obat 24

 




a ialah 

untuk mengurangi frekuensi dan hebatnya 

serangan berikutnya serta mencegah kerusakan jangka panjang pada sendi dan ginjal. 

Terapi prevensi ini penting pula pada hiperurikemia asimtomatik dengan batu ginjal atau 

tofi bila kadar urat darah melebihi 6 mgl/

dl. Obat-obat yang dipakai  untuk terapi 

prevensi yaitu :

a. alopurinol dan febuxostat bila ada  

overproduksi urat. Obat ini menghambat 

sintesisnya dan menurunkan kadar urat darah. Sebaiknya dosis berangsur-angsur ditingkatkan sampai masing-masing maks. 800 

mg dan 120 mg sehari.

b. urikosurika (benzbromaron, probenesid) 

bila ada  ekskresi urat rendah tanpa 

produksi berlebihan. Obat ini menghindari 

resorpsi urat kembali di tubuli proksimal, 

sehingga ekskresinya ditingkatkan dan kadar 

darahnya menurun. Peningkatan kadar urat 

dalam urin dapat menimbulkan batu ginjal 

(Ca-urat/fosfat). Untuk menghindarinya perlu minum minimal 2 l/hari termasuk 2 gelas 

larutan natriumsitrat/bikarbonat 1% untuk 

membuat kemih alkalis dan membantu 

pelarutan asam urat (pH ca 6,5).

Urikosurika memobilisasi urat dari depotnya di jaringan, sehingga dapat memicu serangan. Guna mencegah hal ini selama 6 

minggu pertama harus dipakai  zat antiradang (NSAID) dalam dosis rendah. Pentakaran juga perlu dimulai rendah dengan 

peningkatan berangsur-angsur, berdasar  

tuntunan kadar urat darah. Tindakan ini 

berlaku pula bagi alopurinol.

c. obat-obat alternatif: vitamin C, Ca-pantotenat dan EPA. Vitamin C (1-2 x 1 g p.c.) 

berkhasiat meningkatkan ekskresi asam urat; 

Ca-pantotenat (2 x 250 mg) perlu untuk perombakan urat menjadi urea dan amoniak 

sedangkan EPA/DHA (2 x 500 mg) berkhasiat 

menghambat peradangan. Senyawa-senyawa 

ini dapat dipakai  sebagai makanan tambahan (foodsupplement) pada terapi regular.

Efek paradoksal. Pada dosis rendah alopurinol dan probenesid memperlihatkan 

efek kebalikannya, yaitu justru menghambat 

ekskresi urat dengan mekanisme yang belum 

jelas. Pengecualian yaitu  zat-zat benzofuran 

(benzbromaron).

Kehamilan dan laktasi. Berhubung kurangnya data mengenai keamanan obat-obat 

prevensi ini, wanita hamil dan selama laktasi 

tidak dianjurkan menggunakannya. 

Lamanya terapi. Pada dasarnya terapi prevensi ini harus dilanjutkan seumur hidup. 

Tetapi sesudah satu tahun pemakaian  

alopurinol dapat dihentikan dengan pengawasan saksama kadar urat darah. Bila 3-6 

bulan kemudian kadar naik lagi di atas 0,55 

mmol/l, terapi dapat diulang.

Pembedahan dapat dilakukan untuk mengeluarkan tofi yang terlalu besar dan mengganggu.

MONOGRAFI

1. Kolkisin (colchicine)

Alkaloid ini diperoleh dari kembang dan 

biji tumbuhan Colchicum autumnale(autumn 

crocus), yang berasal dari India, Afrika Utara, 

dan Eropa. Zat ini sudah dipakai  sebagai 

obat encok di abad ke-6 oleh dokter-dokter 

Arab.

Kolkisin berkhasiat antiradang lemah dengan efek baik pada serangan akut (efektivitas 90%) dan efeknya baru nyata sesudah  

12 jam. Tidak menurunkan kadar urat darah 

dan tidak berdaya analgetik. Mekanisme 

kerjanya diduga berdasar  penghambatan 

sekresi zat-zat chemotactic dan/atau glikoprotein

dari granulosit yang memegang peranan 

pada rangkaian proses peradangan, sehingga siklusnya dihentikan. Pengendapan urat 

berkurang, karena pembentukan laktat dan 

fagositosis dihambat. Di samping itu, kolkisin 

juga berdaya antimitotik, yaitu menghambat 

pembelahan sel (mitosis), tetapi sebagai obat 

kanker tidak efektif.

pemakaian nya terutama untuk mengatasi 

serangan akut (sebaiknya dalam 2 jam), tetapi 

juga pada terapi prevensi bersama alopurinol 

atau urikosurika untuk mencegah provokasi 

serangan (selama 6 minggu). Profilaksis de- ngan kolkisin tunggal tidak dianjurkan berhubung kadar urat tetap tinggi dan penyakit 

dapat terus berlangsung. Obat ini tidak 

bermanfaat bagi gejala rema. 

Resorpsinya dari usus cepat dan hampir 

lengkap, PP 30%, plasma-t½ 30-60 menit. 

Kolkisin terutama menumpuk dalam lekosit 

dengan masa paruh panjang, ±60 jam.

Efek samping sering terjadi karena efek terapeutiknya berdekatan dengan efek toksik 

dan berupa gangguan lambung-usus. Pada 

pemakaian  lama dapat terjadi rambut rontok, neuritis, depresi sumsum tulang (agranulositosis, anemia aplastik) dan kerusakan 

ginjal. Bila timbul gejala intoksikasi (rasa terbakar di leher, kejang perut, diare dengan 

perdarahan, mual hebat), pemakaian nya 

harus segera dihentikan.

Wanita hamil dan menyusui tidak dianjurkan 

menggunakan obat ini.

Dosis: pada serangan akut oral 1 mg, lalu 

0,5 mg setiap 2 jam sampai maksimal 8 mg 

atau timbul diare. Kur tidak boleh diulang 

dalam jangka waktu 3 hari. Profilaksis (terapi 

kombinasi): 0,5-1,5 mg malam hari setiap dua 

hari.

2. Alopurinol: Zyloric, Urica

Derivat pirimidin ini (1967) efektif sekali 

untuk menormalkan kadar urat darah dan 

urin yang meningkat. Berkhasiat mengurangi 

sintesis urat atas dasar persaingan sub-strat 

dengan zat-zat purin berlandasan penghambatan enzim xanthinoxidase (XO). Purin 

seperti hipoxanthin dan xanthin dirombak oleh 

XO menjadi asam urat. Tetapi dengan adanya 

alopurinol, XO melakukan aktivitasnya terhadap obat ini sebagai ganti purin. Akibatnya 

perombakan hipoxanthin dikurangi dan 

sintesis urat menurun dengan ±50%. Kadar 

urat berangsur turun, tofi menyusut dan batu 

urat tidak dibentuk lagi. sesudah  1-3 minggu 

kadar urat mencapai nilai normal. Untuk 

jelasnya lihat persamaan reaksi di atas. Guna 

menghindari tercetusnya serangan encok 

akut pada awal terapi dianjurkan untuk 

bersamaan dipakai  kolkisin per oral atau 

suatu NSAID dosis rendah. Selain pada terapi 

interval encok, alopurinol juga dipakai  

sebagai obat pencegah selama kur sitostatika

untuk jangka waktu minimal 4 minggu, pada 

mana perombakan cepat dari jaringan tumor 

dapat menimbulkan hiperurikemia sekunder.

Resorpsi dari usus baik (80%) dan cepat, tidak terikat pada protein darah. Di dalam 

hati, obat ini dioksidasi oleh XO menjadi 

oksipurinol(= alloxanthine) aktif, yang terutama diekskresi dengan urin. Plasma-t½ 2-8 

jam, pada oksipurinol melebihi 20 jam berhubung adanya resorpsi kembali di tubuli.

