinya 

lesi perdarahan di otak. 

Patofisiologi 

Cedera otak akibat trauma akan menimbulkan kerusakan endotel pembuluh darah dart 

jaringan otak itu sendiri. Kerusakan endotel 

ini akan mengaktitkan faktor pembekuan 

darah XII dan kaskade koagulasi, sedangkan kerusakan jaringan otak akan memicu 

pelepasan tromboplastin di jaringan otak. 

Kedua mekanisme ini  mengaktifkan 

faktor pembekuan X yang bekerja sebagai 

katalisator pemecah protrombin menjadi 

trombin. 

Trombin memicu tiga proses: membantu pembentukan fibrin, mengaktivasi 

plasminogen, dan memicu degradasi 

trombosit. Pembentukan fibrin akan memicu terjadinya trombosis, sehingga 

terjadi keadaan hiperkoagulasi. Baik aktivasi plasminogen dan degradasi trombosit 

akan berakibat timbulnya tanda-tanda 

perdarahan akibat hipokoagulasi. Kedua keadaan ini merupakan status koagulasi pada 

koagulopati (Gam bar 9). 

Gejala dan Tanda Klinis 

Klinis yang tampak pada pasien dengan koagulopati pascacedera kepala secara umum  

dinilai berdasar  parameter klinisnya, 

yaitu: 

• Perdarahan masif dari lokasi intravena 

dan luka terbuka lainnya. 

• Adanya tanda perdarahan spontan dan 

mengancam nyawa, termasuk perdarahan intrakranial. 

• Adanya tanda trombosis difus atau lokal. 

• Manifestasi pada kulit dapat berupa petekie, purpura, ekimosis, dan lain-lain. 

Diagnosa  dan Diagnosa  Banding 

Parameter klinis yaitu  adanya manifestasi 

klinis dan kelainan pada pemeriksaan profil 

hemostasis (hi tung jenis platelet, kadar prothrombine time (PT), activated prothrombine time (aPTT), international normalized 

ratio (INR), fibrinogen, dan d-Dimer), yaitu: 

• Trombositopenia sedang sampai dengan 

berat ditemukan pada hitung platelet. 

• Pemanjangan PT dan aPTT. Peningkatan 

aPTT ringan diawal pemeriksaan merupakan indikator adanya koagulopati dini pada 

cedera kepala. Meskipun demikian, nilai PT 

dan aPTT yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan terjadinya koagulopati. 

• Fibrinogen merupakan reaktan fase akut 

yang akan meningkat pada keadaan inflamasi. Kadarnya akan menurun seiring 

dengan perkembangan penyakit. 

• ada peningkatan d-Dimer yang 

berkaitan dengan pemecahan fibrin. dDimer dinilai sebagai parameter terbaik 

untuk mengetahui adanya tanda-tanda 

koagulasi atau tidak. 

• Penilaian terhadap nilai INR biasanya dipakai  untuk memantau efek dari pemakaian antikoagulan warfarin.  

PENGOBATAN 

1. Fresh frozen plasma (FFP) atau kriopresipitat. 

2. Agen antifibrinolitik (asam traneksamat) dapat diberikan, walaupun studi 

dari Clinical randomization of an Antifibrinolytic in Significant Hemorrhage 

(CRASH-2) menyimpulkan bahwa peng- 

gunaan asam traneksamat tidak bermanfaat pada pasien trauma kepala. 

Meski demikian, asam traneksamat rnasib dapat diberikan pada keadaan akut 

dan dalam waktu singkat. 

3. Rekombinan faktor VIla; akan menginisiasi pembentukan trombus dengan 

cara mengikat tissue factor (TF). Sebuah  

studi menyebutkan bahwa pemakaian  

rekombinan faktor VIla pada perdarahan akibat trauma kepala dapat mengurangi perkembangan hematom, namun  

tidak memberikan manfaat klinis.  











