Seperti halnya di dalam ilmu kedokteran,
pendekatan Minis gangguan neurologis sangat
ditentukan dari anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Anamnesis terutama bertujuan untuk
mendapat ada tidaknya defisit neurologis yang kemudian dibuktikan secara
obyektif pada pemeriksaan fisik. Berbeda
dengan organ lainnya, pembuatan diagnosis pada gangguan neurologis juga disertai
dengan diagnosa topis untuk dugaan letak
lokasi pemicu munculnya gejala Minis,
serta diagnosa etiologi dan patologis untuk
kemungkinan mekanisme pemicu kelainannya. Hal ini dapat dibuat bahkan sebelum
dilakukan pemeriksaan penunjang dengan
mengikuti prinsip cara kerja otak yang
sangat sistematis. Oleh sebab itu, anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti yang
menghasilkan diagnosa Minis, topis, etiologis, dan patologis akan sangat membantu
menentukan pemeriksaan yang dibutuhkan
serta tata laksana yang tepat.
DEFISIT NEUROLOGIS
Defisit neurologis yaitu istilah yang dipakai
untuk suatu gejala dan tanda yang muncul
pada pasien akibat gangguan di sistem persarafan, baik sel otaknya (neuron/sel glia)
hingga jarasnya (akson) dari reseptor untuk
sistem sensorik, maupun ke target organ
dalam sistem motorik dan otonom. sebab
sistem persarafan itu demikian luas, maka
defisit neurologis dapat bersinggungan dipelajari di disiplin ilmu kedokteran lain.
Bahkan defisit neurologis pada fungsi luhur
dipelajari juga di luar disiplin ilmu kedokteran dan kesehatan, seperti Psikologi, Ilmu
Pendidikan, Ilmu Manajemen, dan sebagainya.
Secara umum berdasar keterlibatan
sistem saraf, defisit neurologis dapat dibagi
menjadi fokal maupun global. Defisit neurologis fokal yaitu gejala dan tanda akibat
kerusakan dari sekelompok sel saraf atau
jarasnya di suatu area tertentu (fokal). Misalnya pada pasien yang mengalami kelemahan
(paresis) sesisi tubuh kanan, maka kemungkinan ada gangguan di sistem piramidalis
mulai dari korteks motorik primer hingga
jarasnya ke otot. sebab sistem piramidalis
hanyalah bagian dari seluruh sistem saraf,
maka kelemahan sesisi sebagai gangguan
sistem motorik dikategorikan sebagai defisit fokal.
Defisit neurologis lainnya yang dapat dikategorikan defisit neurologis fokal di antaranya:
1. Paresis dengan berbagai polanya, di antaranya hemiparesis sesisi/alternans/
dupleks, tetraparesis, paraparesis, paresis pada miotom saraf tertentu, paresis
pada polineuropati, dan sebagainya. 2. Gangguan gerak motorik meliputi gerakan
involunter (misalnya tremor, balismus,
dan sebagainya) dan gangguan koordinasi
otot (misalnya diskinesia, dismetria, dan
sebagainya).
3. Gangguan pola pernapasan.
4. Kejang fokal, misal mulut mencong ke satu
sisi, salah satu tangan bergerak-gerak, dan
lain-lain.
5. Gangguan sensorik eksteroseptif hipestesi
atau hiperestesi seperti hiperalgesia dan
alodinia, maupun proprioseptif.
6. Gangguan sensorikproprioseptif, misalnya
hipestesi untuk sensasi getar dan posisi.
7. Gangguan sensorik khusus akibat gangguan sistem saraf, seperti sistem visual
(pola hemianopia, kuadranopia, buta kortikal, dan sebagainya), sistem penghidu
(hipo/anosmia, kakosmia, dan sebagainya),
sistem pendengaran (tuli perseptif dan
sebagainya), dan sistem pengecapan.
8. Gangguan keseimbangan misalnya vertigo
dan ataksia.
9. Nyeri fokal seperti nyeri leher, punggung
bawah, dan sebagainya.
10. Gangguan otonom misalnya sindrom
Horner, hipo atau hiperhidrosis, hipotensi
ortostatik, inkontinensia atau retensi uri
dan alvi, serta gangguan ereksi dan ejakulasi akibat gangguan sistem saraf.
11. Gangguan fungsi luhur fokal, seperti afasia,
akalkulia, amnesia, dan seterusnya.
12. Gangguan neuropsikiatrik fokal, misalnya agitasi, depresi, dan sebagainya.
13. Sindrom neurologis yang bersifat fokal,
misalnya sindrom lobus frontal dan sebagainya.
Defisit neurologis global yaitu jika pada gejafa dan tanda diakibatkan oleh kerusakan saraf
yang luas, difus, atau menyeluruh. Meskipun
nantinya pada analisis lanjutan dari sintesis diagnosa topis yang paling cocok ternyata
hanya suatu lesi fokal tertentu yang mengakibatkan gejala dan tanda ini terjadi.
Beberapa gejala dan tanda yang dikategorikan defisit neurologis global di antaranya
yaitu :
1. Penurunan kesadaran, sebab salah satu
diagnosa topis bandingnya yaitu kerusakan hemisfer serebri bilateral, meskipun
dapat pula disebabkan lesi fokal pada ascending reticular activating system (ARAS).
2. Delirium, sebagai bagian dari penurunan
kesadaran.
3. Kejang umum, misal kaku atau kelojotan
pada kedua sisi ekstremitas secara bersamaan.
4. Nyeri kepala yang difus, sebab bisa akibat
perangsangan serabut peka nyeri intrakranial yang difus.
5. Sindrom peningkatan tekanan intrakranial.
6. Demensia, sebab salah satu diagnosa
bandingnya yaitu atrofi serebri menyeluruh.
Untuk melatih cara berpikir, pada pembuatan
diagnosa neurologis pada kegiatan akademik,
tidak hanya memerlukan diagnosa klinis,
tetapi juga dianalisis lebih lanjut menjadi diagnosis yang khas berupa: diagnosa Idinis,
topis, etiologis, dan patologis.
Malta langkah-langkah merangkai defisit
neurologis menjadi suatu kajian diagnosa
yang lengkap diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang teliti. ANAMNESIS
Pada anamnesis perlu dilakukan beberapa
langkah penting, yaitu:
a. Inventarisasi keluhan (gejala yang dirasakan secara subyektif oleh pasien).
b. Dari inventarisasi keluhan itu turut dipilah jika ada yang masuk ke dalam suspek
(kecurigaan) defisit neurologis.
c. Keluhan termasuk defisit neurologis dianalisis dari sisi kronologis waktu (durasi,
awitan/onset), kemunculan (insidens,
frekuensi), intensitas gejala (progresivitas memburuk, membaik, atau acak), dan
faktor yang memperburuk atau mengurangi gejala.
d. Riwayat penyakit dahulu, termasuk pada
anak yaitu riwayat tumbuh kembang,
kehamilan dan persalinan, dan vaksinasi. Perdalam anamnesis tentang analisis
faktor risiko tertentu, misalnya hipertensi, diabetes melitus atau penyakit jantung koroner pada pasien yang dicurigai
etiologinya vaskular.
e. Riwayat penyakit keluarga; beberapa penyakit neurologis bersifat genetik yang
ada riwayat keluraga yang sama,
seperti amyotrophic lateral sclerosis
(ALS), epilepsi, migren, dan sebagainya.
f. Riwayat pajanan, sosial ekonomi, budaya,
dan kebiasaan yang relevan; pasien dengan
keluhan nyeri punggung bawah misalnya,
perlu diketahui faktor sosio-ekonomi dan
kebiasaan untuk menentukan pemicu
nyerinya serta edukasi untuk pencegahan
nyeri berikutnya.
Anamnesis neurologi pada dasarnya sama
dengan anamnesis pada umumnya, dimulai
dengan gejala yang memicu pasien
datang atau dibawa untuk mendapat
pertolongan. Pasien dibiarkan menjelaskan
keluhan dengan istilahnya sendiri, kemudian diarahkan dengan lebih spesifik oleh
dokter pemeriksa. Namun dalam neurologi,
pemeriksa harus bisa mendapat 3 hal dari
anamnesis, yaitu durasi dan perjalanan penyakit, lesi bersifat fokal atau difus (menyeluruh),
serta kemungkinan komponen sistem saraf
yang terkena. Hal ini disebabkan oleh kerja
sistem saraf pusat (SSP) yang sangat rapi dan
sistematis. Setiap area di SSP sudah mempunyai fungsi tersendiri, sehingga kerusakan di
area tertentu sudah pasti akan memicu
gejala yang khas sesuai dengan fungsinya, apapun pemicu nya. Dengan mengetahui durasi
waktu, serta daerah dan perldraan luasnya lesi,
maka anamnesis saja sudah dapat membantu
perldraan diagnosa dan kemungkinan pemicu dengan lebih seksama.
