tio normal terhambat karena misalnya obstruksi,
ISK dapat timbul lebih mudah.
b. gangguan pengosongan kandung kemih akibat obstruksi (batu ginjal), disfungsi atau
hipertrofi prostat dapat mengakibatkan
tersisanya urin dalam kandung kemih
sehingga kuman-kuman mudah berkembang biak.
c. hygiene pribadi kurang baik dapat menyebabkan kolonisasi kuman uropatogen di
sekitar (ujung) uretra, misalnya penggunaan pembalut wanita. Kuman lalu menjalar ke atas menuju uretra, lalu ke kandung kemih untuk kemudian menyebar
melalui ureter ke ginjal (ISK bagian atas).
d. pemakaian kateter, melalui senggama dan
infeksi lokal (misalnya vaginitis) dapat
mempermudah infeksi.
e. penderita diabetes lebih peka terhadap ISK
karena meningkatnya daya lekat bakteri
pada epitel SK yang diakibatkan oleh beberapa faktor1
.
Sebetulnya urin dalam kandung kemih adalah steril karena mekanisme perlindungan
terhadap infeksi oleh antara lain selaput
lendir kandung kemih. Di atas usia 60 tahun,
jumlah ISK pada pria mulai meningkat secara
drastis, mungkin karena pembesaran prostat
yang lazim terjadi pada pria usia lanjut.
Akibatnya yaitu pengosongan kandung kemih sering kali tidak sempurna lagi dan urin
yang tertinggal yaitu perbenihan yang
sangat baik bagi kuman.
Pencegahan. Tindakan pertama yaitu menghindari (re-)infeksi dengan memperhatikan
faktor-faktor tersebut di atas. Salah satu tindakan pencegahan yang penting yaitu minum air lebih banyak dan buang air kecil
lebih sering terutama bagi pasien diabetes
dan manula.
Infeksi menahun. Adakalanya infeksi menjadi kronis dengan serangan akut berkala.
Dalam keadaan demikian dianjurkan untuk
melanjutkan kur antibiotika selama 3-6 bulan
dengan dosis separuhnya. Untuk tujuan
ini paling tepat dipakai obat yang tidak
mengganggu RK dan jarang menimbulkan
resistensi. Misalnya nitrofurantoin atau kotrimoksazol. Obat-obat ini hendaknya diminum
malam hari sebelum tidur mengingat kuman
lebih mudah memperbanyak diri bila kandung kemih penuh seperti halnya pada waktu tidur.
Untuk profilaksis infeksi saluran kemih
non-antibiotik, dapat dipakai sediaan dengan probiotikum laktobasil yang berkhasiat
menurunkan jumlah mikroorganisme patogen misalnya di vagina. Minum 300 ml/
hari jus cranberry ternyata efektif untuk menyembuhkan ISK pada wanita dan menurunkan risiko akan infeksi baru. Khasiatnya diduga akibat penurunan daya melekat
bakteri pada sel-sel epitel dari vagina dan
juga diduga bahwa zat kandungannya hippuric acid memegang peranan.23,24
Menurut penelitian cranberry ternyata merupakan alternatif baik dibandingkan antibiotik bagi wanita dengan ISK dengan radang
kandung kemih. Walaupun efeknya tidak
se-kuat antibiotik, tetapi kebaikannya yaitu
tidak menimbulkan resistensi. Ko-trimoksazol menimbulkan resistensi pada 90% wanita
hanya dalam waktu sebulan, demikian juga
untuk antibiotik lain.
Membuat urin menjadi asam dengan amoniumnitrat/amoniumklorida masih diragukan
manfaatnya.
Ref. Archives of Internal Medicine [2011;
171(14):1270-8].
Pengobatan
Ternyata bahwa ±50% dari wanita yang
sering berkemih dengan perasaan nyeri tidak
menderita bakteriuria. Oleh karena itu sebelum
menjalani terapi dengan antibiotika perlu
dipastikan terlebih dahulu adanya infeksi
kuman (dip-slide test). Atau dilakukan tes
pembiakan lengkap untuk mengidentifikasi
kuman penyebab di samping penentuan jenis
obat mana yang efektif. Namun dalam praktik
terapi sudah dimulai berdasar gejalagejala klinis tertentu dan hasil pemeriksaan
sedimen urin.
Obat-obat yang banyak dipakai pada ISK
dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu:
a. obat-obat yang menurunkan RK: sulfonamida, ampisilin dan tetrasiklin. Amoksisilin, sefradin dan sefaklor hanya pada
dosis tinggi.
b. obat-obat yang tidak mengganggu RK:
nitrofurantoin, kotrimoksazol, trimetoprim, nalidiksinat dan pipemidinat.
Pilihan obat. berdasar pertimbangan di
atas pilihan utama pada ISK bagian bawah
tanpa komplikasi yaitu trimetoprim, nitrofurantoin atau sulfametizol berturut-turut selama 3-5 hari. Di samping ini pasien harus
banyak minum air, minimal 2 liter sehari, dengan tujuan menstimulasi diuresis sehingga
kuman tidak berkesempatan memperbanyak
diri dalam kandung kemih. Bila sesudah 3-5
hari gejalanya belum hilang atau belum berkurang, sebaiknya pengobatan diganti dengan obat dari kelompok kuinolon, misalnya
pipemidinat atau suatu fluorkuinolon (siprofloksasin, norfloksasin dan lain-lain.) dengan spektrum kerja yang lebih luas. Akan tetapi sebaiknya obat kelompok ini hanya digunakan sebagai obat cadangan untuk menghindari timbulnya resistensi dengan pesat.
Amoksisilin + klavulanat dipakai bila diperkirakan adanya kuman yang sudah resisten.
Nitrofurantoin kurang aktif bila urin bereaksi
basa. Terhadap Pseudomonas dapat diberikan
gentamisin atau/dan suatu sefalosporin dari
generasi ketiga.
ISK bagian lebih tinggi. Untuk pyelitis dan
prostatitis dapat dipakai kotrimoksazol, siprofloksasin atau kombinasi amoksisilin + asam
klavulanat, bila diperkirakan adanya resistensi. Penisilin dan sefalosporin dalam dosis
tertentu menghasilkan kadar antibiotik sangat tinggi dalam urin yang efektif terhadap kuman Gram-positif dan Gram-negatif.
Fluorkuinolon (siprofloksasin dan norfloksasin)
memberikan hasil baik terhadap Pseudomonas dan bila perlu dikombinasi dengan aminoglikosida (gentamisin). Lihat selanjutnya
Bab 5 Antibiotika.
Pada pyelonefritis akut dengan demam tinggi dan sakit pinggang, perlu pengobatan
parenteral dengan injeksi i.v. ampisilin atau
amoksisilin (4 dd 1 g) atau i.v. gentamisin (2-5
mg per kg/hari dalam 2-3 dosis). sesudah ini
terapi perlu dilanjutkan dengan pengobatan
oral selama 7 hari.
Lamanya pengobatan. Pada ISK bagian bawah tanpa komplikasi yang pertama-tama
dianjurkan yaitu terapi selama 7-10 hari
untuk mencapai penyembuhan optimal (95-
98%) tanpa risiko kambuhnya infeksi. Pada
ISK bagian lebih tinggi, pengobatan harus
dijalani lebih lama, sampai 3 minggu.
Resistensi. Akibat pemakaian antibiotika
yang kurang bijaksana di banyak negara
semakin banyak bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika. Khususnya antibiotika
yang mengganggu RK di usus ternyata lebih
sering mengakibatkan timbulnya resistensi.
Misalnya, sebagian besar dari bakteri Coli sudah menjadi resisten terhadap sulfonamida,
tetrasiklin dan ampisilin, sedangkan hanya
sebagian kecil terhadap kotrimoksazol dan
nitrofurantoin.
