mobidiitas berupa penurunan
fungsi neurokognitif, fungsi status pasien
secara umum, luaran buruk terhadap defisit
neurologis yang ada, terjadi status epileptikus, dan yang terburuk yaitu kematian.
diagnosa dan diagnosa Banding
Bangkitan pascacedera dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Early-posttraumatic seizure
Bangkitan terjadi dalam kurun waktu 7
hari sesudah cedera kepala. Sekitar 25% masalah berisiko mengalami rekurensi dalam
beberapa bulan atau tahun kemudian.
2. Late-posttraumatic seizure
Bangkitan yang terjadi di atas 7 hari
sesudah cedera kepala. Sebagian besar bangkitan yang terjadi (80% ) akan
berisiko mengalami bangkitan berulang.
3. Posttraumatic epilepsy
Didefinisikan seperti epilepsi pada
umumnya berdasar definisi menurut 1LAE. Epilepsi pascacedera terjadi
biasanya merupakan kelanjutan dari lateposttraumatic seizure.
^ Adapun kriteria lain menurut Brain Injury
Special Interest Group (1998) yaitu sebagai berikut:
: i, Early-posttraumatic seizure [early-PTS):
bangkitan terjadi kurang dari 24 jam
pascacedera.
2. I m m ed iate-posttra u m a tic seizure (immediate-PTS): bangkitan terjadi dalam kurun waluu 7 hari pascacedera.
3. Late-posttraumatic seizure (/ate-PTS):
bangldtan terjadi di atas 7 hari pascacedera.
4. Posttraumatic epilepsy: bangkitan berulang yang merupakan kelanjutan dari
late-posttraumatic seizure, tetapi tidak berkaitan dengan pemicu selain
cedera kepala.
5. Non-epileptic seizures: suatu klinis yang
bukan termasuk dalam bangkitan aidbat adanya aktivitas paroksismal di otak
(brain origin).
Seperti halnya penegakkan diagnosa epilepsi pada umumnya, penegakkan diagnosa
didapatkan dari gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, berupa:
® Elektroensefalografi (EEG).
® Pencitraan kepala (CT scan dan atau MRI
kepala).
e Pemeriksaan laboratorium darah; untuk
menyingkirkan gangguan metabolik lain
yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya bangkitan.
© Lain-lain (elektrokardiografi /EKG, pungsi lumbal).
Tata Laksana
ada beberapa kontroversi dalam pemberian antikonvulsan sebagai profilaksis bangkitan pascacedera. Sebagian menyebutkan
pemberian profilaksis sebab tingginya insidens bangkitan pada pasien cedera kepala
berat. Namun hal ini bukanlah tanpa risiko,
terutama bila pemberian antikonvulsan tidak
efektif dalam mencegah terjadinya bangkitan.
berdasar rekomendasi dari brain trauma
foundation, pemberian profilaksis bangkitan
pascacedera termasuk dalam level II A:
@ pemakaian fenitoin atau valproat tidak
direkomendasikan untuk pencegahan
/ate-PTS.
© Fenitoin direkomendasikan untuk menurunkan insidens early-PTS bila manfaatnya dirasa lebih banyak dibandingkan
komplikasi yang dapat terjadi. Obat ini
diberikan selama 7 hari pertama.
Beberapa studi terbaru juga menyatakan
bahwa selain fenitoin, levetirasetam
dinilai memiliki efektivitas yang sama
dengan fenitoin sebagai profilaksis bangkitan. Adapun pemakaian antikonvulsan golongan lama juga dapat diberikan
untuk mengurangi terjadinya epilepsi
pascacedera yaitu, fentoin, valproat, dan
karbamazepin. KOMPLIKASI METABOLIK PASCACEDERA
A. Hiponatremia Pascacedera
Gangguan elektrolit terjadi pada hampir
60% masalah cedera kepala berat, terutama hiponatremia. Syndrome o f inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH} dan cerebral salt wasting syndrome
(CSWS] merupakan dua gangguan yang
umumnya terjadi pada masalah hiponatremia pascacedera kepala.
Patofisiologi
1. Syndrome o f inappropriate antidiuretic
hormone secretion (SIADH)
Stres aldbat trauma memicu
pelepasan hormon antidiuretik (antidiuretic hormone/ADH] dan aldosteron.
Peningkatan tekanan intrakranial dan
tekanan positif pada pernafasan juga
dapat memicu pelepasan ADH. Adanya
pelepasan ADH memicu konsentrasi urin dengan meningkatkan reabsorpsi cairan dari distal tubulus renal
dan duktus kolektifus. SIADH juga menyebabkan terjadinya dilusi hiponatremia oleh ekspansi volume cairan ke
ekstraselular.
2. Cerebral salt wasting syndrome (CSWS)
Mekanisme yang mendasari CSWS pada
cedera kepala belum diketahui secara
pasti dan belum ada etiologi yang jelas
bertanggung jawab memicu keadaan ini. Dihipotesiskan bahwa CSWS
terjadi aldbat kenaikan peptida natridiuretik dan adanya perubahan pasa sistem
saraf simpatis, sistem renin-angiotensinaldosteron, dan adrenomedulin.
Gejala dan Tanda Klinis
Secara umum gejala klinis dari SIADH dan
CSWS dapat berupa letargi, linglung, fatig,
anoreksia, haus, muntah, keram otot, dan
hilangnya refleks peregangan otot. Pada keadaan lebih berat, dapat ditemukan klinis
hipotermia, bangkitan, pernafasan CheyneStokes, stupor, koma, dan yang terburuk
kematian. Manifestasi keduanya sulit untuk
dibedakan sehingga membutuhkan pemeriksaan penunjang untuk dapat menegakkan diagnosa .
diagnosa dan diagnosa Banding
Kedua jenis hiponatremia ini merupakan
diagnosa banding antara satu dengan
yang lain. Penegakan diagnosa didapatkan
berdasar pemeriksaan kadar natrium
dalam darah dan urin (Tabel 3). Tata Laksana
Perbedaan temuan Minis dan mekanisme
yang mendasari antara kedua sindrom
ini menjadi landasan adanya perbedaan tata laksana. Pada SIADH, restriksi
cairan merupakan penanganan utama, sedangkan rehidrasi dengan normal salin
merupakan penanganan utama terhadap
CSWS. Kegagalan klinisi dalam menentukan
terapi yang akan diberikan berakibat kondisi kedua gangguan ini tidak teratasi
dan dapat memperburuk kondisi cedera
otak yang ada.
1. Penatalaksanaan SIADH
ada perbedaan dari kepustakaan
mengenai jumlah cairan yang direstriksi,
tetapi diperkirakan jumlahnya berkisar
antara 800-1000mL/24jam. Medikamentosa lain yang dapat diberikan yaitu sebagai berikut:
> Vasopresin (belum tersedia di negara kita ).
• Diuretik: golongan loop diuretics (Turosemid), golongan agen osmotik (urea,
manitol).
a Urea: urea diberikan dalam jangka panjang dengan dosis 0,5gr/kgbb. Hati-hati
dalam pemberian urea.
2. Penatalaksanaan CSWS
Koreksi cairan dan hiponatremia dengan
salin hipertonik intravena, diberikan selama 24 jam tetes lambat. Selama pemberian salin hipertonik, tetesan infus
harus dipantau ketat, sebab pemberian
salin hipertonik yang terlalu cepat dapat
memicu terjadinya central pontine myelinolysis (CPM). Beberapa studi
menyebutkan bahwa pemakaian steroid golongan mineralokortikoid dinilai
memberikan respons yang cukup baik.
Dapat dipertimbangkan pemberian suplemen garam (NaCl) sesudah kondisi
pasien dinilai stabil. B. Koagulopati Pascacedera
Selain gangguan elektrolit, gangguan koagulasi juga menjadi salah satu masalah
yang dapat terjadi pada cedera kepala, yaitu
berkisar 10-90%. Beberapa studi menyatakan
koagulopati dapat diguna-kan sebagai prediktor luaran perawatan pascacedera kepala.
Koagulopati pascacedera kepala dapat berupa
keadaan hi-perkoagulasi atau hipokoagulasi.
Kedua-nya dapat meyebabkan cedera jaringan
sekjnder baik dengan cara menginduksi mikrotrombosis atau dengan memicu terjadinya
lesi perdaraban di otak.
