neurologi 21












 ulut fleksi untuk mengurangi lordosis lumbal.

Di lain pihak, kanalis stenosis memiliki ciri 

tambahan berupa nyeri yang bertambah berat saat duduk lama, berdiri, atau berjalan. 

Nyeri akan membaik saat istirahat setelah 

aktivitas ini . Posisi yang paling nyaman bagi pasien kanalis stenosis yaitu  

jongkok, agak membungkuk ke depan, dan 

fleksi panggul dan lulut. Hal ini menyerupai posisi pengendara sepeda. Selain itu, 

ada  fenomena klaudikasio neurogenik 

pada kanalis stenosis, yang ditandai dengan 

aktivitas berjalan dan berdiri memicu  

hipestesi dan kelemahan tungkai secara 

bertahap, sehingga memaksa pasien untuk 

duduk istirahat. Hal ini dipicu  oleh insufisiensi arteri iliofemoral

Selain itu, nyeri radikular isialgia dapat dijumpai pada sindrom piriformis. Hal ini dise-

babkan oleh kompresi saraf iskhiadikus yang 

mengalami dalam perjalanannya oleh otot. 

Ciri khas dari sindrom ini yaitu  nyeri yang 

muncul saat otot teregang melalui gerakan 

fleksi, aduksi, dan endorotasi sendi panggul.

Spasme otot sekunder biasanya terjadi sebagai mekanisme proteksi nosiseptif akibat 

iritasi lokal pada struktur tulang belakang. 

Kontraksi otot berkepanjangan dapat menimbulkan nyeri lokal yang tumpul dan terasa kram. Pasien kadang-kadang merasakan 

spasme otot ini pada otot-otot sakrospinalis 

dan gluteal.

diagnosa 

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang 

baik dan fokus dapat mengarahkan NPB ke 

dalam klasifikasi NPB, yang meliputi NPB 

nonspesifik, NPB yang berkaitan dengan radikulopati atau stenosis spinalis, dan NPB 

yang berkaitan dengan penyebab spinal lain 

yang spesifik. Anamnesis harus disertai penilaian faktor risiko psikososial yang berguna untuk memprediksi risiko terjadinya 

NPB kronik dan kekambuhan yang menimbulkan disabilitas.

Klinisi sebaiknya tidak melakukan pemeriksaan pencitraan atau tes diagnostik lain 

secara rutin pada pasien NPB nonspesifik. 

Pemeriksaan penunjang, seperti MRI, harus 

sesuai dengan indikasi, misalnya ada  

defisit neurologis berat dan progresif atau 

dicurigai ada kondisi serius yang mendasari 

(underlying disease).

Melalui anamnesis, klinisi mendapat data 

mengenai pemicu terjadinya NPB, seperti

membungkuk [bending], memutar (twisting), mengangat beban {lifting), atau bahkan 

hanya dengan bangun dari kondisi berbaring. Evaluasi keluhan NPB baru pertama kali 

atau kambuh berulang penting untuk diketahui. Setiap episode kambuh berulang biasanya memiliki intensitas nyeri yang lebih berat 

disertai peningkatan gejala dari sebelumnya.

Setiap pasien NPB harus dievaluasi ada/tidak tanda bahaya (red flags). Adanya tanda 

bahaya mengarah kepada jenis NPB yang 

membutuhkan pemeriksaan penunjang lebih lanjut serta pengobatan segera (Tabel 2].

Nyeri yang bers umber dari struktur-struktur yang membentuk tulang belakang, 

seperti otot, ligamentum, sendi faset, dan 

diskus dapat beralih ke regio paha bawah, 

namun jarang ke area di bawah lutut. Nyeri 

yang berkaitan dengan sendi sakroiliaka 

seringkali beralih ke paha bawah, tetapi 

juga dapat menjalar ke bawah lutut. Adanya 

iritasi, benturan, atau kompresi saraf lumbalis akan memicu  nyeri yang lebih 

dirasakan pada tungkai dibandingkan pada 

punggung bawah. Nyeri yang berasal dari 

radiks atau saraf spinal L1-L3 akan beradiasi ke panggul dan atau paha bawah, sedangkan nyeri yang berasal dari L4-S1 akan 

beradiasi di bawah lutut. Herniasi diskus 

sentralis, subsentralis, atau lateralis dapat 

mengenai saraf yang berbeda-beda pada 

tingkat yang sama, yang dapat dinilai berdasarkan pemeriksaan neurologis terhadap 

ekstremitas bawah berupa kekuatan motorik, sensorile, dan refleks (Tabel 3} 

Pemeriksaan fisik pada regio lumbosakral, 

pelvis, dan abdomen dapat memberikan petunjuk etiologi NPB. Beberapa pemeriksaan 

fisik khusus dilakukan pada pasien NPB 

(Gambar 8}. Pemeriksaan straight leg raise

test dilakukan dalam posisi terlentang, kedua 

tungkai diangkat, dengan kedua lutut dalam 

posisi ekstensi. Basil tes yang positif ditandai 

jika ada  nyeri yang memjalar ke bawah 

lutut, yang menunjukkan sumber nyeri berasal dari radiks atau saraf spinal L4-S1. Selain 

itu, reverse straight leg raise test dikerjakan 

dalam posisi pasien tengkurap, dilakukan

ekstensi panggul dan fleksi lutut Hasil positif 

ditandai dengan nyeri yang menjalar ke anterior paha bawah, yang menunjukkan keterlibatan radiks atau saraf spinal L3.

Jika dicurigai adanya kondisi serius yang mendasari NPB, maka MRI merupakan modalitas 

terpilih untuk sebagian besar kasus (Gambar 

9). CT scan merupakan alternatif jika ada  

kontraindikasi atau tidak tersedia fasilitas 

MRI. Hasil MRI atau CT scan harus disesuaikan dengan Minis pasien, mengingat kemungIdnan hasil ini positif palsu yang semaIdn sering sesuai dengan meningkatnya usia.

 

Pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan darah lengkap, laju endap darah dan 

C-reactive protein berguna jika dicurigai infeksi atau adanya neoplasma di sumsum 

tulang. Pemeriksaan ini paling sensitif pada 

kasus-kasus infeksi spinal karena pada kasus ini biasanya tidak disertai demam 

dan pemeriksaan darah lengkap menunjukkan hasil yang normal. Diperlukan pemeriksaan MRI dengan kontras serta biopsi pada 

kasus-kasus yang memiliki keterbatasan 

dalam pemeriksaan laboratorium.

pengobatan 

Tujuan pengobatan NPB akut yaitu  untuk 

mengurangi nyeri, mengembalikan pasien 

ke dalam aktivitas sehari-hari, menurunkan 

hilangnya waktu kerja, dan mengembangkan strategi untuk mengatasi nyeri melalui 

edukasi. Optimalisasi pengobatan nyeri 

akut dapat mencegah berkembang menjadi

kronik. Pada prinsipnya penatalaksanaan 

untuk NPB dibagi menjadi tiga, yaitu pengobatan penyakit yang mendasarinya, tindakan operasi, dan terapi konservatif.

1. Pada NPB yang berasal dari organ abdomen dan bagian posterior abdomen, 

serta NPB aldbat metastasis spinal, maka 

pengobatan ditujukan pada pengobatan 

penyakit yang mendasari ini .

2. Pada NPB yang dapat disembuhkan dengan operasi, tentukan indikasi dan untung rugi tindakan operasi pada awal 

awitan NPB atau setelah terapi konservatif terlebih dahulu.

3. Pada NPB tanpa indikasi operasi:

a. Istirahat; membatasi aktivitas fisik, 

atau memakai  korset

b. Terapi fisik; pada prinsipnya dilakukan termoterapi, namun juga dengan 

traksi. Terapi fisik ini harus didahului 

dengan penilaian yang tepat oleh ahlinya.

c. Terapi olah raga:

   Untuk meningkatkan kekuatan otot 

dan menghasilkan korset alami dari 

otot-otot abdomen dan otot-otot 

punggung

   Untuk melakukan latihan peregangan 

dan relaksasi

• Untuk meningkatkan kekuatan tulang 

dengan memberikan beban mekanik 

pada tulang-tulang

d. Orthoses; sebagai imobilisasi tulang belakang serta mengkoreksi kifosis dan 

skoliosis.

e. Terapi medikamentosa:

   Terapi kuratif dengan antibiotik, antifungal atau obat anti tuberkulosis 

untuk kasus-kasus infeksi

   Terapi simptomatik dengan obatobatan antiinflamasi dan analgetik

   Menghilangkan nyeri dengan blok lokal atau blok saraf

f. Psikoterapi; konseling untuk nyeri punggung bawah kronik dan nyeri punggung 

bawah psikogenik

g. Panduan untuk menjalankan kehidupan 

sehari-hari: panduan gaya hidup dan 

kerja yang tidak baik yang dapat mempengaruhi timbulnya atau memperberat 

nyeri punggung bawah.

Oleh karena sebagian besar pasien 

dalam praktik sehari-hari tergolong NPB 

nonspesifik, maka American Family Physician mengemukakan pengobatan nya 

sebagai berikut:

1. Pada kunjungan pertama pasien

a. Edukasi pasien

   Meyakinkan pasien bahwa prognosis nyeri punggung bawah seringkali 

baik, dengan sebagian besar kasus hilang dengan sendirinya tanpa banyak 

intervensi.

