neurologi 33












 ai terapi profilaksis migren diduga berkaitan dengan kanal 

natrium dan kalsium, reseptor GABA A, 

dan reseptor glutamat, serta memiliki efek 

inhibisi enzim karbonik anhidrase. Topiramat SOmg dan 100mgfhari diketahui 

merupakc-• ~ dosis optimal terapi profilaksis migren, walaupun tidak ditemukan 

perbedaan efektivitas yang bermakna 

di antara kedua dosis ini . Namun, 

dalam pemakaiannya obat ini harus diberikan dengan dosis awal yang rendah 

(15-25mgfhari saatjam tidur) dan dinaikkan se':ara perlahan tiap 2-3 minggu. Efek 

samp1Hg yang sering muncul yaitu  cepat 

Ielah, kehilangan berat badan, anoreksia, 

parestesia, dan kesulitan mengingat. 

10.Gabapentin 

Merupakan obat yang bekerja pada neurotransmiter glisin dan glutamat. Obat 

golongan ini pada guideline terbaru dikategorikan memiliki level of evidance U. 

Migren yaitu  suatu penyakit kronik, 

namun  dapat terjadi remisi dalam waktu 

panjang. Pada suatu studi diketahui bahwa pada orang-orangyang mengalami migren dengan onset pada masa anak-anak, 

62% akan be bas serangan selama 2 tahun 

atau lebih pada saat pubertas. Keparahan 

dan frekuensi migren cenderung untuk 

menurun seiring dengan penambahan 

usia. Setelah 15 tahun seringkali mengalami serangan migren, sekitar 30% lelaki 

dan 40% perempuan tidak lagi mengalami serangan di usia lanjut. 

NYERI KEPALA TIPE TEGANG 

Nyeri kepala tipe tegang atau tension type 

headache (TTH) merupakan nyeri kepala 

579 

Nyeri Kepala 

primer tersering dengan prevalensi 78%. 

Nyeri kepala tipe ini mengenai hampir 1,4 

juta orang atau 20,8% populasi di dunia. 

TTH lebih sering dialami oleh pasien dewasa muda (berusia >20 tahun, puncaknya 

usia 30-39 tahun), terutama perempuan 

dua kali lebih banyak dibanding lelaki. 

Klasifikasi 

berdasar  IHS, TTH dapat dibagi menjadi 

TTH episodik tipe jarang (infrequent) dan 

sering (frequent), serta TTH kronik, yaitu: 

1. Tension-type Headache Episodik yang 

Infrequent 

a. Tension-type headache episodik yang 

infrequent berhubungan dengan 

nyeri tekan perikranial 

b. Tension-type headache episodik 

yang infrequent tidak berhubungan 

dengan nyeri tekan perikranial 

2. Tension-type Headache Episodik yang 

Frequent 

a. Tension-type headache episodik yang 

frequent berhubungan dengan nyeri 

tekan perikranial 

b. Tension-type headache yang frequent 

tidak berhubungan dengan nyeri 

tekan perikranial 

3. Tension-type Headache Kronik 

a. Tension-type headache kronik berhubungan dengan nyeri tekan perikranial 

b. Tension-type headache kronik tidak 

berhubungan dengan nyeri tekan 

perikranial 

4. Probable Tension-type Headache 

a. Probable tension-type headache episodik yang infrequent  

b. Probable tension-type headache episodik yangfrequent 

c. Probable tension-type headache kronik 

Patofisiologi 

Nyeri kepala akibat TTH muncullebib sering 

saat pasien terlalu lama dalam posisi kepala 

ditekuk ke bawab (misalnya pada saat membaca dan menulis), sebingga otot belakang 

Ieber akan tegang. Sementara itu, pada pasien 

yang sering tidur dengan posisi tidak baik, 

nyeri kepala muncul akibat mereka seringkali tidur memakai  banta! yang terlalu 

tinggi. Hallni dapat memicu otot Ieber 

belakang akan tertekan lebib kuat. 

Kontraksi otot yang terus menerus akan 

memicu turunnya perfusi darab dan 

lepasnya substansi pemicu nyeri Oaktat, 

asam piruvat, dan sebagainya). Substansisubstansi ini kemudian menstimulasi saraf 

yang kemudian akan mengbasilkan sensasi 

nyeri pada otot dan ligamen yang dipersarafi 

(Gambar 3). Nyeri ini akan bersifat tumpul. 

Pada TTH, nyeri muncul pada otot Ieber belakang di daerab oksipital. Pada waktu yang 

bersamaan, nyeri akan menjalar melewati 

sisi kiri dan kanan kepala atau melewati sisi 

retroorbita. Oleb karena itu, nyeri juga dapat 

dirasakan pada daerab-derab ini . Sementara itu, pada otot dan ligamen yang 

tidak terlalu banyak mendapat persarafan, 

sensasi yang akan dirasakan yaitu  pegal. 

580 

1. Hipotensi dan Anemia 

Pasien dengan bipotensi dan anemia 

lebib sering terkena TTH. Hal ini berkaitan dengan rendabnya suplai oksigen menuju otot yang memicu  

kondisi iskemia pada otot. Pada kasus 

bipotensi, nyeri kepala muncul karena 

suplai oksigen berkurang. Berkurangnya 

suplai oksigen merupakan konsekuensi 

dari berkurangnya perfusi darab ke otot 

akibat rendabnya tekanan pada pembulub darab. Sementara itu, suplai oksigen pada pasien dengan anemia terjadi 

akibat kurangnya sel darab merab yang 

mengangkut oksigen ke jaringan. 

2. Stres dan Depresi 

Stres dan depresi bukan merupakan pemicu langsung munculnya TTH, melainkan memicu munculnya kontraksi 

otot yang berlebiban, sebingga terjadi 

defisiensi suplai oksigen dan pelepasan 

substansi pemicu nyeri. Selain itu, sirkulasi darab bisa menurun bingga 50% 

pada saat stres. 

3. Sensitisasi Sentral dan Perifer 

Nyeri dan stres yang berulang terus 

menerus akan memicu sensitisasi 

perifer dan sentral sebingga memicu turunnya ambang nyeri. Nyeri akan 

lebib mudah muncul oleb pemicu  yang 

sederhana sekalipun, dengan durasi 

yang lebib lama. Hal ini akan memicu 

stres dan seterusnya.  

Gejala Klinis 

Karakteristik nyeri kepala ini yaitu  bilateral, menekan atau mengikat, tidak berdenyut 

dengan intensitas ringan sampai sedang, 

serta rasa tegang di sekitar leher dan kepala 

belakang. Oleh karena mekanisme kerjanya 

yang berbeda dengan migren, maka pada 

TTH seharusnya tidak ditemukan adanya 

mualjmuntah dan akan berlangsung lebih 

lama. Walaupun durasinya bisa lebih panjang, nyeri pada TTH tidak seberat migren, 

sehingga sering terabaikan. Hal ini yang memicu TTH lebih cenderung kronik dan 

lebih sulit untuk diterapi secara sederhana. 

Pada kasus TTH kronik, pasien juga umumnya mengeluh insomnia, nyeri kepala saat 

di pagi hari, penurunan berat badan, susah 

berkonsentrasi, dan mudah Ielah. Nyeri biasanya dipicu pada keadaan stres danjatau 

cemas, kelelahan, depresi, posisi tidur atau 

bekerja yang tidak baik, kurang tidur, dan 

kebiasaan merokok. 

Pemeriksaan fisik secara umum dan neurologis seharusnya dalam batas normal, untuk 

menyingkirkan nyeri kepala sekunder yang 

memiliki karakteristik yang mirip TTH. Pada 

keadaan tertentu dapat ditemukan adanya 

trigger point, yaitu daerah otot yang tegang, 

sehingga menimbulkan nyeri tekan di area 

leher dan kepala. 

Diagnosa  

Kriteria Diagnosa  TTH episodik tipe jarang 

(infrequent) yaitu : 

1. Sekurang-kurangnya ada 10 episode serangan dengan rerata <1 hari/ 

bulan ( <12 harijtahun) dan memenuhi 

kriteria 2-5 

2. Nyeri kepala dapat berlangsung 30 menit hingga 7 hari 

582 

3. Nyeri kepala memiliki paling tidak 2 gejala khas, yaitu: 

a. Bilateral 

b. Terasa menekan atau mengikat (bukan berdenyut) 

c. Intensitasnya ringan hingga sedang 

d. Tidak diperberat dengan aktivitas rutin seperti berjalan a tau naik tangga 

4. Tidak didapatkan keluhan atau gejala 

berupa: 

a. Mual atau muntah (walaupun pasien 

mengeluh anoreksia) 

b. Fotofobia atau fonofobia 

5. Tidak berkaitan dengan kelainan lain 

pada kepala atau organ tubuh lainnya 

(bukan nyeri kepala sekunder). 

Mirip dengan TTH episodik tipe jarang, 

TTH episodik tipe sering (frequent) 

mempunyai frekuensi yang lebih sering 

pada kriteria pertama, yaitu paling tidak ada 10 episode serangan dalam 

1-15 harijbulan selama paling tidak 3 

bulan (12-180 harijthn). 

Kriteria diagnostik TTH kronik yaitu : 

1. Nyeri kepala yang terjadi 2:15 harijbulan 

dan berlangsung >3 bulan (2:180 harij 

tahun). 

