ptif, bukan nyeri neuropatik. Misalnya
pada neuralgia trigeminal, rasa nyeri bisa
berasal dari daerah gusi yang menjalar ke
daerah wajah hingga ke kepala. Maka perlu
disingkirkan ada tidaknya abses di daerah
gusi atau infeksi gigi lainnya yang dapat menyebabkan nyeri.
Yang terakhir, rasa nyeri neuropatik biasanya menjalar sesuai dengan area saraf
atau radiks yang dipersarafinya. Jadi perlu
ditanyakan atau pasien diminta untuk menunjuk area-area nyeri yang dirasakannya.
Contohnya pada NPB daerah L5-S1, akan
ada rasa nyeri dari daerah pinggang ke
tungkai bawah yang dapat dibuktikan dengan adanya gangguan sensorik pada pemeriksaan sensibilitas di area ini .
diagnosa DAN diagnosa BANDING
Rasa nyeri bersifat subyektif, kompleks, dan
pribadi, yang hanya bisa dinilai secara tidak
langsung melalui laporan si penderita. SeIain itu dibutuhkan suatu anamnesis yang
lengkap dari pasien dan keluarga, karena
nyeri juga bisa berkaitan dengan masalah
biopsikososial. Anamnesis ini meliputi onset, karakteristik, dan kualitas nyeri,
serta lokasi, distribusi, dan penjalaran nyeri.
Ditanyakan juga faktor yang memperingan
atau memperberat nyeri dan keluhan psikologis yang menyertainya. Lalu dilakukan
pemeriksaan fisik umura, terutama lokal di
aera nyeri dan neurologis.
Pengukuran nyeri dapat berdasarkan laporan pribadi pasien atau juga kesimpulan
yang diambil oleh dokter berdasarkan keluhan pasien dengan memakai beberapa
perangkat, seperti: verbal scale {Me Gill Pain
Questioners'), numeric scale {numeric rating
scale, termometer nyeri), pictorial scale
{painful face scale, visual analog scale). Numeric rating scale (NRS) merupakan skala
yang paling sering dipakai pada nyeri secara umum, yang dapat membagi tingkat intensitas nyeri pasien dalam kelompok nyeri
ringan (NRS 1-3), sedang (NRS 4-7), atau
berat (NRS 8-10).
Namun NRS kurang dapat mendeteksi gejala nyeri neuropatik yang bervariasi. Oleh
karena itu diperlukan suatu perangkat yang
spesifik untuk nyeri neuropatik, antara lain;
kuesioner nyeri McGill, Leeds Assessment o f
Neuropathic Symptoms and Signs (LANSS),
Neuropathic Pain Questionnaire (NPQ), Douleur Neuropathique en 4 Questions (DN4),
Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS),
dan kuesioner PainDetect DN4 dan BPNS
dipakai terutama pada pasien-pasien
HIV dan sudah divalidasi ke dalam bahasa
negara kita dengan sensitivitas dan spesifitas
yang baik.
LANSS merupakan instrumen yang dipercaya dalam menilai nyeri neuropatik dan
telah divalidasi di berbagai negara dengan
sensitivitas 82-91% dan spesifisitas 80-
94%. Instrumen ini dianggap sebagai instrumen baku emas karena mampu mendeteksi
komponen nyeri neuropatik memakai
pemeriksaan sensibilitas. Namun untuk kepentingan penapisan ada tidaknya komponen nyeri neuropatik, dapat memakai
kuesioner yang lebih sederhana seperti paindetect yang sudah divalidasi ke dalam bahasa
negara kita dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang cukup baik, yaitu masing-masing 78%.
Pemeriksaan fisik pasien nyeri pada prinsipnya dilakukan untuk mencari kelainan struktural penyebab nyeri. Dimulai dari pemeriksaan fisik umum, dilakukan inspeksi, palpasi,
dan pergerakan di area yang dikeluhkan. Selanjutnya pemeriksaan fisik untuk mencari
defisit neurologis sebagai analisis penyebab
nyeri, terutama membuktikan adanya gangguan sensibilitas sesuai dengan area nyeri.
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
memastikan kerusakan jaringan atau gangguan struktural yang memicu penekanan atau iritasi radiks penyebab nyeri
neuropatik. Hal ini akan menentukan terapi
definitif nyeri, bukan hanya bersifat simtomatis. Pada NPB dan semua nyeri yang
berkaitan dengan saraf perifer, dilakukan
pemeriksaan elektromiografi (EMG) dan kecepatan hantar saraf (KHS), dilanjutkan pemeriksaan imajing sesuai dengan indikasi.
TATALAKSANA
Nyeri neuropatik memunculkan masalah
bukan hanya menyangkut kerusakan atau
lesi dari jaringan saraf itu sendiri, tetapi karena dapat memicu nyeri kronik yang
menurunkan quality o f life penderita. Dalam
hal pengobatan juga menyulitkan karena
tidak berespons terhadap obat-obatan antinyeri tradisional Oleh sebab itu, penanggulangan nyeri neuropatik membutuhkan
tim yang multidisiplin untuk pemberian
terapi farmakologis maupun nonfarmakologis. Penanggulangan secara farmakologis
bukan hanya sebatas pada tingkat reseptor
dan perbaikan lesi jaringan saraf saja, tapi
juga yang berkaitan dengan efek kronik dari
nyeri ini , yaitu efek psikologis seperti
depresi dan ansietas.
Patofisologi nyeri neuropatik memiliki kesamaan dengan epilepsi. Nyeri neuropatik
juga termasuk kindling pada epilepsi, serupa
halnya dengan kejadian wind-up pada nyeri
neuropatik. Jadi permasalahan nyeri neuropatik yaitu di kanal ion sebagaimana pada
epilepsi. Oleh sebab itu target terapi tertuju
pada voltage-gate kanal Na+ dan Ca2+. Atas
dasar ini, maka antikonvulsan dapat digunakan karena berkemampuan untuk menekan
kepekaan abnormal neuron-neuron di sistem saraf pusat dengan memblokade reseptor glutamat (NMDA, AMPA, kainat).
Namun yang paling penting yaitu analisis
nyeri secara keseluruhan hingga diketahui
penyebab, intensitas, dan karakteristiknya.
Perlu diketahui apakah nyeri neuropatik merupakan satu-satunya nyeri atau campuran
ada komponen nyeri nosiseptif, sehingga
perlu diberikan terapi kombinasi. Apalagi
jika nyeri sudah berubah menjadi nyeri kronik, sehingga yang dibutuhkan yaitu terapi
untuk memperbaiki sensitisasi sentral atau
perifer, bukan lagi analgesik untuk nyeri akut.
European Federation o f Neurological Societies (EFNS) merekomendasikan antidepresan trisiklik, gabapentin, pregabalin, dan
antidepresan golongan selective norepinephrine re-uptake inhibitors (SNRI) seperti
duloksetin sebagai lini pertama (Level A),
Golongan opioid tramadol merupakan pilihan lini kedua (Level A) terutama jika ada nyeri eksaserbasi akut atau komponen
nyeri nosiseptif, seperti pada Tabel 1. Opioid
kerja kuat hanya disarankan sebagai
lini ketiga, mengingat efek samping yang
mungkin muncul, Untuk nyeri neuropatik
pada HIV disarankan lamotrigin (Level B) jika disertai terapi antiretroviral.
Gabapentin berperan mensupresi voltage-gated channels Ca2+ dan ectopic-discharge
pada bagian saraf yang rusak, sehingga dapat mengatur elektrik potensial dalam hal
influks Ca2+berupa depolarisasi dan hiperpolarisasi. Pregabalin dikenal sebagai antinyeri neuropatik, demikian pula lamotrigin
sebagai antikonvulsan untuk nyeri neuropatik. Dari hasil uji klinik, obat antikonvulsan
seperti lamotrigin mempunyai sifat analgesik dalam lingkup yang luas. Mekanisme
kerja lamotrigin ialah membatasi influks
kalsium melalui penekanan voltage-gated
Tidak semua nyeri kronik memicu
depresi yang membutuhkan antidepresan,
akan tetapi banyak diantara penderita nyeri
kronik menunjukan gejala depresi. Pemberian obat antidepresan paralel dengan analgesik lainnya dilakukan jika terapi perilaltu
tidak berhasil. Pilihan antidepresan juga dilihat dari efektivitasnya karena efeknya bisa
berbeda satu penderita dengan penderita
lain. pemakaian obat antidepresan untuk
terapi nyeri neuropatik utamanya, karena
obat ini berfungsi untuk menginhibisi pembentukan monoamine oxidase (MAO) yang
diduga berperan dalam kanal natrium (Na+).
pemakaian antidepresan golongan selective serotonin re-uptake inhibitors (SSRI) dan
selective norepinephrine re-uptake inhibitors
(SNRI) bertujuan untuk menjamin keseimbangan 5-HT dan NA yang spesifik pada jaras
desending di medula spinalis. Antidepresan
juga berperan dalam sekresi 5-HT melalui reseptornya, dalam proses modulasi kanal Na+.
