obat 45

 





tidak dianjurkan, sebab  

dapat mengurangi jumlah trombosit darah.

Dosis: malam hari 1 mg selama 1 minggu, 

lalu 2 dd 1-2 mg (fumarat).

6b. Oksatomida: Tinset

Derivat piperazin ini (1982) berkhasiat 

memblokir reseptor histamin, serotonin 

dan leukotriën di otot, juga menstabilisasi 

mastcells. Dianjurkan sebagai obat pemeliharaan dan pencegah pada asma alergik, 

rhinitis alergik (hay fever) dan urticaria kronis 

(berkat efek antiserotonin). Tidak berguna 

pada serangan akut.

Resorpsi dari usus cepat, PP 90% dan metabolisasi dalam hati berlangsung cepat. Ekskresi berlangsung lewat urin.

Efek samping berupa rasa kantuk (selewat) 

dan bertambahnya nafsu makan yang berkaitan dengan sifat antiserotonin. Kombinasi 

dengan alkohol dan zat-zat penekan SSP lainnya memperkuat efeknya.

Dosis: 2 dd 30-60 mg sesudah makan.7. ANTAGONIS LEUKOTRIËN

7a. Zafirlukast: Accolate

Zat antileukotriën ini (1996) melindungi 

terhadap bronchokonstriksi dan peradangan 

yang dipicu oleh berbagai stimuli, seperti 

mengeluarkan tenaga, hawa dingin, berbagai 

alergen dan PAF. Khasiat ini berdasar  

pengikatan pada reseptor leukotriën tertentu, 

sehingga daya kerja leukotriën LTC4, LTD4 

dan LTE4 dihindari. dipakai  untuk pengobatan asma bila ICS dan β2

-mimetika 

tidak atau kurang efektif.

Resorpsi dari usus dikurangi oleh makanan 

dengan 40%, oleh sebab  itu harus diminum 

pada perut kosong. PPP 99% dan masa paruh 10 jam. Dalam hati dirombak dengan 

drastis dan metabolitnya dikeluarkan dengan 

feses (90%) dan urin (10%). Keluhan asma 

berkurang sesudah beberapa hari sampai 

satu minggu.

Efek samping utama yaitu  gangguan lambung- usus (ringan), nyeri kepala dan reaksi 

alergi kulit. Obat ini masuk ke ASI.

Dosis: permulaan 2 dd 20 mg a.c., berangsur-angsur dinaikkan sampai 2 dd 40 mg, 

anak-anak 7-12 thn 2 dd 10 mg a.c. 

7b. Montelukast: Singulair

LT-reseptorblocker selektif dengan efek 

bronchodilatasi ini (1997) memberikan efek 

dalam waktu 2 jam. Berkhasiat menghambat 

reaksi alergik, baik yang dini maupun yang 

lambat, juga menurunkan jumlah eosinofil 

dalam darah (seperti kortikoid). dipakai  

sebagai terapi kombinasi dengan obat asma 

lainnya, juga untuk prevensi serangan asma 

sesudah  kegiatan yang meletihkan. Untuk 

menanggulangi serangan akut tidak efektif. 

Resorpsi cepat dengan BA 73% yang tidak 

dipengaruhi oleh makanan, t½ ± 4 jam, 

ekskresi terutama dengan feses. Obat ini 

masuk ke dalam air susu ibu. 

Efek samping yang tersering yaitu  gangguan saluran cerna dan sakit kepala, juga 

gejala flu, pusing, mulut kering dan rash (kulit). 

Dosis pemeliharaan: di atas 15 tahun 1 tablet 

kunyah (10 mg) sebelum tidur dengan perut 

kosong. Anak-anak 6-14 thn 5 mg.

8. KORTIKOSTEROIDA

8a. Hidrokortison, predniso(lo)n, deksametason, triamsinolon.

Obat-obat ini hanya diberikan peroral pada asma parah yang tidak dapat dikendalikan dengan obat asma lainnya. Untuk 

menghindari supresi anak-ginjal, biasanya 

obat diberikan sebagai suatu kur singkat 

dari 2 dan maksimal 3 minggu. Pada status 

asthmaticus, hidrokortison atau prednisolon 

dipakai  sebagai injeksi i.v. dengan dosis 

tinggi. Ternyata bahwa obat ini memperkuat 

efek adrenergika dan teofilin, juga mengurangi sekresi dahak.

Efek samping yang terpenting yaitu  gejala 

Cushing (osteoporosis, moonface, hipertrichosis, impotensi) serta penekanan fungsi 

anakginjal. 

Kehamilan: predni(sol)on tidak memengaruhi janin pada dosis rendah (5-20 mg sehari).

Dosis: prednisolon untuk kur singkat 25-

40 mg sesudah makan pagi yang setiap dua 

hari dikurangi dengan 5 mg sampai kur 

selesai dalam waktu 2-3 minggu. Untuk 

pemeliharaan 5-10 mg prednisolon setiap 

48 jam, deksametason/betametason setiap 

hari 0,5 mg. Kemudian terapi dilanjutkan dengan suatu ICS. Bila kambuh lagi biasanya 

serangan asma hebat atau terjadi infeksi, 

perlu dijalani kur kembali. 

Lihat selanjutnya Bab 46, ACTH dan Kortikosteroida.

* Kortikosteroid inhalasi (ICS)

Pada COPD kortikosteroid inhalasi kini 

dipakai  sebagai obat yang setaraf dengan 

zat bronchodilator, bahkan lebih penting 

untuk memperlambat memburuknya penyakit. pemakaian nya secara tracheal (melalui 

tenggorok) sebagai semprotan aerosol dan 

juga secara nasal (melalui hidung) untuk 

profilaksis dan terapi rhinitis alergik. Kombinasi dari steroid dengan β2-mimetika 

long-acting yang banyak dipakai  yaitu  

budesonida+salmeterol (*Seretide) dan flutikason+formoterol (* Symbicort).

Efek samping dari pemakaian  kortikosteroid inhalasi berupa penurunan ketahanan 

lokal dari mukosa terhadap infeksi fungi 

dengan akibat timbulnya infeksi ragi Candida albicans (candidiasis) di mulut (5% penderita) 

dan suara parau akibat iritasi tenggorok 

dan pita suara. Risiko infeksi ini dapat dihindari bila berkumur dengan air tiap kali 

sesudah  menyemprotkan obat inhalasi. Pada 

inhalasi nasal juga dapat terjadi candidiasis, 

di samping bersin, perdarahan dan atrofia 

mukosa hidung.

Kehamilan dan laktasi. Belum ada cukup 

data untuk menilai keamanannya bagi janin 

pada pemakaian  secara tracheal (inhalasi); 

beklometason dan flutikason bersifat teratogen pada binatang percobaan. Tidak diketahui apakah zat-zat ini dapat mencapai air 

susu ibu. 

8b. Beklometason (dipropionat): Becotide, 

Beconase, *Ventide

Derivat betametason ini (1967), yang atom 

fluornya digantikan oleh klor, mempunyai 

daya larut buruk dan hanya sedikit diresorpsi oleh mukosa bronchi. Obat ini dengan 

cepat diinaktivasi melalui esterase. sebab  

sebagian besar dari suatu inhalasi (80%) 

terendap di mulut dan tenggorok, risiko 

resorpsi meningkat pada dosis tinggi dan 

bagi beklometason pada dosis di atas 1000 

mcg sehari. Glukokortikoid ini dapat dipakai  secara lokal dalam bentuk aerosol 

(Nebuhaler), serbuk inhalasi (turbuhaler) atau 

cairan inhalasi. Dengan cara pemberian ini, 

efek samping sistemik dari pemakaian  oral 

dapat dihindari. 

Dosis: tracheal 3-4 dd 2 puff dari 50 mcg 

(dipropionat), intranasal 2-4 dd 1 puff di 

setiap lubang hidung (Beconase).

