obat 22




 azon masih digunakan dalam obat kumur pada nyeri tenggorok, berdasar  efek anestetik lokal 

(lemah) dan kerja vasokonstriksi.

c. Propifenazon (propilantipirin,*Saridon,) adalah derivat fenazon (1951) tanpa khasiat 

anti radang dengan sifat kurang lebih sama. 

Plasma-t½ 90 menit. Risiko agranulositosis 

lebih ringan.

Dosis: 1-3 x sehari 150-300 mg, biasanya 

terkombinasi dengan analgetik lain.

* Metamizol (antalgin, dipiron, novaminsulfon,

metampiron,*DoloNeurobion,Novalgin,*Unagen)

yaitu  derivat sulfonat dari aminofenazon yang larut dalam air (1946). Khasiat 

dan efek sampingnya sama. Obat tua ini 

dapat secara mendadak dan tidak terduga 

menimbulkan kelainan darah yang adakalanya fatal. Karena bahaya agranulositosis, 

obat ini sudah lama dilarang peredarannya di 

banyak negara, antara lain di Swedia, Inggris, 

Jerman, Belanda dan India. Di Amerika dan 

Inggris obat ini tidak pernah dipasarkan.

Walaupun berbahaya puluhan obat ini 

masih beredar di negara kita  sebagai zat 

tunggal maupun dalam kombinasi dengan 

obat lain misalnya dengan diazepam atau 

vitamin-vitamin.

Dosis: oral 0,5-4 g sehari dalam 3-4 dosis.

2. Asam asetilsalisilat (F.I.): Asetosal, Aspirin,

Cafenol, Naspro.

Asam asetilsalisilat atauAspirin yaitu  

salah satu obat analgetik tertua (Bayer, 1899) 

dan sepanjang masa paling sukses, yang 

sampai kini terbanyak dipakai  di seluruh 

dunia. Di tahun 2014 telah diproduksi di 

seluruh dunia sekitar 35.000 ton aspirin dan 

lebih dari 100 milyar tablet telah dikonsumsi. 

Obat ini telah dikembangkan oleh ahli kimia dari Bayer di tahun 1899, yaitu Felix 

Hoffmann, Arthur Eichengrun dan ahli farmakologi Heinrich Dreser. 

Zat ini juga berkhasiat anti demam kuat dan 

pada dosis rendah sekali (40 mg) berkhasiat 

menghambat agregasi trombosit. Efek anti

trombotik yang tidak reversibel ini bekerja berdasarkan blokade enzim siklo-oksigenase (COX-

1) yang bertahan selama trombosit hidup. 

Dengan demikian, sintesis tromboksan A2

(TxA2

) – yang bersifat trombotik dan vasokonstriktif – dihindari (lihat Bab 21, Mekanisme kerja NSAID’s). Pada dosis lebih besar 

dari normal (di atas 5 g sehari) obat ini juga 

berkhasiat anti radang akibat gagalnya 

sintesis prostaglandin-E2

 (PgE2

). 

pemakaian . Selain yaitu  analgetik, 

sekarang ini asetosal banyak dipakai  sebagai alternatif dari antikoagulan pencegah

infark serangan kedua. Hal ini berkat khasiat 

antitrombotiknya. Obat ini juga efektif untuk 

profilaksis serangan stroke kedua sesudah  

menderita TIA (Transient Ischaemic Attack,

serangan kekurangan darah sementara di 

otak), terutama pada pria. Akhir-akhir ini 

diberitakan kemungkinan pemakaian nya 

untuk prevensi kanker usus dan prostat 

(2014).

Resorpsinya cepat dan praktis lengkap, terutama di bagian pertama duodenum. Namun, karena bersifat asam, sebagian zat diserap pula di lambung. BA-nya lebih rendah 

akibat FPE dan hidrolisis selama resorpsi. 

Dimulai efek analgetik dan antipiretiknya 

cepat, yakni sesudah  30 menit dan bertahan 3-6 

jam; efek antiradangnya baru tampak sesudah  

1-4 hari. Resorpsi dari rektum (supositoria)

lambat dan tidak menentu, sehingga dosisnya 

perlu digandakan. Dalam hati, zat ini segera 

dihidrolisis menjadi asam salisilat dengan efek 

anti nyeri lebih ringan. PP 90-95%, plasma-t½ 

15-20 menit, masa paruh asam salisilat yaitu  

2-3 jam pada dosis 1-3 g/hari.

Efek samping yang paling sering terjadi 

yaitu  iritasi mukosa lambung dengan risiko tukak lambung dan perdarahan samar 

(occult blood) gastro-intestinal. Penyebabnya 

yaitu  sifat asam dari asetosal, yang dapat 

dikurangi melalui kombinasi dengan suatu 

antasid (MgO, aluminiumhidroksida, CaCO3

atau dipakai  garam kalsiumnya(carbasalat).

Pada dosis besar faktor lain memegang 

peranan, yaitu hilangnya efek pelindung dari 

prostasiklin (PgI2

) terhadap mukosa lambung, 

yang sintesisnya turut dirintangi akibat 

blokade siklo-oksigenase. 

Selain itu asetosal menimbulkan efek spesifik seperti reaksi alergi kulit dan tinitus (telinga berdengung) pada dosis lebih tinggi. Efek yang lebih serius yaitu  kejangkejang bronki hebat, yang pada pasien 

asma dapat menimbulkan serangan, walaupun dalam dosis rendah. Anak-anak kecil 

yang menderita cacar air atau flu/selesma 

sebaiknya jangan diberi asetosal (tetapi parasetamol), karena berisiko terkena Sindrom 

Reye yang berbahaya. Sindroma ini ditandai 

muntah hebat, melamun, gangguan pernapasan, konvulsi, adakalanya koma dan kematian. 

Wanita hamil tidak dianjurkan menggunakan asetosal dalam dosis tinggi, terutama 

pada triwulan terakhir dan sebelum persalinan, karena lama kehamilan dan persalinan 

dapat diperpanjang, juga kecenderungan 

perdarahan meningkat. Asetosal dikeluarkan 

melalui air susu ibu, tetapi ibu dapat diberikan obat ini selama laktasi, walaupun 

sebaiknya tidak terlalu sering.

Interaksi. Asetosal memperkuat daya kerja antikoagulansia, anti diabetika oral dan 

metotreksat. Efek obat encok probenesid dan

sulfinpirazon berkurang, begitu pula diuretika furosemid dan spironolakton. Kerja 

analgetiknya diperkuat oleh antara lain kodein dan d-propoksifen. Alkohol meningkatkan risiko perdarahan lambung usus. Karena 

efek anti trombotiknya yang mengakibatkan 

risiko perdarahan, pemakaian  asetosal perlu 

dihentikan satu minggu sebelum misalnya 

pencabutan gigi. 

Dosis: pada nyeri dan demam oral 4 x sehari 

0,5-1 g p.c., maksimal 4 g sehari, anak-anak 

sampai 1 tahun 10 mg/kg 3-4 kali sehari, 1-12 

thn 4-6 x sehari, di atas 12 thn 4 x sehari 320-

500 mg, maksimal 2 g/hari. Rektal dewasa 4 

x sehari 0,5-1 g, anak-anak sampai 2 thn 2 x 

sehari 20 mg/kg, di atas 2 thn 3 x sehari 20 

mg/kg sesudah makan. Pada rema oral dan 

rektal 6 x sehari 1 g, maksimal 8 g/hari, pada

serangan migrain dosis tunggal dari 1 g, 15-

30 menit sesudah minum domperidon atau 

metoklopramid. Untuk prevensi sekunder 

infark jantung 1 x sehari 100 mg dan sesudah  

TIA 1 x sehari 40-100 mg dengan dosis awal 

100 mg.

