trophoresis (IFEJ.
Pemeriksaan toleransi gula 2 jam
pascapuasa lebih sensitif dibandingkan
dengan pemeriksaan hemoglobin Ale
(HbAlc) dan gula darah puasa. Oleh karena
itu pemeriksaan ini perlu dipikirkan jika
pemeriksaan awal normal. Defisiensi vitamin B12 merupakan penyebab neuropati
yang mudah diterapi. Di negara kita karena
pemeriksaan ini lebih mahal dibandingkan
obatnya, maka pemeriksaan ini jarang dilakukan.
Jika dicurigai suatu neuropati demielinisasi, pertimbangkan untuk memeriksa
anti-myelin-associated glycoprotein (antiMAG]. Jika dicurigai suatu multifocal motor neuropathy (MMN) pertimbangkan
pemeriksaan anti-GMl. Pada varian SGB
diperiksakan antiGQlb, antiGMl, dan
antiGD-la. Untuk kecurigaan etiologi infeksi sistemik/gangguan imunitas, perlu
dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal. Pasien perokok rentan terhadap
keganasan. Jika didapatkan neuropati
sensorik pada perokok, pertimbangkan
pemeriksaan antibodi antiHu, yang berhubungan dengan neuropati paraneoplastik.
Pemeriksaan genetik merupakan pemeriksaan lanjutan jika dicurigai neuropati
herediter secara klinis ditunjang dengan
ldasifikasi menurut elektrodiagnostik.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan
lebih efisien secara bertahap dimulai
dari kecurigaan klinis paling besar dan
paling sering terjadi.
C O N TO H -C O N T O H N E U R O P A TI
1. Inherited Peripheral N europathy/
Charco t-Marie-Tooth
Salah satu etiologi neuropati perifer
yaitu mutasi genetik yang diturunkan
dari orang tua ke anaknya. Neuropati
herediter [inherited neuropathy) sering
disebut dengan penyakit Charcot-MarieTooth (CMT), Nam a ini diberikan sebagai
penghormatan tiga orang yang pertama
kali mendeskripsikan penyakit ini pada
tahun 1886. Sebagian besar CMT meru-
pakan neuropati motorik dan sensorik,
oleh karena itu sering juga disebut
dengan hereditary motor and sensory
neuropathy (HMSNJ.
CMT dibagi menjadi dua: CMT1 yang memiliki patologi hypertrophic demyelinating neuropathy dan ada perlambatan
KHS (<38m/s pada ekstremitas atas); dan
CMT 2 yang memiliki patologi degenerasi
aksonal dengan KHS yang relatif normal.
Untuk mendiagnosa pasien neuropati
herediter kadang cukup mudah. Jika pasien
memiliki kelemahan ektremitas bagian
distal disertai hilangnya fungsi sensorik,
pes cavus, pemeriksaan KHS dengan
hasil melambat, dan riwayat keluarga
yang cukup kuat, maka pasien ini
kemungkinan dapat menderita CMT. Di
sisi lain, mungkin saja neuropati herediter
muncul sebagai de novo atau baru muncul
ketika dewasa.
Pada CMT ada 44 lokus di 50 gen
yang dapat bermutasi yang menyebabkan kelainan ini, sehingga gejala klinisnya cukup kompleks dengan pola yang
bervariasi membuat tes genetik menjadi mahal. Pemeriksaan genetik yang
efisien dapat dilakukan dengan memilah
kemungkinan jenis CMT berdasarkan
pemeriksaan elektrodiagnostik.
2 . N e u ro p a ti D ia b e te s
Diabetes melitus [DM] merupakan salah
satu penyebab terbanyak neuropati perifer di dunia. Lebih dari setengah pasien
diabetes mengalami neuropati, dan
setengah orang yang memiliki neuropati
yaitu pasien diabetes.
Perubahan patologi saraf yang paling besar pada neuropati diabetes terjadi pada
serabut saraf perifer di distal, namun
kerusakan ini dapat juga terjadi
pada proksimal, baik di ganglion radiks
dorsalis ataupun di kornu anterior. ada beberapa teori mekanisme penyebab neuropati diabetes, antara lain
gangguan vaskular, hipotesis metabolik,
perubahan sintesis protein dan transpor
aksonal, serta mekanisme imunologi,
Berbagai mekanisme ini memicu
bentuk-bentuk neuropati yang beragam
pula, baik neuropati sensorik, otonom,
fokal, multifokal, simetrik, maupun polineuropati.