Efek samping agak sering terjadi, terutama 

reaksi alergi kulit, juga gangguan lambungusus, nyeri kepala, pusing dan rambut rontok. Adakalanya timbul pula demam dan 

kelainan darah. Kerusakan hati dan ginjal 

pernah dilaporkan, begitu juga sindrom Stevens-Johnson41 pada dosis di atas 200 mg. 

Untuk mewaspadai hipersensitivitas terhadap alopurinol dianjurkan untuk menggunakan dosis awal rendah dan lambat laun ditingkatkan, singkatnya sesuai anjuran 

“Start Low, Go Slow With Allopurinol”. 

Interaksi. Alopurinol menghambat enzim 

XO, maka perombakan zat-zat yang diubah 

oleh XO juga dirintangi, sehingga efeknya 

diperkuat. Contohnya yaitu  antagonis purin azathioprin (Imuran) dan merkaptopurin. Oleh karena itu, dosis sitostatika tersebut perlu diturunkan sampai 25-30%. Daya 

kerja antikoagulansia dan klorpropamida

diperkuat. Pada pemakaian  kombinasi 

salisilat dan urikosurika dosisnya perlu 

dinaikkan, karena ekskresi oksipurinol 

dipercepat oleh zat-zat tersebut.

Dosis: pada hiperurikemia 1 dd 100 mg p.c., 

bila perlu dinaikkan setiap minggu dengan 

100 mg sampai maksimum 10 mg/kg/hari. 

Profilaksis pada pemakaian  sitostatika: 600 

mg sehari dimulai 3 hari sebelum terapi.

* Febuxostat (Uloric).

40 sesudah  jangka waktu 

40 tahun kini telah dikembangkan lagi suatu 

obat baru terhadap encok (2010), yaitu 

febuxostat (dosis 40,80 dan 120 mg) dengan 

mekanisme kerja serupa dengan alopurinol, 

yaitu menurunkan kadar asam urat melalui 

penghambatan selektif oleh ksantin-oxidase. Penyelidikan lebih lanjut mengenai 

efektivitas dan keamanannya telah selesai 

dan sejak 2006 obat ini beredar di USA dan 

banyak negara lain. pemakaian nya agak 

jarang karena harganya hampir 3 kali lebih tinggi. Dosis dimulai rendah 1dd 40 mg dan 

berangsur-angsur dapat ditingkatkan sampai 

80-120 mg. Untuk menghindari timbulnya 

serangan sebaiknya seperti pada alopurinol, 

diberikan bersamaan kolkisin atau NSAID 

dengan dosis rendah selama 4-6 minggu.

* Pegloticase (Krystexxa) yaitu  rekatan kimia dari PEG (polietilenglikol) dengan urikase (peptida). Enzim ini dapat mengubah 

asam urat menjadi alantoin yang jauh lebih mudah melarut daripada asam urat, 

sehingga menghindari pengendapannya. 

Dengan demikian kadar urat diturunkan 

dan deposit kristal urat di sendi dan jaringan 

lunak dikurangi. Pada tahun 2010 FDA 

mengidzinkan peredaran obat baru ini untuk 

indikasi encok kronis parah yang tidak dapat 

diturunkan kadar asam uratnya dengan 

alopurinol. Obat ini memiliki t½ panjang, 

sekitar 10-12 hari, oleh karena itu cukup 

diberikan intravena 1 kali setiap minggu 

sampai 4 minggu. 

3. Benzbromaron: Narcaricin, Desuric

Derivat benzofuran ini (1970) bersifat 

urikosurik dengan merintangi penyerapan 

kembali urat di tubuli proximal. Ekskresinya 

ditingkatkan dan kadar urat darah menurun. 

Tidak menimbulkan efek paradoksal pada dosis 

rendah. Kerjanya panjang, maka pada penggunaan lama dapat dihentikan selama 2-3 

minggu.

Resorpsi dari usus hanya untuk 50%, PP 

99% dan t½ 12-24 jam. Dalam hati obat ini 

dirombak menjadi metabolit aktif bromaron 

dan brombenzaron, yang untuk 90% lebih 

diekskresi melalui empedu dan feses. Sisanya 

dikeluarkan lewat urin sebagai glukuronida.

Efek samping berupa gangguan lambungusus (diare), reaksi alergi kulit, nyeri kepala, 

kolik ginjal, sering berkemih dan provokasi 

serangan encok. Overdosis mengakibatkan 

mual dan muntah, hepatitis dan gangguan 

fungsi ginjal.

Dosis: oral permulaan 1 dd 50 mg d.c., 

berangsur dinaikkan sampai maksimal 300 

mg; pemeliharaan 50-200 mg sehari. Selama 

6 minggu pertama bersama kolkisin atau 

NSAID untuk menghindari serangan.

4. Probenesid:Probenid, Benemid, Benuryl

Derivat asam benzoat ini (1951) juga bersifat urikosurik dengan mekanisme sama 

seperti benzbromaron. Dengan meningkatnya 

kadar urat dalam urin, penderita harus 

banyak minum untuk mengurangi risiko 

timbulnya batu ginjal. Juga dianjurkan untuk 

pada awal terapi menggunakan kolkisin atau 

obat NSAID untuk menghindari tercetusnya 

serangan encok, yang dapat timbul pada sekitar 20% penderita yang diobati hanya dengan 

probenesid saja.

Kini obat ini khusus dipakai  pada terapi interval encok. Probenesid tidak efektif 

terhadap serangan akut. Pada dosis yang lebih 

rendah dari 500 mg/hari berefek paradoksal, 

yakni justru menghambat ekskresi. Semula 

zat ini dipasarkan berdasar  khasiatnya dapat menghambat ekskresi tubuler 

dari penisilin, sehingga kadar darahnya 

meningkat dan efeknya diperpanjang. 

Obat ini juga merintangi ekskresi dari 

banyak obat lain, antara lain sefalosporin 

(kecuali sefaloridin), eritromisin, sulfonamida, diuretika thiazida dan furosemida, 

indometasin, naproksen dan PAS sehingga 

kadar plasma dari obat-obat ini meningkat. 

Oleh karena itu dosisnya sering kali harus 

dikurangi.

Resorpsi di usus cepat dan tuntas, efek 

urikosurik sudah dimulai sesudah  30 menit 

dan penghambatan ekskresi penisilin sesudah  

2 jam. PP ±90%. Ekskresi terutama sebagai 

metabolit melalui urin. Plasma-t½ 4-17 jam 

dan tergantung dosis.

Efek samping tidak begitu sering terjadi 

dan berupa gangguan lambung-usus, sakit 

kepala, reaksi alergi kulit, sering berkemih 

dan kolik ginjal. Juga dapat terbentuk batu 

urat, yang dapat dihindari dengan membuat 

kemih alkalis sampai pH 6,5 (dengan natriumsitrat atau -bikarbonat). Jarang sekali menimbulkan kelainan darah atau nefritis.

Interaksi: Toksisitas MTX dapat meningkat, 

sehingga dosisnya harus diturunkan. Salisilat

di atas 1,5 g/hari dapat mengurangi efeknya, 

oleh karena itu jangan dipakai  selama 

terapi.

Dosis: oral 2 dd 250 mg d.c. selama 1 minggu, 

lalu 2 dd 500 mg dan bila perlu berangsur-angsur dinaikkan sampai maksimal 2 g sehari. Untuk memperpanjang daya kerja penisilin: 4 dd 500 mg; sebagai adjuvans pada 

gonore single dose dari 1 g.



ANALGETIKA NARKOTIK

Analgetika narkotik, kini disebut juga opioida (= mirip opiat) yaitu  obat-obat yang 

mekanisme kerjanya meniru (mimic) opioid 

endogen dengan memperpanjang aktivasi 

dari reseptor-reseptor opioid (biasanya µ-reseptor). Zat-zat ini bekerja terhadap reseptor 

opioid khas di SSP, hingga persepsi nyeri dan 

respons emosional terhadap nyeri berubah 

(dikurangi). Daya kerjanya dirintangi oleh a.l. 

nalokson. Minimal ada 4 jenis reseptor, yang 

pengikatan padanya menimbulkan analgesia. 

