degenerasi lumbal 2


 n dengan ligamen posterior atau 

struktur musculotendinosus. Pernyataan lain yaitu  bahwa beberapa 

dari robekan ini mungkin melibatkan serabut otot atau dikaitkan 

dengan fraktur end-plate vertebra nondisplaced atau minimally displaced. 

Apapun penyebabnya, kondisi ini memiliki respons yang baik 

terhadap masa istirahat yang diikuti dengan dimulainya kembali 

aktivitas normal secara bertahap. 

 

Gambar 2.4. Gambaran klinis dari nyeri pinggang akut (tipe I), yang dapat 

merusak sejumlah struktur ligamen, otot, atau bahkan memicu  patah 

tulang end-vertebra. SLR, tes straight leg raising. 

TIPE II: INGESTI FLUIDA ORGANIK ATAU IDIOPATIS 

Serangan nyeri pinggang bawah dan kekakuan pada otot dapat 

diakibatkan oleh aliran cairan yang tiba-tiba ke nukleus pulposus 

karena beberapa alasan yang tidak diketahui. Charnley menyarankan 

bahwa aliran cairan ini  dapat mengganggu serat anular perifer, 

yang memicu  rasa sakit yang khas. Naylor mengemukakan 

bahwa peningkatan penyerapan cairan di dalam nukleus merupakan 

faktor penyebab rangkaian kejadian biokimiawi yang dapat memicu 

terjadinya penyakit pada  


diskus. Bukti tidak langsung menunjukkan bahwa peningkatan 

cairan dalam struktur diskus tidak memicu  nyeri tulang 

belakang. 

Gambar 2.5. Penyerapan cairan organik atau idiopatik (tipe II). Mekanisme 

ini dapat memicu  sebagian besar keluhan nyeri pinggang yang tidak 

terdiagnosis atau akibat adanya penyebab yang berbeda. 

TIPE III: DISRUPSI ANULUS POSTEROLATERAL 

Jika terjadi kegagalan atau terganggunya beberapa serat 

annular, iritasi posterolateral di wilayah ini dapat memicu  

nyeri pinggang dengan penjalaran ke daerah sakroiliaka, pantat, atau 

bagian belakang paha. Rasa sakit yang dirujuk ini disebabkan oleh 

stimulasi pelepasan sensorik oleh iritasi mekanis, kimia, atau 

inflamasi. Dengan demikian, "referred sciatica", seperti yang disebut 

Charnley, dibedakan dari nyeri pada pinggang yang sebenarnya 

dengan uji straight leg raising (SLR) dan defisit neuromuskular. Seperti 

yang disarankan, rasa sakit yang disebut ini dapat dijelaskan oleh 

teori "gate control". Referred sciatica ini  dapat sembuh dengan 

sendirinya melalui reabsorpsi atau netralisasi iritan dan/atau 

fagositosis serta penyembuhan tanpa rasa sakit dari serat anular yang 

terganggu.



TIPE IV: TONJOLAN PADA DISKUS 

Mekanisme lain yang kemungkinan menjadi penyebab dari 

nyeri pinggang bawah yaitu  nyeri pinggang yang diakibatkan oleh 

tonjolan pada nukleus pulposus yang ditutupi oleh serat annular dan 

ligamen posterior longitudinal. "Sciatica akut sejati" mungkin 

disebabkan oleh iritasi secara mekanis dan/ atau kimiawi, atau 

inflamasi pada akar saraf. Nyeri juga dapat ditemukan di bagian 

belakang, pantat, paha, kaki bagian bawah, bahkan kaki, dan 

mungkin akan bertambah dengan kondisi batuk dan bersin. Tes SLR 

akan didapatkan positif. Dalam situasi ini, pemeriksaan Radiografi 

biasanya tidak menunjukkan adanya penyempitan. Traksi atau 

manipulasi tulang belakang dapat mengubah mekanika, dan 

mungkin bersifat terapeutik. Dengan istirahat, iritasi bisa mereda dan 

tetap stabil, atau bisa kembali secara spontan setelah dilakukan 

mobilisasi.  

 

Gambar 2.6. Disrupsi anulus posterolateral (tipe III). Garis 

putus-putus mewakili kontur normal asli dari diskus. Nyeri 

pinggul dan paha merupakan nyeri rujukan dan bukan nyeri 

pinggang yang sesungguhnya. 


 

Gambar 2.7. Tonjolan pada diskus (tipe IV). Pada pasien dengan diskus yang 

menonjol, anulus akan ikut menonjol hingga memicu  iritasi pada akar saraf 

sehingga memicu  sciatica. Garis putus-putus menunjukkan posisi normal 

pinggiran annulus. 

 

 

TIPE V: SEQUESTERED FRAGMENT (Material Diskus yang 

keluar jalur) 

Tipe ini merupakan suatu keadaan dimana fragmen sequestra 

nukleus polposus yang masih berhubungan dengan .mulus fibrosus 

dan terkait dengan proses degeneratif pada diskus. Fragmen ini 

dapat bergerak secara acak tergantung besarnya kekuatan yang 

dihasilkan pada segmen akibat gerakan aktivitas individu. Gerakan 

ini dapat mengiritasi serat anular untuk memicu  sequestrum 

(dikarenakan pemecahan produk fisik dan kimia) dan menginisiasi 

nyeri pinggang dengan atau tanpa sciatica. Sekuestrasi dapat 

bergerak, sehingga dapat bersifat asimtomatik atau memicu  

beberapa kombinasi keluhan nyeri pada tulang belakang, yaitu nyeri 

yang menjalar, dan true radiculopathy. Karena pergerakan fragmen 

menunjukkan respon terhadap gaya pada segmen mobile vertebra, 

maka dapat dilakukan traksi axial atau manipulasi tulang belakang 

segmen mobile untuk menggerakkan sequestrum ini  secara 

sementara atau permanen ke lokasi yang tidak memicu  iritasi 

akar saraf.



 

 

 

            POSITIVE SLR                    SURGICAL EXCISION 

 

Gambar 2.8. Sequestered fragmen (diskus yang keluar jalur) (tipe V). 

 

Hasil terapi dengan pembedahan memberi  hasil lebih baik 

pada pasien dengan tipe V daripada tipe I sampai IV, tetapi 

mungkin tidak sebaik pada pasien tipe VI dan tipe VII. Diskus yang 

keluar jalur yaitu  penjelasan yang memungkinkan terhadap 

gambaran klinis dari eksaserbasi dan remisi yang sering ditemui. 

Ini juga sebagai penjelasan awal mengapa beberapa pasien 

menunjukkan respons yang baik terhadap traksi atau manipulasi 

TIPE VI: DISPLACED SEQUESTERED FRAGMENT 

(ANCHORED) 

Penyebab klinis dan mekanik lainnya dari nyeri pinggang 

bawah dan sciatica yaitu  bergesernya sekuestrum anulus atau 

nucleus ke dalam kanalis vertebralis atau foramen intervertebralis. 

Fragmen ini pada tingkat tertentu tetap pada posisinya. Iritasi akar 

saraf diakibatkan dari peradangan yang disebabkan oleh tekanan 

mekanik, iritasi kimia, respons autoimun, atau kombinasi dari 

ketiganya. True sciatica ditandai dengan SLR yang positif. Apabila 

fragmen dari diskus intervertebralis mengalami displaced 

(sequestration), maka dapat terjadi penyempitan interspace pada 

segmen vertebral yang terlibat. Traksi axial, manipulasi, dan  


Gambar 2.9. Tipe VI, ada  penyerapan dan perpindahan fragmen diskus, tapi 

ada beberapa anchoring ligamen sehingga diskus tidak bisa bergerak. Gerakan 

fragmen kemungkinan dapat dibantu oleh traksi atau manipulasi 

 

gerakan acak tidak dapat memberi  perbaikan. Chymopapain 

yang disuntikkan ke dalam ruang diskus mungkin tidak akan 

mencapai atau mempengaruhi sequestrum, terutama |ika jaringan 

parut atau penyumbatan terjadi pada struktur diskus. Bila keadaan 

ini membaik secara spontan, maka hal ini merupakan hasil 

fagositosis atau penyesuaian fisiologis struktur saraf terhadap 

iritasi. 

 

 

 

TIPE VII: DISKUS DEGENERATIF 

Degenerasi diskus melibatkan gangguan dari serat annular 

fibrus pada diskus yang normal, sehingga diskus tidak lagi mampu 

memberi  fungsi mekanik yang memadai. Gangguan ini dapat 

dikaitkan dengan proses degeneratif pada vertebral atau sendi 

intervertebralis. Nyeri mungkin kronis, berselang, atau bahkan 

tidak ada.  

PENYAKIT DEGENERASI LUMBAL I Diagnosis dan Tata Laksana 

60  

 

 

    

                             SPINE PAIN                                     ANALGESICS 

                             » SCIATICA                                SOMETIMES ARTHRODESIS 

                            ± SPINAL STENOSIS  

                                OSTEOPHYTES AND NARROWING 

 

Gambar 2.10. Disk yang degeneratif (tipe VI) dapat merupakan suatu proses 

akhir dari efek mekanis dan biologis yang mengalami degenerasi dan 

dikaitkan dengan rasa sakit dan disabilitas. 

Arthritis juga bisa terjadi pada sendi intervertebralis. Penting 

untuk ditekankan bahwa berbagai tahap ini merupakan suatu 

tahapan. Sebuah disk dapat bergerak, melambat, berhenti, atau, 

dalam beberapa kasus, bahkan dapat terjadi kemunduran. 


