ai terapi profilaksis migren diduga berkaitan dengan kanal
natrium dan kalsium, reseptor GABA A,
dan reseptor glutamat, serta memiliki efek
inhibisi enzim karbonik anhidrase. Topiramat SOmg dan 100mgfhari diketahui
merupakc-• ~ dosis optimal terapi profilaksis migren, walaupun tidak ditemukan
perbedaan efektivitas yang bermakna
di antara kedua dosis ini . Namun,
dalam pemakaiannya obat ini harus diberikan dengan dosis awal yang rendah
(15-25mgfhari saatjam tidur) dan dinaikkan se':ara perlahan tiap 2-3 minggu. Efek
samp1Hg yang sering muncul yaitu cepat
Ielah, kehilangan berat badan, anoreksia,
parestesia, dan kesulitan mengingat.
10.Gabapentin
Merupakan obat yang bekerja pada neurotransmiter glisin dan glutamat. Obat
golongan ini pada guideline terbaru dikategorikan memiliki level of evidance U.
Migren yaitu suatu penyakit kronik,
namun dapat terjadi remisi dalam waktu
panjang. Pada suatu studi diketahui bahwa pada orang-orangyang mengalami migren dengan onset pada masa anak-anak,
62% akan be bas serangan selama 2 tahun
atau lebih pada saat pubertas. Keparahan
dan frekuensi migren cenderung untuk
menurun seiring dengan penambahan
usia. Setelah 15 tahun seringkali mengalami serangan migren, sekitar 30% lelaki
dan 40% perempuan tidak lagi mengalami serangan di usia lanjut.
NYERI KEPALA TIPE TEGANG
Nyeri kepala tipe tegang atau tension type
headache (TTH) merupakan nyeri kepala
579
Nyeri Kepala
primer tersering dengan prevalensi 78%.
Nyeri kepala tipe ini mengenai hampir 1,4
juta orang atau 20,8% populasi di dunia.
TTH lebih sering dialami oleh pasien dewasa muda (berusia >20 tahun, puncaknya
usia 30-39 tahun), terutama perempuan
dua kali lebih banyak dibanding lelaki.
Klasifikasi
berdasar IHS, TTH dapat dibagi menjadi
TTH episodik tipe jarang (infrequent) dan
sering (frequent), serta TTH kronik, yaitu:
1. Tension-type Headache Episodik yang
Infrequent
a. Tension-type headache episodik yang
infrequent berhubungan dengan
nyeri tekan perikranial
b. Tension-type headache episodik
yang infrequent tidak berhubungan
dengan nyeri tekan perikranial
2. Tension-type Headache Episodik yang
Frequent
a. Tension-type headache episodik yang
frequent berhubungan dengan nyeri
tekan perikranial
b. Tension-type headache yang frequent
tidak berhubungan dengan nyeri
tekan perikranial
3. Tension-type Headache Kronik
a. Tension-type headache kronik berhubungan dengan nyeri tekan perikranial
b. Tension-type headache kronik tidak
berhubungan dengan nyeri tekan
perikranial
4. Probable Tension-type Headache
a. Probable tension-type headache episodik yang infrequent
b. Probable tension-type headache episodik yangfrequent
c. Probable tension-type headache kronik
Patofisiologi
Nyeri kepala akibat TTH muncullebib sering
saat pasien terlalu lama dalam posisi kepala
ditekuk ke bawab (misalnya pada saat membaca dan menulis), sebingga otot belakang
Ieber akan tegang. Sementara itu, pada pasien
yang sering tidur dengan posisi tidak baik,
nyeri kepala muncul akibat mereka seringkali tidur memakai banta! yang terlalu
tinggi. Hallni dapat memicu otot Ieber
belakang akan tertekan lebib kuat.
Kontraksi otot yang terus menerus akan
memicu turunnya perfusi darab dan
lepasnya substansi pemicu nyeri Oaktat,
asam piruvat, dan sebagainya). Substansisubstansi ini kemudian menstimulasi saraf
yang kemudian akan mengbasilkan sensasi
nyeri pada otot dan ligamen yang dipersarafi
(Gambar 3). Nyeri ini akan bersifat tumpul.
Pada TTH, nyeri muncul pada otot Ieber belakang di daerab oksipital. Pada waktu yang
bersamaan, nyeri akan menjalar melewati
sisi kiri dan kanan kepala atau melewati sisi
retroorbita. Oleb karena itu, nyeri juga dapat
dirasakan pada daerab-derab ini . Sementara itu, pada otot dan ligamen yang
tidak terlalu banyak mendapat persarafan,
sensasi yang akan dirasakan yaitu pegal.
580
1. Hipotensi dan Anemia
Pasien dengan bipotensi dan anemia
lebib sering terkena TTH. Hal ini berkaitan dengan rendabnya suplai oksigen menuju otot yang memicu
kondisi iskemia pada otot. Pada kasus
bipotensi, nyeri kepala muncul karena
suplai oksigen berkurang. Berkurangnya
suplai oksigen merupakan konsekuensi
dari berkurangnya perfusi darab ke otot
akibat rendabnya tekanan pada pembulub darab. Sementara itu, suplai oksigen pada pasien dengan anemia terjadi
akibat kurangnya sel darab merab yang
mengangkut oksigen ke jaringan.
2. Stres dan Depresi
Stres dan depresi bukan merupakan pemicu langsung munculnya TTH, melainkan memicu munculnya kontraksi
otot yang berlebiban, sebingga terjadi
defisiensi suplai oksigen dan pelepasan
substansi pemicu nyeri. Selain itu, sirkulasi darab bisa menurun bingga 50%
pada saat stres.
3. Sensitisasi Sentral dan Perifer
Nyeri dan stres yang berulang terus
menerus akan memicu sensitisasi
perifer dan sentral sebingga memicu turunnya ambang nyeri. Nyeri akan
lebib mudah muncul oleb pemicu yang
sederhana sekalipun, dengan durasi
yang lebib lama. Hal ini akan memicu
stres dan seterusnya.
Gejala Klinis
Karakteristik nyeri kepala ini yaitu bilateral, menekan atau mengikat, tidak berdenyut
dengan intensitas ringan sampai sedang,
serta rasa tegang di sekitar leher dan kepala
belakang. Oleh karena mekanisme kerjanya
yang berbeda dengan migren, maka pada
TTH seharusnya tidak ditemukan adanya
mualjmuntah dan akan berlangsung lebih
lama. Walaupun durasinya bisa lebih panjang, nyeri pada TTH tidak seberat migren,
sehingga sering terabaikan. Hal ini yang memicu TTH lebih cenderung kronik dan
lebih sulit untuk diterapi secara sederhana.
Pada kasus TTH kronik, pasien juga umumnya mengeluh insomnia, nyeri kepala saat
di pagi hari, penurunan berat badan, susah
berkonsentrasi, dan mudah Ielah. Nyeri biasanya dipicu pada keadaan stres danjatau
cemas, kelelahan, depresi, posisi tidur atau
bekerja yang tidak baik, kurang tidur, dan
kebiasaan merokok.
Pemeriksaan fisik secara umum dan neurologis seharusnya dalam batas normal, untuk
menyingkirkan nyeri kepala sekunder yang
memiliki karakteristik yang mirip TTH. Pada
keadaan tertentu dapat ditemukan adanya
trigger point, yaitu daerah otot yang tegang,
sehingga menimbulkan nyeri tekan di area
leher dan kepala.
Diagnosa
Kriteria Diagnosa TTH episodik tipe jarang
(infrequent) yaitu :
1. Sekurang-kurangnya ada 10 episode serangan dengan rerata <1 hari/
bulan ( <12 harijtahun) dan memenuhi
kriteria 2-5
2. Nyeri kepala dapat berlangsung 30 menit hingga 7 hari
582
3. Nyeri kepala memiliki paling tidak 2 gejala khas, yaitu:
a. Bilateral
b. Terasa menekan atau mengikat (bukan berdenyut)
c. Intensitasnya ringan hingga sedang
d. Tidak diperberat dengan aktivitas rutin seperti berjalan a tau naik tangga
4. Tidak didapatkan keluhan atau gejala
berupa:
a. Mual atau muntah (walaupun pasien
mengeluh anoreksia)
b. Fotofobia atau fonofobia
5. Tidak berkaitan dengan kelainan lain
pada kepala atau organ tubuh lainnya
(bukan nyeri kepala sekunder).
Mirip dengan TTH episodik tipe jarang,
TTH episodik tipe sering (frequent)
mempunyai frekuensi yang lebih sering
pada kriteria pertama, yaitu paling tidak ada 10 episode serangan dalam
1-15 harijbulan selama paling tidak 3
bulan (12-180 harijthn).
Kriteria diagnostik TTH kronik yaitu :
1. Nyeri kepala yang terjadi 2:15 harijbulan
dan berlangsung >3 bulan (2:180 harij
tahun).