* Bentuk-bentuk asetosal yang larut dalam 

air:

– karbasalatkalsium (Ascal) yaitu  garam 

kalsium dari asetosal, yang air kristalnya diganti dengan urea (1951). Garam ini 

tidak bereaksi asam dan kurang merangsang mukosa lambung (100 mg Ascal = 80 

mg asetosal).

– lisin-asetosal yaitu  senyawa yang setelah larut terurai dalam bentuk asam 

amino lisin dan asetosal, yang kemudian 

dihidrolisis menjadi salisilat. Kombinasi 

(1620 mg) dengan metoklopramid (10 mg) 

dianjurkan terhadap migrain (Migrafin).

a. Diflunisal (Diflonid, Dolocid) yaitu  derivat 

difluorfenil (1980) dengan khasiat dan efek 

samping lebih kurang sama. Khasiatnya

analgetik, anti radang dan urikosurik (mengeluarkan asam urat). Daya menghambat 

agregasi ringan dan baru tampak pada dosis 

tinggi, yaitu di atas 2 g/hari. PP-nya lebih 

tinggi (99%), t½-nya lebih panjang dan tergantung dari dosis: 8 dan 15 jam pada masingmasing 250 dan 1000 mg. Zat ini tidak dihidrolisis menjadi asam salisilat. Ekskresinya 

terutama melalui urin sebagai glukuronida. 

Jarang mengakibatkan perdarahan lambung 

usus. 

Dosis: untuk nyeri, juga rema, permulaan 

0,5-1 g, disusul dengan 2 x sehari 0,25-0,5 g, 

maksimal 1,5 g/hari. 

b. Benorilat (Bentum, Benortan) yaitu  ester 

asetosal dengan parasetamol (1972). sesudah  

resorpsi segera dihidrolisis menjadi asam 

salisilat dan parasetamol. Plasma-t½ ±1 jam. 

Gangguan lambung usus lebih jarang terjadi 

dibanding dengan asetosal.

Dosis: maksimal 4 x sehari 0,5-1 g.

c. Salisilamida (F.I.) (salamid, *Neozep, *Refagan) yaitu  derivat salisilat dengan khasiat 

lebih lemah di semua bidang. Efeknya kurang dapat dipercaya. Di dinding usus mengalami FPE besar, sehingga dosisnya harus 

tinggi. Zat ini sering mengganggu pencernaan; perdarahan samar jarang timbul dibandingkan dengan asetosal. Pada overdosis 

dapat terjadi hipotensi, depresi SSS dan terhentinya pernapasan. pemakaian nya sudah 

dianggap kuno. 

Dosis: 3-4 x sehari 0,5-1 g.

d. Natriumsalisilat (F.I.) (*Nephrolit, Enterosalicyl) lebih lemah khasiatnya dibandingkan 

dengan asetosal. Efek sampingnya lebih kurang sama, kecuali tidak menghambat agregasi trombosit. 

Dosis: 4-6 x sehari 1-1,5 g, maksimal 12 g/

hari.

e. Metilsalisilat (Wintergreen oil, *Sloan’s liniment) yaitu  cairan berbau khas yang diperoleh dari daun dan akar tumbuhan akar 

wangi (Gaultheria procumbens). Zat ini juga 

dibuat sintetik. Khasiat analgetik pada penggunaan lokal sama dengan senyawa salisilat 

lainnya. Metilsalisilat diresorpsi baik oleh 

kulit dan banyak dipakai  dalam obat 

gosok dan krem (3-10%) untuk nyeri otot,

sendi, dan lain-lain. pemakaian  oral sebanyak 

30 ml sudah fatal, terutama anak-anak sangat 

peka terhadap obat ini.

* Glikolsalisilat (*Sloan’s balsem, Menthoneurin) yaitu  ester lain dari asetosal yang 

juga banyak dipakai  dalam obat gosok 

untuk nyeri otot (1-16%).

3. Fenilbutazon: Butazolidin, *New Skelan, 

*Pehazon/forte.

Derivat pyrazolidin ini (1949) mirip rumus 

intinya dengan fenazon. Khasiat anti radangnya lebih kuat daripada daya kerja

analgetiknya. Oleh karena itu obat ini khusus 

dipakai  untuk jenis artritis tertentu, seperti 

derivatnya oksifenilbutazon (Tanderil). Lihat 

selanjutnya Bab 21, Analgetika Anti radang.

Penyalahgunaan. Kadangkala fenilbutazon

dibubuhkan secara ilegal (tanpa dicantumkan 

pada etiket) pada produk dari pabrik-pabrik 

kecil asing (Hongkong) atau sering kali dalam 

minuman tonik (dengan Ginseng) untuk 

keadaan lesu, letih, nyeri otot dan perasaan 

lemah. Adakalanya obat ini dikombinasi dengan kortikosteroid, yang membuat obat-obat 

demikian sangat berbahaya karena efeknya 

merusak sel-sel darah dan efek melemahkan 

sistem imun.

Efek samping serius, antara lain terhadap 

darah dan lambung, sehingga di banyak 

negara Barat sudah ditarik dari peredaran 

sejak akhir tahun 1980-an. Kadangkala fenilbutazon masih dipakai  untuk nyeri otot 

dalam bentuk krem 5%. Dosis: pada serangan rema atau encok oral 

dan rektal 2-3 x sehari 200 mg.

4. Glafenin: Glaphen, Glifanan.

Glafenin yaitu  suatu derivat 4-aminokinolin (seperti obat rema klorokuin), yang 

terikat pada asam antranilat (1965). Pada 

dosis biasa obat ini tidak berdaya antipiretik 

atau anti radang; potensi kerja analgetiknya 

dapat disamakan dengan asetosal.

Resorpsi di usus cepat; di dalam hati zat 

ini dirombak menjadi asam glafeninat, yang 

mungkin berperan utama bagi efek anti 

nyerinya. Plasma-t½ 1-2 jam dan daya kerjanya ± 5 jam.

Efek sampingnya berupa gangguan lambung 

usus, mengantuk dan pusing. Yang lebih 

serius yaitu  reaksi anafilaktik, kerusakan 

hati dan anemia hemolitik, yang adakalanya 

berakibat fatal. Oleh karena itu sejak tahun 

1992 di banyak negara Eropa, termasuk Belanda, glafenin sudah ditarik dari peredaran 

oleh produsennya.

Dosis: permulaan 400 mg, lalu 3-4 x sehari 

200 mg, maksimal 1 g sehari.

* Asam mefenamat (Ponstan) yaitu  juga 

derivat antranilat dengan khasiat analgetik, 

antipiretik dan anti radang yang cukup 

baik. Obat ini banyak sekali dipakai  sebagai obat nyeri dan rema. Efek samping 

yang paling sering terjadi yaitu  gangguan 

lambung usus. 

Dosis: permulaan 500 mg, lalu 3-4 x sehari 

250 mg sesudah makan.

5. Parasetamol: asetaminofen, Panadol, Tylenol,

Tempra, *Nipe, Dumin

Derivat asetanilida ini yaitu  metabolit 

dari fenasetin yang dulu banyak dipakai  

sebagai analgetik, tetapi pada tahun 1978 

telah ditarik dari peredaran karena efek 

sampingnya (nefrotoksik dan karsinogen). 

Khasiatnya analgetik dan antipiretik, tetapi 

tidak anti radang. Dewasa ini pada umumnya 

dianggap sebagai zat antinyeri yang paling 

aman, juga untuk swamedikasi (pengobatan 

mandiri). Efek analgetiknya diperkuat oleh 

kodein dan kofein dengan kira-kira 50%.

Dianjurkan untuk sebaiknya tidak menggunakan parasetamol pada anak-anak yang 

hanya menderita demam karena mengganggu respons imun. 