2. Nyeri kepala ini harus memenuhi kriteria berikut: 

a. Berlangsung beberapa jam atau secara 

terus menerus 

b. Nyeri kepala memiliki sekurangnya 2 

karakteristik berikut: 

• Lokasi bilateral 

• Terasa menekan atau mengikat (bukan berdenyut)  

 Intensitas ringan hingga sedang 

( dapat mengganggu aktivitas namun  

pasien masih bisa beraktivitas) 

• Tidak memberat dengan aktivitas 

fisik rutin seperti: berjalan atau naik 

tangga 

3. Tidak didapatkan: 

a. Lebih dari satu keluhan inC yaitu fotofobia, fonofobia, atau mual 

b. Muntah 

4. Tidak berkaitan dengan kelainan lain 

pacta kepala atau organ tubuh lainnya 

(bukan nyeri kepala sekunder). 

Selama tidak ada defisit neurologis, 

Diagnosa  banding TTH yaitu  nyeri  

kepala primer lainnya, seperti migren, 

TTH episodik, TTH kronik, nyeri kepala 

tipe klaster, dan neuralgia trigeminal. 

Walaupun TTH tidak boleh ditegakkan 

jika ada gejala-gejala migren, seperti 

muntah, fotopsia, dan fonofobia, namun 

pacta migren kronik dapat memicu ansietas sehingga memicu TTH. 

Yang penting yaitu  anamnesis frekuensi, karakteristik durasi, dan onset 

masing-masing nyeri yang berbeda, sehingga dapat ditentukan polanya (Gambar 4). Intensitas nyeri saat serangan 

migren lebih tinggi dibandingkan TTH 

dan lebih singkat, sehingga pasien bisa 

kembali ke kondisi normal.  


PENGOBATAN 

Prinsip PENGOBATAN TTH meliputi: 

1. Modifikasi gaya hid up untuk mengurangi 

faktor pencetus TTH. Mayoritas (80%) 

pemicu  TTH yaitu  stres dan postur 

yang tidak benar, terutama saat duduk 

atau bekerja di depan komputer selama 

berjam-jam. Oleh karena itu perlu penguatan otot-otot belakang (back exercise) dan olah raga rutin. 

2. Tahap awal PENGOBATAN harus dimulai 

dengan edukasi faktor dan mengimplementasikan menejemen stres guna mencegah atau mengurangi serangan TTH. 

3. TTH akut pada umumnya dapat membaik dengan sendirinya. Namun, jika 

sangat mengganggu bisa dikurangi dengan mengonsumsi analgesik yang dapat 

dikombinasi dengan kafein. 

4. PENGOBATAN nonfarmakologis berupa 

relaksasi, cognitive-behavioral therapy, 

serta pemijatan dapat membantu mengurangi dan mencegah serangan. 

5. Terapi profilaksis diberikan jika nyeri 

kepala terjadi secara rutin, berhubungan 

dengan pekerjaan, sekolah dan kualitas 

hid up, dan atau pemakaian . 

6. Kesemua poin di atas perlu dilakukan 

secara adekuat untuk menghindari nyeri 

berkembang menjadi kronik, karena tata 

laksana akan menjadi sangat berbeda 

akibat telah terjadinya sensitisasi baik 

sentral maupun perifer. 

A. Terapi Medikamentosa 

Terapi medikamentosa diberikan pada 

serangan akut dan tidak boleh diberikan 

lebih dari 2 harijminggu. 

584 

Pilihan untuk TTH akut yaitu  (Tabel2): 

1. Analgesik, pilihannya yaitu : aspirin 

1000mg/hari, parasetamol1000mgjhari, 

NSAIDs (Naproksen 660-750mgjhari, 

ketoprofen 25-50mgjhari, tol-fenamat 

200-400mgjhari, asam mefenamat, 

fenoprofen, ibuprofen 800mgjhari, 

diklofenak 50-100mgjhari). Pemberian 

analgesik dalam waktu lama memiliki 

efek sam ping berupa ulkus gaster, ulkus 

duodenum, penyakit ginjal, penyakit 

hepar, dan gangguan fungsi platelet. 

2. Kafein (analgesik ajuvan) 65mg. 

3. Kombinasi: 

a. 325mg (aspirin atau asetaminofen) + 

40mgkafein 

b. Ibuprofen 400mg + kafein 

c. Aspirin/asetaminofen 500-lOOOmg 

+ kafein 

Pemakaian obat analgesikyang dikombinasi 

dengan kafein dapat memunculkan ketergantungan. 

Terapi medikamentosa untuk TTH kronik: 

1. Antidepresan 

Antidepresan jenis trisiklik: amitriptilin. 

Selain berfungsi sebagai obat analgesik, 

obat ini juga dipakai  sebagai obat 

profilaksis TTH. Obat ini memiliki efek 

analgesik dengan cara mengurangi firing 

rate of trigeminal nucleus caudatus. Pemakaian obat antidepresan trisiklik memiliki efek sam ping berupa penambahan 

berat badan (merangsang nafsu makan), 

mengganggu jantung, hipotensi ortostatik, dan efekantikolinergik (mulutkering, 

mata kabur, tremor, disuria, retensi urin, 

dan konstipasi.  

2. Antiansietas 

Golongan obat ini dipakai  untuk penyembuhan maupun pencegahan TTH. 

Obat ini terutama diberikan pada pasien · 

dengan komorbid ansietas. Golongan antiansietas yang sering dipakai  yaitu  

benzodiazepin. 

B. Terapi Nonmedikamentosa 

1. Edukasi: menjelaskan sedikit patofisiologi 

TTH secara sederhana serta pengobatan 

yang diperlukan. Memastikan pasien mengetahui bahwa TTH bukanlah penyakit 

serius seperti tumor otak, perdarahan otak. 

Hal ini akan mengurangi ketegangan pasien. 

2. Kontrol diet. 

3. Terapi fisik: 

• Latihan postur dan posisi 

• Masase 

• Ultrasound, manual terapi _ 

• Kompres panasfdingin 

• Akupuntur transcutaneus electrical 

stimulation (TENS) 

• Obat anestesi atau bahan lain pada 

titik pemicu 

585 

4. Hindari pemakaian harian obat analgesik, sedatif, dan ergotamin. 

5. Behaviour treatment dalam bentuk biofeedback, manajemen stres, reassurance, 

konseling, terapi relaksasi, atau terapi 

kognitif-sikap. 

C. Terapi Profilaksis 

Terapi ini diberikan pada pasien TTH episodik yang sering mendapat serangan atau 

pasien dengan serangan > 15 hari dalam 

satu bulan (TTH kronik) (Tabel 3). Prinsip 

terapi ini yaitu  memberikan obat tunggal 

yang dititrasi hingga dosis terendah yang 

efektif dan dapat ditoleransi dengan baik 

oleh pasien. 

Indikasi: 

Pasien yang mengalami disabilitas akibat 

nyeri kepala ~4 hari/bulan atau pasien yang 

tidak respons terhadap terapi simptomatis 

walaupun frekuensi nyeri kepalanya lebih 

jarang. Terapi profilaksis dikatakan berhasil jika bisa mengurangi frekuensi serangan 

danjatau mengurangi derajat keparahan 

minimal SO%.  

Prinsip pemilihan obat profilaksis yaitu : 

1. Harus sesuai lini yang direkomendasikan 

(lini pertama lebih diutamakan dari lini 

kedua), namun  harus mempertimbangkan 

efek sam ping dan faktor komorbid pasien 

2. Dimulai dengan dosis rendah, kemudian 

dosis dinaikkan perlahan-lahan hingga 

didapatkan dosis maksimal yang efektif 

untuk pasien 

3. Obat diberikan dalam jangka waktu 

seminggujlebih 

4. Obat dapat diganti dengan obat lain jika 

obat pilihan pertama gaga! 

5. Obat lebih utama diberikan dalam bentuk monoterapi 

Sebelum diberikan terapi profilaksis, perlu 

ditanyakan penyakit komorbid lain yang 

juga dialami oleh pasien, misalnya: pasien 

dengan hipertrofi prostat dan glaukoma 

tidak boleh diberikan amitriptilin. Pasien 

harus diinformasikan mengenai cara kerja 

obat dan kapan saja waktu mengonsumsi 

obat. Selain itu, pasien juga perlu mendapat 

penjelasan mengenai tingkat efikasi dan 

efek sam ping obat ini . 

Pasien juga perlu mencatat tiap serangan 

nyeri pada catatan harian (headache diary). 

Catatan ini berfungsi untuk mengetahui pola, 

586 

frekuensi, dan durasi nyeri, serta gangguan 

fungsional, jumlah obat simptomatis yang 

dikonsumsi, efikasi terapi profilaksis, dan 

efek samping dari obat profilaksis maupun 

obat simptomatis. Oleh karena faktor penting pencegahan kekambuhan nyeri kepala 

yaitu  dengan mengidentifikasi faktor yang 

mencetuskan dan mengurangi nyeri kepala. 

Walaupun tidak berbahaya, TTH dapat 

mengganggu aktivitas sehari-hari. Kasus TTH 

terbanyak yaitu  kasus TTH episodik, namun 

akan sangat mudah menjadi kronik akan 

meningkat jika pemicu dan stresor tidak bisa 

diatasi. 

