2) stroke iskemik akut yang telah
mendapat terapi trombolisis
intravena dalam waktu 4,5 jam
sesudah onset
3) Stroke disebabkan sebab oklusi
pada arteri karotis interna atau arteri serebri media cabang proksimal
4} Usia >18 tahun
5) Skor National Institutes o f Health
Stroke Scale {NIHSS) >6
6) Skor Alberta Stroke Programme
Early CT Score (ASPECTS} >6
ASPECTS merupakan skor yang digunakan untuk membantu mengidentifikasi kandidat terapi trombolisis pada stroke akut. Sistem skor
ini dipakai untuk mendeteksi perubahan iskemik awal (early ischemic changes} pada pemeriksaan CT
scan di daerah yang diperdarahi oleh
MCA Gambaran perubahan iskemik
ini dapat berupa hipoatenuasi, penurunan diferensiasi substansia grisea
dan substansia alba, serta edema fokal
Skor ASPECTS membagi teritori MCA
menjadi 10 area (Gambar 3, Tabel 1}.
Prosedur ini idealnya dilakukan
dalam anestesi umum. Tindakan dilakukan bersamaan dengan prosedur
angiografi konvensional dengan
m ikrokateter sebagai pemandu untuk menentukan lokasi trombus, kemudian alat stent retriever dipakai
untuk menghilangkan trombus yang
menyumbat sehingga diharapkan
terjadi rekanalisasi pembuluh darah
(Gambar 4}.
7} Terapi dapat dimulai melalui tindakan groin puncture atau pungsi
arteri femoralis maksimal 6 jam
sesudah onset stroke c. Sejak 2015, AHA/ASA membuat pedoman baru mengenai pengobatan
trombektomi pada pasien stroke
iskemik akut dengan onset dibawah
6 jam. Pada pasien yang terindikasi
trombektomi, pemakaian stent retriever dapat dijadikan pilihan.
d. Meskipun manfaatnya belum jelas,
pada masalah stroke yang disebabkan
oklusi di arteri serebri media cabang
M2 atau M3, arteri serebri anterior,
arteri vertebralis, arteri basilaris atau
arteri serebri posterior, pemakaian
terapi endovaskular dengan stent re-
triever dapat dipertimbangkan (AHA/
ASA: kelas lib; level C).
e. Pada stroke yang disebabkan sebab
oklusi pembuluh darah sirkulasi posterior (arteri vertebralis, arteri basilaris atau arteri serebri posterior),
groin puncture maksimal dapat dilakukan 24 jam sesudah onset stroke.
4. Pemberian Antikoagulan sebagai
Pencegahan Selkunder
a. Pemberian antikoagulan rutin terhadap pasien stroke iskemik akut
dengan tujuan untuk memperbaiki keluaran atau sebagai pencegahan dini
terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi (AHA/ASA: kelas III, level A).
b. Pengobatan antikoagulan dalam 24
jam terhadap pasien yang mendapat
rTPA intravena tidak direkomendasi
(AHA/ASA: kelas 111, level B).
c. Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan
pencitraan otak memastikan tidak ada
perdarahan intrakranial primer. Pasien
yang mendapat antikoagulan perlu dilakukan monitor kadar antikoagulan.
d. Tidak ditemukan manfaat pemberian
heparin pada pasien stroke akut dengan AF, walaupun masih dapat diberikan pada pasien yang selektif. Aspirin
dan dilanjutkan dengan pemberian
warfarin untuk prevensi jangka panjang dapat diberikan.
e. Warfarin merupakan pengobatan lini
pertama untuk pencegahan sekunder
stroke iskemik pada kebanyakan masalah stroke kardio-emboli.
f. pemakaian warfarin harus hati-hati,
sebab dapat meningkatkan resiko
perdarahan. Oleh sebab itu perlu monitor INR paling sedikit 1 bulan sekali.
g. Warfarin dapat mencegah terjadinya
stroke emboli kardiogenik dan mencegah emboli ulang pada keadaan risiko
mayor. Dapat dimulai dari dosis 2mg
perhari dengan target INR 2,0-3,0.
Pemeriksaan INR awal yaitu rutin per
3 hari selama 2 minggu. Selanjutnya pemantauan 1 minggu sekali dan sesudah
1 bulan dilakukan 1 bulan sekali.
h, Selain warfarin, pada stroke kardioemboli yang disebabkan sebab fibrilasi atrial nonvalvular dapat diberikan new oral anticoagulant (NOAC)
seperti dabigatran (2 x 75mg atau 2 x
HOmg), rivaroksaban [1 x lOmg atau
1 x 15 mg), dan apiksaban (1x5 mg),
sebagai pencegahan sekunder. Tidak
ada pemeriksaan darah untuk pemantauan khusus pada pemberian NOAC.
5. Pemberian Antiagregasi Trombosit
a. Pemberian aspirin dengan dosis awal
325mg dalam 12 jam sesudah onset
stroke dianjurkan untuk setiap stroke
iskemik akut (AHA/ASA: kelas I, level A).
b. Aspirin diberikan sebagai terapi
pencegahan sekunder, sehingga tidak
boleh dipakai sebagai pengganti
tindakan intervensi yang bertujuan
untuk revaskularisasi (seperti trombolisis intravena) (AHA/ASA: kelas
III, level B).
c. Jika direncanakan pemberian trombolisis, aspirin jangan diberikan.
d. Tidak direkomendasikan pemakaian
aspirin sebagai terapi ajuvan dalam 24
jam sesudah pemberian obat trombolitik (AHA/ASA: kelas III, level A).
e. Pemberian antitrombosit intravena
yang menghambat reseptor glikoprotein Iib/Illa tidak dianjurkan (AHA/
ASA: kelas III, level B).
f. Untuk pencegahan kejadian stroke
iskemik, infark jantung, dan kematian
akibat vaskuler, klopidogrel 75mg
lebih baik dibandingkan dengan aspirin dan dapat diberikan pada tahap
akut atau sesudah tahap akut selesai.
g. Pemberian klopidogrel dikombinasikan dengan aspirin selama 21 hari
sampai 3 bulan yang dilanjutkan dengan pemberian clopidogrel saja, superior untuk mencegah stroke pada
pasien TIA dan stroke iskemik ringan
(NIHSS <5).
6. Tata Laksana Spesifik Lain dan Neuroproteksi
a. Hemodilusi tidak dianjurkan dalam
terapi stroke iskemik akut (AHA/
ASA: kelas III, level A).
b. Pemakaian obat hemoreologik seperti pentoksifilin dapat dipertimbangkan pada stroke iskemik akut dengan
hiperviskositas.
c. Tindakan carotid endarterectomy
(CEA) dan carotid artery stenting
(CAS) dapat dipertimbangkan untuk
dikerjakan pada pasien stroke iskemik dengan stenosis karotis komunis/
interna >50% sebagai upaya pencegahan sekunder, Namun demikian,
tindakan ini dilakukan setalah
tahap akut (AHA/ASA: kelas I, level A).
d. Meskipun berbagi hasil penelitian
menunjukkan hasil yang berbeda,
pemakaian agen neuroprotektor dan
neurorecovery seperti sitikolin, piracetam, pentoksifilin, neuropeptida Pro8-
Gly9-Prol0 ACTH (4-10), DLBS 1033,
dan MLC 601 dapat dipertimbangkan.
e. Edema serebri yaitu pemicu
utama dari kemunduran dini dan kematian pada pasien dengan stroke
iskemik luas (teritorial). Edema ini
biasanya berkembang antara hari
ke-2 dan ke-5 dari awitan stroke,
tetapi menjelang hari ke-3, pasien
dapat mengalami kemunduran neurologi dalam 24 jam sesudah awitan
keluhan. Direkomendasikan pasien
dengan stroke iskemik luas/teritorial untuk dirawat di ICU/HCU dalam
1 minggu pertama sejak onset stroke.
f. Kraniektomi dekompresi direkomendasikan pada pasien stroke iskemik
luas yang mengalami edema serebri
[malignant brain infarction) untuk menyelamatkan jiwa namun dengan risiko
gejala sisa gangguan neurologik yang
berat. Tindakan dilakukan dalam 48
jam sesudah awitan keluhan dan direkomendasikan pada pasien yang
berusia <60 tahun (AHA/ASA: kelas
I, level A).
g. Mild hypothermia (dengan target temperatur otak antara 33-35°C) mengurangi mortalitas pada pasien dengan
infark arteri serebri media luas, namun dapat memicu efelc samping yang berat meliputi krisis TIK
sepanjang pengembalian suhu tubuh.
h. Direkomendasikan tindakan pirau ventrikel peritoneal [VPshunt) ataubedah
dekompresi untuk terapi infark serebelum luas yang menekan batang otak.
i. Penatalaksanaan trombosis vena serebral dilakukan secara komprehensif, yaitu dengan terapi anti trombotik
(terutama antikogulan), terapi simtomatik, dan terapi penyakit dasar.
j. Tidak ada data penelitian tentang
lama pemberian antikoagulan untuk trombosis vena serebral. Beberapa studi merekomendasikan
pemberian antikoagulan sekurangkurangnya 3 bulan, diikuti pemberian terapi antitrombosit (AHA/ASA:
kelas II A, level C).