Ref.: E de Bont et al. Wel of geen paracetamol 

bij kinderen met koorts? NTvG 2014;158

Resorpsi dari usus cepat dan praktis tuntas, 

secara rektal lebih lambat. PP ±25%, plasma-t1/2 1-4 jam. Antara kadar plasma dan 

efek tidak ada hubungan. Dalam hati zat 

ini diuraikan menjadi metabolit-metabolit 

toksik yang diekskresi melalui urin sebagai 

konyugat glukuronida dan sulfat. 

Efek samping tak jarang terjadi, antara lain 

reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah. 

Pada pemakaian  kronis dari 3-4 g sehari 

dapat terjadi kerusakan hati dan pada dosis 

di atas 6 g mengakibatkan nekrosis hati yang 

tidak reversibel. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolit-metabolitnya yang 

pada dosis normal dapat ditangani oleh glutathion (suatu tripeptida dengan gugus -SH). 

Pada dosis di atas 10 g persediaan peptida 

tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat protein dengan gugusan-SH di sel-sel 

hati dan terjadilah kerusakan irreversibel. 

Dosis 20 g sudah berefek fatal. Overdosis

dapat menimbulkan a.l. mual, muntah dan 

anoreksia. Penanggulangannya dengan cuci 

lambung, di samping perlu pemberian zat 

penawar (asam amino N-asetilsistein atau 

metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 

8-10 jam sesudah  intoksikasi. 

Wanita hamil dapat menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi 

walaupun dikeluarkan melalui air susu ibu.

Interaksi. Pada dosis tinggi dapat memperkuat 

efek antikoagulans tetapi pada dosis biasa 

tidak interaktif. Masa paruh kloramfenikol 

dapat sangat diperpanjang. Kombinasi dengan obat AIDS zidovudin meningkatkan 

risiko neutropenia.

Dosis: untuk nyeri dan demam oral 2-3 

x sehari 0,5-1 g, maksimal 4 g/hari, pada 

pemakaian  kronis maksimal 2,5 g/hari. 

Anak-anak: 4-6 x sehari 10 mg/kg, yaitu ratarata usia 3-12 bulan 60 mg, 1-4 thn 120-180 

mg, 4-6 thn 180 mg, 7-12 thn 240-360 mg, 4-6 

x sehari. Rektal 20 mg/kg setiap kali, dewasa 

4 x sehari 0,5-1 g, anak-anak usia 3-12 bulan 

2-3 x sehari 120 mg, 1-4 thn 2-3 x sehari 240

mg, 4-6 thn 4 x sehari 240 mg dan 7-12 thn 2-3 

x sehari 0,5 g.

* Saridon = parasetamol 250 mg + propifenazon 150 mg + kofein 50 mg

* Sanalgin=parasetamol 250 + propifenazon 

250 + kofein 46 mg

* Finimal  =  parasetamol 500 + vit C 100 + 

kofein 50 + aspartam 10 mg

* Artrosan = parasetamol 500 + vit C 50 mg 

+ sitrat Na 500 mg (sachet)

* Coldrex = parasetamol 500 + vit C 30 mg 

+ sitrat Na 500 mg (sachet)

6. Tramadol: Tramal, Theradol

Analgetik opiat (1977) ini tidak menekan 

pernapasan dan praktis tidak memengaruhi 

sistem kardiovaskuler dan motilitas lambung 

usus. Karena praktis tidak bersifat adiktif 

di kebanyakan negara termasuk negara kita , 

obat ini tidak dimasukkan dalam Daftar 

Narkotika. Efek analgetik dari 120 mg 

tramadol oral setaraf dengan 30-60 mg morfin. 

Obat ini dipakai  untuk nyeri yang tidak 

terlampau hebat bila kombinasi parasetamol, 

kodein dan NSAIDs kurang efektif atau tidak 

dapat dipakai . Untuk nyeri akut atau 

pada kanker, morfin umumnya lebih ampuh. 

Lihat selanjutnya Bab 22, Analgetik Narkotik. 

Tramadol tidak dianjurkan selama kehamilan 

dan laktasi.

Dosis: anak-anak 1-14 tahun 3-4 x sehari 1-2 

mg/kg. Di atas 14 tahun 3-4 x sehari 50-100 

mg, maksimal 400 mg sehari. 

* Zaldiar, Ultracet* = tramadol HCl 37,5 + 

parasetamol 325 mg

7. Levomepromazin: Nozinan

Derivat fenotiazin ini berkhasiat analgetik 

pada nyeri sedang sampai hebat dan terutama 

diberikan sebagai obat tambahan pada pasien-pasien rawat, berefek antipsikotik, sedatif dan antikolinergik.

Absorpsi dari tablet 70-90% dan BA-nya 

50% akibat FPE besar. Kadar maksimal dalam 

darah dicapai sesudah  1-4 jam (per oral) dan 

sesudah  injeksi i.m 0,5-1,5 jam.

Dari dua metabolitnya hanya satu yang 

berkhasiat antipsikotik. Waktu paruhnya 

15-78 jam, ekskresi melalui urin dan tinja.

Efek sampingnya berkaitan dengan kerja 

antipsikotik yaitu: hilang inisiatif dan emosi 

datar. Sering kali juga melamun dan rasa

kantuk pada awal terapi, pada dosis lebih 

tinggi hipotensi ortostatik. Juga mulut kering, gangguan penglihatan, retensi urin, 

nausea dan muntah.

Dosis : nyeri hebat 2-5 x sehari 50 mg, bila 

perlu berangsur-angsur dinaikkan sampai 

300-500 mg sehari, parenteral i.m dalam 12,5-

25 mg, sesudah  beberapa hari diganti dengan 

tablet. Nyeri sedang : 4-6 x sehari 12,5 mg dan 

i.m 3-4 x sehari 10-15mg.




ANALGETIKA ANTIRADANG 

DAN OBAT-OBAT REMA

Artritis yaitu  nama gabungan untuk lebih 

dari seratus penyakit, yang semuanya bercirikan rasa nyeri dan bengkak, serta kakunya otot dengan terganggunya fungsi alatalat gerak (sendi dan otot). Yang paling banyak ditemukan yaitu  artrose (arthritis deformans), umumnya tanpa peradangan, lalu 

rematik (arthritis rheumatica) dengan peradangan, spondylosis dengan radang tulang 

punggung, sindroma Reiter (dengan radang 

ginjal dan selaput mata) dan encok. Penyakit 

lainnya yang jarang ditemukan, antara lain 

rema akut (septicarthritis) dan rema jaringan 

lembut yang menghinggapi jaringan otot.

ARTROSE

Artrose (arthritis deformans) (Yun. arthron = 

sendi, Lat. deformare = cacat bentuk), disebut 

juga osteoartrose atau osteoarthritis. Bercirikan degenerasi tulang rawan yang menipis sepanjang progres penyakit, dengan pembentukan tulang baru, hingga ruang di antara 

sendi menyempit. Lazimnya peradangan

hanya sementara dan berbeda dengan rema, 

bersifat lokal dan tidak sistemik. Artrose 

terutama sering menghinggapi sendi dengan 

pembebanan besar seperti lutut (pada orang 

gemuk) dan pinggul, tetapi sering pula tangan 

dan kaki berciri penonjolan-penonjolan keras 

(tulang) yang umumnya tidak nyeri. Menurut 

perkiraan, 20% penduduk suatu negara menderita artrose, termasuk 50% dari lansia di 

atas usia 50 tahun (kebanyakan wanita). 

Penyebabnya dapat bermacam-macam, antara lain sendi yang dibebani terlalu berat 

dengan kerusakan mikro yang berulangkali, seperti pada orang yang terlampau gemuk. Begitupula akibat artritis septis atau 

artritis lain dan tumbuhnya pangkal paha 

secara abnormal (dysplasia). ada  faktor 

keturunan kuat. Hanya sebagian kecil kasus 

yang disebabkan keausan akibat pemakaian  

terlalu lama dan berat. 