Jenis resistensi yaitu ekstrakromosomal dan
terjadi melalui plasmid yang memuat kode
genetik untuk sistem enzim. Plasmid ini ditulari melalui kontak dalam usus, juga dengan kuman dari famili lain, melalui suatu
jembatan konyugasi (lihat Bab 4, sub 7).
MONOGRAFI
1. Nitrofurantoin: Macrofuran, Furadantin/
MC.
Derivat nitrofuran ini (1944) berkhasiat
bakterisid dengan spektrum luas terhadap
kuman-kuman Gram-positif dan Gram-negatif, termasuk Str. fecalis dan E. coli. Nitrofurantoin tidak aktif terhadap Pseudomonas dan Proteus sedangkan banyak species
Klebsiella dan Enterobacter sudah resisten.
Khasiat bakterisidnya berdasar inhibisi
enzim kuman yang terkait pada siklus-Krebs
(siklus sitrat) sehingga timbul kekurangan
energi bagi pertumbuhannya. Resistensi tidak
mudah terjadi dan hanya dapat timbul setelah pemakaian lama, tetapi jarang terhadap E. coli dan bakteri usus lainnya yang
justru sering kali menjadi resisten terhadap
sulfa dan antibiotika. Hal ini disebabkan oleh
resorpsinya yang baik sehingga sedikit sekali
obat tiba di usus besar untuk selanjutnya
dikeluarkan melalui tinja. Kombinasi. Nitrofurantoin dapat dikombinasi dengan desinfektans kemih lainnya
yang juga bekerja bakterisid, begitu pula dengan sulfonamida. Tetapi tidak dapat dikombinasi dengan asam nalidiksinat karena bekerja
antagonistis.
Resorpsinya dari usus hampir lengkap dengan ekskresi pesat (t½ 20 menit), Oleh karena itu kadar dalam plasma tetap rendah
sedangkan dalam kemih mencapai kadar
bakterisid. Dalam hati separuhnya dirombak
menjadi metabolit inaktif (aminofuran) yang
membuat kemih berwarna cokelat. Nitrofurantoin, yang berwarna kuning, bekerja optimal dalam urin asam (pH 5-6). Pada pH
tinggi tidak efektif misalnya pada infeksi
oleh kuman pembentuk urease. Oleh karena
itu dianjurkan untuk terlebih dahulu mencek
pH air seni sebelum menjalani terapi dengan
obat ini. Saran ini terutama berlaku bagi
pasien yang mengalami infeksi residif.
Efek samping yang sering terjadi yaitu
mual dan muntah (10%) mungkin karena
efek emetik sentral. Kadang-kadang terjadi
neuritis. Zat ini tidak boleh dipakai bila
fungsi ginjal terganggu.
Kehamilan. Nitrofurantoin dapat dipakai
selama 6 bulan pertama dari kehamilan tetapi
tidak dianjurkan pada 3 bulan terakhir karena
risiko anemia hemolitik pada bayi. Obat juga
ditemukan di air susu ibu dalam jumlah kecil,
oleh karena itu perlu berhati-hati penggunaannya selama laktasi.
Dosis: selama 3-5 hari 4 dd 50-100 mg d.c.
untuk mengurangi mual. Pada infeksi menahun 3 dd 50 mg; sebagai profilaktikum malam
hari 50-100 mg. Tablet MC mengandung
kristal (macrocrystal) dari 75-180 mikron yang
melarut maupun resorpsinya lebih lambat.
Karena itu dapat menghasilkan kadar dalam
darah tanpa mencapai puncaknya, sehingga
lebih jarang timbul mual dan muntah.
* Nifurtoinol (hidroksimetilnitrofurantoin, Urfadyn, Uridurin) yaitu derivat hidroksimetil
dengan sifat-sifat yang sama. Obat ini dapat
dianggap sebagai prodrug yang dalam saluran cerna terurai menjadi nitrofurantoin dan
formaldehida.
Dosis: 4 dd 2 kapsul dari 40 mg pada waktu
makan.
2. Methenamin: hexamine, heksametilentetramin, *Nephrolit
Dalam air seni asam (pH < 5,5) produk
kondensasi dari amoniak dan formaldehida
ini terurai dan menghasilkan komponenkomponennya kembali. Khasiatnya berdasarkan formaldehida yang kadarnya dalam urin
cukup tinggi untuk menghentikan pertumbuhan bakteri. Obat ini khusus dipakai
sebagai terapi lanjutan ISK kronis sesudah
terapi dengan desinfektans. Resistensi jarang
terjadi. Methenamin tidak dapat dikombinasi
dengan sulfonamida karena terjadi kompleks
dengan HCOH yang sukar larut. Juga tidak
aktif terhadap bakteri yang membebaskan
amoniak dari ureum (misalnya Proteus).
Obat ini sekarang sudah jarang dipakai
dan telah diganti dengan obat-obat bakterisid
modern.
Efek-efek samping terpenting berupa gangguan saluran cerna (akibat HCOH) dan reaksi-reaksi kulit. Wanita hamil dapat menggunakan obat ini.
Dosis: 3 dd 0,5-1 g dengan banyak minum
air.
* Heksamin-mandelat: methenamin amygdalat, Reflux
Senyawa molekuler antara heksamin dan
asam mandelat ini berkhasiat bakterisid
terhadap bakteri Gram-positif dan Gramnegatif, termasuk E. coli, Str.fecalis dan St.
aureus. sesudah resorpsi zat ini dikeluarkan
oleh ginjal dalam bentuk utuh dan di urin
asam (pH < 5,5) terurai menjadi formaldehida
dan asam mandelat. Zat ini tidak memberikan efek sistemik. Asam mandelat sendiri
pada dosis tinggi berefek bakterisid terhadap
terutama kuman-kuman Gram-negatif.
Dosis: 4 dd 2 tablet dari 0,5 g (atau pagi 1,5
g dan malam 2,5 g) sebaiknya dengan zat
pengasam urin; dosis pemeliharaan 2 dd 1 g.
3. Fosfomisin-trometamol: Monuril
Bersifat bakterisid melalui penghambatan
enzim enolpyruvyltransferase yang diperlukan
untuk sintesis dinding sel bakteri. Memiliki
spektrum daya kerja yang cukup lebar dan
mencakup mikroorganisme Gram-positif (a.l.
Staph. aureus) dan Gram-negatif (a.l. Esch.
coli, Haemoph. influenzae)
dipakai pada wanita sesudah usia 12
tahun terhadap infeksi saluran kemih akut
tanpa komplikasi akibat infeksi oleh mikroorganisme yang peka terhadap fosfomisin.
Tetapi tidak memiliki keunggulan lebih dibandingkan pengobatan dengan nitrofurantoin atau trimetoprim.
Efek samping terdiri dari gangguan saluran
cerna seperti diare, mual dan juga gangguan
kulit.
Dosis: wanita di atas 12 tahun (>50 kg) satu
kali 3 g pada perut kosong.
B. SULFONAMIDA
Sulfonamida yaitu kelompok zat antibakteri dengan rumus dasar yang sama yaitu
H2
N-C6
H4
-SO2
NHR dan R yaitu pelbagai
jenis substituen. Pada prinsipnya senyawa ini
dapat dipakai terhadap berbagai infeksi.
Namun sesudah ditemukannya antibiotika
dan zat-zat lain yang lebih efektif (tetapi
kurang toksik), sejak tahun 1980-an indikasi
dan pemakaian nya semakin berkurang, juga karena banyak kuman telah menjadi resisten terhadap sulfonamida. Meskipun demikian dari sudut sejarah senyawa ini penting karena yaitu kelompok obat pertama yang dipakai secara efektif terhadap
infeksi sistemik bakteri.
