Pada stadium awal penyakit, respons
terapi simtomatik sangat efektif untuk
mengontrol gejala, baik levodopa dan
agonis dopamin, secara monoterapi atau
kombinasi. Hal ini disebut juga sebagai
"honeymoon period yang dapat berlangsung selama 3-6 tahun. Namun pada saat
stadium lanjut, respons ini berkurang
dan muncul komplikasi motorik. Oleh
sebab itu, fokus tata laksana gejala motorik pada stadium lanjut yaitu untuk
mengatasi komplikasi motorik. Pada
umumnya spektrum komplikasi motorik
terbagi menjadi dua, yaitu fluktuasi motorik dan diskinesia (Tabel 7].
Komplikasi motorik dapat terjadi pada periode “off' dan "on". Pasien Parkinson mengalami kembali gejala Parkinson pada saat kadar obat mulai berkurang (atau habis), yang
disebut periode “off”. Jika kembali mengalami
perbaikan gejala motorik sebagai respons
terhadap pengobatan disebut periode “on".
Fluktuasi motorik yaitu suatu kondisi pasien
mengalami kedua kondisi ini dan berbagai respons terhadap pemberian levodopa.
Pada saatbersamaan, pasien seringkali mengalami gerakan involunter, yakni diskinesia.
a. Tata laksana farmakologis
Algoritma tata laksana farmakologis
komplikasi motorik secara umum berdasarkan Konsensus Kelompok Studi
Movement Disorder Perdossi tahun
2013, telah tercantum pada gambar 7.
b. Tata laksana bedah
Selain famakologis, intervensi bedah juga dibutuhkan terutama yang
resisten terhadap tata laksana farmakologis dengan teknik deep brain
stimulation (DBS) dan operasi ablatif
[lesioning).
1) Deep brain stimulation (DBS)
DBS pada umumnya dilakukan untuk penyakit Parkinson stadium
lanjut de-ngan komplikasi motorik berat dan tidak terkontrol dengan terapi farmakologis. Teknik
ini melibatkan implantasi elek-
trode yang dihubungkan dengan
pulse generator dan memodulasi
aktivitas neuronal melalui stimulasi frekuensi tinggi pada area target.
Stimulasi tersbut memicu
inhibisi dan normalisasi parsial.
Adapun area target stimulasi yakni
struktur yang termasuk dalam loop
gang-lia basal-talamokortikal seperti nukleus subtalamikus, globus
palidus interna dan ventral intermedius talamus (VIM). Area terakhir, terutama diindikasikan untuk
gejala tremor dominan.
Perbandingan antara area target
nukleus subtalamikus dan globus
palidus interna menunjukkan hasil
yang lebih baik pada nukleus subtalamikus dengan perban-dingan
persentase perbaikan 49% vs 37%.
Efekini terbukti berlangsung jangka
panjang dengan keluaran yang sedikit lebih baik pada nukleus subtalamikus (48% vs 39%). Selain itu,
DBS nukleus subtalamikus berhasil
mengurangi dosis levodopa hingga
50-60%, yang tidak terjadi pada
DBS dengan area target ganglia basal. Efek samping DBS pada nukleus
subtalamikus, antara lain: gangguan kognitif dan episode psikosis,
depresi, manik, dan perilaku agresif.
Gangguan kognitif juga terjadi pada
DBS pada globus palidus interna.
2) Operasi ablatif (lesioning)
Pada umumnya, tindakan ini
memakai teknik stereotaktik
untuk menentukan target lesioning dan modalitas yang dipakai
untuk menimbulkan lesi cukup
beragam yakni radiosurgery, radiofrekuensi, dan ultrasound.
Area target lesioning yang sering
dikerjakan yakni talamus dan globus palidus.
Talamotomi terutama efektif untuk gejala tremor, namun tidak
bermanfaat untuk bradikinesia,
Talamotomi juga dapat mereduksi diskinesia yang diinduksi levodopa, namun dibutuhkan lesi
yang luas. Sementara palidotomi,
tidak saja dapat memperbaiki gejala tremor dan rigiditas, namun
juga bradikinesia dan gait. Selain
itu, palidotomi juga dapat mengurangi diskinesia yang diinduksi
levodopa. Operasi ablatif biasanya
dilakukan apabila pasien kontraindikasi terhadap tindakan DBS.
Salah satu kekurangan teknik ini
dibandingkan DBS yakni hanya
dapat dikerjakan unilateral.
c. Tata laksana lain
Adapun tata laksana lain penyakit Parkinson selain yang telah disebutkan
di atas yaitu transcranial magnetic
stimulation (TMS), sel punca, transplanstasi brain graft, dan terapi gen.
ada beberapa poin rekomendasi
penting tata laksana penyakit Parkinson pada stadium lanjut:
1) Levodopa sediaan lepas lambat masih belum cukup bukti untuk menunjukkan perbaikan pada komplikasi
motorik. Levodopa infus duodenal
menunjukkan perbaikan yang signifikan, namun memiliki komplikasi
terapi yang lebih sering.
2) Rasagilin efektif dalam menurunkan waktu "off" dan meningkatkan waktu "on' tanpa menimbulkan diskinesia,
3) Agonis dopamin dan entakapon lebih efelctif dalam memperbaild fluktuasi motorik dibandingkan plasebo,
namun berasosiasi dengan peningkatan frekuensi diskinesia dibandingkan plasebo.
4) Apomorfin subkutan efektif sebagai rescue therapy memperbaiki
kondisi "off" dengan segera.
5) DBS pada nukleus subtalamikus
dan globus palidus interna merupakan standard o f care therapy
dalam perbaikan gejala motorik,
mereduksi waktu "off", dan diskinesia.
6) Berikut yaitu kategori efektifitas dan implikasi pada praktik Minis tata laksana nonfarmakologis
menurut hasil telaah Movement
Disorder Society (MDS) tahun
2015.
- Efektif [efficacious) dan bermanfaat secara Minis [clinically
useful)-. DBS subtalamikus bilateral, DBS globus palidus interna bilateral, dan palidotomi
unilateral.
- Kemungkinan efektif (likely
efficacious) dan kemungkinan
bermanfaat (possibly useful)-.
talamotomi unilateral.
- Bukti insufisien dan membutuhkan investigasi lebih lanjut:
subtalamotomi dan repetitive
TMS CrTMS).
d. Tata laksana gejala nonmotorik
(Tabel 8)
HEMIFASIAL SPASME
Hemifasial spasme (hemifacial spasm/HFS)
merupakan suatu gangguan gerak yang ditandai dengan kontraksi tonik-ldonik otot-otot
wajah bagian atas dan bawah (termasuk M.
Platysma} yang diinervasi oleh nervus Fasialis
(N. Fasialis atau N. VII] ipsilateral.
Perjalanan penyakit HFS cenderung bersifat
progresif cepat, remisi spontan transien jarang terjadi. Oleh sebab itu, HFS dianggap
penyakit kronik dengan tingkat komplikasi
sosial yang tinggi dan memengaruhi kualitas hidup pasien.
EPID EM IO LO G 1
Prevalensi HFS seldtar 7,4-14,5 per 100.000
populasi, perempuan lebih banyak daripada
laki-laki dengan rasio 1,5-2:1. HFS dapat ditemukan pada rentang usia juvenil hingga usia
lanjut, walaupun tersering pada dekade 50
tahun. Poungvarin dkk melaporkan HFS lebih
banyak pada populasi Asia, mesld belum ada
studi epidemiologi yang menyokong data ini.
PA TO FISIO LO G I
pemicu HFS sangat bervariasi, kebanyakan
bersifat sporadis, walaupun ada laporan HFS
familial autosomal dominant yang menunjukkan kemungldnan faktor genetik sebagai patofisiologi HFS. Ada 2 jenis HFS, yaitu HFS primer
dan sekunder. Mayoritas HFS primer terjadi
akibat abnormalitas pembuluh darah di fossa
posterior yang menekan N. Fasialis saat berjalan keluar dari pons di fossa posterior. Adapun HFS sekunder sering dijumpai pascaparalisis N. Fasialis perifer akibat neoplasma,
demielinisasi, atau trauma, dan infeksi (lebih
jarang terjadi}.