   Memberi saran kepada pasien untuk 

tetap aktif, sebisa mungkin hindari 

bed rest dan kembali ke aktivitas normal secepat mungkin.

   Memberi saran kepada pasien untuk 

menghindari gerakan memutar (twisting) dan membungkuk [bending] terutama saat mengangkat barang.

Tujuan dari edukasi kepada pasien 

yaitu  untuk mengurangi kekhawatiran 

terhadap nyeri punggung bawah yang 

dialaminya serta mengajarkan cara 

untuk menghindari nyeri bertambah 

berat atau timbul kembali.

b. Mulai terapi dengan obat antiinflamasi 

nonsteroid (OAINS) atau asetaminofen. 

OAINS merupakan obat lini pertama untuk terapi NPB.

c. Pertimbangkan pemberian pelemas otot 

berdasarkan keparahan nyeri, misalnya 

diazepam, siklobenzaprin, tizanidin, dan 

metaksalon.

d. Pertimbangkan terapi opioid jangka 

pendek jika intensitas nyeri berat.

e. Pertimbangkan memberikan rujukan 

untuk terapi fisik jika ini bukan merupakan episode pertama. Terapi fisik telah 

dikatakan dapat menurunkan nyeri, disabilitas, dan risiko terjadinya kekambuhan setelah episode pertama NPB. 

2. Pada kunjungan kedua pasien (2 hingga 4 

minggu setelah kunjungan pertama, jika 

pasien belum ada perbaikan yang bermakna).

a. Pertimbangkan mengganti ke OAINS 

lain.

b. Pertimbangkan memberikan rujukan 

untuk terapi fisik jika belum dilakukan pada kunjungan pertama.

c. Pertimbangkan untuk dirujuk ke subspesialis tulang belakang jika intensitas nyeri hebat atau membatasi aktivitas sehari-hari.

CONTOH KASUS

Seorang lald-lald 28 tahun datang ke ldinik 

dengan keluhan nyeri pinggang bawah sejak 5 

hari lalu. Nyeri dirasakan setelah pasien mengangkat galon air. Karakteristik nyeri seperti 

tertekan, hilang timbul, tidak menjalar, dan intensitas ringan sedang. Nyeri memberat saat 

membungkuk, berubah posisi dari berbaring 

ke duduk/berdiri. Nyeri membaik saat istirahat 

dan berbaring. Pemeriksaan fisik menunjukkanspasme ototdan ada trigger point pada otot 

paravertebral lumbal tanpa defisit neurologis.

Pertanyaan

1. Apakah etiologi NPB yang paling mungkin pada pasien ini?

a. Tumor

b. Trauma

c. Infeksi/inflamasi

d. Degeneratif

e. Idiopatik 

Jawaban: B

2. Berdasarkan data kasus, tergolong apa 

nyeri yang dialami pasien?

a. Nosiseptif, akut

b. Nosiseptif, kronik

c. Neuropatik

d. Campuran nosiseptif dan neuropatik

e. Breakthrough pain

jawaban: A

3. Apa saja tanda bahaya yang belum dieksplorasi pada kasus ini?

a. Demam

b. Penurunan berat badan

c. Riwayat keganasan

d. Riwayat infeksi tuberkulosis

e. Semua benar 

Jawaban: E

4. Apa saja pengobatan  medikamentosa 

yang dapat diberikan pada kasus ini?

a. Parasetamol

b. Ibuprofen

c. Diazepam

d. Hanya a dan b yang benar

e. Pilihan a, b, dan c benar 

Jawaban: E

5. Enam bulan berikutnya, pasien datang lagi 

ke klinik dengan keluhan nyeri pinggang 

yang lebih berat dari sebelumnya. Pasien 

memiliki riwayat demam, batuk kronik, 

dan penurunan berat badan. Pemeriksaan 

fisik ada  gibbus, deformitas kifosis pada segmen torakal, dan nyeri tekan 

vertebra torakal 11-12. Apakah diagnosa  

yang paling mungkin saat ini?

a. Mielitis transversa

b. Spondilitis TB

c. Hernia nukleus pulposus

d. Kompresi medula spinalis akibat metastasis

e. Sindrom konus medularis 

Jawaban: B 








NYERI RANKER

H enry Riyanto Sofyan, Tiara A ninditha

PENDAHULUAN

Nyeri kanker merupakan kompiikasi 

kanker yang paling sering ditemui pada 

pasien kanker. Frekuensinya sekitar 30- 

50% pada pasien yang sedang menjalani 

terapi dan meningkat hingga 70-90% pada 

kanker tahap lanjut. Oleh karena sifat 

nyerinya yang bisa memberat secara terus 

menerus dalam jangka waktu yang lama, 

maka pasien dapat mengalami gangguan 

tidur dan nafsu makan hingga depresi. Tak 

heran bahwa nyeri kanker menjadi sangat 

ditakuti oleh penderitanya dan merupakan 

salah satu target pada terapi kanker secara 

keseluruhan. National Comprehensive

Cancer Network [NCCN] dalam Panduan 

Nyeri Kanker 2016 menyatakan bahwa 

kesintasan penderita berhubungan erat 

dengan manajemen gejala kanker yang baik, 

termasuk manajemen nyeri kanker, dalam 

meningkatkan kualitas hidup.

Keluhan nyeri ini dapat dirasakan dalam 

setiap fase perkembangan kanker [Gambar 

1), mulai dari fase penegakan diagnosa  

ataupun staging, fase kemoterapi, fase 

pembedahan, fase remisi, fase relaps,

ataupun fase kesintasan {survivorship}.

Sindrom nyeri kanker dapat dibagi secara 

luas menjadi tipe akut dan kronik. Sindrom 

nyeri kanker akut biasanya ditemukan 

dalam proses diagnostik atau terapi

intervensi, sedangkan pada yang kronik 

berhubungan langsung dengan kanker itu 

sendiri atau terapi antineoplastik.

EPIDEMIOLOGI

WHO World Cancer Report 2014 

menunjukkan angka insidens kejadian 

diagnosa  kanker baru dan angka kematian 

akibat kanker yang tinggi dan diperkirakan 

meningkat sebanyak 70% dalam dua dekade 

ke depan. Sebanyak 70% pasien kanker 

dapat mengeluhkan keluhan nyeri, yaitu 30- 

50% pada suatu saat dalam terapi hingga 

90% pada stadium kanker lanjut.

PATOFISIOLOGI

Pada awalnya, nyeri kanker dapat berhubungan dengan terapi kanker itu sendiri, misalnya 

prosedur bedah terkait biopsi diagnostik 

atau terapi, efek samping obat kemoterapi, 

dan terapi radiasi. Seiring perjalanan penyakit, nyeri kanker akan semakin intens. Hal ini 

dipicu  oleh kerusakan nosiseptor akibat 

pertumbuhan tumor. Selain itu, nosiseptor 

juga menjadi tersensitisasi oleh penglepasan 

faktor-faktor dari sel kanker dan sel stromal, 

misalnya nerve growth factor. Bila perjalanan 

penyakit kanker terus berlanjut, maka terjadi 

proses pembentukan nerve sprouting ektopik 

dan neuroma. Hal ini yaitu  salah satu faktor 

yang mendasari terjadinya nyeri sontak pada 

pasien kanker [Gambar 1].

 

Evolusi nyeri Ranker seiring perjalanan 

penyakitnya ini tidak lepas dari patofisiologi 

dari nyeri kanker. Adapun patofisiologi nyeri 

kanker terdiri dari beberapa proses, yaitu:

1. Faktor-faktor Sel Tumor

Sel tumor mensekresi berbagai faktor yang 

diperlukan untuk pertumbuhannya, seperti bradikinin, kanabinoid, endotelin, interleukin-6 (IL-6], granulocyte-macrophage

colony-stimulating factor (GM-CSF), nerve

growth factors (NGF], protease, dan tumor

necrosis factor-a (TNF-a], yang merangsang reseptor nyeri (Gambar 2],

2. Asidosis Jaringan Terinduksi Sel Tumor

Sel kanker secara umum mempunyai 

pH yang rendah [6,8] jika dibandingkan 

dengan sel normal (pH 7,2] akibat sekresi 

asam laktat hasil glikolisis anaerob. 

Jaringan sekitar tumor dengan pH rendah 

ini akan mengaktifkan ujung serabut 

saraf sensori bebas dan mengaktifkan

transient receptor potential vanilloid 1

(TRPV1) atau reseptor kapsaisin, Sensasi 

sensorik yang ditimbulkan yaitu  rasa 

panas di daerah jaringan tumor.