2. Nyeri kepala ini harus memenuhi kriteria berikut:
a. Berlangsung beberapa jam atau secara
terus menerus
b. Nyeri kepala memiliki sekurangnya 2
karakteristik berikut:
• Lokasi bilateral
• Terasa menekan atau mengikat (bukan berdenyut)
Intensitas ringan hingga sedang
( dapat mengganggu aktivitas namun
pasien masih bisa beraktivitas)
• Tidak memberat dengan aktivitas
fisik rutin seperti: berjalan atau naik
tangga
3. Tidak didapatkan:
a. Lebih dari satu keluhan inC yaitu fotofobia, fonofobia, atau mual
b. Muntah
4. Tidak berkaitan dengan kelainan lain
pacta kepala atau organ tubuh lainnya
(bukan nyeri kepala sekunder).
Selama tidak ada defisit neurologis,
Diagnosa banding TTH yaitu nyeri
kepala primer lainnya, seperti migren,
TTH episodik, TTH kronik, nyeri kepala
tipe klaster, dan neuralgia trigeminal.
Walaupun TTH tidak boleh ditegakkan
jika ada gejala-gejala migren, seperti
muntah, fotopsia, dan fonofobia, namun
pacta migren kronik dapat memicu ansietas sehingga memicu TTH.
Yang penting yaitu anamnesis frekuensi, karakteristik durasi, dan onset
masing-masing nyeri yang berbeda, sehingga dapat ditentukan polanya (Gambar 4). Intensitas nyeri saat serangan
migren lebih tinggi dibandingkan TTH
dan lebih singkat, sehingga pasien bisa
kembali ke kondisi normal.
PENGOBATAN
Prinsip PENGOBATAN TTH meliputi:
1. Modifikasi gaya hid up untuk mengurangi
faktor pencetus TTH. Mayoritas (80%)
pemicu TTH yaitu stres dan postur
yang tidak benar, terutama saat duduk
atau bekerja di depan komputer selama
berjam-jam. Oleh karena itu perlu penguatan otot-otot belakang (back exercise) dan olah raga rutin.
2. Tahap awal PENGOBATAN harus dimulai
dengan edukasi faktor dan mengimplementasikan menejemen stres guna mencegah atau mengurangi serangan TTH.
3. TTH akut pada umumnya dapat membaik dengan sendirinya. Namun, jika
sangat mengganggu bisa dikurangi dengan mengonsumsi analgesik yang dapat
dikombinasi dengan kafein.
4. PENGOBATAN nonfarmakologis berupa
relaksasi, cognitive-behavioral therapy,
serta pemijatan dapat membantu mengurangi dan mencegah serangan.
5. Terapi profilaksis diberikan jika nyeri
kepala terjadi secara rutin, berhubungan
dengan pekerjaan, sekolah dan kualitas
hid up, dan atau pemakaian .
6. Kesemua poin di atas perlu dilakukan
secara adekuat untuk menghindari nyeri
berkembang menjadi kronik, karena tata
laksana akan menjadi sangat berbeda
akibat telah terjadinya sensitisasi baik
sentral maupun perifer.
A. Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan pada
serangan akut dan tidak boleh diberikan
lebih dari 2 harijminggu.
584
Pilihan untuk TTH akut yaitu (Tabel2):
1. Analgesik, pilihannya yaitu : aspirin
1000mg/hari, parasetamol1000mgjhari,
NSAIDs (Naproksen 660-750mgjhari,
ketoprofen 25-50mgjhari, tol-fenamat
200-400mgjhari, asam mefenamat,
fenoprofen, ibuprofen 800mgjhari,
diklofenak 50-100mgjhari). Pemberian
analgesik dalam waktu lama memiliki
efek sam ping berupa ulkus gaster, ulkus
duodenum, penyakit ginjal, penyakit
hepar, dan gangguan fungsi platelet.
2. Kafein (analgesik ajuvan) 65mg.
3. Kombinasi:
a. 325mg (aspirin atau asetaminofen) +
40mgkafein
b. Ibuprofen 400mg + kafein
c. Aspirin/asetaminofen 500-lOOOmg
+ kafein
Pemakaian obat analgesikyang dikombinasi
dengan kafein dapat memunculkan ketergantungan.
Terapi medikamentosa untuk TTH kronik:
1. Antidepresan
Antidepresan jenis trisiklik: amitriptilin.
Selain berfungsi sebagai obat analgesik,
obat ini juga dipakai sebagai obat
profilaksis TTH. Obat ini memiliki efek
analgesik dengan cara mengurangi firing
rate of trigeminal nucleus caudatus. Pemakaian obat antidepresan trisiklik memiliki efek sam ping berupa penambahan
berat badan (merangsang nafsu makan),
mengganggu jantung, hipotensi ortostatik, dan efekantikolinergik (mulutkering,
mata kabur, tremor, disuria, retensi urin,
dan konstipasi.
2. Antiansietas
Golongan obat ini dipakai untuk penyembuhan maupun pencegahan TTH.
Obat ini terutama diberikan pada pasien ·
dengan komorbid ansietas. Golongan antiansietas yang sering dipakai yaitu
benzodiazepin.
B. Terapi Nonmedikamentosa
1. Edukasi: menjelaskan sedikit patofisiologi
TTH secara sederhana serta pengobatan
yang diperlukan. Memastikan pasien mengetahui bahwa TTH bukanlah penyakit
serius seperti tumor otak, perdarahan otak.
Hal ini akan mengurangi ketegangan pasien.
2. Kontrol diet.
3. Terapi fisik:
• Latihan postur dan posisi
• Masase
• Ultrasound, manual terapi _
• Kompres panasfdingin
• Akupuntur transcutaneus electrical
stimulation (TENS)
• Obat anestesi atau bahan lain pada
titik pemicu
585
4. Hindari pemakaian harian obat analgesik, sedatif, dan ergotamin.
5. Behaviour treatment dalam bentuk biofeedback, manajemen stres, reassurance,
konseling, terapi relaksasi, atau terapi
kognitif-sikap.
C. Terapi Profilaksis
Terapi ini diberikan pada pasien TTH episodik yang sering mendapat serangan atau
pasien dengan serangan > 15 hari dalam
satu bulan (TTH kronik) (Tabel 3). Prinsip
terapi ini yaitu memberikan obat tunggal
yang dititrasi hingga dosis terendah yang
efektif dan dapat ditoleransi dengan baik
oleh pasien.
Indikasi:
Pasien yang mengalami disabilitas akibat
nyeri kepala ~4 hari/bulan atau pasien yang
tidak respons terhadap terapi simptomatis
walaupun frekuensi nyeri kepalanya lebih
jarang. Terapi profilaksis dikatakan berhasil jika bisa mengurangi frekuensi serangan
danjatau mengurangi derajat keparahan
minimal SO%.
Prinsip pemilihan obat profilaksis yaitu :
1. Harus sesuai lini yang direkomendasikan
(lini pertama lebih diutamakan dari lini
kedua), namun harus mempertimbangkan
efek sam ping dan faktor komorbid pasien
2. Dimulai dengan dosis rendah, kemudian
dosis dinaikkan perlahan-lahan hingga
didapatkan dosis maksimal yang efektif
untuk pasien
3. Obat diberikan dalam jangka waktu
seminggujlebih
4. Obat dapat diganti dengan obat lain jika
obat pilihan pertama gaga!
5. Obat lebih utama diberikan dalam bentuk monoterapi
Sebelum diberikan terapi profilaksis, perlu
ditanyakan penyakit komorbid lain yang
juga dialami oleh pasien, misalnya: pasien
dengan hipertrofi prostat dan glaukoma
tidak boleh diberikan amitriptilin. Pasien
harus diinformasikan mengenai cara kerja
obat dan kapan saja waktu mengonsumsi
obat. Selain itu, pasien juga perlu mendapat
penjelasan mengenai tingkat efikasi dan
efek sam ping obat ini .
Pasien juga perlu mencatat tiap serangan
nyeri pada catatan harian (headache diary).
Catatan ini berfungsi untuk mengetahui pola,
586
frekuensi, dan durasi nyeri, serta gangguan
fungsional, jumlah obat simptomatis yang
dikonsumsi, efikasi terapi profilaksis, dan
efek samping dari obat profilaksis maupun
obat simptomatis. Oleh karena faktor penting pencegahan kekambuhan nyeri kepala
yaitu dengan mengidentifikasi faktor yang
mencetuskan dan mengurangi nyeri kepala.
Walaupun tidak berbahaya, TTH dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari. Kasus TTH
terbanyak yaitu kasus TTH episodik, namun
akan sangat mudah menjadi kronik akan
meningkat jika pemicu dan stresor tidak bisa
diatasi.
