obat 25




 ugs: LSD, kanabis (marihuana, hashiz), 

XTC, meskalin, jamur (psilosibin), alkohol dan

inhalansia. Zat-zat ini pada pemakaian  kronis (hampir) tidak menyebabkan ketergantungan fisik atau toleransi. Ketergantungan 

psikis dapat terjadi.

* Stepping-stone-theory. Suatu hipotesis 

menyatakan bahwa pemakaian  soft drugs 

lambat laun mengakibatkan kecenderungan 

seseorang untuk beralih ke pemakaian  hard 

drugs (eskalasi). Alasannya yaitu  bahwa 

pemakaian  soft drugs lambat atau cepat 

akan menjurus ke obat-obat yang dapat 

memberikan efek euforia (perasaan nyaman) 

dan pengkhayalan yang lebih kuat. Namun 

para ahli belum seluruhnya sepakat dengan 

teori ini. 

a. Eco-drugs. Pada permulaan tahun 1990-

an, timbul suatu gerakan yang disebut 

New Age yang memberikan perhatian baru 

bagi spiritualitas dan masalah kerohanian. 

Akibat-nya banyak pemuda mulai 

menggunakan drugs tidak hanya untuk 

tujuan rekreatif. Kemudian di seluruh 

dunia orang melakukan eksperimen dengan 

bahan-bahan yang dapat meningkatkan 

kesadaran lahir dan batin (body and mind 

awareness). Tumbuh-tumbuhan dan jamur 

dengan efek psiko-aktif (psikedelika) menjadi 

sangat populer dan didatangkan dari negaranegara tertentu (Amerika Tengah/Selatan, 

Somalia dan Yemen), di mana bahan-bahan 

itu sudah lazim dipakai  oleh rakyatnya. 

Yang terpenting yaitu  drugs alami (ecodrugs) seperti: qat (Afrika Utara-Timur), 

meskalin (kaktus dari Meksiko), psilo-sibin

(sejenis jamur), guarana (hutan rimba Brasil) 

dan Kava (kepulauan Polinesia).

Karena efek toksik bagi hati pengguna, 

kava-kava di negeri Belanda telah dilarang 

peredarannya per 1 Sept. 20021. Q a t (pelafalan: kat) terdiri dari batang 

muda yang harus dikunyah berjamjam lamanya untuk melepaskan zat-zat 

aktifnya, yaitu cathinon dan cathine. Qat 

sangat populer di Somalia, Yemen dan 

Etiopia, yang dipakai  dalam pergaulan sosial saat misalnya, minum kopi. 

Efeknya menyegarkan dengan daya halusinogen ringan. Risiko ketagihan kecil 

sekali. pemakaian  intensif dapat menimbulkan iritasi lambung-usus, konstipasi 

kronis dan peradangan.

2. Jamur halusinasi25 (“psilo‘s“, “paddo‘s“). 

Jamur dari genus Psilocybe (bah Indian: 

kepala gundul), misalnya Psilocybe semilanceata (= “Liberty cup“), yang ada  

di Eropa/Amerika dan Stopharia Cubensis

(dari pegunungan Meksiko) dewasa ini 

sangat populer di kalangan remaja. “Jamur-jamur sihir“ ini (magic mushrooms)

mengandung psilosibin dan psilosin, 

yang memengaruhi neurotransmitter serotonin. Zat-zat ini memberikan efek halusinogen (“trip“) yang berlangsung selama 4-6 jam tergantung dari dosisnya. 

Jamur ini dimakan dalam keadaan segar 

atau dikeringkan, tidak menimbulkan 

ketagihan dan juga tidak mengakibatkan 

‘efek samping‘ buruk bila tidak dimakan 

berlebihan. Khasiat halusinogennya diberitakan 100 kali lebih lemah daripada LSD 

(pada dosis yang sama). Pada dosis tinggi 

dapat terjadi gejala intoksikasi (bad trip)

dengan kecenderungan bunuh diri. Pada 

suku Indian Maya di Amerika Tengah 

dan Amerika Selatan sejak berabad-abad, 

syamannya (curanderos), yaitu “dukun” 

yang dapat menjalin kontak dengan para dewa, sudah menggunakan jamur 

itu untuk mencapai keadaan kesurupan 

(trance). Di Meksiko jamur halusinasi disebut teonanacatl (bah. Aztek: daging 

Allah) dan sejak dahulu dipakai  pada 

berbagai ritual rakyat. Tetapi sejak tahun 

1973 pemerintah melarang pemakaian nya oleh umum, kecuali oleh curanderos. Psilosibin dan psilosin termasuk dalam Daftar Narkotika di kebanyakan negara, sedangkan jamurnya sendiri tidak.

b. Alkohol. Sebagai variasi dari masalah 

drug abuse dapat disebut bahwa alkohol merupakan zat yang paling umum disalahgunakan berhubung fungsinya sebagai unsur 

sosial dan rekreasi. Sebagai sedativum yang 

bersifat short-acting, alkohol dalam dosis 

ke-cil mampu mengurangi atau menghilangkan kecanggungan atau ketegangan dan 

menambah keluwesan dalam pergaulan, di 

samping menimbulkan perasaan euforia. 

Namun pemakaian  alkohol yang di negara 

Barat sangat umum, sering kali menghasilkan 

peminum alkohol kronis (physical dependence, 

alcoholism) dalam jumlah yang sangat besar 

dan yaitu  masalah sosial serius. 

c. Rokok dan nikotin. Ketagihan merokok 

disebabkan oleh nikotin di dalam tembakau, 

yang memiliki sifat merangsang (lemah) terhadap SSP dan menyebabkan euforia serta 

menghilangkan perasaan mengantuk.

d. Obat-obat. Pada umumnya setiap obat yang 

memengaruhi kesadaran dapat disalahgunakan, bahkan obat untuk penyakit Parkinson, 

misalnya levo-dopa dan antikolinergika. Oleh 

karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 213/1985 

tentang Obat Keras Tertentu (OKT), yang mencakup antara lain obat-obat psikotropika

seperti hipnotika/sedativa dari kelompok 

barbiturat, juga tranquillizers. Maksudnya 

yaitu  pengendalian dan pengawasan yang 

lebih ketat terhadap impor, produksi dan 

distribusi beberapa obat keras tertentu yang 

bila dipakai  di luar tujuan pengobatan 

sangat membahayakan kesehatan manusia 

serta berpengaruh kepada masyarakat. 

Undang-undang tersebut di atas kemudian 

disusul dengan Undang-undang RI Nomor 5 

tahun 1997 tentang Psikotropika. Lihat juga 

Bab 1, sub 4, Peraturan perundang-undangan 

di bidang farmasi. 

1. Senyawa benzodiazepin. Kelompok tranquillizer, terutama benzodiazepin (diazepam, klordiazepoksida, flunitrazepam) menimbulkan masalah besar di negara-negara Barat. Menurut taksiran, pencandu 

benzodiazepin di negara-negara ini berjumlah lebih besar daripada yang keta- gihan alkohol dan drugs. sesudah  digunakan 4-8 minggu, pemakai sudah menunjukkan toleransi dan ketergantungan, sedangkan penghentiannya menimbulkan gejala penarikan yang mirip keluhan semula, tetapi bersifat lebih hebat 

(rebound/kick off symptoms). Oleh karena itu 

ketagihan benzodiazepin sering kali tidak 

dikenali dan pemakaian nya dilanjutkan. 

Semakin lama pemakaian nya, semakin 

hebat gejalanya, a.l. rasa takut, sukar 

tidur, tremor, kontraksi otot tak terkendali 

serta hipersensitivitas bagi cahaya, bunyibunyian dan sentuhan. Pada umumnya 

gejala ini tidak sehebat hard drugs, tetapi 

masa pengobatannya sering kali lebih 

panjang daripada ketagihan alkohol dan 

drugs seperti heroin. Lihat selanjutnya 

Bab 24. Sedativa dan Hipnotika.