 

 

RESPON NYERI PADA 

DEGENERASI LUMBAL 

 


regenerasi lumbal terjadi akibat menurunnya komponen 

mekanis dan komponen kimiawi pada diskus. Hal ini 

disebabkan oleh karena proses penuaan dan diperberat 

oleh laktor lingkungan seperti trauma, aktifitas dengan high 

impact, jenis pekerjaan dan merokok. Proses degenerasi pada 

tulang belakang diawali dengan adanya degenerasi diskus. 

Degenerasi diskus ini memicu  ketidakstabilan segmental 

yang .ikan meningkatkan beban pada sendi facet dan 

memicu  kerusakan pada tulang rawan sendi. Pada proses 

degenerasi diskus akan terjadi penurunan jumlah cairan pada 

nukleus pulposus yang memicu terjadinya robekan pada 

annulus librosus. Robekan pada annulus fibrosus memicu 

pertumbuhan pembuluh darah baru dan nociceptor pada bagian 

luar dan dalam annulus. Stimulasi dari nociceptor dan stimulasi 

sitokin inflamasi akan memicu  hiperalgesia yang sering 

terjadi pada nyeri pinggang bawah. 

Respon Inflamasi pada Degenerasi Lumbal 

Mediator inflamasi memicu adanya nyeri melalui jalur 

biokimia. Adapun mediator yang terlibat antara lain IFN-y, IL- 

1(3, dan TNF-a. Produksi IL-6 juga meningkat secara signifikan 

oleh stimulasi dengan TNF-a. Pada tulang rawan sendi manusia, 

IL-6 menghambat sintesis proteoglikan, yang secara normal 

menjaga hidrasi nukleus pulposus dan mencegah pertumbuhan 

dari pembuluh darah. 

 

 

Cedera pada diskus intervertebralis dapat menginduksi sel 

diskus memproduksi mediator inflamasi: IL-ip, dan TNF-a. 

Interleukin-ip yaitu  sitokin utama yang bertanggung jawab 

memperluas respon inflamasi dari diskus, dan telah ditunjukkan 

bahwa peningkatan dari level IL-1(3 meningkat sesuai dengan 

keparahan degenerasi diskus. Selain itu IL-1(3 juga menginduksi 

Nitrit Oksida (NO), Interleukin-6 (IL-6) dan Prostaglandin E2 

(PGF2) yang nantinya akan mempercepat kaskade inflamasi. 

 

Gambar 2.11. Respon inflamasi terhadap degenerasi diskus 

Peran imunitas dalam degenerasi lumbal jauh lebih 

kompleks dan tidak hanya sel mast. Substance P juga merangsang 

kemotaksis dari sel imun ke dalam sendi, mengaktifkan 

neutrophil, sinoviosit dan makrofag, menstimulasi proliferasi 

limfosit, menginduksi lepasnya sitokin proinflamasi dan 

menstimulasi fagositosis. Sitokin TNF, IL-1 dan IL-6 diproduksi 

oleh makrofag, sinoviosit, sel mast, endotel, fibroblast dan  

 


kondrosit dalam sendi. Sitokin proinflamasi ini menstimulasi 

kondrosit, osteoklas, osteoblast, fibroblast, dan sinoviosit. Hal ini 

yang memicu  pertumbuhan berlebihan dari sinovium dan 

proliferasi fibroblast, produksi berlebihan dari enzim yang 

mendegradasi jaringan penghubung yang berasal dari sinoviosit, 

fibroblast dan kondrosit, prostaglandin akan memicu  

resorbsi berlebihan dari kalsium oleh sel tulang. 

Gambar 2.12. Peran Sitokin pada Respon Nyeri. Keratinosit dan fibroblast 

dalam kulit membuat, menyimpan dan melepaskan bentuk prekursor dari IL- 1 

Gambar 2.12. Peran Sitokin pada Respon Nyeri. Keretinosit dan Fibroblast 

dalam membuat, menyimpan dan melepasakan bentuk Prekursor dari IL-1(pro 

IL-1). Kerusakan kulit membuat sel mast yang berada dalam kulit akan 

bergabung dengan sel mast yang lainnya melakukan migrasi ke area trauma. Sel 

mast ini melepaskan TNF, IL-1, IL-6 dan chymase. Chymase berperan utk 

membelah dan mengaktifkan pro IL-1 menjadi aktif. IL-1 berikatan dengan saraf 

perifer terminal, memicu  aktivasi neural dan lepasnya Substance P. 

Aktivasi neural ini berikutnya akan memicu  aktivasi CNS, memicu  

hiperalgesia dan respon nyeri lainnya. Substance P yang dilepaskan dari saraf 

terminal ke kulit akan menginisiasi positive feedback loop, dimana Substance P 

akan menstimulasi sel mast dan makrofag untuk melepaskan lebih banyak lagi 

IL-1, TNF, IL-6 dan chymase



 

Jalur Nyeri pada Degenerasi Lumbal 

Sistem saraf untuk nosiseptif akan memberi otak informasi 

terhadap rangsangan sensorik yang berbahaya dan tidak berbahaya 

secara terpisah. Berdasarkan serabut sarafnya, klasifikasi nociceptor ada 2 

tipe yaitu serabut C (C fiber) dengan diameter lebih kecil, yang 

merupakan saraf tanpa myelin yang menginduksikan impuls saraf 

secara perlahan dan serabut Ab (Ab fiber) dengan diameter lebih besar, 

bermyelin yang menghantarkan impuls saraf lebih cepat. Sensasi nyeri 

ada 2 kategori yaitu epritic (di awal cepat dan tajam), dan protopathic 

(lambat, tumpul dan bertahan lama). Impuls cepat pada konduksi cepat 

dari serabut A6 menghasilkan sensasi nyeri tajam dan cepat, sedangkan 

nosiseptor serabut C yang lambat menghasilkan sensasi nyeri yang 

tertunda dan tumpul. Aktivasi perifer dari nociceptor (transduksi) 

dimodulasi oleh sejumlah zat kimia, yang dihasilkan atau dilepaskan 

saat  ada kerusakan sel (Tabel 2.1). Stimulasi yang berulang akan 

memicu  sensitisasi dari serabut saraf perifer yang memicu  

menurunnya ambang batas rasa sakit dan nyeri spontan. 

Pelepasan substasi kimia secara lokal seperti substance-P 

memicu  vasodilatasi dan edema serta melepaskan histamin dari 

sel mast, yang memicu  meningkatnya vasodilatasi. Kompleks 

sinyal kimia ini melindungi darah yang rusak dengan menghasilkan 

suatu keadaan yang membuat area ini  jauh dari stimulus mekanis 

atau lainnya. 

  


Dorongan penyembuhan serta proteksi terhadap infeksi dibantu 

oleh peningkatan aliran darah dan inflamasi yang merupakan fungsi 

protektif dari nyeri. 

Gambar 2.13. Beberapa substansi kimia yang dilepaskan pada kerusakan 

jaringan yang menstimulasi nociceptor 

Menurut Nilesh B.P. (2010), sensasi rasa nyeri dapat timbul karena 

adanya: 

1) Peradangan saraf, misalnya neuritis temporal. 

2) Cedera pada saraf dan ujung saraf 

3) Invasi ke saraf oleh kanker, misalnya, plexopathy brakialis. 

4) Cidera pada struktur di sumsum tulang belakang, thalamus, atau 

daerah kortikal yang memproses informasi nyeri, yang dapat 

memicu  rasa sakit yang hebat 

5) Aktivitas abnormal di sirkuit saraf yang dirasakan sebagai nyeri, 

misalnya, nyeri phantom dengan reorganisasi kortikal.  


 

Gambar 2.14. Jalur nyeri dari perifer menuju ke otak 

Pada jalur nyeri perifer ke otak, serabut afferen primer (serabut 

Ab-, Ad-, dan C-) mengirimkan impuls dari perifer, melalui dorsal root 

ganglion (DRG) dan ke kornu dorsal sumsum tulang belakang. 

Nosiseptif Spesifik (NS) sel terutama ditemukan di komu dorsal 

superfisial (Lamina I-1I), sedangkan yang kebanyakan wide dynamic 

ranges (WDRs) terletak lebih dalam (lamina V). Proyeksi neuron dari 

lamina I menginervasi

BAB II NYERI PINGGANG BAWAH (LOW BACK PAIN) 

 

 

 

daerah seperti daerah parabrachial (PB) dan periaqueductalgray matter 

(PAG) dan jalur ini  dipengaruhi oleh daerah limbik. lalu  

jalur ini turun (panah kuning) dari inti batang otak dan medula 

ventromedial rostral (RVM) diaktifkan untuk memodulasi pengolahan 

signal pada tulang belakang. Neuron lamina V terutama memproyeksi 

ke thalamus (traktus spinotalamikus), dan dari sini berbagai daerah 

korteks yang membentuk matriks nyeri (primer dan sekunder 

somatosensori, insular, anterior ringulate, dan korteks prefrontal) 

diaktifkan. 

Setelah cedera saraf atau inflamasi kronis, sel imun (makrofag dan 

limfosit T) migrasi dari pembuluh darah ke jaringan inflamasi dari 

proses ekstravasasi dan kemotaksis yang dikontrol oleh kemokin 

(Gambar 2.6). Sel imun mengeluarkan sitokin pro inflamasi (TNF-a), 

interleukin-1 (IL-l)dan interleukin- 6 (IL-6) dan kemokin yang 

menginisiasi dan menjaga pesan berbahaya (noxious). Selanjutnya, 

peptide opioid (lingkaran hijau) yang dihasilkan dari sel imun yang 

teraktivasi memberi efek antinosiseptif, melalui aktivasi dari reseptor 

peripheral, yang disintesis (seperti reseptor kemokin) pada ganglion 

akar dorsal. 

