obat 44





 atau antikolinergika 

(ipratropium) sebagai bronchodilator untuk mengurangi obstruksi bronchi.

d. Asma serius (serangan > 3 x seminggu)

Walaupun pemakaian  ICS dalam dosis 

cukup tinggi, namun  pada malam hari 

masih timbul sesak napas (dyspnoe). Dalam hal ini dapat diberikan β2

-mimetikum kerja-panjang sebagai inhalasi (salmeterol, formoterol). Bila perlu obat ini 

dapat dikombinasi dengan teofilin dalam 

bentuk slow-release.

* Inhalasi yaitu  suatu cara pemakaian  

adrenergika dan kortikosteroida yang memberikan beberapa keuntungan dibandingkan 

pengobatan per oral. Pemberian obat melalui inhalasi merupakan cara terpilih bagi 

kebanyakan obat yang memerlukan efek 

langsung pada saluran pernapasan, khususnya pada penderita asma dan COPD 

(Berger, 2009)42‘ Untuk ini kehalusan partikel 

merupakan hal yang sangat penting.

Efeknya lebih cepat, dosisnya jauh lebih 

rendah dan tidak diresorpsi ke dalam darah 

sehingga risiko efek samping sistemiknya 

ringan sekali. Ada beberapa cara untuk memberikan obat sebagai inhalasi, antara lain 

(Virchow et al., 2008)43:

a. Metered Dose Inhaler: obat disemprotkan 

dari suatu wadah di bawah tekanan suatu propellant yang ozon-friendly (hidrofluoroalkan, HFA).

b. Dry Powder Inhaler (Turbuhaler): obat dihisap sebagai serbuk halus.

c. Nebulizer: obat dihisap sebagai aerosol.

Inhalasi dilakukan 3-4 kali sehari 2 semprotan (puffs), sebaiknya pada saat-saat tertentu, seperti sebelum atau sesudah mengeluarkan tenaga, sesudah  bersentuhan dengan 

zat-zat yang merangsang (asap rokok, kabut, 

alergen) dan saat sesak napas di tengah 

malam dan pagi hari (‘morning dip’).

Dianjurkan untuk pengobatan dengan 

kortikosteroida inhalasi pada anak dan dewasa dilakukan dalam waktu dini untuk 

memperbaiki fungsi paru (O’Byrne et al., 

2006)44 sebab  obat ini dapat menghindari 

akibat buruk dari peradangan kronis di 

saluran pernapasan.

2. BRONCHITIS KRONIS 

dan EMFISEMA 

COPD menempatkan urutan ketiga dari 

kematian penduduk di negeri Belanda (setelah PJP dan kanker).26 Juga secara global 

mortalitas akibat gangguan ini meningkat, 

sedangkan kematian sebab  penyakit kardiovaskuler (PJP) menurun.27 Menurunkan 

angka kematian COPD merupakan salah 

satu tujuan dari “Global initiative for chronic 

obstructive lung disease” (GOLD), suatu organisasi dari WHO dan US National Heart, 

Lung and Blood Institute. Petunjuk-petunjuk 

dalam GOLD ini dapat dipakai  untuk 

klasifikasi parahnya COPD.

Penyebab

Juga bergejala inflamasi dari saluran pernapasan namun  dengan corak yang berlainan 

dari asma.

Kelanjutan dari peradangan memicu  

penyempitan dari saluran udara dan timbulnya fibrosis dan destruksi dari parenkim 

paru-paru (emfisema). Akibatnya yaitu  sesak napas pada waktu menjalani kegiatan 

fisik dan sewaktu berolahraga, yang merupakan gejala khas dari COPD.

Pengobatan utama dari COPD yaitu  

bronchodilator yang berfungsi melegakan 

saluran pernapasan. 

Berbeda dengan asma penyumbatan saluran udara pada COPD yaitu  progresif 

dan peradangannya pada umumnya resisten terhadap obat-obat kortikosteroid. Di 

samping gangguan alat pernapasan, kebanyakan penderita COPD juga menderita 

gangguan jantung, hipertensi dan diabetes 

(Barnes and Celli, 2009)41, menurunnya berat 

badan, depresi, osteoporosis dan anemia.

Bronchitis bercirikan batuk ‘produktif’ menahun dengan pengeluaran banyak dahak, 

tanpa sesak napas atau hanya ringan. Dalam 

kebanyakan kasus (80%) disebabkan infeksi 

akut saluran pernapasan oleh virus, yang 

mudah disuprainfeksi oleh bakteri, terutama 

Haemophilus influenzae yang sangat terkenal. 

Namun, di negara-negara dingin juga terjadi 

(supra)-infeksi dengan Str. pneumoniae (Pneumococcus) dan Branhamella catarrhalis. 

Emfisema paru (L. pengembangan) bercirikan dilatasi dan destruksi dari jaringan paruparu, yang mengakibatkan sesak napas terusmenerus dan menghebat pada waktu mengeluarkan tenaga (exertion); penderita sering 

kali merasa letih dan tidak bergairah. 

Gelembung paru (alveoli) terus mengembang 

dan rongganya membesar, sehingga dindingdindingnya yang mengandung pembuluh 

darah menjadi sangat tipis dan sebagian 

akhirnya rusak. Dengan demikian permukaan 

paru yang tersedia bagi penyerapan oksigen 

berkurang sampai di bawah 30%, sehingga 

jantung harus bekerja lebih keras untuk 

memenuhi kebutuhan akan oksigen. Tonus di 

cabang-cabang batang nadi (aorta) bertambah 

dan tekanan darah di arteriole paru-paru 

meningkat. Akhirnya pembebanan ini dapat 

memicu  hipertrofi ventrikel kanan 

jantung dan terjadilah cor pulmonale (jantung membesar).

Penyebab utama emfisema yaitu  bronchitis kronis dengan batuk bertahun-tahun 

lamanya, juga asma. Emfisema dapat dianggap sebagai fase terakhir dari asma dan 

bronchitis, yang tidak dapat disembuhkan 

lagi (irreversibel). Sebetulnya, setiap orang di 

atas usia 60 tahun kurang lebih menderita 

emfisema ringan sebagai bagian dari proses 

menua, namun  terutama pada penderita bronchitis kronis terjadi keluhan-keluhan ini  

di atas.

* Merokok.Faktor utama timbulnya COPD 

yaitu  merokok (sigaret). Rangsangan terusmenerus dari asap rokok mengakibatkan 

hipertrofi dari sel-sel pembentuk mucus di 

saluran pernapasan yang merupakan ciri 

patologis yang konsisten dari bronchitis 

kronis. Asap rokok mengandung banyak oksidan, seperti radikal bebas, NO, radikal 

hidroksil dan H2

O2

. Lekosit perokok membentuk lebih banyak oksidansia seperti superoksida-anion (O2

-

) dan H2

O2 dibanding 

dengan non-smokers. Juga mengandung zatzat perangsang enzim elastase, yang merombak serat-serat elastin dalam dinding gelembung paru, sehingga kekenyalannya menurun.

Akhirnya terjadi kelainan irreversibel dalam 

bentuk fibrosis dan destruksi dari dinding 

ini  di mana ada  pembuluh darah, 

sehingga fungsi paru terganggu secara permanen. Kebanyakan pasien bronchitis kronis dan emfisema terdiri dari pria, yang 

sering kali yaitu  perokok berat (lebih dari 

30 batang sehari). Bahkan ada hubungan 

langsung dengan jumlah sigaret yang dihisap 

seharinya. Risiko kematian akibat bronchitis 

pada perokok berat yaitu  20 kali lebih besar 

daripada orang yang tidak merokok. 

