bank darah 5




 yaitu deteksi 

antibodi dan deteksi virus . RNA virus HIV dapat di deteksi menggunakan Nucleic Acid Test  

(NAT) sekitar 11 hari setelah terinfeksi. Pemeriksaan skrining antibodi HIV dipakai  untuk 

diagnosis primer yang diikuti dengan tes konfirmasi jika hasil positif/reaktif pada hal hasil 

pemeriksaan skrining. Selain metode ELISA (enzyme linked immunosorbent assay) dan juga 

dipakai  pemeriksaan partikel aglutinasi. Tes ELISA yang disetujui mengandung antigen HIV-

1 kelompok M, khususnya HIV-1 M: B, kelompok O dan HIV-2. Tergantung pada pabrikan, 

antigen yang diturunkan dari reverse transcriptase dan protein p24 ditambahan dalam sistem 

pemeriksaan. Selain itu, pemeriksaan bergantung pada respon imun dan titer antibodi. Infeksi 

dapat dideteksi secara serologis setelah 3 minggu tapi biasanya setelah 4-5 minggu. Dalam 

kasus yang jarang terjadi, orang yang terinfeksi HIV dengan imunosupresi lengkap 

kemungkinan antibodi HIV-negatif, tetapi mereka memiliki gejala klinis khas HIV dan titer virus 

yang terukur dalam darah. 

Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis secara keseluruhan 

kemudian ditemukan adanya faktor resiko dan menemukan temuan klinis pada pemeriksaan 

fisik. Tes diagnostik untuk HIV yang sampai sekarang masih dipakai  adalah ELISA (enzyme-

linked immunoabsorbent assay), rapid test, Western Blot, dan PCR (Polymerase chain 

reaction) dengan sampel whole blood, dried bloodspots, saliva dan urin. 

   

  

 

Rapid test disarankan untuk kasus kecelakaan kerja bagi petugas yang terpapar darah 

penderita HIV/AIDS atau pada penderita yang kemungkinan tidak mau datang kembali untuk 

menyampaikan hasil tes HIV. Tes ELISA merupakan pemeriksaan yang umum dilakukan karena 

praktis dan sensitifitasnya tinggi. Rekomendasi WHO jika tes ELISA dengan 3 reagen yang 

berbeda hasilnya postif semua atau rapid test dengan 3 reagen hasilnya positif semua maka 

tidak dianjurkan tes Western Blot (WB). Berikut ini adalah algoritma untuk pemeriksaan HIV 

pada donor

 


 Pemeriksaan HIV 1/2  Metode Rapid Tet 

Prinsip : 

Pemeriksaan rapid tes ini merupakan uji kualitatif untuk mendeteksi antibodi spesifik 

untuk HIV 1 (IgG, IgM, IgA) termasuk subtipe O dan atibodi HIV-2 dalam serum, plasma 

atau darah lengkap.   Pada bagian tes (T) membaran strip dilekatkan antigen 

recombinant HIV-1 capture antigen (gp41, p24) pada daerah garis tes 1 dan antigen  

recombinant HIV-2 capture antigen (gp36) pada daerah garis tes 2. Antigen 

recombinan HIV-1/2 (gp41, p24 and gp36) dan colloid gold conjugate di bagian well 

sampel akan berikatan dengan antibodi HIV1/2 pada sampel dan bergerak pada 

membran kromatografi menuju daerah tes (T), sehingga apa bila ada  antibodi HIV 

1/2  akan membentuk garis nyata berwarna ungu pada daerah tes (T) yang merupakan 

ikatan komplek antigen – antibodi – antigen gold partikel dengan spesisfisistas dan 

sensitivitas yang tinggi . Kelebihan Antigen recombinan HIV-1/2 (gp41, p24 and gp36) 

dan colloid gold conjugate akan terus bergerak menuju area kontrol (C) yang telah 

dilapisi antibodi HIV1/2 rekombinan, sehingga berikatan dan membentuk garis merah 

pada area kontrol yang menunjukkan hasil pemeriksaan valid. Hasil reaktif harus 

dikonfirmasi menggunakan pemeriksaan HIV metode ELISA atau Western Blot. 

Alat dan Bahan : 

4) HIV 1/2 Rapid test ( test strip , diluent dan pipet kapiler) 

5) Mikropipet (10 µL, 20 µL) 

6) Tip kuning  

7) Timer 

8) Sampel pasien (serum atau plasma atau darah lengkap) 

Cara kerja : 

1) Siapakan alat dan bahan yang diperlukan,kemudian simpan pada suhu kamar.   

2) Buka kemasan kit pemeriksaan pada permukaan yang datar dan kering. 

3) Untuk sampel menggunakan pipet kapiler, dipipet 20µL sampel darah dan 

masukkan ke dalam sampel well (S). Untuk sampel yang menggunakan mikropipet, 

dipipet 10 µL untuk serum atau plasma dan jika menggunakan sampel darah 

dipipet 20 µL , kemudian masukkan kedalam sampel well (S)  

4) Tambahkan 4 tetes larutan diluent secara vertikal ke dalam sampel well (S).  

   

  

 

Perhatian: jika meneteskan tidak vertikal maka akan mempengaruhi keakuratan 

hasil, dianjurkan hanya 4 tetes, apabila berlebih (5-6 tetes) akan mempengaruhi 

terbentuknya garis menjadi tidak jelas.   .  

5) Baca hasil pengamatan 10-20 menit. Peringatan : jangan membaca hasil lebih dari 

20 menit 

 

Interpretasi Hasil  

- Negatif : hanya terbentuk satu garis pada daerah kontrol (C). 

 

- Positif : 

b) Positif HIV-1  : Terbentuk dua garis ungu, satu garis di daerah tes 1 (T1) 

dan satu garis di daerah kontrol (C). 

 

c) Positif HIV-2 : Terbentuk dua garis ungu, satu garis di daerah tes 2 (T2) 

dan satu garis di daerah kontrol (C). 

 

  

  

- Invalid  : Tidak terbentuk garis pada daerah kontrol (C). 

 

 

Catatan : apabila terbentuk 3 garis yaitu di daerah Tes 1 (T1), Tes 2 (T2) dan kontrol 

(C), maka harus dikonfirmasi dengan western Blot untuk penentuan jenis virus.  

 Pemeriksaan HIV 1/2  Metode ELISA 

Prinsip :  

 

Gambar  Prinsip pemeriksaan HIV 1/2 metode ELISA 

Test Microlisa HIV merupakan test berbasis Indirect ELISA. Protein HIV envelope gp41, 

gp 120 untuk HIV-1, dan gp 36 untuk  HIV-2 yanga merupakan epitop imunodominan 

dilekatkan pada sumur mikrotiter. Sampel dan kontrol ditambahkan ke dalam sumur 

dan di inkubasi. Apabila pada sampel ada  antibodi HIV-1 dan HIV 2 maka akan 

berikatan dengan antigen spesifik yang telah dilekatkan pada permukaan sumur. Plate 

kemudian dicuciuntuk menghilangkan komponen yang tidak berikatan. Horseradish 

peroxidase (HRP) konjugat dan antihuman IgG ditambahkan ke dalam setiap well. 

Konjugat akan berikatan dengan  komplek HIV antigen-antibody yang terbentuk. 

Selanjutnya larutan substrat yang mengandung kromogen dan hidrogen peroksida 

ditambahkan pada setiap sumur dan diinkubasi. Warna biru yang terbentuk sebanding 

dengan jumlah antibodi HIV-1 dan atau antibodi HIV-2 yang ada  pada sampel.  

Kemudian perubahan warna yang terbentuk dihentikan oleh stop solution. Warna yang 

terbentuk dibaca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 450 nm. Apabila 

sampel tidak mengandung antibodi HIV-1 dan atau antibodi HIV-2, maka tidak akan 

terbentuk warna biru pada sumur. 

 

 

 

   

  

 

 Alat dan bahan : 

1) ELISA Kit untuk deteksi antibodi HIV-1/2 

2) Mikropipet  

3) Timer Elisa  

4) reader Elisa 

5) Washer ELISA  

6) Inkubator370C  

7) Vortex  

8) Sarung tangan  

9) Tisu atau kertas saring 

10) Sampel (serum atau plasma) 

 

 

Cara kerja 

1) Dipipet 100 µl sample diluent dan masukkan ke sumur A-1 well sebagai blank. 

2) Dipipet 100 µl  kontrol negatif dan masukkan ke setiap sumur dengan nomor B-1 dan 

C-1. Perhatian : negatif kontrol siap dipakai  tidak perlu diencerkan. 

3)  Dipipet 100 µl  Positif kontrol dan masukkan pada sumur D-1, E-1 & F-1. Perhatian : 

negatif kontrol siap dipakai  tidak perlu diencerkan. 

4) Dipipet 100 µl sample diluent dan masukkan ke setiap sumur dimulai dari G-1 diikuti 

dengan penambahan sampel sebanyak 10µl.  

5) Tutup plate. 

6) Inkubasi pada 37°C ± 2°C selama 30 menit ± 2 menit.  

7) Selama inkubasi siapkan larutan pencuci (wash buffer) dan larutan kerja konjugat 

spesifik. 

8) Keluarkan plate dari inkubator dan cuci 5 kali dengan larutan pencuci (wash buffer)  

9) Tambahkan 100 µl larutan HRP konjugat pada setiap sumur dari mulai A-1.  

10) Tutup plate 

11) Inkubasi pada 37°C ± 2°C selama 30 menit ± 2 menit  

1   

  

  

12) Buang dan cuci seperti prosedur no 8  

13) Tambahkan 100 µl TMB substrat pada setiap sumur dari mulai A-1 

14) Inkubasi pada suhu ruang (20 - 30ºC) selama 30 menit pada keadaan gelap 

15)  Tambahkan 100 µl of larutan stop pada setiap sumur. 

16) Baca absorban pada panjang gelombang 450 nm dalam waktu 30 menit pada ELISA 

READER setelah blanking sumur A-1. 

Tes validitas : 

1) Nilai absorban Blanko harus lebih kecil dari 0,100  

2) Nilai absorban Negatif kontrol harus < 0,150 

3) Nilai absorban Positif kontrol ha> 0,50 

Interpretasi Hasil  

1) Spesimen dengan absorbansi kurang dari (<) nilai cut-off dinyatakan negatif. 

2) Spesimen dengan nilai absorbansi lebih besar atau sama dengan () nilai cut-off 

dinyatakan positif. 

 


 

Topik 3 

Hepatitis C 

 

A. STRUKTUR DAN MORFOLOGI 

Hepatitis C adalah jenis yang paling berbahaya dari semua jenis virus hepatitis, karena 

infeksi ini biasanya tidak menimbulkan gejala sampai di tahapan akhir infeksi kronis. 

Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi hepatitis sampai akhirnya 

menderita kerusakan hati permanen beberapa tahun kemudian, saat dilakukan tes medis 

rutin. 

Pada tahun 1980-an timbul sejumlah kasus hepatitis yang menyebar melalui transmisi 

parenteral. Virus ini tidak dapat dikatagorikan dalam kelompok atau tipe virus hepatitis yang 

ada saat itu, yaitu virus hepatitis A, B dan Delta. Seiring dengan perkembangan teknologi, 

ditemukanlah metode isolasi dan karakterisasi RNA virus. Virus ini kemudian dikenal dengan 

virus hepatitis C dan merupakan penyebab dominan kasus infeksi akibat virus hepatitis non A 

dan non B (NANBH). Hepatitis C adalah peradangan hati yang disebabkan oleh virus hepatitis 

C (hepatitis C virus/HCV), yaitu virus yang bergenom RNA untai tunggal dan dikatagorikan ke 

dalam kelompok Flaviviridae . Dalam perjalanan penyakitnya hepatitis C dapat menjadi infeksi 

akut dan infeksi kronis, dimana dari infeksi kronis ini  dapat berkembang menjadi fibrosis 

dan kanker hati . Hepatitis C juga berpotensi menjadi kejadian luar biasa (KLB). Oleh sebab itu 

penyakit hepatitis C masih termasuk dalam masalah kesehatan utama di indonesia.  

Patogenesis infeksi HCV hingga memicu  hepatitis C tidak lepas dari peran struktur 

genom yang dimilikinya. Sekitar 9600 nukleotida menyusun sebuah Untranslated Region dan 

Open Reading Frame (ORF). Open Reading Frame akan mengkode sejumlah protein fungsional 

yang berperan dalam membentuk struktur virus serta berperan dalam patogenesis infeksi, 

terutama dalam hal mekanisme replikasi virus dalam sel inang. Struktur genom virus hepatitis 

C,  partikel HCV (virion) terdiri berukuran 40-70 nm. Virion terdiri dari bagian inti (core) yang 

mengandung materi genetik berupa satu untai RNA yang dikelilingi oleh lapisan protein 

pelindung dengan struktur ikosahedral yang disebut nukleokapsid. Pada bagian luar 

nukleokapsid ada  lapisan lipid dan glikoprotein yang membentuk struktur envelop. Open 

Reading Frame mengkodekan sekitar 3000 asam amino, poliprotein ini kemudian menjadi 10 

protein fungsional pascatranslasi melalui proses yang melibatkan sejumlah proteinase milik 

sel inang dan virus. 

 

Gambar 5.18 Genom Virus Hepatitis C 

Pada bagian ujung terminal 5’ dan 3’ ada  daerah yang disebut Untraslated Region 

(UTR). Daerah ini tidak mengkodekan protein apapun, namun berperan penting dalam inisiasi 

traskripsi dan translasi. Bagian yang terletak di ujung 5’ disebut daerah 5’UTR, sedangkan yang 

terletak di ujung 3’ disebut 3’UTR. poliprotein post tranlasi terdiri dari protein struktural 

(terletak di dekat ujung amino) dan protein non struktural (terletak di dekat ujung karboksil). 

protein struktural adalah protein yang berperan dalam pembentukan struktur virus, yaitu 

protein core, E1, E2 dan P7. protein non struktural terdiri dari NS2, NS3, NS4 dan NS5. 