8c. Budesonida: Pulmicort, Rhinocort,

 *Symbicort, Obucort swinghaler

Derivat tanpa atom halogen ini (1980) 

memiliki efek lokal yang dua kali lebih kuat daripada beklometason, sebab  tidak 

diinaktivasi di paru-paru (dan di kulit). Dari 

dosis inhalasi 10-30% mengendap di paruparu. Efeknya baru nyata sesudah  10 hari 

dan mencapai puncaknya sesudah  beberapa 

minggu. Obat yang diberikan per oral diserap 

dan dengan pesat dirombak untuk 90% 

dalam hati (FPE besar). Untuk menghindari 

infeksi Candida juga perlu berkumur setiap 

kali sesudah  inhalasi.

Dosis: tracheal 2 dd 2 puff dari 200 mcg, 

intranasal 2 dd 1 puff (Rhinocort). Salep/krem 

0,25 mg/g. 

* Symbicort: budesonida 100/200 + formoterol 

6/6 microgram per inhalasi

8d. Flutikason: Flixonase, Flixotide, Cutivate, 

*Seretide

Derivat difluor (dalam inti steroida) ini 

dengan rantai samping -CO-S-CH2F pada 

C17 (1990), pada pemakaian  tracheal tidak 

diinaktifkan dalam paru-paru. Efeknya menjadi nyata sesudah  1 minggu, daya kerjanya bertahan lebih panjang dari kedua 

obat lainnya (plasma-t½ 3 jam). Dosis yang 

diminum hanya untuk sebagian kecil diserap, 

kemudian dirombak dalam hati menjadi 

metabolit inaktif. 

Efek samping. Pada dosis tinggi (di atas 

500 mcg/hari) ternyata memicu  efek 

sistemik: a.l. anak-anak dihambat pertumbuhannya. pemicu nya  mungkin sebab  

bersifat sangat lipofil dengan volume pembagian lebih besar dan ikatan reseptornya 

yang lebih erat daripada obat lain. (Todd G et 

al. Lancet 1996;348:27-9; Editorial. Lancet 1996; 

348:765)

Dosis: pemeliharaan asma 2 dd 100-500 

mcg (propionat), maksimal 2 mg sehari, anakanak 4-16 tahun 2 dd 50-100 mcg. Untuk kulit: 

krem 0,05% (Cutivate).

* Seretide: flutikason 100/250/500+salmeterol 

50/50/50 microgram per inhalasi.

8e. Flunisolida: Syntaris

Pada pemakaian  inhalasi intranasal, 

derivat fluor ini (1978) diresorpsi 50%, namun  

FPE besar dan cepat diinaktivasi oleh hati. 

Plasma- t½ 105 menit.

Dosis: pada rhinitis alergik intranasal 2-3 

dd 25-50 mcg.

9. PENGOBATAN 

IMUNOMODULATOR

a. Terapi imunosupresif

Ternyata kurang efektif pada asma (metotreksat, siklosporin A) dan memiliki lebih 

banyak efek samping daripada kortikosteroid 

oral.

b. Terapi Anti-IgE

Suatu antibodi monoklonal omalizumab (Xolair, Avila, 2007) dapat memblokir pengikatan 

IgE pada reseptor IgE di mastcel, menghindari 

aktivasinya oleh alergen dan menghindari 

peradangan kronis. Juga menurunkan jumlah 

IgE dalam sirkulasi. Hanya dipakai  pada 

penderita asma yang sangat parah berhubung 

biayanya yang sangat mahal. 

dipakai  sebagai injeksi subkutan tiap 

2-4 minggu dengan dosis yang tergantung 

dari titer IgE yang bersirkulasi. 

Efek samping utamanya reaksi anafilaktik 

yang jarang timbul ,



OBAT-OBAT BATUK

“Love and a cough cannot be hidden” (pepatah 

lama, sumber tidak diketahui)

FISIOLOGI BATUK

Batuk yaitu  suatu refleks fisiologi protektif 

yang bermanfaat untuk mengeluarkan dan 

membersihkan saluran pernapasan dari dahak, debu, zat-zat perangsang asing yang 

dihirup, partikel-partikel asing dan unsurunsur infeksi. Orang sehat hampir sama sekali 

tidak batuk berkat mekanisme pembersihan dari 

bulu getar di dinding bronchi, yang berfungsi 

menggerakkan dahak keluar dari paru-paru 

menuju batang tenggorok. Cilia ini bantu 

menghindarkan masuknya zat-zat asing ke 

saluran pernapasan. 

Etiologi 

Pada banyak gangguan saluran pernapasan, 

batuk merupakan gejala penting yang ditimbulkan oleh terpicunya refleks batuk. 

Misalnya pada alergi (asma), sebab-sebab 

mekanik (asap rokok, debu) tumor paru, 

perubahan suhu yang mendadak dan rangsangan kimiawi (gas, bau). Sering kali juga 

disebabkan oleh peradangan akibat infeksi 

virus seperti virus selesma (common cold), 

influenza, bronchitis dan pharyngitis. Virusvirus ini dapat merusak mukosa saluran 

pernapasan, sehingga menciptakan “pintu 

masuk” untuk infeksi sekunder oleh kuman, 

misalnya Pneumococci dan Haemophilus. Batuk 

dapat mengakibatkan menjalarnya infeksi 

dari suatu bagian paru ke yang lain dan juga 

merupakan beban tambahan bagi pasien 

penyakit jantung.

Penyebab batuk lainnya yaitu  peradangan

dari jaringan paru (pneumonia), tumor dan 

juga akibat efek samping beberapa obat 

(penghambat ACE).

Pada 5-20% pasien, pengguna ACE (Angiotensin-converting enzyme) inhibitors terhadap 

hipertensi dapat timbul batuk kering yang 

menjemukan dan disebabkan oleh akumulasi 

di paru dari senyawa-senyawa bradikinin, 

zat P dan/atau prostaglandin. Untuk menghindari gejala ini dosis penghambat ACE 

dikurangi atau beralih ke obat-obat dari kelompok ARB (Angiotensin Receptor Blocker). 

Bila pemakaian  obat penghambat ACE 

dihentikan, gejala batuk kering ini biasanya 

juga akan hilang dalam waktu 4 hari. 

Batuk juga merupakan gejala terpenting 

pada penyakit kanker paru. Penyakit tuberkulosa di lain pihak, tidak selalu harus disertai batuk, walaupun gejala ini sangat penting. Selanjutnya batuk yaitu  gejala lazim 

pada penyakit tifus dan dekompensasi jantung,

terutama manula, begitu pula pada asma 

dan keadaan psikis (kebiasaan atau “tic”). 

Akhirnya batuk yang tidak sembuh-sembuh 

dan “batuk darah” terutama pada anak-anak 

dapat pula disebabkan oleh penyakit cacing,

misalnya oleh cacing gelang.

Di samping gangguan-gangguan ini , 

batuk bisa juga dipicu oleh stimulasi reseptorreseptor yang ada  di mukosa dari seluruh 

saluran pernapasan, (termasuk tenggorok), 

juga dalam lambung. Bila reseptor ini yang 

peka bagi zat-zat perangsang distimulasi, 

timbullah refleks batuk. Saraf-saraf tertentu 

menyalurkan isyarat-isyarat ke pusat batuk 

di sumsum lanjutan (medulla oblongata), yang 

kemudian mengkoordinasi serangkaian proses yang menjurus ke respons batuk.

Batuk yang berlarut-larut merupakan beban serius bagi banyak penderita dan me-

nimbulkan berbagai keluhan lain seperti sukar tidur, keletihan dan inkontinensi urin.

* Selesma (common cold) yang umumnya 

disebut flu yaitu  infeksi akut oleh suatu 

rhinovirus yang ada  dalam jumlah besar 

di udara. Gejalanya timbul sesudah  suatu 

periode inkubasi singkat (1-3 hari) dan berupa 

batuk-pilek, bersin dan sakit tenggorok 

yang sembuh dengan sendirinya bila tidak 

ada komplikasi lain dan sering kali tanpa 

demam. pemicu nya  yaitu  peradangan 

pada saluran pernapasan bagian atas, seperti hidung, tenggorok, larynx (pangkal 

tenggorok) dan bronchi. Pada musim hujan, 

keluhan yang banyak sekali timbul yaitu  

flu, batuk dan infeksi saluran pernapasan. 