Merokok yaitu  penyebab penting dari 

kanker dan secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan timbulnya 10 jenis 

tumor dan penyebab 30% dari semua kematian sebab  kanker. Walaupun pengetahuan mengenai efek buruk dari merokok 

sudah diketahui, namun  jumlah perokok  


masih tetap besar dan sekitar lebih dari 1,3 

milyar perokok ada  di seluruh dunia.

Ref.: Guindon GE et al.; Past, current and future trends in tobacco use. Washington, The 

International Bank for Reconstruction and 

Development, 2012.

Asap rokok mengandung a.l. senyawa 

karbohidrat polisiklis aromatik yang dapat 

menginduksi enzim metabolisasi cytochrom 

P450 (CYP). Oleh sebab ini farmakokinetik 

dari berbagai jenis obat dapat dipengaruhi, 

misalnya klozapin dan propranolol (dipercepat).

* Polusi udara juga merupakan faktor pada 

terjadinya COPD. Walaupun hal ini tidak 

terlalu penting, namun  nyatanya mortalitas 

akibat COPD sangat meningkat pada saat 

timbulnya polusi berat. Di negara-negara 

Barat situasi ini terutama terjadi pada musim 

dingin (smog) saat  asap dan SO2

 (kendaraan 

bermotor) terjebak di udara

Radikal bebas. Lihat juga boks Antioksidansia di Bab 54, Dasar-dasar diet sehat.

Pada banyak proses metabolisme di dalam tubuh terbentuk radikal bebas (free radicals, FR), yaitu 

molekul-molekul yang sangat reaktif sebab  kehilangan satu elektron. Hal yang juga terjadi saat  

granulosit neutrofil meningkatkan metabolisme oksidatifnya, pada saat mana dibebaskan produk 

oksigen aktif, seperti hidrogenperoksida, oksigen singlet (O2

), anion-superoksida (O2

-

), dan radikalhidroksil (OH-

). FR ini memasuki dan “menari-nari” di dalam sel-sel tubuh sambil „mencuri“ elektron 

dari molekul lain, yang terpaksa berbuat sama. Reaksi rantai ini berlangsung terus-menerus bila tidak 

dihentikan oleh antioksidansia dan mampu merusak langsung bagian vital dari sel (DNA) atau secara 

tak langsung via peroksidasi-lipida dari membran sel. 

Antioksidansia. FR ini lazimnya diinaktifkan oleh antioksidansia alamiah kuat yang ada  dalam 

tubuh, seperti vitamin A dan E, katalase, super-oksida-dismutase (SOD) dan glutationperoksidase 

(GPx). Senyawa-senyawa ini dapat menyerahkan elektron pada FR, misalnya anion-superoksida 

pertama-tama diubah menjadi H2

O2

 untuk kemudian direduksi menjadi H2

O oleh katalase dan GPx. 

Radikal bebas juga dapat “dihirup” dari luar melalui udara, sebagai asap rokok, asap pabrik dan gas 

pembuang mobil (NO2

, SO2

). Paru-paru dilindungi terhadap FR ini oleh antioksidansia alamiah yang 

ada  di mucus dan sekret khusus dari gelembung paru. Pada proses antioksidasi ini di paru, 

khususnya suatu tripeptida glutation, berperan penting. 

Nitrogenoksida (NO) telah ditemukan di tahun 1992 sebagai radikal bebas dengan sifat 

neurotransmitter dan ternyata berperan penting pada ketahanan umum serta imunomodulasi. 

Dengan demikian senyawa ini terkait pada banyak proses peradangan. Misalnya NO berperan pada 

aterosklerosis, hipertensi, ARDS (adult respiratory distress syndrome), radang usus kronis, ALS (amyotrofe 

laterale sclerosis), rema dan penyakit auto-imun lain. Gas bermolekul kecil ini mudah melintasi 

dinding sel dan akibat elektron bebasnya bersifat radikal dan instabil dengan masa paruhnya yang 

singkat sekali (<500 msec). NO bereaksi sangat cepat dengan a.l. oksigen dan superoksida (O2

-

) dan 

membentuk metabolit, seperti nitrit (NO2

-

), nitrat (NO3

-

) dan peroxynitrit (ONOO-

). Selanjutnya NO 

juga mengaktivasi enzim guanilatsiklase. 

NO dibebaskan pada reaksi oksidasi dari asam amino arginin di bawah pengaruh enzim NO-sintetase 

sebagai berikut:

 l-arginin ––––––––––> l-citrulin + *N=O

Dalam darah NO dengan pesat mengikat pada ion-ferro dari haem (= bagian nonprotein dari hemoglobin)

atau zat-zat thiol dengan pembentukan nitrosothiol yang bersifat lebih stabil (masa paruhnya 

lebih panjang daripada NO). Senyawa ini dapat mengaktivasi guanilatsiklase yang menstimulisasi 

pengubahan GTP menjadi “second messenger” cGMP (cyclic guanil-mono-phosphate). cGMP ini berperan 

di banyak proses tubuh, a.l. di paru-paru dengan efek relaksasi langsung atas otot polos.Lihat jugaBab 

43. Zat-zat Androgen, boks Viagra. 

*NO dalam paru. NO yang berasal dari endotel berefek vasodilatasi bronchi sehingga berperan pada 

regulasi lokal dan umum dari paru-paru. Gas ini merupakan neurotransmitter utama dari sistem non-

adrenerg dan non-kolinerg yang menghambat penciutan bronchi berlebihan. NO dibentuk dalam 

jumlah besar pada sel-sel beradang, oleh sebab  itu penting pada ketahanan paru terhadap mikroorganisme dan sel-sel tumor, yang dapat dimusnahkannya. Dalam hal ini, makrofag berperan sentral, 

sebab  berdaya membentuk berlebihan NO sesudah  aktivasi oleh a.l. sitokin, seperti IFN-gamma, IL-1-

beta, atau TNF-alfa. NO dalam konsentrasi tinggi bersifat mematikan sel secara langsung. 

Peranan NO pada patologi asma yaitu  besar,namun  makna sebenarnya belum begitu jelas sebab  

efeknya dapat bertentangan. Misalnya di dalam paru NO memicu  penciutan saluran pernapasan 

akibat stimulasi peradangan, sedangkan di pihak lain merelaksasi otot polos kecil bronchi dengan efek 

dilatasi. NO juga dapat meningkatkan permeabilitas dari pembuluh kecil yang terlibat dalam proses 

peradangan asma serta berfungsi imunomodulasi, yang turut bertanggungjawab atas terjadi dan 

terpeliharanya asma. Caranya ialah dengan mengakibatkan dan memperkuat disbalans (terganggunya 

keseimbangan) antara limfo-T-helpercells (helper-1 dan helper-2). Akhirnya diperkirakan bahwa 

kadar tinggi NO menstimulasi obstruksi bronchi dan hiperreaktivitas aspesifik. 

* stres oksidatif. Masalah ini penting pada asma parah dan COPD yang dapat meningkatkan resistensi 

kortikosteroid. Bila timbul terlalu banyak FR, seperti pada perokok, maka jumlah antioksidansia faal 

tidak mencukupi lagi untuk menginaktifkannya. Epitel paru-paru dengan bulu-bulu getar akan 

dirusak, sedangkan sel-sel lendir justru bertambah banyak. Produksi lendir bertambah dengan efek 

peningkatan jumlah makrofag yang membentuk zat-zat chemotactis. Oleh sebab  itu granulosit „ditarik“ 

ke paru-paru yang bersama makrofag membentuk enzim peroksidase dan elastase dalam jumlah 

besar. Pada proses ini terbentuk pula FR yang toksik (merusak) bagi enzim-pelindung anti-elastase. 

Dengan demikian elastase „berkuasa“ dan merombak serat elastin di dinding alveoli. 

