ulut fleksi untuk mengurangi lordosis lumbal.
Di lain pihak, kanalis stenosis memiliki ciri
tambahan berupa nyeri yang bertambah berat saat duduk lama, berdiri, atau berjalan.
Nyeri akan membaik saat istirahat setelah
aktivitas ini . Posisi yang paling nyaman bagi pasien kanalis stenosis yaitu
jongkok, agak membungkuk ke depan, dan
fleksi panggul dan lulut. Hal ini menyerupai posisi pengendara sepeda. Selain itu,
ada fenomena klaudikasio neurogenik
pada kanalis stenosis, yang ditandai dengan
aktivitas berjalan dan berdiri memicu
hipestesi dan kelemahan tungkai secara
bertahap, sehingga memaksa pasien untuk
duduk istirahat. Hal ini dipicu oleh insufisiensi arteri iliofemoral
Selain itu, nyeri radikular isialgia dapat dijumpai pada sindrom piriformis. Hal ini dise-
babkan oleh kompresi saraf iskhiadikus yang
mengalami dalam perjalanannya oleh otot.
Ciri khas dari sindrom ini yaitu nyeri yang
muncul saat otot teregang melalui gerakan
fleksi, aduksi, dan endorotasi sendi panggul.
Spasme otot sekunder biasanya terjadi sebagai mekanisme proteksi nosiseptif akibat
iritasi lokal pada struktur tulang belakang.
Kontraksi otot berkepanjangan dapat menimbulkan nyeri lokal yang tumpul dan terasa kram. Pasien kadang-kadang merasakan
spasme otot ini pada otot-otot sakrospinalis
dan gluteal.
diagnosa
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
baik dan fokus dapat mengarahkan NPB ke
dalam klasifikasi NPB, yang meliputi NPB
nonspesifik, NPB yang berkaitan dengan radikulopati atau stenosis spinalis, dan NPB
yang berkaitan dengan penyebab spinal lain
yang spesifik. Anamnesis harus disertai penilaian faktor risiko psikososial yang berguna untuk memprediksi risiko terjadinya
NPB kronik dan kekambuhan yang menimbulkan disabilitas.
Klinisi sebaiknya tidak melakukan pemeriksaan pencitraan atau tes diagnostik lain
secara rutin pada pasien NPB nonspesifik.
Pemeriksaan penunjang, seperti MRI, harus
sesuai dengan indikasi, misalnya ada
defisit neurologis berat dan progresif atau
dicurigai ada kondisi serius yang mendasari
(underlying disease).
Melalui anamnesis, klinisi mendapat data
mengenai pemicu terjadinya NPB, seperti
membungkuk [bending], memutar (twisting), mengangat beban {lifting), atau bahkan
hanya dengan bangun dari kondisi berbaring. Evaluasi keluhan NPB baru pertama kali
atau kambuh berulang penting untuk diketahui. Setiap episode kambuh berulang biasanya memiliki intensitas nyeri yang lebih berat
disertai peningkatan gejala dari sebelumnya.
Setiap pasien NPB harus dievaluasi ada/tidak tanda bahaya (red flags). Adanya tanda
bahaya mengarah kepada jenis NPB yang
membutuhkan pemeriksaan penunjang lebih lanjut serta pengobatan segera (Tabel 2].
Nyeri yang bers umber dari struktur-struktur yang membentuk tulang belakang,
seperti otot, ligamentum, sendi faset, dan
diskus dapat beralih ke regio paha bawah,
namun jarang ke area di bawah lutut. Nyeri
yang berkaitan dengan sendi sakroiliaka
seringkali beralih ke paha bawah, tetapi
juga dapat menjalar ke bawah lutut. Adanya
iritasi, benturan, atau kompresi saraf lumbalis akan memicu nyeri yang lebih
dirasakan pada tungkai dibandingkan pada
punggung bawah. Nyeri yang berasal dari
radiks atau saraf spinal L1-L3 akan beradiasi ke panggul dan atau paha bawah, sedangkan nyeri yang berasal dari L4-S1 akan
beradiasi di bawah lutut. Herniasi diskus
sentralis, subsentralis, atau lateralis dapat
mengenai saraf yang berbeda-beda pada
tingkat yang sama, yang dapat dinilai berdasarkan pemeriksaan neurologis terhadap
ekstremitas bawah berupa kekuatan motorik, sensorile, dan refleks (Tabel 3}
Pemeriksaan fisik pada regio lumbosakral,
pelvis, dan abdomen dapat memberikan petunjuk etiologi NPB. Beberapa pemeriksaan
fisik khusus dilakukan pada pasien NPB
(Gambar 8}. Pemeriksaan straight leg raise
test dilakukan dalam posisi terlentang, kedua
tungkai diangkat, dengan kedua lutut dalam
posisi ekstensi. Basil tes yang positif ditandai
jika ada nyeri yang memjalar ke bawah
lutut, yang menunjukkan sumber nyeri berasal dari radiks atau saraf spinal L4-S1. Selain
itu, reverse straight leg raise test dikerjakan
dalam posisi pasien tengkurap, dilakukan
ekstensi panggul dan fleksi lutut Hasil positif
ditandai dengan nyeri yang menjalar ke anterior paha bawah, yang menunjukkan keterlibatan radiks atau saraf spinal L3.
Jika dicurigai adanya kondisi serius yang mendasari NPB, maka MRI merupakan modalitas
terpilih untuk sebagian besar kasus (Gambar
9). CT scan merupakan alternatif jika ada
kontraindikasi atau tidak tersedia fasilitas
MRI. Hasil MRI atau CT scan harus disesuaikan dengan Minis pasien, mengingat kemungIdnan hasil ini positif palsu yang semaIdn sering sesuai dengan meningkatnya usia.
Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah lengkap, laju endap darah dan
C-reactive protein berguna jika dicurigai infeksi atau adanya neoplasma di sumsum
tulang. Pemeriksaan ini paling sensitif pada
kasus-kasus infeksi spinal karena pada kasus ini biasanya tidak disertai demam
dan pemeriksaan darah lengkap menunjukkan hasil yang normal. Diperlukan pemeriksaan MRI dengan kontras serta biopsi pada
kasus-kasus yang memiliki keterbatasan
dalam pemeriksaan laboratorium.
pengobatan
Tujuan pengobatan NPB akut yaitu untuk
mengurangi nyeri, mengembalikan pasien
ke dalam aktivitas sehari-hari, menurunkan
hilangnya waktu kerja, dan mengembangkan strategi untuk mengatasi nyeri melalui
edukasi. Optimalisasi pengobatan nyeri
akut dapat mencegah berkembang menjadi
kronik. Pada prinsipnya penatalaksanaan
untuk NPB dibagi menjadi tiga, yaitu pengobatan penyakit yang mendasarinya, tindakan operasi, dan terapi konservatif.
1. Pada NPB yang berasal dari organ abdomen dan bagian posterior abdomen,
serta NPB aldbat metastasis spinal, maka
pengobatan ditujukan pada pengobatan
penyakit yang mendasari ini .
2. Pada NPB yang dapat disembuhkan dengan operasi, tentukan indikasi dan untung rugi tindakan operasi pada awal
awitan NPB atau setelah terapi konservatif terlebih dahulu.
3. Pada NPB tanpa indikasi operasi:
a. Istirahat; membatasi aktivitas fisik,
atau memakai korset
b. Terapi fisik; pada prinsipnya dilakukan termoterapi, namun juga dengan
traksi. Terapi fisik ini harus didahului
dengan penilaian yang tepat oleh ahlinya.
c. Terapi olah raga:
Untuk meningkatkan kekuatan otot
dan menghasilkan korset alami dari
otot-otot abdomen dan otot-otot
punggung
Untuk melakukan latihan peregangan
dan relaksasi
• Untuk meningkatkan kekuatan tulang
dengan memberikan beban mekanik
pada tulang-tulang
d. Orthoses; sebagai imobilisasi tulang belakang serta mengkoreksi kifosis dan
skoliosis.
e. Terapi medikamentosa:
Terapi kuratif dengan antibiotik, antifungal atau obat anti tuberkulosis
untuk kasus-kasus infeksi
Terapi simptomatik dengan obatobatan antiinflamasi dan analgetik
Menghilangkan nyeri dengan blok lokal atau blok saraf
f. Psikoterapi; konseling untuk nyeri punggung bawah kronik dan nyeri punggung
bawah psikogenik
g. Panduan untuk menjalankan kehidupan
sehari-hari: panduan gaya hidup dan
kerja yang tidak baik yang dapat mempengaruhi timbulnya atau memperberat
nyeri punggung bawah.
Oleh karena sebagian besar pasien
dalam praktik sehari-hari tergolong NPB
nonspesifik, maka American Family Physician mengemukakan pengobatan nya
sebagai berikut:
1. Pada kunjungan pertama pasien
a. Edukasi pasien
Meyakinkan pasien bahwa prognosis nyeri punggung bawah seringkali
baik, dengan sebagian besar kasus hilang dengan sendirinya tanpa banyak
intervensi.