   

  

 

Beberapa dari protein ini akan dipotong menjadi protein berukuran kecil yang berperan dalam 

replikasi virus. rantai poliprotein yang terbentuk akan dipotong melalui mekanisme yang 

disebut chopping. pemotongan ini dilakukan oleh sejumlah protease. 

B. CARA PENULARAN 

Pada biasanya  cara penularan HCV adalah parental. Semula penularan HCV 

dihubungkan dengan transfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi setelah 

ditemukan bentuk virus dari hepatitis, makin banyak laporan mengenai cara penularan 

lainnya, yang biasanya  mirip dengan cara penularan HBV, yaitu: 

1) Penularan horizontal  

Penularan HCV terjadi terutama melalui cara parental, yaitu tranfusi darah atau 

komponen produk darah, hemodialisa, dan  penyuntikan obat secara intravena. 

2) Penularan vertikal  

Penularan vertikal adalah penularan dari seseorang ibu  pengidap atau penderita 

Hepatitis C kepada bayinya sebelum  persalinan, pada saat persalinan atau beberapa saat 

persalinan. 

Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera menuju hepatosit (sel hati) dan dan 

juga sel limfosit B. Hanya dalam sel hati HCV bisa berkembang biak. sebab  sulitnya 

membiakkan HCV pada kultur, juga tidak adanya model binatang non-primata telah 

memperlambat lajunya riset HCV. Berikut ini adalah daur hidup HCV (Gambar 5.11). 

 

Gambar 5.19. Siklus hidup virus hepatitis C 

Melalui gambar skematis di atas, proses siklus kehidupan HCV digambarkan secara alur 

skematis.  

1   

  

  

1) HCV masuk ke dalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan sel yang 

spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun protein permukaan CD8+ 

adalah suatu HCV binding protein yang memainkan peranan dalam masuknya virus. Salah 

satu protein khusus virus yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site di 

bagian luar hepatosit. 

2) Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu proses kimiawi 

dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan selanjutnya dinding sel akan 

melingkupi dan menelan virus serta membawanya ke dalam hepatosit. Di dalam 

hepatosit, selaput virus (nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus 

(virus uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom hepatosit 

dalam membuat bahan-bahan untuk proses reproduksi. 

3) Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri. Selama 

proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih banyak lagi 

hepatosit yang terinfeksi kemudian menbajak mekanisme sintesis protein hepatosit 

dalam memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak. 

4) RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk memproduksi masal 

poliprotein (proses translasi). 

5) Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada 2 jenis yaitu 

protein struktural dan regulatori. Protein regulatori memulai sintesis kopi virus RNA asli. 

6) Sekarang RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran kali) untuk 

menghasilkan bahan dalam membentuk virus baru. Hasil kopi ini adalah bayangan cermin 

RNA orisinil dan dinamai RNA negatif. RNA negatif lalu bertindak sebagai cetakan 

(template) untuk memproduksi serta RNA positif yang sangat banyak yang merupakan 

kopi identik materi genetik virus. 

7) Proses ini berlangsung terus dan memberikan kesempatan untuk terjadinya mutasi 

genetik yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe virus hepatitis C. 

Setiap kopi virus baru akan berinteraksi dengan protein struktural, yang kemudian akan 

membentuk nukleokapsid dan kemudian inti virus baru. Amplop protein kemudian akan 

melapisi inti virus baru. 

8) Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke pembuluh darah 

menembus membran sel. 

Keluaran dan derajat keparahan dari infeksi virus hepatitis bergantung pada jenis virus, 

jumlah virus dan faktor dari host.  

 

 

 

 

   

  

 

C. GEJALA KLINIS 

Manifestasi klinis hepatitis virus C dikenal mulai dari hepatitis akut, fulminan, kronis, 

yang dapat berkembang menjadi sirosis atau kanker hati. 

1) Infeksi Akut 

Umumnya infeksi akut HCV tidak memberi gejala atau hanya bergejala minimal. Hanya 

20-30% kasus yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7 – 8 minggu (berkisar 2 – 26 

minggu) setelah terjadinya paparan. 

Infeksi virus hepatitis terbagi 3 fase, yaitu fase prodormal, fase ikterik, dan fase 

convalescent.  Pada fase prodormal, onset terjadi pada hari 1-14, namun rata-rata timbul pada 

hari 5-7 setelah paparan.  Keluhan yang sering yaitu malaise, fatique, mual dan muntah, 

kehilangan selera makan, demam , gejala flu , dan kebanyakan pasien mengeluh adanya nyeri 

pada perut kanan atas.  

Pada fase ikterik, gejala yang sering ditimbulkan yaitu warna kuning pada mukosa sklera 

pada awalnya dan berlanjut pada perubahan warna pada kulit. Durasi ikterik bervariasi, 

biasanya antara 4 hari sampai beberapa bulan, namun rata-rata 2-3 minggu. Urin menjadi 

gelap, feses berwarna seperti dempol (pucat). Selama fase ini, setengah penderita 

menunjukkan gejala gatal-gatal.  

Pada fase convalescent, kebanyakan gejala di atas menghilang (resolve).  Ikterik tidak 

ditemukan, warna pada kulit, urin dan feses kembali ke warna yang semula. Kembalinya nafsu 

makan dan adanya peningkatan berat badan menunjukkan sudah adanya tahap 

penyembuhan.  

 Umumnya secara klinik gejala HCV akut lebih ringan daripada hepatitis virus akut 

lainnya. Masa inkubasi HCV terletak antara HAV dengan HBV, yaitu sekitar 2 – 26 minggu, 

dengan rata-rata 8 minggu. Pada penderita hepatitis akut ditemukan Anti HCV positif pada 

75,5% HNANB pasca-tranfusi, 35% pada HNANB sporadik dan hanya 2,4 pada HBV. Sebagian 

besar penderita yang terserang HCV akut akan menjurus menjadi kronis. 

RNA virus hepatitis C dapat terdeteksi sebelum gejala muncul, namun level dari viremia 

pada 6 bulan pertama dapat dorman dan tidak terdeksi walaupun orang ini  sedang 

dalam infeksi yang persisten.  Gejala awal yang ditunjukkan tergantung dari usia saat 

terjadinya paparan, sistem imun penderita, adanya penyakit hati sebelumnya dan tingkat 

inokulasi virus. 

Level serum dari enzim hati seperti alanin aminotransferase (ALT) meningkat 10 kali 

lebih tinggi dari pada normal, kemudian menurun, dan untuk orang dengan infeksi yang 

persisten didapatkan kadar ALT naik turun (fluktuatif). Serum bilirubin juga dapat meningkat 

setelah beberapa minggu gejala pertama muncul, namun akhirnya kembali ke level yang 

normal. Secara garis besar, angka mortalitas pada infeksi akut tergolong rendah.  


  

  

2)  Infeksi Kronis 

Infeksi akan menjadi kronik pada 70 – 90% kasus dan sering kali tidak menimbulkan 

gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Adapun kriteria dari hepatitis 

kronis adalah naiknya kadar transaminase serum lebih dari 2 kali nilai normal, yang 

berlangsung lebih dari 6 bulan. Hilangnya HCV setelah terjadinya hepatitis kronis sangat jarang 

terjadi.  Jangka waktu dimana berbagai tahap penyakit hati berkembang sangat bervariasi. 

Diperlukan waktu 20 – 30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang sering tejadi pada 15 – 20% 

pasien hepatitis C kronis. Progresivitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati tergantung 

beberapa faktor resiko yaitu: asupan alkohol, ko-infeksi dengan virus hepatitis B atau Human 

Immunodeficiency Virus (HIV), jenis kelamin laki-laki, usia tua saat terjadinya infeksi dan kadar 

CD4+ yang sangat rendah. Bila telah terjadinya sirosis, maka risiko terjadinya karsinoma 

hepatoselular adalah sekitar 1-4% pertahun. Karsinoma hepatoseluler dapat terjadi tanpa 

diawali dengan sirosis, namun hal ini jarang terjadi. 

3) Hepatitis C Fulminan 

Hepatitis fulminan jarang terjadi. ALT (alanine amino-transferase) meninggi sampai 

beberapa kali diatas batas atas normal tetapi biasanya  tidak sampai lebih dari 1000 U/L. 

Selain memiliki manifestasi hepatik, ada beberapa manifestasi ektrahepatik HCV yang penting 

a)  Mixed Cryoglobulinaemic vasculitis 

 Pada 50% pasien HCV biasanya  terdeteksi cryoglobulin pada serum darah, dan 

Kriopresipitat  biasanya mengandung sejumlah besar antigen dan antibodi HCV, namun 

hanya sebagian kecil pasien (10-15%) yang memiliki gejala. Gejala-gejala biasanya terkait 

dengan vaskulitis, yaitu lemah, atralgia dan purpura. 

b) Membranoproliferative glomerulonephritis 

 Pada kasus ini, telah terjadi peranan dari persarafan dan otak sehingga gejala yang 

timbul lebih berat. 

c) Poliarteritis Nodosa 

d) Papular Acrodermatitis (Gianotti syndrome) 

 

D. METODE PEMERIKSAAN 

Penegakan diagnosis pada hepatitis virus C berdasarkan uji serologi untuk memeriksa 

antibodi dan Uji HCV RNA. 

 

 

 

1)  Uji serologi 

Uji serologi yang berdasarkan pada deteksi antibodi telah membantu mengurangi risiko 

infeksi terkait transfusi. Sekali pasien pernah mengalami serokonversi, biasanya hasil 

pemeriksaan serologi akan tetap positif, namun kadar antibodi anti-HCV akan menurun 

secara gradual sejalan dengan waktu pada sebagian pasien yang infeksinya mengalami reaksi 

spontan. 

Antibodi terhadap HCV biasanya dideteksi dengan metode enzyme immunoassay yang 

sangat sensitif dan spesifik. Enzyme immunoassay generasi k-3 yang banyak dipergunakan 

saat ini mengandung protein core dan protein struktural-struktural yang dapat mendeteksi 

keberadaan antibodi dalam waktu 4-10 minggu infeksi. Antibodi anti-HCV masih tetap dapat 

terdeteksi selama terapi maupun setelahnya tanpa memandang respon terapi yang telah 

dialami, sehingga pemeriksaan anti-HCV tidak perlu dilakukan kembali apabila sudah pernah 

dilakukan sebelumnya. Uji immunoblot rekombinan (recombinant immunoblot assay, RIBA) 

dapat dipakai  untuk mengkonfirmasi hasil uji enzyme immunoassay yang 

positif. Penggunaan RIBA untuk mengkonfirmasi hasil hanya direkomendasikan untuk setting 

populasi resiko rendah seperti pada bank darah. Namun dengan tersedianya metode enzyme 

immunoassay yang sudah diperbaiki dan uji deteksi RNA yang lebih baik saat ini, maka 

konfirmasi denga RIBA telah menjadi kurang diperlukan.  

2) Uji HCV RNA 

HCV RNA dapat terdeteksi dan diukur dengan teknik amplifikasi termasuk reverse 

transcription polymerase chain reation (RT-PCR). Genotip HCV dapat dinilai dengan analisis 

phylogenetic dari rantai nukleotida atau deteksi mutasi point spesifik subtipe pada RT-PCR 

amplifikasi RNA. HCV RNA dideteksi dalam waktu 2 minggu infeksi dan juga dipakai  untuk 

konfirmasi terjadinya infeksi akut. Bagaimanapun uji HCV RNA yang rutin tidak dianjurkan 

secara langsung karena standarisasi uji ini  yang masih rendah.  

3) Biopsi Hati 

Biopsi hati secara umum direkomendasikan untuk penilaian awal seorang pasien dengan 

infeksi HCV kronis. Biopsi berguna untuk menentukan derajat beratnya penyakit (tingkat 

fibrosis) dan menentukan derajat nekrosis dan inflamasi.1 Pemeriksaan ini juga bermanfaat 

untuk menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab hati yang lain, seperti fitur 

alkoholik, non-alcoholic steatohepatits (NASH), hepatitis autoimun, penyakit hati drug-

induced atau overload besi. 

 

 Pemeriksaan HIV 1/2  Metode Rapid Tet 

  

  

Prinsip : Pemeriksaan rapid tes ini merupakan uji kualitatif untuk mendeteksi antibodi 

spesifik untuk HCV dalam serum atau plasma. Pada bagian sampel (S) membran strip 

dilekatkan antigen recombinant HCV  dan colloid gold conjugate yang berikatan dengan 

antibodi HCV pada sampel, kemudian bergerak pada membran kromatografi menuju 

daerah tes (T) yang telah dilekatkan antigen  rekombinan HCV(antigen HCV Core, NS3, NS4, 

NS5), sehingga apabila ada  antibodi HCV pada sampel akan membentuk garis nyata 

berwarna ungu pada daerah tes (T) yang merupakan ikatan komplek antigen – antibodi – 

antigen gold partikel dengan spesisfisistas dan sensitivitas yang tinggi . Kelebihan Antigen 

recombinan HCV dan colloid gold conjugate akan terus bergerak menuju area kontrol (C) 

yang telah dilapisi antibodi HCV rekombinan, sehingga berikatan dan membentuk garis 

merah pada area kontrol yang menunjukkan hasil pemeriksaan valid.  

Alat dan Bahan : 

 HCV Rapid test ( test strip , diluent dan pipet kapiler) 

 Mikropipet (10 µL) 

 Tip kuning  

 Timer 

 Sampel pasien (serum atau plasma) 

Cara kerja : 

1) Siapakan alat dan bahan yang diperlukan,kemudian simpan pada suhu kamar.   

2) Buka kemasan kit pemeriksaan pada permukaan yang datar dan kering. 

3) Untuk sampel menggunakan pipet kapiler atau mikropipet, dipipet 10µL sampel 

darah dan masukkan ke dalam sampel well (S).  