Massa kanker memiliki komposisi sel-sel 

inflamasi dan pembuluh darah yang sering 

berdekatan dengan nosiseptor. Sel kanker 

dan sel inflamasi ini melepaskan 

berbagai sitokin, seperti adenosine

5$-triphosphate (ATP], bradikinin, H+, nerve

growth factor (NGF), prostaglandin, dan 

vascular endothelial growth factor (VEGF] 

yang bisa mengeksitasi atau sensitisasi 

nosiseptor. Stimulus nyeri ini 

dihantarkan oleh saraf perifer melalui 

ganglion radiks dorsalis menuju medula 

spinalis dan pusat yang lebih tinggi di 

otak. Aktivasi nosiseptor memicu  

penglepasan n euro transmiter, antara lain 

calcitonin gene-related peptide (CRGP], 

endotelin, histamin, glutamat, dan substansi 

P. Selain itu, terjadi juga penglepasan 

prostaglandin dari ujung terminal saraf 

sensorik, sehingga dapat menginduksi 

ekstravasasi plasma, aktivasi sel-sel imun, 

dan vasodilatasi.

3. Instabilitas Mekanik Skeletal

Terinduksi Sel Tumor

Tulang merupakan daerah yang sering 

mengalami metastasis. Untuk menyiapkan tempat tumbuhnya, sel kanker merangsang osteoblas mengekspresikan activator

o f nuclear factor kappa-B (RANK) dan osteoprotegerin (OPG}. RANKL kemudian 

berikatan dengan ligannya (RANKL), 

sehingga terjadi pematangan osteoklas. 

Interaksi OPG dengan RANKL akan meningkatkan resoprsi tulang. Peningkatan 

osteoklas yang matang juga menyebabkan tulang melepaskan insulin growth

factor (IGF}-1 dan tumor growth factor

(TGF)-(3 yang akan mengaktifkan jalur 

kaskade seperti sebelumnya, sehingga 

terjadi proses resorpsi tulang terusmenerus (Gambar 3).

Sel kanker juga menghasilkan sitokin, 

seperti IL-6, IL-11, prostaglandin

E2, dan tumor necrosis factor alpha

(TNF-a), yang berperan menginduksi 

pembentukan osteoklas dan supresi 

osteoblas. Sementara prostaglandin E2 

meningkatkan pembentukan osteoklas 

dengan menambah jumlah produksi 

RANKL. Aktivasi osteoldas ini 

memicu  destruksi tulang, sehingga 

mengaktifkan serabut sarafbebas dalam 

tulang dan terjadi penekanan serta

edema pada jaringan sekitarnya yang 

memicu  nyeri hebat saat bergerak 

atau menyangga beban dan instabilitas 

mekanik tulang 

4. Kerusakan Sel Saraf Akibat Tumor

dan Nyeri Neuropatik

Sel tumor dan sel stromal dapat menginfiltrasi jaringan ikat di sekitarnya yang 

mengandung serabut saraf bebas. Sel 

abnormal ini akan menhancurkan bagian distal dari serabut saraf sensoris 

bebas, dan sejalan dengan waktu akan 

memicu  diskontinuitas dan fragmentasi sel saraf. Selain itu, sel saraf ini 

juga dapat mengalami kerusakan akibat 

kemoterapi, pembedahan, atau radiasi. 

Pada metastasis ke tulang vertebra dapat 

terjadi fraktur kompresi yang memicu  kerusakan pedikel dan menekan 

radiks, sehingga memicu  nyeri radikular.

 

 5. Formasi Neuroma dan Pertumbuhan

Saraf Terinduksi Sel Tumor

Sel tumor dan sel stromal dapat 

menginduksi pertumbuhan abnormal 

serabut saraf bebas dan formasi neuroma. 

Hal ini memicu  perubahan fenotip 

sensoris dan serabut saraf simpatis, 

termasuk ketidakseimbangan saluran 

ion Natrium, sehingga memicu  

eksitasi spontan dan cetusan ektopik 

terkait pergerakan, yang dirasakan 

sebagai rasa nyeri.

I 6. Proses Sensitisasi Sentral

Pada nyeri kanker terjadi reorganisasi 

struktur yang signifikan di susunan 

saraf tepi dan pusat akibat perubahan 

komunikasi dari struktur saraf itu 

sendiri. Sebagai contoh, mediator kimia 

yang dilepas oleh sel glia teraktifasi 

nyeri terus menerus dapat mengontrol 

amplitudo respons sinaptik dengan 

mengubah tingkat ekspresi reseptor 

N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan 

alp h a-am in o-3 -h y d rox y -5 -me thy 1-4-

isoxazolepropionic acid (AMPA), serta 

fosforilasi keduanya.

GEJALA K L IN IS

: Gejala nyeri yang dialami oleh pasien harus 

dipahami berdasarkan karakteristik nyeri, 

:seperti intensitas, kualitas, distribusi, dan 

hubungan waktu antar kejadian nyeri 

(temporal relationship). Evaluasi intensitas 

nyeri merupakan hal penting karena 

menentukan jenis terapi.

Kualitas nyeri menyiratkan patofisiologi 

yang mendasarinya (Tabel 1). Nyeri 

nosiseptif somatik biasanya dapat 

dilokalisasi, terasa tajam, seperti ditusuktusuk, atau tertekan (pressure-like). Nyeri 

nosiseptif viseral bersifat difus dan sulit 

dilokalisasi. Bila nyeri ini terjadi karena 

obstruksi suatu rongga tubuh, maka 

keluhannya dapat berupa kram atau kolik. 

Nyeri neuropatik dideskripsikan sebagai 

rasa terbakar, kesemutan, atau seperti 

kesetrum listrik (shock-like).

Distribusi nyeri kanker biasanya lebih dari 

satu tempat, sehingga perlu ditentukan 

antara fokal, multifokal, dan generalisata. 

Hal ini berhubungan dengan terapi yang 

diambil, yaitu blok saraf, radioterapi, atau 

operasi bedah. Nyeri terdistribusi fokal bila 

terjadi hanya pada satu tempat, biasanya di 

tempat lesi. Nyeri fokal ini perlu dibedakan 

dengan nyeri rujuk, yaitu sumber nyeri 

berasal dari tempat yang berbeda dengan lesi 

patologisnya, seperti nyeri daerah nasofaring 

yang dapat terasa di puncak kepala.

Evaluasi waktu kejadian nyeri dapat 

menunjukkan nyeri tergolong akut atau 

kronik. Pasien dengan nyeri akut biasanya 

disertai perilaku nyeri yang nyata, seperti 

mengerang, meringis, dan cenderung 

tidak mau bergerak. Selain itu, ada  

rasa cemas, berkeringat (diaforesis), dan 

berdebar-debar. Berbeda dengan nyeri akut, 

pasien dengan nyeri kanker kronik biasanya 

mengalami gangguan afektif, misalnya 

depresi. Selain itu, pasien terlihat kurus, 

nafsu makan menurun, dan gangguan tidur.

Selain nyeri akut dan kronik ada  pula 

nyeri sontak. Nyeri ini dirasa tajam dan 

hebat, dengan pola eksaserbasi transien 

di antara nyeri dasar yang terkontrol, baik 

pada nyeri kanker akut maupun kronik. 

Nyeri sontak dapat ditimbulkan pada 

keadaan gerak disadari pasien (seperti pada 

pergerakan, batuk, berkemih, dan defekasi) 

maupun pada gerak yang tidak disadari 

(gerakan motilitas usus). Nyeri sontak 

ini dapat berdurasi dalam hitungan detik 

ataupun jam (1-240 menit].

Nyeri sontak harus dapat dibedakan dengan 

eksaserbasi rasa nyeri sebagai akibat dari 

kegagalan dosis terapi analgesia sesuai 

dengan waktu paruh obat ini dalam 

tubuh. Untuk membedakannya, dapat 

dilakukan pencatatan rasa nyeri (buku harian 

nyeri] untuk menentukan bahwa pola yang 

terjadi yaitu  akibat kegagalan dosis terapi 

analgesia terkait jadwal pemberian, sehingga 

diperlukan modifikasi pemberian jadwal.

Pada nyeri akibat metastasis tulang vertebra, 

nyeri biasanya dimulai dengan nyeri lokal 

yang dikatakan pasien sebagai fpegal' atau 

rasa tidak nyaman di daerah lesi. Selanjutnya 

jika terjadi penekanan pada radiks akan 

muncul nyeri radikular yang menjalar dari 

punggung sesuai dengan daerah radiks yang 

terkena. Pada nyeri di daerah torakal, nyeri 

seperti terikat atau keram ke perut yang 

sering disalah artikan oleh pasien ataupun 

klinisi lain sebagai nyeri abdomen. Pada 

pemeriksaan fisik biasanya akan ditemukan 

nyeri tekan yang menunjukkan adanya 

komponen nyeri nosiseptif bersamaan 

dengan nyeri neuropatik. 

diagnosa 

Seperti halnya penyakit lain, diagnosa  

nyeri kanker ditegakkan melalui anamnesis, 

pemeriksaan fisik, dan penunjang untuk 

mendapatkan karakteristik nyeri dan 

konfirmasi diagnosa  nyeri kanker. Untuk 

lebih memudahkan pengobatan , data 

karakteristik nyeri dan temuan fisik 

yang merupakan konsekuensi spesifik

dari penyakit kanker atau terapinya 

dikumpulkan ke dalam suatu sindrom, yaitu 

sindrom nyeri kanker.

