oksilasi enzimatik.
Asam amino ini masuk ke dalam tubuh
terutama melalui daging (protein) yang
kemudian di jaringan (juga di usus halus)
diubah secara enzimatik menjadi histamin
(dekarboksilasi).
ada nya. Hampir semua organ dan jaringan memiliki histamin dalam keadaan
terikat dan inaktif, terutama dalam sel-sel
tertentu. ‘Mast cells’ ini (Ing. mast = menimbun) menyerupai bola-bola kecil berisi gelembung yang penuh dengan histamin dan
zat-zat mediator lain (lihat di bawah). Sel-sel
ini banyak ditemukan di bagian tubuh yang
bersentuhan dengan dunia luar, yaitu di kulit,
mukosa dari mata, hidung, saluran napas
(bronchia, paru-paru) dan usus, juga dalam
lekosit basofil darah. Dalam keadaan bebas
aktif juga ada dalam darah dan otak, di
mana histamin bekerja sebagai neurotransmitter. Di luar tubuh manusia histamin ada
dalam bakteri, tanaman (bayam, tomat) dan
makanan (keju tua).
Histamin dapat dibebaskan dari mast cells
oleh berbagai unsur, contoh oleh suatu
reaksi alergi (penggabungan antigen-antibody,
lihat di bawah), kecelakaan dengan cedera
serius dan sinar UV dari matahari. Selain itu,
dikenal pula zat-zat kimia dengan daya kerja
membebaskan histamin (‘histamine liberators’)
seperti racun ular dan tawon, enzim proteolitik dan obat-obat tertentu (morfin dan
kodein, tubokurarin, klordiazepoksida).
Fungsi dan kegiatannya. Histamin memegang peran utama pada proses peradangan dan
pada sistem daya tahan. Mekanisme kerjanya
berlangsung melalui tiga jenis reseptor, yaitu reseptor-H1
, -H2
dan -H3
. Reseptor-H1
secara selektif diblok oleh antihistaminika(H1
-blockers), reseptor-H2
oleh penghambat
asam lambung(H2
-blockers), lihat di bawah.
Reseptor-H3
memegang peranan pada regulasi tonus saraf simpatikus.
Aktivitas terpenting histamin yaitu :
- kontraksi otot polos bronchi, usus dan
rahim;
- vasodilatasi semua pembuluh dengan
penurunan tekanan darah;
- memperbesar permeabilitas kapiler untuk cairan dan protein, dengan akibat
udema dan pengembangan mukosa;
- hipersekresi ingus dan air mata, ludah,
dahak dan asam lambung;
- stimulasi ujung saraf dengan eritema dan
gatal-gatal.
Dalam keadaan normal, kadar histamin dalam darah hanya rendah, ±50 mcg/l, sehingga
tidak memicu efek. Baru bila mast
cells dirusak membrannya sebagai akibat
dari salah satu faktor ini di atas, maka
dibebaskanlah banyak histamin sehingga
efeknya menjadi nyata. Setelah melakukan
kegiatannya, kelebihan histamin diuraikan
oleh enzim histaminase yang juga ada
dalam jaringan.
A. REAKSI ALERGI
Alergi (Lat. = berlaku berlainan). Istilah ini,
yang juga disebut hipersensitivitas, pertama
kali (1906) dicetuskan oleh Von Pirquet yangAlergi (Lat. = berlaku berlainan). Istilah ini,
yang juga disebut hipersensitivitas, pertama
kali (1906) dicetuskan oleh Von Pirquet
yang menggambarkan reaktivitas khusus
dari tuan rumah (host) terhadap suatu unsur
eksogen, yang timbul pada kontak kedua kali
atau berikutnya. Reaksi hipersensitivitas ini
meliputi sejumlah peristiwa auto-imun dan
alergi serta merupakan kepekaan berbe da terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses
imunologi. Pada hakekatnya reaksi imun
tersebut, walaupun bersifat “merusak“,
berfungsi melindungi organis me terhadap
zat-zat asing yang menyerang tubuh. Peristiwa alergi dapat lebih diperjelas sbb.
Bila suatu protein asing (antigen) masuk
berulangkali ke dalam aliran darah sepasien
yang berbakat hipersensitif, maka limfosit-B
akan membentuApabila kemudian antigen(alergen) yang
sama atau yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali
dan mengikat padanya. Hasilnya yaitu sama atau yang mirip rumus bangunnya
memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali dan mengi kat padanya. Hasilnya yaitu
suatu reaksi alergi akibat pecah nya membran mast-cells (degranul asi; lihat Gambar
51-2). Sejumlah zat perantara (media tor)
dilepas kan, yakni histamin bersama serotonin, bradi ki nin dan asam arachido nat, yang
kemudian diubah menjadi prostaglan din
dan leukot riën). Zat-zat itu menarik makro fag
dan neutro fil (= lek osit terten tu, lihat Bab 49,
Dasar-dasar imunolo gi) ke tempat infek si
untuk memusnahkan penyerbu. Di sam ping
itu juga mengaki bat kan beberapa gejala, a.l.
broncho konstrik si, vasodila tasi dan pembengkakan jaringan sebagai reaksi terhadap
masuk nya antigen. Mediator ini secara
langsung atau melalui susunan saraf otonom
memicu bermacam-macam penyakit
alergi penting, seperti asma, rhinitis allergica (hay fever) dan eksim.
Syukurlah bahwa kebanyakan pasien tidak
berbakat hipersen sitif sehingga reaksi alergicontoh di hidung (rhinitis allergica), di kulit eksim, urticaria = biduran, kaligata), mukosa
mata (conjunctivitis) atau di bronchi (serangan asma). Gejala ini juga dapat timbul
bersamaan waktu di beberapa tempat, misalnya pada asma, ‚demam merang‘ (hay fever,
pollinosis) dan eksim.
Anafilaksis. Dalam keadaan gawat dapat
timbul suatu reaksi anafilaktik (Yun. ana =
tanpa, phylaxis = perlindungan). Pada syok
anafilaktik, masuknya antigen pertama kali
membuat tubuh tanpa perlindungan terhadap
pemasukan antigen berikutnya. Kadar histamin dapat meningkat dengan drastis,
seperti pada peristiwa kecelakaan dengan
banyak kehilangan darah atau cedera bakar
hebat.
Pada kelompok pasien tertentu yang telah
disensibilisasi terhadap satu atau beberapa
jenis alergen dapat timbul suatu reaksi
anafilaktik hebat. contoh , alergen dalam
makanan (kacang-kacangan, buah kiwi, arbai, dan lain-lain) atau obat-obat dari kelompok penisilin.
Penggolongan
Reaksi alergi dapat digolongkan berdasar
prinsip kerjanya menurut Gell & Coombs
(1968) dalam 4 tipe hipersensitivitas, yaitu
tipe I-IV.
– Tipe I, reaksi segera berdasar reaksi
antara alergen-antibody (IgE-dependant) dengan degranulasi mast cells dan khusus terjadi pada mereka yang berbakat genetik (keturunan). Tipe-I ini juga
disebut alergi atopik atau reaksi anafilaktik dan terutama berlangsung di
saluran napas (serangan pollinosis, rhinitis,
asma) dan di kulit (eksim resam = dermatitis
atopik), jarang di saluran cerna (alergi
makanan) dan di pembuluh (syok anafilaksis). Mulai reaksinya cepat, dalam waktu
5 sampai 20 menit setelah kontak dengan
alergen, maka sering kali disebut reaksi
segera. Gejalanya bertahan ±1 jam.