4) Tambahkan 3 tetes larutan diluent secara vertikal ke dalam sampel well (S).  

5) Baca hasil pengamatan 5-20 menit. Peringatan : jangan membaca hasil lebih dari 20 

menit 

Interpretasi Hasil  

- Negatif : hanya terbentuk satu garis pada daerah kontrol (C). 

 

- Positif : Terbentuk dua garis ungu, satu garis di daerah tes (T) dan satu garis di 

daerah kontrol (C). 

   

  

 

 

Derajat warna yang terbentuk pada hasil positif 

 

- Invalid  : Tidak terbentuk garis pada daerah kontrol (C). 

 

 

 Pemeriksaan HCV Metode ELISA 

Prinsip :  

Test Microlisa HIV merupakan test berbasis Indirect ELISA. Protein recombinant HCV 

Core, protein NS3 dan sintetis peptida yang memiliki segmen antigenik, NS4 and NS5 

regions dari virus hepatitis C dilekatkan pada sumur mikrotiter. Sampel dan kontrol 

ditambahkan ke dalam sumur dan di inkubasi. Apabila pada sampel ada  antibodi 

HCV maka akan berikatan dengan antigen spesifik yang telah dilekatkan pada 

permukaan sumur. Plate kemudian dicuciu ntuk menghilangkan komponen yang tidak 

berikatan. Horseradish peroxidase (HRP) konjugat dan antihuman IgG ditambahkan ke 

dalam setiap well. Konjugat akan berikatan dengan  komplek HCV antigen-antibodi 

yang terbentuk. Selanjutnya larutan substrat yang mengandung kromogen dan 

hidrogen peroksida ditambahkan pada setiap sumur dan diinkubasi. Warna biru yang 

terbentuk sebanding dengan jumlah antibodi HCV yang ada  pada sampel.  

Kemudian perubahan warna yang terbentuk dihentikan oleh stop solution. Warna yang 

terbentuk dibaca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 450nm / 630 nm. 

Apabila sampel tidak mengandung antibodi HCV, maka tidak akan terbentuk warna 

biru pada sumur. 

 Alat dan bahan : 

a. Reagen ELISA untuk deteksi antibodi HCV 

1   

  

  

b. Mikropipet  

c. Timer Elisa  

d. reader Elisa 

e. Washer ELISA  

f. Inkubator370C  

g. Vortex  

h. Sarung tangan  

i. Tisu atau kertas saring 

j. Sampel (serum atau plasma) 

Cara Kerja : 

1) Siapkan alat dan bahan yang dibutuhkan. Simpan pada suhu kamar sebelum 

dipakai . 

2) Beri label setiap well. Label diberikan pada satu sumur (A1) sebagai blanko dan 

dua sumur (B1 & C1) sebagai negatif kontrol dan tiga sumur (D1, E1 & F1) sebagai 

positif kontrol  

3) Tambahkan 100µl positif dan negatif kontrol (langsung dipakai )sesuai label 

pada sumur. 

4) Tambahkan 100 µl larutan pengencer pada setiap sumur untuk sampel 

5) Tambahkan 10µl sampel pada sumur yang ada larutan pengencer tadi dan 

homogenkan 

6) Tutup mikroplate dan inkubasi pada suhu kamar (25-30°C) selama 30 menit  

7) Cuci mikroplate sebanyak 5 kali dengan penambahan 300µl setiap sumur dengan 

larutan buffer pencuci. Hati-hati jangan sampai kontaminasi 

8) Tambahkan 100µl larutan HRP konjugat pada setiap sumur. 

9) Tutup mikroplate dan inkubasi pada suhu kamar (25-30°C) selama 30 menit  

10) Cuci mikroplate sebanyak 5 kali dengan penambahan 300µl setiap sumur dengan 

larutan buffer pencuci. Hati-hati jangan sampai kontaminasi. 

11) Tambahkan 100µl larutan TMB substrat pada setiap sumur.  

12) Tutup mikroplate dan inkubasi pada suhu kamar (25-30°C) selama 30 menit 

(keadaan gelap) 

   

  

 

13) Hentikan reaksi dengan penambahan 100ul of the stop solution pada setiap 

sumur. 

14) Baca absorban pada panjang gelombang 450nm/630nm dalam waktu 30 menit 

pada ELISA READER Dipipet 100 µl sample diluent dan masukkan ke sumur A-1 well 

sebagai blank. 

Tes validitas : 

4) Nilai absorban Blanko harus lebih kecil dari 0,150  

5) Nilai absorban Negatif kontrol harus < 0,250 

6) Nilai absorban Positif kontrol harus > 0,60 

Interpretasi Hasil  

1) Spesimen dengan absorbansi kurang dari (<) nilai cut-off dinyatakan negatif. 

2) Spesimen dengan nilai absorbansi lebih besar atau sama dengan () nilai cut-off 

dinyatakan positif. 

 


Topik 4 

Sifilis 

 

A. STRUKTUR DAN MORFOLOGI 

Sifilis merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik yang disebabkan oleh treponema 

palidum. Angka kejadian sifilis mencapai 90% dinegara-negara berkembang. World Health 

Organization (WHO) memperkirakan sebesar 12 juta kasus baru terjadi di afrika, Asia Selatan, 

Asia Tenggara, Amerika Latin dan Caribbean. Angka kejadian Sifilis di Indonesia berdasarkan 

laporan Survey Terpadu dan Biologis Perilaku (STBP) tahun 2011 Kementrian Kesehatan RI 

terjadi peningkatan angka kejadian Sifilis di tahun 2011 dibandingkan tahun 2007.  

Treponema pallidum merupakan spesies treponema dari famili Spirochaeta, ordo 

Spirochaetales, taksonomi dapat dilihat pada tabel 21.  

Tabel  20. Taksonomi Treponema pallidum 

TINGKATAN NAMA 

Kingdom   Bacteria  

Phylum Spirochaetes 

Ordo Spirochaetales 

Family Spirochaetaceae 

Genus Treponema 

Species T. Pallidum 

Subspecies Pallidum 

 

Treponema pallidum berbentuk spiral, gram negatif dengan panjang kisaran 11 µm 

dengan diameter antara 0,09 – 0,18 µm. ada  dua lapisan, sitoplasma merupakan lapisan 

dalam mengandung mesosom, vakuol ribosom dan bahan nukleoid, lapisan luar yaitu bahan 

mukoid. 

   

  

 

 

Gambar  Struktur Treponema pallidum 

 

B. CARA PENULARAN  

Treponema palidum masuk melalui selaput lendir yang utuh, atau kulit yang mengalami 

abrasi, menuju kelenjar limfe, kemudian masuk ke dalam pembuluh darah, dan diedarkan ke 

seluruh tubuh.  Biasanya dapat ditularkan melalui hubungan sekseual (membran mukosa atau 

uretra), kontak langsung dengan lesi atau luka yang terinfeksi, transfusi darah dan juga dari 

ibu yang menderita sifilis ke janin yang dikandung melalui plasenta pada stadium akhir 

kehamilan. 

Setelah beredar beberapa jam, infeksi menjadi sistemik walaupun tanda-tanda klinis dan 

serolois belum jelas. Sekitar satu minggu setelah terinfeksi Treponema palidum, ditempat 

masuknya akan  timbul lesi primer berupa ulkus. Ulkus akan muncul selama satu hingga lima 

minggu dan  kemudian menghilang. Uji serologis masih akan negatif ketika ulkus pertama kali 

muncul dan baru akan reaktif setelah satu sampai empat minggu berikutnya. Enam minggu 

kemudian, timbul erupsi seluruh tubuh pada sebagian kasus sifilis sekunder dan ruam ini akan 

hilang kisaran dua sampai enam minggu, karena terjadi penyembuhan spontan. Perjalanan 

penyakit menuju ke tingkat laten, dimana tidak ditemukan tanda-tanda klinis, kecuali hasil 

pemeriksaan serologis yang reaktif. Masa laten dapat berlangsung bertahun-tahun atau 

seumur hidup.  

 

C. GEJALA KLINIS 

Stadium sifilis  dalam perjalanannya dibagi menjadi tiga stadium yaitu sifilis stadium 

primer, sekunder dan tersier yang terpisah oleh fase laten dimana waktu bervariasi, tanpa 

tanda klinis infeksi. Interval antara stadium primer dan sekunder berkisar dari beberapa 

minggu sampai beberapa bulan. Interval antara stadium sekunder dan tersier biasanya lebih 

dari satu tahun.  

 Sifilis Primer 

Lesi awal sifilis berupa papul yang muncul di daerah genitalia kisaran tiga minggu setelah 

kontak seksual. Papul membesar dengan ukuran 0,5 – 1,5 cm kemudian mengalami ulserasi, 

membentuk ulkus. Ulkus sifilis yang khas berupa bulat, diameter 1-2 cm , tidak nyeri, dasar 

ulkus bersih tidak ada eksudat, teraba indurasi, soliter tetapi dapat juga multipel. Hampir 

sebagian besar disertai pembesaran kelenjar getah bening inguinal medial unilateral atau 

bilateral. Gambaran chancre sifilis primer dapat dilihat pada gambar . 

 

 

Gambar  chancre sífilis primer pada penis 

Chancre sífilis primer sering terjadi pada genitalia, perineal, atau anus dikarenakan 

penularan paling sering melalui hubungan seksual, tetapi bagian tubuh yang lain dapat juga 

terkena. Ulkus jarang terlihat pada genitalia eksterna wanita, karena lesi sering pada vagina 

atau serviks. Dengan menggunakan spekulum, akan terlihat lesi di serviks berupa erosi atau 

ulserasi yang dalam. Tanpa pengobatan lesi primer akan sembuh spontan dalam waktu 3 

sampai 6 pekan. Diagnosis banding sifilis primer yaitu ulkus mole yang disebabkan 

Haemophilus ducreyi, limfogranuloma venereum, trauma pada penis, fixed drug eruption, 

herpes genitalis. 

   

  

 

 Sifilis Sekunder 

Manifestasi akan timbul pada beberapa minggu atau bulan, muncul gejala sistemik 

berupa demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, sakit kepala, adenopati, dan lesi kulit atau 

mukosa. Lesi sekunder yang terjadi merupakan manifestasi penyebaran Treponema pallidum 

secara hematogen dan limfogen. Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai 

ruam pada kulit, selaput lendir, dan organ tubuh. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa 

makula, papula, folikulitis, papuloskuamosa, dan pustul, jarang disertai keluhan gatal. Lesi 

dapat ditemukan di trunkus dan ekstermitas, termasuk telapak tangan dan kaki. Papul 

biasanya merah atau coklat kemerahan, diskret, diameter 0,5 – 2 cm, biasanya  berskuama 

tetapi kadang licin. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital.  

Kondiloma lata merupakan istilah untuk lesi meninggi (papul), luas, putih atau abu-abu 

di daerah yang hangat dan lembab. Lesi  sifilis sekunder dapat muncul pada waktu lesi sifilis 

primer masih ada. Diagnosis sifilis sekunder ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan 

serologis yang reaktif dan pemeriksaan lapangan gelap positif. Treponema pallidum banyak 

ditemukan pada lesi selaput lendir atau basah seperti kondiloma lata. 

Ruam kulit pada sifilis sekunder sukar dibedakan dengan pitiriasis rosea, psoriasis, 

terutama jika berskuama, eritema multiforme dan erupsi obat. Diagnosis sifilis sekunder 

cukup sulit. Pada biasanya  diagnosis ditegakkan berdasarkan kelainan khas lesi kulit sifilis 

sekunder ditunjang dengan pemeriksaan serologis. 

 Sifilis Laten 

Sifilis laten yaitu apabila pasien dengan riwayat sifilis dan pemeriksaan serologis reaktif 

yang belum mendapat terapi sifilis dan tanpa gejala atau tanda klinis. Sifilis laten terbagi 

menjadi dini dan lanjut, dengan batasan waktu kisaran satu tahun. Dalam perjalanan penyakit 

sifilis akan melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Tetapi 

bukan bearti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis 

tersier. 

 Sifilis Tersier 

Sifilis tersier terdiri dari tiga grup sindrom yang utama yaitu neurosifilis, sifilis 

kardiovaskular, dan sifilis benigna lanjut. Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat 

asimptomatik dan sangat jarang terjadi dalam bentuk murni. Pada semua jenis neurosifilis, 

terjadi perubahan berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai 

degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala saat 

pemeriksaan.  

1   

  

  

Sifilis kardiovaskular disebabkan terutama karena nekrosis aorta yang berlanjut ke 

katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau aneurisma, berbentuk 

kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal.  

Sifilis benigna lanjut atau gumma merupakan proses inflamasi proliferasi granulomatosa 

yang dapat memicu  destruksi pada jaringan yang terkena. Disebut benigna sebab jarang 

memicu  kematian kecuali bila menyerang jaringan otak. Gumma mungkin terjadi akibat 

reaksi hipersensitivitas infeksi Treponema palidum. Lesi sebagian besar terjadi di kulit dan 

tulang. Lesi pada kulit biasanya soliter atau multipel, membentuk lingkaran atau setengah 

lingkaran, destruktif dan bersifat kronis, penyembuhan di bagian sentral dan meluas ke 

perifer. Lesi pada tulang biasanya berupa periostitis disertai pembentukan tulang atau osteitis 

gummatosa disertai kerusakan tulang. Gejala khas ialah pembengkakan dan sakit. Lokasi 

terutama pada tulang kepala, tibia, dan klavikula. Pemeriksaan serologis biasanya reaktif 

dengan titer yang tinggi. 

 Sifilis Kongenital 

Penyakit yang ditularkan kepada janin dalam uterus dari ibu yang positif menderita 

sifilis. Infeksi sifilis terhadap janin dapat terjadi pada setiap stadium sifilis dan setiap masa 

kehamilan. Dahulu beberapa pendapat menyatakan infeksi tidak dapat terjadi sebelum janin 

berusia 18 minggu, karena lapisan Langhans yang merupakan pertahanan janin terhadap 

infeksi sebelum atrofi. Tetapi kenyataannya dengan pengamatan menggunakan mikroskop 

elektron dapat ditemukan Treponema pallidum pada janin berusia 9-10 minggu. 