1. H e m ifa s ia l S p a s m e P r im e r
masalah yang paling banyak dijumpai
yaitu akibat distensi, dilatasi, atau deviasi
a. Cerebellaris inferior anterior [AICA],
a. Cerebellaris inferior posterior [PICA],
a. Cerebellaris superior, dan a. Basilaris
(Gambar 1]. Walaupun jarang, kelainan
akibat abnormalitas vena juga dapat
dijumpai.
Proses yang terjadi pada HFS diyakini akibat kerusakan mielin dan transmisi ephaptic pada pintu keluar N. Fasialis (nerve
root entry zone], sehingga pasase impuls
neuronal terhambat. Hal ini memicu
penurunan ambang rangsang dan terjadi
eksitasi ektopik sampai ke taut saraf-otot
(neuromuscular junction} yang menimbulkan gerakan involunter pada otot-otot
fasialis. Nerve root entry zone ini
merupakan area transisi antara sel mielinisasi sentral (oligodendrosit} dan perifer (sel Schwann}. Daerah ini hanya dilapisi
oleh membran araknoidal serta misldn
jaringan interfasikular dan epinerium, sehingga rentan terhadap kompresi dan menyebabkan kerusakan mielin.
Setidaknya ada 3 hipotesis yang dapat
menjelaskan terfadinya eksitasi ektopik. Pertama, teori nuklear/sentral bahwa cedera N.
Fasialis memicu perubahan medular
regresif dengan reorganisasi fungsional
jaringan pengikat, sehingga memicu
hipereksitasi nukleus untuk membentuk
badan sel sarafbaru. Kedua, teori perifer menyatakan bahwa simptom HFS merupakan
akibat dari impuls ektopik dan "cross-talld'
antar serabut saraf di tempat cedera. Ketiga,
hipotesis simpatetik bahwa ujung-ujung serabut saraf simpatis di lapisan adventisia arteri turut rusak dan memicu gangguan
n euro transmiter yang menginduksi potensial aksi ektopik.
berdasar polanya, kompresi neurovaskular yang terjadi dibedakan ke dalam 6
kategori, yaitu:
1. Loop type; pembuluh darah berjalan
mengelilingi dan menjepit nervus
(Gambar 2).
2. Arachnoid type; trabekula araknoid antara
pembuluh darah dan batang otak sempit
yang menjerat nervus.
3. Perforator type; jeratan nervus oleh cabang-cabang arteri perforata yang menempel di batang otak.
4. Branch type; nervus terperangkap antara
pembuluh darah dan cabang-cabangnya.
5. Sandwich type; nervus terjepit di antara
dua pembuluh darah yang berbeda.
6. Tandem type; satu pembuluh darah lain
menekan pembuluh darah yang mengkompresi nervus.
Tentu saja kelainan pembuluh darah ini dapat
pula mempengaruhi fungsi nervi kranialis
lain yang letaknya berdekatan, yang paling
seringsering dijumpai bersamaan dengan HFS
yaitu neuralgia trigeminal. Selain itu neuralgia gloss ofaringeal, vertigo posisional, dan
tinnitus juga tidak jarang dijumpai.
Kompresi vaskular multipel dijumpai pada
sekitar 38% masalah , namun pada beberapa pasien dapat tidak dijumpai kelainan
vaskular apapun. Beberapa studi menjumpai hubungan antara hipertensi dengan
HFS primer. Hipertensi kronis dianggap
sebagai faktor predisposisi HFS, sebab
dapat memicu deviasi vaskular yang
merupakan predisposisi terjadinya HFS.
Kemungkinan lainnya yaitu kompresi
vaskular pada jaras medula ventro lateral
(ventrolateral medulla/VLM) yang menyebabkan hipertensi. Hal ini ditunjang oleh
berbagai studi teknik MRI resolusi tinggi
bahwa penderita HFS dengan hipertensi
berisiko kejadian VLM lebih tinggi
dibandingkan dengan tanpa hipertensi.
2. Hemifasial Spasme Sekunder
HFS sekunder terjadi bila ada kerusakan,
dan/atau iritasi N. Fasialis sepanjang
kanalis auditorik interna dan foramen
stilomastoid. HFS sekunder pemah dilaporkan pada masalah tumor cerebellopontine angle (CPA), malformasi arteriovenosus, paralisis traumatik N. Fasialis,
penyakit demielinisasi, infeksi, dan cedera
vaskular. Pada usia muda biasanya akibat
malformasi Chiari tipe I, sebab area fossa
posterior sempit dan dangkal, sehingga
memicu kompresi saraf maupun
pembuluh darah di sisterna CPA
gejala dan tanda klinis
HFS biasanya unilateral, hanya <1% ltasus
yang bilateral. Kontraksi otot-otot wajah
yang terjadi biasanya bersifat singkat dan
repetitif. Spasme yang berlangsung lebih lama
maupun yang menetap (diselingi dengan
periode singkat hilangnya aktivitas otot).
Gerakan terjadi secara spontan, dapat juga
terpicu saat upaya merelaksasikan wajah
sesudah melakukan kontraksi otot-otot wajah
secara maksimal. Gejala juga dapat diperberat
dengan stres, fatig, ansietas, dan perubahan
posisi kepala (misal saat berbaring miring
ke salah satu sisi). Pada HFS tipe sekunder,
gerakan sinkinesia terutama jelas pada saat
pasien berbicara atau makan. Asimetri wajah
aldbat paralisis N. Fasialis ringan juga dapat
terlihat, ter-utama pada masalah HFS sekunder
yang mengalami demielinisasi N. Fasialis.
HFS dapat terjadi pada wajah bagian atas
maupun bawah, tapi umumnya diawali
dengan kontraksi tonik-klonik di daerah mata
(90% pada M. Orbikularis okuli), yang tampak
sebagai tertutupnya kelopak mata dan elevasi
ails di sisiyangsama. Seiring dengan perjalanan
penyakitnya, kontraksi abnormal ini
meluas ke area pipi dan/atau area perioral
(Mm. Orbikularis oris dan Mm. Zigomatikus),
serta area frontalis, corrugator, mentalis,
dan platisma. Pada tahap lanjut, kontraksi
ini menetap pada seluruh otot yang terlibat,
sehingga terlihat ekspresi ganjil pasien tampak
seperti menyeringai dengan mata setengah
tertutup yang disebut “tonus phenomenon”.
Gerakan involunter ini dapat terus terjadi saat
tidur dan dapat mengaldbatkan insomnia pada
beberapa masalah .
Pada masalah HFS sekunder bilateral, spasme
terjadi secara asinkron pada kedua sisi wajah. Pernah juga dilaporkan keterlibatan
N. Vestibulokoklearis yang memicu
gejala gangguan pendengaran uni maupun
bilateral.
Studi konsekutif dari 214 pasien HFS primer
dan sekunder tidak menunjukkan perbedaan
karakteristik demografik, seperti usia onset,
atau jenis kelamin, serta sisi paresis maupun
kinesia. Walaupun demikian karakteristik
klinis antara keduanya berbeda. Pada pasienpasien HFS primer, kontraksi umumnya
hanya melibatkan otot-otot fasialis bagian
bawah, seperti Mm. Periokular saja atau
kadang menyebar ke platisma. Adapun pada
mayoritas pasien HFS sekunder (72%),
kontraksi umumnya melibatkan otot-otot
wajah bagian atas dan bagian bawah.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
D iagnosis
diagnosa HFS ditegakkan secara klinis.
Fenomena tanda Babinsky II atau browlift sign, merupakan manuver pemeriksaan
yang mempunyai peka itas (86% ) dan
spesifitas (100% ) tinggi untuk penegakan
diagnosa . Fenomena ini dikatakan positif
bila terjadi elevasi alis ipsilateral saat
kontraksi Mm. Frontalis ipsilateral terhadap
spasme fasialis, yang menunjukkan aktivitas
asinkron antara Mm. Frontalis dan Mm.
Orbikularis okuli. Pada keadaan normal saat
M. Orbikularis berkontraksi seharusnya M.
Frontalis sisi yg sama (ipsilateral) rileks,
sehingga alis dan dahi-nya turun. Namun
pada HFS, M. Frontalis justru berkontraksi
ke arah yg berlawanan, sehingga terlihat
asinkron (Gambar 3b dan c).
Pemeriksaan fisik neurologis rutin perlu
dikerjakan pada setiap pasien dengan ke-
luhan HFS untuk menyingkirkan defisit
neurologis fokal. Demikian pula MRI kepala
untuk menyingkirkan diagnosa banding
proses intrakranial lainnya, atau untuk melihat kompresi neurovaskular (T2-weighed).