Radikal oksigen toksik ini  selain pada COPD, juga memegang peranan penting pada 

patogenesis dari berbagai penyakit, a.l. aterosklerosis, katarak dan gagal hati akut akibat intoksikasi 

parasetamol. 

Antioksidansia. Proses perusakan ini  oleh FR dapat dihambat dengan jalan memberikan 

antioksidansia tambahan dari luar (eksogen), a.l. vitamin A, vitamin E, selenium, seng dan asetilsistein.

Yang terakhir yaitu  precursor dari glutation dan berkhasiat mengurangi produksi FR yang meningkat 

oleh makrofag alveoler di bawah pengaruh asap sigaret. 

sebab  daya kerja anti-oksidan ini  di atas hanya lemah, usaha mencari anti-oksidan yang 

lebih kuat masih dalam perkembangan (Kirkham and Rahman, 2006)47.



Penanganan COPD

Tindakan umum yang dapat diambil untuk 

menghindari perusakan lebih jauh dari 

saluran pernapasan dan paru-paru yaitu  

kurang lebih sama dengan langkah-langkah 

preventif terhadap asma. Yang mutlak yaitu  

berhenti merokok, juga menjauhi zat-zat 

perangsang lainnya. 

Pengobatan. Pada terapi COPD, tujuan utama yaitu  bronchodilatasi melalui inhalasi 

β2

-mimetika atau antikolinergika untuk mengurangi obstruksi bronchi. Pada eks-perokok ipratropium lebih efektif daripada β2

-

mimetika untuk memperbaiki fungsi paruparu (Rennard, 1996). Kombinasi kedua 

jenis obat pada umumnya berefek lebih baik 

(aditif). Teofilin bila perlu dapat ditambahkan 

dan sebaiknya sebagai sediaan-retard agar 

pelepasan obat berlangsung secara teratur.

*Exacerbatio (serangan) perlu diobati secara intensif dengan bronchodilator (β2-mimetika, ipratropium) bersama kur oral kortikosteroid dengan dosis tinggi. Antibiotik 

baru dipakai  bila ada  gejala infeksi 

bakteriil dan bila kedua obat sesudah  48 jam 

tidak menghasilkan (cukup) efek.

Pada serangan akut dengan bakteri biasanya diberikan antibiotik selama minimal 10 

hari agar infeksi tidak kambuh. 

Antibiotik terpilih yang sering dipakai  

yaitu  co-amoxiclav, kotrimoksazol, sefiksim, sefradin atau sefaklor yang semuanya 

berkhasiat bakterisid. Doksisiklin bekerja 

bakteriostatik dan sebaiknya hanya diberikan 

bila daya tahan pasien masih baik, yaitu 

memiliki cukup granulosit dan limfosit. 

Bila ada  komponen asma, pemakaian  

kortikosteroida inhalasi (ICS) sangat bermanfaat untuk mengurangi HRB dan menghadapi peradangan di saluran pernapasan. 

Pada permulaan bab ini telah diungkapkan 

bahwa pemakaian  ICS pada COPD tidak 

memberikan efek terhadap fungsi paru, tetapi timbul pertanyaan apakah fungsi paru 

merupakan parameter yang cocok untuk 

mengevaluasi efek pengobatan dengan steroid, sebab  obat-obat ini juga mampu 

memperbaiki kwalitas hidup, menurunkan 

jumlah eksaserbasi dan angka kematian. 

Juga ternyata bahwa masih cukup banyak 

penderita COPD di obati dengan kortikosteroida inhalasi.28 Di samping itu dewasa ini 

mulai diterima pengertian efektivitas dari 

tambahan antioksidansia untuk melindungi 

paru-paru terhadap efek merusak dari radikal bebas. 

Peradangan dan stres oksidatif memegang 

peranan penting pada patogenesis dan progres COPD. Radikal oksigen reaktif yang 

dihirup melalui asap rokok dan radikal oksigen yang dibentuk endogen oleh sel-sel 

radang memicu  beban yang meningkat 

pada paru-paru penderita. Sel radang ini, 

pada COPD terutama makrofag, limfo-T CD8+ 

dan sel neutrofil membentuk mediator-mediator seperti interleukin-8, TNF-alfa dan LT-B4, 

yang selanjutnya menarik lagi sel radang dan 

meningkatkan lebih lanjut produksi radikal 

oksigen reaktif, lihat selanjutnya boks.

Akibatnya ialah perubahan struktural 

pada sel-sel paru, seperti kontraksi jaringan 

otot polos, aktivasi mastcells, bertambahnya 

permeabilitas epitel alveoli dan pelarutan 

sel (lysis) yang akhirnya merusak sel secara 

irreversibel.

Selain itu, stres oksidatif menurunkan daya tahan imunologik di paru, yang meningkatkan risiko akan infeksi dan pemburukan 

fungsi paru.

pemakaian  kontinu dari asetilsistein 

(NAC) mampu mengurangi kumatnya (exacerbatio) penyakit, terutama bila bronchitis 

diakibatkan oleh merokok. Suatu studi besar-besaran (BRONCUS-studi) telah menemukan a.l. bahwa NAC (600 mg sehari) 

memberikan efek baik pada penderita COPD 

parah dengan serangan frekuen dibanding 

yang tidak memakai  ICS.37,38

OBAT ASMA DAN COPD

berdasar  mekanisme kerjanya, obat asma 

dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yaitu 

zat-zat yang menghindari degranulasi mastcells

(anti-alergika) dan zat-zat yang meniadakan efek 

mediator (bronchodilator, antihistaminika dan 

kortikosteroida). Penggolongan lengkapnya 

yaitu  sebagai berikut:

1. Anti-alergika yaitu  zat-zat yang berkhasiat menstabilisasi mastcells, sehingga tidak pecah dan mengakibatkan terlepasnya 

histamin dan mediator peradang lainnya. 

Yang terkenal yaitu  kromoglikat dan nedocromil, namun  juga antihistaminika (ketotifen, 

oksatomida) dan β2-adrenergika (lemah) memiliki khasiat ini. Obat ini sangat berguna untuk 

prevensi serangan asma dan rhinitis alergik 

(hay fever).

2. Bronchodilator

Obat-obat ini mengatasi penyempitan 

bronchi dan dengan demikian juga berfungsi 

melindungi bronchi.

Pelepasan kejang dan bronchodilatasi dapat dicapai dengan 3 cara, yakni merangsang sistem adrenergik dengan adrenergika 

(simpatikomimetika) atau melalui penghambatan sistem kolinergik dengan antikolinergika 

(antagonis reseptor muskarin), juga dengan 

teofilin.

2a. Agonis-β2

-adrenergik (β-mimetika): salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol, klenbuterol(Spiropent) dan indakaterol (Onbrez Breezhaler). Juga salmeterol dan formoterol (longacting).19

Obat-obat ini bekerja selektif terhadap reseptor-β2

 adrenergik (bronchospasmolysis) dan 

praktis tidak terhadap reseptor-β1

 (stimulasi 

jantung). Obat dengan efek terhadap kedua 

reseptor sebaiknya jangan dipakai  lagi 

berhubung efeknya terhadap jantung, seperti efedrin, isoprenalin dan orsiprenalin. Pengecualian yaitu  adrenalin (reseptor -α dan 

-β) yang sangat efektif pada keadaan kemelut.Mekanisme kerjanya yaitu  melalui stimulasi reseptor β2

 yang banyak ada  di 

trachea (batang tenggorok) dan bronchi, 

yang memicu  aktivasi dari adenilsiklase. 