Onset yang bersifat akut (dalam hitungan
menit atau jam) dimungkinkan oleh kelainan vaskular atau kejang. Kelainan vaskular
berupa cerebrovascular disease atau smoke
berlangsung akut saat pasien sedang beraktivitas atau bangun tidur. Gejala dapat sangat
bervariasi tergantung pada pembuluh darah
otak yang terkena, hingga memicu
gangguan pada bagian otak tertentu. Pasien
akan mengalami gejala yang bersifat fokal,
seperti kelemahan tubuh sesisi (hemiparesis), rasa baal/kesemutan pada tubuh sesisi
(hemihipestesia/hemiparestesia), kesulitan
menelan (disfagia), bicara cadel (disartria),
dan sebagainya secara mendadak.
Kadang gejala tidak segera disadari baik oleh
pasien maupun lingkungannya, seperti gangguan fungsi kognitif. Pasien bisa mendadak
terlihat linglung atau tidak mengerti pembicaraan orang (afasia sensorik) atau tidak dapat mengeluarkan kata-kata dengan jelas
(afasia motorik). Apalagi jika gejala bersifat
singkat, tidak sampai 24 jam sudah terjadi
perbaikan sempurna, yang disebut sebagai
transient ischemic attack. Namun pada prinsipnya, seminimal apapun kelainan yang
muncul selama berlangsung mendadak, baik
membaik sempurna atau menetap, maka
dapat dicurigai sebagai suatu serangan stroke.
Gejala stroke dapat berat jika meliputi area
otak yang luas akibat besarnya pembuluh
darah yang tersumbat pada stroke iskemik
atau besarnya hematoma seperti atau stroke
hemoragik. Hal ini memicu pasien bisa
mengalami penurunan kesadaran hingga
koma. Pada perdarahan subaraknoid pasien
didahului dengan sakit kepala hebat yang belum pernah dialami sebelumnya.
Pada onset akut akibat kejang, gejalanya
biasanya khas berupa pergerakan abnormal tubuh baik sebagian atau kedua sisi tubuh sekaligus secara involunter yang tidak
dapat dihentikan oleh pasien. Kejang dapat
didahului dengan aura, seperti halusinasi,
terlihat bingung, mengecap-ngecap, atau
sensasi aneh di epigastrium. Kalaupun kejang berlangsung lama hingga hitungan jam,
maka pasien biasanya akan mengalami penurunan kesadaran sesudah kejang. Harus dibedakan juga dengan malingering pada gangguan
psikiatri, yang biasanya serangan selalu terjadi saat ada orang lain yang memerhatikan,
tidak pernah saat pasien sedang sendirian,
serta ada stresor sebelumnya. Pada onset
yang subakut (berjam-jam hingga harian) terjadi pada reaksi inflamasi (meningitis, abses
serebri, sindrom Guillain Barre) yang biasanya didahului oleh demam. Onset yang lebih
kronik mengarah kepada neoplasma. Anamnesis khusus lengkap dapat dilihat pada topiktopik yang terkait selanjutnya.
berdasar anamnesis, seorang dokter harus
sudah dapat memperldrakan apakah kelainan
yang terjadi bersifat lokal atau difus. Hal ini
cukup mudah dengan mempertimbangkan
prinsip kerja SSP yang bersifat simetris, bahwa
kedua sisi otak akan bekerja bersama-sama
memberi impuls yang sama kuatnya ke kedua
sisi. Sifat simetris ini yang memicu seseorang dapat berdiri tegak di tengah, pergerakan bola mata yang seiring dan seirama
saat melirik ke arah manapun, ekspresi wajah
yang sama kuatnya saat pasien berbicara atau
tersenyum, dan sebagainya.
Oleh sebab itu, setiap hal yang tidak simetris
harus dicurigai sebagai adanya kelainan di satu
sisi. Adanya defisit neurologis fokal, seperti
bicara cadel, wajah terlihat mencong, berjalan
miring ke satu sisi, atau penglihatan dobel
(diplopia) menunjukkan lesi di satu sisi/bagian
otak Demikian pula jika seseorang dilaporkan
kejang dengan pergerakan pada hanya satu
sisi tubuh atau wajah tertarik ke satu sisi akan
dianggap sebagai suatu lesi fokal.
Sebaliknya jika bersifat difus, kelainan justru
akan bersifat simetris. Misalnya pada kejang
akan terlihat pergerakan pada kedua tangan
dan Itakinya sekaligus, yang disebut sebagai kejang umum. Kelainan yang difus biasanya lebih
memicu penurunan kesadaran tanpa
adanya defisit fokal, seperti gangguan metabolik (syok hipovolemik, hiper/hipoglikemia,
hiper/hiponatremia, dan sebagainya) yang
mengganggu kerja otak secara keseluruhan.
Terakhir, dalam anamnesis sudah harus
dapat diperkirakan, sistem SSP bagian mana
yang terkena. Secara umum, sistem saraf ter-
bagi dalam 4 area kerja yang berbeda, yaitu:
sistem saraf perifer, medula spinalis, intrakranial fossa posterior (termasuk batang otak),
dan hemisferserebri (Gambar 1]. Hal ini sangat
penting, sebagaimana seorang internis yang
tidak mengetahui organ tubuh pasien yang
terganggu, apakah di paru, lambung, atau
ginjal, sehingga tidak dapat ditentukan diagnosis dan tata laksananya.
Gejala di intrakranial dapat berupa gangguan di hemisfer serebri atau fossa posterior,
Daerah fossa posterior yang terdiri dari
serebelum dan batang otak sangat khas.
Serebelum merupakan pusat keseimbangan,
sehingga akan muncul keluhan seperti pusing
berputar (vertigo) atau sensasi bergoyang
(dizziness). Pada pasien dengan gangguan
batang otak dapat muncul keluhan dari sarafsaraf kranialis seperti diplopia, disfagia, atau
disartria, Kesemua ini sangat berbeda dengan
gejala di hemisfer serebri yang biasanya didominasi dengan nyeri kepala, kelemahan tubuh sesisi, atau gangguan fungsi kognitif.
Daerah hemisfer serebri dapat disebabkan
oleh lesi di daerah korteks dan subkorteks.
Hal ini dapat dibedakan berdasar anamnesis kekuatan ekstremitas yang mengalami
kelemahan. ]ika kekuatan tangan sama dengan
kaki, maka dipikirkan lesi di daerah subkorteks
akibat berkumpulnya jaras motorik dari daerah tangan dan kaki. Namun jika kekuatan
tangan dan kaki ada yang lebih dominan, kemungldnan lesi di korteks motorik, sesuai
dengan homonkulus perbedaan area ekstremitas atas dan bawah. Hal ini ditunjang
dengan adanya kejang akan lebih sesuai untuk
lesi di daerah korteks.
Gejala akibat gangguan di sistem saraf perifer dan medula spinalis biasanya berupa
kelemahan dan gangguan sensasi di anggota
gerak tertentu. Gangguan di sistem ini tidak
akan memicu keluhan sakit kepala
atau nervus kranialis yang menunjukkan keluhan berasal dari kelainan di intrakranial.
Gangguan pada medula spinalis bisa disertai
nyeri lokal atau menjalar di area yang terganggu, atau gangguan berkemih dan buang
air besar. Adapun lesi di ssaraf perifer dapat
memicu paresis yang fokal, misalnya
pada 1 ekstremitas atau area otot tertentu.
Anamnesis khusus selengkapnya dapat dilihat pada Bab Saraf Tepi.
sesudah mendapat gejala neurologis
yang saat ini muncul, harus ditanyakan pula
riwayat gangguan neurologis atau penyakit
lain dan hasil pemeriksaan sebelumnya.
Pada pasien dewasa dengan kejang, perlu
ditanyakan apakah itu kejang pertama kali
atau sudah mengalami kejang sejak kecil.
Pada pasien dewasa atau tua dengan kejang
pertama kali harus dipildrkan adanya lesi
struktural baru seperti infeksi, neoplasma,
atau stroke. Namun jika sudah ada riwayat
kejang sejak kecil, maka bisa diperkirakan
pasien ini yaitu penderita epilepsi.
Pada penderita seperti ini harus ditanyakan
apakah sudah mendapat terapi yang adekuat
serta pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)
sebagai penunjangnya.