Diagnosis. Berlainan dengan rema dan encok, artrose tidak dapat didiagnosis dengan 

jalan tes darah seperti laju endap eritrosit, 

kadar hemoglobin (Hb) dan faktor-faktor darah tertentu, karena nilai ini semuanya normal.

Terapi hanya berupa simtomatik dengan 

analgetika antiradang (NSAIDs) untuk melawan rasa nyeri, juga pemakaian  kalor 

setempat bekerja meredakan. Di samping itu 

perlu terapi untuk mengendalikan berat badan dan sikap tubuh yang tepat, bergerak 

secara teratur, makan sehat dan menghindari cedera. Sejak beberapa tahun mulai digunakan kombinasi glucosamin dan chondroitin untuk penanganan artrose, kerap 

kali dengan tambahan MSM (metilsulfonilmetan). Obat-obat ini ternyata efektif untuk 

mengurangi rasa nyeri, memperbaiki fungsi 

sendi yang terganggu dan menstimulasi 

pembentukan tulang rawan baru. Vitamin 

C dan elemen spura mangan meningkatkan 

keampuhannya, juga antioksidansia lain seperti vitamin A, C, E dan selenium. Belum 

ada data mengenai berapa lama obat-obat ini 

harus diminum. Untuk pentakarannya lihat 

di bawah (Monografi).

Selain pengobatan juga fisioterapi dengan

latihan gerak untuk memelihara tenaga otot 

dan kondisi tulang rawan penting sekali. 

Dewasa ini untuk kasus parah seperti sendi 

yang rusak (pinggul, lutut) sering kali diganti dengan protese buatan melalui pembedahan.


SPONDILOSIS

Spondilosis (spondylitis ankylopoetica, penyakit Bechterew) yaitu  artrose dari tulang 

punggung. Penyebabnya yaitu  peradangan 

dari urat-urat dan jaringan yang dibutuhkan untuk pergerakan punggung. Akibatnya 

ruas-ruas (discs) melengkung dan tumbuhnya 

tulang berlebihan, yang dapat menimbulkan 

pertumbuhan menyatu. Akhirnya penderita 

menjadi bungkuk. Umumnya spondilosis dimulai antara usia 15-25 tahun dengan nyeri 

pinggang (“low back pain”) dengan peradangan dan kekakuan pada pagi hari (morning 

stiffness).Penyakit ini bersifat menurun dan 

sering kali diawali dengan peradangan di 

usus atau akibat infeksi veneris. Menurut 

perkiraan suatu antigen mikrobial, mungkin 

infeksi viral, disebarkan dari usus ke sendisendi, yang mengakibatkan aktivasi granulosit, produksi sitokin dan peradangan. 

Darah dari kebanyakan penderita spondilosis mengandung antigen lekosit tertentu, 

yaitu HLA-B27, yang berperan melawan peradangan. Seperti diketahui HLA (Human 

Leucocyte Antigen) penting bagi pengenalan 

kelompok lekosit seseorang pada transplantasi organ dan dapat disamakan dengan 

golongan darah A, B, AB, dan O. Lihat Bab 

49, Dasar-dasar imunologi.

Terapi ditujukan untuk mengurangi rasa 

nyeri dan peradangan dengan NSAIDs. Yang 

penting yaitu  gerak badan dan perbaikan 

sikap tubuh untuk meningkatkan kekuatandan kelenturan. Penderita dianjurkan tidur 

tengkurap untuk menghindari tulang punggung membengkok ke depan.

REMA JARINGAN LEMBUT

Rema “soft tissue“ juga termasuk kelompok 

penyakit degeneratif seperti artrose, tetapi di 

sini bukannya tulang rawan (sendi) melainkan otot, urat dan jaringan ikat yang dihinggapi dan dirusak. Penyakit ini jarang berlangsung progresif dan kebanyakan bersifat selflimiting. Yang paling sering ada  yaitu  

fibromyalgia, bursitis dan frozen shoulder. Sebagai contoh daripenyakit jaringan ikat (collagen) autoimun dapat disebut Systemic lupus 

erythematosus (SLE) dan polymyalgia.

* Fibromyalgia (fibromyositis), suatu penyakit mutakhir,yang kerapkali juga dianggap 

bersifat auto-imun dan bercirikan peradangan kronis dari jaringan ikat dengan rasa penat terus-menerus. Juga nyeri otot dan urat 

dari alat gerak yang berselang-seling dan sering diperhebat oleh stres dan hawa dingin. 

Gangguan tidur lazim terjadi dengan tidak 

adanya tidur-REM (lihat Bab 24).

Diagnosisnya sukar dan hanya dengan jalan 

meniadakan gangguan lain (rema, artrose, 

penyakit otot), disebabkan tidak adanya gambaran penyakit yang khas, yaitu kelainan fisik 

yang menyebabkan sindromnya. Juga tidak 

ada  marker biologik (darah). Gangguan mutakhir lain dengan diagnosis sulit ada-

lah whiplash (penyakit “sentakan”) dan ME 

(Myalgic Encephalomyelitis), lebih tepat disebut CFS (Chronic Fatigue Syndrome) yang kerapkali belum diakui sebagai penyakit “resmi” karena tidak ada  bukti fisik. Baru 

pada awal 2012 ditemukan suatu retrovirus

sebagai penyebab CFS dan telah dimulai penyelidikan untuk obat antiviralnya.

Terapi fibromyalgia terdiri atas latihan merentang (stretching), masase dengan penggunaan kalor untuk. memperbaiki kondisi. Ritme tidur dapat diperbaiki dengan amitriptilin, nyeri dapat dilawan dengan parasetamol atau NSAID, bila perlu ditambahkan 

relaksansia otot dan anestetika lokal. Penanganan alternatif terhadap rasa penat guna 

meningkatkan energi tubuh terdiri dari asam 

amino karnitin atau asetilkarnitin (3 dd 500 

mg) bersama ubikuinon (koenzim Q10, 1x 

100mg) 

* SLE (Systemic lupus erythematodes) yaitu  

sejenis rema jaringan ikat yang bercirikan 

nyeri sendi (artralgia), demam, malaise umum 

dan erythema dengan pola berbentuk kupukupu khas di pipi muka. Sebagai penyakit 

autoimun darah mengandung antibodies 

yang beredar terhadap IgG dan imunokompleks, yaitu kompleks antigen-antibodikomplemen yang dapat mengendap dan 

mengakibatkan radang pembuluh darah 

(vasculitis) dan radang ginjal. Sama dengan 

rematik, SLE juga yaitu  penyakit 

autoimun, tetapi jauh lebih jarang terjadi 

dan terutama timbul pada wanita. Sebabnya 

tidak diketahui, penanganannya dengan 

kortikosteroida atau alternatif dengan 

sediaan enzim (papain 200 mg + bro-melain 

110 mg + pankreatin 100 mg + vitamin E 10 

mg) 2 dd 1 kapsul.

* Polymyalgia rheumatica, juga disebut rema otot yaitu  juga penyakit autoimun yang 

diderita manula dengan nyeri otot pada bahu, tengkuk, punggung dan gelang panggul. Terapi standar yang ampuh terdiri dari 

kortikosteroida..

E N C O K

Encok (arthritis urica, gout) yaitu  suatu gangguan pada metabolisme asam urat, 

yang berakibat mengendapnya kristal-kristal natriumurat di sendi-sendi, jaringan lembut (tophi) dan ginjal (batu ginjal). Yang akan 

dibahas lebih lanjut di sini yaitu  obat terhadap khususnya arthritis rheumatica, artrosis dan encok. 

