d
Fluorkuinolon ini (1987) lebih kurang sama
khasiatnya dengan siprofloksasin. dipakai
pada ISK, prostatitis, infeksi pernapasan,
gonore dan infeksi mata, juga sebagai obat
tuberkulosis sekunder.
Resorpsinya cepat dan praktis lengkap dengan PP ±25% dan plasma-t½ ±6 jam, yang
dapat meningkat sampai 10-30 jam pada
gangguan fungsi ginjal. Ekskresi dalam keadaan utuh melalui urin dan dalam 24 jam
mencapai 80%.
Dosis: pada ISK tanpa komplikasi 1-2
dd 200 mg selama 7-10 hari. Sebagai obat
sekunder terhadap tuberkulosis paru 300-600
mg seharinya.
* Levofloksasin (Tavanic, Levoxal) yaitu
isomer levo (1997) dengan sifat yang sama,
hanya spektrum kerjanya terhadap kuman
Gram-positif sedikit lebih luas, t½-nya 6-8
jam. Efek sampingnya lebih ringan.
Dosis: 1-2 dd 250-500 mg.
6. Lomefloksasin: Omniquin, Maxiquin.
Derivat difluor ini (1989) berkhasiat terhadap ISK dengan atau tanpa komplikasi dan
sebagai profilaksis terhadap infeksi sesudah
pembedahan transuretral. Di samping itu
juga dipakai terhadap serangan (eksaserbasi) bronkitis kronis.
Resorpsinya cepat dan baik (BA 98%), tetapi
dapat diperlambat oleh makanan. PP-nya
rendah sekali (±10%) Kadar plasma maksimal
tercapai sesudah 1-1,5 jam dan ekskresi ±65%
melalui urin dalam bentuk utuh dan 6%
sebagai glukuronida. Diekskresi dengan tinja
±10% dalam bentuk utuh. Plasma-t½-nya 8
jam.
Efek samping. Selain efek samping yang
lazim timbul, obat ini cenderung lebih sering
menimbulkan fotosensibilisasi.
Dosis: 1 dd 400 mg, lazimnya selama 14 hari.
7. Sparfloksasin: Newspar, Redspar, Resflok
Derivat difluor ini (1995) berkhasiat lebih luas
terhadap kuman Gram-positif dibandingkan
siprofloksasin, lagipula masa paruhnya panjang (20 jam) sehingga dapat diberikan 1 kali
sehari. Terhadap Pseudomonas dan Proteus,
obat ini kurang efektif dibandingkan dengan
siprofloksasin. Sparfloksasin dipakai pada
semua bentuk ISK, pneumonia akibat pneumokok yang resisten terhadap penisilin dan
pada gonore.
Efek sampingnya yang serius yaitu fotosensitasi yang sangat membatasi penggunaannya.
Dosis: permulaan 400 mg, lalu 1 dd 200 mg
selama 10 hari. Gonore: single dose dari 200
mg.
8. Gatifloksasin: Tequin
Termasuk generasi ketiga yang dapat digunakan per oral maupun i.v. terhadap infeksi
saluran urin (gonore) dan infeksi pernapasan
(pneumonia). Juga aktif terhadap kuman
anaerob. Memiliki t½ 7 jam dan dieliminasi
dari tubuh melalui ginjal.
Interaksi. Tidak boleh diberikan pada penderita gangguan jantung, khususnya yang
menggunakan obat-obat anti aritmia (kinidin, disopiramida, amiodaron, sotalol) atau
neuroleptika. Juga dapat mengakibatkan
gangguan pada peredaran gula darah (glucosehomeostasis), oleh karena itu perlu pemantauan
kadar gula pada pemakaian antidiabetika
oral.22
Dosis: 1 dd 400 mg.
9. Moksifloksasin: Avelox
Juga termasuk generasi ketiga dan digunakan terhadap infeksi saluran pernapasan
(pneumonia) dan terhadap infeksi oleh
kuman anaerob. Memiliki t½ 12 jam dan dieliminasi dari tubuh melalui hati.
Sama dengan gatifloksasin agar dihindari
pemberiannya pada penderita gangguan aritmia jantung.
Dosis: 1 dd 400 mg
TUBERKULOSIS
Tuberkulosis, disingkat TB, yaitu suatu
penyakit menular yang paling sering (±80%)
terjadi di paru-paru. Penyebabnya yaitu
suatu basil Gram-positif tahan-asam dengan pertumbuhan sangat lamban, yaitu
Mycobacterium tuberculosis (Yun.mycos = dinding selnya bersifat sebagai lilin) (dr. Robert
Koch, 1882).
Bakteri ini terdiri dari beberapa spesies
yang semuanya dapat menyebabkan tuberkulosis, yaitu a.l. M.tuberculosis (typus humanus), M.africanum dan M.bovis (typus sapi).
Gejala TB terdiri dari a.l. batuk kronis,
demam, berkeringat waktu malam, keluhan
pernapasan, perasaan letih, malaise, hilang
nafsu makan, turunnya berat badan dan rasa
nyeri di bagian dada. Dahak penderita berupa lendir mucoid, purulent (bernanah) atau
mengandung darah.
* Infeksi primer. sesudah terjadi infeksi melalui saluran pernapasan, di dalam gelembung paru (alveoli) berlangsung reaksi peradangan setempat dengan timbulnya benjolan-benjolan kecil (tuberkel). Sering kali sistem imun tubuh sehat dapat memberantas basil dengan menyelubunginya dengan
jaringan pengikat. Infeksi primer ini pada
umumnya menjadi abses “terselubung” (incapsulated) dan berlangsung tanpa gejala,
hanya kadangkala disertai batuk dan napas
berbunyi.
Pada mereka dengan sistem imun lemah
(anak-anak, manula, pasien AIDS) dapat timbul radang paru hebat. Basil TB memperbanyak diri di dalam makrofag dan benjolanbenjolan bergabung menjadi infiltrat yang
akhirnya menimbulkan rongga (caverna) di
paru-paru. Bila kemudian terjadi hubungan
antara paru-paru dan cabang bronchi, maka
terjadilah TB terbuka (tuberculosis cavernosus)
dengan adanya basil di dahak (sputum). TB
terbuka berbahaya sekali. Walaupun hanya
bercirikan batuk kronis, tetapi bersifat sangat
menular. Pasien dengan kondisi demikian
yaitu sumber meluasnya TB di
sekelompok masyarakat, tetapi hanya terjadi
pada lebih kurang 10% dari semua infeksi.
Infeksi dapat menyebar melalui darah dan
limfe ke organ lain dari tubuh, a.l. ke:
– saluran pencernaan (intestinal tuberculosis);
TB selaput perut (tuberculous peritonitis)
yang menimbulkan ascites (busung perut)
yaitu TB lambung kedua yang
Robert Koch (1843-1910) paling umum
– ginjal dan juga bagian-bagian dari sistem
urogenital (penyebab kemandulan pada
wanita)
– susunan saraf pusat, penyebab radang selaput otak (tuberculous meningitis) pada
anak-anak)
– kerangka tubuh, mengakibatkan a.l.
osteomyelitis (radang sumsum tulang)
Di samping itu organ lain juga dapat
terinfeksi, yaitu kulit (lupus vulgaris), mata,
pericardium (kandung jantung) (menyebabkan Addison’s disease) dan simpul-simpul
limfe.
Di organ yang terinfeksi timbul abses bernanah atau pertumbuhan liar dari jaringan
pengikat yang selalu disertai dengan pembesaran simpul limfe. Tanpa pengobatan akhirnya dapat terjadi kerusakan hebat yang berakhir fatal.