NYERI KEPALA TIPE KLASTER 

Kelompok trigeminal autonomic cephalalgias (TAC) terdiri dari: (1) nyeri kepala tipe 

klaster, (2) paroksismal hemikrania, (3) 

short-lasting unila.teral neuralgiform headache attacksjSUNCT, (4) kontinua hemikrania, dan (5) probable TAC. Nyeri kepala tipe 

klaster atau cluster headache (CH) merupakan nyeri kepala tersering pada TAC, sehingga fokus pembahasan pada bagian ini 

ialah mengenai CH. 

CH memiliki karakteristik berupa nyeri ke- · 

pala hebat yang disertai gejala otonom di 

tempat yang spesifik, seperti orbita, supra orbita, temporal, atau kombinasi tempattempatini . Nyeri terse but berlangsung 

secara periodik, sehingga disebut sebagai 

klaster (cluster), dalam waktu 15-180 menit dengan frekuensi dari 1 kali tiap 2 hari 

hingga 8 kali sehari. Serangan nyeri kepala 

selalu disertai satu atau lebih gejala, seperti 

injeksi konjungtiva, lakrimasi, kongesti nasal, rhinorrhea, berkeringat di kening dan 

wajah, miosis, ptosis, dan edema palpebra. 

Semua gejala ini  bersifat ipsilateral. 

Pasien sebagian besar gelisah dan agitasi 

selama serangan CH berlangsung. 

Prevalensi CH sangat jarang, hanya kurang 

dari 1%. Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada lelaki dibanding perempuan, dengan rasio sekitar 6:1, serta berusia lebih 

dari 30 tahun. Selain itu faktor risiko juga 

jika mengkonsumsi vasodilator seperti 

alkohol, riwayat trauma dan operasi kepala, 

merokok, serta adanya stressor. 

Klasifikasi 

ada dua jenis CH, yaitu: 

1. CH episodik, merupakan serangan nyeri 

kepala klaster yang terjadi periodik dan 

berlangsung tujuh hari sampai satu tahun. Setiap periode dipisahkan oleh 

periode bebas nyeri yang akan berlangsung satu bulan atau lebih lama. 

2. CH kronik, merupakan serangan nyeri 

kepala klaster yang terjadi selama lebih 

dari satu tahun tanpa remisi atau disertai remisi namun berlangsung hanya 

kurang dari satu bulan. 

Patofisiologi 

Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak 

lama, namun  patofisiologi yang mendasari 

berbagai gejalanya hingga saat ini masih 

587 

Nyeri Kepala 

belum bisa dimengerti secara jelas. Untuk 

memudahkan pemahaman penyakit ini, 

maka dilakukan pendekatan patofisiologis 

berdasar  gejala yang dialami pasien, yaitu: (1) nyeri kepala; (2) gejala otonom; dan 

(3) periodisitas yang stereotipik. 

Stimulus nyeri kepala disampaikan ke 

sistem saraf pusat melalui cabang nosiseptif 

oftalmikus nervus Trigeminus. Cabang saraf 

ini menginervasi struktur intrakranial yang 

sensitif terhadap nyeri, seperti: duramater 

dan pembuluh darah dural. Ketika saraf 

atau ganglion trigeminus teraktivasi, substansi P dan calcitonin gene-related peptide 

(CGRP) akan dilepaskan. Pelepasan kedua 

jenis neuropeptida trigeminovaskular ini 

merangsang inflamasi neurogenik dan dilatasi pembuluh darah yang kemudian menimbulkan sensasi nyeri kepala. 

Gejala otonom pada nyeri kepala klaster 

merupakan indikasi adanya aktivasi saraf 

parasimpatis. Saraf ini merupakan cabang 

dari neuron orde pertama nukleus salivatorius superior dan memiliki hubungan fungsional dengan nukleus trigeminus. Serabut 

saraf ini selanjutnya memanjang sejajar 

nervus fasialis dan bersinaps di ganglion 

pterigopalatina. Saraf post-ganglionik berfungsi sebagai vasomotor dan sekretomotor 

pembuluh darah serebral, kelenjar lakrimal, dan mukosa hidung. Hal lain yang juga 

memicu munculnya gejala otonom yaitu  

perubahan vaskular yang menginduksi 

gangguan aktivitas saraf simpatis. Munculnya gejala sindroma Horner (ptosis, miosis, 

injeksi konjungtiva) selama serangan nyeri 

kepala klaster, mengindikasikan adanya 

pengaruh pleksus simpatis karotis, terutama pleksus di sekitar arteri karotis interna  segmen kavernosus. 

Sementara itu, periode serangan yang episodik diduga berhubungan dengan adanya 

disfungsi aktivitas hipotalamus. Hal ini dibuktikan dengan abnormalitas kadar harmon kelenjar hipofisis yang mengindikasikan adanya perubahan ritme sekretorik 

hipotalamus. 

Diagnosa  dan Diagnosa  Banding 

1. Diagnosa  

Kriteria diagnostik cluster headache 

yaitu : 

a. ada minimal 5 serangan yang 

memenuhi kriteria B-D 

b. Nyeri hebat atau sangat hebat di orbita, supraorbita, dan atau temporal 

yang unilateral, berlangsung 15-180 

menit bila tidak diobati 

c. Nyeri kepala disertai setidaknya satu 

dari gejala berikut: 

1) Injeksi konjungtiva dan atau lakrimasi ipsilateral 

2) Kongesti nasal dan atau rhinorrhoea 

ipsilateral 

3) Edema palpebra ipsilateral 

4) Dahi dan wajah berkeringat ipsilateral 

5) Miosis dan atau ptosis ipsilateral 

6) Perasaan gelisah atau agitasi 

d. Serangan-serangan ini  mempunyai frekuensi: dari 1 kali setiap 2 

hari sampai 8 kali per hari 

e. Tidak berkaitan dengan gangguan lain 

2. Diagnosa  Banding 

a. Paroksismal hemikrania 

b. Short-lasting unilateral neuralgiform 

588 

headache attack with conjungtival injection and tearing/cranial autonomic 

features (SUNCT /SUNA). 

c. Migren 

d. Arteritis temporal 

PENGOBATAN 

Pada prinsipnya PENGOBATAN nyeri kepala 

klaster bertujuan untuk menekan periode 

serangan, menghentikan serangan akut, 

mengurangi frekuensi serangan, serta mengurangi berat atau intensitas serangan. 

Terapi untuk serangan akut nyeri kepala 

klaster: 

1. Inhalasi oksigen 100% 7 L/menit selama 

15 menit dengan sungkup 

2. Dihidroergotamin (DHE) 0,5-1,5mg secara intravena akan mengurangi nyeri 

dalam 10 menit. Pemberian melalui intramuskular atau nasal memeiliki awitan 

lebih lama. 

3. Sumatriptan injeksi subkutan 6mg akan 

mengurangi nyeri dalam waktu 5-15 menit. Dapat diulang setelah 24 jam. Sumatriptan dikontraindikasi untuk pasien 

dengan penyakit jantung iskemik dan/ 

atau hipertensi tidak terkontrol. Sumatriptan nasal spray 20mg juga dapat diberikan, namun  kurang efektif jika dibandingkan sumatriptan injeksi subkutan. 

Efek sampingnya yaitu  pusing, letih, 

parestesia, dan kelemahan di wajah. 

4. Anestesi lokal 1mL lidokain 4% yang 

diteteskan pada kapas kemudian kapas 

diletakkan di tiap lubang hidung selama 

5 menit. 

Indikasi terapi profilaksis:  

a. Nyeri kepala klaster yang sulit hilang 

walaupun telah diberikan terapi abortif 

(gaga! terapi abortif) 

b. Nyeri kepala klaster terjadi setiap hari 

dan berlangsung selama lebih dari 15 

menit 

c. Pasien yang bersedia dan mampu mengonsumsi obat setiap hari 

Obat yang dapat dipakai  untuk profilaksis: 

1. Verapamil 120- 160mg dapat diberikan 

3- 4 kali sehari (merupakan pilihan pertama terapi profilaksis). Selain itu dapat 

juga memakai  nimodipin 240mg/ 

hari atau nifedipin 40-120mgjhari. 

2. Prednisolon S0-75mgj hari. Dosis dikurangi 10% pada hari ketiga. Obat ini 

tidak boleh diberikan dalam jangka waktu yang lama. Efektif mencegah serangan 

pada 80-90% kasus. 

3. Litium 300- 1500mgjhari per oral (ratarata pemberian 600-900mgjhari) 

4. Metisergid 4-10 mgj hari per oral 

5. Ergotamin tartrat 2mg diberikan 2- 3 

kali per hari. Dapat diberikan dengan 

cara 2mg per oral atau 1mg per rektal, 

2--jam sebelum serangan terutama pada 

malam hari. 

Selain terapi medikamentosa, pasien perlu 

disarankan untuk membiasakan diri hidup 

dan istirahat teratur, hindari konsumsi alkohol, batasi paparan terhadap zat volatil seperti gasolin, hati-hati bila sedang berada di 

ketinggian, serta hindari paparan terhadap 

produk tembakau dan sinar yang terlalu 

terang atau suara yang terlalu gaduh (glare 

and bright light). 