Patofisiologi
Cedera otak akibat trauma akan menimbulkan kerusakan endotel pembuluh darah dan
jaringan otak itu sendiri. Kerusakan endotel
ini akan mengaktifkan faktor pembekuan
darah XII dan kaskade koagulasi, sedangkan kerusakan jaringan otak akan memicu
pelepasan tromboplastin di jaringan otak.
Kedua mekanisme ini mengaktifkan
faktor pembekuan X yang bekerja sebagai
katalisator pemecah protrombin menjadi
trombin.
Trombin memicu tiga proses: membantu pembentukan fibrin, mengaktivasi
plasminogen, dan memicu degradasi
trombosit. Pembentukan fibrin akan menyebabkan terjadinya trombosis, sehingga
terjadi keadaan hiperkoaguiasi. Baik aktivasi plasminogen dan degradasi trombosit
akan berakibat timbulnya tanda-tanda
perdarahan akibat hipokoagulasi. Kedua keadaan ini merupakan status koagulasi pada
koagulopati (Gambar 9].
Gejala dan Tanda Klinis
Klinis yang tampak pada pasien dengan koagulopati pascacedera kepala secara umum
dinilai berdasar parameter ldinisnya,
yaitu:
• Perdarahan masif dari lokasi intravena
dan luka terbuka lainnya.
® Adanya tanda perdarahan spontan dan
mengancam nyawa, termasuk perdarahan intrakranial.
• Adanya tanda trombosis difus atau lokal.
© Manifestasi pada kulit dapat berupa petekie, purpura, ekimosis, dan Iain-lain.
diagnosa dan diagnosa Banding
Parameter klinis yaitu adanya manifestasi
klinis dan kelainan pada pemeriksaan profil
hemostasis (hitung jenis platelet, kadar prothrombine time (PT), activated prothrombine time (aPTT), international normalized
ratio (INR), fibrinogen, dan d-Dimer), yaitu:
® Trombositopenia sedang sampai dengan
berat ditemukan pada hitung platelet.
© Pemanjangan PT dan aPTT Peningkatan
aPTT ringan diawal pemeriksaan merupakan indikator adanya koagulopati dini pada
cedera kepala. Meskipun demikian, nilai PT
dan aPTT yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan terjadinya koagulopati.
© Fibrinogen merupakan reaktan tahap akut
yang akan meningkat pada keadaan inflamasi. Kadarnya akan menurun seiring
dengan perkembangan penyakit.
© ada peningkatan d-Dimer yang
berkaitan dengan pemecahan fibrin, dDimer dinilai sebagai parameter terbaik
untuk mengetahui adanya tanda-tanda
koagulasi atau tidak.
© Penilaian terhadap nilai INR biasanya digunakan untuk memantau efek dari pemakaian antikoagulan warfarin. Tata Laksana
1. Fresh frozen plasma (FFP) atau kriopresipitat.
2. Agen antifibrinolitik (asam traneksamat) dapat diberikan, walaupun studi
dari Clinical randomization o f an Antifibrinolytic in Significant Hemorrhage
(CRASH-2) menyimpulkan bahwa penggunaan asam traneksamat tidak bermanfaat pada pasien trauma kepala.
Meski demikian, asam traneksamat masih dapat diberikan pada keadaan akut
dan dalam waktu singkat
3. Rekombinan faktor Vila; akan menginisiasi pembentukan trombus dengan
cara mengikat tissue factor (TF). Sebuah
studi menyebutkan bahwa pemakaian
rekombinan faktor Vila pada perdarahan aldbat trauma kepala dapat mengurang! perkembangan hematom, tetapi
tidak memberikan manfaat klinis.
TRANSIENT ISCHEM IC ATTACK
Transient ischemic attack (TIA) yaitu defisit neurologis akut yang disebabkan oleh
kelainan vaskular serta pulih dalam jangka
waktu kurang dari 24 jam. Sementara itu,
definisi TIA berdasar kondisi jaringan
yaitu disfungsi neurologis sementara
yang disebabkan oleh iskemia fokal otak,
medula spinalis, atau retina tanpa ada infark akut. Perubahan definisi ini terjadi
sebab adanya perkembangan teknologi
pemeriksaan pencitraan otak.
Gejala TIA yang khas yaitu onset yang
mendadak, ada nya defisit neurologi fokal dan gangguan bicara. Namun, seringkali
dijumpai gejala yang tidak khas dan onset
yang bertahap menyerupai gejala stroke
[stroke mimic), atau malah tidak dikenali, sehingga tidak mendapat terapi yang adekuat.
Padahal TIA berpotensi untuk menjadi
stroke berulang jika tidak dilakukan terapi
pencegahan segera.
EPIDEMIOLOGI
Setiap tahun, ada 200.000-500.000
pasien yang didiagnosa mengalami TIA di
Amerika Serikat. Sementara itu, 300.000-
700.000 pasien diketahui mengalami gejala
neurologis yang dicurigai akibat TIA, tetapi
tidak memeriksakan diri ke dokter. Data epidemiologi TIA kebanyakan berdasar data
insidens dan prevalensi, serta dihubungkan
dengan faktor risiko stroke. Insidens TIA dipengaruhi usia, jenis kelamin dan suku bangsa.
Lald-lald cenderung lebih tinggi dibandingkan
perempuan dan meningkat dengan bertambahnya usia. Insidens TIA di Eropa pada lakilaid dan perempuan masing-masing 0,52-2,37
dan 0,05-1,14, sedangkan berdasar usia
yakni 0,94-3,39 (usia 55-64 tahun) , 0,71-1,47
(usia 65-74 tahun), 3,04-7,20 (usia 65-74 tahun), 2,18-6,06 (usia 75-84 tahun). Insidens
di Amerika hampir sama dengan Eropa, dan
lebih rendah di Jepang.
Kejadian stroke pada penderita TIA dapat
diprediksi berdasar skor ABCD dengan
peningkatan kejadian stroke seiring makin
tingginya skor ini . Sebuah penelitian
berbasis populasi menunjukkan skor ini
merupakan prediktor yang cukup kuat terjadinya stroke dalam 24 jam, yakni 76% dari
pasien dengan skor ABCD 5 atau lebih akan
mengalami stroke berulang. Angka prognosis kejadian stroke pasca TIA berdasar
persentase pada masyarakat umum meningkat seiring waktu, yakni 1,7 kali sesudah
2 hari, 4,8 kali sesudah 1 minggu, 6,6 kali
sesudah 1 bulan, 8,5 kali sesudah 3 bulan, dan
mencapai 11,4 kali sesudah 6 bulan pascaTIA. PATOFISIOLOGI
Faktor Risiko
Berikut ini yaitu beberapa kondisi yang
dapat meningkatkan risiko terjadinya TIA:
1. Umur; dihubungkan dengan risiko terjadinya peningkatan terjadinya TIA, kecuali
padaumur >85tahunsedikitmenurun.
2. Jenis kelam in; laki-laki mempunyai faktor risiko TIA dan stroke rata-rata 1,25
kali dibandingkan perempuan.
3. Hipertensi; berkontribusi sebagai faktor risiko sebesar 50% tergantung pada
usia pasien.
4. Fibrilasi atrial (atrial fibrillation/AF);
risiko TIA dan stroke pada AF nonvalvular
yaitu sekitar 3-5% pertahun dengan duapertiga masalah akibat kardioemboli.
5. Diabetes mellitus (DM); merupakan
faktor risiko TIA dan stroke potensiai,
dengan risiko relatif 1,8-3,0. DM dihubungkan dengan perkembangan aterosklerosis,
hipertensi, obesitas, dan kadar lipid darah
yang abnormal.
6. Merokok; sekitar 18% TIA dan stroke
dihubungkan dengan merokok aktif dan
risiko ini meningkat pada perokok berat
7. Konsumsi alkohol; dalam jumlah besar
dapat meningkatkan kejadian hipertensi,
hiperkoagulasi, aritmia kardiak, penurunan
aliran darah otak, serta meningkatkan
kejadian stroke.