Pada ganglion akar dorsal, reseptor kemokin dan reseptor opioid 

co-expressed pada subpopulasi neuron sensori. Saat nyeri, kemokin 

disekresi oleh terminal aferen utama, dan dalam aksi ini sebuah otokrin 

atau parakrin menginduksi keluarnya calcitonin gene-related peptide 

(CGRP), Substance-P (SP) dan glutamate (Glu).


68  

 

 

 

Kemokin yang dilepaskan juga berpartisipasi dalam aktivasi 

neuran lini kedua pada medulla spinalis dorsal. Sebagai tambahan, 

interneuron yang teraktivasi mengeluarkan opioid endogen, yang 

lalu  memediasi analgesia dengan menghambat pelepasan SP, 

CGRP dan Glu dari terminal aferen utama, dan dengan 

hiperpolarisasi (melalui efflux K") dari neuron lini kedua. Pesan 

berbahaya yang naik lalu  diintegrasi di daerah otak bagian 

atas (thalamus, korteks cingulate anterior, basal ganglia dan 

amygdale). Sebagai gantinya, aktivitas yang terkoordinasi dari 

struktur sentral memodulasi sinyal nociceptive pada neuron aferen 

primer lini kedua yang bersinapsis melalui pelepasan opioid 

endogen dari proyeksi analgesik desenden dari 

 

Gambar 2.15. Potensi crosstalk antara reseptor kemokin dan reseptor opioid di 

jalur nociceptive 

BAB II NYERI PINGGANG BAWAH (LOW BACK PAIN) 

69  

 

 

 periaqueductual grey (PAG) dan rostral ventromedial medulla 

(RVM) menuju cornu dorsal spinalis serta memodulasi transient receptor 

potential subfamily V member I (TRPV). 

Daftar Pustaka 

Dugan T.R., Kang J.D. 2013. The role of inflammation in disc 

degeneration. In: Sharan A.D., Tang S.Y., Vaccaro A.R., editors. 

Basic Science of Spinal Diseases. 1st ed. India: Jaypee Brothers 

Medical Publisher, p. 85-94. 

Mello R.D., Dickenson A.H., 2008. Spinal Cord Mechanisms of Pain. 

British Journal of Anesthesia, 101 (1): 8-16 Nilesh B.P., 2010. Physiology 

of Pain. Guide to Pain Management in Low-Resource 

Settings.International Association for the Study of Pain,(3);13-17 

Parsadaniantz S.M., Rivat C., Goazigo A.R., 2015. Potensial sites of 

Crosstalk between Chemokine and Opioid Receptors in 

Nociceptive Pathways: a Promising Target for Pain Therapy. 

Nature Reviews Neuroscience. 16, 69-78. 

Watkins L.R., Maier S.F., Goehler L.E., 1995. Immune Activation: 

The Role of Pro-Inflammatory Cytokines in Inflammation, 

Illness Reponses and Pathological Pain States. Pain: Elsevier 

Science, 63:289-302.


70  

 

 

PERANAN INFLAMASI PADA PENYAKIT 

DEGENERATIF LUMBAL 

A A Wiradewi Lestari 

Degenerasi Lumbal 

roses degenerasi pada tulang belakang diduga diawali 

dengan adanya degenerasi disk. Degenerasi disk ini 

memicu  ketidakstabilan segmental yang meningkatkan 

beban pada sendi facet dan memicu  kerusakan pada tulang 

rawan sendi. Degenerasi tulangbelakang pada daerah lumbal yang 

melibatkan three joint complex, selalu diawali dengan degenerasi 

pada diskus intervertebralis, yang ditandai dengan penyempitan 

diskus intervertebralis, terbentuknya osteofit dan degenerasi pada 

sendi facet. Ketiga komponen ini saling mempengaruhi dan 

memicu  keluhan nyeri pinggang. Berbagai faktor diduga 

menjadi penyebab terjadinya nyeri pinggang antara lain: beban 

mekanik, usia, hormonal dan terjadinya proses inflamasi. 

Proses Inflamasi 

Pada reaksi inflamasi, banyak substansi berupa hormon dan 

faktor pertumbuhan yang dilepaskan oleh limfosit T dan B maupun 

oleh sel-sel lain yang berfungsi sebagai sinyal interseluler yang 

mengatur aktifitas sel yang terlibat dalam respon immune dan 

respon inflamasi baik lokal maupun sistemik terhadap rangsangan 

dari luar. Substansi ini secara umum disebut sitokin. Substansi yang 

dilepaskan oleh limfosit disebut limfokin, sedangkan yang 

dilepaskan oleh monosit disebut monokin. 

Sitokin ini berperan dalam pengendalian hemopoesis dan 

limfopoesis dan juga berfungsi dalam mengendalikan respon 

immune dan reaksi inflamasi dengan cara mengatur 

BAB II NYERI PINGGANG BAWAH (LOW BACK PAIN) 

 

 

pertumbuhan, dan mobilitas serta differensiasi leukosit 

maupun sel-sel lain. Pada reaksi inflamasi, sitokin yang berperan 

menstimuli terjadinya inflamasi pada sendi dikenal sebagai sitokin 

pro inflamasi misalnya TNF-a dan IL-6. Sedangkan sitokin yang 

berperan sebagai faktor penghambat sintesis disebut sitokin anti 

inflamasi misalnya IL-10. 

Sitokin yaitu  polipeptida yang diproduksi sebagai respon 

terhadap mikroba dan antigen lain yang memperantarai dan 

mengatur reksi imunologik dan rekasi inflamasi. Setiap jenis sitokin 

mempunyai struktur yang berbeda satu dengan yang lainnya, 

walaupun demikian ada beberapa sifat umum yang dimiliki 

bersama yaitu: 

1. Sekresi sitokin terjadi singkat dan tidak pernah disimpan 

sebagai molekul yang preformed dan sintesisnya biasanya 

diawali dengan transkripsi gen yang terjadi akibat stimulasi. 

Segera setelah disintesis, sitokin dengan cepat disekresikan 

dan menghasilkan aktivitas yang diperlukan. 

2. Aktivitas sitokin seringkah pleiotropic dan redundant. Pleiotropic 

berarti kemampuan satu jenis sitokin untuk merangsang 

berbagai jenis sel yang berbeda. Sedangkan redundant berarti 

banyak sitokin yang menghasilkan efek fungsional yang sama. 

3. Sitokin sering mempengaruhi sintesis dan aktivitas sitokin 

lainnya. 

4. Aktivitas sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sebagian besar 

sitokin bereaksi dekat dengan tempatnya diproduksi. Bila 

dalam sel yang memproduksinya disebut autocrine reaction, bila 

bereaksi pada sel yang berdekatan disebut paracrine reaction, 

dan bila diproduksi dalam jumlah yang banyak, masuk ke 

dalam sirkulasi dan bekerja sistemik disebut endocrine action. 

5. Sitokin merupakan mediator respon imun yang sangat poten 

dan mampu berinteraksi dengan reseptor pada permukaan sel.

6. Sinyal eksternal mengatur ekspresi reseptor sitokin, sehingga 

juga mengatur repon sel terhadap sitokin. 

7. Respon selular terhadap sebagian besar sitokin terdiri atas 

perubahan ekspresi gen pada sel sasaran yang berakibat 

ekspresi fungsi baru atau proliferasi sel sasaran. 

8. Respon seluler terhadap sitokin diatur secara ketat dan ada 

mekanisme umpan balik untuk menghambat dan menekan 

respon imun ini . 

Sitokin merupakan messenger kimia atau perantara dalam 

komunikasi interseluler yang sangat poten, aktif pada kadar yang 

sangat rendah (10'IO-1015 mol/L dapat merangsang sel sasaran). 

Seperti halnya hormon polipeptida, sitokin mengawali aksinya 

dengan berikatan dengan reseptor sitokin pada membran sel 

sasaran dengan afinitas yang sangat tinggi. 

Berdasarkan aktivitas biologik yang utama, sitokin dapat 

diklasifikasikan dalam 3 kelompok fungsional: 

1. Mediator dan regulator imunitas bawaan. 

Kelompok sitokin ini terutama diproduksi oleh fagosist 

mononuklear sebagai respon terhadap agen infeksi. Sebagian 

besar sitokin kelompok ini bekerja pada sel endotel dan 

leukosit untuk merangsang reaksi inflamasi dini dan sebagian 

lagi untuk mengontrol respon ini. 

2. Mediator dan regulator imunitas didapat. 

Diproduksi terutama oleh limfosit T, sebagai respon terhadap 

pengenalan antigen asing yang spesifik, berfungsi terutama 

untuk mengatur pertumbuhan dan diferensiasi berbagai 

populasi limfosit. Disamping itu juga berfungsi merekrut, 

mengaktivasi dan mengatur sel-sel efektor spesifik seperti 

fagosit mononuklear, neutrophil dan eosinophil untuk 

mengeliminasi antigen pada tahap  respon imun yang didapat.


BAB II NYERI PINGGANG BAWAH (LOW BACK PAIN) 

3. Stimulator hemopoesis. 

Sitokin ini diproduksi oleh sel-sel stroma dalam sumsum 

tulang, leukosit dan sel-sel lain, dan merangsang pertumbuhan 

dan diferensiasi leukosit imatur. 