Teknik MRI yang lebih advance, seperti
fusion magnetic resonance/MR yang menggabungkan antara MRI statis dengan MR
angiografi 3 dimensi dapat memvisualisasikan anatomi spesifik pada area pintu keluar
N. Fasialis, terutama untuk pasien kandidat
tindakan operatif (bila manajemen konservatif tidak berhasil).
Pemeriksaan diagnostik tambahan lainnya
yaitu CT angiogram, terutama untuk tindakan bedah mikro. Studi terbaru juga mulai
melihat perubahan hemodinamik mengguna-kan pemeriksaan ultrasonografi dupleks,
yaitu rerata kecepatan aliran darah di A1CA
dan PICA sisi yang terkena HFS tampak lebih
tinggi dibandingkan dengan sisi kontralateral
D iagnosis B an d in g
Gerakan involunter otot-otot wajah bukan
merupakan suatu yang jarang ditemukan
pada populasi umum. diagnosa yang paling
sering menyerupai HFS yaitu blefarospasme
(blepharospasme/BSP], distonia oromandibular, tardif disldnesia (TD), tiks motorik {motor
tics), spasme hemimastikatorius, miokimia,
bangkitan {seizure) fokal yang melibatkan
otot-otot wajah, dan regenerasi abberant
pascacedera N. Fasialis, serta spasme fasial
psikogenik.
Membedakan HFS dan BSP atau TD sebenarnya cukup mudah. BSP melibatkan kedua sisi
wajah (bilateral), sering disertai penyebaran
aktivitas involunter ke area oromandibular.
Sementara HFS hampir selalu unilateral. Pada
HFS bilateral, yang sangat jarang terjadi, kontraksi otot-otot wajah di kedua sisi terjadi
secara asimetri berbeda dengan BSP yang
terjadi secara bersamaan pada kedua sisi
wajah (Gambar 3a). Selain itu, pada pasien
BSP, spasme Mm. Orbikularis okuli (menutupnya kelopak mata) berasosiasi dengan
turunnya alis sampai di bawah garis rima
orbita superior (tanda Charcot).
Pasien dengan TD mempunyai riwayat
konsumsi obat-obatan neuroleptik atau
antagonis dopaminergik. Gerakan-gerakan
involunter yang timbul pada TD merupakan
gerakan stereotipik yang tidak terbatas
pada otot-otot wajah saja, melainkan juga di
leher, badan, lengan, dan tungkai.
Aktivitas involunter pada tiks motorik biasanya
singkat, cepat, dan nonritmik serta dapat
disupresi secara volunter selama periode yang
bervariasi. Tiks motorik biasanya disertai
dengan ciri-ciri lain dari sindrom Tourette.
Kejang parsial akibat cetusan di korteks motorik dapat bermanifestasi sebagai gerakan
klonik di wajah, kepala, dan leher unilateral,
serupa dengan kontraksi pada HFS. Demikian
pula dengan gerakan stereotipik, kontinu, dan
repetitif pada wajah dan kepala sesisi yang
tampak pada epilepsi fokal sebagai manifestasi dari status epileptikus nonkonvulsif,
sangat suiit dibedakan secara klinis dari HFS.
Informasi yang mungkin dapat berguna untuk
membedakan keduanya yaitu pada epilepsi
fokal, kontraksi involunter hilang saat tidur
serta berespons dengan obat-obatan antiepilepsi, EEG kadang dapat memberikan
informasi tambahan untuk menegakkan diagnosis. Gerakan mioklonik otot-otot fasialis
pada penyaldt Whipple biasanya bilateral dan
ritmik.
Regenerasi aberrant pascacedera N. Fasialis
atau sinkinesia pascaparalisis berbeda
dari HFS, sebab pada umumnya gerakan
sinkinesia selalu dipicu oleh gerakan volunter
(misal kontraksi Mm. Orbikularis okuli saat
gerakan membuka mulut secara volunter).
Selain itu, sinkinesia ini tidak terjadi pada
saat istirahat. Pemeriksaan neurofisiologis
menunjukan bahwa pada sinkinesia, setiap
kontraksi Mm. Orbikularis okuli akan selalu
diikuti penyebaran ke area Orbikularis oris,
namun tidak demikian dengan HFS.
TATA LAKSANA
Manajemen HFS terdiri dari obat-obatan farmakologis oral, tindakan operatif (dekompresi mikrovaskular), dan injeksi lokal toksin
botulinum [Botulinum neurotoxin/BoNT).
Obat-obatan farmakologis oral yang biasa
dipakai yaitu antikonvulsan (karbamazepin, klonazepam, atau golongan benzodiazepin lainnya) atau golongan gammaaminobutyric acid (GABA)-ergik (baklofen,
gabapentin, pregabalin). Walaupun beberapa
laporan menyebutkan medikamentosa ini
membantu mengurangi spasme, namun tidak
ada studi randomized controlled trial (RCT)
yang sudah dipublikasikan. Selain itu efektifitasnya masih belum dapat dibuktikan sebab
pada umumnya terkendala oleh efek samping
utamanya, yaitu sedasi kuat.
Tindakan operatif yang paling sering dilakukan yaitu dekompresi mikrovaskular, yaitu
tindakan memisahkan pembuluh darah (arteri/vena) yang menekan nervus. Tindakan
ini mempunyai angka keberhasilan yang
tinggi (90%), walaupun dengan tingkat rekurensi yang juga cukup tinggi (20%). Selain itu
dekompresi merupakan tindakan yang cukup
invasif dengan komplikasi pascatindakan yang
tidak jarang terjadi (gangguan pendengaran,
cedera serebelum, dan kebocoran cairan serebrospinal). Namun risiko ini dapat diminimalisir dengan memanfaatkan teknologi intraoperative evoked potential monitoring.
BoNT merupakan terapi standar untuk HFS
dan telah mengurangi kebutuhan tindakan
operatif secara bermakna. BoNT merupakan neurotoksin paten yang menghambat
pelepasan asetilkolin di taut sinaps (synaptic
junction) dan memicu kemodenervasi
lokal yang bersifat reversibel. sesudah
diinjeksikan, BoNT akan dipecah oleh tripsin
menjadi komponen rantai tunggal dan
rantai ganda. Komponen rantai ganda akan
berikatan dengan protein vesikel sinaptik 2,
trisialogangliosid lb , dan sinaptotagmin-1.
Adapun rantai tunggal akan berikatan
dengan kompleks SNARE serta memecah
protein SNAP-25 dan sinaptobrevin-2 untuk
mencegah eksositosis neurotransmiter dari
terminal presinaptik, yang memicu
paralisis otot-otot pascasinaps.
BoNT serotipe A merupakan jenis yang paling
banyak dipakai . Beberapa studi masalah
kontrol besar menunjukkan efektifitasnya
mencapai 76-100% . Oleh sebab aman dan
berefektifitas tinggi, BoNT merupakan pilihan
pertama terapi simtomatik untuk HFS primer.
pemakaian BoNT-A juga dapat mengurangi
nyeri kepala yang disebabkan oleh HFS.
BoNT tipe A diinjeksikan secara subkutan
pada Mm, Orbikularis okuli atau otot-otot
wajah bagian bawah. Toksin diencerkan terlebih dahulu hingga mencapai konsentrasi terendah untuk meminimalisasi difusi, kemudian diinjeksikan (memakai jarum no. 30)
di beberapa tempat (4-6 tempat) pada Mm.
Orbikularis okuli bagian palpebral dan orbital,
paling banyak di ujung regio pretarsal. Pemilihan area yang diinjeksi tergantung dari
Minis otot-otot yang terlibat, dan pada umumnya direkomendasikan memakai dosis
rendah (Gambar4).
Injeksi pada wajah bagian atas umumnya
culoip untuk mengurangi spasme otot wajah
bagian bawah. Namun BoNT juga dapat diinjeksikan pada otot-otot wajah bagian bawah
(Mm. Orbikularis oris, Mm. Levator angularis,
Mm. Depressor anguli oris, dan Mm. Buccinator) bila masih ada spasme yang cukup
berat. Perlu diingat bahwa injeksi BoNT
pada otot-otot bagian bawah wajah umumnya tidak ditoleransi oleh pasien sebab
akan memicu kelumpuhan dan distorsi
ekspresi wajah. Dosis toksin botulinum yang
diberikan berbeda-berbeda, tergantung pada
tempat injeksi (Tabel 1)
Simbol bintang dan segitiga menunjukkan
lokasi penyuntikan toksin botulinum. Pada
masalah blefarospasme, dilakukan penyuntikan
pada kedua daerah periokular (tanda segitiga).