589 

Nyeri Kepa/a 

Prognosis pada pasien CH dapat bervariasi, 

mulai dari persistennya serangan yang berulang, memanjangnya masa remisi, hingga 

berubahnya CH episodik menjadi CH kronik. 

Sekitar 80% pasien CH episodik akan tetap 

mengalami CH episodik selama hidupnya. Semen tara itu, 4-13% pasien CH episodik ditemukan mengalami transformasi menjadi CH 

kronik. Remisi spontan ditemukan pada 12% 

pasien, umumnya pada pasien CH episodik. 

Tidak ada laporan mortalitas yang diakibatkan langsung oleh CH, namun banyak pasien 

dikatakan mengalami depresi dan bunuh diri 

akibat serangan CH yang periodik. 

NEURALGIA TRIGEMINAL 

Neuralgia trigeminal atau yang dikenal juga 

dengan tic douloureux yaitu  nyeri akibat 

lesi di sepanjang cabang nervus trigeminus. 

lnsidensnya lebih banyak pada perempuan 

dibanding lelaki (2 :1). Pada 90% pasien, 

awitan terjadi ketika pasien berusia di atas 

usia 40 tahun, terutama usia 60- 70 tahun. 

Jika terjadi, di usia 20-40 tahun, pemicu  

demielinisasi akibat multipel sklerosis perlu dipertimbangkan. 

Klasifikasi 

IHS membedakan neuralgia trigeminal menjadi 2 kategori: 

1. Neuralgia trigeminal klasik, umumnya 

idiopatik. Namun seringkali berkaitan 

dengan kompresi vaskular pada tempat 

masuknya cabang nervus trigeminus di 

batang otak. 

2. Neuralgia trigeminal simtomatik, sering 

disebabkan oleh lesi struktural, seperti multipel sklerosis, anuerisma arteri basilar, a tau 

tumor (neuroma trigeminal, meningioma, 

epidermoid) pada cerebellopontine angle Gejala Klinis 

Gejala yang paling sering dikeluhkan berupa 

serangan nyeri pada wajah unilateral yang 

bersifat episodik, spontan, menusuk, dan 

seperti tersengat listrik pada daerah wajah 

yang dipersarafi oleh percabangan nervus 

trigeminus. Nyeri bersifat progresif dalam 

waktu 20 detik, sehingga pasien terlihat 

kesakitan yang kemudian menghilang dan 

menyisakan rasa terbakar yang bertahan 

beberapa detik hingga menit. 

Neuralgia yang klasik biasanya memiliki titik picu (trigger point) daerah wajah yang 

dipersarafi nervus trigeminus cabang kedua atau ketiga (terutama daerah pipi dan 

dagu). Hanya >5% pasien yang memiliki titik picu di daerah nervus trigeminus cabang 

pertama. Pada 60% kasus, nyeri berasal dari 

ujung mulut hingga ke arab sudut rahang, 

sedangkan 30% dari bibir atas atau gigi taring atas hingga ke sekitar mata dan alis. 

Nyeri tidak pernah menjalar dari satu sisi 

ke sisi lainnya, namun  nyeri pada beberapa 

kasus dapat bilateral, umumnya pemicu  

sentral berupa multipel sklerosis. Umumnya akan ada periode bebas nyeri yang 

dapat berlangsung beberapa minggu hingga 

beberapa tahun. Di antara dua serangan 

dapat terasa nyeri tumpul yang bertahan 

dan menetap di beberapa kasus. Sesudah 

serangan nyeri umumnya akan ada periode 

refrakter, yaitu suatu periode bebas rasa 

nyeri (kondisi tidak dapat dipicu). 

Saat nyeri rekuren, titik picu umumnya akan 

berada pada tempat yang sama. Pemeriksaan neurologis akan menunjukkan kondisi 

normal, kecuali jika dilakukan pemeriksaan segera setelah nyeri muncul, berupa 

berkurangnya fungsi sensoris pada daerah 

590 

nyeri. Sebanyak 60% pasien dapat melokalisasi titik picu nyeri. 

Patofisiologi 

Sampai saat ini patofisiologi neuralgia trigeminal masih kontroversial. Etiologinya 

dapat berasal dari sentral, perifer, atau 

keduanya. Nervus trigeminus {N. V) dapat 

menghantarkan nyeri karena memiliki serabut saraf sensorik dari ketiga cabangnya 

(Gambar 5), yaitu cabang Vl (cabang oksipital) yang mempersarafi kulit kepala, dahi, 

dan kepala bagian depan; cabang V2 ( cabang maksila) untuk hidung, pipi, serta rahang, bibir, gigi, dan gusi atas; serta cabang 

V3 (cabang mandibula) pada area rahang, 

bibir, gigi, dan gusi bawah. 

Umumnya tidak ada kelainan struktural 

(85%), namun sebagian ditemukan adanya 

kompresi nervus trigeminal oleh arteri dan 

vena pada tempat masuknya cabang nervus 

ini di batang otak Kompresi ini memicu demielinisasi yang dapat memicu  cedera nervus trigeminal, terutama 

pada cabang kedua dan ketiga. Dapat ditemukan juga penekanan akibat tumor di daerah cerebellopontine angle (CPA) yang biasanya disertai adanya baal di daerah wajah 

pada area ketiga cabang N. V, serta paresis 

N. VII perifer dan gangguan pendengaran 

pada telinga ipsilateral. 

Nyeri neuropatik merupakan penanda utaIJla dari kerusakan serat saraf aferen kecil 

yang tidak bermielinisasi atau bermielinisasi tip is. Rusaknya mielin ( demielinisasi) 

ini memicu  hilangnya barrier antara 

satu serat saraf dengan serat saraf lainnya, 

sehingga rentan terjadi "korsleting". Hal ini 

diperburuk oleh mekanisme re-entry yang 

memicu  amplifikasi stimulus, se 

hingga stimulus akan dihantarkan secara 

berlebihan. Kondisi lain yang dapat memicu kerusakan pada mielin yaitu  multipel sklerosis, kompresi oleh tumor nervus 

V, dan proses degeneratif. 

Diagnosa  

Diagnosa  terutama berdasar  nyeri yang 

khas pada daerah wajah yang dipersarafi 

nervus trigeminal unilateral. Faktor pencetus nyeri yaitu  stimulus non-nyeri yang 

merupakan bagian dari aktivitas seharihari, dapat berupa sentuhan, berbicara, 

makan, minum, mengunyah, menyikat gigi, 

menyisir rambut, bercukur rambut, terkena 

air saat mandi. Titik picu nyeri umumnya di 

daerah plika nasolabialis. 

Ne:rvus 

oftlllrrl. us 

=- ~ ' rr.a _;"I] r ~ 

t-.1:: ~~ 

rr ar-1;iib 'a -~ 

Nyeri Kepala 

Kriteria diagnostik neuralgia trigeminal 

berdasar  IHS yaitu : 

1. Serangan nyeri paroksismal beberapa 

detik hingga dua menit yang melibatkan 

1 atau lebih cabang N. Trigeminal dan 

memenuhi kriteria 8 dan C. 

2. Nyeri paling sedikit memenuhi 1 karakteristik berikut: 

a. Kuat, tajam, superfisial atau rasa tertikam. 

b. Dicetuskan dari satu titik pada zona 

nyeri atau oleh satu faktor pencetus. 

3. Jenis serangan stereotipik pada tiap individu. 

4. Tidak ada defisit neurologis. 

5. Tidak berkaitan dengan gangguan pada 

organ lain. 

Diagnosa  banding dari penyakit ini meliputi sindroma nyeri fasial atipikal, nyeri 

kepala kluster, neuralgia pascaherpes, dan 

nyeri akibat penyakit pada gigi atau orbita. 

Pemeriksaan pencitraan yang ideal yaitu  

MRI dengan kontras untuk membedakan 

neuralgia trigeminal klasik dan simtomatik, 

berupa adanya gambaran kompresi saraf 

trigeminal oleh pembuluh darah atau tumor. 

PENGOBATAN 

Prinsip utama PENGOBATAN nyeri trigeminal 

yaitu  mencari pemicu  utamanya, sebelum memberikan obat-obatan selama jangka panjang, dilanjutkan dengan tindakan 

pembedahan jika memang terjadi kelainan 

struktural. 

1. Terapi Medikamentosa 

Neuralgia trigeminal klasik umumnya 

akan responsif dengan terapi medikamentosa. Sementara itu, PENGOBATAN 

neuralgia trigeminal simtomatik harus 

disesuaikan dengan etiologinya. Terapi 

alternatif seperti stimulus mekanik, elektrik, atau termal dapat dipakai  untuk 

mengurangi nyeri dengan efek samping 

yang lebih kecil dibanding dengan terapi 

medikamentosa. 