Memberi saran kepada pasien untuk
tetap aktif, sebisa mungkin hindari
bed rest dan kembali ke aktivitas normal secepat mungkin.
Memberi saran kepada pasien untuk
menghindari gerakan memutar (twisting) dan membungkuk [bending] terutama saat mengangkat barang.
Tujuan dari edukasi kepada pasien
yaitu untuk mengurangi kekhawatiran
terhadap nyeri punggung bawah yang
dialaminya serta mengajarkan cara
untuk menghindari nyeri bertambah
berat atau timbul kembali.
b. Mulai terapi dengan obat antiinflamasi
nonsteroid (OAINS) atau asetaminofen.
OAINS merupakan obat lini pertama untuk terapi NPB.
c. Pertimbangkan pemberian pelemas otot
berdasarkan keparahan nyeri, misalnya
diazepam, siklobenzaprin, tizanidin, dan
metaksalon.
d. Pertimbangkan terapi opioid jangka
pendek jika intensitas nyeri berat.
e. Pertimbangkan memberikan rujukan
untuk terapi fisik jika ini bukan merupakan episode pertama. Terapi fisik telah
dikatakan dapat menurunkan nyeri, disabilitas, dan risiko terjadinya kekambuhan setelah episode pertama NPB.
2. Pada kunjungan kedua pasien (2 hingga 4
minggu setelah kunjungan pertama, jika
pasien belum ada perbaikan yang bermakna).
a. Pertimbangkan mengganti ke OAINS
lain.
b. Pertimbangkan memberikan rujukan
untuk terapi fisik jika belum dilakukan pada kunjungan pertama.
c. Pertimbangkan untuk dirujuk ke subspesialis tulang belakang jika intensitas nyeri hebat atau membatasi aktivitas sehari-hari.
CONTOH KASUS
Seorang lald-lald 28 tahun datang ke ldinik
dengan keluhan nyeri pinggang bawah sejak 5
hari lalu. Nyeri dirasakan setelah pasien mengangkat galon air. Karakteristik nyeri seperti
tertekan, hilang timbul, tidak menjalar, dan intensitas ringan sedang. Nyeri memberat saat
membungkuk, berubah posisi dari berbaring
ke duduk/berdiri. Nyeri membaik saat istirahat
dan berbaring. Pemeriksaan fisik menunjukkanspasme ototdan ada trigger point pada otot
paravertebral lumbal tanpa defisit neurologis.
Pertanyaan
1. Apakah etiologi NPB yang paling mungkin pada pasien ini?
a. Tumor
b. Trauma
c. Infeksi/inflamasi
d. Degeneratif
e. Idiopatik
Jawaban: B
2. Berdasarkan data kasus, tergolong apa
nyeri yang dialami pasien?
a. Nosiseptif, akut
b. Nosiseptif, kronik
c. Neuropatik
d. Campuran nosiseptif dan neuropatik
e. Breakthrough pain
jawaban: A
3. Apa saja tanda bahaya yang belum dieksplorasi pada kasus ini?
a. Demam
b. Penurunan berat badan
c. Riwayat keganasan
d. Riwayat infeksi tuberkulosis
e. Semua benar
Jawaban: E
4. Apa saja pengobatan medikamentosa
yang dapat diberikan pada kasus ini?
a. Parasetamol
b. Ibuprofen
c. Diazepam
d. Hanya a dan b yang benar
e. Pilihan a, b, dan c benar
Jawaban: E
5. Enam bulan berikutnya, pasien datang lagi
ke klinik dengan keluhan nyeri pinggang
yang lebih berat dari sebelumnya. Pasien
memiliki riwayat demam, batuk kronik,
dan penurunan berat badan. Pemeriksaan
fisik ada gibbus, deformitas kifosis pada segmen torakal, dan nyeri tekan
vertebra torakal 11-12. Apakah diagnosa
yang paling mungkin saat ini?
a. Mielitis transversa
b. Spondilitis TB
c. Hernia nukleus pulposus
d. Kompresi medula spinalis akibat metastasis
e. Sindrom konus medularis
Jawaban: B
NYERI RANKER
H enry Riyanto Sofyan, Tiara A ninditha
PENDAHULUAN
Nyeri kanker merupakan kompiikasi
kanker yang paling sering ditemui pada
pasien kanker. Frekuensinya sekitar 30-
50% pada pasien yang sedang menjalani
terapi dan meningkat hingga 70-90% pada
kanker tahap lanjut. Oleh karena sifat
nyerinya yang bisa memberat secara terus
menerus dalam jangka waktu yang lama,
maka pasien dapat mengalami gangguan
tidur dan nafsu makan hingga depresi. Tak
heran bahwa nyeri kanker menjadi sangat
ditakuti oleh penderitanya dan merupakan
salah satu target pada terapi kanker secara
keseluruhan. National Comprehensive
Cancer Network [NCCN] dalam Panduan
Nyeri Kanker 2016 menyatakan bahwa
kesintasan penderita berhubungan erat
dengan manajemen gejala kanker yang baik,
termasuk manajemen nyeri kanker, dalam
meningkatkan kualitas hidup.
Keluhan nyeri ini dapat dirasakan dalam
setiap fase perkembangan kanker [Gambar
1), mulai dari fase penegakan diagnosa
ataupun staging, fase kemoterapi, fase
pembedahan, fase remisi, fase relaps,
ataupun fase kesintasan {survivorship}.
Sindrom nyeri kanker dapat dibagi secara
luas menjadi tipe akut dan kronik. Sindrom
nyeri kanker akut biasanya ditemukan
dalam proses diagnostik atau terapi
intervensi, sedangkan pada yang kronik
berhubungan langsung dengan kanker itu
sendiri atau terapi antineoplastik.
EPIDEMIOLOGI
WHO World Cancer Report 2014
menunjukkan angka insidens kejadian
diagnosa kanker baru dan angka kematian
akibat kanker yang tinggi dan diperkirakan
meningkat sebanyak 70% dalam dua dekade
ke depan. Sebanyak 70% pasien kanker
dapat mengeluhkan keluhan nyeri, yaitu 30-
50% pada suatu saat dalam terapi hingga
90% pada stadium kanker lanjut.
PATOFISIOLOGI
Pada awalnya, nyeri kanker dapat berhubungan dengan terapi kanker itu sendiri, misalnya
prosedur bedah terkait biopsi diagnostik
atau terapi, efek samping obat kemoterapi,
dan terapi radiasi. Seiring perjalanan penyakit, nyeri kanker akan semakin intens. Hal ini
dipicu oleh kerusakan nosiseptor akibat
pertumbuhan tumor. Selain itu, nosiseptor
juga menjadi tersensitisasi oleh penglepasan
faktor-faktor dari sel kanker dan sel stromal,
misalnya nerve growth factor. Bila perjalanan
penyakit kanker terus berlanjut, maka terjadi
proses pembentukan nerve sprouting ektopik
dan neuroma. Hal ini yaitu salah satu faktor
yang mendasari terjadinya nyeri sontak pada
pasien kanker [Gambar 1].
Evolusi nyeri Ranker seiring perjalanan
penyakitnya ini tidak lepas dari patofisiologi
dari nyeri kanker. Adapun patofisiologi nyeri
kanker terdiri dari beberapa proses, yaitu:
1. Faktor-faktor Sel Tumor
Sel tumor mensekresi berbagai faktor yang
diperlukan untuk pertumbuhannya, seperti bradikinin, kanabinoid, endotelin, interleukin-6 (IL-6], granulocyte-macrophage
colony-stimulating factor (GM-CSF), nerve
growth factors (NGF], protease, dan tumor
necrosis factor-a (TNF-a], yang merangsang reseptor nyeri (Gambar 2],
2. Asidosis Jaringan Terinduksi Sel Tumor
Sel kanker secara umum mempunyai
pH yang rendah [6,8] jika dibandingkan
dengan sel normal (pH 7,2] akibat sekresi
asam laktat hasil glikolisis anaerob.
Jaringan sekitar tumor dengan pH rendah
ini akan mengaktifkan ujung serabut
saraf sensori bebas dan mengaktifkan
transient receptor potential vanilloid 1
(TRPV1) atau reseptor kapsaisin, Sensasi
sensorik yang ditimbulkan yaitu rasa
panas di daerah jaringan tumor.
