neurologi 14












 mobidiitas berupa penurunan 


fungsi neurokognitif, fungsi status pasien 


secara umum, luaran buruk terhadap defisit 


neurologis yang ada, terjadi status epileptikus, dan yang terburuk yaitu  kematian.


diagnosa  dan diagnosa  Banding


Bangkitan pascacedera dapat dikelompokkan sebagai berikut:


1. Early-posttraumatic seizure


Bangkitan terjadi dalam kurun waktu 7 


hari sesudah  cedera kepala. Sekitar 25% masalah  berisiko mengalami rekurensi dalam 


beberapa bulan atau tahun kemudian.


2. Late-posttraumatic seizure


Bangkitan yang terjadi di atas 7 hari 


sesudah  cedera kepala. Sebagian besar bangkitan yang terjadi (80% ) akan 


berisiko mengalami bangkitan berulang.


3. Posttraumatic epilepsy


Didefinisikan seperti epilepsi pada 


umumnya berdasar  definisi menurut 1LAE. Epilepsi pascacedera terjadi 


biasanya merupakan kelanjutan dari lateposttraumatic seizure.


^ Adapun kriteria lain menurut Brain Injury


Special Interest Group (1998) yaitu  sebagai berikut:


: i, Early-posttraumatic seizure [early-PTS): 


bangkitan terjadi kurang dari 24 jam 


pascacedera.


2. I m m ed iate-posttra u m a tic seizure (immediate-PTS): bangkitan terjadi dalam kurun waluu 7 hari pascacedera.


3. Late-posttraumatic seizure (/ate-PTS): 


bangldtan terjadi di atas 7 hari pascacedera.


4. Posttraumatic epilepsy: bangkitan berulang yang merupakan kelanjutan dari 


late-posttraumatic seizure, tetapi tidak berkaitan dengan pemicu  selain 


cedera kepala.


5. Non-epileptic seizures: suatu klinis yang 


bukan termasuk dalam bangkitan aidbat adanya aktivitas paroksismal di otak 


(brain origin).


Seperti halnya penegakkan diagnosa  epilepsi pada umumnya, penegakkan diagnosa  


didapatkan dari gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, berupa:


® Elektroensefalografi (EEG).


® Pencitraan kepala (CT scan dan atau MRI 


kepala).


e Pemeriksaan laboratorium darah; untuk 


menyingkirkan gangguan metabolik lain 


yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya bangkitan.


© Lain-lain (elektrokardiografi /EKG, pungsi lumbal).


Tata Laksana


ada beberapa kontroversi dalam pemberian antikonvulsan sebagai profilaksis bangkitan pascacedera. Sebagian menyebutkan 


pemberian profilaksis sebab  tingginya insidens bangkitan pada pasien cedera kepala 


berat. Namun hal ini bukanlah tanpa risiko, 


terutama bila pemberian antikonvulsan tidak 


efektif dalam mencegah terjadinya bangkitan.


berdasar  rekomendasi dari brain trauma


foundation, pemberian profilaksis bangkitan 


pascacedera termasuk dalam level II A:


@ pemakaian  fenitoin atau valproat tidak 


direkomendasikan untuk pencegahan 


/ate-PTS.


© Fenitoin direkomendasikan untuk menurunkan insidens early-PTS bila manfaatnya dirasa lebih banyak dibandingkan 


komplikasi yang dapat terjadi. Obat ini 


diberikan selama 7 hari pertama.


Beberapa studi terbaru juga menyatakan 


bahwa selain fenitoin, levetirasetam 


dinilai memiliki efektivitas yang sama 


dengan fenitoin sebagai profilaksis bangkitan. Adapun pemakaian  antikonvulsan golongan lama juga dapat diberikan 


untuk mengurangi terjadinya epilepsi 


pascacedera yaitu, fentoin, valproat, dan 


karbamazepin. KOMPLIKASI METABOLIK PASCACEDERA


A. Hiponatremia Pascacedera


Gangguan elektrolit terjadi pada hampir 


60% masalah  cedera kepala berat, terutama hiponatremia. Syndrome o f inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH} dan cerebral salt wasting syndrome


(CSWS] merupakan dua gangguan yang 


umumnya terjadi pada masalah  hiponatremia pascacedera kepala.


Patofisiologi


1. Syndrome o f inappropriate antidiuretic


hormone secretion (SIADH)


Stres aldbat trauma memicu 


pelepasan hormon antidiuretik (antidiuretic hormone/ADH] dan aldosteron. 


Peningkatan tekanan intrakranial dan 


tekanan positif pada pernafasan juga 


dapat memicu pelepasan ADH. Adanya 


pelepasan ADH memicu konsentrasi urin dengan meningkatkan reabsorpsi cairan dari distal tubulus renal 


dan duktus kolektifus. SIADH juga menyebabkan terjadinya dilusi hiponatremia oleh ekspansi volume cairan ke 


ekstraselular.


2. Cerebral salt wasting syndrome (CSWS) 


Mekanisme yang mendasari CSWS pada 


cedera kepala belum diketahui secara 


pasti dan belum ada etiologi yang jelas 


bertanggung jawab memicu keadaan ini. Dihipotesiskan bahwa CSWS 


terjadi aldbat kenaikan peptida natridiuretik dan adanya perubahan pasa sistem 


saraf simpatis, sistem renin-angiotensinaldosteron, dan adrenomedulin.


Gejala dan Tanda Klinis


Secara umum gejala klinis dari SIADH dan 


CSWS dapat berupa letargi, linglung, fatig, 


anoreksia, haus, muntah, keram otot, dan 


hilangnya refleks peregangan otot. Pada keadaan lebih berat, dapat ditemukan klinis 


hipotermia, bangkitan, pernafasan CheyneStokes, stupor, koma, dan yang terburuk 


kematian. Manifestasi keduanya sulit untuk 


dibedakan sehingga membutuhkan pemeriksaan penunjang untuk dapat menegakkan diagnosa .


diagnosa  dan diagnosa  Banding


Kedua jenis hiponatremia ini merupakan 


diagnosa  banding antara satu dengan 


yang lain. Penegakan diagnosa  didapatkan 


berdasar  pemeriksaan kadar natrium 


dalam darah dan urin (Tabel 3). Tata Laksana


Perbedaan temuan Minis dan mekanisme 


yang mendasari antara kedua sindrom 


ini  menjadi landasan adanya perbedaan tata laksana. Pada SIADH, restriksi 


cairan merupakan penanganan utama, sedangkan rehidrasi dengan normal salin 


merupakan penanganan utama terhadap 


CSWS. Kegagalan klinisi dalam menentukan 


terapi yang akan diberikan berakibat kondisi kedua gangguan ini  tidak teratasi 


dan dapat memperburuk kondisi cedera 


otak yang ada.


1. Penatalaksanaan SIADH


ada  perbedaan dari kepustakaan 


mengenai jumlah cairan yang direstriksi, 


tetapi diperkirakan jumlahnya berkisar 


antara 800-1000mL/24jam. Medikamentosa lain yang dapat diberikan yaitu  sebagai berikut:


> Vasopresin (belum tersedia di negara kita ).


• Diuretik: golongan loop diuretics (Turosemid), golongan agen osmotik (urea, 


manitol).


a Urea: urea diberikan dalam jangka panjang dengan dosis 0,5gr/kgbb. Hati-hati 


dalam pemberian urea.


2. Penatalaksanaan CSWS


Koreksi cairan dan hiponatremia dengan 


salin hipertonik intravena, diberikan selama 24 jam tetes lambat. Selama pemberian salin hipertonik, tetesan infus 


harus dipantau ketat, sebab  pemberian 


salin hipertonik yang terlalu cepat dapat 


memicu terjadinya central pontine myelinolysis (CPM). Beberapa studi 


menyebutkan bahwa pemakaian  steroid golongan mineralokortikoid dinilai 


memberikan respons yang cukup baik. 


Dapat dipertimbangkan pemberian suplemen garam (NaCl) sesudah  kondisi 


pasien dinilai stabil. B. Koagulopati Pascacedera


Selain gangguan elektrolit, gangguan koagulasi juga menjadi salah satu masalah 


yang dapat terjadi pada cedera kepala, yaitu 


berkisar 10-90%. Beberapa studi menyatakan 


koagulopati dapat diguna-kan sebagai prediktor luaran perawatan pascacedera kepala. 


Koagulopati pascacedera kepala dapat berupa 


keadaan hi-perkoagulasi atau hipokoagulasi. 


Kedua-nya dapat meyebabkan cedera jaringan 


sekjnder baik dengan cara menginduksi mikrotrombosis atau dengan memicu terjadinya 


lesi perdaraban di otak.


