c terapi untuk gangguan komprehensi
dan produksi kata
d. Terapi untuk gangguan word finding
1) Word retrieval cueing strategies
(semantic & cueing verbs)
Pendekatan memakai "petun-
juk" untuk memancing pasien menemukan kata yang diinginkan. Misalnya, suku pertama dari suatu kata
atau petunjukkontekstual lainnya.
2) Gestural facilitation o f naming (GES]
Metoda ini memanfaatkan mekanisme kognitif intak pasien,
memakai asosisi gestural
ikonik untuk memancing word retrieval secara verbal.
3) Response elaboration training
Terapis wicara berlaborasi dengan
gumaman/ucapan penderita untuk
memperbaiki kemampuan bicara.
4} Semanticfeature analysis treatment
Penderita afasia dibantu mengidentifikasi keterangan semantik pentingyang berkaitan dengan kata target (misalnya gedung, buku, dan
tenang untuk "perpustakaan"].
2. Verb Network Strengthening Treatment
Terapi yang didesain terutama untuk
memperbaild kesukaran mencari kata
dalam suatu kalimat aktif sederhana.
Metoda ini memakai pasangan kata
yang berhubungan dengan kata target.
a. Chaining (forward & reverse)
Pendekatan dengan cara memecah
kata/kalimat menjadi pendekpendek, kemudian belajar merangkaikan dari awal (atau akhir).
b. Sentence production program
fo r aphasia
Program terapi spesifik yang didisain untuk memfasilitasi produksi
kalimat spesifik tertentu.
3. Constraint-therapy
Constraint-induced aphasia therapy
(CIATJ atau yang dikenal juga dengan
constraint-induced language therapy
(CILT) merupakan modifikasi dari
constraint-induced movement therapy
(GMT), Metode ini meliputi latihan
berbahasa selama periode waktu
tertentu (setidaknya 30 jam setiap
latihan selama dua minggu) dengan
meminimalkan komunikasi nonverbal
yang diharapkan dap at meningkatkan
keluaran verbal. Keterlibatan anggota
keluarga dan teman dalam latihan
meningkatkan efikasi dari rehabilitasi.
Prinsip dari terapi ini ada tiga yaitu:
a. Constraint, berarti menghindari penggunaan strategi berkomunikasi yang
lain, misalnya dengan gerakan, menggambar dan menulis.
b. Forced use, berarti satu-satunya cara
berkomunikasi yang dipakai yaitu
dengan berbicara.
c. Massed practice, yaitu melakukan
latihan terapi sebanyak 2 -4 jam per
hari.
B. Membantu Restorasi Gangguan Modalitas Bahasa dengan Modalitas Bahasa Lain yang Masih Intak
Program yang memakai dasar ini
untuk restorasi kemampuan bahasa
pasien di antaranya yaitu :
1. Melodic Intonation Therapy (MIT)
Terapi ini memakai kemampuan bersenandung dan prosodia pasien yang biasanya masih intak dari aspek intonasi,
melodi, dan ritme untuk meningkatkan kemampuan jumlah pengucapan frasa
dan kalimat. MIT telah lama direkomendasikan untuk memperbaiki kemampuan berbahasa pasien-pasien yang
mengalami afasia nonfluen. Kandidat
lain yang menunjukkan respons baik
memakai MIT yaitu pasien yang
menunjukkan rasa frustasi sebab kesulitan berbicaranya, mengulang jargon
tertentu, gagal dalam tes penamaan konfrontasional, gangguan repetisi, menunjukkan upaya keras untuk mengkoreksi
ucapannya, dan memilila komprehensi/
kognisi yang relatif baik.
Frasa atau kalimat yang dipakai
dalam metode terapi ini merupakan
frasa-frasa yang umum dan sering digunakan sehari-hari (misalnya / loveyou;
assalaamu'alaHaun, dan sebagainya).
Walaupun tampaknya mudah, keluarga/
caregiver pasien perlu mendapat instruksi spesifik tentang tata cara
latihan atau pengulangan metode ini
di rumah masing-masing.
2. Musical Speech Stimulation (MUSTIM)
Merupakan teknik lain dari neurology
music therapy (NMT) yang dapat digunakan untuk inisiasi bicara spontan. Teknik ini baik dipakai untuk
pasien-pasien afasia nonfluen dan
primary progressive aphasia. Berbeda
dengan MIT yang memakai intonasi dalam pengucapan frasa seharihari, teknik MUSTIM memakai
lagu-lagu yang familier bagi pasien.
Umumnya lagu-lagu favorit pasien atau
lagu-lagu hafalan masa kanak-kanak,
seperti Naik-naik ke Puncak Gunung,
Garuda Pancasila, dan sebagainya.
3. Augmentative Alternative Communication (AAC)
memakai alat bantu augmentasi,
seperti papan gambar dan simbol,
atau alat elektronik, untuk membantu
penderita afasia mengekspresikan
komunikasinya. Umumnya di awal
yang mudah diakses sebab banyaknya
pemakaian ponsel dan komputer
yaitu mengetik di ponsel dan keyboard komputer.
C. M engom pensasi Gangguan B ah asa
yang Ada dengan M enggunakan Mod alitas Fungsi Luhur/K ognitifyang Lain
Strategi ini dirancang khusus dengan
mempertimbangkan neuroanatomi Minis pusat bahasa yang terganggu dan
sirkuit-sirkuit stimulasi dan kognitif yang
intak, sehingga program berjalan efektif
dan efisien. Umumnya dirancang pada
afasia dengan gangguan komprehensi bahasa pasien dan/atau penamaan. Prinsip
dasarnya ialah memberi variasi stimulasi
sensorik (menebak/menceritakan gambar,
menebak benda dengan rabaan sambil
menutup mata, menebak lagu, menebak
bau, mempelajari bahasa isyarat, dan sebagainya) yang kaya serta merangsang
imajinasi, memori, dan fungsi kognitif
lain untuk memperbaiki komprehensi
bahasa.
Yang termasuk ke dalam metode terapi
multimodal berbahasa ini di antaranya
yaitu :
1. Visual Action Therapy (VAT)
Program yang dipakai bagi penderita afasia global. Pendekatan
nonverbal ini melatih penderita
untuk memakai gestur tangan untuk menyatakan suatu benda
atau aktivitas spesifik.
2 . Promoting Aphasics' Communication Effectiveness (PACE)
Program yang didesain untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi memakai semua modalitas dalam bertukar pesan,
Penderita maupun klinisi secara bergantian mengambil peran sebagai pembawa dan penerima pesan. Metode
ini akan mendorong penderita afasia
untuk berperan lebih aktif dalam
berkomunikasi.
3 . Oral Reading fo r Language in Aphasia (ORLA)
Metoda yang memakai petunjuk
auditorik, visual, dan tulisan untuk
membantu penderita afasia membaca
dengan suara keras (reading sentences
aloud).
D. Partisipasi Aktif dari Caregiver dan
pemakaian Aplikasi dan Teknologi
Stimulasi Bahasa Kliusus
Beberapa program yang dapat diterapkanyaitu :
1. Partner Approaches
Teknik yang termasuk ke dalam
metode pendekatan ini yaitu :
a. Conversational coaching
Terapi yang didesain untuk memperbaiki komunikasi antara penderita
afasia dengan partner komunikasi
primernya. Klinisi berperan sebagai
pelatih (coach) bagi penderita sekaligus partnernya.
b. Supported communication intervention (SCI)
Metode komunikasi multimodal antara penderita, pelatih an bagi lawan
komunikasi primernya, dan dalam
interaksi sosial (termasuk partisipasi
dalam grup afasia).
c. Social and life participation effectiveness
Pendekatan yang berfokus pada pencapaian target di kehidupan sehari-hari,
termasuk pertimbangan apakah pasien
memiliki keluarga yang dapat mendukung dan membantu keseharian hidup
penderita.
2. iPad- Based Speech Therapy
Penelitian pada tahun 1983 menunjukl<an bahwa latihan bicara sendiri menggunaltan aplikasi berbasis komputer
yang terstandarisasi pada pasien afasia
akut dan kronik mendapat hasil
yang memuaskan. Terapi ini penting
pada pasien-pasien yang membutuhkan
latihan terapi jangka panjang, sehingga
bisa dilakukan secara mandiri. Tujuannya yaitu untuk membiarkan pasien
berperan penting dalam proses terapinya sendiri, mulai dari menentukan dosis
latihan, batasan kemampuan maksimal,
dan target keberhasilan terapinya.