– Tipe II, autoimunitas (reaksi sitolitik).
Antigen yang terikat pada membran sel bereaksi dengan IgG atau IgM dalam
darah dan memicu sel musnah
(cytos = sel, lysis = melarut). Reaksi ini
terutama berlangsung di sirkulasi darah.
Contohnya yaitu gangguan auto-imun
akibat obat, seperti anemia hemolitik
(akibat penisilin), agranulositosis (akibat
sulfonamida), arthritis rheumatica, SLE
(systemic lupus erythematodes), akibat hidralazin atau prokainamida. Reaksi autoimun jenis ini umumnya sembuh dalam
waktu beberapa bulan setelah penggunaan obat dihentikan.
Timbulnya penyakit autoimun adalah bila sistem imun tidak “mengenali” jaringan tubuh sendiri dan menyerangnya. Gangguan ini bercirikan
ada nya auto-antibodies atau selsel-T autoreaktif dan lazimnya dibagi
dalam dua kelompok:
– auto-imunitas organ-spesifik (menyangkut organ tunggal), mis. anemia
pernicious, Addison’s disease, lih. Bab 46,
ACTH dan Kortikosteroida.
– auto-imunitas non-organ spesifik (menyangkut berbagai organ), mis. SLE, MS
dan rema.
– Tipe III, gangguan imun-kompleks (reaksi Arthus). Pada peristiwa ini antigen
dalam sirkulasi bergabung dengan terutama IgG menjadi suatu imun-kompleks,
yang diendapkan pada endotel pembuluh.
Sebagai respons timbul peradangan, yang
disebut penyakit serum yang bercirikan
urticaria, demam serta nyeri otot dan sendi. Reaksinya dimulai 4-6 jam setelah
„terkena“ (exposure) dan lamanya 6-12
hari. Obat-obat yang dapat menginduksi
reaksi ini yaitu sulfonamida, penisilin
dan iodida. Imun-kompleks dapat terjadi
di jaringan yang memicu reaksi
lokal (Arthus) atau dalam sirkulasi
(gangguan sistemik).
– Tipe IV (reaksi lambat,‘delayed’). Antigen terdiri dari suatu kompleks hapten +
protein, yang bereaksi dengan T-limfosit
yang sudah disensitasi. Limfokin tertentu
(= sitokin dari limfosit) dibebaskan, lalu
menarik makrofag dan neutrofil, sehingga timbul reaksi peradangan. Proses
penarikan itu disebut chemotaxis. Mulai
reaksinya sesudah 24-48 jam dan bertahan
beberapa hari. Contohnya yaitu reaksi
tuberkulin dan dermatitis kontak.
Bentuk alergi tipe I s/d III berkaitan
dengan imunoglobulin dan imunitas humoral
(Lat. humor = cairan tubuh), artinya ada
hubungan dengan plasma. Hanya tipe IV
berdasar imunitas seluler(limfosit-T).
Alergi atas dasar IgE
Diagnosis untuk alergi atopik dilakukan
melalui tes kulit (intrakutan) dengan ekstrak
alergen inhalasi. Reaksi dini ditentukan
sesudah 15-20 menit dan reaksi lambat
setelah 6-10 jam. Tes kulit ini dilengkapi
dengan penentuan laboratorium mengenai
antibodies IgE dalam darah. Gangguan alergi
atopik yang terpenting yaitu asma, rhinitis,
eksim resam dan alergi makanan.
a. Alergi makanan
Jenis alergi ini disebabkan oleh protein
yang ada dalam makanan dan berlangsung melalui IgE dan pelepasan mediator.
Alergen makanan terkenal yaitu ikan, udang,
kerang, daging babi, putih telur, susu
sapi, keju/mentega (diaries), juga gluten,
suatu protein dari jenis gandum. Selain itu
termasuk pula additiva, seperti zat pengawet (asam benzoat, asam sorbat, nipagin),
zat warna(tartrazin kuning), zat rasa dan zat
penyedap(monosodiumglutamat/MSG, Vetsin).
Gejalanya dapat berupa serangan asma,
urticaria dan keluhan lambung-usus (mual,
muntah, kejang perut, diare). Bila penyebabnya dikeluarkan dari makanan, gejala
akan hilang dalam waktu 1-2 hari. Alergi
makanan dapat terjadi bersamaan waktu
dengan intoleransi untuk makanan. Keduanya dapat dideteksi dengan jalan mengeluarkan jenis pangan yang dicurigai dari diet
atau menambahkannya lagi padanya.
* Intoleransi makanan yaitu bentuk alergi berdasar pembebasan mediator langsung dari mastcells, jadi tanpa perantaraan
reaksi alergen-antibodi. Oleh sebab itu disebut juga pseudo-alergi(pseudo = imitasi, mirip). Contohnya yaitu makanan dengan
kandungan amin vasoaktif, yang dapat
memicu serangan migrain, contoh histaminliberators (tomat, arbai, bayem), feniletilamin
(cokelat) dan tiramin (keju Prancis masak,
anggur merah). Intoleransi untuk obat-obat
juga dapat terjadi, a.l. untuk asetosal dan zatzat kontras-iod.
b. Eksim atopik (= dermatitis atopik)
Alergen hanya memicu reaksi IgE
signyifikan pada individu yang berdasar
keturunan terdisposisi, keadaan ini disebut
atopik. Salah satu penyakit atopik yaitu
eksim atopik yang juga disebut eksim
endogen, yang timbul pada 10-15% anakanak atopik. Gangguan ini terutama timbul
pada tahun-tahun pertama sejak kelahiran, yang umumnya akan membaik dengan
meningkatnya usia. Eksim ini dapat diperhebat oleh alergi terhadap bahan makanan,
sering kali putih telur, susu sapi dan kacang
tanah.
Gejalanya berupa bercak kemerah-merahan tanpa batasan tajam, benjolan dan gelembung kecil yang menggerisik dan gatal-gatal. Lokasi eksim lazimnya di muka, juga di
bagian dalam siku dan lutut, pergelangan
tangan dan tengkuk. Kerapkali ada hubungan dengan asma, pollinosis dan rhinitis.
Lazimnya bentuk eksim ini hilang pada usia
5-7 tahun namun pada usia pubertas dapat
muncul kembali dalam bentuk asma, rhinitis
atau alergi makanan.
Pengobatannya dapat dimulai dengan salep/
krem yang mengandung ter (pix lithantracis,
liquor carbonis detergens) yang berkhasiat
a.l. antiradang dan antigatal. Bila efeknya
tidak memuaskan, maka dapat dipakai
krem kortikosteroida (hidrokortison 1-2%,
triamsinolon 0,05-0,1%), lihat Bab 46, ACTH
dan Kortikosteroida.
* Eksim kontak alergik yaitu bentuk eksim
yang juga berdasar reaksi alergi lambat
(tipe IV). Zat-zat tertentu mampu menimbulkan sensibilisasi kuat pada kontak intensif, namun gejala hipersensitivitas baru dapat
terjadi setelah bertahun-tahun. Biasanya
berkaitan dengan pekerjaan, perhiasan
atau benda yang dipakai . Contohnya
yaitu logam (nikel dalam gelang, anting,
senyawa krom dalam semen), zat-zat kimia
formaldehida, p-fenilendiamin (dalam cat
rambut), zat-zat warna, obat-obat (balsem
Peru, neomisin, kloramfenikol), minyak wangi
dan zat pengawet dalam kosmetika.