Pada masalah hemifasial spasme penyuntikan
dilakukan pada satu sisi muka yang mengalami
gangguan yaitu 6 suntikan periokular dan 2-3
suntikan perioral (tanda bintang)
Sebagian respons terhadap injeksi BoNT
bergantung pada dosisnya (dose-dependent■}. Pada umumnya efek baru terasa
3 -6 hari pascainjeksi, bertahan rerata
selama 2,8 bulan. Yanni dkk melaporkan
hasil yang serupa, pasien HFS dengan
skala Jankovic derajat 2 memperlihatkan
perbaikan derajat spasme yang signifikan sampai bulan ke-3, sementara pasien
dengan derajat 1 memperlihatkan perbaikan
sampai bulan ke-2. Efek sampingyangbersifat
transien terjadi pada 20% masalah , termasuk
ptosis, paresis otot-otot wajah ringan, lebam,
dan lebih jarang terjadi diplopia, produksi
air mata yang berlebihan, dan sakit kepala.
Umumnya penderita HFS jarang mengalami
remisi spontan, sehingga memerlukan injeksi lanjutan selama bertahun-tahun. Efektifitas dan keamanan BoNT jangka panjang
telah dilaporkan oleh Defazio dkk yang
diukur berdasar rerata respons, rerata
durasi respons, sertadosisyangtidakberubah
selama 10 tahun pertama. Angka efek suntikan lokal (termasuk ptosis, kelemahan otot
wajah, dan diplopia) berlcurang drastis dalam
10 tahun pertama ini, namun injeksi tetap
harus diulang setiap 3-6 bulan.
Toleransi dapat terjadi pada beberapa masalah ,
tetapi jarang terjadi, Injeksi yang berulang kali
dapat memicu atrofi otot, sehingga memerlukan injeksi di sisi kontralateral untuk
alasan kosmetik. Walaupun jumlah studi RCT
tentang BoNT untuk terapi HFS masih suboptimal, BoNT masih tetap dianggap sebagai pengobatan paling efektif untuk HFS dengan efek
sampingyang minimal (Kelas II dan Kelas III}.
CONTOH masalah
Seorang wanita 43 tahun, guru SMA swasta,
datang dengan keluhan mulut mencong dan
mata kiri yang terlihat lebih kecil dibandingkan
mata kanannya. Keluhan mulai dirasakan sejak
10 bulan yang lalu berupa kedutan di sudut
mata kiri, kadang timbul saat pasien sedang
mengajar di kelas. Lama-kelamaan, kedutan
lebih sering dan selalu muncul pada setiap aktivitas fisik, ringan maupun berat, tanpa atau
disertai tingkat stres maupun kecemasan berlebih. Dua bulan terakhir kedutan semakin meluas sampai ke pipi dan bibir yang semakin berat, sehingga memicu mata tertutup dan
mulut mencong, serta bicara sering terganggu.
Pasien menjadi malu untuk mengajar
maupun bersosialisasi. Pasien menyangkal
riwayat keluhan serupa di keluarga ataupun
adanya keluhan kelemahanpadaekstremitas,
keganasan, Bell's palsy, atau sakit kepala
sebelumnya. ada riwayat hipertensi
sejak 2 tahun yang lalu, 140-150/90mmHg,
berobat dengan herbal
NEUROBEHAVIOR DASAR DAN PEMERIKSAANNYA
Fungsi kognitif merupakan modal utama
manusia dalam aktivitas kehidupan seharihari. Fungsi ini terbagi menjadi lima ranah
[domain) besar, yaitu atensi, memori, visuospasial, bahasa, dan fungsi eksekutif, yang
tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling
berhubungan. Penurunan dan gangguan
fungsi kognitif dapat terjadi sebab kerusakan struktur dan fungsi otak disebabkan oleh bertambahnya usia, faktor-faktor
risiko yang terjadi sepanjang kehidupan,
seperti penyakit hipertensi, diabetes, dislipidemia, gangguan gizi, penyakit pembuluh
darah otak (otak, jantung, ginjal, dan lain],
dan penyakit autoimun.
Kemajuan perkembangan teknologi pencitraan di bidang neurologi banyak memberikan kontribusi untuk menjelaskan hubungan
gangguan fungsi kognitif dengan struktur dan
fungsi otak [brain behaviour interrelationship]
sehingga penegakan diagnostik gangguan
fungsi otak dapat dilakukan dengan lebih tepat dan cepat. Demikian pula penemuan neurosains dengan teori plastisitas memberikan
harapan baru untuk melakukan intervensi
non-invasif (neurorestoratif) pada penurunan
dan gangguan fungsi kognitif untuk memperbaiki gangguan fungsi kognitif khususnya akibat kerusakan otak.
Oleh sebab itu, diperlukan pedoman pemeriksaan gangguan fungsi kognitif sebagai acuan
dalam melakukan pemerilcsaan fungsi kognitif. Diharapkan gangguan fungsi kognitif dapat
dikenal secara lebih dini [early detection), sehingga penatalaksanaannya dapat dilakukan
lebih terarah untuk hasil yang lebih baik
EPIDEMIOLOGI
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS] 2013 sebanyak 61,7% pasien
pascastroke mengalami penurunan fungsi
kognitif. Terjadinya transisi epidemiologi di
negara kita dan bertambahnya usia harapan
hidup dari 65 tahun menjadi 75 tahun disertai tidak terkendalinya faktor-faktor risiko
penyakit tidak menular, seperti metabolik,
kardiovaskular, dan serebrovaskular akan
meningkatkan penyakit neurodegeneratif
nondemensia di masa yang akan datang.
Oleh sebab itu, diperlukan pedoman
pemeriksaan gangguan fungsi kognitif sebagai acuan untuk melakukan pemeriksaan
fungsi kognitif agar penegakan diagnostik
gangguan fungsi kognitif dapat dilakukan
dengan lebih tepat. Dengan adanya buku
pedoman ini diharapkan dokter umum dan
dokter spesialis dapat bekerjasama melakukan penilaian gangguan fungsi kognitif di
berbagai tingkat layanan kesehatan (primer,
sekunder dan tersier].
MEMORI
Memori didefinisikan sebagai proses pengambilan, penyimpanan, dan pemunculan
kembali informasi yang telah terekam sesaat atau dalam waktu yang lama. Secara
garis besar, memori terbagi berdasar
durasi tersimpannya informasi menjadi
memori jangka pendek {short-term memory) dan memori jangka panjang {long-term
memory). Adapun klasifikasi memori di tiap
kepustakaan dapat berbeda-beda, antara
lain menurut Hodges [Gambar 1).
1. Memori Jangka Pendelt
Memori jangka pendek disebut sebagai
memori primer. Informasi pada memori ini memiliki durasi singkat dengan
kapasitas yang terbatas. Istilah "memori
jangka pendek" pada klinis yaitu mengingat atau pemanggilan kembali informasi baru yang diterima dalam jangka
pendek, dalam 5 sampai 30 menithingga
beberapa hari.
Memori jangka pendek memiliki makna yang sama dengan memori kerja
{working memory), yaitu memori yang
bertanggung jawab untuk mengingat
kembali hal-hal kecil terkait verbal maupun spasial. Hal ini memicu pada
memori jangka pendek, komponen atensi akan lebih banyak berperan daripada
komponen lainnya.
Pada praktek klinis, lebih banyak digunakan pembagian memori anterograd,
untuk proses memperoleh informasi
baru, serta memori retrograd, untuk pemanggilan kembali informasi yang telah
ada sebelumnya. Kedua komponen ini
dapat mengalami gangguan tersendiri.