Sindrom nyeri kanker dapat digolongkan ke 

dalam akut dan kronik (Tabel 2). Sindrom 

nyeri kanker akut biasanya berhubungan 

dengan intervensi diagnostik atau terapeutik, 

sedangkan kronik biasanya dipicu  oleh 

perkembangan tumor secara langsung 

Menurut International Association for the

Study o f Pain (IASP), suatu nyeri dapat 

dikatakan nyeri kronik jika dirasakan ada 

nyeri yang melewati batas waktu normal 

dari fase penyembuhan jaringan, bisa lebih 

dari 3 atau 6 bulan. Pada nyeri kanker, 

lebih dari 3 bulan ditentukan sebagai 

nyeri kronik. Pada kenyataannya, banyak 

sindrom nyeri kanker dikategorikan sebagai 

kronik walaupun belum melewati fase 

penyembuhan jaringan.

pengobatan 

pengobatan  nyeri kanker berdasarkan WHO 

diawali dengan penilaian aspek penyakit 

kanker itu sendiri dan aspek nyeri yang 

dirasakan oleh pasien. Dengan kedua jenis 

penilaianini,dapatdiidentifikasikarakteristik 

dan etiologi nyeri yang dihubungkan dengan 

kondisi penyakit kankernya. Proses ini 

berlanjut dengan penentuan target yang 

realistis dan modalitas terapi nyeri yang 

akan diimplementasikan pada pasien, yaitu:

1. Terapi simtomatis dan suportif: berupa analgesik beserta adjuvannya, terapi nonfarmakologis (psikososial dan spiritual) atau 

radioterapi.

2. Terapi definitif, dengan menghilangkan 

dan mengecilkan ukuran massa tumor 

sebagai sumber nyeri; terutama berupa 

reseksi tumor, atau memakai  

kemoterapi dan radioterapi.

Pada prinsipnya, proses pengobatan  nyeri 

secara umum terdiri dari 5 tahapan utama, 

yaitu penilaian (assessment), analisis karakteristik nyeri, terapi, evaluasi terapi, dan 

dokumentasi. Setiap tahapan dibuat berkesinambungan dan berulang-ulang sesuai 

kondisi pasien. Dengan demikian, bila setiap kali pasien mengeluhkan nyeri, maka 

kelima proses ini harus dijalankan secara 

berurutan.

1. Penilaian Nyeri

Walaupun prevalensinya tinggi, tidak 

semua pasien mengakui dalam keadaan 

nyeri. Hal ini dapat dipicu  oleh karena 

pasien merasa wajar penderita kanker 

mengalami nyeri, atau karena pasien 

takut mendapat penambahan obat-obatan 

disamping obat-obat utama yang sudah 

diterimanya. Jadi nyeri harus ditanyakan 

secara khusus atau diperkirakan dari 

besarnya massa, adanya daerah yang 

ulkus, atau pada pemeriksaan penunjang 

tampak gambaran kerusakan tulang atau 

jaringan saraf di sekitarnya. Demikian pula 

pada pasien dengan penurunan kesadaran, 

nyeri dapat berupa menyeringai di wajah 

atau gelisah.

2. Analisis Nyeri

a. Derajat beratnya nyeri: ditentukan 

termasuk nyeri ringan, sedang, 

atau berat Skala yang paling umum 

dipakai  yaitu  Visual Analog Scale

(VAS) atau Numeric Rating Scale

(NRS) untuk pasien yang sadar dan 

kooperatif. Secara kuantitatif, skala 

nyeri berdasarkan NRS dari 0 (tidak 

nyeri) hingga 10 (sangat nyeri). Nyeri 

dinyatakan sebagai nyeri ringan jika 

memiliki nilai NRS 1-3, nyeri sedang 

(NRS 4-6), dan nyeri berat (7-10). 

Pada pasien yang tidak kooperatif atau 

tidak sadar dapat dipakai  Face, Legs

Activity, Cry, Consolability (FLACC) Scale.

b. Tipe nyeri: nyerineuropatik, nosiseptif, 

atau nyeri campuran (mixed pain).

c. Durasi: akut, kroninyek, atau nyeri 

sontak.

d. Lokasi: lokal, atau radikular (jika 

menjalar sesuai dengan persarafan dari 

sumber nyeri ke area lain)

3. Evaluasi

Pasien yang telah ditentukan target terapi 

dan mendapatkan terapi nyeri harus 

dievaluasi dan dipantau keberhasilannya. 

Evaluasi ini tergantung deraj at nyerinya; 

pada nyeri ringan dipantau setiap 8 jam, 

nyeri sedang setiap 2 jam, dan nyeri 

berat setiap 1 jam. Targetnya yaitu  

pengurangan nyeri hingga 30% dan 

perbaikan fungsional. Jika nyeri belum 

berkurangatau muncul nyeri baru, maka 

harus dilakukan penilaian ulang dengan 

proses yang sama seperti sebelumnya.

4. Terapi

Pemberian terapi simptomatis nyeri 

dengan memakai  WHO stepladder

(Gambar 4) mengacu kepada skala nyeri: 

nyeri ringan pada anak tangga pertama, 

nyeri sedang merupakan anak tangga 

kedua, dan nyeri berat menempati anak 

tangga ketiga. Setiap anak tangga memiliki 

golongan obat simptomatis nyeri masingmasing. Contoh penerapannya, bila 

pasien tergolong nyeri ringan, maka 

golongan obat nyeri yang diberikan 

yaitu  analgesik non-opioid dengan 

atau tanpa adjuvan, Jika pasien masih 

mengeluh nyeri walaupun telah diberikan 

golongan obat pada anak tangga ketiga 

maka pasien direncanakan mendapat tata 

laksana intervensi nyeri, antara lain blok 

saraf (somatik, simpatetik), medikasi dan 

stimulator spinal, serta pembedahan. 

Studi menunjukkan terapi farmakologis 

dengan kerangka kerja seperti ini relatif

tidakmahal dan 70-90% efektif.

5. Dokumentasi

Kesemua proses harus didokumentasikan agar memudahkan proses evaluasi, 

terutama jika nyeri sulit ditangani atau 

adanya nyeri sontak yang dosis obatnya 

dihitung berdasarkan dosis harian, serta 

pada titrasi opioid dari parenteral ke oral.

pengobatan  ini juga harus masuk 

dalam 5 prinsip pengobatan  nyeri WHO, 

yaitu:

1. Sesuai jalur mulut

Administrasi obat secara oral nyaman, 

non-invasif, dan dapat ditoleransi dengan baik.

2. Sesuai jam pemberian obat 

Analgesik yang diperlukan ditaruh 

berdasarkan waktu paruh obat, diperlukan untuk menjaga kadar terapeutik 

obattetap konstan dalam darah.

3. Sesuai WHO stepladder

4. Sesuai individu

Dikhususkan dengan karakteristik masing-masing pasien, indikasi, kontraindikasi, alergi, dosis koreksi gagal ginjal, 

dan sebagainya.

5. Sesuai perhatian terhadap detil 

Dokumentasi nilai skala nyeri yang 

tercatat baik, total obat harus dijumlahkan dalam 24 jam, memperhatikan 

keluhan nyeri dasar, nyeri dasar terkontrol dan nyeri sontak.

Konsep pengobatan  nyeri kanker berdasarkan 

WHO stepladder memiliki beberapa prinsip, 

yaitu:

   Analgesik harus diberikan secara teratur 

dengan dosis adekuat untuk menjaga 

level terapeutik obat dalam darah.

• Analgesik dapat dieskalasi secara berurutan 

sesuai tingkatan tangga WHO stepladder.

• Di samping pemberian obat regular, 

pasien harus mendapat pengobatan 

untuk nyeri sontak.

   Efek samping anagesik, terutama 

konstipasi dan mual, harus diantisipasi 

dan diberikan pencegahan pada pasien.

   Pemantauan secara teratur dan cermat 

penting dilakukan pada pasien yang 

mendapat analgesik

   Pasien harus mendapat akses yang mudah 

untuk memperoleh analgesik saat kapanpun mengalami nyeri.

Berdasarkan WHO stepladder, ada  dua

jenis anaigesik, yaitu opioid dan non-opioid.

Pemberian jenis analgesik ini tergantung 

intensitas nyeri pasien. Nyeri dengan intensitas ringan dapat diberikan analgesik 

non-opioid, misalnya golongan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), dengan dosis 

sesuai Tabel 3.

Adapun nyeri dengan intensitas sedang/berat 

diberikan analgesik opioid (Tabel 4). Pada 

pasien dengan intensitas ini, pemakaian  

OAINS intravena tetap ada indikasinya, 

misalnya pada kondisi akut/emergensi dalam 

jangka waktu pendek atau nyeri nosiseptif 

dengan keterlibatan muskuloskeletal dan 

jaringan lunak. Oleh sebab itu, pemberian 

analgesik pada nyeri kanker tidak bersifat 

kaku, melainkan individual sesuai kondisi 

patologis yang terjadi.

 

NCCN 2016 membedakan pasien pengguna 

opioid baru [opioid-naive] dan pasien 

pengguna opioid rutin {opioid-tolerant).

Definisi pengguna opioid baru yaitu  

pasien yang tak pernah memakai  

opioid secara kronik atau pengguna opioid 

dengan jumlah dosis opioid harian kurang 

dari ambang batas dosis opioid pengguna 

opioid rutin dan pemakaian  dosis ini 

kurang dari 1 minggu.