N eurorehabilitasi/Neurorestorasi Pascastroke
pengobatan neurorehabilitatif pascastroke
mengalami perubahan dalam 15 tahun terakhir. Konsep masa kini untuk pemulihan defisit neurologis pascastroke mencakup ranah
yang lebih luas dan berkembang menjadi
cabang ilmu neurologi yang dikenal sebagai
neurorestoratologi. Hal ini mencakup neurorestorasi struktural dan signaling neuron,
dan neuromodulasi, selain tindakan neurorestorasi rehabilitatif. Tindakan neurorestorasi pascastroke diberikan mulai dari tahap akut,
sub-akut, sampai dengan tahap kronik. Untuk
selengkapnya dapat dilihat pada bab Prinsip
Dasar Neurorestorasi Pascacedera Saraf.
Edultasi
Oleh sebab stroke memicu keadaan
morbiditas yang tinggi, maka dibutuhkan pemahaman dan kerja sama antara
pasien dan keluarga dengan klinisi, untuk
mendapat hasil terapi yang maksimal,
antara lain dengan pemberian edukasi yang
informatif mengenai:
o Penjelasan sebelum masuk RS (rencana
rawat, biaya, pengobatan, prosedur, masa
dan tindakan pemulihan dan latihan,
manajemen nyeri, risiko dan komplikasi). ® Penjelasan mengenai stroke iskemik,
risiko dan komplikasi selama perawatan.
® Penjelasan mengenai faktor risiko dan
pencegahan stroke berulang.
® Penjelasan program pemulangan pasien
(discharge planning),
® Penjelasan mengenai gejala stroke, dan
yang harus dilakukan sebelum dibawa
ke RS.
Adapun prognosis ad vitam, ad sanationam,
dan ad fungsionam pasien biasanya dubia
ad bonam.
CONTOH masalah
1. Seorang perempuan umur 42 tahun,
datang ke IGD dengan keluhan utama
kelemahan anggota gerak kiri sejak 4
jam sebelum masuk RS. Empat jam sebelum masuk RS, saat pasien duduk
nonton televisi di rumah, tiba-tiba
pasien merasa mengalami kelemahan
pada tangan dan kaki sebelah kiri. Keluhan disertai bicara pelo dan mulut
mencong. Tidak ada keluhan nyeri kepala, muntah, penurunan kesadaran
maupun kejang. CT scan kepala dalam
batas normal. Pasien memenuhi kriteria
inklusi trombolisis dan diberikan terapi
ini . sesudah pemantauan selama
24 jam, ada perbaikan klinis. Tidak
ditemukan efek samping.
Dua belas tahun tahun lalu, didapatkan
riwayat kelemahan dan baal tubuh sisi
kiri. Keluhan ini membaik dalam
waktu kurang dari 8 jam. Basil pemeriksaan MRI menunjukkan adanya infark multipel. Tidak ditemukan faktor
risiko mayor (hipertensi, diabetes melitus, atrial fibrilasi, merokok). Berdasarkan konsul ke bagian hematologi, pasien
dikatakan menderita antiphospholipid
syndrome (APS) dengan kadar ACA 40
unit. Pasien mendapat pengobatan
warfarin lx2m g dan asam asetilsalisilat
lx80mg. Pada riwayat persalinan, pasien
memiliki 2 orang anak laki-laki dengan
riwayat kelahiran normal. Selama 8 bulan terakhir, pasien tidak minum obat
sebab tidak merasa ada keluhan.
Pertanyaan:
a. Apakah yang memicu terjadinya stroke berulang pada pasien?
b. Apakah jenis stroke yang tidak diketahui pemicu nya?
c. Bagaimana pencegahan stroke yang
paling tepat untuk pasien?
d. Apakah tidak ada kontraindikasi
trombolisis pada masalah APS?
Jawaban:
a. Faktor risiko terjadinya stroke berulang pada pasien yaitu APS yang
merupakan suatu kelainan genetik.
Hal ini terjadi sebab pasien tidak
mengkonsumsi obat sejak 8 bulan
terakhir. Tanpa tata laksana yang optimal, pasien rentan mengalami trombosis di seluruh tubuh.
b. Stroke yang tidak diketahui faktor
risikonya disebut stroke kriptogenik.
AHA/ASA tahun 2015 mendapat
data bahwa angka kejadian stroke
kriptogenik mencapai 30%, terdiri
dari occult paroxysmal atrial fibrillation (AF), APS, dan patent foramen
ovale (PFO)
c. Tata laksana terbaik untuk pencegahan stroke berulang yaitu pemberian
antikoagulan (warfarin 1x2mg) dan
antitrombosit (aspilet lx80mg) dengan target INR 2-3.
d. masalah APS bukan merupakan kontraindikasi trombolisis. Malah APS
merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya masalah trombosis vena
dalam yang juga dapat diatasi
dengan trombolisis.
2. Laki-laki, umur 58 tahun, datang ke IGD
dengan keluhan kelemahan lengan dan
tungkai kanan mendadak 3 jam sebelum
masuk RS. ada riwayat hipertensi,
DM, dan fibrilasi atrial. Pasien mengkonsumsi warfarin 2 mg setiap hari dan tidak
ada keluhan apapun sebelumnya.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan TD
110/70mmHg dan frekuensi nadi 110x/
menit ireguler, dan SKG E4M6Vafasia
global dengan NIHSS 15. EKG didapatkan kesan atrial fibrilasi rapid response
(AFRR). Pasien terindikasi trombolisis
dan code stroke diaktifkan. Pada CT scan
didapatkan hyperdense MCA sign kiri,
early ischemic changes di kiri (Gambar
5), tidak ditemukan perdarahan (skor
ASPECTS-10)
berdasar gejala klinis dan pencitraan,
diduga ada emboli pada pembuluh
darah besar otak. Pasien direncanakan
menjalani terapi trombolisis IV sesuai
pedoman AHA/ASA 2015. Pasien sedang
dalam terapi warfarin dari dokter sebelumnya. Hasil INR 1,29 dan tidak menjadi
kontraindikasi trombolisis IV (kontraindikasi bila INR>1,5).
Pasien diberikan alteplase dengan dosis
0,6mg/kgBB. Pertama diberikan 10%
dosis melalui bolus IV. sesudah istirahat
15 menit, dilanjutkan 90% dosis sisanya
dalam waktu 45 menit. Ketika pasien
sedang dalam terapi rumatan ini ,
pasien menjalani persiapan DSA di ruang
tindakan (catheterization laboratory).
Hasil DSA didapatkan oklusi pada MCA
kiri di Ml (Gambar 6).
Pasien dilakukan trombektomi menggunakan stent retriever sesuai dengan kriteria
AHA/ASA 2015, yaitu:
a. Skor mRS prestroke pasien ini = 0
b. Stroke iskemik akut yang telah
mendapat terapi trombolisis intravena dalam waktu 4,5 jam sesudah onset
c. Stroke aldbat oklusi pada arteri serebri
media cabang proksimal
d. Usia >18 tahun, yaitu 58 tahun
e. Skor NIHSS >6, yaitu 15
f. Skor ASPECTS=10
g. Pasien dapat dilakukan tindakan pungsi
arteri femoralis maksimal 6 jam sesudah
onset stroke
Alatyang dipakai yaitu Solitairetm, salah
satu pilihan stent retriever yang tersedia di
negara kita dengan hasil penelitian yang baik.
Stent dimasukkan, kemudian ujung stent dipasang pada M1-M2 junction di arteri serebri media dan diletakkan selama 5 menit
hingga mengembang sempurna (Gambar 7).