Dahak bronchi

Dahak bronchi terdiri dari larutan suatu 

persenyawaan rumit mukopolisakarida dan

glikoprotein, yang saling terikat melalui jembatan sulfur. Kekentalan dan keliatannya 

tergantung dari jumlah air dan jembatan-SH 

(sulfhidril) ini . Dalam keadaan normal 

saluran pernapasan membentuk sekitar 100 

ml sekret seharinya, yang untuk sebagian 

besar ditelan. Pada keadaan sakit, seperti 

pada pasien asma dan bronchitis, produksi 

dahak bertambah, begitu pula kekentalannya 

meningkat hingga sukar dikeluarkan (lihat 

Bab 40, Obat asma dan COPD). Sering kali 

keadaan ini dipersulit lagi oleh terganggunya 

fungsi bulu getar.

Jenis batuk

Dapat dibedakan 2 jenis batuk, yaitu batuk 

produktif (dengan dahak) dan batuk non-produktif 

(kering).

1. Batuk produktif merupakan suatu mekanisme perlindungan dengan fungsi mengeluarkan zat-zat asing (kuman, debu, dan 

sebagainya) dan dahak dari batang tenggorok seperti diuraikan di atas. Batuk ini 

pada hakikatnya tidak boleh „ditekan“ oleh 

obat pereda. namun  dalam praktik sering 

kali batuk yang hebat mengganggu tidur 

dan meletihkan pasien ataupun berbahaya, 

misalnya sesudah  pembedahan. Untuk meringankan dan mengurangi frekuensi batuk 

umumnya dilakukan terapi simtomatis dengan obat-obat batuk (antitussiva), yaitu zat 

pelunak, ekspektoransia, mukolitika dan 

pereda batuk.

2. Batuk non-produktif bersifat „kering“ 

tanpa adanya dahak, misalnya pada batuk 

rejan (pertussis, kinkhoest), atau juga sebab  

pengeluarannya memang tidak mungkin, 

seperti pada tumor. Batuk menggelitik ini 

tidak ada manfaatnya, menjengkelkan dan 

sering kali mengganggu tidur. Bila tidak 

diobati, batuk demikian akan berulang terus 

sebab  pengeluaran udara yang cepat pada 

waktu batuk akan kembali merangsang 

mukosa tenggorok dan farynx.

Obat-obat batuk

Antitussiva (L. tussis = batuk) dipakai  

untuk pengobatan batuk sebagai gejala dan 

dapat dibagi dalam sejumlah kelompok dengan mekanisme kerja yang sangat beranekaragam, yaitu:

a. zat pelunak batuk (emolliensia, L. mollis = 

lunak), yang memperlunak rangsangan 

batuk, melumas tenggorok agar tidak 

kering dan melunakkan mukosa yang 

teriritasi. Untuk tujuan ini banyak dipakai  sirop (Thymi dan Altheae), zat-zat 

lendir (Infus Carrageen) dan gula-gula 

seperti drop (akar manis, succus liquiritiae), 

permen, pastilles hisap (memperbanyak 

sekresi ludah), dan sebagainyanya. 

b. ekspektoransia (L. ex = keluar; pectus

= dada): minyak terbang, guaiakol, Radix 

Ipeca (dalam tablet/pulvis Doveri) dan 

amoniumklorida (dalam Obat Batuk Hitam). Zat-zat ini memperbanyak produksi dahak (encer) dan dengan demikian 

mengurangi kekentalannya, sehingga 

mempermudah pengeluarannya melalui 

batuk. Mekanisme kerjanya yaitu  merangsang reseptor-reseptor di mukosa 

lambung yang kemudian meningkatkan 

kegiatan kelenjar sekresi dari saluran 

lambung-usus dan sebagai refleks memperbanyak sekresi dari kelenjar yang 

berada di saluran pernapasan. Diperkirakan bahwa kegiatan ekspektoransia


juga dapat dipicu dengan meminum 

banyak air.

c. mukolitika: asetilsistein, mesna, bromheksin 

dan ambroksol. Zat-zat ini berefek merombak dan melarutkan dahak (L. mucus 

= lendir, lysis = melarutkan) sehingga 

viskositasnya dikurangi dan pengeluarannya dipermudah. Lendir memiliki gugus sulfhidril (-SH) yang saling mengikat 

makromolekulnya. Senyawa-sistein dan

mesna efektif membuka jembatan disulfida 

ini. Bromheksin dan ambroksol bekerja dengan memutuskan „serat-serat“ (rantai 

panjang) dari mukopolisakarida. 

Mukolitika dipakai  dengan efektif 

pada batuk dengan dahak yang kental 

sekali, seperti pada bronchitis, emfisema

dan mucoviscidosis (= cystic fibrosis). namun  

pada umumnya zat-zat ini tidak berguna 

bila gerakan bulu getar terganggu seperti 

pada perokok atau akibat infeksi.

d. zat pereda: kodein, noskapin, dekstrometorfan 

dan pentoksiverin (Tuclase). Obat-obat dengan kerja sentral ini ampuh sekali pada 

batuk kering yang menggelitik.

e. antihistaminika: prometazin, oksomemazin, 

difenhidramin dan d-klorfeniramin. Obatobat ini sering kali juga efektif berdasar  efek sedatifnya dan juga dapat 

menekan perasaan menggelitik di tenggorok. Antihistaminika banyak dipakai  terkombinasi dengan obat-obat batuk lain dalam bentuk sirop OTC. Lihat 

selanjutnya Bab 51, Antihistaminika.

f. anestetika lokal: pentoksiverin. Obat ini 

menghambat penerusan rangsangan batuk ke pusat batuk. 

Efektivitas dari emolliensia, ekspektoransia 

dan mukolitika untuk meringankan batuk 

menurut sejumlah peneliti masih diragukan, 

sebab  belum pernah dibuktikan secara 

objektif ilmiah. Efek baik yang sering kali 

dihasilkan oleh obat-obat ini terutama berdasar  perasaan subjektif dan diperkirakan berkat efek plasebo yang terkenal 

besar pengaruhnya pada terapi batuk.

Penggolongan lain dari antitussiva dapat 

dilakukan sesuai titik-kerjanya, yaitu dalam 

otak (SSP) atau di luar SSP, yakni zat-zat 

sentral dan zat-zat perifer.

1. Zat-zat sentral. Kebanyakan antitusiva 

bekerja sentral dengan menekan pusat batuk 

di sumsum lanjutan dan mungkin juga 

bekerja terhadap pusat saraf lebih tinggi (di 

otak) dengan efek menenangkan. Dengan 

demikian zat-zat ini dapat menaikkan ambang bagi impuls batuk. 

Lalu juga dapat dibedakan antara zat-zat 

yang dapat memicu  adiksi (ketagihan) 

dan zat-zat yang bersifat non-adiktif.

a. zat adiktif: candu (Pulvis Opii, Pulvis 

Doveri), kodein. Zat-zat ini termasuk 

dalam kelompok obat yang disebut “opioid”, yaitu obat-obat yang memiliki 

(sebagian) sifat farmakologi dari candu 

(opium) atau morfin. sebab  adanya risiko ketagihan yang agak besar, candu 

kini tidak dipakai  lagi. Kodein hanya 

dalam dosis tinggi dan bila dipakai  

untuk jangka waktu lama merupakan 

risiko adiksi.

b. zat non-adiktif: noskapin, dekstrometorfan, 

pentoksiverin. Antihistaminika dianggap 

termasuk juga dalam kelompok ini, misalnya prometazin dan difenhidramin. Obatobat ini tidak termasuk dalam Daftar 

Narkotika, bahkan dijual bebas tanpa 

resep.