Massa kanker memiliki komposisi sel-sel
inflamasi dan pembuluh darah yang sering
berdekatan dengan nosiseptor. Sel kanker
dan sel inflamasi ini melepaskan
berbagai sitokin, seperti adenosine
5$-triphosphate (ATP], bradikinin, H+, nerve
growth factor (NGF), prostaglandin, dan
vascular endothelial growth factor (VEGF]
yang bisa mengeksitasi atau sensitisasi
nosiseptor. Stimulus nyeri ini
dihantarkan oleh saraf perifer melalui
ganglion radiks dorsalis menuju medula
spinalis dan pusat yang lebih tinggi di
otak. Aktivasi nosiseptor memicu
penglepasan n euro transmiter, antara lain
calcitonin gene-related peptide (CRGP],
endotelin, histamin, glutamat, dan substansi
P. Selain itu, terjadi juga penglepasan
prostaglandin dari ujung terminal saraf
sensorik, sehingga dapat menginduksi
ekstravasasi plasma, aktivasi sel-sel imun,
dan vasodilatasi.
3. Instabilitas Mekanik Skeletal
Terinduksi Sel Tumor
Tulang merupakan daerah yang sering
mengalami metastasis. Untuk menyiapkan tempat tumbuhnya, sel kanker merangsang osteoblas mengekspresikan activator
o f nuclear factor kappa-B (RANK) dan osteoprotegerin (OPG}. RANKL kemudian
berikatan dengan ligannya (RANKL),
sehingga terjadi pematangan osteoklas.
Interaksi OPG dengan RANKL akan meningkatkan resoprsi tulang. Peningkatan
osteoklas yang matang juga menyebabkan tulang melepaskan insulin growth
factor (IGF}-1 dan tumor growth factor
(TGF)-(3 yang akan mengaktifkan jalur
kaskade seperti sebelumnya, sehingga
terjadi proses resorpsi tulang terusmenerus (Gambar 3).
Sel kanker juga menghasilkan sitokin,
seperti IL-6, IL-11, prostaglandin
E2, dan tumor necrosis factor alpha
(TNF-a), yang berperan menginduksi
pembentukan osteoklas dan supresi
osteoblas. Sementara prostaglandin E2
meningkatkan pembentukan osteoklas
dengan menambah jumlah produksi
RANKL. Aktivasi osteoldas ini
memicu destruksi tulang, sehingga
mengaktifkan serabut sarafbebas dalam
tulang dan terjadi penekanan serta
edema pada jaringan sekitarnya yang
memicu nyeri hebat saat bergerak
atau menyangga beban dan instabilitas
mekanik tulang
4. Kerusakan Sel Saraf Akibat Tumor
dan Nyeri Neuropatik
Sel tumor dan sel stromal dapat menginfiltrasi jaringan ikat di sekitarnya yang
mengandung serabut saraf bebas. Sel
abnormal ini akan menhancurkan bagian distal dari serabut saraf sensoris
bebas, dan sejalan dengan waktu akan
memicu diskontinuitas dan fragmentasi sel saraf. Selain itu, sel saraf ini
juga dapat mengalami kerusakan akibat
kemoterapi, pembedahan, atau radiasi.
Pada metastasis ke tulang vertebra dapat
terjadi fraktur kompresi yang memicu kerusakan pedikel dan menekan
radiks, sehingga memicu nyeri radikular.
5. Formasi Neuroma dan Pertumbuhan
Saraf Terinduksi Sel Tumor
Sel tumor dan sel stromal dapat
menginduksi pertumbuhan abnormal
serabut saraf bebas dan formasi neuroma.
Hal ini memicu perubahan fenotip
sensoris dan serabut saraf simpatis,
termasuk ketidakseimbangan saluran
ion Natrium, sehingga memicu
eksitasi spontan dan cetusan ektopik
terkait pergerakan, yang dirasakan
sebagai rasa nyeri.
I 6. Proses Sensitisasi Sentral
Pada nyeri kanker terjadi reorganisasi
struktur yang signifikan di susunan
saraf tepi dan pusat akibat perubahan
komunikasi dari struktur saraf itu
sendiri. Sebagai contoh, mediator kimia
yang dilepas oleh sel glia teraktifasi
nyeri terus menerus dapat mengontrol
amplitudo respons sinaptik dengan
mengubah tingkat ekspresi reseptor
N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan
alp h a-am in o-3 -h y d rox y -5 -me thy 1-4-
isoxazolepropionic acid (AMPA), serta
fosforilasi keduanya.
GEJALA K L IN IS
: Gejala nyeri yang dialami oleh pasien harus
dipahami berdasarkan karakteristik nyeri,
:seperti intensitas, kualitas, distribusi, dan
hubungan waktu antar kejadian nyeri
(temporal relationship). Evaluasi intensitas
nyeri merupakan hal penting karena
menentukan jenis terapi.
Kualitas nyeri menyiratkan patofisiologi
yang mendasarinya (Tabel 1). Nyeri
nosiseptif somatik biasanya dapat
dilokalisasi, terasa tajam, seperti ditusuktusuk, atau tertekan (pressure-like). Nyeri
nosiseptif viseral bersifat difus dan sulit
dilokalisasi. Bila nyeri ini terjadi karena
obstruksi suatu rongga tubuh, maka
keluhannya dapat berupa kram atau kolik.
Nyeri neuropatik dideskripsikan sebagai
rasa terbakar, kesemutan, atau seperti
kesetrum listrik (shock-like).
Distribusi nyeri kanker biasanya lebih dari
satu tempat, sehingga perlu ditentukan
antara fokal, multifokal, dan generalisata.
Hal ini berhubungan dengan terapi yang
diambil, yaitu blok saraf, radioterapi, atau
operasi bedah. Nyeri terdistribusi fokal bila
terjadi hanya pada satu tempat, biasanya di
tempat lesi. Nyeri fokal ini perlu dibedakan
dengan nyeri rujuk, yaitu sumber nyeri
berasal dari tempat yang berbeda dengan lesi
patologisnya, seperti nyeri daerah nasofaring
yang dapat terasa di puncak kepala.
Evaluasi waktu kejadian nyeri dapat
menunjukkan nyeri tergolong akut atau
kronik. Pasien dengan nyeri akut biasanya
disertai perilaku nyeri yang nyata, seperti
mengerang, meringis, dan cenderung
tidak mau bergerak. Selain itu, ada
rasa cemas, berkeringat (diaforesis), dan
berdebar-debar. Berbeda dengan nyeri akut,
pasien dengan nyeri kanker kronik biasanya
mengalami gangguan afektif, misalnya
depresi. Selain itu, pasien terlihat kurus,
nafsu makan menurun, dan gangguan tidur.
Selain nyeri akut dan kronik ada pula
nyeri sontak. Nyeri ini dirasa tajam dan
hebat, dengan pola eksaserbasi transien
di antara nyeri dasar yang terkontrol, baik
pada nyeri kanker akut maupun kronik.
Nyeri sontak dapat ditimbulkan pada
keadaan gerak disadari pasien (seperti pada
pergerakan, batuk, berkemih, dan defekasi)
maupun pada gerak yang tidak disadari
(gerakan motilitas usus). Nyeri sontak
ini dapat berdurasi dalam hitungan detik
ataupun jam (1-240 menit].
Nyeri sontak harus dapat dibedakan dengan
eksaserbasi rasa nyeri sebagai akibat dari
kegagalan dosis terapi analgesia sesuai
dengan waktu paruh obat ini dalam
tubuh. Untuk membedakannya, dapat
dilakukan pencatatan rasa nyeri (buku harian
nyeri] untuk menentukan bahwa pola yang
terjadi yaitu akibat kegagalan dosis terapi
analgesia terkait jadwal pemberian, sehingga
diperlukan modifikasi pemberian jadwal.
Pada nyeri akibat metastasis tulang vertebra,
nyeri biasanya dimulai dengan nyeri lokal
yang dikatakan pasien sebagai fpegal' atau
rasa tidak nyaman di daerah lesi. Selanjutnya
jika terjadi penekanan pada radiks akan
muncul nyeri radikular yang menjalar dari
punggung sesuai dengan daerah radiks yang
terkena. Pada nyeri di daerah torakal, nyeri
seperti terikat atau keram ke perut yang
sering disalah artikan oleh pasien ataupun
klinisi lain sebagai nyeri abdomen. Pada
pemeriksaan fisik biasanya akan ditemukan
nyeri tekan yang menunjukkan adanya
komponen nyeri nosiseptif bersamaan
dengan nyeri neuropatik.
diagnosa
Seperti halnya penyakit lain, diagnosa
nyeri kanker ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan penunjang untuk
mendapatkan karakteristik nyeri dan
konfirmasi diagnosa nyeri kanker. Untuk
lebih memudahkan pengobatan , data
karakteristik nyeri dan temuan fisik
yang merupakan konsekuensi spesifik
dari penyakit kanker atau terapinya
dikumpulkan ke dalam suatu sindrom, yaitu
sindrom nyeri kanker.