NYERI KEPALA TIPE KLASTER
Kelompok trigeminal autonomic cephalalgias (TAC) terdiri dari: (1) nyeri kepala tipe
klaster, (2) paroksismal hemikrania, (3)
short-lasting unila.teral neuralgiform headache attacksjSUNCT, (4) kontinua hemikrania, dan (5) probable TAC. Nyeri kepala tipe
klaster atau cluster headache (CH) merupakan nyeri kepala tersering pada TAC, sehingga fokus pembahasan pada bagian ini
ialah mengenai CH.
CH memiliki karakteristik berupa nyeri ke- ·
pala hebat yang disertai gejala otonom di
tempat yang spesifik, seperti orbita, supra orbita, temporal, atau kombinasi tempattempatini . Nyeri terse but berlangsung
secara periodik, sehingga disebut sebagai
klaster (cluster), dalam waktu 15-180 menit dengan frekuensi dari 1 kali tiap 2 hari
hingga 8 kali sehari. Serangan nyeri kepala
selalu disertai satu atau lebih gejala, seperti
injeksi konjungtiva, lakrimasi, kongesti nasal, rhinorrhea, berkeringat di kening dan
wajah, miosis, ptosis, dan edema palpebra.
Semua gejala ini bersifat ipsilateral.
Pasien sebagian besar gelisah dan agitasi
selama serangan CH berlangsung.
Prevalensi CH sangat jarang, hanya kurang
dari 1%. Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada lelaki dibanding perempuan, dengan rasio sekitar 6:1, serta berusia lebih
dari 30 tahun. Selain itu faktor risiko juga
jika mengkonsumsi vasodilator seperti
alkohol, riwayat trauma dan operasi kepala,
merokok, serta adanya stressor.
Klasifikasi
ada dua jenis CH, yaitu:
1. CH episodik, merupakan serangan nyeri
kepala klaster yang terjadi periodik dan
berlangsung tujuh hari sampai satu tahun. Setiap periode dipisahkan oleh
periode bebas nyeri yang akan berlangsung satu bulan atau lebih lama.
2. CH kronik, merupakan serangan nyeri
kepala klaster yang terjadi selama lebih
dari satu tahun tanpa remisi atau disertai remisi namun berlangsung hanya
kurang dari satu bulan.
Patofisiologi
Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak
lama, namun patofisiologi yang mendasari
berbagai gejalanya hingga saat ini masih
587
Nyeri Kepala
belum bisa dimengerti secara jelas. Untuk
memudahkan pemahaman penyakit ini,
maka dilakukan pendekatan patofisiologis
berdasar gejala yang dialami pasien, yaitu: (1) nyeri kepala; (2) gejala otonom; dan
(3) periodisitas yang stereotipik.
Stimulus nyeri kepala disampaikan ke
sistem saraf pusat melalui cabang nosiseptif
oftalmikus nervus Trigeminus. Cabang saraf
ini menginervasi struktur intrakranial yang
sensitif terhadap nyeri, seperti: duramater
dan pembuluh darah dural. Ketika saraf
atau ganglion trigeminus teraktivasi, substansi P dan calcitonin gene-related peptide
(CGRP) akan dilepaskan. Pelepasan kedua
jenis neuropeptida trigeminovaskular ini
merangsang inflamasi neurogenik dan dilatasi pembuluh darah yang kemudian menimbulkan sensasi nyeri kepala.
Gejala otonom pada nyeri kepala klaster
merupakan indikasi adanya aktivasi saraf
parasimpatis. Saraf ini merupakan cabang
dari neuron orde pertama nukleus salivatorius superior dan memiliki hubungan fungsional dengan nukleus trigeminus. Serabut
saraf ini selanjutnya memanjang sejajar
nervus fasialis dan bersinaps di ganglion
pterigopalatina. Saraf post-ganglionik berfungsi sebagai vasomotor dan sekretomotor
pembuluh darah serebral, kelenjar lakrimal, dan mukosa hidung. Hal lain yang juga
memicu munculnya gejala otonom yaitu
perubahan vaskular yang menginduksi
gangguan aktivitas saraf simpatis. Munculnya gejala sindroma Horner (ptosis, miosis,
injeksi konjungtiva) selama serangan nyeri
kepala klaster, mengindikasikan adanya
pengaruh pleksus simpatis karotis, terutama pleksus di sekitar arteri karotis interna segmen kavernosus.
Sementara itu, periode serangan yang episodik diduga berhubungan dengan adanya
disfungsi aktivitas hipotalamus. Hal ini dibuktikan dengan abnormalitas kadar harmon kelenjar hipofisis yang mengindikasikan adanya perubahan ritme sekretorik
hipotalamus.
Diagnosa dan Diagnosa Banding
1. Diagnosa
Kriteria diagnostik cluster headache
yaitu :
a. ada minimal 5 serangan yang
memenuhi kriteria B-D
b. Nyeri hebat atau sangat hebat di orbita, supraorbita, dan atau temporal
yang unilateral, berlangsung 15-180
menit bila tidak diobati
c. Nyeri kepala disertai setidaknya satu
dari gejala berikut:
1) Injeksi konjungtiva dan atau lakrimasi ipsilateral
2) Kongesti nasal dan atau rhinorrhoea
ipsilateral
3) Edema palpebra ipsilateral
4) Dahi dan wajah berkeringat ipsilateral
5) Miosis dan atau ptosis ipsilateral
6) Perasaan gelisah atau agitasi
d. Serangan-serangan ini mempunyai frekuensi: dari 1 kali setiap 2
hari sampai 8 kali per hari
e. Tidak berkaitan dengan gangguan lain
2. Diagnosa Banding
a. Paroksismal hemikrania
b. Short-lasting unilateral neuralgiform
588
headache attack with conjungtival injection and tearing/cranial autonomic
features (SUNCT /SUNA).
c. Migren
d. Arteritis temporal
PENGOBATAN
Pada prinsipnya PENGOBATAN nyeri kepala
klaster bertujuan untuk menekan periode
serangan, menghentikan serangan akut,
mengurangi frekuensi serangan, serta mengurangi berat atau intensitas serangan.
Terapi untuk serangan akut nyeri kepala
klaster:
1. Inhalasi oksigen 100% 7 L/menit selama
15 menit dengan sungkup
2. Dihidroergotamin (DHE) 0,5-1,5mg secara intravena akan mengurangi nyeri
dalam 10 menit. Pemberian melalui intramuskular atau nasal memeiliki awitan
lebih lama.
3. Sumatriptan injeksi subkutan 6mg akan
mengurangi nyeri dalam waktu 5-15 menit. Dapat diulang setelah 24 jam. Sumatriptan dikontraindikasi untuk pasien
dengan penyakit jantung iskemik dan/
atau hipertensi tidak terkontrol. Sumatriptan nasal spray 20mg juga dapat diberikan, namun kurang efektif jika dibandingkan sumatriptan injeksi subkutan.
Efek sampingnya yaitu pusing, letih,
parestesia, dan kelemahan di wajah.
4. Anestesi lokal 1mL lidokain 4% yang
diteteskan pada kapas kemudian kapas
diletakkan di tiap lubang hidung selama
5 menit.
Indikasi terapi profilaksis:
a. Nyeri kepala klaster yang sulit hilang
walaupun telah diberikan terapi abortif
(gaga! terapi abortif)
b. Nyeri kepala klaster terjadi setiap hari
dan berlangsung selama lebih dari 15
menit
c. Pasien yang bersedia dan mampu mengonsumsi obat setiap hari
Obat yang dapat dipakai untuk profilaksis:
1. Verapamil 120- 160mg dapat diberikan
3- 4 kali sehari (merupakan pilihan pertama terapi profilaksis). Selain itu dapat
juga memakai nimodipin 240mg/
hari atau nifedipin 40-120mgjhari.
2. Prednisolon S0-75mgj hari. Dosis dikurangi 10% pada hari ketiga. Obat ini
tidak boleh diberikan dalam jangka waktu yang lama. Efektif mencegah serangan
pada 80-90% kasus.
3. Litium 300- 1500mgjhari per oral (ratarata pemberian 600-900mgjhari)
4. Metisergid 4-10 mgj hari per oral
5. Ergotamin tartrat 2mg diberikan 2- 3
kali per hari. Dapat diberikan dengan
cara 2mg per oral atau 1mg per rektal,
2--jam sebelum serangan terutama pada
malam hari.
Selain terapi medikamentosa, pasien perlu
disarankan untuk membiasakan diri hidup
dan istirahat teratur, hindari konsumsi alkohol, batasi paparan terhadap zat volatil seperti gasolin, hati-hati bila sedang berada di
ketinggian, serta hindari paparan terhadap
produk tembakau dan sinar yang terlalu
terang atau suara yang terlalu gaduh (glare
and bright light).
589
Nyeri Kepa/a
Prognosis pada pasien CH dapat bervariasi,
mulai dari persistennya serangan yang berulang, memanjangnya masa remisi, hingga
berubahnya CH episodik menjadi CH kronik.