Selain sebagai kemoterapeutika terutama untuk pengobatan infeksi saluran kencing yang
disebabkan oleh bakteri Gram-positif atau
Gram-negatif yang peka, sulfonamida juga
dipakai sebagai diuretika (zat perintang karbonanhidrase) dan antidiabetika oral, lihat Babbab 33 dan 47.
Perkembangan sejarah. Pada tahun 1935,
Domagk telah menemukan bahwa suatu zat
warna merah, prontosil rubrum, bersifat bakterisid in vivo tetapi inaktif in vitro. Ternyata
zat ini di dalam tubuh diuraikan menjadi
sulfanilamida yang juga aktif in vitro. Berdasarkan penemuan ini kemudian disintesis
sulfapiridin, yaitu obat pertama yang digunakan secara sistemik untuk pengobatan radang paru (1937). Dalam waktu singkat obat
ini diganti oleh sulfatiazol (*Cibazol) yang
kurang toksik (1939), kemudian disusul pula
oleh sulfadiazin, sulfmetoksazol dan turunan lainnya yang lebih aman. sesudah diintroduksi derivat-derivat yang sukar resorpsinya
dari usus (sulfaguanidin,dll.) akhirnya disintesis sulfa dengan efek panjang, antara lain
sulfadimetoksin (Madribon), sulfametoksipiridazin (Lederkyn) dan sulfalen.
Kimia. Sulfonamida bersifat amfoter artinya
dapat membentuk garam dengan asam maupun dengan basa. Daya larutnya dalam air
sangat kecil; garam alkalinya lebih baik,
walaupun larutan ini tidak stabil karena
mudah terurai.
Aktivitas dan mekanisme kerja
Sulfonamida memiliki efek bakteriostatik
yang luas terhadap banyak bakteri Grampositif dan Gram-negatif, kecuali terhadap
Pseudomonas, Proteus dan Streptococcus faecalis.
Mekanisme kerjanya berdasar pencegahan
sintesis (dihidro) folat dalam kuman melalui
antagonisme saingan dengan PABA. Secara
kimiawi sulfonamida yaitu analoganalog dari asam p-aminobenzoat (PABA,
H2N-C6H4-COOH). Banyak jenis bakteri
membutuhkan asam folat untuk membangun
asam intinya DNA dan RNA. Asam ini
dibentuknya sendiri dari bahan pangkal
PABA (= para-aminobenzoic acid) yang ada
di berbagai tempat dalam tubuh manusia.
Bakteri keliru menggunakan sulfa sebagai
bahan untuk mensintesis asam folatnya sehingga DNA/RNA tidak terbentuk lagi dan
pertumbuhan bakteri terhenti.
Manusia dan beberapa jenis bakteri (mis. Str.
faecalis dan Enterococci lain) tidak membuat
asam folat sendiri tetapi menerimanya dalam bentuk jadi dari bahan makanan, sehingga tidak mengalami gangguan pada metabolismenya. Dalam nanah ada banyak
PABA maka sulfonamida tidak dapat bekerja
di lingkungan ini. Begitu pula sulfa tidak
boleh diberikan serentak dengan obat-obat
lain yang rumusnya mirip PABA, mis. prokain, prokain-penisilin, benzokain, PAS, dan sebagainya.
Kinetik. Resorpsinya dari lambung dan
usus baik (terkecuali sulfa usus), PP-nya berkisar antara rata-rata 40% (sulfadiazin), 70%
(sulfametazin dan sulfamerazin) dan 85%-97% untuk derivat long-acting sulfametoksipiridazin dan sulfadimetoksin. Kecuali obat-obat
de-ngan pengikatan protein (PP) tinggi,
difusinya ke dalam jaringan agak baik. Di
dalam hati sebagian diinaktifkan lewat
perombakan menjadi senyawa asetilnya
yang bersamaan dengan bentuk utuhnya
diekskresi melalui ginjal. Kadar sulfa aktif
dalam urin yaitu 10 kali lebih tinggi
daripada kadarnya dalam plasma, maka
layak sekali dipakai sebagai desinfektans
saluran urin.
Kombinasi sulfonamida
a. Trisulfa yaitu kombinasi dari tiga sulfonamida, biasanya sulfadiazin, sulfamerazin dan sulfamezatin dalam perbandingan yang sama. Karena dosis setiap
obat hanya sepertiga dari dosis biasa dan
daya larutnya masing-masing tidak saling dipengaruhi, maka bahaya kristaluria
sangat diperkecil. Pemberian bikarbonat
tidak diperlukan lagi, cukup dengan
minum lebih dari 1,5 liter air sehari selama pengobatan.
b. Kotrimoksazol yaitu suatu kombinasi
dari sulfametoksazol + trimetoprim dalam perbandingan 5:1 (400 + 80 mg). Trimetoprim memiliki efek antibakteriil mirip sulfonamida dengan menghambat
enzim dihidrofolat reduktase. Afinitasnya
terhadap enzim bakteri ini 50.000 kali
lebih kuat dibandingkan dengan afinitasnya terhadap enzim manusia, oleh karena itu yaitu dasar dari daya kerja
selektivitasnya. Di samping sebagai obat
malaria, trimetoprim memiliki spektrum kerja antibakteriil yang mirip sulfonamida, efektif terhadap sebagian besar
kuman Gram-positif dan Gram-negatif
dan banyak dipakai terhadap ISK.
Walaupun kedua komponennya masingmasing hanya bersifat bakteriostatik,
kombinasinya berkhasiat bakterisid
terhadap bakteri yang sama, juga terhadap Salmonella, Proteus dan H. influenzae. Kotrimoksazol terutama dipakai
untuk pengobatan infeksi saluran napas.
Pada umumnya kombinasi dari sulfonamida + trimetoprim memperkuat khasiatnya (potensiasi) serta menurunkan risiko
resistensi dengan kuat, lihat di bawah.
* Kombinasi trimetoprim + sulfa lain
dengan sifat-sifat dan pemakaian sama
dengan kotrimoksazol yaitu :
– Supristol = sulfamoksol 200 mg + trimetoprim 40 mg
– Kelfiprim = sulfalen 200 mg + trimetoprim 250 mg
– Lidatrim = sulfametrol 400 mg + trimetoprim 80 mg
Mekanisme kerjanya berdasar teori sequential blockade dari Hitchings (1965),
yakni bila dua obat bekerja terhadap
dua titik berturut-turut dari suatu proses
enzim bakteri, maka efeknya yaitu
potensiasi. Dalam hal ini proses enzim
yaitu sintesis protein (DNA/RNA) dari
PABA, yang skematis dapat digambarkan
sebagai berikut:
Di sini terlihat bahwa sulfonamida mengganggu proses enzim ini, antara langkah 1 dan 2, melalui persaingan substrat
(bahan pangkal) sedangkan trimetoprim
mengintervensi antara langkah 2 dan 3
dengan merintangi enzim dihidrofolatreduktase yang mereduksi dihidrofolic
acid (DHFA) menjadi tetrahidrofolic acid
(THFA). Akibatnya yaitu terhentinya
sintesis asam folat yang yaitu bahan pangkal untuk sintesis purin dan
DNA/RNA, sehingga pembelahan sel
bakteri dihentikan.