Penelitian terhadap 25 pasien afasia
kronik dengan terapi berbasis komputer
memakai aplikasi terapi berbahasa
tactus therapy solutions pada iPad
memperlihatltan perbaikan kemampuan
bahasa. Aplilcasi ini terbagi menjadi
empat kategori latihan, yaitu membaca,
menamai obyek, memahami kalimat,
dan menulis, serta menyediakan latihan
kemampuan fonologi dan semantik
pada setiap kategori disertai umpan
balik Terapi ini berpotensi besar untuk disertakan dalam program restorasi
jangka panjang pasien afasia dengan
meneliti serta menerjemahkan sesuai
kaidah dan budaya bahasa negara kita .
3. Repetitive Transcranial M agnetic
Simulation (rTMS)
Saat ini mulai banyak berkembang
prosedur stimulasi langsung [direct)
non-invasif sebagai komplementer terapi wicara untuk mempercepat proses
pemulihan afasia. Salah satu metode
yang saat ini populer yaitu stimulasi
memakai transcranial magnetic
stimulation secara repetitif (rTMS).
TMS merupakan suatu metode noninvasif dalam menginduksi depolarisasi neuron kortikal di bawah tulang
kranium. TMS yang diberikan secara
repetitif (rTMS) dengan frekuensi
rendah (<5Hz) pada umumnya menghasilkan inhibisi sinaps yang serupa
dengan fenomena long-term depression (LTD). Pada rTMS frekuensi tinggi
(>5Hz) akan menghasilkan fasilitasi/
eksitasi sinaps, mirip dengan fenomena
long-term potentiation (LTP). Seperti
halnya LTP dan LTD, efek eksitasi dan
inhibisi sinaps yang dihasilkan oleh
rTMS tetap dapat bertahan beberapa
menit hingga beberapa jam sesudah
stimulus dihentikan.
Naesser dkk, Martin dkk, Weiduschat
dkk melaporkan pemakaian rTMS
frekuensi rendah pada hemisfer nondominan sebagai terapi komplementer
terhadap terapi wicara konvensional
pada penderita afasia pascastroke
memberikan hasil yang memuaskan.
Tiksnadi dalam laporan masalah nya
menyebutkan hal serupa, bahwa terdapat perbaikan yang cukup signifikan terhadap kemampuan berbahasa
sebelum dan sesudah dilakukan rTMS
pada afasia pascastroke subkortikal.
Didapatkan perbaikan signifikan pada
semua komponen modalitas bahasa
pascaaplikasi rTMS harian dengan
frekuensi 4Hz selama 2 minggu pada
hemisfer kontralesi. Secara umum
terapi ini cukup menjanjikan.
Pada masa lampau, tata laksana penyakitpenyakit neurologi banyak dibatasi oleh
dogma kemustahilan yang membuat orang
(bahkan termasuk para neurolog) berpikir
bahwa tidak ada harapan untuk "sembuh"
Pada masa kini dengan kemajuan teknologi
mutakhir, pemahaman mengenai patofisiologi penyakit neurologis dan fisiologi proses reorganisasi sistem saraf yang mendasari
neurorestoratologi menjadi semakin jelas.
Hal ini turut memacu dan menjadi dasar
perkembangan ilmu neurosains, neurobiologis, neuroprostetik, robotik, dan biomedical engineering untuk kepentingan program
neurorestorasi bagi pasien dengan gangguan neurologis. Oleh sebab itu, sebaiknya
dipahami dasar dan prinsip neurorestorasi
demi memberikan pelayanan dan tata laksana yang paripurna bagi para pasien.
CEDERA KERALA
Cedera (injury) merupakan suatu keadaan
yang ditandai adanya stimulus patologis
yang melampaui kemampuan pemulihan (recovery) suatu sel atau jaringan. Bentuk dari
stimulus patologis ini bersifat umum, bisa
berupa tmuma, infeksi, iskemia, atau neoplasma. Dengan demikian, trauma merupakan
salah satu pemicu cedera pada suatu sel
atau jaringan di tubuh manusia.
Cedera kepala yaitu perubahan fungsi otak
atau ada bukti patologi pada otak yang
disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Cedera kepala dapat dialdbatkan oleh
trauma mekanik pada kepala baik secara
langsung atau tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis berupa
gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial secara sementara maupun permanen.
Dalam buku ini, istilah cedera kepala sama
pengertiannya dengan trauma kepala.
Konsekuensi akibat cedera kepala dipengaruhi beberapa faktor, seperti usia, faktor komorbid, sepsis, dan tata laksana yang
didapatkan. Selain itu, faktor genetik kini
diketahui turut mempengaruhi konsekuensi
patologis yang mungkin didapatkan pasien.
Komplikasi tersering pascacedera meliputi
aspek neurologis dan non-neurologis. Adanya komplikasi neurologis berupa gangguan
kognitif dan cedera saraf kranial sering terabaikan dalam perawatan, sehingga menurunkan kualitas hidup pasien. Oleh sebab
itu, dibutuhkan peran neurolog dalam diagnosis dan penanganan tepat sedini mungkin
untuk merestorasi otak dan mengurangi kecacatan hidup semaksimal mungkin.
EPIDEMIOLOGI
Cedera kepala memicu kematian dan
disabilitas di banyak negara di dunia. Berdasarkan data yang didapatkan dari CDC,
sebanyak 1,7 juta orang mengalami cedera
kepala setiap tahun di Amerika Serikat.
Prevalensi nasional cedera kepala menurut
Riskesdas 2013 yaitu 8,2%, meningkat
0,7% dibandingkan tahun 2007. Sebanyak
40,6% cedera kepala diakibatkan oleh kecelakaan motor. Menurut sebaran kelompok usia, cedera kepala lebih banyak terjadi
pada pasien dengan usia produktif. Hal ini
tentunya berdampak besar pada aspek sosial ekonomi.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi cedera kepala diawali dengan
pemahaman mengenai biomekanika trauma. Benturan kepala akan menimbulkan
respons pada tengkorak dan otak, misalnya
perge-rakan (displacement). Secara klinis,
respons ini dapat berupa fraktur dan cedera
otak. Risiko pasien mengalami fraktur dan
cedera otak ini bergantung kepada faktor
akselerasi kepala dan durasi gaya mekanik
pada kepala. Benturan pada permukaan
yang keras memiliki durasi singkat dengan akselerasi tinggi. Sementara itu, durasi yang lebih lama pada permukaan yang
kurang keras menurunkan risiko fraktur,
tetapi tidak untuk cedera otak, asalkan akselerasinya tetap tinggi. Pemahaman inilah
yang memicu ada masalah dengan fraktur tengkorak tanpa perdarahan otak, atau
cedera aksonal difus tanpa fraktur tengkorak.
Akselerasi kepala memiliki dua komponen
sesuai arah vektornya, yaitu translasi (sumbu
sagital, koronal, dan aksial) dan rotasi. Akselerasi translasi membuat kepala bergerak
secara sirkular. Sementara itu, akselerasi
rotasi membuat kepala berubah sudutnya
terhadap sumbu sentral. Selain akselerasi,
kepala juga dapat mengalami deselerasi/
perlambatan yang merupakan bentuk negatif dari akselerasi. Akselerasi timbul sebab
kepala yang bergerak, sedangkan deselerasi
muncul sebagai akibat dari kepala yang terbentur. Saat kepala yang sedang bergerak
lalu terbentur, terjadi kombinasi akselerasi
translasi dan rotasi serta deselerasi. Pergerakan akibat proses akselerasi dan deselerasi
ini yang menimbulkan tarikan dan regangan
pada otak dan gesekan antara otak dengan
tengkorak, sehingga bermanifestasi klinis
dan terlihat kelainan pada pencitraan.
ada dua tipe cedera kepala yang terbentuk, yaitu cedera tumpul dan cedera
tembus. Adanya penetrasi dura mater
merupakan tolok ukur untuk menentukan
cedera kepala disebut tumpul atau tembus.