Sekitar 80% pasien CH episodik akan tetap
mengalami CH episodik selama hidupnya. Semen tara itu, 4-13% pasien CH episodik ditemukan mengalami transformasi menjadi CH
kronik. Remisi spontan ditemukan pada 12%
pasien, umumnya pada pasien CH episodik.
Tidak ada laporan mortalitas yang diakibatkan langsung oleh CH, namun banyak pasien
dikatakan mengalami depresi dan bunuh diri
akibat serangan CH yang periodik.
NEURALGIA TRIGEMINAL
Neuralgia trigeminal atau yang dikenal juga
dengan tic douloureux yaitu nyeri akibat
lesi di sepanjang cabang nervus trigeminus.
lnsidensnya lebih banyak pada perempuan
dibanding lelaki (2 :1). Pada 90% pasien,
awitan terjadi ketika pasien berusia di atas
usia 40 tahun, terutama usia 60- 70 tahun.
Jika terjadi, di usia 20-40 tahun, pemicu
demielinisasi akibat multipel sklerosis perlu dipertimbangkan.
Klasifikasi
IHS membedakan neuralgia trigeminal menjadi 2 kategori:
1. Neuralgia trigeminal klasik, umumnya
idiopatik. Namun seringkali berkaitan
dengan kompresi vaskular pada tempat
masuknya cabang nervus trigeminus di
batang otak.
2. Neuralgia trigeminal simtomatik, sering
disebabkan oleh lesi struktural, seperti multipel sklerosis, anuerisma arteri basilar, a tau
tumor (neuroma trigeminal, meningioma,
epidermoid) pada cerebellopontine angle Gejala Klinis
Gejala yang paling sering dikeluhkan berupa
serangan nyeri pada wajah unilateral yang
bersifat episodik, spontan, menusuk, dan
seperti tersengat listrik pada daerah wajah
yang dipersarafi oleh percabangan nervus
trigeminus. Nyeri bersifat progresif dalam
waktu 20 detik, sehingga pasien terlihat
kesakitan yang kemudian menghilang dan
menyisakan rasa terbakar yang bertahan
beberapa detik hingga menit.
Neuralgia yang klasik biasanya memiliki titik picu (trigger point) daerah wajah yang
dipersarafi nervus trigeminus cabang kedua atau ketiga (terutama daerah pipi dan
dagu). Hanya >5% pasien yang memiliki titik picu di daerah nervus trigeminus cabang
pertama. Pada 60% kasus, nyeri berasal dari
ujung mulut hingga ke arab sudut rahang,
sedangkan 30% dari bibir atas atau gigi taring atas hingga ke sekitar mata dan alis.
Nyeri tidak pernah menjalar dari satu sisi
ke sisi lainnya, namun nyeri pada beberapa
kasus dapat bilateral, umumnya pemicu
sentral berupa multipel sklerosis. Umumnya akan ada periode bebas nyeri yang
dapat berlangsung beberapa minggu hingga
beberapa tahun. Di antara dua serangan
dapat terasa nyeri tumpul yang bertahan
dan menetap di beberapa kasus. Sesudah
serangan nyeri umumnya akan ada periode
refrakter, yaitu suatu periode bebas rasa
nyeri (kondisi tidak dapat dipicu).
Saat nyeri rekuren, titik picu umumnya akan
berada pada tempat yang sama. Pemeriksaan neurologis akan menunjukkan kondisi
normal, kecuali jika dilakukan pemeriksaan segera setelah nyeri muncul, berupa
berkurangnya fungsi sensoris pada daerah
590
nyeri. Sebanyak 60% pasien dapat melokalisasi titik picu nyeri.
Patofisiologi
Sampai saat ini patofisiologi neuralgia trigeminal masih kontroversial. Etiologinya
dapat berasal dari sentral, perifer, atau
keduanya. Nervus trigeminus {N. V) dapat
menghantarkan nyeri karena memiliki serabut saraf sensorik dari ketiga cabangnya
(Gambar 5), yaitu cabang Vl (cabang oksipital) yang mempersarafi kulit kepala, dahi,
dan kepala bagian depan; cabang V2 ( cabang maksila) untuk hidung, pipi, serta rahang, bibir, gigi, dan gusi atas; serta cabang
V3 (cabang mandibula) pada area rahang,
bibir, gigi, dan gusi bawah.
Umumnya tidak ada kelainan struktural
(85%), namun sebagian ditemukan adanya
kompresi nervus trigeminal oleh arteri dan
vena pada tempat masuknya cabang nervus
ini di batang otak Kompresi ini memicu demielinisasi yang dapat memicu cedera nervus trigeminal, terutama
pada cabang kedua dan ketiga. Dapat ditemukan juga penekanan akibat tumor di daerah cerebellopontine angle (CPA) yang biasanya disertai adanya baal di daerah wajah
pada area ketiga cabang N. V, serta paresis
N. VII perifer dan gangguan pendengaran
pada telinga ipsilateral.
Nyeri neuropatik merupakan penanda utaIJla dari kerusakan serat saraf aferen kecil
yang tidak bermielinisasi atau bermielinisasi tip is. Rusaknya mielin ( demielinisasi)
ini memicu hilangnya barrier antara
satu serat saraf dengan serat saraf lainnya,
sehingga rentan terjadi "korsleting". Hal ini
diperburuk oleh mekanisme re-entry yang
memicu amplifikasi stimulus, se
hingga stimulus akan dihantarkan secara
berlebihan. Kondisi lain yang dapat memicu kerusakan pada mielin yaitu multipel sklerosis, kompresi oleh tumor nervus
V, dan proses degeneratif.
Diagnosa
Diagnosa terutama berdasar nyeri yang
khas pada daerah wajah yang dipersarafi
nervus trigeminal unilateral. Faktor pencetus nyeri yaitu stimulus non-nyeri yang
merupakan bagian dari aktivitas seharihari, dapat berupa sentuhan, berbicara,
makan, minum, mengunyah, menyikat gigi,
menyisir rambut, bercukur rambut, terkena
air saat mandi. Titik picu nyeri umumnya di
daerah plika nasolabialis.
Ne:rvus
oftlllrrl. us
=- ~ ' rr.a _;"I] r ~
t-.1:: ~~
rr ar-1;iib 'a -~
Nyeri Kepala
Kriteria diagnostik neuralgia trigeminal
berdasar IHS yaitu :
1. Serangan nyeri paroksismal beberapa
detik hingga dua menit yang melibatkan
1 atau lebih cabang N. Trigeminal dan
memenuhi kriteria 8 dan C.
2. Nyeri paling sedikit memenuhi 1 karakteristik berikut:
a. Kuat, tajam, superfisial atau rasa tertikam.
b. Dicetuskan dari satu titik pada zona
nyeri atau oleh satu faktor pencetus.
3. Jenis serangan stereotipik pada tiap individu.
4. Tidak ada defisit neurologis.
5. Tidak berkaitan dengan gangguan pada
organ lain.
Diagnosa banding dari penyakit ini meliputi sindroma nyeri fasial atipikal, nyeri
kepala kluster, neuralgia pascaherpes, dan
nyeri akibat penyakit pada gigi atau orbita.
Pemeriksaan pencitraan yang ideal yaitu
MRI dengan kontras untuk membedakan
neuralgia trigeminal klasik dan simtomatik,
berupa adanya gambaran kompresi saraf
trigeminal oleh pembuluh darah atau tumor.
PENGOBATAN
Prinsip utama PENGOBATAN nyeri trigeminal
yaitu mencari pemicu utamanya, sebelum memberikan obat-obatan selama jangka panjang, dilanjutkan dengan tindakan
pembedahan jika memang terjadi kelainan
struktural.
1. Terapi Medikamentosa
Neuralgia trigeminal klasik umumnya
akan responsif dengan terapi medikamentosa. Sementara itu, PENGOBATAN
neuralgia trigeminal simtomatik harus
disesuaikan dengan etiologinya. Terapi
alternatif seperti stimulus mekanik, elektrik, atau termal dapat dipakai untuk
mengurangi nyeri dengan efek samping
yang lebih kecil dibanding dengan terapi
medikamentosa.
Pilihan terapi yang dapat dipakai
yaitu oral berupa:
• Karbamazepin 100-600mgjhari
• Pregabalin 150-300mgjhari
• Gabapentin 1200-3600mgjhari
• Baklofen 60-80mgjhari
• Fenitoin 200-400mgjhari
• ~amotrigin 100-400mgjhari
• Topiramat 150-300mgjhari
• Okskarbazepin 300-2400mgjhari
592
1. Terapi Nonmedikamentosa
PENGOBATAN pembedahan diindikasikan pada nyeri yang sulit dikontrol walaupun sudah diberikan PENGOBATAN
medikamentosa, atau pada nyeri yang
simtomatik akibat penekanan oleh arteri
atau tumor. ada 5 prosedur terapi
pembedahan pada neuralgia trigeminal,
sesuai dengan etiologinya, yaitu gamma
knife radiosurgery, radiofrequency electrocoagulation, injeksi gliserol, balloon
microcompression, dan microvascular decompression. Namun terapi pembedahan
berisiko terjadinya anestesia dolorosa,
yaitu rasa baal di area yang dipersarafi
nervus trigeminus.