Keuntungan penting lain dari kombinasi ini yaitu resistensi timbulnya lebih
lambat daripada komponen-komponennya sendiri. Hal ini yaitu jelas karena
bakteri yang menjadi resisten untuk salah
satu komponen masih dapat dimusnahkan oleh yang lain.
c. Kombinasi sulfadoksin + pirimetamin
(Fansidar) dipakai sebagai profilaksis
dan pengobatan malaria tropika yang
diakibatkan oleh Plasmodium falciparum
yang resisten terhadap klorokuin, lihat
Bab 11, Obat-obat malaria.
d. Kombinasi sulfonamida + penisilin
memperlihatkan efek adisi. Sesuai aturan
dasar dari penggabungan kemoterapeutika sebetulnya penisilin tidak dapat dikombinasi dengan bakteriostatika.
Tetapi dalam hal ini ternyata tidak terjadi
antagonisme. Hal ini mungkin dapat dijelaskan karena diperlambatnya efek sulfa sebab bakteri dapat menghabiskan
dahulu persediaan asam folatnya. Kombinasi ini jarang dipakai lagi.
e. Sulfasalazin yaitu senyawa molekuler
dari sulfapiridin dan aminosalisilat yang
berkhasiat antiradang kuat dan dalam
usus diuraikan menjadi komponennya.
Khusus dipakai pada rematik dan
penyakit radang usus, p.Crohn dan colitisulcerosa, yaitu radang usus halus dan usus
besar yang bersifat menahun dan mudah
kambuh. Kedua gangguan ini dianggap
termasuk penyakit auto-imun pada mana
antibodies dari sistem imun tubuh menyerang dan merusak jaringan/organ
sendiri.
pemakaian
Sulfonamida yaitu kemoterapeutika bakteriostatik dengan spektrum luas yang di
tahun 1950-an sampai dengan 1970-an banyak dipakai dengan sukses terhadap
banyak jenis penyakit infeksi akibat kuman
Gram-positif maupun Gram-negatif. Sejak
tahun 1980-an pemakaian nya sudah banyak sekali berkurang karena banyak jenis
kuman sudah menjadi resisten di samping
telah ditemukannya berbagai antibiotika baru dengan efek bakterisid yang lebih efektif dan lebih aman.
Sekarang ini masih ada sejumlah indikasi untuk pemakaian oral dari sulfonamida
dan senyawa kombinasinya, yakni:
• Infeksi saluran urin: sulfametizol, sulfafurazol dan kotrimoksazol, sering kali
dipakai sebagai desinfektans infeksi
saluran urin bagian atas yang menahun.
Juga dipakai terhadap cystitis.
• Infeksi mata: sulfasetamida, sulfadikramida dan sulfametizol dipakai topikal
terhadap infeksi mata akibat kuman yang
peka terhadap sulfonamida. Sistemik zat
ini juga dipakai untuk penyakit mata
berbahaya trachoma, yang yaitu sebab utama dari kebutaan di dunia ketiga.
• Radang usus: sufasalazin khusus digunakan pada penyakit radang usus kronis
Crohn dan colitis.
• Malaria tropika: Fansidar, lihat di atas.
• Radang otak (meningitis). Berkat daya
penetrasinya yang baik ke dalam cairan
otak (CCS) obat-obat sulfa sampai beberapa tahun yang lalu masih dianggap
sebagai obat terbaik untuk mengobati atau
mencegah meningitis, terutama sulfadiazin.
Timbulnya banyak resistensi dengan cepat
menyebabkan obat ini telah diganti dengan ampisilin atau rifampisin.
• Infeksi lain: silversulfadiazin banyak
dipakai untuk pengobatan luka bakar.
Kotrimoksazol sama efektifnya dengan
ampisilin pada tifus perut, infeksi saluran napas bagian atas, radang paruparu (pada pasien AIDS!) serta penyakit
kelamin gonore. Sulfonamida tidak digunakan secara rektal (suppositoria) karena
resorpsinya tidak sempurna (antara 10-
70%) dan kurang teratur.
Efek samping. Yang terutama yaitu kerusakan parah pada sel-sel darah, antara lain
agranulositosis dan anemia hemolitik, terutama pada penderita defisiensi glukosa-6-
fosfodehidrogenase. Oleh karena itu bila obat
sulfa dipakai lebih dari dua minggu perlu
dilakukan pemantauan dengan pemeriksaan
hematologi.
Efek samping lainnya yaitu reaksi alergi,
antara lain urticaria, fotosensitasi dan sindrom Stevens-Johnson, sejenis eritema multiform dengan risiko kematian tinggi terutama
pada anak-anak. Selama terapi sebaiknya
pasien jangan terlalu banyak terkena sinar
matahari. Gangguan saluran cerna (mual,
diare, dan sebagainya.) adakala juga terjadi.
Bahaya kristaluria di dalam tubuli ginjal
sering terjadi pada sulfa yang sukar larut
dalam air seni asam, mis. sulfadiazin dan
turunannya. Risiko kristalisasi ini sangat
diperkecil dengan menggunakan trisulfa,
atau pemberian zat alkali (natriumbikarbonat)
untuk melarutkan senyawa asetil tersebut
dan banyak minum air.
pemakaian lokal sebagai salep atau serbuk
terhadap borok (inaktivasi oleh nanah!) tidak
dianjurkan karena sering kali menimbulkan
sensibilisasi dan reaksi kepekaan. Pengecualian
yaitu sulfasetamid/sulfadikramid dalam tetes
atau salep mata dan silversulfadiazin untuk
luka bakar serius.
Kehamilan dan laktasi. pemakaian sulfonamida harus dihindari pada triwulan terakhir
kehamilan karena risiko timbulnya icterusinti pada neonati (akibat pembebasan bilirubin dari ikatan protein plasma). Mengenai
pemakaian nya pada bulan-bulan pertama
kehamilan tidak ada cukup data. Karena
sulfonamida dikeluarkan melalui air susu ibu
ada kemungkinan timbulnya icterus, hiperbilirubinemia dan reaksi-reaksi alergi pada
bayi yang disusui.
Kotrimoksazol tidak boleh diberikan pada
bayi di bawah usia 6 bulan karena risiko efek
sampingnya. Semua sulfonamida juga tidak
boleh diberikan pada penderita gangguan
fungsi hati dan ginjal.
Resistensi sering kali terjadi dengan cepat
terutama bila dipakai untuk profilaksis, mis. pada infeksi saluran urin kronis.
Khususnya gonocci dan meningococci agak
mudah menjadi resisten, begitu pula streptococci bila dipakai lebih lama dari 3 minggu.
Actinomyces dan Chlamydia trachomatis masih
sensitif, sedangkan efeknya terhadap E. coli,
Hemophilus dan kuman Gram-negatif lainnya tidak menentu. Di antara semua derivat
ada resistensi silang. Tipe resistensi
yaitu berdasar plasmid (faktor R) dan
juga karena bakteri mampu membuat PABAnya dalam jumlah berlebihan.
Dosis. Untuk mencapai kadar darah yang
cukup tinggi pengobatan harus dimulai dengan loading dose, yaitu dosis ganda dari 1-2
g untuk kemudian disusul dengan 0,5-1 g setiap 6 jam. Derivat-derivat long-acting dapat
diberikan 1 kali sehari.
Dosis anak. Dosis yang diberikan atas dasar
berat badan anak-anak sampai usia 7 tahun
relatif tinggi karena plasma-t½ pada mereka
jauh lebih singkat daripada t½ orang dewasa. Hanya lambat laun pada usia ±7 tahun
nilainya mencapai taraf normal. Pada umumnya dosis anak yaitu 100-150 mg/kg berat
badan atau menurut usia: antara 1-3 tahun
sepertiga, antara 4-10 tahun setengah dan antara 11-15 tahun tigaperempat dosis dewasa.
Pengobatan dengan dosis yang tepat harus dijalani selama minimal 5-7 hari untuk
menghindari gagalnya terapi dan timbulnya
resistensi yang cepat.