TRANSIENT ISCHEMIC ATTACK 


Transient ischemic attack (TIA) yaitu  defisit neurologis akut yang disebabkan oleh 

kelainan vaskular serta pulih dalam jangka 

waktu kurang dari 24 jam. Sementara itu, 

definisi TIA berdasar  kondisi jaringan 

yaitu  disfungsi neurologis sementara 

yang disebabkan oleh iskemia fokal otak, 

medula spinalis, atau retina tanpa ada infark akut. Perubahan definisi ini terjadi 

karena adanya perkembangan teknologi 

pemeriksaan pencitraan otak. 

Gejala TIA yang khas yaitu  onset yang 

mendadak, terdapatnya defisit neurologi fokal dan gangguan bicara. Namun, seringkali 

diju~pai gejala yang tidak khas dan onset 

yang bertahap menyerupai gejala stroke 

(stroke mimic), atau malah tidak dikenali, sehingga tidak mendapat terapi yang adekuat. 

Padahal TIA berpotensi untuk menjadi 

stroke berulang jika tidak dilakukan terapi 

pencegahan segera. 

EPIDEMIOLOGI 

Setiap tahun, ada 200.000-500.000 

pasien yang diDiagnosa  mengalami TIA di 

Amerika Serikat. Sementara itu, 300.000-

700.000 pasien diketahui mengalami gejala 

neurologis yang dicurigai akibat TIA, namun  

tidak memeriksakan diri ke dokter. Data epi- 

demiologi TIA kebanyakan berdasar  data 

insidens dan prevalensi, serta dihubungkan 

dengan faktor risiko stroke. Insidens TIA dipengaruhi usia, jenis kelamin dan suku bangsa. 

Laki-laki cenderung lebih tinggi dibandingkan 

perempuan dan meningkat dengan bertambahnya usia. Insidens TIA di Eropa pada lakilaki dan perempuan masing-masing 0,52-2,37 

dan 0,05-1,14, sedangkan berdasar  usia 

yakni 0,94-3,39 (usia 55-64 tahun), 0,71-1,47 

(usia 65-74 tahun), 3,04-7,20 (usia 65-74 tahun), 2,18-6,06 (usia 75-84 tahun). Insidens 

di Amerika hampir sama dengan Eropa, dan 

lebih rendah di Jepang. 

Kejadian stroke pada penderita TIA dapat 

diprediksi berdasar  skor ABCD dengan 

peningkatan kejadian stroke seiring makin 

tingginya skor ini . Sebuah penelitian 

berbasis populasi menunjukkan skor ini 

merupakan prediktor yang cukup kuat terjadinya stroke dalam 24 jam, yakni 76% dari 

pasien dengan skor ABCD 5 atau lebih akan 

mengalami stroke berulang. Angka prognosis kejadian stroke pasca TIA berdasar  

persentase pada masyarakat umum meningkat seiring waktu, yakni 1, 7 kali setelah 

2 hari, 4,8 kali setelah 1 minggu, 6,6 kali 

setelah 1 bulan, 8,5 kali setelah 3 bulan, dan 

mencapai 11,4 kali setelah 6 bulan pascaTIA.  

PATOFISIOLOGI 

Faktor Risiko 

Berikut ini yaitu  beberapa kondisi yang 

.dapat meningkatkan risiko terjadinya TIA: 

1. Umur; dihubungkan dengan risiko terjadinya peningkatan terjadinya TIA, kecuali 

pada umur <!:85 tahun sedikit menurun. 

2. Jenis kelamin; laki-laki mempunyai faktor risiko TIA dan stroke rata-rata 1,25 

kali dibandingkan perempuan. 

3. Hipertensi; berkontribusi sebagai faktor risiko sebesar 50% tergantung pada 

usia pasien. 

4. Fibrilasi atrial (atrial fibrillation/ AF); 

risiko TIA dan stroke pada AF nonvalvular 

yaitu  sekitar 3-5% pertahun dengan duapertiga kasus akibat kardioemboli. 

5. Diabetes mellitus (DM); merupakan 

faktor risiko TIA dan stroke potensial, 

dengan risiko relatif 1,8-3,0. DM dihubungkan dengan perkembangan aterosklerosis, 

hipertensi, obesitas, dan kadar lipid darah 

yang abnormal. 