Patofisiologi TIA hampir sama dengan stroke
iskemik, akibat berkurang/berhentinya aliran
darah pada pembuluh darah serebral yang
memperdarahi suatu area tertentu di otak
secara sementara, sehingga menimbulkan
gejala neurologis fokal. Hal ini disebabkan
oleh oklusi parsial atau total akibat tromboemboli akut atau stenosis pembuluh darah,
yang dapat berasal dari plak aterosklerosis
pada pembuluh darah jantung, pembuluh
darah besar, dan pembuluh darah ekstrakranial. Manifestasi klinis yang diperlihatkan
bergantung pada daerah yang diperdarahi
pembuluh darah yang terkena,
Setidaknya ada tiga mekanisme yang
dapat memicu TIA, yakni: 1) aliran
lambat pada arteri besar (large artery low
flow TIAj; 2) emboli pembuluh darah atau
jantung; dan 3) oklusi pembuluh darah kecil
di otak (lacunar or small penetrating vessel
TIA). TIA akibat aliran lambat pada arteri
besar umumnya terjadi dalam hitungan
menit hingga jam, berulang, dan memiliki
karakteristik yang sama. Perlambatan aliran berkaitan dengan stenosis akibat lesi aterosklerosis, yang dapat terjadi pada arteri
karotis interna, pembuluh darah kolatera!
sirkulus Willisi, arteri serebri media, ataupun pada pertemuan arteri vertebralis dan
arteri basilaris. Prinsipnya, setiap obstruksi
pada arteri ekstrakranial dan intrakranial
dapat memicu perlambatan aliran
darah dan berpotensi menimbulkan iskemia.
TIA akibat emboli memiliki gejala yang
berbeda, umumnya fokal dan episodenya
lebih lama. Risiko stroke pada TIA akibat
emboli lebih tinggi dibandingkan masalah
lain. Emboli terbentuk akibat proses patologis pada arteri yang biasanya berlokasi
di ekstrakranial atau berkaitan dengan kelainan jantung (seperti fibrilasi atrial atau
trombus ventrikel kiri).
lacunar or small penetrating vessel TIA dapat
disebabkan oleh stenosis salah satu penetrating vessel yang berasal dari arteri serebral
media, arteri basilar, arteri vertebralis, atan
arteri yang berasal dari sirkulus Willisi, Oklusi
pembuluh darah kecil ini dapat disebabkan
oleh lipohialinosis akibat hipertensi atau lesi
aterosklerosis.
Pada TIA, terjadi gangguan perfusi sesaat
sehingga tidak ada kerusakan permanen pada sel neuron. Defisit neurologis
yang terjadi akan pulih sempurna seiring
dengan perbaikan fungsi dari sel-sel yang
mengalami reperfusi.
GEJALA KLINIS
Gejala TIA yang khas umumnya terjadi tibatiba, bersifat sementara dan hilang dalam
waktu 30-60 menit. Gejala ini dapat
tipikal ataupun atipikal [Tabel 1}, antara
lain gangguan perilaku (behaviour), bahasa,
gait, memori, dan gerakan (movement).
diagnosa DAN diagnosa BANDING
Penegakan diagnosa dilakukan berdasar
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus teliti tidak
hanya pada pasien, namun juga keluarga atau
orang lain yang menyaksikan kejadian. Pada
anamnesis, sebaiknya diperoleh gejala dan
karakteristik TIA seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pemeriksaan fisik harus lengkap meliputi
tanda vital meliputi tekanan darah, nadi,
napas, suhu, dan saturasi oksigen, serta
pemeriksaan fisik umum dan neurologis.
Pada pemeriksaan fisik umum, perlu dicari
penyakityangdapatmenyebabkanterjadinya
TIA, seperti kelainan jantung, DM, dan Iainlain. Pemeriksaan fisik neurologis dilakukan
untuk mencari defisit neurologis yang mungkin masih tersisa, meliputi pemeriksaan saraf
kranial, kekuatan motorik, sensoris, fungsi
bahasa, sistem keseimbangan, dan kontrol
motorik yang diatur oleh serebelum.
Pemeriksaan penunjang untuk memastikan
faktor risiko terjadinya TIA, yakni:
© mendapat bukti tanda dan gejala
pembuluh darah secara langsung ataupun tidak langsung. Bukti secara langsung, yakni adanya hipoperfusi dan
atau infark akut, sedangkan bukti tidak
langsung berupa identifikasi kemung-
kinan terjadinya stenosis arteri besar.
® Menyingkirkan adanya akibat noniskemik.
® Mencari faktor risiko mekanisme gangguan pembuluh darah seperti aterotrombotik pembuluh darah besar, kardioemboli, dan gangguan pembuluh darah
kecil (small vessel disease).
• Menentukan dan meramalkan prognosis pasien terhadap terjadinya stroke di
kemudian hari.
Beberapa pemeriksaan penunjang awal yang
perlu dilakukan yaitu kadar glukosa darah
dengan fingerstick, darah perifer lengkap, elektrolit serum, profil koagulasi, profil lipid, dan
EKG 12 sadapan. Pemeriksaan laju endap darah dan kadar enzim jantung hanya jika ada
indikasi berhubungan dengan kelainan jantung. Selanjutnya pencitraan otak berupa MRI
(diutamakan) dan/atau CT scan [jika MRI tidak
tersedia), serta Doppler transkranial (transcranial Doppler/TCD) dan Doppler karotis.
TIA dapat menyerupai berbagai penyakit,
antara lain:
® Migren dengan aura
9 Hipotensi dan atau sinkop
9 Gejala fokal episodik sementara [misalnya confusion)
® Gangguan keseimbangan perifer [misalnya vertigo terisolasi)
© Kejang parsial
© Ansietas atau hiperventilasi
© Amnesia global sementara (transient
global amnesia)
© Drop attacks, yaitu hilangnya tonus postural sementara yang memicu
pasien terjatuh
© Hipoglikemia
sesudah menegakkan diagnosa TIA, perlu
ditentukan prognosis kejadian stroke
pascaTIA dengan skor ABCD. Sistem ini
mampu memprediksi risiko stroke dalam
2 -9 0 hari pascaTIA melalui penjumlahan
5 faktor independen [Tabel 2). Skor ABCD
yang lebih tinggi mengindikasikan risiko
terkena stroke yang lebih tinggi dalam
waktu 2, 7, 30, dan 90 hari pascaTIA, sehingga direkomendasikan untuk dirawat
di RS [Tabel 3). TATA LAKSANA
1. T ata L ak san a M ed ik am en tosa
a. Terapi antitrombotik:
© Untuk TIA akibat aterotrombotik:
Pemberian antiplatelet yang dikonsumsi setiap hari dalam jangka panjang, yaitu kombinasi dipiridamol lepas lambat
ditambah aspirin [lini pertama), klopidogrel, atau aspirin. Antikoagulan tidak
direkomendasikan.
• Untuk TIA akibat kardioembolik:
Pemberian antikoagulan jangka panjang
untuk atrial fibrilasi (terus-menerus
atau intermiten). Pada pasien yang memiliki intoleransi terhadap antikoagulan, dapat diberikan aspirin 325mg per
hari, atau jika intoleran terhadap aspirin
dapat diberikan klopidogrel 75mg per
hari.
b. Tata laksana penyakit penyerta yakni:
• Hipertensi
Jika ditemukan hipertensi, dilakukan penurunan tekanan darah hingga
<140/90mmHg atau <130/80mmHg
untuk pasien dengan diabetes dengan
pemberian angiotensin converting enzyme inhibitors (ACE-inhibitor) atau
kombinasi ACE-inhibitor dan diuretik
atau angiotensin-receptor blocker (ARB).
® Hiperlipidemia
Jika ditemukan hiperlipidemia, mulai
diberikan statin, dengan target kadar
LDL-kolesterol <100mg/dL.
• DM
jika ditemukan DM, dilakukan tata
laksana DM dengan target glukosa
darah <126mg/dL.
2. Tata Laksana Nonmedikamentosa
a. Mengatur pola makan dengan gizi
seimbang.
b. Berhenti merokok dan membatasi
konsumsi alkohol (bagi pasien yang
merokok dan mengonsumsi alkohol).
c. Melakukan aktivitas fislk >10 menit
dalam sehari, seperti bersepeda, jalan
cepat, berlari, atau berenang.