Walaupun neuralgia trigeminal tidak
membahayakan nyawa, namun sangat
mengganggu kualitas hid up akibat nyerinya yang hebat saat serangan dan dapat
berulang setiap saat. Hal ini dapat memicu sindrom nyeri kronik dan
memicu depresi. Pasien akan
cenderung membatasi aktivitas yang
merangsang nyeri seperti mengunyah,
sehingga akan kehilangan berat badan
yang signifikan. Bahkan pada kasus nyeri
yang parah dapat mendorong pasien untuk bunuh diri.
Pasien perlu diedukasi tentang perjalanan penyakit bahwa serangan nyeri memiliki kemungkinan remisi beberapa bulan, lalu dapat rekuren dengan frekuensi
lebih sering. Demikian pula tentang efek
samping obat, terutama obat anti-konvulsan yang dapat memicu sedasi
dan ataksia, serta memengaruhi fungsi
hati, agar pasien dapat mengenali gejala menurunnya fungsi hati dan segera
berobat jika perlu. Pasien juga sebaiknya
mengurangi manuver-manuver yang
akan memicu munculnya nyeri.
NYERIKEPALASEKUNDER
Kelompok nyeri kepala sekunder pada
dasarnya berbeda dengan nyeri kepala
primer karena merupakan sebuah gejala
dari suatu proses organik dan berhubungan
dengan lebih dari 316 gangguan dan penyakit. Oleh karena nyeri kepala sekunder ini
merepresentasikan suatu proses organik di
tubuh, maka setiap klinisi harus bisa mendeteksi dini masalah ini dengan cara mengenali tanda bahaya nyeri kepala agar pasien
tidak jatuh ke dalam kondisi yang mengancam nyawa. Setelah Diagnosa nyeri kepala
sekunder ditegakkan, selanjutnya pasien
harus direncanakan beberapa pemeriksaan
lebih lanjut untuk mengetahui proses organik penyakit yang mendasarinya.
Pengenalan tanda bahaya nyeri kepala akan
menuntun klinisi untuk memutuskan urgensi
pemeriksaan lanjutan (pencitraan otak, Analisa cairan otak, pemeriksaan darah) pada
pasien dengan keluhan nyeri kepala. Tanda
bahaya ini berbeda antara orang dewasa dan
anak-anak. Beberapa tanda bahaya nyeri.kepala pada orang dewasa, antara lain:
• Nyeri kepala pertama kali dan sangat
parah (thunderclap headache)
• Nyeri kepala awitan pertama kali di atas
usia 50 tahun
• Nyeri kepala dengan peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan
• Nyeri kepala kronik sehari-hari yang tidak responsif dengan terapi
593
Nyeri Kepala
• Nyeri kepala yang terjadi selalu di satu sisi
• Nyeri kepala yang terjadi setelah trauma
kepala
• Nyeri kepala dengan penyakit sistemik
(demam, kaku kuduk, ruam kulit)
• Nyeri kepala yang berhubungan dengan
kejang dan aura atipikal
• Nyeri kepala dengan defisit neurologis
• Nyeri kepala awitan baru pada pasien
imunodefisiensi atau kanker
• Nyeri kepala yang dicetuskan oleh perubahan posisi, aktivitas, dan peregangan
• Nyeri kepala pada pasien dengan sindroma
neurokutaneus
Berbeda dengan orang dewasa, tanda bahaya nyeri kepala pada anak, antara lain:
• Nyeri kepala persisten dengan durasi <6
bulan yang tidak respon dengan pengobatan
• Nyeri kepala berhubungan dengan defisit neurologis, termasuk edema papil,
nistagmus, dan gangguan gait
• Nyeri kepala persisten pada pasien yang
tidak memiliki riwayat migren di keluarga
• Nyeri kepala persisten yang disertai
gangguan kesadaran, disorientasi, atau
muntah
• Nyeri kepala yang sering membangunkan anak dari tidurnya, atau terjadi
segera setelah anak bangun tidur
• Adanya riwayat penyakit saraf sebelumnya a tau riwayat serupa di keluarga yang
mendukung ke arab kelainan susunan
sarafpusat
Beberapa pemeriksaan lanjutan yang diindikasikan pada nyeri kepala sekunder
yaitu pencitraan otak, laboratorium, Analisa cairan otak, dan elektroensefalogram
(EEG), seperti pada Tabel4. Pencitraan otak
seperti CT scan dan MRI dapat dilakukan
untuk mendeteksi kelainan struktural. Kedua pemeriksaan ini memiliki karakteristik
masing-masing. CT scan lebih sensitif daripada MRI pada kasus stroke akut, ( <24 jam). MRI lebih
sensitif daripada CT scan untuk mendeteksi
keganasan, lesi di medulla spinalis, kelainan
pituitari, dan malformasi arterivena. CT angiografi, MR angiografi, dan MR venografi
merupakan pemeriksaan pencitraan yang
dapat dilakukan untuk mengetahui kelainan
vaskular.
Pemeriksaan laju endap darah dan protein
C-reaktif diindikasikan pada nyeri kepala
sekunder terkait arteritis temporal. Pemeriksaan ANA dan faktor reumatoid dikerjakan
untuk mengetahui adanya kelainan autoimun.
Skrining toksikologi, darah lengkap, hormon
tiroid, dan tes fungsi hati yaitu beberapa
594
pemeriksaan yang dapat dikerjakan untuk
mengetahui penyakit yang mendasari nyeri
kepala. Pungsi lumbal dikerjakan pada kasus
meningitis, ensefalitis, metastasis tumor leptomeningeal, perdarahan subaraknoid, atau
adanya perubahan tekanan cairan otak, sedangkan elektroensefalografi (EEG) dilakukan
pada nyeri kepala yang berhubungan dengan
bangkitan kejang atau epilepsi.
Setelah mengetahui penyakit organik yang
mendasari nyeri kepala, PENGOBATAN selanjutnya diberikan sesuai etiologinya. Adapun
pembahasan lebih rind mengenai beberapa
penyakit yang mendasar ini dapat dilihat di
topik lain dalam buku ini.
CONTOH KASUS
1. Seorang perempuan berusia 32 tahun
mengeluh nyeri kepala sebelah yang didahului dengan melihat bintik-bintik hitam
disertai kilatan cahaya. Penglihatan ini berlangsung sekitar 30 menit dan diikuti nyeri kepala di sebelah kanan. Nyeri
kepala terasa berdenyut dan semakin hebat dengan visual analog scale (VAS) 8. Ti
dak didapatkan defisit neurologis dalam
pemeriksaan fisik Pasien sering mengalami nyeri kepala seperti ini sejak remaja.
Pertanyaan:
Apakah Diagnosa pada pasien ini ?
a. Tension headache
b. Nyeri kepala klaster
c. Tumor otak
d. Migren dengan aura ·
e. Migren tanpa aura
Jawaban: d. Migren dengan aura
2. Seorang pasien perempuan usia 28 tahun
datang ke IGD dengan keluhan nyeri kepala sebelah kiri disertai nyeri pada mata
kiri. Intensitas nyeri cukup berat (VAS
9-10) dengan durasi sekitar 3-4 jam. Nyeri
dirasakan seperti tertekan, berdenyut,
atau ditusuk-tusuk Saat serangan mata
kiri menjadi merah, berair, dan sangat silau melihat cahaya. Nyeri hilang timbul dengan frekuensi hingga 3 kali dalam sehari,
bahkan membuat terbangun pada malam
hari karena nyerinya. Pasien pernah mengalami nyeri seperti ini kira-kira 7 tahun
yang lalu dan berulang setiap tahun.
Pertanyaan:
Apa Diagnosa pasien ini ?
a. Migren tanpa aura
b. Migren dengan aura
c. SOL (space occupaying lesion) intrakranial
d. Nyeri kepala klaster ·
Apa ciri khas yang mengarahkan diagnosis terhadap pasien ini ?
1) Nyeri kepala berdenyut
2) Nyeri kepala sebelah
3) Nyeri kepala hebat
595
Nyeri Kepala
4) Keterlibatan mata ·
Jawaban: d. Nyeri kepala klaster, d. Keterlibatan mata
3. Seorang perempuan berusia 47 tahun
datang dengan keluhan nyeri kepala sejak 3 hari sebelumnya. Nyeri dirasakan
seperti terikat di seluruh bagian kepala.
Nyeri kepala diperberat dengan aktivitas, seperti terlalu lama di depan komputer atau terlalu lama membaca dan
berkurang dengan istirahat. Pemeriksaan fisik dalam batas normal.