2. Zat-zat perifer. Obat-obat ini bekerja di 

luar SSP (di periferi) dan dapat dibagi pula 

dalam beberapa kelompok yang sudah 

diuraikan di atas, yaitu emolliensia, ekspektoransia,mukolitika, anestetika lokal dan zat-zat 

pereda.

Penanganan batuk

Tindakan penting yaitu  terutama berhenti 

merokok untuk menghindari perangsangan 

lebih lanjut pada saluran pernapasan. Di 

samping itu dapat dilakukan inhalasi uap 

air (mendidih) yang dihirup untuk memperbanyak sekret yang diproduksi di tenggorok. 

Metode ini efektif dan murah, terutama pada batuk „dalam“, artinya bila rangsangan 

batuk timbulnya dari pangkal tenggorok. Sering kali minum banyak air juga dapat 

menghasilkan efek yang sama.

Untuk meningkatkan efek inhalasi uap 

sering kali dibubuhkan minyak atsiri atau 

mentol pada air mendidih, agar uapnya turut 

dihirup yang memicu  vasodilatasi serta 

perasaan lega di saluran pernapasan.

Pengobatan3

.

 .Farmakoterapi batuk pertamatama hendaknya ditujukan pada mendeteksi 

dan mengobati pemicu nya  (terapi kausal), 

seperti pemakaian  antibiotika terhadap infeksi kuman dari saluran pernapasan, misalnya bronchitis, pneumonia dan batuk rejan 

(lihat boks).

* Pneumonia orang dewasa diobati dengan 

doksisiklin selama 7 hari (permulaan 200 

mg, lalu 1 dd 100 mg), bagi wanita hamil dan 

menyusui amoksisilin 3 dd 500 mg selama 7 

hari atau eritromisin 4 dd 500 mg selama 7 

hari. Anak-anak dapat diberikan amoksisilin 

30mg/kg selama 7 hari, bila ada  kontraindikasi: azitromisin (Zithromax) 1 dd 10 mg/

kg selama 3 hari.

* Batuk rejan pada hakikatnya hanya diobati 

dengan antibiotika bila di lingkungan dekat 

ada  bayi atau wanita hamil, jadi untuk 

prevensi penularan. Dalam hal ini pada anakanak diberikan azitromisin 1 dd 10 mg/kg 

selama 3 hari, dewasa 1 dd 500 mg selama 3 

hari, wanita hamil dan menyusui eritromisin

4 dd 500 mg selama 7 hari.

Kemudian baru dapat dipertimbangkan 

apakah perlu diberikan terapi simtomatis untuk meniadakan atau meringankan gejala 

batuk berdasar  jenisnya batuk, yaitu batuk 

produktif dengan (banyak) dahak atau batuk 

“kering.“ Dalam hal pertama dapat diberikan 

emolliensia, ekspektoransia, mukolitika atau 

anthistaminika, sedangkan dalam hal kedua 

zat pereda rangsangan bersama emolliensia 

yaitu  lebih efektif. Dalam kasus parah 

obat pilihan utama untuk anak-anak yaitu  

noskapin (2-4 dd 7,5-15 mg tergantung usia) 

dan untuk dewasa noskapin 3-4 dd 15-30 mg 

atau kodein 3-4 dd 10-20 mg.

Kehamilan dan laktasi

Kodein, noskapin dan dekstrometorfan boleh 

dipakai  selama kehamilan dan laktasi, 

begitu pula mukolitika, amoniumklorida 

dan Ipeca. Bagi oksolamin dan mesna belum 

tersedia cukup data mengenai keamanannya. 

Pentoksiverin tidak boleh dipakai  selama 

laktasi, sebab  mencapai air susu ibu dan 

dapat mengakibatan sesak napas pada bayi.

Batuk rejan (pertussis) yaitu  penyakit infeksi akibat inhalasi kuman Gram-negatif Bordetella 

pertussis yang terutama menyerang anak-anak kecil, namun  juga dewasa dapat terinfeksi.Masa 

inkubasinya 7-10 hari. Penyakit bersifat sangat menular dan terdiri dari tiga fasa. Dalam fasa pertama 

terbentuk banyak lendir akibat radang mukosa saluran pernapasan bagian atas, gejala lainnya ialah 

perasaan lemah, malaise, anoreksia dan conjunctivitis. Kira-kira seminggu kemudian menyusul fasa 

kedua dengan serangan-serangan batuk hebat dengan suara tinggi khas, yang sangat meletihkan dan 

umumnya berakhir dengan muntah. Fasa ketiga yaitu  masa penyembuhan yang berlangsung 7- 10 

hari. Dengan pemberian eritromisin dalam fasa permulaan gejala-gejalanya dapat diperlunak dan 

masa penularannya (dari ±4 minggu) bisa dipersingkat. Di banyak negara Barat di mana bayi diimunisasi secara rutin dengan vaksin DKTP, kasus batuk rejan sudah menjadi jarang sekali. Lihat Bab 

50, Vaksin.

*Radang paru (pneumonia) yaitu  penyakit infeksi akibat berbagai mikro-organisme, kebanyakan 

oleh kuman, yaitu Stafilokok, Streptokok, Pneumokok, Coli, Proteus, Haemophilus influenzae, 

Pseudomonas, Legionella, dan lain-lain. Ciri-cirinya yaitu  kombinasi dari batuk kering, diare, 

demam 38° C atau lebih dan kadar CRP > 20 mg per liter atau lebih (faktor radang).

sesudah  kuman di determinasi melalui persemaian, pengobatan dilakukan dengan penisilin-G 

dan amoksisilin terhadap kuman Gram-positif serta kombinasi dari sefalosporin + aminoglikosida 

terhadap kuman Gram-negatif, lihat juga Bab 5, Antibiotika. Untuk infeksi oleh Legionella dan 

Mycoplasma dipakai  eritromisin.MONOGRAFI

1.ZAT-ZAT PEREDA SENTRAL

1a. Kodein (F.I.): metilmorfin, *Codipront

Alkaloid candu ini memiliki sifat yang 

menyerupai morfin, namun  efek analgetik 

dan meredakan batuknya jauh lebih lemah, 

begitu pula efek depresinya terhadap pernapasan. Obat ini banyak dipakai  sebagai 

pereda batuk dan penghilang rasa sakit, 

biasanya dikombinasi dengan asetosal yang 

memberikan efek potensiasi. Dosis analgetik 

yang efektif terletak di antara 15 - 60 mg. 

Sama dengan morfin, kodein juga dapat 

membebaskan histamin (histamin-liberator).

Resorpsi dari usus jauh lebih baik daripada 

morfin, begitu pula FPE-nya lebih ringan, 

sehingga ±70% mencapai sirkulasi besar. PP 

hanya 7%, plasma-t½ 3-4 jam. Dalam hati zat 

ini diuraikan menjadi norkodein dan 10% 

menjadi morfin yang mungkin memegang 

peranan atas efek analgetiknya. Metabolitnya 

diekskresi sebagai glukuronida melalui urin 

dan 5-15% dalam keadaan utuh.

Efek samping jarang terjadi pada dosis 

biasa dan terbatas pada obstipasi, mual dan 

muntah, pusing dan termangu-mangu. Pada 

anak kecil dapat terjadi konvulsi dan depresi 

pernapasan. Dosis tinggi dapat memicu  

efek sentral ini . Walaupun kurang hebat 

dan lebih jarang daripada morfin, obat ini 

dapat pula mengakibatkan ketagihan.

Dosis: oral sebagai analgetikum dan pereda 

batuk 3-5 dd 10-40 mg dan maks. 200 mg 

sehari. Pada diare 3-4 dd 25-40 mg.

*Sediaan kombinasi dengan feniltoloksamin

yaitu  *Codipront di mana kedua obat terikat 

pada suatu resin (damar), yang memberikan 

efek kerja panjang.