Cedera tumpul umumnya disebabkan oleh
mekanisme akselerasi atau deselerasi cepat
pada kepala dengan atau tanpa benturan
(Gambar 1). Tipe cedera ini umumnya terjadi pada masalah kecelakaan lalu lintas atau
jatuh dari ketinggian. Di lain pihak, cedera
tembus merupakan cedera akibat penetrasi
tulang tengkorak oleh objek eksternal, misalnya tembakan peluru atau tusukan benda tajam. Cedera tembus juga dapat merupakan cedera kolateral akibat adanya obyek
eksternal yang mengenai kepala dan mengakibatkan fraktur impresi hingga terjadi
penetrasi ke dalam rongga kranial.
Cedera tembus kecepatan rendah menyebabkan cedera langsung pada pembuluh
darah, saraf, dan jaringan otak, dengan komplikasi perdarahan dan infeksi. Cedera tembus kecepatan tinggi, misalnya tembakan
peluru, seringkali memicu terbentuknya luka tembus masuk dan keluar pada
tengkorak dan memicu kerusakan
otak ekstensif.
Gaya mekanik eksternal yang mengenai kepala menimbulkan cedera otak primer dan
sekunder. Cedera otak primer terjadi sebab
efek sangat segera (immediate effect) pada
otak akibat gaya mekanik eksternal saat
trauma terjadi. Di lain pihak, cedera otak
sekunder terjadi beberapa saat sesudah kejadian trauma akibat jalur kompleks, yang
berkembang dan memicu kerusakan
otak lebih luas. Baik cedera otak primer
maupun sekunder dapat memicu
lesi patologis fokal atau difus [Tabel 1). Pada cedera otak primer, lesi difus dapat
berupa cedera aksonal difus dan cedera
vaskular difus, sedangkan lesi fokal berupa
kontusio fokal, perdarahan intraserebral,
perdarahan subdural, dan perdarahan epidural. Sementara itu, bentuk cedera otak
sekunder dapat berupa edema otak, cedera
iskemik, cedera hipoksik, difus, dan disfungsi metabolik. Sernua bentuk cedera otak
sekunder dapat terjadi secara difus atau fokal. Pada kenyataannya, beberapa lesi dapat
terjadi pada setiap masalah cedera kepala,
misalnya perdarahan epidural dan kontusio
fokal, atau cedera aksonal difus dan perdarahan subaraknoid,
Di samping cedera otak sekunder tersebut, konsekuensi lanjutan dari cedera otak
primer dapat berupa kerusakan sekunder
(secondary insult), seperti hipotensi, hipoksia, demam, hipo/hiperglikemia, gangguan
elektrolit, anemia, kejang, dan vasospasme.
Di antara semua itu, faktor yang paling berpengaruh terhadap prognosis buruk yaitu
hipotensi dan hipoksia yang akan memperberat cedera otak.
Cedera otak primer akibat benturan pada
kepala menimbulkan serangkaian proses
yang pada akhirnya menjadi cedera otak
sekunder (Gambar 2]. Saat benturan terjadi, neuron mengalami regangan dan
tarikan yang termasuk dalam cedera otak
primer. Peristiwa ini mengganggu integritas dan kerja pompa ion membran sel, terjadi perpindahan ion natrium dan kalsium
ke intrasel dan ion kalium ke ekstrasel. Hal
ini akan meningkatkan konsentrasi ion kalsium intrasel yang kemudian memiliki konsekuensi, yaitu aktivasi calpain yang bisa
mendegradasi protein sitoskeletai dan induksi penglepasan glutamat yang akhirnya
mengaktivasi reseptor N-metil-D-aspartat
(NMDA).
Selanjutnya terjadi konsentrasi ion kalsium
di mitokondria, sehingga terbentuk banyak
radikal bebas (reactive oxygen species/ROS],
aktivasi kaspase, apoptosis neuron, dan
fosforilasi oksidatif inefisien. Konsekuensi
terakhir ini selanjutnya akan memicu
metabolisme anaerob dan pada akhirnya
kegagalan energi. Inilah yang menjadi inti
permasalahan sebab neuron membutuhkan energi yang cukup pada kondisi cedera.
Neuron dengan kegagalan energi tidak
dapat berfungsi normal dan selanjutnya terjadi asidosis, edema, dan iskemia yang menambah berat kerusakan otak.
Berikut yaitu beberapa contoh lesi fokal
dan difus akibat cedera kepala:
Lesi Fokal
1. Cedera scalp
Cedera fokal pada scalp dalam bentuk laserasi dan abrasi dapat menjadi penanda
penting untuk menentukan tempat terjadinya benturan dan dapat memberikan gambaran obyek yang mengenainya.
Laserasi scalp merupakan hal penting
yang harus diperhatikan sebab dapat
menjadi jalur masuk infeksi dan sumber perdarahan. Sementara, adanya memar tidak selalu menjadi penanda yang
berhubungan dengan lokasi benturan,
sebagai contoh: (1) memar periorbita
seringkali berkaitan dengan patah tulang orbita akibat cedera contra-coup
pada oksiput, (2) memar pada mastoid
(tanda Battle] dapat disebabkan oleh aliran darah dari fraktur yang terjadi pada
tulang temporal pars petrosus. 2. Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii dapat menjadi indikasi besarnya energi mekanik yang
mengenai kepala. Energi mekanik yang
mengenai daerah yang luas pada tengkorak memicu fraktur kominutif, sedangkan pada daerah yang sempit
memicu fraktur impresi. Fraktur
basis kranii dapat memicu bocornya cairan serebrospinal dan mengisi sinus-sinus, sehingga dapat menjadi
sumber infeksi intrakranial (Gambar 3).
3. Kontusio dan laserasi serebri
Robekan (laserasi) pada pia mater
seringkali berhubungan dengan jejas
pada otak (kontusio), Pada kontusio
serebri, parenkim otak mengalami edema dan perdarahan.
Jejas yang ada tepat di titik trauma
disebut jejas coup, sedangkan yang ada
di sisi kontralateral titik trauma disebut jejas countercoup (Gambar 4). Sebagai contoh, benturan di kepala bagian depan akan
menghasilkan jejas coup di lobus frontal
dan jejas countercoup di lobus oksipital Jejas coup umumnya terjadi pada masalah akselerasi cepat, misalnya saat kepala dipukul
dengan benda keras. Sementara itu, jejas
countercoup umumnya terjadi pada masalah
deselerasi cepat, misalnya jatuh dari atas
gedung. Saat seseorang jatuh dari suatu
ketinggian, kepala mengalami akselerasi
akibat gravitasi bumi dan diikuti deselerasi
cepat akibat menghantam tanah.
Perdarahan pada kontusio serebri dapat
meningkatkan tekanan intrakranial (TIK}.
perdarahan dapat meluas hingga ke substansia alba dan rongga subdural yang
umumnya terjadi pada lobus frontal dan
temporal (Gambar 5), Dalam beberapa hari,
perdarahan ini akan diabsorbsi oleh otak,
sehingga menghasilkan kavitas pada girus
otak. Perdarahan dapat bersifat asimptomatik, tetapi berisiko memicu
epilepsi di kemudian hari. Diskontinuitas jaringan otak akibat kontusio disebut sebagai
laserasi otak.
4. Perdarahan intrakranial
a. Perdarahan epidural
Perdarahan ini lebih sering terjadi
pada pasien usia muda (1 0 -3 0 tahun). Hal ini dialdbatkan adanya
fraktur linear tengkorak, terutama di
tulang temporal pars skuamosa yang
Gambar 5. Gambaran CT Scan Kontusio Serebri di
Lobus Temporal Kiri (panah putih)
(Dok: Pribadi)
memicu robeknya arteri meningea media. Oleh sebab itu predileksi perdarahan epidural di area temporal atau temporo-parietal (70-80% }.
Perdarahan ini ditandai dengan akumulasi darah di antara dura mater
dan tulang tengkorak, sehingga gambaran hematomnya khas berbentuk
cembung atau bilconveks (Gambar 6].