Tubuh dapat mensintesis zat-zat opioidnya 

sendiri, yaitu zat-zat endorfin, yang juga bekerja melalui reseptor opioid tersebut.

Endorfin (morfin endogen) yaitu  kelompok 

polipeptida yang ada  di CCS dan dapat menimbulkan efek yang menyerupai 

efek morfin. Zat-zat ini dapat dibedakan antara ß-endorfin, dynorfin dan enkefalin (Yun. 

enkephalos = otak), yang menduduki reseptorreseptor berlainan. Secara kimiawi zat-zat ini 

berkaitan dengan hormon-hormon hipofisis 

dan berefek menstimulasi pelepasan kortikotropin (ACTH), juga somatropin dan prolaktin. 

Sebaliknya, pelepasan LH dan FSH dihambat 

oleh zat ini. β-endorfin pada hewan berkhasiat menekan pernapasan, menurunkan suhu tubuh 

dan menimbulkan ketagihan. Lagipula berefek 

analgetik kuat, dalam arti tidak mengubah 

persepsi nyeri, melainkan memperbaiki “penerimaannya”. Rangsangan listrik dari bagianbagian tertentu otak mengakibatkan peningkatan kadar endorfin dalam CCS. Mungkin 

hal ini menjelaskan efek analgesia yang 

timbul selama elektrostimulasi pada akupunktur atau pada stres, misalnya pada cedera hebat. Peristiwa efek plasebo juga dihubungkan dengan endorfin. 

Penggolongan

Atas dasar mekanisme kerjanya, obat-obat ini 

dapat dibagi dalam 3 kelompok, yaitu: 

1. agonis opiat, yang dapat dibagi dalam:

– alkaloida candu: morfin, kodein, heroin, 

nikomorfin

– zat-zat sintetik: metadon dan derivatnya 

(dekstromoramida, propoksifen, bezitramida), petidin dan derivatnya (fentanil, 

sufentanil) dan tramadol.

Mekanise kerja obat-obat ini sama dengan 

morfin, hanya berlainan mengenai potensi 

dan lama kerjanya, efek samping dan risiko 

akan kebiasaan dengan ketergantungan fisik. 

2. antagonis opiat: nalokson, nalorfin, pentazosin dan buprenorfin (Temgesic). Bila digunakan sebagai analgetik, obat-obat ini dapat 

menduduki salah satu reseptor. 

3. campuran: nalorfin, nalbufin (Nubain). Zatzat ini dengan kerja campuran juga mengikat 

pada reseptor opioid, tetapi tidak atau hanya sedikit mengaktivasi daya kerjanya. Kurva dosis/efeknya memperlihatkan plafon 

yang berarti sesudah dosis tertentu, peningkatan dosis tidak memperbesar lagi efek 

analgetikya. Praktis tidak menimbulkan depresi pernapasan.

Potensi analgetik

Khasiat analgetik dari morfin oral 30-60 mg

dapat disamakan dengan dekstromoramida 

5-10 mg, metadon 20 mg, dekstropropoksifen 

100 mg, tramadol 120 mg, pentazosin 100/180 

mg dan kodein 200 mg.

Khasiat analgetik dari morfin subkutan/

i.m. 10 mg yaitu  kurang lebih ekivalen dengan fentanil 0,1 mg, heroin 5 mg, metadon 10 mg, nalbufin 10 mg, petidin 75/100 mg, 

pentazosin 30/60 mg dan tramadol 100 mg.

Undang-Undang Narkotik. Di kebanyakan 

negara, beberapa unsur dari kelompok obat 

ini, seperti propoksifen, pentazosin dan tramadol, tidak termasuk dalam Undang-undang 

Narkotik, karena bahaya kebiasaan dan 

adiksinya ringan sekali. Namun penggunaannya untuk jangka waktu lama tidak dianjurkan. Sejak tahun 1978 sediaan-sediaan 

dengan kandungan propoksifen di atas 135 

mg di negeri Belanda dimasukkan dalam 

Opiumwet (Undang-Undang opiat). Lihat selanjutnya Bab 23, Drugs.

Mekanisme kerja

Endorfin bekerja dengan jalan menduduki 

reseptor-reseptor nyeri di SSP, hingga perasaan nyeri dapat diblokir. Khasiat analgetik 

opioida berdasar  kemampuannya untuk 

menduduki sisa-sisa reseptor nyeri yang 

belum ditempati endorfin. Tetapi bila analgetika tersebut dipakai  terus-menerus, 

pembentukan reseptor-reseptor baru distimulasi dan produksi endorfin di ujung saraf 

otak dirintangi. Akibatnya terjadilah kebiasaan dan ketagihan.

pemakaian  

Rasa nyeri hebat (seperti pada kanker)

Ada banyak penyakit yang disertai rasa 

nyeri, yang terkenal yaitu  influenza dan 

kejang-kejang (pada otot atau organ), artrose dan rema (pada sendi) dan migrain. Untuk gangguan-gangguan ini tersedia obatobat khas (a.l. parasetamol, NSAID’s, sumatriptan). Tetapi yang paling hebat dan mencemaskan yaitu  rasa sakit pada kanker, 

walaupun sebetulnya hanya kurang lebih dua 

per tiga dari penderita yang mengalaminya. 

Begitu pula hanya ±70% disebabkan langsung 

oleh penyakit ganas ini, di luar ini perasaan 

sakit memiliki etiologi lain, mis. artritis. Oleh 

karena itu prinsip untuk menghilangkan 

atau mengurangi rasa sakit berupa penelitian 

dengan saksama penyebabnya, obat-obat apa 

yang layak dipakai  sesuai tangga analgetika 

(lih. di bawah) dan memantaunya secara 

periodik untuk mendapatkan cara pengendalian rasa sakit yang optimal.

Rasa sakit yaitu  suatu pengalaman 

yang rumit dan unik untuk tiap individu 

yang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor psikososial dan spiritual dari ybs. Oleh karena 

itu untuk kasus-kasus perasaan nyeri yang 

tidak/sukar terkendalikan yaitu  penting 

untuk memperhitungkan faktor-faktor tersebut. di atas.

Tangga analgetika (tiga tingkat). WHO telah 

menyusun suatu program pemakaian  analgetika untuk nyeri hebat, seperti pada kanker, 

yang menggolongkan obat dalam tiga kelas, 

yaitu:

a. non-opioida: NSAID’s, termasuk asetosal, 

parasetamol dan kodein

b. opioida lemah: d-propoksifen, tramadol 

dan kodein, atau kombinasi parasetamol 

dengan kodein

c. opioida kuat: morfin dan derivatnya 

(heroin) serta opioida sintetik

Menurut program pengobatan ini pertamatama diberikan 4 dd 1 g paracetamol, bila 

efeknya kurang, beralih ke 4-6 dd parasetamol-kodein 30-60 mg. Baru bila langkah 

kedua ini tidak menghasilkan analgesi yang 

memuaskan, dapat diberikan opioid kuat. 

Pilihan pertama dalam hal ini yaitu  morfin

(oral, subkutan kontinu, intravena, epidural 

atau spinal). 

Tujuan utama dari program ini yaitu  

untuk menghindari risiko kebiasaan dan 

adiksi untuk opioida, bila diberikan tanpa 

aturan. 

Efek-efek samping umum

Morfin dan opioida lainnya menimbulkan 

sejumlah besar efek samping yang tidak diinginkan, yaitu:

– supresi SSP, misalnya sedasi, menekan 

pernapasan dan batuk, miosis, hipothermia 

dan perubahan suasana jiwa (mood). Akibat stimulasi langsung dari CTZ (Chemo 

Trigger Zone) timbul mual dan muntah. 