PROGNOSIS
berdasar penelitian diketahui 4% pasien
TIA berubah menjadi stroke dalam waktu 2
hari, 8% pasien dalam waktu 1 bulan, dan 9%
pasien dalam waktu 90 hari. Sementara itu, ketika pasien diikuti secara prospektif diketahui
bahwa 11% pasien mengalami stroke dalam 7
hari. Besarnya risiko pasien TIA untuk terkena
stroke dalam waktu 5 tahun yaitu sebesar
24-29% . Selain itu, pasien dengan TIA atau
stroke berisiko yang lebih tinggi untuk
terkena penyakit arteri koroner. CONTOH masalah
Seorang perempuan umur 61 tahun, datang
dengan keluhan utama kelemahan mendadak
pada anggota gerak kiri. Pasien tidak ada keluhan penurunan kesadaran, sakit kepala atau
kejang, serta belum pemah mengalami keluhan
ini sebelumnya. Pasien segera dibawa ke RS.
Dalam perjalanan, keluhan pasien membaik.
Didapatkan riwayat hipertensi terkontrol dan
rutin mengkonsumsi Captopril 2x12,5 mg.
Tanda vital dan pemeriksaan fisik dalam batas
normal Tidak ditemukan hipotensi ortostatik.
Pasien dikatakan dalam keadaan sehat dan
disarankan melanjutkan terapi antihipertensi. Tidak ditemukan riwayat keluhan serupa
pada keluarga, riwayat konsumsi alkohol,
obat-obatan lain atau riwayat sinkop.
Pertanyaan:
1. Apakah kemungkinan diagnosa pasien?
2. Apakah pemeriksaan selanjutnya yang
dibutuhkannya?
3. Tata laksana apa yang dibutuhkan pasien
ini ?
jawaban:
1. Transient ischemic attack (TIA)
2. Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk penapisan faktor risiko TIA, antara
lain pemeriksaan kadar glukosa darah
dengan fingerstick, pemeriksaan darah
perifer lengkap, elektrolit serum, faktor
koagulasi darah, profil lipid, laju endap
darah, serta EKG 12 sadapan. Selain itu,
diperlukan pencitraan pembuluh darah
intrakranial maupun ekstrakranial berupa pemeriksaan Doppler transkranial dan
Doppler karotis. Hal lain yang juga perlu
dilakukan yaitu menentukan skor risiko
stroke pasca TIA (sistem skor ABCD}.
3. Tata laksana yang dapat diberikan pada
pasien dengan TIA yaitu terapi antitrombotik. Selain itu, dilakukan tata laksana penyaldt penyerta, seperti hipertensi
STROKE ISKEMIK
Stroke merupakan penyakit kegawatdaruratan neurologi yang bersifat akut dan salah
satu pemicu kecacatan dan kematian tertinggi di beberapa negara di dunia. Pada tahun 2013, ada sekitar 25,7 juta masalah
stroke, dengan hampir separuh masalah (10,3
juta masalah } merupakan stroke pertama. Sebanyak 6,5 juta pasien mengalami kematian
dan 11,3 juta pasien mengalami kecacatan.
Di negara berkembang, secara umum angka
kecacatan dan kematian stroke cukup tinggi
yakni 81% dan 75,2%. Di negara kita , stroke
merupakan pemicu kematian tertinggi
berdasar data Riset Kesehatan Dasar
tahun 2007, yaitu 15,4%. Data negara kita
Stroke Registry tahun 2012-2013 mendapat sebanyak 20,3% kematian pada 48 jam
pertama pascastroke.
Kecacatan dapatberupa defisit neurologi yang
berdampak pada gangguan emosional dan
sosial, tidak hanya bagi pasien namun juga
bagi keluarganya. Hal ini diperberat dengan
tingginya serangan stroke berulang, jika faktor risiko stroke tidak teratasi dengan baik.
E P ID E M IO L O G I
Insidens stroke di Asia sangat bervariasi,
antara lain Malaysia (67 per 100.000 penduduk) dan Taiwan (330 per 100.000 penduduk). berdasar Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS] Kementerian Kesehatan tahun 2013, prevalensi stroke di negara kita
meningkat dari 8,3% pada tahun 2007
menjadi 12,1% pada tahun 2013. ada
perbedaan prevalensi di berbagai propinsi
dengan posisi tiga besar secara berurutan,
yakni Sulawesi Selatan (17.9%), Daerah Istimewa Yogyakarta (16.9%], dan Sulawesi
Tengah (16.6%].
Prevalensi stroke meningkat seiringbertambahnya usia, dengan puncaknya pada usia
>75 tahun. Di negara kita , prevalensi stroke
tidak berbeda berdasar jenis kelamin.
Namun di Jepang, insidens stroke pada jenis
kelamin laki-Iaki dua kali lipat dari perempuan yakni masing-masing 442 per 100.000
penduduk dan 212 per 100.000.
Persentase stroke iskemik lebih tinggi
dibandingkan dengan stroke hemoragik.
Laporan American Heart Association (AHA]
tahun 2016 mendapat stroke iskemik
mencapai 87% serta sisanya yaitu perdarahan intraserebral dan subaraknoid. Hal
ini sesuai dengan data Stroke Registry tahun
2012-2014 terhadap 5.411 pasien stroke di
negara kita , mayoritas yaitu stroke iskemik
(67%}. Demikian pula dari 384 pasien stroke
yang menjalani rawat inap di RSUPN Cipto
Mangunkusumo (RSCM] pada tahun 2014,
sebanyak 71,4 % yaitu stroke iskemik.
Adapun angka kematian akibat stroke iske- jttik (11,3%) relatif lebih kecil dibandingkan
stroke perdarahan (17,2%). Secara umum
cjari 61,9% pasien stroke iskemik yang dilakukan pemeriksaan CT scan di negara kita didapatkan infark terbanyak pada sirkulasi anterior (27%), diikuti infark lakunar (11,7%),
dan infark pada sirkulasi posterior (4,2%).
patofisiologi
Secara umum faktor risiko stroke terbagi
menjadi dua, yaitu (1) faktor risiko yang
dapat dimodifikasi atau dilakukan tata laksana, antara lain hipertensi, diabetes melitus (DM), merokok, obesitas, asam urat, dan
hiperkolesterol, serta (2) faktor risiko yang
tidak dapat dimodifikasi, seperti usia, jenis
kelamin, dan etnis.
1. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko
stroke tersering, sebanyak 60% penyandang hipertensi akan mengalami
stroke. Hipertensi dapat menimbulkan
stroke iskemik (50% ) maupun stroke
perdarahan (60% ). Data menunjukkan
bahwa risiko stroke trombotik pada
penyandang hipertensi sekitar 4,5 kali
lebih tinggi dibandingkan normotensi.
Pada usia >65 tahun, penyandang hipertensi berisiko 1,5 kali lebih tinggi
dibandingkan normotensi.
Patofisiologi hipertensi memicu
terjadinya perubahan pada pembuluh
darah. Perubahan dimulai dari penebalan tunika intima dan peningkatan permeabilitas endotel oleh hipertensi lama,
terutama pada arteri dengan ukuran kecil, yaitu sekitar 300~500mm (cabang
perforata). Proses akan berlanjut dengan terbentuknya deposit lipid terutama kolesterol dan kolesterol oleat pada
tunika muskularis yang memicu
lumen pembuluh darah menyempit serta
berkelok-kelok.
Pada hipertensi kronik akan terbentuk
nekrosis fibrinoid yang memicu
kelemahan dan hernias! dinding arteriol, serta ruptur tunika intima, sehingga
terbentuk suatu mikroaneurisma yang
disebut Charcot-Bouchard. Kelainan ini
terjadi terutama pada arteri yang berdiameter 100-300m m (arteriol).
Pengerasan dinding pembuluh darah
dapat memicu gangguan autoregulasi, berupa kesulitan untukberkontraksi atau berdilatasi terhadap perubahan tekanan darah sistemik. Jika terjadi
penurunan tekanan darah sistemik yang
mendadak, tekanan perfusi otak menjadi
tidak adekuat, sehinggga menyebabkan iskemik jaringan otak. Sebaliknya,
jika terjadi peningkatan tekanan darah
sistemik, maka akan terjadi peningkatan
tekanan perfusi yang hebat yang akan
memicu hiperemia, edema, dan
perdarahan.
2. Diabetes Melitus
Sebanyak 10-30% penyandang DM dapat
mengalami stroke. Suatu studi terhadap 472 pasien stroke selama 10 tahun
menunjukkan adanya riwayat DM pada
10,6% laki-laki dan 7,9% perempuan.