1. OBAT-OBAT REMATIK

Arthritis rheumatica, singkatnya AR atau

RA, rematik atau rema yaitu  penyakit sendi 

kronis dan sistemik yang termasuk kelompok gangguan autoimun. Bercirikan perubahan-perubahan beradang kronis dari sendi 

dan membrannya (synovium) dan kemudian 

destruksi tulang rawan dengan perubahan anatomis. Rema terutama timbul pada persendian 

tangan dan kaki, lutut, bahu dan tengkuk. 

Berlainan dengan artrose yang yaitu  

penyakit tulang rawan tanpa faktor imun, 

rema yaitu  penyakit sendi yang disebabkan 

peradangan auto-imun. RA sebagai penyakit 

inflamasi sendi dengan efek-efek sistemik 

meningkatkan risiko cardiovaskuler dengan 

hampir 2 kali.

Gejalanya yang khas berupa bengkak dan

nyeri simetris di sendi-sendi tersebut. Nyeri 

ini paling hebat pada waktu bangun pagi 

dan umumnya berkurang sesudah  melakukan 

aktivitas. Nyeri di waktu malam dapat menyulitkan tidur. Sendi-sendi ini menjadi kaku pada waktu pagi (morning stiffness), sukar 

digerakkan dan kurang bertenaga, khususnya sesudah  bangun selama 1 jam lebih. Pada 

artrose sendi gejala kaku juga terjadi, tetapi 

umumnya hilang sesudah ±15 menit. Gejala 

lainnya yaitu  perasaan lelah dan malaise 

umum. Pada ±20% dari penderita ada  

benjolan-benjolan kecil di bawah kulit (noduli), terutama di jeriji serta pergelangan 

tangan dan kaki. 

Jalannya penyakit. Rema berlangsung dengan serangan bergelombang secara progresif, artinya berangsur-angsur bertambah 

berat akibat peradangan dan degenerasi tulang rawan. Sering kali penyakit ini mengakibatkan cacat –seperti pada artrose– akibat pertumbuhan sendi yang keliru, misalnya jeriji dan tangan menjadi bengkok.

Pembengkokan muncul terlebih dahulu di 

sendi jari pertama, dekat buku jari, sedangkan

pada artrose sendi jari ujung yang terkena 

dahulu. Progres rema sukar diramalkan, kadang-kadang kerusakan hanya terbatas, tetapi adakalanya terjadi destruksi hebat setelah beberapa tahun atau puluhan tahun, yang 

dapat menyebabkan invaliditas. Selain itu 

sering kali terjadi komplikasi-komplikasi di 

luar sendi (extra-articular), misalnya di paruparu, jantung, ginjal, kulit dan organ-organ 

lain.

Prevalensi. Sekitar 2% dari populasi menderita rema, baik di negara-negara tropik maupun di negara-negara berhawa dingin dan 

lembap seperti Eropa Barat. Insidensinya kirakira tiga kali lebih sering pada wanita daripada pria, sebagaimana halnya dengan kebanyakan penyakit artritis. Rema dapat timbul 

sejak usia 10 tahun, tetapi paling sering antara 

30-40 tahun; faktor keturunan memegang peranan yang nyata. 

Pathogenesis. Rema yaitu  suatu penyakit auto-imun, pada mana antibodi tubuh 

menyerang dan merusak sendi/jaringan sendi. Penyakit diawali dengan masuknya suatu antigen (entah mikro-organisme atau zat 

lain) ke dalam sirkulasi. Antigen ini dikelilingi oleh makrofag, tetapi tidak dimusnahkan atau dikeluarkan karena sebab-sebab 

yang tidak diketahui. Akibatnya yaitu  terbentuknya antibodi dari jenis IgM, yang 

disebut faktor rema. Antigen dan antibodi 

bergabung dengan komplemen dan menghasilkan suatu imunokompleks, yang kemudian menimbulkan serentetan reaksi peradangan. Akibat penggabungan ini antara 

lain terjadi pelepasan zat-zat chemotactic, 

dengan efek menarik lekosit tertentu (neutrofil) ke daerah peradangan (Yun. taxis =

pergerakan, regulasi). Dalam 24 jam kira-kira 

satu miliar lekosit neutrofil menginvasi sendi bersangkutan. Sel-sel penangkis tersebut 

“memakan” imunokompleks (fagocytosis), 

lalu mati sambil melepaskan enzim-enzim 

lysosomal seperti (gliko)protease dan fosfatase. 

Semua enzim ini dapat merusak tulang rawan dan bahan dasar tulang (matrix), sehingga akhirnya sendi hilang penyangga kejutnya. Lihat Gambar 21 dan Bab 49, DasarDasar Imunologi.

* Tulang rawan terdiri dari jaringan benangbenang kolagen kuat dengan di antaranya 

molekul-molekul besar dari proteoglikan

yang dapat menyerap air seperti spons Kadar air di dalam tulang rawan yaitu  80%. 

Fungsinya yaitu  sebagai penyangga kejut 

antara kedua kepala tulang dari sendi. Proteoglycan yaitu  molekul-molekul besar 

yang terdiri dari inti protein, tempat terikatnya zat-zat glucosaminoglycan (GAG), seperti chondroitinsulfat (CS) dan keratansulfat (KS). Fungsinya yaitu  untuk memelihara kelenturan dan melumasi tulang rawan. 

Bila tulang rawan mengalami kerusakan, 

maka permukaannya yang semula sangat 

licin, menjadi kasar seperti ampelas. Jaringan 

pecah antar-hubungannya dan proteoglikan 

dapat lolos. Akibatnya, tulang rawan hilang 

kekuatan dan kelenturannya. Berhubung tidak memiliki pembuluh darah atau neuron,

maka kerusakan sukar diperbaiki lagi. Bahan 

gizi dan oksigen hanya dapat diserap dari 

cairan synovial di ruang antara (lihat Gambar 21-1). Zat-zat perombakan dari tulang 

rawan terdiri atas radikal-radikal bebas

yang dapat mengakibatkan cacat lebih lanjut 

dengan ca-ra bekerja sebagai antigen baru dan 

siklus peradangan senantiasa berlanjut. Untuk 

menghentikan siklus ini dan menghindari 

kerusakan tulang (rawan) selanjutnya, maka 

perlu sekali demi kondisi sendi untuk melakukan gerak badan dan pembebanan sendi

agar cairan synovial bersama zat sampahnya 

diperas keluar dari tulang rawan (‘sponge 

effect’). Dengan demikian, akibat pergerakan 

ini, cairan sendi dipompa keluar-masuk yang 

berfungsi pemasukan gizi dan pengeluaran 

zat sampah, maka aktivitas ini penting sekali 

bagi pemeliharaan kondisi sendi.

Pada rema permukaan tulang rawan memperlihatkan bekas-bekas erosi akibat peradangan dan ruang antara sendi menyempit.

Diagnosis. Pertama-tama didasarkan atas 

gejala tersebut di atas yang dapat dipastikan melalui foto X-ray yang pada umumnya selama 6 bulan pertama belum memperlihatkan kelainan sendi. Selain itu di 

dalam darah dengan Tes fiksasi latex dapat 

ditentukan adanya faktor rema (= IgM), juga 

kenaikan laju endap eritrosit dan turunnya 

kadar hemoglobin (anemia), yang semuanya tidak spesifik bagi rema. Lebih khas yaitu  

tes endapan mucine dalam cairan sinovial 

serta pemeriksaan mikroskopis dari noduli 

subkutan dan jaringan sinovial, yang memperlihatkan kelainan-kelainan tertentu. Progres penyakit ditentukan dengan tes C-reactive protein (CRP), yang nilainya merupakan ukuran bagi hebatnya inflamasi.

Tindakan-tindakan umum.Tujuan pertama 

dari penanganan rema yaitu  menghindari 

memburuknya kekakuan sendi dan deformitas. Oleh karena itu fisioterapi dan latihanlatihan penting sekali untuk memelihara mobilitas sendi dan tenaga otot. Pembatasan 

bergerak terutama terjadi di bahu dan lutut. 