Pasien dengan kecurigaan stroke harus
ditanyakan pernah mengalami serangan
serupa sebelumnya atau tidak. Jadi gejala
klinis yang muncul merupakan gejala yang
betul-betul baru pertama kali muncul atau
sudah pernah sebelumnya. Apabila sudah
pernah, juga harus dipastikan apakah gejala
sebelumnya segera pulih dalam waktu kurang
dari 24 jam atau menetap lebih dari itu. Jika
pasien pernah mengalami stroke sebelumnya,
perlu ditanyakan gejala sisa yang dialami dan
sejauh apa pasien bisa beraktivitas.
Hal ini penting untuk memastikan apakah
gejala yang muncul saat pasien datang
merupakan gejala yang sama atau lebih berat
dibanding sisa serangan stroke sebelumnya
sehingga dianggap stroke berulang. Jika
pasien membawa hasil CT scan atau MRI
yang memang memastikan adanya riwayat
stroke, akan lebih mudah bagi Dokter untuk
menegakkan diagnosa stroke berulang,
oleh sebab kemungkinannya sangat tinggi
pada yang sudah pernah stroke sebelumnya.
Terminologi yang dipakai oleh pasien
juga harus dipastikan sama dengan yang
diketahui oleh dokter pemeriksa. Misalnya
istilah 'kepala pusing' yang dimaksud oleh
pasien apakah nyeri kepala atau pusing
berputar. Oleh sebab diagnosa banding
keduanya sangat jauh berbeda. Demikian
pula dengan keluhan 'kejang'. Banyak gejala
yang mirip kejang, namun yang khas pada
kejang yaitu kejadiannya yang mendadak,
gerakannya biasanya ritmis sekejap dalam
hitungan menit, serta berpola.
PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan Fisik Umum
a. Pemeriksaan tanda vital; dapat menggambarkan defisit neurologis misalnya pola nafas tertentu dan hipotensi
ortostatik. Informasi tanda vital lainnya dapat membantu penegakan diagnosis pasien dengan penting.
b. Pemeriksaan skrining nyeri misalnya
memakai Numeric Rating Scale
(NRS) atau Visual Analogue Scale
(VAS), dan risiko jatuh.
c. Pemeriksaan fisik umum lainnya
akan sangat membantu diagnosa .
Pada masalah trauma, perlu dilakukan
pemeriksaan terkait organ yang terkena dampak trauma secara teliti,
sehingga mencegah perburukan yang
biasanya ter jadi secara drastis.
d. Inventarisasi beberapa faktor risiko
dan komplikasinya pada organ non
neurologis dapat dikonfirmasi dengan
pemeriksaan fisik ini. Pada pasien
dengan stroke, sebab etiologinya
vaskular, perlu diperhatikan secara umum ada tidaknya efek fak-
tor risiko vaskular terhadap organ target lain. Misalnya pada pasien stroke
dengan hipertensi, perlu diketahui kelainan pada jantung, ginjal, dan retina.
Pada pasien trauma, perlu diperiksa
kemungkinan trauma di organ lain.
Demikian pula pasien neoplasma dan
infeksi, sesuai dengan patogenesisnya
masing-masing.
2. Pemeriksaan Fisik Neurologis Dasar
a. Pemeriksaan kesadaran secara kualitatif (kompos mentis, delirium, somnolen,
sopor, atau koma], dan kuantitatif menggunakan Skala Koma Glasgow (SKG) dan
atau Four Score (baca topik Penurunan
Kesadaran].
a. Pemeriksaan pupil yang mendeskripsikan bentuk, isokoria/anisokoria, diameter pupil mata kanan dan kiri, serta
bagaimana reaksinya terhadap cahaya
langsung dan tak langsung (baca topik
Penurunan Kesadaran].
b. Pemeriksaan nervus kranialis I sampai
XII. Pada pasien tidak sadar, dapat digantikan pemeriksaan refleks-refieks
batang otak.
c. Pemeriksaan motorik lengkap meliputi
kekuatan otot dengan skala 0-5, trofi,
tonus, refleks fisiologis tendon dalam,
dan refleks patologis. Dijelaskan pula
pola distribusi paresisnya, misal hemiparesis, tetra/paraparesis, paresis miotom/otot tertentu.
d. Pemeriksaan sensorik lengkap beserta
pola distribusi lesinya (misalnya hemihipestesi, hipestesi setinggi dermatom
medula spinalis tertentu, hipestesi pada
dermatom saraf tertentu, hipestesi pola
sarung tangan & kald]. Termasuk di
dalamnya distribusi dan karakteristik
nyeri seperti hiperalgesia dan alodinia.
Untuk menilai tingkat baal dan tingkat
nyeri dapat memakai Visual Analogue Scale (VAS] 0-10 dan dilaporkan
per regio yang mengalami baal/nyeri.
e. Pemeriksaan otonom, seperti adakah
inkontinensia/retensio uri et alvi, gangguan ereksi/ejakulasi terkait neurologi,
hipo/hiperhidrosis, dan berbagai sindrom defisit otonom lainnya.
f. Pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi otot.
g. Pemeriksaan fungsi luhur, setidaknya
skrining memakai MMSE, Mini Cog,
MoCA INA, atau perangkat penapisan
fungsi luhur lainnya.
sesudah anamnesis dan pemeriksaan fisik,
dapat dibuat diagnosa kerja dengan beberapa diagnosa banding yang bersifat umum
yang akan jadi acuan pemeriksaan langkahlangkah selanjutnya, Pemeriksaan penunjang termasuk laboratorium dan radiologi,
serta penunjang lain yang akan dijelaskan
di bab-bab selanjutnya dari buku ini, dilakukan secara prioritas bergantung pada arah
diagnosa ini . Baru kemudian berdasarkan hasil-hasil penunjang, dibuat diagnosis kerja yang lebih akurat dan diagnosa
banding (jika masih dipertimbangkan] yang
lebih khusus. Kadang pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan tidak dapat dilakukan
secara lengkap, namun perkiraan diagnosa
tetap diupayakan untuk dibuat.
diagnosa NEUROLOGIS
Khusus bidang neurologi, dibuat analisis lebih
lanjutdari diagnosa yang dibuat, yaitu diagnosis berdasar aspek klinis, topis, patologis
dan etiologis. Analisis ini penting untuk menjaga pola berpikir khas neurologis yang akan
memudahkan penentuan tata laksana berikutnya. Walaupun biasanya keempat diagnosis ini hanya ditulis untuk kepentingan
akademik, namun analisisnya harus menjadi
bagian dari manajemen pasien sehari-hari
dengan prinsip seperti pada Gambar 2.
X. diagnosa (Aspek) Klinis
Berisi semua gejala klinis yang ditemukan
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dituiis secara sistematis mulai dari keluhan
utama dan keluhan lain, lalu dilanjutkan
dengan pemeriksaan neurologis berurutan dari paresis nervus kranialis dan defisit
lainnya. Hal ini dimaksudkan agar semua
gejala klinis dapat ditulis lengkap, oleh
sebab diagnosa klinis akan berdampak
menentukan diagnosa topis selanjutnya.
Misal pasien dengan tumor di serebelum akan mengalami gejala sakit kepala
yang l<ronik progresif dan vertigo, tanpa
lateralisasi atau defisit neurologis lainnya.
Jika pada diagnosa klinis tidalc ditulis
vertigo, hanya sakit kepala yang kronik
progresif, maka tidak dapat ditentukan
secara spesifik lokasi lesinya.
Contoh lain pasien dengan stroke hemoragik dapat mempunyai diagnosa klinis:
sakit kepala, riwayat penurunan kesadaran,
paresis nervus VII dan XII sentral dekstra,
serta hemiparesis delcstra. Gejala Minis
yang sudah dibuktikan dengan pemeriksaan fisik maka cukup ditulis hasil pemeriksaan fisiknya saja. Misal: keluhan bicara
pelo yang sudah dibuktikan dengan adanya
paresis N. XII, tidak perlu ditulis disartria
lagi.
2. diagnosa (Aspek) Topis
Merupakan perldraan lokasi lesi atau topis
paling mungkin berdasar temuan pada
diagnosa klinis. Dugaan ini dibuat berdasarkan neuroanatomi dan fisiologi, suatu
analisis secara neurologis yang dibuat tanpa
melihat pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan penunjang lainnya. Pemeriksaan
radiologis dapat membuktikan diagnosa
topis dan pemeriksaan penunjang lainnya
dalam menggambarkan kondisi pasien secara lebih tepat.
Penentuan diagnosa topis sejak awal
juga akan membantu menentukan diagnosis kerja, bahwa lesi di daerah tertentu
biasanya disebabkan oleh patologis tertentu. Misalnya, sakit kepala yang disertai
gangguan lapang pandang hemianopia
bitemporal merupakan gajala khas di
daerah sella yang biasanya akibat tumor
sella, seperti adenoma hipofisis. Diplopia
akibat paresis N. VI disertai paresis N.