Banyak sitokin yang telah teridentifikasi, baik struktur molekul 

maupun fungsinya. Beberapa diantaranya merupakan mediator 

utama yang meningkatkan reaksi imunologik yang melibatkan 

makrofag, limfosit dan sel- sel lain. Sehingga berfungsi sebagai 

imunoregulator spesifik maupun non spesifik. Mediator-mediator 

ini  ternyata mempunyai sifat biokimia dan sifat biologik serta 

fungsi yang serupa dan lalu  diberi nama interleukin (IL) yang 

berarti adanya komunikasi antar sel. Sampai saat ini telah 

ditemukan berbagai jenis interleukin yaitu IL-1 hingga IL-35. 

Tumor Necrosis Factoralpha 

Tumor Necrosis Factor alpha (TNF-a) yaitu  sitokin yang 

berperan dalam peradangan sistemik dan merupakan salah satu 

sitokin yang membentuk reaksi tahap  akut. TNF-a diproduksi 

terutama oleh makrofag aktif, walaupun dapat diproduksi oleh 

banyak jenis sel lainnya seperti limfosit CD4 +, sel NK, neutrofil, sel 

mast, eosinofil, dan neuron. Peran utama TNF-a yaitu  dalam 

pengaturan sel kekebalan tubuh. TNF-a menjadi pirogen endogen, 

dapat memicu  demam, kematian sel apoptosis, cachexia, 

radang dan menghambat replikasi virus. 

Interleukin 1 

Interleukin 1 yaitu  sitokin yang disekresi oleh sel dendritik 

dan monosit atau makrofag. Sekresinya dirangsang oleh 

dikenalinya antigen virus, parasit, bakteri oleh reseptor imun 

alamiah. Interleukin 1 bersifat proinflamasi, yang artinya bahwa 

IL-1 ini  menginduksi peningkatan permiabilitas kapiler di


tempatnya disekresikan, untuk meningkatkan migrasi leukosit ke 

jaringan yang terinfeksi. 

Interleukin 1 terdiri dari 11 protein (IL-1F1 sampai IL-1F11) 

yang dikodekan oleh 11 gen berbeda pada manusia dan tikus. 1L-1 

yaitu  mediator utama reaksi kekebalan bawaan, dan memiliki 

peran sentral dalam sejumlah penyakit autoimun. Ada dua bentuk 

IL-1, yaitu IL-la atau IL-1 [3 dan dalam kebanyakan penelitian, 

aktivitas biologis mereka tidak dapat dibedakan. IL-1 

mempengaruhi hampir setiap jenis sel, dan seringkah bersamaan 

dengan sitokin pro-inflamasi lainnya, seperti Tumor Necrosis Factor 

(TNF). IL-1 dengan cepat meningkatkan ekspresi RNA pembawa 

pesan dari ratusan gen pada beberapa jenis sel yang berbeda. 

Meskipun IL-1 dapat meningkatkan pertahanan host dan 

berfungsi sebagai imunoadjuvant, IL-1 yaitu  highly inflammatory 

cytokine. Margin antara manfaat klinis dan toksisitasnya pada 

manusia sangat sempit. Sintesis, pengolahan, sekresi dan aktivitas 

IL-1, terutama IL-1 beta, diatur dengan ketat. Aspek unik dari 

biologi sitokin ini yaitu  antagonis reseptor IL-1 alami (IL-IRa). 

IL-IRa secara struktural mirip dengan IL-1 beta, namun memiliki 

aktivitas agonis yang rendah dan digunakan dalam uji klinis untuk 

mengurangi tingkat keparahan penyakit. 

IL-1 merangsang prostaglandin E2, oksida nitrat, dan matriks 

metaloprotease, yang meningkatkan degradasi sendi. Selain itu, 

IL-1 juga menghambat sintesis kolagen. Selanjutnya, IL-1 yaitu  

pirogen endogen, mengatur sistem kekebalan tubuh secara sistemik 

dan lokal pada penyakit akut dan kronis, meningkatkan aktivasi 

limfosit T dan B, memicu  makrofag melepaskan enzim 

proteolitik dan faktor kemotaktik, dan juga merangsang osteoklas 

untuk menyerap tulang. 

 

 

 

Gambar 2.16. Peranan Interleukin 1 pada Degradasi Sendi 

Interleukin 6 

Interleukin 6 dahulu dikenal sebagai IFN-(32, hepatocyte 

stimulating factor dan plasmacytoma growth factor. Merupakan sitokin 

yang berfungsi pada imunitas bawaan maupun didapat. IL-6 

dibentuk oleh banyak sel dan mempengaruhi banyak sasaran. 

Sumber utama dari IL-6 yaitu  makrofag dan limfosit didaerah 

inflamasi. IL-6 dapat juga diproduksi oleh sel tulang d iba wah 

pengaruh hormon osteotropik (hormon paratiroid, 1,25- dihidroksi 

vitamin D3) dan Interleukin-1. Selain berperan dalam proses 

imunologi dan inflamasi, IL-6 juga berperan penting dalam 

metabolisme tulang melalui induksi osteoklastogenesis dan 

merangsang aktifitas osteoklas. IL-6 meningkatkan pembentukan 

sel osteoklas, terutama apabila kadar hormon estrogen menurun. 

IL-6 juga meningkat pada penuaan dan penderita menopause. 

Sehingga diduga bahwa IL-6 merupakan salah satu sitokin yang 

memegang peranan penting dalam proses penyerapan tulang, 

melalui pengaruh aktivitas sel osteoklas, termasuk pada tulang 

subchondral. 

 

 

 

 

 

 

 

 


76  

 

 

Interleukin 10 

Interleukin-10 sebelumnya dikenal sebagai cytokine synthesis 

inhibitory factor. IL-10 dikenal juga sebagai anti inflamasi dan sitokin 

imunosupresif. IL-10 sangat ampuh dalam menekan makrofag 

untuk melepaskan TNF-a. Dua fungsi utama IL-10 yaitu  

menghambat produksi beberapa jenis sitokin (TNF, IL- 1, 

chemokine dan IL-12) dan menghambat fungsi makrofag dan sel 

dendritik dalam membantu aktivasi sel T, sehingga bersifat 

immunosupresi. Hambatan fungsi makrofag terjadi karena IL- 10 

menekan ekspresi molekul MHC kelas II pada makrofag, dan 

mengurangi ekspresi ko-stimulator ( B7-1 dan B7-2). Dampak akhir 

dari aktifitas IL-10 yaitu  hambatan reaksi inflamasi non spesifik 

maupun spesifik yang diperantarai sel T, sehingga IL- 10 juga 

disebut cytokine synthesis inhibitory factor dan sitokin anti inflamasi. 

Reaksi Inflamasi pada Degerasi Lumbal 

Proses inflamasi yang terjadi pada osteoarthritis lumbal yaitu  

proses inflamasi kronik yang melibatkan peran sitokin, baik sitokin 

pro inflamasi seperti TNF- a, dan IL-6, maupun sitokin anti 

inflamasi seperti IL-lra atau IL-10. Sitokin ini  bekerja dengan 

berinteraksi secara kompleks. 

Inflamasi kronik dapat bermula dari inflamasi akut bila 

agen perusak menetap, tetapi yang lebih sering terjadi yaitu  

bahwa respons inflamasi itu merupakan respons inflamasi kronik 

sejak awal. Berbeda dengan perubahan atau kerusakan vaskuler 

luas dan infiltrasi neutrofil yang tampak pada inflamasi akut, 

inflamasi kronik menunjukkan ciri-ciri infiltrasi jaringan dengan 

sel-sel monokuler seperti makrofag, limfosit dan sel plasma, disertai 

dengan destruksi jaringan. Makrofag merupakan pemain kunci dari 

respons inflamasi kronik. Hal ini disebabkan oleh banyaknya 

produk bioaktif atau mediator yang dilepaskannya. 

Mediator-mediator ini merupakan bagian dari sistem pertahanan 

tubuh yangsangatkuatterhadap invasi benda asing dan kerusakan 

 


 

jaringan. Yang merugikan yaitu  bahwa aktivasi makrofag secara 

lerus menerus dapat berakibat kerusakan jaringan berkelanjutan. 

Mekanisme yang mengatur transisi rekrutmen neutrofil ke 

rekrutmen monosit selama transformasi dari inflamasi akut ke 

inflamasi kronik belum diketahui. Ada kemungkinan bahwa IL- <i 

dan reseptor IL-6 terlarut (sIL-6R) memegang peran penting pada 

transisi ini. 

Osteoarthritis lumbal yaitu  terjadinya degenerasi tulang 

rawan yang melibatkan three joint complex lumbal yang ditandai 

dengan penyempitan diskus intervertebralis, terbentuknya 

vertebral osteofit dan terjadinya osteoarthritis pada sendi facet. 

Ketiga patologis ini dapat terjadi oleh karena beban stress mekanik 

akibat peningkatan berat badan, bertambahnya usia yang akan 

memicu  makin tipisnya cartilage, maupun oleh karena 

terjadinya proses inflamasi. Cedera pada diskus seperti robekan 

pada annulus fibrosus, mengubah karakteristik histologis dari 

diskus. Studi histologis dari pasien dengan nyeri diskogenik 

menunjukkan jaringan granulasi bervaskular di sepanjang robekan 

annular. Jaringan bervaskular ini meluas dari bagian luar annulus, 

melalui bagian dalam annulus sampai ke nukleus pulposus. 