 

D. METODE PEMERIKSAAN 

ada  dua jenis uji serologi untuk diagnosis Treponema pallidum, yaitu :  

6) Uji non-treponemal, merupakan uji yang paling sering dilakukan adalah sebagai 

berikut  

- Uji Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) 

- Uji Rapid Plasma Reagin. 

Kedua pemeriksaan ini dipakai  untuk mendeteksi antobodi terhadap antigen yang 

terdiri dari kardioplin, kolesterol dan lesitin yang sudah terstandarisasi. 

7) Uji treponemal, terdiri dari : 

- Treponema pallidum Haem Aglutination (TPHA) 

- Treponema pallidum Particle Agglutination (TP-PA) 

   

  

 

- Flouresencent Treponemal Antibody Absorption (FTA-ABS) 

- Micro Hemagglutination Assay for antibodies to Treponema pallidum (MHA-TP) 

- Treponemal Enzyme Immuno Assay (EIA) untuk deteksi imunoglobulin G (IgG), 

imunoglobulin G dan M (IgG dan IgM) atau imunoglobulin M (IgM) 

Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi terhadap antigen treponemal dan memilki 

sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan uji nontreponemal terutama sifilis 

lanjut.  

 Pemeriksan VDRL / RPR 

Pemeriksaan Venereal Disease Research Laboratory (VDRL) / Serum atau 

Cerebrospinal Fluid (RPR) merupakan satu-satunya pemeriksaan laboratorium untuk 

neunurosipilis yang disetujui oleh Centers for Disease Control. Pemeriksaan VDRL serum 

bisa memberikan hasil negatif palsu pada tahap late sipilis dan kurang sensitif dari RPR. 

Pemeriksaan VDRL merupakan pemeriksaan penyaring atau Skrining Test, dimana apabila 

VDRL positif maka akan dilanjutkan dengan pemeriksaan TPHA (Trophonema  Phalidum 

Heamaglutinasi). Hasil uji serologi tergantung pada stadium penyakit misalnya pada infeksi 

primer hasil pemeriksaan serologi biasanya menunjukkan hasil non reaktif. Troponema 

palidum dapan ditemukan pada chancre. Hasil serologi akan menunjukan positif 1-4 

minggu setelah timbulnya chancre. Dan pada infeksi sekunder hasil serelogi akan selalu 

pisitif dengan titer yang terus meningkat. Pasien yang terinfeksi bakteri treponema akan 

membentuk antibody yang terjadi sebagai reaksi bahan-bahan yang dilepaskan karena 

kerusakan sel-sel. Andibody ini  disebut reagin. 

a. Tujuan  :  Untuk mendeteksi adanya antibody nontreponema atau Reagin. 

b. Metode Pemeriksaan : Slide 

c. Prinsip Pemeriksaan : Adanya antibody pada serum pasien akan bereaksi dengan 

antigen yang terdiri dari kardioplin, kolesterol dan lesitin yang sudah terstandarisasi 

membentuk flokulasi ( gumpalan) atau aglutinasi.  

d. Spesimen Pemeriksaan : Serum atau cairanotak 

e. Alat  dan Bahan Pemeriksaan 

1. Slide pemeriksaan berlatar belakan putih 

2. Mikroskop 

3. Mikropipet 

4. Tip kuning 

5. Rotator 

6. Timer 

7. Batang pengaduk 

1   

  

  

f. Cara Kerja 

a) Kualitatif 

o Siapkan alat dan bahan yad dibutuhkan. 

o Ke dalam lingkaran slide dipipet 50 ul serum. 

o Tambahkan 50 ul atau 1 tetes antigen (reagen VDRL ). 

o Homogenkan dengan batang pengaduk. 

− Putar pada rotator kecepatan 100 rpm selama 4-8 menit. 

− Amati ada tidaknya flokulasi. 

 

b) Kuantitatif 

o Siapkan alat dan bahan yang dibutuhkan.  

o Lakukan pengenceran berseri pada slide dengan cara 50 ul serum + 50 ul saline 

dihomogenkan kemudian hari campuran ini  dipipet 50 ul dan diletakkan 

pada lingkaran ke dua pada slide yang sama kemudian tambahkan 50 ul salin dan 

homogenkan kembali lalu lakukan hal yang sam seperti pada lingkaran pertama 

sampai lingkaran terakhir dima pada pengenceran terakhir hasil pengenceran 

dibuang sebanyak 50 ul. Maka hasil pengenceran adalah 1/2 , 1/4 , 1/8, 1/16, 

1/32, 1/64, 1/128. 

o Kepada masing-masing pengenceran tambahkan 1 tetes ( 50 ul ) antigen VDRL ( 

reagen). 

o Kemudian dihomogenkan dan diputar dengan rotator kecepatan 100 rpm selam 

5-8 menit. 

o Amati ada tidaknya  flokulasi  setiap pengenceran dan tentukan titer 

pemeriksaannya ( yaitu pengenceran trerakhir yang masih menunjukkan 

flokulasi ) 

g.  Interpretasi Hasil 

c) Kualitatif 

Hasil pengamatan cukup menyebutkan non-reaktif, reaktif lemah atau reaktif

 

Gambar . Interpretasi hasil Pemeriksaan VDRL 

 

   

  

 

 

Keterangan :  

REAKTIF              :  Bila tampak gumpalan sedang atau besar 

REAKTIF LEMAH:   Bila tampak gumpalan kecil-kecil 

NON REAKTIF     :  Bila tidak tampak flokulasi/gumpalan 

 

d) Kuantitatif 

Tentukan titernya (amati pngenceran trakhir yang masih menunjukkan flokulasi),  

misalnya  1/64. 

 Pemeriksaan TPHA 

1) Tujuan  :  Untuk mendeteksi adanya antibody terhadap Treponema palidum dalam 

serum dan plasma pasien secara kualitatif dan semi-kuantitatif 

2) Metode Pemeriksaan : Hemaaglutinasi tidak langsung (indirek hemaaglutinasi) 

3) Prinsip Pemeriksaan : adanya antibodi Treponema palidum akan bereaksi dengan 

antigen treponemal yang menempel pada eritrosit ayam kalkun/ domba sehingga 

terbentuk aglutinasi dari eritrosit-eritrosit ini .  

 

 

Gambar .Prinsip Uji TPHA 

 

4) Spesimen Pemeriksaan : Serum  

5) Alat  dan Bahan Pemeriksaan 

1) Mikroplate tipe U 

2) Mikropipet (25µL , 75µl dan 100µL) 

3) Automati vibrator 


  

  

4) Reagen kit TPHA (R1 : Test sel - R2 : Control sel - R3 : Diluent - R4 : Control positif 

- R5 : Control negatif) 

6)  Cara Kerja 

 

e) Kualitatif 

a) Alat dan bahan disiapkan 

b) Setiap komponen kit dan sampel dikondisikan pada suhu kamar.  

c) Semua reagen dihomogenkan perlahan. 

d) Diluents ditambahkan sebanyak 190 µl dan sampel ditambahkan sebanyak 10µl 

pada sumur 1 lalu dihomogenkan 

e) Campuran pada sumur 1 dipipet sebanyak 25 µl dan ditambahkan pada sumur 2 

dan 3 

f) Control sel sebanyak 75 µl ditambahkan pada sumur 2 lalu dihomogenkan. 

g) Test sel sebanyak 75 µl ditambahkan pada sumur 3 lalu dihomogenkan 

h) Sumur diinkubasi pada suhu ruang selama 45 – 60 menit. 

i) Aglutinasi yang terjadi diamati. 

j) Sampel yang menunjukan hasil aglutinasi positif dilanjutkan ke uji semi kuantitatif. 

Catatan : control positif dan negatif selalu disertakan dalam setiap uji tanpa perlu 

diencerkan. 

 

f)  Kuantitatif 

o Alat dan bahan disiapkan. 

o Setiap komponen kit dan sampel dikondisikan pada suhu kamar. 

o Semua reagen dihomogenkan perlahan. 

o Sumur mikrotitrasi disiapkan dan diberi label no. 1 sampai 8. 

o Pengenceran sampel dibuat pada sumur yang berbeda dengan sumur mikrotitrasi 

dengan mencampur 190 µl diluents dan 10 µl sampel 

o Sumur mikrotitrasi no. 1 dikosongkan 

o Sumur mikrotitrasi no. 2 – 8 ditambahkan 25µl diluent 

o Pada sumur mikrotitrasi no. 1 dan 2 ditambahkan 25 µl sampel yang telah 

diencerkan.  

   

  

 

o Campuran pada sumur 2 dipipet 25 µl dan ditambahkan pada sumur 3, lalu 

dihomogenkan. Begitu seterusnya sampai sumur 8. 

o Campuran pada sumur 8 dipipet 25 µl dan dibuang 

o Control sel sebanyak 75 µl ditambahkan pada sumur mikrotitrasi no. 1 lalu 

dihomogenkan. 

o Tes sel sebanyak 75 µl ditambahkan pada sumur mikrotitrasi no. 2-8 lalu 

dihomogenkan.  

o Sumur diinkubasi pada suhu ruang selama 45 – 60 menit. 

o Aglutinasi yang terjadi dibaca, dan ditentukan titernya  

 

7) Interpretasi Hasil 

 

g) Kualitatif 

Hemaglutinasi positif ditandai dengan adanya bulatan berwarna merah dipermukaan 

sumur, hasil negatif terlihat seperti titik berwarna merah di tengah dasar sumur. 

Derajat hemaglutinasi : 

+4 : bulatan merah merata pada seluruh permukaan sumur  

+3 : bulatan merah ada  di sebagian besar permukaan sumur  

+2 : bulatan merah yang terbentuk tidak besar dan tampak seperti cincin 

+1 : bulatan merah kecil dan tampak cincin terang 

 +/- : tampak cincin dengan warna bulatan merah yang samar 

- : Tampak titik berwarna merah didasar sumur 

 


  

  

Gambar 5.24 Derajat Hemaglutinasi pemeriksaan TPHA 

 

h) Kuantitatif 

Titer : pengenceran tertinggi yang masih menunjukkan aglutinasi 

Sumur 1 2 3 4 5 6 7 8 

Titer Control 

cell 

1/80 1/160 1/320 1/640 1/1280 1/2560 1/5120 

 


  

Glosarium 

 

Open Reading Frame (ORF) : bagian dari susunan DNA yang siap ditranslasikan tanpa kodon 

stop, sehingga protein yang dihasilkan dalam jumlah besar (overexpression. 

 

Nucleid Acid Test (NAT) : teknik molekuler yang dipakai  untuk menyaring darah donor 

dengan tujuan mengurangi infeksi yang ditularkan lewat transfusi darah pada pasien. 

 

Colodial gold conjugate : merupakan molekul yang tersusun dari beberapa partikel koloid 

emas yang bermuatan negatif dan memiliki afinitas kuat untuk beberapa protein yang 

cenderung bermuatan positif, pH netral atau fisiologis. 


 

Bab 6 

PEMERIKSAAN IMUNOHEMATOLOGI 

(PEMERIKSAAN PRE TRANSFUSI) 

 

Transfusi darah merupakan ilmu tentang golongan darah manusia dalam hubungannya 

dengan proses pemindahan darah / komponen-komponen darah dari donor kepada resipien. 

Dalam bab ini akan dibahas tentang pemeriksaan Imunohematologi atau yang lebih dikenal 

sebagai pemeriksaan pre-transfusi, diantaranya pemeriksaan golongan darah ABO & Rhesus, 

Crossmatch, Coomb’s Test, skrining dan identifikasi antibodi. Tujuan pemeriksaan pre-

transfusi adalah memilih darah atau komponen darah yang kompatibel, sehingga dapat 

menyelamatkan jiwa seseorang dengan tidak merusak darah pasien atau merugikan pasien.1 

Selama pemeriksaan ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan 

pretransfusi, antara lain : 

A. Sampel darah pasien. 

Apabila pasien memerlukan transfusi darah, maka pasein harus diambil darah sekitar 

5-10 mL yang dimasukkan ke dalam tabung kering untuk mendapatkan serum / plasma 

yang cukup banyak sebagai bahan pemeriksaan pre-transfusi. Selain itu sampel harus 

diberi pengenal yang jelas, meliputi nama pasien, tanggal lahir pasien  dan nomor 

registrasi/barcode pasien. Kemudian dikirim secepatnya ke laboratorium bersamaan 

dengan formulir permintaan darah. 

Pengambilan sampel darah pasien dengan pemberian label yang benar merupakan hal 

kritis yang perlu diperhatikan. Apabila ada  contoh darah pasien yang tidak memiliki 

identitas yang jelas, maka harus mengambil contoh darah pasien baru untuk 

mengabsahkan identitas pasien. Selain itu sampel darah pasien tidak boleh hemolisis, 

karena dapat mengganggu pemeriksaan pre transfusi. 


  

B. Formulir permintaan darah 

Formulir permintaan darah harus ditandatangani oleh dokter yang merawt pasien. 

Formulir permintaan darah berisikan informasi sebagai berikut : 

 

1) Tanggal permintaan 

2) Nama lengkap pasien  

3) Tanggal lahir atau usia 

4) Jenis kelamin 

5) Nomor registrasi rumah sakit 

6) Ruang rawat / bangsal 

7) Alamat pasien 

8) Diagnosis pasien 

9) Golongan darah apabila sudah diketahui. 

10) Keberadaan setiap antibodi, apabilah telah diketahui 

11) Riwayat transfusi sebelumnya 

12) Riwayat reaksi transfusi. 

13) Jumlah dan jenia darah atau produk darah yang dibutuhkan. 

14) Tanggal dan waktu dibutuhkan. 

15) Tanda tangan dokter yang meminta darah. 