Antidepresan golongan trisiklik, seperti
amitriptilin merupakan golongan SSRI yang
menjadi pilihan utama untuk nyeri neuropatik, karena menginhibisi pengambilan kembali 5-HT dan NA di sinaps. Demikian pula
cara kerja golongan SSRI seperti fluoksetin,
paroksetin, dan sertralin bekerja mengatasi nyeri sekaligus memperbaild sensitisasi
sentral yang sering terjadi pada nyeri neuropatik yang menjadi kronik (Gambar 5).
Duloksetin, golongan SNRI sering juga digunakan untuk penanggulangan depresi pada
penderita nyeri neuropatik. Tujuannya yaitu mencegah (menginhibisi) pengambilan
kembali 5-HT dan NA di sinaps untuk mempertahankan keseimbangan neurotransmiter NA dan dopamin di sentral.
Pada neuralgia trigeminal, obat lini pertama
yaitu karbamazepin 200-12 OOmg/hari dan
okskarbazepin 600-1800mg/hari, sedangkan lini kedua yaitu baklofen, lamotrigin,
dan pregabalin 150-600mg/hari. Lini per-
tama neuralgia trigeminal yaitu antidepresan trisiklik (Level A), seperti amitriptilin
lOmg malam titrasi perlahan hingga lOOmg,
gabapentin hingga 1800mg/hari dalam 3
kali pemberian, atau pregabalin 150-300mg
(maksimum 600mg/hari}. pengobatan nyeri
pada nyeri neuropati diabetika yaitu pregabalin (Level A}, atau gabapentin, duloksetin,
dan amitriptilin (Level B), Namun yang paling penting yaitu pengendalian kadar gula
darah agar tetap dalam kadar normal.
Pada nyeri neuropatik daerah punggung
bawah biasanya disertai komponen nyeri
nosiseptif -terutama pada yang akut- sehingga tetap diperlukan analgesik golongan nonsteroid serta opioid jika nyeri sedang-berat. Kombinasi terapi seperti itu
juga penting pada penyebab nyeri neuropatik yang kompleks seperti nyeri kanker.
Adanya kerusakan jaringan dan infiltrasi
ke serabut saraf sekitarnya membuat nyeri
menjadi hebat dan berlangsung lama. Oleh
karena itu pilihan utama nyeri kanker yaitu opioid kerja sedang sampai kuat bersama dengan terapi antikankernya. Kombinasi
opioid dengan gabapentin dapat meningkatkan potensi analgesik opioid, sehingga dosis
masing-masing tidak perlu terlalu tinggi
dan mengurangi efek samping.
Terapi nonfarmakologik diperlukan sesuai
dengan penyebab nyerinya. Pada nyeri neuropatik akibat sistem muskuloskeletal seperti nyeri bahu atau nyeri punggung bawah,
penting dilakukan terapi nonfarmakologis
berupa tindakan rehabilitasi, seperti modalitas termal, masase, latihan peregangan, dan
sebagainya secara rutin. Terapi invasif dapat dilakukan untuk memblok atau memutus jaras nyeri. Blok saraf dilakukan dengan
menyuntikkan anestesi dan steroid Iokal di
daerah nyeri atau pemberian agen neurolitik seperti alkohol dan bupivakain pada
pleksus tertentu.
NYERI LEHER
Nyeri leher yaitu keluhan yang sering
dijumpai dalam praktik sehari-hari. Beberapa
aktivitas kita seperti bekerja di depan komputer,
membaca buku, memakai gawai, dan
kesalahan posisi tidur, merupakan sebagian
dan penyebab nyeri leher. Namun demildan,
penyebab pasti dari nyeri leher kadang-kadang
tidak diketahui.
Seperti halnya nyeri pada umumnya, nyeri
leher dapat pula berlangsung kronik Stres
psikologis yaitu salahsatu faktoryangmenyebabkan nyeri leher menjadi kronik Kelainan
pada struktur tulang belakang leher seringkali
dikaitkan dengan nyeri leher kronik meskipun
pada faktanya tidak selalu demikian.
Sebagian pasien nyeri leher menghindari
aktivitas fisik untuk mengurangi nyeri. Hal
ini sebenarnya tidak perlu dilakukan, kecuali
ada tan da bahaya [red flags). Pasien
nyeri leher sebaiknya tetap aktif dan bekerja
seperti biasa. Latihan spesifik untuk menguatkan regio leher dapat dilakukan untuk
mencegah berulangnya nyeri leher.
EPIDEMIOLOGI
Nyeri leher amat sering terjadi. Diperkirakan
setidaknya 1 dari 3 orang akan mengalami
nyeri leher setidaknya sekali dalam setahun.
Perempuan lebih sering mengalami nyeri
leher dibandingkan lald-laki. Nyeri leher yang
muncul biasanya akan hilang sendiri dalam
1-2 minggu, namun dapat muncul kembali.
Nyeri leher dapat menjadi kronik pada 14%
pasien. Risiko kronisitas meningkat pada
pasien lanjut usia, pasien yang sebelumnya
memiliki masalah nyeri punggung bawah,
dan pasien dengan kelainan diskus intervertebralis. Nyeri leher karena trauma (whiplash injury) umumnya juga akan memberat
dan menjadi kronik, terutama bila benturan
yang terjadi cukup hebat. Pada kondisi
ini , pasien cemas berlebihan dengan
konsekuensi akibat cedera yang dialaminya,
di samping trauma servikal yang juga serius.
PATOFISIOLOGI
Struktur anatomi leher dibentuk oleh tujuh
tulang vertebra servikal yang saling tersusun satu sama lain. Bersama ligamen dan
otot-otot leher sebagai jaringan pendukung,
tulang belakang servikal membentuk kanalis spinalis yang mengelilingi dan melindungi medulla spinalis (Gambar 1).
Di antara setiap tulang vertebra servikal ada diskus intervertebralis yang menjadi
peredam antar tulang [shock absorber) satu
dengan yang lainnya. Pemberian tekanan yang
besar pada diskus akan memicu material yang menyerupai gelatin dalam diskus
mengalami protrusi keluar dari kapsulnya, sehingga terjadi hemiasi diskus yang menyebabkan radikulopaH Di sekitar tulang dan diskus juga ada
lapisan tebal ligamen yang menegang untuk membatasi gerakan antara satu tulang
servikal dengan lainnya. Trauma leher maupun trauma kepala dapat memicu
whiplash injury yang merobek ligamen ini.
Selain itu, ada pula otot-otot kecil antara tulang vertebra dan otot-otot utama
leher yang berfungsi sebagai lapisan pelindung berikutnya. Otot-otot ini bertanggungjawab untuk membantu menegakkan
kepala, mempertahankan postur normal,
serta menyangga dan menggerakkan leher
[Gambar 2). Iritasi dan overuse pada otototot ini memicu terjadinya cervical
strain atau ketegangan leher.
ada beberapa kemungkinan yang mendasari nyeri leher. Namun demikian, seringkali sulit untuk memastikan penyebab definitif nyeri leher ini . Hal ini dikarenakan
pemeriksaan ldinis dan pemeriksaan radiologis seringkali tumpang tindih dan tidak
berkorelasi langsung dengan keluhan pasien.
Penting untuk disadari bahwa gambaran
radiologis, terutama gambaran degeneratif
pada pencitraan seringkali tidak berhubungan dengan derajat nyeri, disabilitas, atau gejala lain yang dikeluhkan oleh pasien.