Gangguan vaskular diprediksi dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh
darah mikro dan memicu iskemia
pada vasa neuronum. Berbagai peneiitian
teiah mendukung teori ini, mulai dari studi
in vitro, in vivo pada tikus, serta otopsi
dan biopsi pada N. Suralis. Studi pada
tikus STZ-diabetes menunjukkan penurunan oksigenasi jaringan dan peningkatan
resistensi vaskular. Lesi multifokal pada
jaringan biopsi dan otopsi manusia juga
konsisten dengan teori bahwa diabetes
memicu iskemik pada jaringan
saraf perifer.
Hipotesis metabolik tentang hiperglikemia berdasarkan studi retrospektif yang
menyatakan bahwa komplikasi neuropati pada diabetes yang lebih dini dan
lebih berat berhubungan dengan kontrol glikemik yang buruk. Di sisi lain,
acute painful diabetic neuropathy juga
membaik dengan penurunan berat badan
dan kontrol glikemik yang baik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena pada
kondisi hiperglikemia, perubahan sintesis
protein dan transpor aksonal akan mengganggu transpor makromolekul dari akson
di distal kembali ke zona perinuklear
untuk didaur ulang. Gangguan ini menyebabkan degenerasi aksonal di distal.
pengobatan neuropati diabetik sangat
beragam. Oleh karena sifatnya yang
sistemik, maka pengobatan yang dilakukan harus menyeluruh tidak berhenti
sampai pengobatan saja, namun juga
evaluasi sepanjang perjalanan penyakit. Pasien diabetes perlu dinilai sensibilitas daerah distal. Pasien yang tidak
dapat merasakan tes monofilamen lOg
kemungkinan memiliki diagnosa polineuropati distal simetrik dan cenderung
akan mengalami ulserasi pada telapak
kakinya. Oleh karena itu pasien perlu dilakukan tindakan pencegahan dengan edukasi serta pemakaian alas kaki yang sesuai,
atau dirujukke ahli kaki {podiatrist}.
Pasien diabetes juga rentan terhadap
gangguan saraf otonom. Jika ada
riwayat hipotensi ortostatik, presinkop,
dan hasil pemeriksaan EKG-treadmill
menunjukkan gambaran intoleran, kemungkinan pasien mengalami cardiac
dysautonomia. Keadaan ini dapat meningkatkan risiko kematian menjadi
2 sampai 5 kali lipat, antara lain akibat
painless myocardial infarct jika pasien
mengalami kelelahan yang hebat dan
tiba-tiba disertai kulit yang pucat, mual,
kebingungan, sesalc napas, atau batuk.
Disfungsi ereksi sebagai salah satu
gangguan otonom dapat terjadi pada
pasien DM. Jika didapatkan disfungsi
ereksi maka tidakmenutup kemungkinan
ada penyakit kardiovaskular lainnya
yang terkait dengan gangguan otonom.
Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi
jantung menyeluruh pada pasien DM
dengan gangguan disfungsi ereksi.
Diabetes juga meningkatkan risiko berbagai jenis neuropati lainnya. Diabetes
meningkatkan risiko reaktivasi herpes
zoster dan painful thoracic radiculopathy.
Baal kedua tangan pada pasien diabetes
juga masih sangat mungkin karena CTS
atau carpal tunnel syndrome bilateral.
pengobatan neuropati diabetes yaitu
dengan kontrol gula darah yang baik
mendekati normoglikemia atau kadar
HbAlc dipertahankan di bawah 7%. Bila
ada nyeri, maka obat simptomatik
pilihan diantaranya yaitu gabapentin,
pregabalin, karbamazepin, maupun okskarbazepin. Obat-obat antinyeri neuropatik ini dapat dikombinasikan dengan
obat anti inftamasi nonsteroid (OA1NS),
analgesik lainnya, ataupun antidepresan.
Namun perlu diingat karena DM yaitu
penyakit sistemik, interaksi obat dan
fungsi ginjal perlu diperhatikan sebelum
terapi diberikan.
3. BeIVs Palsy
Merupakan kelainan saraf fasialis tipe
perifer idiopatik dan penyebab terbanyak
lesi nervus fasial unilateral yang dapat
mengenai semua jenis kelamin dan usia.
Prevalensinya sekitar 23 per 100.000
penduduk dan diperkirakan meningkat
pada pasien DM, hipertensi, serta ibu
hamil masa perinatal.