Pada dosis lebih tinggi mengakibatkan 

menurunnya aktivitas mental dan motorik. 


– saluran pernapasan: bronchokonstriksi, 

pernapasan menjadi lebih dangkal dan 

frekuensinya menurun

– sistem sirkulasi: vasodilatasi perifer, pada dosis tinggi hipotensi dan bradycardia

– saluran cerna: motilitas berkurang (obstipasi), kontraksi sfingter kandung empedu (kolik batu empedu), sekresi pankreas, usus 

dan empedu berkurang

– saluran urogenital: retensi urin (karena 

naiknya tonus dari sfingter kandung kemih), motilitas uterus berkurang (waktu 

persalinan di perpanjang)

– histamin liberator: urticaria dan gatalgatal, karena stimulasi pelepasan histamin 

– kebiasaan dengan risiko adiksi pada penggunaan lama. Bila terapi dihentikan dapat terjadi gejala abstinensi.

Kehamilan dan laktasi. Opioida dapat melintasi plasenta, tetapi boleh dipakai  sampai beberapa waktu sebelum persalinan. 

Bila diminum terus menerus, zat ini dapat 

merusak janin akibat depresi pernapasan 

dan memperlambat persalinan. Bayi dari ibu 

yang ketagihan menderita gejala abstinensi. 

Selama laktasi ibu dapat menggunakan opioida karena hanya sedikit yang masuk ke 

dalam air susu ibu.

Kebiasaan dan ketergantungan

pemakaian  untuk jangka waktu lama pada 

sebagian pemakai menimbulkan kebiasaan 

dan ketergantungan. Penyebabnya mungkin 

karena berkurangnya resorpsi opioid atau 

perombakan/eliminasinya yang dipercepat, 

atau bisa juga karena penurunan kepekaan 

jaringan. Obat menjadi kurang efektif, sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi 

untuk mencapai efek semula. Peristiwa ini 

disebut toleransi (menurunnya respons) dan 

bercirikan bahwa dosis tinggi dapat diterima 

tanpa menimbulkan efek intoksikasi.

Di samping ketergantungan fisik tersebut 

ada  pula ketergantungan psikis, yaitu kebutuhan mental akan efek psikotrop (euforia, 

rasa nyaman dan segar) yang bisa menjadi 

sangat kuat, sehingga pasien seolah-olah terpaksa melanjutkan pemakaian  obat. Lihat 

juga Bab 23, Drugs.

Gejala abstinensi (withdrawal syndrome) selalu timbul bila pemakaian  obat dihentikan dengan mendadak dan pada awalnya 

bergejala menguap, berkeringat hebat dan 

air mata mengalir, tidur gelisah dan kedinginan. Lalu timbul muntah-muntah, diare, 

tachycardia, mydriasis (pupil membesar), tremor, kejang otot, peningkatan tensi, yang dapat 

disertai dengan reaksi psikis hebat (gelisah, 

mudah marah, kekhawatiran mati).

Efek-efek ini menjadi penyebab mengapa 

penderita yang sudah ketagihan sukar sekali menghentikan pemakaian  opiat. Guna 

menghindari efek-efek tidak nyaman ini, mereka “terpaksa” melanjutkan pemakaian nya.

Ketergantungan fisik lazimnya sudah hilang dua minggu sesudah  pemakaian  obat 

dihentikan. Ketergantungan psikis sering 

kali sangat erat, oleh karena ittu pembebasan 

yang tuntas sukar sekali dicapai.

Antagonis morfin

Antagonis morfin yaitu  zat-zat yang dapat 

melawan efek-efek samping opioida tertentu 

tanpa mengurangi kerja analgetiknya. Yang 

paling terkenal yaitu  nalokson, naltrekson 

dan nalorfin. Obat-obat ini terutama digunakan pada overdosis atau intoksikasi. Khasiat antagonisnya diperkirakan berdasar  

penggeseran opioda dari tempatnya di reseptor-reseptor otak. Antagonis morfin ini 

sendiri juga berkhasiat analgetik, tetapi tidak 

dipakai  dalam terapi karena khasiatnya 

lemah dan efek samping tertentu mirip morfin (depresi pernapasan, reaksi psikotik).

MONOGRAFI

1. Morfin (F.I.): MSTcontinus, MS Contin, Kapanol

Candu atau opium yaitu  getah yang 

dikeringkan dan diperoleh dari tumbuhan 

Papaver somniferum (Lat., menyebabkan tidur). 

Morfin mengandung dua kelompok alkaloid 

yang secara kimiawi sangat berlainan. Kelompok fenantren meliputi morfin, kodein 

dan tebain; kelompok kedua yaitu  kelompok 

isokinolin dengan struktur kimiawi dan 

khasiat sangat berlainan (a.l. non-narkotik),

yaitu papaverin, noskapin (= narkotin) dan

narsein. Morfin berkhasiat analgetik sangat 

kuat, lagi pula memiliki banyak jenis efek 

pusat lainnya, a.l. sedatif dan hipnotik, 

menimbulkan euforia, menekan pernapasan

dan menghilangkan refleks batuk, yang 

semuanya berdasar  supresi sususan saraf 

pusat (SSP). Morfin juga menimbulkan efek 

stimulasi SSP, mis. miosis (penciutan pupil 

mata), eksitasi dan konvulsi. Efek stimulasinya 

pada CTZ mengakibatkan mual dan muntahmuntah sedangkan efek perifernya yang 

penting yaitu  obstipasi, retensi urin dan 

pelepasan histamin yang mengakibatkan 

vasodilatasi pembuluh kulit dan gatal-gatal 

(urticaria).

pemakaian nya khusus pada nyeri hebat 

akut dan kronis, seperti pasca-bedah dan 

sesudah  infark jantung, juga pada fase terminal 

dari kanker. Banyak dipakai  sebagai tablet 

retard untuk memperpanjang efeknya .

Resorpsi di usus baik, tetapi BA hanya ±25% 

akibat FPE besar. Mulai kerjanya sesudah  1-2 

jam dan bertahan sampai 7 jam. Resorpsi 

dari suppositoria umumnya sedikit lebih 

baik, secara s.c./i.m. baik sekali. PP-nya 35%; 

dalam hati 70% dari morfin dimetabolisasi 

melalui senyawa konyugasi dengan asam 

glukuronat menjadi morfin-3-glukuronida 

yang tidak aktif dan hanya sebagian kecil (3%) 

dari jumlah ini terbentuk morfin-6-glukuronida dengan daya kerja analgetik lebih kuat 

dari morfin sendiri. Ekskresinya melalui urin, 

empedu dengan siklus enterohepatik dan feses.

Antidota. Pada intoksikasi dipakai  antagonis morfin sebagai antidotum, yaitu nalokson, lihat nr 6.

Dosis: dewasa oral 3-6 dd 10-20 mg garamHCl, s.c/i.m. 3-6 dd 5-20 mg. Anak-anak: oral 

2 dd 0,1-0,2 mg/kg.

Sediaan:

* Pulv. Opii: 10% morfin

* Pulv. Doveri: 1% morfin + Radix Ipecacuanhae + K2

SO4

.

* Acidov II: pulvis Doveri 150 mg + salamid 

350 mg.

* Heroin (diamorfin, diasetilmorfin) adalah turunan semi-sintetik (Bayer, 1897) dengan kerja analgetik yang 2 x lebih kuat, 

tetapi mengakibatkan adiksi yang cepat 

serta hebat sekali dan dianggap sebagai 

salah satu obat yang paling berbahaya di 

sejarah modern. Dengan alasan ini, heroin 

tidak dipakai  lagi dalam terapi, tetapi 

sangat diminati oleh para pecandu drugs, 

lihat Bab 23. Drugs. Kelarutannya dalam 

lipid lebih baik daripada morfin, oleh 

karena itu mulai bekerjanya juga lebih 

pesat bila diberikan per injeksi.