* Reaktivasi. Kadang-kadang dalam waktu
setahun atau lebih infeksi primer —akibat
proses reaktivasi penyakit lama (post-primary
tuberculosis) atau kadangkala karena reinfeksi dengan kuman tuberkel yang menyebar melalui saluran darah––berkembang
menjadi TB-miliar (sebesar “padi”) yang pada umumnya berakibat fatal. Reaktivasi demikian terutama dapat timbul bila daya
tahan tubuh menurun, misalnya pada manula, pengidap HIV dan pasien yang menjalani terapi imunosupresiva (dengan kortikosteroid atau sitostatika).
Mycobacteria lain. Pengidap AIDS semakin sering dihinggapi infeksi dengan berbagai jenis Mycobacteria lain (“atipis”, tidak khas),
seperti Mycobacterium avium intracellulare (MAI) yang ada di air dan tanah.
Mikroorganisme ini pada umumnya bersifat
resisten terhadap obat-obat TB biasa sehingga
menjadi masalah serius pada terapi AIDS.
Infeksi MAI tidak dapat ditulari dari manusia
ke manusia.
Penularan Mycobacterium bovis akibat
minum susu sapi yang menderita TB kelenjarsusu jarang sekali terjadi. Infeksi demikian
dapat dihindari dengan mempasteurisasikan
atau memasak susu.
PENYEBARAN
Penyakit TB tersebar di seluruh dunia, di samping banyak kasus baru ±8 juta per tahun
dengan angka kematian meningkat sampai
2-3 juta manusia per tahun. Di seluruh dunia setiap 18 detik ada seorang yang
meninggal akibat penyakit ini. TB yaitu
penyakit infeksi tunggal yang paling mematikan dan yaitu penyebab kematian
nomor dua, sesudah penyakit jantung. Prevalensinya sangat tinggi di negara-negara Asia
dan Afrika, yang 60-80% dari anak-anak
di bawah usia 14 tahun sudah terinfeksi.
Misalnya Filipina dengan prevalensi TB positif 0,40%; artinya 40 orang di antara 10.000
orang mengidap TB. Di negara-negara berkembang pada umumnya infeksi timbul
pada masa anak-anak dan sekarang ini masih
yaitu pembunuh utama, yang a.l. diakibatkan oleh resistensi terhadap antibiotik.
Di negara kita dengan prevalensi TB positif 0,22% (laporan WHO 1998), penyakit
ini yaitu salah satu penyakit rakyat
penting yang tiap tahun mengakibatkan
banyak korban. Jumlah penderita di Indonesia menduduki peringkat ketiga terbesar
sesudah India dan Cina, dengan angka kematian sebesar 140.000 jiwa per tahun dan
lebih dari 500.000 kasus baru per tahun yang
yaitu tingkat infeksi ketiga tertinggi
di dunia. Pada setiap 100.000 penduduk ada
125 penderita tuberkulosis yang menular.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO)
di negara kita setiap empat menit satu orang
meninggal atau ekivalen dengan ±400 kematian setiap hari akibat TB yang yaitu
penyebab kematian kedua bagi orang dewasa
di negara kita .
Kawasan negara kita Timur yaitu daerah yang banyak penderitanya. Prevalensi
di NTT dan Timor Timur yaitu 700 per
100.000 penduduk. Penyakit ini diketemukan
terutama di antara rakyat jelata yang gizi
makanannya tidak memadai dan hidup
dalam keadaan sosial-ekonomi dan hygiene
di bawah normal. Lagi pula krisis ekonomi
meningkatkan jumlah penderita, karena daya
tahan tubuh berkurang akibat menurunnya
asupan gizi dan kualitas lingkungan.
Menurut WHO penyebaran HIV, virus
penyebab AIDS, di kawasan Asia Pasifik
meningkatkan kasus TB. Diperkirakan 3%
dari seluruh pasien TB memberikan tes positif terhadap HIV.
Ref. USAID Health: Infectious Diseases,
Tuberculosis, Countries, negara kita .” U.S.
Agency for International Development. May
2009. Web. 07 Dec. 2010.
Hal ini disebabkan HIV merusak sistem kekebalan tubuh penderita, sehingga meningkatkan peluang terjadinya infeksi oleh kuman.
Mortalitasnya kini berjumlah 3 juta penderita
yang setiap tahun semakin meningkat. Hampir dua pertiga dari penderita TB di seluruh
dunia ada di kawasan Asia Pasifik. Sisanya banyak ada di sub-Sahara (Afrika), terutama sebagai infeksi-multiresisten
dalam kombinasi dengan AIDS (WHO 1998).
Di negara Barat TB hampir punah seluruhnya sesudah dilakukan pengobatan dan
vaksinasi intensif pada tahun 1950-an. Namun
pada dasawarsa terakhir timbul kembali
bersamaan dengan meningkatnya pengidap
HIV serta terjadinya resistensi terhadap obat
TB, a.l. disebabkan oleh penyalahgunaan
antibiotika. Bentuk yang paling serius yaitu
TB multi-drug resisten. Jenis TB dengan
mortalitas tinggi ini disebabkan oleh kumankuman yang resisten terhadap dua obat
utama (rifampisin dan isoniazida) dan sangat
sukar pengobatannya.
Walaupun Robert Koch telah mengisolasi
bakteri tuberkel sebagai penyebab dari TB
(1882), ada sebagian orang yang memandang
penyebabnya dalam konteks yang lebih luas.
Salah satunya yang terkenal yaitu René Dubos (1901-82) walaupun dia sarjana mikrobiologi, beranggapan bahwa TB yaitu
suatu penyakit masyarakat dan harus ada
pengertian bahwa imbas faktor sosial dan
ekonomi terhadap seorang juga harus diperhitungkan sama seperti mekanisme merusaknya bakteri tuberkel terhadap tubuh manusia.
Dalam dekade-dekade sesudah penemuan
bakteri TB dan dimulainya pengobatan dengan obat-obat antiTB, angka kematian karena tuberkulosis menurun drastis di negaranegara industri. Menurut Dubos penurunan
ini terutama disebabkan oleh kebijakan
sosial yang memperbaiki standar kehidupan
keseluruhannya. Kesimpulannya walaupun
TB yaitu penyakit infeksi, tetapi juga –
sampai hari ini– yaitu ekspresi biologis
dari ketimpangan sosial.
PENULARAN
Penyakit TB ditularkan dari orang ke orang,
terutama melalui saluran napas dengan
menghisap atau menelan percikan ludah/
dahak (droplet infection) yang mengandung
basil dan dibatukkan oleh penderita TB
terbuka. Atau juga karena adanya kontak
antara tetes ludah/dahak tersebut dan luka
di kulit. Dalam percikan ludah ini kuman
dapat hidup beberapa jam dalam udara
panas lembap, dalam nanah bahkan beberapa
hari. Untuk membatasi penyebaran perlu
sekali diperiksa semua anggota keluarga dekat yang erat hubungannya dengan penderita. Dengan demikian penderita baru dapat
dideteksi pada waktu dini.
Ada banyak kesalahfahaman mengenai daya penularan penyakit TB. Umumnya terda-pat anggapan bahwa TB bersifat sangat menular, tetapi pada hakikatnya bahaya infeksi
relatif tidak begitu besar dan dapat disamakan
dengan penularan penyakit infeksi saluran
pernapasan lainnya, seperti selesma dan
influenza. Akan tetapi bahaya semakin meningkat, karena sering kali seseorang tidak
diketahui sudah menderita TB (terbuka) dan
dapat menularkannya pada orang-orang di
sekitarnya sebelum penyakitnya terdeteksi.