Pertanyaan:
Apakah Diagnosa pasien ini ?
a. Tension type-headache
b. Nyeri kepala klaster
c. Tumor otak
d. Migren dengan aura
e. Migren tanpa aura
Jawaban: a. Tension type-headache
4. Seorang perempuan 78 tahun datang
dengan keluhan nyeri seperti tertusuk
pada pipi kanan, daerah atas rahang, dan
sekitar hidung sejak 8 bulan sebelumnya.
Nyeri terasa berat (VAS 8-9), hingga mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari
pasien. Nyeri kadang muncul saat mengunyah atau menelan, dan menyebar ke arah
telinga dan tenggorokan. Pasien pernah
mendapat karbamazepin, namun semakin
lama dikatakan tidak ampuh menghilangkan nyeri. Pasien memiliki riwayat mengalami angina pektoris tidak stabil.
Pertanyaan:
Apakah Diagnosa pasien terse but di atas?
a. Cluster headache
b. Nyeri akibat gigi berlubang
c. Migreq
d. Neuralgia trigeminal
Jawaban: d. Neuralgia trigeminal
5. Seorang laki-laki 24 tahun datang ke IGD
dengan nyeri kepala hebat sejak 1 hari.
Nyeri kepala dirasakan di seluruh kepala, terus menerus, dan tidak dipengaruhi aktivitas. Intensitas nyeri VAS 7-8.
Pasien masih sadar penuh, namun demam
39°C sejak sehari sebelumnya. Pemeriksaan neurologis ditemukan kaku kuduk
dan ruam kulit. Pemeriksaan laboratorium terdapatleukositosis 21.000/mm3•
Pertanyaan: ·
Apakah Diagnosa kerja yang paling
mungkin pada pasien ini?
a.
b. Ensefalitis viral
c. Meningitis bakterialis ·
d. Epidural hematom
Jawaban: c. meningitis bakterialis
6. Seorang perempuan 26 tahun, staf keuangan, datang ke poliklinik dengan keluhan
nyeri leher belakang sejak 8 bulan. Nyeri dirasakan hilang timbul dengan intensitas sedang, dan tidak berdenyut, sekitar 1-2 kali
seminggu. Nyeri menjalar ke kepala bagian
belakang, bahu kanan, dan sekitarwajah sisi
kanan, terutama bila pasien sedang banyak
kerjaan dan kurang tidur. Tidak ada riwayat
demam, penurunan berat badan, dan mual
muntah. Pemeriksaan fisik menunjukkan
postur kepala ke depan. Saat palpasi leher,
teraba spasme pada m. trapezius bilateral
dan m. paravertebra servikalis, tidak ada
defisit neurologis. Pasien merasa nyeri saat
gerakan hiperekstensi kepala secara pasif.
Pemeriksaan Rontgen servikal menunjukkan hasil straight cervical.
Pertanyaan:
Apakah Diagnosa paling mungkin pada
pasien ini?
a. HNP servikal
b. Nyeri kepala servikogenik
c. Neuralgia trigeminal
d. Migren tanpa aura
Jawaban: b. Nyeri kepala servikogenik
7. Seorang perempuan 37 tahun datang ke
poliklinik dengan keluhan nyeri kepala
sejak setahun lalu. Nyeri kepala terutama
dirasakan di sisi kanan kepala. Awalnya,
nyeri kepala memiliki frekuensi satu kali
seminggu, hilang timbul, durasi sekitar
setengah hari, dan intensitas ringan. Namun, sejak 1 bulan terakhir, nyeri muncul setiap hari, terus menerus, dan intensitas sedang-berat. Saat datang, pasien
sadar, namun terlihat kesakitan (VAS
8-9) dan bingung, serta bicara kadang
tidak sesuai dengan pertanyaan.
Pertanyaan:
Pemeriksaan lanjutan apa yang paling
utama dikerjakan untuk mengetahui
penyakit yang mendasari nyeri kepala
pasien?
a. Analisa cairan otak
b.MRI ·
c. Angiografi
d. CTscan
Jawaban: b. MRI
NYERI NEUROPATIK
Nyeri neuropatik yaitu Qyeri yang disebabkan oleh kerusakan jaringan saraf, baik
dLsusunan saraf pusat (SSP) maupun perifer. Nyeri ini dapat muncul walaupun kerusakan jaringan sudah sembuh atau bahkan
tanpa adanya kerusakan jaringan. Nyeri
neuropatik perifer sering digambarkan sebagai rasa terbakar, serasa sengatan listrik,
rasa ditusuk, atau rasa kesemutan. Ditemukan juga gangguan sensorik berupa alodinia, hiperalgesia dengan lokasi yang kurang
jelas, tidak pacta daerah terluka saja, atau
hiperpatia. Hampir semua proses patologis
yang memicu kerusakanfdisfungsi jaringan saraf atau neuropati berpotensi menimbulkan nyeri neuropatik, s~erti infeksi
virus, bakteri, radang aseptik, tekanan karena neoplasma atau lesi struktural lainnya,
degeneratif, iskemia, autoimun, zat beracun,
trauma, dan endokrinjmekanisme metabolisme.
EPID EMI 0 LOG I
Nyeri neuropatik dijumpai setidaknya pacta
7-8% populasi di Eropa. Di Indonesia sendiri berdasar hasil penelitian multisenter unit rawat jalan 14 RS pendidikan yang
dilakukan Pokdi Nyeri PERDOSSI tahun
2002 didapatkan 4.456 kasus nyeri, 9,5%
598
di antaranya yaitu nyeri neuropatik. Angka ini meningkat pacta tahun 2012 di 13 RS
di Indonesia terhadap 8.160 subjek dengan
instrumen penapis yang lebih sensitif, menjadi 21,8%. Mayoritas subyek yaitu lelaki
(62,1 %) berusia 40-60 tahun dengan nyeri
punggung bawah (NPB), sind rom terowongan karpal (STK), frozen shoulder, neuropati
diabetika, dan brakialgia. Penelitian di
Bandung (2013) mendapatkan prevalensi
yang lebih tinggi (31,6%), terutama perempuan (66,9%) dan berusia >40 tahun (91 %).
PATOFISIOLOGI
Munculnya nyeri neuropatik diawali oleh
lesi atau disfungsi jaringan saraf sebagai
sistem somatosensorik. Nyeri ini muncul
spontan dengan sensasi yang 'tidak biasa',
seperti disestesia, rasa seperti tusukan, rasa
terbakar, nyeri seperti tersengat listrik, dan
sebagainya. Kerusakan jaringan saraf ditemukan pacta penderita neuropati diabetika, postherpetic neuralgia (PHN), neuralgia
trigeminal, nyeri fantom, complex regional
pain syndrome (CRPS), pascabedah atau
neuropati akibat trauma, toksik, neuropati
idiopatik, nyeri sentral pascastroke, serta
akibat tekanan tumor terhadap jaringan saraf (Gam bar 1).
Mekanisme Perifer
Dalam keadaan normal, sensasi nyeri dihantarkan oleh serabut saraf C dan Ao. Lesi jaringan saraf di perifer yang beregenerasi
dapat membentuk neuroma ada puntung
(stump), sehingga neuron menjadi lebih
sensitif. Akibatnya terjadi ·sensitisasi perifer
yang ditandai oleh adanya aktivitas patologis secara spontan, eksitabilitas yang tidak
normal, dan hipersensitif terhadap stimulus
kimiawi, termal, dan mekanik. Mekanisme
nyeri neuropatik di perifer muncul akibatperubahan struktur anatomi berupa kerusakan
jaringaiLsaraf atau akibat munculnya regenerasi jaringan saraf. Keadaan ini dapat berupa
a) ectopic discharges dan ephatic condition, b)
sprouting neuron kolateral, dan c) .coupling
antara sistem saraf sensorik dengan saraf
simpatis. Coupling ke saraf simpatis diakibatkan oleh regenerasi jaringan saraf pada lesi
yang tumbuh menyimpang dari jalur anatomi yang sebenarnya (Gambar 2).
Pengaruh aktivitas simpatik dan katekolamin terjadi pada saraf aferen primer yang
mengalami kerusakan. Pad a lesi saraf perifer,
terjadi upregulation adrenoreseptor a, sehingga terjadi peningkatan sensitivitas terhadap noradrenalin pada neuron aferen di
ganglion radiks doTsalis. Selain itu terjadi pula
sprouting pada saraf aferen primer terse but.
Mekanisme Sentral
Neuron di kornu dorsalis akan memacu traktus spinotalamikus, yaitu bagian besar dari jaras asending nosiseptif. Konsekuensi aktivitas
spontan secara terus menerus yang berasal
dari perifer memicu meningkatnya aktivitas jaras spinotalamikus, meluasnya areal
penerima, dan meningkatkan respons terhadap impuls aferen. Fenomena ini disebut sebagai sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral ini
diduga merupakan mekanisme penting terjadinya nyeri neuropatik yang persisten. Pada
saraf sentral ditemukan beberapa perubahan
antara lain: a) terjadinya reorganisasi anatomi
medula spinalis, b) hipereksitabilitas medula
spinalis, serta c) perubahan pada sistem opioid
endogen.