Sindrom nyeri kanker dapat digolongkan ke
dalam akut dan kronik (Tabel 2). Sindrom
nyeri kanker akut biasanya berhubungan
dengan intervensi diagnostik atau terapeutik,
sedangkan kronik biasanya dipicu oleh
perkembangan tumor secara langsung
Menurut International Association for the
Study o f Pain (IASP), suatu nyeri dapat
dikatakan nyeri kronik jika dirasakan ada
nyeri yang melewati batas waktu normal
dari fase penyembuhan jaringan, bisa lebih
dari 3 atau 6 bulan. Pada nyeri kanker,
lebih dari 3 bulan ditentukan sebagai
nyeri kronik. Pada kenyataannya, banyak
sindrom nyeri kanker dikategorikan sebagai
kronik walaupun belum melewati fase
penyembuhan jaringan.
pengobatan
pengobatan nyeri kanker berdasarkan WHO
diawali dengan penilaian aspek penyakit
kanker itu sendiri dan aspek nyeri yang
dirasakan oleh pasien. Dengan kedua jenis
penilaianini,dapatdiidentifikasikarakteristik
dan etiologi nyeri yang dihubungkan dengan
kondisi penyakit kankernya. Proses ini
berlanjut dengan penentuan target yang
realistis dan modalitas terapi nyeri yang
akan diimplementasikan pada pasien, yaitu:
1. Terapi simtomatis dan suportif: berupa analgesik beserta adjuvannya, terapi nonfarmakologis (psikososial dan spiritual) atau
radioterapi.
2. Terapi definitif, dengan menghilangkan
dan mengecilkan ukuran massa tumor
sebagai sumber nyeri; terutama berupa
reseksi tumor, atau memakai
kemoterapi dan radioterapi.
Pada prinsipnya, proses pengobatan nyeri
secara umum terdiri dari 5 tahapan utama,
yaitu penilaian (assessment), analisis karakteristik nyeri, terapi, evaluasi terapi, dan
dokumentasi. Setiap tahapan dibuat berkesinambungan dan berulang-ulang sesuai
kondisi pasien. Dengan demikian, bila setiap kali pasien mengeluhkan nyeri, maka
kelima proses ini harus dijalankan secara
berurutan.
1. Penilaian Nyeri
Walaupun prevalensinya tinggi, tidak
semua pasien mengakui dalam keadaan
nyeri. Hal ini dapat dipicu oleh karena
pasien merasa wajar penderita kanker
mengalami nyeri, atau karena pasien
takut mendapat penambahan obat-obatan
disamping obat-obat utama yang sudah
diterimanya. Jadi nyeri harus ditanyakan
secara khusus atau diperkirakan dari
besarnya massa, adanya daerah yang
ulkus, atau pada pemeriksaan penunjang
tampak gambaran kerusakan tulang atau
jaringan saraf di sekitarnya. Demikian pula
pada pasien dengan penurunan kesadaran,
nyeri dapat berupa menyeringai di wajah
atau gelisah.
2. Analisis Nyeri
a. Derajat beratnya nyeri: ditentukan
termasuk nyeri ringan, sedang,
atau berat Skala yang paling umum
dipakai yaitu Visual Analog Scale
(VAS) atau Numeric Rating Scale
(NRS) untuk pasien yang sadar dan
kooperatif. Secara kuantitatif, skala
nyeri berdasarkan NRS dari 0 (tidak
nyeri) hingga 10 (sangat nyeri). Nyeri
dinyatakan sebagai nyeri ringan jika
memiliki nilai NRS 1-3, nyeri sedang
(NRS 4-6), dan nyeri berat (7-10).
Pada pasien yang tidak kooperatif atau
tidak sadar dapat dipakai Face, Legs
Activity, Cry, Consolability (FLACC) Scale.
b. Tipe nyeri: nyerineuropatik, nosiseptif,
atau nyeri campuran (mixed pain).
c. Durasi: akut, kroninyek, atau nyeri
sontak.
d. Lokasi: lokal, atau radikular (jika
menjalar sesuai dengan persarafan dari
sumber nyeri ke area lain)
3. Evaluasi
Pasien yang telah ditentukan target terapi
dan mendapatkan terapi nyeri harus
dievaluasi dan dipantau keberhasilannya.
Evaluasi ini tergantung deraj at nyerinya;
pada nyeri ringan dipantau setiap 8 jam,
nyeri sedang setiap 2 jam, dan nyeri
berat setiap 1 jam. Targetnya yaitu
pengurangan nyeri hingga 30% dan
perbaikan fungsional. Jika nyeri belum
berkurangatau muncul nyeri baru, maka
harus dilakukan penilaian ulang dengan
proses yang sama seperti sebelumnya.
4. Terapi
Pemberian terapi simptomatis nyeri
dengan memakai WHO stepladder
(Gambar 4) mengacu kepada skala nyeri:
nyeri ringan pada anak tangga pertama,
nyeri sedang merupakan anak tangga
kedua, dan nyeri berat menempati anak
tangga ketiga. Setiap anak tangga memiliki
golongan obat simptomatis nyeri masingmasing. Contoh penerapannya, bila
pasien tergolong nyeri ringan, maka
golongan obat nyeri yang diberikan
yaitu analgesik non-opioid dengan
atau tanpa adjuvan, Jika pasien masih
mengeluh nyeri walaupun telah diberikan
golongan obat pada anak tangga ketiga
maka pasien direncanakan mendapat tata
laksana intervensi nyeri, antara lain blok
saraf (somatik, simpatetik), medikasi dan
stimulator spinal, serta pembedahan.
Studi menunjukkan terapi farmakologis
dengan kerangka kerja seperti ini relatif
tidakmahal dan 70-90% efektif.
5. Dokumentasi
Kesemua proses harus didokumentasikan agar memudahkan proses evaluasi,
terutama jika nyeri sulit ditangani atau
adanya nyeri sontak yang dosis obatnya
dihitung berdasarkan dosis harian, serta
pada titrasi opioid dari parenteral ke oral.
pengobatan ini juga harus masuk
dalam 5 prinsip pengobatan nyeri WHO,
yaitu:
1. Sesuai jalur mulut
Administrasi obat secara oral nyaman,
non-invasif, dan dapat ditoleransi dengan baik.
2. Sesuai jam pemberian obat
Analgesik yang diperlukan ditaruh
berdasarkan waktu paruh obat, diperlukan untuk menjaga kadar terapeutik
obattetap konstan dalam darah.
3. Sesuai WHO stepladder
4. Sesuai individu
Dikhususkan dengan karakteristik masing-masing pasien, indikasi, kontraindikasi, alergi, dosis koreksi gagal ginjal,
dan sebagainya.
5. Sesuai perhatian terhadap detil
Dokumentasi nilai skala nyeri yang
tercatat baik, total obat harus dijumlahkan dalam 24 jam, memperhatikan
keluhan nyeri dasar, nyeri dasar terkontrol dan nyeri sontak.
Konsep pengobatan nyeri kanker berdasarkan
WHO stepladder memiliki beberapa prinsip,
yaitu:
Analgesik harus diberikan secara teratur
dengan dosis adekuat untuk menjaga
level terapeutik obat dalam darah.
• Analgesik dapat dieskalasi secara berurutan
sesuai tingkatan tangga WHO stepladder.
• Di samping pemberian obat regular,
pasien harus mendapat pengobatan
untuk nyeri sontak.
Efek samping anagesik, terutama
konstipasi dan mual, harus diantisipasi
dan diberikan pencegahan pada pasien.
Pemantauan secara teratur dan cermat
penting dilakukan pada pasien yang
mendapat analgesik
Pasien harus mendapat akses yang mudah
untuk memperoleh analgesik saat kapanpun mengalami nyeri.
Berdasarkan WHO stepladder, ada dua
jenis anaigesik, yaitu opioid dan non-opioid.
Pemberian jenis analgesik ini tergantung
intensitas nyeri pasien. Nyeri dengan intensitas ringan dapat diberikan analgesik
non-opioid, misalnya golongan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), dengan dosis
sesuai Tabel 3.
Adapun nyeri dengan intensitas sedang/berat
diberikan analgesik opioid (Tabel 4). Pada
pasien dengan intensitas ini, pemakaian
OAINS intravena tetap ada indikasinya,
misalnya pada kondisi akut/emergensi dalam
jangka waktu pendek atau nyeri nosiseptif
dengan keterlibatan muskuloskeletal dan
jaringan lunak. Oleh sebab itu, pemberian
analgesik pada nyeri kanker tidak bersifat
kaku, melainkan individual sesuai kondisi
patologis yang terjadi.
NCCN 2016 membedakan pasien pengguna
opioid baru [opioid-naive] dan pasien
pengguna opioid rutin {opioid-tolerant).
Definisi pengguna opioid baru yaitu
pasien yang tak pernah memakai
opioid secara kronik atau pengguna opioid
dengan jumlah dosis opioid harian kurang
dari ambang batas dosis opioid pengguna
opioid rutin dan pemakaian dosis ini
kurang dari 1 minggu.