Walaupun Bell's palsy diperkirakan
idio-atik, namun sebenarnya kurang
tepat karena studi mengaitkannya dengan
infeksi herpes simplex virus (HSV)-1. Pada
autopsi kasus ini, HSV-1 dapat diisolasi
dari ganglion genikulatum serta terdeteksi
pada cairan endoneurium sebagian besar pasien dibandingkan dengan kontrol
sehat. Pada sindrom Ramsay-Hunt dapat
diisolasi virus varicella zoster.
Pada Bell's palsy terjadi inflamasi yang menyebabkan demielinisasi segmental, bahkan dapat terjadi kerusakan aksonal, sehingga terjadi kelainan nervus fasialis tipe
perifer yang mencapai maximal dalam
48-72 jam pascaonset. Abnormalitas dapat
terjadi pada lokasi sepanjang perjalanan
nervus fasialis sejak keluar dari inti nervus
fasialis di pons hingga serabutterminalnya
yang menginervasi efektor, Lokasi lesi terbanyak di bagian proksimal kanalis fasialis
yang merupa-kan tempat tersempit
Nyeri pada area belakang aurikular
dapat muncul 1-2 hari sebelum onset
Level kerusakan nervus fasialis menentukan manifestasi klinis yang muncul. Nervus fasialis memiliki bagian motorik dan
sensorik (Gambar 2), maka gangguannya
dapat berupa kelumpuhan otot fasialis
ipsilateral (muskulus frontalis, orbikularis okuli, bucinator, orbikularis oris, dan
platisma], penurunan lakrimasi ipsilateral, hiperakusis (muskulus stapedius]
ipsilateral, penurunan sali-vasi ipsilateral,
dan penurunan indera pengecap ipsilateral pada duapertiga anterior lidah (rasa
manis, asam, dan asin). Pada beberapa
kasus juga dapat disertai hipestesi pada
satu atau lebih cabang nervus trigeminal.
Derajat kelumpuhan nervus fasialis dinilai memakai sistem grading HouseBrackmann yang membagi manifestasi
Idinis menjadi 6 derajat (Tabel 2)
diagnosa Bell's palsy ditegakkan secara
klinis. Pada pemeriksaan MRI dengan kontras, didapatkan penyangatan nervus fasialis
yang merepresentasikan inflamasi. Cairan
serebrospinal menunjukkan peningkatan
ringan limfosit dan monosit. Pemeriksaan
elektrofisiologi, yaitu refleks kedip (blink
reflex) dapat menentukan topis kerusakan
nervus fasialis. Pemeriksaan ini dilakukan
setelah onset 14 hari, karena pada <14 hari
pascaonset masih terjadi kerusakan nervus
fasialis, sehingga belum dapat diperkirakan derajat kerusakan akhirnya. diagnosa
banding kasus ini yaitu penyakit Lyme,
otitis media, sindrom Ramsay-Hunt, sarkoidosis, SGB, tumor kelenjar parotis, multipel
sklerosis, stroke, dan tumor.
Inflamasi pada nervus fasialis dapat diatasi
dengan pemberian glukokortikoid oral,
yaitu prednison 40-60mg perhari selama 10
hari dengan penurunan dosis bertahap. fika
diduga infeksi virus sebagai etiologinya, dapat
ditambahkan antiviral yaitu asildovir 400mg 5
kali sehari selama 7 hari atau valasildovir lg 3
kali sehari selama 7 hari dalam waktu 72 jam
sejak onset Untukmencegah keratitis paparan
akibat lagoftalmus dapat diberikan air mata
buatan, pelindung mata, dan penutupan mata
secara mekanik saat tidur.
Pada kasus degenerasi aksonal berat, dapat
terjadi inervasi aberan sehingga menimbulkan komplikasi sinkinesis, Sinkinesis adaiah
reinervasi serabut saraf pada organ efektor yang bukan organ efektor sebenarnya.
ada fenomena air mata buaya, yaitu
terjadinya lakrimasi ipsilateral pada saat
mengunyah. Sindrom Marin-Amat, yaitu penutupan kelopak mata ipsilateral saat membuka rahang. Seldtar 70% pasien mengalami
perbaikan dalam 1-2 bulan dan 85% di antaranya mengalami perbaikan penuh. Munculnya perbaikan motorik pada hari ke-5 atau
7 menunjukkan prognosis baik, sementara
adanya tanda denervasi pada pemeriksaan
elektrofisiologi setelah hari ke-10 menunjukkan prognosis buruk.