Penanganannya terdiri dari menghindari
alergen penyebab dan mengobati gejalanya
dengan krem kortikosteroida.
c. Asma
Asma atau bengek sering kali timbul pada
pasien dengan resam (konstitusi) atopik
yang dalam darah dan ludahnya terjadi
peningkatan jumlah granulosit eosinofil
(eosinofilia). Pernapasan dipersulit oleh penyempitan bronchia akibat reaksi antigenIgE dan terlepasnya mediator dengan efek
vasokonstriksi. Ditambah pula dengan obstruksi bronchia akibat peradangan kronis, pembengkakan mukosa serta banyaknya dahak
dan kejang-kejang, turut mengakibatkan sesak napas. Selanjutnya lihat Bab 40, Obatobat Asma.
d. Demam merang(hay fever)
Rhinitis allergica yaitu radang mukosa
hidung (Yun. rhino = hidung), yang merupakan gangguan alergi (atopik) yang paling
banyak terjadi. Sering kali disertai radang
selaput ikat mata (conjunctivitis).
Gejalanya a.l. selesma berat, banyak mengeluarkan ingus dan air mata, bersin, hidung
mampat dan gatal-gatal di sekitar mata dan
hidung. Umumnya, gejala ini bertahan lebih
dari empat minggu dan sering kali kambuh.
Terutama diderita pada usia 5-45 tahun dan
setelah masa ini dapat berkurang atau hilang
dengan sendirinya.
Rhinitis merupakan suatu reaksi tipe I, di
mana IgE yang spesifik bagi alergen tertentu
memegang peranan. Sistem imun membuat
antibodies khas ini dengan maksud
„memerangi“ alergen dan memusnahkannya,
juga memicu suatu reaksi peradangan.
Lagi pula akibat chemotaxis, jumlah granulosit
eosinofil setempat (sejenis lekosit, lihat Bab
49, Dasar-dasar Imunologi) meningkat dan
membentuk zat-zat yang diperkirakan mengakibatkan hiperreaktivitas.* Rhinitis hiperreaktif (non-alergik) yaitu
suatu bentuk rhinitis yang disebabkan oleh
kepekaan berlebihan, pada mana terjadi reaksi
yang abnormal hebatnya. Dengan pengertian hiperreaktivitas dimaksud terjadinya
gejala akibat rangsangan tak-spesifik (asap
rokok, bau, uap, udara dingin dan lain-lain),
yang pada pasien sehat tidak memicu
reaksi. Istilah ini khusus dipakai untuk
asma/bronchitis kronis untuk melukiskan hipersensitivitas saluran napas terhadap rangsangan demikian. Efeknya yaitu gejala di
hidung, mata dan bronchia (batuk, sesak)
seperti ini di atas.
Penyebab
Rhinitis dapat diakibatkan oleh reaksi alergi terhadap tepung sari (pollen), tungau debu
rumah, spora jamur, serpihan kulit hewan atau
bahan makanan. Dalam semua kasus ini protein sebagai salah satu zat kandungannya
selalu merupakan alergen yang sebenarnya.
* Pollen yaitu sel-sel perbanyakan jantan
dari rumput dan pohon, yang penyerbukannya dilakukan oleh angin. Di negara dingin
dengan empat musim, pollen mempunyai
peranan penting pada terjadinya rhinitis.
Khususnya di musim semi dan musim panas,
banyak sari bunga ada di udara. Di
Indonesia alergi pollen (pollinosis) berperan
lebih ringan.
Bila pollen diinhalasi bersama udara, maka
dengan perantaraan makrofag dan limfosit T
(helper cells,) sel-sel limfo-B membentuk IgE
khas. IgE ini terutama mengikat diri pada
reseptor di membran mast cells dan juga
pada makrofag, eosinofil dan basofil yang
disensitasi. Pollen yang kemudian memasuki darah lagi ‚ditangkap‘ oleh IgE ini
pada mast cells, yang disertai pelepasan
mediator. Juga alergen yang terikat pada
sel-sel tersensitasi ini mensintesis dan/
atau melepaskan mediator seperti histamin,
prostaglandin dan leukotriën. Efeknya yaitu
pollinosis, juga disebut ‚demam merang‘(hay
fever), dengan gejala rhinitis alergik ini
di atas.
* Debu rumah merupakan “cocktail” dari
beragam produk: tungau, fungi (spora) dan
bakteri, serpihan kulit, rambut pasien dan
binatang piaraan, sisa serangga mati pada
pakaian, tanah dan lain-lain.
– Tungau debu rumah (Dermatophagoides
farinae) yaitu serangga transparan sebesar 0,3 mm. Syarat hidupnya yang optimal
yaitu suhu 25°C dan derajat kelembapan
relatif di atas 75%. Ditemukan praktis
pada semua benda di rumah, paling
banyak di kasur kapuk dan kasur bulu
burung, selimut serta karpet. Dalam satu
gram debu kasur ada sampai 15.000
tungau yang hidup dari serpihan kulit. Tinjanya sebesar 2-10 micron bersifat alergen dan memasuki saluran napas melalui
pernapasan. Lihat Gambar 51-3.
– Jamur dapat memperbanyak diri dengan
sangat cepat pada suhu dan kelembapan
tinggi. Terutama spora banyak ada
di udara dan mudah dihirup ketika bernapas, namun juga myceliumnya (benangbenang) dapat berperan sebagai alergen
dan penyebab rhinitis. Alergi untuk jamur tidak sering terjadi dan terutama
jenis Aspergillus dan Penicillium.
Prevensi
Tindakan umum. Pada prinsipnya sedapat
mungkin semua alergen inhalasi yang dapat
memicu reaksi alergi harus dijauhi.
Untuk pollen, hal ini yaitu sesuatu yang
mustahil, namun kontak dapat dikurangi dengan a.l. memakai kaca mata atau menutup jendela mobil dan ruang tidur pada
malam hari. Rumah pasien yang berbakat
alergis dibuat bebas alergen semaksimal
mungkin. Hal ini sukar sekali dicapai, namun
risiko penghirupan alergen dari debu rumah
dapat diperkecil dengan mentaati higiene
di seluruh rumah. Kamar tidur perlu dibersihkan setiap hari dengan saksama, meskipun debunya tidak nampak. Lantai dipel atau
disedot debunya dengan ‚vacuum cleaner‘,
sprei (dan selimut) perlu dicuci secara teratur.
Kasur sebaiknya dari polieter atau karet busa
sebagai pengganti kapuk. Hewan piaraan
hendaknya jangan masuk ke dalam rumah
dan terutama tidak ke ruang tidur. Ventilasi yang baik yaitu penting sekali untuk
menjamin udara kering di dalam rumah.
Profilaksis terhadap serangan rhinitis dapat
dilakukan dengan obat-obat yang pada reaksi
alergen-IgE mencegah degranulasi mast cells,
sehingga mediator peradangan tidak dibebaskan. Tersedia natrium kromoglikat dan
nedokromil (Tilade) dalam bentuk serbuk
inhalasi (aerosol), tetes hidung dan tetes
mata. Obat-obat ini efektif pula terhadap
conjunctivitis alergis.
Hiposensibilisasi (desensitasi)
Cara ini dilakukan pada pengidap alergi atopik untuk mengurangi kepekaan terhadap suatu alergen dan dengan demikian mengurangi parahnya keluhan. Mekanismenya yaitu mengurangi respons dari IgE dan mengalihkannya menjadi IgG.
Untuk ini pasien disuntik subkutan dengan
larutan ekstrak alergen dalam kadar
meningkat menurut suatu pola tertentu
selama beberapa tahun. Hasil yang baik
dicapai dengan ekstrak pollen, tungau debu
rumah, serpihan kulit binatang dan racun tawon.