Secara umum, nyeri leher klasifikasi penyebab nyeri leher dapat dibagi menjadi 3 kelompok besar yakni:
L NyeriAksial
Nyeri aksial merupakan nyeri muskuloskeletal yang dapat dipicu karena
kelainan pada otot, sendi, atau tulang
di daerah leher. Nyeri aksial pada leher
dapat dipicu karena hal-hal di
bawah ini:
a. Ketegangan otot leher (cervical strain
&. sprain]
Ketegangan otot leher dapat terjadi
ketika terjadi cedera pada otot-otot
leher yang memicu terjadinya spasme pada otot-otot leher
dan punggung atas. Cervical strain
sering timbul akibat stres fisik pada
kehidupan sehari-hari, termasuk kebiasaan postur yang buruk, ketegangan otot akibat stress psikologis, atau
kebiasaan tidur yang buruk. Cedera
akibat olahraga juga dapat memicu ketegangan otot leher.
pada
tulang terbentuk pada bagian pinggir
atau tepi tulang belakang dan sendi faset, akibat peningkatan tekanan pada
jaringan di sekitarnya. Pada sebagian
kasus, proses degeneratif merupakan
hal yang normal sesuai dengan bertambahnya usia. Namun demikian,
perubahan degeneratif yang berat
merupakan hal yang abnormal dan
akan memicu gejala klinis
yang mengganggu.
d. Nyeri diskogenik
Nyeri diskogenik diduga merupakan penyebab tersering nyeri leher, terutama
pada rentang usia 45-50 tahun. Nyeri
ini dipicu karena adanya perubahan
struktural pada satu atau beberapa diskus intervertebralis servikal. Diskus yang
paling sering bermasalah yaitu C5-C6
dan C6-C7, mencapai 75% kasus.
e. Sindrom faset servikal
Sendi faset merupakan salah satu daerah
yang seringkali menjadi sumber nyeri
pada tulang belakang. Sendi yang terletak pada sisi ldri dan kanan tulang vertebra ini (Gambar 4] merupakan daerah
yang paling dipengaruhi oleh nyeri leher
aldbat cedera whiplash, Cedera whiplash
yang paling sering dalam kehidupan
sehari-hari yaitu kecelakaan bermotor
yang memicu gerakan kepala ke
depan dan ke belakang secara tiba-tiba.
Kemungkinan patofisiologi lain yaitu
pekerjaan atau aktivitas yang menuntut
penderitanya melakukan gerakan ekstensi leher berulang.
f. Diffuse skeletal hyperostosis
Diffuse skeletal hyperostosis (DISH)
merupakan sindrom Minis akibat kalsifikasi abnormal pada ligamen dan tendon sepanjang tulang belakang leher,
yang memicu pengerasan pada
ligamen dan tendon ini Kondisi
ini selain terjadi pada tulang belakang
servikal juga dapat melibatkan tulang
belakang torakal dan lumbal.
2. Radikulopati Servikal
Radikulopati servikal dapat menyebabkan nyeri yang menjalar akibat iritasi
atau penekanan pada radiks akibat protrusi diskus intervertebralis, artritis pada
tulang belakang, atau adanya massa yang
menekan saraf [seperti kista sinovial]. Penyebab paling sering radikulopati yaitu
perubahan degeneratif akibat penuaan
atau cedera dan herniasi diskus intervertebralis servikal.
Nyeri yang menjalar biasanya disertai
gejala lain seperti gangguan sensorik dan
kelemahan motorik. Pembahasan lebih
detail mengenai nyeri radikulopati dibahas
dalam bab Radikulopati buku ini.
3. Mielopati Servikal
Mielopati merupakan gangguan pada medula spinalis yang umumnya dipicu
karena kompresi. Mielopati servikal paling
sering dipicu karena spondilosis atau
perubahan degeneratif yang mengaldbatkan penyempitan kanalis spinalis sentral.
Penyempitan yang terjadi memicu
cedera pada medula spinalis. Penyebab
lain dapat berupa penekanan oleh tumor.
GEJALA DAN TANDA KL1NIS
Gejala utama nyeri aksial leher yaitu nyeri.
Pada cervical strain dan sprain, gejala nyeri
disertai kekakuan dan ketegangan pada otot
leher, punggung atas dan bahu yang dapat
berlangsung berminggu-minggu, tanpa kelainan neurologis. Pada nyeri miofasial, nyeri
disertai oleh kekakuan dan nyeri tekan pada
otot servikal yang sensitif terhadap nyeri.
Sementara itu, gejala klinis spondilosis
servikal mencakup nyeri leher yang
diperberat dengan gerakan; nyeri alih yang
dirasakan di daerah oksiput, di antara
tulang belikat dan lengan atas; nyeri di
daerah retroorbita atau temporal [dari ClC2]; kekakuan leher; abnormalitas sensorik
atau kelemahan pada lengan atas; dizziness
dan gangguan kese-imbangan; kadangkadang ada keluhan sinkop, migrain,
atau pseudo-angina. diagnosa spondilosis
servikal seringkali cukup berdasarkan
gejala dan tanda klinis di atas.
Pada nyeri diskogenik servikal, gejala ldinis
mencakup nyeri pada leher pada saat menengokkan atau memiringkan kepala. Nyeri
dapat memberat jika leher dipertahankan
pada satu posisi dalam waktu lama, seperti
saat berkendara, membaca atau bekerja
dengan komputer, Seringkali ada pula
gejala ketegangan otot dan spasme. Nyeri
diskogenik seringkali juga memberikan gejala
nyeri yang menjalar ke daerah bahu dan
lengan,
Gambaran ldinis nyeri faset servikal umumnya
berupa nyeri leher hingga nyeri kepala dan
keterbatasan rentang gerak (range o f motion
/ROM] leher. Rasa nyeri dirasakan tumpul dan
tidak nyaman, terutama pada bagian posterior
leher dan dapat menjalar hingga pundak
atau daerah punggung tengah (Gambar 5).
Pemeriksaan fisik yang didapatkan yaitu
nyeri palpasi pada daerah faset atau otot
paraspinal dan nyeri pada saat melakukan
gerakan ekstensi atau rotasi leher tanpa
disertai adanya defisit neurologis.
Pasien diffuse skeletal hyperostosis (DISH]
memiliki gejala yang amat bervariasi, muiai
dari asimtomatik hingga atau memiliki gejala
berupa kekakuan otot, keterbatasan gerak
(mobilitas), dan nyeri. Radikulopati servikal
memiliki gejala Minis nyeri radikular, muiai
dari leher, bahu, lengan atas, hingga jari. Selain nyeri, pasien radikulopati servikal dapat
merasakan hipestesia atau paresthesia sesuai
dermatom dan monoparesis tipe LMN. Sementara itu, gejala mielopati servikal dapat
berupa nyeri yang disertai kelemahan motorik, gangguan sensorik, gangguan koordinasi,
serta ganggauan otonom (inkontinensia dan
disfungsi ereksi).
diagnosa DAN diagnosa BANDING
Evaluasi nyeri leher biasanya dimulai dengan
mengamati kemampuan seseorang untuk
menggerakkan kepala ke kiri dan kanan,
fleksi ke depan dan ekstensi ke belakang,
serta fleksi ke tiap sisi. Amati pula postur dan
gerakan pada leher dan bahu pasien. Lakukan
palpasi dan rasakan otot-otot di leher, kepala,
punggung atas, dan bahu untuk mendeteksi
daerah nyeri, adanya kelemahan, atau ketegangan otot. Jika ada kelemahan atau
gangguan sensorik, lakukan pula evaluasi
kekuatan motorik dan sensorik di ekstremitas. Dalam beberapa kasus, tergantung pada
usia pasien, gejala Minis dan riwayat medis, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, seperti foto Rontgen, CT scan, MRI, atau elektromiografi (EMG).
Pada kasus dengan kecurigaan cedera leher,
pemeriksaan foto Rontgen servikal anteroposterior, lateral, oblik, dan odontoid menjadi
pemeriksaan awal yang rutin di-kerjakan.
Seluruh 7 tulang vertebral servikal harus
tervisualisasi dan jarak diskus intervertebralis antar tulang kurang lebih sama. Foto
lateral bermanfaat untuk menilai kesegarisan (alignment] dan adanya pembengkakan
jaringan lunak. Jarak normal antara bagian
depan C3-C5 dan bayangan trakea yaitu
5mm pada dewasa. Jika jarak ini melebar, diperldrakan adanya pembengkakan
jaringan lunak dan cedera yang signifikan.
Sisi posterior korpus vertebral dalam keadaan normal akan berada dalam satu garis
yang membentuk kurva lordosis. Garis yang
ditarik dari aksis horizontal tiap prosesus
spinosus tulang vertebra servikal dalam
kondisi normal akan terjadi konvergensi
pada 1 titik di posterior. Hilangnya lordosis
mengimplikasikan adanya spasme otot, sementara hilangnya konvergensi menandakan kemungkinan instabilitas tulang vertebra. Posisi lateral juga bermanfaat dalam
menilai stabilitas Cl dari C2. Posisi oblik
paling baik dalam menilai sendi faset dan
foramen neural.
Pemeriksaan CT scan servikal dikerjakan
pada pasien yang memilki kelainan pada
foto Rontgen, atau pada pasien dengan kecurigaan fraktur, namun hasil foto tidak
konklusif. Adanya disrupsi korpus vertebra
atau lamina, fraktur pada sendi faset, dan
fragmen tulang intrakanal akan jelas terlihat
dengan CT scan. Karena itu, CT scan merupakan pencitraan utama untuk mengevaluasi lesi traumatik pada tulang servikal.