CONTOH KASUS
1. Wanita 49 tahun datang dengan keluhan
baal pada tangan dan kald. Pemeriksaan
klinis menunjukkan hipestesi dengan
distribusi stocking and gloves. diagnosa
diferensial yang paling mungkin pada
pasien ini adaiah
A. Neuropati diabetes, SGB, defisiensi
vitamin B12
B. Charcot-Marie Tooth, BelVs palsy, SGB.
C. Defisiensi Vitamin B12, BelVs palsy,
cubital tunnel syndrome
D. Defisiensi Vitamin B12, neuropati diabetes, cubital tunnel syndrome
E. BelVs palsy, neuropati diabetes, Charcot-Marie-Tooth
Jawaban: A.
Neuropati diabetes dan defisiensi vitamin B12 merupakan neuropati yang
dipicu oleh kondisi metabolik, sehingga kerusakan saraf akan memiliki
distribusi bergantung pada jarak (length
dependent). Demikian pula pada SGB pola
ini dipicu karena kegagalan konduksi pada saraf bagian perifer ke distal
Charco-Marie-Tooth juga memiliki distribusi pada saraf-saraf di distal, namun
sangat jarang disertai gangguan sensorik.
2. Dari soal no. 1 diketahui keadaan ini
dikeluhkan perlahan namun bertambah
baal sejak 3 tahun sebelumnya. Tidak
ada riwayat demam, diare atau flu-like
syndrome 5 hari sampai 2 minggu sebelumnya, sehingga SGB dapat disingkirkan.
Pemeriksaan laboratorium tambahan yang
dapat dilakukan pada pasien ini adaiah
A. Kadar gula darah HbAlc
B. Kadar vitamin B12
C. Serologi HSV-1
D. A dan B benar
E. Semua benar
Jawaban paling tepat adaiah D (A dan B
benar).
Pemeriksaan kadar gula darah HbAlc dan
kadar vitamin B12 untuk menyingkirkan
diagnosa diferensial neuropati diabetes
dan defisiensi vitamin B12. Walaupun
defisiensi ini dapat mudah diatasi
dengan suplemen vitamin B12, namun
pemberian terapi tanpa alasan yang kuat
tidaklah tepat. Pemeriksaan serolog
HSV-1 dapat dilakukan bila dicurigai
Bell's palsy.
3. Laki-laki usia 39 tahun datang dengan
keluhan bicara pelo, wajah tertarik ke
sisi kanan jika senyum atau tertawa,
lcelopak mata kiri tidak dapat menutup,
dan sering keluar air dari sudut mulut
saat minum. Tidak ada kelemahan
ektremitas. Kemungkinan besar pasien
ini mengalami gangguan pada:
A. Ganglia basal kanan
B. Korteks motorik wajah kanan
C. N. V perifer kiri
D. N. VII perifer kiri
E. N. XI sentral kanan
Jawaban: D.
Keluhan bicara pelo dapat dipicu oleh
paresis N. VII akibat gangguan transmisi di
sentral maupun perifer. Wajah tertarik ke
kanan dan keluar air dari sudut mulut di
sebelah kiri menunjukkan adanya paresis
di sisi kiri. Kelopak mata sebelah ldri yang
tidak dapat menutup menunjukkan bahwa
ada lesi di N. VII di perifer, bukan
sentral.
4. Dari soal no. 3 diketahui keluhan ini
dimulai sejak 3 hari yang lalu, dengan
sedikit demam disertai nyeri di belakang
telinga kiri. ada juga rasa baal di
wajah sisi kiri dan kering pada mata kiri.
diagnosa banding yang paling mungkin
untuk kasus ini yaitu :
A. Bell's palsy
B. Sindrom Guillain Barre
C. Multipel sklerosis (MS)
D. Stroke
E. Semua benar
Jawaban: A. Bell's palsy
Paresis N. VII perifer masih dapat dipicu oleh semua pilihan ini , namun
pada kasus ini yang paling tepat yaitu
Bell's palsy, yaitu didahului oleh gejala inflamasi dan bersifat akut. SGB dapat didahului oleh gejala inflamasi, namun jika terkena saraf kranial sering kali bilateral. MS
biasanya terjadi berulang dan gangguan
di sentral. Adapun stroke terjadi hiperakut dan tidak berkaitan dengan inflamasi,
serta proses yang terjadi berupa gangguan
sentral, sehingga bukan memicu
paresis N. VII perifer, melainkan sentral.