6. Merokok; sekitar 18% TIA dan stroke 

dihubungkan dengan merokok aktif dan 

risiko ini meningkat pada perokok berat. 

7. Konsumsi alkohol; dalam jumlah besar 

dapat meningkatkan kejadian hipertensi, 

hiperkoagulasi, aritmia kardiak, penurunan 

aliran darah otak, serta meningkatkan 

kejadian stroke. 

Patofisiologi TIA hampir sama dengan stroke 

iskemik, akibat berkurangjberhentinya aliran 

darah pada pembuluh darah serebral yang 

memperdarahi suatu area tertentu di otak 

secara sementara, sehingga menimbulkan  

gejala neurologis fokal. Hal ini disebabkan 

oleh oklusi parsial atau total akibat tromboemboli akut atau stenosis pembuluh darah, 

yang dapat berasal dari plak aterosklerosis 

pada pembuluh darah jantung, pembuluh 

darah besar, dan pembuluh darah ekstrakranial. Manifestasi klinis yang diperlihatkan 

bergantung pada daerah yang diperdarahi 

pembuluh darah yang terkena. 

Setidaknya ada tiga mekanisme yang 

dapat memicu TIA, yakni: 1) aliran 

lambat pada arteri besar (large artery low 

flow TIA); 2) emboli pembuluh darah atau 

jantung; dan 3) oklusi pembuluh darah kecil 

di otak (lacunar or small penetrating vessel 

TIA). TIA akibat aliran lambat pada arteri 

besar umumnya terjadi dalam hitungan 

menit hingga jam, berulang, dan memiliki 

karakteristik yang sama Perlambatan aliran berkaitan dengan stenosis akibat lesi aterosklerosis, yang dapat terjadi pada arteri 

karotis interna, pembuluh darah kolateral 

sirkulus Willisi, arteri serebri media, ataupun pada pertemuan arteri vertebralis dan 

arteri basilaris. Prinsipnya, setiap obstruksi 

pada arteri ekstrakranial dan intrakranial 

dapat memicu perlambatan aliran 

darah dan berpotensi menimbulkan iskemia. 

TIA akibat emboli memiliki gejala yang 

berbeda, umumnya fokal dan episodenya 

lebih lama. Risiko stroke pada TIA akibat 

emboli lebih tinggi dibandingkan kasus 

lain. Emboli terbentuk akibat proses patologis pada arteri yang biasanya berlokasi 

di ekstrakranial atau berkaitan dengan kelainan jantung (seperti fibrilasi atrial atau 

trombus ventrikel kiri) 

Lacunar or small penetrating vessel TIA dapat 

disebabkan oleh stenosis salah satu penetrating vessel yang berasal dari arteri serebral 

media, arteri basilar, arteri vertebralis, atau 

arteri yang berasal dari sirkulus Willisi. Oklusi 

pembuluh darah kecil ini dapat disebabkan 

oleh lipohialinosis akibat hipertensi atau lesi 

aterosklerosis. 

Pacta TIA, terjadi gangguan perfusi sesaat 

sehingga tidak ada kerusakan permanen pacta sel neuron. Defisit neurologis 

yang terjadi akan pulih sempurna seiring 

dengan perbaikan fungsi dari sel-sel yang 

mengalami reperfusi. 

GEJALA KLINIS 

Gejala TIAyang khas umumnya terjadi tibatiba, bersifat sementara dan hilang dalam 

waktu 30-60 menit. Gejala ini  dapat 

tipikal ataupun atipikal (Tabel 1 ), an tara 

lain gangguan perilaku (behaviour), bahasa, 

gait, memori, dan gerakan (movement). 

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Penegakan Diagnosa  dilakukan berdasar  

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus teliti tidak  

hanya pacta pasien, namun juga keluarga atau 

orang lain yang menyaksikan kejadian. Pacta 

anamnesis, sebaiknya diperoleh gejala dan 

karakteristik TIA seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. 