Sementara itu, pemeriksaan MRI servikal
diindikasikan pada pasien dengan defisit
neurologis, jika pada foto Rontgen tidak
ditemukan kelainan yang pasti. MRI bermanfaat dalam mengevaluasi kelainan pada
medula spinalis dan radiks, kelainan pada
soft tissue; herniasi diskus intervertebral is,
disrupsi ligamen, dan siringomielia.
pengobatan
Sebelum memberikan pengobatan , harus
ditentukan penyebab nyeri leher. Pasien diharuskan segera ke RS pada kondisi cedera
kepala atau cedera leher berat, gangguan
kontrol buang air besar atau buang air kecil,
nyeri leher yang sangat berat (visual analog
scale/VAS >6], atau jika ada kelemahan
atau gangguan sensorik pada ekstremitas.
Demikian pula jika ada nyeri leher yang
tidak membaik dalam 1 minggu, dianjurkan
untuk dibawa ke RS. Kondisi-kondisi ini merupakan bagian dari tanda bahaya
(red flags) yang harus selalu dinilai pada
pasien dengan keluhan nyeri leher, selain
keadaan berikut:
a. Tanda keganasan, infeksi, dan inflamasi
Demam, keringat malam, berat badan yang
turun drastis, riwayat tuberkulosis, riwayat infeksi human immunodeficiency virus
[HIV], atau riwayat pemakaian imunosupresan, nyeri yang sangat hebat [VAS 10],
nyeri yang intraktabel pada malam hari,
Iimfadenopati servikal, dan nyeri tekan
pada korpus vertebra servikal.
b. Mielopati
Gangguan gait, clumsy hand, defisit neurologis yang objektif berupa gejala upper motor neuron (UMN) di tungkai dan gejala lower motor neuron (LMN) di lengan.
c. Kondisi lain
Riwayat osteoporosis berat, riwayat operasi
leher drop attack saat menengokkan leher,
serta nyeri yang berat dan menetap atau
makin meningkat.
Pada sebagian besar kasus, nyeri leher
cukup diterapi secara konservatif dengan
analgesik over-the-counter, dan terapi fisik
memakai pemanasan, massage, dan
latihan penguatan dan/atau peregangan
yang dapat dikerjakan di rumah. Jika nyeri
tidak menghilang setelah 1-2 minggu
terapi di rumah, disarankan untuk
dilakukan evaluasi lebih lanjut di fasilitas
kesehatan.
Secara umum, pengobatan nyeri leher
di fasilitas kesehatan dapat dibagi menjadi terapi konservatif, terapi intervensi
nyeri, dan terapi surgikal. Terapi konservatif terdiri atas:
1. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa dapat berupa
pemberian analgesik asetaminofen atau
obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS],
seperti ibuprofen, meloksikam, dan
naproksen, dapat membantu mengatasi nyeri derajat ringan dan sedang. Jika
ada spasm e otot yang berat, dapat
diberikan golongan pelemas otot. Jika
derajat nyeri leher dirasakan berat, direkomendasikan pemberian antidepresan trisiklik.
2. Terapi fisik
Terapi fisik dapat dibagi dalam 3 tahap
yakni tahap akut, tahap pemulihan [recovery), dan tahap rumatan [maintenance). Terapi fisik fase akut bertujuan
untuk mengurangi nyeri dan inflamasi,
mengembalikan ROM daerah yang tidak
nyeri, memperbaiki kontrol postural
leher, dan mencegah atrofi otot-otot
leher.
Pada fase pemulihan, terapi fisik bertujuan
untuk menghilangkan nyeri secara sempurna, memperbaiki dan menormalisasi
ROM pasif dan aktif, melanjutkan perbaikan kontrol postural, dan memulai tahap
agar otot leher dapat dipakai untuk
latihan olahraga. Selanjutnya, terapi fisik
fase rumatan bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki keseimbangan,
meningkatkan kekuatan dan ketahanan
otot leher dalam melakukan gerakan aktif,
sehingga pasien memiliki postur yang
normal dan dapat beraktivitas sehari-hari
tanpa nyeri.
Modalitas yang dapat dipakai dalam
terapi fisik mencakup:
a. Pendinginan — dengan kantung es
pada daerah yang nyeri di leher juga
dapat membantu mengurangi derajat
nyeri.
b. Pemanasan — dengan air atau uap
hangat juga dapat membantu mengurangi nyeri. Namun demikian, pada
nyeri akut gunakan es lebih dulu sebagai terapi inisial. Pemanasan boleh
dijadikan terapi inisial jika pasien
tidak sensitif dan tidak dapat mentoleransi dingin.
c. Massage — Pemijatan dapat membantu menghilangkan spasme otot
dan dapat dikerjakan setelah pemanasan atau pendinginan pada otot
leher. Dapat dilakukan secara manual
dengan tangan atau dengan vibrator
elektrik, Pada saat dilakukan pemijatan, otot leher harus dalam keadaan
relaks dengan menyangga kepada atau
posisi berbaring.
3. Latihan penguatan dan peregangan
Setelah mengalami cedera, rentang gerak
leher harus direstorasi dan dipertahankan. Hal ini dilakukan dengan latihan yang
meregangkan dan menguatkan otot-otot
leher. Latihan ROM dan peregangan dapat
membantu mengurangi nyeri pascacedera
otot. Latihan paling baik dilakukan saat
otot dalam keadaan hangat, misalnya
pascapemanasan atau beberapa menit
setelah latihan kardio. Latihan dapat dilakukan pada pagi hari untuk menghilangkan kekakuan otot dan malam hari sebelum tidur.
Beberapa gerakan dibawah ini dapat dilakukan untuk menguatkan dan meregangkan otot leher cervical strain yang
merupakan penyebab nyeri leher terbanyak. Jangan lakukan gerakan ini
pada kasus selain cervical strain, terlebih
pada radikulopati atau mielopati.
a. Neck tilting
Tundukkan leher hingga maksimal
dan tahan selama 5 detik sebelum
kembali ke posisi normal (Gambar 6).
Ulangi sebanyak 5 kali.
b. Neck tilting side to side
Miringkan leher ke arah bahu, tahan
selama 5 detik ke setiap sisi dan ulangi
masing-masing sisi 5 kali [Gambar 7).
c. Neck turn
Tengokkan leher ke arah kiri dan
kanan hingga maksimal dengan posisi dagu sejajar [Gambar 8). Lakukan masing-masing selama 5 detik ke
setiap sisi dan ulangi masing-masing
sisi 5 kali
d. Neck stretch
Anglcat leher ke arah dagu, tahan selama
5 detik, dan ulangi 5 kali [Gambar 9}.
e. Stimulasi elektrik
Dengan memakai transcutaneous electrical nerve stimulation
[TENS] dapat membantu mengurangi
nyeri serta meningkatkan mobilisasi
dan kekuatan otot.
f. Traksi servikal
Traksi ini memakai beban yang
bertujuan menarik tulang leher dan
mengkoreksi kolumna spinalis menjadi
sejajar {good alignment). Sayangnya,
berbagai studi menunjukkan teknik
traksi tidak memilild manfaat yang signifikan dalam pengobatan nyeri leher.
g. pemakaian bidai servikal {collar neck)
Bidai servikal diindikasikan pada kasus
nyeri leher. pemakaian nya harus sesuai
anjuran dokter, karena dapat menunda
proses pemulihan dan memicu kelemahan leher jika dipakai rutin
dalam jangka panjang.
4. Kurangistres
Stres emosional akan dapat meningkatkan ketegangan otot leher dan akan
mempengaruhi serta memperlambat
proses pemulihan. Teknik relaksasi akan
mengatasi ketegangan muskuloskeletal,
Aktivitas lain yang dapat mengurangi
stres mencakup meditasi, ibadah, dan
hipnosis
5. Menjaga postur tubuh
Aktivitas dan posisi tubuh yang dapat
mencegah atau mengurangi nyeri leher
yaitu posisi leher netral dan meminimalisir ketegangan sepanjang otot dan
ligamen pendukung leher. Gerakan leher
yang berlebihan, aktivitas, dan posisi
tubuh yang memicu ketegangan
konstan harus dihindari atau diminimalisir. Hindari duduk dalam posisi yang
sama selama berjam-jam dan lakukan
istirahat berkala selama 5 menit, bila pekerjaan mengharuskan kita pada posisi
tertentu dalam waktu lama. Atur posisi
monitor komputer sejajar dengan mata,
agar kepala tidak terlalu menunduk atau
mendongak. Hindari menaruh juga beban
berat di punggung atas serta pertahankan posisi postur leher yang baik dalam
setiap kondisi termasuk saat tidur.
6. Lain-lain
Adapun modalitas terapi lain, seperti
akupuntur, biofeedback, dan chiropractic,
masih memerlukan beberapa penelitian
untuk mengetahui efektivitasnya.