VII perifer sisi yang sama, tanpa adanya
gejala lain, menunjukkan topis berupa
lesi kecil di daerah pons yang umumnya
disebabkan oleh stroke.
3. diagnosa (Aspek) Patologis
Analisis ini biasanya ditentukan dari
gambaran patologi anatomi. Namun, oleh
sebab pemeriksaan Ini tidak memungkinkan dilakukan pada semua pasien,
maka diagnosa patologi dapat berdasarkan pengetahuan secara teoritis maupun
bukti ilmiah terhadap masalah -masalah umum,
dengan membayangkan gambaran jika
lesi topis itu dilakukan analisis patologi.
Sebagai contoh, pada masalah tumor intrakranial dengan gejala klinis hemiano-
pia bitemporal dan gangguan endokrin,
maka diagnosa patologis yang dapat
dipikirkan yaitu adenoma hipofisis.
Pemeriksaan penunjang berupa MRI adanya dumbell-shape pada daerah sella juga
dapat membantu menentukan diagnosa
patologi, mesldpun belum dilakukan biopsi.
Contoh lain, pada masalah stroke iskemik,
maka diagnosa patologinya yaitu infark
parenkim otak, meningitis yaitu inflamasi,
dan multipel sklerosis berupa demielinisasi.
4. diagnosa (Aspek) Etiologis
Menganalisis proses patofisiologi mekanisme yang mendasari kelainan pada
sistem saraf yang terlibat, yaitu proses
penyakit yang berkontribusi menimbulkan gejala dan tanda klinis. Sebagai contoh,
pada stroke iskemik dengan klinis hemiparesis dektra mendadak dan muncul
saat istirahat, maka dipikirkan diagnosa
etiologinya yaitu sumbatan trombus.
Contoh lain pada tumor intrakranial
dengan klinis penurunan kesadaran dan
hemiparesis dekstra, maka dipikirkan
diagnosa etiologi yakni proses desak
ruang akibat tumor dan edema.
Pada infeksi intrakranial, diagnosa etiologis yaitu dugaan presumtif kuman pemicu yang dapat dibuktikan dengan hasil
kultur. Misal pada meningitis TB etiologisnya yaitu M. tuberkulosis, pada ensefalitis toksoplasma etiologisnya toksoplasma
gondii, dan pada multipel sklerosis berupa
autoimun.
diagnosa klinis, topis, etiologi, dan patologi harus saling berkesinambungan. Penulisan keempat diagnosa ini murni
berdasar gejala klinis, dan hasil analisis
topis, etiologis, dan patologis, tanpa mencantumkan nama penyakit Jadi tidak akan
ada kata 'stroke, meningitis, atau ensefalitis' di dalam keempat diagnosa itu. Namanama penyaldt atau sindrom ini akan
disebutkan secara terpisah dalam diagnosis kerja, yang akan menjadi dasar untuk
merencanakan pemeriksaan penunjang
dan tata laksana selanjutnya.
diagnosa topis memuat lokasi anatomi
yang terlibat pada suatu penyakit sehingga
memicu munculnya gejala dan tanda
klinis tertentu. Dengan demikian, diagnosa
topis berkorelasi dengan diagnosa klinis.
diagnosa topis membantu menentukan diagnosis banding dan merencanakan pemeriksaan penunjang. Sebagai contoh, adanya
klinis paraparesis UMN dengan hipestesi
setinggi umbilikus ke bawah, maka diagnosis topis yang dipikirkan yaitu meduia
spinalis segmen torakal 10. Dengan adanya
klinis ini , tentunya tidak akan dipikirkan lesi intrakranial atau saraf perifer seperti
radikulopati atau neuropati. Implikasinya,
klinisi akan merencanakan MRI torakal
dan somatosensory evoked potential (SSEP),
dibandingkan MRI kepala atau konduksi
hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMGj.
diagnosa KERJA
Pada akirnya klinisi harus membuat diagnosa
kerja. Formulanya yaitu memuat gejala dan
tanda klinis serta nama penyakit Namun hal
yang perlu ditekankan, tidak seluruh gejala
dan tanda penyakit dituliskan dalam
diagnosa kerja.
Pada prinsipnya, gejala dan tanda yang
perlu dicantumkan yaitu :
a. Gejala dan tanda klinis yang menjadi keluhan utama atau bersifat kegawatdaruratan
Sebagai contoh pada stroke hemoragik
dengan manifestasi penurunan kesadaran,
paresis N. VII dan N. XII sentral kanan, dan
hemiparesis kanan, maka dalam diagnosa
kerja cukup dituliskan penurunan kesadaran et causa (ec] stroke hemoragik. Dalam
hal ini, penurunan kesadaran merupakan
klinis yang membutuhkan tata laksana
kegawatdaruratan.
Pada pasien dengan keluhan utama mulut
mencong akibat paresis nervus fasialis
perifer, jika diduga sebagai masalah Bell's
palsy maka diagnosa kerjanya yakni paresis nervus fasialis perifer ec Bell's palsy.
Pada masalah ini, paresis nervus fasialis dimasukkan dalam diagnosa kerja sebab
merupakan keluhan utama dan menjadi
tujuan utama tata laksana penyakit ini.
b. Gejala dan tanda klinis yang memerlukan pemantauan khusus dalam terapi
Contoh pada pasien sebelumnya dengan
stroke hemoragik, gejala yang perlu diIakukan pemantauan yaitu penurunan
kesadaran. Adapun gejala paresis N. VII
dan N. XII sentral kanan, dan hemiparesis kanan bukan merupakan target
pemantauan khusus, sebab akan ikut
membaik seiring dengan tata laksana
stroke hemoragik sebagai pemicu nya.
Oleh sebab pada dasarnya diagnosa kerja berfungsi sebagai penentu terapi, maka
gejala klinis yang ditulis bersifat fleksibel
sesuai dengan perjalanan penyakit pasien.
Misal jika selama perawatan pasien stroke
hemoragik ini merasakan sakit kepala sesudah perbaikan kesadaran, maka
diagnosa kerja berubah menjadi sefalgia
ec stroke hemoragik. Oleh sebab sefalgia
itu merupakan gejala yang dikeluhkan
pasien dan dapat menjadi indikator tata
laksana peningkatan tekanan intrakranial.
Berikut ini diberikan beberapa contoh skenario klinis dan cara penulisan diagnosa
klinis, topis, etiologi, patologi dan diagnosa
kerja (label 1)
PENUTUP
Pembuatan diagnosa kerja neurologis beserta
keempat aspek diagnosa Minis, topis, etiologis, dan patologis terkesan sulit, sebab membutuhkan pengetahuan Minis, neuroanatomi,
dan patofisiologi penyaldt-penyaMt neurologis. Namun hal ini dapat dipelajari dan akan
menjadi suatu ketrampilan tersendiri seiring
dengan banyaknya masalah yang dihadapi, selama klinisi memahami pentingnya prinsip
pembuatan diagnosa ini . Oleh sebab
manfaat utamanya yaitu bagi Minisi sendiri
yang akan menjadi terbiasa untuk berpikir
sistematis, sesuai dengan cara kerja otak,
serta memudahkan pemilihan tata laksana
pasien yang tepat selanjutnya.
CONTOH masalah
Tn. A, 23 tahun mengalami kecelakaan sepeda
motor berkecepatan tinggi hingga dahi depannya terbentur tiang listrik, lalu terbentur aspal.
Pasien tidak sadar sampai 4 jam kemudian
tiba di RS, lalu pasien sadar namun mengalami
perubahan perilaku. Pasien menjadi sering
marah (sebelumnya dikenal penyabar), apati,
mengucapkan kata-kata kotor, BAK dan BAB
sembarangan (tidak dapat ditahan), tiba-tiba
ingin berbuat seks dengan perempuan di
dekatnya saat perawatan, serta lupa kejadian
sebelum dan sesudah kecelakaan.
Pasien juga mengalami perdarahan hidung
dan telinga. Tiga hari perawatan tampak
mulut mencong ke kiri, kerutan dahi kanan
berkurang, dan kelopak mata kanan lebih
tampak terbuka. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital normal, jejas trauma
di dahi depan dan wajah serta di temporal
kanan, tes halo positif pada darah yang keluar dari hidung dan telinga, serta adanya
battle sign dan brill hematoma. Pasien juga
mengalami paresis sisi kanan pada m. Levator sulci nasolabialis, m. Frontalis, m. Orbikularis okuli, dan m. Orbikularis oris dengan
skala House-Brackmann 3. Belum ada hasil
pemeriksaan lab dan radiologi.
Gejala dan tanda Minis yang terkait bidang
neurologi yaitu :
1. Riwayat pingsan pasca onset trauma
kepala 4 jam. Riwayat pingsan sesudah
trauma yaitu bagian dari patofisiologi
trauma kepala pada umumnya.