Pemeriksaan fisik harus lengkap meliputi 

tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, 

napas, suhu, dan saturasi oksigen, serta 

pemeriksaan fisik umum dan neurologis. 

Pacta pemeriksaan fisik umum, perlu dicari 

penyakityang dapat memicu terjadinya 

TIA, seperti kelainan jantung, DM, dan lainlain. Pemeriksaan fisik neurologis dilakukan 

untuk mencari defisit neurologis yang mungkin masih tersisa, meliputi pemeriksaan saraf 

kranial, kekuatan motorik, sensoris, fungsi 

bahasa, sistem keseimbangan, dan kontrol 

motorik yang diatur oleh serebelum. 

Pemeriksaan penunjang untuk memastikan 

faktor risiko terjadinya TIA, yakni: 

• Mendapatkan bukti tanda dan gejala 

pembuluh darah secara langsung ataupun tidak langsung. Bukti secara langsung, yakni adanya hipoperfusi dan 

atau infark akut, sedangkan bukti tidak 

Iangsung berupa identifikasi kemung

kinan terjadinya stenosis arteri besar. 

• Menyingkirkan adanya akibat noniskemik. 

• Mencari faktor risiko mekanisme gangguan pembuluh darah seperti aterotrombotik pembuluh darah besar, kardioemboli, dan gangguan pembuluh darah 

kecil (small vessel disease). 

• Menentukan dan meramalkan prognosis pasien terhadap terjadinya stroke di 

kemudian hari. 

Beberapa pemeriksaan penunjang awal yang 

perlu dilakukan yaitu  kadar glukosa darah 

dengan ftngerstick, darah perifer lengkap, elektrolit serum, profil koagulasi, profil lipid, dan 

EKG 12 sadapan. Pemeriksaan laju endap darah dan kadar enzim jantung hanya jika ada 

indikasi berhubungan dengan kelainan jantung. Selanjutnya pencitraan otak berupa MRI 

(diutamakan) danjatau CT scan Qika MRI tidak 

tersedia ), serta Doppler transkranial ( transcranial Doppler /TCD) dan Doppler karotis. 

TIA dapat menyerupai berbagai penyakit, 

antara lain: 

• Migren dengan aura 

e Hipotensi dan atau sinkop 

0 Gejala fokal episodik sementara (misalnya confusion) 

e Gangguan keseimbangan perifer (misalnya vertigo terisolasi) 

ill Kejang parsial 

e Ansietas atau hiperventilasi 

ill Amnesia global sementara (transient 

global amnesia) 

e Drop attacks, yaitu hilangnya tonus postural sementara yang memicu  

pasien terjatuh 

• Hipoglikemia 

Setelah menegakkan Diagnosa  TIA, perlu 

ditentukan prognosis kejadian stroke 

pascaTIA dengan skor ABCD. Sistem ini 

mampu memprediksi risiko stroke dalam 

2-90 hari pascaTIA melalui penjumlahan 

5 faktor independen (Tabel 2). Skor ABCD 

yang lebih tinggi mengindikasikan risiko 

terkena stroke yang lebih tinggi dalam 

waktu 2, 7, 30, dan 90 hari pascaTIA, sehingga direkomendasikan untuk dirawat 

di RS (Tabel 3).  

PENGOBATAN 

1. PENGOBATAN Medikamentosa 

a. 'if'era i Litrombotik: 

• Untuk TIA akibat aterotrombotik: 

Pemberian..-rffiltiplatei-et yang dikonsumsi setiap hari dalam jangka-panjang, yaitu kombinasi dipiridamol lepas lambat 

ditambah aspirin CJini pertama), klopidogr:el, atau aspirin. Antikoagulan tidak 

direkomendasikan. 