Enzim ini memperkuat pengubahan adenosintrifosfat (ATP) yang kaya enersi menjadi 

cyclic-adenosine-monophosphat (cAMP) dengan 

pembebasan enersi yang dipakai  untuk 

proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan beberapa efek melalui enzim fosfokinase, a.l. 

bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh mastcells. Lihat Gambar 

40-1: Sistem cAMP.

 pemakaian nya semula sebagai monoterapi 

kontinu, yang ternyata secara berangsur 

meningkatkan HRB dan akhirnya memperburuk 

fungsi paru, sebab  tidak menanggulangi 

peradangan dan peningkatan kepekaan bagi 

alergen pada pasien alergis. Oleh sebab  

itu sejak beberapa tahun hanya dipakai  

terhadap serangan dan sebagai obat pemeliharaan dalam kombinasi dengan zat antiradang, yaitu kortikosteroida inhalasi. Kombinasi dengan kortikosteroid yaitu  juga 

untuk menghindari timbulnya toleransi (desensitasi) pada pemakaian  kontinu.

Efek samping dari β2

-agonis yaitu  antara 

lain tremor otot, tachycardia, hipokalemia 

dan kegelisahan.

Kehamilan dan laktasi. Salbutamol dan terbutalin dapat dipakai  oleh wanita hamil, 

begitu pula fenoterol dan heksoprenalin 

sesudah  minggu ke-16. Salbutamol, terbutalin 

dan salmeterol mencapai air susu ibu. Dari 

obat lainnya belum ada  cukup data 

untuk menilai keamanannya pada binatang 

percobaan; salmeterol ternyata merugikan 

janin.

2b. Antikolinergika: ipratropium (Atrovent), 

tiotropium (Spiriva) dan deptropin. Di dalam selsel otot polos ada  keseimbangan antara 

sistem adrenergik dan sistem kolinergik. 

Bila sebab  sesuatu sebab reseptor β2

 dari 

sistem adrenergik terhambat, maka sistem 

kolinergik akan berkuasa dengan akibat 

bronchokonstriksi. Antikolinergika memblok

reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergik 

di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf 

adrenergik menjadi dominan dengan efek 

bronchodilatasi. 

 pemakaian nya terutama untuk terapi 

pemeliharaan HRB, namun  juga berguna untuk 

meniadakan serangan asma akut (melalui 

inhalasi dengan efek pesat). Ipratropium dan

tiotropium khusus dipakai  sebagai inhalasi, 

kerjanya lebih panjang daripada salbutamol. 

Kedua obat ini terutama dipakai  terhadap COPD, namun  bagi kebanyakan penderita asma obat-obat ini kurang efektif.

Kombinasinya dengan β2

-mimetika sering 

kali dipakai  sebab  menghasilkan efek 

aditif. Deptropin(Brontin) berkhasiat mengurangi HRB namun  kerja spasmolitiknya ringan, 

sehingga diperlukan dosis tinggi dengan 

risiko efek samping yang lebih tinggi pula. 

Adakalanya senyawa ini masih dipakai  

untuk anak-anak kecil dengan hipersekresi 

dahak, yang belum dapat diberikan terapi 

melalui inhalasi.

Efek samping yang tidak dikehendaki yaitu  

sifatnya yang mengentalkan dahak dan tachycardia, yang tidak jarang mengganggu 

terapi. Begitupula efek atropin lainnya seperti 

mulut kering, obstipasi, sukar berkemih dan 

penglihatan kabur akibat gangguan akomodasi. pemakaian nya sebagai inhalasi meringankan efek samping ini.

Sejak beberapa dekade antikolinergika 

dianggap sebagai bronchodilator of choice 

untuk pengobatan COPD, namun  kurang diminati oleh pasien asma disebabkan mulai 

kerjanya lambat dan efeknya yang kurang baik 

bagi fungsi paru bila dibandingkan dengan 

beta-agonis (dihisap). Oleh sebab  itu betaagonis long-acting yang dikombinasi dengan 

glukokortikoid menjadi pengobatan standar 

bagi pasien asma yang kurang memberikan 

respons terhadap glukokortikoid saja. 

Disamping tiotropium yang bekerja panjang, sejak tahun 2013 telah dipasarkan 

obat inhalasi yang mengandung parasimpatikolitikum glikopironium (Seebri) dan 

aklidinium (Eklira Genuair). Kedua-duanya 

dipakai  sebagai obat pemeliharaan terhadap COPD.

Untuk indikasi yang sama juga tersedia 

senyawa beta-2-simpatikomimetikum kerja 

panjang olodaterol (Striverdi Respimat) yang dipakai  melalui inhalator dengan dosis 5 

mcg sehari. 

2c. Derivat ksantin:teofilin, aminofilin

Khasiat bronchorelaksasinya diperkirakan 

berdasar  blokade reseptor adenosin. Selain itu, teofilin –seperti juga kromoglikat– 

mencegah meningkatnya hiperreaktivitas 

dan berdasar  ini bekerja profilaktik. 

Resorpsi dari turunan teofilin sangat bervariasi; yang terbaik yaitu  teofilin microfine

(particle size: 1-5 micron) dan garam-garamnya 

aminofilin dan kolinteofilinat. 

pemakaian nya secara terus-menerus pada 

terapi pemeliharaan ternyata efektif mengurangi frekuensi serta hebatnya serangan. 

Pada keadaan akut (injeksi aminofilin) dapat 

dikombinasi dengan obat asma lainnya, namun  

kombinasi dengan β2-mimetika hendaknya 

dipakai  dengan hati-hati berhubung kedua jenis obat saling memperkuat efek terhadap jantung. Kombinasinya dengan efedrin (Asmadex, Asmasolon) praktis tidak meningkatkan efek bronchodilatasi, sedangkan 

efeknya terhadap jantung dan efek sentralnya 

sangat diperkuat. Oleh sebab  itu, sediaan 

kombinasi demikian tidak dianjurkan, terutama bagi para manula.

Tablet sustained release (Euphyllin retard 125-

250 mg) yaitu  efektif untuk memperoleh 

kadar darah yang konstan, khususnya pada 

waktu tidur dan dengan demikian mencegah 

serangan tengah malam dan ‘morning dip’. 

 Kehamilan dan laktasi. Teofilin aman bagi 

wanita hamil. sebab  dapat mencapai air 

susu ibu, sebaiknya ibu menyusui bayinya 

sebelum minum obat ini. 

3. Kortikosteroid: hidrokortison, prednison, 

deksametason

Kortikosteroid berkhasiat meniadakan efek 

mediator, seperti peradangan dan gatal-gatal.

Khasiat antiradang ini berdasar  blokade 

enzim fosfolipase-A2, sehingga pembentukan 

mediator peradangan prostaglandin dan 

leukotriën dari asam arachidonat tidak terjadi 

(Lihat Bab 21, Analgetika antiradang/rema). 

Lagipula pelepasan asam ini oleh mastcells 

juga dihalangi. Singkatnya kortikosteroid 

menghambat mekanisme kegiatan alergen 

yang melalui IgE dapat memicu  degranulasi mastcells, juga meningkatkan kepekaan reseptor-β2 hingga efek β-mimetika diperkuat.

pemakaian nya terutama bermanfaat pada 

serangan asma akibat infeksi virus, selain itu juga pada infeksi bakteri terhadap 

reaksi peradangan. Pada reaksi alergi lambat 

(type IV) juga efektif. Untuk mengurangi 

hiperreaktivitas bronchi, zat-zat ini dapat 

diberikan per inhalasi atau peroral. Dalam 

kasus gawat dan status asthmaticus (kejang 

bronchi), obat ini diberikan secara i.v. (per 

infus), kemudian disusul dengan pemberian 

oral. 

pemakaian  oral untuk jangka waktu lama 

hendaknya dihindari, sebab  menekan fungsi anak ginjal dan dapat mengakibatkan 

osteoporosis, maka hanya diberikan untuk 

satu kur singkat. Pada serangan hebat dan 

status asthmaticus, obat ini tidak dapat dipakai . Lazimnya pengobatan dimulai dengan 

dosis tinggi, yang dalam waktu 2 minggu 

dikurangi sampai nihil. Bila perlu kur singkat 

demikian dapat diulang lagi. Lihat selanjutnya Bab 46, ACTH dan Kortikosteroida.