Di samping itu juga perlu untuk menyesuaikan pola hidup pada proses peradangan, 

hebatnya perubahan anatomis dan laju dari 

progres penyakit. Dengan demikian dapat 

dipelihara aktivitas sehari-hari sebanyak 

dan selama mungkin untuk dapat menjalani 

kehidupan normal.

Pengobatan 35,36

Terapi ditujukan pada penekanan gejalagejala, mengurangi kehilangan fungsi dan 

memperlambat progres destruktif, yaitu 

menghindari kerusakan sendi. Sejak beberapa tahun dianjurkan untuk sedini mungkin dimulai terapi dengan DMARDs (MTX 

atau sulfasalazin) untuk mencegah cacat 

sendi parah yang bersifat irreversibelselama 

beberapa tahun pertama. Bila efeknya kurang 

memuaskan dapat ditambahkan kortikosteroid. Untuk menanggulangi gejala nyeri, 

peradangan dan perasaan kaku dapat serentak diberikan analgetika antiradang.

Dalam dekade terakhir ada  banyak 

kemajuan penting untuk pengobatan RA, 

terutama bagi pasien yang tidak berhasil 

dengan obat tradisional seperti DMARDs. 

Yang terpenting yaitu  pengembangan suatu golongan obat yang disebut Biologic 

Response Modifiers atau biologics (lihat Bab 

14, MOABs), dalam mana termasuk obatobat Humira, Kineret, Remicade, Rituxan, Enbrel, Cimzia, Orencia, Actemra dan Simponi. 

Berbeda dengan obat tradisional, biologics 

ini mentarget komponen-komponen spesifik

dari sistem imun daripada memengaruhi 

banyak sudut dari sistem ini.

1. NSAIDs (non-steroidal anti-inflammatory 

drugs) sebagai analgetika antiradang sangat 

bermanfaat terhadap gejala rema. Zat-zat 

ini lebih efektif daripada analgetika perifer

(parasetamol, asetosal atau kombinasinya 

dengan obat lain). Respons individual untuk 

NSAIDs sangat bervariasi, maka sebaiknya 

dicoba beberapa obat untuk menentukan obat 

mana yang bekerja paling efektif bagi pasien 

tertentu. Setiap obat hendaknya diminum 

selama 1 minggu. Pilihan pertama yaitu  obat 

dengan relatif sedikit efek samping seperti

ibuprofen (4 dd 600 mg), naproksen (2 dd 500 

mg) dan diklofenac (3 dd 50 mg), atau juga 

obat selektif nabumeton, meloxicam atau 

celecoxib. Yang ternyata efektif untuk morning stiffness yaitu  zat-zat long-acting yang 

diminum sebelum tidur, misalnya diklofenac retard 75-100 mg. Sebagai obat tambahan 

kombinasi parasetamol dengan kodein adakalanya juga efektif. 

Efek samping: gastro-intestinal (perforasi, 

tukak, perdarahan), kardiovaskuler (tromboemboli) dan ginjal. 

 Efek samping gastro-intestinal timbul lebih sedikit pada ibuprofen, diklofenak dan 

NSAID’s COX-2-selektif, sedangkan gangguan kardio-vaskuler lebih ringan pada naproksen.

pemakaian  jangka panjang dari NSAID terutama bagi para lansia dianjurkan dengan 

penambahan suatu zat-pelindung lambung, 

untuk mencegah terjadinya komplikasi gastrointestinal, misalnya tukak lambung. Untuk ini dipakai  perintang pompa proton 

(protonpump inhibitors, PPI’s) (omeprazol, 

pantoprazol) atau H2

-blocker (kaptopril, enalapril), atau juga zat pelindung mukosa misoprostol. Sebaiknya dilakukan eradikasi dari kuman Helicobacter pylori sebelum dimulainya pengobatan menahun dengan NSAIDs, 

lihat juga Bab 16, Obat-Obat Lambung.

* Penghambat COX-2 yaitu  NSAID yang 

secara selektif menghambat enzim COX-2 

maupunpembentukan PgE2. Enzim COX-1 

tidak dihambat, sehingga prostacyclin (PgI2

)

dengan efek protektif terhadap mukosa 

lambung tetap dibentuk. Karena itu obatobat ini yang dipasarkan sejak tahun 1988 dianggap kurang toksik bagi lambung. Tetapi 

kemudian ternyata beberapa di antaranya 

meningkatkan risiko infark jantung akut dan 

kematian mendadak, sehingga dihentikan 

peredarannya di seluruh dunia [rofecoxib

(Vioxx) 9/2004 dan valdecoxib (Bextra) 

4/2005]. Dari kelompok COX-2 dewasa ini 

masih tersedia celecoxib(Celebrex), etoricoxib 

A. Biologicals. 

Senyawa-senyawa biologik yaitu  obat-obat mutakhir yang dibuat sintetik dengan meniru zat-zat 

tubuh (alamiah, imunoglobin) melalui cara-cara bioteknik rekombinan. Zat-zat ini seperti sitokinsitokin (abatacept, etanercept), interferon dan penghambat interleukin, monoklonal antibodies 

(MOABs), faktor-faktor pertumbuhan dan Tumor Necrosis Factor-blockers memegang peranan penting 

pada reaksi-reaksi imun. Antibodi monoklonal termasuk dalam kelompok yang disebut “biological” 

ini dan yaitu  protein-protein yang telah dimodifikasi dan dapat memengaruhi proses-proses 

imunologik.

Biologicals pada dekade terakhir semakin banyak disintesis dan meluas pemakaian nya antara lain 

untuk penanganan gangguan-gangguan autoimun, terutama penyakit usus beradang (bevacizumab 

dan cetuximab), rematik (infliximab), kanker payudara (trastuzumab),kanker darah (leukemia)

dan jenis-jenis neoplasma lain, juga untuk penyakit kulit bersisik (psoriasis), degenerasi macula 

(ranibizumab), asma parah (omalizumab) dan reaksi-reaksi transplantasi.pemakaian nya kebanyakan 

sebagai injeksi intravena dan mekanisme kerjanya melalui sejumlah cara, antara lain penghambatan 

berbagai reaksi imun dan penghentian efek peradangan dari zat-zat peradang seperti TNF dan 

Interleukin. Karena sintesisnya sulit dan dalam jumlah kecil, maka biaya pengobatan dengan 

menggunakan obat-obat ini sangat mahal, antara $20.000 – 50.000 setahun. Inilah sebabnya mengapa 

biologicals bukan yaitu  pilihan obat pertama, juga karena pengalaman pemakaian nya relatif 

singkat.

Kadangkala pada tahap awal efeknya baik, tetapi lambat laun dapat menurun karena pembentukan 

antibodies terhadap biologicals menghambat efektivitasnya. Pembentukan antibodies ini dapat 

dihindari dengan cara mengkombinasikannya dengan metotreksat atau DMARD. 

Dewasa ini biologicals tersebut di bawah terutama dipakai  pada sejumlah penyakit, yaitu:

a. rematik dan penyakit usus beradang kronis (Crohn dan Colitis ulcerosa): infliximab, etanercept, 

tosilizumab, adalimumab (Humira)

b. leukemia: interferon, rituksimab dan alembuzumab (Campath). Obat terakhir juga dipakai  

terhadap penyakit autoimun Multiple Sclerosis (MS)

c. kanker payudara,ginjal, paru: trastuzumab (Herceptin), bevasizumab (Avastin), imatinib (Glivec) 

dan bortizomib (Velcade)

Lihat juga Bab 14, Sitostatika

d. psoriasis: adalimumab, etanercept, infliximab dan yang terbaru ustekinumab (Stelara)

e. asma alergik: omalizumab (Xolair)

Biologicals kebanyakan dipakai  sebagai injeksi intravena atau infus, dan selalu harus didahului 

dengan pemeriksaan penderita bahwa tidak menderita penyakit infeksi, seperti tuberkulosis tak aktif 

atau hepatitis A, B dan C, agar supaya infeksi jangan mendadak memburuk dengan hebat, karena 

menyusutnya daya tahan imun tubuh.