1b. Noskapin: narkotin, Mercotin, Longatin

Alkaloid candu alamiah ini tidak memiliki rumus fenantren seperti kodein dan morfin, 

namun  termasuk dalam kelompok benzilisokinolin seperti alkaloid candu lainnya (papaverin dan tebain). Efek meredakan batuknya tidak sekuat kodein, namun  tidak mengakibatkan depresi pernapasan atau obstipasi, 

sedangkan efek sedatifnya dapat diabaikan. 

Risiko adiksinya ringan sekali. Berkat sifat 

baik ini, obat ini  banyak dipakai  

dalam berbagai sediaan obat batuk populer. 

Noskapin tidak bersifat analgetik dan 

merupakan pembebas histamin yang kuat 

dengan efek bronchokonstriksi dan hipotensi 

(selewat) pada dosis besar.

Efek samping jarang terjadi dan berupa 

nyeri kepala, reaksi kulit dan perasaan lelahletih tidak bersemangat. 

Dosis: oral 3-4 kali sehari 15-50 mg, maks. 

250 mg sehari.

1c. Dekstrometorfan: metoksilevorfanol, *Romilar/exp, *Benadryl DMP, *Quelidrine, *Triaminic

Derivat fenantren non-narkotik sintetik 

ini (1953) berkhasiat menekan rangsangan 

batuk yang sama kuatnya dengan kodein, 

namun  bertahan lebih lama. Tidak berkhasiat 

analgetik, sedatif, sembelit atau adiktif, oleh 

sebab  itu tidak termasuk dalam Daftar 

Narkotika. Mekanisme kerjanya berdasar  

peningkatan ambang pusat batuk di otak. 

Pada penyalahgunaan dengan dosis tinggi 

dapat terjadi efek stimulasi SSP dengan memicu  semacam euforia, maka kadangkala dipakai  oleh pecandu drugs.

Resorpsi dari usus cepat dan mengalami 

FPE luas, padamana terbentuk glukuronida

aktif dari dekstrorfan (= isomer-dekstro dari 

levorfanol). Plasma-t½ bervariasi individual 

dari 2-4 jam sampai 45 jam.

Efek samping hanya ringan dan terbatas 

pada mengantuk, termangu-mangu, pusing, 

nyeri kepala dan gangguan lambung-usus.

Dosis: oral 3-4 dd 10-20 mg (bromida) p.c., 

anak-anak 2-6 tahun 3-4 dd 8 mg , 6-12 tahun 

3-4 dd 15 mg.

2. ANTIHISTAMINIKA

2a. Prometazin: Phenergan, *Phenergan exp.

Derivat fenotiazin ini (1949) sebagai antihistaminikum berkhasiat meredakan rangsangan batuk berkat sifat sedatif dan antikolinergiknya yang kuat. Obat ini terutama 

dipakai  bagi anak-anak di atas usia 1 

tahun pada batuk malam yang menggelitik. 

Perlu diperhatikan bahwa obat ini jangan 

diberikan kepada anak kecil di bawah usia 1 tahun, sebab  dapat mengakibatkan 

depresi pernapasan dan kematian mendadak („sudden infant death“). 

Efek samping antikolinergiknya dapat menyebabkan retensi urin dan gangguan akomodasi pada manula.

Dosis: 3 dd 25-50 mg (garam HCl) d.c., 

anak-anak di atas 1 tahun 2-4 dd 0,2 mg/kg. 

Lihat selanjutnya Bab 51, Antihistaminika.

* Oksomemazin (Doxergan, *Toplexil) yaitu  

derivat dengan khasiat dan pemakaian  

yang sama (1964), efek antikolinergiknya 

lemah. Dosis: 2-3 dd 15 mg, anak-anak 1-2 

tahun 2,5-10 mg sehari, 2-5 tahun 10-20 mg 

sehari, 5-10 tahun 2-3 dd 10 mg.

2b. Difenhidramin: Benadryl

Sebagai zat antihistamin (H1

-blocker), senyawa ini bersifat hipnotik-sedatif dan 

dengan demikian meredakan rangsangan 

batuk. Pada bayi dapat memicu  perangsangan paradoksal, misalnya mengeringnya 

selaput lendir sebab  efek antikolinergik. 

Dosis: 3-4 dd 25-50 mg. 

3. MUKOLITIKA

3a. Asetilsistein: Fluimucil

Derivat dari asam amino alamiah sistein

ini berkhasiat mencairkan dahak yang liat

melalui pemutusan jembatan disulfida, sehingga rantai panjang antara mukoprotein 

terbuka dan lebih mudah dikeluarkan melalui proses batuk. Sebagai precursor dari 

glutathion, zat ini juga bersifat antioksidan 

dengan melindungi sel terhadap oksidasi 

dan perusakan oleh radikal bebas; derivatnya 

karbosistein dan mukolitik lainnya mesna 

(Misatabron) tidak memiliki sifat ini.

Asetilsistein juga mampu memperbaiki 

gerakan bulu getar (cilia) dan membantu

efek antibiotik (doksisiklin, amoksisiklin 

dan tiamfenikol). Zat ini terutama efektif 

terhadap dahak yang kental sekali dan sangat bermanfaat bagi pasien COPD dan 

mucoviscidosis. Asetilsistein juga merupakan 

zat penawar (antidotum) terhadap keracunan 

parasetamol melalui peningkatan persediaan 

glutation. Zat ini mengikat metabolit toksik 

dari parasetamol dan dengan demikian dapat menghindari necrosis hati bila diberikan 

dalam waktu 10 jam (per oral atau i.v.) sesudah  

intoksikasi. 

Resorpsi pesat, namun  BA hanya ±5% akibat 

FPE tinggi. Seperti semua asam amino, distribusinya dalam tubuh baik dengan mencapai kadar tinggi, a.l. di saluran pernapasan dan sekret bronchi. Dalam hati diubah 

menjadi sistein, sistin dan taurin, sedangkan 

ekskresinya berlangsung melalui urin.

Efek samping yang paling sering terjadi 

yaitu  mual dan muntah, maka penderita 

tukak lambung perlu waspada. Sebagai obat 

inhalasi, zat ini dapat memicu  kejang 

bronchi pada penderita asma. Pada dosis 

tinggi (seperti pada intoksikasi parasetamol) 

dapat timbul reaksi anafilaktis dengan rash, 

gatal, udema, hipotensi dan bronchospasme. 

Dosis: oral 3-6 dd 200 mg atau 1-2 dd 600 

mg granulat, anak-anak 2-7 tahun 2 dd 200 

mg, di bawah 2 tahun 2 dd 100 mg. Sebagai 

antidotum keracunan parasetamol, oral 150 

mg/kg berat badan dari larutan 5%, disusul 

dengan 75 mg/kg setiap 4 jam.

* Karbosistein (karboksimetilsistein, Mucocil, 

Rhinathiol, Solmux) yaitu  derivat dengan 

pemakaian  yang sama namun  khasiat mukolitiknya lebih lemah. Diperkirakan bahwa 

efeknya terhadap lambung lebih jarang 

terjadi. Plasma-t½ 2 jam. Dosis: oral 3-4 dd 750 

mg, anak-anak 3 dd 100-375 mg.

3b. Bromheksin: Bisolvon, Mosavon

Derivat sikloheksil ini berkhasiat mukolitik pada dosis yang cukup tinggi. Viskositas 

dahak dikurangi melalui depolimerisasi seratserat mukopolisakaridanya. Bila dipakai  

melalui inhalasi efeknya sudah tampak 

sesudah  20 menit, sedangkan per oral baru 

sesudah  beberapa hari dengan berkurangnya 

rangsangan batuk.

Resorpsi dari usus baik, mulai kerjanya 

per oral sesudah ±5 jam, sedangkan sebagai 

inhalasi sesudah  15 menit. Dalam hati zat 

ini dirombak praktis tuntas menjadi a.l. 

metabolit aktif ambroksol (Ambril, Mucopect), 

yang juga dipakai  sebagai mukolitikum.