Penggolongan
Setiap sulfonamida memiliki banyak perbedaan mengenai metabolisme (asetilasi dan
glukuronidasi di dalam hati) maupun ekskresinya. berdasar ini sulfonamida dapat
di bagi dalam zat-zat dengan kerja singkat (t½<
24 jam) dan zat-zat dengan kerja panjang (t½
24-65 jam), sulfonamida usus dan sulfonamida
untuk pemakaian lokal.
a. Sulfonamida short-acting: sulfametizol,
derivat isoksazol (sulfafurazol, sulfametoksazol),
derivat oksazol (sulfamoksol) dan derivat pirimidin (sulfadiazin, sulfamerazin, sulfamezatin
dan sulfasomidin). Sulfametizol dan sulfafurazol cepat resorpsinya dari usus dan daya
larutnya dalam urin asam atau urin netral
lebih baik dibandingkan dengan sulfa lainnya, sedangkan asetilasinya di dalam hati
lebih ringan. Dengan demikian kadarnya
dalam urin sangat tinggi hingga mencapai
efek bakterisid. Oleh karena itu zat-zat
ini khusus dipakai pada infeksi saluran
urin tanpa komplikasi, terutama yang disebabkan oleh E. coli dan pada cystitis.
b. Sulfonamida long-acting: antara lain
sulfadoksin.
Zat-zat ini resorpsinya juga baik tetapi
ekskresinya lambat sekali akibat PP-nya yang
tinggi dan ada nya penyerapan kembali
pada tubuli ginjal. Keuntungan praktisnya
yaitu dapat dipakai sebagai dosis tunggal sehari sehingga dahulu banyak digunakan, mis. sulfadimetoksin dan sulfametoksipiridazin. Tetapi khasiatnya lebih lemah daripada sulfa lainnya di samping kadar plasma
dari sulfa bebas (aktif) relatif rendah pada
dosis lazimnya. Efek samping berupa erythema multiforme hebat (sindrom StevensJohnson, demam dengan luka pada mukosa
mulut, anus, organ kelamin) lebih sering
terjadi. Oleh karena itu di kebanyakan
negara Barat semua sulfa longacting telah
ditarik dari peredaran, kecuali kombinasinya
dengan pirimetamin atau trimetoprim.
c. Sulfonamida usus: sulfaguanidin dan salazosulfapiridin.
Obat-obat ini hanya sedikit sekali (5-10%)
diserap oleh usus sehingga menghasilkan
konsentrasi obat yang tinggi di dalam usus
besar. Sulfaguanidin ternyata lebih baik
resorpsinya (sampai ±50%) dan sebaiknya
jangan dipakai untuk pengobatan infeksi usus berhubung efek sistemiknya. Di waktu
yang lalu sulfa ini banyak dipakai untuk
mensterilkan usus sebelum pembedahan
tetapi untuk maksud ini sudah digantikan
oleh antibiotika bakterisid seperti neomisin
dan basitrasin yang juga tidak diserap
usus. Sulfaguanidin, ftalilsulfatiazol dan suksinilsulfatiazol dahulu banyak dipakai dalam sediaan kombinasi anti diare, tetapi
sekarang praktis tidak dipakai lagi. Lihat
Ed.4 untuk monografinya.
d. Sulfonamida lokal: sulfasetamida, sulfadikramida dan silversulfadiazin. Kedua obat
pertama banyak dipakai sebagai obat
luar dalam sediaan salep dan tetes mata,
sedangkan yang terakhir dalam salep terhadap luka bakar.
SULFONAMIDA
1. Sulfametizol: sulfametiltiodiazol
Derivat tiodiazol ini (1940) PP-nya ±90%
dengan plasma-t½ 1-2 jam. Daya larutnya
dalam urin (asam) baik. Berhubung ekskresinya cepat sekali zat ini menghasilkan kadar
tinggi dalam urin dan sering kali dipakai
terhadap radang kandung kemih. Sebaliknya,
kadarnya dalam darah dan jaringan rendah.
Sulfametizol memiliki persentase resistensi
yang agak tinggi.
Dosis: pada ISK oral 3-4 dd 0,5-1 g selama
3-5 hari, sebagai profilaksis 2 dd 1 g selama
3 hari.
* Uro Nebacetin = sulfametizol 2,4 g +
neomisinsulfat 428 mg per 30 ml suspensi.
2. Sulfametoksazol : kotrimoksazol, *Bactrim
yaitu derivat isoksazol (1961) dengan
PP 65% dan plasma-t½ ±10 jam. Ekskresinya
via urin, 25% dalam keadaan utuh dan 60%
sebagai metabolit asetilnya. Obat ini terutama
dipakai dalam kombinasi dengan trimetoprim.
* Kotrimoksazol: *Bactrim, *Septrin
Kombinasi dari sulfametoksazol dan trimetoprim dalam perbandingan 5:1 bersifat
bakterisid dengan spektrum kerja lebih luas
dibandingkan sulfonamida, antara lain juga
aktif terhadap Proteus dan Chlamydia. Lagipula lebih jarang menimbulkan resistensi
sehingga sering kali dipakai terhadap
berbagai penyakit infeksi, antara lain infeksi
saluran urin (Coli, Enterobacter), alat kelamin
(prostatitis), saluran cerna (salmonellosis) dan
pernapasan (bronchitis). Kotrimoksazol dalam
dosis tinggi juga dipakai untuk pengobatan dan pencegahan radang paru (Pneumocystis carinii-pneumoni) pada penderita AIDS.
Resorpsinya baik dan cepat, sesudah lebih
kurang 4 jam sudah mencapai puncaknya
dalam darah. Distribusinya ke dalam semua
jaringan, ludah dan cairan otak (CCS) sangat baik; terutama trimetoprim lebih lancar
berhubung sifat lipofilnya. PP sulfa dan trimetoprim yaitu masing-masing ±60% dan
45%, sedangkan plasma-t½-nya sama, yaitu
±10 jam. Ekskresinya melalui ginjal sebagai
zat aktif yaitu masing-masing 20-25% dan
50-60%.
Efek samping tidak sering terjadi dan biasanya berupa gangguan kulit (exanthema),
stomatitis dan gangguan lambung-usus. Juga
dapat timbul efek samping khas dari sulfonamida seperti fotosensitasi dan sindrom
Stevens-Johnson. Pada dosis tinggi efek sampingnya dapat berupa demam, gangguan
fungsi hati dan terhadap darah (neutropenia,
trombositopenia). Oleh karena itu pemakaian
lebih lama dari dua minggu hendaknya
disertai pemantauan darah. Risiko kristaluria
dapat dihindari dengan minum lebih dari 1,5
liter air sehari.
Dosis: umum 2 dd 2 tablet kotrimoksazol
(= sulfametoksazol 400 + trimetoprim 80 mg).
Radang kandung kemih tanpa komplikasi
pada wanita: 2 dd 2 tablet selama 3-7 hari.
Pada tifus dan infeksi parah 2 dd 3 tablet
selama maksimal 14 hari.
* Trimetoprim (*Bactrim, *Septrin).
Senyawa pirimidin ini (1961) yaitu derivat dari obat malaria pirimetamin; selain
berkhasiat antiprotozoa juga berefek bakteriostatik. Zat ini aktif terhadap banyak kuman
Gram-positif dan Gram-negatif termasuk
E. coli, jenis-jenis Proteus, Salmonella, Shigella, Klebsiella dan Enterobacter, tetapi terhadap Gonokok dan Pseudomonas tidak efektif. Mekanisme kerjanya sama dengan sulfonamida yaitu berdasar penghambatan
reduksi DHFA menjadi THFA lewat blokade
reduktase, sehingga sintesis DNA kuman
gagal. Trimetoprim dipakai dengan efektif sebagai monoterapi pada ISK akut tanpa
komplikasi dan ternyata sama efektifnya
dengan kotrimoksazol. Pada infeksi kronis
dengan kelainan organik, khasiatnya lebih
rendah.