Patofisiologi


Cedera otak akibat trauma akan menimbulkan kerusakan endotel pembuluh darah dan 


jaringan otak itu sendiri. Kerusakan endotel 


ini akan mengaktifkan faktor pembekuan 


darah XII dan kaskade koagulasi, sedangkan kerusakan jaringan otak akan memicu 


pelepasan tromboplastin di jaringan otak. 


Kedua mekanisme ini  mengaktifkan 


faktor pembekuan X yang bekerja sebagai 


katalisator pemecah protrombin menjadi 


trombin.


Trombin memicu tiga proses: membantu pembentukan fibrin, mengaktivasi 


plasminogen, dan memicu degradasi 


trombosit. Pembentukan fibrin akan menyebabkan terjadinya trombosis, sehingga 


terjadi keadaan hiperkoaguiasi. Baik aktivasi plasminogen dan degradasi trombosit 


akan berakibat timbulnya tanda-tanda 


perdarahan akibat hipokoagulasi. Kedua keadaan ini merupakan status koagulasi pada 


koagulopati (Gambar 9].


Gejala dan Tanda Klinis


Klinis yang tampak pada pasien dengan koagulopati pascacedera kepala secara umum


dinilai berdasar  parameter ldinisnya, 


yaitu:


• Perdarahan masif dari lokasi intravena 


dan luka terbuka lainnya.


® Adanya tanda perdarahan spontan dan 


mengancam nyawa, termasuk perdarahan intrakranial.


• Adanya tanda trombosis difus atau lokal. 


© Manifestasi pada kulit dapat berupa petekie, purpura, ekimosis, dan Iain-lain.


diagnosa  dan diagnosa  Banding


Parameter klinis yaitu  adanya manifestasi 


klinis dan kelainan pada pemeriksaan profil 


hemostasis (hitung jenis platelet, kadar prothrombine time (PT), activated prothrombine time (aPTT), international normalized


ratio (INR), fibrinogen, dan d-Dimer), yaitu:


® Trombositopenia sedang sampai dengan 


berat ditemukan pada hitung platelet.


© Pemanjangan PT dan aPTT Peningkatan 


aPTT ringan diawal pemeriksaan merupakan indikator adanya koagulopati dini pada 


cedera kepala. Meskipun demikian, nilai PT 


dan aPTT yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan terjadinya koagulopati.


© Fibrinogen merupakan reaktan tahap  akut 


yang akan meningkat pada keadaan inflamasi. Kadarnya akan menurun seiring 


dengan perkembangan penyakit.


© ada  peningkatan d-Dimer yang 


berkaitan dengan pemecahan fibrin, dDimer dinilai sebagai parameter terbaik 


untuk mengetahui adanya tanda-tanda 


koagulasi atau tidak.


© Penilaian terhadap nilai INR biasanya digunakan untuk memantau efek dari pemakaian antikoagulan warfarin. Tata Laksana


1. Fresh frozen plasma (FFP) atau kriopresipitat.


2. Agen antifibrinolitik (asam traneksamat) dapat diberikan, walaupun studi 


dari Clinical randomization o f an Antifibrinolytic in Significant Hemorrhage


(CRASH-2) menyimpulkan bahwa penggunaan asam traneksamat tidak bermanfaat pada pasien trauma kepala. 


Meski demikian, asam traneksamat masih dapat diberikan pada keadaan akut 


dan dalam waktu singkat


3. Rekombinan faktor Vila; akan menginisiasi pembentukan trombus dengan 


cara mengikat tissue factor (TF). Sebuah

 studi menyebutkan bahwa pemakaian  


rekombinan faktor Vila pada perdarahan aldbat trauma kepala dapat mengurang! perkembangan hematom, tetapi 


tidak memberikan manfaat klinis. 









TRANSIENT ISCHEM IC ATTACK



Transient ischemic attack (TIA) yaitu  defisit neurologis akut yang disebabkan oleh 


kelainan vaskular serta pulih dalam jangka 


waktu kurang dari 24 jam. Sementara itu, 


definisi TIA berdasar  kondisi jaringan 


yaitu  disfungsi neurologis sementara 


yang disebabkan oleh iskemia fokal otak, 


medula spinalis, atau retina tanpa ada infark akut. Perubahan definisi ini terjadi 


sebab  adanya perkembangan teknologi 


pemeriksaan pencitraan otak.


Gejala TIA yang khas yaitu  onset yang 


mendadak, ada nya defisit neurologi fokal dan gangguan bicara. Namun, seringkali 


dijumpai gejala yang tidak khas dan onset 


yang bertahap menyerupai gejala stroke 


[stroke mimic), atau malah tidak dikenali, sehingga tidak mendapat terapi yang adekuat. 


Padahal TIA berpotensi untuk menjadi 


stroke berulang jika tidak dilakukan terapi 


pencegahan segera.


EPIDEMIOLOGI


Setiap tahun, ada  200.000-500.000 


pasien yang didiagnosa  mengalami TIA di 


Amerika Serikat. Sementara itu, 300.000-


700.000 pasien diketahui mengalami gejala 


neurologis yang dicurigai akibat TIA, tetapi 


tidak memeriksakan diri ke dokter. Data epidemiologi TIA kebanyakan berdasar  data 


insidens dan prevalensi, serta dihubungkan 


dengan faktor risiko stroke. Insidens TIA dipengaruhi usia, jenis kelamin dan suku bangsa. 


Lald-lald cenderung lebih tinggi dibandingkan 


perempuan dan meningkat dengan bertambahnya usia. Insidens TIA di Eropa pada lakilaid dan perempuan masing-masing 0,52-2,37 


dan 0,05-1,14, sedangkan berdasar  usia 


yakni 0,94-3,39 (usia 55-64 tahun) , 0,71-1,47 


(usia 65-74 tahun), 3,04-7,20 (usia 65-74 tahun), 2,18-6,06 (usia 75-84 tahun). Insidens 


di Amerika hampir sama dengan Eropa, dan 


lebih rendah di Jepang.


Kejadian stroke pada penderita TIA dapat 


diprediksi berdasar  skor ABCD dengan 


peningkatan kejadian stroke seiring makin 


tingginya skor ini . Sebuah penelitian 


berbasis populasi menunjukkan skor ini 


merupakan prediktor yang cukup kuat terjadinya stroke dalam 24 jam, yakni 76% dari 


pasien dengan skor ABCD 5 atau lebih akan 


mengalami stroke berulang. Angka prognosis kejadian stroke pasca TIA berdasar  


persentase pada masyarakat umum meningkat seiring waktu, yakni 1,7 kali sesudah  


2 hari, 4,8 kali sesudah  1 minggu, 6,6 kali 


sesudah  1 bulan, 8,5 kali sesudah  3 bulan, dan 


mencapai 11,4 kali sesudah  6 bulan pascaTIA. PATOFISIOLOGI


Faktor Risiko


Berikut ini yaitu  beberapa kondisi yang 


dapat meningkatkan risiko terjadinya TIA:


1. Umur; dihubungkan dengan risiko terjadinya peningkatan terjadinya TIA, kecuali 


padaumur >85tahunsedikitmenurun.


2. Jenis kelam in; laki-laki mempunyai faktor risiko TIA dan stroke rata-rata 1,25 


kali dibandingkan perempuan.


3. Hipertensi; berkontribusi sebagai faktor risiko sebesar 50% tergantung pada 


usia pasien.


4. Fibrilasi atrial (atrial fibrillation/AF); 


risiko TIA dan stroke pada AF nonvalvular 


yaitu  sekitar 3-5% pertahun dengan duapertiga masalah  akibat kardioemboli.


5. Diabetes mellitus (DM); merupakan 


faktor risiko TIA dan stroke potensiai, 


dengan risiko relatif 1,8-3,0. DM dihubungkan dengan perkembangan aterosklerosis, 


hipertensi, obesitas, dan kadar lipid darah 


yang abnormal.


6. Merokok; sekitar 18% TIA dan stroke 


dihubungkan dengan merokok aktif dan 


risiko ini meningkat pada perokok berat


7. Konsumsi alkohol; dalam jumlah besar 


dapat meningkatkan kejadian hipertensi, 


hiperkoagulasi, aritmia kardiak, penurunan 


aliran darah otak, serta meningkatkan 


kejadian stroke.