Adapun pengguna opioid rutin yaitu  pasien 

yang rutin memakai  opiod dalam 

seminggu atau lebih dengan jumlah dosis harian 

melebihi atau sesuai dengan dosis ambang 

batas, antara lain morfin 60mg/hari oral, 

fentanil transdermal 25fig/jam, hidromorfon

8mg/hari oral, oksimorfon 25mg/hari oral, 

atau opioid lain yang setara (Tabel 5).

Sebagai contoh, pasien yang telah mendapat 

dosis morfin 70mg/hari dengan pemakaian  

lebih dari 1 minggu dapat dikatakan sebagai 

pengguna opioid rutin. Pasien dengan 

dosis morfin 40 mg/hari selama kurang 

dari 1 minggu disebut pengguna opioid 

baru. Sementara itu pada kasus lain, pasien 

pengguna morfin 40mg/hari lebih dari 1 

minggu dapat termasuk pengguna opioid 

rutin menurut panduan NCCN 2010,

pengobatan  nyeri kanker pada pasien 

pengguna opioid baru selanjutnya dibagi 

berdasarkan intensitas nyeri. Semakin tinggi 

skala nyeri, semakin dianjurkan untuksegera

 

titrasi opioid, Namun, ada beberapa hal yang 

harus diperhatikan secara umum untuk 

semua tingkat intensitas nyeri, antara lain;

   pemakaian  opioid sesuai prinsip, 

dengan titrasi, dan kontinu 

   Antisipasi efek samping analgesik

• Pemberian dukungan psikososial

   Edukasi pasien dan keluarga/perawat 

   Optimatisasi intervensi yang bersifat 

integratif

• Pertimbangan pemakaian  NSAID atau 

asetaminofen

   Untuk nyeri yang akut dan intensitas 

berat, segera datang ke RS 

Berbeda dengan pengguna opioid baru, tata 

iaksana nyeri kanker untuk pengguna opioid 

rutin dapat memakai  opioid oral atau 

intravena. Pemberian opioid oral memiliki 

efek puncak dalam 60 menit. Di lain pihak, 

pemberian opioid intravena memiliki efek 

puncak dalam 15 menit. Dosis opioid yang 

diberikan, baik oral maupun intravena, 

sebesar 10-20% dari total dosis opioid yang 

diterima selama 24 jam terakhir.

Selanjutnya pasien dievaluasi efikasi dan efek 

sampingyang dirasakan sesuai efekpuncaknya, 

yaitu 15 menit (intravena] dan 60 menit [oral]. 

Bila nyeri tidak berkurang atau bertambah 

berat, malm dosis opioid dinaikkan 50-100%. 

Bila nyeri berkurang tetapi belum sepenuhnya 

terkontrol, malm opioid dapat diberikan ulang 

dengan dosis yang sama dengan sebelumnya. 

Kedua hal ini harus dievaluasi lagi dan dapat 

diulang hingga 2-3 siklus. Bila kemudian 

nyerinya belum terkontrol, maka klinisi harus 

evaluasi ulang dari awal mengenai nyeri 

[reassessment) secara komprehensif dan 

melalcukan penanganan secara integratif. Bila 

nyerinya sudah terkontrol, maka dosis opioid 

teridni dilanjutlmn sebagai dosis efektif untuk

pasien ini .

Pemberian opioid pada pasien nyeri kanker 

harus memperhatikan efek sampingnya 

juga, karena sering terjadi dan harus dapat 

diantisipasi serta ditangani secara agresif 

(Tabel 6]. Mengingat banyaknya pengobatan 

yang didapat oleh pasien kanker, maka setiap 

efek samping opioid yang terjadi harus pula 

dipikirkan penyebab selain opioid. Oleh 

sebab itu, perlu penilaian secara multisistem.

Penggantian Opioid (Opioid Switching)

Adakalanya ter dap at kondisi perlu dilakukan 

penggantian opioid (opioid switching), yaitu 

proses penggantian suatu opioid ke opioid 

lain untuk mendapatkan efek antinyeri 

lebih baik dengan efek samping seminimal 

mungkin. Proses penggantian ini bersifat 

individual bergantung respons pasien 

dengan penilaian yang komprehensif. 

Parameter keberhasilannya yaitu  jika 

terjadi penurunan intensitas nyeri >33% 

dan/atau berkurangnya efek samping 

terkait opioid.

Indikasi penggantian opioid antara lain 

nyeri yang terkontrol tetapi muncul efek 

samping serius, nyeri belum terkontrol 

adekuat namun tidak bisa ekskalasi dosis 

opioid karena efek samping, atau nyeri yang 

belum terkontrol dengan opioid walaupun 

tanpa efek samping. 

Langkah-langkah penggantian opioid yaitu  

sebagai berikut:

1. Hitungtotal dosis harian opioid pasien terkini.

2. Estimasi total dosis opioid yang ingin 

dipakai dengan konversi opioid menggunakan tabel ekuivalensi (Tabel 7 dan 

8}. Tabel ini memakai morfin oral sebagai 

acuan, sehingga konversi dosis opioid 

lainnya harus diubah ke morfin dahulu, 

kemudian baru ke jenis opioid yang dikehendaki. Misalnya, penggantian kodein ke 

oksikodon dilakukan dengan cara mengkonversi kodein ke morfin, kemudian morfin ke oksikodon.

3. Turunkan total dosis estimasi ini 

sebesar 50% (jika pasien dalam dosis 

tinggi opioid) atau 25-40% (jika pasien 

dalam dosis opioid rendah/sedang).

4. Sesuaikan dosis tergantung kondisi 

individual pasien, misalnya:

   Tipe nyeri akut atau kronik; dosis 

lebih tinggi pada nyeri akut.

   Disfungsi hepar/hati; penyesuaian 

dosis diperlukan pada gangguan 

kedua organ ini 

   Usia; mulai dengan dosis rendah pada 

pasien usia lanjut karena lebih rentan 

mengalami efek samping.

• Medikasi; pasien dengan polifarmasi 

mungkin perlu penyesuaian dosis 

untuk mencegah efek samping akibat 

interaksi obat

5. Dosis estimasi yang telah disesuaikan 

ini kemudian diberikan secara 

titrasi naik, hingga dapat mengontrol 

nyeri. Opioid lepas cepat (immediate

release) bisa diberikan untuk nyeri 

sontak, terutama saat masa titrasi 

dengan dosis sebesar 10-15% dari total 

dosis harian.

6. Anjurkan kepada pasien/pengasuhnya 

untuk mencatat tanda dan gejala nyeri 

yang belum terkontrol, termasuk jumlah 

dosis untuk nyeri sontak. Selain itu, efek 

samping sedasi juga perlu didokumentasikan.

7. Pantau ulang pasien untuk menilai 

kontrol nyeri dan efek samping obat. 

Hal ini dapat dilakukan 3 hari setelah 

memulai opioid baru, atau waktu lain 

sesuai kondisi pasien.

8. Perubahan opioid dari rule intravena ke oral 

harus dalam pemantauan dokter, pasien 

harus berada dalam perawatan setidaknya 

pada 24 jam pertama perubahan.

Kombinasi Obat

Di samping opioid, pengobatan  nyeri kanker

juga melibatkan adjuvan analgesik yang

bertujuan untuk menurunkan kebutuhan

opioid, sehingga efek sampingnya dapat 

berkurang. Antidepresan dan antikonvulsan 

yaitu  lini pertama adjuvan analgesik 

[Tabel 9). Obat-obatan ini dapat membantu 

pasien nyeri kanker yang belum sepenuhnya 

terkontrol dengan opioid. Oleh karena 

respons yang bervariasi, maka pemilihan 

jenis obatnya dapat mempertimbangkan 

kondisi dan komorbiditas pasien. Misalnya 

adjuvan analgesik yang berefek sedasi bisa 

bermanfaat untuk pasien yang insomnia, 

atau yang mengalami kecemasan dapat 

diberikan amitriptilin. Amitriptilin juga 

berguna pada nyeri kronik yang dapat 

merupakan kelanjutan dari nyeri kanker jika 

lama belum mendapatkan terapi definitif.

Pada pasien dengan nyeri kanker biasanya 

akan ada  komponen nyeri kanker 

akibat infiltrasi sel tumor ke serabut saraf di 

sekitarnya. Namun hal ini sering terabaikan 

oleh klinisi, padahal terapi yang tepat akan 

sangat membantu pasien. Oleh karena itu 

diperlukan adjuvan golongan antikonvulsan 

yang dosis antikonvulsan selengkapnya 

dapat dilihat pada bab Nyeri Neuropatik. 