Sementara itu, terapi intervensi nyeri
mencakup tindakan injeksi untuk men-
gurangi nyeri dengan atau tanpa panduan
(guiding tools). Di antara tindakan intervensi nyeri leher yang tidak memerlukan
panduan yaitu injeksi trigger point
dengan anestetik lokal, seperti lidokain.
Tindakan ini dapat direkomendasikan bila latihan peregangan dan massage
tidak mengurangi nyeri secara signifikan
pada kasus cervical strain atau nyeri miofasial. Sayangnya, tidak ada cukup
bukti bahwa injeksi trigger point dapat
mengurangi nyeri atau mempercepat
penyembuhan dalam jangka panjang. Injeksi steroid pada otot leher tidak dianjurkan, karena berisiko memicu
cedera pada otot, Pada kasus nyeri leher
lainnya, seperti nyeri diskogenik atau
nyeri faset, jika akan dilakukan tindakan intervensi nyeri, dapat dipandu dengan memakai ultras onografi atau
fluoroskopi/C-arm.
Modalitas terakhir manajemen nyeri
leher yaitu dengan tindakan surgikal.
Meskipun tidak diperlukan dalam mengatasi mayoritas nyeri leher, tindakan
bedah dapat dipertimbangkan pada kasus hernias! diskus intervertebralis yang
memicu radikulopati servikal atau
pada kasus mielopati akibat spondilosis
servikal, setelah terapi konservatif tidak
mengalami perbaikan. Selain itu pertimbangkan tindakan bedah jika ada
defisit neurologi yang progresif.
CONTOH KASUS
1. Seorang perempuan 63 tahun datang ke
klinik dengan keluhan nyeri leher sejak
9 bulan lalu. Nyeri dirasakan lokal di belakang leher, seperti pegal, tidak menjalar.
Nyeri juga hilang timbul, terutama memberat saat posisi tidur.
Pertanyaan:
Menurut karakteristik temporal nyeri,
apa jenis nyeri yang dialami pasien ini?
a. Nyeri akut
b. Nyeri somatik
c. Nyeri kronik
d. Nyeri kronik eksaserbasi akut
e. Nyeri viseral
Jawaban: c. Nyeri kronik
2. Berdasarkan epidemiologi, apakah penyebab tersering dari nyeri leher?
a. Faktor mekanik
b. Trauma
c. Keganasan/ neoplasma
d. Autoimun
e. Idiopatik
Jawaban e. Idiopatik
3. Lanjutan kasus:
Sejak 3 bulan lalu, nyeri bertambah parah.
Nyeri dirasakan ter us menerus dan
kadang ada rasa kesetrum ke lengan kiri
dan kanan. Pasien mulai berobat ke dokter umum dan diberikan obat penghilang
nyeri, tetapi keluhan hanya membaik sementara dan kemudian kambuh sakit lagi.
Selanjutnya, pasien berobat ke dokter
saraf. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan ada tetraparesis UMN (kekuatan
motorik 4/5 untuk tiap ekstremitas), refleks patologis Hoffman Tromner (+) bilateral, refleks fisiologis meningkat (+3),
serta ada hipestesi dan hipohidrosis
setinggi C6 ke bawah. Berdasarkan data
klinis saat ini, apakah tanda bahaya yang
ditemukan pada kasus ini?
a. Demam
b. Penurunan berat badan
c. Nyeri yang memberat
d. ada kelemahan elcstremitas
e. Pilihan c dan d benar
Jawaban: e. Pilihan c dan d benar
4. Lanjutan kasus:
Setelah melakukan anamnesis lebih
lanjut, ternyata pasien memilild riwayat
tumor otak pada ayah pasien dan kanker
payudara pada kakak kandung. Pasien
juga mengeluh batuk-batuk yang kadang
disertai darah dan berat badan menurun.
Pasien lalu menjalani pemeriksaan paru
dan didapatkan diagnosa tumor paru.
Apakah penyebab nyeri leher pada pasien
ini?
a. Degeneratif usia tua
b. Osteoporosis
c. Terlalu sering batuk
d. Keganasan/neoplasma
e. Hernia nukleus pulposus
Jawaban: d. Keganasan/neoplasma
5. Bila intensitas nyeri pasien yaitu VAS
6, maka apa pilihan obat yang diberikan
pada pasien?
a. Parasetamol
b. Ibuprofen
c. Tramadol
d. Fentanil
e. Morfin
Jawaban: c. Tramadol
NYERI PUNGGUNG BAWAH
Salim Harris; Winnugroho Wiratman,
Ramdinal Aviesena Zairinal
PENDAHULUAN
Nyeri punggung bawah (NPB) merupakan
nyeri, ketegangan otot, atau kekakuan yang
terlokalisir di antara batas iga bagian bawah
dan lipatan gluteus inferior, dengan atau
tanpa penjalaran ke paha dan/atau tungkai
{sciatica). NPB dapat terjadi dengan/tanpa
nyeri radikular atau nyeri alih yang menandakan kerusakan jaringan organ lain. Pada
prinsipnya, NPB dipicu oleh kerusakan
jaringan saraf dan nonsaraf yang sangat dipengaruhi oleh aspek psikologis.
Keluhan NPB sering dijumpai pada praktik
sehari-hari. Sebanyak 17-31% dari total
populasi pernah mengalami NPB semasa
hidupnya. Oleh karena NPB sangat dipengaruhi oleh aktivitas fisik dan posisi tubuh,
maka pasien NPB memiliki keterbatasan
dalam bergerak (disabilitas). Hal ini
memicu penurunan kualitas hidup
serta memiliki dampak sosial dan ekonomi
yang buruk.
Berdasarkan studi The Global Burden o f Disease tahun 2010, NPB merupakan penyumbang terbesar kecacatan global, yang diukur
melalui years lived with disability (YLD).
Studi di Inggris mengemukakan bahwa
NPB merupakan penyebab utama disabilitas pada dewasa muda yang memicu
lebih dari 100 juta hari kerja hilang tiap
tahun. Dengan demildan, NPB penyebab
penurunan produktivitas kerja dan berkaitan dengan beban ekonomi yang besar.
Secara temporal, NPB terbagi menjadi akut
(<6 minggu), subakut (7-12 minggu), kronik
(>12 minggu/3 bulan), dan rekuren. Sebagian besar penderita NPB mengalami rekurensi, yang sebenarnya merupakan bentuk
eksaserbasi akut pada NPB kronik. Penanganan NPB akut yang tidak cepat dan adekuat akan beraldbat progresivitas keluhan
menjadi kronik dan rekuren. Selain itu, faktor stres psikologis juga turut meningkatkan
risiko kronisitas NPB. Kondisi kronik seperti
ini harus dicegah oleh klinisi yang menangani pasien NPB.
EPIDEMIOLOG!
Prevalensi NPB cukup bervariasi, dengan
hasil studi di negara-negara berkembang
menunjukkan prevalensi pertahun sekitar
22-65% . Data Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI menyatakan sebesar 18,37% dari
keseluruhan pasien nyeri yaitu NPB. Data
epidemiologi lain memperkirakan sekitar
40% penduduk Jawa Tengah berusia antara
65 tahun pernah menderita nyeri punggung,
dengan prevalensi 18,2% pada laki-laki dan
13,6% pada perempuan.
Di Amerika Serikat, NPB secara umum
merupakan penyebab kelima tersering
pasien datang untuk berobat. Data lain me-
laporkan bahwa 7,6% populasi dewasa di
Amerika Serikat mengalami NPB berat selama 1 tahun terakhir, dan hanya 39% di antara mereka mencari pengobatan.
PATOFISIOLOGI
Seperti nyeri pada umumnya, NPB dapat
terjadi akibat adanya kerusakan jaringan
saraf dan/atau nonsaraf pada punggung
bawah. Di samping saraf, kerusakan dapat
pula mengenai tulang vertebra, kapsul sendi apofisial, anulus fibrosus, otot, dan ligamentum. Peregangan {stretching), robekan
{tearing), atau kontusio jaringan-jaringan
ini dapat terjadi akibat aktivitas seperti mengangkat beban berat, gerakan memutar tulang belakang, dan whiplash injury.
Patofisiologi yang mendasari NPB sangat
berkaitan dengan mekanisme nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik sebagai akibat
dari kerusakan jaringan pada alinea sebelumnya. Pada NPB yang kronik dan rekuren,
ada proses patologis yang disebut sensitisasi sentral.