Adapun pengguna opioid rutin yaitu pasien
yang rutin memakai opiod dalam
seminggu atau lebih dengan jumlah dosis harian
melebihi atau sesuai dengan dosis ambang
batas, antara lain morfin 60mg/hari oral,
fentanil transdermal 25fig/jam, hidromorfon
8mg/hari oral, oksimorfon 25mg/hari oral,
atau opioid lain yang setara (Tabel 5).
Sebagai contoh, pasien yang telah mendapat
dosis morfin 70mg/hari dengan pemakaian
lebih dari 1 minggu dapat dikatakan sebagai
pengguna opioid rutin. Pasien dengan
dosis morfin 40 mg/hari selama kurang
dari 1 minggu disebut pengguna opioid
baru. Sementara itu pada kasus lain, pasien
pengguna morfin 40mg/hari lebih dari 1
minggu dapat termasuk pengguna opioid
rutin menurut panduan NCCN 2010,
pengobatan nyeri kanker pada pasien
pengguna opioid baru selanjutnya dibagi
berdasarkan intensitas nyeri. Semakin tinggi
skala nyeri, semakin dianjurkan untuksegera
titrasi opioid, Namun, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan secara umum untuk
semua tingkat intensitas nyeri, antara lain;
pemakaian opioid sesuai prinsip,
dengan titrasi, dan kontinu
Antisipasi efek samping analgesik
• Pemberian dukungan psikososial
Edukasi pasien dan keluarga/perawat
Optimatisasi intervensi yang bersifat
integratif
• Pertimbangan pemakaian NSAID atau
asetaminofen
Untuk nyeri yang akut dan intensitas
berat, segera datang ke RS
Berbeda dengan pengguna opioid baru, tata
iaksana nyeri kanker untuk pengguna opioid
rutin dapat memakai opioid oral atau
intravena. Pemberian opioid oral memiliki
efek puncak dalam 60 menit. Di lain pihak,
pemberian opioid intravena memiliki efek
puncak dalam 15 menit. Dosis opioid yang
diberikan, baik oral maupun intravena,
sebesar 10-20% dari total dosis opioid yang
diterima selama 24 jam terakhir.
Selanjutnya pasien dievaluasi efikasi dan efek
sampingyang dirasakan sesuai efekpuncaknya,
yaitu 15 menit (intravena] dan 60 menit [oral].
Bila nyeri tidak berkurang atau bertambah
berat, malm dosis opioid dinaikkan 50-100%.
Bila nyeri berkurang tetapi belum sepenuhnya
terkontrol, malm opioid dapat diberikan ulang
dengan dosis yang sama dengan sebelumnya.
Kedua hal ini harus dievaluasi lagi dan dapat
diulang hingga 2-3 siklus. Bila kemudian
nyerinya belum terkontrol, maka klinisi harus
evaluasi ulang dari awal mengenai nyeri
[reassessment) secara komprehensif dan
melalcukan penanganan secara integratif. Bila
nyerinya sudah terkontrol, maka dosis opioid
teridni dilanjutlmn sebagai dosis efektif untuk
pasien ini .
Pemberian opioid pada pasien nyeri kanker
harus memperhatikan efek sampingnya
juga, karena sering terjadi dan harus dapat
diantisipasi serta ditangani secara agresif
(Tabel 6]. Mengingat banyaknya pengobatan
yang didapat oleh pasien kanker, maka setiap
efek samping opioid yang terjadi harus pula
dipikirkan penyebab selain opioid. Oleh
sebab itu, perlu penilaian secara multisistem.
Penggantian Opioid (Opioid Switching)
Adakalanya ter dap at kondisi perlu dilakukan
penggantian opioid (opioid switching), yaitu
proses penggantian suatu opioid ke opioid
lain untuk mendapatkan efek antinyeri
lebih baik dengan efek samping seminimal
mungkin. Proses penggantian ini bersifat
individual bergantung respons pasien
dengan penilaian yang komprehensif.
Parameter keberhasilannya yaitu jika
terjadi penurunan intensitas nyeri >33%
dan/atau berkurangnya efek samping
terkait opioid.
Indikasi penggantian opioid antara lain
nyeri yang terkontrol tetapi muncul efek
samping serius, nyeri belum terkontrol
adekuat namun tidak bisa ekskalasi dosis
opioid karena efek samping, atau nyeri yang
belum terkontrol dengan opioid walaupun
tanpa efek samping.
Langkah-langkah penggantian opioid yaitu
sebagai berikut:
1. Hitungtotal dosis harian opioid pasien terkini.
2. Estimasi total dosis opioid yang ingin
dipakai dengan konversi opioid menggunakan tabel ekuivalensi (Tabel 7 dan
8}. Tabel ini memakai morfin oral sebagai
acuan, sehingga konversi dosis opioid
lainnya harus diubah ke morfin dahulu,
kemudian baru ke jenis opioid yang dikehendaki. Misalnya, penggantian kodein ke
oksikodon dilakukan dengan cara mengkonversi kodein ke morfin, kemudian morfin ke oksikodon.
3. Turunkan total dosis estimasi ini
sebesar 50% (jika pasien dalam dosis
tinggi opioid) atau 25-40% (jika pasien
dalam dosis opioid rendah/sedang).
4. Sesuaikan dosis tergantung kondisi
individual pasien, misalnya:
Tipe nyeri akut atau kronik; dosis
lebih tinggi pada nyeri akut.
Disfungsi hepar/hati; penyesuaian
dosis diperlukan pada gangguan
kedua organ ini
Usia; mulai dengan dosis rendah pada
pasien usia lanjut karena lebih rentan
mengalami efek samping.
• Medikasi; pasien dengan polifarmasi
mungkin perlu penyesuaian dosis
untuk mencegah efek samping akibat
interaksi obat
5. Dosis estimasi yang telah disesuaikan
ini kemudian diberikan secara
titrasi naik, hingga dapat mengontrol
nyeri. Opioid lepas cepat (immediate
release) bisa diberikan untuk nyeri
sontak, terutama saat masa titrasi
dengan dosis sebesar 10-15% dari total
dosis harian.
6. Anjurkan kepada pasien/pengasuhnya
untuk mencatat tanda dan gejala nyeri
yang belum terkontrol, termasuk jumlah
dosis untuk nyeri sontak. Selain itu, efek
samping sedasi juga perlu didokumentasikan.
7. Pantau ulang pasien untuk menilai
kontrol nyeri dan efek samping obat.
Hal ini dapat dilakukan 3 hari setelah
memulai opioid baru, atau waktu lain
sesuai kondisi pasien.
8. Perubahan opioid dari rule intravena ke oral
harus dalam pemantauan dokter, pasien
harus berada dalam perawatan setidaknya
pada 24 jam pertama perubahan.
Kombinasi Obat
Di samping opioid, pengobatan nyeri kanker
juga melibatkan adjuvan analgesik yang
bertujuan untuk menurunkan kebutuhan
opioid, sehingga efek sampingnya dapat
berkurang. Antidepresan dan antikonvulsan
yaitu lini pertama adjuvan analgesik
[Tabel 9). Obat-obatan ini dapat membantu
pasien nyeri kanker yang belum sepenuhnya
terkontrol dengan opioid. Oleh karena
respons yang bervariasi, maka pemilihan
jenis obatnya dapat mempertimbangkan
kondisi dan komorbiditas pasien. Misalnya
adjuvan analgesik yang berefek sedasi bisa
bermanfaat untuk pasien yang insomnia,
atau yang mengalami kecemasan dapat
diberikan amitriptilin. Amitriptilin juga
berguna pada nyeri kronik yang dapat
merupakan kelanjutan dari nyeri kanker jika
lama belum mendapatkan terapi definitif.
Pada pasien dengan nyeri kanker biasanya
akan ada komponen nyeri kanker
akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf di
sekitarnya. Namun hal ini sering terabaikan
oleh klinisi, padahal terapi yang tepat akan
sangat membantu pasien. Oleh karena itu
diperlukan adjuvan golongan antikonvulsan
yang dosis antikonvulsan selengkapnya
dapat dilihat pada bab Nyeri Neuropatik.