2. Perubahan kepribadian (sering marah
padahal awalnya penyabar).
3. Mengucapkan kata-kata kotor.
4. Disinhibisi sosial termasuk disinhibisi
terhadap BAB, BAK, dan seksual
Poin 2-4 ini dapat dikelompokkan dalam
sindrom lobus frontal, khususnya bagian
(dorsolateral) korteks prefrontal dan orbitoffontal.
5. Amnesia anterograd dan retrograd.
Amnesia dapat merupakan bagian dari
sindrom lobus frontal dengan kerusakan
di bagian mesial inferior. Namun sebab
mempertimbangkan kemungkinan lainnya, lebih baik amnesia ini dipisahkan
dari sindrom lobus frontal, kecuali Minisi
sudah berkeyakinan dari pemeriksaan
lanjutan bahwa hal itu akibat sindrom
lobus frontal.
6. Rhinorhea dengan kebocoran cairan serebrospinal (CSS).
7. Otorhea dengan kebocoran CSS.
8. Battle sign.
9. Brill hematoma.
Poin 6-9 dapat dikelompokkan dalam
sindroma fraktur basis kranii, khususnya
fossa anterior dan os petrosus.
10. Paresis m. levator sulci nasolabialis kanan.
11. Paresis m. Frontalis kanan.
12. Paresis m. Orbikularis okuli kanan.
13. Paresis m. Orbikularis oris kanan.
Poin 10-13 ini dapat dikelompokkan dalam
sindrom paresis N. VII perifer, sehingga cukup
dituliskan dalam diagnosa klinis sebagai
paresis N. VII perifer kanan. Meskipun paresis N. VII perifer kanan yang terjadi dapat
merupakan bagian dari sindroma fraktur basis kranii di atas yang berhubungan
dengan fraktur os petrosus, namun sebab
sangat mungkin ada dd/ topis segmen N.
Fasialis lain (selanjutnya akan dilakukan
pemeriksaan fisik dan penunjang memastikan topis segmen N. VII ini], maka lebih baik
dipisah dituliskan paresis N. VII perifer kanan
traumatik ini dari sindrom fraktur basis kranii
os petrosus, kecuali pemeriksa/akademisi sudah berkeyakinan dari pemeriksaan lanjutan
bahwa memang yang paling tepat menjelaskan amnesia pada pasien yaitu semata-mata
terkait fraktur os petrosus. Lengkapi paresis
n. VII perifer kanan ini dengan keterangan
tingkat keparahannya (dalam hal ini ada
keterangan skala House Braclonann 3].
Maka menuliskan 4 dimensi diagnosa pada
pasien ini yang baik yaitu sebagai berikut:
1. diagnosa klinis: sindroma lobus frontal, amnesia anterograd dan retrograd,
sindroma fraktur basis kranii, paresis
N.VII kanan perifer traumatik House
Brackmann 3 (lebih baik dari hanya
dituliskan tanpa keterangan tingkat
keparahan penyakit). Klasifikasi HouseBrackmann dapat dilihat pada Topik
Komplikasi Pascacedera Kepala.
2. diagnosa topis: korteks dorsolateral prefrontal, korteks orbitoffontal (lebih spesifik dari hanya dituliskan lobus frontal, akan
lebih baik]; basis kranii fossa anterior dan
os petrosus (lebih spesifik dari hanya dituliskan basis kranii, akan lebih baik]; N.VII
kanan (sementara tak mengapa menuliskan N. VII kanan saja, sesudah pemeriksaan
penunjang perlu disempurnakan menjadi
segmen manakah dari N.VII yang terkena:
intrakranial, meatal, labirin, timpanik,
mastoid, atau ekstratemporal].
3. diagnosa patologi: kemungkinan sebelum
adanya pemeriksaan penunjang yaitu :
kontusio (tidak mungkin komosio], axonal
injury "baik di lobus frontal maupun N. VII",
dan fraktur (untuk area basis kranii].
4. diagnosa etiologi: trauma.
EVALUASI NEUROLOGIS PERIOPERATIF
Sistem saraf amat terkait dan dipengaruhi
oleh sistem organ lain. Seluruh penyakit,
kelainan, atau cedera pada sistem organ di
bagian tubuh manapun dapat berpengaruh pada sistem saraf dan bermanifestasi
sebagai gejala neurologis. Hal ini menyebabkan seorang neurolog dapat menerima
permintaan konsultasi dari spesialisasi lain,
pada berbagai kondisi pasien. Oleh sebab
itu, konsultasi dan rawat bersama merupakan bagian dari tugas sehari-hari seorang
neurolog dalam membantu mengatasi masalah
kesehatan pasien secara komprehensif.
Angka konsultasi ke neurolog di negara
dengan layanan spesialis emergensi yang
telah mapan yaitu berkisar 14,7%. Konsultasi ini bermanfaat untuk membantu memastikan diagnosa dan mengubah tata
laksana secara bermakna pada 52,5% masalah .
Di bangsal atau ruang rawat, angka
perawatan pasien neurologi berkisar 10-
20% dari total pasien di RS. Angka ini
mencakup tidak hanya pasien yang dirawat
dengan kelainan neurologis sebagai masalah
primer, namun 3-5% masalah merupakan pasien
dengan masalah primer nonneurologis yang
dikonsultasikan. Konsultasi sebagian besar
berasal dari bidang penyakit dalam, disusul
psikiatri, dan onkologi. Masalah tersering
yang dikonsultasikan ke neurolog yaitu
penurunan kesadaran, kejang, dan stroke.
Konsultasi neurologi juga terjadi di ruang
perawatan intensif atau intensive care unit
(ICU), Studi di Amerika Serikat pada tahun
2015 menunjukkan bahwa angka konsultasi
neurologi baik di ICU medik maupun bedah
mencapai 50% masalah , terutama pada masalah
ensefalopati, stroke, dan hypoxic-anoxic brain
injury.
Secara umum, konsultasi neurologi dalam tahap
perawatan amat bermanfaat dalam manajemen pasien. Konsultasi neurologi membantu
memperpendek lama perawatan pada 65% masalah , membantu memperbaild diagnosa secara
bermakna pada 55% masalah , dan 70% masalah
akan mengalami perubahan manajemen perawatan yang signifikan. Di negara kita , belum
ada data pasti mengenai angka konsultasi
neurologi baik di unit gawat darurat (UGD),
ruang rawat, maupun ruang intensif. Namun
demikian diyakini angkanya tidak jauh berbeda
dibandingkan data ini .
Selain konsultasi di UGD dan perawatan, neurolog juga seringkali dikonsulkan oleh spesialis bedah untuk mengevaluasi risiko tindakan sebelum prosedur invasif atau menilai
kondisi pascatindakan operatif. Pada praktek
sehari-hari, selain pada masalah bedah saraf,
konsultasi untuk menilai risiko maupun komplikasi neurologis ini sering dimintakan pada
pasien operasi jantung, operasi pembuluh
darah, serta masalah transplantasi, baik pada pasien dengan atau tanpa riwayat penyaldt
neurologis sebelumnya.
Bab ini akan membahas evaluasi neurologis
perioperatif (periode preoperatif, intraoperatif
sampai dengan 30 hari pascaoperasi) dengan
struktur pembahasan dimulai dari komplikasi
neurologi perioperatif yang mungkin terjadi,
termasuk komplikasi neurologis pada transplantasi, cara melakukan penilaian neurologis
preoperatif secara umum, dan diakhiri dengan
penilaian preoperatif pada kondisi pasien
dengan riwayat kelainan neurologis tertentu.
KOMPLIKASI NEUROLOGIS PERIOPERATIF
Komplikasi neurologis perioperatif tidak
jarang terjadi, amat bervariasi, serta memiliki dampak morbiditas dan mortalitas yang
bermakna. Adapun komplikasi yang paling
banyak dan memiliki dampak prognosis
yang bermakna pada pasien, serta menjadi pemicu tersering konsultasi untuk
evaluasi neurologis intra dan pascaoperasi,
yaitu delirium, kejang, dan stroke.
1. Delirium
Delirium atau acute confusional state
merupakan perubahan akut dalam hal
kognitif dan atensi yang dapat mencakup
gangguan kesadaran dan organisasi berpikir. Delirium pada pasien rawat inap
memicu mortalitas rawat inap sebesar 4-17%, mortalitas 1 tahun sebesar
35-40%, dan memperpanjang lama rawat
5-10 hari. Delirium pascaoperasi juga
merupakan hal yang tidak jarang terjadi,
dengan insidens 10-18% pascaoperasi
bedah umum, 53% pascaoperasi ortopedi,
dan 74% pascaoperasi jantung. Meskipun
sering terjadi, delirium merupakan kondisi
yang dapat dicegah dan saat ini dipakai
sebagai salah satu indikator kualitas perawatan dan keselamatan pasien.