Jaringan granulasi yang baru, mengandung Vascular Endothelial 

Growth Factor (VEGF), Fibroblast Growth Factor (FGF) dan 

Transforming Growth Factor lp (TGF-lp) yang lebih tinggi 

dibandingkan dengan diskus yang tidak cidera. 

Tulang rawan yang rusak karena berbagai sebab akan 

memicu  kegagalan resistensi elastik dari anyaman kolagen 

(menurunnya sintesis kolagen tipe 2) sehingga pada tahap awal 

terjadinya OA kadar air pada sendi tulang rawan meningkat 

sehingga konsentrasi proteoglikan pun menurun. Perubahan 

komposisi ini memicu sekresi IL-ip, TNF-a dan nitric oxide (NO) 

yang memicu  peradangan (swelling) dan apoptosis sehingga 

kekuatan regang dan ketahanan sendi tulang rawan menurun. 

Khondrosit yang berada di lapisan dalam akan memberi  respon 

dengan berproliferasi dan berusaha untuk memperbaiki


 

 

kerusakan dengan memproduksi kolagen dan proteoglikan baru. 

Pada awalnya respon ini bisa mengimbangi kerusakan sendi tulang 

rawan. Namun pada akhirnya sinyal-sinyal molekul (IL- 1(3, TNF-a 

dan NO) inilah yang mendominasi. Tulang rawan yang terus 

berproliferasi juga menambah kekakuan sendi dan menghasilkan 

osteofit / spurs (tulang baru yang terbentuk di pinggir permukaan 

sendi) yang secara perlahan akan mengeras (kalsifikasi). 

Osteoarthritis terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi 

rawan sendi, remodelling tulang dan inflamasi cairan sendi. 

Inflamasi akan memicu  degradasi proteoglikan dan juga 

kandungan air yang berkontribusi terhadap berkurangnya tinggi 

diskus dan kemampuan untuk mengabsorpsi tekanan. saat  

diskus intervertebralis mengabsorpsi tekanan kompresif, sendi facet 

juga memiliki peranan penting untuk menahan beban. Beban 

berlebih secara kronis pada sendi facet dapat memicu  

osteoarthritis dan osteofit dengan merusak cartilage artikularis. 

Rangkaian ini memicu  peningkatan tekanan pada sendi facet 

yang memiliki efek pada kaskade inflamasi yang mengubah 

cartilage hyaline yang halus menjadi fibrocartilage. Fibrocartilage yang 

dihasilkan tidak memiliki kapasitas mekanik yang sama dan lebih 

sering mengalami degenerasi dengan tekanan. 

Interleukin-1(3 yaitu  sitokin utama yang bertanggung jawab 

memperluas respon inflamasi dari diskus, dan kadar IL- 1(3 

meningkat sesuai dengan keparahan degenerasi diskus. Selain itu 

IL-1(3 juga menginduksi NO, Interleukin-6 dan Prostaglandin E2 

(PGF2) yang nantinya akan mempercepat kaskade inflamasi.


Sitokin pro inflamasi IL-6 meningkatkan pembentukan sel 

osteoklas, terutama apabila kadar hormon estrogen menurun. IL-6 

menstimulasi pembentukan prekursor osteoklas dari unit 

pembentuk koloni granulosit makrofag dan meningkatkan jumlah 

osteoklas, yang memicu  peningkatan resorpsi tulang, yang 

berkontribusi pada perubahan spondiloarthrosis dan degenerasi 

diskus intervertebralis. Pada proses penuaan dan menopause, 

ditemukan peningkatan IL-6. Sehingga diduga bahwa IL-6 

merupakan salah satu sitokin yang memegang peranan penting 

dalam proses penyerapan tulang, melalui pengaruh aktivitas sel 

osteoklas, termasuk pada tulang subchondral. Produksi IL-6 juga 

meningkat secara signifikan oleh stimulasi TNF-a. Pada cartilage 

artikular manusia, IL-6 menghambat sintesa proteoglikan, yang 

secara normal menjaga hidrasi nukleous pulposus dan mencegah 

pertumbuhan dari pembuluh darah. Dengan demikian akan terjadi 

peningkatan TNF-a dan IL-6 pada osteoarthritis lumbal.

 

Gambar 2.17. Respon Inflamasi terhadap Degenerasi Diskus 


 

 

 

  

Peningkatan TNF-a dan IL-6 akan direspon oleh sitokin anti 

inflamasi. Interleukin-10 sangat ampuh dalam menekan makrofag 

untuk melepaskan TNF-a. Rendahnya kadar IL-10 merupakan 

indikator gagalnya IL-10 menekan produksi TNF-a dan IL-6. 

Daftar Pustaka 

AbbasAK, Lichtman AH, Pillai S. Cytokines. In Cellular and 

Molecular immunology 6th edition. Philadelphia, WB Saunders 

C, 2007: 267 - 301 

Bullough P. 2004. Spinal arthritis and degenerative disc disease in 

Orthopaedic Pathology. 4th ed. Mosby. 311-315. 

Dugan T.R., Kang J.D. 2013. The role of inflammation in disc 

degeneration. In: Sharan A.D., Tang S.Y., Vaccaro A.R., editors. 

Basic Science of Spinal Diseases. 1st ed. India: Jaypee Brothers 

Medical Publisher, p. 85-94. 

Gabay C. 2006. Interleukin-6 and chronic inflammation. Arthritis 

Res Ther. Available from: URL: http://arthritis-research.com/ 

content/8/S2/S3

Monocytes T„17/y6 T cells ILC3 Osteoclasts Neutrophils 

 

CSF-1 

RANKL 

Matrix enzyme Osteoclast Intimal Fever response (J-cell 

production activation inflammation Pain processing apoptosis 

Cartilage damage Bone loss Atherogenesis

 Diabetes 

Gambar 2.18. Peranan TNF, IL-6 dan IL-1 dalam Aktivasi Okteoklas dan Kerusakan 

Tulang rawan 

TNF 

IL-6 

IL-17 

IL-22 

IL 17 

IL-22 


 

 

PEMERIKSAAN FISIK REGIO LUMBAL 

I Ketut Suyasa 

Pemeriksaan fisik pada pada lumbal meliputi: 

• Inspeksi 

• Palpasi 

• Range of motion (ROM) o 

Fleksi 

o Ekstensi o Lateral 

Bending 

• Pemeriksaan neurologis o 

Motorik 

o Sensorik o 

Refleks 

• Pemeriksaan khusus/provokatif 

Inspeksi 

Inspeksi pada daerah lumbal dilakukan untuk menilai apakah 

ada kelainan pada kulit dan apakah ada deformitas pada tulang 

belakang. Perhatikan lengkung normal tulang belakang yaitu 

lumbar lordosis, apakah ada bentuk yang abnormal (hilangnya 

lordosis atau deformitas kifosis) 

 

 

 

 


Gambar 2.19 Inspeksi apakah ada kglainan pada kulit daerah lumbal 

 

Gambar 2.20 (a) Bentuk normal dari lumbal yaitu  lordosis (b) Paravertebral 

muscle spasme (c) Deformitas kifosis (Gibbus) 

 

Palpasi 

• Aspek posterior 

• Aspek anterior 

• Soft tissue (jaringan lunak)  


  

 

 

 

Gambar 2.21. Palpasi pada rongga antara L4-5 yang terletak setingkat dengan 

tepi atas krista iliaca 

Range of motion 

 

Gambar 2.22. Gerakan dari lumbal: Fleksi, ekstensi, lateral bending, rotasi  

 

 

 

Gambar 2.23. (a) Otot - Otot Iliopsoas dipersarafi oleh T12, LI, L2, dan L3. (b) Otot - 

Otot Quadriceps dipersarafi oleh femoral nerve (L2, L3, and L4). 

Vastus 

medial» 

Pemeriksaan Neurologis • 

Evaluasi Neurologis L1-L3 

Motorik 

LI, L2, dan L3 diperiksa dengan kombinasi karena kurangnya 

muscle testing yang spesifik. Otot yang biasanya diperiksa yaitu  

iliopsoas, quadriceps, dan hip adductor 

Fleksi Hip 

Untuk memeriksa fleksi pinggul, instruksikan pasien untuk 

duduk di ujung meja permeriksaan. Berdiri di sebelah pasien, dan 

letakkan satu tangan pada paha di atas lutut pasien. Letakkan 

tangan yang satu lagi pada bahu pasien. Minta pasien untuk 

menaikkan lututnya melawan tahanan. Tes ini diulangi pada sisi 

yang satu lagi. Perbedaan kekuatan diantara dua sisi atau kelainan 

yan lain harus dicatat. 

• Otot : Iliopsoas 

• Inervasi : Nerve roots (T12, Ll, L2, L3)  



 

Ekstensi Lutut 

Untuk memeriksa ekstensi lutut, instruksikan pasien untuk 

duduk pada meja pemeriksaan dengan lutut ditekuk 90 derajat dan 

kaki digantung kearah lantai. Letakkan satu tangan pada paha 

pasien dan yang tangan yang lain di kaki bagian distal. Minta pasien 

untuk mengekstensikan kaki secara penuh, lalu  coba 

fleksikan kakinya. Bandingkan kaki yang satu dengan yang lainnya. 

• Otot : Quadriceps 

• Inervasi : Femoral nerve (L2, L3, L4)

 

Gambar 2.24 Tes kekuatan Hip fleksi 

dengan lutut ditekuk, kaki dinaikkan 

melawan tahanan(otot - otot iliopsoas) 

BAB II NYERI PINGGANG BAWAH (LOW BACK PAIN) 

Gambar 2.26. Memeriksa kekuatan aduksi pinggul 


Adduksi Pinggul 

Untuk memeriksa aduksi pinggul, instruksikan pasien untuk 

supinasi pada meja pemeriksaan dan abduksikan kakinya. Letakkan 

tangan pemeriksa pada bagian medial lutut, dan minta pasien untuk 

mengaduksi kakinya secara bersamaan. 