Catatan : Lakukan konfirmasi identitas sampel darah pasien di bank darah. 

C. Penyimpanan sampel darah  

Sampel darah pasien dan donor harus ditutp dan disimpan dengan baikpada suhu 2-6°C 

minimal 7 hari setelah transfusi, tujuannya untuk pemeriksaan ulang apabila ada laporan 

terjadinya reaksi transfusi. 

D. Pendataan  

Setiap permintaan darah dan pemeriksaan darah harus ada pendataan yang lengkap, agar 

dapat dilakukan penelusuran kembali bila dibutuhkan sewaktu-waktu.  

E. Pemeriksaan pre transfusi 

   

  

 

pemeriksaan pre-transfusi pada sampel darah donor dan pasien yang meliputi  

pemeriksaan golongan darah ABO & Rhesus, Crossmatch, Coomb’s Test, skrining dan 

identifikasi antibodi 

Pada Bab ini mahasiswa akan melalukan praktikum Imunohematologi, untuk itu 

mahasiswa diwajibkan mematuhi tata tertib Praktikum di laboratorium, sebagai berikut 

:Larangan : 

a) Dilarang makan, minum, dan merokok selama praktikum di laboratorium. 

b) Dilarang membuang sampah ke dalam wastafel / meja kerja dan di dalam ruangan 

laboratorium. 

c) Dilarang membawa telepon genggam / handphone selama praktikum, kecuali memakai  

cover / plastik disposible. 

 

Kewajiban : 

a) Praktikan harus menggunakan alat pelindung diri (APD) selama praktikum di 

laboratorium. 

b) Praktikan harus mengisi daftar hadir dan melaporkan hasil pengamatan kepada dosen / 

asisten pengawas praktikum. 

c) Praktikan harus melaporkan setiap kerusakan alat yang dipakai  dan menggantinya 

dengan spesifikasi yang sesuai.  

d) Bersihkan sisa praktikum pada setiap meja / wastafel tempat Anda bekerja. 

e) Peralatan yang telah selesai dipakai dikembalikan pada dosen pengawas dalam keadaan 

bersih dan kering.  

f) Setiap kelompok praktikum diwajibkan membawa kain lap bersih / tisu, kertas label, dan 

spidol permanen. 

g) Untuk persiapan sebelum praktikum dan pengawasan alat setelah praktikum, dosen 

pengawas akan dibantu oleh kelompok piket yang bertugas secara bergantian setiap 

minggunya. 

 

 

  

Topik 1 

Persiapan Alat, Reagensia dan Sampel 

 

A. PERSIAPAN ALAT 

Peralatan yang diperlukan untuk pemeriksaan imunohematologi / pretransfusi, 

diantaranya : 

1. Sentrifuse untuk pemisahan darah menggunakan tabung reaksi (table top centrifuge). 

2. Sentrifuse untuk pemeriksaan golongan darah metode tabung  (serological centrifuge). 

3. Sentrifuse untuk pemeriksaan metode gel tes (gel test centrifuge). 

4. Inkubator 37°C (waterbath atau dry incubator) 

5. Inkubator 37° untuk pemeriksaan gel tes 

6. Lemari es (refrigerator) 

7. Tabung reaksi ukuran 12 x 7,5 mm 

8. Rak tabung reaksi  

9. Pipet pasteur plastik 

10. Blood Grouping Plate (BGP) 

11. Coomb gel tes 

12. Pipet adjustable ukuran 200 – 1000 µL 

13. Pipet adjustable ukuran 5 – 50 µL 

14. Tissue 

15. Objek glass 

16. Mikrokop 

17. Tips kuning 

18. Tip Biru 

19. Label 

20. Spidol permanen 

21. Kontainer / wadah penampung 

22. Sarung tangan  

23. Masker 

24. Jas laboratorium 

25. Gunting 

   

  

 

26. Kantung plastik limbah. 

 

B. PERSIAPAN REAGENSIA 

Bahan dan Reagen yang diperlukan untuk pemeriksaan imunohematologi / pretransfusi, 

diantaranya : 

a. Sampel darah pasien  

b. Sampel darah donor 

c. Anti-A 

d. Anti-B 

e. Anti-D IgM 

f. Anti-D IgG 

g. Bovine albumin 22% dan 6% 

h. Anti Human Globulin / Serum Coombs 

i. Larutan saline (0,9%) 

j. Aquadest 

k. Larutan alseiver 

l. Low Ionic Strenght Saline (LISS) : Larutan garam faali 0,2% dan larutan sukrosa 7% 

m. Desinfektan (hipochlorit 0,5%) 

n. Detergen 

 

C. PERSIAPAN SAMPEL 

Preparasi contoh darah harus dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan lebih lanjut 

untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang optimal. Ada beberapa hal yang harus 

diperhatikan dalam hal ini, diantaranya : 

1) Pemisahan serum / plasma dari sel darah 

1) Prinsip : Darah sitrat / darah EDTA dengan pemutaran akan terjadi pemisahan 

antara plasma dan sel-sel darah. 

2) Tujuan : Memisahkan plasma dari sel-sel darah 

3) Kegunaan :  

1) Persiapan pembuatan suspensi darah  

2) Persiapan penentuan antigen golongan darah 

4) Cara Kerja :  

1   

  

  

--  Siapkan contoh darah dengan antikoagulan EDTA dalam tabung. 

--  Sentrifugasi darah dalam tabung dengan kecepatan 3000 rpm selama 2 menit. 

--  Siapkan 1 tabung yang bersih untuk menampung plasma. 

--  Pisahkan plasma sebanyak-banyaknya dari sel darah merah pekat dan masukan 

ke dalam tabung yang sudah disiapkan. 

--  Beri identitas pada masing-masing tabung sel darah merah pekat dan plasma 

 

Gambar 6.1 Skema pemisahan serum/plasma daeri sel darah merah 

 

2) Pencucian sel darah merah 

5) Prinsip : Dengan penambahan larutan saline (NaCl 0,9%) dan pemutaran maka 

antibodi di sekitar sel darah merah akan hilang.. 

6) Tujuan :  

1. Menghilangkan sisa protein pada sel darah merah  

2. Menghilangkan sel-sel darah yang rapuh 

3. Menghilangkan auto cold antibody 

4. Menghilangkan formasi Rouleaux  

7) Kegunaan :  

1. Persiapan pembuatan suspensi darah  

2. Persiapan penentuan antigen golongan darah 

8) Cara Kerja :  

a) Lakukan pencucian sel darah merah  pekat dengan mengambil ± 8 tetes dan 

masukan kedalam tabung reaksi 12 x 75 mm. 

b) Tambahkan NaCl 0,9% (saline) sebanyak ± 4,5ml  atau sampai ¾ tabung kedalam 

sel darah merah  pekat tadi. 

   

  

 

c) Tutup tabung dengan parafilm, kocok dengan perlahan agar larutan menjadi 

homogen. 

d) Sentrifugasi dengan kecepatan 3000 rpm selama 2 menit. 

e) Buka penutup parafilm dan buang supernatan dengan menggunakan pipet 

(pencucian ke 1). 

f) Lakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan mengulangi langkah ke b hingga ke e 

sesuai kebutuhan. 

g) Sel darah merah yang sudah dicuci merupakan suspensi 100 %. 

 

Gambar 6.2 Skema pencucian sel darah merah 

 

3) Pembuatan suspensi sel darah merah 

Sel darah merah  yang sudah dicuci kemudian dibuat suspensi yang sesuai kebutuhan, 

yaitu :  

Tabel  21. Pembuatan Suspensi Sel Darah Merah 

% Suspensi 

Suspensi  

SEL DARAH 

MERAH  

100% 

Medium  

(Larutan Saline) 

Penggunaan 

5% 

(1/20) 

1 bagian a) bagian a) Pemeriksaan golongan darah (tube 

test) 

b) Pemeriksaan silang serasi 

(crossmatching) 

1   

  

  

10% 

(1/10) 

1 bagian 9 bagian Pemeriksaan golongan darah ABO (slide 

test/bioplate) 

40% 

(2/5) 

1 bagian 3 bagian Pemeriksaan golongan darah rhesus 

(slide test/ bioplate) 

 

 

4) Untuk pembuatan Test Sel Golongan darah A,B,O untuk pemeriksaan antibodi pada serum, 

dilakukan pooling dari darah donor suspensi 100% yang telah diketahui golongan darahnya : 

1 Test Sel A => Dibuat dari 3 golongan darah A yang di pooling sama banyak (A1, A2, A3), 

kemudian dibuat suspensi 5% dan 10% .    

2 Test Sel B => Dibuat dari 3 golongan darah B yang di pooling sama banyak (B1, B2, B3), 

kemudian dibuat suspensi 5% dan 10%. 

3 Test Sel O => Dibuat dari 3 golongan darah O yang di pooling sama banyak (O1, O2, O3), 

kemudian dibuat suspensi 5% dan 10%. 

 

 

Tabel  22. Cek List Perawatan Contoh Darah  

Memisahkan  serum/plasma dengan sel darah merah 

 

Contoh darah dalam tabung  

↓ 

Putar 3000 rpm selama 2 menit  

↓ 

Hasil → supernatan dan sedimen sel  

↓ 

Siapkan 2 tabung beri label   

↓ 

Pisahkan supernatan (plasma/serum) kedalam tabung  

↓ 

Serum jernih dan sek darah merah pekat  

↓ 

Sel darah merah pekat  

 

Pencucian sel darah merah pekat dengan saline 

   

  

 

Sel darah merah  pekat dengan ambil ± 8 tetes  

↓ 

Tambahkan NaCl 0,9% (saline) sebanyak ± 4,5mL  atau sampai ¾ tabung  

↓ 

Tutup tabung dengan parafilm  

↓ 

kocok perlahan agar larutan homogeny (bolak balik tabung)  

↓ 

Putar 3000 rpm selama 2 menit  

↓ 

Buka penutup →buang supernatan saline (pencucian I)  

↓ 

Lakukan pencucian sebanyak 3 kali dengan mengulangi point  2-6  

↓ 

Hasil →sel darah merah pekat 100% yang bebas protein/globulin (WPRC)  

 

5) PembuatanCOOMB’S CONTROL CELLS (CCC) 

COOMB’S CONTROL CELLS (CCC) adalah suspensi sel darah merah golongan O Rhesus 

positif yang sudah disensitasi (dicoated) oleh anti –D IgG ( inkomplit). 

1. Tujuan : 

a) Dapat menguji reagen Coomb’s Serum, masih valid/ invalid 

b) Dapat menguji hasil negative dari pemeriksaan uji silang, Direct Coomb’s Test dan 

indirect Comb’s Test, hasil negative ini  valid/invalid. 

2. Prinsip : Antigen + antibodi D IgG (inkomplit)→ Antigen sensitasi ( coated ) antibodi D 

inkomplit 

3. Metoda: Tube test   

4. Pembuatan Coomb’s Control Cells : 

--  Nyalakan dan atur suhu inkubator pada 37⁰C. 

--  Siapkan reagensia pada suhu kamar sebelum dipakai  dan disimpan kembali pada 

suhu 2⁰C - 8⁰C setelah dipakai . 

--  Siapkan contoh darah yang memakai antikoagulan golongan O Rhesus positif. 

--  Pembuatan suspensi sel 5%, 40% dari darah golongan O Rhesus positif 

--  Pemeriksaan titer anti-D IgG ( inkomplit ) 

a) Siapkan 10 tabung reaksi masing-masing tabung beri indentitas : ½, ¼,  1/8, 1/16, 

1/32, 1/64, 1/128, 1/256, 1/512, 1/1024 

b) Tabung 1 s/d 10 teteskan saline sebanyak 2 tetes. 

c) Isi tabung no.1 teteskan anti-D IgG sebanyak 2 tetes. 

d) Kocok perlahan dengan menggunakan pipet, ambil 2 tetes campuran masukan 

kedalam tabung no.2 

e) Lakukan pemindahan enceran berkala sampai tabung no.10, pada tabung no. 10 

buang 2 tetes  enceran anti-D tsb. 

f) Kocok semua tabung hingga cairan tercampur 

g) Inkubasi pada suhu 37⁰C selama 15 menit semua tabung 

h) Angkat semua tabung, putar 3000rpm selama 15”, baca hasil reaksi. 

i) Tabung yang hasilnya negative dicuci sebanyak 3x dengan saline 

j) Pada pencucian terakhir buang supernatant sebanyak banyaknya. 

k) Tambahkan 2 tetes comb’s serum (AHG). 

l) Kocok perlahan hingga cairan tercampur 

m) Putar 3000rpm  Selama 15”, baca hasil reaksi 

 

Tabel  23. Lembar hasil titer anti – D IgG ( inkomplit ). 

 

Tabung 

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 

½ ¼ 1/8 1/16 1/32 1/64 1/128 1/256 1/512 1/1024 

37⁰C  

selama 15 

menit 

neg Neg Neg Neg Neg Neg Neg Neg Neg Neg 

Hasil 

(contoh) 

4+ 4+ 3+ 3+ 2+ + + Neg Neg Neg 

 

a) Membuat enceran anti –D IgG yang dipakai adalah dengan hasil kekuatan titer : 2. Yaitu 

pada titer 32. 

b) Suspensi yang dipakai  adalah suspensi 40% agar tidak telalu banyak dalam 

penetesan. 

 

Tabel  24. Modifikasi Suspensi Sel Darah Merah Untuk Pembuatan CCC 

Suspensi sel darah merah  

 ( modifikasi ) 

Enceran anti-D IgG dengan saline 

5% 32 → 1 tetes anti-D IgG + 31 saline 

10 % 16 → 1 tetes anti-D IgG + 15  saline 

   

  

 

40% f)   → 1 tetes anti-D IgG + 7  saline 

 

− Buatlah suspensi sel O Rh positif (yang sudah dicuci 1 kali) menjadi 40% dalam saline 

− Buat pengenceran anti –D (IgG) dengan titer 1:7 dalam saline. 