Volume perdarahan merupakan penanda
luaran pasien dengan perdarahan epidural. Pasien dengan volume darah lebih
dari 150mL memiliki prognosis yang
lebih buruk.
b. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural (Gambar 7}
merupakan perdarahan akibat robeknya vena jembatan (bridging vein) terutama yang berdekatan dengan sinus
sagital superior. Perdarahan subdural
umumnya disebabkan oleh akselerasi
atau deselerasi kepala dengan atau
tanpa benturan langsung. Perdarahan subdural seringkali dialami oleh
pasien lanjut usia sebab umumnya
telah terjadi atrofi otak yang menyebabkan meningkatnya kapasitas otak
untuk bergerak di dalam rongga otak.
Perdarahan subdural dapat terjadi
akut (<3 hari), subakut (3 hari - 3 minggu awitan}, atau kronik (lebih dari 3
minggu awitan}. Perdarahan subdural
akut terdiri atas beltuan darah yang
lembut (seperti gel}. sesudah beberapa
hari, bekuan ini akan dipecah
menjadi cairan serosa dan sesudah
1-2 minggu akan terbentuk jaringan
granulasi dengan fibroblas dan pembuluh darah baru.
Walaupun perdarahan biasanya akan
direabsorbsi, seringkali terjadi perdarahan ulang akibat pembuluh darah
baruyangimatur. Disampingitu, perdarahan subdural kronik seringkali terjadi pada pasien lanjut usia, orang
yang rutin mengonsumsi alkohol, dan
pasien dengan tekanan intrakranial
rendah, seperti pasien hidrosefalus
dengan pirau ventrikuloperitoneal
(yen triculoperitoneal shunt).
c. Perdarahan subaraknoid
Akumulasi darah di subaraknoid dapat terjadi sesudah cedera kepala, terutama yang
berhubungan dengan kontusio dan laserasi.
Perdarahan subaraknoid seringkali menjadi penyulit pada masalah perdarahan intraventrikular sebab kebocoran (leakage)
darah ke ruang subaraknoid melalui foramen Luschka dan Magendie. Perdarahan
subaraknoid sebab cedera kepala biasanya terdistribusi di sulkus-sulkus serebri di
sekitar vertelcs dan tidak mengenai sisterna
basalis (Gambar 8). Perdarahan subaraknoid seringkali terjadi akibat benturan
pada otak atau leher dan memicu hilangnya kesadaran secara langsung. Komplikasi itronik perdarahan subaraknoid
yaitu terbentuknya hidrosefalus.
d. Perdarahan intraventrikular
Perdarahan intraventrikular pada cedera
kepala biasanya akibat sekunder dari
perdarahan intraserebral pada daerah
ganglia basal atau kontusio serebri.
e. Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral (Gambar 9]
dapat muncul secara sekunder dengan
kontusio atau berhubungan dengan cedera
akson difiis. Perdarahan ini umumnya terbentuk di daerah ganglia basal, talamus,
dan substansia alba bagian parasagital.
Lesi Difus
1. Cedera aksonal difus
Cedera aksonal difus memiliki beberapa
pemicu . Selain cedera kepala, hal ini
juga dapat disebabkan oleh hipoksia,
iskemia, dan hipoglikemia. Karakteristik cedera akson yang diakibatkan oleh
cedera kepala berbeda dengan keadaan
hipoksik iskemik.
Cedera aksonal difus disebabkan oleh
akselerasi atau deselerasi cepat kepala,
terutama jika ada gerakan rotasional
atau koronal. Umumnya terjadi pada masalah kecelakaan lalu lintas dan jatuh dari
ketinggian. Secara patologi, cedera aksonal difus dicirikan dengan kerusakan
akson dan perdarahan petekie. Petekie
ini muncul secara instan dan menentukan derajat cedera aksonal aksonal difus
[Tabel 2).
Secara Minis, pasien akan kehilangan
kesadaran sejak terjadinya cedera, disabilitas berat, dan status vegetatif yang
persisten. Oleh sebab kerusakan yang
terjadi di tingkat akson, maka gambaran CT scan sering tidak menunjukkan
kelainan, Pada kondisi ini, pemeriksaan
MRI dapat dikerj akan untuk melihat lesi
patologis di parenkim,
2. Cedera vaskular difus
Berbeda dengan cedera aksonal difus
yang melibatkan akson, cedera vaskular
difus didominasi oleh keterlibatan pernbuluh darah. Beberapa pasien cedera
kepala yang mengalami akselerasi atau
deselerasi cepat dan parah dapat mengalami perdarahan petekie pada otak
tanpa sempat mengalami cedera aksonal, akibat besarnya energi mekanik
yang memicu pecahnya pembuluh
darah. Hal inilah yang dijumpai pada
cedera vaskular difus.
3. Edema otak dan iskemia serebral
Edema otak yaitu gambaran umum
yang ditemukan pada cedera kepala,
terutama pasien anak-anak dan dewasa
muda. Edema otak pada cedera kepala
terjadi melalui beberapa mekanisme,
yaitu: vasodilatasi pembuluh darah otak
yang memicu meningkatnya
volume darah ke otak, rusaknya sawar
darah otak yang memicu bocornya
cairan [edema vasogenik), dan meningkatnya kandungan air di dalam sel neuron pada sistem saraf pusat [edema sitotoksik}.
Edema otak akan meningkatkan TIK
dan menurunkan tekanan perfusi otak,
sehingga memicu kerusakan otak
akibat iskemia. Perbedaan tekanan di antara kompartemen otak dapat mengakibatkan herniasi otak. Herniasi subfalsin
girus singulatum akan memicu
kompresi pada arteri serebral anterior.
Sementara herniasi transtentorial dapat
memicu kompresi pada arteri serebral posterior, girus parahipokampus,
dan otak tengah. Herniasi transforamen batang otak memicu iskemia
yang berujung pada menurunnya fungsi
batang dan otak atau kematian.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan: [1) tingkat kesadaran pasien
menurut Skala Koma Glasgow [SKG), [2] lokasi lesi, dan [3] patologi.
berdasar tingkat kesadaran, cedera kepala dapat dibagi menjadi:
a. Cedera kepala minimal: SKG 15; tidak
ada pingsan, tidak ada defisit neurologis,
CT scan otak normal.
b. Cedera kepala ringan: SKG 13-15, terdapat pingsan kurang dari 10 menit, tidak ada defisit neurologis, CT scan
otak normal.
c. Cedera kepala sedang: SKG 9-12, terdapat pingsan 10 menit-6 jam, ada
defisit neurologis, CT scan otak abnormal.
d, Cedera kepala berat: SKG 3-8, ada
pingsan lebih dari 6 jam, ada defisit
neurologis, CT scan otak abnormal.
berdasar lokasi lesi, cedera kepala dapat
dibagi menjadi:
a. Cedera kepala lesi difus: aksonal dan
vaskular
b. Cedera kepala lesi fokal, yang terbagi
menjadi:
- Kontusio dan laserasi serebri
- Perdarahan (hematom] intrakranial:
hematom epidural, hematom subdural, hematom intraparenkim (hematom subaraknoid, hematom intraserebral, hematomintraserebelar].
berdasar patologi, cedera kepala
dapat diklasifikasikan menjadi komosio, kontusio, dan laserasi serebri. Pembagian lain dapat berupa
komosio serebri serta perdarahan
epidural, subdural, subaraknoid, dan
intraserebral, dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Komosio serebri
Secara klinis, komosio serebri memiliki manifestasi klinis yang tidak berat.
Pasien dengan komosio serebri uraumnya mengalami penurunan kesadaran
kurang lebih 30 menit. sesudah itu, terjadi
pemulihan hingga seperti sebelum terjadinya cedera kepala. Namun, umumnya
pasien akan mengalami amnesia pascatrauma.
Pemeriksaan CT scan atau MR! pada komosio serebri seringkali menunjukkan hasil
normal, padahal sebenarnya sudah terjadi
kerusakan secara mikroskopik pada akson.
Jika didapat kelainan pada pemeriksaan
ini , maka ini membuktikan pasien tidak hanya mengalami komosio serebri.
2. Perdarahan epidural
Perdarahan epidural secara klinis ditandai dengan adanya interval lusid, yaitu
periode kesadaran pulih diantara dua
penurunan kesadaran. Pada awal terjadi
cedera kepala, kesadaran pasien akan
menurun. Selanjutnya pasien akan sadar
penuh, tetapi kembali kehilangan kesadaran beberapa saat kemudian sebab
adanya akumulasi darah. Sementara itu,
15% pasien diketahui tidak mengalami
penurunan kesadaran sesaat sesudah
cedera kepala terjadi. Dengan demikian, pasien dengan perdarahan epidural
membutuhkan pemantauan ketat untuk
mencegah pasien jatuh perburukan.