2. Memori Jangka Panjang
Memori jangka panjang disebut sebagai
memori sekunder. Informasi yang telah
tersimpan dalam area penyimpanan di
otak secara permanen dan memiliki kapasitas yang tidak terbatas. Hal ini memungkinkan informasi dalam memori jangka
panjang dapat tetap diingat, walaupun
telah beberapa menit bahkan tahun
sesudah informasi ini didapatkan
Memori jangka panjang dapat dibedakan
berdasar prosesnya, yaitu memori
deklaratif dan memori nondeldaratif.
a. Memori deklaratif
Merupakan memori yang diperoleh
dari pembeiajaran deklaratif, Pembelajaran ini merupakan basis pengetahuan seseorang yang menyiratkan
kesadaran dan kemampuan untuk
melaporkan sesuatu secara eksplisit,
yang didapatkan berdasar fakta
dan peristiwa. Kedua subsistem yang
termasuk dalam memori deklaratif,
yaitu:
Memori episodik: suatu kapasitas
belajar pemanggilan kembali (recall)
pengalaman pribadi dan suatu kejadian spesifik yang ditandai dalam
waktu dan tempat.
Contoh: mengingat kembali percakapan
yang terjadi di pagi hari atau mengenai
liburan tahun lalu.
Memori semantik; merupakan recall
kosakata yang terkait dengan pengetahuan umum (nama orang, tempat,
benda), fakta, dan konsep, termasuk
kata-kata dan maknanya. Memori ini
umumnya diperoleh pada usia dini,
namun terus berlanjut dan berkembang seumur hidup.
Contoh: mengetahui arti feta 'perimeter*, ibu kota Perancis, titik didih air, atau
mampu mengenali burung kecil berwama kuning sebagai burung kenari.
b. Memori nondeklaratif
Memori nondeklaratif disebut juga
memori implisit (prosedural), suatu
pemanggilan kembali ingatan yang
telah tersimpan yang didapat dari:
Kebiasaan (habit), merupakan proses pembeiajaran tanpa disadari secara berulang dalam aktivitas seharihari dan sudah menjadi pola yang
terotomatisasi.
Priming, merupakan pemanggilan
kembali yang akurat berdasar potongan informasi parsial atau informasi
yang disajifen sebelumnya, tanpa individu menyadarinya.
Contoh:
Jika Anda memberi seseorang daftar kata yang mencakup kata kursi
(ichair) dan sesudah nya didiamkan,
kemudian ditampilkan stimulus kata
"ch_", orang ini lebih senang
untuk mengatakan “chair" daripada
mengatakan “chain" atau kata lain
yang akan cocok dalam susunan,
meskipun ia mungkin tidak ingat pernah melihat kata "chain" ini .
Pembeiajaran prosedural, merupakan memori yang didapat berdasarkan latihan atau pembeiajaran secara
prosedural yang berulang-ulang. Individu dengan gangguan memori berat dapat belajar untuk melakukan
beberapa keterampilan, tanpa harus
mengingat saat pelatihannya. Contohnya keterampilan mengendarai
mobil, memainkan musik, dan sebagainya.
A. Neuroanatomi
Memori, seperti halnya atensi, merupakan sebuah sistem yang terbentuk dari
gabungan beberapa subsistem yang saling
berkaitan. Beberapa subsistem ini mem-
bentuk tahapan-tahapan memori dimulai
dari atensi, pengkodean [encoding), penyimpanan (storage), dan pemanggilan
kembali (retrieval). Pada setiap tahapan,
ada substrat neuroanatomi yang
terkait dan akan saling memengaruhi kemampuan memori seseorang.
Struktur yang berperan penting dalam
memori episodik yaitu temporal media
(hipokampus, girus parahipokampus,
dan korteks entorinal), diensefalon yang
mengelilingi ventrikel ketiga (korpus
mamilare, nukleus anterior dan dorsomedial talamus, serta jaras penghubung),
dan nukleus pada basal forebrain (nukleus septal, diagonal band, dan nukleus basalis). Area penting ini dihubungkan oleh
beberapa jaras, termasuk forniks dan girus singulata. Bersama-sama membentuk sistem limbik, yang kadang dikenal
pula dengan sirkuit Papez (Gambar 2).
Secara tradisional, hipokampus dianggap sebagai komponen utama sistem
memori. Sistem ini menerima aferen dan
mengirimnya ke area asosiasi sensorik,
seperti visual, auditorik, dan somatosensorik. Sirkuit internal dari hipokampus
juga bekerja terhadap input dari girus
dentata melalui jalur perforantes; girus
dentata lalu memproyeksikan ke zona
CA3, lalu ke CA1; yang akan di lanjutkan
ke subikulum, yang mengirimkan sinyal
eferen kembali ke area asosiasi dan ke
badan mamilari melalui forniks.
Kerusakan dimanapun pada sistem
limbik dapat menghasilkan gangguan
memori, namun hal ini dapat terjadi subklinis dan bersifat "material-spesific". Contohnya reseksi area hipokampus kiri akan
memicu gangguan memori verbal.
Sedangkan reseksi dari hipokampus sisi
kanan akan memicu gangguan
memori nonverbal, contohnya informasi
spasial dan fungsi mengenali wajah, yang
mungkin tidak tampak bila tidak dilakukan asesmen yang mendalam. Kerusakan
bilateral kepada baik regio temporal medial dan atau diensefalon, bagaimanapun
akan menghasilkan sindrom amnesia
baik materi verbal ataupun nonverbal.
B. Gangguan Memori
Gangguan memori disebut sebagai amnesia. Gangguan ini didefinisikan dengan
kalimat yang berbeda-beda oleh pasien
maupun pendamping. Pada sindrom amnesia, pasien hanya terbatas dengan gangguan memori murni, sementara fungsi
intelektual global lainnya masih baik. Terdapat pula gangguan jenis memori lain
berdasar neuroanatomi yang berkaitan (Tabel 1).
C. Pemeriksaan Gangguan Memori
Dalam menilai gangguan memori, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Penilaian Gangguan Memori Ante rograd/Retrograd Episodik
Perlu dipastikan ada tidaknya gangguan memori anterograd, sebab bila
terjadi gangguan ini berarti
pasien tidak dapat mengingat informasi-informasi baru dan terjadi hambatan
dalam proses komunikasi. Penting juga
dicatat bahwa pasien tidak mengalami
gangguan pemusatan perhatian.
Instrumen yang dipakai :
a. Anterograd verbal (auditorik]
Gangguan memori ini dapat dilakukan dengan meminta pasien
untuk mengingat nama dan alamat, mengingat secara insidentil
percakapan sebelumnya, perjalanan menuju ke RS, kejadian
di bangsal, dan sebagainya. Tes
formal dapat dilakukan dengan
mengingat cerita dan daftar kata
[restricted reminding) (Tabel 2).
b. Anterograd nonverbal [visual)
® Mempelajari rute
• Mengingat wajah
® Tes formal: tes Inga tan Mengenali
[wajah), Rey-Osterrieth complex
figure test [ROCFT) [Gambar 3).
c. Retrograd
Memori retrograd dapat diperiksa
dengan pertanyaan sistematis tentang bulan, tahun, kejadian yang cukup terkenal, seperti peristiwa olah
raga terbaru, pemilihan umum, atau
ingatan mengenai orang jauh atau
diri sendiri. Memori ini disebut juga
sebagai remote memory.
Pemeriksaannya dapat dengan menanyakan identitas pribadi tempat
lahir, informasi sekolah, riwayat
pekerjaan, informasi keluarga, dan
sebagainya. Remote memory juga dapat diperiksa dengan menanyakan
sejarah yang umum diketahui seperti
dua nama presiden, atau kapan perang terakhir.
2. Penilaian Gangguan pada Tahapan
Memori (Atensi, Encoding, Storage,
Retrieval, Recall)
Gangguan pada tahapan memori dapat
diperiksa dengan skrining yang sudah
banyak dipakai , diantaranya dengan
Mini Mental State Examination (MMSE;
Gambar 4], Montreal Cognitive Assessment versi negara kita (MoCA-Ina] khususnya untuk memori delayed dan recall (Gambar 5), atau memakai
pemeriksaan yang dikembangkan oleh
Consortium to Establish A Registry fo r Alzheimer's Disease (CERAD) untuk menilai penyimpanan [storage) dan pengambilan kembali dari storage (retrieval),
3. Penilaian Gangguan Memori Semantik atau Memori Episodik
Gangguan memori semantik terkait
penamaan orang-orang tertentu, tempat
dan benda, sedangkan gangguan memori
episodik yaitu gangguan kegiatan pribadi dari informasi yang didapatkan sebelum pemeriksaan.