Dari kesemua antikonvulsan, kombinasi
gabapentin dan opioid menunjukkan
adanya penambahan kekuatan dan kerja
sinergis, sehingga efektif dalam dosis
opioid yang lebih kecil secara signifikan
dibandingkan opioid saja. Hal ini terutama
pada karakteristik nyeri pan as atau seperti
ditusuk-tusuk yang tidak terlalu berkurang
dengan hanya opioid. Demikian pula
kombinasi ini dapat mengurangi efek
samping opioid, seperti konstipasi dan mual
secara bermakna. Dosis gabapentin dapat
dimulai dari 300mg/hari naik perlahan
hingga maksimal 3600mg,
Opioid juga dapat dikombinasi dengan OAINS,
terutama jika komponen nyeri nosiseptif yang
dominan, yang ditandai dengan pembesaran
massa tumor hingga memicu kerusakan
jaringan. Parasetamol paling sering dikombinasi, baik dengan hidrokodon (kodein sintetik), oksikodon, maupun tramadol. Kombinasi
paracetamol dengan hidrokodon dapat menurunkan nyeri lebih dari 50% dengan dosis awal
2500mg-25mg/24 jam. Dosis dapat ditingkatkan hingga dosis maksimal 4000mg-50mg/24
jam. Kombinasi parasetamol-tramadol dapat
dilakukan sebagai salah satu pemberian terapi nyeri sontak sebagai adjuvan dengan dosis
awal 325mg-37,5mg perkali jika pemakaian
dosis harian tramadol <400mg atau dosis harian kodein <300mg atau dosis harian morfin
<60mg. Jika dosis harian morfin 60-120mg/24
jam maka pemberian dapat diberikan 2 tablet
kombinasi parasetamol-tramadol. Tramadol
sendiri dapat sebagai terapi ajuvan pemberian pada dosis awal tramadol 200mg/hari
dapat menghilangkan keluhan nyeri sebanyak
60% dan dapat diberikan hingga dosis maksimal 400mg/hari.
Adjuvan analgesik nyeri kanker dapat
berupa obat topikal [lidokain patch 5%)
dan kortikosteroid. Deksametason lebih
dipilih karena efek mineralokortikoid yang
lebih minimal. pemakaian kortikosteroid
ini terutama bermanfaat pada nyeri akut
yang melibatkan struktur saraf dan tulang.
Hindari kombinasi tramadol dengan amitriptilin atau karbamazepin dapat menyebabkan kondisi renjatan [shock) akibat sindrom serotonin.
Nyeri kanker dapat dikatakan telah
terkontrol jika setelah mendapat tata
laksana, nyeri dirasakan hilang atau
berkurang 50%, dan dapat ditoleransi pada
keadaan tertentu. Konsep nyeri terkontrol
ini disampaikan dengan pengertian yang
sesuai dengan harapan dan pendidikan
pasien.
Patokan kesuksesan terapi yang sesuai dan
secara bertahap yaitu :
Rasa nyeri terkontrol pada saat tidur
malam
Rasa nyeri terkontrol pada saat istirahat
dalam sehari penuh
Rasa nyeri terkontrol pada saat mobilitas
terbatas
Rasa nyeri terkontrol pada saat mobilitas
penuh
Terapi Definitif dan Suportif
Pada nyeri yang diakibatkan oleh ukuran
massa yang besar, perlu dilakukan reseksi
atau pengurangan volume tumor untuk
mengurangi nyeri dengan tindakan operatif,
kemoterapi, atau radioterapi. Radioterapi
juga berperan pada nyeri akibat metastasis
ke tulang vertebra, dengan menginaktivasi
sel tumor mencegah proses kerusakan lebih
lanjut. Demikian pula pemberian bifosfonat,
suatu agen penghambat osteoklas akan
berperan menurunkan resorpsi tulang yang
memicu nyeri. Kesemua hal ini
akan sangat membantu mengurangi dosis
obat-obatan terutama opioid, sehingga
pasien juga bisa terhindar dari efek samping
yang berlebihan.
CONTOH KASUS
Seorang laki-laki 52 tahun datang dengan
keluhan utama nyeri leher yang menjalar
ke belakang kepala sejak 3 hari lalu. Keluhan dimulai sejak 5 bulan sebelumnya,
ada benjolan di leher kiri. Benjolan ini disertai nyeri yang semakin
memberat, hingga sebulan yang lalu dibiopsi dengan hasil karsinoma nasofaring
(KNF). Lalu pasien menjalani kemoterapi.
Nyeri dirasakan menjalar dari daerah
benjolan ke leher belakang yang semakin memberat (NRS=7-8] dan membuat
pasien sulit tidur.
Pemeriksaan fisik neurologis tidak didapatkan defisit. Status lokalis di regio colli dekstra teraba massa ukuran 5x4x2 cm dengan
nyeri tekan, konsistensi keras, tidak dapat
digerakkan (Gambar 5).
Hasil CT scan nasofaring menunjukkan massa di nasofaring sisi kiri yang mengobliterasi fossa Rossenmuller dan torus tubarius
kiri, mengisi koana kiri, orofaring, spasium
parafaring kiri, mengobliterasi M. Pterigoid
medialis kiri, disertai limfadenopati multipel regio colli bilateral (Gambar 6).
Pertanyaan
1. Bagaimana karakteristik nyeri pasien?
a. Nyeri nosiseptif
b. Campuran nyeri neuropatik dan
nosiseptif
c. Akut
d. Bersifat radikular
e. Intensitas ringan sedang
Jawaban: (B) ada lesi benjolan
dengan tanda inflamasi dan adanya
nyeri tekan yang menunjukkan nyeri
nosiseptif, disertai rasa nyeri menjalar
yang berarti nyeri neuropatik.
2. Apakah penyebab nyeri pada keluhan
utama pasien?
a. Peradangan lokal
b. Kerusakan jaringan pada kanker
c. Psikogenik
d. Infiltrasi sel tumor ke serabut saraf
e. Spasmeotot
Jawaban: (D); walaupun memang ada
kerusakan jaringan yang memicu
nyeri, namun keluhan utama pasien
ini yaitu nyeri yang menjalar yang
menunjukkan adanya infiltrasi sel tumor
ke serabut saraf, dalam hal ini radiks
daerah servikal.
3. Apakah analgesik adjuvan pilihan utama
yang sebaiknya diberikan pada pasien?
a. Diazepam
b. Pregabalin
c. Amitriptilin
d. Asamvalproat
e. Gabapentin
Jawaban: (E); pemilihan adjuvan disesuaikan dengan kondisi pasien. Adanya nyeri
neuropatik memicu adjuvan diprioritaskan golongan antikonvulsan. Dari
semua golongan antikonvulsan, yang
dapat meningkatkan potensiasi analgesik
dari opioid yaitu gabapentin. Jika pasien
ada kecemasan dapat diberikan
amitriptilin, namun obat ini tidak dapat
dikombinasi dengan tramadol, jika memang direncanakan pemberian tramadol
selanjutnya pada pasien.
4. Bagaimana pengobatan etiologi nyeri
pada pasien ini?
a. Antiinflamasi nonsteroid
b. Akupuntur
c. Kemoradiasi
d. Radioterapi
e. Hipnosis
Jawaban: (C}; nyeri akibat perluasan
massa tumor harus dikecilkan ukurannya
sesuai dengan jenis tumor. Pada KNF
terapi utama yaitu kemoterapi dan/
atau radioterapi.
5. Apakah pengobatan awal untuk
mengatasi nyeri pasien ini?
a. Ketorolak 30mg IV
b. Parasetamol 500mg PO
c. Midazolam 5mg IV
d. Kodein20mgPO
e. Gabapentin lOOmg PO
Jawaban: (A); pasien ini mengalami nyeri
derajat sedang berat yang mengganggu,
sehingga perlu pemberian anti nyeri
dengan jalur intravena. Adanya tandatanda kerusakan jaringan menunjukkan
nyeri nosiseptif, sehingga dapat diberikan golongan OAINS seperti ketorolak IV.
Lanjutan Kasus
Pasien mendapat pengobatan awal ketorolak 30 mg/8 jam IV karena dianggap nyeri
akut yang sudah mengganggu aktivitas, NRS
turun menjadi 4-5, Nyeri masih terasa terutama menjalar, maka dianggap sebagai nyeri
neuropatik sehingga diberikan gabapentin
600mg/hari. Oleh karena ketorolak tidak
boleh diberikan lebih dari 5 hari, maka diganti menjadi tramadol dosis awal lOOmg/
hari, titrasi naik. NRS pasien turun menjadi
2-3. Pasien lalu menjalani kemoradiasi untuk
mengatasi etiologi nyerinya, dan NRS turun
lagi menjadi 1-2. Tramadol turun bertahap
diganti paracetamol 2000mg/hari, gabapentin dosis 300mg/hari. Selanjutnya bisa digunakan kombinasi paracetamol dan tramadol
dosis rendah sebagai rumatan, beserta gabapentin jika nyeri masih terasa menjalar.
NEUROPATI
Sistem saraf perifer terdiri dari saraf-saraf
kranial (kecuali nervus olfaktorius dan
optikus), saraf-saraf yang berasal dari medula
spinalis (radiks, rami, trunkus, pleksus,
maupun saraf perifer itu sendiri, seperti
saraf medianus dan tibialis), dan komponenkomponen dari sistem saraf otonom di perifer.
Bab ini akan menjelaskan tentang gangguan
pada sistem saraf perifer atau yang secara
umum dapat dikelompokkan dalam satu
entitas, yaitu neuropati.