2. Kodein (F.I.): metilmorfin, *Codipront

Alkaloid candu ini memiliki khasiat yang 

sama dengan induknya, tetapi lebih lemah, 

misalnya efek analgetiknya 6-7 x kurang kuat. 

Efek samping dan risiko adiksinya lebih ringan, sehingga sering kali dipakai  sebagai obat batuk, obat anti-diare dan obat antinyeri, yang diperkuat melalui kombinasi 

dengan parasetamol/asetosal. Obstipasi dan 

mual dapat terjadi terutama pada dosis lebih 

tinggi (di atas 3 dd 20 mg). Resorpsi oral dan 

rektal baik; di dalam hati zat ini didemetilasi 

menjadi norkodein dan morfin (10%) yang 

memberikan sifat analgetiknya. 

Ekskresi lewat urin sebagai glukuronida 

dan 10% secara utuh. Plasma-t½ 3-4 jam.

Dosis: untuk nyeri, oral 3-6 dd 15-60 mg 

garam-HCl, anak-anak di atas 1 thn 3-6 dd 0,5 

mg/kg. Untuk batuk 4-6 dd 10-20 mg, maks. 

120 mg/hari, anak-anak 4-6 dd 1 mg/kg.

* Etilmorfin (Dionin) yaitu  derivat dengan 

khasiat analgetik dan hipnotik lebih lemah; 

penghambatannya terhadap pernapasan juga 

lebih ringan. Untuk menekan batuk, zat ini 

kurang efektif dibandingkan kodein, tetapi 

dahulu banyak dipakai  dalam sediaan 

obat batuk. 

* Noskapin (narkotin, Longatin, Mercotin, 

Neocodin) yaitu  alkaloid candu lain, tanpa 

sifat narkotik, yang lebih efektif sebagai 

obat batuk, lihat selanjutnya Bab 41, Obatobat Batuk. Noskapin tidak termasuk dalam 

Daftar Narkotik karena tidak menimbulkan 

ketagihan. Dosis: pada batuk 2-3 dd 15-30 mg, 

maks. 200 mg/hari.

3. Fentanil: Fentanyl, Durogesic, *Thalamonal

Derivat piperidin ini (1963) yaitu  turunan dari petidin (Dolantin) yang jarang di-

gunakan lagi karena efek samping dan sifat 

adiksinya, lagi pula daya kerjanya singkat 

(3 jam) sehingga tidak layak untuk meredakan rasa sakit jangka panjang. Efek analgetik agonis opiat ini 80 x lebih kuat daripada 

morfin. Mulai kerjanya cepat, yaitu dalam 

2-3 menit (i.v.), tetapi singkat, hanya ±30 

menit. Zat ini dipakai  pada anestesi dan 

infark jantung. 

Efek sampingnya mirip morfin, termasuk 

depresi pernapasan, bronchospasme dan kekakuan otot (thorax). Zat ini jarang menimbulkan penghambatan sirkulasi seperti penurunan cardiac output dan bradycardia. 

Dosis: pada infark i.v. 0,05 mg + 2,5 mg 

droperidol (Thalamonal), bila perlu diulang 

sesudah  ½ jam. Plester transdermal (Durogesic)

melepaskan senyawa ini dengan konstan selama 72 jam dan dipakai  pada nyeri parah 

kronik yang memerlukan zat opioid dan 

analgetika lain tidak dapat dipakai .

* Sufentanil (Sufenta/forte) yaitu  derivat 

(1982) dengan efek analgetik ±10x lebih kuat. 

Sifat dan efek sampingnya sama dengan 

fentanil. Zat ini terutama dipakai  pada 

anestesi dan pasca-bedah, juga pada waktu 

his dan persalinan (dikombinasi dengan suatu anestetikum). 

Dosis: pada waktu his dan persalinan epidural 10 mcg bersama bupivakain, bila perlu 

diulang dua kali.

4. Metadon: Amidon, Symoron

Zat sintetik ini (1947) yaitu  suatu campuran rasemis, yang memiliki efek analgetik 

2x lebih kuat daripada morfin dan juga 

berkhasiat anestetik lokal. 

Resorpsi di usus baik, PP 90%, plasma-t½ 

rata-rata 25 jam dan efeknya dapat bertahan 

sampai 48 jam pada terapi pemeliharaan bagi 

para pecandu. Umumnya metadon tidak menimbulkan euforia, sehingga banyak digunakan untuk menghindari gejala abstinensi 

sesudah  penghentian pemakaian  opioida lain. Khusus dipakai  bagi para pecandu 

sebagai obat pengganti heroin dan morfin

pada terapi substitusi. 

Efek samping kurang hebat dari morfin, 

terutama efek hipnotik dan efek euforianya 

lemah, tetapi bertahan lebih lama. Penggunaan lama juga menimbulkan adiksi yang 

lebih mudah disembuhkan. Lihat selanjutnya 

Bab 23, Drugs. Efek obstipasinya agak ringan, 

tetapi pemakaian nya selama persalinan harus dengan berhati-hati karena dapat menekan pernapasan.

Dosis: pada nyeri oral 4-6 dd 2,5-10 mg 

garam-HCl, maks. 150 mg/hari. Terapi pemeliharaan bagi pecandu: permulaan 20-30 mg, 

sesudah  3-4 jam 20 mg, lalu 1 dd 50-100 mg 

selama 6 bulan.

Dekstromoramida (Palfium) yaitu  opioid 

sintetik (1956) yang rumusnya mirip metadon. Khasiat analgetiknya sedikit lebih kuat 

daripada morfin. Mulai kerjanya cepat, efeknya sesudah  20-30 menit dan bertahan lebih 

singkat, ±3 jam. Depresi pernapasan lebih 

kuat dibandingkan morfin (pada dosis biasa 

dapat terjadi apnoe), begitu pula efek adiksinya. Tidak cocok untuk pengobatan nyeri 

kronis. Efek sedasi dan obstipasinya lebih ringan. 

Dosis: oral, s.c. atau i.m. 3-4 dd 2,5-5 mg 

sebagai hidrogentartrat. Dapat juga diberikan 

sublingual.

5. Tramadol: Tramal

Derivat sikloheksanol sintetik ini (1977) 

yaitu  campuran rasemis dari 2 isomer. Khasiat analgetiknya sedang dan berkhasiat 

menghambat reuptake noradrenalin dan bekerja antitussif (anti-batuk). Obat ini di sebagian negara dianggap sebagai analgetikum opiat karena bekerja sentral, yaitu 

melalui pendudukan reseptor µ-opioid oleh 

cis-isomernya. Tetapi zat ini tidak menekan 

pernapasan, praktis tidak memengaruhi sistem kardiovaskuler atau motilitas lambungusus. Walaupun memiliki sifat adiksi ringan, 

dalam praktik ternyata risikonya hampir nihil sehingga tidak termasuk Daftar Narkotika di kebanyakan negara (AS, GB, BRD, 

Belanda, Swis, Swedia dan Jepang) termasuk negara kita . Efek analgetik dari 120 mg 

tramadol oral setaraf dengan 30-60 mg 

morfin oral. pemakaian nya juga rektal 

dan parenteral untuk nyeri sedang sampai 

hebat, bila kombinasi parasetamol-kodein dan NSAIDs kurang efektif atau tidak dapat 

dipakai . Untuk nyeri akut atau kanker 

umumnya morfin lebih ampuh. 

Resorpsi di usus cepat dan tuntas dengan 

BA rata-rata 78%, PP 20%, plasma-t ½ 6 jam. 