Dari kesemua antikonvulsan, kombinasi 

gabapentin dan opioid menunjukkan 

adanya penambahan kekuatan dan kerja 

sinergis, sehingga efektif dalam dosis 

opioid yang lebih kecil secara signifikan 

dibandingkan opioid saja. Hal ini terutama 

pada karakteristik nyeri pan as atau seperti 

ditusuk-tusuk yang tidak terlalu berkurang 

dengan hanya opioid. Demikian pula 

kombinasi ini dapat mengurangi efek 

samping opioid, seperti konstipasi dan mual 

secara bermakna. Dosis gabapentin dapat 

dimulai dari 300mg/hari naik perlahan 

hingga maksimal 3600mg,

Opioid juga dapat dikombinasi dengan OAINS, 

terutama jika komponen nyeri nosiseptif yang 

dominan, yang ditandai dengan pembesaran 

massa tumor hingga memicu  kerusakan 

jaringan. Parasetamol paling sering dikombinasi, baik dengan hidrokodon (kodein sintetik), oksikodon, maupun tramadol. Kombinasi 

paracetamol dengan hidrokodon dapat menurunkan nyeri lebih dari 50% dengan dosis awal 

2500mg-25mg/24 jam. Dosis dapat ditingkatkan hingga dosis maksimal 4000mg-50mg/24 

jam. Kombinasi parasetamol-tramadol dapat 

dilakukan sebagai salah satu pemberian terapi nyeri sontak sebagai adjuvan dengan dosis 

awal 325mg-37,5mg perkali jika pemakaian  

dosis harian tramadol <400mg atau dosis harian kodein <300mg atau dosis harian morfin 

<60mg. Jika dosis harian morfin 60-120mg/24 

jam maka pemberian dapat diberikan 2 tablet 

kombinasi parasetamol-tramadol. Tramadol 

sendiri dapat sebagai terapi ajuvan pemberian pada dosis awal tramadol 200mg/hari 

dapat menghilangkan keluhan nyeri sebanyak 

60% dan dapat diberikan hingga dosis maksimal 400mg/hari.

Adjuvan analgesik nyeri kanker dapat 

berupa obat topikal [lidokain patch 5%)

dan kortikosteroid. Deksametason lebih 

dipilih karena efek mineralokortikoid yang 

lebih minimal. pemakaian  kortikosteroid 

ini terutama bermanfaat pada nyeri akut 

yang melibatkan struktur saraf dan tulang. 

Hindari kombinasi tramadol dengan amitriptilin atau karbamazepin dapat menyebabkan kondisi renjatan [shock) akibat sindrom serotonin.

Nyeri kanker dapat dikatakan telah 

terkontrol jika setelah mendapat tata 

laksana, nyeri dirasakan hilang atau 

berkurang 50%, dan dapat ditoleransi pada 

keadaan tertentu. Konsep nyeri terkontrol 

ini disampaikan dengan pengertian yang 

sesuai dengan harapan dan pendidikan 

pasien.

Patokan kesuksesan terapi yang sesuai dan 

secara bertahap yaitu :

   Rasa nyeri terkontrol pada saat tidur 

malam

   Rasa nyeri terkontrol pada saat istirahat 

dalam sehari penuh

   Rasa nyeri terkontrol pada saat mobilitas 

terbatas

   Rasa nyeri terkontrol pada saat mobilitas 

penuh

Terapi Definitif dan Suportif

Pada nyeri yang diakibatkan oleh ukuran 

massa yang besar, perlu dilakukan reseksi 

atau pengurangan volume tumor untuk 

mengurangi nyeri dengan tindakan operatif, 

kemoterapi, atau radioterapi. Radioterapi 

juga berperan pada nyeri akibat metastasis 

ke tulang vertebra, dengan menginaktivasi 

sel tumor mencegah proses kerusakan lebih 

lanjut. Demikian pula pemberian bifosfonat, 

suatu agen penghambat osteoklas akan 

berperan menurunkan resorpsi tulang yang 

memicu  nyeri. Kesemua hal ini 

akan sangat membantu mengurangi dosis 

obat-obatan terutama opioid, sehingga 

pasien juga bisa terhindar dari efek samping 

yang berlebihan.

CONTOH KASUS

Seorang laki-laki 52 tahun datang dengan 

keluhan utama nyeri leher yang menjalar

ke belakang kepala sejak 3 hari lalu. Keluhan dimulai sejak 5 bulan sebelumnya, 

ada  benjolan di leher kiri. Benjolan ini disertai nyeri yang semakin 

memberat, hingga sebulan yang lalu dibiopsi dengan hasil karsinoma nasofaring 

(KNF). Lalu pasien menjalani kemoterapi. 

Nyeri dirasakan menjalar dari daerah 

benjolan ke leher belakang yang semakin memberat (NRS=7-8] dan membuat 

pasien sulit tidur.

 

Pemeriksaan fisik neurologis tidak didapatkan defisit. Status lokalis di regio colli dekstra teraba massa ukuran 5x4x2 cm dengan 

nyeri tekan, konsistensi keras, tidak dapat 

digerakkan (Gambar 5).

Hasil CT scan nasofaring menunjukkan massa di nasofaring sisi kiri yang mengobliterasi fossa Rossenmuller dan torus tubarius 

kiri, mengisi koana kiri, orofaring, spasium 

parafaring kiri, mengobliterasi M. Pterigoid 

medialis kiri, disertai limfadenopati multipel regio colli bilateral (Gambar 6).

Pertanyaan

1. Bagaimana karakteristik nyeri pasien?

a. Nyeri nosiseptif

b. Campuran nyeri neuropatik dan 

nosiseptif

c. Akut

d. Bersifat radikular

e. Intensitas ringan sedang 

Jawaban: (B) ada  lesi benjolan 

dengan tanda inflamasi dan adanya 

nyeri tekan yang menunjukkan nyeri 

nosiseptif, disertai rasa nyeri menjalar 

yang berarti nyeri neuropatik.

2. Apakah penyebab nyeri pada keluhan 

utama pasien?

a. Peradangan lokal

b. Kerusakan jaringan pada kanker

c. Psikogenik

d. Infiltrasi sel tumor ke serabut saraf

e. Spasmeotot

Jawaban: (D); walaupun memang ada 

kerusakan jaringan yang memicu 

nyeri, namun keluhan utama pasien 

ini yaitu  nyeri yang menjalar yang 

menunjukkan adanya infiltrasi sel tumor 

ke serabut saraf, dalam hal ini radiks 

daerah servikal.

3. Apakah analgesik adjuvan pilihan utama 

yang sebaiknya diberikan pada pasien?

a. Diazepam

b. Pregabalin

c. Amitriptilin

d. Asamvalproat

e. Gabapentin

Jawaban: (E); pemilihan adjuvan disesuaikan dengan kondisi pasien. Adanya nyeri 

neuropatik memicu  adjuvan diprioritaskan golongan antikonvulsan. Dari 

semua golongan antikonvulsan, yang 

dapat meningkatkan potensiasi analgesik 

dari opioid yaitu  gabapentin. Jika pasien 

ada  kecemasan dapat diberikan 

amitriptilin, namun obat ini tidak dapat 

dikombinasi dengan tramadol, jika memang direncanakan pemberian tramadol 

selanjutnya pada pasien.

4. Bagaimana pengobatan  etiologi nyeri 

pada pasien ini?

a. Antiinflamasi nonsteroid

b. Akupuntur

c. Kemoradiasi

d. Radioterapi

e. Hipnosis

Jawaban: (C}; nyeri akibat perluasan 

massa tumor harus dikecilkan ukurannya 

sesuai dengan jenis tumor. Pada KNF 

terapi utama yaitu  kemoterapi dan/ 

atau radioterapi. 

5. Apakah pengobatan  awal untuk 

mengatasi nyeri pasien ini?

a. Ketorolak 30mg IV

b. Parasetamol 500mg PO

c. Midazolam 5mg IV

d. Kodein20mgPO

e. Gabapentin lOOmg PO

Jawaban: (A); pasien ini mengalami nyeri 

derajat sedang berat yang mengganggu, 

sehingga perlu pemberian anti nyeri 

dengan jalur intravena. Adanya tandatanda kerusakan jaringan menunjukkan 

nyeri nosiseptif, sehingga dapat diberikan golongan OAINS seperti ketorolak IV.

Lanjutan Kasus

Pasien mendapat pengobatan  awal ketorolak 30 mg/8 jam IV karena dianggap nyeri 

akut yang sudah mengganggu aktivitas, NRS 

turun menjadi 4-5, Nyeri masih terasa terutama menjalar, maka dianggap sebagai nyeri 

neuropatik sehingga diberikan gabapentin 

600mg/hari. Oleh karena ketorolak tidak 

boleh diberikan lebih dari 5 hari, maka diganti menjadi tramadol dosis awal lOOmg/ 

hari, titrasi naik. NRS pasien turun menjadi

2-3. Pasien lalu menjalani kemoradiasi untuk 

mengatasi etiologi nyerinya, dan NRS turun 

lagi menjadi 1-2. Tramadol turun bertahap 

diganti paracetamol 2000mg/hari, gabapentin dosis 300mg/hari. Selanjutnya bisa digunakan kombinasi paracetamol dan tramadol 

dosis rendah sebagai rumatan, beserta gabapentin jika nyeri masih terasa menjalar. 










NEUROPATI



Sistem saraf perifer terdiri dari saraf-saraf 

kranial (kecuali nervus olfaktorius dan 

optikus), saraf-saraf yang berasal dari medula 

spinalis (radiks, rami, trunkus, pleksus, 

maupun saraf perifer itu sendiri, seperti 

saraf medianus dan tibialis), dan komponenkomponen dari sistem saraf otonom di perifer. 

Bab ini akan menjelaskan tentang gangguan 

pada sistem saraf perifer atau yang secara 

umum dapat dikelompokkan dalam satu 

entitas, yaitu neuropati.