4. Penilaian Gangguan Memori Deklaratif atau Memori Nondeklaratif
Penderita gangguan memori nondeklaratif tidak dapat mengingat aktivitas sehariharinya, sedangkan pada gangguan memori deklaratifmasih dapat mengekspresikan
pengetahuan-pengetahuannya mengenai
hal yang baru ataupun hal lampau, atau
salah satunya. Penilaiannya menggunakan instrumen indeks Katz.
ATENSI
Atensi merupakan peningkatan aktivitas kegiatan otak berupa pemilahan dan kategorisasi rangsangan yang diterima. Atensi juga
didefinisikan sebagai persiapan fisiologis
untuk bertindak atau bereaksi dan proses
mempertahankan aktivitas di dalam mencapai sasaran.
A. Neuroanatomi
Posner dan Petersen (1990) mengemukakan ada tiga bagian sirkuit otak manusia yang terpisah namun saling terkait
dalam mengontrol fungsi atensi, yaitu:
1. Orientasi Atensi dalam Ruang
Orientasi spasial tergantung pada
sistem atensi posterior, meliputi lobus parietal posterior, kolikulus superior dan nukleus pulvinar lateral.
Sirkuit ini merupakan sistem atensi
primitif yang berespons terhadap
stimulus sederhana.
2. Seleksi Target dan Resolusi Konfiik
Merupakan sirkuit kedua untuk pemilihan target dan resolusi konfiik.
Sirkuit ini diolah di daerah anterior
otak (girus cinguli anterior dan area
motoriktambahan). Inti nukleus memainkan peran dalam menganalisis
informasi yang diterima dan memilih
apa yang akan diteruskan untuk
peng-olahan tingkat yang lebih tinggi.
3. Kewaspadaan/M empertahankan
Atensi
yaitu sirkuit ketiga yang bertujuan
menjaga kewaspadaan dengan cara
mempertahankan perhatian utama
dari rangsangan eksternal baru yang
dominan. Sirkuit ini terletak di sisi
kanan (daerah prefrontal kanan) dan
sistem norepinefrin.
B. Gangguan Atensi
Berikut ini yaitu beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait gangguan atensi:
1. Gangguan yang telah terdiagnostik,
seperti atensi yang terlalu pendek,
tidak stabil, mudah teralihkan, dan
sebagian disertai hiperaktivitas, sebagian tidak. Daya perhatian lemah
dijumpai pada retardasi mental, demensia, dan skizofrenia, serta tidak
jarang ada pada anak. Perkembangan sel atensi dan penghambat
refleks atensi tidak normal pada autism e, sehingga terjadi pengabaian
terhadap banyak rangsangan dari
luar. Apabila perhatian tertarik pada
suatu tindakan, tidak segera dapat
dialihkan.
2. Gangguan perhatian akibat hal lain,
seperti penurunan kesadaran yang
timbul di dalam serangan-serangan
pada epilepsi dan pada gangguan
emosional berat.
C. Pemeriksaan Atensi
Kemampuan untuk memelihara perhatian dan memahami peristiwa yang tengah terjadi dapat dinilai dengan pemeriksaan:
1. Substraksi 7 Berantai
Pasien dengan kerusakan hemisfer
ldri fokal melakukan kesalahan pengurangan berantai, namun banyak juga
lansia normal yang melakukan kesalahan ini.
Contoh: hasil pengurangan dan penjumlahan angka (100 dikurangi 7
sampai 5 kali).
2. Tes Rentang Digit (Digit Span)
Tes ini berupa tes rentang digit maju
{forward span) dan tes rentang digit terbalik (backward span). Berkurangnya kemampuan dalam tes ini merupakan gambaran gangguan perhatian seperti yang
ditemukan pada kondisi kebingungan
akut {acute confusional state], demensia
sedang ke berat, dan pasien dengan lesi
hemisfer kiri fokal.
Hasil pemeriksaan yang adekuat menunjukkan pasien mampu memperhatikan
stimulus verbal dan mempertahankan
atensi untuk periode waktu tertentu dengan cara mengulang beberapa digit.
Pada pasien afasia, pemeriksaan tidak
dapat dilakukan jika ada gangguan
modalitas pemahaman dan pengulangan.
Katakan kepada pasien, "Saya akan menyebutkan beberapa angka, dengarkan
baik-baik. Jika saya selesai, sebutkan
angka-angka ini ." Bacakan setiap
digit dengan suara intonasi normal, satu
digit per satu detik. Jangan menyebutkan
digit dalam kelompok.
Contoh rentang digit maju:
3 - 7
7 - 4 - 9
8 - S-2-7
2 - 9 - 6 - S - 3
5 - 7 _ 2 - 9 - 4 - 6
8 -1-5-9-3-6-2
3 - 9 - 8 - 2 - 5 - 1 - 4 - 7
7 -2 -8 -S -4 -6 -7 -3 -9
Teknik yang persis sama dilakukan pada
tes rentang digit terbalik, pasien diminta untuk mengulangi angka-angka
secara terbalik. Nilai normal tes rentang
digit yaitu 6±1. Seorang dewasa muda
cerdas diharapkan mampu melakukan
minimal 6, sedangkan nilai 5 dapat dianggap normal pada lansia atau individu
dengan kemampuan intelektual rendah.
Jika pasien hanya mampu mengulang
kurang dari lima digit mengindikasikan
gangguan atensi. Nilai normal tes rentang digit terbalik biasanya lebih rendah
1 poin dibanding tes rentang digit maju.
D, diagnosa Banding
Sindrom klinis yang menggambarkan
gangguan atensi ialah acute confusional
state, yang juga sering disebut sebagai
sindrom psikiatrik organik akut atau delirium. Namun pada delirium, kesadaran
berkabut merupakan tanda yang utama
dibandingkan gangguan atensi.
VISUOSPASIAL
Kemampuan visuospasial didefinisikan
sebagai kemampuan pengenalan bagianbagian tubuh, dan kesadaran posisi tubuh
terhadap ruang pada kedua belahan otak.
A. Neuroanatomi dan Fisiologi
Proses visual dan visuospasial melibatkan banyak area di korteks dan area subkorteks, tergantung aspek fungsional apa
yang terlibat. Korteks visual primer yang
bertanggung j awab terhadap banyak
fungsi visual dasar yaitu lobus oksipital. Stimulus dari lapang pandang perifer
diproses oleh korteks bagian anterior
lobus oksipital, medial dari fisura kalkarina, sedangkan stimulus pada lapang
pandang sentral diproses oieh korteks di
korteks visual bagian posterior. Bagian
otak yang berkaitan langsung dengan kejadian pengabaian tubuh (body neglect)
yaitu lobus frontal. Sementara itu, kejadian pengabaian yang berhubungan
dengan lingkungan/sparia/ neglect [environment-centered neglect) berkaitan
langsung dengan lesi pada lobus parietal.
Prosesi pemrosesan stimulus visual, informasi yang ditangkap oleh retina dihantarkan melalui nervus optikus secara langsung ke korteks visual primer atau korpus
genikulatum lateral. Sebagai tambahan, sebagian informasi visual diproyeksikan ke
kolikulus superior yang dapat membantu
orientasi visual terhadap pergerakan di
dalam lapang pandang ini .
Secara garis besar proses visual dibagi
menjadi dua sistem, yaitu (Gambar 6):
1. Sistem “W hat’
Disebut juga ventral stream, merupakan sistem untuk memproses persepsi visual, atau yang dikenal. Sistem
"What" juga dimulai dari korteks visual primer (VI) dan diproyeksikan
menuju V2 dan V3 ke V4 dan berjalan
di bagian ventral dan inferior terhadap
lobus temporal inferior dan posterior.
2. Sistem “W here”
Sistem “Where" (atau dorsal stream)
merupakan sistem untuk mengenali
letak stimulus. Sistem ini dimulai di
lobus oksipital melibatkan korteks visual primer (area V I) menuju V2 dan
V3 terproyeksi menuju area middle
temporal (MT) dan berjalan di bagian
dorsal dan superior terhadap area
medial superior dan lobus parietal.
Proses visuokonstruksi dan gerakan
kompleks telah diidentifikasi melibatkan sistem superior temporal sulcus
(STS) yang berjalan lateral dari korteks
oksipital primer (area VI), lateral dari
sulkus temporal superior yang melibatkan girus temporal superior.