Ketika stent ditarik, seluruh emboli/trombus
dapat ditarik sempurna tanpa meninggalkan
sisa emboli/trombus yang baru ke arah distal. sesudah itu, stent ditarik dan dikeluarkan.
Pasien menjalani pemeriksaan angiografi
ulang dan didapatkan oklusi MCA kiri telah
terbuka. Pada pasien ini terjadi rekanalisasi
dengan skala thrombolysis in cerebral infarction (TIC!) perfusion scale 2b j 3 (Gambar 6).
Pada stent retriever yang telah ditarik, didapatkan bekuan darah emboli yang sudah
dievakuasi (Gambar 8).
Pascatindakan, pasien dirawat di ruang rawat
intensif. Pada hari kedua, ada perbaikan
NIHSS menjadi 10. Pasien pulang sesudah
hari perawatan ke-16 dengan NIHSS akhir 8
sesudah perbaikan kondisi AFRR dan terapi
warfarin sebagai prevensi stroke sekunder.
CEREBRAL SMALL VESSEL D ISEASE
Otak manusia yaitu organ yang sangat
menakjubkan. Dengan berat ±1320gram
(2% berat badan manusia), otak mempunyai kebutuhan besar terhadap energi oksigen dan glukosa untuk menjalankan fungsinya secara normal. Kebutuhan ini akan
bergantung pada sirkulasi darah yang dikenal dengan cerebral blood flow, mengalir
ke seluruh otak sejumlah 50mL/100gram
otak/menit (setara dengan 972L/hari) dan
memberikan energi pada 151,5 milyar sel
saraf yang memiliki 150 triliun sinaps untuk
melakukan komunikasi internal.
Energi oksigen yang dibutuhkan otak yaitu
72L/hari (3,7mL/100gram otak/menit),
dengan kebutuhan glukosa otak sebanyak
107g/hari (5,5mg/100g otak/menit). Kebutuhan energi yang berasal dari adenosine triphosphate (ATP) yaitu 17,4mmoL/
hari (l,lm m ol/100g otak/menit). Sebagian
besar energi (87% ) dibutuhkan untuk alctivitas potensial aksi membran sel dan 13%
dipakai sebagai rumatan potensial membran sel dalam keadaan istirahat.
Distribusi kebutuhan energi dalam sistem
sirkulasi otak disuplai melalui 3 pembuluh
darah utama yaitu pembuluh darah parent
artery dilanjutkan cortical branch artery dan
diakhiri dengan penetrating artery (Gambar
1). Yang termasuk pembuluh darah parent
artery yaitu a. serebri media, a. serebri anterior, a. serebri posterior, a. vertebralis, dan a.
basilaris. Pengembalian aliran darah menuju
pusat akan melalui pembuluh darah vena, yaitu melalui vena kapiler, dilanjutkan ke venula
dan selanjutnya ke vena. Penetrating artery
merupakan pembuluh darah kecil yang merupakan bagian terakhir dari sistem arteri yang
akan berhubungan dengan vena-vena kapiler.
Gangguan pembuluh darah kecil (small vessel
disease) meliputi gangguan yang terjadi pada
penetrating vessels dan vena kapiler yang
dapat menghambat pengembalian sirkulasi
darah kotor ini (Gambar 2). Manifestasi
klinis gangguan ini berimbang dengan
lesi yang ditimbulkannya di otak. Pada
umumnya manifestasi ini berupa gangguan
pada sel, serabut saraf, maupun pembuluh
darah halus. Gambaran dari small vessel
disease dapat berupa infark lakunar, white
matter lesion atau leukoaraiosis maupun
perdarahan mikro. pemicu kelainannya
juga sangat beragam mulai dari kelainan
vaskular berupa arteri oslderosis, infeksi,
inflamasi dan autoimun, angiopati genetik
seperti cerebral amyloid angiopathy dan
venous collagenosis, serta penyakit-penyakit
pembuluh darah kecil lainnya.
DEFINISI
Cerebral small vessel disease (CSVD) merupakan kondisi klinikopatologis yang sangat
penting sebab merupakan 20% dari pemicu stroke di seluruh dunia, dan merupakan
pemicu tersering demensia vaskular maupun demensia campuran (demensia vaskular dan penyakit Alzheimer}. Istilah CSVD
dipakai dalam berbagai aspek termasuk
aspek klinis, patologis, dan pencitraan Dalam aspek klinis, pengertian CSVD memiliki spektrum yang sangat luas yang dapat
memberikan manifestasi klinis maupun tidak. Manifestasi klinis dapat bervariasi seperti sakit kepala, gangguan fungsi kognitif,
gangguan gait, hingga kelumpuhan. Oleh
sebab itu, pengertian CSVD lebih mengacu
pada gambaran patologis pembuluh darah
kecil di otak. termasuk arteri kecil, arteriol,
kapiler, vena kapiler, venula, dan vena, Namun, seringkali istilah ini hanya ditujukan
kepada pembuluh darah arterial, sedangkan
kompartemen vena kurang mendapat perhatian, sehingga CSVD disebut juga sebagai
arterial small vessel disease.
Pembuluh darah otak yang terlibat dalam
CSVD yaitu pembuluh darah kecil di leptomeningeal dan intraparenkimal, seperti
pembuluh darah ganglia basal, bagian perifer substansia alba (white matter), arteri
leptomeningeal, pembuluh darah pada substansia alba serebelum dan talamus, dan
pembuluh darah batang otak. Meskipun
umumnya pembuluh darah kortikal tidak
terlibat dalam CSVD, namun CSVD dapat
ditemukan pada korteks bagian dalam [deep
gray matter).
Pembuluh darah kecil sendiri diartikan sebagai pembuluh darah yang berdiameter
<500|im yang berlokasi di subkortikal (dan
merupakan end arteries) atau pembuluh darah berdiameter <50pm yang berasal dari
basal (yang disebut sebagai small perforating arteries). Pembuluh darah kecil seperti
arteri kecil, arteriol, dan kapiler memiliki
perbedaan struktur histologis. Arteriol dan
arteri kecil sama-sama mempunyai tunika
muskularis tetapi arteriol tidak mempunyai
lamina elastika.
Cerebral arterial small vessels berasal dari 2
cabang, yaitu cabang superfisial dan cabang
profunda. Cabang superfisial yaitu cabang
sirkulasi subaraknoid yang merupakan
pembuluh darah terminal dari pembuluh
darah berukuran sedang. Cabang profunda
berasal dari bagian basal, yang merupakan
cabang langsung dari pembuluh darah besar yang selanjutnya masuk ke dalam parenkim menjadi arteri perforator. Kedua sistem
pembuluh darah ini berjalan menuju
bagian dalam dari parenkim. sesudah melewati lapisan kortikal serta deep gray structures, kedua sistem pembuluh darah tersebut akan bersatu di watershed area, suatu
area terdalam dari subcortical white matter.
Hal yang penting diperhatikan yakni pembuluh darah kecil tidak dapat divisualisasikan, berbeda dengan pembuluh darah besar.
Oleh sebab itu, lesi parenkim otak sebagai
aldbat perubahan pembuluh darah kecil digunakan sebagai penanda CSVD. Selain itu,
istilah CSVD seringkali dipakai untuk
menggambarkan komponen iskemik dari
proses patologis pembuluh darah kecil, meliputi infark lakunar dan white matter lesion.
Namun yang ada yang perlu diperhatikan
yaitu pasien dengan small vessel disease
juga sangat berisiko untuk terjadi perdarahan. Jenis patologis yang terjadi juga dipengaruhi oleh lokasi pembuluh darah yang
terkena. Kelainan pada pembuluh darah kecil cabang superfisial dapat memicu
angiopati amiloid serebral [cerebral amyloid
angiopathy/CAA) dan lobar microbleeds. Sementara itu, kelainan pada pembuluh darah
profunda dikaitkan dengan kelainan berupa
arteriosklerosis, deep microbleeds, perubahan white matter, dan infark lakunar (Gambar 3). KLASIFIKASI DAN EPIDEMIOLOGI CSVD
Lesi CSVD sangat bervariasi, dapat mengenai daerah tertentu seperti subkortikal, namun dapat meluas seperti yang terjadi pada
white matter lesion. Klasifikasi CSVD didasarkan pada etiopatologi, antara lain arterioslderosis, cerebral amyloid angiopathy
(CAA), CSVD yang diturunkan secara genetik, CSVD akibat inflamasi dan immunologi,
kelainan vena, dan CSVD lainnya (Tabel 1).