Pilihan terapi yang dapat dipakai  

yaitu  oral berupa: 

• Karbamazepin 100-600mgjhari 

• Pregabalin 150-300mgjhari 

• Gabapentin 1200-3600mgjhari 

• Baklofen 60-80mgjhari 

• Fenitoin 200-400mgjhari 

• ~amotrigin 100-400mgjhari 

• Topiramat 150-300mgjhari 

• Okskarbazepin 300-2400mgjhari 

592 

1. Terapi Nonmedikamentosa 

PENGOBATAN pembedahan diindikasikan pada nyeri yang sulit dikontrol walaupun sudah diberikan PENGOBATAN 

medikamentosa, atau pada nyeri yang 

simtomatik akibat penekanan oleh arteri 

atau tumor. ada 5 prosedur terapi 

pembedahan pada neuralgia trigeminal, 

sesuai dengan etiologinya, yaitu gamma 

knife radiosurgery, radiofrequency electrocoagulation, injeksi gliserol, balloon 

microcompression, dan microvascular decompression. Namun terapi pembedahan 

berisiko terjadinya anestesia dolorosa, 

yaitu rasa baal di area yang dipersarafi 

nervus trigeminus. 

Walaupun neuralgia trigeminal tidak 

membahayakan nyawa, namun sangat 

mengganggu kualitas hid up akibat nyerinya yang hebat saat serangan dan dapat 

berulang setiap saat. Hal ini dapat memicu sindrom nyeri kronik dan 

memicu depresi. Pasien akan 

cenderung membatasi aktivitas yang 

merangsang nyeri seperti mengunyah, 

sehingga akan kehilangan berat badan 

yang signifikan. Bahkan pada kasus nyeri 

yang parah dapat mendorong pasien untuk bunuh diri. 

Pasien perlu diedukasi tentang perjalanan penyakit bahwa serangan nyeri memiliki kemungkinan remisi beberapa bulan, lalu dapat rekuren dengan frekuensi 

lebih sering. Demikian pula tentang efek 

samping obat, terutama obat anti-konvulsan yang dapat memicu sedasi 

dan ataksia, serta memengaruhi fungsi 

hati, agar pasien dapat mengenali gejala menurunnya fungsi hati dan segera  

berobat jika perlu. Pasien juga sebaiknya 

mengurangi manuver-manuver yang 

akan memicu munculnya nyeri. 

NYERIKEPALASEKUNDER 

Kelompok nyeri kepala sekunder pada 

dasarnya berbeda dengan nyeri kepala 

primer karena merupakan sebuah gejala 

dari suatu proses organik dan berhubungan 

dengan lebih dari 316 gangguan dan penyakit. Oleh karena nyeri kepala sekunder ini 

merepresentasikan suatu proses organik di 

tubuh, maka setiap klinisi harus bisa mendeteksi dini masalah ini dengan cara mengenali tanda bahaya nyeri kepala agar pasien 

tidak jatuh ke dalam kondisi yang mengancam nyawa. Setelah Diagnosa  nyeri kepala 

sekunder ditegakkan, selanjutnya pasien 

harus direncanakan beberapa pemeriksaan 

lebih lanjut untuk mengetahui proses organik penyakit yang mendasarinya. 

Pengenalan tanda bahaya nyeri kepala akan 

menuntun klinisi untuk memutuskan urgensi 

pemeriksaan lanjutan (pencitraan otak, Analisa  cairan otak, pemeriksaan darah) pada 

pasien dengan keluhan nyeri kepala. Tanda 

bahaya ini berbeda antara orang dewasa dan 

anak-anak. Beberapa tanda bahaya nyeri.kepala pada orang dewasa, antara lain: 

• Nyeri kepala pertama kali dan sangat 

parah (thunderclap headache) 

• Nyeri kepala awitan pertama kali di atas 

usia 50 tahun 

• Nyeri kepala dengan peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan 

• Nyeri kepala kronik sehari-hari yang tidak responsif dengan terapi 

593 

Nyeri Kepala 

• Nyeri kepala yang terjadi selalu di satu sisi 

• Nyeri kepala yang terjadi setelah trauma 

kepala 

• Nyeri kepala dengan penyakit sistemik 

(demam, kaku kuduk, ruam kulit) 

• Nyeri kepala yang berhubungan dengan 

kejang dan aura atipikal 

• Nyeri kepala dengan defisit neurologis 

• Nyeri kepala awitan baru pada pasien 

imunodefisiensi atau kanker 

• Nyeri kepala yang dicetuskan oleh perubahan posisi, aktivitas, dan peregangan 

• Nyeri kepala pada pasien dengan sindroma 

neurokutaneus 

Berbeda dengan orang dewasa, tanda bahaya nyeri kepala pada anak, antara lain: 

• Nyeri kepala persisten dengan durasi <6 

bulan yang tidak respon dengan pengobatan 

• Nyeri kepala berhubungan dengan defisit neurologis, termasuk edema papil, 

nistagmus, dan gangguan gait 

• Nyeri kepala persisten pada pasien yang 

tidak memiliki riwayat migren di keluarga 

• Nyeri kepala persisten yang disertai 

gangguan kesadaran, disorientasi, atau 

muntah 

• Nyeri kepala yang sering membangunkan anak dari tidurnya, atau terjadi 

segera setelah anak bangun tidur 

• Adanya riwayat penyakit saraf sebelumnya a tau riwayat serupa di keluarga yang 

mendukung ke arab kelainan susunan 

sarafpusat  

Beberapa pemeriksaan lanjutan yang diindikasikan pada nyeri kepala sekunder 

yaitu  pencitraan otak, laboratorium, Analisa  cairan otak, dan elektroensefalogram 

(EEG), seperti pada Tabel4. Pencitraan otak 

seperti CT scan dan MRI dapat dilakukan 

untuk mendeteksi kelainan struktural. Kedua pemeriksaan ini memiliki karakteristik 

masing-masing. CT scan lebih sensitif daripada MRI pada kasus stroke akut, ( <24 jam). MRI lebih 

sensitif daripada CT scan untuk mendeteksi 

keganasan, lesi di medulla spinalis, kelainan 

pituitari, dan malformasi arterivena. CT angiografi, MR angiografi, dan MR venografi 

merupakan pemeriksaan pencitraan yang 

dapat dilakukan untuk mengetahui kelainan 

vaskular. 

Pemeriksaan laju endap darah dan protein 

C-reaktif diindikasikan pada nyeri kepala 

sekunder terkait arteritis temporal. Pemeriksaan ANA dan faktor reumatoid dikerjakan 

untuk mengetahui adanya kelainan autoimun. 

Skrining toksikologi, darah lengkap, hormon 

tiroid, dan tes fungsi hati yaitu  beberapa 

594 

pemeriksaan yang dapat dikerjakan untuk 

mengetahui penyakit yang mendasari nyeri 

kepala. Pungsi lumbal dikerjakan pada kasus 

meningitis, ensefalitis, metastasis tumor leptomeningeal, perdarahan subaraknoid, atau 

adanya perubahan tekanan cairan otak, sedangkan elektroensefalografi (EEG) dilakukan 

pada nyeri kepala yang berhubungan dengan 

bangkitan kejang atau epilepsi. 

Setelah mengetahui penyakit organik yang 

mendasari nyeri kepala, PENGOBATAN selanjutnya diberikan sesuai etiologinya. Adapun 

pembahasan lebih rind mengenai beberapa 

penyakit yang mendasar ini dapat dilihat di 

topik lain dalam buku ini. 

CONTOH KASUS 

1. Seorang perempuan berusia 32 tahun 

mengeluh nyeri kepala sebelah yang didahului dengan melihat bintik-bintik hitam 

disertai kilatan cahaya. Penglihatan ini  berlangsung sekitar 30 menit dan diikuti nyeri kepala di sebelah kanan. Nyeri 

kepala terasa berdenyut dan semakin hebat dengan visual analog scale (VAS) 8. Ti 

dak didapatkan defisit neurologis dalam 

pemeriksaan fisik Pasien sering mengalami nyeri kepala seperti ini sejak remaja. 

Pertanyaan: 

Apakah Diagnosa  pada pasien ini ? 

a. Tension headache 

b. Nyeri kepala klaster 

c. Tumor otak 

d. Migren dengan aura · 

e. Migren tanpa aura 

Jawaban: d. Migren dengan aura 

2. Seorang pasien perempuan usia 28 tahun 

datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala sebelah kiri disertai nyeri pada mata 

kiri. Intensitas nyeri cukup berat (VAS 

9-10) dengan durasi sekitar 3-4 jam. Nyeri 

dirasakan seperti tertekan, berdenyut, 

atau ditusuk-tusuk Saat serangan mata 

kiri menjadi merah, berair, dan sangat silau melihat cahaya. Nyeri hilang timbul dengan frekuensi hingga 3 kali dalam sehari, 

bahkan membuat terbangun pada malam 

hari karena nyerinya. Pasien pernah mengalami nyeri seperti ini kira-kira 7 tahun 

yang lalu dan berulang setiap tahun. 

Pertanyaan: 

Apa Diagnosa  pasien ini ? 

a. Migren tanpa aura 

b. Migren dengan aura 

c. SOL (space occupaying lesion) intrakranial 

d. Nyeri kepala klaster · 

Apa ciri khas yang mengarahkan diagnosis terhadap pasien ini ? 

1) Nyeri kepala berdenyut 

2) Nyeri kepala sebelah 

3) Nyeri kepala hebat 

595 

Nyeri Kepala 

4) Keterlibatan mata · 

Jawaban: d. Nyeri kepala klaster, d. Keterlibatan mata 

3. Seorang perempuan berusia 47 tahun 

datang dengan keluhan nyeri kepala sejak 3 hari sebelumnya. Nyeri dirasakan 

seperti terikat di seluruh bagian kepala. 