Nyeri Nosiseptif dan Neuropatik
Nyeri nosiseptif timbul akibat kerusakan
pada jaringan nonneural dan aktivasi nosiseptor. Nyeri ini menyertai aktivasi peripheral receptive terminals dari neuron
aferen primer sebagai respons terhadap
stimulus kimiawi, mekanik, atau termal
yang berbahaya, Di lain pihak, nyeri neuropatik didefinisikan sebagai nyeri yang
dipicu karena lesi primer sistem saraf
somatosensorik. Secara klinis, istilah nyeri
nosiseptif berarti nyeri yang timbul {output)
sebanding dengan input nosiseptif, berbeda
dengan yang terjadi pada nyeri neuropatik.
Sensitisasi Sentral (SS)
Definisi SS yaitu amplifikasi dari neuronal
signaling di dalam sistem saraf pusat yang
meningkatkan hipersensitivitas terhadap
nyeri, sehingga terjadi peningkatan respons
neuron nosiseptif di dalam sistem saraf
pusat terhadap input aferen normal atau
ambang batas {subthreshold). Dengan kata
lain, ada augmentasi respons susunan
saraf pusat terhadap terhadap input dari reseptor unimodalitas dan polimodalitas. Hal
yang penting diingat dari patofisiologi SS
yaitu peningkatan respons neuronal terhadap stimulus di dalam sistem saraf pusat
(seperti hipereksitabilitas sentral].
Gangguan yang diakibatkan oleh SS terhadap sistem saraf pusat ini meliputi
beberapa hal, yaitu perubahan pemrosesan
stimulus sensorik di dalam otak, gangguan
fungsi mekanisme antinosiseptif desenden, peningkatan aktivitas jalur fasilitator
nosiseptif, dan peningkatan sumasi nyeri
sekunder (wind up) di temporal. Selain itu,
SS meningkatkan aktivitas pain neuro matrix. SS juga meningkatkan aktivitas otak
pada area-area yang terlibat dalam sensasi
nyeri akut (insula, korteks cinguli anterior,
dan korteks prefrontal] dan yang tidak terlibat dalam sensasi nyeri akut (berbagai
nukleus di batang otak, korteks dorsolateral
frontalis, dan korteks asosiasi parietal],
Berbagai studi mengemukakan bahwa SS
ditemukan pada NPB kronik. Hal ini mempengaruhi pengobatan pasien, mengingat
pasien NPB dengan SS membutuhkan
pengobatan dengan target spesifik pada
sistem saraf pusat.
ANATOMI
Tulang belakang bagian lumbal terdiri dari
5 segmen vertebra lumbalis yang terletak
kranial dari sakrum dan koksigeus. Kelima
vertebra ini menyokong vertebra torakalis,
servikalis, dan tulang kepala yang merupakan sebagian besar dari berat badan tubuh,
sehingga ukuran korpusnya paling besar
dibandingkan segmen vertebra lainnya,
Sisi posterior korpus vertebra memiliki
struktur pedikel, lamina, prosesus transversus, dan prosesus spinosus yang membentuk lingkaran mengelilingi kanalis spinalis.
Kanalis spinalis dibungkus oleh kantong
dura yang berisi cairan serebrospinal.
Sendi faset merupakan persendian yang
menghubungkan korpus vertebra yang satu
dengan lainnya. Prosesus artikularis superior
dan inferior dari lamina vertebra yang berdekatan
membentuk sendi faset atau zigapofisial. Sendi
ini merupakan sendi sinovial di artrodial yang
berfimgsi menanggung beban kompresif serta
tekanan biomekanik diskus intervertebralis.
Tulang belakang disokong oleh berbagai
ligamentum yang merupakan jaringan ikat
yang menghubungkan satu tulang ke tulang
lainnya. Dari anterior ke posterior, ligamenturn ini meliputi, ligamentum longitudinal anterior, ligamentum longitudinal
posterior, ligamentum flavum, ligamentum
intertransversal, ligamentum interspinosus,
dan ligamentum supraspinosus (Gambar 1} Ligamentum longitudinal anterior merupakan ligamentum luas dan fibrous yang berasal dari dasar tengkorak, meliputi bagian
anterior dari korpus vertebralis dan diskus
vertebralis dari Cl hingga sakrum. Ligamentum ini berfungsi dalam mempertahankan
stabilitas dari sendi intervertebral is dan
mencegah terjadinya gerakan hiperekstensi.
Ligamentum longitudinals posterior berjalan dari dasar tengkorak dan C2 hingga ke
sakrum, berhubungan dengan bagian posterior dari korpus vertebralis dan diskus
intervertebral is, sehingga ligamentum ini
membentuk satu kesatuan dengan dinding
kanalis vertebralis. Hal ini berkaitan
dengan pencegahan terjadinya protrusi diskus ke arah posterior, tetapi tidak mencegah
ke arah posterolateral, serta mencegah terjadinya gerakan hiperfleksi kolumna vertebralis.
Di seberang ligamentum longitudinalis posterior, ada ligamentum flavum. Kedua
ligamentum ini membentuk bagian dari kanalis spinalis. Ligamentum flavum berperan
dalam mempertahankan kontur dan keutuhan posisi tulang belakang saat membungkuk dan sebaliknya.
Ligamentum intertransversal berjalan diantara prosesus transversus kolumna vertebralis pada tiap segmen, dan biasanya
bergabung dengan muskulus intertransversarii. Peran ligamentum ini yaitu untuk
membatasi gerakan fleksi lateral ke kiri dan
kanan.
Ligamentum interspinosus terdiri dari
lapisan-lapisan tipis yang menghubungkan
prosesus spinosus Cl hingga SI pada tiap
segmen. Pada bagian anterior, serat ligamentum ini berhubungan dengan flavum,
sedangkan pada bagian posterior serat ligamentum ini berhubungan dengan ligamentum supraspinosus. Ligamentum ini untuk
membatasi gerakan fleksi ke depan atau
membungkuk.
Ligamentum supraspinosus melekat pada
apeks prosesus spinosus. Ligamentum ini
terdiri dari serat yang panjang dan tebal
yang berjalan secara vertikal, mulai dari
C7 hingga sakrum. Di atas C7, ligamentum
ini disebut ligamentum nuchae. Bagian internal/anterior dari serat ini berhubungan
dengan ligamentum interspinosus, sehingga
berperan membatasi gerakan fleksi,
Diskus intervertebralis yaitu sendi yang
terletak di antara korpus vertebralis. Sendi
ini berperan dalam hal mekanik dikarenakan fungsinya dalam menanggung beban
berat badan dan aktivitas otot melalui kolumna spinalis. Adanya fleksibilitas sendi
ini membuat tulang belakang mampu beregerak membungkult, fleksi ke lateral, dan
memutar.
Diskus intervertebralis memiliki ketebalan
sekitar 7-10mm dan diameter 4cm pada regio lumbalis. Diskus intervertebralis merupakan struktur kompleks yang terdiri dari
lapisan luar tebal jaringan fibrosa kartilago
yang disebut anulus fibrosus. Struktur anulus fibrosus terdiri dari 15 hingga 25 cincin
konsentrik atau lamela, dengan serat kolagen yang berada paralel di antara tiap lamela. Selain itu, ada serat elastin yang berada di antara lamela, sehingga membantu
diskus untuk kembali ke posisi awal setelah
gerakan. Serat elastin ini menyatu
dengan lamela saat serat ini berjalan
secara radial antar lapisan lamela. Sel-sel
dari anulus, terutama yang berada di bagian
luar, bersifat fibroblast-like, berukuran panjang, tipis, dan teletak paralel dengan serat
kolagen. Bentuk sel ini menjadi lebih oval
pada bagian dalam anulus fibrosus.
Cartilage endplate merupakan lapisan horizontal tipis dengan ketebalan 1mm, yang
tersusun atas jaringan kartilago hialin.
Struktur ini mempertemukan diskus intervertebral is dengan korpus vertebralis.
Pada kondisi normal, diskus intervertebralis memiliki sedikit pembuluh darah dan
saraf, terutama terbatas pada lamela luar
yang berakhir pada proprioseptor. Cartilage endplate bersifat avaskular dan aneural
pada orang dewasa normal. Pembuluh darah ada pada ligamentum longitudinal yang
berdekatan dengan diskus intervertebralis
dan pada cartilage endplate yang berasal
dari percabangan arteri spinalis.
Anulus fibrosus mengelilingi inti yang lebih
bersifatgelatin (gelatinous), disebutnuldeus
pulposus (Gambar 2). Batas atas dan bawah
Gambar 2. Anatomi Diskus Intervertebralis
dari nukleus pulposus yaitu struktur cartilage endplates. Bagian tengah dari nukleus
pulposus mengandung serat kolagen yang
tersusun acak, dan serat elastin yang tersusun secara radial. Di antaranya ada
sel menyerupai kondrosit (chondrocyte-like
cells) dengan densitas yang rendah yang berada di dalam kapsul.