2. GHB (gamma-hydroxybutyric acid) yaitu  

suatu cairan yang dahulu dipakai  

sebagai obat narkosa (induksi anestesi) 

untuk “menidurkan“ pasien yang akan 

dibedah. Secara keliru juga dinamakan 

“XTC cairan“. Disebabkan efeknya sukar 

diramalkan, obat ini sudah lama tidak digunakan lagi (kecuali di Prancis) karena 

ada nya obat-obat yang lebih cocok 

dengan risiko efek samping (mual dan 

muntah) lebih rendah. Akhir tahun 1998, 

pemakaian nya sebagai party drug dilaporkan lagi dan sering kali juga untuk 

membius wanita (“date-rape-drug“). Senyawa ini sangat berbahaya, karena 

do-sis stimulasi dan menyegarkan 

(eufori) berdekatan dengan dosis 

menidurkannya. ada  risiko besar 

untuk menimbulkan koma dengan mual 

dan muntah yang dapat berakibat fatal. 

GHB yaitu  derivat dari neurotransmitter GABA dan berlainan dengannya 

dapat menembus barier darah-otak. GHB 

memiliki t½ yang sangat singkat (21 menit)21 dan absorpsinya dari saluran 

pencernaan luar biasa cepat dengan 

efek maksimal sesudah  30-60 menit. 

berdasar  perkiraan efek anabolnya, 

GHB dahulu banyak dipakai  oleh 

olahragawan bina raga21,22 sebagai 

penguat otot.

Ketergantungan, adiksi 

dan habituasi

Sebelum dilanjutkan dengan pembahasan 

penyalahgunaan obat (drug abuse), terlebih 

dahulu akan diuraikan definisi beberapa 

istilah yang berhubungan dengan hal ini. 

“Drug abuse” (penyalahgunaan) berarti 

pemakaian  berlebihan yang terus-menerus 

ataupun kadang-kadang dari suatu obat 

secara tidak layak, yaitu menyimpang dari 

indikasi pengobatan yang lazim. 

Adiksi (“addiction“, ketagihan, compulsive 

drug taking) dan habituasi (“habituation“, kebiasaan) yaitu  istilah yang berhubungan 

erat dengan abuse. Untuk kedua istilah ini, 

WHO dalam laporan ke-18-nya (1970) menggunakan istilah “drug dependence“ (ketergantungan). Namun dalam praktik masih sering 

dipakai  istilah adiksi untuk melukiskan 

ketergantungun yang sangat hebat.

Ketergantungan (“drug dependence“) adalah suatu keadaan fisik dan/atau psikis, yang 

diakibatkan oleh interaksi antara makhluk 

hidup dan satu atau lebih obat. Keadaan 

ini ditandai oleh perilaku yang terdorong 

oleh suatu hasrat kuat untuk terus-menerus 

atau periodik menggunakan obat tertentu. 

Tujuannya yaitu  untuk menyelami efekefek psikisnya atau untuk menghindari 

gejala abstinensi, karena bila pemakaian nya dihentikan segera akan muncul efek 

“withdrawal“ yang sangat tidak nyaman. Hasrat ini menguasai seluruh pikiran dan tingkah laku si pencandu dan keinginannya 

untuk memperoleh obat tersebut sangat kuat sehingga melebihi kebutuhannya akan 

makan, tidur, seks dan membuatnya bertindak asosial atau kriminal. 

Kemungkinan timbulnya ketergantungan 

berdasar  beberapa faktor seperti jenisnya obat/drug, cara pemakaian  dan individunya. Kecepatan absorpsi oleh tubuh, misalnya pemberian melalui injeksi intravena atau 

menghisapnya sebagai rokok (kokain, heroin) 

meningkatkan potensi ketergantungan.

Berlainan dengan ketergantungan, pada 

habituasi seseorang dapat menghentikan kebiasaannya (misalnya minum kopi) tanpa menimbulkan konsekuensi yang parah Ada dua jenis dependence, yakni ketergantungan 

fisik dan ketergantungan psikis, juga fenomena 

ketergantungan silang.

1. Ketergantungan fisik bercirikan terjadinya

gejala abstinensi bila pemakaian  obat yang

berulangkali dihentikan dan yang kadangkadang menimbulkan efek “rebound“ yang

berlebihan. SSP menggunakan zat sejenis 

morfin (endorfin) sebagai neurotrans-mitter

yang produksinya oleh tubuh dihentikan, bila 

misalnya diberikan suatu opiat. Bila kemudian pemberian opiat ini mendadak dihentikan, segera timbul kekurangan endorfin 

tersebut dan terjadilah gejala abstinensi, 

yang dapat berlangsung sampai bermingguminggu. Pada jenis dependence ini, terjadinya

toleransi berperan penting.

a. Ketergantungan silang (cross-dependence 

atau cross tolerance). Dengan istilah ini 

dimaksudkan kemampuan suatu obat 

untuk menekan gejala ketergantungan fisik

dari lain obat. Dengan lain kata, efek 

penarikan dari satu obat dapat dikurangi 

oleh pemberian obat lain. Misalnya, 

kebanyakan sedativa-hipnotika memiliki 

ketergantungan silang satu dengan yang 

lain, juga terhadap alkohol dan senyawa benzodiazepin. Bila suatu long-acting 

drug, seperti metadon, disubstitusikan bagi morfin selama beberapa hari (maks.150 

mg/hari) dan kemudian dihentikan secara mendadak, maka sindrom withdrawal

yang timbul yaitu  khas dari metadon 

dan bukannya dari morfin. Aspek dari 

ketergantungan silang ini mempunyai 

implikasi klinik penting, karena gejala 

withdrawal yang timbul dari obat dengan 

masa paruh yang lebih panjang (metadon, 

fenobarbital, diazepam) pada umumnya 

tidak begitu hebat walaupun berlangsung 

lebih lama. Hal inilah yaitu  dasar 

dari terapi substitusi terhadap ketergantungan fisik dari opioida dan obat-obat 

depresan SSP lainnya.

b. Toleransi, yang sering kali berkaitan dengan ketergantungan, dimaksudkan kecenderungan untuk secara progresif meningkatkan dosis dari suatu obat untuk 

mencapai efek semula. Singkatnya istilah 

toleransi dapat didefinisikan sebagai penurunan respons terhadap suatu obat 

sesudah  pemberian berulang kali. Dengan 

lain kata, efek obat berkurang sesudah  

pemakaian  (lama) dalam dosis yang 

sama, sehingga diperlukan dosis yang 

semakin besar untuk mencapai efek yang 

sama (misalnya euforia) sehingga dapat 

menimbulkan efek toksik. Penyebabnya 

antara lain meningkatnya kecepatan metabolisme (toleransi farmakokinetik) dari suatu 

obat, tetapi penyebab utamanya sebagai 

respons biokimiawi yaitu  terjadinya 

adaptasi dari sel-sel sistem saraf (neuroadaptif) terhadap daya kerja obat. Toleransi terhadap opioida dapat timbul 

dengan cepat sekali, misalnya pencandu 

morfin dapat menerima dosis harian dari 

500 mg morfin hanya dalam waktu 10 

hari! Singkatnya, ketergantungan fisik 

maupun toleransi yaitu  mekanisme 

adaptasi sel-sel tubuh sebagai akibat 

didudukinya reseptor opiat secara terusmenerus. 