− Kedalam enceran anti –D, tambahkan suspensi sel O Rh positif 40% sebanyak 4 tetes. 

− Kocok perlahan hingga tercampur, inkubasi 37⁰C selama 15 menit (coated/sensitasi). 

− Putar 2 menit 3000rpm kemudian supernatant dibuang. 

− Cuci selnya dengan saline sebanyak 3x . 

− Endapan sel darah merah dibuat suspensi 5% → Coomb’s Control Cells (CCC) akan 

diperoleh 32 tetes CCC dengan perhitungan sebagai berikut : 

P1        .        V1  =  P 2   . V 2 

40% . 4 tetes  =  5% .  V 2 

 V 2  = 32 tetes 

− Jika saline yang tersisa di tabung sekitar 3 tetes, maka saline yang ditambahkan 

sebanyak 29 tetes. 

 

- VALIDASI REAGEN 

Pereaksi atau sering disebut juga reagensia (inggris : reagent) adalah suatu  zat 

yangberperan dalam  suatu  reaksi kimia atau diterapkan untuk tujuan analisis. Istilah reagen 

jugadipakai  untuk menunjuk pada zat kimia dengan kemurnian yang cukup untuk sebuah 

analisisatau percobaan. Sebelum dipakai  untuk analisis, suatu reagen harus melalui proses 

validasi dahulu untuk mengetahui kualitas dari reagen ini . Validasi reagen adalah suatu  

tindakanyang dilakukan untuk   menunjukan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu reagen. 

Validasi reagen merupakan salah satu pemantapan mutu internal. Pemantapan mutu internal 

adalah kegiatan pencegahan dan pengawasan yang dilaksanakan oleh setiap laboratorium 

secara terus-menerus agar diperoleh hasil pemeriksaan yang tepat. 

Uji validitas reagen adalah suatu langkah pengujian yang dilakukan terhadap isi 

(content)dari suatu reagen, dengan tujuan untuk mengukur ketepatan reagen yang dipakai  

dalam suatu pemeriksaan. Untuk mengetahui apakah tes itu valid atau tidak harus dilakukan 

melalui pengujian dari reagen itu sendiri agar hasil dari pemeriksaan dapat berlangsung 

dengan baik dan benar. Dengan melakukan uji validitas reagen juga bermanfaat untuk 

mengetahui kondisi reagen. 

Jadi, tujuan validasi reagen adalah untuk menguji validitas suatu reagen sehingga dapat 

diketahui kualitas dari reagen sebelum dipakai  untuk pemeriksaan  dan juga untuk 

menetapkan reagen yang dipakai  valid atau invalid  sehingga diperoleh hasil pemeriksaan 

yang akurat. Oleh karena itu, validitas reagen penting dilakukan sebelum melakukan 

pemeriksaan menggunakan reagen ini . 

Dalam praktikum ini, dilakukan uji validitas reagen, khususnya reagen yang dipakai  

pada pemeriksaan golongan darah untuk tujuan transfusi darah. Uji kualitas reagen harus 

dilakukan pada:  

a) Setiap kali batch larutan kerja (working solution) dibuat. 

b) Setiap minggu 

c) Bila sudah mendekati masa kadaluarsa 

d) Bila ditemukan/terlihat tanda tanda kerusakan ( timbul kekeruhan, perubahan warna, 

timbul endapan) 

e) Bila ada  kecurigaan hasil pemeriksaan 

Reagen yang akan divalidasi dalam praktikum ini adalah 

1. antisera A,B dan D 

2. test sel ABO 

3. Bovine Albumin 22% 

4. Comb’s Serum 

5. CCC ( Comb’s Control Cell) 

Sebelum memulai proses validasi, masing-masing reagen harus diperhatikan terlebih 

dahulu nomor batch dan tanggal kadaluarsanya.  Nomor Batch atau bets (lot) adalah 

penandaan yang terdiri dari angka atau huruf atau gabungan keduanya, yang merupakan 

tanda pengenal suatu bets, yang memungkinkan penelusuran kembali riwayat lengkap 

pembuatan bets ini , termasuk seluruh tahap produksi, pengawasan dan distribusi. 

Sedangkan tanggal kadaluarsa merupakan gambaran dari stabilitas reagen dalam 

penyimpanan. Stabilitas reagen merupakan kemampuan suatu produk reagen untuk bertahan 

dalam batas yang ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan penggunaan. Sifat 

karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat produk dibuat. Kestabilan reagen 

dapat dilihat dari beberapa hal dengan suatu perubahan dalam penampilan fisik seperti 

warnanya. Sedangkan dalam hal lain perubahan kimia dapat terjadi yang tidak bisa dibuktikan 

sendiri dan hanya bisa dibuktikan melalui analisis kimia. Nomor batch dan tanggal kadaluarsa 

masing-masing reagen dicatat pada form validasireagen. Bila tanggal kadaluarsa reagen telah 

lewat, maka validasi tidak dilakukan lagi, karena dapat dipastikan reagen ini  

   

  

 


  

Topik 2 

Pemeriksaan Golongan Darah ABO 

dan Rhesus 

 

A. PRINSIP PEMERIKSAAN 

ANTIGEN + ANTIBODI  AGLUTINASI/HOMOGEN/SENSITASI. 

 

B. TEKNIK REVERSE & FORWARD GROUPING 

1 Cell grouping/typing => memeriksa antigen sel 

darah merah dengan cara menambahkan anti-A, 

anti-Bdan anti-D 

2 Serum grouping/typing => memeriksa antibodi 

dalam serum/plasma dengan cara 

mereaksikannya dengan sel golongan A,B,dan O. 

3 Auto Kontrol => memeriksa antibodi dalam 

serum dengan cara mereaksikannya dengan sel 

darah merahnya sendiri. 

 

C. METODE PEMERIKSAAN 

Metode pemeriksaan golongan darah abo dan rhesus, antara lain : 

A. Metode slide card 

B. Metode bioplate 

C. Metode tabung 

D. Pemeriksaan WEAK D (jika hasil pemeriksaan rhesus tabung negatif) 

 

D. PROSEDUR 

1. Pemeriksaan golongan darah abo dan rhesus metode slide test 

1. Tujuan : 

Untuk menetapkan ada/tidaknya antigen pada sel darah merah (cell grouping). 

   

  

 

2. Alat dan Bahan :  

− Sampel Darah  

− Larutan NaCl 0,85 % 

− Batang pengaduk /toothpick 

− Antisera-A, Antisera-B, Antisera D, Bovine Albumin 6% 

− Test Sel suspensi 10% untuk golongan darah ABO dan Test Sel suspensi 40%  untuk 

golongan darah rhesus 

− Slide test 

3. Cara kerja 

1. Biarkan reagensia pada suhu kamar sebelum dipakai  dan simpan kembali pada 

suhu 2º-8ºC setelah dipakai . 

2. Siapkan contoh darah dengan antikoagulan yang akan diperiksa. 

3. Lakukan perawatan contoh darah yang akan diperiksa mulai dari pemisahan 

plasma dari sel darah merah  (sel darah merah), pencucian hingga pembuatan 

suspensi sel 10% dan 40% 

4. Siapkan lembar kerja pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus. 

5. Siapkan slide test yang bersih dan kering, beri indentitas pada bagian atas tiap-

tiap kotak berturut-turut : 

 Anti-A, anti-B, anti-D 

6. Isi masing-masing Kotak dengan : 

1. Kotak 1 : 2 tetes anti-A + 1 tetes sel 10% 

2. Kotak 2 : 2 tetes anti-B + 1 tetes sel 10% 

3. Kotak 3 : 2 tetes anti-D + 1 tetes sel 40% 

4. Kotak 4 : 2 tetes Bovine albumin 6% + 1 tetes sel 40% 

7. Aduk rata dan melebar dengan batang pengaduk 

8. Digoyang membentuk angka 8, baca reaksi 

4. Pembacaan hasil 

--  Bila pada pemeriksaan sel darah merah sampel terjadi : 

--  Aglutinasi ada antigen pada sel darah merah 

1   

  

  

--  Negatif aglutinasi / Homogen tidak ada antigen pada sel darah merah 

 

 

 

 

Aglutinasi Positif AglutinasiNegatif 

 

--  Interpretasi Hasil : 

Anti-A Anti-B 

Golongan 

Darah 

Anti-D BA 6% Golongan Darah 

Aglutinasi 

Positif 

Aglutinasi 

Negatif 

Aglutinasi 

Positif 

Aglutinasi 

Negatif 

Rh Positif (D+) 

Aglutinasi 

Negatif 

Aglutinasi 

Positif 

Aglutinasi 

Negatif 

Aglutinasi 

Negatif 

Rh Negatif (D-) 

Aglutinasi 

Positif 

Aglutinasi 

Positif 

AB    

Aglutinasi 

Negatif 

Aglutinasi 

Negatif 

O    

 

 

2. Pemeriksaan golongan darah abo dan rhesus metode bioplate 

1. Tujuan : 

Untuk menetapkan ada/tidaknya antigen pada sel darah merah (cell grouping) dan 

untuk menetapkan ada/tidaknya antibodi dalm serum/plasma (serum grouping). 

2. Alat dan Bahan :  

1. Sampel suspensi 10% dan 40% 

2. Larutan NaCl 0,85 % 

3. Tabung Reaksi 

4. Antisera-A, Antisera-B, Antisera D, Bovine Albumin 6% 

5. Test Sel 10% A,B dan O 

6. Bioplate 

   

  

 

7. Sentrifuge 

8. Pipet Tetes 

3. Cara kerja 

1. Biarkan reagensia pada suhu kamar sebelum dipakai  dan simpan kembali pada 

suhu 2º-8ºC setelah dipakai . 

2. Siapkan contoh darah dengan antikoagulan yang akan diperiksa. 

3. Lakukan perawatan contoh darah yang akan diperiksa mulai dari pemisahan 

plasma dari sel darah merah  (sel darah merah), pencucian hingga pembuatan 

suspensi sel 10% dan 40%. 

4. Siapkan lembar kerja pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus 

5. Siapkan bioplate yang bersih dan kering, beri indentitas pada bagian atas tiap-tiap 

well berturut-turut : 

 Anti-A, anti-B, sel A, sel B, sel O, AK (auto kontrol), Anti-D dan BA 6% 

1. Isi masing-masing well dengan : 

i. Well 1 : 2 tetes anti-A + 1 tetes sel 10% 

ii. Well 2 : 1 tetes anti-B + 1 tetes sel 10% 

iii. Well 3 : 1 tetes sel A 10% + 2 tetes serum/plasma 

iv. Well 4 : 1 tetes sel B 10% + 2 tetes serum/plasma 

v. Well 5 : 1 tetes sel O 10% + 2 tetes serum/plasma 

vi. Well 6 : 1 tetes sel 10% + 2 tetes serum/plasma 

vii. Well7 : 1 tetes sel 40% + 2 tetes anti-D 

viii. Well 8: 1 tetes sel 40% + 2 tetes BA 6% 

2. Campurkan isi tiap Well dengan cara menggoyangkan bioplate ke arah depan dan 

belakang sambil memperhatikan reaksi yang terjadi 

3. Baca hasil reaksi. 

4. Pembacaan hasil 

o Bila pada pemeriksaan sel darah merah  specimen terjadi : 

--  Aglutinasi : ada antigen pada sel darah merah  

--  Homogen : tidak ada antigen pada sel darah merah  

o Bila pada pemeriksaan plasma specimen terjadi : 

o Aglutinasi : ada antibodi didalam plasma/serum 

1   

  

  

o Homogen : tidak ada antibodi didalam plasma/serum 

o Tentukan derajat aglutinasi sesuai dengan hasil reaksi yang terjadi. 

4+ : Semua sedimen bersatu, cairan jernih. 

3+ : Sedimen terpecah → 3-4 segmen, cairan jernih. 

2+ : Gumpalan lebih banyak dan kasar, cairan agak keruh. 

1+ : Gumpalan sangat banyak dan halus,  cairan keruh tampak  

 berwarna kemerah-merahan. 

± : Sepintas  masih   terlihat   seperti  gumpalan  halus   

  dengan  cairan keruh. Aglutinasi jelas → mikroskopis 

neg : tidak ada aglutinasi / homogen 

o Interpretasi Hasil 

Anti –

A  

Well 1 

Anti –B 

Well 2 

Test 

Sel A 

Well 

Test 

Sel  B 

Well 

Test  

Sel  O 

Well 5 

AK 

Well 6 

Golongan 

Darah 

Anti-

BA 

6% 

Golongan 

Darah 

Neg Neg + + Neg Neg O 

+ Neg 

Rh Positif 

(D+) + Neg Neg + Neg Neg A 

Neg + + Neg Neg Neg B 

Neg Neg 

Rh Negatif 

(D-) + + Neg Neg Neg Neg AB 

Keterangan : (+) = Positif/terjadi penggumpalan/aglutinasi 

   (Neg)  = Negatif/tidak terjadi penggumpalan/homogen 

 

3. Pemeriksaan golongan darah abo dan rhesus metode tabung (tube test) 

1. Tujuan : 

Untuk menetapkan ada/tidaknya antigen pada sel darah merah (cell grouping) dan 

untuk menetapkan ada/tidaknya antibodi dalm serum/plasma (serum grouping). 

2. Alat dan Bahan :  

1. Sampel suspensi 5% 

2. Test sel 5% A,B,O 

3. Antisera A , Antisera B 

4. Larutan NaCl 0,85 % 

5. Tabung Serologi 

6. Mikroskop 

   

  

 

7. Tabung Sentrifuge 

8. Pipet Tetes 

9. Rak Tabung 

10. Sentrifuge  

3. Cara Kerja : 

1. Biarkan reagensia pada suhu kamar sebelum dipakai  dan simpan kembali pada suhu 

2º-8ºC setelah dipakai . 