Penilaian CSVD dinilai berdasar konsep
pencitraan, oleh sebab nya ada standar penilaian yang disebut standards fo r reporting
vascular changes on neuroimaging (STRIVE),
yang meliputi:
1. 6 tipe lesi pencitraan:
a. Infark subkortikal (infark lakunar)
b. Lacune sebab gangguan vaskular
c. White matter lesion sebab gangguan
vaskular
d. Virchow Robbin space atau rongga
perivaskular
e. Cerebral microbleeds
f. Atrofi otak
2. pemakaian bahasa dan istilah yang
sama untuk manifestasi CSVD yang terlihat pada gambar MRI
3. Penetapan standar minimum image acquisition dan analisis pencitraan
4. Kesepakatan standar pelaporan ilmiah
terhadap perubahan parenkim otak terkait CSVD pada pencitraan. Selain itu
dilakukan review teknik pencitraan terbaru untuk mendeteksi dan mengkuantifikasi manifestasi preklinik CSVD. Kesepakatan standar pelaporart ilmiah terhadap perubahan parenkim otak terkait
CSVD pada pencitraan. Selain itu dilakukan
review teknik pencitraan terbaru untuk
mendeteksi dan mengkuantifikasi manifestasi preklinik CSVD.
CSVD tipe 1 (arteriosklerosis) dan tipe 2
[Cerebral amyloid angiopathy (CAA) sporadik dan herediter) yaitu yang paling
sering ditemukan, sementara CSVD tipe 3
termasuk jarang. Di antara penyakit yang
tergolong dalam tipe ini, cerebral autosomal dominant arteriopathy with subcortical ischemic strokes and leukoencephalopathy (CADASIL) dan penyakit Fabry (Fabry’s disease)
yaitu yang paling banyak ditemukan dan
penting sebagai dasar pemahaman patogenesis CSVD sporadik.
CSVD dapat dimediasi oleh proses inflamasi
dan imunologi yang didapat (bukan herediter}. Kelainan ini dimasukkan dalam CSVD
tipe 4. CSVD tipe 5 berupa venous collagenosis, yang merupakan gambaran patologis
dari vena dan venula yang berlokasi dekat
dengan ventrikel lateral. Abnormalitas komponen kolagen memicu penebalan
dinding vena, sehingga menimbulkan penyempitan lumen dan terjadi oklusi.
CSVD tipe 6 {small vessel disease lainnya)
mencakup angiopati pasca radiasi dan CSVD
non-amyloid pada kapiler dan membran basal pasien Alzheimer. Angiopati pascaradiasi merupakan efek samping yang tertunda
dari cerebral irradiation therapy (sesudah
bebe-rapa bulan atau tahun). CSVD pascaradiasi ini paling sering mengenai
pembuluh darah kecil di white matter yang
menunjukkan adanya nekrosis fibrinoid,
penebalan dinding pembuluh darah sebab
penumpukan hialin, penyempitan lumen,
dan sumbatan trombotik sehingga menyebabkan diffuse leucoencephalopathy dengan degenerasi serabut hialin yang sangat
berat. Pada beberapa masalah terjadi kondisi
nekrosis koagulatif, Keseluruhan perubahan parenkim ini disebabkan proses iskemik,
Pembahasan mengenai CSVD akan dibatasi
pada beberapa CSVD yang sering ditemukan
saja, diantaranya yaitu arteriosklerosis,
cerebral amyloid angiopathy (CAAJ, CADASIL dan white matter lesion termasuk penyakit Binswanger.
Arteriosklerosis
Arteriosklerosis merupakan gangguan pembuluh darah yang didasari kelainan pada
dinding pembuluh darah dan berlanjut dengan komplikasinya pada pembuluh darah.
Arteriosklerosis bersifat difus, tidak hanya
mengenai pembuluh darah otak, tetapi
dapat juga menimbulkan kerusakan multi
organ, seperti pembuluh darah jantung, retina, maupun ginjal.
Manifestasi arteriosklerosis yang khas
yaitu mikroaneurisma dan lipohialinosis.
Mikroaneurisma terjadi akibat penipisan
otot polos pada tunika media pembuluh
darah yang dapat memicu microbleeding, Lipohialinosis didasarkan adanya
deposit material, seperti fibrohialin, yang
dapat menyempitkan lumen pembuluh darah, sehingga dapat memicu infark
lacunar. Timbulnya mikroaneurisma dan
lipohialinosis ini disebabkan oleh tekanan
darah yang tidak terkontrol dan diakselerasi oleh adanya penyakit metabolik, seperti
hiperhomosisteinemia, diabetes melitus, dan
dislipidemia, serta faktor risiko lain seperti
merokok dan imobilisasi. Faktor usia juga
dipikirkan berperan pada proses terjadinya
arteriosklerosis ini.
Usia yang berkontribusi terhadap munculnya
arteriosklerosis ini, telah bergeser ke arah
yang lebih muda. Hal ini disebabkan sebab
peranan faktor risiko penyakit metabolik
telah diakselerasi oleh perubahan perilaku,
yakni kebiasaan merokok Penyandang hipertensi dan penyakit metabolik akan mengalami
CSVD pada usia yang lebih muda, jika disertai
faktor risiko tambahan, yakni merokok
Merokok tidak saja berpengaruh pada elastisitas dinding pembuluh darah, tetapi juga
pada viskositas darah dan deformabilitas
sel darah merah (eritrosit). berdasar
sejumlah penelitian, terjadi peningkatan
fibrinogen pada perokok. Peningkatan fibrinogen akan memicu sistem prokoagulasi,
sehingga terjadi kondisi hiperkoagulasi.
Tingginya kadar fibrinogen dalam darah
juga akan meningkatkan viskositas darah.
Efek lain peningkatan fibrinogen ini terkait
dengan deformabilitas eritrosit. Muatan
negatif pada dinding eritrosit yang disebut
zeta potensial akan berkurang akibat berikatan dengan fibrinogen yang bermuatan
positif. Hal ini memicu berkurangnya
kemampuan eritrosit untuk berubah bentuk
atau disebut juga deformabilitas eritrosit.
Selain itu, kandungan karbon monoksida
memicu peningkatan produksi eritrosit, sehingga juga akan meningkatkan viskositas
darah. Keberadaan arteriosklerosis dan faktor risiko yang telah disebutkan sebelumnya
akan mempercepat timbulnya CSVD, berupa
infark lakunar dan cerebral demyelinisation,
dengan segala manifestasi klinisnya
Cerebral Amyloid Angiopathy (CAA)
CAA menggambarkan sekelompok gangguan susunan saraf pusat (SSP) dengan berbagai manifestasi klinis yang didasari kelainan pembuluh darah (angiopati) akibat
deposit amyloid fibrils pada dinding pembuluh darah. Deposit ini terdistribusi
pada dinding pembuluh darah berukuran
kecil hingga sedang, yakni arteri dan arteriol terutama di ruang leptomeningeal dan
korteks, dan jarang pada kapiler maupun
vena. Dengan demikian, CAA merupakan
salah satu CSVD yang dapat bermanifestasi
dalam bentuk lesi perdarahan (microbleed
dan perdarahan intraserebral (PIS) lobar)
maupun iskemik (infark lakunar, white matter lesion),
Adanya deposit serabut amiloid [amyloid fibrils) pada pembuluh darah serebral dapat
melemahkan dinding pembuluh darah dan
memicu ruptur, sehingga menimbulkan microbleeds asimtomatis dan perdarahan intraserebral lobar. Selain itu, deposit
ini juga dapat merusak lumen pembuluh darah yang menimbulkan iskemia
(infark serebral, 'incomplete infarction",
leukoaraiosis), Von sattel dkk menggolongkan CAA berdasar tingkat keparahan
perubahan patologis pembuluh darah yaitu:
(1) ringan, jika amiloid terbatas pada tunika
media, tanpa kerusakan signifikan sel otot
polos; (2) sedang, jika tunika media digantikan oleh amiloid sehingga lebih tebal
dibandingkan kondisi normal; dan (3) berat, apabila ada disposisi amiloid yang
luas, fragmentasi dinding fokal atau double
barreling dinding pembuluh darah, pembentukan mikroaneurisma, nekrosis fibrinoid, dan kebocoran plasma melalui dinding
pembuluh darah.