B. Gangguan Visuospasial
Gangguan visuospasial meliputi fenomena
pengabaian {neglect), didefmisikan sebagai
kesulitan untuk bereaksi, dan mengalihkan
orientasi menuju stimulus barn atau stimulus bermakna. Stimulus baru atau stimulus
bermakna ini berasal dari lesi kontralateral (sisi yang berseberangan dengan
gangguan]. Fenomena ini terdiri dari pengabaian personal dan ekstrapersonal. Pengabaian personal berkaitan dengan satu
bagian tubuh dengan bagian tubuh yang
lainnya, sedangkan pengabaian ekstrapersonal berhubungan dengan posisi tubuh
terhadap lingkungan di seldtamya.
C. Pemeriksaan Gangguan Visuospasial
Sebelum melakukan pemeriksaan sebaiknya pemeriksa sudah mengenal gambaran
Minis gangguan visuospasial. Pasien tidak
boleh mengalami gangguan sensorik, taktil,
visual maupun pendengaran. Oleh sebab
itu perlu dilakukan pemeriksaan pada setiap modalitas ini , misalnya dengan
sentuhan, penglihatan, dan pendengaran
satu sisi tubuh secara bergantian. Selanjutnya dibedakan antara gangguan personal
atau ekstrapersonal secara terarah dengan
memakai instrumen-instrumen tertentu, yaitu:
1. Pemeriksaan Pengabaian [Neglect}
Ekstrapersonal
a. Apraksia berpakaian {dressing apraxia)
Gangguan pada kemampuan berpakaian
secara mandiri, disebut juga dressing
apraxia, biasanya merefleksikan gangguan
visuo-spasial yang kompleks. Gerakan berpakaian melibatkan keselarasan bagian
tubuh dan rotasi mental yang bergantung
pada hemisfer nondominan.
b. Neglect dyslexia dan neglect dysgraphia
Keadaan mengabaikan situasi pada area
tertentu berkaitan dengan kerusakan
hemisfer otak kanan. Disleksia abai
dapat dinilai dengan membaca teks yang
terdiri dari barisan kata-kata. Pasien
dengan kelainan ini akan menghilangkan bagian inisial (kiri] dari setiap baris,
sehingga mengangap teks ini tidak ada artinya sama sekali. Sebaliknya
dalam tulisan, pasien menulis pada bagian kanan halaman, dan sering membuat batas yang semakin melebar.
c. Pemeriksaan kemampuan konstruksional
Kemampuan konstruksi (kemampuan
persepsi] lebih sering ditemukan pada
pasien dengan profesi yang membutuhkan kemampuan khusus dalam hal
konstruksi (arsitek, pembuat model maket) dengan keluhan berupa kesulitan
menggambar dalam sudut pandang tiga
dimensi, yang mengindikasikan adanya
gangguan parietal kanan. Penurunan kemampuan dalam hal merakit benda atau
kehilangan kemampuan menggambar
dapat mengindikasikan adanya patologi
pada sisi kanan.
Mendeteksi gangguan kemampuan konstruksi yang terbaik yaitu dengan mengajak pasien untuk menyalin gambar 3
dimensi, seperti kubus, atau bentuk 2 dimensi yang kompleks, seperti segilima
yang saling terkait yang merupakan bagian dari MMSE. Pasien dengan gangguan kemampuan konstrksi yang cukup
berat masih dapat menyalin bentuk yang
lebih sederhana, seperti pada Gambar 7
Direkomendasikan memakai ROCFT
untuk tes yang lebih ketat dan kuantitatif,
sebab salinan gambar pasien dapat diberikan skor nilai dengan memakai
kriteria standar (Gambar 8). Ingatan lambat (delayed) terhadap gambar, biasanya
sesudah 30-40 menit, juga dapat dipakai
sebagai sebuah ukuran memori nonverbal.
d. Kemampuan visuopersepsi kompleks
Jika pasien tidak mampu mengenali obyek
yang sederhana atau gambar mesldpun ketajaman visual baik dan kemampuan bahasa
utuh, patut diduga merupakan satu bentuk
agnosia visual yang terdiri dan agnosia visual aperseptif dan agnosia visual asosiatif.
Pemeriksaannya dapat dilakukan dengan
cara meminta pasien mendeskripsi obyekobyek yang disajikan secara visual, mencocokkan benda dalam susunan-susunan, menyalin gambar obyek, mencocokkan obyek,
menanyakan pengetahuan lisan tentang
benda-benda, atau menamai sebuah benda
dengan cara menyentuh {tactile naming).
Uji formal yang dapat dipakai yaitu
Visual Object and Space Perception (VOSP)
Battery.
e. Agnosia benda visual
Defisit dalam pengenalan obyek/benda
dan wajah sulit dinilai secara bedside tanpa
material-material uji khusus, tetapi dengan melakukan tugas-tugas sederhana
disertai petunjuk berikut, dapat dicurigai
adanya agnosia. ada dua bentuk agnosia visual, yaitu aperseptif dan asosiatif.
Pada agnosia aperseptif, ada gangguan
dalam mendeskripsikan gambar obyektif
(relatif), identifikasi visual, menyalin gambar garis, dan mencocokan benda, tetapi
kemampuan pengetahuannya akan suatu
benda dan penamaan benda melalui sentuhan. Gangguan yang terjadi pada agnosia
asosiatif ditandai dengan adanya ketidakmampuan dalam identifikasi visual, dan
biasanya pada pengetahuan terhadap
benda serta penamaan benda melalui sentuhan.
f. Prosopagnosia
Prosopagnosia yaitu hilangnya kemampuan deskipsi, pengenalan, dan pencocokan wajah. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan, antara lain memberikan
potongan-potongan wajah orang-orang
yang pernah dikenal. Biasanya pada
gangguan klasik akan ada retensi
pengetahuan mengenai orang-orang terkenal, teman, dan kerabat, terlepas dari
ketidakmampuannya untuk menyebutkan nama mereka berdasar foto.
g. Menyalin bebas gambar representasional
Jika pasien diminta untuk menyalin sebuah susunan benda (misalnya, rumah,
pohon, dan seorang pria) mereka menyelesaikan hanya setengah dari setiap item
(lihat Gambar 9). Fenomena ini disebut
sebagai pengabaian yang berpusat pada
benda {object-centered neglect). Kelainan ini menunjukkan bahwa defisit bukan
berupa pengabaian secara umum pada
ruang kiri, melainkan kerusakan/defek
khusus dalam menyusun kembali/merekonstruksi representasi internal dari
obyek-obyek individual.
h. Orientasi spasial (kemampuan orientasi
ruang)
Merupakan disorientasi topografi, merasa asing pada lingkungan yang familiar,
biasanya merupakan bagian dari gejala
demensia. Hal ini dapat pula mengindikasikan adanya patologi pada hemisfer
dekstra yang bersifat fokal Hal ini dapat
pula terjadi akibat kurangnya memori
spasial atau ketidakmampuan mengenali landmark.
Pemeriksaan orientasi visospasial dapat
juga dilakukan dengan behavioral inattention test (BIT). Pemeriksaan ini menilai
kemampuan pasien dalam mengerjakan
kegiatan sehari-hari yang berkaitan dengan kemampuan visual. Subtes pemeriksaan ini terdiri dari subtes tertulis line
crossing (tes Albert), letter cancelation,
star cancelation, meniru bentuk dan bangun yang diambil dari bagian pemeriksaan MMSE, MoCA, dan CERAD, representational drawing, dan line bisection; serta
subtes perilaku yang terdiri atas memutar
nomor telepon, membaca menu, membaca artikel, membaca dan mengatur jam
(clock drawing test), mengelompokkan
koin, menyalin alamat dan kalimat, navigasi, mengelompokkan kartu, dan altern a ting sim ultaneous stimuli,
i. Pengabaian hemispasial (hemispatial
neglect)
Pasien dengan gangguan ini, akan mengalami kesulitan dalam menyadari keberadaan benda, kata, atau kalimat yang
berada pada lapang pandang kiri. Pemeriksaan keadaan ini dilakukan dengan
cara observasi sikap pasien pada saat
dilakukan pemeriksaan di sisi tempat
tidurnya, misalnya dengan mengajak
pasien berbicara dari sisi kiri tempat tidurnya. Harus dibedakan antara pasien
mengalami pengabaian hemispasial murni
atau hemianopia murni atau kombinasi
keduanya. Cara membedakannya dapat
dilihat dari posisi kepala dan mata pasien
dengan infark pada arteri serebri media
kanan akan mengalami deviasi ke kiri
tanpa berusaha melakukan koreksi.