Resorpsinya dari usus cepat dan praktis
lengkap, PP-nya ±50% dengan plasma-t½
dari 9-17 jam. Sebagian zat dirombak di
dalam hati; kadar obat utuh di dalam urin
tinggi sekali dan bertahan selama minimal 24
jam untuk kemudian diekskresikan.
Efek sampingnya terutama gangguan saluran cerna yang lebih ringan daripada
obat kombinasinya. Untuk menghindari
resistensi lebih lanjut yang semakin sering
terjadi, sebaiknya jangan dipakai sebagai
obat profilaksis. Resistensi kuman uropatogen
terhadap trimetoprim sudah meningkat dari
6% (1971) ke 25% di tahun 1992.
Dosis: setiap malam 300 mg atau 2 dd 200
mg selama 3-7 hari. Untuk anak-anak 5-12
tahun 2 dd 3 mg/kg berat badan.
3. Sulfadiazin: sulfapirimidin, *Triacef, *Temasud
Derivat pirimidin ini (1947), seperti juga
sulfametoksazol dan sulfafurazol memiliki
atas dasar jumlah mg, khasiat terkuat dari
semua sulfa. Resorpsinya dari usus agak lambat sehingga sebagian obat dapat mencapai
usus besar. Oleh karena itu sulfadiazin berkhasiat terhadap disentri basiler, bahkan
lebih efektif dibandingkan dengan kloramfenikol dan tetrasiklin.
PP-nya paling rendah (±40%), oleh karena
itu kadar obat dalam cairan tubuh paling
tinggi dan sering kali dipakai pada meningitis. Kombinasi dengan pirimetamin
dipakai terhadap infeksi dengan Toxo -
plasma gondii (toxoplasmosis). Plasma-t½-nya
10 jam. Sulfadiazin yaitu obat pilihan
kedua untuk infeksi saluran urin. Daya larutnya dalam urin rendah (sering menyebabkan
kristaluria) sehingga perlu diberikan natriumbikarbonat 3 kali sehari 3-4 g dan minum
air ±1,5 liter sehari.
Dosis: permulaan 2-4 g, kemudian 4-6 dd 1 g.
* Sulfamerazin (F.I.) (sulfametildiazin, *Triacef)
yaitu derivat metil (1943) dengan khasiat
sama. Tetapi PP-nya lebih tinggi, ±70%,
plasma-t½-nya panjang, yaitu di atas 20 jam.
Efek samping lebih sering terjadi, begitu pula
bahaya kristaluria lebih besar dan sering
mengakibatkan kerusakan ginjal. Oleh karena
itu pemakaian nya di Inggris telah dilarang.
Dosis: 4 dd 1 g.
* Triacef = s.diazin + s.metazin + s.merazin
aaa 167 mg per tablet.
* Sulfamezatin (F.I.) (sulfadimidin, sulfametazin, sulfadimetildiazin,*Triacef) yaitu de-rivat dimetil (1945). Daya larut obat ini dan
begitu pula senyawa asetilnya dalam urin
lebih baik daripada sulfadiazin sehingga bahaya kristaluria juga lebih kecil. PP-nya lebih
tinggi (±70%) dan ekskresinya lebih lambat.
Dosis: permulaan 3 g, lalu 4 dd 1-1,5 g.
* Sulfasomidin (sulfa-2,4-dimetildiazin, Elkosin) yaitu isomer dari sulfadimidin (1944)
dengan PP 85% dan plasma-t½ 8 jam. Ekskresinya dengan urin cepat, rata-rata 15%
sebagai derivat asetil yang kelarutannya
dalam urin kurang baik. Oleh sebab itu perlu
minum minimal 1,5 l air sehari. Dosis: permulaan 2 g, kemudian 3 dd 1g.
4. Sulfadoksin: sulfametoxine, *Fansidar
Derivat pirimidin ini (1965) memiliki PP
tinggi (90-95%) dan t½ yang panjang sekali
(rata-rata 6 hari). Senyawa ini khusus digunakan dalam kombinasi dengan obat antiprotozoa
pirimetamin pada terapi dan profilaksis malaria tropika yang resisten terhadap klorokuin,
juga pada toxoplasmosis, suatu infeksi oleh
protozoon Toxoplasma gondii yang ditularkan
lewat kucing, domba atau babi.
Wanita hamil tidak boleh diberikan
Fansidar selama 3 bulan pertama kehamilan
karena bersifat teratogen, begitu pula pada
bulan terakhir kehamilan karena risiko
icterus-inti pada bayi.
Dosis: infeksi umum permulaan 2 g, lalu
1-1,5 g seminggu.
* Fansidar= sulfadoksin 500 + pirimetamin 25
mg. Pada toxoplasmosis: 1 x 2 tablet seminggu sampai 4-6 minggu sesudah sembuh. Untuk
dosis terhadap malaria, lihat Bab 11, Obatobat malaria.
5. Sulfasalazin: salazosulfapiridin, Sulcolon,
Salazopyrin
Senyawa azo ini dari 5-aminosalicylic
acid (5-ASA) dengan sulfapiridin, berwarna kuning kecokelat-cokelatan dan berkhasiat anti-radang. In vitro zat ini tidak aktif.
Sebagian kecil diserap di usus; di dalam
darah separuh dipecah menjadi komponenkomponennya dan sisanya yang utuh mengalami siklus enterohepatik. Bagian terbesar
yang tidak diserap tiba di usus besar dan di
sini diuraikan oleh bakteri menjadi komponennya dan hanya sedikit diekskresi dengan
tinja dalam bentuk utuh. 5-ASA juga diekskresi dengan tinja sedangkan sulfapiridin
diserap hampir seluruhnya.
Karena eliminasinya oleh ginjal yang cepat
(sebagai metabolit asetil dan glukuronida)
kadar plasma dari zat yang agak toksik ini
tetap rendah. Penelitian menunjukkan aktivitas sulfasalazin berdasar efek antiradang lokal dari 5-ASA terhadap mukosa
usus. Sulfasalazin khusus dipakai pada
rematik dan penyakit usus beradang colitis
ulcerosa dan penyakit Crohn. Lihat Bab 21,
Analgetika Antiradang.
Efek samping yang dapat terjadi berupa
mual, anoreksia, demam, nyeri kepala dan
erythema. Pada dosis lebih tinggi efek sulfapiridin berupa antara lain kelainan darah, hematuria, proteinuria dan kristaluria.
Dosis: pada rema 1 dd 500 mg d.c. selama
5-7 hari, dinaikkan setiap 5-7 hari dengan
500 mg sampai 2 g sehari, maksimal 3 g/
hari. Pada colitis 4 dd 0,5-1,5 g d.c. selama 3
minggu, lalu pemeliharaan 1-2 g sehari.
* Mesalazin (5-aminosalisilat, 5-ASA, Salofalk)
yaitu komponen aktif dari sulfasalazin
(1985) terutama khasiat antiradang langsung
terhadap mukosa usus yang beradang. Zat
ini juga dipakai sebagai monoterapi pada
radang usus ringan.
Resorpsinya dari tablet (harus e.c.) buruk,
hanya 20%, PP-nya ±50%, plasma-t½-nya ±1
jam. Ekskresi terutama dengan tinja dalam
keadaan utuh dan sebagai derivat asetil.
Efek samping terpenting yaitu gangguan
lambung-usus, nyeri kepala, pusing dan
reaksi alergi.