Efeknya dimulai sesudah 1 jam dan dapat 

bertahan 6-8 jam. Dalam hati sebagian besar 

diuraikan menjadi a.l. o-desmetil, metabolit 

dengan daya kerja 6 kali lebih kuat melalui 

pengikatan pada reseptor µ-opioid. Ekskresi 

berlangsung lewat urin, untuk 10% secara 

utuh.

Efek samping tidak begitu serius dan paling 

sering berupa termangu-mangu, berkeringat, 

pusing, mulut kering, mual dan muntah, juga 

obstipasi, gatal-gatal, rash, nyeri kepala dan 

rasa letih. Risiko habituasi, ketergantungan 

dan adiksi ringan, tetapi tidak dianjurkan 

pemakaian nya oleh penderita dengan sejarah penyalahgunaan drugs.

Catatan. Semua reseptor µ-opioid agonis 

mengakibatkan gejala mual dan muntah melalui stimulasi langsung reseptor opioid di 

pusat muntah (lih. Bab 17, Antiemetika). Efek 

samping gastro-intestinal lainnya yaitu  obstipasi yang juga terkait dengan sifat opioid 

yakni penurunan peristaltik dan peningkatan 

absorpsi air dari usus.7

Wanita hamil dan menyusui. Opioida dapat 

melintasi plasenta dan selama ini diketahui 

tidak merugikan janin bila dipakai  jauh 

sebelum partus. Hanya 0,1% dari dosis masuk 

ke dalam air susu ibu. Meskipun demikian 

tramadol tidak dianjurkan selama kehamilan 

dan laktasi.

Dosis: di atas 14 tahun 3-4 dd 50-100 mg, 

maks. 400 mg sehari. Anak-anak di atas 1 tahun: 3-4 dd 1-2 mg/kg.

6. Nalokson: Narcan

Antagonis morfin ini memiliki rumus morfin dengan gugus-alil pada atom-N (1969). 

Senyawa ini dapat meniadakan semua khasiat morfin dan opioida lainnya, terutama 

depresi pernapasan tanpa mengurangi efek 

analgetiknya. Penekanan pernapasan dari 

obat-obat depresi SSP lain (barbital, siklopropan, eter) tidak dihilangkan, tetapi juga tidak 

diperkuat seperti halnya dengan nalorfin.

Juga tidak memiliki kerja agonistis (analgetik). pemakaian nya sebagai antidotum pada 

overdosis opioida (dan barbital), pasca-bedah 

untuk mengatasi depresi pernapasan oleh 

opioida. Secara diagnostik untuk menentukan 

adiksi sebelum dimulai dengan pemakaian  

naltrexon.

Kinetik. sesudah  injeksi i.v. sudah timbul 

efek sesudah  2 menit, yang bertahan 1-4 jam. 

Plasma-t½ hanya 45-90 menit, lama kerjanya 

lebih singkat dari opioida, maka biasanya 

perlu diulang beberapa kali. 

Efek samping dapat berupa tachycardia 

(sesudah  bedah jantung), jarang reaksi alergi 

dengan syok dan udema paru-paru.

Pada penangkalan efek opioida terlalu pesat dapat terjadi mual, muntah, berkeringat, 

pusing-pusing, hipertensi, tremor, serangan 

epilepsi dan terhentinya fungsi jantung.

Dosis: pada overdosis opioida, intravena permulaan 0,4 mg, bila perlu diulang setiap 2-3 

menit.

* Nalorfin (alilnormorfin) yaitu  zat induk 

nalokson (1952) dengan khasiat sama, kecuali juga berkhasiat analgetik lemah di samping memperkuat depresi yang bersifat ringan. Zat ini mampu meniadakan depresi 

pernapasan yang hebat oleh opioida atau 

akibat opioida dengan kerja campuran (agonistis dan antagonistis) dan zat-zat sentral 

lain. Zat ini hanya dipakai  pada overdosis 

opioida, bila nalokson tidak tersedia.

Dosis: pada overdosis s.c./i.m./i.v. 5-10 mg, 

bila perlu diulang sesudah  10-15 menit sampai 

maks. 40 mg sehari.

* Naltrekson (Nalorex) yaitu  juga derivat 

nalokson, pada mana gugus-alil diganti dengan siklopropil (1985). Sifatnya antagonis 

murni yang tidak mengakibatkan toleransi 

atau ketergantungan fisik dan psikis. Dalam 

hati zat ini diubah menjadi a.l. metabolit 

aktif 6β-naltreksol yang terutama diekskresi 

melalui urin. Naltrekson mengalami siklus 

enterohepatik dengan masa paruh 4-12 jam.

Pengunaannya terutama untuk menghambat efek opioida berdasar  pengikatan 

kompetitif pada reseptor opioid dan sebagai 

obat anti-ketagihan heroin. Pada pecandu 

opiat menimbulkan gejala abstinensi hebat 

dalam waktu 5 menit, yang dapat bertahan 48 

jam. Obat ini hanya boleh diberikan sesudah  penghentian heroin/morfin atau metadon 

minimal masing-masing 7 dan 10 hari. Dosis:

permulaan 25 mg, bila tidak terjadi efek 

abstinensi sesudah  1 jam diulang dengan 25 

mg. Lalu 50 mg sehari selama 3 bulan atau 

lebih lama.

7. Pentazosin: Fortral

Zat sintetik ini yaitu  turunan dari 

morfin (1964), pada mana cincin fenantren 

diganti oleh naftalen. Gugus-N-allil memberikan efek antagonis terhadap opioida lainnya. Khasiatnya beragam, yaitu di samping 

antagonis lemah, juga yaitu  agonis 

parsiil. Khasiat analgetiknya sedang sampai 

kuat, antara kodein dan petidin (3-6 x lebih 

lemah daripada morfin). Di AS sering kali 

disalahgunakan dalam kombinasi dengan 

antihistaminika dan nalokson.

Resorpsi di usus baik, tetapi BA hanya ±20% 

akibat FPE besar. Mulai kerjanya cepat, setelah 15-30 menit dan bertahan minimal 3 jam. 

Efek rektalnya sama dengan pemakaian  

oral. PP 60%, plasma-t½ 2-3 jam. Dalam 

hati zat ini diubah menjadi metabolit yang 

diekskresi terutama lewat urin. 

Dosis: pada nyeri sedang sampai kuat 3-4 

dd 50-100 mg, maks. 600 mg sehari.

8. Kanabis: marihuana, *hashiz, weed, grass

Pucuk dengan kembang dan buah-buah 

muda yang dikeringkan dari bentuk wanita tumbuhan Cannabis sativa (Asia Barat). 

Kandungannya 0,3% minyak atsiri dengan 

zat-zat terpen, terutama tetrahidrokanabinol 

(THC). Zat ini banyak khasiat farmakologisnya, yang terpenting di antaranya yaitu  

sedatif, hipnotik dan analgetik, antimual 

dan spasmolitik.

Khasiat analgetik dari THC terjadi di batang 

otak, di mana juga ada  titik kerja dari 

opioida. Hanya mekanisme kerjanya yang 

berlainan, reseptor morfin tidak memegang 

peranan dan nalokson tidak melawan efek 

analgesiknya. Di samping itu, ambang nyeri 

diturunkan (Lancet 1998; 352: 1040). Dahulu 

(meskipun jarang) kanabis dipakai  sebagai obat tidur, sedativum dan spasmolitikum

pada tetanus, umumnya dalam bentuk ekstrak 2-3 dd 30-50 mg. Sekarang kanabis 

banyak disalahgunakan sebagai zat penyegar 

narkotik (“drug”).

Penelitian akhir-akhir ini melaporkan efektivitas dan pemakaian nya sebagai antiemetikum (dan analgetikum) pada kanker, 

stimulans nafsu makan pada penderita 

AIDS dan obat relaksasi kejang/otot pada 

MS. Lihat selanjutnya Bab 23, Drugs.