Juga harus waspada terhadap infeksi nokosomial.

Efek samping: antibodi monoklonal pada umumnya lama diekskresinya, sehingga efek sampingnya 

seperti sesudah injeksi vaksin anti-flu dapat berlangsung lama sesudah  pengobatan dihentikan. 

Efek samping dari cara pemberian i.v. yaitu  malaise total, demam dan kedinginan, terutama pada 

pemberian pertama kali. Efek samping dari pemberian s.k. atau i.m. yaitu  berbagai reaksi kulit 

seperti memerah dan gatal. 

Keizer RJ, et al. Farmacokinetiek van monoklonale antilichamen. Ned Tijdschr Geneeskd 2007; 151: 

683-688.

Wanita hamil atau yang menyusui sebaiknya jangan diberikan biological karena belum diketahui 

efeknya terhadap janin dan bayi. 

Biological senantiasa dikombinasi dengen MTX atau DMARD klasik lain.




Bab 21: Analgetika Antiradang dan Obat-Obat Rema 333

Dosis dari beberapa obat yaitu :

– infliximab (Remicade) : 3 mg/kg, diulang sesudah  2 dan 6 minggu, lalu setiap 8 minggu per infus 

– etanercept : 2 x 25 mg/minggu atau 50 mg/minggu, i.v.

– adalimumab : 40 mg setiap 2 minggu, i.v.

– rituksimab : 2 x 500 mg per infus

– tosilizumab : 8 mg/kg (min 480 mg, maks 800 mg) setiap 4 minggu per infus

* Nomenklatur dari antibodi monoklonal

Semua antibodi monoklonal memiliki akhiran –mab (monoclonal antibodies) dengan sisipan yang 

menunjukkan asalnya: -xi- (chimeer) seperti cetuximab, infliximab;

- zu- (humanized) seperti bevacizumab, trastuzumab; -u- (humane) seperti adalimumab.

Sisipan lain menunjukkan jenis penyakit atau tujuan terapi:

– anib- seperti ranibizumab (perintang angiogenesis); 

– ci- seperti abciximab (cardiovasculair);

– li- seperti infliximab, omalizumab (imunomodulator);

– tu- seperti cetuximab, trastuzumab (tumor);

– vi- seperti palivizumab (viral)

- adalimumab : 40 mg setiap 2 minggu, i.v.

- rituksimab : 2 x 500 mg per infus

- tosilizumab : 8 mg/kg (min 480 mg, maks 800 mg) setiap 4 minggu per infus

* Nomenklatur dari antibodi monoklonal

Semua antibodi monoklonal memiliki akhiran –mab (monoclonal antibodies) dengan sisipan

yang menunjukkan asalnya: -xi- (chimeer) seperti cetuximab, infliximab;

- zu- (humanized) seperti bevacizumab, trastuzumab; -u- (humane) seperti adalimumab.

Sisipan lain menunjukkan jenis penyakit atau tujuan terapi:

 -anib- seperti ranibizumab (perintang angiogenesis);

 -ci- seperti abciximab (cardiovasculair);

-li- seperti infliximab, omalizumab (imunomodulator);

-tu- seperti cetuximab, trastuzumab (tumor);

-vi- seperti palivizumab (viral)

Nama generik Nama merk Indikasi

abciximab ReoPro prevensi komplikasi gangguan jantung pada intervensi koroner dan pada angina pectoris instabil

adalimumab Humira artritis rematoid, penyakit Crohn

alemtuzumab MabCampath leukemia kronik 

basiliximab Simulect prevensi penolakan organ pada transplantasi ginjal

bevacizumab Avastin penanganan metastasis pada kanker colon- dan rectum, kanker payudara, kanker paru, kanker sel

ginjal

cetuximab Erbitux penanganan kanker colorectaal bermetastasis

daclizumab Zenapax prevensi penolakan organ pada transplantasi ginjal

eculizumab* Solirus penanganan hemoglobinuri

efalizumab Raptiva penanganan psoriasis kronis

ibritumomab tiutexan Zevalin penanganan limfoma non-Hodgkin

infliximab Remicade artritis rematoid, penyakit Crohn, colitis ulcerosa, psoriasis

muromonab CD3 Orthoclone OKT3 penanganan penolakan organ sesudah  transplantasi ginjal, hati dan jantung

natalizumab Tysabri penanganan multipel sclerosis

omalizumab Xolair penanganan asma parah (>12 jaar)

palivizumab Synagis prevensi gangguan saluran udara bagian bawah akibat virus pada anak-anak

panutumumab Vectibix penanganan kanker kolorektal bermetastasis

ranibizumab Lucentis penanganan degenerasi macula karena usia

rituximab Mabthera penanganan limfoma non-Hodgkin, penanganan artritis rematoid parah

sulesomab LeukoScan khusus untuk diagnosis lokasi dan peradangan infeksi tulang pada dugaan oesteomyelitis

trastuzumab Herceptin penanganan kanker payudara

Tabel antibodi monoklonal dan indikasinya Tabel antibodi monoklonal dan indikasinya

B. TNF-alfa-blockers

Tumor necrosis factor yaitu  suatu pro-inflammatory cytokin yang menstimulasi peradangan dan 

berperan sentral pada proses peradangan dengan komponen imun (lihat Bab 14, Sitostatika dan Bab 

49, Dasar-dasar imunologi). Dengan mengikat dan menginaktifkan TNF-a, gejala RA dan penyakit 

Crohn dapat dikurangi dengan efektif dan sangat meringankan penyakit.



Seksi IV: Obat Susunan Saraf Pusat

Pengobatan dengan tumor necrosefactor (TNF)-alfa-blocker yaitu  penanganan drastik dari 

penderita penyakit Crohn maupun penyakit artritis rematoid (RA). Kedua penyakit ini yaitu  

gangguan peradangan kronis yang ditandai dengan selang-seling periode remisi dan kumat 

(eksaserbasi), yang mempunyai dampak besar terhadap keadaan fisik, sosial dan emosional pasien.

Pada rema dan penyakit Crohn ada  kadar TNF meningkat di masing-masing sendi dan mukosa 

usus halus. Obat-obat ini menurunkan dengan kuat CRP (faktor inflamasi, aktivasi penyakit) dan 

mungkin juga meringankan risiko cardiovaskuler. Beberapa senyawa anti-TNF yaitu  infliksimab, 

rituksimab dan tosilizumab (Actemra).

Efek sampingnya bisa sangat hebat, terutama supresi sumsum tulang yang menimbulkan kelainan 

darah yang berbahaya dan terutama infeksi misalnya reaktivasi penyakit tuberkulosa. Oleh karena itu 

pemakaian nya perlu disertai pemeriksaan hematologi, fungsi hati dan ginjal. Karena efek-efek yang 

merusak ini saling memperkuat, kombinasi perlu dipakai  dengan berhati-hati.

(Arcoxia) dan parecoxib(Dynastat) di tnf

2. DMARDs (disease-modifying antirheumatic 

drugs) dapat dibagi dalam klasik dan biologis. Berkhasiat anti-erosif, artinya dapat

menghentikan atau memperlambat progres kerusakan tulang rawan. Di samping itu memiliki khasiat antiradang kuat. Karena tidak 

bekerja analgetik, biasanya dikombinasi dengan NSAIDs. 

A.R. dianggap sebagai suatu gangguan yang relatif tidak ganas, sedangkan 

DMARDs yaitu  toksik bagi darah dan ginjal. 