Patofisiologi TIA hampir sama dengan stroke 


iskemik, akibat berkurang/berhentinya aliran 


darah pada pembuluh darah serebral yang 


memperdarahi suatu area tertentu di otak 


secara sementara, sehingga menimbulkan


gejala neurologis fokal. Hal ini disebabkan 


oleh oklusi parsial atau total akibat tromboemboli akut atau stenosis pembuluh darah, 


yang dapat berasal dari plak aterosklerosis 


pada pembuluh darah jantung, pembuluh 


darah besar, dan pembuluh darah ekstrakranial. Manifestasi klinis yang diperlihatkan 


bergantung pada daerah yang diperdarahi 


pembuluh darah yang terkena,


Setidaknya ada  tiga mekanisme yang 


dapat memicu TIA, yakni: 1) aliran 


lambat pada arteri besar (large artery low


flow TIAj; 2) emboli pembuluh darah atau 


jantung; dan 3) oklusi pembuluh darah kecil 


di otak (lacunar or small penetrating vessel


TIA). TIA akibat aliran lambat pada arteri 


besar umumnya terjadi dalam hitungan 


menit hingga jam, berulang, dan memiliki 


karakteristik yang sama. Perlambatan aliran berkaitan dengan stenosis akibat lesi aterosklerosis, yang dapat terjadi pada arteri 


karotis interna, pembuluh darah kolatera! 


sirkulus Willisi, arteri serebri media, ataupun pada pertemuan arteri vertebralis dan 


arteri basilaris. Prinsipnya, setiap obstruksi 


pada arteri ekstrakranial dan intrakranial 


dapat memicu perlambatan aliran 


darah dan berpotensi menimbulkan iskemia.


TIA akibat emboli memiliki gejala yang 


berbeda, umumnya fokal dan episodenya 


lebih lama. Risiko stroke pada TIA akibat 


emboli lebih tinggi dibandingkan masalah  


lain. Emboli terbentuk akibat proses patologis pada arteri yang biasanya berlokasi 


di ekstrakranial atau berkaitan dengan kelainan jantung (seperti fibrilasi atrial atau 


trombus ventrikel kiri).

 lacunar or small penetrating vessel TIA dapat 


disebabkan oleh stenosis salah satu penetrating vessel yang berasal dari arteri serebral 


media, arteri basilar, arteri vertebralis, atan 


arteri yang berasal dari sirkulus Willisi, Oklusi 


pembuluh darah kecil ini dapat disebabkan 


oleh lipohialinosis akibat hipertensi atau lesi 


aterosklerosis.


Pada TIA, terjadi gangguan perfusi sesaat 


sehingga tidak ada  kerusakan permanen pada sel neuron. Defisit neurologis 


yang terjadi akan pulih sempurna seiring 


dengan perbaikan fungsi dari sel-sel yang 


mengalami reperfusi.


GEJALA KLINIS


Gejala TIA yang khas umumnya terjadi tibatiba, bersifat sementara dan hilang dalam 


waktu 30-60 menit. Gejala ini  dapat 


tipikal ataupun atipikal [Tabel 1}, antara 


lain gangguan perilaku (behaviour), bahasa, 


gait, memori, dan gerakan (movement).


diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


Penegakan diagnosa  dilakukan berdasar  


anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus teliti tidak


hanya pada pasien, namun juga keluarga atau 


orang lain yang menyaksikan kejadian. Pada 


anamnesis, sebaiknya diperoleh gejala dan 


karakteristik TIA seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.


Pemeriksaan fisik harus lengkap meliputi 


tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, 


napas, suhu, dan saturasi oksigen, serta 


pemeriksaan fisik umum dan neurologis. 


Pada pemeriksaan fisik umum, perlu dicari 


penyakityangdapatmenyebabkanterjadinya 


TIA, seperti kelainan jantung, DM, dan Iainlain. Pemeriksaan fisik neurologis dilakukan 


untuk mencari defisit neurologis yang mungkin masih tersisa, meliputi pemeriksaan saraf 


kranial, kekuatan motorik, sensoris, fungsi 


bahasa, sistem keseimbangan, dan kontrol 


motorik yang diatur oleh serebelum.


Pemeriksaan penunjang untuk memastikan 


faktor risiko terjadinya TIA, yakni:


© mendapat  bukti tanda dan gejala 


pembuluh darah secara langsung ataupun tidak langsung. Bukti secara langsung, yakni adanya hipoperfusi dan 


atau infark akut, sedangkan bukti tidak 


langsung berupa identifikasi kemung-

 kinan terjadinya stenosis arteri besar.


® Menyingkirkan adanya akibat noniskemik.


® Mencari faktor risiko mekanisme gangguan pembuluh darah seperti aterotrombotik pembuluh darah besar, kardioemboli, dan gangguan pembuluh darah 


kecil (small vessel disease).


• Menentukan dan meramalkan prognosis pasien terhadap terjadinya stroke di 


kemudian hari.


Beberapa pemeriksaan penunjang awal yang 


perlu dilakukan yaitu  kadar glukosa darah 


dengan fingerstick, darah perifer lengkap, elektrolit serum, profil koagulasi, profil lipid, dan 


EKG 12 sadapan. Pemeriksaan laju endap darah dan kadar enzim jantung hanya jika ada 


indikasi berhubungan dengan kelainan jantung. Selanjutnya pencitraan otak berupa MRI 


(diutamakan) dan/atau CT scan [jika MRI tidak 


tersedia), serta Doppler transkranial (transcranial Doppler/TCD) dan Doppler karotis.


TIA dapat menyerupai berbagai penyakit, 


antara lain:


® Migren dengan aura


9 Hipotensi dan atau sinkop 


9 Gejala fokal episodik sementara [misalnya confusion)


® Gangguan keseimbangan perifer [misalnya vertigo terisolasi)


© Kejang parsial 


© Ansietas atau hiperventilasi 


© Amnesia global sementara (transient


global amnesia)


© Drop attacks, yaitu hilangnya tonus postural sementara yang memicu  


pasien terjatuh 


© Hipoglikemia


sesudah  menegakkan diagnosa  TIA, perlu 


ditentukan prognosis kejadian stroke 


pascaTIA dengan skor ABCD. Sistem ini 


mampu memprediksi risiko stroke dalam


2 -9 0 hari pascaTIA melalui penjumlahan 


5 faktor independen [Tabel 2). Skor ABCD 


yang lebih tinggi mengindikasikan risiko 


terkena stroke yang lebih tinggi dalam 


waktu 2, 7, 30, dan 90 hari pascaTIA, sehingga direkomendasikan untuk dirawat 


di RS [Tabel 3). TATA LAKSANA


1. T ata L ak san a M ed ik am en tosa


a. Terapi antitrombotik:


© Untuk TIA akibat aterotrombotik: 


Pemberian antiplatelet yang dikonsumsi setiap hari dalam jangka panjang, yaitu kombinasi dipiridamol lepas lambat 


ditambah aspirin [lini pertama), klopidogrel, atau aspirin. Antikoagulan tidak 


direkomendasikan.


• Untuk TIA akibat kardioembolik: 


Pemberian antikoagulan jangka panjang 


untuk atrial fibrilasi (terus-menerus 


atau intermiten). Pada pasien yang memiliki intoleransi terhadap antikoagulan, dapat diberikan aspirin 325mg per 


hari, atau jika intoleran terhadap aspirin 


dapat diberikan klopidogrel 75mg per 


hari.


b. Tata laksana penyakit penyerta yakni:


• Hipertensi


Jika ditemukan hipertensi, dilakukan penurunan tekanan darah hingga 


<140/90mmHg atau <130/80mmHg 


untuk pasien dengan diabetes dengan 


pemberian angiotensin converting enzyme inhibitors (ACE-inhibitor) atau 


kombinasi ACE-inhibitor dan diuretik 


atau angiotensin-receptor blocker (ARB).


® Hiperlipidemia


Jika ditemukan hiperlipidemia, mulai 


diberikan statin, dengan target kadar 


LDL-kolesterol <100mg/dL.


• DM


jika ditemukan DM, dilakukan tata 


laksana DM dengan target glukosa 


darah <126mg/dL.


2. Tata Laksana Nonmedikamentosa


a. Mengatur pola makan dengan gizi 


seimbang.


b. Berhenti merokok dan membatasi 


konsumsi alkohol (bagi pasien yang 


merokok dan mengonsumsi alkohol).


c. Melakukan aktivitas fislk >10 menit 


dalam sehari, seperti bersepeda, jalan 


cepat, berlari, atau berenang.