5. Dari soal nomor 3 dan 4, pemeriksaan
penunjangyang dapat dilakukan sehingga
dapat menunjukkan prognosis pasien ini
yaitu
A. Serologi darah
B. Serologi cairan serebrospinal
C. Elektroneurofisiologi
D. MRI
E. House-Brackmann
Jawaban: C.
Pemeriksaan elektroneurofisiologi (blink
reflex) dapat dilakukan mulai hari 10-14
pascaonset untuk menentukan lokasi
dan prognosis pasien Bell's palsy
SINDROM GUILLAIN-BARRE
A hm ad Y anu arSafri
PENDAHULUAN
Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan
polineuropati akut yang dipicu oleh
reaksi autoimun terhadap saraf perifer. SGB
ditandai dengan gejala dan tanda paralisis
lower motor neuron (LMN) akut disertai
disosiasi sitoalbumin pada cairan serebrospinal [CSS]. Kecuali pada varian tertentu,
perjalanan penyakit SGB bersifat monofasik.
Pada perjalanan penyakit SGB, perburukan
klinis hingga mencapai titik nadir biasanya
tidak lebih dari 28 hari. SGB merupakan
penyebab kelumpuhan LMN akut utama di
dunia setelah era eradikasi polio.
EPIDEMIOLOGI
Insidens SGB berkisar antara 0,81-1,89 kasus
per 100.000 penduduk per tahun. SGB lebih
jarang ditemukan pada anak dibandingkan
dewasa dan insidens SGB meningkat seiring
bertambahnya usia, proporsi laki-laki lebih
besar dibandingkan perempuan. Karakteristik serta variasi klinis SGB beragam di berbagai tempat. Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) lebih sering terjadi
di Amerika Utara, Arab, dan Eropa. Sementara
acute motor axonal neuropathy (AMAN) lebih
sering terjadi di wilayah Amerika Tengah,
Amerika Selatan, Banglades, Jepang, dan
Meksiko. Di negara kita , penelitian di RSUPN
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan jumlah kasus baru SGB yang dirawat di
RSCM sekitar 7,6 kasus/tahun. Penderita SGB
di RSCM terutama dewasa muda dengan rerata
usia 40 tahun dan rasio laki-laki: perempuan
yaitu 1,2:1.
PATOFISIOLOGI
Pada SGB, dua pertiga kasus didahului infeksi (antecendent infection) pada saluran
pernapasan atas atau gastrointestinal dengan
keluhan umum berupa demam (52%), batuk
(48% ), nyeri tenggorokan (39% ), pilek
(30% ), dan diare (27% ). Pada 31% kasus
SGB dapat ditemukan Campylobacter jejuni
(C, jeju n i) pada analisis fesesnya. Adanya
infeksi anteseden ini menjadi dasar patofisiologi SGB berupa proses antibodi mimikri.
Pada proses antibodi mimikri terjadi kemiripan struktur antigen patogen dengan struktur
yang ada pada dinding sel tubuh, sehingga antibodi yang dibentuk tubuh untuk melemahkan patogen ini dapat berikatan
dengan jaringan tubuh itu sendiri.
Teori ini didukung oleh beberapa penelitian,
yaitu:
Ditemukannya struktur lipooligosakarida
(LOS) pada dinding sel C. jejuni yang memiliki kemiripan dengan struktur karbohidrat penyusun membran sel saraf yang
disebut gangliosida.
Pada serum pasien SGB ditemukan antibodi terhadap gangliosida.
• Penyuntikan antibodi gangliosida pada
hewan percobaan memicu gejala
yang mirip dengan SGB.
Paparan terhadap C. jejuni dapat membuat
sel-sel imunitas tubuh menghasilkan antibodi
yang juga dapat berikatan dengan struktur
gangliosida pada membran sel saraf. Antibodi yang berikatan dengan gangliosida ini
akan memicu proses autoimun melalui mekanisme pengaktifan komplemen dan membentuk membrane attack complex (MAC)
pada membran sel Schwann pada AIDP atau
pada akson pada AMAN, sehingga menimbulkan efek neurotoksik (Gambar 1). Hal
ini dibuktikan dengan ditemukannya sel-sel
makrofag pada jaringan saraf pasien SGB
pada pemeriksaan histopatologi. Makrofag
berperan dalam reabsorbsi debris pada kedua
tipe SGB (demielinisasi dan degenerasi aksonal), namun serbukan sel limfosit hanya
ditemukan pada SGB tipe demielinisasi.