2. Siapkan contoh darah dengan antikoagulan yang akan diperiksa. 

3. Lakukan perawatan contoh darah yang akan diperiksa mulai dari pemisahan plasma 

dari sdm (sel darah merah), pencucian hingga pembuatan suspensi sel 5%. 

4. Siapkan lembar kerja pemeriksaan golongan darah ABO. 

5. Siapkan 6 (enam) buah tabung serologi untuk masing-masing mahasiswa/ kelompok 

yang sudah ditandai. 

6. Isi masing-masing tabung dengan : 

a. Tabung 1 : 2 tetes anti-A + 1 tetes sel 5% 

b. Tabung 2 : 2 tetes anti-B + 1 tetes sel 5% 

c. Tabung 3 : 1 tetes sel A 5% + 2 tetes serum/plasma 

d. Tabung 4 : 1 tetes sel B 5% + 2 tetes serum/plasma 

e. Tabung 5 : 1 tetes sel O 5% + 2 tetes serum/plasma 

f. Tabung 6 : 1 tetes sel 5% + 2 tetes serum/plasma 

g. Tabung 7  : 1 tetes sel 5% + 2 tetes anti-D 

h. Tabung 8 : 1 tetes sel 5% + 2 tetes BA 6% 

7. Kocok perlahan agar homogen. 

8. Sentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 detik. 

9. Goyangkan tabung dengan perlahan dan perhatikan adanya aglutinasi secara 

makroskopis bila diperlukan dengan menggunakan mikroskop (perbesaran 

objektif 10 x). 

 

4. Pembacaan hasil 

 Perhatikan supernatan semua tabung, apakah ada hemolise atau tidak. 

 Bacalah satu persatu hasil reaksinya dengan mengoyang perlahan tabung dan 

memutarnya kita perhatikan sedimennya : 

--  Ciri-ciri positif  : Sedimen bersatu dan tepinya tidak merata 

--  Ciri-ciri negatif  : Sedimen selnya padat dan tepinya bulat + rata 

 Dinyatakan  negatif  bila  sedimen  tersuspensi  kembali dengan mudah 

(homogen). 

1   

  

  

 Dinyatakan positif  bila   sedimen   tidak   mudah   tersuspensi  kembali 

(bergumpal-gumpal). 

o Tentukan derajat aglutinasi sesuai dengan hasil reaksi yang terjadi. 

4+ : Semua sedimen bersatu, cairan jernih. 

3+ : Sedimen terpecah → 3-4 segmen, cairan jernih. 

2+ : Gumpalan lebih banyak dan kasar, cairan agak keruh. 

1+ : Gumpalan sangat banyak dan halus,  cairan keruh tampak  

 berwarna kemerah-merahan. 

± : Sepintas  masih   terlihat   seperti  gumpalan  halus   

  dengan  cairan keruh. Aglutinasi jelas → mikroskopis 

neg : tidak ada aglutinasi / homogen 

 

o Interpretasi Hasil 

Anti –

A  

Well 1 

Anti –B 

Well 2 

Test 

Sel A 

Well 

Test 

Sel  B 

Well 

Test  

Sel  O 

Well 5 

AK 

Well 6 

Golongan 

Darah 

Anti-

BA 

6% 

Golongan 

Darah 

Neg Neg + + Neg Neg O 

+ Neg 

Rh Positif 

(D+) + Neg Neg + Neg Neg A 

Neg + + Neg Neg Neg B 

Neg Neg 

Rh Negatif 

(D-) + + Neg Neg Neg Neg AB 

Keterangan : (+) = Positif/terjadi penggumpalan/aglutinasi 

   (Neg)  = Negatif/tidak terjadi penggumpalan/homogen 

*Catatan : Apabila pada metode tabung hasil pengamatan menunjukkan Rh negatif, 

maka harus dilanjutkan ke pemeriksaan Weak D (Du) 

 

Keuntungan Metode Tabung (Tube)Rekomendasi pemeriksaan golongan darah di 

Laboratorium karena Aglutinasi lemah dapat dibaca (karena lebih sensitif). 

 

4. Pemeriksaan golongan darah rhesus WEAK D (DU) 

a. Dasar Teori : 

   

  

 

Rhesus adalah suatu faktor yang ada  pada sel darah merah, ditemukan 

pertama kali oleh Landsteiner dan Wiener pada tahun 1940 melalui injeksi darah merah 

kera Macaccus rhesus ke tubuh kelinci.  

Landsteiner dan Wiener menerangkan bahwa bila sel darah merah (eritrosit) 

seseorang memiliki  Rhesus antigen (antigen D atau Rh), maka orang ini  

dinyatakan sebagai Rhesus – positive. Bila ia tidak memiliki  Rhesus antigen (antigen D 

atau Rh0) dinyatakan Rhesus – negative. 

b. Prinsip : 

Antigen + Antibodi  → Aglutinasi /sensitasi/hemolisis.  

 

c. Tujuan : 

Untuk menemukan adanya antigen (antigen D atau Rh) di dalam sel darah merah 

(eritrosit). 

 

d. Alat dan Bahan :  

--  Sampel suspensi 5% 

--  Larutan NaCl 0,85 % 

--  Bovine Albumin 6 % 

--  Anti-Rh serum (Anti D Monoclonal/Duoclonal, IgM/IgG) 

--  Sentrifuge 

--  Pipet Tetes 

--  Tabung Reaksi 

--  Rak Tabung 

--  Mikroskop  

--  Sentrifuge 

--  Waterbath  

a. Cara Kerja : 

1. Biarkan reagensia pada suhu kamar sebelum dipakai  dan simpan kembali pada 

suhu 2º-8ºC setelah dipakai . 

1   

  

  

2. Siapkan contoh darah dengan antikoagulan yang akan diperiksa. 

3. Lakukan perawatan contoh darah yang akan diperiksa mulai dari pemisahan plasma 

dari sdm (sel darah merah), pencucian hingga pembuatan suspensi sel 5%. 

4. Siapkan 2 tabung beri label : Tab I, Tab II 

5. Masing-masing tabung teteskan 1 tetes supensi 5%  ery X  

6. Tab I tambahkan  2 tetes anti D IgG. 

7. Tab II tambahkan  2 tetes Bovine Albumin 6% 

8. Kocok perlahan kedua tabung hingga tercampur rata 

9. Putar 3000 rpm selama 15 detik 

10. Baca reaksi → makrokopis, bila hasil negative  

11. Cuci kedua tabung 3 kali dengan saline  

12. Buang supernatant terakhir sampai bersih 

13. Tambahkan masing-masing 2 tetes coomb’s serum 

14.  Kocok perlahan kedua tabung hingga tercampur rata 

15.  Putar 3000 rpm selama 15 detik. 

16. Baca reaksi makroskopis dan mikrokopis → catat hasil 

 

e. Pembacaan hasil 

1. tidak ada aglutinasi  : tidak ada antigen D pada sel darah merah 

2. Ada aglutinasi  : ada antigen D pada sel darah merah 

3. Kesimpulan apabila Dunegatif maka golongan darah Rhesus negatif, apabila 

Dupositif pada pasien disimpulkan golongan darah Rh negatif dan Dupositif pada 

darah donor disimpulkan golongan darah Rh positif. 

4. Hasil tes  Dunegatif,  harus di validasi dengan di teteskan 1 tetes sel uji coombs 

(Coombs Control Cells = CCC) ke tabung 1 dan tabung 2. Kemudian putar 3000 rpm 

15 detik atau 1000 rpm 1 menit.Hasil pengamatan menunjukkan :  

--  Hasil positif menunjukan bahwa pemeriksaan benar dan berlaku. 

--  Hasil negatif menunjukan bahwa pemeriksaan tidak benar, tidak berlaku dan 

harus di ulang. 

   

  

 


Topik 3 

Pemeriksaan Uji Silang Serasi (Crossmatch) 

 

A.   

Pemeriksaan reaksi silang (Cross Match) diperlukan sebelum melakukan transfusi darah 

untuk melihat apakah darah pasien / resipien sesuai dengan darah donor. Pemeriksaan Cross 

Match ini sangat perlu untuk mencegah reaksi transfuse dengan memastikan penderita tidak 

mengandung antibody yang reaktif terhadap antigen pada sel darah merah donor dan 

bermanfaat bagi pasien. 

Pada reaksi silang mayor (Mayor Cross Match) adalah memeriksa ketidakcocokan  oleh 

karena adanya antibody dalam serum pasien terhadap antigen sel darah merah donor. 

Pada uji silang serasi minor (Minor Cross Match) adalah untuk memastikan 

ketidakcocokan oleh karena adanya antibody dalam serum donor terhadap antigen sel darah 

merah pasien. 

Pada pemeriksaan auto adalah mereaksikan antara sel darah merah pasien dengan 

serumnya untuk mengetahui apakah ada  autoantibodi atau tidak untuk melihat reaksi 

autoimun. 

Uji silang serasi dilakukan dalam fase dan medium yang berbeda karena jenis antibody 

golongan darah memiliki  karakter yang berbeda. 

a. Fase I  : fase suhu kamar (20⁰C – 25⁰C) dalam medium saline, mendeteksi antibody 

komplet yang bersifat IgM (cold antibody)  

b. Fase II  :  fase inkubasi pada suhu 37⁰C dalam medium bovine albumin, pada fase ini 

antibody inkomplet dapat mengikat sel darah merah 

c. Fase III : fase antiglobulin test, semua antibody inkomplet yang telah diikat pada sel 

darah merah (pada fase II) akan beraglutinasi (positif) dengan baik setelah penambahan 

Coombs serum. 

Untuk validasi hasil pemeriksaan maka sample ini  setelah fase 3 direaksikan 

dengan Coombs Control Cell (CCC) bila hasilnya di fase III negatif maka ditambah dengan CCC 

hasilnya positif.   

 

B. PRINSIP 

Antigen + Antibodi  → Aglutinasi / hemolisis/ sensitasi.  

1   

  

  

C. TUJUAN 

Untuk mengetahui apakah sel darah merah donor bisa hidup didalam tubuh pasien  dan 

untuk mengetahui ada tidaknya antibody komplet (tipe IgM) maupun antibody inkomplet 

(tipe IgG) dalam serum pasien (mayor) maupun dalam serum donor yang melawan sel pasien 

(minor).  

D. ALAT DAN BAHAN 

1. Tabung Serologi 

2. Pipet Tetes 

3. Waterbath (suhu 370C) 

4. Sentrifuge 

5. Kaca Objek  

6. Mikroskop  

7. Salin (NaCl 0,9 %) 

8. Bovine Albumin 22 % 

9. Serum Coombs (Anti Human Globulin) 

10. Sel Uji Coombs (Control Cell Coombs) 

11. Contoh Darah Pasien dan Contoh Darah Donor 

E. PERSIAPAN KERJA 

1. Nyalakan dan atur suhu incubator/waterbath pada 37⁰C 

2. Biarkan reagensia pada suhu kamar sebelum dipakai  dan disimpen kembali 

pada suhu 2-8⁰C setelah dipakai . 

3. Siapkan contoh darah dengan antikoagulan yang akan diperiksa. 

4. Lakukan perawatan contoh darah yang akan diperiksa mulai dari pemisahan 

plasma dari sdm, pencucian hingga pembuatan suspensi sel. 

5. Siapkan ceklist dan lembar kerja pemeriksaan uji silang serasi. 

6. Catat tanggal penerimaan sampel, indentitas sampel, tanggal pemeriksaan. 

 

 

 

   

  

 

F. PROSEDUR KERJA 

1) Ambil 3 buah tabung reaksi 12x75mm beri indentitas tabung ini  : mayor, 

minor dan AK (auto control). 

2) Masukan kedalam masing-masing tabung  

1. Mayor  : 2 tetes plasma pasien + 1 tetes sdm donor susp 5% 

2. Minor  : 2 tetes plasma donor + 1 tetes sdm pasien susp 5% 

3. Auto control : 2 tetes plasma pasien + 1 tetes sdm pasien susp 5% 

3) Kocok perlahan semua tabung hingga homogen, sentrifugasi 3000rpm selama 15 

detik. 

4) Baca reaksinya terhadap hemolysis dan atau aglutinasi secara makroskopis. 

5) Hasil fase I : 

--  Hemolysis : Negatif → lanjutkan fase II 

--  aglutinasi : Negatif → lanjutkan fase II 

 

--  Hemolysis : positif → tidak cocok ( Inkompatibel ) 

--  aglutinasi : positif → tidak cocok ( Inkompatibel ) 

6) Tambahkan ke dalam masing-masing tabung 2 tetes bovine albumin 22% 

7) Kocok perlahan hingga homogen 

8) Inkubasi pada suhu 37⁰C selama 15 menit. 

9) Sentrifugasi tabung dengan kecepatan 3000rpm  selama 15 detik. 

10) Baca reaksi terhadap hemolysis dana atau aglutinasi secara makroskopis. 

11) Hasil fase II : 

o Hemolysis : Negatif → lanjutkan fase II 

o aglutinasi : Negatif → lanjutkan fase II 

 

o Hemolysis : positif → tidak cocok ( Inkompatibel ) 

o aglutinasi : positif → tidak cocok ( Inkompatibel ) 

1   

  

  

12) Masing – masing tabung Mayor, Minor dan Auto control dicuci dengan saline 

sebanyak 3x. 

13) Pada pencucian terakhir, buang supernatant sebersih bersihnya. 

14) Tambahkan masing-masing tabung dengan anti human globulin (Coombs serum) 

sebanyak 2 tetes. 

15) Kocok perlahan isi tabung hingga homogen, sentrifugasi 3000rpm selama 15 detik. 

16) Baca reaksi terhadap hemolysis dana atau aglutinasi secara makroskopis dan 

mikroskopis. 

17) Hasil fase III : 

1. Hemolisis : Negatif → cocok ( kompatibel ) 

2. Aglutinasi : Negatif → cocok ( kompatibel ) 

3. Hemolisis : positif → tidak cocok ( Inkompatibel ) 

4. Aglutinasi : positif → tidak cocok ( Inkompatibel ) 

18) Hasil uji silang serasi yang negative harus divalidasi terlebih dahulu dengan CCC. 