PROGNOSIS


berdasar  penelitian diketahui 4% pasien 


TIA berubah menjadi stroke dalam waktu 2 


hari, 8% pasien dalam waktu 1 bulan, dan 9% 


pasien dalam waktu 90 hari. Sementara itu, ketika pasien diikuti secara prospektif diketahui 


bahwa 11% pasien mengalami stroke dalam 7 


hari. Besarnya risiko pasien TIA untuk terkena 


stroke dalam waktu 5 tahun yaitu  sebesar 


24-29% . Selain itu, pasien dengan TIA atau 


stroke berisiko yang lebih tinggi untuk 


terkena penyakit arteri koroner. CONTOH masalah 


Seorang perempuan umur 61 tahun, datang 


dengan keluhan utama kelemahan mendadak 


pada anggota gerak kiri. Pasien tidak ada keluhan penurunan kesadaran, sakit kepala atau 


kejang, serta belum pemah mengalami keluhan 


ini sebelumnya. Pasien segera dibawa ke RS. 


Dalam perjalanan, keluhan pasien membaik. 


Didapatkan riwayat hipertensi terkontrol dan 


rutin mengkonsumsi Captopril 2x12,5 mg. 


Tanda vital dan pemeriksaan fisik dalam batas 


normal Tidak ditemukan hipotensi ortostatik. 


Pasien dikatakan dalam keadaan sehat dan 


disarankan melanjutkan terapi antihipertensi. Tidak ditemukan riwayat keluhan serupa 


pada keluarga, riwayat konsumsi alkohol, 


obat-obatan lain atau riwayat sinkop.


Pertanyaan:


1. Apakah kemungkinan diagnosa  pasien?


2. Apakah pemeriksaan selanjutnya yang 


dibutuhkannya?


3. Tata laksana apa yang dibutuhkan pasien 


ini ?


jawaban:


1. Transient ischemic attack (TIA)


2. Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk penapisan faktor risiko TIA, antara 


lain pemeriksaan kadar glukosa darah 


dengan fingerstick, pemeriksaan darah 


perifer lengkap, elektrolit serum, faktor 


koagulasi darah, profil lipid, laju endap 


darah, serta EKG 12 sadapan. Selain itu, 


diperlukan pencitraan pembuluh darah 


intrakranial maupun ekstrakranial berupa pemeriksaan Doppler transkranial dan 


Doppler karotis. Hal lain yang juga perlu 


dilakukan yaitu  menentukan skor risiko 


stroke pasca TIA (sistem skor ABCD}.


3. Tata laksana yang dapat diberikan pada 


pasien dengan TIA yaitu  terapi antitrombotik. Selain itu, dilakukan tata laksana penyaldt penyerta, seperti hipertensi 

 

 







STROKE ISKEMIK




Stroke merupakan penyakit kegawatdaruratan neurologi yang bersifat akut dan salah 


satu pemicu  kecacatan dan kematian tertinggi di beberapa negara di dunia. Pada tahun 2013, ada  sekitar 25,7 juta masalah  


stroke, dengan hampir separuh masalah  (10,3 


juta masalah } merupakan stroke pertama. Sebanyak 6,5 juta pasien mengalami kematian 


dan 11,3 juta pasien mengalami kecacatan.


Di negara berkembang, secara umum angka 


kecacatan dan kematian stroke cukup tinggi 


yakni 81% dan 75,2%. Di negara kita , stroke 


merupakan pemicu  kematian tertinggi 


berdasar  data Riset Kesehatan Dasar 


tahun 2007, yaitu 15,4%. Data negara kita 


Stroke Registry tahun 2012-2013 mendapat  sebanyak 20,3% kematian pada 48 jam 


pertama pascastroke.


Kecacatan dapatberupa defisit neurologi yang 


berdampak pada gangguan emosional dan 


sosial, tidak hanya bagi pasien namun juga 


bagi keluarganya. Hal ini diperberat dengan 


tingginya serangan stroke berulang, jika faktor risiko stroke tidak teratasi dengan baik.


E P ID E M IO L O G I


Insidens stroke di Asia sangat bervariasi, 


antara lain Malaysia (67 per 100.000 penduduk) dan Taiwan (330 per 100.000 penduduk). berdasar  Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS] Kementerian Kesehatan tahun 2013, prevalensi stroke di negara kita  


meningkat dari 8,3% pada tahun 2007 


menjadi 12,1% pada tahun 2013. ada  


perbedaan prevalensi di berbagai propinsi 


dengan posisi tiga besar secara berurutan, 


yakni Sulawesi Selatan (17.9%), Daerah Istimewa Yogyakarta (16.9%], dan Sulawesi 


Tengah (16.6%].


Prevalensi stroke meningkat seiringbertambahnya usia, dengan puncaknya pada usia 


>75 tahun. Di negara kita , prevalensi stroke 


tidak berbeda berdasar  jenis kelamin. 


Namun di Jepang, insidens stroke pada jenis 


kelamin laki-Iaki dua kali lipat dari perempuan yakni masing-masing 442 per 100.000 


penduduk dan 212 per 100.000.


Persentase stroke iskemik lebih tinggi 


dibandingkan dengan stroke hemoragik. 


Laporan American Heart Association (AHA] 


tahun 2016 mendapat  stroke iskemik 


mencapai 87% serta sisanya yaitu  perdarahan intraserebral dan subaraknoid. Hal 


ini sesuai dengan data Stroke Registry tahun 


2012-2014 terhadap 5.411 pasien stroke di 


negara kita , mayoritas yaitu  stroke iskemik 


(67%}. Demikian pula dari 384 pasien stroke 


yang menjalani rawat inap di RSUPN Cipto 


Mangunkusumo (RSCM] pada tahun 2014, 


sebanyak 71,4 % yaitu  stroke iskemik.


Adapun angka kematian akibat stroke iske- jttik (11,3%) relatif lebih kecil dibandingkan 


stroke perdarahan (17,2%). Secara umum 


cjari 61,9% pasien stroke iskemik yang dilakukan pemeriksaan CT scan di negara kita  didapatkan infark terbanyak pada sirkulasi anterior (27%), diikuti infark lakunar (11,7%), 


dan infark pada sirkulasi posterior (4,2%).


patofisiologi


Secara umum faktor risiko stroke terbagi 


menjadi dua, yaitu (1) faktor risiko yang 


dapat dimodifikasi atau dilakukan tata laksana, antara lain hipertensi, diabetes melitus (DM), merokok, obesitas, asam urat, dan 


hiperkolesterol, serta (2) faktor risiko yang 


tidak dapat dimodifikasi, seperti usia, jenis 


kelamin, dan etnis.


1. Hipertensi


Hipertensi merupakan faktor risiko 


stroke tersering, sebanyak 60% penyandang hipertensi akan mengalami 


stroke. Hipertensi dapat menimbulkan 


stroke iskemik (50% ) maupun stroke 


perdarahan (60% ). Data menunjukkan 


bahwa risiko stroke trombotik pada 


penyandang hipertensi sekitar 4,5 kali 


lebih tinggi dibandingkan normotensi. 


Pada usia >65 tahun, penyandang hipertensi berisiko 1,5 kali lebih tinggi 


dibandingkan normotensi.


Patofisiologi hipertensi memicu 


terjadinya perubahan pada pembuluh 


darah. Perubahan dimulai dari penebalan tunika intima dan peningkatan permeabilitas endotel oleh hipertensi lama, 


terutama pada arteri dengan ukuran kecil, yaitu sekitar 300~500mm (cabang 


perforata). Proses akan berlanjut dengan terbentuknya deposit lipid terutama kolesterol dan kolesterol oleat pada 


tunika muskularis yang memicu 


lumen pembuluh darah menyempit serta 


berkelok-kelok.


Pada hipertensi kronik akan terbentuk 


nekrosis fibrinoid yang memicu 


kelemahan dan hernias! dinding arteriol, serta ruptur tunika intima, sehingga 


terbentuk suatu mikroaneurisma yang 


disebut Charcot-Bouchard. Kelainan ini 


terjadi terutama pada arteri yang berdiameter 100-300m m (arteriol).


Pengerasan dinding pembuluh darah 


dapat memicu  gangguan autoregulasi, berupa kesulitan untukberkontraksi atau berdilatasi terhadap perubahan tekanan darah sistemik. Jika terjadi 


penurunan tekanan darah sistemik yang 


mendadak, tekanan perfusi otak menjadi 


tidak adekuat, sehinggga menyebabkan iskemik jaringan otak. Sebaliknya, 


jika terjadi peningkatan tekanan darah 


sistemik, maka akan terjadi peningkatan 


tekanan perfusi yang hebat yang akan 


memicu hiperemia, edema, dan 


perdarahan.


2. Diabetes Melitus


Sebanyak 10-30% penyandang DM dapat 


mengalami stroke. Suatu studi terhadap 472 pasien stroke selama 10 tahun 


menunjukkan adanya riwayat DM pada 


10,6% laki-laki dan 7,9% perempuan.