ada lebih dari 25 protein manusiayang
ditemukan terlibat dalam benang-benang
amiloid [amyloid fibrils) secara in vivo, namun hanya 7 protein yang bermanifestasi
sebagai gangguan SSP, diantaranya yaitu
protein amiloid tipe j3 (Ap). Deposit A(3 inilah pada dinding pembuluh darah inilah
yang mendasari CAA (Tabel 2). Terjadinya deposit A[3 dipikirkan oleh lorena terjadi gangguan produksi dan eliminasi
peptida Ap. Peptida A(3 berasal dari sistem
neuronal, diproduksi oleh protein prekursor yakni amyloid precursor protein (APP)
dan disekresi oleh b- and g-secretase. Peptida ini mengalami eliminasi melalui empat
jalur: (1) degradasi proteolitik oleh endopeptidase; (2) degradasi oleh astrosit dan
mikroglia; [3] transportasi aktif melalui
sawar darah otak (transendotelial); dan (4}
drainase perivaskular (Gambar 4). Seiring
pertambahan usia, akan terjadi penurunan
fungsi eliminasi ini dan peningkatan deposisi Ap pada pembuluh darah. Secara umum CAAterbagi menjadi duabentuk,
yakni CAA herediter dan CAA sporadik. CAA
herediter berkaitan dengan mutasi gen yang
mengkode protein amiloid termasuk prekursornya. Bentuk ini umumnya ditemukan pada
usia muda. CAA sporadik biasanya dikaitkan
dengan polymorphisms o f disease-susceptible
genes dan biasanya ditemukan pada usia lanju t Polimorfisme gen yang berkontribusi pada
pathogenesis penyakit Alzheimer dan diduga
berkaitan dengan CAA sporadik, yakni apolipoprotein E (APO-E), presenilin 1 (PS1), a lantichymotrypsin (ACT], dan neprilsin (NEP).
Diantara polimorfisme gen ini , yang paling banyak diteliti yaitu ApoE yang dianggap berkontribusi terhadap patogenesis CAA.
Selain itu, polimorfisme APO-E juga berkontribusi pada patogenesis penyakit Alzheimer.
Beberapa studi menganalisis hubungan antara
APO-E, penyakit Alzheimer, dan CAA. Alel ApoE
memiliki efek yang berbeda terhadap proses
produksi, eliminasi dan deposisi Ap. Alel APOE e4 dilcaitkan dengan amiloidogenesis, deposisi Af3, dan neurotoksisitas. Alel ApoE e4 juga
di-laporkan berkaitan dengan deposisi Ap
kapiler yang menyertai neuritis degeneratif positif tau (perivascular plaques/drusige
Entartung/dysphoric angiopathy), yang bermanifestasi demensia dan sering disebut sebagai variasi vaskular dari penyakit Alzheimer.
Sebaliknya, alel APO-E s2 merupakan proteksi
penyaldt Alzheimer, namun dikaitkan dengan
peningkatan risiko perdarahan pada CAA. Hal
ini aldbat kontribusi alel APO-E z2 terhadap
terjadinya nekrosis fibrinoid, yang merupakan dasar neuropatologis perrdarahan intraserebral terkait CAA (Gambar 5].
PIS terkait CAA berkontribusi sebesar
5-20% dari perdarahan intraserebral spontan (nontraumatik] pada usia lanjut. Smith
dkk menunjukkan PIS terkait CAA dan PIS
terkait hipertensi dapat ditemukan bersamaan (25%). PIS terkait CAA seringkali
berlokasi di lobar, sebab keterlibatan pembuluh darah kortikal dan leptomeningeal
superfisial. Sebaliknya PIS terkait hipertensi
jarang ditemukan di lobar. PIS terkait CAA
ini seringkali multipel dan berulang. Selain
tiga hal ini , tidak ada ciri khas yang
patognomonik untuk perdarahan ini. Gejala
seperti nyeri kepala, defisit neurologis fokal,
kejang dan penurunan kesadaran sama seperti
yang ditemukan pada PIS dengan kausa lainnya. Namun, hal yangperlu ditekankan, bahwa
perdarahan intraserebral terkait CAA dapat
asimtomatis, yakni pada microbleeds.
PIS terkait CAA penting untuk diperhatikan,
sebab sering dihubungkan dengan risiko
perdarahan terkait trombolisis. Keduanya
memiliki manifestasi serupa, berupa predisposisi daerah lobar dan superfisial otak,
multipel, peningkatan frekuensi dengan bertambahnya usia, dan berhubungan dengan
demensia. Penelitian in vitro menunjukkan
deposit Ap memicu degenerasi sel
pada dinding pembuluh darah, memengaruhi
vasoaktivitas, dan meningkatkan mekanisme
proteolitik, seperti fibrinolisis, antikoagulasi
dan degradasi matriks ekstraselular.
PIS terkait CAA juga dikaitkan dengan stroke
hemoragik akibat warfarin dan microbleeds
dihubungkan dengan risiko rebleeding oleh
sebab terapi antiplatelet. Hal ini dibuktikan oleh Biffi dkk (2010), namun belum
ada modalitas yang dapat dipakai untuk
memprediksi risiko perdarahan terkait terapi pada masalah ini .
diagnosa definitif CAA yaitu berdasar
histologi jaringan otak berupa gambaran
green birefringent di bawah cahaya terpolarisasi dengan pewarnaan Congo red dan
gambaran floresen di bawah sinar ultraviolet dengan pewarnaan thioflavin S. Tanda
khas lainnya yaitu gambaran “double barr e l yang disebabkan pemisahan lamina
elastika interna akibat pengendapan materi
hialin pada dinding pembuluh darah. Oleh
sebab memerlukan histologi jaringan untuk diagnosa definitif, maka seringkali diagnosis CAA didapatkan pada postmortem.
Saat ini telah dideldarasikan kriteria Kriteria
Boston, yang meliputi gejala Idinis dan pencitraan, selain komponen histologi yang diperoleh secara invasif. berdasar leriteria
ini, diagnosa CAA dibedakan menjadi 4, yakni definite CAA, probable CAA dengan gambaran patologi atau MRI/CT scan mendukung,
dan possible CAA (Tabel 3). ada beberapa kriteria tambahan yang sedang diajukan,
berupa ditemukannya siderosis superfisial
pada penanda pencitraan CAA. Modalitas
diagnostik non-invasif lain yaitu pemeriksaan positron emission tomography (PET)
scan dengan beta-amyloid-binding compound
Pittsburgh Compound B yang dapatmemvisualisasi p-amiloid fibriler pada otak, yang dilaporkan berkaitan dengan risiko perdarahan intraparenkim akibat recombinant tissue
plasminogen activator (r-TPA).
Tata laksana CAA atau PIS terkait CAA,
baik pencegahan maupun terapi secara
evidence based belum ada. Kortikosteroid
dalam beberapa laporan masalah menunjukkan perbaikan gejala yang berkaitan dengan
CAA-related inflammation. Hal ini dipikirkan dengan mengurangi edema vasogenik.
Terapi imunosupresan lain juga dilaporkan
memengaruhi proses inflamasi CAA, namun
masih ada sedikit bukti. Laporan dari
studi perindoprii protection against recurrent stroke study (PROGRESS) menunjukkan
bahwa pengendalian tekanan darah (TD)
dapat menurunkan risiko PIS terkait CAA.
Cerebra' Autosomal Dominant Arteriopathy with Subcortical Infarcts and Leukoencephalopathy (CADASIL)
CADASIL merupakan pemicu penting dari
stroke dan demensia vaskular usia muda.
Lebih dari 10% pasien berusia kurang dari
50 tahun dengan stroke dan penyakit white
matter ditemukan mutasi CADASIL. Mutasi
ini diturunkan secara monogenik mengikuti hukum Mendell pada gen N0TCH3. Gen
ini diekspresikan secara eksklusif oleh
sel otot polos pembuluh darah, terutajna arteri berkaliber kecil serta sel pefisit. Pada
pasien CADASIL ada akumulasi ranah
ekstraselular N0TCH3 pada membran sitoplasma otot polos pembuluh darah.
CADASIL dapat bermanifestasi klinis maupun tidak. Manifestasi klinisnya sangat
bervariasi, seperti migren, stroke lakunar,
stroke lakunar berulang, leukoaraiosis, gangguan mood, apatis, dan demensia yang tidak
harus ditemukan secara bersamaan. Gambaran otak pasien dapat berupa infark lakunar,
demielinisasi white matter yang difus dan
hilangnya akson yang tidak melibatkan subcortical U-fibres, microhemorrhages terutama
pada gray matter, dan laminar cortical neuronal apoptosis. Hal itu berdasar perubahan
morfologis dan fungsional pembuluh darah
otak yang juga terlihat pada pembuluh darah sistemik.