Selain interval lusid, juga dapat ditemukan
tanda dan gejala peningkatan TIK, di antaranya nyeri kepala dan muntah sebab akumulasi darah akan meningkatkan volume
di dalam tengkorak, sementara tengkorak
memliki daya akomodasi yang terbatas.
Seiring progresifitas penyakit, beberapa pasien dapat ditemukan penurunan
frekuensi nadi, menurunnya frekuensi
pernapasan, dan meningkatnya tekanan
darah (refleks Cushing). Gejala lain yang
juga dapat menandakan perdarahan epidural sudah berada dalam tahap lanjut
yaitu ditemukannya hemiparesis, refleks patologis Babinski positif, dilatasi
pupil yang menetap pada satu atau ke-
dua mata, serta deserebrasi. Tanda-tanda ini mengindikasikan terjadinya
herniasi otak.
3. Perdarahan subdural
Gejala klinis perdarahan subdural mirip
dengan perdarahan epidural. Namun,
perdarahan subdural memiliki gejala
klinis yang sering ditemui berupa kejang. Sementara itu, tanda klinis herniasi lebih jarang ditemukan daripada
perdarahan epidural. Pada perdarahan
subdural, hematom umumnya berada di
sisi kontralateral fraktur tengkorak, berbeda dengan hematom pada perdarahan
epidural yang berada di sisi ipsilateral
(Tabel 3].
Perdarahan subdural dapat bersifat akut,
subakut, dan kronik. Pada masalah akut, hematom terbentuk kurang dari 3 hari dan umumnya berhubungan dengan cedera kepala
yang lebih hebat. Adanya koinsidensi perdarahan intraserebral dan epidural menjadi
penyulit perdarahan subdural akut. masalah
perdarahan subdural akut sering terjadi
pada pasien usia muda yang tidak mengalami perbaikan kesadaran sejak cedera.
Interval Iusid hanya ada pada kurang dari
30% masalah dan seringkali berkaitan dengan
masalah kontusio dan laserasi otak.
Pada perdarahan subdural subakut, hematom terbentuk dalam waktu 3 hari hingga
3 minggu pascacedera disertai penurunan
fungsi neurologis sejaian dengan besarnya
hematom yang terbentuk. Ditemukan hemiparesis kontralateral pada 50% masalah dan
ipsilateral (25% masalah ] dengan angka kematian sebesar 25%.
Pada perdarahan subdural kronik, hematom terbentuk 3 minggu bahkan lebih pascacedera yang diagnosa nya terlihat dari
gambaran CT scan atau MRI. Secara klinis,
gejala perdarahan subdural kronik dapat
berupa perubahan status mental, disfungsi
neurologis fokal, peningkatan tekanan intrakranial, dan kejang fokal. Pasien dapat
mengalami perubahan tingkat kesadaran
yang fluktuatif, tetapi bukan merupakan gejala utama.
4. Perdarahan intraserebral
Perdarahan ini umumnya disebabkan
oleh disrupsi parenkim otak akibat penonjolan dari patahan tulang tengkorak
dan memicu pembuluh darah terkait sehingga terbentuk hematom yang
terletak intraparenkim. Klinis yang tarnpak serupa dengan perdarahan intraparenkim yang sama dengan mekanisme
perdarahan otak lainnya, seperti pada
ruptur aneurisma.
d i a g n o s is d a n d i a g n o s is b a n d i n g
diagnosa cedera kepala harus dilakukan
secara cepat dan akurat, mengingat kondisi
emergensi. Proses anamnesis dan pemeriksaan fisik generalis dan neurologis harus efektif dan efisien, disesuaikan dengan
kondisi lapangan yang membutuhkan tindakan segera,
Berikut ini yaitu hal-hal yang perlu digali
dalam anamnesis:
1. Mekanisme cedera kepala secara detail, meliputi proses terjadinya, posisi
pasien saat kejadian, bagian tubuh yang
pertama kali terkena, kecepatan (jika
kecelakaan lalu lintas} atau besarnya
kekuatan (jika pukulan atau barang)
obyekyang memicu cedera kepala.
2. Tingkat kesadaran, perlu ditanyakan
kesadaran memang sudah hilang sejak sesudah trauma atau hilang sesudah
pasien sempat sadar.
3. Durasi hilangnya kesadaran.
4. Amnesia pascatrauma, tanyakan kondisi
pasien sebelum, saat, dan sesudah trauma.
5. Nyeri kepala, perlu dibedakan nyeri akibat peningkatan tekanan intrakranial
atau disebabkan oleh nyeri somatik akibat cedera scalp.
6. Gejala neurologis lain, seperti anosmia,
kejang, kelemahan tubuh sesisi atau
dua sisi, bingung, diplopia, dan orientasi
pasien terhadap waktu, tempat, serta
orang perlu ditanyakan saat anamnesis.
Gejala berupa bocornya cairan serebrospinal melalui hidung (rinorea) atau telinga
(otorea) juga perlu ditanyakan.
7. Hal lain yang juga perlu ditanyakan
yaitu obat rutin yang sering dikonsumsi pasien, riwayat penyakit dahulu, gaya
hidup (alkohol, rokok, dan narkoba], serta riwayat penyakit keluarga.
Pada pemeriksaan status generalis, pemeriksaan kepala harus dilakukan dengan
detail, serta bagian tubuh lain yang dapat
menunjukkan beratnya trauma. Berikut ini
merupakan tanda diagnostik yang dapat dijadikan tanda awal untuk mendiagnosa :
Tanda diagnostik klinik perdarahan epidural:
© ada interval lusid
© Kesadaran semakin lama semakin
menurun
© Hemiparesis kontralateral lesi yang terjadi belakangan
© Pupil anisokor
© Adanya refleks Babinsld di kontralateral lesi
® Fraktur di daerah temporal
Tanda diagnostik perdarahan epidural di
fossa posterior:
© Interval lusid tidak jelas
© Fraktur kranii oksipital
© Hilang kesadaran dengan cepat
© Gangguan serebelum, batang otak, dan
pernapasan
© Pupil isokor
© Pada CT scan otak didapatkan gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang
tengkorak dan dura, umumnya di daerah
temporal, dan tampak bikonveks
Tanda diagnostik perdarahan subdural:
• Nyeri kepala
• Kesadaran bisa menurun atau normal
© Pada CT scan otak didapatkan gambaran hiperdens (perdarahan) di antara
dura mater dan araknoid yang tampak
seperti bulan sabit
Tanda diagnostik fraktur basis kranii:
® Anterior
- Keluarnya cairan likuor melalui hidung/rinorea
- Perdarahan bilateral periorbital ekimosis/raccoon eye
- Anosmia
• Media
- Keluarnya cairan likuor melalui telinga/otorea
- Gangguan N. VII dan N. VIII
© Posterior
- Bilateral mastoid ekimosis/tanda Battle
Kebocoran cairan serebrospinal melalui
telinga atau hidung pada fraktur basis kranii dapat dideteksi dengan adanya halo/
double-ring sign. Hal ini terjadi sebab
prinsip kromatografi yang menunjukkan
bahwa cairan serebrospinal dan darah
akan terpisah sesuai koefisien difusi saat
diteteskan di kassa/kain. Terpisahnya kedua komponen inilah yang membentuk gambaran menyerupai dua buah cincin (Gambar
10). Tanda ini dapat muncul bila konsentrasi
cairan serebrospinal sekitar 30-90%.
Selain itu, untuk menegakkan diagnosa
fraktur basis kranii perlu dilakukan pemeGambar 10. Halo Sign atau Double-Ring Sign yang
Menyerupai Dua Buah Cincin (panah w arna hitam
dan putih)
riksaan dengan memakai CT scan.
Tanda diagnostik cedera aksonal difus:
® Pasien mengalam koma dalam waktu
lama pascacedera kepala.
® Disfungsi saraf otonom.
• Gambaran CT scan otak di awal cedera
menunjukkan kondisi normal, tidak ada
tanda perdarahan dan edema. Namun,
sesudah 24 jam hasil CT scan akan memberikan gambaran edema otak yang luas.