Penelitian menunjukan adanya peranan 


hiperglikemi dalam proses aterosklerosis, yaitu gangguan metabolisme berupa 


akumulasi sorbitol di dinding pembuluh darah arteri. Hal ini mennyebabkan 


gangguan osmotik dan bertambahnya

 kandungan air di dalam sel yang dapat 


memicu  kurangnya oksigenisasi.


Peranan genetik pada DM belum diketahui 


secara pasti. Dipildrkan ada  abnormalitas genetik yang dihubungkan dengan abnormalitas seluler secara intrinsik berupa 


pemendekan usia kehidupan (life span) sel


dan peningkatan proses pergantian [turnover] sel di dalam jaringan. Proses ini dapat 


juga terjadi pada sel endotel dan sel otot polos dindingpembuluh darah.


Penyandang DM sering disertai dengan 


hiperlipidemia yang merupakan faktor 


risiko terjadinya proses aterosklerosis. 


Pada penelitian oleh National Cholesterol


Education Program (NCEP), kurang lebih 


40% penyandang DM term as uk dalam 


kriteria hiperlipidemia serta 23% mengalami hipertrigliserida dan kadar high


density lipoprotein (HDL) yang rendah.


3. Merokok


Secara prospektif merokok dapat meningkatkan perburukan serangan stroke 


sebesar 3,5 kali dan dihubungkan dengan 


banyaknya konsumsi rokok. Hal ini dapat 


disebabkan oleh beberapa mekanisme. 


Pertama, aldbat derivat rokok yang sangat 


berbahaya, yakni nikotin. Nikotin diduga 


berpengaruh pada sistem saraf simpatis dan proses trombotik. Dengan adanya 


nikotin, kerja sistem saraf simpatis akan 


meningkat, termasuk jalur simpatis sistem 


kardiovaskular, sehingga akan terjadi peningkatan tekanan darah, denyut jantung, 


dan meningkatnya aliran darah ke otak.


Pengaruh nikotin terhadap proses trombotik melalui enzim siklooksigenase, 


yang memicu penurunan produksi


prostasiklin dan tromboksan. Hal itu 


memicu  peningkatan agregasi 


trombosit dan penyempitan lumen pembuluh darah, sehingga memudahkan 


terjadinya stroke iskemik. Selain itu, 


merokok dalam waktu lama akan meningkatkan agregasi trombosit, kadar 


fibrinogen, dan viskositas darah, serta 


menurunkan aliran darah ke otak yang 


memicu terjadinya stroke iskemik.


Karbondioksida juga dipikirkan memiliki pengaruh. Ikatan karbondioksida 


di dalam darah 200 kali lebih tinggi 


dibandingkan oksigen, sehingga seolaholah oksigen di dalam darah sedikit. Hal 


ini memicu peningkatan produksi 


eritrosit oleh tubuh, sehingga komposisi 


eritrosit plasma tinggi, yang terlihat sebagai peningkatan nilai hematokrit yang 


disebut polisitemia sekunder.


4. Asam Urat


Salah satu penelitian di Jepang terhadap 


usia 50-79 tahun selama 8 tahun menunjukkan hiperurisemia merupakan faktor 


risiko penting terjadinya stroke. Penelitian kohort di Honolulu dengan rentang 


usia 5 5-64 tahun selama 23 tahun memperlihatkan hubungan bermakna antara 


asam urat, kadar kolesterol, tekanan 


darah sistolik, dan kadar trigliserida terhadap kejadian aterosklerosis berupa 


penyakit jantung dan stroke. Kondisi 


hiperurisemia diduga merupakan salah 


satu faktor yang dapat meningkatkan 


agregasi trombosit


5. Dislipidemia


Meskipun tidak seberat yang dilaporkan 


sebagai pemicu  penyakit jantung, salah 


satu penelitian observasional menunjuk-

 kan hubungan peningkatan kadar lipid 


plasma dan kejadian stroke iskemik. 


Metaanalisis terhadap studi kohort juga 


menunjukkan kekuatan hubungan antara 


hiperlipidemia dan stroke. Komponen dislipidemia yang diduga berperan, yakni kadar HDL yang rendah dan kadar low density lipoprotein (LDL) yang tinggi. Kedua 


hal ini  mempercepat aterosklerosis 


pembuluh darah koroner dan serebral.


6. Usia, Jenis Kelamin, dan Ras/Suku


Bangsa


Angka kejadian stroke meningkat seiring 


bertambahnya usia, yaitu 0,4% (usia 18- 


44 tahun), 2,4 % (usia 65-74 tahun), hingga 9,7% (usia 75 tahun atau lebih), sesuai 


dengan studi Framingham yang berskala 


besar. Hal ini disebabkan oleh peningkatan terjadinya aterosklerosis seiring 


peningkatan usia yang dihubungkan pula 


dengan faktor risiko stroke lainnya, seperti atrial fibrilasi (atria/fibrillation/AF) 


dan hipertensi. AF dan hipertensi sering 


dijumpai pada usia lanjut.


Laki-laki berisiko stroke 1,25-2,5 


kali lebih tinggi dibandingkan perempuan. Namun, angka ini berbeda pada usia 


lanjut. Prevalensi stroke pada penduduk 


Amerika perempuan (tahun 1999-2000) 


berusia >75 tahun lebih tinggi (84,9%) 


dibandingkan laki-laki (70,7%).


Data pasien stroke di negara kita  juga 


menunjukkan rerata usia perempuan 


(60,4±13,8 tahun) lebih tua dibandingkan 


laki-laki (57,5±12,7 tahun). Hal ini dipikirkan berhubungan dengan estrogen. 


Estrogen berperan dalam pencegahan 


plak aterosklerosis seluruh pembuluh 


darah, termasuk pembuluh darah serebral. Dengan demikian, perempuan pada 


usia produktif memiliki proteksi terhadap 


kejadian penyakit vaskular dan aterosklerosis yang memicu kejadian stroke 


lebih rendah dibandingkan lelaki. Namun, pada keadaan premenopause dan 


menopause yang terjadi pada usia lanjut, 


produksi estrogen menurun sehingga 


menurunkan efek proteksi ini 


berdasar  suku bangsa, didapatkan 


suku kulit hitam Amerika mengalami 


risiko stroke lebih tinggi dibandingkan 


kulit putih. Insidens stroke pada kulit hitam sebesar 246 per 100.000 penduduk 


dibandingkan 147 per 100.000 penduduk untuk kulit putih.


Patofisiologi Stroke Iskemik Akut


Pada dasarnya, proses terjadinya stroke 


iskemik diawali oleh adanya sumbatan pembuluh darah oleh trombus atau emboli yang 


memicu  sel otak mengalami gangguan metabolisme, sebab  tidak mendapat 


suplai darah, oksigen, dan energi (Gambar 


1). Trombus terbentuk oleh adanya proses 


aterosklerosis pada arkus aorta, arteri karotis, maupun pembuluh darah serebral. Proses ini diawali oleh cedera endotel dan inflamasi yang memicu  terbentuknya 


plak pada dinding pembuluh darah. Plak 


akan berkembang semakin lama semakin 


tebal dan sklerotik. Trombosit kemudian 


akan melekat pada plak serta melepaskan 


faktor-faktor yang menginisiasi kaskade koagulasi dan pembentukan trombus.


Trombus dapat lepas dan menjadi embolus 


atau tetap pada lokasi asal dan memicu 


oldusi dalam pembuluh darah ini . Emboli merupakan bagian dari trombus yang 


terlepas dan menyumbat pembuluh darah

 di bagian yang lebih distal. Emboli ini dapat 


berasal dari trombus di pembuluh darah, 


tetapi sebagian besar berasal dari trombus 


di jantung yang terbentuk pada keadaan tertentu, seperti atrial fibrilasi dan riwayat infark miokard. Bila proses ini berlanjut, akan 


terjadi iskemia jaringan otak yang menyebabkan kerusakan yang bersifat sementara 


atau menjadi permanen yang disebut infark.


Di sekeliling area sel otak yang mengalami 


infark biasanya hanya mengalami gangguan 


metabolisme dan gangguan perfusi yang 


bersifat sementara yang disebut daerah 


penumbra (Gambar 2). Daerah ini masih 


bisa diselamatkan jika dilakukan perbaikan 


aliran darah kembali (reperfusi) segera, sehingga mencegah kerusakan sel yang lebih 


luas, yang berarti mencegah kecacatan 


dan kematian. Namun jika penumbra tidak 


dapat diselamatkan, maka akan menjadi 


daerah infark. Infark ini  bukan saja


disebabkan oleh sumbatan, tetapi juga akibat proses inflamasi, gangguan sawar darah 


otak (SDO) atau (blood brain barrier/BBB), 


zat neurotoksik akibat hipoksia, menurunnya aliran darah mikrosirkulasi kolateral, 


dan tata laksana untuk reperfusi.