Nyeri kepala diperberat dengan aktivitas, seperti terlalu lama di depan komputer atau terlalu lama membaca dan 

berkurang dengan istirahat. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. 

Pertanyaan: 

Apakah Diagnosa  pasien ini ? 

a. Tension type-headache 

b. Nyeri kepala klaster 

c. Tumor otak 

d. Migren dengan aura 

e. Migren tanpa aura 

Jawaban: a. Tension type-headache 

4. Seorang perempuan 78 tahun datang 

dengan keluhan nyeri seperti tertusuk 

pada pipi kanan, daerah atas rahang, dan 

sekitar hidung sejak 8 bulan sebelumnya. 

Nyeri terasa berat (VAS 8-9), hingga mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari 

pasien. Nyeri kadang muncul saat mengunyah atau menelan, dan menyebar ke arah 

telinga dan tenggorokan. Pasien pernah 

mendapat karbamazepin, namun  semakin 

lama dikatakan tidak ampuh menghilangkan nyeri. Pasien memiliki riwayat mengalami angina pektoris tidak stabil. 

Pertanyaan: 

Apakah Diagnosa  pasien terse but di atas? 

a. Cluster headache 

b. Nyeri akibat gigi berlubang  

c. Migreq 

d. Neuralgia trigeminal 

Jawaban: d. Neuralgia trigeminal 

5. Seorang laki-laki 24 tahun datang ke IGD 

dengan nyeri kepala hebat sejak 1 hari. 

Nyeri kepala dirasakan di seluruh kepala, terus menerus, dan tidak dipengaruhi aktivitas. Intensitas nyeri VAS 7-8. 

Pasien masih sadar penuh, namun  demam 

39°C sejak sehari sebelumnya. Pemeriksaan neurologis ditemukan kaku kuduk 

dan ruam kulit. Pemeriksaan laboratorium terdapatleukositosis 21.000/mm3• 

Pertanyaan: · 

Apakah Diagnosa  kerja yang paling 

mungkin pada pasien ini? 

a. 

b. Ensefalitis viral 

c. Meningitis bakterialis · 

d. Epidural hematom 

Jawaban: c. meningitis bakterialis 

6. Seorang perempuan 26 tahun, staf keuangan, datang ke poliklinik dengan keluhan 

nyeri leher belakang sejak 8 bulan. Nyeri dirasakan hilang timbul dengan intensitas sedang, dan tidak berdenyut, sekitar 1-2 kali 

seminggu. Nyeri menjalar ke kepala bagian 

belakang, bahu kanan, dan sekitarwajah sisi 

kanan, terutama bila pasien sedang banyak 

kerjaan dan kurang tidur. Tidak ada riwayat 

demam, penurunan berat badan, dan mual 

muntah. Pemeriksaan fisik menunjukkan 

postur kepala ke depan. Saat palpasi leher, 

teraba spasme pada m. trapezius bilateral 

dan m. paravertebra servikalis, tidak ada 

defisit neurologis. Pasien merasa nyeri saat 

gerakan hiperekstensi kepala secara pasif. 

Pemeriksaan Rontgen servikal menunjukkan hasil straight cervical. 

 

Pertanyaan: 

Apakah Diagnosa  paling mungkin pada 

pasien ini? 

a. HNP servikal 

b. Nyeri kepala servikogenik 

c. Neuralgia trigeminal 

d. Migren tanpa aura 

Jawaban: b. Nyeri kepala servikogenik 

7. Seorang perempuan 37 tahun datang ke 

poliklinik dengan keluhan nyeri kepala 

sejak setahun lalu. Nyeri kepala terutama 

dirasakan di sisi kanan kepala. Awalnya, 

nyeri kepala memiliki frekuensi satu kali 

seminggu, hilang timbul, durasi sekitar 

setengah hari, dan intensitas ringan. Namun, sejak 1 bulan terakhir, nyeri muncul setiap hari, terus menerus, dan intensitas sedang-berat. Saat datang, pasien 

sadar, namun terlihat kesakitan (VAS 

8-9) dan bingung, serta bicara kadang 

tidak sesuai dengan pertanyaan. 

Pertanyaan: 

Pemeriksaan lanjutan apa yang paling 

utama dikerjakan untuk mengetahui 

penyakit yang mendasari nyeri kepala 

pasien? 

a. Analisa  cairan otak 

b.MRI · 

c. Angiografi 

d. CTscan 

Jawaban: b. MRI 







NYERI NEUROPATIK 


Nyeri neuropatik yaitu  Qyeri yang disebabkan oleh kerusakan jaringan saraf, baik 

dLsusunan saraf pusat (SSP) maupun perifer. Nyeri ini dapat muncul walaupun kerusakan jaringan sudah sembuh atau bahkan 

tanpa adanya kerusakan jaringan. Nyeri 

neuropatik perifer sering digambarkan sebagai rasa terbakar, serasa sengatan listrik, 

rasa ditusuk, atau rasa kesemutan. Ditemukan juga gangguan sensorik berupa alodinia, hiperalgesia dengan lokasi yang kurang 

jelas, tidak pacta daerah terluka saja, atau 

hiperpatia. Hampir semua proses patologis 

yang memicu kerusakanfdisfungsi jaringan saraf atau neuropati berpotensi menimbulkan nyeri neuropatik, s~erti infeksi 

virus, bakteri, radang aseptik, tekanan karena neoplasma atau lesi struktural lainnya, 

degeneratif, iskemia, autoimun, zat beracun, 

trauma, dan endokrinjmekanisme metabolisme. 

EPID EMI 0 LOG I 

Nyeri neuropatik dijumpai setidaknya pacta 

7-8% populasi di Eropa. Di Indonesia sendiri berdasar  hasil penelitian multisenter unit rawat jalan 14 RS pendidikan yang 

dilakukan Pokdi Nyeri PERDOSSI tahun 

2002 didapatkan 4.456 kasus nyeri, 9,5% 

598 

di antaranya yaitu  nyeri neuropatik. Angka ini meningkat pacta tahun 2012 di 13 RS 

di Indonesia terhadap 8.160 subjek dengan 

instrumen penapis yang lebih sensitif, menjadi 21,8%. Mayoritas subyek yaitu  lelaki 

(62,1 %) berusia 40-60 tahun dengan nyeri 

punggung bawah (NPB), sind rom terowongan karpal (STK), frozen shoulder, neuropati 

diabetika, dan brakialgia. Penelitian di 

Bandung (2013) mendapatkan prevalensi 

yang lebih tinggi (31,6%), terutama perempuan (66,9%) dan berusia >40 tahun (91 %). 

PATOFISIOLOGI 

Munculnya nyeri neuropatik diawali oleh 

lesi atau disfungsi jaringan saraf sebagai 

sistem somatosensorik. Nyeri ini muncul 

spontan dengan sensasi yang 'tidak biasa', 

seperti disestesia, rasa seperti tusukan, rasa 

terbakar, nyeri seperti tersengat listrik, dan 

sebagainya. Kerusakan jaringan saraf ditemukan pacta penderita neuropati diabetika, postherpetic neuralgia (PHN), neuralgia 

trigeminal, nyeri fantom, complex regional 

pain syndrome (CRPS), pascabedah atau 

neuropati akibat trauma, toksik, neuropati 

idiopatik, nyeri sentral pascastroke, serta 

akibat tekanan tumor terhadap jaringan saraf (Gam bar 1).   

Mekanisme Perifer 

Dalam keadaan normal, sensasi nyeri dihantarkan oleh serabut saraf C dan Ao. Lesi jaringan saraf di perifer yang beregenerasi 

dapat membentuk neuroma ada puntung 

(stump), sehingga neuron menjadi lebih 

sensitif. Akibatnya terjadi ·sensitisasi perifer 

yang ditandai oleh adanya aktivitas patologis secara spontan, eksitabilitas yang tidak 

normal, dan hipersensitif terhadap stimulus 

kimiawi, termal, dan mekanik. Mekanisme 

nyeri neuropatik di perifer muncul akibatperubahan struktur anatomi berupa kerusakan 

jaringaiLsaraf atau akibat munculnya regenerasi jaringan saraf. Keadaan ini dapat berupa 

a) ectopic discharges dan ephatic condition, b) 

sprouting neuron kolateral, dan c) .coupling 

antara sistem saraf sensorik dengan saraf 

simpatis. Coupling ke saraf simpatis diakibatkan oleh regenerasi jaringan saraf pada lesi 

yang tumbuh menyimpang dari jalur anatomi yang sebenarnya (Gambar 2). 

Pengaruh aktivitas simpatik dan katekolamin terjadi pada saraf aferen primer yang  

mengalami kerusakan. Pad a lesi saraf perifer, 

terjadi upregulation adrenoreseptor a, sehingga terjadi peningkatan sensitivitas terhadap noradrenalin pada neuron aferen di 

ganglion radiks doTsalis. Selain itu terjadi pula 

sprouting pada saraf aferen primer terse but. 