Efek samping berupa gangguan saluran 

cerna, pusing dan berkeringat, namun  jarang

terjadi. Pada inhalasi dapat terjadi bronchokonstriksi ringan. 

Dosis: oral 3-4 dd 8-16 mg (klorida), anakanak 3 dd 1,6-8 mg, tergantung dari usia.

4. EKSPEKTORANSIA

4a. Kaliumiodida

Iodida menstimulasi sekresi mucus di cabang tenggorok dan mencairkannya, namun  

sebagai obat batuk (hampir) tidak efektif. 

Namun obat ini banyak dipakai  dalam 

sediaan batuk, khususnya pada asma, walaupun risiko efek samping besar sekali. 

Kaliumiodida terutama dipakai  untuk 

profilaksis dan terapi struma (gondok) dan 

hipertirosis (lihat Bab 48, Tiroksin dan tiroistatika), serta sebagai obat tetes mata (larutan 

1%) untuk lensa mata keruh (katarak).

Efek samping kuat dan berupa gangguan 

tiroid, struma, urticaria dan iod-akne, juga 

hiperkaliëmia (pada fungsi ginjal buruk).

Dosis: pada batuk oral 3 dd 0,5-1 g, maks. 

6 g sehari. Bagi pasien yang tidak boleh 

diberikan kalium, obat ini dapat diganti 

dengan natriumiodida dengan khasiat yang 

sama.

4b. Amoniumklorida

Berkhasiat diuretik lemah yang menyebabkan acidosis, yaitu kelebihan asam dalam 

darah, lihat Bab 33, Diuretika. Keasaman 

darah merangsang pusat pernapasan, sehingga frekuensi napas meningkat dan 

gerakan bulu getar (cilia) di saluran napas 

distimulasi. Sekresi dahak juga meningkat. 

Maka senyawa ini banyak dipakai  dalam 

sediaan sirop batuk, misalnya Obat Batuk 

Hitam. 

Efek samping hanya terjadi pada dosis tinggi 

dan berupa acidosis (khusus pada anakanak dan pada pasien ginjal) dan gangguan 

lambung (mual, muntah), sebab  sifatnya 

yang merangsang mukosa.

Dosis: oral 3-4 dd 100-150 mg, maks. 3 g 

seharinya.

4c. Guaifenesin (gliserilguaiakolat, *Toplexil) 

yaitu  derivat guaiakol yang banyak dipakai  sebagai ekspektoran dalam berbagai jenis sediaan batuk populer. Pada 

dosis tinggi bekerja merelaksasi otot, seperti 

mefenesin.

Efek samping kadangkala berupa iritasi 

lambung (mual, muntah) yang dapat dikurangi bila diminum dengan segelas air.

Dosis: oral 4-6 dd 100-200 mg.

4d. Minyak atsiri

Minyak atsiri/mudah menguap, seperti 

minyak kayu putih, minyak permen dan

minyak adas (Oleum foeniculi) berkhasiat 

menstimulasi sekresi dahak, bekerja spasmolitik

(melawan kejang), antiradang dan juga bersifat 

bakteriostatik lemah. berdasar  sifat-sifat ini 

minyak terbang banyak dipakai  dalam 

sirop batuk atau juga sebagai obat inhalasi uap

(obat sedot), yaitu ±10 tetes dimasukkan ke 

dalam 1 liter air panas dan dihisap uapnya. 

Terbukti bahwa inhalasi demikian juga 

sangat efektif untuk meringankan selesma 

akibat infeksi virus, yang ternyata dapat 

diinaktifkan oleh suhu di atas 40° C.

4e. Ipecacuanhae radix (F.I.): *Doveri pulvis

Akar tambahan dari tumbuhan Psychotria 

ipecacuanha (Rubiaceae) ini mengandung dua 

alkaloid, yakni emetin dan sefaelin. Zat-zat 

ini bersifat emetik (memicu  muntah), 

spasmolitik terhadap kejang saluran pernapasan dan menstimulasi sekresi bronchi 

secara reflektoris. pemakaian  utamanya 

yaitu  sebagai emetikum yang efektif pada peristiwa keracunan, terutama pada 

anak-anak. Sebagai ekspektorans hanya dipakai  dalam kombinasi dengan obatobat batuk lain, misalnya dalam Pulvis/Tablet 

Doveri, yakni campuran dengan serbuk candu

dan dalam sediaan ini Ipeca juga berfungsi 

mencegah penyalahgunaannya.

Efek samping pada dosis biasa berupa reaksi 

hipersensitasi dan muntah-muntah pada 

dosis lebih tinggi.

Dosis: oral 3 dd 50 mg.

5. EMOLLIENSIA 

5a. Succus liquiritiae: *Obat Batuk Hitam.

Serbuk yang berwarna hitam ini diperoleh 

dari ekstrak akar tumbuhan Glycyrrhiza 

glabra (akar manis) dan mengandung dua asam (glycyrrhizic acid dan glycyrrhetic 

acid), liquiritin yang bersifat spasmolitik 

dan flavonoida lain, seperti fito-estrogen (Yun. 

phyto- : berasal tumbuhan). Obat ini banyak 

dipakai  sebagai salah satu komponen dari 

sediaan obat batuk untuk mempermudah 

pengeluaran dahak dan untuk memperbaiki 

rasa (corrigens rasa).

Efek samping pada dosis lebih tinggi dari 

3 g sehari berupa nyeri kepala, udema dan 

terganggunya keseimbangan elektrolit, 

akibat efek mineralokortikoid dan hipernatriëmia

dari asam glycyrrizinat. Yang terkenal yaitu  

hipertensi pada mereka yang makan terlalu 

banyak drop (gula-gula dengan succus).

Dosis: oral 1-3 g sehari.



HORMON-HORMON


Hormon yaitu  zat kimiawi yang disekresikan oleh kelenjar endokrin dan masuk 

langsung ke dalam aliran darah. Efeknya 

terjadi di suatu organ lain dari tubuh yang 

membutuhkannya untuk dapat berfungsi 

secara normal.

Kelenjar endokrin yaitu  kelenjar dengan 

sekresi intern dan yang terpenting yaitu  

hipofisis, hipotalamus dan epifisis di otak, kelenjar kelamin (ovaria dan testes), anak-ginjal, 

pankreas, tiroid,paratiroid dan timus.

pemakaian 

Sediaan hormon banyak dipakai  sebagai 

terapi substitusi untuk menggantikan kekurangan yang terjadi akibat hipofungsi

suatu kelenjar endokrin, misalnya insulin

pada diabetes dan estrogen pada masa setelah menopause. namun  jumlah terbanyak 

dipakai  sebagai obat pada gangguan 

yang tidak bersifat endokrin, namun  berdasar  kegiatannya yang khas. Misalnya 

pemakaian  kortikosteroida pada antara 

lain gangguan yang berkaitan dengan peradangan dan hormon kelamin wanita dalam 

pil antihamil.

Dahulu sering kali dipakai  sediaan organnya sendiri, yaitu kelenjar hewan (sapi, 

babi, domba) yang telah dikeringkan, dihaluskan dan distandardisasi. namun  sediaan 

ini  dewasa ini praktis sudah seluruhnya 

ditinggalkan, sebab  banyak hormon sudah 

dapat dibuat secara sintesis, yang lebih murni dan kerapkali lebih kuat aktivitasnya. 

Sejak akhir tahun 1990-an, sejumlah hormon 

malah dibuat secara biosintetik melalui teknik rekombinan-DNA, misalnya insulin, hormon pertumbuhan somatropin dan FSH

(folitropine,Puregon).

HORMON-HORMON 

HIPOFISIS

HIPOFISIS 

DAN HIPOTALAMUS

Hypophysis cerebri (embelan otak) atau 

glandula pituitaria yaitu  sebuah umbai 

kecil yang terikat dengan tangkai pada dasar 

otak. Kelenjar ini beratnya hanya 1 g, namun  

merupakan mata rantai terpenting antara 

SSP dan kelenjar-kelenjar endokrin lainnya 

dan terkadang juga disebut Kelenjar Utama

(Master gland).