Karakteristik histopatologis pada CADASIL
yaitu vaskulopati, yang terutama melibatkan pembuluh darah pial dan arteri perforator yang berdiameter kecil (<500pm)
serta arteriol, dan tidak disebabkan oleh
hipertensi, aterosklerosis, atau degenerasi
amiloid, Gambaran patognomonik CADASIL berupa akumulasi granular osmiophillic
material (GOM) di tunika media tepat di
permukaan membran sel otot polos, diikuti
degenerasi dan berkurangnya sel otot polos, fibrosis adventisia dan penebalan mural
pembuluh darah, serta pelebaran rongga
perivaskular (rongga Virchow-Robin). Proses patologi ini memicu stenosis luminal long penetrating arteries yang
memperdarahi white matter subkortikal.
Semua kelainan ini menimbulkan perubahan fisiologis, yaitu penurunan (cerebral blood flow /CBF) dalam kondisi basal
atau istirahat, penurunan volume dan dilatory reserve, serta peningkatan oxygen extraction fraction yang berkaitan dengan
usia. ada pula hipoperfusi terbatas
pada regio white matter, yang memberikan
gambaran leukoaraiosis serupa denganleukoaraiosis dengan kausa lain.
White Matter Lesion (W M L)
Prevalensi WML pada populasi kulit putih
sekitar 80% pada >60 tahun dan lebih banyak pada perempuan. WML dihubungkan
dengan faktor genetik dan ada hubungan yang kuat dengan usia dan tekanan da rah. WML dapat memberikan manifestasi
klinis yang bervariasi ataupun hanya ditemukan pada pencitraan tanpa gejala klinis.
Sebelum adanya MRI, white matter lesion
[WML} terlihat sebagai suatu x-ray attenuation di area white matter pada gambaran
CT scan. Hachinski dkk menyatakan lesi itu
disebut sebagai leukoaraiosis. Pada pemeriksaan MRI, WML berupa gambaran hiperintens didaerah white matter pada sekuens
T2 weighted dan FLAIR di periventrikel dan
daerah immediate subcortical white matter.
Fazekas memberikan gambaran histopatologis yang sering ditemukan pada WML
yaitu perubahan perivaskular ringan
hingga melibatkan area yang luas dengan
kehilangan jumlah serat yang bervariasi,
kavitas kecil multipel, serta arteriosklerosis nyata. Hal ini berkaitan dengan berbagai
proses patologis, bergantung pada kerusakan jaringan iskemik dapat berupa myelin
pallor, gliosis, kehilangan akson, destruksi
serat saraf komplet, hingga pada masalah berat dapat menimbulkan gangguan sawar
darah otak dan endotel. Selain itu ada
patologis lain terjadi juga venous collagenosis, yaitu penumpukan kolagen pada dinding venula di pembuluh darah vena kecil
periventrikular. Namun proses ini kurang
mendapat perhatian jika dibandingkan
dengan kaitan arteriosklerosis terhadap
small vessel disease.
Proses pembentukan WML serta kompleksitas fenotipnya dipikirkan ada kontribusi
faktor genetik, antara lain perubahan transkrip RNA pada berbagai gen yang melibatkan
siklus sel, proteolisis, dan apoptosis pada
WML. Hasil studi Genome Wide Association
Study (GWAS) telah diidentifikasi adanya gen
yang berhubungan dengan sifat-sifat multifaktoral kompleks seperti WML, yaitu 6 novel
single nucleotide polymorphisme (SNP) pada
satu lokus kromosom 17q25.
WML berkaitan dengan beberapa penyakit,
diantaranya penyakit Binswanger. Penyakit ini secara patologis tampak sebagai area
konfluens atau pengelompokan jaringan
halus yang berkerut dan berglanulasi pada
white matter di otak, meliputi lobus oksipital, periventrikel terutama bagian anterior,
dan serebelum. Volume white matter menjadi berkurang dan dapat disertai pembesaran ventrikel serta mengecilnya korpus
kalosum. Selain lesi white matter, dapat pula
ditemukan lacunae, kavitas berbentuk bulat
atau lonjong berisi cairan pada daerah subkortikal, berdiameter 3-20mm, yang ditemukan pada CT atau MRI. Terkadang pasien
dengan perubahan white matter Binswanger
juga mengalami amyloid angiopthy dan CADASIL, yaitu arteri yang berada di subkortikal dan leptomeningen mengalami penebalan dan mengandung substansi congophilic
yang mewarnai amiioid.
Studi mikroskopik menunjukan adanya
myelin pallor, suatu area dengan penurunan
mielinisasi yang dikelilingi oleh jaringan
normal. Pada abnormalitas white matter
yang berat dapat ditemukan nekrosis dan
terbentuk kavitas. Selain itu dapat terjadi
gliosis, terutama di area yang mengalami
myelin pallor. Dinding dari penetrating arteries menebal dan mengalami hialinisasi,
namun oklusi dari arteri kecil sangat jarang
ditemukan.
Gambaran klinik penyakit Binswanger sangat bervariasi, umumnya berupa gangguan
kognitif berupa perlambatan psikomotor,
gangguan memori, bahasa, dan visuospasial, serta abulia. Selain itu dapat ditemukan
gejala pseudobulbar, gangguan piramidal,
dan gait. Manifestasi ini umumnya bertahap
dan memburuk dalam periode hari hingga
minggu, kemudian menetap. Adapula yang
bermanifestasi sebagai stroke lakunar akut.
PATOGENESIS KERUSAKAN SEREBRAL
Mekanisme CSVD memicu kerusakan
parenkim otak bermacam-macam dan belum
sepenuhnya diketahui, namun pada prinsipnya CSVD memicu perubahan patologis pada pembuluh darah otak. Pada arteriol,
perubahan meliputi disfungsi otot pembuluh
darah, lipohialinosis, vascular remodelling,
dan penumpukan materi fibrotik. Terjadi juga
penebalan membran basal, pelebaran ruang
perivasltular (rongga Virchow-Robin), serta
gangguan sistem sawar darah otak (SDO) yang
dapat memicu edema. Hal ini menyebabkan hipoperfusi kronik akibat penurunan
aliran darah otak dan hilangnya respons
adaptif seperti autoregulasi dan neurovascular coupling, sehingga terjadi gangguan suplai
nutrisi ke otak secara adekuat yang berlanjut
pada kerusakan jaringan (Gambar 6). Adapun
perubahan pada sistem vena dapat berupa venous collagenosis.
Perubahan patologis pada pembuluh darah
kecil dapat memberikan dampak iskemik
maupun hemoragik. Bentuk iskemik CSVD
antara lain lesi white matter dan infark
lakunar. Kerusakan white matter dipikirkan merupakan bentuk infark yang tidak
lengkap atau nekrosis yang selektif. Mekanisme yang mendasarinya dipikirkan
akibat restriksi lumen yang memicu
hipoperfusi kronik white matter, sehingga
memicu degenerasi serabut mielin
akibat kematian oligodendrosit selektif dan
berulang. Bentuk iskemik lain yaitu infark
lakunar akibat penyumbatan dan oklusi
pembuluh darah kecil yang bersifat akut.
Hal ini memicu iskemik yang bersifat
fokal dan akut serta nekrosis jaringan komplet (pannecrosis). Dapat terlibat juga mekanisme lain seperti kerusakan sawar darah
otak, inflamasi subklinik lokal dan apoptosis
oligodendrosit yang berkontribusi terhadap
gambaran patologis akhir dari penyakit ini.
Selain lesi iskemik, CSVD juga dapat menyebabkan perdarahan. Perdarahan pada
CSVD dapat berupa perdarahan masif maupun perdarahan kecil (microhaemorrhage).
Alasan mengapa beberapa pembuluh darah
yang mengalami ruptur dapat menyebabkan perdarahan masif, sedangkan pembuluh
darah lain hanya memicu perdarahan
kecil tidak diketahui. Perbedaan ketebalan
dinding pembuluh darah pada masalah cerebral
amyloid angiopathy (CAA) sebelumnya dipikirkan menjelaskan hal ini , yakni semakin tebal dinding pembuluh darah dikaitkan dengan lebih banyak perdarahan kecil. GEJALA DAN TANDA KLINIS
Infark komplet (lacunar syndrome) atau
infark inkomplet [WML] struktur subkortikal pada CSVD menimbulkan manifestasi
klinis. Infark lakunar multipel dapat bermanifestasi sebagai gangguan fungsi kognitif, gangguan gait, gangguan mood, maupun
gangguan motorik. ada bukti adanya
peningkatan risiko penurunan fungsi kognitif, demensia, gangguan gait, gangguan
keseimbangan, serta parkinsonisme pada
individu dengan CSVD, walaupun studi
prospektifnya masih sedikit.