Efek samping kortikosteroid pada penggunaan jangka waktu lama terdiri dari osteoporosis (ini  di atas), retensi cairan, 

meningkatkan nafsu makan dan berat badan, 

borok lambung, hipertensi, katarak, diabetes 

dan gangguan psikis. Frekuensi dari efek 

samping ini meningkat dengan usia.

Usaha dilakukan untuk mengembangkan 

senyawa kortikoid dengan efek samping 

lebih sedikit, misalya yang dimetabolisasi 

cepat di saluran pernapasan („soft steroids“).

Hambatan utama dari terapi penderita 

asma parah dan COPD yaitu  resistensi kortikosteroid (Barnes and Adcock, 2009)45. Asma 

yang „steroid resistance“ ini disebabkan oleh 

menurunnya khasiat anti-peradangan dari 

kortikosteroid.

*Kortikosteroid inhalasi: beklometason 

(Qvar), triamsinolon, flunisolida (Aerobid) dan 

budesonida (Pulmicort). flutikason (Aerospan, 

Flovent),mometason (Asmanex) dan siklesonida 

(Alvesco). 

Sejak beberapa tahun obat-obat ini telah 

mendesak β2-mimetika sebagai terapi utama, 

sebab  juga dapat mencegah peradangan lokal di bronchi. Keuntungannya dibandingkan kortikosteroid oral yaitu  efek lokalnya yang langsung tanpa diserap ke dalam 

darah. Dengan demikian tidak memicu  

efek samping sistemik serius (osteoporosis, 

tukak dan perdarahan lambung, hipertensi, 

diabetes dan lain-lain) walaupun absorpsi 

dalam jumlah kecil di paru tidak dapat 

dihindari.

Efek samping dari kortikosteroid inhalasi 

terdiri dari efek lokal akibat deposit dari obat 

ini pada selaput mulut dan tenggorok (suara 

serak, kandidiasis mulut dan tenggorok, 

batuk) dan efek sistemik (a.l. penipisan kulit dan fragilitas pembuluh kulit terutama 

pada lansia, katarak dan glaukoma (pada 

pemakaian  intra-okuler), pneumonia pada 

penderita COPD, gangguan metabolisme 

(glukosa, insulin, trigliserida) dan gangguan 

psikis (eufori dan depresi).

Daya kerja dari triamsinolon dan flunisolida paling rendah, beklometason dan budesonida hampir seimbang, sedangkan flutikason 2 kali lebih kuat dari beklometason.

4. Mukolitika dan ekspektoransia: asetil-/

karbosistein, mesna, bromheksin, guaifenesin, ambroksol, kaliumiodida dan amoniumklorida. 

Semua obat ini mengurangi kekentalan 

dahak, mukolitika dengan merombak mukoprotein dan ekspektoransia dengan mengencerkan dahak, sehingga pengeluarannya 

dipermudah. Obat ini dapat meringankan 

perasaan sesak napas dan terutama bermanfaat pada serangan asma hebat yang bisa 

fatal bila sumbatan lendir sedemikian kental 

tidak dapat dikeluarkan. Kaliumiodida sebaiknya jangan dipakai  untuk jangka 

waktu lama berhubung efek sampingnya 

(udema, urticaria, acne). 

Penanganan simtomatik dengan menghirup uap air panas dapat membantu pencairan 

dahak yang kental sehingga lebih mudah 

dikeluarkan. Penderita dianjurkan untuk berbatuk guna mengeluarkan dahak. Lihat juga 

Bab 41, Obat-obat Batuk.

5. Antihistaminika: ketotifen, oksatomida 

Obat-obat ini memblokir reseptor histamin 

(H1

-receptor blockers) dan dengan demikian 

mencegah efek bronchokonstriksi. Antihistaminika sangat efektif terhadap sejumlah 

gejala rhinitis allergica (hay fever), urticaria, 

kepekaan terhadap obat-obat (rash), pruritus 

dan gigitan/sengatan serangga. namun  efeknya pada asma umumnya terbatas dan 

kurang memuaskan, sebab  antihistaminika 

tidak mencegah efek bronchokonstriksi dari 

mediator lain yang dilepaskan mastcells. 

Banyak antihistaminika juga memiliki efek

antikolinergik dan sedatif, mungkin inilah 

sebabnya mengapa kini masih agak banyak 

dipakai  pada terapi pemeliharaan. Ketotifen dan oksatomida berkhasiat menstabilisasi mastcells, oksatomida bahkan bekerja antiserotonin dan antileukotriën. Antihistaminika lain (cetirizin, azelastin) pun memiliki khasiat antileukotriën. Lihat juga Bab 

51, Antihistaminika.

Antihistaminika generasi pertama (mis. 

klorfeniramin, prometazin) memiliki khasiat 

anti-muscarinic dan dapat menembus barrier darah-otak, sehingga mengakibatkan pusing dan gangguan pergerakan (psikomotor 

impairment). Generasi ketiga dari senyawasenyawa ini (mis. loratadin, setirizin, feksofenadin) tidak memiliki efek ini dan praktis 

tidak memicu  perasaan pusing sebab  

tidak menembus barrier darah-otak.

6. Zat-zat antileukotriën (LT)

Pada pasien asma leukotriën turut memicu  bronchokonstriksi dan sekresi mucus. berdasar  fakta ini para sarjana telah 

mengembangkan obat-obat „baru“, yaitu antagonis leukotriën yang bekerja spesifik dan 

efektif pada terapi pemeliharaan terhadap 

asma. 

Untuk penanganan rematik, para ahli berupaya mensintesis obat-obat yang selain 

berdaya antiprostaglandin, juga bersifat antileukotriën (lihat juga Bab 21). Daya kerja 

antileukotriën bisa berdasar  penghambatan sintesis LT dengan jalan blokade enzim 

lipoksigenase atau berdasar  penempatan 

reseptor LT dengan LT C4/D4-blocker.

a. Lipoksigenase-blocker, misalnya antihistaminika generasi-2, yang disamping 

memblok reseptor-H2 juga menghambat 

pembentukan leukotriën dan mediator 

radang lainnya (prostaglandin, kinin). 

Beberapa contohnya yaitu  setirizin, loratadin, azelastin (Astelin) dan ebastin. Lihat 

juga Bab 51, Antihistaminika.

b. LT-receptorblocker (leukotriënreceptorantagonis LTRA) yang kini tersedia yaitu  

montelukast, zafirlukast (Accolate) dan pranlukast (Ultair). Obat-obat anti-asma dari 

golongan ini berkhasiat menempati reseptor LTB4 dan/atau LT-cysteinyl (C4, 

D4 dan E4), lihat Bab 21. Obat2 rema. 

Antagonis leukotriën ini mengurangi 

efek konstriksi bronchi dan inflamasi dari 

LTD4.

MONOGRAFI

1. ANTI ALERGIKA

1a. Kromoglikat: cromolyn sodium, Intal, Lomudal/Lomusol

Zat sintetik ini merupakan keturunan 

dari khellin, suatu zat dengan kerja bronchospasmolitis yang ada  dalam biji saga 

(Amni visaga). Kromoglikat berkhasiat menstabilisasi membran mastcell, sehingga 

menghalangi pelepasan mediator vasoaktif, 

seperti histamin, serotonin dan leukotriën, 

pada waktu terjadinya reaksi antigen-antibody. 

pemakaian . Kromoglikat sangat efektif 

sebagai obat pencegah serangan asma dan 

bronchitis yang bersifat alergis, conjunctivitis/rhinitis allergica (hay fever) dan alergi 

akibat bahan makanan. Untuk profilaksis 

yang optimal, obat ini perlu diberikan 

minimal 4 kali sehari yang efeknya baru 

nyata sesudah 2-4 minggu. Sering kali dosis 

bronchodilator dan prednison dengan ini 

dapat dikurangi. pemakaian nya tidak boleh dihentikan dengan tiba-tiba sebab  dapat 

memicu serangan. Pada serangan akut, kromolin tidak efektif sebab  tidak memblok 

reseptor histamin.