Otot : Adductor brevis, adductor longus, adductor magnus Inervasi: 

Obturator nerve (L2, L3, L4) 

 

 

 

 

Gambar 2.25. Memeriksa kekuatan ekstensi 

lutut untuk mengevaluasi fungsi quadrisep. 

 



 

Refleks 

Refleks Cremaster (T12, Ll) 

Refleks cremaster yaitu  refleks neuron motorik atas pada pria 

yang dikendalikan oleh korteks serebral. Kehilangan refleks 

bilateral menunjukkan lesi neuron motorik atas di atas T12. 

Kehilangan unlilateralreflex cremaster mengindikasikan lesi neuron 

motorik yang bawah, paling sering antara Ll dan L2. Untuk menguji 

refleks cremaster, instruksikan pasien untuk menanggalkan pakaian 

di daerah bawah pinggang. Dengan lembut tempelkan sisi medial 

paha bagian atas dengan benda yang cukup tajam seperti gagang 

palu refleks. Kantung skrotum di sisi itu harus diangkat dengan 

kontraksi otot cremaster. 

  

 

Gambar 2.27. Refleks Cremasteric pada T12, 

Ll. Kehilangan reflex kremaster unilateral 

mengindikasikanlesi lower motor neuron, 

biasanya antara Ll dan L2. 


 

Sensorik 

SensorikLl :Pangkal paha 

SensorikL2 :Lateral pangkal paha and aspek anterior dari paha. 

SensorikL3 :Aspek anteromedial dari paha sampai malleolus. 

 

• Pemeriksaan Neurologis L4 

Motorik 

Ekstensi Lutut 

Lihat LI-L3, di atas 

Dorsofleksi Ankle 

Untuk memeriksa dorsofleksi kaki, instruksikan pasien duduk 

di tepi meja pemeriksaan. Pegang kaki distal pasien lebih tinggi dari 

malleolus. Instruksikan pasien untuk dorsofleksi dan

 

Gambar 2.28. (a) Distribusi 

dermatomal pada ekstremitas bawah, 

L1 sampai SI. 

(b) Distribusi dermatomal pada 

ekstremitas bawah, L1 sampai S2 



 

inversikan kakinya. Dengan tangan Anda yang lain, cobalah 

untuk memaksa kaki ke plantar fleksi dan eversi. Bandingkan 

otot anterior tibialis. Meminta pasien untuk berjalan di atas 

tumit juga merupakan tes yang berguna untuk fungsi motor 

L4. 

• Otot : Tibialis anterior 

• Persarafan : L4, L5 

Refleks 

Refleks Patella (L4) 

Untuk memeriksa refleks tendon patela, mintalah pasien 

duduk di meja pemeriksaan dengan paha depan benar-benar 

rileks dan kaki menggantung. Dengan palu refleks, ketuk 

tendon patela perlahan-lahan tepat di bawah patela. Hal ini 

akan memicu  paha depan berkontraksi dan lutut 

tersentak. Bandingkan pantulan kedua kaki. 

 

 


Sensorik L4 

Aspek anterolateral daripada dan kaki sampai aspek medial 

dari ibu jari kaki. 

 

• Pemeriksaan Neurologis L5 

Motorik 

Ekstensi Ibu Jari Kaki 

Untuk memeriksa ekstensi ibu jari kaki, mintalah pasien untuk 

duduk di meja pemeriksaan dan mengekstensikan kaki. Dengan 

satu tangan, pegang kaki dari proksimal ke malleolus. Tempatkan 

jari telunjuk atau ibu jari tangan Anda yang lain pada sendi 

interphalangeal jempol kaki. Minta pasien untuk mengekstensikan 

jari kaki saat tahanan diberikan. 

Otot : Extensor hallucis longus 

Inervasi : Deep peroneal nerve (L4, L5) 

 


 

Gambar 2.32. Gambar Pemerisaan abduksi pinggul 


 

Gambar 2.31.Gambar pemeriksaan ekstensi ibu jari kaki 

Abduksi Pinggul 

Untuk memeriksa abduksi pinggul, instruksikan pasien untuk 

berbaring miring. Stabilkan pinggul dengan satu tangan, dan 

letakkan yang lainnya di lutut pasien. Mintalah pasien mengangkat 

kaki ke dalam abduksi sementara tahanan diberikan. 

Otot : Gluteus medius 

Inervasi : Superior gluteal nerve (L5) 

 

 

 

 


Refleks 

Refleks Posterior Tibial Jerk 

Untuk mendapatkan refleks tibialis posterior jerk, pegang kaki 

pasien dan sedikit eversi dan dorsofleksi. Dengan palu refleks, 

tekan tendon otot posterior tibialis dari proksimal ke insersinya 

pada tuberositas navicular. Stimulasi refleks harus menghasilkan 

inversi plantar dari kaki. 

 

Sensorik L5 

Aspek posterior dari paha dan kaki bawah, aspek lateral dari 

ibu jari kaki, jari kedua, jari ketiga, dan aspek medial dari jari 

keempat.

 

Gambar 2.33. Gambar pemeriksaan refleks 

posterior tibial jerk 


Gambar 2.35. Gambar pemeriksaan motorik Plantar Fleksi 


• Pemeriksaan Neurologis SI 

Motorik 

Plantar Fleksi 

Dengan pasien duduk, pegang dan kencangkan sisi medial 

kaki pasien dengan cara memperbaiki calcaneus. Mintalah pasien 

untuk mengeversi dan memplantarfleksikan kaki. Tahan gerak 

dengan memakai  metatarsal kelima. Meminta pasien untuk 

berjinjit juga efektif dalam memeriksa fungsi motorik SI. 

Otot - otot : Peroneus longus dan peroneus brevis, 

gastrocnemius-soleus complex Inervasi : Superficial peroneal nerve 

(SI) 

 

Ekstensi Pinggul 

 

Gambar 2.34. Gambar Pemeiksaan 

neurologis L5 

 


Untuk memeriksa ekstensi pinggul, instruksikan pasien untuk 

berbaring pronasi pada meja pemeriksaan dan fleksikan lutut yang 

sedang diuji. Tempatkan satu tangan pada iliac crest untuk 

stabilisasi dan sisi lain pada aspek posterior paha. Minta pasien 

menaikkan paha dari meja saat anda melawan gerakannya. 

Bandingkan kedua sisi. 

Otot : Gluteus maximus 

Inervasi : Inferior gluteal nerve (SI) 

 

Refleks 

Refleks Calcaneal Tendon 

Untuk mendapatkan refleks tendon calcaneal, instruksikan 

pasien duduk di tepi meja pemeriksaan dengan kaki tertekuk, 

menggantung, dan rileks. Letakkan kaki sedikit dorsofleksi. 

Temukan tendon kalkaneus, dan pindahkan perlahan dengan palu 

refleks. Ini seharusnya memicu  plantar-directed jerk.

 

Gambar 2.36. Gambar pemeriksaan ekstensi pinggul 



 

Gambar 2.37. Gambar pemeriksaan Refleks Calcaneal Tendon 

Sensorik SI 

Aspek posterior dari paha dan kaki bawah, aspek lateral dari 

kaki, aspek paling lateral darijari keempat, dan jari kelima. 

 

 

 


• Pemeriksaan Neurologis S2, S3, dan S4 

Motorik 

S2, S3, dan S4 mempersarafi otot intrinsik kaki dan sfingter 

anus. Periksa setiap kaki, dan cari kelainan bentuk jari kaki. 

Kandung kemih juga disarati oleh akar saraf ini, jadi pertanyaan 

tentang fungsi kandung kemih harus disertakan saat melakukan 

anamnesis pada pasien. 

External Anal Sphincter (S4, S5) 

Untuk menguji sfingter anus eksternal, instruksikan pasien 

untuk melepaskan pakaian di bawah pinggang. Pasien berbaring 

dan pinggul lutut difleksikan. Instruksikan pasien untuk rileks, 

dan masukkan jari yang dilapisi dan dilumasi ke dalam rektum. 

Instruksikan pasien untuk mengontraksi sfingter anus, dan rasakan 

perubahan tonus sfingter 

 

Refleks 

Refleks Babinski (S2, S3) 

Untuk melakukan tes Babinski, ambillah kaki pasien dengan 

satu tangan. Dengan memakai  gagang palu refleks atau benda 

tajam untuk menggores bagian bawah kaki. Mulai di tumit, 

goreskan pegangan palu refleks di sepanjang permukaan plantar 

lateral kaki. 

 

Gambar 2.39.Gambar pemeriksaan External 

Anal Sphincter 


 

saat  sampai di tuberositas metatarsal kelima, arahkan 

pegangan palu refleks itu ke medial menuju tuberositas pada jempol 

kaki. Inisiasi yang tepatdari reflex ini mungkin memerlukan tekanan 

yang kuat. Tes ini positif jika terjadi dorsofleksi jempol kaki dan 

pemekaran (Fanning) jari kaki lainnya. Tanda Babinski positif 

menunjukkan lesi neuron motorik bagian atas. Ini harus 

dimasukkan sebagai tes untuk menyingkirkan mielopati cervical 

dan / atau toraks dalam semua pemeriksaan tulang belakang. 