Hypothalamus yaitu  organ kecil yang secara anatomis dan fungsional berhubungan 

erat dengan hipofisis. Hipotalamus yaitu  

bagian dari otak-tengah (diencephalon) bersama talamus dan merupakan pusat sangat 

penting, yang meregulasi a.l. suhu tubuh, 

tekanan darah serta sekresi hormon-hormon 

seks dan kortikosteroida.

Kedua organ endokrin ini  menghasilkan hormon-hormonnya sendiri. Sekresi 

dari sebagian besar hormon hipofisis

dikendalikan oleh hormon-hormon hipotalamus, yang disebut releasing hormones dan 

inhibiting factors. Contohnya yaitu  PRH 

(Prolactine Releasing Hormone) yang menstimulasi sekresi prolaktin, sedangkan PIF 

(Prolactine Inhibiting Factor) yang identik 

dengan dopamin, justru menghambatnya. 

Produksi hormon-hormon peptida ini di hipotalamus diatur oleh neurotransmitter seperti 

noradrenalin, serotonin dan dopamin.

Hormon-hormon hipofisis

Hipofisis terdiri dari dua bagian, yakni umbai 

depan dan umbai belakang yang membentuk hormonnya masing-masing.

1. Adenohipofisis: umbai depan (lobus anterior) merupakan bagian terbesar, kira-kira 

duapertiga dari seluruh organ dan terdiri 

dari jaringan kelenjar (= Lat. adeno). Adenohipofisis menghasilkan minimal 10 peptida, 

yang disebut hormon trophic (akhiran -troph

berasal Yun. trophikos = beri makan, to feed). 

Hormon-hormon ini memiliki fungsi regulasi 

untuk organ endokrin lain yang didorong 

olehnya untuk mengeluarkan hormonnya 

sendiri. Pengecualian yaitu  prolaktin dan 

somatropin yang berefek langsung terhadap 

masing-masing laktasi dan pertumbuhan 

jaringan. 

Hormon-hormon adenohipofisis kini dapat 

disintesis dalam keadaan agak murni dan 

yang terpenting yaitu :

a. gonadotropin atau hormon gonadotrop:

sekresinya distimulasi oleh hormon hipotalamus GnRH, lihat di bawah. Gonadotropin terdiri dari dua hormon, yakni:

– FSH(= Follicle Stimulating Hormone): 

menstimulasi perkembangan folikel 

(de Graaf) dalam ovaria dan pembentukan spermatozoa dalam testes 

– LH(= Luteinizing Hormone), dahulu 

juga disebut ICSH(= Interstitial Cell 

Stimulating Hormone), menstimulasi 

antara lain transformasi folikel masak menjadi badan kuning(Corpus 

luteum) serta produksi estrogen dan 

progesteron oleh ovaria. Juga mendorong sel-sel Leydig (=sel-sel interstitium 

testes) untuk memproduksi testosteron.

b. kortikotropin, hormon kortikotrop atau 

ACTH (= Adreno-Corticotropic Hormone)

menstimulasi kulit anak-ginjal untuk 

memproduksi kortisol dan hormon-hormon kelamin

c. tirotropin, hormon tirotrop atau TSH 

menstimulasi produksi tiroksin oleh kelenjar tiroid

d. somatropin (STH) atau hormon pertumbuhan (Growth hormone, GH) menstimulasi 

pertumbuhan umum dari jaringan, juga 

berefek laktogen

e. prolaktin menstimulasi sekresi air susu 

ibu yang telah “disiap-sediakan” oleh 

estrogen dan progesteron selama masa 

hamil. Juga untuk memelihara laktasi. 

Struktur molekul peptidanya mirip dengan STH. 

Hormon-hormon lainnya belum diidentifikasi dengan tuntas dan mungkin juga 

berfungsi meregulasi. Beberapa hormon yang 

ini  di atas, selain di adenohipofisis, juga disintesis di plasenta, misalnya chorion 

gonadotropin dengan efek sama seperti LH.

2. Neurohipofisis: umbai belakang (lobus 

posterior) terutama terdiri dari jaringan saraf. 

Kedua hormonnya yaitu :

a. oksitosin (oxytocin): berkhasiat mengkontraksi rahim dan menstimulasi dimulainya laktasi

b. vasopresin atau ADH(Anti Diuretic Hormone) mencegah ekskresi air berlebihan 

oleh ginjal. Kedua hormon ini disintesis 

di dalam hipotalamus dan diangkut sebagai paket-paket kecil melalui ujungujung neuron di tangkai hipofisis ke 

umbai belakangnya.

A. HORMON ADENOHIPOFISIS

Gonadotropin

Efek atas ovaria. Setiap bulan FSH bersama 

LH menstimulasi pemasakan satu sel telur 

(ovum) hingga berkembang menjadi sebuah 

gelembung kecil, yaitu Folikel de Graaf. Produksi estrogen oleh ovaria juga distimulasi 

olehnya. Kira-kira 2 minggu kemudian, pada pertengahan siklus haid, produksi LH

memuncak dan terjadilah ovulasi, yaitu folikel masak melepaskan sel telurnya. Juga 

di bawah pengaruh LH sisa folikel berkembang lagi menjadi suatu Badan kuning 

(Corpus luteum), yang distimulasinya untuk 

mensekresi progesteron dan estrogen dalam 

jumlah besar. saat  terjadi kehamilan, 

sesudah  ovaria menghentikan produksinya 

sekitar bulan ke-4, plasenta membentuk 

HCG (gonadotropin) yang mendorong sekresi 

progesteron untuk memelihara kehamilan. 

Efek atas testes. FSH khusus bertanggung 

jawab atas perkembangan testes dan pembentukan sel-sel mani (spermatogenesis), sedangkan LH bekerja terhadap sel-sel Leydig

dalam testes untuk meningkatkan sintesis 

dan sekresi testosteron.

Sediaan 

Gonadotropin dapat diperoleh dari air kemih 

wanita hamil dan wanita sesudah menopause. berdasar  ini tersedia 2 sedia-an, 

yaitu gonadotropin chorion dan gonadotropin 

menopausal.

a. Human chorion gonadotropine (HCG).

Telur yang sudah dibuahi dalam tuba sesudah 

kira-kira 8 hari tiba di rahim dan bersarang 

di endometrium. Janin muda berkembang 

dengan cepat dan sel-sel tertentu dari plasenta (= uri, organ penghubung antara ibu 

dan janin) tumbuh ke dalam pembuluh ibu. 

Sel-sel ini secara khas membuat chorion gonadotropin (chorion = selubung janin bagian 

luar). Gonadotropin juga memasuki sirkulasi 

ibu untuk kemudian diekskresi lewat kemih, 

dari mana isolasi dapat dilakukan.

b. Human menopausal gonadotropine (menotropin, HMG). Pada wanita sesudah menopause produksi estrogen yang sangat menurun memicu bertambahnya sekresi FSH 

(dan LH) oleh hipofisis melalui feedback 

negatif. HMG ini diekskresi lewat urin.

*Tes kehamilan semuanya didasarkan atas 

indikasi adanya HCG dalam urin dan dikenal tes biologis serta tes imunokimiawi. HCG 

terbentuk pada 6 hari pertama sesudah  pembuahan dan 9 sampai 11 hari sesudah  ovulasi 

HCG sudah dapat dideteksi dalam urin. Pada 

8-12 minggu pertama dari nifas, kadarnya 

sangat meningkat sampai puncak 100–250.000 

U/l urin dan kemudian menurun lagi. 

Tes lama dapat mendeteksi HCG ±2 minggu 

sesudah  tanggal haid yang diperkirakan. Tes 

mutakhir jauh lebih sensitif dan sudah mampu menentukannya pada kadar 25-50 mlU/

ml, jadi sangat dini, bahkan sudah pada 

tanggal haid ini . Keberatan dari deteksi 

dini yaitu  bahwa rata-rata 30% dari semua 

kasus kehamilan, pada permulaan nifas berakhir dengan abortus spontan. sebab  itu, tes 

kehamilan sebaiknya dilakukan beberapa 

waktu seusai tanggal haid.