PENCEGAHAN
Penularan perlu diwaspadai dengan tindakan-tindakan pencegahan seperlunya untuk
menghindari infeksi karena percikan dahak
dari seorang penderita ke orang lain. Salah
satu cara yaitu batuk dan bersin dengan
menutup mulut/hidung dengan saputangan
atau tissue yang kemudian didesinfeksi dengan lysol atau dibakar. Juga harus menjaga
jarak bila berbicara dengan seorang penderita. Saluran udara ruangan yang baik dapat
memperkecil bahaya penularan.
Anak-anak di bawah usia satu tahun dari
keluarga yang menderita TB perlu divaksinasi
BCG sebagai pencegahan, bersamaan dengan
pemberian isoniazida 5-10 mg/kg selama 6
bulan (kemoprofilaksis),lihat di bawah.
Reaksi Mantoux (reaksi tuberkulin, 1907)
dilakukan untuk menentukan belum atau
sudahnya seseorang terinfeksi basil TB.
Reaksi ini dilakukan dengan penyuntikan
tuberkulin intradermal, yaitu filtrat dari pembiakan basil yang mengandung produk
pemisahannya yang khas.
Reaksi positif tampak sebagai kemerahmerahan setempat dan menunjukkan ada nya antibodies terhadap basil TB di dalam darah. Hal ini berarti bahwa yang bersangkutan pernah mengalami infeksi primer
atau telah divaksinasi dengan BCG. Antibodi
tersebut telah menjadikannya kebal terhadap
infeksi baru. Orang dengan reaksi tuberkulin
positif harus diperiksa lebih lanjut sputum
dan paru-parunya melalui sinar Röntgen.
Hasil tuberkulin skin test lebih dari 15 mm
menunjukkan risiko besar mendapatkan penyakit ini dan perlu menjalani pengobatan
profilaktik untuk menghindari timbulnya TB
aktif.
Pengobatan profilaktik bagi orang dewasa
terdiri dari oral tiap hari 300 mg isoniazida
atau dua kali seminggu selama 6 bulan. Bagi penderita yang tidak tahan terhadap isoniazida harus diberikan 10 mg/kg rifampisin
tiap hari selama 4 bulan.
Reaksi negatif berarti bahwa yang bersangkutan belum pernah mengalami infeksi
primer dan lebih mudah diserang TB daripada orang dengan reaksi positif.
Vaksin BCG (Basil Calmette-Guérin). Daya
tahan orang dengan reaksi tuberkulin negatif
dapat diperkuat melalui vaksinasi dengan
vaksin BCG. Vaksin ini mengandung basil TB
sapi yang telah dihilangkan keganasannya
(virulensi) sesudah dibiakkan di laboratorium
selama bertahun-tahun. Vaksinasi meninggalkan tanda bekas luka yang nyata, biasanya
di lengan-bawah dan memberikan kekebalan
selama 3-6 tahun terhadap infeksi primer dan
efektif untuk rata-rata 70%. Vaksin BCG terutama efektif untuk menghindari TB miliar
dan TB meningitis. Bayi di daerah dengan
insidensi TB tinggi sering kali secara rutin diimunisasi dengan BCG.
Efektivitas vaksin BCG yaitu kontroversial, walaupun sudah dipakai lebih dari
50 tahun di seluruh dunia. Hasilnya sangat
bervariasi; beberapa penelitian baru menunjukkan perlindungan terhadap lepra, tetapi
sama sekali tidak terhadap TB.
Vaksin BCG diberikan intradermal 0,1 ml
bagi anak-anak dan orang dewasa; bayi 0,05
ml.
Kemoprofilaktik terutama dilakukan dengan
isoniazida. Anak-anak di bawah usia empat
tahun dari keluarga penderita TB dan mereka
yang berisiko besar terhadap infeksi dapat
diberikan isoniazida selama 6 bulan secara
kontinu sebagai profilaksis. Bila ada
intoleransi dapat diganti dengan rifampisin,
maksimal 6 bulan. Di samping itu dilakukan
juga imunisasi dengan BCG.
Untuk profilaksis terhadap infeksi M. avium,
dianjurkan monoterapi dengan antibiotik
makrolida azitromisin (1 x seminggu 1200
mg a.c.)
PENGOBATAN
Dahulu TB sukar sekali disembuhkan, karena
belum ada obat yang dapat memusnahkan
Mycobacterium. Basil ini lambat sekali pertumbuhannya dan sangat ulet, karena dinding selnya mengandung kompleks lipidaglikolipida serta lilin (wax), yang sulit ditembus zat kimia.
Sebagian dari basil ini juga dapat bersembunyi di dalam sel-sel penderita dan melindungi diri dengan membentuk suatu rintangan (barrier) kimiawi yang yaitu
hambatan kedua terhadap obat TB.
Mycobacteri tidak mengeluarkan enzim
ekstraseluler maupun toksin. Penyakit berkembang karena kuman mampu memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit dan tahan
terhadap enzim-enzim pencernaan.
Terapi kuno hanya terbatas pada penanggulangan gejala penyakit (terapi simtomatik).
Pengobatan dapat dibantu dengan istirahat
lengkap (bedrest, sanatorium) dan diet sehat.
Dianjurkan mengonsumsi banyak lemak dan
vitamin A untuk membentuk jaringan lemak baru yang dapat menyelubungi kuman
(encapsulate) dan meningkatkan daya tahan
tubuh.
Terapi modern menggunakan tuberkulostatika dan pada umumnya pasien dapat
dirawat jalan (ambulan). Sebagian penderita
malahan dapat bekerja sebagaimana biasa.
Biasanya sesudah 4-6 minggu tidak ada bahaya infeksi lagi, walaupun sering kali di
dalam sputumnya masih ada basil TB.
Ada dua kelompok obat yang dipakai
terhadap tuberkulosis, yaitu yang disebut
first line anti-TB, seperti isoniazida, pirazinamida, rifampisin, etambutol dan streptomisin. Masih dalam penelitian lanjutan
sebagai obat first-line yaitu moksifloksazin.
Obat-obat dari kelompok ini lebih efektif
dan penerimaannya lebih baik dari obatobat kelompok second line seperti PAS,
etionamida, sikloserin, amikasin, kanamisin
dan kapreomisin, yang baru diberikan bila
obat-obat dari kelompok pertama menimbulkan resistensi atau penderita tidak tahan
terhadap obat-obat ini.
Resistensi terutama akan timbul pada penggunaan dari hanya satu jenis obat TB (monoterapi) tetapi peluang timbulnya resistensi
akan lebih kecil bila dipakai lebih dari dua
jenis obat.
Oleh karena itu dianjurkan pemakaian
multi-drug terapi yang juga akan mempersingkat jarak waktu pengobatan.
Pengobatan TB paru terdiri dari dua tingkat,
yaitu fasa terapi intensif dan fasa pemeliharaan.
a. Fasa intensif yaitu terapi dengan
isoniazida yang dikombinasi dengan rifampisin dan pirazinamida selama 2 bulan. Untuk menghindari resistensi ditambahkan pula etambutol.
b. Fase pemeliharaan menggunakan isoniazida bersama rifampisin selama 4 bulan lagi, sehingga seluruh masa pengobatan mencakup 6 bulan. Telah dibuktikan
bahwa kur singkat ini sama efektifnya
dengan kur lama dari 2 + 7 bulan. Persentase residifnya juga kurang lebih sama
(1%) Untuk mengurangi efek samping
dari isoniazida (neuropati) juga diberikan
piridoksin (10-50 mg sehari), terutama bagi
a.l. lansia, penderita dengan gizi buruk,
wanita hamil dan penderita diabetes untuk menghindari timbulnya gangguan
saraf (neurological toxicity).