P e m e r ik s a a n P e n u n ja n g
1. Pencitraan pada tahap akut
Seiring dengan perkembangan teknologi,
pemeriksaan rontgen tengkorak telah digantikan oleh adanya CT scan. CT merupakan pilihan utama dalam masalah cedera
kepala akut. CT scan nonkontras potongan aksial dapat dengan cepat meng-identifikasi massa desak ruang dalam bentuk hematom yang membutuhkan tata
laksana operatif segera. Kemampuan CT
scan untuk memindai jaringan lunak dan
tulang, membuat CT scan unggul dalam
mengidentifikasi fraktur tengkorak jenis
Impresi atau linier dan fraktur basis kranii.
Menurut National Institute fo r Health
and Clinical Excellence (NICE), CT scan
perlu dilakukan jika pasien:
© Memiliki skor SKG kurang dari 13
pascacedera
© Skor SKG 13 atau 14 dua jam pascacedera
• Dicurigai mengalami fraktur terbuka
atau impresi
© Memiliki tanda-tanda fraktur basis
kranii
© Mengalami kejang pascacedera
• Mengalami defisit neurologis sentral
© Mengalami muntah yang lebih dari 1
kali
© Mengalami amnesia tentang kejadian
30 menit sebelum cedera kepala
2. Pencitraan pada tahap subakut
Pemeriksaan MRI tidak rutin dilakukan
pada tahap subakut. Hal ini berkaitan dengan sulitnya mobilisasi pasien yang berada dalam kondisi kritis. Pemeriksaan
dengan MRI dilakukan sesudah pasien
dalam keadaan stabil. MRI dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan
dapat menggambarkan luasnya cedera
serta mampu memberikan informasi
tentang prognosis pasien ketika berada
di ruang rawat intensif. CT scan lebih
unggul dibanding MR! untuk mendeteksi
perdarahan. Namun, MRI lebih unggul
dibanding CT scan untuk mendeteksi
cedera aksonal difus.
D ia g n o s is b a n d in g
Apabila ldinisi telah melakukan prosedur
anamnesis dan pemeriksaan dengan cermat,
penegakan diagnosa cedera kepala tidak memerlukan diagnosa banding. Hanya pada
masalah -masalah tertentu saja perlu dicurigai
adanya kemungkinan diagnosa lain. Hampir
semua kelainan intrakranial dapat dijadikan
diagnosa banding untuk cedera kepala, yaitu
keganasan otak, stroke, dan aneurisma.
Selain pencitraan, pemeriksaan penanda
biokimia, seperti creatine kinase brain type
(CK-BB), neuron-specific enolase (NSE),
protein S100, dapat dilakukan pada pasien
cedera kepala. Penelitian di RSUPN Cipto
Mangunkusumo menunjukkan bahwa kadar
protein S100 yang tinggi cenderung memiliki luaran yang buruk. Sayangnya, penanda
biokimia ini tidak peka hanya terhadap
kerusakan otak aldbat cedera kepala, melainkan juga pada kondisi stroke, ensefalopati
hepatikum, dan penyaldt neurodegeneratif,
seperti Alzheimer.
TATA LAKSANA
Dasar tata laksana awal untuk semua masalah
cedera kepala bertujuan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, penanganan segera
akibat cedera primer, mencegah cedera jaringan otaksekunder dengan cara mencegah
munculnya faktor-faktor komorbid seperti
hipotensi dan hipoksia, serta mendapat
penilaian neurologis yang akurat.
Prinsip tata laksana awal pada cedera kepala secara umum sama seperti cedera di
tempat lain. Penanganan didasari pada
prinsip emergensi dengan survei primer.
Adapun survei primer meliputi tindakan
yang umumnya disingkat ABCD, yaitu:
1. A-Airway (jalan napas)
Prinsipnya yaitu memastikan jalan
napas tidak mengalami sumbatan. Apabila diperlukan dapat dipakai alat bantu
seperti oropharyngeal airway (OPA).
2. B-Breathing (pernapasan adekuat)
Prinsip pernapasan adekuat yaitu dengan memperhatikan pola napas, gerak
dinding perut, dan kesetaraan pengembangan dinding dada kanan dan kiri.
Apabila alat tersedia, diharapkan saturasi oksigen di atas 92%.
3. ^-Circulation (sirkulasi)
4. D-Disability (melihat adanya disabilitas)
berdasar konsensus Perhimpunan
Dokter Saraf Seluruh negara kita (PERDOSSI}, disabilitas mengacu pada ada
tidaknya lateralisasi dan kondisi umum
dengan memeriksa status umum dan fokal neurologis.
Sebagai tambahan, perlu dilakukan imobilisasi tulang belakang sebab cedera kepala seringkali dibarengi dengan adanya
cedera pada medula spinalis. Imobilisasi
dilakukan sampai didapatkan bukti tidak
ada cedera tulang belakang,
T a ta L a k s a n a F a r m a k o lo g is
Hipotensi yaitu salah satu prediktor mortalitas pada cedera kepala berat. Oleh sebab itu,
perlu dilakukan resusitasi dengan cepat begitu tanda-tanda syok ditemukan. Banyak pusat
trauma merekomendasikan kristaloid isotonik sebagai cairan pengganti. Cairan hipotonik
harus dihindari sebab dapat mengeksaserbasi edema serebral. Untuk mempertahankan
tekanan perfusi serebral sebesar SOmmHg,
dibutuhkan tekanan darah arteri rerata (mean
arterial pressure/MAP] seldtar 70mmHg.
Dalam penanganan cedera kepala, perlu
diperhatikan adanya tanda-tanda peningkatan TIK sebab harus diturunkan segera.
berdasar mekanisme hipoksia yang terjadi pada cedera, maka edema yang terjadi
yaitu edema sitotoksik, sehingga digunakan manitol 20%. Terapi ini memakai
prinsip osmosis diuresis. Manitol memiliki
efek ekspansi plasma yang dapat menghasilkan gradien osmotik dalam waktu cepat.
Cairan ini dapat meningkatkan aliran darah
serebral dan tekanan perfusi serebral yang
akan meningkatkan suplai oksigen.
Dosis pemberian manitol dimulai dari l-2g/
kgBB dalam waktu Vz-1 jam tetes cepat.
sesudah 6 jam pemberian dosis pertama,
dilanjutkan dengan dosis kedua 0,5g/kgBB
dalam waktu Vz-1 jam tetes cepat. Selanjutnya 12 jam dan 24 jam kemudian diberikan
0. 25g/kgBB selama Vz-1 jam tetes cepat.
T a ta L a k s a n a O p e r a tif
Tindakan operatif dilakukan sesuai indikasi.
Adapun tindakan operatif dilakukan apabila
ada masalah seperti disebut di bawah ini:
1. Perdarahan epidural yaitu :
a. Lebih dari 40cc dengan pergeseran
garis tengah pada daerah temporal/
frontal/parietal dengan fungsi batang
masih baik.
b. Lebih dari 30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda
penekanan batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak masih baik.
c. Perdarahan epidural yang progresif.
d. Perdarahan epidural tipis dengan
penurunan kesadaran.
2. Perdarahan subdural yaitu :
a. SDH luas (>40cc/>5mm) dengan skor
SI<G>6, fungsi batang otak masih baik.
b. SDH tipis dengan penurunan kesadaran.
c. SDH dengan edema serebri/kontusio serebri disertai pergeseran garis
tengah (midline shift) dengan fungsi
batang otak masih baik.
3. Perdarahan intraserebral yaitu :
a. Penurunan kesadaran progresif.
b. Hipertensi, bradikardi, dan gangguan
pernapasan (refleks Cushing).
c. Terjadi perburukan pada suatu
kondisi defisit neurologis fokal.
4. Fraktur impresi.
5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri.