Penelitian menunjukan adanya peranan
hiperglikemi dalam proses aterosklerosis, yaitu gangguan metabolisme berupa
akumulasi sorbitol di dinding pembuluh darah arteri. Hal ini mennyebabkan
gangguan osmotik dan bertambahnya
kandungan air di dalam sel yang dapat
memicu kurangnya oksigenisasi.
Peranan genetik pada DM belum diketahui
secara pasti. Dipildrkan ada abnormalitas genetik yang dihubungkan dengan abnormalitas seluler secara intrinsik berupa
pemendekan usia kehidupan (life span) sel
dan peningkatan proses pergantian [turnover] sel di dalam jaringan. Proses ini dapat
juga terjadi pada sel endotel dan sel otot polos dindingpembuluh darah.
Penyandang DM sering disertai dengan
hiperlipidemia yang merupakan faktor
risiko terjadinya proses aterosklerosis.
Pada penelitian oleh National Cholesterol
Education Program (NCEP), kurang lebih
40% penyandang DM term as uk dalam
kriteria hiperlipidemia serta 23% mengalami hipertrigliserida dan kadar high
density lipoprotein (HDL) yang rendah.
3. Merokok
Secara prospektif merokok dapat meningkatkan perburukan serangan stroke
sebesar 3,5 kali dan dihubungkan dengan
banyaknya konsumsi rokok. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa mekanisme.
Pertama, aldbat derivat rokok yang sangat
berbahaya, yakni nikotin. Nikotin diduga
berpengaruh pada sistem saraf simpatis dan proses trombotik. Dengan adanya
nikotin, kerja sistem saraf simpatis akan
meningkat, termasuk jalur simpatis sistem
kardiovaskular, sehingga akan terjadi peningkatan tekanan darah, denyut jantung,
dan meningkatnya aliran darah ke otak.
Pengaruh nikotin terhadap proses trombotik melalui enzim siklooksigenase,
yang memicu penurunan produksi
prostasiklin dan tromboksan. Hal itu
memicu peningkatan agregasi
trombosit dan penyempitan lumen pembuluh darah, sehingga memudahkan
terjadinya stroke iskemik. Selain itu,
merokok dalam waktu lama akan meningkatkan agregasi trombosit, kadar
fibrinogen, dan viskositas darah, serta
menurunkan aliran darah ke otak yang
memicu terjadinya stroke iskemik.
Karbondioksida juga dipikirkan memiliki pengaruh. Ikatan karbondioksida
di dalam darah 200 kali lebih tinggi
dibandingkan oksigen, sehingga seolaholah oksigen di dalam darah sedikit. Hal
ini memicu peningkatan produksi
eritrosit oleh tubuh, sehingga komposisi
eritrosit plasma tinggi, yang terlihat sebagai peningkatan nilai hematokrit yang
disebut polisitemia sekunder.
4. Asam Urat
Salah satu penelitian di Jepang terhadap
usia 50-79 tahun selama 8 tahun menunjukkan hiperurisemia merupakan faktor
risiko penting terjadinya stroke. Penelitian kohort di Honolulu dengan rentang
usia 5 5-64 tahun selama 23 tahun memperlihatkan hubungan bermakna antara
asam urat, kadar kolesterol, tekanan
darah sistolik, dan kadar trigliserida terhadap kejadian aterosklerosis berupa
penyakit jantung dan stroke. Kondisi
hiperurisemia diduga merupakan salah
satu faktor yang dapat meningkatkan
agregasi trombosit
5. Dislipidemia
Meskipun tidak seberat yang dilaporkan
sebagai pemicu penyakit jantung, salah
satu penelitian observasional menunjuk-
kan hubungan peningkatan kadar lipid
plasma dan kejadian stroke iskemik.
Metaanalisis terhadap studi kohort juga
menunjukkan kekuatan hubungan antara
hiperlipidemia dan stroke. Komponen dislipidemia yang diduga berperan, yakni kadar HDL yang rendah dan kadar low density lipoprotein (LDL) yang tinggi. Kedua
hal ini mempercepat aterosklerosis
pembuluh darah koroner dan serebral.
6. Usia, Jenis Kelamin, dan Ras/Suku
Bangsa
Angka kejadian stroke meningkat seiring
bertambahnya usia, yaitu 0,4% (usia 18-
44 tahun), 2,4 % (usia 65-74 tahun), hingga 9,7% (usia 75 tahun atau lebih), sesuai
dengan studi Framingham yang berskala
besar. Hal ini disebabkan oleh peningkatan terjadinya aterosklerosis seiring
peningkatan usia yang dihubungkan pula
dengan faktor risiko stroke lainnya, seperti atrial fibrilasi (atria/fibrillation/AF)
dan hipertensi. AF dan hipertensi sering
dijumpai pada usia lanjut.
Laki-laki berisiko stroke 1,25-2,5
kali lebih tinggi dibandingkan perempuan. Namun, angka ini berbeda pada usia
lanjut. Prevalensi stroke pada penduduk
Amerika perempuan (tahun 1999-2000)
berusia >75 tahun lebih tinggi (84,9%)
dibandingkan laki-laki (70,7%).
Data pasien stroke di negara kita juga
menunjukkan rerata usia perempuan
(60,4±13,8 tahun) lebih tua dibandingkan
laki-laki (57,5±12,7 tahun). Hal ini dipikirkan berhubungan dengan estrogen.
Estrogen berperan dalam pencegahan
plak aterosklerosis seluruh pembuluh
darah, termasuk pembuluh darah serebral. Dengan demikian, perempuan pada
usia produktif memiliki proteksi terhadap
kejadian penyakit vaskular dan aterosklerosis yang memicu kejadian stroke
lebih rendah dibandingkan lelaki. Namun, pada keadaan premenopause dan
menopause yang terjadi pada usia lanjut,
produksi estrogen menurun sehingga
menurunkan efek proteksi ini
berdasar suku bangsa, didapatkan
suku kulit hitam Amerika mengalami
risiko stroke lebih tinggi dibandingkan
kulit putih. Insidens stroke pada kulit hitam sebesar 246 per 100.000 penduduk
dibandingkan 147 per 100.000 penduduk untuk kulit putih.
Patofisiologi Stroke Iskemik Akut
Pada dasarnya, proses terjadinya stroke
iskemik diawali oleh adanya sumbatan pembuluh darah oleh trombus atau emboli yang
memicu sel otak mengalami gangguan metabolisme, sebab tidak mendapat
suplai darah, oksigen, dan energi (Gambar
1). Trombus terbentuk oleh adanya proses
aterosklerosis pada arkus aorta, arteri karotis, maupun pembuluh darah serebral. Proses ini diawali oleh cedera endotel dan inflamasi yang memicu terbentuknya
plak pada dinding pembuluh darah. Plak
akan berkembang semakin lama semakin
tebal dan sklerotik. Trombosit kemudian
akan melekat pada plak serta melepaskan
faktor-faktor yang menginisiasi kaskade koagulasi dan pembentukan trombus.
Trombus dapat lepas dan menjadi embolus
atau tetap pada lokasi asal dan memicu
oldusi dalam pembuluh darah ini . Emboli merupakan bagian dari trombus yang
terlepas dan menyumbat pembuluh darah
di bagian yang lebih distal. Emboli ini dapat
berasal dari trombus di pembuluh darah,
tetapi sebagian besar berasal dari trombus
di jantung yang terbentuk pada keadaan tertentu, seperti atrial fibrilasi dan riwayat infark miokard. Bila proses ini berlanjut, akan
terjadi iskemia jaringan otak yang menyebabkan kerusakan yang bersifat sementara
atau menjadi permanen yang disebut infark.
Di sekeliling area sel otak yang mengalami
infark biasanya hanya mengalami gangguan
metabolisme dan gangguan perfusi yang
bersifat sementara yang disebut daerah
penumbra (Gambar 2). Daerah ini masih
bisa diselamatkan jika dilakukan perbaikan
aliran darah kembali (reperfusi) segera, sehingga mencegah kerusakan sel yang lebih
luas, yang berarti mencegah kecacatan
dan kematian. Namun jika penumbra tidak
dapat diselamatkan, maka akan menjadi
daerah infark. Infark ini bukan saja
disebabkan oleh sumbatan, tetapi juga akibat proses inflamasi, gangguan sawar darah
otak (SDO) atau (blood brain barrier/BBB),
zat neurotoksik akibat hipoksia, menurunnya aliran darah mikrosirkulasi kolateral,
dan tata laksana untuk reperfusi.