Hiposensibilisasi memperbaiki keadaan
pasien dan meringankan reaksi kulit lambat,
juga meningkatkan antibodies khas IgG.
Pada pelaksanaan desensitasi ini tetap
harus waspada terhadap risiko reaksi anafilaktik, walaupun penyuntikan dimulai dengan dosis alergen yang kecil sekali.
Pengobatan
Sebagai tindakan pertama perlu diusahakan
identifikasi dari alergen penyebab alergi dan
menyingkirkannya. contoh , bulu hewan
piaraan (anjing, kucing dan sebagainya) serta
debu rumah, lihat di atas. Obat-obat yang
kemudian dapat dipakai terhadap gejala
rhinitis yaitu antihistaminika, decongestiva
dan kortikosteroida inhalasi.
*Antihistaminika-H1
(lihat di bawah) dapat
menanggulangi gejalanya secara efektif, terutama bersin dan gatal-gatal pada mata.
Bila dipakai pada waktunya, obat ini
juga berkhasiat menekan produksi mediator
dalam mastcells, dengan efek meringankan
reaksi alergi lambat. Antihistaminika generasi kedua lebih disukai sebab longacting dan (hampir) tidak bekerja sedatif,
yaitu astemizol, terfenadin, cetirizin dan
loratadin.
*Decongestiva dipakai untuk membuka
saluran yang tersumbat (hidung mampat)
dengan mengurangi penumpukan mukosa
(congestio). Untuk ini banyak dipakai
adrenergika, seperti ksilometazolin dan
oksimetazolin dalam bentuk tetes hidung
atau spray, adakalanya juga secara oral. Lihat
Bab 31 A, Adrenergika dan Adrenolitika.
* Kortikosteroida dalam dosis rendah sering kali dipakai sebagai spray dan sangat efektif terhadap hiperreaktivitas
dan semua gejala lambat. Tersedia beklometason,budesonida dan flutikason (Flixotide).
B. ANTIHISTAMINIKA
Antihistaminika yaitu zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek
histamin terhadap tubuh dengan memblok
reseptor histamin (penghambatan saingan).
Pada awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, namun setelah ditemukannya
jenis reseptor khusus pada tahun 1972, yang
disebut reseptor-H2
, maka secara farmakologis
reseptor histamin dapat dibagi dalam dua
tipe, yaitu reseptor-H1
dan reseptor-H2
.
berdasar penemuan ini, antihistaminika
dapat dibagi dalam 2 kelompok, yaitu antagonis reseptor-H1
(singkatnya disebut H1
-
blockers atau antihistaminika) dan antagonis
reseptor-H2
(H2
-blockers atau zat penghambat
asam).
1. H1
-blocker (antihistaminika klasik) menentang histamin dengan memblok reseptor-H1 di otot licin dari dinding pembuluh,
bronchi dan saluran cerna, kandung kemih
dan rahim. Begitu pula melawan efek
histamin di kapiler dan ujung saraf (gatal,
flare reaction). Efeknya yaitu simtomatis,
antihistaminika tidak dapat menghindari
timbulnya reaksi alergi.
Dahulu antihistaminika dibagi secara kimiawi dalam 7-8 kelompok, namun kini dipakai penggolongan dalam 2 kelompok atas
dasar kerjanya terhadap SSP, yaitu zat-zat
generasi ke-1 dan ke-2.
a. Antihistaminika generasi ke-1: prometazin, oksomemazin, tripelennamin, (klor)
feniramin, difenhidramin, klemastin (Tavegil,) siproheptadin (Periactin), azelastin
(Allergodil), sinarizin, meklozin, hidroksizin, ketotifen (Zaditen) dan oksatomida
(Tinset).
Obat-obat ini berkhasiat sedatif terhadap SSS dan sebagian besar memiliki
efek antikolinergik.
b. Antihistaminika generasi ke-2: astemizol, terfenadin dan fexofenadin, akrivastin (Semprex), setirizin, loratidin,
levokabastin (Livocab) dan emedastin
(Emadin). Zat-zat ini bersifat hidrofil
dan sukar mencapai CCS (cairan cerebrospinal), maka pada dosis terapeutik tidak bekerja sedatif. Keuntungan
lainnya yaitu plasma-t½-nya yang lebih panjang, sehingga dosisnya cukup
dengan 1-2 kali sehari. Efek anti alerginya
selain berdasar khasiat antihistamin ,
juga berkat kemampuannya menghambat
sintesis mediator radang, seperti prostaglandin, leukotriën dan kinin. Lihat Bab
40, Obat-obat Asma, Antileukotriën.
2. H2
-blocker (penghambat asam). Obat-obat
ini secara selektif menghambat sekresi asam
lambung yang meningkat akibat histamin,
melalui persaingan terhadap reseptor-H2
di lambung. Efeknya yaitu berkurangnya
hipersekresi asam klorida, juga mengurangi
vasodilatasi dan menurunkan tekanan darah. Senyawa ini banyak dipakai pada
terapi tukak lambung-usus untuk mengurangi sekresi HCl dan pepsin, juga sebagai
zat pelindung tambahan pada terapi dengan kortikosteroida. Lagi pula sering kali
dipakai bersama suatu perangsang motilitas lambung (cisaprida) pada penderita
reflux.
Penghambat asam yang dewasa ini banyak
dipakai yaitu simetidin, ranitidin, famotidin, nizatidin dan roksatidin yang merupakan senyawa-senyawa heterosiklik dari
histamin. Lihat selanjutnya Bab 16, Obat-obat
Lambung.
pemakaian
Lazimnya dengan “antihistaminika” selalu
dimaksud H1
-blockers. Selain bersifat antihistamin, obat-obat ini juga memiliki berbagai khasiat lain, yaitu antikolinergik,
antiemetik dan efek menekan SSP (sedatif),
sedangkan beberapa di antaranya memiliki
efek antiserotonin dan lokal anestetik (lemah).
berdasar efek-efek ini, antihistaminika
dipakai secara sistemik (oral, injeksi) untuk mengobati gejala berbagai gangguan
alergi yang disebabkan oleh pembebasan
histamin. Di samping rhinitis, pollinosis dan
alergi makanan/obat (lihat di atas) juga sering
kali dipakai pada sejumlah gangguan
berikut:
a. Asma yang bersifat alergi, untuk menanggulangi gejala bronchokonstriksi.
Walaupun kerjanya baik, namun efek
keseluruhannya hanya rendah sebab
tidak berdaya terhadap mediator lain
(leukotriën) yang juga mengakibatkan
penciutan bronchi. ada indikasi bahwa pemakaian dalam bentuk sediaan
inhalasi menghasilkan efek yang lebih
baik. Obat-obat ketotifen dan oksatomida
berkhasiat mencegah degranulasi dari
mastcells dan efektif untuk mencegah
serangan.
b. Sengatan serangga, khususnya tawon
dan lebah, yang mengandung a.l. histamin
dan suatu enzim yang mengakibatkan
pembebasannya dari mastcells. Untuk
memperoleh hasil yang memuaskan, obat
perlu diberikan segera dan sebaiknya
melalui injeksi. Dalam keadaan hebat
biasanya diberikan injeksi adrenalin i.m.
atau hidrokortison i.v.
c. Urticaria (kaligata, biduran). Pada umumnya bermanfaat terhadap meningkatnya
permeabilitas kapiler dan gatal-gatal,
terutama zat-zat dengan kerja antiserotonin seperti alimemazin (Nedeltran),
azatadin dan oksatomida. Khasiat antigatal
mungkin berkaitan pula dengan efek
sedatif dan efek anestetik lokalnya.