PengobatanTB tulang harus lebih lama (9
bulan) dan untuk meningitis-TBC selama 1
tahun. Obat yang dipakai sama seperti
untuk TB paru dengan penambahan
pirazinamida hanya untuk 2 bulan
pertama. Obat-obat yang di-gunakan
terhadap kuman M. tuberculosis resisten
yaitu kapreomisin, sikloserin, klaritromisin, azitromisin, siprofloksasin, oflosoksasin, ethionamida, kanamisin dan amikasin.
Terapi kombinasi berefek potensiasi, karena
obat-obat bekerja di titik tangkap berlainan,
lagi pula menghindari terjadinya resistensi.
Dengan cara ini sebagian besar penderita dapat diobati secara efektif. Semua kuman termasuk basil yang berada intraseluler juga
dimusnahkan. Kombinasi tersebut juga sangat praktis, karena dapat diberikan serentak dalam dosis tunggal 1 kali sehari dengan
efek samping ringan. Terapi kombinasi yang terdiri dari isoniazida, pirazinamida dan rifampisin yaitu dasar dari terapi singkat
(short-course therapy).
Kesetiaan minum obat. Terapi perlu dilakukan sekian lama untuk memusnahkan
seluruh “sumber infeksi” dan kuman yang
berada dalam keadaan «tidur» intraseluler
(dormant) untuk menghindari kambuhnya
penyakit. Tetapi faktor terpenting untuk berhasilnya pengobatan yaitu kesetiaan terapi dari penderita untuk secara teratur dan
terus-menerus minum obatnya selama 6
bulan. Sering kali penderita yang berobat
baru separuh jalan sudah merasa sembuh
sehingga mengabaikan kewajiban menyelesaikan kur. Kurangnya patient compliance tersebut yaitu sebab utama gagalnya
pengobatan bagi 5% dari jumlah penderita.
Lagi pula hal ini mengakibatkan basil TB
menjadi kebal terhadap obat.
Untuk meningkatkan kepatuhan minum
obat telah didirikan klinik-klinik khusus
untuk tujuan ini dengan supervisi langsung
serta pemberian insentif. Program ini disebut
Directly Observed Therapy Short Course (DOTS)
dan telah diterapkan di negara kita sejak tahun
1995.
*Terapi infeksi MAI yang multiresisten
pada pasien AIDS dapat dilakukan efektif
dengan makrolida klaritromisin (2 dd 0,5
g), rifampisin (10 mg/kg/hari) dan etambutol
(25 mg/kg/hari). Kombinasi ini bekerja
sinergistik.
Obat TB umumnya dibagi dalam obat-obat
primer dan obat-obat sekunder.
a. Obat primer: INH, rifampisin, pirazinamida dan etambutol. Obat-obat ini
paling efektif dan paling rendah toksisitasnya, tetapi menimbulkan resistensi
dengan cepat bila dipakai sebagai obat
tunggal. Maka terapi selalu dilakukan
dengan kombinasi dari 3-4 obat. Sukusuku yang sekaligus kebal terhadap dua
atau lebih jenis obat sangat jarang terjadi. Yang paling banyak dipakai adalah kombinasi INH, rifampisin dan pirazinamida.
b. Obat sekunder: streptomisin, klofazimin,
fluorkinolon dan sikloserin. Obat ini memiliki kegiatan yang lebih lemah dan
bersifat lebih toksik, oleh karena itu hanya
dipakai bila ada resistensi atau
intoleransi terhadap obat primer, juga
terhadap infeksi MAI pada pasien HIV.
Fluorkinolon (siprofloksasin, ofloksasin,
moksifloksasin, dan lain-lain) bekerja sebagai bakterisida berdasar penghambatan DNA-gyrase kuman. Obat ini berperan penting pada TB multi-resisten;
aktivitasnya dapat disamakan dengan
INH.
pemakaian obat TB harus berhati-hati
pada penderita gangguan fungsi hati dan
ginjal.
Kehamilan dan laktasi. Wanita hamil yang
menderita TB aktif dapat diobati dengan
isoniazida, rifampisin dan pirazinamida.
Etambutol juga dapat dipakai dalam
keadaan tertentu. Streptomisindan amikasin
dilarang pemakaian nya karena risiko ketulian pada janin. Data dari obat TB sekunder
terhadap kehamilan masih belum lengkap.
Perlu juga diperhatikan bahwa kebanyakan
tuberkulostatika masuk ke dalam air susu
ibu. Namun bayi dapat diberi susu ibu tanpa
ada keberatan.
MONOGRAFI
1. Etambutol: Myambutol
Derivat etilendiamin ini (1961) berkhasiat
spesifik terhadap M. tuberculosa dan M.
atipis (termasuk MAI), tetapi tidak terhadap
bakteri lain. Daya kerja bakteriostatiknya
sama kuatnya dengan INH, tetapi pada dosis
terapi kurang efektif dibandingkan obat-obat
primer. Mekanisme kerjanya berdasar
penghambatan sintesis RNA pada kuman
yang sedang membelah, juga menghalangi
terbentuknya mycolic acid pada dinding sel
yang lebih dari 60% terdiri dari lipid.
Resorpsinya baik (75-80%) dan mudah
memasuki eritrosit, yang berfungsi sebagai
depot yang lambat-laun melepaskan obat
kembali ke plasma. Penetrasinya ke CCS
buruk. PP-nya 20-30%, plasma-t½-nya 3-4 jam
dan dapat meningkat sampai ±8 jam pada
gangguan ginjal. Ekskresinya lewat ginjal
(80%) yang sebagian dalam bentuk utuh dan
15% sebagai metabolit non-aktif.
Efek samping yang terpenting yaitu neuritis optica (radang saraf mata) yang mengakibatkan gangguan penglihatan, a.l. kurang tajamnya penglihatan dan buta warna
terhadap warna merah dan hijau. Reaksi
toksik ini baru timbul pada dosis besar (di
atas 50 mg/kg/hari) dan bersifat reversibel
bila pengobatan segera dihentikan, tetapi
dapat menimbulkan kebutaan bila pemberian
obat dilanjutkan. Sebaiknya jangan diberikan
pada anak kecil, karena kemungkinan gangguan penglihatan sulit dideteksi. Dianjurkan
untuk memeriksakan mata secara periodik, terutama kepekaannya terhadap warna.
Etambutol juga meningkatkan kadar
asam urat dalam plasma akibat penurunan
ekskresinya oleh ginjal.
Kehamilan: dapat diberikan pada wanita
hamil. Etambutol masuk ke dalam air susu
ibu.
Dosis: oral sekaligus 20-25 mg/kg/hari
(garam di-HCl), selalu dalam kombinasi
dengan INH. I.v.(infus) 1 dd 15 mg/kg dalam
2 jam.
2. Isoniazida (F.I.): INH
Derivat asam isonikotinat ini (1952)
berkhasiat tuberkulostatik paling kuat
terhadap M. tuberculosis (dalam fase istirahat)
dan bersifat bakterisid terhadap basil yang
sedang tumbuh pesat. Aktif terhadap kuman
yang berada intraseluler dalam makrofag
maupun di luar sel (ekstraseluler). Obat ini
praktis tidak aktif terhadap bakteri lain.