Dosis: colitis akut 3-4 dd 0,5-1 g.
* Olsalazin (Dipentum) terdiri dari 2 molekul
mesalazin yang dihubungkan oleh ikatan
azo. Dalam usus besar kuman-kuman menguraikannya tuntas menjadi mesalazin.
Dosis: colitis akut 3 dd 250-1000 mg p.c.,
profilaksis 2 dd 500 mg.
6. Sulfasetamid: N-asetilsulfasetamid, Albucid.
Garam natrium dari sulfa ini tidak bersifat alkalis seperti garam natrium dari sulfa lainnya sehingga terutama dipakai dalam
tetes mata (10%) dan salep mata (10%). Sebaiknya zat ini jangan dipakai untuk
profilaksis karena risiko sensibilisasi.
7. Silverdiazin: Flammazine, Darmazin,
Silvadene
Garam perak dari sulfadiazin ini berkhasiat bakterisid terhadap banyak bakteri
termasuk E. coli, Klebsiella dan Proteus dan
tidak diinaktifkan oleh PABA. Sangat efektif
untuk pengobatan luka bakar parah (derajat
kedua dan ketiga), terutama bila terinfeksi
oleh Pseudomonas. Kulit yang diobati dengan
silversulfadiazin menjadi kelabu kehitamhitaman karena endapan perak. dipakai
dalam bentuk krem 1-3%. Lihat juga Bab 15,
Antiseptika.
C. SENYAWA KUINOLON
Pada tahun-tahun terakhir senyawa kuinolon sangat efektif sebagai pengobatan
per oral dari berbagai penyakit infeksi
oleh kuman Gram-negatif yang semula
hanya dapat diatasi melalui pengobatan
parenteral, misalnya prostatitis dan osteomyelitis. Zat-zat dari generasi pertama,
misalnya asam nalidiksinat hanya
efektif terhadap kuman Gram-negatif
(terkecuali Pseudomonas), tetapi tidak berkhasiat terhadap kuman Gram-positif
maupun kuman anaerob. Efek sampingnya
pun banyak dan tidak memberikan kadar
yang optimal dalam darah dan jaringan.
Dengan introduksi atom fluor ke dalam
molekulnya terbentuk fluorkuinolon pertama yakni nor-floksasin yang aktif terhadap
Pseudomonas tetapi belum menghasilkan
kadar serum yang efektif. Pada permulaan tahun delapan puluhan telah disintesis siprofloksasin (generasi kedua) yang
memiliki spektrum kerja lebih luas dan
lebih efektif terhadap Enterobacteriaceae,
Pseudomonas aeruginosa, Staph. aureus
dan Legionella pneumophila.
Pada pemakaian per oral senyawa ini
juga dapat mencapai kadar dalam darah dan
jaringan yang optimal, di samping toksisitasnya yang rendah. Terhadap infeksi saluran
napas, misalnya Streptococcus pneumoniae
masih kurang bermanfaat.
Modifikasi pada struktur kimia selanjutnya
menghasilkan sederetan kuinolon baru seperti
antara lain gemifloksasin, grepafloksasin, levofloksasin, moksifloksasin, sparfloksasin dan trovafloksasin. Semua senyawa ini memperlihatkan
aktivitas yang meningkat terhadap kuman
Gram-positif, tetapi berkurang bagi Pseudomonas. Karena beberapa di antaranya kurang
aman dibandingkan dengan siprofloksasin,
sehingga antara lain sparfloksasin dan trovafloksasin (Trovan) di Amerika telah ditarik
dari peredaran. Trovafloksasin dapat mengakibatkan gangguan hati sangat parah,
terutama bila dipakai lebih lama dari 2
minggu. Di negara kita sparfloksasin masih diperbolehkan beredar.
Resorpsi per oral dari kuinolon baru ini
sangat baik, kesetaraan biologisnya melebihi
90% dan tidak dipengaruhi oleh makanan
maupun oleh senyawa reseptor H2. Tetapi
resorpsi akan sangat berkurang oleh antasida yang mengandung magnesium dan aluminium, juga oleh garam-garam kalsium dan
besi.
Mekanisme kerja
Senyawa kuinolon berkhasiat bakterisid pada fase pertumbuhan kuman berdasar
inhibisi dua enzim bakteriil (topo-isomerase),
yaitu DNA-gyrase dan topo-isomerase IV sehingga sintesis DNA-nya terganggu. DNAgyrase yaitu enzim yang mengkompres
DNA bakteri sehingga dapat diinkorporasi
dalam sel bakteri, sedangkan topo-isomerase
diperlukan bagi struktur ruang DNA. Kedua
proses itu dihambat oleh kuinolon. Enzim
tersebut hanya ada pada kuman dan
tidak pada sel dari organisme lebih tinggi,
sehingga sintesis DNA manusia tidak dihambat. Hal yang sama berlaku bagi sulfonamida
dan antibiotika beta-laktam.
pemakaian
Senyawa kuinolon hanya dapat dipakai
pada infeksi saluran kemih (ISK) tanpa komplikasi, sedangkan fluorkuinolon lebih luas spektrum indikasinya berkat kadarnya dalam darah yang mencapai nilai lebih tinggi.
Dengan demikian zat-zat ini dapat pula
dipakai pada ISK berkomplikasi oleh kuman
multiresisten, misalnya yang melibatkan jaringan ginjal. Selain dari itu fluorkuinolon
juga dipakai untuk infeksi saluran napas
(radang paru), infeksi lambung-usus (salmonella,
shigella), prostatitis kronis, infeksi kulit dan
jaringan lunak oleh khususnya kuman Gramnegatif. Juga dipakai terhadap karier
Salmonella kronis danpada infeksi mata, serta
preventif pada pembedahan transuretra.
Dengan tujuan menghambat meluasnya
resistensi, sangat dianjurkan untuk menggunakan fluorkuinolon sebagai kemoterapeutika
cadangan pada infeksi oleh bakteri yang
resisten terhadap obat-obat standar. Sebagai
pilihan pertama pada ISK tanpa komplikasi
sebaiknya dipakai trimetoprim, nitrofurantoin atau sulfametizol.
Fluorkuinolon yaitu satu-satunya
antibiotikum oral yang berkhasiat terhadap
Pseudomonas dan oleh sementara peneliti
dianggap sebagai obat pilihan pertama pada
traveller’s diarrhoea.
Efek samping dan kontraindikasi
Efek samping yang paling sering terjadi
yaitu gangguan lambung-usus (2%), seperti
sakit perut, mual (4-8%), muntah, anoreksia
dan diare (4-5%), jarang timbul sejenis radang
usus besar (colitis pseudomembranosis). Di samping itu terjadi pula reaksi alergi (eritema, urticaria). Efek neurologi (sakit kepala, pening,
termangu-mangu, neuropati dan perasaan
kacau), efek psikis hebat (eksitasi, ketakutan, gelisah, reaksi panik) dan konvulsi jarang
terjadi, terkecuali pada penderita SLE (Systemic Lupus Erythemathodes) dan pada penggunaan serentak NSAIDs. Efek samping yang
lebih serius yaitu terhadap jantung dengan
mengakibatkan aritmia bilik (tachyaritmia
ventricular).
Kehamilan dan laktasi. Karena ada indikasi
kelainan pada pembentukan tulang rawan
dan persendian pada hewan percobaan,
senyawa ini tidak dianjurkan pemakaian nya
oleh wanita hamil, juga selama laktasi karena
dikeluarkan melalui air susu ibu.
Juga jangan diberikan pada anak-anak di
bawah usia 16 tahun, karena dapat menimbulkan penyimpangan pada pembentukan
tulang rawan terutama oleh asam nalidiksinat
(jarang oleh siprofloksasin dan ofloksasin).