9. Alfentanil: Rapifen

berdasar  indikasinya senyawa ini penggunaannya di (poli) klinik terbatas. Agonis opiat sintetik ini memiliki daya kerja 

analgetik kuat dan bekerja maks. sesudah  1 

menit dengan lama kerja 10-20 menit. PP 

92% dan dimetabolisasi dalam hati menjadi metabolit-metabolit tidak aktif yang diekskresi terutama via urin.T1/2 di antara 80-

220 menit. dipakai  sebagai zat analgetik 

pada anestesi singkat.

Efek samping sering kali (>10%) nyeri pada 

lokasi injeksi, mual dan muntah, mengantuk, 

kaku otot, depresi pernapasan, pusing dan 

gangguan penglihatan. 

Dosis: untuk penanganan lebih singkat dari 

10 menit: i.v. 7-15 mcg/kg.

10. Buprenorfin: Transtec, Butrans, Temgesic

Agonis opiat semisintetik ini memiliki 

daya kerja analgetik kuat dan antara lain 

dipakai  dalam bentuk plester yang 

melepaskan senyawa ini dengan kecepatan 

yang relatif konstan.

Kecepatan kerja: i.v. sesudah  15-30 menit 

dan i.m./oromukosal sesudah  30-50 menit 

selama 6 jam. Resorpsi sesudah  injeksi i.m. 

cepat tetapi lambat melalui oromukosal. PP 

95% dan dimetabolisasi dalam hati menjadi 

a.l. norbuprenorfin. 

Ekskresi 2/3 bagian utuh melalui feses dan 

sepertiga via urin. T1/2 dari tablet oromukosal 

3-4 jam dan dari plester ± 20 jam. dipakai  

terhadap nyeri pasca bedah dan nyeri akibat 

kanker. Jangan dipakai  oleh wanita hamil 

dan yang menyusui. 

Efek samping tergantung dari bentuk pemberiannya. Pada pemberian parenteral mengantuk dan apathi. Melalui plester sering 

kali mual, eritem dan gatal di tempat injeksi, 

juga muntah, obstipasi, sakit perut, mulut 

kering, sakit kepala dan pusing Dosis: untuk nyeri pasca bedah permulaan 

i.m. 0,3-0,6 mg. Lansia 1-4 dd 0,2 mg. Nyeri 

karena kanker: oromukosal 3-4 dd 0,2-0,4 mg

11. Hidromorfon: Paladon

yaitu  alkaloid candu dengan khasiat 

analgetik kuat yang efektif dalam 5 menit 

sesudah  injeksi i.v., atau 5 – 10 menit sesudah  

injeksi s.k. dan 30 menit sesudah  pemberian 

per oral yang berlangsung untuk 4 jam. Daya kerjanya berlangsung selama 12 jam pada 

pemberian per oral dari sediaan time released.

Di dalam hati dimetamobilisasi melalui 

konyugasi menjadi terutama glukuronida. 

Ekskresi via urin terutama sebagai hidromorfon terkonyugasi. T1/2 2-4 jam. dipakai  

pada nyeri kanker hebat dan nyeri pasca 

bedah.

Dosis: untuk nyeri kanker permulaan 1,3-2,6 

mg tiap 4-6 jam dan tergantung dari hebatnya 

nyeri dosis dapat ditingkatkan 25-50% per 24 

jam. I.v. permulaan 1-1,5 mg tiap 3-4 jam. 

Injeksi s.k. 1-2 mg tiap 3-4 jam. Untuk lansia 

dosis awal dianjurkan untuk dikurangi.

12. Oksikodon: OxyContin, OxyNorm

Khasiat farmakologiknya tidak banyak berbeda dari morfin, yaitu analgetik, anksiolitik 

dan sedatif. Resorpsi fase cepat ±37 menit dan 

fase lambat ±6 jam. Di metabolisasi terutama 

menjadi metabolit senyawa noroksikodon 

dan senyawa oksimorfon. Sifat analgetik dari 

noroksikodon yaitu  ±1% dari oksikodon 

sedangkan dari oksimorfon 14 kali lebih kuat. T1/2 ±3 jam (kapsul, tablet) dan 3,5 jam 

(larutan injeksi). dipakai  terhadap nyeri 

hebat a.l. pasca bedah. 

Efek samping sering kali (>10%) sedasi, obstipasi, mual , muntah dan sakit kepala. Juga 

anoreksia, diare, pusing, tremor, tidak bisa 

tidur, perasaan kacau-balau dan depresi.

Dosis: tergantung dari taraf nyeri dan analgetika yang sudah dipakai . Nyeri kronis 

hebat: awal oral 5 mg tiap 4-6 jam dan dapat 

ditingkatkan sampai rasa nyeri diatasi. 10 

mg oksikodon hampir setara dengan 20 mg 

morfin.

13. Remifentanil

Agonis opiat dengan sifat analgetik kuat, 

bekerja cepat dan sangat singkat. Dimetabolisasi dalam darah dan jaringan menjadi 

metabolit yang praktis tidak aktif. Ekskresi 

terutama via urin. T1/2 3-10 menit. dipakai  

sebagai analgetik pada taraf induksi dan/

atau taraf pemeliharaan anestesi total. 

Efek samping sering kali (>10%) kaku otot, 

hipotensi, mual dan muntah. Juga sering kali 

bradikardi, hipertensi pasca bedah, depresi 

pernapasan dan apneu.

Dosis: sebagai analgetik pada anestesi i.v. 

0,5-1 ug/kg berat badan 



DRUGS

Drugs didefinisikan sebagai zat-zat yang memengaruhi keadaan jiwa (psyche) dan yang 

tidak dipakai  ntuk pengobatan. Sejak 

dahulu manusia telah menggunakan obatobatan yang memengaruhi suasana jiwa, 

pikiran dan perasaan. Masalah penyalahgunaannya sama tuanya seperti peradaban 

itu sendiri. Pemicu penyalahgunaan obat 

yang mengakibatkan ketergantungan terdiri 

dari 3 faktor bersamaan, yaitu tersedianya 

obat-obat tersebut, sifat kepribadian yang 

mudah terpengaruh dan tekanan-tekanan 

sosial.

Istilah “drugs” pada awalnya bersumber dari 

bahan-bahan obat yang dikeringkan, tetapi 

kemudian diperluas sampai obat pada umumnya. Sekarang ini istilah tersebut terutama 

terbatas pada obat-obat yang tercakup dalam 

definisi tersebut di atas.

Sejak tahun 1969, kecenderungan penyalahgunaan drugs atau obat-obat narkotika dan 

zat adiktif semakin bervariasi. Dari morfin

dan ganja/hashish menjadi berturut-turut 

obat penenang (psikotropika golongan IV), 

heroin (putaw), ecstasy dan shabu-shabu.

Yang terakhir ini yaitu  drug dengan dasar 

amfetamin.

Istilah dan Pengertian. Narkoba yaitu  singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain “narkoba”, istilah lain yang 

diperkenalkan khususnya oleh Kementerian 

Kesehatan Republik negara kita  yaitu  Napza 

yang yaitu  singkatan dari Narkotika, 

Psikotropika dan Zat Adiktif.

Narkotika yaitu  zat atau obat yang berasal 

dari tanaman atau bukan tanaman, baik 

sintetik maupun semi-sintetik, yang dapat 

menyebabkan penurunan atau perubahan 

kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan 

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam 

golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 

atau yang kemudian ditetapkan dengan 

Keputusan Menteri Kesehatan.

Yang termasuk jenis narkotika yaitu :

• Tanaman papaver, opium mentah, opium 

masak (candu, jicing, jicingko), opium, 

morfina, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, dan damar ganja.

• Garam-garam dan turunan-turunan dari 

morfina dan kokaina, serta campurancampuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan tersebut di atas.

Beberapa istilah yang berkaitan dengan narkotika yaitu  sebagai berikut.