Pada daerah di sekitar penumbra, ada
berbagai tingkatan kecepatan aliran darah
serebral atau cerebral blood flow (CBF).
Aliran pada jaringan otak normal yaitu
40-50cc/100g otak/menit, namun pada
daerah infark, tidak ada aliran sama sekali
(CBF OmL/lOOg otak/menit] (Gambar 2],
Pada daerah yang dekat dengan infark CBF
yaitu sekitar lOcc/lOOg otak/menit. Daerah ini disebut juga daerah dengan ambang
kematian sel (threshold o f neuronal death),
oleh sebab sel otak tidak dapat hidup bila
CBF di bawah 5cc/100g otak/menit.
Pada daerah yang lebih jauh dari infark, di dapatkan CBF sekitar 20cc/100g otak/menit. Pada daerah ini aktivitas listrik neuronal
terhenti dan struktur intrasel tidak terintegrasi dengan baik. Sel di daerah ini
memberikan kontribusi pada terjadinya defisit neurologis, namun memberikan respons
yang baik jika dilakukan terapi optimal.
Bagian yang lebih luar mendapat CBF
30-40cc/100g otak/menit, yang disebut
dengan daerah oligemia. Bagian terluar
yaitu bagian otak yang normal. Bagian ini
mendapat CBF 40-50cc/100g otak/menit Bila kondisi penumbra tidak ditolong
secepatnya maka tidak menutup kemungkinan daerah yang mendapat aliran darah
dengan kecepatan kurang tadi akan berubah
menjadi daerah yang infark dan infark yang
terjadi akan semakin luas.
Pada daerah yang mengalami iskemia, terjadi penurunan kadar adenosine triphosphate (ATP), sehingga terjadi kegagalan
pompa kalium dan natrium serta peningkatan kadar laktat intraselular. Kegagalan
pompa kalium dan natrium memicu
depolarisasi dan peningkatan pelepasan
neurotrans miter glutamat.
Depolarisasi meningkatkan kadar kalsium intraselular, sedangkan glutamat yang
dilepaskan akan berikatan dengan reseptor glutamat yakni N-metil-D-aspartat
(NMDA) dan a-arhino-3-hydroxy-5-methyi-
4-isonazolipropionid-acid (AMPA), yang
selanjutnya akan memicu masuknya
kalsium intraselular. Dengan demikian,
hal ini semakin meningkatkan kadar
kalsium intraselular. Kalsium intraselular
memicu terbentuknya radikal bebas, nitrit oksida (NO), inflamasi, dan kerusakan
DNA melalui jalur enzimatik seperti Ca2+-
ATPase, calsium-dependent phospholipase,
protease, endonuklease, dan kaspase yang
keseluruhannya berkontribusi terhadap
kematian sel.
Faktor Lain yang Memengaruhi Daerah
Penum bra
Selain CBF yang sangat berpengaruh pada
daerah penumbra, ada beberapa faktor lain
yang berperan terhadap perkembangan
pasien pada tahap akut, antara lain stres oksidatif, asidosis derah penumbra, depolarisasi
daerah penumbra, dan faktor inflamasi.
1. Kondisi stres oksidatif, merupakan
kondisi diproduksinya radikal bebas
berupa 0 2, hidroksil [OH), dan NO pada keadaan iskemia serebral. Radikal bebas ini
sangat mempengaruhi daerah penumbra
akibat pembentukan rantai reaksi yang
dapat menghancurkan membran sel, deoxyribonucleic acid (DNA), dan protein.
Radikal bebas juga memicu gangguan mikrosirkulasi dan merusak sawar
darah otak hingga memicu edema.
Proses ini akan terus berlangsung
selama keadaan iskemia tidak segera ditangani, oleh sebab radikal bebas bereaksi ldiususnya dengan lemak tidak jenuh
(;unsaturated lipid) yang banyak berada di
membran neuron dan sel glia.
2. Asidosis daerah penum bra terfadi akibat peningkatan metabolisme anaerob
yang disebabkan oleh proses iskemia.
Peningkatan metabolisme ini memicu
pembentukan asam laktat, sehingga terjadi asidosis. Asidosis memicu masuknya natrium [Na+] dan Cl‘ke dalam sel
melalui ikatan Na+/H+ dengan C1/HC03',
sehingga terjadi edema intrasel dan peningkatan tekanan intrakranial (TIK).
3. Depolarisasi daerah penumbra terjadi
akibat kegagalan pompa Na+/iC dan beraldbat terjadinya peningkatan kalium ekstrasel. Sel neuron/sel glia akan mengalami
penurunan aktivitas bioelektrik, kehilangan
extracellular ionic gradient, dan masuknya
Na diikuti Cl ke dalam sel. Seluruh proses ini
akan berujung pada edema intrasel.
4. Inflamasi pada daerah penumbra aidbat adanya iskemia. Respons inflamasi
ini merupakan respons normal yang bertujuan untuk pembersihan debris sel,
namun juga cenderung meningkatkan
kerusakan jaringan serebral. Respons inflamasi berupa aktivasi brain resident cells
seperti mikroglia dan astrosit, infiltrasi selsel inflamasi ke jaringan iskemik, seperti
neutrofil, monosit, makrofag dan limfosit,
serta peningkatan alttivasi mediator inflamasi dan infiltrasi mediator inflamasi
ke jaringan otak. Adapun mediator yang
bersifat pro-inflamasi ini antara lain
tumor necrosis factor (TNF)-a, interleukin
(IL)-lp, interferon (IF)-p, serta IL-6) yang
diproduksi oleh limfosit.
GEJALA D A N TA N D A K L IN IS
Tanda dan gejala ldinis stroke sangat mudah
dikenali. Hal ini secara praktis mengacu pada
deflnisi stroke, yaitu kumpulan gejala akibat
gangguan fungsi otak akut baik fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh
berkurang atau hilangnya aliran darah pada
parenkim otak, retina, atau medula spinalis,
yang dapat disebabkan oleh penyumbatan
atau pecahnya pembuluh darah arteri maupun vena yang dibuktikan dengan pemeriksaan pencitraan otak dan/atau patologi.
Gejala gangguan fungsi otak pada stroke sangat tergantung pada daerah otak yang terkena. Defisit neurologis yang ditimbulkannya
dapat bersifat fokal maupun global, yaitu: o Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu ekstremitas, kelumpuhan
otot-otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot untuk proses menelan,
bicara, dan sebagainya
o Gangguan fungsi keseimbangan
• Gangguan fungsi penghidu
• Gangguan fungsi penglihatan
o Gangguan fungsi pendengaran
® Gangguan fungsi somatik sensoris
® Gangguan fungsi kognitif, seperti: gangguan atensi, memori, bicara verbal,
gangguan mengerti pembicaraan, gangguan pengenalan ruang, dan sebagainya
• Gangguan global berupa gangguan kesadaran
Pemeriksaan sederhana untuk mengenali
gejala dan tanda stroke yang disusun oleh
Cincinnati memakai singkatan FAST,
mencakup F yaitu facial droop (mulut mencong/tidak simetris), A yaitu arm weakness
(kelemahan pada tangan), S yaitu speech
difficulties (kesulitan bicara], serta T, yaitu
time to seek medical help (waktu tiba di RS
secepat mungkin). FAST memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 68% untuk menegakkan stroke, serta reliabilitas yang baik
pada dokter dan paramedis.
Tanda ldinis stroke juga dapat dilakukan
dengan cara pemeriksaan fisik neurologi
untuk mengkonfirmasi kembali tanda dan
gejala yang didapatkan berdasar anamnesis. Pemeriksaan fisik yang utama meliputi penurunan kesadaran berdasar
Skala Koma Glasgow (SKG), kelumpuhan
saraf kranial, kelemahan motorik, defisit
sensorik, gangguan otonom, gangguan fungsi kognitif, dan lain-lain.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
Kriteria diagnosa stroke iskemik yaitu
ada gejala defisit neurologis global
atau salah satu/beberapa defisit neurologis
fokal yang terjadi mendadak dengan bukti
gambaran pencitraan otak (CT scan atau
MRI]. Adapun diagnosa banding yang paling sering, yakni stroke hemoragik (bila belum dilakukan CT/MRI otak].
Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk
memastikan diagnosa serta untuk mengeksplorasi faktor risiko dan etiologi stroke
iskemik berupa:
a. Elektrokardiogram [EKG]
b. Pencitraan otak: CT scan kepala non kontras, CT angiografi atau MRI dengan perfusi dan difusi serta magnetic resonance
angiogram [MRA]
c. Doppler karotis dan vertebralis
d. Doppler transkranial (transcranial doppier/TCD]
e. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium di IGD yakni
hematologi rutin, glukosa darah sewaktu,
dan fungsi ginjal (ureum, kreatinin]. Selanjutnya di ruang perawatan dilakukan pemeriksaan rutin glukosa darah puasa dan 2 jam
pascaprandial, HbAlC, profil lipid, c-reactive protein [CRP], dan laju endap darah.
Pemeriksaan hemostasis, seperti activated
partial thrombin time (APTT], prothrombin time (PT), dan international normalized ratio [INR], enzim jantung (troponin,
creatine kinase MB/CKMB], fungsi hati, tes
uji fungsi trombosit (uji resistensi aspirin
dan klopidogrel), serta elektrolit dilakukan
atas indikasi. Pemeriksaan penunjang lain disesuaikan
dengan indikasi (sebagian dapat dilakukan
di ruang rawat) meliputi:
1. Digital substraction angiography (DSA)
serebral
2. MR difusi dan perfiisi atau CT perfusi otak
3. Ekokardiografi (transtorakal dan/atau
transesofageal)
4. Rontgen toraks
5. Saturasi oksigen, dan analisis gas darah
6. Pungsi lumbal jika dicurigai adanya perdarahan subaraknoid namun pada CT scan
tidak ditemukan gambaran perdarahan
7. EKG holter, jika dicurigai ada AF
paroksismal
8. Elektroensefalografi (EEG) jika dicurigai adanya kejang
9. Penapisan toksikologi (misalnya alkohol, kecanduan obat]
10. Pemeriksaan antikardiolipin dan antibodi antinuklear (ANA) jika dicurigai
adanyalupus
11. Pemeriksaan neurobehaviour
Pemeriksaan Evaluasi Komplikasi
Komplikasi pada stroke akut dapat berupa
pneumonia, infeksi saluran kemih, trombosis
vena dalam atau deep vein thrombosis (DVT),
dekubitus, spastisitas dan nyeri, depresi,
gangguan fungsi kognitif, serta komplikasi
metabolik lain seperti gangguan elektrolit.
TATA LA KSAN A
Tata laksana untuk stroke iskemik akut baik
secara umum maupun khusus mengacu dari
pedoman yang telah dibuat di berbagai negara, sebagian besar dari AHA/ASA [American Stroke Association) dan European Stroke
Organisation (ESO) yang terbaru. Acuan ini
terbagi dalam kekuatan rekomendasi kelas
I-III [class] dengan kelas I yang terkuat dan
kualitas bukti [level o f evidence) dari A-C
dengan level A yang tertinggi.
Tata laksana Umum
1. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan
a. Pemantauan status neurologis, nadi,
tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen secara kontinu dalam 72
jam pertama (ESO kelas IV, good clinical practice/GCP)
b. Pemberian oksigen jika saturasi oksigen <95% (ESO kelas IV, GCP)
c. Perbaikan jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien
yang tidak sadar, pemberian bantuan
ventilasi pada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran atau disfungsi
bulbar dengan gangguan jalan napas
(AHA/ASA kelas 1, level C).
d. Intubasi endotracheal tube (ETT) atau
laryngeal mask airway (LMA) diperlukan pada pasien dengan hipoksia
(p02 <60mmHg atau pC02 >50mmHg),
syok, atau pada pasien yang berisiko
untuk mengalami aspirasi.
e. Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu, kalau
lebih maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
2. Stabilisasi Hemodinamik (Sirkulasi)
a. Pemberian cairan kristaloid atau koloid
intravena (IV), dan hindari pemberian
cairan hipotonik seperti glukosa.
b. Dianjurkan pemasangan kateter vena
sentral [central venous catheter/CVQ, upayakan tekanan vena sentral [central venous pressure/CVP} 5-12mmHg.
c. Optimalisasi tekanan darah [lihat penatalaksanaan khusus).
d. Bila tekanan darah [TD) sistolik dibawah 120mmHg dan cairan sudah
mencukupi, dapat diberikan agen
vasopresor secara titrasi, seperti dopamin dosis sedang/tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target TD
sistolik berkisar 140mmHg.
e. Pemantauan jantung (cardiac monitoring} harus dilakukan selama 24 jam
pertama sesudah awitan serangan stroke
iskemik [AHA/ASA kelas I, level B).
f. Bila ada adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi (konsul
kardiologi).
3. Pengendalian Peningkatan Tekanan
Intrakranial (TIK)
a. Pemantauan ketat pada masalah dengan
risiko edema serebri dengan memperhatikan perburukan gejala dan
tanda neurologis pada hari-hari pertama sesudah serangan stroke (AHA/
ASA kelas I, level B).
b. Monitor TIK harus di pasang pada pasien dengan GCS <9 dan pasien dengan
penurunan kesadaran sebab kenaikan
TIK. [AHA/ASA kelas V, level C).
c. Sasaran terapi yaitu TIK kurang dari
20 mmHg dan tekanan perfusi otak
(icerebral perfusion pressure/CPP)
>70mmHg.
d. Penatalaksanaan peningkatan TIK
meliputi:
1. Meninggikan posisi kepala 20-30°
2. Memposisikan pasien dengan menghindari penekanan vena jugulare
3. Menghindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
4. Menghindari hipertermia
5. Menjaga normovolemia
6. Pemberian osmoterapi atas indikasi:
• Manitol 0,25-0,50 gr/kgBB,
selama >20 menit, diulangi setiap 4-6 jam dengan target osmolaritas <310mOsm/L [AHA/
ASA: kelas V, level C).
• Jika perlu, berikan furosemid
dengan dosis inisial Img/
kgBB IV
7. Intubasi untuk menjaga normoventilasi [pC02 35-40mmHg]. Hiperventilasi mungkin diperlukan bila
akan dilakukan tindakan operatif.
8. Paralisis neuromuskular yang
dikombinasi dengan sedasi yang
adekuat dapat mengurangi peningkatan TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan intratorakal
dan tekanan vena akibat batuk,
suction, atau bucking ventilator
[AHA/ASA: kelas III-V, level C).
Agen nondepolarisasi seperti venkuronium atau pankuronium yang
sedikit berefek pada histamin dan
blok pada ganglion lebih baik digunakan [AHA/ASA kelas III-V,
level C). Pasien dengan kenaikan
kritis TIK sebaiknya diberikan
pelemas otot [muscle relaxant)
sebelum suction atau lidokain sebagai alternatif.
9. Drainase ventrikular dianjurkan
pada hidrosefalus alait akibat
stroke iskemik serebelar (AHA/ASA
kelas I, level B).
10. Tindakan bedah dekompresif
pada keadaan iskemik serebelar yang menimbulkan efek masa
(AHA/ASA kelas I, level B).
4. Pengendalian Kejang
a. Bila kejang, dilakukan pemberian
diazepam IV bolus lambat 5-20mg
dan diikuti oleh fenitoin dosis bolus 15-20mg/kg dengan kecepatan
maksimum 50mg/menit.
b. Ob at kejang lain yang dap at diberikan
yaitu valproat, topiramat, atau levetirasetam, sesuai dengan Minis dan
penyulit pada pasien.
c. Bila kejang belum teratasi, rawat di ICU.
5. Pengendalian Suhu Tubuh
a. Setiap pasien stroke yang disertai febris harus diobati dengan antipiretik
(asetaminofen) dan diatasi pemicu nya (AHA/ASA kelas I, level C).
b. Pada pasien demam berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur (trakeal, darah, dan urin) dan
diberikan antibiotik. Jika memakai
kateter ventrikular, analisis cairan
serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.
6. Tata Laksana Cairan
a. Pemberian cairan isotonis seperti
NaCl 0,9%, ringer laktat, dan ringer
asetat, dengan tujuan menjaga euvolemi. CVP di pertahankan antara
5-12mmHg
b. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaldah dihindari, kecuali pada keadaan hipoglikemia.
7. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat sudah
harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral hanya boleh diberikan sesudah
hasil tes fungsi menelan baik.
b. Bila ada gangguan menelan
atau kesadaran menurun makanan
diberikan melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut kebutuhan kalori
25-30kkal/kg/hari dengan komposisi:
1) Karbohidrat 30-40% dari total
kalori.