Patofisiologi sindrom Miller Fischer (SMF)
yang merupakan varian SGB sampai saat ini
masih belum jelas. Pasien SMF pada perjalanan klinisnya mengalami pemulihan sempurna dan jarang ditemukan kasus yang fetal.
Hal ini menunjukkan proses yangterjadi pada
SMF yaitu suatu proses demielinisasi dan
bukan merupakan proses degenerasi aksonal.
Patogen-patogen lain yang mampu menimbulkan reaksi-silang antibodi terhadap
gangliosida yaitu Haemophilus influenzae,
Mycoplasma pneumonia, Cytomegalovirus
(CMV), Epstein-Barr virus (EBV), dan Varicella Zoster Virus (VZV). Selain dari antecedent infection, risiko kejadian SGB juga meningkat pada adanya transfer gangliosida
parenteral, pascavaksinasi influenza H1N1,
adanya kelainan autoimun lain yang diderita
sebeiumnya, pemakaian obat-obatan imunosupresan, dan pascapembedahan.
Sampai saat ini sudah ditemukan beberapa
antibodi gangliosida dalam serum pasien SGB,
yaitu antibodi LM1, GM1, GMlb, GM2, GDla,
GalNAc-GDla, GDlb, GD2, GD3, GTla, dan
GQlb (Tabel 1).
Adanya perbedaan jenis antibodi pada berbagai tipe SGB menunjukan distribusi gangliosida berbeda* beda pada jaringan saraf perifer.
Jenis antibodi yang terbentuk dan distribusi
gangliosida menentukan tanda dan gejala
Minis yang terjadi pada SGB. Sebagai contoh,
pada GBS tipe AMAN, ditemukan antibodi terhadap GMl, GMlb, GDla, dan GalNAc-GDla
pada serum pasien. Gangliosida-gangliosida
ini terdistribusi lebih banyak ditemukan pada
aksolema nodus Ranvier serabut saraf motorik dibandingkan sensorik. Proses autoimun
lebih banyak terjadi pada serabut saraf motorik dan memicu gejala motorik yang
lebih dominan dibandingkan sensorik.
Pada serum pasien SMF ditemukan antibodi
terhadap gangliosida GD3, GTla, dan GQlb.
Gangliosida GQlb banyak terdistribusi pada
aksolema nervus okulomotor, troklearis, abdusens, serta muscle spindle, sehingga jika terjadi
reaksi autoimun terhadap gangliosida GQlb
muncul gejala klinis SMF berupa oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Gangliosida GTla
dan GQlb diekspresikan pada aksolema nervus
glosofaringeus dan vagus, sehingga dihubungkan dengan gejala disfagia ditemukan pada sebagian kasus SMF. Pada SGB tipe demielinisasi,
antibodi spesifik yang memicu kerusakan
membran sel Schwann pada selubung mielin masih belum diketahui hingga saat ini dan
membutuhkan penelitian lebih lanjut
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Pola perjalanan penyakit SGB bersifat
monofasik (Gambar 2}. Pada sebagian besar
SGB ada infeksi anteseden sebelum
munculnya defisit neurologis. Waktu antara
infeksi anteseden dan munculnya defisit
neurologis bervariasi antara 4 minggu
sampai 6 bulan. Defisit neurologis ini akan
mengalami perburukan hingga mencapai titik
nadir dalam waktu tidak lebih dari 28 hari
[4 minggu). Antibodi antigangliosida dapat
dideteksi dalam serum pasien selama proses ini dan kadarnya akan menurun seiring
dengan berjalannya waktu.
Pada SGB dapat terjadi fluktuasi defisit
neurologis dalam waktu 8 minggu sejak diberikannya imunoterapi. Hal ini masih dianggap sebagai suatu pola monofasik SGB.
Fluktuasi ini disebut sebagai fluktuasi terkait pengobatan [Guiilain-Barre syndrome
with treatment-relatedfluctuation/GBS-TRF').