Toleransi silang (cross-tolerance) dapat 

terjadi antara zat-zat dari kelompok 

kimiawi yang sama, tetapi kadangkadang juga dari kelompok yang berlainan, misalnya barbital, alkohol dan

benzodiazepin.

c. Sindrom penarikan (“withdrawal symptoms”). Penghentian secara mendadak 

dari pemakaian  narkotika mengakibatkan timbulnya suatu rangkaian gejala 

hebat yang adakalanya dapat mematikan. 

Misalnya pada morfin dan derivat-derivatnya, ’sindrom abstinensi’ dapat berbentuk ketakutan, berkeringat, mata berair, gangguan saluran cerna, sakit perut 

dan punggung, tidak bisa tidur dan kadangkala psikosis atau konvulsi. Gejala 

ini hanya dapat diatasi dengan memberikan obat bersangkutan atau yang sejenis. Kekhawatiran yang mendalam akan 

timbulnya gejala abstinensi ini mendorong pencandu untuk kembali menggunakan narkotika. Pada obat-obat yang 

menyebabkan ketergantungan fisik ini, tubuh lambat laun menyesuaikan diri (toleransi) terhadapnya bila dipakai  seca- ra kontinu. Gejala withdrawal juga akan 

timbul bila efeknya dihambat oleh suatu 

obat antagonis. 

Gejala-gejala penarikan yaitu  kebalikan dari efek obat aslinya (“originalnya“). Timbulnya sindrom gejala withdrawal bila pemberian drug/narkotika dihentikan yaitu  bukti nyata dari ketergantungan fisik.

*Toleransi dan ketergantungan fisik tidak 

saja timbul pada opioida, alkohol dan hipnotika,

tetapi pada pemakaian  lama juga timbul 

pada antikolinergika, antagonis dopamin dan

imipramin. Begitu juga dapat timbul pada 

penghentian mendadak dari beta-blocker, antagonis-Ca atau agonis-alfa-adrenergik.

2. Ketergantungan psikis bercirikan terjadinya gejala abstinensi psikis bila pemberian 

obat dihentikan, karena telah terjalin suatu 

ikatan psikis yang kuat antara pemakai dan 

obat. 

pemakaian  drugs dapat menciptakan suatu keadaan seolah-olah seseorang dapat 

melepaskan diri dari keadaan konflik dan 

melarikan diri dari kesulitan. Namun, begitu pemakaian nya dihentikan, segala masalah dan kesulitan akan timbul kembali, 

sehingga untuk dapat melupakannya penggunaan harus dilanjutkan. Dengan perkataan lain, secara mental ia tergantung dari 

pemakaian  drug. Hasrat kuat akan obat dapat 

menimbulkan gejala mudah tersinggung dan 

kegelisahan, tetapi dapat pula meningkat 

menjadi kelakuan asosial dan tindakan kriminal untuk memperoleh obat. Pada drugs 

yang bersifat sangat adiktif, ikatan psikis 

demikian kuat sekali dan dapat bertahan 

lama (sampai bertahun-tahun), juga sesudah  

obat dihentikan. 

Faktor-faktor penyebab. Singkatnya, ketergantungan psikis didasarkan atas hasrat untuk terus-menerus menggunakan drug dengan tujuan kenikmatan atau untuk menghilangkan ketegangan dan perasaan tidak 

nyaman. Obat-obat yang menimbulkan ketergantungan psikis pada umumnya bekerja 

terhadap otak dan menimbulkan antara lain 

efek sebagai berikut: 

– menghilangkan/mengurangi ketegangan 

dan kecemasan 

– memberikan perasaan nyaman (eufori) 

dan 

– menimbulkan perasaan meningkatnya 

kemampuan fisik maupun mental.

Batasan antara ketergantungan fisik dan 

psikis tidak selalu jelas, misalnya menghentikan merokok dapat mengakibatkan suatu 

beban mental bagi seorang perokok berat 

yang dapat menimbulkan gejala fisik, seperti 

gangguan pencernaan dan gemetar (tremor).

Mekanisme adiksi

Ada indikasi kuat bahwa terjadinya toleransi 

dan ketergantungan berkaitan erat dengan 

aktivasi dari sistem dopaminerg di otak. 

Semua zat yang bersifat adiksi berkhasiat 

meningkatkan jumlah dopamin secara akut, 

yang dihubungkan dengan efek eufori, labilitas emosional, kekacauan dan histeri. Misalnya 

heroin, amfetamin, marihuana, alkohol, nikotin dan kofein mencetuskan pelepasan 

dopamin (berlebihan), sedangkan kokain 

menghambat re-uptakenya. Lebih dari sepuluh neurotransmitter lain, antaranya noradrenalin dan serotonin memegang peranan 

pula pada adiksi, tetapi pengaruhnya jauh 

lebih ringan. Kadar dopamin yang terlalu 

tinggi dapat mengakibatkan halusinasi dan 

psikosis akut, seperti pada schizofrenia. Lihat 

juga Bab 29, Antipsikotika.

Pengobatan adiksi

Pengobatan ketagihan terutama ditujukan pada dua aspek, yaitu penghentian pemakaian  

(withdrawal) dan rehabilitasi sosial pasien. Pada 

pengobatan harus diperhatikan beberapa faktor, yaitu:

1. taraf ketergantungan fisik penderita harus ditelaah

2. penderita harus diberikan drug lain (metadon atau agonis-α2

-adrenerg seperti klonidin) untuk menekan gejala abstinensi 

serius sambil lambat-laun mengurangi 

dosisnya (terapi substitusi).

Gejala withdrawal dari narkotika juga dapat diringankan dengan pemberian obat hipertensi/migrain klonidin (Catapres, Dixarit).

Obat ini dapat memberikan efek samping seperti turunnya tekanan darah, pusing-pusing, gelisah, tidak bisa tidur, mudah tersinggung, detak jantung yang lebih cepat dan 

sakit kepala.

* Antagonis opiat. Lihat juga Bab 22, Analgetika Narkotika.

Secara farmakoterapeutik, suatu jenis pengobatan yang lebih spesifik untuk menghilangkan ketagihan terhadap opiat didasarkan 

pada teori bahwa bila reseptornya di SSP 

sudah dihambat oleh zat-zat antagonis narkotika, maka pemakaian  opiat tidak akan 

menyebabkan suatu ketergantungan fisik. 

Dalam hal ini, antagonis opiat spesifik nalokson telah dicoba secara klinik, tetapi hasilnya jauh lebih kurang memuaskan dibandingkan terapi metadon. Naltrekson adalah suatu antagonis morfin murni (tanpa 

kerja agonis) yang dapat menghindari efek 

opioida, sepert euforia. Obat ini dipakai  

sebagai obat pembantu selama proses menanggulangi adiksi untuk mendukung “to 

stay clean“. Hanya boleh diberikan pada 

pencandu yang sudah tidak menggunakan 

drug selama 7-10 hari. Bila opiat dipakai  

lagi, dalam waktu 15 menit akan muncul 

gejala abstinensi akut yang serius dan dapat 

bertahan 48 jam. Daya kerja naltrekson berlangsung selama 24 sampai 72 jam. Dosisnya 

50 mg tiap hari atau 3 kali seminggu.

Penanganan ketagihan adakalanya dilakukan dengan metode "cold turkey” pada 

mana pemberian zat narkotika kepada penderita dihentikan dengan serentak, walaupun timbul gejala-gejala penarikan yang hebat seperti kejang-kejang perut, diare, muntah, sakit otot, hidung meler, mata berair, berkeringat dingin dan merinding (“gooseflesh“) 

yang berlangsung sekitar satu minggu. 

Kebanyakan pasien memiliki risiko/kecenderungan untuk kembali menggunakan narkoba, sehingga perlu mendapatkan terapi 

jangka panjang. (McLellan et al., Drug dependence, a chronic medical illness. 