Isoniazida masih tetap yaitu obat
kemoterapi terpenting terhadap berbagai
jenis tuberkulosa dan selalu dipakai sebagai multiple terapi dengan rifampisin
dan pirazinamida. Struktural senyawa ini
berkaitan dengan pirazinamida.
Profilaktik dipakai sebagai obat tunggal
bagi mereka yang berhubungan dengan pasien TB terbuka.
Mekanisme kerjanya berdasar terganggunya sintesis mycolic acid, yang diperlukan
untuk membangun dinding bakteri. Senyawa
ini memasuki sel bakteri melalui difusi pasif
dan baru akfif sesudah diaktivasi oleh enzim
katalasa-peroksidase.
Resorpsi dari usus sangat cepat; difusi ke
dalam jaringan dan cairan tubuh baik sekali,
bahkan dapat menembus jaringan yang sudah mengeras. Penetrasi yang cepat ini sangat penting dalam pengobatan tuberculous
meningitis.
Di dalam hati INH diasetilasi oleh enzim
asetiltransferase menjadi metabolit inaktif. PPnya ringan sekali, plasma-t½-nya antara 1 dan
4 jam tergantung pada kecepatan asetilasi.
Ekskresi terutama melalui ginjal (75-95%
dalam 24 jam) dan sebagian besar sebagai
asetilisoniazida.
Efek samping pada dosis normal (200-300
mg sehari) jarang terjadi dan ringan (gatalgatal, ikterus), tetapi lebih sering timbul
bila dosis melebihi 400 mg. Yang terpenting yaitu polineuritis, yakni radang saraf
dengan gejala kejang dan gangguan penglihatan. Penyebabnya yaitu persaingan dengan piridoksin yang rumus kimiawinya
mirip INH. Perasaan tidak sehat, letih dan
lemah, serta anoreksia juga sering kali timbul.
Untuk menghindari efek samping ini biasanya diberikan piridoksin (vitamin B6) 10 mg
sehari bersama vitamin B1 (aneurin) 100 mg.
Kadangkala terjadi kerusakan hati dengan
hepatitis dan ikterus yang fatal, khususnya
pada orang pengasetilir-lambat (slow-acetylators) terutama bila dikombinasi dengan
rifampisin. Kecepatan proses asetilasi yang
memengaruhi kadar obat dalam plasma dan
masa paruhnya, tergantung dari banyaknya
asetiltransferase yang genetik pada masingmasing orang berbeda.
Perlu diwaspadai bila dipakai oleh
penderita gangguan fungsi ginjal/hati dan
mereka yang berusia di atas 45 tahun, karena
risiko timbulnya efek samping meningkat
sesuai usia. Dianjurkan periodik memantau
pasien yang menjalani terapi dengan obat ini
terhadap gejala hepatitis (anoreksia, keletihan,
mual dan ikterus).
Antasida yang mengandung aluminium
dapat mengganggu absorpsi INH.
Resistensi dapat timbul agak cepat bila di-
gunakan sebagai obat tunggal, tetapi resistensi silang dengan obat TB lainnya tidak
terjadi.
Dosis: oral/i.m. dewasa dan anak-anak 1 dd
4-8 mg/kg/hari atau 1 dd 300-400 mg, atau
sebagai dosis tunggal bersama rifampisin, pagi
hari sebelum makan atau sesudah makan bila
terjadi gangguan lambung.
Profilaktik: 5-10 mg/kg/hari.
3. Pirazinamida: pirazinkarboksamida, Prazina,
Pezeta
Analogon pirazin dari nikotinamida ini
(1952) bekerja sebagai bakterisid (pada
suasana asam: pH 5-6) atau bakteriostatik,
tergantung pada pH dan kadarnya di dalam
darah. Spektrum kerjanya sangat sempit dan
hanya meliputi M.tuberculosis.
Mekanisme kerjanya berdasar pengubahannya menjadi asam pirazinat oleh enzim pyrazinamidase yang berasal dari basil
TB. sesudah pH dalam makrofag menurun,
maka kuman yang berada di “sarang” infeksi yang menjadi asam akan mati. Khasiatnya diperkuat oleh INH. Obat ini khusus dipakai pada fase intensif; pada fasa
pemeliharaan hanya bila ada multiresistensi.
Resorpsi cepat dan hampir sempurna;
kadar maksimal dalam plasma sudah dicapai
dalam 1-2 jam. PP-nya ±50%, plasma-t½-nya
9-10 jam. Distribusi ke jaringan dan cairan
serebrospinal baik, oleh karena itu dipakai
terhadap meningitis tuberkulosa. Ekskresi
lewat urin 70%, sebagian utuh dan sebagian
besar sebagai produk hidrolisisnya, yaitu
asam pirazinat.
Efek samping yang sering kali terjadi dan
berbahaya yaitu kerusakan hati dengan
ikterus (hepatotoksik), terutama pada dosis
di atas 2 g sehari. Pengobatan harus segera
dihentikan bila ada tanda-tanda kerusakan hati. Pada hampir semua pasien, pirazinamida menghambat pengeluaran asam
urat sehingga meningkatkan kadarnya dalam
darah (hiperuricemia) dan menimbulkan serangan encok (gout). Obat ini juga dapat
menimbulkan gangguan saluran cerna, fotosensibilisasi dengan reaksi kulit (menjadi
merah-cokelat), artralgia, demam, malaise
dan anemia, juga menurunkan kadar gula
darah.
Resistensi dapat timbul dengan cepat bila
sebagai monoterapi.
Dosis: oral 1 dd 30 mg/kg selama 2-4 bulan,
maksimal 2 g sehari, pada meningitis TB 50
mg/kg/hari.
4. Rifampisin: Rifadin, Rimactane
Antibiotikum ini yaitu derivat semisintetik dari rifamisin B (1965) yang dihasilkan
oleh Streptomyces mediterranei, suatu jamur
tanah yang berasal dari Prancis Selatan. Zat
yang berwarna merah-bata ini bermolekul
besar dengan banyak cincin (makrosiklis).
Rifampisin berkhasiat bakterisid luas terhadap fase pertumbuhan M.tuberkulosae dan
M.leprae, baik yang berada di luar maupun
di dalam sel. Juga membunuh kuman yang
«dormant» selama fase pembelahannya yang
singkat. Oleh karena itu sangat penting untuk
membasmi semua basil untuk mencegah
kambuhnya TB.
Rifampisin juga aktif terhadap kuman
Gram-positif lain dan kuman Gram-negatif
(a.l. E.coli, Klebsiella, suku-suku Proteus
dan Pseudomonas), terutama terhadap stafilokoki, termasuk yang resisten terhadap
penisilin. Terhadap kuman terakhir, aktivitasnya agak lemah. Mekanisme kerjanya
berdasar perintangan spesifik dari suatu
enzim bakteri RNA-polymerase, sehingga
sintesis RNA terganggu. Juga efektif sebagai
profilaktik terhadap infeksi meningoccus dan
H.influenza meningitis.
pemakaian pada terapi TB paru sangat
dibatasi oleh harganya yang cukup mahal.
Manfaat utamanya terletak pada terapi yang
dapat dipersingkat dari ±2 tahun hingga
6-12 bulan. Rifampisin juga yaitu obat
pilihan pertama terhadap lepra (lihat Bab
10, Leprostatika) dan sebagai obat pencegah
infeksi meningococci pada orang yang berhubungan dengan pasien meningitis. Begitu
pula sangat efektif terhadap gonore (± 90%).