d. Stimulasi nafsu makan. Untuk menstimulasi nafsu makan dan meningkatkan
berat badan, yaitu siproheptadin (dan turunannya pizotifen) dan oksatomida. Semua
zat ini berefek antiserotonin.
e. Sebagai sedativum berdasar efeknya
menekan SSP, khususnya prometazin dan
difenhidramin serta turunannya. Obat-obat
ini juga berkhasiat meredakan rangsangan batuk, sehingga banyak dipakai
dalam sediaan obat batuk populer.
f. Penyakit Parkinson berdasar efek
antikolinergiknya, khusus difenhidramin
dan turunan 4-metil(orfenadrin) yang juga
berkhasiat spasmolitik.
g. Mabuk jalan (mual) dan pusing (vertigo) berdasar efek antiemetiknya
yang juga berkaitan dengan khasiat
antikolinergik, terutama siklizin, meklizin
dan dimenhidrinat, sedangkan sinarizin
dipakai terutama pada vertigo.
h. Syok anafilaktik, di samping pemberian
adrenalin dan kortikosteroid.
Selain itu antihistaminika banyak dipakai dalam sediaan kombinasi terhadap selesma
dan flu.
* Pilihan obat hendaknya secara individual,
tergantung pada efek dan kerja sampingnya.
Kadang-kadang terjadi tachyfylaxis (berkurangnya respons) dan obat harus diganti
dengan obat lain dari golongan kimiawi yang
berlainan.
Efek samping
Kebanyakan antihistaminika tidak menyebabkan efek samping serius bila diberikan
dalam dosis terapeutik. Yang paling sering
terjadi yaitu :
– efek sedatif-hipnotik (mengantuk) akibat
depresi SSP dan khasiat antikolinergiknya. Efek ini paling nyata pada prometazin
dan difenhidramin, namun agak kurang
pada d-klorfeniramin dan mebhidrolin,
walaupun sifat ini sangat bervariasi
secara individual. Pada umumnya dalam beberapa minggu terjadi toleransi
terhadap efek sedatif-hipnotis ini.
Efek sedatif ini tidak dimiliki oleh
antihistaminika generasi kedua (lihat
di bawah), contoh astemizol dan terfenadin, sehingga dengan aman dapat
diberikan pada contoh pengemudi
kendaraan bermotor. Sebaliknya, kedua
obat ini bila diminum serentak dengan
suatu obat yang menghambat perombakannya dalam hati, kadar histamin
dalam plasma dapat meningkat kuat
sehingga memicu gangguan jantung berbahaya (cardiac arrest, aritmia
ventrikuler). Obat-obat induktor enzim
demikian yaitu ketokonazol, antibiotika makrolida (eritromisin) dan makanan (jus
grapefruit).
– efek sentral lainnya berupa pusing, gelisah, rasa letih, lesu dan tremor (tangan
gemetar), sedangkan dosis berlebihan dapat mengakibatkan konvulsi dan koma;
– gangguan saluran cerna juga sering terjadi dengan gejala mual, muntah dan
diare sampai anoreksia dan sembelit. Efek
ini dapat dikurangi bila obat diminum
setelah makan.
– efek antikolinergik (anti muskarin) dapat
terjadi, seperti mulut kering, gangguan
akomodasi dan saluran cerna, sembelit
dan retensi kemih. Berhubung sifatnya
ini, antihistaminika jangan diberikan pada pasien glaukoma dan hipertrofi prostat.
– efek antiserotonin dapat meningkatkan
nafsu makan dan berat badan. Bila efek
ini tidak dikehendaki, maka untuk penggunaan lama sebaiknya jangan diberikan
siproheptadin atau oksatomida;
– sensibilisasi dapat terjadi pada pemberian oral, namun terutama pada penggunaan lokal. Obat-obat dengan efek
menstabilisasi mastcells pada dosis tinggi memperlihatkan efek paradoksal, yaitu
justru menstimulasi pelepasan histamin
(histamin liberator), bahkan tanpa adanya
antigen. Efek ini mungkin disebabkan
oleh mekanisme merusaknya terhadap
membran sel;
– efek teratogen, mungkin pada derivat
piperazin (meklizin, siklizin, hidroksizin
dan setirizin).
* Wanita hamil dan menyusui. Hanya
sinarizin, hidroksizin, siklizin dan meklozin,
ketotifen, mebhidrolin dan siproheptadin
dianggap aman bagi janin. Dari obat-obat
lainnya kurang tersedia data mengenai
keamanannya selama kehamilan dan laktasi.
Terfenadin, cetirizin dan loratadin masuk ke
dalam air susu.
Penggolongan
Sesuai struktur kimianya antihistaminika
dapat dibagi dalam beberapa kelompok,
yang di antaranya memiliki rumus dasar
sebagai berikut:
R1
R—X—C—C—N
R2
di mana X = atom O, N, atau C; R = gugus
aromatik dan/atau heterosiklik; R1
dan R2
=
gugus metil atau heterosiklik. Dapat dilihat
bahwa inti molekul terdiri atas etilamin,
yang juga ada pada molekul histamin.
Adakalanya gugus ini merupakan bagian
dari suatu struktur siklik, contoh pada
antazolin dan klemastin.
MONOGRAFI
1. Derivat etanolamin (X=O)
Zat-zat ini memiliki khasiat antikolinergik
dan sedatif yang agak kuat.
1a. Difenhidramin: Benadryl
Di samping efek antikolinergik dan sedatif
yang kuat, antihistamin ini juga bersifat
spasmolitik, anti-emetik dan antivertigo.
dipakai sebagai obat tambahan pada
terapi penyakit Parkinson (lihat Bab 28, Obatobat Parkinson) dan sebagai obat antigatal
pada urticaria akibat alergi (Caladryl).
Dosis: oral 4 dd 25-50 mg, i.v. 10-50 mg.
* Orfenadrin (2-metildifenhidramin, Disipal)
memiliki khasiat antikolinergik dan sedatif
ringan, sehingga lebih disukai sebagai obat
tambahan pada pengobatan Parkinson dan
terhadap gejala ekstrapiramidal pada terapi
dengan antipsikotika. Dosis: oral 3 dd 50 mg.
* Dimenhidrinat (Dramamine) yaitu senyawa klorteofilinat dari difenhidramin yang khusus dipakai terhadap mabuk jalan dan
muntah kehamilan. Dosis: oral 4 dd 50-100
mg, i.m. 50 mg.
* Klorfenoksamin(Systral) yaitu derivat
klor dan metil, yang kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan pada terapi
penyakit Parkinson. Dosis: oral 2-3 dd 20-40
mg (klorida); dalam krem 1,5%.
1b.Klemastin: Tavegyl
Zat ini memiliki struktur yang mirip
klorfenoksamin, namun dengan substituen siklik (piridil). Efek antihistaminnya sangat
kuat; mulai bekerja cepat (dalam beberapa
menit) dan bertahan lebih dari 10 jam. Mekanisme kerjanya yaitu a.l. mengurangi
permeabilitas kapiler dan efektif terhadap
pruritus allergica (gatal-gatal).
Dosis: oral 2 dd 1 mg a.c. (fumarat), i.m. 2
dd 2 mg.
2. Derivat Etilendiamin (X = N)
Obat-obat dari kelompok ini pada umumnya memiliki khasiat sedatif yang lebih
ringan.