Mengingat tingginya angka morbiditas
dan mortalitas delirium, seluruh pasien,
khususnya pasien lanjut usia, harus dilakukan penapisan delirium. Penapisan
ini minimal dilakukan 1 kali sehari atau
lebih sering jika pasien berisiko
tinggi delirium. Algoritma untuk penapisan dan diagnosa delirium yang saat
ini dianggap reliabel, peka , dan spesifik yaitu confusion assessment method
[CAM] (Gambar 1). ada 4 fitur yang
dinilai, yaitu onset akut dan fluktuatif,
gangguan atensi, gangguan organisasi berpikir, serta penurunan kesadaran dengan
memakai alat penilaian yang berbeda.
Neurolog memiliki peran penting dalam
pencegahan dan penanganan delirium,
termasuk delirium pascaoperasi. Salah
satu tujuan utama evaluasi neurologi
preoperatif yaitu untuk mencegah terjadinya delirium saat dan pascaoperasi
dengan mengenali faktor risiko delirium,
baik yang dapat dimodifikasi maupun
tidak.
Beberapa faktor risiko yang diidentifikasi terkait erat dengan delirium yaitu
usia >70 tahun, gangguan fungsi kognitif, dan ketergantungan fungsional sebelum operasi, Usia lanjut memicu
berkurangnya neurological reserve dan
kecenderungan untuk memiliki komorbiditas medis lain seperti stroke, penyaldt
ginjal atau penyaldt hati kronik, dan penyakit terminal, sehingga meningkatkan
kerentanan terjadinya delirium.
Faktor lain yaitu penyakit sistemik, dehidrasi, dan malnutrisi. Malnutrisi dibuktikan dengan adanya hiponatremia, hipokalemia, kadar glukosa darah abnormal,
hipermagnesemia, blood urea nitrogen
(BUN)/creatinine ratio >18, dan hipoalbuminemia. Adanya hendaya panca indera
yang memicu gangguan sensorik
(khususnya gangguan pendengaran dan
penglihatan) juga merupakan salah satu
faktor risiko kuat terjadinya delirium. Beberapa faktor risiko delirium yang bersifat
ringan hingga sedang yaitu penyalahgunaan alkohol, depresi, pemakaian
psikotropik preoperatif, serta adanya gejala
psikopatologi sebelumnya.
Oleh sebab gangguan kognitif dan demensia memiliki hubungan kuat dengan
delirium pascaoperasi, maka perlu dilakukan evaluasi fungsi kognitif. Beberapa
pemeriksaan sederhana yang dapat digunakan yaitu tes clock-drawing tasks,
Mini-Cog, dan Mini-Mental Status Examination (MMSE). MMSE merupakan tes
yang paling banyak dipakai, yaitu skor
<24/30 berhubungan dengan peningkatan
risiko delirium pascaoperasi.
Pada pasien dengan demensia harus
dilakukan evaluasi menyeluruh untuk
mencari etiologinya. Jika etiologi bersifat
reversibel maka sebaiknya segera diatasi
sebelum tindakan operasi. Namun jika
etiologi bersifat ireversibel, maka pasien
dan keluarganya harus diberi edukasi
tentang kemungkinan terjadinya delirium
pada pasien. Selain mengenali faktor risiko, jika terdapat obat-obat preoperasi yang memiiiki hubungan bermakna dengan kejadian delirium [Tabel 1), maka harus
dihentikan untuk mencegah terjadinya
delirium. Evaluasi pemberian obat
ini dilakukan terutama bila dikonsumsi oleh pasien lanjutusia dan pasien
dengan gangguan fungsi kognitif.
Saat ini ada beberapa instrumen
untuk memprediksi delirium baik untuk
operasi kardiak, nonkardiak, serta
operasi ortopedi, yang dapat membantu
untuk evaluasi neurologi preoperatif.
Pada operasi kardiak, penskoran untuk
menilai risiko delirium yaitu sebagai
berikut: a) nilai MMSE<24 (skor 2) dan
nilai MMSE 24-27 [skor 1); b) riwayat
stroke/TIA [skor 1); c) depresi [skor
1); dan d] kadar albumin <3 [skor 1).
Jika total skor preoperatif pasien yaitu
1 maka risiko relatif untuk mengalami
delirium yaitu 2,4 kali dibandingkan
pasien dengan skor 0 sebagai baseline.
Jika skor 2, risiko delirium 3,4 kali; dan
jika skor >3 menjadi 4,9 kali lipat dari
pasien normal.
Pada operasi nonkardiak, risiko delirium
dapat dipredikasi dengan menggunakan Inouye's Risk Classification, menggunakan 4 parameter yang masing-masing
diberi skor 1, yakni: gangguan penglihatan,
kondisi penyakit dasar yang berat, adanya
gangguan kognitif, dan gangguan fungsi
ginjal [dapat dinilai dengan meningkatnya rasio blood urea nitrogen/kreatinin).
Risiko delirium rendah bila total skor 0,
risiko sedang bila total skor 1-2, dan risiko
tinggi bila total skor 3-4. Pada pasien risiko
tinggi, sesudah dilakukan validasi kohort,
kejadian delirium mencapai 32% dengan
angka lcematian 42%.
Pada pasien dengan risiko tinggi delirium
"atau pasien pascaoperasi yang mengalami
delirium" dapat dilakukan upaya tata laksanapencegahan dengan intervensi nonfarmakologis [Tabel 2).
Pemberian obat-obatan untuk delirium
sebaiknya hanya dilakukan pada kondisi
agitasi berat yang dapat memicu
gangguan perawatan dan mengancam
keselamatan pasien. Antipsikosis atipikal
seperti olanzapin atau quetiapin lebih
dianjurkan dan dapat menjadi alternatif
yang bermanfaat pada kondisi ini ,
mengingat efek samping ektrapiramidal
yang minimal dibandingkan antipsikosis
tipikal. Pada saat pulang, baik obat antipsikotik
tipikal maupun atipikal harus dihentikan
sebab meningkatkan risiko mortalitas,
terutama pada pasien demensia. Penggunaan obat golongan benzodiazepin dalam
manajemen delirium harus benar-benar
dihindari, kecuali pada kondisi khusus
seperti efek putus alkohol, penyakit Parkinson, Demensia badan Lewy, neuroleptic
malignant syndrome (NMS), atau pasien
dengan epilepsi intraktabel.
2 . K ejang
Kejang yaitu salah satu komplikasi
perioperatif yang paling dihindari sebab
akan mengaldbatkan prognosis yang
buruk. Angka kejadian kejang perioperatif
nonbedah saraf berkisar antara 2-6%,
sementara pada operasi bedah saraf
antara 3% (padd operasi Frazier untuk
masalah trigeminal neuralgia) hingga 92%
(pada masalah operasi abses otak).
berdasar waktu kejadiannya, kejang
pascaoperasi dibagi menjadi 3 kategori,
yaitu immediate postoperative seizure
yang muncul dalam 24 jam pascaoperasi,
early se/zure yang muncul dalam 1 minggu,
dan late seizure yang muncul sesudah 1
minggu pascaoperasi,
Faktor risiko yang meningkatkan kemungIdnan terjadinya kejang di antaranya yaitu
yaitu tumor otak, stroke, trauma kepala,
gangguan metabolik, serta riwayat kejang
atau epilepsi sebelumnya. Pada pasien yang
pemah memiliki riwayat kejang, frekuensi
kejang sebelum operasi berbanding lurus
dengan angka kejadian kejang perioperatif. Oleh sebab itu, pasien epilepsi memiliki risiko kejang perioperatif lebih tinggi
dibandingltan pasien nonepilepsi, terutama
pasien epilepsi dengan kejang yang tidak
terkontrol sebelum operasi.
Dalam literatur disebutkan pula beberapa
hal yang potensial menjadi pemicu kejang
pascaoperasi yakni gangguan elektrolit
(hiponatremia, hipokalsemia), hipoksia,
hipokarbia, hipoglikemia, asidosis, demam,
pemakaian obat-obatan (anestesi lokal,
anestesi inhalasi, opioid, dan reaksi obat),
kejang psikogenik, dan iskemik serebri
baik fokal maupun global. Demildan pula
beberapa faktor terkait operasi, seperti
terganggunya terapi rumatan obat antiepilepsi (OAEJ sebab pasien harus
dipuasakan menjelang tindakan, adanya
stres fisik dan psikologis akibat operasi,
serta pemakaian obat-obatan anestesi
yang bersifat prokonvulsif.