• Untuk TIA akibat kardioembolik: 

Pernberian antikoagulan jangkapanjang 

untuk atrial 'brilasi (terus-menerus 

atau intermiten). Pada pasien yang memiliki intoleransi terhadap antikoagulan, dapat diberikan aspirin 325mg per 

hari, a tau jika intoleran terhadap aspirin 

dapat diberikan klopidogrel 75mg per 

hari. 

b. PENGOBATAN penyakit penyerta yakni : 

• Hipertensi 

Jika ditemukan hipertensi, dilakukan penurunan tekanan darah hingga 

<140/ 90mmHg atau <130/ SOmmHg 

untuk pasien dengan diabetes dengan 

pemberian angiotensin converting enzyme inhibitors (ACE-inhibitor) atau 

kombinasi ACE-inhibitor dan diuretik 

atau angiotensin-receptor blocker (ARB).  

• Hiperlipidemia 

Jika ditemukan hiperlipidemia, mulai 

diberikan statin, dengan target kadar 

LDL-kolesterol <1 00mgj dL. 

• DM 

Jika ditemukan DM, dilakukan tata 

laksana DM dengan target glukosa 

darah <126mgjdL. 

2. PENGOBATAN Nonmedikamentosa 

a. Mengatur pola makan dengan gizi 

seimbang. 

b. Berhenti merokok dan membatasi 

konsumsi alkohol (bagi pasien yang 

merokok dan mengonsumsi alkohol). 

c. Melakukan aktivitas fisik ::::::10 menit 

dalam sehari, seperti bersepeda, jalan 

cepat, berlari, atau berenang. 

PROGNOSIS 

berdasar  penelitian diketahui % pasLe_n 

TIA berubah menjadi stroke dalam waktu 2 

hari, 8% pasien dalam waktu 1 bulan, dan 9% 

pasien dalam waktu 90 hari. Semen tara itu, ketika pasien diikuti secara prospektif diketahui 

bahwa 11% pasien mengalami stroke dalam 7 

hari. Besarnya risiko pasien TIA untukterkena 

stroke dalam waktu 5 tahun yaitu  sebesar 

24-29%. Selain itu, pasien dengan TIA atau 

stroke memiliki risiko yang lebih tinggi untuk 

terkena penyakit arteri koroner.  

CONTOH KASUS 

Seorang perempuan umur 61 tahun, datang 

dengan keluhan utama kelemahan mendadak 

pada anggota gerak kiri. Pasien tidak ada keluhan penurunan kesadaran, sakit kepala atau 

kejang, serta belum pernah mengalami keluhan 

ini sebelumnya. Pasien segera dibawa ke RS. 

Dalam perjalanan, keluhan pasien membaik 

Didapatkan riwayat hipertensi terkontrol dan 

rutin mengkonsumsi Captopril 2x12,5mg. 

Tanda vital dan pemeriksaan fisik dalam batas 

normal. Tidak ditemukan hipotensi ortostatik 

Pasien dikatakan dalam keadaan sehat dan 

disarankan melanjutkan terapi antihipertensi. Tidak ditemukan riwayat keluhan serupa 

pada keluarga, riwayat konsumsi alkohol, 

obat-obatan lain atau riwayat sinkop. 

Pertanyaan: 

1. Apakah kemungkinan Diagnosa  pasien? 

2. Apakah pemeriksaan selanjutnya yang 

dibutuhkannya? 

3. PENGOBATAN apa yang dibutuhkan pasien 

ini ? 

Jawaban: 

1. Transient ischemic attack (TIA) 

2. Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk penapisan faktor risiko TIA, antara 

lain pemeriksaan kadar glukosa darah 

dengan fingerstick, pemeriksaan darah 

perifer lengkap, elektrolit serum, faktor 

koagulasi darah, profil lipid, laju endap 

darah, serta EKG 12 sadapan. Selain itu, 

diperlukan pencitraan pembuluh darah 

intrakranial maupun ekstrakranial berupa pemeriksaan Doppler transkranial dan 

Doppler karotis. Hal lain yang juga perlu 

dilakukan yaitu  menentukan skor risiko 

stroke pasca TIA (sistem skor ABCD). 3. PENGOBATAN yang dapat diberikan pada 

pasien dengan TIA yaitu  terapi antitrombotik. Selain itu, dilakukan PENGOBATAN penyakit penyerta, seperti hipertensi. 