Pada daerah di sekitar penumbra, ada  


berbagai tingkatan kecepatan aliran darah 


serebral atau cerebral blood flow (CBF). 


Aliran pada jaringan otak normal yaitu  


40-50cc/100g otak/menit, namun pada 


daerah infark, tidak ada aliran sama sekali 


(CBF OmL/lOOg otak/menit] (Gambar 2],


Pada daerah yang dekat dengan infark CBF 


yaitu  sekitar lOcc/lOOg otak/menit. Daerah ini disebut juga daerah dengan ambang 


kematian sel (threshold o f neuronal death),


oleh sebab  sel otak tidak dapat hidup bila 


CBF di bawah 5cc/100g otak/menit.


Pada daerah yang lebih jauh dari infark, di dapatkan CBF sekitar 20cc/100g otak/menit. Pada daerah ini aktivitas listrik neuronal 


terhenti dan struktur intrasel tidak terintegrasi dengan baik. Sel di daerah ini  


memberikan kontribusi pada terjadinya defisit neurologis, namun memberikan respons 


yang baik jika dilakukan terapi optimal.


Bagian yang lebih luar mendapat  CBF 


30-40cc/100g otak/menit, yang disebut 


dengan daerah oligemia. Bagian terluar 


yaitu  bagian otak yang normal. Bagian ini 


mendapat  CBF 40-50cc/100g otak/menit Bila kondisi penumbra tidak ditolong 


secepatnya maka tidak menutup kemungkinan daerah yang mendapat aliran darah 


dengan kecepatan kurang tadi akan berubah 


menjadi daerah yang infark dan infark yang 


terjadi akan semakin luas.


Pada daerah yang mengalami iskemia, terjadi penurunan kadar adenosine triphosphate (ATP), sehingga terjadi kegagalan 


pompa kalium dan natrium serta peningkatan kadar laktat intraselular. Kegagalan 


pompa kalium dan natrium memicu 


depolarisasi dan peningkatan pelepasan 


neurotrans miter glutamat.


Depolarisasi meningkatkan kadar kalsium intraselular, sedangkan glutamat yang 


dilepaskan akan berikatan dengan reseptor glutamat yakni N-metil-D-aspartat 


(NMDA) dan a-arhino-3-hydroxy-5-methyi-


4-isonazolipropionid-acid (AMPA), yang 


selanjutnya akan memicu masuknya 


kalsium intraselular. Dengan demikian, 


hal ini  semakin meningkatkan kadar 


kalsium intraselular. Kalsium intraselular 


memicu terbentuknya radikal bebas, nitrit oksida (NO), inflamasi, dan kerusakan 


DNA melalui jalur enzimatik seperti Ca2+- 


ATPase, calsium-dependent phospholipase,


protease, endonuklease, dan kaspase yang 


keseluruhannya berkontribusi terhadap 


kematian sel.

 Faktor Lain yang Memengaruhi Daerah 


Penum bra


Selain CBF yang sangat berpengaruh pada 


daerah penumbra, ada beberapa faktor lain 


yang berperan terhadap perkembangan 


pasien pada tahap  akut, antara lain stres oksidatif, asidosis derah penumbra, depolarisasi 


daerah penumbra, dan faktor inflamasi.


1. Kondisi stres oksidatif, merupakan 


kondisi diproduksinya radikal bebas 


berupa 0 2, hidroksil [OH), dan NO pada keadaan iskemia serebral. Radikal bebas ini 


sangat mempengaruhi daerah penumbra 


akibat pembentukan rantai reaksi yang 


dapat menghancurkan membran sel, deoxyribonucleic acid (DNA), dan protein. 


Radikal bebas juga memicu gangguan mikrosirkulasi dan merusak sawar 


darah otak hingga memicu edema. 


Proses ini  akan terus berlangsung 


selama keadaan iskemia tidak segera ditangani, oleh sebab  radikal bebas bereaksi ldiususnya dengan lemak tidak jenuh 


(;unsaturated lipid) yang banyak berada di 


membran neuron dan sel glia.


2. Asidosis daerah penum bra terfadi akibat peningkatan metabolisme anaerob 


yang disebabkan oleh proses iskemia. 


Peningkatan metabolisme ini memicu 


pembentukan asam laktat, sehingga terjadi asidosis. Asidosis memicu masuknya natrium [Na+] dan Cl‘ke dalam sel 


melalui ikatan Na+/H+ dengan C1/HC03', 


sehingga terjadi edema intrasel dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK).


3. Depolarisasi daerah penumbra terjadi 


akibat kegagalan pompa Na+/iC dan beraldbat terjadinya peningkatan kalium ekstrasel. Sel neuron/sel glia akan mengalami 


penurunan aktivitas bioelektrik, kehilangan 


extracellular ionic gradient, dan masuknya 


Na diikuti Cl ke dalam sel. Seluruh proses ini 


akan berujung pada edema intrasel.


4. Inflamasi pada daerah penumbra aidbat adanya iskemia. Respons inflamasi 


ini merupakan respons normal yang bertujuan untuk pembersihan debris sel, 


namun juga cenderung meningkatkan 


kerusakan jaringan serebral. Respons inflamasi berupa aktivasi brain resident cells


seperti mikroglia dan astrosit, infiltrasi selsel inflamasi ke jaringan iskemik, seperti 


neutrofil, monosit, makrofag dan limfosit, 


serta peningkatan alttivasi mediator inflamasi dan infiltrasi mediator inflamasi 


ke jaringan otak. Adapun mediator yang 


bersifat pro-inflamasi ini  antara lain 


tumor necrosis factor (TNF)-a, interleukin 


(IL)-lp, interferon (IF)-p, serta IL-6) yang 


diproduksi oleh limfosit.


GEJALA D A N TA N D A K L IN IS


Tanda dan gejala ldinis stroke sangat mudah 


dikenali. Hal ini secara praktis mengacu pada 


deflnisi stroke, yaitu kumpulan gejala akibat 


gangguan fungsi otak akut baik fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh 


berkurang atau hilangnya aliran darah pada 


parenkim otak, retina, atau medula spinalis, 


yang dapat disebabkan oleh penyumbatan 


atau pecahnya pembuluh darah arteri maupun vena yang dibuktikan dengan pemeriksaan pencitraan otak dan/atau patologi.


Gejala gangguan fungsi otak pada stroke sangat tergantung pada daerah otak yang terkena. Defisit neurologis yang ditimbulkannya 


dapat bersifat fokal maupun global, yaitu: o Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu ekstremitas, kelumpuhan 


otot-otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot untuk proses menelan, 


bicara, dan sebagainya


o Gangguan fungsi keseimbangan


• Gangguan fungsi penghidu


• Gangguan fungsi penglihatan


o Gangguan fungsi pendengaran


® Gangguan fungsi somatik sensoris


® Gangguan fungsi kognitif, seperti: gangguan atensi, memori, bicara verbal, 


gangguan mengerti pembicaraan, gangguan pengenalan ruang, dan sebagainya


• Gangguan global berupa gangguan kesadaran


Pemeriksaan sederhana untuk mengenali 


gejala dan tanda stroke yang disusun oleh 


Cincinnati memakai  singkatan FAST, 


mencakup F yaitu facial droop (mulut mencong/tidak simetris), A yaitu arm weakness


(kelemahan pada tangan), S yaitu speech


difficulties (kesulitan bicara], serta T, yaitu 


time to seek medical help (waktu tiba di RS 


secepat mungkin). FAST memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 68% untuk menegakkan stroke, serta reliabilitas yang baik 


pada dokter dan paramedis.


Tanda ldinis stroke juga dapat dilakukan 


dengan cara pemeriksaan fisik neurologi 


untuk mengkonfirmasi kembali tanda dan 


gejala yang didapatkan berdasar  anamnesis. Pemeriksaan fisik yang utama meliputi penurunan kesadaran berdasar  


Skala Koma Glasgow (SKG), kelumpuhan 


saraf kranial, kelemahan motorik, defisit 


sensorik, gangguan otonom, gangguan fungsi kognitif, dan lain-lain.


diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


Kriteria diagnosa  stroke iskemik yaitu  


ada  gejala defisit neurologis global 


atau salah satu/beberapa defisit neurologis 


fokal yang terjadi mendadak dengan bukti 


gambaran pencitraan otak (CT scan atau 


MRI]. Adapun diagnosa  banding yang paling sering, yakni stroke hemoragik (bila belum dilakukan CT/MRI otak].


Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk 


memastikan diagnosa  serta untuk mengeksplorasi faktor risiko dan etiologi stroke 


iskemik berupa:


a. Elektrokardiogram [EKG]


b. Pencitraan otak: CT scan kepala non kontras, CT angiografi atau MRI dengan perfusi dan difusi serta magnetic resonance


angiogram [MRA]


c. Doppler karotis dan vertebralis


d. Doppler transkranial (transcranial doppier/TCD]


e. Pemeriksaan laboratorium


Pemeriksaan laboratorium di IGD yakni 


hematologi rutin, glukosa darah sewaktu, 


dan fungsi ginjal (ureum, kreatinin]. Selanjutnya di ruang perawatan dilakukan pemeriksaan rutin glukosa darah puasa dan 2 jam 


pascaprandial, HbAlC, profil lipid, c-reactive protein [CRP], dan laju endap darah. 


Pemeriksaan hemostasis, seperti activated


partial thrombin time (APTT], prothrombin time (PT), dan international normalized ratio [INR], enzim jantung (troponin, 


creatine kinase MB/CKMB], fungsi hati, tes 


uji fungsi trombosit (uji resistensi aspirin 


dan klopidogrel), serta elektrolit dilakukan 


atas indikasi. Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan 


dengan indikasi (sebagian dapat dilakukan 


di ruang rawat) meliputi:


1. Digital substraction angiography (DSA) 


serebral


2. MR difusi dan perfiisi atau CT perfusi otak


3. Ekokardiografi (transtorakal dan/atau 


transesofageal)


4. Rontgen toraks


5. Saturasi oksigen, dan analisis gas darah


6. Pungsi lumbal jika dicurigai adanya perdarahan subaraknoid namun pada CT scan


tidak ditemukan gambaran perdarahan


7. EKG holter, jika dicurigai ada  AF 


paroksismal


8. Elektroensefalografi (EEG) jika dicurigai adanya kejang


9. Penapisan toksikologi (misalnya alkohol, kecanduan obat]


10. Pemeriksaan antikardiolipin dan antibodi antinuklear (ANA) jika dicurigai 


adanyalupus


11. Pemeriksaan neurobehaviour


Pemeriksaan Evaluasi Komplikasi


Komplikasi pada stroke akut dapat berupa 


pneumonia, infeksi saluran kemih, trombosis 


vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT), 


dekubitus, spastisitas dan nyeri, depresi, 


gangguan fungsi kognitif, serta komplikasi 


metabolik lain seperti gangguan elektrolit.


TATA LA KSAN A


Tata laksana untuk stroke iskemik akut baik 


secara umum maupun khusus mengacu dari 


pedoman yang telah dibuat di berbagai negara, sebagian besar dari AHA/ASA [American Stroke Association) dan European Stroke


Organisation (ESO) yang terbaru. Acuan ini 


terbagi dalam kekuatan rekomendasi kelas 


I-III [class] dengan kelas I yang terkuat dan 


kualitas bukti [level o f evidence) dari A-C 


dengan level A yang tertinggi.


Tata laksana Umum


1. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan


a. Pemantauan status neurologis, nadi, 


tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen secara kontinu dalam 72 


jam pertama (ESO kelas IV, good clinical practice/GCP)


b. Pemberian oksigen jika saturasi oksigen <95% (ESO kelas IV, GCP)


c. Perbaikan jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien 


yang tidak sadar, pemberian bantuan 


ventilasi pada pasien yang mengalami 


penurunan kesadaran atau disfungsi 


bulbar dengan gangguan jalan napas 


(AHA/ASA kelas 1, level C).


d. Intubasi endotracheal tube (ETT) atau 


laryngeal mask airway (LMA) diperlukan pada pasien dengan hipoksia 


(p02 <60mmHg atau pC02 >50mmHg), 


syok, atau pada pasien yang berisiko 


untuk mengalami aspirasi.


e. Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu, kalau 


lebih maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.


2. Stabilisasi Hemodinamik (Sirkulasi)


a. Pemberian cairan kristaloid atau koloid 


intravena (IV), dan hindari pemberian 


cairan hipotonik seperti glukosa.


b. Dianjurkan pemasangan kateter vena 


sentral [central venous catheter/CVQ, upayakan tekanan vena sentral [central venous pressure/CVP} 5-12mmHg.


c. Optimalisasi tekanan darah [lihat penatalaksanaan khusus).


d. Bila tekanan darah [TD) sistolik dibawah 120mmHg dan cairan sudah 


mencukupi, dapat diberikan agen 


vasopresor secara titrasi, seperti dopamin dosis sedang/tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target TD 


sistolik berkisar 140mmHg.


e. Pemantauan jantung (cardiac monitoring} harus dilakukan selama 24 jam 


pertama sesudah  awitan serangan stroke 


iskemik [AHA/ASA kelas I, level B).


f. Bila ada  adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsul 


kardiologi).


3. Pengendalian Peningkatan Tekanan


Intrakranial (TIK)


a. Pemantauan ketat pada masalah  dengan 


risiko edema serebri dengan memperhatikan perburukan gejala dan 


tanda neurologis pada hari-hari pertama sesudah  serangan stroke (AHA/ 


ASA kelas I, level B).


b. Monitor TIK harus di pasang pada pasien dengan GCS <9 dan pasien dengan 


penurunan kesadaran sebab  kenaikan 


TIK. [AHA/ASA kelas V, level C).


c. Sasaran terapi yaitu  TIK kurang dari 


20 mmHg dan tekanan perfusi otak 


(icerebral perfusion pressure/CPP) 


>70mmHg.


d. Penatalaksanaan peningkatan TIK 


meliputi:


1. Meninggikan posisi kepala 20-30°


2. Memposisikan pasien dengan menghindari penekanan vena jugulare


3. Menghindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik


4. Menghindari hipertermia


5. Menjaga normovolemia


6. Pemberian osmoterapi atas indikasi:


• Manitol 0,25-0,50 gr/kgBB, 


selama >20 menit, diulangi setiap 4-6 jam dengan target osmolaritas <310mOsm/L [AHA/ 


ASA: kelas V, level C).


• Jika perlu, berikan furosemid 


dengan dosis inisial Img/ 


kgBB IV


7. Intubasi untuk menjaga normoventilasi [pC02 35-40mmHg]. Hiperventilasi mungkin diperlukan bila 


akan dilakukan tindakan operatif.


8. Paralisis neuromuskular yang 


dikombinasi dengan sedasi yang 


adekuat dapat mengurangi peningkatan TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal 


dan tekanan vena akibat batuk, 


suction, atau bucking ventilator


[AHA/ASA: kelas III-V, level C).


Agen nondepolarisasi seperti venkuronium atau pankuronium yang 


sedikit berefek pada histamin dan 


blok pada ganglion lebih baik digunakan [AHA/ASA kelas III-V, 


level C). Pasien dengan kenaikan 


kritis TIK sebaiknya diberikan 


pelemas otot [muscle relaxant)

 sebelum suction atau lidokain sebagai alternatif.


9. Drainase ventrikular dianjurkan 


pada hidrosefalus alait akibat 


stroke iskemik serebelar (AHA/ASA 


kelas I, level B).


10. Tindakan bedah dekompresif 


pada keadaan iskemik serebelar yang menimbulkan efek masa 


(AHA/ASA kelas I, level B).


4. Pengendalian Kejang


a. Bila kejang, dilakukan pemberian 


diazepam IV bolus lambat 5-20mg 


dan diikuti oleh fenitoin dosis bolus 15-20mg/kg dengan kecepatan 


maksimum 50mg/menit.


b. Ob at kejang lain yang dap at diberikan 


yaitu  valproat, topiramat, atau levetirasetam, sesuai dengan Minis dan 


penyulit pada pasien.


c. Bila kejang belum teratasi, rawat di ICU.


5. Pengendalian Suhu Tubuh


a. Setiap pasien stroke yang disertai febris harus diobati dengan antipiretik 


(asetaminofen) dan diatasi pemicu nya (AHA/ASA kelas I, level C).


b. Pada pasien demam berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur (trakeal, darah, dan urin) dan 


diberikan antibiotik. Jika memakai 


kateter ventrikular, analisis cairan 


serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.


6. Tata Laksana Cairan


a. Pemberian cairan isotonis seperti 


NaCl 0,9%, ringer laktat, dan ringer 


asetat, dengan tujuan menjaga euvolemi. CVP di pertahankan antara 


5-12mmHg


b. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaldah dihindari, kecuali pada keadaan hipoglikemia.


7. Nutrisi


a. Nutrisi enteral paling lambat sudah 


harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya boleh diberikan sesudah  


hasil tes fungsi menelan baik.


b. Bila ada  gangguan menelan 


atau kesadaran menurun makanan 


diberikan melalui pipa nasogastrik.


c. Pada keadaan akut kebutuhan kalori 


25-30kkal/kg/hari dengan komposisi:


1) Karbohidrat 30-40% dari total 


kalori.