Pad a kerusakan jaringan sarafperifer; juga terjadi aktivasi mikroglia dLmedula spinalis sehingga reseptor purin dan p-38, sebagian dari MAP
kinase, turut menjadi aktif. Hal ini merupakan
kunci utama patogenesis dari hipersensitivitas
reseptor di traktus spinotalamikus. Kerusakan
di daerah ini akan memberikan keluhan
yang sangat spesifik dan didefinisikan sebagai
keluhan nyeri neuropatik
Lesi di jaringan saraf ini memicu kerusakan mielin, protein membran, atau reseptor sinaps, sehingga terjadi gangguan
elektrisitas berupa sensitisasi yang terus menerus dari jaringan saraf yang rusak dan disebut sebagai ectopic-discharge. Nyeri neuropatik bisa muncul spontan (tanpa stimulus)
maupun dengan stimulus a tau juga kombinasi. Kejadian ini berhubungan dengan aktivasi
kana! ion Ca2
+ atau Na+ di akson yang berperan pada reseptor glutamat, yaitu N-metil-0-
aspartat (NMDA) atau a-amino-3-hidroksi-5-
metil-4-asam isoksaazolepropionat (AMPA)
dalam memodulasi transmisi nosiseptif sinapsis di susunan saraf pus at.
Nyeri yang muncul disebabkan oleh ectopic
discharges sebagai akibat dari kerusakan jaringan saraf (Gambar 3). Ectopic discharge
ini merupakan akibat dari kerusakan jaringan saraf baik perifer maupun sentral, yang
berkaitan dengan fungsi sistem inhibitorik,
gangguan interaksi antara somatik dan simpatis. Terkadang pada inflamasi dan neuropatik ditemukan perubahan secara fenotip
di sel saraf perifer yang memicu eksitasi ataupun disinhibisi, baik di kornu dorsalis
maupun di jaras nyeri sampai ke areal korteks
sensorik. Keadaan ini memberikan gambaran
umum berupa alodinia dan hiperalgesia yang
merupakan keluhan spesifik dari nyeri neuropatik. Keluhan ini jika tidak diterapi secepat
mungkin akan memicu kerusakan
neuron yang bersifat ireversibel.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Pada prinsipnya gejala nyeri neuropatik
sangat khas, berbeda dengan nyeri nosiseptif. Pada nyeri neuropatil< tidak ada kerusakan jaringan yang dapat menjadi stimulus, namun pasien merasa nyeri. Sensasinya
juga tidak 'lazim', tidak sesuai dengan pemicu nyerinya (alodinia). Pasien dapat merasakan gejala positif, seperti rasa panasjdingin, nyeri seperti ditusuk, disayat, ditikam,
disetrum, atau kesemutan, disertai gejala
negatif, seperti baa! atau hipestesia. Sensasi
nyeri bisa juga sesuai dengan stimulusnya,
namun terasa berlebihan (hiperalgesia).
Oleh karena itu, pada pemeriksaan fisik perlu dicari ada tidaknya daerah yang berpotensi menjadi sumber nyeri atau adanya kerusakan jaringan, sehingga bila ditemukan
berarti nyeri yang dirasakan ialah nyeri nosiseptif, bukan nyeri neuropatik. Misalnya
pada neuralgia trigeminal, rasa nyeri bisa
berasal dari daerah gusi yang menjalar ke
daerah wajah hingga ke kepala. Maka perlu
disingkirkan ada tidaknya abses di daerah
gusi atau infeksi gigi lainnya yang dapat memicu nyeri.
Yang terakhir, rasa nyeri neuropatik biasanya menjalar sesuai dengan area saraf
atau radiks yang dipersarafinya:) iidi perlu
ditanyakan atau pasien diminta untuk menunjuk area-area nyeri yang dirasakannya.
Contohnya pada NPB daerah LS-Sl, akan
ada rasa nyeri dari daerah pinggang ke
tungkai bawah yang dapat dibuktikan dengan adany::1 gangguan sensorik pada pemeriksaan sensibilitas di area ini .
Diagnosa DAN Diagnosa BANDING
Rasa nyeri bersifat subyektif, kompleks, dan
pribadi, yang hanya bisa dinilai secara tidak
langsung melalui laporan si penderita. Selain itu dibutuhkan suatu anamnesis yang
lengkap dari pasien dan keh.iarga, karena
nyeri juga bisa berkaitan dengan masalah
biopsikososial. Anamnesis ini meliputi onset, karakteristik, dan kualitas nyeri,
serta lokasi, distribusi, dan penjalaran nyeri.
Ditanyakan juga faktor yang memperingan
atau memperberat nyeri dan keluhan psikologis yang menyertainya. Lalu dilakukan
pemeriksaan fisik umum, terutama lokal di
aera nyeri dan neurologis.
Pengukuran nyeri dapat berdasar laporan pribadi pasien atau juga kesimpulan
yang diambil oleh dokter berdasar keluhan pasien dengan memakai beberapa
perangkat, seperti: verbal scale (Me Gill Pain
Questioners), numeric scale (numeric rating
scale, termometer nyeri), pictorial scale
(painful face scale, visual analog scale). Numeric rating scale (NRS) merupakan skala
yang paling sering dipakai pada nyeri secara umum, yang dapat membagi tingkat intensitas nyeri pasien dalam kelompok nyeri
ringan (NRS 1-3), sedang (NRS 4-7), atau
berat (NRS 8-10).
Namun NRS kurang dapat mendeteksi gejala nyeri neuropatik yang bervariasi. Oleh
karena itu diperlukan suatu perangkat yang
spesifik untuk nyeri neuropatik, antara lain:
kuesioner nyeri McGill, Leeds Assessment of
Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS),
Neuropathic Pain Questionnaire (NPQ), Douleur Neuropathique en 4 Questions (DN4),
Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS),
dan kuesioner PainDetect. DN4 dan BPNS
dipakai terutama pada pasien-pasien
HIV dan sudah divalidasi ke dalam bahasa
Indonesia dengan sensitivitas dan spesifitas
yangbaik
LANSS merupakan instrumen yang dipercaya dalam menilai nyeri neuropatik dan
telah divalidasi di berbagai negara dengan
sensitivitas 82-91% dan spesifisitas 80-
94%. Instrumen ini dianggap sebagai instr'umen baku emas karena mampu mendeteksi
komponen nyeri neuropatik memakai
pemeriksaan sensibilitas. Namun untuk kepentingan penapisan ada tidaknya komponen nyeri neuropatik, dapat memakai
kuesioner yang lebih sederhana seperti paindetect yang sudah divalidasi ke dalam bahasa
Indonesia dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang cukup baik, yaitu masing-masing 78%.
Pemeriksaan fisik pasien nyeri pada prinsipnya dilakukan untuk mencari kelainan struktural pemicu nyeri. Dimulai dari pemeriksaan fisik umum, dilakukan inspeksi, palpasi,
dan pergerakan di area yang dikeluhkan. Selanjutnya pemeriksaan fisik untuk mencari
defisit neurologis sebagai Analisa pemicu
nyeri, terutama membuktikan adanya gangguan sensibilitas sesuai dengan area nyeri.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
memastikan kerusakan jaringan atau gangguan struktural yang memicu penekanan atau iritasi radiks pemicu nyeri
neuropatik Hal ini akan menentukan terapi
definitif nyeri, bukan hanya bersifat simtomatis. Pada NPB dan semua nyeri yang
berkaitan dengan saraf perifer, dilakukan
pemeriksaan elektromiografi (EMG) dan kecepatan hantar saraf (IlliS), dilanjutkan pemeriksaan imajing sesuai dengan indikasi.
PENGOBATAN
Nyeri neuropatik memunculkan masalah
bukan hanya menyangkut kerusakan atau
lesi dari jaringan saraf itu sendiri, namun karena dapat memicu nyeri kronik yang
menurunkan quality of life penderita. Dalam
hal pengobatan juga menyulitkan karena
tidak berespons terhadap obat-obatan antinyeri tradisional. Oleh sebab itu, penanggulangan nyeri neuropatik membutuhkan
tim yang multidisiplin untuk pemberian
terapi farmakologis maupun nonfarmakologis. Penanggulangan secara farmakologis
bukan hanya sebatas pada tingkat reseptor
dan perbaikan lesi jaringan saraf saja, tapi
juga yang berkaitan dengan efek kronik dari
nyeri ini , yaitu efek psikologis seperti
depresi dan ansietas.