Mekanisme Sentral 

Neuron di kornu dorsalis akan memacu traktus spinotalamikus, yaitu bagian besar dari jaras asending nosiseptif. Konsekuensi aktivitas 

spontan secara terus menerus yang berasal 

dari perifer memicu  meningkatnya aktivitas jaras spinotalamikus, meluasnya areal 

penerima, dan meningkatkan respons terhadap impuls aferen. Fenomena ini disebut sebagai sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral ini 

diduga merupakan mekanisme penting terjadinya nyeri neuropatik yang persisten. Pada 

saraf sentral ditemukan beberapa perubahan 

antara lain: a) terjadinya reorganisasi anatomi 

medula spinalis, b) hipereksitabilitas medula 

spinalis, serta c) perubahan pada sistem opioid 

endogen.  

Pad a kerusakan jaringan sarafperifer; juga terjadi aktivasi mikroglia dLmedula spinalis sehingga reseptor purin dan p-38, sebagian dari MAP 

kinase, turut menjadi aktif. Hal ini merupakan 

kunci utama patogenesis dari hipersensitivitas 

reseptor di traktus spinotalamikus. Kerusakan 

di daerah ini  akan memberikan keluhan 

yang sangat spesifik dan didefinisikan sebagai 

keluhan nyeri neuropatik 

Lesi di jaringan saraf ini memicu kerusakan mielin, protein membran, atau reseptor sinaps, sehingga terjadi gangguan 

elektrisitas berupa sensitisasi yang terus menerus dari jaringan saraf yang rusak dan disebut sebagai ectopic-discharge. Nyeri neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus) 

maupun dengan stimulus a tau juga kombinasi. Kejadian ini berhubungan dengan aktivasi 

kana! ion Ca2

+ atau Na+ di akson yang berperan pada reseptor glutamat, yaitu N-metil-0-

aspartat (NMDA) atau a-amino-3-hidroksi-5-

metil-4-asam isoksaazolepropionat (AMPA) 

dalam memodulasi transmisi nosiseptif sinapsis di susunan saraf pus at. 

Nyeri yang muncul disebabkan oleh ectopic 

discharges sebagai akibat dari kerusakan jaringan saraf (Gambar 3). Ectopic discharge 

ini merupakan akibat dari kerusakan jaringan saraf baik perifer maupun sentral, yang 

berkaitan dengan fungsi sistem inhibitorik, 

gangguan interaksi antara somatik dan simpatis. Terkadang pada inflamasi dan neuropatik ditemukan perubahan secara fenotip 

di sel saraf perifer yang memicu  eksitasi ataupun disinhibisi, baik di kornu dorsalis 

maupun di jaras nyeri sampai ke areal korteks 

sensorik. Keadaan ini memberikan gambaran 

umum berupa alodinia dan hiperalgesia yang 

merupakan keluhan spesifik dari nyeri neuropatik. Keluhan ini jika tidak diterapi secepat 

mungkin akan memicu  kerusakan 

neuron yang bersifat ireversibel.  

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Pada prinsipnya gejala nyeri neuropatik 

sangat khas, berbeda dengan nyeri nosiseptif. Pada nyeri neuropatil< tidak ada kerusakan jaringan yang dapat menjadi stimulus, namun pasien merasa nyeri. Sensasinya 

juga tidak 'lazim', tidak sesuai dengan pemicu nyerinya (alodinia). Pasien dapat merasakan gejala positif, seperti rasa panasjdingin, nyeri seperti ditusuk, disayat, ditikam, 

disetrum, atau kesemutan, disertai gejala 

negatif, seperti baa! atau hipestesia. Sensasi 

nyeri bisa juga sesuai dengan stimulusnya, 

namun terasa berlebihan (hiperalgesia). 

Oleh karena itu, pada pemeriksaan fisik perlu dicari ada tidaknya daerah yang berpotensi menjadi sumber nyeri atau adanya kerusakan jaringan, sehingga bila ditemukan  

berarti nyeri yang dirasakan ialah nyeri nosiseptif, bukan nyeri neuropatik. Misalnya 

pada neuralgia trigeminal, rasa nyeri bisa 

berasal dari daerah gusi yang menjalar ke 

daerah wajah hingga ke kepala. Maka perlu 

disingkirkan ada tidaknya abses di daerah 

gusi atau infeksi gigi lainnya yang dapat memicu nyeri. 

Yang terakhir, rasa nyeri neuropatik biasanya menjalar sesuai dengan area saraf 

atau radiks yang dipersarafinya:) iidi perlu 

ditanyakan atau pasien diminta untuk menunjuk area-area nyeri yang dirasakannya. 

Contohnya pada NPB daerah LS-Sl, akan 

ada rasa nyeri dari daerah pinggang ke 

tungkai bawah yang dapat dibuktikan dengan adany::1 gangguan sensorik pada pemeriksaan sensibilitas di area ini .  

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Rasa nyeri bersifat subyektif, kompleks, dan 

pribadi, yang hanya bisa dinilai secara tidak 

langsung melalui laporan si penderita. Selain itu dibutuhkan suatu anamnesis yang 

lengkap dari pasien dan keh.iarga, karena 

nyeri juga bisa berkaitan dengan masalah 

biopsikososial. Anamnesis ini  meliputi onset, karakteristik, dan kualitas nyeri, 

serta lokasi, distribusi, dan penjalaran nyeri. 

Ditanyakan juga faktor yang memperingan 

atau memperberat nyeri dan keluhan psikologis yang menyertainya. Lalu dilakukan 

pemeriksaan fisik umum, terutama lokal di 

aera nyeri dan neurologis. 

Pengukuran nyeri dapat berdasar  laporan pribadi pasien atau juga kesimpulan 

yang diambil oleh dokter berdasar  keluhan pasien dengan memakai  beberapa 

perangkat, seperti: verbal scale (Me Gill Pain 

Questioners), numeric scale (numeric rating 

scale, termometer nyeri), pictorial scale 

(painful face scale, visual analog scale). Numeric rating scale (NRS) merupakan skala 

yang paling sering dipakai  pada nyeri secara umum, yang dapat membagi tingkat intensitas nyeri pasien dalam kelompok nyeri 

ringan (NRS 1-3), sedang (NRS 4-7), atau 

berat (NRS 8-10). 

Namun NRS kurang dapat mendeteksi gejala nyeri neuropatik yang bervariasi. Oleh 

karena itu diperlukan suatu perangkat yang 

spesifik untuk nyeri neuropatik, antara lain: 

kuesioner nyeri McGill, Leeds Assessment of 

Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS), 

Neuropathic Pain Questionnaire (NPQ), Douleur Neuropathique en 4 Questions (DN4), 

Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS), 

dan kuesioner PainDetect. DN4 dan BPNS  

dipakai  terutama pada pasien-pasien 

HIV dan sudah divalidasi ke dalam bahasa 

Indonesia dengan sensitivitas dan spesifitas 

yangbaik 

LANSS merupakan instrumen yang dipercaya dalam menilai nyeri neuropatik dan 

telah divalidasi di berbagai negara dengan 

sensitivitas 82-91% dan spesifisitas 80-

94%. Instrumen ini dianggap sebagai instr'umen baku emas karena mampu mendeteksi 

komponen nyeri neuropatik memakai  

pemeriksaan sensibilitas. Namun untuk kepentingan penapisan ada tidaknya komponen nyeri neuropatik, dapat memakai  

kuesioner yang lebih sederhana seperti paindetect yang sudah divalidasi ke dalam bahasa 

Indonesia dengan sensitivitas dan spesifisitas 

yang cukup baik, yaitu masing-masing 78%. 

Pemeriksaan fisik pasien nyeri pada prinsipnya dilakukan untuk mencari kelainan struktural pemicu  nyeri. Dimulai dari pemeriksaan fisik umum, dilakukan inspeksi, palpasi, 

dan pergerakan di area yang dikeluhkan. Selanjutnya pemeriksaan fisik untuk mencari 

defisit neurologis sebagai Analisa  pemicu  

nyeri, terutama membuktikan adanya gangguan sensibilitas sesuai dengan area nyeri. 

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk 

memastikan kerusakan jaringan atau gangguan struktural yang memicu penekanan atau iritasi radiks pemicu  nyeri 

neuropatik Hal ini akan menentukan terapi 

definitif nyeri, bukan hanya bersifat simtomatis. Pada NPB dan semua nyeri yang 

berkaitan dengan saraf perifer, dilakukan 

pemeriksaan elektromiografi (EMG) dan kecepatan hantar saraf (IlliS), dilanjutkan pemeriksaan imajing sesuai dengan indikasi.  

PENGOBATAN 

Nyeri neuropatik memunculkan masalah 

bukan hanya menyangkut kerusakan atau 

lesi dari jaringan saraf itu sendiri, namun  karena dapat memicu nyeri kronik yang 

menurunkan quality of life penderita. Dalam 

hal pengobatan juga menyulitkan karena 

tidak berespons terhadap obat-obatan antinyeri tradisional. Oleh sebab itu, penanggulangan nyeri neuropatik membutuhkan 

tim yang multidisiplin untuk pemberian 

terapi farmakologis maupun nonfarmakologis. Penanggulangan secara farmakologis 

bukan hanya sebatas pada tingkat reseptor 

dan perbaikan lesi jaringan saraf saja, tapi 

juga yang berkaitan dengan efek kronik dari 

nyeri ini , yaitu efek psikologis seperti 

depresi dan ansietas. 