2} Lemak 20-35% (pada gangguan 


nafas dapat lebih tinggi 35-55% ).


3) Protein 20-30% (pada keadaan 


stres kebutuhan protein l,4-2,0g/ 


kgBB/hari (pada gangguan fungsi 


ginjal <0,8 g/kgBB/hari).


d. Apabila kemungkinan pemakaian 


pipa nasogastrik diperkirakan >6 


minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.


e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.


f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang 


diberikan (misai: hindarkan makanan 


yang banyak mengandung vitamin K 


pada pasien yang mendapat warfarin).

 8. Fencegahan dan Mengatasi Komplikasi


a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk 


mencegah komplikasi subakut (aspirasi, malnutrisi, pneumonia, DVT, 


emboli paru, dekubitus, komplikasi 


ortopedik, dan kontraktur perlu dilakukan] (AHA/ASA level B dan C).


b. Berikan antibiotik atas indikasi dan 


usahakan sesuai dengan tes kultur 


dan sensitivitas kuman atau minimal 


terapi empiris sesuai dengan pola kuman (AHA/ASA level A}.


c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai kasur anti dekubitus.


d. Pada pasien tertentu yang berisiko 


menderita DVT seperti pasien dengan 


trombofilia, perlu diberikan heparin 


subkutan 5.000IU dua kali sehari atau 


10.000IU drip per24 jam, atau LMWH 


atau heparinoid. (AHA/ASA level A}. 


Perlu diperhatikan terjadinya risiko 


perdarahan sistemik dan perdarahan 


intraserebral. Pada pasien yang tidak 


bisa menerima antikoagulan, untuk 


mencegah DVT pada pasien imobilisasi direkomendasikan pemakaian  


stoking eksternal atau Aspirin (AHA/ 


ASA level A dan B).


9. Penatalaksanaan Medik Umum Lain


a. Hiperglikemia (kadar glukosa darah 


>180mg/dL] pada stroke akut harus 


diatasi dengan titrasi insulin (AHA/ 


ASA kelas I, level C}. Target yang harus dicapai yaitu  normoglikemia.


b. Hipoglikemia berat (<50mg/dL] harus diatasi dengan dekstrosa 40% IV


atau infus glukosa 10-20%.


c. Manajemen hipertensi sesuai dengan protokol tata laksana hipertensi stroke akut.


d. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, 


kalau perlu berikan major atau minor


tranquilizer, seperti benzodiazepin 


kerja cepat atau propofol.


e. Analgesik dan anti muntah sesuai 


indikasi.


f. Pemberian antagonis H2 apabila ada 


indikasi (perdarahan lambung].


g. Hati-hati dalam menggerakkan tubuh, penyedotan lendir atau memandikan pasien sebab  dapat mempengaruhi TIK.


h. Mobilisasi bertahap bilahemodinamik dan pernafasan stabil.


i. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermitten.


j. Rehabilitasi/restorasi fisik, wicara 


dan okupasi.


k. Atasi masalah psikologis (depresi, ansietas, dan lain-lain], jika ada.


l. Edukasi keluarga.


m. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar RS).


Tata Laksana Spesifik


1, Trombolisis Intravena


Terapi trombolisis memakai  recombinant tissue plasminogen activator


(rTPA) seperti alteplase dapat diberikan 


pada stroke iskemik akut dengan onset 


<6 jam secara intravena dengan mengikuti protokol serta kriteria inklusi dan 


eksklusi yang ditetapkan. Dosis yang dianjurkan yaitu  0,6-0,9 mg/kgBB. Di 


RSUPN Cipto Mangunkusumo yang memiliki Code Stroke sebagai acuan pengobatan  trombolisis IV, memakai  dosis 


0,6 mg berdasar  studi Japan Alteplase


Clinical Trial (JACT 2006].


2. Terapi Neurointervensi/Endovaskular


yaitu  terapi yang memakai  kateterisasi untuk melenyapkan trombus 


di pembuluh darah dengan cara melisiskan trombus secara langsung (trombolisis intraarterial) atau dengan menarik 


trombus yang menyumbat dengan alat 


khusus (trombektomi mekanik).


Hal ini bermula dari sejarah dipakai nya trombolisis untukmelisiskan trombus 


yang mengobstruksi arteri dalam upaya 


mengembalikan tekanan perfusi. Pada 


1995 Food Drug Administration (FDA) 


menyetujui recombinant tissue-type


plasminogen activator (r-tPA) intravena 


(IV) sebagai pengobatan  efektif untuk 


stroke akut berdasar  hasil penelitian 


randomized controlled trial (RCT) yang 


menunjukkan efektivitas rTPA ini.


Sampai 2015, rTPA yaitu  satu-satunya 


pengobatan  definitif pada pasien stroke 


dengan onset kurang dari 4,5 jam dan 


menjadi pengobatan  tunggal yang terbukti efektif untuk stroke iskemik. Selama 22 tahun terakhir ini rTPA dilakukan 


pada sekitar 13% pasien, dengan hasil 


sebanyak 30% sembuh tanpa sekuele 


ataupun sekuele ringan.


Namun pada masalah  oklusi proksimal dari 


arteri serebri, keluaran klinis kurang 


baik, sebab  anglca rekanalisasi awal 


pasca trombolisis IV yang rendah. Selain


itu ada  faktor eksklusi yang menghalangi pasien untuk mendapat  terapi definitif rTPA. Oleh sebab  itu dipikirkan pengobatan  yang dapat menjangkau 


emboli atau trombus tepat di arteri yang 


dioklusinya yang disebut sebagai tindakan neurointervensi/endovaskular.


Sepanjang sejarah penelitian neurointervensi untuk membuang trombus pada 


stroke iskemik akut, hasilnya mengecewakan selama 20 tahun terakhir. Dimulai 


dengan penelitian Proact II 1999 berupa 


pemberian Prourokinase langsung di lesi 


oklusi arteri serebri media (middle cerebral arteryjMCA) gagal mendapat  


persetujuan FDA, hingga penelitian Merci 


(coil retriever) yang walaupun mendapat  persetujuan dari FDA, tetapi hasilnya 


belum meyakinkan AHA/ASA untuk memasukkannya ke dalam guideline.


Akhirnya, pada Desember 2014 muncul 


4 penelitian RCT sekaligus dalam waktu 


berdekatan, bahkan pada April 2015 


muncul hasil penelitian RCT ke-5 yang 


menjawab teka-teki yang membingungkan dalam 20 tahun terakhir ini. Kelima 


penelitian ini yaitu  Multicenter Randomized Clinical Trial o f Endovascular


Treatment for Acute Ischemic Stroke in


the Netherlands (MR CLEAN), Endovascular Treatment for Small Core and Anterior


Circulation Proximal Occlusion with Emphasis on Minimizing CT to Recanalization


Times (ESCAPE), Extending the Time for


Thrombolysis in Emergency Neurological


De-ficits—Intra-Arterial (EXTEND I A), 


Solitaire with the Intention fo r Thrombectomy as Primary Endovascular Treatment


Trial (SWIFT PRIME), dan Randomized Trial o f Revascularization with the Solitaire FR Device Versus Best Medical Therapy


in the Treatment o f Acute Stroke Due to Anterior Circulation Large Vessel Occlusion


Presenting within Eight Hours o f Symptom


Onset (REVASCAT} Studies.


Basil dari kelima penelitian inilah yang 


membuat AHA/ASA mengeluarkan pedoman pengobatan  neurointervensi baru 


pada masalah  stroke iskemik akut, yaitu tindakan neurointervensi dengan alat stent


retriever diakui sebagai salah satu tindakan definitif untuk pengobatan  stroke 


iskemik akut dengan trombus/emboli di 


pembuluh darah MCA.


Trombektomi mekanik merupakan suatu 


prosedur endovaskular yang dilakukan 


pada pasien yang memenuhi persyaratan 


sesuai rekomendasi terapi neurointervensi/endovaskular pada stroke iskemik 


akut, yaitu:


a. Pasien yang memenuh kriteria pemberian trombolisis IV dan akan dilakukan terapi endovaskular harus 


tetap diberikan trombolisis terlebih 


dahulu (AHA/ASA kelas I; level A).


b. Pasien harus mendapat  terapi 


endovaskular dengan memakai  


stent retriever jika memenuhi semua 


kriteria berikut (AHA/ASA kelas I; 


level A]:


1} Skor modified rankin scale (mRS] 


pre-stroke 0 sampai 1