Dahulu pemakaian nya cukup banyak sebab  keamanannya yang baik, namun  akhirakhir ini menurun drastis sebab  tersedianya 

obat inhalasi kortikosteroid yang lebih efektif 

terutama bagi anak-anak.

Resorpsi. Di dalam usus tidak terjadi resorpsi. Dari suatu dosis inhalasi (serbuk 

halus), senyawa ini hanya 5-10% mencapai bronchi dan diserap, yang segera diekskresikan lewat urin dan empedu secara 

utuh. Plasma-t½ 1,5-2 jam, namun  efeknya 

bertahan 6 jam.

Efek samping berupa rangsangan lokal pada selaput lendir tenggorok dan trachea, 

dengan gejala a.l. perasaan kering, batukbatuk, kadang-kadang kejang bronchi dan 

serangan asma selewat. Untuk mencegah hal 

ini terlebih dahulu, dapat dipakai  inhalasi 

salbutamol. Rangsangan mukosa dapat terjadi pada pemakaian  nasal (Rynacrom, Lomusol) dan pemakaian  pada mata (Opticrom). 

Wanita hamil dapat memakai  kromoglikat.

Dosis: inhalasi minimal 4 dd 1 puff (20 mg) 

sebagai serbuk halus dengan memakai  

alat khusus (spinhaler), atau sebagai larutan 

(aerosol). Nasal: 4 dd 10 mg serbuk dan untuk 

mata 4-6 dd 1-2 tetes dari larutan 2%.

* Nedocromil (Tilade) yaitu  senyawa dicarbonic acid, sebagai turunan kromoglikat 

(1986). Daya kerja dan pemakaian nya sama, 

begitupula efek-efek sampingnya. Dosis: tracheal 4 dd 4 mg (garam di-Na).

2.Adrenergika

2a. Adrenalin: epinefrin, *Lidonest 5%

Zat adrenergik dengan efek alfa + beta ini 

yaitu  bronchodilator terkuat dengan kerja 

cepat namun  singkat dan dipakai  untuk 

serangan asma hebat. Sering kali dikombinasi 

dengan tranquillizer peroral untuk mengatasi 

rasa takut dan cemas yang menyertai serangan. Secara oral, adrenalin tidak aktif. 

Lihat selanjutnya Bab 31, Adrenergika dan 

Adrenolitika.

Efek samping berupa efek sentral (gelisah, 

tremor, nyeri kepala) dan terhadap jantung 

(palpitasi, aritmia), terutama pada dosis lebih 

tinggi. Timbul pula hiperglikemia, sebab  efek 

antidiabetika oral diperlemah.

Dosis: pada serangan asma i.v. 0,3 ml dari 

larutan 1:1000 yang dapat diulang dua kali 

setiap 20 menit (tartrat).

2b. Efedrin: *Asmadex, *Asmasolon, *Bronchicum

Derivat adrenalin ini memiliki efek sentral 

yang lebih kuat dengan efek bronchodilatasi 

lebih ringan dan bertahan lebih lama (4 jam). 

Efedrin dapat diberikan secara oral, maka 

banyak dipakai  sebagai obat asma (bebas 

terbatas, tanpa resep) dalam berbagai sediaan 

populer, walaupun efek sampingnya dapat 

membahayakan.

Resorpsi baik dan dalam waktu ½-1 jam 

sudah terjadi bronchodilatasi. Di dalam hati 

sebagian zat dirombak; ekskresinya terutama 

lewat urin secara utuh. Plasma-t½ 3-6 jam.

Efek samping. Pada orang yang peka, efedrin 

dalam dosis rendah sudah dapat menim-

bulkan kesulitan tidur, tremor, gelisah dan 

gangguan berkemih. Pada overdosis timbul 

efek berbahaya terhadap SSP dan jantung 

(palpitasi). 

Dosis: 3-6 dd 25-50 mg, anak-anak 2-3 mg/

kg/hari dalam 4-6 dosis, dalam tetes hidung 

(anti-mampat) larutan 1%, tidak boleh dipakai  untuk jangka waktu lama.

* Fenilpropanolamin (norefedrin, *Koldex, Triaminic) yaitu  derivat tanpa gugusan -CH3 

dengan kerja dan pemakaian  yang sama, 

namun  bertahan lebih lama. Efek sentralnya 

lebih ringan. Obat ini banyak ada  dalam sediaan anti-pilek dan anti-selesma, 

dalam kombinasi dengan analgetika, antihistaminika dan/atau obat batuk. Dosis: 3 dd 

25-50 mg (HCl), tetes hidung 1-3%.

2c. Isoprenalin: Isuprel, Aleudrin

Derivat ini (1949) mempunyai efek β1 

+ β2-adrenergik dan memiliki daya bronchodilatasi baik, namun  resorpsinya di usus 

buruk dan tidak teratur. Resorpsinya dari 

mulut (oromukosal) sebagai tablet atau larutan 

agak lebih baik serta cepat dan efeknya sudah 

timbul sesudah  beberapa menit dan bertahan 

sampai 1 jam. 

pemakaian nya sebagai obat asma sudah 

terdesak oleh adrenergika dengan khasiat 

spesifik terhadap reseptor-β2 (bronchi) dan 

praktis tanpa efek β-1 (jantung), sehingga lebih 

jarang memicu  efek samping. Turunan 

berikut juga dianggap obsolet dan sebaiknya 

jangan dipakai  lagi.

* Orsiprenalin (metaproterenol, Alupent, *Silomat comp) yaitu  isomer-isoprenalin dengan 

resorpsi lebih baik, namun  efeknya dimulai 

lebih lambat (oral sesudah 15-20 menit) namun  

bertahan lebih lama, sampai 4 jam. Mulai 

kerjanya sesudah  10 menit melalui inhalasi 

atau injeksi. Dosis: 4 dd 20 mg (sulfat), i.m. 

atau s.c. 0,5 mg yang dapat diulang sesudah  ½ 

jam, inhalasi 3-4 dd 2 semprotan. 

3. Beta2-Mimetika

3a. Salbutamol: Ventolin, Volmax, Salbuven, 

*Ventide

Derivat isoprenalin ini merupakan adrenergikum pertama (1968) yang pada dosis biasa memiliki daya kerja yang lebih 

kurang spesifik terhadap reseptor-β2. Selain 

berdaya bronchodilatasi baik, salbutamol 

juga memiliki efek lemah terhadap stabilisasi 

mastcell, maka sangat efektif untuk mencegah 

maupun meniadakan serangan asma. Dewasa ini obat ini sudah lazim dipakai  

dalam bentuk aerosol sebab  efeknya pesat 

dengan efek samping yang lebih ringan 

daripada pemakaian  per oral. Pada saat 

inhalasi serbuk halus atau larutan, ±80% dari 

semprotan (puff) terendap pada langit-langit 

tenggorok dan ±20% mencapai trachea, namun  

hanya 7-8% dari bagian terhalus (1-5 mikron) 

tiba di bronchioli dan paru-paru.