Tes kehamilan yang tersedia di negara kita  

antara lain Testpack Plus (sensitivitas 25 mIU/

ml), Acon hCG Card/Strip Test (sensitivitas 25 

mIU/ml), Sensitif (sensitivitas 25 mIU/ml; 

Plasmatec (UK), dan Trusty (Blue Cross).

B. Hormon hipotalamus

Hormon-hormon hipotalamus menstimulasi 

atau menghambat sintesis dan pelepasan 

semua hormon hipofisis yang ini  di 

atas. Kini dikenal tujuh hormon polipeptida 

dengan aktivitas khusus terhadap adenohipofisis, yaitu:

1. GnRH (= Gonadotropin RH), juga disebut 

LHRH (Luteinizing Hormone RH) atau gonadorelin

2. CRH (= Corticotropin RH) atau kortikorelin

3. TRH (= Thyrotropin RH) atau protirelin

4. GHRH (= Growth Hormone RH) atau somatorelin

5. GHRIF (= GH Release Inhibiting Factor)

menghambat sekresi somatotropin (dan 

tirotropin). Selain di hipotalamus dan

otak, hormon ini juga disintesis di usus 

halus dan pankreas. Di saluran pencernaan hormon ini menghambat sekresi 

asam lambung, pepsin serta gastrin dan 

di pankreas menghambat sekresi insulin 

serta glukagon. 

6. PRL-RH (= Prolactine RH)

7. PIF (=Prolactine Inhibiting Factor) yaitu  

identik dengan neurotransmitter dopamin (DA)

Semua hormon ini sekarang dapat disintesis 

secara kimiawi. Gonadorelin dan analogon 

sintetiknya terutama dipakai  berdasar  

efek tak-langsungnya terhadap kadar hormon kelamin. Kortikorelin, protirelin dan 

somatorelin dipakai  sebagai diagnostika, 

sedangkan somatostatin dan analogonnya 

oktreotide untuk terapi. Lihat Tabel 42-1.

Mekanisme feedback negatif

Sekresi hormon adenohipofisis tidak hanya 

dikendalikan oleh peptida-peptida hipotalamus, namun  juga oleh kadar hormon bersangkutan dalam darah. Umpamanya bila 

kadar kortisol meningkat di atas nilai tertentu, 

sekresi ACTH akan ditekan. Bila kadarnya 

turun, sekresi ACTH ditingkatkan untuk mendorong anak ginjal memperbanyak produksi 

kortisolnya. Begitu pula sekresi FSH, LH dan 

tirotropin juga diatur oleh kadar masing-masing estrogen, progesteron/testosteron dan 

tiroksin dalam darah. Fenomena ini disebut 

mekanisme feedback negatif.

Mekanisme feedback positif dapat pula 

terjadi, yaitu bila suatu hormon memengaruhi 

hipofisis secara positif. Contohnya yaitu  

estradiol: peningkatan kuat dari produksinya 

pada fase pemasakan folikel, menstimulasi 

sekresi LH optimal sehingga terjadi ovulasi. 

Sekresi FSH justru agak dihambat, mungkin 

untuk mencegah agar jangan sampai lebih 

dari satu folikel menjadi masak. Lihat Gambar 

42-2: Progesteron pun dapat memperlihatkan 

feedback positif demikian, sedangkan zat-zat 

androgen tidak.

pemakaian 

Terutama dipakai  pada gangguan yang 

disebabkan oleh defisiensi hormon hipofisis, 

seperti gonadotropin pada kemandulan wanita akibat anovulasi dan vasopresin pada diabetes insipidus. Atau pada kekurangan 

Releasing Hormone dari hipotalamus, misalnya gonadorelin pada cryptorchisme (buah 

zakar tidak turun ke dalam kandung buah 

zakar). Di samping itu juga dipakai  sebagai 

diagnostikum untuk menentukan fungsi 

suatu organ, seperti protirelin untuk diagnosis 

hipo- atau hiperfungsi tiroid. Akhirnya, dipakai  juga pada keadaan khusus, misalnya 

oksitosin untuk memperkuat his pada permulaan persalinan dan somastatin pada perdarahan lambung-usus yang hebat.

C. HORMON EPIFISIS

Epiphysis cerebri atau glandula pinealis (kelenjar nenas) yaitu  kelenjar sangat kecil 

yang terletak di atas hipotalamus (di tengah 

otak) dan memproduksi melatonin dan serotonin. Letaknya di atas titik di mana saraf 

mata bersilang (nucleus suprachiasmaticus), 

titik ini  dihubungi langsung melalui 

serat-serat saraf dengan kelenjar epifisis. 

Beberapa dasawarsa yang lalu, kelenjar epifisis masih dianggap sebagai suatu organ sisa 

dari evolusi yang tak berguna. namun  kini 

sudah dipastikan bahwa melatonin memiliki 

berbagai fungsi vital dalam tubuh.

Fungsi faal utama melatonin yaitu  mengatur 

ritme siang-malam, yang dikendalikan oleh

nucleus suprachiasmaticus (SCN = inti di atas 

lintasan), yaitu “lonceng biologis pusat” yang 

letaknya di hipotalamus. Rangsangan cahaya 

masuk ke dalam mata dan via retina dan jalur 

saraf mencapai SCN yang kemudian melalui 

SS simpatik berhubungan dengan epifysis, 

lihat Gambar. Dengan tibanya malam, 

stimulasi adrenerg akan bertambah yang 

berakibat meningkatnya produksi melatonin. 

Bila jumlah cahaya meningkat, pelepasan 

melatonin akan ditekan. Pada tengah malam 

kadar melatonin mencapai puncaknya dan 

dengan demikian merupakan pertanda khas 

dari senja dan bukannya dari tidur.

Orang tunanetra tanpa persepsi cahaya 

ternyata juga memiliki ritme siang-malam 

yang dihasilkan oleh SCN dengan siklus dari 

±25 jam, sehingga ritmenya bergeser setiap 

hari.12 

Khasiat lain dan pemakaian .13,14 Kelenjar 

epifisis orang sehat setiap hari memproduksi ±29 mcg melatonin. Berbagai obat seperti 

beta-blocker, dapat menekan produksi ini. 

Sekresinya terutama pada waktu malam hari

dan dihambat oleh cahaya; produksi malam 

hari yaitu  5-10 x lebih besar daripada 

waktu siang hari. Fungsi utamanya yaitu  

sebagai antioksidans dan zat pelindung 

kuat terhadap kerusakan oksidatif akibat 

sinar-UV, juga meregulasi bioritme siangmalam, memperlancar tidur alamiah dan 

memperkuat sistem imun. sebab  bersifat 

lipofil maupun hidrofil, distribusinya ke 

seluruh jaringan tubuh baik sekali. Daya 

kerjanya di tubuh sebagai neurohormon dan 

neuromodulator melalui reseptor melatonin 

yang banyak ada  antara lain di hipotalamus, hipofisis, retina dan sistem kelamin.  Melatonin dan serotonin yaitu  derivat 

indolil, seperti juga triptofan yang merupakan 

bahan pangkal untuk sintesis alamiahnya. 

Lihat persamaan reaksi di bawah ini dan juga 

rumus bangun Bab 30, Antidepresiva. 

MONOGRAFI

A. HORMON ADENOHIPOFISIS

1. Chorion Gonadotropin: HCG, Pregnyl, 

Profasi

Glikoprotein ini yang dibentuk oleh plasenta, diperoleh dari air kemih wanita hamil dan terdiri dari khusus LH. Terutama 

dipakai  pada infertilitas wanita akibat 

terganggunya pemasakan folikel dan anovulasi. Biasanya terapi dimulai dengan pemberian HMG dengan aktivit