Ref.: JAMA, 2000, 13:1689-1695; O’Brien CP, 

Treatment of alcoholism as a chronic disorder, 

EXS, 1994, ,71:349-359).

Medikasi berkelanjutan dapat efektif pada 

ketergantungan opioid (metadon) dan pada 

ketagihan alkohol (disulfiram atau akamprosat). Prosedur ini juga dapat memperbaiki keadaan fisik, maupun fungsi mental 

dan sosial pencandu.

Obat-obat alkoholisme

Untuk mengobati ketagihan alkohol tersedia 

disulfiram dan akamprosat yang mengakibatkan konsumsi alkohol sangat tidak nyaman, 

karena menyebabkan akumulasi asetaldehida. 

Klordiazepoksida dan diazepam adakalanya 

juga dipakai  untuk pengobatan substitusi 

terhadap alkoholisme.

*Disulfiram (Antabus, Refusal) menghambat 

enzim aldehida-dehidrogenase, sehingga penguraian alkohol terhenti pada tingkat asetaldehida, lihat persamaan reaksi di bawah 

ini.

Dengan demikian, kadar metabolit ini dalam darah meningkat dan mengakibatkan 

suatu kompleks gejala tidak nyaman seperti 

mual, muntah-muntah, flushing, hipotensi, 

sakit kepala berat, pusing dan debar jantung 

(palpitasi). Semua ini timbul hanya dalam 

beberapa menit sesudah  seseorang minum 

alkohol. Kerjanya panjang sekali (t½ 25 jam). 

Efek sampingnya berupa rasa lelah, mengantuk, sakit kepala dan gangguan alat cerna.

Dosis: permulaan 800 mg sehari selama 2-3 

hari, kemudian 2 x seminggu 400-800 mg.

*Akamprosat (Campral) yaitu  obat kedua 

(1998) yang ternyata lebih efektif sebagai 

obat pembantu penanganan psikososial 

untuk menghindari terpuruknya kembali si 

pencandu pada kebiasaan minum alkohol. 

Obat ini khusus bagi para alkoholis yang 

sudah tidak ketagihan lagi, tetapi tidak sebagai obat untuk menghentikan. Efeknya baru 

nampak sesudah  2-3 minggu.

Efek samping yang terpenting yaitu  diare 

dan gatal-gatal, juga mual, muntah dan sakit 

perut. Akamprosat dapat dipakai  pada 

gangguan hati, sedangkan antabus tidak.

Dosis pagi 2 tablet e.c. dari 333 mg, malam 

hari 1 tablet.

PENGGOLONGAN 

DRUGS

Zat-zat dengan efek psikoaktif yang dapat 

menimbulkan ketergantungan dan/atau ketagihan pada umumnya dikelompokkan berdasarkan perubahan yang diakibatkannya 

terhadap fungsi SSP dan keadaan jiwa seseorang. berdasar  efek psikotropnya dapat dibedakan empat kelompok sebagai berikut.

A. Psikodepresiva

Zat-zat ini berefek menekan SSP dengan 

ketergantungan fisik dan psikis yang kuat 

sekali. Pada alkohol sangat lambat terjadinya, 

sedangkan pada heroin cepat sekali. Toleransi sering kali terjadi. Gejala penarikan umumnya hebat.

1. Opioida: opium, morfin, heroin, metadon, 

petidin dan dekstromoramida

Zat-zat ini memiliki khasiat analgetik kuat 

(lihat Bab 20, Analgetika Perifer), memberikan 

perasaan nyaman dan suatu perasaan khayal 

yang bebas dari kesulitan maupun frustrasi 

yang mencekam pikiran. Perasaan eufori 

demikian lebih nyata pada keadaan jiwa yang 

tertekan, cemas dan tegang, sehingga mudah 

sekali berkembangnya suatu ketergantungan 

psikis terhadap zat-zat ini. Ketergantungan 

fisik maupun silang juga timbul pada morfin, 

heroin, kodein dan senyawa opioida sintetik 

maupun semi-sintetik seperti metadon dan 

petidin.

sesudah  pemakaian  kronis, penghentian 

dengan mendadak dapat menimbulkan suatu sindrom abstinensi hebat yang terdiri dari ketakutan, ketegangan, tidak bisa tidur, 

menggigil, diare dan perasaan sakit yang 

hebat. Dalam keadaan demikian, penderita berusaha dengan segala daya upaya, kadangkala secara kriminal, untuk memperoleh

zat yang dianggap dapat menghilangkan 

penderitaannya.

Khasiatnya. Opioida berkhasiat analgetik, 

mengurangi perasaan nyeri, sifat agresi dan 

hasrat seksual. Zat ini juga menimbulkan 

depresi pernapasan, miosis, bradycardia, 

turunnya tensi, obstipasi, perasaan pusing

dan turunnya suhu badan. Timbulnya perasaan nyaman (eufori) kadang-kadang disebabkan oleh karena hilangnya perasaan 

sakit yang hebat. Gejala withdrawal/abstinensi

pada umumnya yaitu  kebalikan dari 

efek obat, seperti meningkatnya kewaspadaan, pernapasan yang cepat di samping 

berkeringat, meningkatnya denyut jantung, 

gemetar, pupil melebar, diare dan demam. 

Gejala ini sudah dapat timbul 4 sampai 6 jam 

sesudah  penghentian pemberian narkotika 

dan mencapai puncaknya dalam 27-36 

jam. Sifat dan kehebatan gejala abstinensi 

ini tergantung dari banyak faktor, seperti 

jenis drug, dosis per hari, jangka waktu 

pemakaian  dan status kesehatan pencandu. 

Karena narkotika dikeluarkan dari tubuh 

dengan kecepatan yang berbeda-beda, gejala 

withdrawalnya ju-ga berbeda bagi setiap 

obat. 

pemakaian . Opioida dipakai  dalam 

ilmu pengobatan sebagai obat-obat penghalang nyeri yang kuat, lihat Bab 22, Analgetika 

Narkotika. Heroin, yang yaitu  obat 

ilegal, yaitu  narkotikum yang terkuat. Penggunaan secara injeksi i.v. dari suatu opioid 

(misalnya heroin) menghasilkan perasaan 

hangat pada kulit dan sensasi seksual. Perasaan ini berlangsung ±45 detik dan disebut 

‘rush‘, ‘kick‘ atau ‘thrill‘. Sama dengan kokain, 

heroin oleh pencandu juga dipakai  melalui inhalasi uapnya sesudah  dipanaskan, 

yang yaitu  cara yang paling banyak 

dipakai  di negeri Belanda.

Toleransi timbul sesudah  suatu jangka waktu 

tertentu yang tergantung dari pola penggunaannya, yaitu cara intermitten atau terus 

menerus. sesudah  pengobatan withdrawal, 

sebagian besar dari toleransi ini hilang. Segera 

sesudah  menyelesaikan terapi withdrawal banyak pencandu kembali menggunakan drug 

dengan dosis semula, sehingga mengalami 

overdosis yang fatal. 

Antidotum terhadap keracunan yaitu  pemberian nalokson sebagai injeksi intravena 

(0.8-2 mg) yang perlu diulang beberapa kali, 

karena daya kerjanya yang singkat. 

Dengan meningkatnya overdosis fatal, sebagai penanganan baku (standard treatment) 

sekarang tersedia injeksi nalokson hidroklorida melalui auto-injector (Evzio) yang pada 

keadaan darurat dapat diberikan secara 

s.k. atau i.m. untuk opioid overdosis yang 

ditandai dengan menurunnya fungsi pernapasan atau heart rate atau hilangnya kesadaran.