2a. Antazolin: Antistin
Efek antihistaminnya tidak begitu kuat
namun tidak merangsang selaput lendir, sehingga cocok dipakai pada pengobatan
gejala alergis pada mata dan hidung (selesma)
sebagai sediaan kombinasi dengan nafazolin
(Antistin-Privine).
Dosis: oral 2-4 dd 50-100 mg (sulfat).
* Tripelennamin (Tripel), kini hanya dipakai sebagai krem 2% pada gatal-gatal akibat alergi terhadap sinar matahari, sengatan
serangga, dan lain-lain.
* Mepirin (piranisamin) yaitu derivat metoksi dari tripelennamin yang dipakai
dalam kombinasi dengan feniramin dan
fenilpropanolamin (*Triaminic drops) terhadap
hay fever.
* Klemizol yaitu derivat klor yang sekarang
hanya dipakai dalam salep/suppositoria
antiwasir (*Scheriproct, *Ultraproct).
3. Derivat Propilamin (X = C)
Obat-obat dari kelompok ini memiliki
khasiat antihistamin kuat.
3a.Feniramin: Avil
Feniramin memiliki khasiat antihistamin
dan efek meredakan batuk yang cukup
baik, oleh sebab itu juga dipakai dalam
ramuan obat batuk.
Dosis: oral 3 dd 12,5 - 25 mg (maleat) atau 1
dd 50 mg tablet retard; i.v. 1-2 dd 50 mg; krem
1,25%.
* Klorfeniramin (klorfenamin, klorfenon) adalah derivat klor dengan khasiat 10 kali lebih
kuat dan derajat toksisitas yang sama. Efek
sampingnya sedatif ringan dan sering kali
dipakai dalam obat batuk.
* Deksklorfeniramin (Polaramine) yaitu
bentuk dekstronya yang dua kali lebih kuat
daripada bentuk-dl (rasemis)-nya.
*Triprolidin (*Actifed, *Stop-Cold) yaitu derivat dengan rantai sisi pirolidin, yang khasiatnya agak kuat. Mulai kerjanya cepat dan
bertahan lama, sampai 24 jam (tablet retard).
Dosis: oral 1 dd 10 mg (klorida) pada malam
hari sebab efek sedatifnya.
4. Derivat Piperazin
Obat-obat dari kelompok ini tidak memiliki
inti etilamin namun inti piperazin dan pada
umumnya bersifat long-acting (lebih dari 10
jam).
4a. Siklizin: Marzine, *Migril
Mulai kerjanya cepat dan bertahan 4-6 jam.
Terutama dipakai sebagai obat antiemetik
dan pencegah mabuk jalan. Pada hewan percobaan siklizin dan derivatnya meklozin
(Suprimal) bersifat teratogen. sebab sifatnya
ini, peredarannya di Indonesia dilarang
sejak Januari 1963. namun pada manusia efek
teratogennya belum pernah terbukti dan di
kebanyakan negara Barat masih dipasarkan.
Meskipun demikian, obat-obat ini jangan
diberikan pada wanita hamil, terutama selama trimester pertama.
Dosis: mabuk jalan 1 jam sebelum berangkat
50 mg, bila perlu 3 kali sehari; untuk mual
dan muntah 3-4 dd 50 mg, anak-anak 6-13
tahun 3 dd 25 mg.
* Homoklorsiklizin (Homoclomin) yaitu
derivat klor, pada mana cincin piperazin
diganti dengan cincin 7-diazepin. Bersifat
anti-serotonin dan dipakai pada pruritus
allergica (gatal-gatal). Dosis: oral 1-3 dd 10 mg.
4b. Sinarizin:Stugeron
Derivat cinnamyl dari siklizin ini di samping sifat antihistaminnya juga berkhasi- at vasodilatasi perifer. Sifat ini berkaitan
dengan efek relaksasinya terhadap arteriole
perifer (betis, kaki-tangan) dan otak, sebab
penghambatan masuknya ion kalsium ke
dalam sel-sel otot polos. Lihat selanjutnya
Bab 34, Vasodilator, antagonis kalsium. Di
samping itu juga berkhasiat antipusing
dan antiemetik serta sering kali dipakai
sebagai obat vertigo, telinga berdengung
(tinnitus) dan pada mabuk jalan. Mulai
kerjanya agak cepat, bertahan selama 6-8 jam
dengan efek sedatif ringan.
Dosis: oral 2-3 dd 25-50 mg.
* Flunarizin (Sibelium) yaitu derivat difluor dengan khasiat antihistamin lemah.
namun sebagai antagonis kalsium, sifat vasorelaksasinya kuat. dipakai terhadap
vertigo dan sebagai obat pencegah migrain
(lihat Bab 52, Obat-obat Migrain dan Bab 34,
Vasodilator).
4c. Oksatomida: Tinset
Derivat siklizin ini (1982) memiliki khasiat
antihistamin, antiserotonin, anti-leukotriën
dan juga efek menstabilisasi mastcells. Berdasarkan sifat-sifat ini, oksatomida dipakai sebagai obat pencegah maupun pengobatan asma dan “hay fever”. Juga memiliki
efek stimulasi nafsu makan. Lihat juga Bab
40, Obat-obat Asma.
Dosis: oral 2 dd 30 mg p.c.; untuk asma 120
mg sehari.
4d. Hidroksizin:Iterax, Atarax
Derivat klor ini yaitu salah satu antihistamin pertama (1957) dengan berbagai
jenis khasiat, a.l. sedatif dan anksiolitik,
spasmolitik, anti-emetik serta antikolinergik. Sangat efektif pada urticaria dan gatalgatal.
Dosis: 1-2 dd 50 mg. Sebagai anksiolitik: 1-4
dd 50 - 100 mg.
* Cetirizin (Riztec, Ryzen, Zyrtec) yaitu
metabolit aktif dari hidroksizin (1987) dengan efek kuat dan panjang (t½ 8-10 jam).
Merupakan obat generasi kedua, bersifat
hidrofil, sehingga tidak bekerja sedatif, juga
tidak antikolinergik. Menghambat migrasi
dari granulosit eosinofil, yang berperan pada reaksi alergi lambat. dipakai pada
urticaria dan rhinitis/conjunctivitis. Dosis: 1
dd 10 mg malam hari.
5. Derivat Fenotiazin
Senyawa trisiklik ini memiliki khasiat
antihistamin dan antikolinergik yang tidak begitu kuat, namun sering kali berefek
sentral kuat dengan khasiat neuroleptik.
berdasar sifat ini, turunannya banyak
dipakai pada gangguan psikosis, lihat Bab
29. Antipsikotika. Juga sering kali dipakai
dalam obat batuk berdasar efek sedatifnya
di samping meredakan batuk.
5a. Prometazin:Phenergan
Antihistamin tertua ini (1949) dipakai
pada reaksi alergi terhadap tumbuhan dan
akibat gigitan serangga, juga sebagai antiemetikum terhadap mual dan mabuk jalan.
Selain itu, prometazin dipakai pada vertigo dan sebagai sedativum pada batuk dan
sukar tidur, terutama untuk anak-anak.
Efek samping bersifat umum, namun kadangkala dapat terjadi hipotensi, fotosensibilisasi, hipothermia (suhu badan rendah)
dan efek terhadap darah (leukopenia, agranulositosis). Semua senyawa fenotiazin dapat
memicu reaksi ini.
Dosis: oral 3 dd 25-50 mg dan sebaiknya
dimulai pada malam hari; i.m. 50 mg.
* Oksomemazin (Doxergan) yaitu derivat
dioksi (pada atom-S) dengan efek dan penggunaan sama seperti prometazin, a.l. dipakai dalam obat batuk (Toplexil). Dosis: oral
2-3 dd 10 mg.