2. Pemeriksaan Pengabaian Personal
Gangguan personal terkadang disebut
juga sebagai gangguan body scheme yang
didefinisikan sebagai gangguan representasi hubungan spasial antar bagian
tubuh seseorang. Fungsi ini dibentukoleh
integrasi dari proprioseptif, talctil dan
tekanan. Body scheme menjadi sebuah
pondasi dalam pembentukan persepsi
seseorang terhadap posisi dan hubungan antara anggota tubuh satu dengan
lainnya. Dalam keadaan intak, fungsi ini
membantu tubuh dalam mengenali masukan sensori spasial yang kemudian
akan memicu tubuh untuk menimbulkan
gerakan yang bertujuan, Berikut yaitu
beberapa gangguan dan pemeriksaan
yang dipakai untuk mendiagnosa nya:
a. Somatognosia
Manifestasi klinis yang dapat dilihat
yaitu adanya kesulitan memakai
salah satu sisi alat gerak yang kontralateral dengan lesi, kesulitan dalam membedakan sisi kanan dan kiri, serta tidak
dapat menunjukkan struktur tubuh yang
diminta baik pada tubuhnya ataupun tubuh pemeriksa. Pasien melihat tubuhnya
dalam keadaan terdistorsi.
Somatognosia dapat dibagi menjadi dua,
yaitu m ikrosom atognosia dan makrosomatognosia. Pasien mikrosomatognosia akan mempersepsikan bagian tubuh
kontraiateral lesi atau, pada sebagian
masalah , seluruh tubuhnya menjadi sangat
kecil, sedangkan makrosomatognosia sebaiiknya.
Pemeriksaan somatognosia:
® Menunjuk bagian tubuh sesuai dengan perintah verbal
Pada pemeriksaan ini, pemeriksa akan
meminta pasien menunjuk bagian
tubuhnya sendiri, pada tubuh pemeriksa, pada replika tubuh manusia,
dan pada puzzle tubuh manusia yang
telah disediakan sesuai dengan nama
bagian tubuh yang disebutkan oleh
pemeriksa.
Hasil dari pemeriksaan ini dibagi menjadi tidakterganggu [intak] danterganggu. Pasien dinyatakan tidak mengalami
somatognosia jika dapat menunjukkan
seluruh bagian tubuh yang diperintahkan pemeriksa dengan tepat dalam
jangka waktu yang telah ditentukan oleh
pemeriksa (disertai dengan hasil intak
dari 4 pemeriksaan lain).
® Menunjuk bagian tubuh sesuai dengan perintah nonverbal
Pemeriksa akan memberikan aba-aba
untuk mengikuti gerakannya dalam
menunjuk bagian tubuh yang akan ia
tunjuk pada tubuhnya. Proses ini dilakukan pada enam hingga sepuluh
bagian tubuh.
Hasil yang didapatkan yaitu intak
atau tidak intak. Pasien dinyatakan
intak jika mampu meniru seluruh
gerakan pemeriksa dalam jangka
waktu yang telah ditentukan oleh
pemeriksa.
® Visualisasi tubuh dan konsep spasial
Pertanyaan yang diajukan oleh
pemeriksa yaitu pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan
posisi bagian tubuh satu terhadap bagian tubuh lainnya, seperti:
"Apakah kaki Anda berada di bawah
perut Anda?"
"Manakah yang lebih jauh dari hidung
Anda, kaki atau perut Anda?"
"Apakah mulut Anda berada diatas
mata Anda?", dan sebagainya.
Pasien dinyatakan tidak memiliki
gangguan (intak) jika dapat menjawab
semua pertanyaan dengan benar (sekitar 14-15 pertanyaan) selama waktu
yang telah ditentukan oleh pemeriksa.
Pasien dengan afasia tidak dianjurkan
untuk dilakukan pemeriksaan ini.
b. Anosognosia
Pasien dengan anosognosia akan menyangkal ada gangguan/penyakit atau
merasa tidak peduli. Pasien tidak mampu membentuk gambaran realita yang
konsisten dari kondisi tubuhnya. Kebanyakan pasien juga mempunyai visual
neglect. Penyangkalan dapat berbentuk
suatu pengalaman yang dibuat secara
imajiner oleh pasien dan pasien akan
sangat teguh untuk percaya hal itu walaupun telah diberikan demonstrasi berulang pada gangguan yang dideritanya
[disability).
Tidak ada pemeriksaan spesifik terstandarisasi untuk pemeriksaan anosognosia. Pemeriksaan anosognosia kurang
Iebih sama dengan pemeriksaan penurunan kesadaran [decreased awareness)
pada fungsi eksekutif, yang meliputi satu
bagian yang ditujukan untuk penurunan
kesadaraan akan sensorik dan motorik.
c. Pengabaian sensori (sensory neglect)
Pengabaian sensori biasa terjadi pada
pasien dengan tingkat gangguan pengabaian yang tinggi. Pasien ini akan cenderung mengabaikan rangsang sensori
yang diberikan pada sisi tubuh yang diabaikan, Iebih sering ditemukan pada sisi
tubuh sebelah kiri.
Pengabaian ini dapatberupa pengabaian
penglihatan (visual), pendengaran (auditori), atau pun perabaan (taktil), yaitu:
® Pengabaian visual (visual neglect)
Pemeriksaan pada pengabaian visual
dapat dilakukan dengan pemeriksaan
penglihatan dikotik. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan cara menunjukkan
dua benda yang masing-masing berada pada sisi lapang pandang kanan
dan kiri selama beberapa saat dengan
memakai sebuah kinetoskop.
Pada lesi di hemisfer kanan, pasien
akan mengatakan ia melihat gambar
yang terletak pada sisi lapang pandang kiri dan dapat menggambarkannya. Ketika diperlihatkan gambar
hanya pada sisi lapang pandang kiri,
pasien tidak mampu mengatakan apa
yang dilihatnya, tetapi dapat menggambarkannya (Gambar 10).
© Pengabaian auditori [auditory neglect)
Seperti halnya dengan pengabaian
visual, pasien dengan pengabaian auditori akan merasa tidak mendengar
sumber suara yang berada pada sisi
kontralateral lesi. Pada pengabaian
auditori dengan lesi di hemisfer
kanan, maka suara dapat didengar
oleh telinga kanan namun tidak pada
telinga kiri. Jika sumber suara diperdengarkan bergantian antara telinga
kanan dan kiri, pasien akan dapat
mendengar kedua suara ini
© Pengabaian perabaan [tactile neglect)
Pasien akan mengabaikan seluruh
rangsang taktil pada sisi kontralateral
lesi. Pada masalah ini, pasien mampu
menunjukkan benda yang menyentuh
atau disentuhnya dengan menggunakan tangan kontralateral lesi, namun
pasien tidak dapat menyebutkan nama
benda ini
BAHASA
Bahasa didefinisikan sebagai proses encoding dan decoding dari elemen-elemen semantik dan sintaksis yang dipakai dalam
memproduksi dan memahami pemikiran
atau ide yang dimiliki seseorang.
A. Neuroanatomi
Fungsi bahasa diperankan oleh kedua
hemisfer otak, yaitu:
1. Dominasi pada Hemisfer Sinistra
Area pada hemisfer sinistra yang memiliki peran penting dalam fungsi
pemahaman dan pembentukan bahasa yaitu area posterior-superior
lobus temporal (area Wernicke]. Defisit pada area ini memicu gangguan pada proses encoding bahasa
yang dipakai untuk berbicara dan
menulis.
Area lain yang berperan penting yaitu
inferior lobus frontal (area Broca) dan
area sekitarnya (Gambar 11). Lesi pada
daerah ini akan memicu distorsi
bahasa yang dipakai , gangguan motorik berupa suara yang terbata-bata, dan
tata bahasa yang tidak sesuai. Lesi daerah
ini tidak menimbulkan gangguan pada
pemahaman bahasa lisan maupun tulisan.
Kedua area ini dihubungkan oleh fasikulus arkuata. Lesi yang terjadi pada fasikulus ini akan menimbulkan afasia konduksi yang umunya terjadi aldbat adanya
cedera pada girus supramarginal atau
area di sekitarnya.
Hemisfer sinistra juga berperan sebagai
pusat membaca, di daerah girus angularis lobus parietal dan pusat menulis
di lobus parietal bersama dengan lobus