Kepada masing-masing tabung tambahkan 2 tetes CCC, sentrifugasi 3000 rpm selama 

15 detik. 

Catatan : hasil validasi dengan CCC harus memberikan reaksi 2+, jika hasil negatif 

maka pemeriksaan uji silang serasi harus diulang (tidak valid). 

19) Kesimpulan apabila hasil uji silang serasi kompatibel berarti darah donor bisa 

ditransfusikan ke pasien dan apabila hasil uji silang serasi inkompatibel darah donor 

tidak bisa di transfusikan ke pasien.  

 

   

  

 


Topik 4 

Pemeriksaan Coomb’s Test 

 

A.   

Percobaan Coombs mencari adanya antiglobulin. Jika semacam antibodi melekat pada 

eritrosit yang mengandung antigen, maka antibodi yang spesifik terhadap antigen itu mungkin 

memicu  eritrosit-eritrosit bergumpal (aglutinasi). Globulin merupakan antibodi 

penghalang (blocking antibodies) atau antibodi tak lengkap (incomplete antibodies). Pada 

konsentrasi tinggi antibodi ini melapisi eritrosit tetapi tidak dapat mengaglutinasikannya 

dalam larutan salin.  

Anti human globulin akan bereaksi dengan setiap globulin manusia. sebab  itu penting 

bahwa semua globulin bebas harus dibuang dari sel darah merah dengan pencucian yang 

bersih sebelum penambahan anti human globulin. Sisa globulin serum dalam larutan akan 

bergabung dengan anti human globulin mengakibatkan anti human globulin tidak mampu lagi 

mengaglutinasi sel yang telah disensitisasi, dan memicu  suatu tes Coombs negatif yang 

salah (false negative).  

Tes Coombs langsung (Direct Coombs Test / DCT) dipakai  untuk mendeteksi antibodi 

atau komplemen pada permukaan sel darah merah dimana sensitisasi telah terjadi secara 

invivo. Reagen anti human globulin ditambahkan pada sel darah merah yang telah dicuci dan 

aglutinasi menunjukkan tes positif.  

Tes Coombs tidak langsung (Indirect Coombs Test / ICT) dipakai  untuk mencari 

adanya antibodi irregular (inkomplit) dalam serum. Terlebih dahulu dilakukan pelapisan 

eritrosit-eritrosit normal bergolongan O (atau eritrosit-eritrosit yang golongannya sesuai 

dengan serum yang diperiksa) dengan serum yang diketahui atau tersangka mengandung 

antibodi penghalang. Langkah berikutnya ialah membuktikan adanya antibodi ini  

dengan menggunakan Serum Coombs. 

 

A) TES COOMBS LANGSUNG (DIRECT COOMBS TEST) 

--  Prinsip : 

Antigen + Antibodi Inkomplit (pada eritrosit pasien) + Serum Coombs serum → 

Aglutinasi (+).  

--  Tujuan : 

Untuk mendeteksi antibodi yang coated (melekat / menyelimuti) pada eritrosit pasien 

dan terjadi secara invivo (di dalam tubuh). 

--  Alat dan Bahan :  

a. Tabung Serologi 

   

  

 

b. Pipet Tetes 

c. Sentrifuge 

d. Kaca Objek  

e. Mikroskop  

f. Medium Salin (NaCl 0,9 %) 

g. Serum Coombs (Anti Human Globulin) 

h. Contoh Darah Pasien  

--  Cara Kerja : 

a. Siapkan suspensi eritrosit 5 % dalam salin dari contoh darah pasien. 

b. Sediakan 2 buah tabung, isi masing-masing tabung dengan 1 tetes suspensi eritrosit 

5 % (pasien).  

c. Lakukan pencucian dengan salin sebanyak 3 kali. 

d. Pada tabung I (tes) tambahkan 2 tetes Serum Coombs, pada tabung II (kontrol) 

tambahkan 2 tetes salin. Kemudian sentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 

15 detik. 

e. Baca secara makroskopis dan mikroskopis. 

--  Interpretasi : 

--  Direct Coombs Test (DCT) positif (+), artinya ada  sel coated secara invivo pada 

eritrosit pasien. Biasanya terjadi pada penderita AIHA (Auto-Immune Haemolytic 

Anemia), HDN (Haemolytic Disease of Newborn), dan orang yang mendapat 

transfusi darah dengan Rhesus yang berbeda.  

--  Direct Coombs Test (DCT) negatif (-), artinya tidak ada  sel coated secara 

invivo.  

*Catatan : 

Bila Direct Coombs Test (DCT) pasien positif, maka darah boleh diberikan tetapi dalam 

bentuk Packed Red Cell (PRC) atau Washed Red Cell (WRC). 

 

 

 

B) TES COOMBS TIDAK LANGSUNG (INDIRECT COOMBS TEST) 

--  Prinsip : 

Antigen + Antibodi Inkomplit (pada serum donor / pasien) + Serum Coombs  → Aglutinasi 

(+).  

--  Tujuan  : 

Untuk mendeteksi antibodi yang coated (melekat / menyelimuti) pada eritrosit dan 

terjadi secara invitro (di luar tubuh). 

--  Alat dan Bahan :  

--  Tabung Serologi 

--  Pipet Tetes 

--  Sentrifuge 

--  Kaca Objek  

--  Mikroskop  

--  Larutan Salin (NaCl 0,85 % - 0,9 %) 

--  Serum Coombs (Anti Human Globulin) 

--  Contoh Darah  

o Cara Kerja : 

− Siapkan serum dari contoh darah yang akan di periksa. 

− Siapkan pula suspensi eritrosit 5 % dalam salin dari contoh darah  dan suspensi sel 

darah O. 

− Siapkan 2 tabung, isi masing masing tabung 2 tetes plasma/serum. 

− Tabung I teteskan 1 tetes susp sel O, tabung II suspensi sampel. 

− Putar 3000 rpm selama 15 detik baca reaksi. 

− Apabila negatif lanjutkan, tambahkan bovine albumin 22% sebanyak 2 tetes ke 

masing-masing tabung. 

− Inkubasi pada suhu 37⁰C selama 15 menit. 

− Putar 3000 rpm selama 15 detik baca reaksi. 

− Bila negative lakuakan pencucian dengan saline 3x. 

− Tambahkan ke masing-masing tabung 2 tetes AHG. 

− Putar 3000 rpm selama 15 detik baca reaksi secara makroskpis dan mikroskopis. 

− Bila negatif, validasi dengan CCC. 

--  Interprestasi hasil : 

1. Apabila hasil ICT positif : adanya antibody yang coated pada sel darah merah 

secara invitro. 

2. Apabila hasil ICT negatif : tidak adanya antibody yang coated pada sel darah 

merah secara invitro. 

 

 

  

Topik 5 

Pemeriksaan Skrining 

dan Identifikasi Antibodi 

Pada beberapa penyakit, seperti thalasemia, anemia sickle cell, aplastik anemia, 

haemoglobinophaties, transfusi sel darah merah merupakan pengobatan utama, oleh karena 

itu transfusi darah untuk pasien ini sering dilakukan pada pasien yang mendapatkan darah 

transfusi berulang, kemungkinan timbulnya alloantibodi sangat besar. Hal ini disebabkan 

karena antigen sel darah merah donor memicu timbulnya antibodi pada darah pasien.  

Sampai saai ini diketahui ada 270 antigen permukaan sel darah merah, tetapi hanya 26 

sistem penggolongan darah yang dapat menimbulkan reaksi tranfusi. Berikut ini adalah sistem 

penggolongan darah yang dapat menimbulkan alloantibodi pada pasien multiple transfusi. 

Tabel 6.7 Sistem Penggolongan Darah Dan Antibodi Yang Ditimbulkan 

 

Adanya alloantibodi pada pasien memicu  susahnya mendapatkan darah yang 

kompatibel atau cocok pada pemeriksaan pre-transfusi antara darah pasien dan darah donor, 

sehingga memicu  inkompatibilitas.Selain itu juga dapat memicu  reaksi transfusi 

hemolitik yang lambat, yang seringkali dikaitkan dengan keterlambatan dan kesulitan untuk 

memperoleh unit sel darah merah yang kompatibel.  

Pemeriksaan skrining dan identifikasi antibodi bertujuan untuk mengetahui ada-

tidaknya antibodi di dalam plasma yang diperiksa (pasien/donor), baik yang alamiah 

maupunimun. Plasma pasien ataupun donor yang akan diperiksa direaksikan dengan sel darah 

merah golongan O yang telah diketahui antigen permukaannya atau susunan antigen 

golongan darahnya yang disebut sel panel. 

   

  

 

Tabel 6.8 Sifat Antibodi 

 

Tujuan pemeriksaan skrining antibodiadalah untuk mengetahui ada tidaknya antibodi 

irreguler, bila hasil positif dilanjutkan ke identifikasi antibodi untuk mengetahui spesifikasi 

antibodi. Pemeriksaan ini  direaksikan menggunakan sel panel, yang terbagi menjadi 

dua, yaitu : sel panel kecil untuk skrining antibodi dan sel panel besaruntuk identifikasi 

antibodi. 

2. SKRINING ANTIBODI 

Untuk skrining antibodi pada darah donor / pasien dipakai  reagensia yaitu sel panel 

kecil. Sel panel kecil adalah sekelompok sel darah merah yang terdiri dari 2-3 pasien 

golongan darah O yang sudah diketahui antigen permukaaanya (memiliki/tidak antigen 

golongan darah). Jenis antigen dapat dilihat dalam tabel antigram dengan tanda sebagai 

berikut : (+) artinya memiliki antigen dan (- / 0)  berarti tidak memiliki antigen. 

Sel panel kecil harus memiliki susunan antigen homozygot seperti :  C, M, Jka, sehingga 

antibodi dipengaruhi oleh dosis antigen (dosage effect) agar dapat teridentifikasi. 


Gambar  Sel Panel Kecil 

Tabel 6.9.Antigen Permukaan Pada Sel Panel Kecil 

 

 

A. PRINSIP 

Serum / plasma pasien direaksikan denagn sel panel kecil yang terdiri dari 2 sampai 3 

reagen sel golongan darah oyang tealh diketahui antigen permukaannya. 

B. CARA KERJA 

1. Mereaksikan serum/plasma (donor dan pasien) yang diperiksa dengan sel panel kecil 

dalam medium saline pada suhu 20C, 37C dan AHG. 

2. Hasil pemeriksaan diinterprestasikan dengan melihat pola (gambar reaksi) dari sel 

panel dalam antigram. 

C. INTERPRETASI HASIL 

1) Positif (+) => ada  antibodi antibodi dalam serum / plasma 

2) Negatif (-/ 0) => tidak ada  antibodi dalam serum / plasma  

 

 

 

Gambar  Tabel Identifikasi Sel Panel Besar 

 

3. IDENTIFIKASI ANTIBODI 

Pemeriksaan identifikasi antibodi pada plasma / serum pasien maupun donor 

menggunakan reagensia yaitu sel panel besar. Sel panel besar merukapan sekelompok sel 

darah merah yang  terdiri atas 8-11 pasien golongan darah O yang diketahui susunan  antigen 

permukaannya (dapat dilihat pada tabel), sehingga perbedaan antigen satu dengan lainnya 

lebih jelas. Antigen make up minimal harus mengandung antigen : D, C, c, E, e,M, N, S, s,P1, 

LUA, LUB, K, K, LEA, LEB, FYA, FYB,JKA DAN JKB. SELAIN ITU JUGA beberapa antigen harus 

homozygot seperti D, C, C, E, S, M, LUB, K, FYA. Pada sel panel komersial persyaratan ini sudah 

terpenuhi, sehingga dapat langsung diguunakan untuk identifikasi antibodi pada plasma / 

serum pasien maupun donor. 

Gambar  Sel Panel Besar 


 

Gambar Tabel Identifikasi Sel Panel Besar 

− PRINSIP 

Serum / plasma pasien direaksikan dengan sel panel besar yang terdiri dari 8 sampai 11 

reagen sel golongan darah O yang telah diketahui antigen permukaannya. 

− CARA KERJA 

1. Mereaksikan serum/plasma (donor dan pasien) yang diperiksa dengan sel panel besar 

dalam medium saline pada suhu 20C, 37C dan AHG. 

2. Hasil pemeriksaan diinterprestasikan dengan melihat pola (gambar reaksi) dari sel 

panel dalam antigram. 

− INTERPRETASI HASIL 

1) Positif (+) => ada  antibodi antibodi dalam serum / plasma 

   

  

 

2) Negatif (-/ 0) => tidak ada  antibodi dalam serum / plasma 

Tabel  27. Antigram Sel Panel Besar 

 

 

 


 

Glosarium 

 

AIHA (Auto-Immune Haemolytic Anemia) : anemia yang disebabkan oleh penghancuran 

eritrosit oleh autoantibodi (antibodi yang diproduksi oleh tubuh untuk menghancurkan 

eritrositnya sendiri) 

 

HDN (Haemolytic Disease of Newborn) : penyakit hemolitik pada bayi baru lahir yang 

disebabkan lisisnya sel darah merah pada janin atau bayi baru lahir akibat antibodi dari ibu 

yang melewati plasenta. 

 

Invitro : metode percobaan yang menggunakan jaringan atau medium diluar organisme hidup, 

seperti menggunakan tabung reaksi atau cawan petri.  

 

Invivo : metode percobaan yang menggunakan jaringan organisme hidup atau organisme itu 

sendiri. 

 

 

 


Related Posts:

  • bank darah 5 yaitu deteksi antibodi dan deteksi virus . RNA virus HIV dapat di deteksi menggunakan Nucleic Acid Test  (NAT) sekitar 11 hari setelah terinfeksi. Pemeriksaan skrining antibodi HIV dipakai  untuk&nbs… Read More