ETIOLOGI
Pasien yang datang dengan NPB harus dieksplorasi etiologinya karena sebenarnya NPB
yaitu suatu gejala, bukan penyakit. NPB
memiliki beberapa etiologi yang mendasari
kondisi patologisnya yang harus ditentukan
untuk pengobatan dan prognosisnya (Tabel 1). Berdasarkan etiologinya, NPB dibagi
menjadi spesifik dan nonspesifik/idiopatik. NPB yang diketahui etiologinya dengan
jelas disebut NPB spesifik. Sayangnya dalam
praktik sehari-hari, sebagian besar NPB tidak diketahui etiologinya dengan jelas, atau
disebut juga NPB nonspesifik atau idiopatik.
Nyeri Sendi Faset
Seperti sendi sinovial lainnya, proses trauma
dan inflamasi yang terjadi pada memiliki manifestasi klinis berupa nyeri, kekakuan, disfungsi
sendi, serta spasme otot sekunder, yang kemudian akan memicu kekakuan dan degenerasi sendi yang memicu osteoartritis.
Salah satu struktur yang terlibat pada proses
degenerasi sendi yaitu kapsul fibrosa dari
sendi faset yang mengandung ujung saraf encapsulated, encapsulated, dan bebas. Studi
imunohistokimia menunjukan bahwa ujung
saraf ini mengandung neuropeptida yang
memediasi dan memodulasi nosiseptor, misalnya substansi P, calcitonin gene related peptide (CGRP), dan vasoactive intestinal peptide
(VIP). Adanya neuropeptida ini menandakan proses penuaan serta beban biomekanik
yang kumulatif. Mediator kimiawi dan inflamasi ini berhubungan dengan enzim proteolitik dan kolagenolitik yang dapat memicu
degradasi matriks kartilago sendi. Bila neuropeptida ini ditemukan bersama dengan jaringan perivaskular dan input aferen nosiseptif,
maka kombinasi ini dapat menjadi penghasil
nyeri {pain generator').
Facet arthrosis merupakan bentuk patologi
sendi faset yang paling banyak ditemukan.
Penyakit ini sering mengenai usia tua di atas
60 tahun, walaupun pada beberapa kasus
dapat dimulai pada usia sebelum 20 tahun.
Tidak ada perbedaan prevalensi antar jenis kelamin. Penyakit ini dikaitkan dengan
kebiasaan mengangkut beban berat dan
cedera minor berulang. Stres mekanik timbul pada faset yang iebih horizontal pada
potongan sagital, terutama tingkat L4-L5.
Gejala dan tanda klinis facet arthrosis sangat tidak spesifik dan bervariasi tergantung pada progresivitasnya, mulai dari nyeri
pada leher atau punggung bawah hingga tidak ada nyeri. Gejala nyeri yang muncul tidak menjalar ke bawah lutut dan diperberat
dengan gerakan ekstensi, serta membaik
dengan gerakan fleksi. Nyeri tidak berkorelasi dengan tingkat degenerasi.
Nyeri Sendi Sakroiliaka
Sendi sakroiliaka merupakan sendi sinovial diartrodial yang menerima inervasi atau persara-
fan utaraa dari rami dorsalis 4 nervus sakralis
pertama. Artrografi atau injeksi larutan iritan
kedalam sendi sakroiliaka dapat memprovokasi
nyeri dengan berbagai pola nyeri lolcal maupun
nyeri alih pada daerah bokong, lumbal bawah,
dan paha. Prevalensi nyeri sakroiliaka bervariasi antara 2-30% pada pasien NPB kronik.
Nyeri Otot
Otot punggung bawah membantu menstabilisasikan tulang belakang serta memungkinkan gerakan rotasi, fleksi, dan ekstensi. Otototot profunda melekat pada rongga-rongga
yang berada di antara prosesus spinosus
[Gambar 3). Adapun otot-otot penting yang
menyongkong vertebra lumbalis meliputi M.
Longisimus, M. Multifidus, dan M, Spinalis.
Kondisi salah posisi dapat memicu terjadinya
peregangan berlebih pada ligamentum dan
otot-otot ini sehingga memicu robekan,
perdarahan kecil dan inflamasi, serta menimbulkan nyeri. Hal ini dikenal dengan
strain atau regangan, maupun sprain atau regangan yang memicu kerusakan.
Sindrom Nyeri Miofasial
Reseptor nyeri di otot sensitif terhadap berbagai stimulus mekanik, termasuk tekanan, cubitan (pinching), irisan (cutting), dan peregangan (stretching. Unit kontraksi otot dan tendon
yang terpapar beban biomekanilc tunggal atau
rekuren dapat mengalami cedera dan menim
bulkan nyeri. Otot ini akan memendek secara abnormal dan disertai peningkatan tonus
akibat spasme atau kontraksi yang berlebihan.
Otot yang cedera ini merupakan area nyeri
yang dianggap sebagai trigger point (TrP) atau
taut band yang menjadi kriteria diagnosa sindrom nyeri miofasial.
Karakteristik yang khas dari sindrom nyeri
miofasial yaitu adanya TrP berupa nodul
berukuran 3-6mm, bersifat nyeri dan kaku,
dan dapat diidentifikasi melalui palpasi otot.
Palpasi TrP akan memprovokasi nyeri hebat
dan menjalar ke zona-zona tertentu, Stimulus
mekanik seperti penusukan atau peraberian
tekanan pada area yang hiperiritasi di TrP akan
memicu kedutan otot (muscle twitch).
Palpasi TrP kadang-kadang dapat menimbulkan refleks involunter (jump sign), atau flinching yang tidak sesuai dengan tekanan palpasi
yang diberikan. Sindrom nyeri miofasial dapat
menjadi simtomatik akibat trauma langsung
atau tidak langsung, paparan strain kumulatif,
disfungsi postural, dan physical deconditioning.
Sindrom nyeri miofasial dapat terjadi pada
daerah yang mengalami kerusakan jaringan
atau daerah tempat penjalaran nyeri neuropatik/radikular. Otot yang terpengaruh oleh nyeri
neuropatik dapat mengalami kerusakan akibat
spasme berkepanjangan, beban mekanik berlebihan atau gangguan metabolik serta nutrisi.
NPB yang dipicu oleh Trauma
Ada beberapa kondisi patologis NPB yang
dipicu oleh trauma, antara lain:
• NPB muskular akut atau sprain terjadi
saat punggung bawah terpapar trauma
eksternal, seperti terbentur orang lain
atau mengangkat benda berat, sehingga
terjadi kerusakan otot dan fasia. Trauma
ini juga dapat memicu herniasi diskus intervertebralis lumbalis dan
mengkompresi saraf.
NPB muskular kronik terjadi akibat
pemakaian otot berulang secara terus
menerus.
Traumatic vertebral body fractures terjadi saatkorpus vertebralis kolaps akibat
jatuh dan sebagainya.
Fragile vertebral body fractures biasanya
memicu NPB terkait osteoporosis,
meskipun tidak terpapar trauma yang
hebat
NPB yang dipicu oleh Infeksi/Inflamasi
Spondilitis tuberkulosis yaitu infeksi tulang belakang yang seringkali bermanifestasi sebagai nyeri punggung bawah. Infeksi
ini dapat mengenai tulang belakang torakolumbal (50%), servikal (25% ), dan lumbal (25% ). Mikroorganisme patogen dapat
menghancurkan korpus vertebralis atau
diskus intervertebralis. Untuk mencegah
timbulnya komplikasi neurologis, maka diagnosis harus cepat dan pengobatannya tepat. Anamnesis mengenai riwayat penyakit
tuberkulosis dapat membantu diagnosa penyakit ini. Pencitraan MRI merupakan salah
satu pemeriksaan penunjang untuk melihat
gambaran destruksi tulang, abses, serta keterlibatan jaringan lunak seldtar tulang dan
medulla spinalis (Gambar 4).
Anlylosing spondylitis (Gambar 5) yaitu suatu
penyakit rematik dengan faktor rematoid
negatif yang memicu tulang vertebra menyambung seperti bambu (bamboo spine), osifikasi ligamentum supraspinosus dan interspinosus (dagger sign), dan fusi sendi sakroiliaka.
Penyatuan ini memicu elastisitasnya berkurang dan postur tubuh membungkuk
ke depan. Jika tulang iga terlibat, maka pasien
menjadi sulit untuk bemafas dalam. Penyakit
ini lebih sering mengenai laki-laki daripada
perempuan dengan gejala dan tanda penyakit
dimulai saatusia muda.