Resorpsi di usus sangat kuat; distribusi ke
jaringan dan cairan tubuh juga baik, termasuk
CCS. Hal ini nyata sekali pada pewarnaan
jingga/merah dari air seni, tinja, ludah, keringat dan air mata. Lensa kontak (lunak) juga
dapat berwarna permanen. Efek ini juga
timbul pada pemakaian rifabutin. Plasma-t
½-nya berkisar antara 1,5 sampai 5 jam dan
meningkat bila ada gangguan fungsi hati. Di
lain pihak masa paruh akan turun pada pasien
yang bersamaan waktu menggunakan INH.
Di hati terjadi desasetilasi dengan terbentuknya metabolit-metabolit dengan kegiatan
antibakteri. Ekskresinya khusus melalui empedu, sedangkan lewat ginjal berlangsung fakultatif.
Efek samping yang terpenting tetapi tidak
sering terjadi yaitu penyakit kuning (icterus), terutama bila dikombinasi dengan
INH yang juga agak toksik bagi hati. Pada
pemakaian lama dianjurkan untuk memantau fungsi hati secara periodik. Obat ini juga
agak sering menyebabkan gangguan saluran
cerna seperti mual, muntah, sakit ulu hati,
kejang perut dan diare, begitu juga gangguan
SSP dan reaksi hipersensitasi.
Interaksi. Melalui induksi enzim dalam
hati, rifampisin mempercepat perombakan
obat lain bila diberikan bersamaan waktu.
Akibatnya BA menurun, misalnya dari klaritromisin dan penghambat protease (obat
AIDS). Kadar darah dari obat-obat ini bisa
menurun sampai 80%, yang dapat mengakibatkan timbulnya resistensi cepat terhadap
HIV. Obat lain yang dipercepat metabolismenya yaitu antikoagulansia, sehingga dosisnya harus dinaikkan. Pil antihamil menjadi tidak terjamin lagi efeknya, karena rifampisin mempercepat katabolisme dari berbagai zat steroid. Resistensi dapat terjadi dengan agak cepat.
Kehamilan. Pada umumnya rifampisin dapat
diberikan pada wanita hamil. pemakaian
pada minggu-minggu terakhir kehamilan dapat menimbulkan perdarahan postnatal pada
ibu dan bayi. Untuk pencegahannya dapat
diberikan fitomenadion (vitamin K). Rifampisin
dikeluarkan melalui air susu ibu, tetapi ibu
diperbolehkan menyusui bayinya.
Dosis: pada TB oral 1 dd 450-600 mg sekaligus pagi hari sebelum makan, karena kecepatan dan kadar resorpsi dihambat oleh isi
lambung. Selalu diberikan dalam kombinasi dengan INH 300 mg dan untuk 2 bulan
pertama juga ditambah dengan 1,5-2 g
pirazinamida setiap hari.
Pada gonore: oral 1 dd 900 mg sekaligus selama 2-3 hari; pada infeksi lain 2 dd 300 mg a.c.
Profilaksis pada meningitis 2 dd 10 mg/kg/
hari selama 2 hari.
* Rimactazid 225/200 = rifampisin 225 + INH
200 mg
* Rimactazid 450/300 = rifampisin 450 + INH
300 mg
* Rimcure3-FDC = rifampisin 150 + INH 75 +
pirazinamida 400 mg
* Rimstar 4-FDC = rifampisin 150 + INH 75
+ pirazinamida 400 + etambutol 275 mg
* Rifabutin (Mycobutin) yaitu turunan (1995)
dengan khasiat dan sifat mirip rifampisin.
Obat ini terutama dipakai pada pasien
HIV-positif bila ada (multi)resistensi
untuk obat lain dan selalu dikombinasi dengan minimal 2 obat TB lainnya. Dengan rifampisin ada resistensi silang. Rifabutin
dipakai profilaktik dan terapi infeksi MAC
pada pasien dengan sistem imun menurun,
misalnya pada penderita AIDS. Infeksi demikian sulit terapinya. Untuk profilaktik
MAC yaitu efektif kombinasi rifabutin + azitromisin, dan kombinasi rifabutin + etambutol
+ klaritromisin. (MAC terdiri dari minimal dua
jenis, yakni M.intracellulare dan M.avium yang
ada di dalam air, tanah dan makanan).
Efek samping yang paling sering terjadi
mirip rifampisin dan terdiri dari gangguan
pencernaan, reaksi kulit, kelainan darah dan
hati, adakalanya gejala influenza (demam,
nyeri otot). Berlainan dengan rifampisin,
rifabutin dapat menimbulkan artritis dan
artralgia.
Kombinasi rifabutin/rifampisin dengan
klaritromisin dan penghambat protease (indinavir, ritonavir, saquinavir) sangat meningkatkan kadar rifabutin/rifamisin di dalam darah
dengan peningkatan toksisitasnya. Oleh karena itu dosis rifabutin (c.q. rifampisin) harus
diparuh.
Dosis: TB MAC oral 1 dd 300-600 mg dalam
kombinasi dengan 2 dd 0,5 g klaritromisin
dan etambutol 1 dd 150 mg. Profilaktik MAC:
1 dd 300 mg.
5. Streptomisin (F.I.)
Streptomisin, suatu aminoglikosid, diperoleh dari Streptomyces griseus (Waksman dan Schatz, 1944), sedangkan kanamisin dari
Str. kanamyceticus. Senyawa ini berkhasiat
bakterisid terhadap banyak kuman Gramnegatif dan Gram positif, termasuk M.tuberculosa dan beberapa M.atipis. Streptomisin
khusus aktif terhadap mycobacteria ekstraseluler yang sedang membelah aktif dan
pesat (misalnya di dalam caverne). Mekanisme
kerjanya berdasar penghambatan sintesis
protein kuman melalui pengikatan pada
RNA ribosomal. Antibiotik ini toksik untuk
organ pendengaran dan keseimbangan. Oleh
karena itu jangan dipakai untuk jangka waktu lama, karena efek neurotoksiknya
terhadap saraf cranial ke-8 dapat menimbulkan
ketulian permanen.
Resorpsinya di usus buruk sekali, maka
hanya diberikan sebagai injeksi i.m. Sejak
adanya obat-obat ampuh lain, pemakaian
streptomisin untuk TB paru telah jauh berkurang. Obat ini masih dipakai bersamaan dengan tiga obat lainnya terhadap TB otak
yang sangat parah (meningitis).
Dosis: i.m. 1 dd 0,5-1 g tergantung dari
usia (garam sulfat) selama maksimal 2 bulan.
Lihat selanjutnya Bab 5, Antibiotika.
* Kanamisin (Kanoxin) yaitu derivat (1958)
dengan khasiat dan sifat yang sama dengan
streptomisin. Obat ini jarang dipakai lagi
pada TB.
Dosis: i.m./i.v. 15 mg/kg dalam 2-3 kali
(garam sulfat) setiap hari atau 2-4 x seminggu,
maksimal 1 g sehari.
* Kapreomisin (Capastat) diperoleh dari
Streptomyces capreolus (1960). Bekerja sebagai
obat anti-TB second line bila terapi lain
tidak berhasil. Mekanisme kerja dan efek
sampingnya sama dengan aminoglikosida
lain.
Efek samping: gangguan terhadap saraf otak
ke-8 (hilangnya pendengaran, mungkin lebih
ringan daripada derivat lainnya), tinnitus,
juga toksik untuk ginjal dan hati, eosinofilia
dan lekopenia.
Dosis: injeksi 1 g sehari (tidak melebihi 20
mg/kg) selama minimal 6 bulan.