FDA News Release April 2014

Pencandu opiat memiliki derajat mortalitas 

relatif tinggi yang disebabkan oleh antara lain 

mudahnya overdosis karena kekhilafan dan 

juga cenderung terinfeksi parah akibat jarum 

suntik yang dipakai  bersamaan, a.l. AIDS, 

TBC dan endokarditis. Infeksi lain seperti 

tetanus, malaria, hepatitis B dan C juga dapat 

timbul.

2. Depresiva SSP umum: senyawa benzodiazepin, barbital dan mepobramat.

Obat-obat ini juga dapat menimbulkan 

ketergantungan psikis maupun fisik. Taraf 

ketergantungan dan toleransinya berbedabeda, karena masing-masing memiliki mekanisme kerja sendiri. Pada umumnya ketergantungan sudah dapat timbul sesudah  2 

minggu pemakaian  kontinu. Gejala withdrawal serius terutama timbul pada barbiturat, lebih ringan pada benzodiazepin. Insidensi penyalahgunaan senyawa barbiturat, 

benzodiazepin dan sejenisnya melampaui 

opioida. Lihat Bab 24, Sedativa dan Hipnotika. 

* Benzodiazepin termasuk kelompok obat 

yang paling banyak dipreskripsikan di dunia Barat sebagai tranquilizer dan anksiolitik, dengan efek menghalau kecemasan, frustrasi, ketegangan dan stress yang banyak 

ada  dalam masyarakat maju. Zat seperti klordiazepoksida memiliki efek euforia 

minimal, lambat kerjanya dan pada umumnya tidak disalahgunakan. Sebaliknya, derivat-derivat yang bersifat lebih lipofil, seperti 

diazepam, alprazolam dan lorazepam, yang juga 

lebih cepat bekerjanya, sering kali dipakai 

untuk tujuan non-medikal. Populer di kalangan tertentu yaitu  hipnoticum flunitrazepam 

(Rohypnol) berkat efeknya terhadap SSP 

dan temazepam bagi pencandu opiat dengan 

tujuan mengurangi gejala withdrawal.

Ketergantungan fisik, psikis dan toleransi 

dapat terjadi bila dipakai  lebih lama dari 

2-4 minggu. Sindrom abstinensi terutama 

dapat timbul pada zat-zat dengan masa 

paruh singkat yang dipakai  dalam dosis 

tinggi. Juga bila pemakaian nya dihentikan 

secara mendadak. 

Di tahun 1970-an dan 1980-an, sedativa 

non-barbiturat telah banyak disalahgunakan, 

seperti meprobamat, glutetimida dan metakualon, 

begitu pula paraldehida dan kloralhidrat. 

B. Psikostimulansia

Ketergantungan fisik tidak begitu kuat, sedangkan ketergantungan psikis bervariasi 

dari lemah (kofein) sampai sangat kuat 

(amfetamin, kokain). Toleransi dapat terjadi, 

misalnya pada amfetamin. Selain amfetamin 

dan kokain, juga nikotin dan kofein termasuk 

kelompok ini.

*Senyawa amfetamin: amfetamin, metamfetamin (“speed”), MTA dan ecstasy (XTC).

Pada waktu perang dunia ke-II, senyawa ini 

banyak dipakai  untuk efek stimulansnya, 

antara lain meningkatkan daya tahan 

prajurit dan penerbang, menghilangkan rasa 

letih, menghilangkan rasa kantuk maupun 

lapar dan meningkatkan kewaspadaan dan 

akti-vitas. Lihat juga Bab 31, Adrenergika. Di 

samping ini, berdasar  efek simpatomimetik periferalnya zat ini juga meningkatkan 

tekanan darah dan denyut jantung, yang 

dapat mengakibatkan stroke maupun 

serang-an jantung. Zat ini juga berefek 

melepaskan dopamin dan norepinefrin dari 

ujung-ujung saraf, yang menyebabkan efekefek tersebut di atas. Kokain memblokir 

penarikan kemba-li dopamin ke ujungujung saraf, sehingga memberikan efek sama 

seperti amfetamin.

Seusai perang zat-zat ini yang juga disebut 

„pep-pills“, sering kali disalahgunakan oleh 

a.l. mahasiswa dan pengemudi mobil truk 

untuk memberikan perasaan euforia serta 

menghilangkan rasa kantuk dan letih. Juga di 

kalangan atlet sering kali dipakai  sebagai 

“doping“ untuk meningkatkan prestasi yang 

melampaui kemampuan normalnya. Keadaan ini tidak wajar dan berbahaya karena 

perasaan letih yaitu  suatu peringatan, suatu pertanda, telah tercapainya batas maksimal kemampuan seseorang. Paksaan untuk 

berprestasi melebihi batas ini dapat mengakibatkan keadaan “exhaustion“, yang membahayakan kesehatan. Lihat Bab 43, Hormonhormon pria, Doping.

Overdosis dapat menimbulkan kekacauan 

pikiran, delirium, halusinasi, perilaku 

ganas dan juga aritmia jantung, yang dapat 

yaitu  masalah serius. Untuk mengatasi gejala ini dipakai  sedativa, misalnya 

diazepam. 

Ketergantungan psikis maupun fisik dan 

toleransi dapat terjadi dengan cepat pada 

pengguna kronis. Bila pemakaian  dihentikan dengan mendadak, timbul gejala withdrawal, seperti perasaan letih dan mengantuk 

yang berlangsung sampai 2-3 hari. Mereka 

yang semula menggunakan zat ini sewaktu 

mengalami depresi, sesudah  menghentikan 

pemakaian akan menjadi lebih parah depresinya sampai menjurus ke percobaan 

bunuh diri. Oleh karena itu pengguna kronis harus dirawat di rumah sakit untuk 

menghentikan pemakaian  zat-zat ini. 

C. Zat-zat halusinogen

Termasuk kelompok ini yaitu  LSD, kanabis 

(THC), ecstacy, peyote (meskalin), psilosibin (dalam jamur), fensiklidin, ketamin dan DOM 

(dimetoksimethylamphetamin) (STEP, 2,5-dimetoksi-4-amfetamin). Zat-zat ini yang juga dinamakan psikedelika, bekerja halusinogen 

(kuat) dengan risiko besar akan ketergantungan psikis, sedangkan ketergantungan 

fisik lazimnya ringan sekali. Toleransi dapat 

terjadi tetapi penghentian pemakaian nya 

tidak menyebabkan gejala abstinensi. Zatzat ini menyebabkan distorsi penglihatan 

dan pendengaran, antara lain mampu menimbulkan efek khayalan, seperti halusinasi 

dan penglihatan warna-warni (meskalin), juga mengakibatkan ketegangan dan depresi. Perlu diperhatikan bahwa senyawa am-

fetamin (XTC, dan lain-lain) juga dapat 

menimbulkan halusinasi.

Salah satu kekhususan zat-zat dari kelompok ini yaitu  pengaruhnya terhadap 

akal budi (ratio), dengan menghilangkan 

daya seleksi dan kemampuan mengoordinasi 

persepsi dan rangsangan dunia luar. Dengan 

demikian timbul perasaan seolah-olah daya 

penampungan psikis lebih luas (“widening 

of the mind”) dan daya asosiasi menjadi 

lebih cepat. Pemakai tergantung sekali pada 

lingkungan dan keadaan jiwa saat sebelum 

menggunakan suatu halusinogen, maka efeknya bisa yaitu  suatu keadaan euforia 

(“high”) atau justru kemurungan (depresi). 

Dalam dosis lebih tinggi dapat mengakibatkan 

perasaan ketakutan, kebingungan dan panik, 

yang biasanya disebut “bad trip” atau “flip”. 