6. Fraktur kranii terbuka.
7. Edema serebri berat yang disertai dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
CONTOH KA SUS
Laki-laki 42 tahun, dibawa ke IGD dengan
penurunan kesadaran sesudah jatuh dari
motor 1 jam sebelum masuk RS. Pasien dibonceng temannya dengan kecepatan 50
km/jam tanpa memakai helm. Sebelum kejadian, pasien dalam keadaan sehat,
hanya lebih banyak bicara sebab sedang
berada di bawah pengaruh alkohol. Pasien
biasanya mengonsumsi alkohol 1-2 kali per
minggu. Pasien terjatuh ke belakang dengan
posisi terlentang dan kepala belakang mengenai aspal. ada muntah sebanyak
2x isi makanan, serta ada luka robek
di bagian belakang kepala. Saat diantar ke
RS pasien dalam keadaan tidak sadar. Tidak
ditemukan perdarahan dari telinga, hidung,
dan mulut maupun kejang, serta tidak diketahui adanya keluhan lain.
Pada pemeriksaan fisik tanda vital stabil.
Ditemukan luka robek di kepala kanan belakang dengan tepi tidak rata, dasar otot,
kotor, perdarahan tidak masif, tidak terdapat nanah, tanda Battle, maupun raccoon
eyes. Pemeriksaan neurologis didapatkan
SKG E2M5V2, refleks cahaya langsung maupun tidak langsung baik, serta kesan tidak
ada defisit saraf kranial dan motorik.
P e r ta n y a a n :
1. Pemeriksaan penunjang apa yang akan
Anda lakukan?
2. Apa diagnosa kerja masalah ini?
3. Apa dasar diagnosa Saudara?
4. Apa tata laksana awal yang akan Anda
lakukan?
5. Apa saja kondisi yang harus dihindari
dalam perawatan pasien ini?
Ja w a b a n :
1. CT scan kepala tanpa kontras disertai
bone window, Rontgen vertebra servikal proyeksi anteroposterior dan
lateral. Pemeriksaan laboratorium:
darah perifer lengkap, gula darah
sewaktu, hemostasis, analisis gas darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, dan
elektrolit.
2. Cedera kepala sedang.
3. Durasi penurunan kesadaran dalam
rentang waktu >10 menit dan <6 jam
dan nilai SKG 9. diagnosa patologis
ditegakan sesudah dilakukan pencitraan dan/atau biopsy histopatologi,
4. Tata laksana resusitasi awal ABCDE
(airway; breathing, circulation, disability, exposure}. Manajemen pengendalian
tekanan intrakranial dengan elevasi kepala 30°, normoksia (Pa02 sekitar 100
mmHg), normokarbia (PaC02 sekitar
35mmHg], normotermia, normoglikemia, analgesia adekuat, nutrisi adekuat,
osmoterapi dengan manitol atau salin
hipertonik Pada beberapa keadaan,
dapat dilakukan sedasi, koma barbiturat/propofol, hipotermia terapetik, dan
dekompresi kraniotomi.
5. Hipertermia, kejang, hipoksia, hipotensi, hipertensi, hipo/hiperglikemia,
gangguan elektrolit,
CEDERA MEDULA SPINALIS
Cedera medula spinalis, atau disebut juga
trauma medula spinalis (spinal cord injury),
yaitu trauma langsung atau tidak langsung
yang memicu jejas pada medula spinalis, sehingga dapat menimbulkan gangguan fungsi sensorik, motorik, dan otonom.
Selain itu, cedera medula spinalis memiliki
mortalitas yang tinggi pada tahun pertama
pascacedera.
Penanganan cedera medula spinalis harus
dilakukan dengan cepat, tepat, dan cermat.
Kesalahan dalam penanganan awal akan
memicu kerusakan sekunder yang fatal dan mempengaruhi tindak lanjut serta
prognosis pasien. Kecepatan penanganan
medis prarumah sakit, sistem transportasi menuju rumah sakit, dan kualitas perawatan di rumah sakit merupakan faktor
penting yang menentukan prognosis penderita cedera medula spinalis. Di negara
dengan sistem pra-RS yang sudah baik,
seperti Amerika, masih ada 5% pasien
cedera medula spinalis yang disertai cedera
sekunder atau perburukan saat tiba di RS.
EPID E M IG L O G I
WHO memperkirakan insidens cedera medula spinalis global sebanyak 40-80 orang
persejuta populasi setiap tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan 2:1 dengan kelompok usia tertinggi yaitu remaja hingga
dewasa mud a. pemicu tersering cedera
medula spinalis yaitu jatuh, diikuti kecelakaan sepeda motor.
Data di Amerika menunjukkan sebanyak
5% pasien cedera kepala juga mengalami
cedera medula spinalis, dengan sebaran
lokasi terutama di servikal (55% ), lalu torakal, abdominal, dan lumbosakral masingmasing 15%. Data di negara kita menyatakan
bahwa masalah cedera kepala dan medula spinalis mencapai 7,5% dari jumlah populasi.
PA TO FISIO LO G I
Patofisiologi cedera medula spinalis terbagi
menjadi dua mekanisme, yaitu primer dan
sekunder.
1 . M e k a n is m e K e r u s a k a n P r im e r
Mekanisme umum dari cedera medula
spinalis yaitu adanya kompresi pada
struktur medula spinalis, baik oleh kelainan tulang, ligamen, herniasi diskus
intervertebralis, maupun proses hematom pada medula spinalis itu sendiri.
Proses kompresi akan memberikan gejala berupa defisit neurologis dan/atau
rasa sakit yang dirasakan terus menerus.
Mekanisme lain akibat gaya mekanik
trauma (axial loading, fleksi, ekstensi,
rotasi, lateral bending, distraksi) dapat
berupa luka tembus, peregangan, mau-
pun robekan pada struktur medula spinalis dan pembuluh darah.
Kerusakan langsung pada pembuluh darah memicu perdarahan pada medula spinalis yang berlangsung beberapa
menit pascacedera, diikuti gangguan aliran
darah. Kejadian ini memicu hipoksia
dan infark iskemik lokal. Area substansia
grisea lebih rentan mengalami kerusakan
yang pertama kali kemudian menyebar ke
area seldtarnya (kaudal-kranial). Sel-sel
saraf pada area ini akan mengalami kerusakan fisik, penipisan selubung mielin,
edema, dan menarik makrofag di seldtar
area sehingga mengganggu transmisi saraf.
2 . M e k a n is m e K e r u s a k a n S e k u n d e r
Kerusakan sekunder pada cedera medula
spinalis terbagi menjadi dua mekanisme,
yaitu efek lokal dan sistemik. Kerusakan
sekunder ini terjadi akibat defisit energi
yang disebabkan oleh adanya gangguan
perfusi pada tingkat sel. Kondisi ini
dapat diperberat, jika ditemukan keadaan
renjatan neurogenik yang memicu
hipoperfusi sistemik. Cedera medula spinalis yang tidak diatasi optimal
dalam 3-24 jam pertama, akan mengalami
perburukan berupa perdarahan, edema,
demielinisasi, pembentukan rongga pada
akson, neltrosis neuronal, peningkatan kadar glutamat, eksitotoksisitas, kerusakan
oksidatif, adanya iskemik, serta peningkatan produksi nitrit oksida dan peroksidasi
lipid pada membran sel yang akan menyebabkan perubahan patologis dan berakhir
menjadi infark.
GEJALA DAN TANDA KUNIS
Gejala dan tanda klinis cedera medula spinalis perlu diketahui sebab akan menentukan tata laksana dan prognosis. Gambaran
klinis ini diklasifikasikan berdasar :
1. L ev e l C e d e ra
Level cedera medula spinalis dapat ditentukan melalui pemeriksaan sensorik
(sesuai dermatom] dan motorik [miotom) di sepanjang level medula spinalis. Level cedera neurologis dihitung dari
segmen paling kaudal yang fungsi sensorik dan motoriknya masih baik, pada
kedua sisi (kanan dan kiri).
Perbedaan gejala paling mencolok terjadi
pada level di atas dan di bawah T l. Pada
level cedera di atas T l, defisit neurologis yang muncul yaitu tetraplegi dan
sering dijumpai gangguan pernapasan,
akibat paresis otot interkostalis atau diafragma, serta renjatan neurogenik. Jika
cedera terjadi di bawah T l, gejala klinis
yang muncul berupa paraplegi. Penentuan level ini penting sebab akan mempengaruhi strategi tata laksana cedera.