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi neuropati bervariasi antara 2-85%,
tergantung dari prevalensi etiologi penyebabnya. Di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
tahun 2012-2014, angka kejadian neuropati
yang diinduksi kemoterapi pada pasien
karsinoma nasofaring sebesar 76%, sedangkan sindrom terowongan karpal diperkirakan
terjadi pada 3,8% dari populasi umum, dengan
insidens 276 per 100.000 populasi.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi neuropati beragam tergantung
dari etiologinya, yaitu genetik, metabolik, dimediasi imunitas, infeksi, toksik, traumatik,
dan lain-lain. Namun hal ini akan lebih mudah
dipahami secara umum dengan mengetahui
kerusakan serabut saraf berdasarkan anatomihistologinya.
Neuropati dapat terjadi karena lesi di badan
sel saraf (neuronopati) maupun pada akson
di serabut saraf perifer (neuropati perifer).
Neuronopati dapat terjadi karena kerusakan
pada badan sel saraf di kornu anterior, atau
sering dikenal dengan motor neuron disease.
Neuronopati juga dapat terjadi karena
kerusakan pada ganglion radiks dorsalis
tempat badan sel saraf sensorik orde I, yang
dikenal sebagai neuronopati sensorik atau
ganglionopati. Adapun neuropati perifer
terjadi karena kerusakan pada akson atau
mielin di serabut saraf perifer. Oleh karena itu
neuropati perifer dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu aksonopati dan mielinopati
(Gambar 1).
bila terjadi kerusakan akson, secara
teori akan terjadi hambatan hantaran
impuls saraf baik eferen maupun aferen.
Kerusakan pada selubung mielin juga dapat
memicu hambatan impuls saraf. Impuls
saraf yang dihantarkan akson bermielin
akan dikonduksikan lebih cepat dengan cara
saltatory conduction (konduksi lompatan).
Hal ini terjadi karena selubung mielin akson
bertindak sebagai isolator, sehingga konduksi
listrik melompat dari satu nodus Ranvier ke
nodus berikutnya. bila terjadi kerusakan
selubung mielin saraf maka kecepatan
koduksi impuls saraf akan jauh menurun
atau bahkan terhenti. Patofisiologi kerusakan
ini dapat di-nilai secara klinis dengan bantuan
pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS),
seperti pada Tabel 1. Pemeriksaan konduksi
hantar saraf akan menilai amplitudo, termasuk
dispersi temporal (lihat Bab Sindrom GuillainBarre tentang KHS), yang menggambarkan
seberapa banyak serabut saraf teraktifasi dan
kecepatan hantar saraf (velocity) mulai dari
titik stimulasi sampai tempat perekaman.
Lesi di badan sel saraf dan akson akan diikuti oleh proses degenerasi serabut akson
yang berada di distal dari lesi, yang disebut
sebagai degenerasi Wallerian. Degenerasi ini
terjadi karena pengaturan metabolisme sel
saraf berada di badan sel. Pengaturan metabolisme ini diteruskan ke akson yang
lebih distal melalui suatu mekanisme yang
disebut sebagai axonal transport dan terjadi
secara anterograd dan retrograd. bila
hubungan antara badan sel dengan akson
distal terputus akibat kerusakan akson di
antara keduanya maka axonal transport tidak
dapat terjadi, sehingga akson bagian distal
tidak dapat mempertahankan metabolismenya dan mengalami degenerasi.
Neuropati juga dapat dibagi berdasarkan
diameter akson yang mengalami kerusakan,
yaitu:
a. Akson berdiam eter besar-berm ielin;
di antaranya akson untuk serabut motorik (alpha motor neuron) dan sensorik
untuk menghantarkan stimulus propioseptif, vibrasi, dan sentuhan ringan.
b. Akson berdiam eter kecil-berm ielin;
termasuk serabut sensorik yang menghantarkan stimulus sentuhan ringan,
nyeri, suhu, dan serabut saraf otonom
preganglion.
c. Akson berdiam eter k e c il-tid a k b ermielin; membawa stimulus nyeri, suhu,
dan serabut saraf otonom pascaganglion.
GEJALA DAN TANDA K L IN IS
Gejala neuropati cukup beragam, mulai dari
gejala motorik, sensorik, maupun otonom.
Gejala ini dapat sama, walaupun akibat etiolologi yang berbeda, Untuk mempermudah menegakkan diagnosa , gejala klinis
ini dibagi menjadi gejala positif dan negatif,
baik motorik maupun sensorik. Gejala positif motorik dapat berupa aktivitas abnormal
berlebih dari neuron, di antaranya kekakuan,
twitching, dan miokimia. Gejala positif sensorik diantaranya rasa terbakar, tersayat,
alodinia atau hiperalgesia, dan parastesia.
Adapun gejala negatif motorik mencerminkan berkurangnya aktivitas neuron, misalnya
berkurangnya kekuatan motorik, kelelahan,
atrofi otot. Gejala negatif sensorik biasanya
hipestesia serta gangguan input informasi
dari luar tubuh lainnya, seperti gangguan
input posisi tubuh, sehingga terjadi ataksia
dan gangguan keseimbangan.
Gejala otonom dapat berupa konstipasi, diare, impotensi, inkontinesia uri, gangguan
berkeringat karena gangguan vasomotor,
dan pusing yang berkaitan dengan perubahan posisi (ortostasis). Pasien yang mengalami
gangguan vasomotor biasanya mengeluhkan
telapak tangan atau kaki dingin disertai perubahan warna kulit. Gangguan vasomotor ini
dipicu karena pembuluh darah di kulit
mengalami gangguan refleks untuk vasokonstriksi dan vasodilatasi yang diatur oleh saraf
otonom dalam menghadapi perubahan suhu
tubuh.
Anamnesis aktivitas sehari-hari seperti perubahan tulisan tangan, kesulitan mengancingkan baju, kesulitan memakai sendal
jepit karena sering terlepas sangat berguna
dalam menegakkan diagnosa . Pertanyaan
terperinci tentang onset, durasi, dan progresifitas defisit neurologis yang ada juga
sangat penting untuk membedakan jenis
neuropati. Perlu ditanyakan juga kepada
pasien tentang keasimetrisan dan distribusi
gejala klinis saat onset, keterlibatan batang
tubuh atau nervus kranial, dan laju progresifitasnya secara spesifik (monofasik, berfluktuasi, atau berjenjang]. Selanjutnya anamnesis
ini dikonfirmasi dengan pemeriksaan
fisik untuk mencari distribusi defisit neurologis, yang dibagi menjadi defisit fokal, multifokal, ataupun distal simetrik.
Pemeriksaan fisik sensorik dapat dibagi dua
berdasarkan jenis serabut saraf sensorik
yang dinilai. Pemeriksaan untuk serabut
saraf besar yaitu tes vibrasi, posisi sendi
[propioseptif], dan raba halus, termasuk tes
Romberg, sedangkan untuk serabut saraf
kecil dilakukan pemeriksaan tes cukit kulit
dan suhu. Sesungguhnya pemeriksaan raba
halus yaitu memeriksa batas bawah reseptor mekanik (mechanoreceptor low threshold] yang dihantarkan oleh kedua serabut
saraf baik besar dan kecil. Pemeriksaan
fungsi serabut saraf kecil yang menghantarkan rasa nyeri dapat dilakukan dengan menyentuhkan benda berujung tajam seperti
tusuk gigi tanpa tekanan yang signifikan.
Saat melakukan pemeriksaan fungsi saraf
sensorik, harus sudah dipikirkan pola
parastesi/anestesi berdasarkan sebaran
anatominya, lebih sesuai untuk mononeuropati, polineuropati distal simetrik, lengthdependent polineuropathy, polineuropati
mutifokal, radikulopati, pleksopati, atau
kemungldnan adanya keterlibatan sistem
saraf pusat (SSP].
Pemeriksaan motorik dimulai dari inspeksi
ada tidaknya atrofi maupun fasikulasi. Palpasi dilakukan untuk menilai tonus dan
rigiditas otot untuk menyingkirkan diagnosis banding gangguan SSP. Pemeriksaan
kekuatan motorik pada neuropati perlu
dilakukan secara spesifik, terperinci sesuai
dengan otot dan saraf perifer yang terganggu.
Misalkan pada neuropati nervus medianus
di pergelangan tangan, otot-otot intrinsik
tangan yang dipersarafi oleh N. Medianus
(M. Aduktor Polisis Brevis] harus diperiksa
kekuatannya. Namun otot-otot intrinsik
tangan lain yang tidak dipersarafi oleh N.
Medianus, seperti M. Interosesus Digiti I dan
M. Abduktor Digiti Minimi oleh N. Ulnaris
perlu juga diperiksa untuk menyingkirkan
diagnosa banding neuropati pada N. Ulnaris. Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada
seluruh ekstremitas, khususnya bila neuropati yang dicurigai yaitu polineuropati.