Senyawa dari satu kelompok memiliki banyak kesamaan dalam daya kerjanya, walaupun juga ada perbedaan. Biasanya obat-obat 

ini jarang dipakai  sebagai drug tunggal, 

misalnya pencandu opioida pada umumnya 

juga yaitu  perokok berat dan pengguna 

alkohol, kanabis, sedativa, stimulansia serta 

kokain. 

D. Inhalansia

Inhalansia sebetulnya termasuk kelompok 

psikodepresiva, karena menekan fungsi otak 

dengan kuat (brain depressants). Zat ini banyak ada  sebagai zat pelarut/minyak 

yang mudah menguap, pada bahan pembersih keperluan rumah tangga seperti perekat, aerosol (hair spray, deodorant spray, 

penyegar udara), nailpolish remover (thinner) 

dan bahan pembersih (dry cleaning fluid). 

Praktik menginhalasi uap pelarut organik 

ini, terutama oleh para remaja, yaitu  

masalah umum. Yang banyak disalahgunakan 

yaitu  cairan pelarut seperti toluen dalam 

perekat (“glue sniffing”), etilasetat, aseton, 

amilnitrit, metiletilketon dan ksilen, begitu 

pula gas “tertawa”, butan, propan dan fluorokarbon. Ciri-ciri pencandu inhalansia 

yaitu  antara lain luka-luka atau peradangan di sekitar hidung dan mulut.

Intoksikasi timbul cepat dengan gejala pusing-pusing, perasaan bingung, bicara tidak 

lancar dan berdiri maupun berjalan limbung. 

Kematian dapat terjadi akibat gangguan 

jantung (aritmia) atau akibat tertekannya 

pernapasan (engap), karena penyaluran oksigen ke peredaran darah dihambat akibat 

sel paru-paru tertutup oleh uap pelarut. Penyalahgunaan kronis dapat merusak otak, 

jantung, ginjal, hati, paru dan sumsum tulang 

dengan mengganggu pembentukan sel darah 

merah (anemia).

MONOGRAFI

A. PSIKODEPRESIVA

1. Morfin

Morfin yaitu  alkaloid terpenting yang 

ada  dalam candu, yaitu getah yang 

dikeringkan dari tumbuhan Papaver somniferum. Sebagai zat psikotrop, morfin memiliki 

tiga kelompok khasiat penting, yaitu:

– menekan SSP: analgetik, hipnotik, supresi 

pernapasan dan kadangkala menimbulkan euforia

– menstimulasi SSP: miosis, mual, muntah, 

eksitasi dan konvulsi

– efek perifer : obstipasi dan retensi urin

Di permulaan abad ke-20 candu lazim 

dipakai  sebagai drug di banyak negara 

Asia, terutama Cina dan negara sekitarnya. 

Di jaman Nederlands Indië, pemerintah kolonial telah mengesahkan penjualan opium 

berdasar  pertimbangan ekonomi dan 

pencandu opium kurang lebih dilegalisasikan. Sekarang ini para pencandu lebih 

menyukai heroin karena efeknya lebih 

kuat. Lihat selanjutnya Bab 22, Analgetika 

narkotika. 

*Heroin (diasetilmorfin, diamorfin) yaitu  derivat semi-sintetik dengan khasiat sentral 2 kali 

lebih kuat. Resorpsinya dari usus dan selaput 

lendir baik. Dalam darah heroin dideasetilasi 

menjadi 6-monoasetilmorfin (yang juga farmakologik aktif) dan lalu menjadi morfin. Kedua 

metabolit ini melintasi barrier darah-liquor 

dengan cepat. Adiksi dapat timbul cepat 

sekali, sehingga tidak dipakai  lagi dalam 

terapi.

Kombinasi dari heroin dan kokain disebut 

“speedball” di antara pencandu.

Substitusi dengan obat oral yang memiliki 

daya kerja panjang, seperti metadon atau 

buprenorfin, mengurangi efek heroin yang 

dahsyat dan dapat yaitu  cara proses 

detoksifikasi. Cara ini dapat juga dilakukan 

dengan pemberian lofeksidin, suatu agonis-α2

pusat yang dapat menekan beberapa gejala 

withdrawal, terutama mual, muntah dan 

diare.

2. Flunitrazepam: Rohypnol

Derivat fluor/metil ini dari kelompok benzodiazepin berkhasiat hipnotik sangat kuat

(1974). Mulai kerjanya cepat, dalam 30 menit. 

Toleransi dapat terjadi sesudah  dipakai  

lebih dari 2-3 minggu. Masa paruhnya panjang (19 jam), distribusi dan ekskresinya 

cepat. Pada dosis lebih dari 2 mg sering kali 

timbul hilang ingatan pada hal-hal yang baru 

terjadi (amnesia anterograde) dan adakalanya 

dipakai  sebagai anestetik premedikasi 

pembedahan. Sangat diminati oleh pencandu 

narkotika, walaupun keracunan serius dapat 

timbul bila dikombinasi dengan alkohol atau 

obat penekan SSP lainnya. Lihat juga Bab 24. 

Sedativa dan Hipnotika, benzodiazepin.

3. Alkohol: etilalkohol, etanol

Etanol bersifat bakterisid, fungisid dan

virusid, yang banyak dipakai  untuk desinfeksi kulit dan sebagai zat pembantu 

dalam farmasi, lihat Bab 15. Desinfektansia. 

Pada pemakaian  oral, etanol memengaruhi SSP, yaitu semula merangsang untuk 

kemudian menekan fungsi otak, juga menyebabkan vasodilatasi (muka menjadi merah dan perasaan panas). Efek vasodilatasi 

ini dapat memperkuat khasiat hipotensif dari 

obat hipertensi. Bila diminum pada perut 

kosong, etanol menstimulasi produksi getah 

lambung (tonikum, aperitif, sherry). 

Efek atas psike. Minum sedikit alkohol merangsang semangat, semua hambatan terlepas dan peminum mulai berbicara banyak, 

karena fungsi inhibisi dari otak telah 

dibius. Daya reaksi berkurang, pergerakan 

menjadi kurang terkendali. Bila minum 

terlampau cepat dan banyak, hati tidak dapat 

mengolahnya lagi (lihat kinetik) dan orang 

menjadi mabuk sampai pingsan. Overdosis 

dapat langsung mematikan. pemakaian  alkohol dalam jumlah banyak secara teratur 

mengakibatkan hati “berlemak”, fungsinya 

terganggu dan akhirnya sel-selnya mengeras 

(cirrhosis). Organ-organ lain dapat dirusak, 

terutama pankreas dan otak. Minum banyak 

alkohol juga menyebabkan orang menjadi 

gemuk, karena 1 g menghasilkan 7 kcal (= 30 

kJ).

Kadar alkohol darah (KAD) tinggi mengakibatkan berkurangnya daya prestasi, daya kritik dan efisiensi, juga mabuk. Efek ini 

tergantung dari jumlah cairan tubuh. Oleh 

karena itu, orang gemuk lebih tahan terhadap efek buruk alkohol daripada yang 

kurus. Begitupula KAD pada pria naik lebih 

lambat daripada pada wanita, karena volume 

darahnya lebih besar (masing-masing ±5 dan 

4,5 liter). Pada KAD tinggi terjadi letargi, 

amnesia, supresi medulla dan pernapasan, 

hipothermi, hipoglikemia (pada anak-anak), 

stupor dan koma. 

Perasaan sakit dan pikiran keruh sesudah  

minum alkohol (hang-over, kater) mungkin 

dapat dihindari dan diatasi dengan a.l. vitamin-B kompleks.