Inilah sebabnya mengapa hingga sekitar 

tahun 1998 obat-obat ini baru diberikan 

pada rema aktif bila sudah tampak kerusakan sendi. Tetapi sejak beberapa tahun obatobat ini diberikan sedini mungkin – yaitu 

bila pemberian NSAIDs selama 6–12 minggu 

tidak meringankan gejalanya – agar supaya 

progres penyakit ditekan sebelum sendisendi dirusak secara struktural.

Mulai kerja obat-obat ini lambat sekali, 

baru sesudah  2-3 bulan dan mencapai efek 

optimalnya sesudah 6 bulan. sesudah  penggunaannya dihentikan efeknya masih bertahan beberapa waktu. Gejala terhadap sendi 

dapat diperbaiki secara dramatis dan disertai 

penurunan nilai IgM dan laju endap eritrosit. 

Berhubung efek sampingnya pemakaian  

DMARDs harus disertai monitoring fungsi 

sumsum tulang, hati dan ginjal secara periodik.

2a. DMARD’s klasik: mekanisme kerjanya 

belum dipahami dengan jelas dan seperti 

pada NSAIDs sering kali perlu dicoba beberapa jenis obat untuk menentukan obat 

mana yang paling efektif. Pada umumnya 

metotreksat, imunosupresiva, TNF-blockers 

dan penisilamin yaitu  obat yang ternyata paling efektif. Sulfasalazin, klorokuin dan auranofin kurang efektif tetapi efek 

sampingnya relatif tidak begitu hebat.

2b. DMARD’s biologis muncul di pasaran 

sesudah  tahun 90-an, lihat box Biologicals. 

Karena pengalaman dengan obat-obat ini 

masih terbatas dan harganya sangat mahal, 

maka hanya dipakai  sebagai pilihan 

kedua bila DMARD’s klasik tidak atau kurang memberikan efek. Begitu juga penggunaannya hanya bersamaan dengan obat 

lama seperti MTX atau leflunomida untuk 

mengurangi pembentukan antibodies yang 

dapat merintangi efektivitasnya. Mekanisme 

kerjanya sebagian melalui blokade TNF [infliximab, etanercept, adalimumab dan golimumab (Simponi)], atau melalui mekanisme 

lain, seperti abatacept (Orencia) melalui penghambatan aktivasi sel-T.

* Pilihan DMARDs. Di berbagai negara 

ada  skema-skema berlainan untuk pemilihan obat, maka urutan di bawah ini tidaklah 

mutlak dan dapat berbeda dengan kebiasaan 

sesuatu negara.

a. Imunosupresiva: metotreksat (MTX), leflunomida, azatioprin dan siklofosfamida. Sitostatika ini berkhasiat imunosupresif dan juga sangat efektif. Siklofosfamida umumnya diberikan sebagai obat 

cadangan pada kasus parah (vasculitis) 

yang mengancam jiwa.

b. Sulfasalazin atau hidroksiklorokuin sering kali dianggap sebagai pilihan pertama pada RA yang progresif parah, karena relatif lebih jarang menimbulkan 

efek samping pada pemakaian  jangka 

panjang. Klorokuin juga dapat dipakai  

tetapi risiko retinopati lebih besar.

c. Emas (auranofin) dan penisilamin digunakan bila obat-obat a) kurang memberikan hasil.

d. DMARDs biologis baru dipakai  sebagai tindakan terakhir bila obat klasik 

lain tidak ampuh (lagi) dan selalu dikombinasi dengan MTX atau DMARD lain.

3. Kortikosteroid sangat efektif tetapi sering 

kali mengakibatkan efek samping. Terapi 

perlu dihentikan dengan berangsur, oleh 

karena itu terutama dipakai  bila penyakit 

menjadi parah (exacerbatio). Misalnya pada 

penderita lansia, kumatnya penyakit dapat 

diatasi dengan dosis rendah prednisolon

(10 mg), yang sepanjang tahun dapat dikurangi sampai dosis pemeliharaan (5-2,5 mg 

sehari). Tetapi pada pasien yang lebih muda 

diperlukan dosis yang (jauh) lebih tinggi 

untuk waktu lama dengan risiko efek samping yang besar. Pada tahun-tahun terakhir 

telah dilaporkan kerusakan sendi lebih sedikit pada pemakaian  5 mg prednison sehari secara dini (Arch Int Med 2002; 136:1-

12). Kadangkala kortikosteroida dipakai  

melalui injeksi intra-artikuler pada keadaan 

kaku dan nyeri hebat di sendi, 

*Terapi kombinasi pada waktu dini yang 

terdiri dari sulfasalazin (2 g/hari berangsurangsur diturunkan sampai 500 mg) bersama

metotreksat (1 x seminggu 7,5 mg) dan prednisolon (dosis diturunkan dari 60 mg sampai 7,5 mg sehari dalam 6 minggu) menghasilkan remisi cepat dan menekan gejala 

akut. Manfaat besar dari terapi dini ini yaitu  

dihindarinya kerusakan irreversibel pada 

sendi.

4. Obat-obat alternatif: vit C, vit E, EPA/

DHA, bromelain dan papain. 

Vitamin C (1-2 dd 1 g p.c.) menghambat 

peradangan dan menginaktifkan radikal bebas (nyeri berkurang), seperti juga d-alfatokoferol (1 dd 2-400 U) dan EPA/DHA (2-3 

x 500 mg) yang menghambat sintesis PgE2.

Protease bromelain/papain (2 dd 100/200 

mg) berkhasiat terhadap peradangan melalui 

‘pelarutan’ kompleks imun antibody-antigen. 

Obat-obat ini dapat diminum sebagai 

makanan tambahan (food supplement) pada 

terapi regular.

ANALGETIKA ANTIRADANG 

(NSAIDs)

NSAIDs berkhasiat analgetik, antipiretik 

serta antiradang (antiflogistik) dan banyak digunakan untuk meredakan gejala penyakit 

rema seperti A.R., artrosis dan spondylosis.

Obat-obat ini juga efektif terhadap peradangan akibat trauma (pukulan, benturan, kecelakaan), juga misalnya sesudah  pembedahan, 

atau pada memar akibat olahraga. Digunakan pula untuk mencegah pembengkakan

bila diminum sedini mungkin dalam dosis 

yang cukup tinggi. Selanjutnya NSAIDs juga 

berkhasiat terhadap kolik saluran empedu 

dan kemih, serta keluhan tulang pinggang

dan nyeri haid (dysmenorroe). Akhirnya 

NSAIDs juga bermanfaat pada nyeri kanker

akibat metastasis tulang. Yang banyak digunakan untuk kasus ini yaitu  zat-zat dengan 

efek samping relatif kecil, yaitu ibuprofen, 

naproksen dan diklofenak.

Penggolongan. Secara kimiawi obat-obat ini 

biasanya dibagi dalam beberapa kelompok, 

yaitu:

a. salisilat: asetosal dan diflunisal. Dosis 

anti radangnya 2-3 x lebih tinggi daripada dosis analgetiknya. Berhubung risiko 

efek sampingnya, jarang dipakai  pada 

rema. Lihat selanjutnya Bab 20, Analgetika perifer.

b. asetat: diklofenac dan indometasin. Indometasin termasuk obat yang terkuat daya 

antiradangnya, tetapi lebih sering menyebabkan keluhan lambung-usus.

Ketorolac (Toradol) yaitu  suatu derivat heterosiklik dari asam asetat yang memiliki khasiat analgesik kuat tetapi efek 

antiradangnya agak kurang. 

c. propionat: ibuprofen, ketoprofen dan naproksen 

d. oxicam: piroxicam, tenoxicam dan melo-xicam.

e. pirazolon: (oksi) fenilbutazon dan azapropazon (Prolixan).

f. lainnya: mefenaminat, nabumeton, benzidamin dan bufexam