6. Obat-obat TB lainnya
Obat cadangan tersebut di bawah ini hanya
dipakai bila obat TB primer kurang efektif,
ada resistensi atau hipersensitasi.
a. PAS: para-aminosalicylic acid.
Senyawa ini yaitu obat pertama yang
efektif terhadap TB (Lehman, 1943). Berkhasiat
bakteriostatik sangat lemah terhadap
Mycobacteria, maka pemakaian nya sebagai
obat TB sudah terdesak oleh obat-obat
tersebut di atas yang jauh lebih kuat, kurang
toksik dan lebih baik penerimaannya oleh
pasien. Obat yang menggantikan PAS dalam
terapi TB yaitu terutama etambutol.
b. Etionamida: Trecator
Turunan dari tioisonikotinamida ini juga
menghambat biosintesis asam mikolik sehingga memperburuk sintesis dinding sel
bakteri.
Efek samping utamanya terdiri dari gangguan saluran cerna, mual, muntah dan gangguan neurologik. Terhadap gejala terakhir ini
dianjurkan pengobatan dikombinasi dengan
piridoksin.
Dosis: hanya dipakai peroral dengan
dosis awal 2 dd 250 mg dan dinaikkan dengan
125 mg per hari selama 5 hari sampai tercapai
dosis 15-20 mg/kg/hari; dosis maksimal 1
gram per hari. Diminum sesudah makan untuk
mengurangi rangsangan terhadap lambung.
c. Klofazimin: Lampren
Derivat fenazin ini (1967) berkhasiat bakterisid terhadap basil lepra dan TB/avium,
juga yang multiresisten. Obat ini terutama
dipakai pada infeksi dengan M. leprae.
Lihat selanjutnya Bab 10, Obat-obat lepra.
Dosis: oral 2-3 dd 100 mg bersama dengan
dapson atau dengan 2-3 obat TB lainnya.
d. Sikloserin: Seromycin
Antibiotik berspektrum luas ini diperoleh
dari Streptomyes orchidaceous. Efektif terhadap
M.tuberculosis, MAC, E.coli, S.aureus dan
Chlamydia. Terutama dipakai bersama
obat TB lain, bila obat-obat primer kurang
berhasil. Mekanisme kerjanya menghambat
sintesis dinding bakteri melalui persaingan
inkorporasi d-alanin.
Efek samping terdiri dari gejala neuropsikiatrik, kejang-kejang (terutama bila menggunakan minuman beralkohol), oleh sebab itu sikloserin tidak boleh diberikan bagi penderita epilepsi dan yang mengalami depresi.
Obat ini dapat berkumulasi sampai kadar
toksik pada penderita gangguan ginjal.
Dosis: peroral 2 dd 250-500 mg.
e. Moksifloksasin: Avelox, Megaxin.
Fluorkinolon berspektrum luas ini (2003)
pada awalnya dipakai terhadap infeksi
saluran pernapasan, kemudian juga terhadap
TB. Masih dalam taraf perkembangan yaitu
kombinasinya dengan rifampisin. Diperkirakan dapat mempersingkat terapi dengan
beberapa bulan dan mengatasi masalah resistensi. Juga mengurangi efek samping dari
obat-obat TB terdahulu.
Efek samping : sering kali gangguan urat
(tendon, Achilles). Juga sendi bengkak dan
nyeri, terutama pada lansia di atas 60 tahun.
Dosis: 1 dd 400 mg tablet atau melalui infus.
f. Kapreomisin: Capastat
yaitu antimikobakterial yang terdiri
dari 4 senyawa aktif dan bekerja sebagai obat
anti-tuberkulosa second line. Mekanisme
kerja dan efek sampingnya sama dengan zatzat aminoglikosida seperti kanamisin dan
neomisin.
Efek samping: gangguan terhadap saraf
otak ke VIII, seperti hilangnya pendengaran,
tinnitus, juga eosinofilia dan lekopenia.
Dosis: 1 g sehari (tidak melebihi 20 mg/kg)
selama 60-120 hari, disusul dengan 2-3 kali
seminggu 1 g
Lepra atau kusta (Sansekerta) yaitu suatu
penyakit infeksi kronis yang merusak terutama jaringan saraf dan kulit. Penyebab
lepra yaitu Mycobacterium leprae ditemukan
oleh seorang dokter Norwegia Hansen (lahir
1873, wafat 1912), maka lepra juga disebut
penyakit Hansen. Basil lepra memiliki sifat
mirip dengan basil TB, yakni sangat ulet
karena mengandung banyak lilin (wax)
yang sukar ditembus obat, tahan-asam dan
pertumbuhannya lambat sekali.
G. H. A. Hansen (29 July 1841 – 12
February 1912) Discoverer of M. leprae
Penularan pada umumnya terjadi dalam
bentuk lepra multibasiler (lihat di bawah)
pada usia anak-anak melalui percikan ludah
di saluran pernapasan (batuk, bersin, ingus)
dan terutama melalui kontak yang erat dan
lama. Penyakit ini lebih banyak timbul pada
pria dibandingkan dengan wanita. Juga diperkirakan bahwa faktor keturunan turut
berperan. Lepra khususnya menyerang orang
yang sistem imunnya tidak aktif atau lemah
(immunodeficient). Penelitian baru menunjukkan bahwa 5-10% dari semua penduduk di
suatu daerah kusta telah terinfeksi M. leprae.
Hal ini dapat mudah ditentukan dengan
carik celup kapas yang dimasukkan ke dalam
liang hidung dan lalu diperiksa di laboratorium untuk mengetahui keberadaan basil
kusta. Berhubung masa inkubasinya panjang, rata-rata 2-5 tahun, bahkan adakalanya
sampai 10 tahun lebih, penyakit ini baru
diketahui dengan pasti sesudah 5-6 tahun.Hal
ini berarti bahwa daya penularannya sangat
besar, meskipun pada dasarnya kusta yaitu
penyakit yang memiliki derajat penularan
rendah.
ada NYA
Sejak 1985 jumlah kasus baru kusta setiap
tahun di dunia menurun secara spektakuler
(kira-kira 90%). Penurunan telah dimulai pada
tahun 1980-an saat WHO menyelenggarakan
terapi kombinasi (Multidrug Therapy, MDT)
yang dalam 2 tahun dapat menyembuhkan
kusta secara tuntas. Multidrug therapy ini terdiri dari tiga obat yakni rifampisin, dapson
dan klofazimin yang sejak1995 diberikan oleh
WHO secara gratis kepada penderita di seluruh dunia dan yaitu suatu terapi yang
sederhana tetapi sangat efektif untuk semua
bentuk lepra.
WHO pada tahun 1991 telah menerbitkan
resolusi untuk menghapus lepra dari dunia
pada tahun 2000. Eliminasi didefinisikan se-
bagai ada kurang dari satu pasien dalam
10.000 penduduk di suatu kawasan. Masalah
yang memprihatinkan yaitu walaupun prevalensi (jumlah pasien yang sedang diobati)
menurun drastis, namun insidensinya tidak
menurun melainkan terlihat meningkat. Maka target WHO tersebut di atas oleh banyak
ahli dianggap terlalu optimistis dan ambisius.