Adiksi. pemakaian  dalam jangka waktu 

lama meningkatkan kapasitas tubuh untuk 

metabolisasi alkohol (toleransi). Kemampuan 

ini menurun kembali sesudah  abstinensi selama beberapa minggu. Mereka yang toleran 

terhadap alkohol, juga menunjukkan toleransi silang untuk berbagai obat lain, misalnya 

untuk anestetika umum dan sedativa-hipnotika, termasuk benzodiazepin. Alkohol menimbulkan ketergantungan fisik maupun 

psikis, juga adiksi, yang menurut perkiraan 

disebabkan karena alkohol mencetuskan pelepasan dopamin dan memengaruhi neurotransmitter lain.

Toleransi silang untuk depresiva SSP lain 

juga terjadi, seperti untuk barbital dan benzodiazepin, sehingga diperlukan dosis yang 

lebih tinggi untuk mencapai efek terapeutik 

yang diinginkan.

Gejala penarikan berupa gemetar, mual, malaise, hiperaktivitas dan sukar tidur.

Juga mengakibatkan “hangover”, serangan 

epileptik (epileptic fits) sampai suatu keadaan 

yang disebut “delirium tremens”, pada mana penderita menjadi sangat terangsang (agitated), bingung dengan gangguan kesadaran 

dan halusinasi visual dan akustik, serta 

desorientasi. Untuk mengatasi kejang-kejang 

dapat antara lain dipakai  diazepam.

Mengonsumsi minuman beralkohol, seperti bir, anggur, sherry dan whisky, sudah 

termasuk pada pola hidup dan pergaulan 

sosial, sehingga sudah diterima umum. Bahkan adakalanya dianggap sebagai meningkatan gengsi (status) seseorang. Dengan demikian timbulnya ketagihan biasanya secara 

tak terasa. Alkohol (dan juga nikotin) merupakan zat-zat psikoaktif yang penyalahgunaannya mengakibatkan morbiditas dan 

mortalitas yang cukup tinggi, terutama di 

negara Barat.

Bertambah banyaknya kasus ketagihan 

alkohol (alkoholisme) di banyak negara 

Barat yaitu  suatu masalah yang meresahkan, karena insidensinya jauh lebih besar 

daripada kasus kecanduan drugs. Alkoholisme merusak banyak jenjang karier pencandu beserta keluarganya, karena menyebabkan kesengsaraan yang luar biasa. Di 

banyak negara ada  klinik-klinik (Alcohol 

Anonymous) untuk mengobati penderita ketagihan alkohol, yang sering kali dibiayai 

oleh pemerintah. Oleh IOC (Komite Olimpik 

Internasional) alkohol dimasukkan dalam 

daftar zat-zat doping yang hanya dapat diminum dengan restriksi ketat. 

Kinetik. Etanol diserap dengan cepat dari 

usus halus ke dalam darah untuk kemudian 

disebarkan melalui cairan tubuh. Kadarnya 

dalam darah meningkat dengan cepat, karena 

absorpsinya lebih cepat daripada penguraian 

dan ekskresinya dari tubuh. Makanan dalam 

lambung, terutama protein dan lemak, memperlambat resorpsinya sehingga minum alkohol pada lambung kosong memberikan 

efek (samping) lebih cepat dan kuat dari pada sesudah makan. Dalam hati sebagian besar zat ini diuraikan oleh alkoholdehidrogenase menjadi asetaldehida, yang bertanggungjawab atas efek samping yang tidak 

nyaman. Kemudian aldehida dirombak menjadi asam asetat, yang dikembalikan lagi ke 

cairan tubuh, di mana perombakan diakhiri 

sampai karbondioksida dan air. Untuk persamaan reaksinya, lihat di atas pada disulfiram.

Waktu rata-rata untuk metabolisme ini 

yaitu  1-1,5 jam bagi satu gelas minuman 

beralkohol (bir, anggur, sherry, arak) dengan 

± 10 g etanol. Hanya sebagian kecil etanol 

yang diekskresikan dalam bentuk utuh melalui urin, keringat dan pernapasan. 

*Defisiensi dehidrogenase. Banyak orang Asia 

dan Afrika memiliki kekurangan enzim 

aldehid-dehidrogenase, sehingga perombakan 

asetaldehida tidak bisa berlangsung dengan 

sempurna. Penumpukan zat toksik ini dapat 

menimbulkan efek seperti muka merah, sakit 

kepala hebat, mual, muntah-muntah, rasa 

haus, sesak napas, tachycardia dan berkeringat. Efek ini yang juga disebut efek disulfiram, yaitu  penyebab mengapa 

mereka tidak suka minuman beralkohol.

Efek samping. pemakaian  lama dalam 

jumlah berlebihan merusak banyak organ 

tubuh, terutama hati, otak dan jantung. 

Etanol dapat menimbulkan gastritis dan 

perdarahan lambung (terutama bila sekaligus menggunakan obat-obat salisilat dan 

NSAID). Kerusakan pada hati berakhir dengan matinya sel-sel dan pengerasan (cirrhosis), sehingga kemampuan organ ini untuk 

menghalau zat-zat toksik menurun dan menyebabkan koma hepatik fatal. Alkohol juga 

bersifat neurotoksik: alkoholisme kronis dengan kerusakan otak mengakibatkan sindrom 

Korsakoff (suatu gangguan neuropsikiatrik 

yang gejalanya mirip demensia Alzheimer) dan 

ensefalopati Wernicke. Gejalanya diperkuat 

oleh defisiensi tiamin (vitamin B1

). 

*Kehamilan dan laktasi. Alkohol juga bersifat 

teratogen dan pemakaian nya dalam jumlah 

besar selama kehamilan dapat menyebabkan 

kelainan kongenital (alkoholsindrom fetal). Dosis kecil pun dapat menimbulkan abortus 

dan gangguan psikis maupun terhambatnya 

perkembangan bayi yang dilahirkan. Alkohol 

masuk ke dalam air susu ibu. Oleh karena itu 

mengonsumsi minuman beralkohol secara 

insidentil juga tidak dianjurkan sekitar pembuahan dan selama kehamilan dan laktasi. 

Interaksi. Alkohol memperkuat efek obat-obat 

berikut: 

* vasodilatansia seperti nitrat dan nitrit, 

serta efek antihipertensi dari metildopa 

dan guanetidin

* antidiabetika oral; pada biguanida risiko 

acidosis laktat meningkat

* obat-obat yang menekan SSP, risiko bunuh diri meningkat

Efek alkohol dikurangi akibat induksi enzim

oleh doksisiklin, fenitoin dan kumarin.

Efek alkohol diperkuat oleh simetidin, akibat 

terhambatnya perombakan alkohol dalam 

hati dan/atau peningkatan absorpsinya di 

usus.

* Efek buruk. Selain itu alkohol menimbulkan 

efek buruk terhadap obat-obat berikut ini:

– asetosal dan NSAID: risiko perdarahan 

lambung meningkat

– parasetamol dan MTX: toksisitasnya terhadap hati meningkat

– menimbulkan efek disufiram bila dikombinasi dengan tolbutamida, sefalosporin, 

griseofulvin, ketokonazol, metronidazol, 

tinidazol dan prokarbazin, lihat di bawah.

* Efek baik. Penyelidikan pada dasawarsa 

terakhir menunjukkan, bahwa minum alkohol secara moderat sehari (2-3 gelas anggur, 

sherry dan sebagainya) memberikan perlindungan preventif terhadap penyakit jantung dan pembuluh (PJP). Efek baik ini 

mungkin berkaitan dengan efek meningkatkan HDL-kolesterol dan/atau ada nya banyak antioksidansia (flavonoida) dalam 

anggur merah. 

Peminum berat berisiko lebih tinggi mengidap kanker hati dan usus besar, juga PJP 

(hipertensi, aritmia, perdarahan otak dan 

kelemahan otot jantung (myocard).