Patofisologi nyeri neuropatik memiliki kesamaan dengan epilepsi. Nyeri neuropatik 

juga termasuk kindling pada epilepsi, serupa 

halnya dengan kejadian wind-up pada nyeri 

neuropatik Jadi permasalahan nyeri neuropatik yaitu  di kanal ion sebagaimana pada 

epilepsi. Oleh sebab itu target terapi tertuju 

pada voltage-gate kanal Na• dan Ca2•. Atas 

dasar ini, maka antikonvulsan dapat dipakai  karena berkemampuan untuk menekan 

kepekaan abnormal neuron-neuron di sistern saraf pusat dengan memblokade reseptor glutamat (NMDA, AMPA, kainat). 

Namun yang paling penting yaitu  Analisa  

nyeri secara keseluruhan hingga diketahui 

pemicu , intensitas, dan karakteristiknya. 

Perlu diketahui apakah nyeri neuropatik me- 

rupakan satu-satunya nyeri atau campuran 

ada komponen nyeri nosiseptif, sehingga 

perlu diberikan terapi kombinasi. Apalagi 

jika nyeri sudah berubah menjadi nyeri kronik, sehingga yang dibutuhkan yaitu  terapi 

untuk memperbaiki sensitisasi sentral atau 

perifer, bukan lagi analgesik untuk nyeri akut 

European Federation of Neurological Societies (EFNS) merekomendasikan antidepresan trisiklik, gabapentin, pregabalin, dan 

antidepresan golongan selective norepinephrine re-uptake inhibitors (SNRI) seperti 

duloksetin sebagai lini pertama (Level A). 

Golongan opioid tramadol merupakan pilihan lini kedua (Level A) terutama jika ada nyeri eksaserbasi akut atau komponen 

nyeri nosiseptif, seperti pada Tabell. Opioid 

kerja kuat hanya direkomendasikan sebagai 

lini ketiga, mengingat efek samping yang 

mungkin muncul. Untuk nyeri neuropatik 

pada HIV direkomendasikan lamotrigin (Level B) jika disertai ~erapi antiretroviral. 

Gabapentin berperan mensupresi voltage-gated channels Ca2• dan ectopic-discharge 

pada bagian saraf yang rusak, sehingga dapat mengatur elektrik potensial dalam hal 

influks Ca2•berupa depolarisasi dan hiperpolarisasi. Pregabalin dikenal sebagai antinyeri neuropatik, demikian pula lamotrigin 

sebagai antikonvulsan untuk nyeri neuropatik. Dari basil uji klinik, obat antikonvulsan 

seperti lamotrigin mempunyai sifat analgesik dalam lingkup yang luas. Mekanisme 

kerja lamotrigin ialah membatasi influks 

kalsium melalui penekanan voltage-gated.  

Tida semua nyeri kronik memicu  

depresi yang membutuhkan antidepresan, 

akan namun  banyak diantara penderita nyeri 

kronik menunjukan gejala depresi. Pemberian obat antidepresan paralel dengan analgesik lainnya dilakukan jika terapi perilaku 

tidak berhasil. Pilihan antidepresan juga dilihat dari efektivitasnya karena efeknya bisa 

berbeda satu penderita dengan penderita 

lain. pemakaian  obat antidepresan untuk 

terapi nyeri neuropatik utamanya, karena 

obat ini berfungsi untuk menginhibisi pembentukan monoamine oxidase (MAO) yang 

diduga berperan dalam kana! natrium (Na+). 

pemakaian  antidepresan golongan selective serotonin re-uptake inhibitors (SSRI) dan 

selective norepinephrine re-uptake inhibitors 

(SNRI) bertujuan untuk menjamin keseimbangan 5-HT dan NAyang spesifik pada jaras 

desending di medula spinalis. Antidepresan 

juga berperan dalam sekresi 5-HT melalui reseptornya, dalam proses modulasi kana! Na+.  

Antidepresan golongan trisiklik, seperti 

amitriptilin merupakan golongan SSRl yang 

menjadi pilihan utama untuk nyeri neuropatik, karena menginhibisi pengambilan kernbali 5-HT dan NA di sinaps. Demikian pula 

cara kerja golongan SSRI seperti fluoksetin, 

paroksetin, dan sertralin bekerja mengatasi nyeri sekaligus memperbaiki sensitisasi 

sentral yang sering terjadi pada nyeri neuropatik yang menjadi kronik (Gambar 5). 

Duloksetin, golongan SNRI sering juga dipakai  untuk penanggulangan depresi pada 

penderita nyeri neuropatik. Tujuannya yaitu  mencegah (menginhibisi) pengambilan 

kembali 5-HT dan NA di sii:laps untuk mempertahankan keseimbangan neurotransmiter NA dan dopamin di sentral. 

Pada neuralgia trigeminal, obat lini pertama 

yaitu  karbamazepin 200-lZOOmg/hari dan 

okskarbazepin 600-1800mgjhari, sedangkan lini kedua yaitu  baklofen, lamotrigin, 

dan pregabalin 150-600mg/hari. Lini per 

tama neuralgia trigeminal yaitu  antidepresan trisiklik (Level A), seperti amitriptilin 

10mg malam titrasi perlahan hingga 100mg, 

gabapentin hingga 1800mgjhari dalam 3 

kali pemberian, atau pregabalin 150-300mg 

(maksimum 600mgjhari). PENGOBATAN nyeri 

pacta nyeri neuropati diabetika yaitu  pregabalin (Level A), atau gabapentin, duloksetin, 

dan amitriptilin (Level B). Namun yang paling penting yaitu  pengendalian kadar gula 

darah agar tetap dalam kadar normal. 

Pada nyeri neuropatik daerah punggung 

bawah biasanya disertai komponen nyeri 

nosiseptif - terutama pacta yang akut- sehingga tetap diperlukan analgesik golongan nonsteroid serta opioid jika nyeri sedang-berat. Kombinasi terapi seperti itu 

juga penting pacta pemicu  nyeri neuro- 

patik yang kompleks seperti nyeri kanker. 

Adanya kerusakan jaringan dan infiltrasi 

~e serabut saraf sekitarnya membuat nyeri 

menjadi hebat dan berlangsung lama. Oleh 

karena itu pilihan utama nyeri kanker yaitu  opioid kerja sedang sampai !mat bersama dengan terapi antikankernya. Kombinasi 

opioid dengan gabapentin dapat meningkatkan potensi analgesik opioid, sehingga do sis 

masing-masing tidak perlu terlalu tinggi 

dan mengurangi efek sam ping. 

Terapi nonfarmakologik diperlukan sesuai 

dengan pemicu  nyerinya. Pacta nyeri neuropatik akibat sistem muskuloskeletal seperti nyeri bahu atau nyeri punggung bawah, 

penting dilakukan terapi nonfarmakologis 

berupa tindakan rehabilitasi, seperti modalitas termal, masase, latihan peregangan, dan  

sebagainya secara rutin. Terapi invasif dapat dilakukan untuk memblok atau memutus jaras nyeri. Blok saraf dilakukan dengan 

menyuntikkan anestesi dan steroid lokal di 

daerah nyeri atau pemberian agen neurolitik seperti alkohol dan bupivakain pada 

pleksus tertentu.  







NYERILEHER 


Nyeri leher yaitu  keluhan yang sering 

dijumpai dalam praktik sehari-hari. Beberapa 

aktivitas kita seperti bekerja di depan komputer; 

membaca buku, memakai  gawai, dan 

kesalahan posisi tidur; merupakan sebagian 

dari pemicu  nyeri leher. Namun demikian, 

pemicu  pasti dari nyeri leher kadang-kadang 

tidak diketahui. 

Seperti halnya nyeri pada umumnya, nyeri 

leher dapat pula berlangsung kronik. Stres 

psikologis yaitu  salah satu faktor yang memicu nyeri leher menjadi kronik. Kelainan 

pacta struktur tulang belakang leher seringkali 

dikaitkan dengan nyeri leher kronik meskipun 

pacta faktanya tidak selalu demikian. 

Sebagian pasien nyeri leher menghindari 

aktivitas fisik untuk mengurangi nyeri. Hal 

ini sebenarnya tidak perlu dilakukan, kecuali 

ada tanda bahaya (red flags). Pasien 

nyeri leher sebaiknya tetap aktif dan bekerja 

seperti biasa. Latihan spesifik untuk menguatkan regio leher dapat dilakukan untuk 

mencegah berulangnya nyeri leher. 

EPIDEMIOLOGI 

Nyeri leher amat sering terjadi. Diperkirakan 

setidaknya 1 dari 3 orang akan mengalami 

nyeri leher setidaknya sekali dalam setahun. 

Perempuan lebih sering mengalami nyeri 

leher dibandingkan laki-laki. Nyeri leher yang  

muncul biasanya akan hilang sendiri dalam 

1-2 minggu, namun dapat muncul kern bali. 

Nyeri leher dapat menjadi kronik pacta 14% 

pasien. Risiko kronisitas meningkat pacta 

pasien lanjut usia, pasien yang sebelumnya 

memiliki masalah nyeri punggung bawah, 

dan pasien dengan kelainan diskus intervertebralis. Nyeri leher karena trauma (wh iplash injury) umumnya juga akan memberat 

dan menjadi kronik, terutama bila benturan 

yang terjadi cukup hebat. Pa