Pemeriksaan saraf otonom harus dilaku-
kan, karena akan memberi informasi lebih
banyak mengenai diagnosa banding, etiologi,
maupun sindrom pada pasien. Gangguan ortostatik dapat memberi petunjuk bahwa
sudah terjadi gangguan otonom karena
gangguan saraf otonom dapat menyebabkan gangguan vasokonstriksi dan vasodilatasi pada pembuluh darah. Pemeriksaan
saraf otonom juga dapat dilakukan dengan
memeriksa kulit dan membran mukosa
karena gangguan saraf otonom dapat menyebabkan gangguan vasomotor pada kulit
Di sisi lain, pemeriksaan kulit yang terkait
mapupun yang tidak terkait otonom dapat
membantu menyingkirkan diagnosa banding.
Gambaran ruam vaskulitis (purpura, livedo
retikularis], hiperpigmentasi bila disertai
dengan polineuropati, organomegali, endokrinopati dapat membantu menegakan
diagnosa sindrom [POEM] polineuropati,
pulmonary disease, organomegali, edema,
endokrinopati, monoklonal paraprotein. Jika
ada ulkus pada rongga mulut maka dapat
dipikirkan adanya neuropati pada penyakit
Behcet atau HIV. Mata dan mulut kering, pembengkakan kelenjar saliva dapat ditemui pada
sarkoidosis atau sindrom Sjogren.
D IA G N O S IS K L IN IS DAN DIA G N O SIS
B A N D IN G
Neuropati secara klinis dapat dibagi menjadi polineuropati, neuropati fokal, dan multifokal. Polineuropati dipicu oleh agenagen yang bekerja secara difus terhadap
sistem saraf perifer seperti bahan beracun
(toksik), defisiensi zat-zat yang diperlukan
dalam metabolisme saraf perifer, gangguan
metabolik, dan beberapa reaksi imun. Adapun lesi fokal (mononeuropati] dan lesi
multifokal yang terisolasi (multipel mononeuropati atau mononeuropati multipleks)
dipicu oleh kerusakan lokal di antaranya penjepitan saraf seperti carpal tunnel
syndrome (CTS), cedera mekanik (karena
tekanan, traksi, ledakan, dan penetrasi],
suhu ekstrim (panas maupun dingin), elektrik, radiasi, lesi vaskuler, granulomatosa, keganasan atau proses infiltratif lainnya, dan
tumor primer saraf perifer.
Di negara kita , salah satu penyebab tersering
mononeuropati multipleks yaitu kusta.
Gejala yang sering muncul pada neuropati
kusta yaitu gangguan sensorik berupa
anestesi atau gangguan peraba terutama di
distal jari-jari termasuk ibu jari dan gangguan vibrasi yang paling banyak terjadi di
telapak kaki. Selain itu secara elektroneurofisiologis ternyata neuropati kusta dapat
terjadi di ekstremitas maupun di wajah.
Di ektremitas saraf yang sering mengalami
gangguan yaitu N. Peroneus Superfisialis,
dan N. Suralis, sedangkan pada wajah yaitu
N. Trigeminal dan N. Fasialis.
Beberapa polineuropati dapat menjadi tidak
jelas polanya karena superimposed dengan
mononeuropati atau mononeuropati multipleks, contoh yang paling sering yaitu
sindrom terowongan karpal pada polineuropati diabetes. Neuropati dapat juga dibagi
berdasarkan distribusinya, yaitu: polineuropati simetrik distal, polineuropati simetrik
proksimal, polineuropati dengan predominasi -
ekstremitas atas, distribusi kompleks, keterlibatan saraf kranial, serta neuropati fokal
dan multifokal.
Polineuropati dengan distribusi gangguan
motor dan sensorik distal simetrik merupakan pola paling umum dan banyak ditemui.
Gejala motor ditandai dengan kelemahan
dan atrofi yang dimulai dari ekstremitas
bagian distal kemudian menyebar ke proksimal. Gejala sensorik ditandai dengan adanya
pola distribusi"stocking-and-glove”, yaitu seolah-olah membentuksarungtangan dan kaos
kaki, sehingga pasien merasa perabaannya
berkurang di daerah yang tertutupi "sarung
tangan" dan "kaos kaki” yang tak nampak mata
ini Pola distribusi ini dipicu karena
saraf yang paling panjang akan mengalami
gangguan terlebih dahulu (length-dependent
polyneuropathy). Pada ekstremitas bawah N.
Tibialis Anterior dan M. Peroneus biasanya
akan terganggu terlebih dahulu dibandingkan bagian posterior betis karena panjang
saraf yang mensarafi bagian anterior betis
lebih panjang dibandingkan bagian posterior. Pola distribusi seperti ini dapat ditemukan pada Charcot-Marie-tooth/hereditary
motor and sensory neuropathy [HMSN] tipe
I. Polineuropati simetrik distal yang hanya
mempengaruhi komponen sensorik juga
sering ditemukan pada polineuropati diabetik tahap awal.
Contoh polineuropati simetrik proksimal
yang paling umum yaitu sindrom Guillain-Barre (SGB) dan chronic inflammatory
demyelinating polyneuropathy (CIDP) yang
dibahas dalam bab tersendiri. diagnosa
lain yang perlu dipildrkan dengan distribusi
seperti ini yaitu porfiria, spina muskular
atrofi, dan penyakit Tangier.
Polineuropati dengan predominasi ektremitas atas dengan gejala sensorik banyak terjadi pada tahap awal kekurangan vitamin
B12. Distribusi ini dengan gejala motorik
kadang juga terjadi pada beberapa SGB,
porfiria, dan HMSN. Neuropati dengan keterlibatan saraf kranial dapat dipicu
oleh sarkoidosis, diabetes melitus, dan yang
paling sering yaitu neuropati pada saraf
fasialis yang dikenal dengan Bell's palsy.
Bell's palsy dapat dipicu berbagai faktor seperti imunologi, infeksi, vaskuler, dan
paling banyak yaitu idiopatik.
pengobatan
pengobatan neuropati sesuai dengan etiologinya. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan sebelum memulai terapi definitif.
1. P e m e rik s a a n E le k tro d ia g n o s tik
Pemeriksaan elektrodiagnostik terdiri
dari KHS dan elektromiografi (EMG],
yang standar untuk pemeriksaan neuropati akibat kerusakan serabut saraf besar.
EMG dapat membedakan antara polineuropati dengan miopati, neuronopati,
pleksopati, ataupun poliradikulopati.
Sebagai kepanjangan pemeriksaan fisik,
pemeriksaan elektrodiagnostik meningkatkan ketajaman distribusi disfungsi saraf,
membedakan keterlibatan motor dan sensorik, tingkat keparahan. Lebih dalam lagi,
elektrodiagnostik dapat menilai gangguan saraf berdasarkan aksonopati maupun mielinopati. Elektrodiagnostik juga
dapat dilakukan berulang untuk tujuan
evaluasi atau menilai progresifitas penyakit.
2. B io p s i S a ra f d a n B io p s i K u lit
Biopsi saraf dilakukan untuk mencari
etiologi, lokasi patologi, dan tingkat kerusakan saraf. Dalam beberapa dekade
belakang, biopsi saraf sudah jarang dilakukan karena perkembangan elektrodiagnostik, laboratorium, dan tes genetik.
Saat ini pemeriksaan biopsi saraf dilakukan bila etiologi tidak dapat ditemukan
setelah berbagai pemeriksaan tambahan
dilakukan.
Lain halnya dengan biopsi saraf, biopsi
kulit meningkat secara dramatis dalam
dua dekade belakangan, Biopsi ini menjadi
pemeriksaan baku emas untuk menilai
inervasi serabut saraf kecil intraepidermal tidak bermielin yang menghantarkan
sensasi nyeri dan suhu dari kulit serta berperan dalam regulasi fungsi otonom. Neuropati serabut saraf kecil ini dapat hanya
mempunyai gejala klinis minimal dan
mungkin saja terlewatkan pada pemeriksaan klinis, oleh karena pemeriksaan elektrodiagnostik konvensional hanya dapat
menilai serabut saraf besar.
3. Pemeriksaan Laboratorium dan Genetik
Pemilihan pemeriksaan laboratorium dan
genetik memberi tantangan tersendiri.
Banyak sekali pemeriksaan yang dapat
dilakukan, namun karena mahal, perlu
analisis mendalam berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik sebelum menentukan pilihan yang tepat. Pemeriksaan standar yang disarankan American Academy o f
Neurology (AAN) di antaranya gula darah
puasa, elektrolit, pemeriksaan fungsi ginjal,
fungsi hepar, darah lengkap, hitung jenis,
kadar vitamin B12, laju endap darah, fungsi
tiroid, dan jika memungkinkan immunofixation elec