Efek samping jarang terjadi dan biasanya 

berupa nyeri kepala, pusing-pusing, mual, 

dan tremor tangan. Pada overdosis dapat 

terjadi stimulasi reseptor β-1 dengan efek 

kardiovaskuler: tachycardia, palpitasi, aritmia dan hipotensi. Oleh sebab  itu, sangat 

penting untuk memberikan instruksi yang 

cermat agar jangan mengulang inhalasi 

dalam waktu yang terlalu singkat, sebab  

dapat terjadi tachyfylaxis (efek obat menurun 

dengan pesat pada pemakaian  yang terlalu 

sering).

Dosis: 3-4 dd 2-4 mg (sulfat), inhalasi 3-4 

dd 2 semprotan dari 100 mcg, pada serangan 

akut 2 puff yang dapat diulang sesudah 15 

menit. Pada serangan hebat i.m. atau s.c. 250-

500 mcg, yang dapat diulang sesudah 4 jam.

3b. Terbutalin: Bricasma, Bricanyl

Derivat metil dari orsiprenalin ini (1970) 

juga berkhasiat β-2 selektif. Per oral mulai 

kerjanya sesudah 1-2 jam, sedangkan lama 

kerjanya ±6 jam. Lebih sering mengakibatkan 

tachycardia.

Dosis: 2-3 dd 2,5-5 mg (sulfat), inhalasi 3-4 

dd 1-2 semprotan dari 250 mcg, maks. 16 puff 

sehari, s.c. 250 mcg, maks. 4 kali sehari.

* Fenoterol (Berotec,*Berodual) yaitu  derivat 

terbutalin dengan khasiat dan pemakaian  

yang sama. Efeknya lebih kuat dan bertahan 

±6 jam, lebih lama daripada salbutamol 

(±4 jam). Dosis: 3 dd 2,5-5 mg (bromida), 

suppositoria malam hari 15 mg dan inhalasi 

3-4 dd 1-2 semprotan dari 200 mcg. *Berodual

= fenoterol 50 + ipratropium 20 mcg per puff.

3c. Salmeterol:Serevent, *Seretide

Senyawa long-acting ini (1990) kerjanya 

cepat (sesudah  10-20 menit) dan bertahan selama minimal 12 jam. Pada asma bronchial 

perlu dikombinasi dengan kortikoida inhalasi. 

Bila perlu dapat diberikan bersamaan obat 

asma kerja singkat (salbutamol) atau dengan 

suatu antikolinergikum (ipratropium, tiotropium).

Dosis: pemeliharaan 2 dd 50 mcg, pada 

COPD parah: 2 dd 100 mcg; anak-anak di atas 

4 tahun 2 dd 50 mcg.

* Seretide =salmeterol 50 + fluticason 100-

250-500 mcg per puff (serbuk inhalasi). 

3d. Prokaterol: Meptin

Derivat kuinolin ini memiliki daya kerja 

bronchodilatasi yang sangat kuat dan hanya 

dipakai  secara oral dengan dosis 2 dd 50 

mcg.

3e. Teofilin: 1,3 dimetilksantin, Quibron-T/SR, 

Theobron

Alkaloid ini (1908) ada  bersama kofein (= trimetilksantin) di daun teh (Yun. 

theos = Allah, phyllon = daun) dan memiliki 

sejumlah khasiat, antara lain berefek spasmolitis terhadap otot polos, khususnya otot 

bronchi, menstimulasi jantung (efek inotrop 

positif) dan mendilatasinya. Teofilin juga 

menstimulasi SSP dan pernapasan, serta 

bekerja diuretik lemah dan singkat. Kofein 

juga memiliki semua khasiat ini walaupun 

lebih lemah, kecuali efek stimulasi sentralnya 

yang lebih kuat. Obat ini banyak dipakai  

sebagai obat prevensi dan terapi serangan 

asma9 sejak tahun 1930, terutama di negaranegara berkembang sebab  harganya yang 

murah. namun  pemakaian nya semakin berkurang sebab  masalah efek samping dan 

tersedianya obat-obat yang lebih efektif 

seperti kortikosteroid inhalasi yang menghindari timbulnya efek samping sistemik.

Efek bronchodilatasi tidak berkorelasi 

baik dengan dosis, namun  memperlihatkan 

hubungan jelas dengan kadar darah (dan 

kadar di air liur). Luas terapeutiknya sempit

artinya dosis efektif berdekatan dengan dosis 

toksik. Untuk efek optimal diperlukan kadar 

dalam darah dari 10-15 mcg/ml, sedangkan 

pada 20 mcg/ml sudah terjadi efek toksik. 

Oleh sebab  itu, dianjurkan untuk dosis 

ditetapkan secara individual berdasar  

kadar dalam darah. Hal ini terutama perlu 

pada anak-anak di bawah usia 2 tahun 

dan manula di atas 60 tahun, yang sangat 

peka terhadap overdosis, juga pada pasien 

gangguan hati dan ginjal. 

Resorpsi di usus buruk dan tidak teratur. 

Itulah sebabnya mengapa bronchodilator 

tua ini (1935) dahulu jarang dipakai . Baru pada tahun 1970-an, diketahui bahwa 

resorpsi dapat menjadi lebih sempurna bila 

dipakai  dalam bentuk serbuk microfine (besar partikel 5-10 mikron). Juga pada 

pemakaian  sebagai larutan, yang seperlunya ditambahkan alkohol 20%. Plasma-t½ 

3-7 jam, ekskresi berlangsung sebagai asam 

metilurat lewat urin dan hanya 10% dalam 

keadaan utuh. Teofilin sebaiknya dipakai  

sebagai sediaan ‘sustained release’ (walaupun 

hasilnya tidak begitu besar) yang menghasilkan resorpsi konstan dan kadar dalam 

darah yang lebih teratur.

Efek samping yang terpenting berupa mual dan muntah, baik pada pemakaian  oral 

maupun rektal atau parenteral. Pada overdosis timbul efek sentral (gelisah, sukar 

tidur, tremor dan konvulsi) serta gangguan 

pernapasan, juga efek kardiovaskuler, seperti 

tachycardia, aritmia dan hipotensi. Anak kecil 

sangat peka terhadap efek samping teofilin.

Dosis: 3-4 dd 125-250 mg microfine (retard). 

1 g teofilin 0 aq = 1,1 g teofilin 1 aq = 1,17 g 

aminofilin 0 aq = 1,23 g aminofilin 1 aq.

*Aminofilin (teofilin-etilendiamin, Phyllocontin 

continus, Euphyllin) yaitu  garam yang dalam darah membebaskan teofilin. Garam 

ini bersifat basa dan sangat merangsang selaput lendir, sehingga per oral sering kali 

mengakibatkan gangguan lambung (mual, 

muntah), juga pada pemakaian  dalam suppositoria dan injeksi intra-muskuler (nyeri!). 

Pada serangan asma, obat ini dipakai  sebagai injeksi i.v. Dosis: oral 2-4 dd 175-350 mg 

dalam bentuk tablet salut (tanpa dikunyah); 

pada serangan hebat i.v. 240 mg, rektal 2-3 dd 

360 mg. Dosis maks. 1,5 g sehari.

4. Antikolinergika.

Lihat juga Bab 32, Kolinergika dan antikolinergika.

4a Ipratropium: Atrovent, *Berodual, *Combivent

Derivat-N-propil dari atropin ini (1974) 

yaitu  antagonis-muskarin dan berkhasiat 

bronchodilatasi, sebab  menghindari pembentukan cGMP yang memicu  kon_

striksi. Ipratropin mengurangi hipersekresi

di bronchi, yaitu „efek mengeringkan“ dari 

obat antikolinergika, maka sangat efektif 

pada pasien yang mengeluarkan banyak 

dahak. Khusus dipakai  sebagai inhalasi 

efeknya dimulai lebih lambat (15 menit) 

daripada β2-mimetika. Efek maksimal dicapai 

sesudah  1-2 jam dan bertahan rata-rata 6 jam. 