2} Lemak 20-35% (pada gangguan
nafas dapat lebih tinggi 35-55% ).
3) Protein 20-30% (pada keadaan
stres kebutuhan protein l,4-2,0g/
kgBB/hari (pada gangguan fungsi
ginjal <0,8 g/kgBB/hari).
d. Apabila kemungkinan pemakaian
pipa nasogastrik diperkirakan >6
minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.
e. Pada keadaan tertentu yaitu pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
f. Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang
diberikan (misai: hindarkan makanan
yang banyak mengandung vitamin K
pada pasien yang mendapat warfarin).
8. Fencegahan dan Mengatasi Komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk
mencegah komplikasi subakut (aspirasi, malnutrisi, pneumonia, DVT,
emboli paru, dekubitus, komplikasi
ortopedik, dan kontraktur perlu dilakukan] (AHA/ASA level B dan C).
b. Berikan antibiotik atas indikasi dan
usahakan sesuai dengan tes kultur
dan sensitivitas kuman atau minimal
terapi empiris sesuai dengan pola kuman (AHA/ASA level A}.
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai kasur anti dekubitus.
d. Pada pasien tertentu yang berisiko
menderita DVT seperti pasien dengan
trombofilia, perlu diberikan heparin
subkutan 5.000IU dua kali sehari atau
10.000IU drip per24 jam, atau LMWH
atau heparinoid. (AHA/ASA level A}.
Perlu diperhatikan terjadinya risiko
perdarahan sistemik dan perdarahan
intraserebral. Pada pasien yang tidak
bisa menerima antikoagulan, untuk
mencegah DVT pada pasien imobilisasi direkomendasikan pemakaian
stoking eksternal atau Aspirin (AHA/
ASA level A dan B).
9. Penatalaksanaan Medik Umum Lain
a. Hiperglikemia (kadar glukosa darah
>180mg/dL] pada stroke akut harus
diatasi dengan titrasi insulin (AHA/
ASA kelas I, level C}. Target yang harus dicapai yaitu normoglikemia.
b. Hipoglikemia berat (<50mg/dL] harus diatasi dengan dekstrosa 40% IV
atau infus glukosa 10-20%.
c. Manajemen hipertensi sesuai dengan protokol tata laksana hipertensi stroke akut.
d. Jika gelisah lakukan terapi psikologi,
kalau perlu berikan major atau minor
tranquilizer, seperti benzodiazepin
kerja cepat atau propofol.
e. Analgesik dan anti muntah sesuai
indikasi.
f. Pemberian antagonis H2 apabila ada
indikasi (perdarahan lambung].
g. Hati-hati dalam menggerakkan tubuh, penyedotan lendir atau memandikan pasien sebab dapat mempengaruhi TIK.
h. Mobilisasi bertahap bilahemodinamik dan pernafasan stabil.
i. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermitten.
j. Rehabilitasi/restorasi fisik, wicara
dan okupasi.
k. Atasi masalah psikologis (depresi, ansietas, dan lain-lain], jika ada.
l. Edukasi keluarga.
m. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar RS).
Tata Laksana Spesifik
1, Trombolisis Intravena
Terapi trombolisis memakai recombinant tissue plasminogen activator
(rTPA) seperti alteplase dapat diberikan
pada stroke iskemik akut dengan onset
<6 jam secara intravena dengan mengikuti protokol serta kriteria inklusi dan
eksklusi yang ditetapkan. Dosis yang dianjurkan yaitu 0,6-0,9 mg/kgBB. Di
RSUPN Cipto Mangunkusumo yang memiliki Code Stroke sebagai acuan pengobatan trombolisis IV, memakai dosis
0,6 mg berdasar studi Japan Alteplase
Clinical Trial (JACT 2006].
2. Terapi Neurointervensi/Endovaskular
yaitu terapi yang memakai kateterisasi untuk melenyapkan trombus
di pembuluh darah dengan cara melisiskan trombus secara langsung (trombolisis intraarterial) atau dengan menarik
trombus yang menyumbat dengan alat
khusus (trombektomi mekanik).
Hal ini bermula dari sejarah dipakai nya trombolisis untukmelisiskan trombus
yang mengobstruksi arteri dalam upaya
mengembalikan tekanan perfusi. Pada
1995 Food Drug Administration (FDA)
menyetujui recombinant tissue-type
plasminogen activator (r-tPA) intravena
(IV) sebagai pengobatan efektif untuk
stroke akut berdasar hasil penelitian
randomized controlled trial (RCT) yang
menunjukkan efektivitas rTPA ini.
Sampai 2015, rTPA yaitu satu-satunya
pengobatan definitif pada pasien stroke
dengan onset kurang dari 4,5 jam dan
menjadi pengobatan tunggal yang terbukti efektif untuk stroke iskemik. Selama 22 tahun terakhir ini rTPA dilakukan
pada sekitar 13% pasien, dengan hasil
sebanyak 30% sembuh tanpa sekuele
ataupun sekuele ringan.
Namun pada masalah oklusi proksimal dari
arteri serebri, keluaran klinis kurang
baik, sebab anglca rekanalisasi awal
pasca trombolisis IV yang rendah. Selain
itu ada faktor eksklusi yang menghalangi pasien untuk mendapat terapi definitif rTPA. Oleh sebab itu dipikirkan pengobatan yang dapat menjangkau
emboli atau trombus tepat di arteri yang
dioklusinya yang disebut sebagai tindakan neurointervensi/endovaskular.
Sepanjang sejarah penelitian neurointervensi untuk membuang trombus pada
stroke iskemik akut, hasilnya mengecewakan selama 20 tahun terakhir. Dimulai
dengan penelitian Proact II 1999 berupa
pemberian Prourokinase langsung di lesi
oklusi arteri serebri media (middle cerebral arteryjMCA) gagal mendapat
persetujuan FDA, hingga penelitian Merci
(coil retriever) yang walaupun mendapat persetujuan dari FDA, tetapi hasilnya
belum meyakinkan AHA/ASA untuk memasukkannya ke dalam guideline.
Akhirnya, pada Desember 2014 muncul
4 penelitian RCT sekaligus dalam waktu
berdekatan, bahkan pada April 2015
muncul hasil penelitian RCT ke-5 yang
menjawab teka-teki yang membingungkan dalam 20 tahun terakhir ini. Kelima
penelitian ini yaitu Multicenter Randomized Clinical Trial o f Endovascular
Treatment for Acute Ischemic Stroke in
the Netherlands (MR CLEAN), Endovascular Treatment for Small Core and Anterior
Circulation Proximal Occlusion with Emphasis on Minimizing CT to Recanalization
Times (ESCAPE), Extending the Time for
Thrombolysis in Emergency Neurological
De-ficits—Intra-Arterial (EXTEND I A),
Solitaire with the Intention fo r Thrombectomy as Primary Endovascular Treatment
Trial (SWIFT PRIME), dan Randomized Trial o f Revascularization with the Solitaire FR Device Versus Best Medical Therapy
in the Treatment o f Acute Stroke Due to Anterior Circulation Large Vessel Occlusion
Presenting within Eight Hours o f Symptom
Onset (REVASCAT} Studies.
Basil dari kelima penelitian inilah yang
membuat AHA/ASA mengeluarkan pedoman pengobatan neurointervensi baru
pada masalah stroke iskemik akut, yaitu tindakan neurointervensi dengan alat stent
retriever diakui sebagai salah satu tindakan definitif untuk pengobatan stroke
iskemik akut dengan trombus/emboli di
pembuluh darah MCA.
Trombektomi mekanik merupakan suatu
prosedur endovaskular yang dilakukan
pada pasien yang memenuhi persyaratan
sesuai rekomendasi terapi neurointervensi/endovaskular pada stroke iskemik
akut, yaitu:
a. Pasien yang memenuh kriteria pemberian trombolisis IV dan akan dilakukan terapi endovaskular harus
tetap diberikan trombolisis terlebih
dahulu (AHA/ASA kelas I; level A).
b. Pasien harus mendapat terapi
endovaskular dengan memakai
stent retriever jika memenuhi semua
kriteria berikut (AHA/ASA kelas I;
level A]:
1} Skor modified rankin scale (mRS]
pre-stroke 0 sampai 1