STROKE ISKEMIK 


Stroke merupakan penyakit kegawatdaruratan neurologi yang bersifat akut dan salah 

satu pemicu  kecacatan dan kematian tertinggi di beberapa negara di dunia. Pada tahun 2013, ada sekitar 25,7 juta kasus 

stroke, dengan hampir separuh kasus (10,3 

juta kasus) merupakan stroke pertama. Sebanyak 6,5 juta pasien mengalami kematian 

dan 11,3 juta pasien mengalami kecacatan. 

Di negara berkembang, secara umum angka 

kecacatan dan kematian stroke cukup tinggi 

yakni 81% dan 75,2%. Di Indonesia, stroke 

merupakan pemicu  kematian tertinggi 

berdasar  data Riset Kesehatan Dasar 

tahun 2007, yaitu 15,4%. Data Indonesia 

Stroke Registrytahun 2012-2013 mendapatkan sebanyak 20,3% kematian pada 48 jam 

pertama pascastroke. 

Kecacatan dapat berupa defisit neurologi yang 

berdampak pada gangguan emosional dan 

sosial, tidak hanya bagi pasien namun juga 

bagi keluarganya. Hal ini diperberat dengan 

tingginya serangan stroke berulang, jika faktor risiko stroke tidak teratasi dengan baik. 

EPIDEMIOLOGI 

Insidens stroke di Asia sangat bervariasi, 

antara lain Malaysia (67 per 100.000 penduduk) dan Taiwan (330 per 100.000 penduduk). berdasar  Riset Kesehatan Dasar  

(RISKESDAS) Kementerian Kesehatan tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia 

meningkat dari 8,3% pada tahun 2007 

menjadi 12,1% pada tahun 2013. ada 

perbedaan prevalensi di berbagai propinsi 

dengan posisi tiga besar secara berurutan, 

yakni Sulawesi Selatan (17.9%), Daerah Istimewa Yogyakarta (16.9%), dan Sulawesi 

Tengah (16.6%). 

Prevalensi stroke meningkat seiring bertambahnya usia, dengan puncaknya pada usia 

~75 tahun. Di Indonesia, prevalensi stroke 

tidak berbeda berdasar  jenis kelamin. 

Namun di Jepang, insidens stroke pada jenis 

kelamin laki-laki dua kali lipat dari perempuan yakni masing-masing 442 per 100.000 

penduduk dan 212 per 100.000. 

Persentase stroke iskemik lebih tinggi 

dibandingkan dengan stroke hemoragik. 

Laporan American Heart Association (AHA) 

tahun 2016 mendapatkan stroke iskemik 

mencapai 87% serta sisanya yaitu  perdarahan intraserebral dan subaraknoid. Hal 

ini sesuai dengan data Stroke Registry tahun 

2012-2014 terhadap 5.411 pasien stroke di 

Indonesia, mayoritas yaitu  stroke iskemik 

(67%). Demikian pula dari 384 pasien stroke 

yang menjalani rawat inap di RSUPN Cipto 

Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2014, 

sebanyak 71,4 % yaitu  stroke iskemik. 

Adapun angka kematian akibat stroke iske

mik (11,3%) relatif lebih kecil dibandingkan 

stroke perdarahan (17,2%). Secara umum 

dari 61,9% pasien stroke iskemik yang dilakukan pemeriksaan CT scan di Indonesia didapatkan infark terbanyak pada sirkulasi anterior (27%), diikuti infark lakunar (11,7%), 

dan infark pada sirkulasi posterior ( 4,2%). 

PATOFISIOLOGI 

Secara umum faktor risiko stroke terbagi 

menjadi dua, yaitu (1) faktor risiko yang 

dapat dimodifikasi atau dilakukan tata laksana, antara lain hipertensi, diabetes melitus (DM), merokok, obesitas, asam urat, dan 

hiperkole~terol, serta (2) faktor risiko yang 

tidak dapat dimodifikasi, seperti usia, jenis 

kelamin, dan etnis. 