Perjalanan GBS-TRF mirip dengan chronic
inflamatory demyielinating polineuropathy
(CIDP) onset akut, hanya saja progresifitas
defisit neurologis CIDP berlangsung hingga
lebih dari 8 minggu atau fluktuasi defisit
neurologis terjadi tiga kali atau lebih sedangkan fluktuasi GBS-TRF terjadi tidak
lebih dari 8 minggu sejak onset dan jarang
terjadi fluktuasi lebih dari 2 kali. Dalam
perjalanannya, fluktuasi defisit neurologis pada CIDP lebih ringan dibandingkan
GBS-TRF. Defisit neurologis pada CIDP tidak
sampai membutuhkan ventilasi mekanik,
jarang melibatkan gangguan saraf kranial,
dan gambaran pemeriksaan elektrofisiologi
proses demielinisasi, sedangkan pada GBSTRF defisit neurologis yang terjadi lebih
berat hingga sampai memerlukan ventilasi
mekanik.
Defisit neurologis SGB pada ekstremitas
dapat berupa kelemahan motorik tipe LMN,
gangguan sensorik berupa parastesia, hipestesia atau gangguan propioseptif, serta hiporefleksia maupun arefleksia. Defisit neurologis
ini dapat melibatkan nervus kranialis, terutama nervus Fasialis pada AIDP. Varian
klinis SGB lain yang melibatkan nervus kranialis yaitu SMF dengan trias gejala berupa
arefleksia, ataksia, dan oftalmoplegia.
Fase pemulihan dapat berlangsung beberapa minggu, bulan, bahkan tahun tergantung
proses patologi yang terjadi. Lesi demielinisasi
(AIDP) mempunyai prognosis yang lebih baik
dibandingkan degenerasi aksonal (AMAN).
Pemulihan pada SGB tipe demieliniasasi dan
degenerasi aksonal akan terjadi secara berangsur-angsur sesuai dengan perawatan dan
terapi yang adekuat.
ada beberapa variasi gambaran klinis
SGB berdasarkan penelitian dan laporan kasus yang ada, yaitu:
1. SGB hiperrefleks
SGB umumnya menunjukkan tanda hiporefleksia atau arefleksia, namun pada
10% kasus dapat ditemukan refleks tendon dalam yang normal atau bahkan meningkat dengan tonus otot yang normal.
Pemeriksaan imunohistokimia pada serum pasien SGB hiperrefleks menunjukkan
adanya antibodi antiGMl dan antiGDla,
dengan gambaran neurofisiologi sesuai
dengan SGB tipe aksonal
2. Pharyngeal-cervical-brachial weakness
Penegakan diagnosa SGB tipe ini didapat
dengan ditemukannya kelemahan pada
otot orofaring, leher, dan ekstremitas atas
akut yang disertai arefleksia. Kelemahan
motorilc pada ekstemitas bawah dapat
juga ditemulcan namun lebih ringan.
3. SGB paraparesis
Pada SGB paraparesis kelemahan motorik
dengan hiporefleksia atau arefleksia akut
hanya terjadi pada ekstremitas bawah
saja, sementara ekstremitas atas normal.
Berbeda dengan lesi medula spinalis,
pada SGB paraparesis level gangguan sensorik memiliki batas yang tidak tegas dan
fungsi berkemih masih normal. Analisis
pungsi lumbal serta pemeriksaan MRI
menunjukkan kesesuaian dengan SGB, sedangkan gambaran neurofisiologi sesuai
dengan SGB tipe degenerasi aksonal.
4. Kelemahan bifasial dengan parestesia
Gejala dan tanda klinis SGB tipe ini berupa
kelemahan nervus fasialis bilateral akut
tanpa disertai oftalmoplegia dan kelemahan ekstremitas. Pada tipe ini dapat juga
ditemukan parestesia dari ujung-ujung
jari. Pemeriksaan neurofisiologi lebih lanjut dapat sesuai dengan gambaran lesi
demielinisasi.
5. Oftalmoplegia/ptosis/midriasis akut
Variasi klinis sindrom SGB ini merupa-
kan bentuk manifestasi SMF inkomplet
berupa oftalmoplegia, ptosis, atau midriasis akut tanpa adanya ataksia, Pemeriksaan imunohistokimia pada serum
pasien ini menunjukkan adanya antibodi
terhadap gangliosida GQlb.
6. Neuropati ataksia akut
Bentuk SMF inkomplet lainnya yaitu
ataksia akut tanpa oftalmoplegia. ada dua bentuk manifestasi Minis tipe
ini, yaitu ataksia dengan atau tanpa tan da
Romberg positif. Pada ataksia tanpa tanda
Romberg ditemukan antibodi anti-GQlb
serum, sedangkan pada ataksia dengan
tanda Romberg ditemukan antibodi antiGDlb serum. Manifestasi Minis ataksia
ini diduga aldbat antibodi yang terbentuk
menyerang struktur muscle spindle.