NPB yang dipicu oleh Neoplasma
Tumor ganas, seperti kanker paru-paru,
lambung, payudara, dan prostat, dapat bermetastasis ke tulang lumbal sebagai lesi
multipel yang berbercak-bercak (Gambar
6). Gambaran ini juga dijumpai pada keganasan hematologi, seperti mieloma multipel. Tumor primer, seperti schwanoma dan
angioma, dapat berkembang pada daerah
lumbal dan memicu nyeri yang hebat.
NPB yang dipicu oleh Proses De~
generatif
Dengan bertambahnya usia, insidens NPB
akan meningkat dengan terbentuknya lesi
akibat degenerasi lumbal dan jaringan sekitarnya. Proses degenerasi ini juga
berkaitan dengan terbentuknya spondylosis deforman, degenerasi diskus intervertebraiis, nyeri punggung bawah artikular
intervertebraiis, spondilolistesis nonspondilolitik, ankylosing spinal hiperostosis, dan
stenosis spinalis lumbalis.
1. Osteoporosis
Pada osteoporosis terjadi deformitas tulang belakang disertai fraktur yang menyebabkan nyeri di berbagai tingkat. Di
lain pihak, osteoporosis kadang-kadang
tidak disertai fraktur dan deformitas,
tetapi tetap ada nyeri. Hal ini dipicu
oleh hipersensitivitas nyeri terkait dengan menopause.
2. Hernia Nukleus Pulposus (HNP)
Kehilangan proteoglikan dan disorganisasi matriks memiliki dampak mekanik
yang penting, yaitu memicu stres
pada cartilage endplate atau anulus fibrosus. Perubahan ini memicu
diskus intervertebraiis rentan terhadap
cedera dengan memicu perubahan
osteoarthritik. Kondisi ini dapat menyebabkan herniasi nukleus pulposus, yaitu
prolapsnya diskus intervertebraiis akibat
robeknya annulus fibrosus (Gambar 7).
Proses degeneratif ini akan berdampak pada struktur sekitarnya, misalnya radiks. Kompresi radiks akibat herniasi ini
bukan satu-satunya penyebab timbulnya
gejala nyeri, karena 70% pasien dengan
prolaps diskus yang menekan radiks tidak
mengeluhkan nyeri. Hipotesis yang mendasari timbulnya nyeri yaitu kompresi
yang ditimbulkan akan meningkatkan sensitisasi radiks. Proses ini terutama dipicu oleh molekul-molekul kaskade inflamasi, seperti asam arakidonat, prostaglandin
E2, tromboksan, fosfolipase A2, tumor necrotizing factor [TNF]a, interleukin, dan matriks
metalloprotease.
NPB Akibat Penyebab la in
NPB dapat timbul akibat nyeri alih dari penyaldt organ intraabdominal seperti hati,
kandung empedu, dan pankreas. Nyeri alih
ke punggung bawah juga dapat timbul dari
organ-organ abdomen bagian posterior, seperti uterus, ovarium, dan kandung kemih.
Kemungkinan adanya nyeri psikogenik yang
berkaitan dengan histeria dan depresi juga tidak boleh dilupakan. Fibromialgia merupakan salah satu bentuk NPB kronikyang paling
sering ditemukan pada daerah perkotaan. Diagnosis fibromialgia ditegakkan secara klinis,
ditandai oleh nyeri dengan distribusi yang
luas pada tubuh, ada titik-titik nyeri,
dan seringkali disertai penyakit komorbid
seperti fatig kronik, insomnia, dan depresi.
Oleh karena itu, penyakit ini sering dikaitkan
dengan faktor sosial dan psikologis.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Pasien NPB datang biasanya dengan keluhan utama nyeri. Selain nyeri, keluhan lain
yang dapat timbul yaitu rasa kaku, pegal,
kesulitan bergerak, atau perubahan bentuk punggung (deformitas). Keluhan utama
nyeri pada NPB harus dieksplorasi karakteristiknya lebih lanjut, antara lain jenis dan
lokasi, durasi [menetap/intermiten], intensitas (ringan/sedang/berat), hubungan
temporal (akut/kronik), dan faktor yang
memperberat atau meringankan nyeri.
Ada empat jenis nyeri yang harus diidentifikasi pada pasien NPB, yaitu nyeri lokal,
nyeri alih, nyeri radikular, dan spasme otot
sekunder. Nyeri lokal dipicu oleh proses
patologis yang mengenai struktur peka nyeri
di tulang belakang, antara lain periosteum
korpus vertebra, kapsul sendi apofisial, annulus fibrosus, dan ligamentum-ligamentum.
Oleh sebab itu, segala proses patologis yang
melibatkan struktur-struktur ini akan
memicu nyeri lokal. Nyeri ini memiliki
intensitas stabil, tetapi kadang-kadang nyeri
terasa lebih berat dan tajam. Batasan nyeri
tidak terlalu tegas, namun dirasakan di sekitar struktur peka nyeri pada tulang belakang
yang terkena ini .
Salah satu contoh proses patologis yang menimbulkan nyeri lokal yaitu strain/sprain
akut. Penyebabnya yaitu cedera minor,
seperti mengangkat benda berat, kesalahan postur (duduk, berkendara], atau pergerakan punggung yang mendadak. Pasien
kadang-kadang merubah postur tubuh akibat nyeri yang dirasakan. Otot-otot sakrospinalis dan punggung bawah menjadi kaku,
sehingga nyeri bertambah berat bila pasien
melakukan pergerakan punggung.
Nyeri alih pada NPB dapat berupa nyeri
pada vertebra yang merujuk ke organ dalam
abdomen dan pelvis, atau sebaliknya. Penyakit-penyakit pada organ dalam abdomen
atau pelvis dapat memicu nyeri alih
pada punggung bawah. Hal ini dapat dibedakan dengan NPB akibat proses patologis
di tulang belakang dan struktur sekitarnya
karena intensitas nyerinya tidak berubah
dengan pergerakan punggung.
Proses patologis pada bagian atas vertebra
lumbal dapat memicu nyeri alih pada
daerah kostovertebral [flank) medial, panggul sisi lateral, selangkangan, dan paha bagian anterior. Hal ini terjadi karena iritasi
nervus kluneal superior yang berasal dari divisi posterior nervus spinalis L1-L3. Sementara itu, proses patologis yang terjadi pada
bagian bawah vertebra lumbal dapat memiliki nyeri alih ke bagian bawah bokong dan
paha bagian posterior akibat iritasi nervus
spinalis L4-L5. Nervus spinalis ini mengaktivasi sekumpulan neuron intraspinal yang
sama dengan nervus yang menginervasi
paha bagian posterior. Nyeri alih ini
biasanya difus, tidak lokal, dan terasa dalam.
Intensitas nyeri alih tidak jauh berbeda dengan nyeri lokal. Setiap gerakan yang memperberat atau meringankan intensitas nyeri
lokal juga dapat memengaruhi nyeri alih.
Contoh proses patologis yang menimbulkan nyeri alih yaitu strain pada sendi
sakroiliaka. Pasien dapat merasakan nyeri
alih dari punggung bawah ke bokong atau
paha bagian posterior. Saat pasien bergerak
abduksi paha melawan tahanan, nyeri akan
bertambah berat dan dapat dirasakan di
simfisis pubis atau selangkangan.
Nyeri radikular berasal dari struktur radiks
spinalis yang mengalami proses tarikan,
iritasi, atau kompresi. Karakteristik nyeri
radikular memiliki intensitas yang lebih
berat, penjalaran hingga ke tungkai bawah
sesuai perjalanan sarafnya, dengan batas
yang lebih tegas. Penjalaran nyeri radikular
yang paling khas terjadi pada iskialgia, yang
berasal dari bokong menjalar ke sepanjang
posterior paha, betis, hingga ke kaki. Nyeri
terasa tajam dan kadang-kadang tumpang
tindih dengan nyeri bersifat tumpul. Perilaku
batuk, bersin, atau mengedan dapat memperberat nyeri radikular. Oleh karena struktur saraf yang terkena pada nyeri radikular,
maka defisit neurologis, seperti parestesia,
hipestesia, monoparesis, hiporefleks, dan
atrofi otot, dapat ditemukan pada pasien.
Dengan demikian, nyeri radikular berbeda
dengan nyeri alih. Walaupun nyeri alih juga
bisa menjalar, tetapi tidak sampai distal dari
lutut dan tidak disertai defisit neurologis.
Segala proses patologis yang mengenai radiks pada punggung bawah akan menimbulkan nyeri radikular, contohnya herniasi
diskus intervertebralis dan kanalis stenosis.
Herniasi diskus intervertebralis memiliki
karakteristik tambahan berupa nyeri yang
bertambah berat saat membungkuk, duduk,
atau berubah posisi duduk ke berdiri. Nyeri
terasa berkurang saat pasien berbaring
telentang dengan l