1. Hipertensi 

Hipertensi merupakan faktor risiko 

stroke tersering, sebanyak 60% penyandang hipertensi akan mengalami 

stroke. Hipertensi dapat menimbulkan 

stroke iskemik (SO%) maupun stroke 

perdarahan (60%). Data menunjukkan 

bahwa risiko stroke trombotik pada 

penyandang hipertensi sekitar 4,5 kali 

Iebih tinggi dibandingkan normotensi. 

Pada usia >65 tahun, penyandang hipertensi memiliki risiko 1,5 kali lebih tinggi 

dibandingkan normotensi. 

Patofisiologi hipertensi memicu 

terjadinya perubahan pada pembuluh 

darah. Perubahan dimulai dari penebaIan tunika intima dan peningkatan permeabilitas endotel oleh hipertensi lama, 

terutama pada arteri dengan ukuran kecil, yaitu sekitar 300-SOOmm (cabang 

perforata). Proses akan berlanjut dengan terbentuknya deposit lipid teruta- 

Stroke Iskemik 

rna kolesterol dan kolesterol oleat pada 

tunika muskularis yang memicu 

lumen pembuluh darah menyempit serta 

berkelok-kelok. 

Pada hipertensi kronik akan terbentuk 

nekrosis fibrinoid yang memicu 

kelemahan dan herniasi dinding arteriol, serta ruptur tunika intima, sehingga 

terbentuk suatu mikroaneurisma yang 

disebut Charcot-Bouchard. Kelainan ini 

terjadi terutama pada arteri yang berdiameter 100-300mm (arteriol). 

Pengerasan dinding pembuluh darah 

dapat memicu  gangguan autoregulasi, berupa kesulitan untuk berkontraksi atau berdilatasi terhadap perubahan tekanan darah sistemik. Jika terjadi 

penurunan tekanan darah sistemik yang 

mendadak, tekanan perfusi otak menjadi 

tidak adekuat, sehinggga memicu iskemik jaringan otak. Sebaliknya, 

jika terjadi peningkatan tekanan darah 

sistemik, maka akan terjadi peningkatan 

tekanan perfusi yang hebat yang akan 

memicu hiperemia, edema, dan 

perdarahan. 

2. Diabetes Melitus 

Sebanyak 10-30% penyandang DM dapat 

mengalami stroke. Suatu studi terhadap 4 72 pasien stroke selama 10 tahun 

menunjukkan adanya riwayat DM pada 

10,6% Iaki-Iaki dan 7,9% perempuan. 

Penelitian menunjukan adanya peranan 

hiperglikemi dalam proses aterosklerosis, yaitu gangguan metabolisme berupa 

akumulasi sorbitol di dinding pembuluh darah arteri. Hal ini mennyebabkan 

gangguan osmotik dan bertambahnya  

kandungan air di dalam sel yang dapat 

memicu  kurangnya oksigenisasi. 

Peranan genetik pada DM belum diketahui 

secara pasti. Dipikirkan ada abnormalitas genetik yang dihubungkan dengan abnormalitas seluler secara intrinsik berupa 

pemendekan usia kehidupan (life span) sel 

dan peningkatan proses pergantian (tumover) sel di dalam jaringan. Proses ini dapat 

juga terjadi pada sel endotel dan sel otot polos dinding pembuluh darah. 

Penyandang DM sering disertai dengan 

hiperlipidemia yang merupakan faktor 

risiko terjadinya proses aterosklerosis. 

Pada penelitian oleh National Cholesterol 

Education Program (NCEP), kurang lebih 

40% penyandang DM termasuk dalam 

kriteria hiperlipidemia serta 23% mengalami hipertrigliserida dan kadar high 

density lipoprotein (HDL) yang rendah. 

3. Merokok 

Secara prospektif merokok dapat meningkatkan perburukan serangan stroke 

sebesar 3,5 kali dan dihubungkan dengan 

banyaknya konsumsi rokok Hal ini dapat 

disebabkan oleh beberapa mekanisme. 

Pertama, akibat derivat rokok