Mengingat tingginya risiko kejang perioperatif pada pasien epilepsi, maka dianjurkan untuk mengkonsumsi OAE sesuai
jadwal rutin pengobatan, termasuk pada
pagi hari menjelang operasi. Dengan persetujuan dokter bedah dan dokter anestesi, pasien dapat minum obat dengan
sedikit air. Segera sesudah operasi, OAE
juga sebaiknya segera diberikan kernbali. jika pemberian secara enteral tidak
memungkinkan, maka pemberian OAE intravena seperti fenitoin atau fenobarbital
dapat dilakukan dengan dosis ekuivalen
terhadap dosis oral yang biasa dikonsumsi.
Kejang perioperatif pada pasien epilepsi juga
berhubungan dengan rendahnya kadar OAE
dalam darah. Namun demikian, pemeriksaan
kadar OAE rutin sebelum operasi tidak
direkomendasikan, kecuali diperkirakan
akan terjadi penghentian OAE lama atau
altan terjadi perubahan kadar yang signifikan
akibat adanya pengunaan obat-obat lain
yang mempengaruhi kadar OAE. Obatobatan ini antara lain antibiotik betalaktam yang mengurangi kadar valproat,
atau obat golongan penyekat kanal kalsium
dan penyekat beta yang menurunkan kadar
fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, dan
oksltarbazepin dalam darah.
OAE juga dapat memengaruhi obat yang
rutin dikonsumsi pasien, sehingga akan
meningkatkan risiko preoperatif. Sebagai
contoh, valproat memiliki efek hematologi seperti trombositopenia, menginhibisi
agregasi trombosit, dan mendeplesi kadar
fibrinogen yang memicu risiko
perdarahan pada pasien yang rutin mengkonsumsi antiplatelet dan antikoagulan.
Oleh sebab itu bila pasien mengkonsumsi
valproat dan warfarin rutin, maka dianjurkan pemantauan INR secara ketat pada
periode preoperatif.
Selain efek epilepsi dan OAE terhadap
operasi, operasi sendiri memilild dampak
terhadap kejang. Beberapa jenis obat anestesi dapat memengaruhi ambang kejang
pasien. Secara umum obatanestesi seperti
etomidat dalam dosis rendah cenderung
bersifat prokonvulsif, sementara dalam
dosis tinggi justru bersifat antikonvulsif.
Sebagai pengecualian yaitu golongan
opioid yang hanya bersifat prokonvulsif
Namun demikian, studi menunjukkan
bahwa sebagian besar kejang tidak berhubungan dengan jenis obat anestesi
yang dipakai , namun terkait dengan
kondisi dasar epilepsi pada pasien.
Dalam hal kejang pascaoperatif, literatur
belum menyepakati indikasi pemberian
dan jenis antikonvulsan yang dianjurkan. Sebagian besar menyarankan agar
antikonvulsan diberikan pada pasien
yang memang memiliki riwayat kejang sebelumnya, pasien yang mengalami kejang
pascaoperatif, dan pasien yang memiliki risiko tinggi kejang seperti kondisi
gangguan kesadaran jangka panjang,
kontusio, dan perdarahan intraserebral.
Pilihan antikonvulsan yang diberikan
disesuaikan dengan kondisi klinis dan
penyulit yang diderita oleh pasien.
3. Stroke
Stroke perioperatif berkaitan erat dengan
masa rawat yang lebih lama serta morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Risiko kematian meningkat 8 kali lipat jika terjadi
stroke perioperatif dengan insidens mencapai 26%. pemicu stroke pada periode
perioperatif umumnya yaitu emboli,
disusul hipoperfusi, dan yang lebih jarang
yaitu infark hemoragik, emboli udara,
dan lemak, emboli paradoksikal, serta diseksi arteri aldbat manipulasi daerah leher.
Secara umum, risiko stroke perioperatif
sama dengan faktor risiko tradisional stroke
pada populasi umum, seperti riwayat stroke
sebelumnya, hipertensi, penyaldt jantung,
dislipidemia, diabetes melitus, dan rokok.
ada pula faktor risiko tambahan,
yakni jenis kelamin wanita, gangguan
fungsi ginjal, penyaldt paru, penghentian
obat antitrombotik preoperatif untuk
pasien yang pemah mengalami stroke
sebelumnya, serta komplikasi pascaoperasi
seperti fibrilasi atrial dan hiperkoagulasi.
berdasar jenis operasinya, risiko
stroke perioperatif juga berbeda-beda,
Risiko stroke pada operasi bedah umum
rendah (0,08-0,7%), berbanding terbalik
dengan risiko stroke pada operasi jantung,
pembuluh darah, dan bedah saraf. Risiko
stroke preoperatif pada operasi pembuluh
darah karotis (carotid end-arterectomy/
CEA) dapat mencapai 6,1%, sementara
pada tindakan coronary artery bypass
grafting (CABG) dan operasi katup dapat
mencapai 8% pada pasien tanpa riwayat
stroke serta 13% pada pasien yang pernah
menderita serangan stroke atau transient
ischemic attack (TIA).
Pada pasien yang akan menjalani operasi
CABG, ada model untuk memprediksi
risiko stroke yang terdiri atas 7 variabel
preoperatif (Tabel 3 dan 4). Namun untuk
operasi nonkardiak belum ada model
prediktor seperti ini.
Evaluasi preoperatif pasien yang berisiko
stroke mencakup anamnesis untukmenggali
faktor risiko stroke, evaluasi jantung, dan
pembuluh darah karotis, pencitraan otak
dan pembuluh darah otak, dan evaluasi
pengobatan terutama antitrombotik. Pada
operasi elektif, dianjurkan untuk menunda
tindakan sampai 6 bulan pascastroke atau
TIA, mengingat waktu ini yaitu
waktu ideal yang dibutuhkan untuk
stabilisasi kondisi hemodinamik dan status
neurologis. Pertimbangan lainnya terkait
dengan penurunan risiko stroke perioperatif
menurut waktu, Risiko stroke preoperatif
pada pasien yang barn terkena stroke 3
bulan sebelumnya, lebih tinggi 67 kali lipat
dibandingkan pada pasien tanpa riwayat
stroke. Risiko ini akan berkurang
menjadi 24 kali, apabila operasi dilakukan
3-6 bulan pascastroke.
Evaluasi jantung dan pembuluh darah
karotis terkait dengan kebutuhan tindakan
revaskularisasi sebelum operasi. Pendekatan
pada pasien stenosis karotis bergantung
pada jenis operasi. Pada operasi bedah
umum, tidak ada rekomendasi untuk
melakukan tindakan revaskularisasi karotis,
baik dengan CEA atau carotid artery stenting
(CAS) sebelum operasi. Pada operasi
jantung atau pembuluh darah, pendekatan
preoperatif ditentukan pula berdasar
ada tidaknya gejala stenosis ini
Pada pasien dengan stenosis karotis yang
simtomatik (memiliki riwayat stroke atau
TIA dalam 6 bulan) dapat bermanfoat untuk
mencegah stroke preoperatif jika dilakukan tindakan revaskularisasi karotis sebelumnya. Jika ada indikasi urgent
untuk operasi jantung, tindakan operasi
yang bersamaan atau simultan dapat
dikerjakan, namun berisiko morbiditas lebih tinggi.
Pada masalah stenosis karotis yang
asimtomatik, pendekatan preoperatif
disesuaikan dengan kondisi individual
pasien, Adanya bruit yang asimtomatik
tidak berhubungan dengan derajat
beratnya stenosis dan bukan merupakan
prediktor stroke preoperatif. Oleh sebab
itu tindakan revaskularisasi karotis tidak
dianjurkan pada pasien ini.
Pemeriksan pencitraan otak bertujuan
untuk menyingldrkan ada tidaknya silent
infarct, yang akan menguatkan argumentasi
perlu tidaknya revaskularisasi karotis sebelum operasi pada pasien dengan stenosis
karotis. Selain itu, pemeriksaan pencitraan
pembuluh darah otak, seperti Doppler transkranial (transcranial Doppler/ICQ) dan
computed tomographic atau magnetic resonance angiography [CTA atau MRA], dapat
dipakai untuk membantu menilai ada
tidaknya mikroemboli intrakranial, aliran
darah intrakranial, serta dampak hemodinamik dari stenosis pembuluh darah
karotis ekstrakranial.
Evaluasi obat antitrombotik [antiplatelet
dan antikoagulan) preoperatif penting dilakukan, untuk menentukan apakah antitrombotik dihentikan atau diteruskan.
Penghentian obat antitrombotik pada
periode preoperatif akan meningkatkan
risiko stroke, khususnya pasien dengan
riwayat stroke dan penyakit jantung koroner. Sebaliknya, meneruskan antitrombotik berisiko perdarahan. Oleh sebab
itu, penting untuk memperhatikan keseimbangan antara risiko perdarahan dan
tromboemboli terkait pemakaian antitrombotik. Hal ini bersifat individual
pada setiap pasien.