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi neuropati bervariasi antara 2-85%, 

tergantung dari prevalensi etiologi penyebabnya. Di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta 

tahun 2012-2014, angka kejadian neuropati 

yang diinduksi kemoterapi pada pasien 

karsinoma nasofaring sebesar 76%, sedangkan sindrom terowongan karpal diperkirakan 

terjadi pada 3,8% dari populasi umum, dengan 

insidens 276 per 100.000 populasi.

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi neuropati beragam tergantung 

dari etiologinya, yaitu genetik, metabolik, dimediasi imunitas, infeksi, toksik, traumatik, 

dan lain-lain. Namun hal ini akan lebih mudah 

dipahami secara umum dengan mengetahui 

kerusakan serabut saraf berdasarkan anatomihistologinya.

Neuropati dapat terjadi karena lesi di badan 

sel saraf (neuronopati) maupun pada akson 

di serabut saraf perifer (neuropati perifer). 

Neuronopati dapat terjadi karena kerusakan 

pada badan sel saraf di kornu anterior, atau 

sering dikenal dengan motor neuron disease. 

Neuronopati juga dapat terjadi karena 

kerusakan pada ganglion radiks dorsalis 

tempat badan sel saraf sensorik orde I, yang 

dikenal sebagai neuronopati sensorik atau 

ganglionopati. Adapun neuropati perifer 

terjadi karena kerusakan pada akson atau 

mielin di serabut saraf perifer. Oleh karena itu 

neuropati perifer dapat dibagi menjadi dua 

kategori, yaitu aksonopati dan mielinopati 

(Gambar 1).

 

bila  terjadi kerusakan akson, secara 

teori akan terjadi hambatan hantaran 

impuls saraf baik eferen maupun aferen. 

Kerusakan pada selubung mielin juga dapat 

memicu  hambatan impuls saraf. Impuls 

saraf yang dihantarkan akson bermielin 

akan dikonduksikan lebih cepat dengan cara 

saltatory conduction (konduksi lompatan). 

Hal ini terjadi karena selubung mielin akson 

bertindak sebagai isolator, sehingga konduksi 

listrik melompat dari satu nodus Ranvier ke 

nodus berikutnya. bila  terjadi kerusakan 

selubung mielin saraf maka kecepatan 

koduksi impuls saraf akan jauh menurun 

atau bahkan terhenti. Patofisiologi kerusakan 

ini dapat di-nilai secara klinis dengan bantuan 

pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS), 

seperti pada Tabel 1. Pemeriksaan konduksi 

hantar saraf akan menilai amplitudo, termasuk 

dispersi temporal (lihat Bab Sindrom GuillainBarre tentang KHS), yang menggambarkan 

seberapa banyak serabut saraf teraktifasi dan 

kecepatan hantar saraf (velocity) mulai dari 

titik stimulasi sampai tempat perekaman.

Lesi di badan sel saraf dan akson akan diikuti oleh proses degenerasi serabut akson 

yang berada di distal dari lesi, yang disebut 

sebagai degenerasi Wallerian. Degenerasi ini 

terjadi karena pengaturan metabolisme sel 

saraf berada di badan sel. Pengaturan metabolisme ini diteruskan ke akson yang 

lebih distal melalui suatu mekanisme yang 

disebut sebagai axonal transport dan terjadi 

secara anterograd dan retrograd. bila  

hubungan antara badan sel dengan akson 

distal terputus akibat kerusakan akson di 

antara keduanya maka axonal transport tidak 

dapat terjadi, sehingga akson bagian distal 

tidak dapat mempertahankan metabolismenya dan mengalami degenerasi.

Neuropati juga dapat dibagi berdasarkan 

diameter akson yang mengalami kerusakan, 

yaitu:

a. Akson berdiam eter besar-berm ielin;

di antaranya akson untuk serabut motorik (alpha motor neuron) dan sensorik 

untuk menghantarkan stimulus propioseptif, vibrasi, dan sentuhan ringan.

b. Akson berdiam eter kecil-berm ielin;

termasuk serabut sensorik yang menghantarkan stimulus sentuhan ringan, 

nyeri, suhu, dan serabut saraf otonom 

preganglion.

c. Akson berdiam eter k e c il-tid a k b ermielin; membawa stimulus nyeri, suhu, 

dan serabut saraf otonom pascaganglion.

GEJALA DAN TANDA K L IN IS

Gejala neuropati cukup beragam, mulai dari 

gejala motorik, sensorik, maupun otonom. 

Gejala ini dapat sama, walaupun akibat etiolologi yang berbeda, Untuk mempermudah menegakkan diagnosa , gejala klinis 

ini dibagi menjadi gejala positif dan negatif, 

baik motorik maupun sensorik. Gejala positif motorik dapat berupa aktivitas abnormal 

berlebih dari neuron, di antaranya kekakuan, 

twitching, dan miokimia. Gejala positif sensorik diantaranya rasa terbakar, tersayat, 

alodinia atau hiperalgesia, dan parastesia. 

Adapun gejala negatif motorik mencerminkan berkurangnya aktivitas neuron, misalnya 

berkurangnya kekuatan motorik, kelelahan, 

atrofi otot. Gejala negatif sensorik biasanya 

hipestesia serta gangguan input informasi 

dari luar tubuh lainnya, seperti gangguan 

input posisi tubuh, sehingga terjadi ataksia 

dan gangguan keseimbangan. 

Gejala otonom dapat berupa konstipasi, diare, impotensi, inkontinesia uri, gangguan 

berkeringat karena gangguan vasomotor, 

dan pusing yang berkaitan dengan perubahan posisi (ortostasis). Pasien yang mengalami 

gangguan vasomotor biasanya mengeluhkan 

telapak tangan atau kaki dingin disertai perubahan warna kulit. Gangguan vasomotor ini 

dipicu  karena pembuluh darah di kulit 

mengalami gangguan refleks untuk vasokonstriksi dan vasodilatasi yang diatur oleh saraf 

otonom dalam menghadapi perubahan suhu 

tubuh.

Anamnesis aktivitas sehari-hari seperti perubahan tulisan tangan, kesulitan mengancingkan baju, kesulitan memakai sendal 

jepit karena sering terlepas sangat berguna 

dalam menegakkan diagnosa . Pertanyaan 

terperinci tentang onset, durasi, dan progresifitas defisit neurologis yang ada juga 

sangat penting untuk membedakan jenis 

neuropati. Perlu ditanyakan juga kepada 

pasien tentang keasimetrisan dan distribusi 

gejala klinis saat onset, keterlibatan batang 

tubuh atau nervus kranial, dan laju progresifitasnya secara spesifik (monofasik, berfluktuasi, atau berjenjang]. Selanjutnya anamnesis 

ini dikonfirmasi dengan pemeriksaan 

fisik untuk mencari distribusi defisit neurologis, yang dibagi menjadi defisit fokal, multifokal, ataupun distal simetrik.

Pemeriksaan fisik sensorik dapat dibagi dua 

berdasarkan jenis serabut saraf sensorik 

yang dinilai. Pemeriksaan untuk serabut 

saraf besar yaitu  tes vibrasi, posisi sendi 

[propioseptif], dan raba halus, termasuk tes 

Romberg, sedangkan untuk serabut saraf 

kecil dilakukan pemeriksaan tes cukit kulit 

dan suhu. Sesungguhnya pemeriksaan raba

halus yaitu  memeriksa batas bawah reseptor mekanik (mechanoreceptor low threshold] yang dihantarkan oleh kedua serabut 

saraf baik besar dan kecil. Pemeriksaan 

fungsi serabut saraf kecil yang menghantarkan rasa nyeri dapat dilakukan dengan menyentuhkan benda berujung tajam seperti 

tusuk gigi tanpa tekanan yang signifikan.

Saat melakukan pemeriksaan fungsi saraf 

sensorik, harus sudah dipikirkan pola 

parastesi/anestesi berdasarkan sebaran 

anatominya, lebih sesuai untuk mononeuropati, polineuropati distal simetrik, lengthdependent polineuropathy, polineuropati 

mutifokal, radikulopati, pleksopati, atau 

kemungldnan adanya keterlibatan sistem 

saraf pusat (SSP].

Pemeriksaan motorik dimulai dari inspeksi 

ada tidaknya atrofi maupun fasikulasi. Palpasi dilakukan untuk menilai tonus dan 

rigiditas otot untuk menyingkirkan diagnosis banding gangguan SSP. Pemeriksaan 

kekuatan motorik pada neuropati perlu 

dilakukan secara spesifik, terperinci sesuai 

dengan otot dan saraf perifer yang terganggu. 

Misalkan pada neuropati nervus medianus 

di pergelangan tangan, otot-otot intrinsik 

tangan yang dipersarafi oleh N. Medianus 

(M. Aduktor Polisis Brevis] harus diperiksa 

kekuatannya. Namun otot-otot intrinsik 

tangan lain yang tidak dipersarafi oleh N. 

Medianus, seperti M. Interosesus Digiti I dan

M. Abduktor Digiti Minimi oleh N. Ulnaris 

perlu juga diperiksa untuk menyingkirkan 

diagnosa  banding neuropati pada N. Ulnaris. Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada 

seluruh ekstremitas, khususnya bila neuropati yang dicurigai yaitu  polineuropati.