• Peredaran gelap Narkotika yaitu  setiap 

kegiatan atau serangkaian kegiatan yang 

dilakukan secara tanpa hak dan melawan 

hukum yang ditetapkan sebagai tindak 

pidana narkotika.

• Pecandu yaitu  orang yang menggunakan atau menyalahgunakan a dan dalam 

keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

• Ketergantungan narkotika yaitu  gejala 

dorongan untuk menggunakan narkotika 

secara terus menerus, toleransi dan gejala 

putus narkotika apabila pemakaian  dihentikan.

• Penyalahgunaan yaitu  orang yang 

menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. 

Psikotropika yaitu  zat atau obat, baik alamiah maupun sintetik bukan narkotika, yang 

 berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh 

selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental 

dan perilaku (Undang-Undang No. 5/1997). 

ada  empat golongan psikotropika menurut undang-undang tersebut, namun setelah diundangkannya UU No. 35 tahun 

2009 tentang narkotika, maka psikotropika 

golongan I dan II dimasukkan ke dalam 

golongan narkotika. Dengan demikian saat 

ini apabila bicara masalah psikotropika hanya menyangkut psikotropika golongan III 

dan IV sesuai Undang-Undang No. 5/1997.

Jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia berjumlah sekitar 130.000 orang dari 200 

juta penduduk dengan peredaran ±Rp. 390 

miliar per hari! Angka 130.000 ini yaitu  

hanya bagian dari fenomena gunung es, jadi 

angka sebenarnya yaitu  jauh lebih besar. 

Obat-obat terlarang ini umumnya diselundupkan ke negara kita  dari jalur distribusi 

yang terkenal dengan sebutan Segitiga Emas 

(Golden Triangle) yang terletak antara Thailand, Myanmar, Laos dan Cina (heroin dan 

candu). Ecstasy dipasok dari kawasan Eropa, 

seperti Belanda yang yaitu  tempat 

penghasil dan pengekspor ecstasy terbesar. 

Beberapa waktu yang lalu di negara kita  juga 

telah terbongkar pabrik pembuat ecstasy 

terbesar di Asia. Dengan demikian sekarang 

ini negara kita  bukan saja “pengimpor” tetapi 

juga yaitu  produsen dan eksportir 

ilegal dari obat psikotropik. 

Shabu-shabu didatangkan dari propinsi 

Guangdong (Cina) dan kokain (juga disebut 

crack, coke atau rock) dari Peru. Ganja (Cannabis, marijuana) berasal dari daerah Aceh, 

yang tumbuhannya ada  di hutan-hutan.

Obat bius (narkotika)

Istilah negara kita  untuk “drugs” yaitu  obat 

bius atau narkotika. Namun bila ditinjau dari 

sifat-sifat farmakologinya, yaitu sifat membiusnya, istilah ini hanya tepat untuk suatu 

kelompok dari zat-zat ini (opioida), termasuk

morfin dan opium. 

Sejak berlakunya Undang-undang RI No. 

9/1976 tentang Narkotika, istilah obat bius 

telah diganti dengan narkotika.

Istilah “drugs“ pada umumnya tidak terbatas 

hanya pada opiat-opiat ini saja, tetapi terutama dipakai  untuk zat-zat yang memiliki sifat merangsang terhadap keadaan jiwa 

seseorang. Misalnya marihuana, wekamin 

dan lain-lain, yang kebanyakan dalam dosis 

tinggi bisa mengakibatkan pembiusan. Dalam 

kelompok “drugs” ini pada umumnya dikategorikan juga obat-obat perangsang jiwa

(psikostimulansia) dengan khasiat “pembebasan jiwa”(“high”, widening of the mind). Dalam 

uraian selanjutnuya akan dipakai  istilah 

yang resmi di negara kita , yakni narkotika. Lihat juga Bab 25, Anestetika Umum.

Keruntuhan moril dan jasmani yang diakibatkan oleh narkotika mendorong pemerintah 

untuk mengadakan pengawasan yang sangat 

ketat terhadap penyalahgunaan obat-obatan 

ini. Masalah ini yaitu  suatu masalah 

sosial dan kesehatan masyarakat yang mut -

lak perlu ditanggulangi dengan seluruh 

kekuatan yang ada. Karena kebutuhan akan 

uang untuk memperoleh narkotika, maka 

secara tidak langsung pemakaian  drug juga 

menginduksi kriminalitas. 

Masalah narkotika. Ancaman bahaya narkotika dihadapi oleh seluruh dunia dan 

hampir semua negara bertekad meningkatkan usaha untuk menanggulangi bahaya 

ini. Dalam konperensi Jenewa pada awal 

tahun 1977 utusan dari semua negara sepakat untuk mengadakan pengawasan yang 

lebih ketat terhadap arus lalu-lintas bahanbahan narkotika dari negara “Golden Triangle” di Asia, yang yaitu  sumber utama dari narkotika yang beredar di pasaran 

dunia. Mengingat bahwa operasi kelompok pengedar narkotika gelap beredar secara “transnasional”, maka PBB perlu meningkatkan usaha-usahanya untuk memberantas 

penyebaran bahaya “penyakit masyarakat” 

ini yang menyebabkan kesengsaraan bagi 

para penderita dan keluarganya.

Upaya negara kita 

Badan Narkotika Nasional (disingkat BNN) yaitu  sebuah Lembaga Pemerintah Non 

Kementerian (sejak 2010) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden, mempunyai tugas 

melaksanakan tugas pemerintahan di bidang 

pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursornya, psikotropika dan bahan adiktif 

lainnya.

Dasar hukum BNN yaitu  Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Sebelumnya, BNN yaitu  lembaga 

nonstruktural yang dibentuk berdasar  

Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002, 

yang kemudian diganti dengan Peraturan 

Presiden Nomor 83 Tahun 2007.

Hard dan soft drugs 

Dalam kepustakaan ilmiah sering kali kelompok “drugs” ini dibagi lagi dalam “hard” 

dan “soft drugs”. Pemisahan yang betul-betul 

ilmiah dalam hard dan soft drugs sukar sekali 

dilakukan, misalnya pada LSD dan kokain.

Sudah jelaslah bahwa hard drugs jauh lebih 

berbahaya daripada soft drugs berdasar  

sifat-sifat dan cara pemakaian nya.

1. Hard drugs: opium, morfin, heroin, kokain 

dan dekstromoramida (Palfium).

Hard drugs yaitu  zat-zat yang pada penggunaan kronis menyebabkan perubahanperubahan di dalam tubuh pemakai, sehingga 

penghentian pemberiannya mengakibatkan 

gangguan serius bagi fisiologi tubuh, yang 

disebut gejala penarikan atau gejala abstinensi. Gejala ini mendorong pencandu (“addict”) untuk terus-menerus menggunakan 

zat-zat ini untuk menghindarkan timbulnya 

gejala tidak nyaman itu. Di lain pihak dosis 

yang dipakai  lambat-laun harus ditingkatkan untuk memperoleh efek sama yang 

dikehendaki (toleransi). Hard drugs mengakibatkan suatu ketergantungan fisik (ketagihan) yang hebat dan menyebabkan toleransi 

terhadap dosis yang dipakai . Hard drugs 

dapat dipakai  melalui injeksi (parenteral), 

sedangkan soft drugs tidak disuntikkan. 

pemakaian  drug secara intravena merupakan suatu masalah internasional yang 

sangat serius. Kebiasaan menggunakan tabung dan jarum injeksi bersama-sama para 

pencandu lainnya yaitu  sebab utama 

penyebaran virus HIV, virus hepatitis (B,C) 

yang merusak hati dan lain-lain. Di seluruh 

dunia dewasa ini ada  sekitar 16 juta 

pengguna drug intervena dan ±3 juta di 

antaranya terinfeksi HIV terutama di Asia 

dan Eropa Timur.

2. Soft dr