5b. Isotipendil:Andantol
Derivat azofenotiazin ini bekerja lebih
singkat dari prometazin dengan efek sedatif
yang lebih ringan.
Dosis: oral 3-4 dd 4-8 mg; i.m./i.v. 10 mg.
6. Derivat Trisiklik lainnya
Sejumlah antihistaminika memiliki rumus dasar yang terdiri atas satu cincin tujuh yang terikat pada dua cincin enam di
kanan dan kiri. Zat-zat ini memiliki khasiat
antiserotonin kuat dengan menstimulasi nafsu makan. pemakaian nya terutama sebagai perangsang nafsu makan dan pada
urticaria, juga sebagai obat interval pada
migrain.
6a. Siproheptadin:Periactin, Pronicy
berdasar efek stimulasinya terhadap
pertumbuhan jaringan normal, dahulu obat
ini banyak dipakai untuk pasien kurus
dengan nafsu makan buruk. Lama kerjanya
4-6 jam, efek antikolinergiknya ringan.
Efek sampingnya umum a.l. rasa kantuk
yang biasanya lewat sesudah seminggu. Obat
ini sekarang hanya dianjurkan sebagai antihistaminikum.
Dosis: oral 3 dd 4 mg (klorida).
6b. Pizotifen:Lysagor, Sandomigran
Zat ini berkhasiat antihistamin dan antiserotonin. Di samping sebagai stimulan nafsu
makan, zat ini juga dipakai pada terapi
interval migrain, lihat Bab 52, Obat-obat Migrain.
Dosis: oral semula 1 dd 0,5 mg (maleat),
berangsur-angsur dinaikkan sampai 3 dd 0,5
mg.
* Ketotifen (Zaditen) yaitu derivat keto longacting tanpa efek antiserotonin. berdasar
sifat menstabilisasi mastcells, obat ini dipakai sebagai obat pencegah serangan asma.
Dosis: oral 2 dd 1-2 mg (fumarat).
* Loratadin(*Clarinase, Claritin) yaitu derivat klor (1988) yang sebagai zat generasi
kedua pada dosis biasa tidak berefek sedatif
maupun antikolinergik. Plasma-t½-nya lebih
panjang: 12 jam, sedangkan metabolit aktifnya 20 jam. dipakai pada rhinitis dan
conjunctivitis alergis, juga pada urticaria
kronis. Dosis: 1 dd 10 mg.
6c. Azelastin:Alergodil
yaitu obat generasi kedua (1991) yang
berkhasiat antihistamin, antileukotriën dan
antiserotonin dan juga menstabilisasi mastcells. Khusus dipakai pada rhinitis alergis.
Efeknya minimal 12 jam (t½ ±20 jam, dari
metabolit aktifnya 50 jam!)
Dosis: oral 1-2 dd 2 mg.
7. OBAT GENERASI KEDUA
Obat-obat generasi kedua memiliki
khasiat antihistamin tanpa efek sedatifhipnotik. berdasar sifat ini, layak sekali diberikan pada penderita alergi yang
pekerjaannya memerlukan kewaspadaan,
seperti pengemudi kendaraan bermotor dan
mereka yang bekerja dengan mesin. Tersedia
beberapa obat yaitu terfenadin, astemizol,
levokabastin, loratadin, azelastin dan setirizin.
Ketiga obat terakhir sudah dibahas di atas,
yang pada hakikatnya termasuk kelompok ini sebab efek sedatifnya relatif ringan
dibandingkan obat-obat lain. Berhubung efek
sampingnya terhadap jantung, walaupun
jarang terjadi namun bisa bersifat fatal, maka
terfenadin dan astemizol sudah dihentikan
peredarannya di AS dan banyak negara
Eropa.
7a. Terfenadin: Nadane, Triludan
Derivat butilamin heterosiklik ini (1982)
yaitu suatu prodrug, dengan khasiat antihistamin (H1
) yang menyerupai klorfeniramin. Tidak dapat melintasi barrier liquor
(CCS), maka tidak memiliki efek sentral
(sedatif). dipakai pada rhinitis allergica,
urticaria dan reaksi alergi lainnya.
Resorpsi dari usus baik, mulai kerjanya
sesudah 1 jam dan bertahan 12-24 jam.
Dalam hati dengan cepat dan tuntas dirombak oleh sistem enzim cytochrom P450
menjadi a.l. metabolit aktifnya terfenadin karboksilat dengan plasma-t½ ±17 jam. Ekskresi
berlangsung lewat tinja (60%) dan urin (40%).
Efek samping jarang terjadi dan berupa
gangguan saluran cerna, nyeri kepala dan
berkeringat. Dengan beberapa obat (eritromisin, klaritromisin, ketokonazol, itrakonazol)
terjadi interaksi berbahaya dengan efek
gangguan ritme dan terhentinya jantung,
yang adakalanya fatal! Kelainan ritme ini
juga dapat timbul pada dosis terlampau
tinggi dan juga akibat grapefruit juice, yang
bersifat menghambat enzim cytochrom
P450 sehingga kadar terfenadin dalam
darah meningkat. Oleh sebab itu, pada
awal tahun 1997, DepKes AS telah menarik
dari peredaran semua sediaan terfenadin
(Allergin, Fenalan). Dosis: oral 2 dd 60 mg; anak-anak 3-6 thn 2
dd 15 mg, 6-12 thn 2 dd 30 mg.
*Fexofenadin(Telfast) yaitu suatu metabolit
aktif dari terfenadin (1996) yang tidak perlu
diaktivasi oleh hati. Sifat dan pemakaian nya
sama. Dosis: oral 1 dd 120 mg.
7b. Astemizol: Hismanal
Senyawa fluor ini (1983) memiliki khasiat
antihistamin kuat, juga tanpa efek sentral
maupun antikolinergik. pemakaian dan
efek sampingnya sama dengan terfenadin.
Begitu pula metabolit aktifnya, terutama
desmetilastemizol, berperan bagi daya kerjanya. Jangka waktu kerjanya panjang sekali
dengan plasma-t½ 20 jam sampai 10 hari.
Juga dipakai terhadap hay fever. namun
efek optimalnya baru dicapai setelah 2-3 hari,
sehingga tidak layak untuk terapi serangan
alergis akut.
Efek samping kurang lebih sama dengan
terfenadin. Pertengahan tahun 1999 astemizol
ditarik dari peredaran oleh pabriknya di
banyak negara Eropa.
Interaksi. Pada dosis di atas 10 mg sehari dan pemakaian serentak dengan eritromisin, ketokonazol dan itrakonazol ada
kalanya menghambat metabolisme yang
mengakibatkan gangguan ritme serius, bahkan terhentinya kegiatan jantung (sama
dengan terfenadin).
Dosis: 1 dd 10 mg sebelum makan; anakanak 6-12 tahun 1 dd 5 mg, di bawah 6 tahun
1 dd 0,2 mg/kg.
7c. Levokabastin:Livostin, Livocab
Senyawa piperidinecarbonic acid ini (1991)
berkhasiat antihistamin kuat dan praktis
tidak bekerja sentral. Hanya dipakai
topikal dalam tetes mata dan spray hidung
(0,05%).
* Ebastin(Kestine) yaitu derivat (1995) yang
sebagai prodrug dalam hati diubah menjadi
zat aktif karebastin. Khusus dipakai pada
rhinitis alergis kronis dengan efektivitas
sama seperti astemizol 10 mg, cetirizin 10 mg,
loratadin 10 mg dan terfenadin (2 dd 60 mg).