Tes Oppenheim 

Untuk melakukan tes Oppenheim, gunakan benda tajam, atau 

jari telunjuk dan ibu jari anda, ke bawah sambil memegang 

sepanjang tibia. Jika jempol kaki melebar, menunjukkan tes positif 

dan menunjukkan lesi neuron motorik atas.

 

Gambar 2.40. Gambar pemeriksaan reflex Babinski 

Gambar 2.42. Gambar pemeriksaan Refleks Bulbocavernosus 


Gambar 2.41. Gambar Pemeriksaan Tes Oppenheim 

 

Refleks Bulbocavernosus (S2, S3, S4) 

Untuk mendapatkan refleks bulbocavernosus, instruksikan 

pasien untuk melepaskan pakaian di daerah bawah pinggang. 

Pasien berbaring dan memfleksikan pinggul dan lutut. 

Instruksikan pasien untuk rileks, dan masukkan jari yang dilapisi 

dan dilumasi gel ke dalam rektum. Tangan yang lain memegang 

dan menekan glans penis atau klitoris. Jari yang bersarung di 

rektum harus merasakan kontraksi sfingter anus. 


Sensoris 

Sensoris S2 

SensorisS3 

SensorisS4 

SensorisS5 

Refleks Anocutaneous (S3, S4, S5) 

Untuk mendapatkan refleks anokutan, instruksikan pasien 

untuk berbaring terlentang di atas meja pemeriksaan dan kedua 

pinggul sehingga paha dan kaki membentuk sudut 90 derajat 

dengan batang tubuh. Dengan jarum, rangsang dermatom sensorik 

S3, S4, dan S5, dan perhatikan kontraksi sfingter anal.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Aspek posterior dari paha dan kaki bawah, 

termasuk aspek plantar dari tumit. 

Aspek medial dari paha. 

Perineum. 

RegioPerianal  

 

Gambar 2.43. Gambar pemeriksaan Refleks 

Anocutaneous 


 

PEMERIKSAAN KHUSUS / PROVOKATIF 

Pasien Posisi Duduk Minor's sign (Tanda 

Minor) 

Tanda minor muncul saat pasien, yang bangun dari duduk, 

mengangkat berat badan dengan tangan dan menempatkan berat 

badan pada kaki yang tidak terpengaruh. Pasien dapat 

menempatkan tangan di pinggang: Dengan demikian, ekstremitas 

bawah yang nyeri terhindar dari beban berat. 

 

 

Bechterew's sign (Tanda Bechterew) 

Tes untuk Bechterew sign dilakukan dengan menyuruh pasien 

meekstensikan lutut saat berada dalam posisi duduk. Ini 

mengangkat kaki lurus kembali meregangkan akar saraf sciatica dan 

membuat nyeri pada pinggang atau kaki atau keduanya jika ada lesi 

pada diskus.

 

Gambar 2.44. Gambar tanda minor 


 

 

SLR sign yaitu  tanda lesi diskus yang lebih positif pada orang 

usia muda (di bawah usia 40) daripada pada orang tua. Hal ini 

karena, karena tekanan intradiskus menurun seiring bertambahnya 

usia, turgor nukleus berkurang, dan nukleus cenderung menekan 

secara ketat terhadap nerve root selama manuver ini  seperti 

SLR, Valsalva, atau Bechterew. 

 

SLR sign bersifat positif, sedangkan SLR berbaring telentang 

yaitu  negatif. Alasan perbedaan ini yaitu  tekanan intradiskus 

yang lebih tinggi pada pasien dengan posisi duduk menambah 

kompresi pada nerve root; Bila ditambah dengan peregangan nerve 

root pada saat mengangkat kaki, memberi  tanda kompresi saraf 

yang jauh lebih positif. Selalu lakukan tes SLR secara perlahan, 

apakah pasien sedang duduk atau telentang, karena dapat 

memicu  banyak rasa sakit pada pinggangatau ekstremitas 

bawah bagi pasien dan berdampak negatif terhadap hasil 

pemeriksaan lainnya. 

Valsalva maneuver and Lindner's sign (Tanda Lindner) 

Untuk manuver Valsava, pasien mencoba mengeluarkan 

udarakeglotisyang tertutup. Pergerakan inibisa dijelaskan kepada 

pasien saat berusaha menggerakkan perut. Selama manuver ini, 

tekanan intradiskus meningkat, dan peningkatan kekuatan terhadap 

lapisan dura anterior dari nerve root menonjolkan nyeri 

 

Gambar 2.45. Tanda Bechterew 

 

pinggang atau kaki pasien. Perhatikan juga bahwa pasien 

diminta memfleksikan kepala di dada, yang meningkatkan traksi 

dari nerve root terhadap tonjolan diskus (Lindner sign). 

 

Bechterew's test, Lindner's sign, and Valsalva maneuver 

Jika Bechterew tes ditambahkan ke Valsava manuver, 

meregangkanlebihjauhnerwrootdibelakangruangintervertebralis 

disk, peregangan yang meningkat ini menonjolkan nyeri pasien 

pada pelepasan zat nuklir. Reaksi positif gabungan dari Valsava 

manuver, Bechterew tes, dan Lindner sign menunjukkan adanya lesi 

diskus. Satu tes saja mungkin tidak positif. 

 

Pasien Berdiri 

Neri's bowing sign 

 

Gambar 2.46. Tanda Lindner 

 

Gambar 2.47.Gabungan dariValsava manuver, 

Bechterew tes, danLindner sign 




Dengan Neri sign, saat pasien membungkuk ke depan, kaki 

yang nyeri fleksi, seperti dalam tekanan, karena iritasi sciatic nerve. 

Lutut fleksi menghilangkan iritasi aktif dari nervus sciatic yang 

meradang. 

 

Gambar 2.48 Neri's bowing sign 

Lewin's standing sign 

Lewin standing sign muncul pada pasien dengan lutut 

ekstensi. Nyeri yang meningkat pada pinggang atau kaki dapat 

memicu  lutut kembali tertekuk. Jika hal ini didapati, diskus, 

gluteal, atau gangguan sakroiliac diindikasikan.  

 

  

 

 

Gait 

Catat saat  pasien berjalan pincang dan bagaimana 

ekstremitasnya dipengaruhi. 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2.50.Pemeriksaan Gait 

  

 

 

Kemp's sign 

Kemp sign harus dilakukan di kedua posisi. Kemp sign 

didapatkan positif pada iritasi facet atau kompresi yang menonjol 

terhadap nerve root. Jika keduanya muncul, maka akan timbul nyeri 

pinggang. Dengan adanya tonjolan diskus, akselerasi radikulopati 

ekstremitas bawah akan meningkat. Beberapa pasien dengan lesi 

diksus hanya mengalami nyeri pinggang dengan Kemp sign. 

Dengan medial diskus, Kemp sign biasanya positif saat pasien 

memfleksikan ke kanan atau ke kiri saat ekstensi. 

 

Nyeri terjadi karena medial diskus dapat mengiritasi nerve root 

terlepas dari arah di mana pasien berada di posterior dan lateral 

fleksi. Pada tonjolan medial diskus diharapkan pasien akan 

mengalami nyeri yang lebih besar saat difleksi dari sisi nyeri atau 

lesi diskus, sedangkan pada tonjolan diskus lateral, pasien akan 

mengalami nyeri yang lebih besar saat difleksi ke sisi nyeri 

pinggang dan nyeri ekstremitas bawah.

 

Gambar 2.51. Kemp's sign 


 

Toe walk 

Ketidakmampuan untuk berjalan memakai  jari kaki 

menunjukkan masalah diskus L5-S 1 yang disebabkan oleh 

kelemahan otot betis yang diinervasi oleh tibial nerve. 

 

Heel walk 

Ketidakmampuan berjalan memakai  tumit 

mengindikasikan masalah pada diskus L4-L5 yang di sebabkan oleh 

kelemahan otot kaki anterior oleh common peroneal nerve 

 

  

 

Gambar 2.52. Toe Walk 

 

Gambar 2.53. Heel Walk 



Pemeriksaan pada Posisi Pasien Supine 

Beberapa tes mungkin dilakukan pada pasien dengan posisi 

pronasi, tergantung pada posisi mana yang lebih nyaman terhadap 

dokter dan pasien. 

Lindner's sign 

Tes untuk tanda Lindner sign (juga dikenal sebagai Brudzinski 

sign atau Soto-Hall sign) sering dilakukan bersamaan dengan SLR 

tes atau Valsava manuver untuk memberi  efek maksimal. 

Lindner sign mengacu pada peregangan lapisan dural nerve wot di 

belakang diskus yang menonjol, yang memicu  nyeri saat 

dilakukan tes. 

 

Straight Leg Raising sign (SLR) 

Selama SLR, nerve root lumbosakral bergerak melalui foramina 

intervertebralis hingga beberapa milimeter, tergantung pada penulis 

yang dikutip. Fisk menyatakan bahwa nerve root bergerak 2,5 cm. 

Banyak traksi ditemukan pada sciatic nerve di sacral ala dan sciatic 

notch, dengan gerakan yang pertama kali terlihat pada sciatic notch 

dan lalu  di rootnya. Jika pasien merasa nyeri segera setelah 

memulai manuver SLR, dapat mengindikasikan adanya tonjolan 

diskus yang besar atau sensitivitas saraf pada  

 

Gambar 2.54. Lindner's sign pada Posisi 

Pasien Supine 

  

 

 

 

 NYERI PINGGANG BAWAH (LOW BACK PAIN) 

 

Gambar 2.55. Test Straight Leg Raising sign (SLR) 

sacral ain atau sciatic notch. Gerakan sciatic nerve berkurang seiring 

bertambahnya usia dan posisi semakin dekat dengan spinal cord. 