Patofisologi nyeri neuropatik memiliki kesamaan dengan epilepsi. Nyeri neuropatik
juga termasuk kindling pada epilepsi, serupa
halnya dengan kejadian wind-up pada nyeri
neuropatik Jadi permasalahan nyeri neuropatik yaitu di kanal ion sebagaimana pada
epilepsi. Oleh sebab itu target terapi tertuju
pada voltage-gate kanal Na• dan Ca2•. Atas
dasar ini, maka antikonvulsan dapat dipakai karena berkemampuan untuk menekan
kepekaan abnormal neuron-neuron di sistern saraf pusat dengan memblokade reseptor glutamat (NMDA, AMPA, kainat).
Namun yang paling penting yaitu Analisa
nyeri secara keseluruhan hingga diketahui
pemicu , intensitas, dan karakteristiknya.
Perlu diketahui apakah nyeri neuropatik me-
rupakan satu-satunya nyeri atau campuran
ada komponen nyeri nosiseptif, sehingga
perlu diberikan terapi kombinasi. Apalagi
jika nyeri sudah berubah menjadi nyeri kronik, sehingga yang dibutuhkan yaitu terapi
untuk memperbaiki sensitisasi sentral atau
perifer, bukan lagi analgesik untuk nyeri akut
European Federation of Neurological Societies (EFNS) merekomendasikan antidepresan trisiklik, gabapentin, pregabalin, dan
antidepresan golongan selective norepinephrine re-uptake inhibitors (SNRI) seperti
duloksetin sebagai lini pertama (Level A).
Golongan opioid tramadol merupakan pilihan lini kedua (Level A) terutama jika ada nyeri eksaserbasi akut atau komponen
nyeri nosiseptif, seperti pada Tabell. Opioid
kerja kuat hanya direkomendasikan sebagai
lini ketiga, mengingat efek samping yang
mungkin muncul. Untuk nyeri neuropatik
pada HIV direkomendasikan lamotrigin (Level B) jika disertai ~erapi antiretroviral.
Gabapentin berperan mensupresi voltage-gated channels Ca2• dan ectopic-discharge
pada bagian saraf yang rusak, sehingga dapat mengatur elektrik potensial dalam hal
influks Ca2•berupa depolarisasi dan hiperpolarisasi. Pregabalin dikenal sebagai antinyeri neuropatik, demikian pula lamotrigin
sebagai antikonvulsan untuk nyeri neuropatik. Dari basil uji klinik, obat antikonvulsan
seperti lamotrigin mempunyai sifat analgesik dalam lingkup yang luas. Mekanisme
kerja lamotrigin ialah membatasi influks
kalsium melalui penekanan voltage-gated.
Tida semua nyeri kronik memicu
depresi yang membutuhkan antidepresan,
akan namun banyak diantara penderita nyeri
kronik menunjukan gejala depresi. Pemberian obat antidepresan paralel dengan analgesik lainnya dilakukan jika terapi perilaku
tidak berhasil. Pilihan antidepresan juga dilihat dari efektivitasnya karena efeknya bisa
berbeda satu penderita dengan penderita
lain. pemakaian obat antidepresan untuk
terapi nyeri neuropatik utamanya, karena
obat ini berfungsi untuk menginhibisi pembentukan monoamine oxidase (MAO) yang
diduga berperan dalam kana! natrium (Na+).
pemakaian antidepresan golongan selective serotonin re-uptake inhibitors (SSRI) dan
selective norepinephrine re-uptake inhibitors
(SNRI) bertujuan untuk menjamin keseimbangan 5-HT dan NAyang spesifik pada jaras
desending di medula spinalis. Antidepresan
juga berperan dalam sekresi 5-HT melalui reseptornya, dalam proses modulasi kana! Na+.
Antidepresan golongan trisiklik, seperti
amitriptilin merupakan golongan SSRl yang
menjadi pilihan utama untuk nyeri neuropatik, karena menginhibisi pengambilan kernbali 5-HT dan NA di sinaps. Demikian pula
cara kerja golongan SSRI seperti fluoksetin,
paroksetin, dan sertralin bekerja mengatasi nyeri sekaligus memperbaiki sensitisasi
sentral yang sering terjadi pada nyeri neuropatik yang menjadi kronik (Gambar 5).
Duloksetin, golongan SNRI sering juga dipakai untuk penanggulangan depresi pada
penderita nyeri neuropatik. Tujuannya yaitu mencegah (menginhibisi) pengambilan
kembali 5-HT dan NA di sii:laps untuk mempertahankan keseimbangan neurotransmiter NA dan dopamin di sentral.
Pada neuralgia trigeminal, obat lini pertama
yaitu karbamazepin 200-lZOOmg/hari dan
okskarbazepin 600-1800mgjhari, sedangkan lini kedua yaitu baklofen, lamotrigin,
dan pregabalin 150-600mg/hari. Lini per
tama neuralgia trigeminal yaitu antidepresan trisiklik (Level A), seperti amitriptilin
10mg malam titrasi perlahan hingga 100mg,
gabapentin hingga 1800mgjhari dalam 3
kali pemberian, atau pregabalin 150-300mg
(maksimum 600mgjhari). PENGOBATAN nyeri
pacta nyeri neuropati diabetika yaitu pregabalin (Level A), atau gabapentin, duloksetin,
dan amitriptilin (Level B). Namun yang paling penting yaitu pengendalian kadar gula
darah agar tetap dalam kadar normal.
Pada nyeri neuropatik daerah punggung
bawah biasanya disertai komponen nyeri
nosiseptif - terutama pacta yang akut- sehingga tetap diperlukan analgesik golongan nonsteroid serta opioid jika nyeri sedang-berat. Kombinasi terapi seperti itu
juga penting pacta pemicu nyeri neuro-
patik yang kompleks seperti nyeri kanker.
Adanya kerusakan jaringan dan infiltrasi
~e serabut saraf sekitarnya membuat nyeri
menjadi hebat dan berlangsung lama. Oleh
karena itu pilihan utama nyeri kanker yaitu opioid kerja sedang sampai !mat bersama dengan terapi antikankernya. Kombinasi
opioid dengan gabapentin dapat meningkatkan potensi analgesik opioid, sehingga do sis
masing-masing tidak perlu terlalu tinggi
dan mengurangi efek sam ping.
Terapi nonfarmakologik diperlukan sesuai
dengan pemicu nyerinya. Pacta nyeri neuropatik akibat sistem muskuloskeletal seperti nyeri bahu atau nyeri punggung bawah,
penting dilakukan terapi nonfarmakologis
berupa tindakan rehabilitasi, seperti modalitas termal, masase, latihan peregangan, dan
sebagainya secara rutin. Terapi invasif dapat dilakukan untuk memblok atau memutus jaras nyeri. Blok saraf dilakukan dengan
menyuntikkan anestesi dan steroid lokal di
daerah nyeri atau pemberian agen neurolitik seperti alkohol dan bupivakain pada
pleksus tertentu.
NYERILEHER
Nyeri leher yaitu keluhan yang sering
dijumpai dalam praktik sehari-hari. Beberapa
aktivitas kita seperti bekerja di depan komputer;
membaca buku, memakai gawai, dan
kesalahan posisi tidur; merupakan sebagian
dari pemicu nyeri leher. Namun demikian,
pemicu pasti dari nyeri leher kadang-kadang
tidak diketahui.
Seperti halnya nyeri pada umumnya, nyeri
leher dapat pula berlangsung kronik. Stres
psikologis yaitu salah satu faktor yang memicu nyeri leher menjadi kronik. Kelainan
pacta struktur tulang belakang leher seringkali
dikaitkan dengan nyeri leher kronik meskipun
pacta faktanya tidak selalu demikian.
Sebagian pasien nyeri leher menghindari
aktivitas fisik untuk mengurangi nyeri. Hal
ini sebenarnya tidak perlu dilakukan, kecuali
ada tanda bahaya (red flags). Pasien
nyeri leher sebaiknya tetap aktif dan bekerja
seperti biasa. Latihan spesifik untuk menguatkan regio leher dapat dilakukan untuk
mencegah berulangnya nyeri leher.
EPIDEMIOLOGI
Nyeri leher amat sering terjadi. Diperkirakan
setidaknya 1 dari 3 orang akan mengalami
nyeri leher setidaknya sekali dalam setahun.
Perempuan lebih sering mengalami nyeri
leher dibandingkan laki-laki. Nyeri leher yang
muncul biasanya akan hilang sendiri dalam
1-2 minggu, namun dapat muncul kern bali.
Nyeri leher dapat menjadi kronik pacta 14%
pasien. Risiko kronisitas meningkat pacta
pasien lanjut usia, pasien yang sebelumnya
memiliki masalah nyeri punggung bawah,
dan pasien dengan kelainan diskus intervertebralis. Nyeri leher karena trauma (wh iplash injury) umumnya juga akan memberat
dan menjadi kronik, terutama bila benturan
yang terjadi cukup hebat. Pa