Prevalensi. Menurut laporan resmi dari
WHO pada akhir kwartal pertama tahun
2013 dari 115 negara tercatat 189,018 kasus sedangkan kasus baru pada tahun 2012
ada sejumlah 232.857 dibandingkan dengan
226.626 kasus di tahun 2011. Jumlah penderita lepra di negara kita masih tinggi dan
menduduki peringkat ketiga di dunia sesudah
India dan Brazil. Dewasa ini tercatat 33.700
penderita dengan setiap tahun tercatat 17
ribu hingga 20 ribu kasus baru. Insidensi yang
tinggi ada di Jawa Timur, Papua, Sulawesi Selatan dan Maluku (Yogyakarta, Indonesia-Dutch Tropical Dermatology Meeting
2011). Penderita diobati di sejumlah rumah
sakit (leproseri) yang diawasi oleh Lembaga
Kusta DepKes. Begitu pula di perkampungan
kusta tersendiri, seperti Sumberglagah di
Jawa Timur, yang letaknya dekat gunung
Bromo.
Negara-negara lain dengan jumlah penderita lepra yang cukup tinggi yaitu Myanmar
(50.800), Nigeria dan Zaire (masing-masing
30.000), Sudan (25.000), Nepal (24.500) dan
Filipina (20.000).
Di negara Barat lepra praktis sudah diberantas sama sekali, mungkin karena ketahanan penduduknya terhadap basil lepra
lebih kuat, berkat gizi dan keadaan hidup
yang lebih baik. Tetapi bahkan di AS masih
ada pasien kusta, yakni 500 pasien di
suatu klinik Los Angeles dengan 30 pasien
baru setiap tahunnya.
BENTUK-BENTUK LEPRA
Lazimnya kusta dibagi dalam 3 bentuk klinis
dengan sifat-sifat khusus, yaitu:
a. lepra paucibacillair (LP), juga disebut
lepra tuberkuloid, yaitu bentuk terlokalisasi dengan 1-5 luka (laesio). Bentuk ini
paling sering terjadi, ± 75% dari semua
penderita, tidak bersifat menular dan agak
mudah disembuhkan. Pasien LP ternyata
masih memiliki daya tahan imunologi
yang agak baik.
Gejala utama berupa noda-noda pucat di
kulit yang hilang-rasa dan penebalan sarafsaraf yang nyeri di berbagai tempat di
tubuh, biasanya sangat nyata di cuping
telinga, muka dan kaki-tangan. Bila tidak
diobati saraf-saraf tersebut akan dirusak,
menjadi hilang rasa dan mudah terluka.
Karena luka-luka ini tidak dirasakan
oleh penderita, biasanya luka menjadi
borok serius dengan merusak jaringan.
Akibatnya yaitu cacat hebat sekunder,
terutama di telapak kaki dan jeriji tangan
yang akhirnya menjadi buntung. Basil
lepra hanya dapat dideteksi dalam jumlah
kecil (Lat. pauci- = sedikit, pelafalan
pauki) pada luka-luka LP.
b. lepra multibacillair (LM), juga disebut
lepra lepromateus (Levis and Ernst,
2005), yaitu bentuk tersebar (generalized)
yang bersifat sangat menular, lebih sukar
dan lebih lama disembuhkan. Bentuk ini
bercirikan benjol kemerah-merahan kecil
(noduli) yang penuh dengan basil (Lat.
multi- banyak), dengan hampir semua
saraf perifer terkena infeksi. Lebih sering
timbul gejala seperti demam, anemia
dan turunnya berat badan. Lagi pula
dapat timbul deformasi akibat infiltrat di
muka, kelumpuhan urat saraf muka (paresis facialis) dan mutilasi hidung karena
keruntuhan tulang rawan, yang menyebabkan pasien “berparas-singa”. Kelumpuhan dan kebutaan sering kali terjadi
pada kasus ini. Kerusakan saraf timbul
lebih lambat dibandingkan dengan LP.
Bila tidak diobati, selain saraf juga organ
dalam akan dirusak.
c. lepra borderline (LB) yaitu kombinasi
dari LP dan LM, yang dapat dibagi lagi
dalam 3 bentuk peralihan. Tergantung dari
cirinya lepra dibagi atas L. paucibacillair
borderline (LPB), L. multibacillair borderline
(LMB) dan lepra tak tertentu.
DIAGNOSIS
Perkiraan terjangkitnya penyakit lepra harus
diwaspadai bila:
* timbul bercak-bercak pada kulit yang
hilang warna pigmennya dan hilang rasa
terhadap tekanan dan suhu;
* penebalan atau pekanya urat saraf;
* ada nya basil tahan asam dari apus
kulit atau dari selaput lendir hidung yang
tidak dapat dibiakkan secara biasa.
Diagnosis definitif dicapai dengan hasil
positif melalui pembiakan basil ini pada
telapak kaki tikus. Pada semua bentuk lepra,
DNA kuman dapat dideteksi melalui reaksi
polimerase berantai untuk menentukan efektivitas pengobatan.
Reaksi-reaksi lepra
Kusta yaitu suatu penyakit kronis yang
ditandai dengan periode berkurangnya gejala (remisi), yang diselingi rentang waktu
pada mana penyakit menjadi aktif lagi.
Reaksi lepra yaitu reaksi imunologi serius
terhadap Mycobacterium leprae yang terjadi
selama pengobatan, jadi bukan disebabkan
oleh obat lepra.
Ada dua tipe reaksi lepra, yaitu:
a. tipe I (reaksi kebalikan = “reversal”)
menimbulkan eksaserbasi mendadak dari
luka-luka kulit dan saraf yang meradang
serta membengkak, terutama terjadi pada
bentuk borderline dari LP dan LM. Penyebabnya yaitu suatu reaksi imun seluler
(oleh limfosit T) terhadap antigen basil
lepra (lihat Bab 49. Imunosupressiva).
b. tipe II (erythema nodosum leprosum, ENL)
terjadi hanya pada LM sebagai reaksi
imun humoral (dari antibodi) terhadap
antigen basil lepra. Kompleks imun yang
diendapkan pada endotel pembuluh dan
saraf kulit, mengakibatkan meningkatnya
permeabilitas dinding pembuluh dan berkurangnya oksigen di jaringan. Gejalanya
berupa demam tinggi, noduli dengan ruam merah dan radang saraf.
Bila terjadi reaksi lepra tersebut, terapi tidak boleh dihentikan. Keluhan ringan (tipe
I) dapat diatasi dengan analgetika dan obat
anti radang, yang lebih serius (tipe II) dengan
imunosupresiva seperti prednisolon dan talidomida.
Talidomida bekerja antara lain sebagai
sedatif, anti radang dan imunosupresif (antiTNF) dengan mencegah produksi berlebihan
dari sitokin TNF-alfa (Tumor Necrosis Factor)
yang memegang peranan pada reaksi lepra,
selanjutnya lihat monografi talidomida di
Bab 49, Dasar-dasar imunologi. Talidomida
yang sesudah tragedi Softenon di tahun 1960-
an dilarang peredarannya di seluruh dunia,
sejak akhir 1997 diperbolehkan lagi penjualannya oleh FDA (USA) untuk indikasi ENL
ini. Tetapi pemakaian nya yang kurang
rasional di Amerika Selatan menyebabkan
terlahirnya kembali bayi-bayi dengan kaki
dan tangan cacat.
PENCEGAHAN
Tes lepromin dipakai untuk menilai apakah seseorang memiliki daya tahan yang
cukup terhadap bentuk LM. Tes diberikan
sebagai suatu injeksi intrakutan dari basil
lepra mati.
Hasil negatif berarti orang tersebut memiliki sistem imun lemah dan sangat peka terinfeksi basil lepra. Dengan vaksinasi BCG
ybs dapat dijadikan lepromin-positif (basil dari
Calmette – Guérin, lihat Bab 9, Obat-obat TB).
Pasien LM selalu memberikan hasil negatif,
sedangkan pasien LP dengan respons imun
agak normal