Penting untuk diingat bahwa kompresi atau meregangkan 

saraf normal tidak menyakitkan. Nyeri SLR yaitu  mekanisme 

input refleks atau sensorik yang melindungi seseorang dari cedera. 

Alasan untuk nyeri SLR dijelaskan sebagai sensitivitas dorsal root 

yang disebabkan oleh tekanan mekanis. 

Straight leg raising dan Lindner's signs 

Kapanpun tes SLR menghasilkan hasil yang patut 

dipertanyakan untuk nyeri, kombinasikan dengan fleksi cervical 

spine (Lindner sign). Kombinasi ini menempatkan tarikan dan 

peregangan terbesar pada nerve root di belakang intervertebral disk 

dan sering memicu  nyeri. Seiring dengan kombinasi ini, 

lakukan dorsoflexksi kaki, batuk pada pasien, atau melakukan 

manuver Valsava. Manuver ini selanjutnya menonjolkan tekanan 

intradiskus dan memicu  nyeri yang mungkin dilewatkan.


Swan dan Zervas menemukan bahwa fleksi leher dan elevasi 

kaki kontralateral secara simultan menghasilkan nyeri pada sciatic 

notch ipsilateral pada lima pasien dengan fragmen bebas atau diskus 

yang herniasi yang ditemukan pada saat operasi. Mengangkat kaki 

kontralateral saja tidak memicu  nyeri di kedua kaki. Adduksi 

dan rotasi internal kaki saat SLR dilakukan membawa respon nyeri 

lebih mudah; ini disebut Bonet's phenomenon. Melakukan dorsofleksi 

kaki selama SLR disebut Braggard's sign; dan ekstensi ibu jari kaki 

selama SLR untuk menonjolkan peregangan nerve root disebut 

Sicard's sign. 

Well leg raising (Fajersztajn) sign 

Fajersztajnsign yaitu  eksaserbasi nyeri yang melibatkan 

ekstremitas bawah saat ekstremitas berlawanan atau ekstremitas 

yang tidak terlibat ditempatkan pada SLR. Hudgins menyatakan 

bahwa peningkatan nyeri sciatica pada mengangkat kaki yang 

berlawanan atau kaki yang sehat (the cross straight leg raising sign) 

dikaitkan dengan hemiasi lumbal diskus pada 97% pasien. 

Myelography tidak diperlukan untuk diagnosis herniasi disk pada 

pasien dengan tanda ini. Meskipun mungkin bagi pasien dengan 

tanda ini memiliki mielogram normal, 90% membuktikan memiliki 

herniasi diskus. 

 

Gambar 2.56. Straight leg raising dan Lindner's signs 

 

Gambar 2.57. saat  tonjolan diskus digerakkan ke lateral nerve root, 

mengangkat kaki yang tidak terlibat akan menarik nerve root menjauh dari 

diskus dan dapat meringankan nyeri pinggang atau kaki. 

 

Gambar 2.58. saat  tonjolan diskus digerakkan medial ke nerve root, 

mengangkat kaki yang tidak terlibat benar-benar menarik nerve root ke dalam 

tonjolan diskus dan memicu  radikulopati menjalar ke kaki yang terlibat. 

Tes Straight Leg Raising dianggap sebagai tes klinis yang paling 

penting untuk mengevaluasi ketegangan lumbal lumbar nerve root 

yang disebabkan oleh herniasi diskus. Insiden tes SLR yang positif 

bervariasi antara 81 dan 99%. Tes SLR positif pasca operasi 

berkorelasi dengan hasil inferior pada pembedahan. Straight leg lift 

 

yaitu  tanda diagnostik fisik pra operasi yang paling sensitif (90%) 

untuk menghubungkan patologi intraoperatif herniasi diskus 

lumbal. 

Straight leg raising lebih cenderung positif dengan herniasi 

diskus L4-L5 atau L5-S1 dibandingkan dengan herniasi lumbar 

(L1-L4) tinggi lainnya dimana tes ini hanya positif pada 73,3% 

pasien. Alasan yang mungkin yaitu  nerve root L5 dan SI bergerak 2 

sampai 6 mm pada tingkat neural foramen, sedangkan nerve root 

lumbar yang lebih tinggi menunjukkan hanya sedikit 

penyimpangan. 

Ketegangan akan ditransmisikan ke nerve root begitu kaki 

diangkat melewati 30°, namun setelah 70°, pergerakan saraf lebih 

lanjut dapat diabaikan. Tanda SLR yang khas yaitu  salah satu yang 

menghasilkan sciatic pada pasien antara elevasi kaki 30 0 dan 60 °. 

Hubungan antara tes SLR dan ukuran, bentuk, dan posisi hernia 

dievaluasi sebelum dimulainya terapi non operatif dan lalu  3 

dan 24 bulan setelah terapi. 

Patrick's sign 

Tanda Patrick mengacu pada rasa sakit di area selangkangan 

dan pinggul, yang umum terjadi pada lesi diskus karena iritasi 

suplai saraf ke struktur ini. Evaluasi radiografi pinggul akan 

menyingkirkan setiap penyakit pinggul.

  

 

 

 

 

Gambar 2.59. Patrick's sign 

Gaenslen's sign 

Tes untuk tanda Gaenslen dilakukan dengan fleksi satu lutut di 

dada, sementara kaki yang lainnya pada posisi ekstensi, 

ditempatkan di sisi atas meja. Ini yaitu  tanda diferensial antara 

nyeri tulang belakang sacroiliac dan lumbal. Saat tes dilakukan, rasa 

sakit akan muncul di lokasi lesi, apakah berada di tulang belakang 

sacroiliac atau lumbal. 

  

 

Gambar 2.60. Gaenslen's sign 



 

Cox's sign 

Tanda Cox terjadi saat , selama SLR, pelvis naik dari meja dan 

bukan fleksi pada pinggul, perlu diperhatikan kejadian ini pada 

pasien dengan prolaps ke foramen intervertebralis yang merupakan 

kondisi serius. 

 

Amoss' sign 

Tanda Amoss dimanifestasikan dengan sulitnya bangkit dari 

posisi supinasi. Pasien harus memakai  lengan untuk 

mengangkat dirinya dan mencegah fleksi atau gerakan pada lumbal 

 

Milgram's sign 

Ketidakmampuan untuk menahan kaki 6 inci dari lantai 

sementara pada posisi supinasi mengindikasikan iritasi nerve root 

yang ekstrem dan diyakini merupakan tanda arachnoiditis yang 

 

Gambar 2.61. Cox's sign 

 

Gambar 2.62. Amoss's sign 


 

disebabkan oleh pewarna iophendylate seperti lesi pada diskus. 

 

 

 

IMAGING PADA NYERI 

PINGGANG BAWAH 


Low back pain (nyeri pinggang bawah) merupakan kondisi yang 

dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, tetapi puncak prevalensi 

dari nyeri pinggang bawah dijumpai pada kelompok usia setengah 

tua dan usia tua. Untuk menegakkan penyebab nyeri pinggang 

bawah, seringkah diperlukan pemeriksaan radiologi (imaging) 

sebagai pemeriksaan penunjang. Imaging diagnostik membantu 

mendeteksi kelainan-kelainan struktur anatomi vertebra, sehingga 

dapat memudahkan klinisi dalam melakukan tatakelola terapi yang 

adekuat. 

Terjadi peningkatan frekuensi imaging diagnostik untuk nyeri 

pinggang bawah pada dekade terakhir, bersamaan dengan 

pergeseran ke arah cross-sectional imaging yang tentu saja 

memerlukan biaya yang lebih tinggi. Pada era dimana pelayanan 

kesehatan sangat menekankan angka kesembuhan pasien, manfaat 

dan biaya setiap pemeriksaan penunjang, sangatlah penting untuk 

memahami aplikasi yang tepat dari setiap imaging diagnostik. 

Pemeriksaan radiologi 'rutin' memakai  berbagai modalitas 

imaging yang dilakukan untuk kasus-kasus nyeri pinggang bawah 

tanpa mempertimbangkan risk dan benefit kadangkala justru 

memberi  kerugian seperti adanya paparan radiasi yang 

seharusnya tidak diterima pasien, serta beban finansial terhadap 

pasien dan sistem kesehatan untuk pemeriksaan radiologi yang 

sebenarnya tidak perlu dilakukan. Mengetahui kelebihan dan 

keterbatasan serta peruntukan dari setiap modalitas imaging akan 

membantu mengurangi pemeriksaan imaging diagnostik yang tidak 

perlu. 

 

 

 

Saat membuat keputusan apakah perlu melakukan 

pemeriksaan imaging diagnostik, sangat penting bagi klinis untuk 

memfokuskan pada riwayat pasien dan temuan klinis, dimana 

dikelompokkan menjadi: (a) nyeri pinggang bawah yang disertai 

sciatica atau stenosis spinal canal; (b) patologi spinal yang serius 

seperti infiltrasi neoplastik, infeksi, fraktur dan sindroma cauda 

equina; (c) nyeri pinggang bawah non spesifik. Sekitar 90% pasien 

datang dengan nyeri pinggang bawah non spesifik. Pasien yang 

tidak memenuhi kedua kategori pertama dapat diklasifikasikan ke 

dalam nyeri pinggang bawah non spesifik, dimana sekitar 90% 

pasien termasuk dalam nyeri pinggang bawah non spesifik. 

Modalitas imaging diagnostik pada