Sangat efektif sebagai obat pencegah dan 

pemeliharaan, terutama pada bronchitis kronis. Kini zat ini tidak dipakai  (lagi) sebagai monoterapi (pemeliharaan), namun  selalu bersama kortikosteroid-inhalasi. Kombinasinya dengan β2-mimetika memperkuat 

efeknya (adisi).

Resorpsi peroral buruk (seperti semua senyawa amonium kuaterner). Secara tracheal 

hanya bekerja setempat dan praktis tidak 

diserap. Keuntungannya ialah zat ini juga 

dapat dipakai  oleh pasien jantung yang 

tidak tahan terhadap adrenergika. 

Efek samping jarang terjadi dan biasanya 

berupa mulut kering, mual, nyeri kepala dan 

pusing.

Dosis: inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 20 

mcg (bromida).

*Tiotropium (Spiriva) yaitu  derivat longacting (2000) yang juga memiliki rumus 

amonium kuaterner dan merupakan antagonis muskarin-reseptor kuat yang agak 

selektif. Banyak dipakai  sebagai bronchodilator kerja panjang yang efektif pada 

terapi pemeliharaan COPD.36

Antagonis muskarin-reseptor banyak dipakai  pada berbagai gangguan, khususnya 

untuk menghambat efek aktivitas parasimpatolitik di saluran cerna dan urin, saluran 

pernapasan, mata dan jantung. Dosis: 1 dd 1 

serbuk inhalasi (kapsul 18 mcg tiotropium) 

dengan memakai  alat khusus “HandiHaler” (Ph Wkbl 2002;137:871-5)

5. MUKOLITIKA.

5a Asetilsistein: Fluimucil

Di samping kerja mukolitiknya juga berefek antioksidan dengan melindungi jaringan paru terhadap kerusakan (lanjutan) 

pada COPD. Kerjanya langsung berkat 

gugus-thiol bebas yang dapat bereaksi dengan gugus elektrofil dari FR reaktif. Berefek 

antioksidans tak-langsung sebagai precursor 

dari glutathion (melalui zat antara sistein).

Glutathion (GSH), suatu tripeptida dari 

tiga asam amino (glutamin, sistein dan glisin)

merupakan anti-oksidans alamiah esensial, 

yang, ada  di semua sel hewan. GSH 

berperan sentral pada berbagai proses biokimiawi, seperti sintesis dari precursor DNA, 

prostaglandin dan leukotriën serta inaktivasi 

dari obat-obat tertentu, a.l. parasetamol. GSH 

merupakan unsur utama dari cairan-UW 

(University of Wisconsin), yang dipakai  

untuk menyimpan organ-organ donor berkat 

daya kerjanya dapat melindungi organ 

ini  terhadap kerusakan. 

Asetilsistein dengan dosis 600 mg sehari 

sesudah  2 bulan dapat mengencerkan sputum, mempermudah pengeluarannya dan 

meringankan parahnya batuk. Juga berkhasiat mengurangi jumlah kuman di saluran 

pernapasan.

Resorpsi dari saluran cerna pesat, namun  BA 

hanya ±5% akibat FPE yang tinggi. Seperti 

semua asam amino distribusi dalam tubuh 

baik dengan mencapai kadar tinggi, a.l. 

di saluran pernapasan dan sekret bronchi. 

Dalam hati diubah menjadi asam amino 

sistein, sistin dan taurin yang ekskresinya berlangsung melalui urin.

Mekanisme kerja. Sifat melindungi dari 

asetilsistein didasarkan atas peningkatan 

persediaan GSH di samping memperkuat 

aktivitas antioksidan alamiah lain (a.l. dismutase). Asetilsistein juga dapat ‘melahap’ FR 

dan mengurangi produksi FR oleh makrofag 

alveoler akibat asap rokok di samping juga 

mencegah inaktivasi oksidatif dari anti-elastase,

yang melindungi alveoli terhadap elastase. 

sebab  itu elastase tidak dapat merombak 

dinding alveoli, sehingga timbulnya dan 

progresi emfisema dihentikan. 

pemakaian . Berkat kerja antioksidansnya 

AS yang dikombinasi dengan bronchodilator, pada COPD berkhasiat mengurangi 

frekuensi exacerbatio dan keluhan (batuk, 

banyaknya dan viskositas dahak), terutama 

pada pasien di atas 50 tahun. Di samping 

itu dahak kental dicairkan dan produksinya 

dikurangi. Bermanfaat pula bagi penderita cystic fibrosis, suatu penyakit keturunan 

yang memicu  kelenjar-kelenjar tertentu 

memproduksi sekret abnormal yang liat, 

kental atau padat dan yang gejala-gejalanya 

terutama memengaruhi saluran cerna dan 

paru-paru.

Asetilsistein juga merupakan zat penawar

(antidotum) terhadap keracunan parasetamol 

berdasar  peningkatan persediaan glutathion. Senyawa ini mengikat metabolit toksik 

dari parasetamol dan dengan demikian dapat menghindari necrosis hati bila diberikan 

dalam waktu 10 jam (peroral atau i.v.) sesudah  

terjadinya intoksikasi parasetamol. 

Efek samping yang paling sering terjadi 

yaitu  mual dan muntah, maka penderita 

tukak lambung perlu waspada. Sebagai obat 

inhalasi dapat memicu  kejang-kejang 

bronchi pada penderita asma. Pada dosis 

tinggi (seperti pada intoksikasi parasetamol) 

dapat timbul reaksi anafilaktik dengan rash, 

gatal, udema, hipotensi dan bronchospasme. 

Wanita hamil dan selama laktasi boleh memakai  obat ini.

Dosis: oral 3-6 dd 200 mg atau 1-2 dd 600 

mg granulat, anak-anak 2-7 tahun 2 dd 200 

mg, di bawah 2 thn 2 dd 100 mg. Sebagai 

antidotum keracunan parasetamol, oral 140 

mg/kg berat badan dari larutan 5%, disusul 

dengan 70 mg/kg setiap 4 jam. Lihat juga Bab 

41, Obat-obat Batuk.

*Karbosistein(Broncholit, Rhinathiol) yaitu  

derivat (1969) dengan sifat dan pemakaian  

sama. Juga dapat memutuskan „jembatan“ 

sulfur dari mukopolisakarida di selaput 

lendir lambung, sehingga mucus menjadi 

lebih cair.Dosis 2-3 dd 1 g.

6. Antihistaminika. 

Lihat juga Bab 51.

6a. Ketotifen: Zaditen

Turunan pizotifen dengan =O pada cincin 

tujuh ini (1980) selain memblokir reseptor 

histamin, juga menstabilisasi mastcells. 

Zat ini sama efektifnya dengan kromoglikat 

pada profilaksis asma yang bersifat alergi. 

Efeknya baru nyata sesudah 6 minggu. Peroral, efek antikejangnya ringan, oleh sebab  itu tidak berguna pada serangan asma 

akut. Telah dibuktikan bahwa pemakaian  

antihistaminika dalam bentuk inhalasi dapat 

menghasilkan bronchodilatasi baik. Dengan 

dipakai nya obat ini dosis adrenergika dan 

prednison yang diberikan bersamaan dapat 

dikurangi.

Resorpsi dari usus cepat dan baik (lebih 

dari 90%), namun  FPE besar (70%) sehingga 

BA hanya ±27%. Zat ini terikat pada protein 

untuk 80%, plasma-t½ panjang ialah 8 jam. 

Ekskresi melalui urin sebagai glukuronida.

Efek samping berupa rasa kantuk, kadangkala mulut kering dan perasaan pusing yang 

hanya selewat. Zat ini dapat memperkuat 

efek sedatif dari alkohol. Kombinasi dengan 

antidiabetika oral