Dosis: oral 1 dd 10-20 mg.
8. LAIN-LAIN
8a. Mebhidrolin (Interhistin, Incidal) dipakai a.l. pada pruritus dengan dosis 2-3 dd 50
mg.
8b. Dimetinden (Fenistil) juga dipakai
terhadap pruritus dengan dosis 3 dd 1-2 mg
(maleat).
8c. Kortikosteroida(lihat Bab 46. Kortikosteroida). Glukokortikoida dapat menekan daya
tangkis seluler sehingga mengurangi reaksi
alergi. dipakai terhadap peradangan dan
mengurangi pembentukan mediator-mediator. Kortikosteroida dipakai sebagai berikut:
* lokal terutama
- terhadap asma dan hay fever: beklometason
(Beconase, Becotide), budesonida (Pulmicort, Symbicort) dan fluticason (Flixotide,
Seretide), sebagai obat semprot hidung
atau aerosol;
- terhadap radang mata: deksametason,
fluormetolon (FML-Neo tetes mata), hidrokortison dan prednisolon;
- terhadap dermatoses (gangguan kulit).
* sistemik (bersamaan dengan adrenalin)
pada syok anafilaktik, kejang bronchi sebab
reaksi alergi dan status asthmaticus (lihat Bab
40, Obat-obat Asma).
8d. Natrium kromoglikat:Intal, Rynacrom
Zat ini bukan suatu antihistamin, namun
disinggung di sini berkat khasiat profilaksisnya terhadap hay fever. Mekanisme
kerjanya melalui stabilisasi membran mastcells, sehingga menghambat pembebasan
histamin dan mediator lain. Khasiat menstabilisasi ini juga diberikan oleh ketotifen, suatu obat profilaksis lain terhadap
asma yang dapat diberikan per oral, lihat
Bab 41, Obat-obat Batuk. Zat ini bermanfaat
bila diberikan sebelum terjadi granulasi
mastcells dan hanya bekerja profilaksis
terhadap reaksi alergi. sebab absorpsi dari
usus buruk, maka pada asma dipakai
dalam bentuk aerosol atau inhalasi serbuk
halus. Juga dalam tetes hidung pada rhinitis
allergica dan tetes/salep mata (Opticrom),
pada radang selaput mata alergis
(conjunctivitis).
Efek samping lemah, a.l. iritasi setempat.
Dosis: 4 dd 20 mg serbuk halus kering untuk inhalasi (garam dinatrium).
* Nedokromil(Tilade) yaitu suatu senyawa
kuinolin (1986) dengan khasiat sama dengan
kromoglikat. dipakai untuk prevensi serangan asma, juga yang diprovokasi oleh
pengeluaran tenaga (‚exertion‘). Dosis: dosis
aerosol 4 dd 4 mg.
OBAT-OBAT MIGRAIN
Migrain (Yun. hemicrania = nyeri sebelah
kepala; hemi = setengah, cranium = tengkorak)
yaitu penyakit yang bercirikan serangan
nyeri hebat dari satu sisi kepala (unilateral) yang datang secara berkala, disertai
gangguan saluran cerna seperti mual dan
muntah. Serangan dapat terjadi beberapa
kali setahun sampai beberapa kali seminggu,
sedangkan lama serangan umumnya 1-2 jam,
yang bisa disusul oleh sakit kepala tersebar
selama beberapa hari. Sakit kepala kronis ini
merupakan suatu masalah sosial-ekonomis
besar yang memengaruhi kebahagiaan hidup
dan mengakibatkan kehilangan ratusan ribu
hari kerja setahunnya.
Jenis nyeri kepala
lainnya
Sindroma sakit kepala yang sejak berabadabad menjadi keluhan banyak pasien , tidak
semuanya sama. Di samping migrain
yang diakibatkan oleh pembuluh darah
yang secara bergiliran berkontraksi dan
berelaksasi, masih dikenal dua bentuk sakit
kepala yang agak sering terjadi.
* Sakit kepala tegang (tension headache), yang
paling mudah diobati dan disebabkan oleh
otot-otot yang menegang di bagian kepala
dan tengkuk. Kerapkali sakit kepala ini
disebabkan oleh stres dalam berbagai bentuk,
seperti kerja di bawah tekanan dan hubungan
buruk di rumah atau di pekerjaan. Jenis sakit
kepala ini dapat muncul selama masa dengan
penuh kekhawatiran dan perasaan murung.
Gejalanya berupa sakit terus-menerus di
sebagian atau di seluruh kepala dan adakalanya dirasakan seperti bando yang diikat
ketat di sekitar kepala, namun tanpa denyutan
seperti pada migrain. Nyeri kerapkali sudah
terasa bila kulit kepala disentuh, yang dapat
bertahan berbulan-bulan.
Penanganan dapat dilakukan secara
efektif dengan jalan masase kulit kepala
dan latihan-latihan tertentu untuk menghilangkan ketegangan otot. Bila stres merupakan penyebab terjadinya sakit kepala,
‘terapi wicara’ dengan petunjuk bagaimana menanggulangi dan menghadapi ketegangan, sering kali ampuh (stress management). Pengobatan dengan analgetika hanya
efektif untuk sementara.
* Sakit kepala cluster (cluster headache)
terhitung sakit kepala vaskuler pula (seperti
migrain), yang disebabkan oleh pembuluh
darah yang hiperreaktif (Ing. cluster = kelompok). Meskipun gejalanya mirip, bahkan
bersifat lebih parah, namun tidak termasuk
penyakit migrain. Gejalanya berupa sakit
sebelah kepala yang sangat hebat dan berpusat di sekitar satu mata, disertai keluarnya
air mata dan hidung mampat, juga muntah.
Ciri khas jenis sakit kepala ini yaitu serangannya timbul dalam siklus-siklus tertentu, kadang-kadang 2-3 gelombang seharinya, terutama pada tengah malam. Lamanya serangan beberapa jam. Masa bebas
serangan bisa sampai 1 tahun. Gangguan ini
lebih sering diderita kaum pria (antara usia
30-50 tahun) daripada wanita.
Pengobatan dilakukan dengan sumatriptan
subkutan, sedangkan efek pengobatan dengan ergotamin hasilnya kurang optimal
atau tidak menentu. Untuk memutuskan
siklus, dapat dipakai metisergida, pizotifen
atau antidepresivum litiumkarbonat sebagai
profilaksis dan obat interval. * Diagnosis. Kadang-kadang timbul kesulitan
untuk mengetahui jenis sakit kepala guna
menentukan apakah penderita memerlukan
pengobatan atau harus menjalani terapi
“stress management”.
Akhir-akhir ini telah dikembangkan suatu screening test 15 menit (Ohio University) untuk memperoleh informasi di mana
letaknya nyeri, keparahan dan faktor penyebabnya.
Gejala-gejalanya
Fasa prodromal. Sekitar 25% penderita migrain mendapat serangan setelah didahului oleh suatu fasa pertanda, umumnya ½ - 2
jam sebelum nyeri kepala muncul. Fasa ini
bercirikan tanda-tanda pertama (aura) yang
berupa gejala neurologik, seperti fonofobia dan
fotofobia, yaitu kepekaan berlebihan terhadap
bunyi-bunyian yang keras, bau yang tajam,
maupun cahaya yang tampak seperti kilat
(teichopsia), bintik-bintik hitam atau warnawarni (scotomata). Gejala ini disertai perasaan gelisah, mudah tersinggung, pusing
dan termenung-menung. Umumnya terjadi gang