2. D e r a ja t K e p a r a h a n D e fis it N e u ro lo g is
Derajat keparahan defisit neurologis pada cedera medula spinalis dapat
ditegakkan pada saat 72 jam hingga 7
hari pascacedera sebab mempertimbangkan adanya kemungkinan renjatan
spinal Cspinal shock). Secara garis besar,
derajat keparahan ini dibagi menjadi
komplet dan inkomplet. Cedera disebut komplet apabila pasien kehilangan
fungsi sensorik dan motorik pada level
cedera, sedangkan cedera inkomplet jika
pasien hanya kehilangan salah satu fungsi, sensorik atau motorik saja.
Cedera inkomplet memberikan prognosis
yang lebih baik dibandingkan cedera komplet. Ditemukan fenomena sacral sparing
yang tidak ditemukan pada cedera komplet. Sacral sparing menunjukkan fungsi
yangtersisa pada cedera inkomplet, berupa fungsi sensorik di daerah perianal dan
atau kontraksi sadar sfingter anus.
Secara lebih rinci, American Spinal Injury
Association (ASlA)/InternationaI Medical
Society o f Paraplegia (IMSOP) membagi
derajat keparahan defisit neurologis menjadi 5 derajat (Tabel 1].
3. S in d r o m M e d u la S p in a lis
Berbagai mekanisme trauma (gaya axsial
loading, fleksi, ekstensi, rotasi, lateral bending, distraksi) dapat memicu kerusakan medula spinalis yang berbeda. Berdasarkan letak lesi dan gejalanya, ada
empat sindrom, yaitu 1) sindrom BrownSequard; 2} sindrom spinalis anterior, 3)
sindrom spinalis sentral, dan 4) sindrom
spinalis posterior (Tabel 2 dan Gambar 1].
Renjatan Spinal
Selain sindrom-sindrom ini di atas,
perlu diperhatikan juga apakah defisit neurologis yang ada benar disebabkan oleh patologis atau renjatan spinal Renjatan spinal
yaitu keadaan hilangnya fungsi sensorik,
motorik, dan otonom sementara, sebab
sebenarnya tidak terjadi kerusakan struktur pada segmen medula spinalis ini .
Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa hal ini terjadi lebih kepada proses akut
hilangnya pengaruh fasilitasi supraspinal
yang masih belum diketahui secara pasti,
daripada proses trauma itu sendiri.
Renjatan spinal ditandai dengan hilangnya aktivitas refleks spinal di bawah lesi
dan kelemahan ekstrimitas flaksid. Selain
itu, manifestasinya dapat berupa hilangnya
tonus vesika urinaria, ileus paralitik, dan
hipo/anhidrosis di bawah lesi.
Renjatan spinal ditemukan pada tahap akut
pascacedera. Durasi renjatan spinal bervariasi tergantung pada derajat keparahan dan
level cedera medula spinalis. Pada sebagian
besar masalah , aktivitas refleks spinal mulai
kembali normal sesudah 1-6 minggu pascacedera.
Untuk meyakinkan defisit neurologis bukan
aldbat renjatan spinal, maka direkomendasikan agar pemeriksa mengasumsikan bahwa defisit sensorik dan motorik akibat renjatan spinal hanya berlangsung kurang dari
1 jam pascacedera, sehingga disimpulkan
bahwa defisit sensorik dan motorik yang
lebih dari 1 jam merupakan aldbat perubahan patologis dan jarangsebab renjatan spinal. Adapun defisit komponen otonom dan
refleks pada renjatan spinal dapat berlangsung dalam beberapa hari hingga beberapa
bulan, tergantung beratnya cedera.
diagnosa dan diagnosa banding
Penentuan cedera medula spinalis dilakukan
sesudah keadaan mengancam nyawa telah
diatasi. Oleh sebab itu, penanganan awal
masalah cedera medula spinalis menganut asas
praduga positif, yang berarti semua pasien
trauma harus dicurigai menderita cedera
sampai terbukti bahwa tidak ada cedera medula spinalis. Cedera medula spinalis dapat
dikenali berdasar keluhan klinis pada
pasien yang sadar seperti rasa sakit di sepanjang tulang belakang, sensasi kebas, hingga
kelumpuhan pada anggota gerak
Anamnesis
Penting didapatkan informasi berupa 1]
mekanisme trauma, 2) riwayat penyakit sebelumnya, dan 3) riwayat pengobatan yang
didapatkan sebelumnya atau dipemudah
dengan akronim AMPLE {Alergy, Medication, Past illness, Last meal, Exposure).
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis pasien cedera medula spinalis dilakukan secara bertahap untuk menentukan ada atau tidaknya cedera
dan level cedera medula spinalis. Penentuan
adanya cedera dilakukan saat pemindahan pasien dari papan spinal {spine board)
dengan teknik log roll. Teknik ini aman dilakukan oleh minimal empat penolong. Tiga
orang penolong bertugas mempertahankan
kesegarisan tulang belakang saat pasien
dimiringkan/dipindahkan, sedangkan satu
lainnya akan menarikspme board dan mengevaluasi tulang belakang. Evaluasi untuk
menemukan deformitas, krepitasi, nyeri
saat palpasi, dan perlukaan kulit (kontusio,
laserasi, atau penetrasi).
Penentuan level cedera berdasar pemeriksaan sensorik dan motorik. Pemeriksaan sensorik dilakukan dengan memberikan rangsangan nyeri dan menilai respons
pasien sesuai pola dermatom (Gambar 2).
Level cedera ditentukan dari sensorik pola
dermatom terbawah yang masih berfungsi
baik. Perhatian khusus diberikan pada kecurigaan cedera servikal (C1-C4). Apabila
pasien mengeluh hilangnya sensasi di daerah sekitar leher dan klavikula, pemeriksa
harus mengkonfirmasi dengan pemeriksaan
motorik.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan
memeriksa kekuatan otot (Tabel 3) mengikuti pola miotom dan dibandingkan antara
kedua sisi. Level cedera juga ditentukan dari
segmen paling kaudal.
Diutamakan melakukan proteksi kolumna
vertebralis pada pasien tidak sadar agar tidak terjadi cedera sekunder selama mobilisasi dan pemeriksaan. Proteksi ini meliputi
pemasangan bidai servikal {cervical collar
neck) dan meletakkan penderita pada papan
spinal panjang {long spine board) di tempat
kejadian, selama transpor hingga sewaktu
menjalani prosedur pemeriksaan penunjang. Pada penderita tidak sadar, pemeriksaan penunjang menjadi alat penapis utama.
pemeriksaan Radiologis
Dibutuhkan kerjasama antara dokter neurologi
dan radiologi untuk mencegah kemungkinan
kerusakan sekunder selama pemeriksaan.
Oleh sebab itu seorang dokter neurologi juga
harus mengenal tindakan-tindakan yang perlu
dilakukan selama pemeriksaan. Pada instansi
dengan fasilitas kesehatan yang lengkap, CT
scan dapat menjadi modalitas penapisan awal
cedera pada masalah kecurigaan cedera medula
spinalis, Namun pada instansi dengan fasilitas
terbatas, dapat dilakukan foto Rontgen
dengan posisi tertentu sebagai penapisan
awal, kemudian dilanjutkan CT scan untuk
memperjelas kelainan pada segmen tertentu.
Pemeriksaan foto rontgen pada masalah kecurigaan cedera medula spinalis, meliputi:
1. Foto Segmen Servikal (Gambar 4}
Foto segmen servikal dilakukan dengan
posisi lateral, anteroposterior [AP], dan
open-mouth odontoid Pemeriksaan lateral dilakukan dengan pasien berada dalam
posisi tidur telentang dan film diletakkan
di samping pasien. Foto servikal dianggap
baik jika basis kranii hingga vertebra servikal ke-7 dapat terlihat. Untuk mencapai
itu, seringkali diperlukan proyeksi khusus, yakni swimmer's position.
Posisi AP diperlukan untuk mengidentifikasi dislokasi tahap t unilateral yang tidak tampak jelas pada foto lateral. Di sisi
lain, posisi open-mouth odontoid dilakukan khusus untuk melihat area sekitar
segmen servikal 1 dan 2.
2. Foto Segmen Torakolumbal
Perlu diperhatikan kesegarisan korpus
vertebra, jarak antar diskus, pedikel,
prosesus spinosus, dan foramen intervertebralis. Jika dicurigai adanya kelainan maka dibuat proyeksi tambahan baik
lateral maupun oblik.
Modalitas radiologis lain, seperti CT dan MRI