WML juga memberikan gambaran klinis yang
bervariasi, mulai dari tidak adanya keluhan,
hingga ada gangguan fungsi kognitif dan
gangguan motorik, termasuk parkinsonisme.
Variasi ini berhubungan dengan luasnya lesi
serta perbedaan mekanisme kompensasi untuk mencegah penurunan fungsi kognitif dan
motorik. Gambaran MRI pada sekuens fluid
attenuated inversion recovery (FLAIR) juga
tidak khas, sebab WML dapat atau tanpa
disertai bentuk CSVD lain pada MRI, seperti
infark lakunar dan cerebral microbleed.
D IA G N O SIS DAN D IA G N O SIS BANDING
Kerusakan parenkim otak pada CSVD hanya
dapat diidentifikasi dengan CT scan atau
MRI, sehingga diagnosa nya sangat bergantung pada temuan pencitraan (Tab el 4 dan
Gambar 7). Wardlaw dkk mengidentifikasi
beberapa temuan, seperti infark lakunar,
white matter hyperintensities (WMH) atau
white matter lesions (WML), dilatasi ruang
perivascular {Virchow Robbin space), deep
hemorrhage {large subcortical hemorrhages
dan microbleeds), dan atrofi otak. Lesi subkortikal seperti infark lakunar, WMH, dan deep
hemorrhage {large subcortical hemorrhages
dan microbleeds) juga merupakan penanda
CSVD, namun tidak spesifik. WMH tidak hanya ditemukan pada CSVD, infark lakunar
juga dapat menggambarkan embolisme.
Hal yang penting diperhatikan yaitu CSVD tidak hanya memilild gambaran iskemik, namun
juga dapat memberikan gambaran perdarahan
berupa macrolesions [large sub-cortical hemorrhages) dan microlesions {microbleeds), Sebagian besar perdarahan dapat dideteksi dengan
pencitraan konvensional termasuk CT scan, microbleeds membutuhkan MRI dengan sekuens
khusus yakni gradient echo atau susceptibilityweighted imaging (SWI).
ada klasifikasi yang dipakai secara
luas untuk mendeskripsikan beratnya WML,
yaitu Fazekas Scale yang pertama kali dikemukakan oleh Fazekas dkk (1987). Skor ini
menilai secara kuantitatif jumlah white matter hyperintense lesions pada MRI sekuens
T2/FLAIR yang timbul akibat iskemia kronik
terutama oleh gangguan pembuluh darah kecil. Namun dalam praktek sehari-hari hanya
dipakai klasifikasi ringan (mild], sedang
(moderate], dan berat (severe]. Skala Fazekas
membagi white matter menjadi 2 regio, yaitu
periventrikular dan deep white matter, dan
tiap regio dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan ukuran dan confluence [penggabungan) dari lesi (Tabel 5 dan Gambar 8). TATA LAKSANA
Manifestasi CSVD sangat spesifik berhubungan pembuluh darah kecil yang ada di otak,
sehingga memungkinkan pencegahan faktor
risiko untuk menekan disabilitas dan mortalitas di kemudian hari.
T r o m b o lis is
Tissue plasminogen activator (t-PA) intravena (IV] telah menjadi standar terapi pada
stroke iskemik akut dengan time window
0-3 jam (Amerika dan Eropa] dan 0-6 jam
(Asia). Namun hal ini bukan merupakan
pi-Iihan utama pada infark lakunar dan
hingga kini efikasi maupun keamanannya
masih dalam perdebatan. berdasar National Institute o f Neurological Disorders and
Stroke (NINDS) dan penelitan lainnya, luaran terapi t-PA pada stroke lakunar tidak lebih buruk dibandingkan dengan stroke nonlakunar. Akan tetapi penelitian Shoba dkk
terhadap 195 pasien dengan infark lakunar,
diperoleh luaran trombolisis yang lebih baik
diban-dingkan plasebo (modified Rankin
Scale 0-2; RR 1,84; IK95%, 1,59-2,13). Oleh
sebab itu, beberapa pedoman terbaru tidak membedakan efikasi t-PA menurut tipe
stroke. Terkait keamanan, studi bleeding
risk analysis in stroke imaging before thrombolysis (BRASIL) melakukan analisis pencitraan pada 570 pasien stroke iskemik akut
onset 6 jam yang memperoleh t-PA IV menggunakan MRI sekuens T2. Tidak didapatkan
peningkatan risiko perdarahan intrakranial
terkait CMB yang bermakna, namun risiko
ini tidak melebihi manfaat yang diterima.
P e n g e n d a lia n f a k t o r r is ik o
Hipertensi merupakan faktor risiko stroke
terpenting sehingga penurunan tekanan darah (TD) bermanfaat untuk prevensi stroke
sekunder. Kumpulan data analisis menunjukkan bahwa penurunan TD jangka panjang menurunkan kejadian stroke hingga
28%. Uji klinis multisenter Secondary Prevention o f Small Subcortical Strokes (SPS3)
menunjukkan pada kelompok dengan TD
sistolik <130mmHg, ada penurunan
stroke berulang sebanyak 19% dan penurunan kejadian perdarahan intrakranial
sebesar 63%. Studi Perindopril Protection
against Reccurent Stroke Study (PROGRESS)
juga menunjukkan bahwa penurunan TD
yang intensif dapat menunda progresivitas WML pada pasien stroke. Oleh sebab
itu, perlu dilakukan penurunan TD sistolik kurang dari 130mmHg. Namun belum
diketahui efek jangka panjang penurunan
tekanan darah, terutama pada pasien usia
lanjut dengan CSVD luas.
Studi kohort oleh Muller dkk menunjukkan
penurunan TD diastolik berkaitan dengan
penurunan volume gray matter dan gangguan kognitif pada subjek usia lanjut dengan
riwayat hipertensi dibandingkan subjek
dengan usia pertengahan. Hal ini dikaitkan
dengan kegagalan perfusi serebral akibat
penurunan mekanisme autoregulasi pada
pasien dengan hipertensi jangka panjang.
Dengan demikian, meskipun pada pedoman
yang ada direkomendasikan penurunan TD
sistolik hingga <130mmHg, namun manajemen TD harus lebih diperhatikan pada
pasien usia lanjut, riwayat hipertensi lama,
WML luas, dan gangguan fungsi kognitif.
Dislipidemia, terutama peningkatan kadar
low-density lipoprotein (LDL), memegang peranan penting dalam pembentukan aterosklerosis. Studi Stroke Prevention by Aggressive
Reduction in Cholesterol Levels (SPARCL) menunjukkan bahwa pasien yang mendapat
atorvastatin mengalami penurunan kejadian
stroke dan penyakit jantung koroner secara
signifikan, namun peningkatan sedikit tetapi
signifikan memicu stroke hemoragik.
Oleh sebab pasien CSVD lebih jarang disertai
aterosklerosis pembuluh darah besar, namun
lebih berisiko tinggi mengalami perdarahan,
sehingga pemberian statin pada infark lakunar masih dipertanyakan. Analisis post-hoc
studi SPARCL pada 1409 pasien infark lakunar
menunjukkan efikasi yang sama pada grup
dengan infark lakunar dibandingkan grup
yang lain, Studi Regression o f Cerebral Artery
Stenosis (ROCAS) menunjukkan bahwa penggunaan statin berhubungan dengan penurunan progresivitas WML.
Pada sub-studi Vitamins to Prevent Stroke
(VITATOPS)-MRI, penurunan kadar homosistein dengan vitamin B dikaitkan dengan
penurunan peningkatan volume WMH pada
pasien dengan CSVD yang berat. Sebagai
tambahan, vitamin E tocotrienols diketahui dapat menghambat progresifitas WMH
pada subjek sehat dengan WMH.