Pemeriksaan saraf otonom harus dilaku- 

kan, karena akan memberi informasi lebih 

banyak mengenai diagnosa  banding, etiologi, 

maupun sindrom pada pasien. Gangguan ortostatik dapat memberi petunjuk bahwa 

sudah terjadi gangguan otonom karena 

gangguan saraf otonom dapat menyebabkan gangguan vasokonstriksi dan vasodilatasi pada pembuluh darah. Pemeriksaan 

saraf otonom juga dapat dilakukan dengan 

memeriksa kulit dan membran mukosa 

karena gangguan saraf otonom dapat menyebabkan gangguan vasomotor pada kulit 

Di sisi lain, pemeriksaan kulit yang terkait 

mapupun yang tidak terkait otonom dapat 

membantu menyingkirkan diagnosa  banding. 

Gambaran ruam vaskulitis (purpura, livedo 

retikularis], hiperpigmentasi bila disertai 

dengan polineuropati, organomegali, endokrinopati dapat membantu menegakan 

diagnosa  sindrom [POEM] polineuropati, 

pulmonary disease, organomegali, edema, 

endokrinopati, monoklonal paraprotein. Jika 

ada  ulkus pada rongga mulut maka dapat 

dipikirkan adanya neuropati pada penyakit 

Behcet atau HIV. Mata dan mulut kering, pembengkakan kelenjar saliva dapat ditemui pada 

sarkoidosis atau sindrom Sjogren.

D IA G N O S IS K L IN IS DAN DIA G N O SIS

B A N D IN G

Neuropati secara klinis dapat dibagi menjadi polineuropati, neuropati fokal, dan multifokal. Polineuropati dipicu  oleh agenagen yang bekerja secara difus terhadap 

sistem saraf perifer seperti bahan beracun 

(toksik), defisiensi zat-zat yang diperlukan 

dalam metabolisme saraf perifer, gangguan 

metabolik, dan beberapa reaksi imun. Adapun lesi fokal (mononeuropati] dan lesi 

multifokal yang terisolasi (multipel mononeuropati atau mononeuropati multipleks) 

dipicu  oleh kerusakan lokal di antaranya penjepitan saraf seperti carpal tunnel

syndrome (CTS), cedera mekanik (karena 

tekanan, traksi, ledakan, dan penetrasi], 

suhu ekstrim (panas maupun dingin), elektrik, radiasi, lesi vaskuler, granulomatosa, keganasan atau proses infiltratif lainnya, dan 

tumor primer saraf perifer.

Di negara kita , salah satu penyebab tersering 

mononeuropati multipleks yaitu  kusta. 

Gejala yang sering muncul pada neuropati 

kusta yaitu  gangguan sensorik berupa 

anestesi atau gangguan peraba terutama di 

distal jari-jari termasuk ibu jari dan gangguan vibrasi yang paling banyak terjadi di 

telapak kaki. Selain itu secara elektroneurofisiologis ternyata neuropati kusta dapat 

terjadi di ekstremitas maupun di wajah. 

Di ektremitas saraf yang sering mengalami 

gangguan yaitu  N. Peroneus Superfisialis, 

dan N. Suralis, sedangkan pada wajah yaitu 

N. Trigeminal dan N. Fasialis.

Beberapa polineuropati dapat menjadi tidak 

jelas polanya karena superimposed dengan 

mononeuropati atau mononeuropati multipleks, contoh yang paling sering yaitu  

sindrom terowongan karpal pada polineuropati diabetes. Neuropati dapat juga dibagi 

berdasarkan distribusinya, yaitu: polineuropati simetrik distal, polineuropati simetrik 

proksimal, polineuropati dengan predominasi - 

ekstremitas atas, distribusi kompleks, keterlibatan saraf kranial, serta neuropati fokal 

dan multifokal.

Polineuropati dengan distribusi gangguan 

motor dan sensorik distal simetrik merupakan pola paling umum dan banyak ditemui. 

Gejala motor ditandai dengan kelemahan 

dan atrofi yang dimulai dari ekstremitas 

bagian distal kemudian menyebar ke proksimal. Gejala sensorik ditandai dengan adanya 

pola distribusi"stocking-and-glove”, yaitu seolah-olah membentuksarungtangan dan kaos 

kaki, sehingga pasien merasa perabaannya 

berkurang di daerah yang tertutupi "sarung 

tangan" dan "kaos kaki” yang tak nampak mata 

ini Pola distribusi ini dipicu  karena 

saraf yang paling panjang akan mengalami 

gangguan terlebih dahulu (length-dependent

polyneuropathy). Pada ekstremitas bawah N. 

Tibialis Anterior dan M. Peroneus biasanya 

akan terganggu terlebih dahulu dibandingkan bagian posterior betis karena panjang 

saraf yang mensarafi bagian anterior betis 

lebih panjang dibandingkan bagian posterior. Pola distribusi seperti ini dapat ditemukan pada Charcot-Marie-tooth/hereditary

motor and sensory neuropathy [HMSN] tipe

I. Polineuropati simetrik distal yang hanya 

mempengaruhi komponen sensorik juga 

sering ditemukan pada polineuropati diabetik tahap awal.

Contoh polineuropati simetrik proksimal 

yang paling umum yaitu  sindrom Guillain-Barre (SGB) dan chronic inflammatory

demyelinating polyneuropathy (CIDP) yang 

dibahas dalam bab tersendiri. diagnosa  

lain yang perlu dipildrkan dengan distribusi 

seperti ini yaitu  porfiria, spina muskular 

atrofi, dan penyakit Tangier.

Polineuropati dengan predominasi ektremitas atas dengan gejala sensorik banyak terjadi pada tahap awal kekurangan vitamin 

B12. Distribusi ini dengan gejala motorik 

kadang juga terjadi pada beberapa SGB, 

porfiria, dan HMSN. Neuropati dengan keterlibatan saraf kranial dapat dipicu 

oleh sarkoidosis, diabetes melitus, dan yang 

paling sering yaitu  neuropati pada saraf 

fasialis yang dikenal dengan Bell's palsy. 

Bell's palsy dapat dipicu  berbagai faktor seperti imunologi, infeksi, vaskuler, dan 

paling banyak yaitu  idiopatik.

pengobatan 

pengobatan  neuropati sesuai dengan etiologinya. Pemeriksaan penunjang dibutuhkan sebelum memulai terapi definitif.

1. P e m e rik s a a n E le k tro d ia g n o s tik

Pemeriksaan elektrodiagnostik terdiri 

dari KHS dan elektromiografi (EMG], 

yang standar untuk pemeriksaan neuropati akibat kerusakan serabut saraf besar. 

EMG dapat membedakan antara polineuropati dengan miopati, neuronopati, 

pleksopati, ataupun poliradikulopati. 

Sebagai kepanjangan pemeriksaan fisik, 

pemeriksaan elektrodiagnostik meningkatkan ketajaman distribusi disfungsi saraf, 

membedakan keterlibatan motor dan sensorik, tingkat keparahan. Lebih dalam lagi, 

elektrodiagnostik dapat menilai gangguan saraf berdasarkan aksonopati maupun mielinopati. Elektrodiagnostik juga 

dapat dilakukan berulang untuk tujuan 

evaluasi atau menilai progresifitas penyakit.

2. B io p s i S a ra f d a n B io p s i K u lit

Biopsi saraf dilakukan untuk mencari 

etiologi, lokasi patologi, dan tingkat kerusakan saraf. Dalam beberapa dekade 

belakang, biopsi saraf sudah jarang dilakukan karena perkembangan elektrodiagnostik, laboratorium, dan tes genetik. 

Saat ini pemeriksaan biopsi saraf dilakukan bila etiologi tidak dapat ditemukan 

setelah berbagai pemeriksaan tambahan 

dilakukan.

Lain halnya dengan biopsi saraf, biopsi 

kulit meningkat secara dramatis dalam 

dua dekade belakangan, Biopsi ini menjadi 

pemeriksaan baku emas untuk menilai 

inervasi serabut saraf kecil intraepidermal tidak bermielin yang menghantarkan 

sensasi nyeri dan suhu dari kulit serta berperan dalam regulasi fungsi otonom. Neuropati serabut saraf kecil ini dapat hanya 

mempunyai gejala klinis minimal dan 

mungkin saja terlewatkan pada pemeriksaan klinis, oleh karena pemeriksaan elektrodiagnostik konvensional hanya dapat 

menilai serabut saraf besar.

3. Pemeriksaan Laboratorium dan Genetik

Pemilihan pemeriksaan laboratorium dan 

genetik memberi tantangan tersendiri. 

Banyak sekali pemeriksaan yang dapat 

dilakukan, namun karena mahal, perlu 

analisis mendalam berdasarkan anamnesis 

dan pemeriksaan fisik sebelum menentukan pilihan yang tepat. Pemeriksaan standar yang disarankan American Academy o f

Neurology (AAN) di antaranya gula darah 

puasa, elektrolit, pemeriksaan fungsi ginjal, 

fungsi hepar, darah lengkap, hitung jenis, 

kadar vitamin B12, laju endap darah, fungsi 

tiroid, dan jika memungkinkan immunofixation elec