Secara umum berdasar bukti ilmiah
terkini, berkurangnya risiko stroke dan
kematian preoperatif lebih bermakna
ketimbang risiko potensial perdarahan
akibat pemakaian antiplatelet dengan
rekomendasi sebagai berikut:
® Pada sebagian besar operasi, seperti
operasi dermatologi, gigi, dan katarak,
direkomendasikan untuk meneruskan
aspirin tunggal ataupun dual antiplatelet
[kombinasi aspirin ldopidogrel).
® Pada operasi besar seperti CABG,
dipertimbangkan penghentian antiplatelet.
© Penghentian antiplatelet tidak boleh
lebih awal dari 5 hari sebelum tindakan.
Reinisiasi antiplatelet dapat dilakukan
segera, 6 jam sesudah operasi untuk aspirin atau 24 jam sesudah operasi untuk
klopidogrel.
Adapun rekomendasi pengunaan antikoagulan warfarin preoperatif yaitu sebagai
berikut:
® Pada prosedur operasi gigi, katarak,
artrosentesis, dan endoskopi diagnostik dengan atau tanpa biopsi direkomendasikan bahwa warfarin aman
diteruskan. Bukti ilmiah juga mendukung tidak menghentikan warfarin
pada prosedur invasif tertentu seperti
kolonoskopi dan bedah minor.
® Pada operasi penggantian lutut atau
panggul, warfarin dosis moderat dengan
INR 1,8-2,1 aman dilanjutkan
® Pada operasi besar, direkomendasikan
penghentian warfarin 5 hari sebelum
tindakan dengan target INR<1,5 dan
pemakaian vitamin K untuk reversal
dosis warfarin jika diperlukan
Untuk mencegah risiko tromboemboli
dan stroke pre dan perioperatif, dianjurkan bridging therapy dengan heparin
intravena atau low-molecular-weight
heparin (LMWH] subkutan. Bridging
therapy dapat diberikan hingga 6-12
jam sebelum tindakan operasi dan
dilanjutkan pascaoperasi sebelum dihentikan kembali dan diganti dengan
warfarin oral 24 jam pascaoperasi.
Data mengenai pemakaian new oral
anticoagulant (NOAC], seperti golongan
penghambat trombin langsung dan penghambat faktor Xa masih minimal. Lai dkk
(2014) mengajukan algoritma manajemen
NOAC preoperatif berdasar risiko tindakan bedah yang akan dilakukan, yaitu:
® Pada prosedur dengan risiko minimal
seperti prosedur dermatologi, dianjurkan menghentikan NOAC 18-24
jam sebelum prosedur.
® Pada prosedur dengan risiko sedang,
dianjurkan menghentikan NOAC >24
jam sebelum prosedur.
• Pada prosedur dengan risiko tinggi,
hentikan >48 jam sebelum prosedur.
® Reinisiasi NOAC dapat dilakukan selama kondisi hemostasis adekuat,
yaitu 24 jam sesudah tindakan dengan
risiko minimal dan 48-72 jam sesudah
tindakan dengan risiko tinggi.
® Bridging therapy dengan LMWH harus
dipertimbangkan untuk pasien dengan
risiko tinggi tromboemboli atau pasien
yang akan menjalani prosedur yang
berhubungan dengan imobilisasi jangka panjang.
KOMPLIKASI NEUROLOGIS PASCATRANSPLANTASI
Dalam 2 dekade terakhir, perkembangan
dalam bidang transplantasi organ begitu
signifikan. Teknik operasi serta manajemen preoperatif yang semakin baik, me*
ningkatkan angka keberhasilan sekaligus
mengurangi morbiditas dan mortalitas
pascatransplantasi. Namun demikian, komplikasi neurologis pascatransplantasi masih
umum dijumpai dengan morbiditas yang cukup bermakna, yaitu seldtar 10-59%. Komplikasi ini dildasifikasikan menjadi komplikasi
yang bersifat umum pada seluruh masalah tranplantasi dan komplikasi yang berhubungan
dengan organ tranplantasi.
KOMPLIKASI NEUROLOGIS UMUM PADA
TRANSPLANTASI
Komplikasi umum transplantasi dapat
berupa kejang, ensefalopati, infeksi oportunistik intrakranial, dan stroke. Komplikasi umum ini terkait erat dengan terapi imunosupresan yang dikonsumsi oleh pasien.
Kejang merupakan salah satu komplikasi tersering dengan faktor risiko utama
yaitu toksisitas imunosupresan, gangguan elektrolit dan osmolaritas akut, infeksi intrakranial, dan lesi iskemik/hemoragik.
Pencegahan kejang dilakukan terutama
dengan menjaga parameter metabolik
dalam kondisi normal, sedangkan tata laksananya dengan pemberian OAE. Pilihan
utama OAE pada kejang pascatransplantasi
yaitu fenitoin intravena, gabapentin, dan
levetirasetam oral. Adanya interaksi antara
antikonvulsan dan agen imunosupresan
yang dikonsumsi pasien membutuhkan
perhatian khusus, oleh sebab itu amat di-
anjurkan pemantauan kadar fenitoin dan
imunosupresan dalam darah.
Ensefalopati pascatranplantasi dapat
terjadi akibat efek neurotoksik agen imunosupresan, gangguan metabolik, infeksi
intrakranial, dan stroke. Tata laksananya
mencakup manajemen elektrolit dan gula
darah serta optimasi kadar imunosupresan
untuk mencegah timbulnya kondisi ensefalopati berat berupa reversible posterior leukoencephalopathy maupun koma.
Infeksi oportunistik intrakranial terjadi pada
5-10% masalah transplantasi, dapat berupa infeksi bakteri, virus atau jamur akibat kondisi
imunokompromais. Komplikasi ini umumnya terjadi 2-6 bulan pascatransplantasi dan
memiliki angka mortalitas yang tinggi.
Komplikasi umum lainnya yaitu stroke.
Namun hal ini jarang terjadi, kecuali pada
transplantasi ginjal dan hati. Stroke dapat
terjadi sebab adanya endokarditis bakterial, hiperkoagulasi, aterosklerosis, vaskulitis maupun aritmia, serta akibat lepasnya
emboli dari karotis atau pembuluh darah
intrakranial. Tata laksana pencegahan yang
utama yaitu dengan melakukan deteksi
dan penanganan faktor risiko sebelum, selama, dan sesudah transplantasi.
Demikian pula dapat muncul komplikasi neurotoksisitas yang berhubungan pemakaian
imunosupresan golongan penghambat kalsineurin, seperti takrolimus dan siklosporin.
Kedua obat ini merupakan vasokonstriktor kuat yang merangsang endotelin dan
tromboksan serta memicu produksi reactive oxygen species yang berlebihan. Vasokonstriksi ini juga memicu
gangguan mikrovaskular di otak dan kerusakan sawar darah otak (blood brain barrier). Adapun gejalanya dapat ringan (28%},
seperti tremor, neuralgia, dan neuropati perifer,
atau berat (5%} seperti psikosis, halusinasi,
kebutaan, kejang, ataksia serebelar, kelemahan
motorik dan leukoensefalopati.
Tata laksana komplikasi ini dengan mengoreksi
elektrolit, mengatasi hipertensi, mengurangi
dosis obat, dan mengganti takrolimus menjadi
siklosporin atau sebaliknya. Terapi kombinasi
dengan mycophenolate mofetil dapat membantu mengurangi dosis takrolimus atau
siklosporin.
Neurotoksisitas juga dapat terjadi pada penggunaan kortikosteroid (3-4% ) yang bersifat
reversibel dengan pengurangan dosis atau
penghentian kortikosteroid. Komplikasi neurologis yang umum yaitu gangguan perilaku,
mencakup confusion, gangguan mood, kondisi
manik, dan reals! psikosis.
KOMPLIKASI NEUROLOGIS TRANSPLANTASI TERKAIT SPESIFIK ORGAN
Komplikasi neurologis pascatransplantasi
dapat bersifat spesifik organ. Misal, komplikasi pascatransplantasi paru umumnya
kejang, ensefalopati, nyeri kepala, depresi,
dan stroke. Pada transplantasi jantung,
ginjal dan hati, komplikasi neurologis akan
berbeda.
Komplikasi neurologis tersering pascatransplantasi jantung yaitu stroke (50-70%)
dengan angka kematian 20%, Stroke yang
terjadi dapat berupa stroke iskemik, stroke
hemoragik, ataupun stroke hemodinamik
akibat henti jantung dan iskemia global
berkepanjangan di otak