Antiplatelet
Antiplatelet secara umum dipakai pada
stroke nonkardioembolik. Walaupun studi
yang berfokus pada infark lakunar sangat jarang, manfaat dari beberapa antiplatelet dipertimbangkan serupa antara infark lakunar
dengan yang nonlakunar. Satu-satunya studi
yang berfokus pada infark lakunar, yakni studi Secondary Prevention o f Small Subcortical
Strokes (SPS3] yang melibatkan 3020 pasien
dari Amerika Utara, Amerika Selatan, dan
Spanyol. Pada studi ini disimpulkan bahwa
pada infark lakunar, klopidogrel, dan aspirin
tidak menurunkan risiko stroke secara signifikan, bahkan meningkatkan risiko perdarahan dan kematian, Oleh sebab itu, kombinasi klopidogrel dan aspirin tidak boleh
diberikan, kecuali dengan indikasi spesifik
lainnya, sehingga perhatian selanjutnya ditujukan pada cilostazol dan trifusal.
Dari hasil studi pada hewan coba dan manusia, didapatkan bahwa cilostazol menyebabkan komplikasi perdarahan yang lebih
rendah dibandingkan aspirin, ditandai dengan pemanjangan bleeding time pada aspirin atau klopidogrel. Sebagai tambahan,
pemanjangan bleeding time juga tidak terjadi meskipun cilostazol diberikan bersamaan dengan aspirin atau klopidogrel pada
pasien dengan penyakit arteri perifer. Cilostazol juga memiliki efek protektif terhadap
endotel dan mencegah gangguan SDO pada
pasien stroke iskemik. Studi terhadap murin menunjukkan bahwa cilostazol melindungi mikrovaskulatur otak yang iskemia
dengan menurunkan aktivitas matrix metalloprotease-9 (MMP-9}. Analisis subgroup
studi Cilostazol fo r Prevention o f Secondary
Stroke juga menunjukkan bahwa ciloztazol
lebih aman secara bermakna dibandingkan
aspirin terkait risiko stroke hemoragik pada
pasien hipertensi dengan stroke lakunar. Cilostazol dilaporkan dapat menurunkan high
pulsatile pressure pada pembuluh darah kecil akibat kekakukan arteri, yang berkontribusi dalam patogenesis WMH.
Trifusal memiliki efek yang sama dengan aspirin namun dengan komplikasi perdarahan
lebih kecil, sehingga dapat dipakai pada
pasien dengan risiko perdarahan seperti
CMB multipel pada CSVD. Hingga kini masih
diperlukan studi lebih lanjut untuk menemukan antiplatelet yang sesuai pada CSVD.
TEOMBOSIS VENA SEEEBRAL
Trombosis vena serebral merupakan salah
satu bentuk penyakit serebrovaskular yang
jarang terjadi, namun memiliki potensi morbiditas yang tinggi. Trombosis ini dapat terjadi pada vena dan sinus dura utama di otak.
Insidensnya yaitu 0,5-3% dari seluruh masalah
stroke dan dapat terjadi pada seluruh kelompok usia, termasuk neonatus.
Observasi dan deskripsi masalah trombosis
vena serebral pertama kali dilaporkan
oleh MF Ribes pada tahun 1825. Ribes
mengemukakan masalah seorang laki-laki
berusia 45 tahun dengan keluhan nyeri
kepala yang berkepanjangan, sehingga
memicu kesedihan dan melankolia. Keluhan ini diikuti dengan munculnya
bangkitan kejang berulang yang semakin
sering, kemudian pasien mengalami delirum sebelum akhirnya meninggal dunia.
Basil otopsi postmortem menunjukkan
adanya gumpalan darah di sinus sagitalis
superior dan sinus lateralis kiri, serta infark di hemisfer kanan.
Hingga awal 1980-an, trombosis vena serebral digambarkan sebagai suatu kondisi
yang langka. Kondisi ini biasanya terjadi
akibat trombosis septik di sinus sagitalis
superior dengan gejala klinis stereotipik
berupa nyeri kepala, defisit fokal neurologis, kejang, penurunan kesadaran, hingga
dapat memicu koma dan kematian.
Angka kematian pada tahun ini dapat
mencapai 60%.
diagnosa trombosis vena serebral biasanya
ditegakkan saat otopsi dengan adanya gambaran infark hemoragik. Perdarahan ini mengakibatkan kontraindikasi pemberian heparin
pada masa ini Pada 1967, Hugo Krayenbuhl, seorang profesor bedah saraf di University of Zurich, Swiss, yaitu orang pertama
yang memakai antikoagulan heparin
dalam tata laksana trombosis vena serebral.
Dalam publikasinya dia mengemukakan bahwa kombinasi antibiotik dan antikoagulan
dapat memberikan hasil optimal. Tidak ada
bukti bahwa perdarahan serebral lebih sering
dan lebih berat pada masalah yang mendapat
antikoagulan.
Dengan perkembangan ilmu dan teknologi
medis yang pesat, saat ini berbagai pemicu
trombosis vena serebral lainnya dapat
diketahui. Mekanisme trombosis di vena
dan sistem sinus telah dapat dideskripsikan
lebih jelas melalui teknik angiografi serebral,
CT scan, dan MRI, sehingga diagnosa dapat
ditegakkan lebih cepattanpa perlu menunggu
otopsi. Penelitian dalam manajemen terapi
juga menunjukkan hasil yang positif yang
kesemuanya memicu penurunan angka
kematian secara drastis, hingga mencapai
<5% sesudah tahun 2000. E P ID EM IO LO G I
Insidens trombosis vena serebral tidak diketahui dengan pasti. Secara umum, trombosis vena serebral dianggap sebagai salah
satu pemicu stroke yang jarang terjadi,
dengan perbandingan 1:62,5 dibandingkan stroke arteri. Pada studi single center
di negara kita (2015) ditemukan prevalensi
sebesar 1,28%.
Daif di Saudi Arabia (1995) melaporkan
frekuensi trombosis vena serebral sebesar
7 masalah per 100,000 pasien di RS. Coutinho
dkk dalam studi potong lintang Dutch series (2012) mendapat insidens 1,32 per
100.000 penduduk, sedangkan di Australia
sebesar 1,57 per 100.000 penduduk. Pada
anak, insidens trombosis vena serebri sebesar
0,67 per 100.000 penduduk, sementara pada
neonatus 1,4-12 per 100.000 penduduk.
Pada penelitian multisenter, International
Study on Cerebral Venous Trombosis (ISCVT)
pada 1998-2001, didapatkan rerata usia
penderita trombosis vena serebri 39,1 tahun, yang mayoritas (74% ) perempuan,
yaitu 17% pada masa kehamilan dan nifas,
serta 47% berhubungan dengan penggunaan kontrasepsi. PA TO FISIO LO G I
Dalam memahami patofisiologi trombosis
vena serebral, penting untuk lebih dulu memahami anatomi sistem sinus duramater
dan vena di otak. Pembuluh darah vena di
otak terdiri atas vena superfisial dan profunda [deep veins). ada 10-20 vena
superfisial yang mengumpulkan darah dari
vena-vena pial yang menutupi permukaan
hemisfer serebri dan saling beranastomosis
satu sama lain. Di antara vena superfisial, yang
terbesar yaitu vena Rolandik atau vena sentralis yang berlokasi di dekat sulkus sentralis,
vena Trolard (greater anastomotic vein), dan
superficial middle cerebral vein. Vena superfisial memiliki anastomosis yang amat banyak,
sehingga oklusi seringkali sulit didiagnosis. Sistem vena superfisial akan mengalami
drainase ke sinus sagitalis superior dan sinus
lateral (Gambar 1).
Vena profunda mengalirkan darah dari struktur subkortikal telensefalon dan diensefalon.
Vena profunda utama di otak, antara lain
yaitu vena insula dan vena striata, vena
subependim, vena medularis, dan vena basal
Rosenthal. Seluruh vena profunda ini akan didrainase menuju vena serebri magna Galen.
Sinus dura (sinus serebri atau sinus kranialis) yaitu struktur berupa saluran di antara
lapisan duramater dalam otak. Dinding dari
sinus dura dibentuk dari duramater yang
memiliki endotel seperti pembuluh darah.
Namun berbeda dengan struktur pembuluh
darah, sinus dura tidak memiliki tunika media dan tidak memiliki katup seperti halnya
pembuluh vena. Di dalam sinus dura terdapat granulasio araknoid Pacchioni yang
berperan dalam fisiologi cairan serebrospinal, sehingga sinus dura juga berperan dalam
drainase cairan serebrospinal.
Secara klasik, sinus dura dibagi menjadi 2