Resistensi
Fluorkinolon juga dapat menimbulkan resistensi akibat mutasi pada kromosom bakteri,
walaupun tidak sedemikian cepat dibandingkan kuinolon lama tanpa fluor. Saat terjadinya resistensi pada kuman Gram-negatif,
enzim DNA-gyrase berperan utama dan topoisomerase IV memegang peranan sekunder. Pada kuman Gram-positif situasinya
terbalik. Suku-suku yang resisten dapat melakukan mutasi pada enzim ini, sehingga
menjadi sangat resisten (Piddock LJV. Fluorquinolone resistance. BMJ 1998; 317: 1029-30).
Perkembangan resistensi sangat tergantung dari dosis, frekuensi19 dan tujuan penggunaannya, misalnya sebagai stimulator
pertumbuhan dalam industri ternak. Sebagai
contoh yaitu resistensi dari Campylobacter,
Pseudomonas dan Enterobacter akibat penggunaannya secara besar-besaran dalam
industri unggas.18 Karena itu fluorkinolon
hendaknya dipakai secara terbatas sebagai antibiotika cadangan, khususnya hanya
bagi penderita yang alergis terhadap antibiotika betalaktam.
Resistensi silang ada antara semua
fluorkuinolon, juga dengan antibiotika
betalaktam.
MONOGRAFI
1. Asam nalidiksinat: Negram, Urineg.
Derivat naftiridin ini (1962) berkhasiat
bakterisid terhadap terutama bakteri Gramnegatif, termasuk E. coli, Proteus dan Klebsiella,
tetapi Pseudomonas dan Str. faecalis tidak peka
terhadapnya (1962). Mekanisme kerjanya
melalui penghambatan sintesis DNA. Seperti
juga penisilin, hanya berkhasiat terhadap
bakteri yang sedang tumbuh. Oleh karena
itu tidak dapat dikombinasi dengan zat-zat
bakteriostatik (tetrasiklin, kloramfenikol) juga
tidak dengan nitrofurantoin. Aktivitasnya
optimal pada pH asam (5-7). Resistensi dapat
terjadi dengan agak cepat, terutama pada
dosis di bawah 4 g sehari, sehingga tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka lama. Oleh
sebab itu dan dengan tersedianya derivat fluor
dengan spektrum kerja lebih luas dan khasiat
lebih kuat, pemakaian nya bagi infeksi saluran kemih tanpa komplikasi dewasa ini
tidak dianjurkan lagi. Di sejumlah negara
Barat, antara lain negeri Belanda, peredarannya sudah dihentikan.
Resorpsinya baik (± 96%) dan cepat, begitupula ekskresinya melalui ginjal (t½ = ±1,5
jam), oleh karena itu kadarnya di dalam urin
relatif tinggi. Di samping itu PP-nya tinggi
(±90%), sehingga kadar plasmanya hanya
rendah. Dalam hati zat ini dirombak menjadi
glukuronida tidak aktif dan derivat hidroksi
aktif, hanya sebagian kecil dikeluarkan dalam bentuk utuh (±15%). Efek samping yang
kadang-kadang timbul yaitu mual, muntah
dan reaksi alergi (urtikaria). Selanjutnya,
lihat di atas (efek samping umum).
Dosis: 4 dd 1 g selama maksimal 7-14 hari.
2. Asam pipemidinat: Urixin, Pipram, Impresial, Urotractin
Derivat piperizanil dari nalidiksinat ini
(1975) memiliki spektrum kerja lebih luas,
yang juga meliputi Pseudomonas. Efek bakterisid terhadap kuman yang sedang membelah yaitu dua kali lebih kuat. Ekskresi oleh
ginjal demikian cepat sehingga kadarnya
dalam darah rendah sedangkan dalam urin
relatif tinggi. Oleh karena itu asam pipemidinat khususnya dipakai pula pada ISK
tanpa komplikasi.
Resorpsinya cepat dan kadar plasma maksimal tercapai sesudah 1-2 jam. Dalam 24 jam
sejumlah 50-60% diekskresi melalui urin terutama dalam bentuk utuh. Resistensi silang
dengan nalidiksinat dapat terjadi.
Efek samping yang terpenting yaitu mual,
muntah, diare dan foto-sensibilisasi. Efekefek neurologi tidak dilaporkan.
Dosis: 2 dd 400 mg (3 aq.) d.c., selama 10
hari.
3. Norfloksasin: Lexinor, Noroxin
Derivat fluor dari pipemidinat (1983)
ini yaitu obat pertama dari kelompok
fluorkuinolon (generasi ketiga). Di samping
khasiatnya terhadap ISK, juga efektif pada
gonore, saluran cerna (gastro-enteritis) dan
infeksi mata, tetapi tidak berkhasiat terhadap bakteri anaerob.
Resorpsinya cepat dengan BA 80% dan kadar maksimal dalam plasma sudah tercapai sesudah 1-2 jam. PP-nya rendah (15%)
dan hanya sebagian yang dimetabolisasikan
menjadi metabolit yang juga memiliki khasiat
antibakteriil. Zat ini diekskresi melalui urin
sebanyak 30% sampai 50% dalam bentuk
utuh dan 28% dengan feces. Plasma-t½-nya
3-4 jam.
Dosis: terhadap ISK 2 dd 400 mg selama
7-10 hari, untuk gonore single dose 800 mg.
Pada infeksi mata 4 dd 1 tetes obat mata
(3mg/4ml).
* Pefloksasin (Peflacine) yaitu derivat metil
dari norfloksasin (1985) dengan efek kurang
kuat terhadap Pseudomonas. Zat ini digunakan pada ISK tanpa maupun dengan komplikasi. Resorpsi cepat dan hampir sempurna, PP
±30%. Kadar plasma maksimal dicapai sesudah
±1,5 jam. Metabolit yang terpenting yaitu Ndesmetil-pefloksasin (= norfloksasin) yang aktif.
Diekskresi ±60% melalui urin dan 40% dengan
tinja. Plasma-t½ 9-14 jam, tetapi dapat mencapai 31 jam pada gangguan fungsi hati.
Dosis: oral pada ISK 2 dd 400 mg (mesilat-2 aq.) d.c. sampai 48-72 jam sesudah gejala
hilang atau tidak diketemukannya lagi kuman-kuman patogen. Pada ISK akut wanita
tanpa komplikasi, dosis tunggal dari 800 mg.
4. Siprofloksasin: Ciproxin
Derivat siklopropil dari kelompok fluorkuinolon (1987) ini berkhasiat lebih luas dan
lebih kuat daripada nalidiksinat dan pipemidinat, juga menghasilkan kadar dalam
darah/jaringan dan plasma-t½ yang lebih
tinggi. pemakaian sistemiknya lebih luas
dan meliputi ISK berkomplikasi, infeksi saluran napas bila disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa, infeksi saluran cerna, jaringan
lunak, kulit dan gonore.
Resorpsi baik dengan BA ±70% dan kadar
plasma maksimal tercapai 0,5-1,5 jam sesudah
pemakaian oral. PP-nya ±30%. Dimetabolisasi menjadi 4 metabolit aktif yang diekskresi melalui urin (55%) dan feces (39%).
Plasma-t½ 3-5 jam dan bisa mencapai ±8 jam
pada gangguan fungsi ginjal yang serius.
Efek samping lihat di atas. Secara insidentil
dapat timbul kristaluria atau hematuria.
Dosis: pada ISK oral 2 dd 125-250 mg (-HCl)
dan sebagai infus i.v. 2 dd 100 mg (laktat),
pada infeksi lain oral 2 dd 500 mg.
5. Ofloksasin: Tarivi