B. PSIKOSTIMULANSIA

4. d-Amfetamin: Dexedrin

Obat-obat dari kelompok amfetamin terutama memicu pelepasan noradrenalin dan 

menghambat re-uptakenya. Akibatnya antara 

lain peningkatan frekuensi jantung dan 

tekanan darah. Euforia terutama disebabkan 

oleh meningkatnya dopamin bebas yang 

disusul dengan perasaan lelah serta depresi 

dan dapat berlangsung berminggu-minggu.

Peningkatan DA juga bertanggung jawab atas 

gejala ketagihan dan perubahan perilaku. 

Masa paruh amfetamin dan metilamfetamin

(“speed”) masing-masing 10 dan 5 jam. Ketergantungan lebih bersifat psikologis daripada 

fisiologis.

Party-drugMTA(4-methylthioamfetamin, 

“flatliner”) telah dipasarkan (1997) sebagai 

drug antidepresi dan pep-pill. MTA berbahaya dan telah mengakibatkan sejumlah 

kematian di Inggris, mungkin akibat 

dikombinasi de-ngan alkohol atau XTC. Lihat 

selanjutnya Bab 31. Adrenergika, Amfetamin.

5. Kokain: ”crack”, “snow”, “gold dust”

Alkaloid ini dikandung daun pohon Erythroxylon coca (lihat juga Bab 26, Anestetika 

Lokal) dan terutama ada  pada lereng 

gunung di Bolivia dan Peru. Kedua negara 

ini dianggap sebagai penghasil kokain dalam 

bentuk pasta koka mentah terbesar di seluruh 

dunia, sedangkan negara tetangganya Kolumbia, dengan “jungle labs”-nya, memurnikan pasta ini menjadi serbuk kokain murni. 

Equador dan Brasil mengkultivasi tanaman 

sejenis tumbuhan koka, yang dinamakan 

epadu dan mengandung 40% lebih sedikit 

alkaloid aktif daripada varietas koka yang 

biasa dikultivasi di pegunungan Andes. Dengan demikian usaha kokain ini menjerat 

praktis tiap negara Amerika Selatan.

Dalam dunia drugs kokain diberi pelbagai 

nama (“cake“, “snow“, “gold dust, “lady“) dan 

dijual dalam bentuk serbuk yang bervariasi 

dalam kemurniannya. Sering kali zat ini dipalsu melalui “pengenceran“ dengan prokain. 

Serbuk kokain biasanya dipakai  dengan 

cara menyedotnya melalui lubang hidung 

(“sniffing”, intranasal), tetapi sering kali diinjeksikan melalui vena. pemakaian nya 

melalui lubang hidung dapat menyebabkan 

komplikasi lokal di hidung (perforasi septum 

hidung) maupun sistemik pada praktis semua organ.

Daya kerja faali. Berlainan dengan opium, 

morfin dan heroin yang memiliki sifat menenangkan terhadap jasmani dan rohani, 

kokain betul-betul yaitu  suatu obat 

perangsang, sama dengan psikostimulansia 

golongan amfetamin, tetapi jauh lebih kuat. 

Zat ini memacu jantung (bahaya serangan 

jantung), meningkatkan tekanan darah dan

suhu badan, juga menghambat perasaan 

lapar dan menurunkan perasaan letih serta

kebutuhan tidur. Sifat-sifat inilah yang merupakan dasar bagi kebiasaan rakyat Indian 

miskin di Amerika Selatan untuk mengunyah 

daun Coca. 

Mekanisme kerjanya masih belum jelas, 

mungkin berdasar  perintangan re-uptake neurotransmitter noradrenalin di ujung 

neuron, yang memelihara penyaluran impuls dari SSP di otak. Dalam larutan dengan 

kadar rendah, kokain menghambat penyaluran ini, sehingga dipakai  untuk anestesi 

lokal. Lihat juga Bab 26, Anestetika Lokal. 

Sebaliknya, dalam konsentrasi tinggi, kokain merangsang penyaluran impuls listrik. 

Teori baru menyimpulkan bahwa dopamin

bertanggung jawab bagi banyak efek kokain, 

termasuk khasiat stimulasi dan perasaan 

nyamannya. Kokain memelihara kadar DA 

tinggi di ujung-ujung saraf dengan merintangi zat-zat transpor yang berfungsi mengangkut kembali dopamin ke sel-sel produksinya. Sebaliknya, amfetamin menstimulasi 

produksi dan pelepasan dopamin di sel-sel 

ujung saraf tertentu.

Efeknya sebagai drug. Sifat-sifat yang didambakan oleh pecandu yaitu  kemampuannya untuk meningkatkan suasana jiwa dan

kewaspadaan yang tinggi serta perasaan percaya 

diri akan kapasitas mental dan fisik. Dalam dosis kecil kokain yang dihisap melalui lubang 

hidung menimbulkan eufori, tetapi segera 

disusul oleh depresi berat, yang menimbulkan keinginan untuk memperbesar lagi 

dosisnya. Dengan demikian timbullah suatu 

ketergantungan psikis yang kuat, toleransi untuk efek pusat, tetapi untuk efek SSP lainnya 

justru timbul sensitasi. Pada umumnya kokain diperkirakan tidak menimbulkan ketergantungan fisik, toleransi atau sindrom penarikan. Perkiraan bahwa kokain dapat menimbulkan rangsangan seksual tidak pernah 

terbukti. Malah sebaliknya, kokain dapat 

menyebabkan kegagalan seksual dan impotensi.

“Crack“. Akhir-akhir ini di Amerika dibuat 

pula sejenis kokain (“crack“) yang yaitu  

alkaloid basa bebas yang lebih mudah menguap 

dan diperoleh dengan memasak garam HClnya dengan natriumbikarbonat. Berlainan 

dengan kokain (-HCl) yang disedot melalu 

lubang hidung, crack dihisap seperti rokok yang 

diabsorpsi dengan cepat dan efisien dari 

paru. Dalam waktu hanya beberapa detik 

sesudah  inhalasi, zat ini sudah memengaruhi 

otak dan menghasilkan efek psikotropiknya 

(euforia) untuk waktu yang singkat (“rush”) 

dan segera disusul dengan halusinasi serta 

keinginan kuat sekali untuk menghisapnya 

lagi. “Crack“ mampu membuat seseorang 

menjadi pencandu hanya dalam waktu 

beberapa minggu.

Dahulu kokain hanya dipakai  di kalangan orang berada sebagai suatu status symbol dan membutuhkan waktu kurang lebih 

12 tahun untuk mempenetrasi ke semua 

lapisan penduduk. Sebaliknya, “crack“ membutuhkan waktu hanya 1 tahun untuk mencapai keadaan demikian. 

Efek buruk yang dapat timbul pada penggunaan kokain dapat berupa sembelit, perasaan sangat gugup, kerusakan pada urat 

saraf, konvulsi, halusinasi, tidak bisa tidur 

dan perilaku ganas. Pada dosis tinggi timbul perasaan ketakutan yang sangat kuat, 

destruksi dari selaput lendir hidung dan 

tenggorok, kehilangan berat badan sampai 

ambruknya jasmaniah total. Pada penelitian 

terhadap hewan, ternyata kokain pada akhirnya mematikan sel-sel otak tertentu dan mengganggu fungsi neuron di otak. Overdosis 

dapat menimbulkan kematian karena antara lain infark jantung dan aritmia. Kokain

dan metabolitnya bekerja vasokonstriktif 

terhadap arteri otak, di samping meningkatkan agregasi trombosit. Mekanisme ini diperkirakan berperan dalam timbulnya stroke.28,29

Kehamilan. Ibu-ibu pencandu narkoba te