1. Bickerstaffs brainstem encephalitis [BBE]
diagnosa BBE ditemukan bila ditemukan trias gejala SMF disertai gangguan
kesadaran atau hipersomnolen. BBE
merupakan variasi SMF dengan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP), terutama
pada struktur formasio retikularis. Hal
ini didasarkan pemeriksaan MRI kepala
yaitu ditemukannya penyangatan pada
11% kasus BBE dan gambaran abnormalitas perekaman EEG pada 57% kasus.
Varian lain dari BBE dengan manifestasi
inkomplet dapat berupa acute ataxic hypersomnolence.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
diagnosa
diagnosa SGB ditegakkan berdasarkan gejala
dan tanda kelemahan akut progresif pada
ekstremitas bawah dan atas disertai arefleksia atau hiporefleksia. Belum ada uji
diagnostik yang spesifik untuk SGB, namun
dapat memakai kriteria diagnostik
menurut National Institute o f Neurological
and Communicative Disorders and Stroke
(NINCDS) sebagai berikut:
Tanda minimum untuk penegakan diagnosa
1. Kelemahan progresif pada kedua lengan
dan tungkai (dapat dimulai dari ekstremitas bawah]
2. Hiporefleksia atau arefleksia
Tanda yang memperkuat diagnosa
1. Perburukan gejala yang mencapai titik
nadir kurang atau sama dengan 28 hari
(4 minggu]
2. Pola distribusi defisit neurologis yang
simetris
3. Gangguan sensorik minimal
4. Gangguan nervus kranial, terutama
kelemahan otot fasialis bilateral
5. Disfungsi saraf autonom
6. Nyeri
7. Peningkatan protein pada CSS
8. Gambaran elektrodiagnostik khas yang
sesuai dengan kriteria SGB
Tanda yang meragukan diagnosa
1. Disfungsi pernapasan berat lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas
pada awal onset
2. Gangguan sensorik lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas pada awal
onset
3. Gangguan BAK atau BAB pada awal onset
4. Demam pada awal onset
5. Defisit sensorik berbatas tegas
6. Progresivitas lambat dengan gangguan
motorik minimal tanpa keterlibatan
sistem pernapasan (iebih sesuai dengan
subacute atau chronic inflammatory demy elinating polyneuropathy)
7. Kelemahan asimetris persisten
8. Gangguan BAI< atau BAB persisten
9. Peningkatan jumlah sel mononuklear pada
cairan serebrospinal (CSS) (>50xl06/L)
10. Peningkatan sel polimorfonuklear pada CSS
Disfungsi saraf otonom sering ditemukan
hingga dua pertiga kasus SGB dengan manifestasi berupa aritmia, fluktuasi tekanan
darah, respons hemodinamik yang abnormal terhadap pengobatan, serta gangguan
miksi, defekasi dan berkeringat
Berikut pemeriksaan penunjang untuk
membantu menegakkan diagnosa SGB:
1. Kecepatan hantar saraf (KHS)
Kriteria elektrodiagnosa yang digunakan secara luas ialah kriteria dari Ho
dkk dan Hadden dkk (Tabel 2). Gambaran
dispersi temporal Iebih ditekankan oleh
Ho dkk, sedangkan konsep blok konduksi
dikenalkan kembali oleh Hadden dkk
sebagai kriteria diagnostik SGB tipe
demielinisasi. Yang dimaksud dispersi
temporal di sini yaitu ada nya pemanjangan durasi compund muscle action
potential (CMAP) proksimal Iebih dari
30% dibandingkan CMAP distal, Batasan
ini dinilai cukup sensitif dan spesifik
dalam membedakan antara dispersi temporal akibat demielinisasi dan dispersi
temporal yang terjadi secara fisiologis
pada stimulasi proksimal
Pemeriksaan KHS yang dilakukan pada
minggu pertama onset sering menunjukan
hasil yang normal atau tidak memenuhi kriteria SGB menurut Ho dkk maupun Hadden
dkk. Oleh karena itu, temuan KHS minggu
pertama ini tidak dapat dijadikan landasan
untuk menunda pemberian imunoterapi
jika sudah ada gambaran klinis yang khas
SGB. Pemeriksaan KHS pada minggu pertama
ini lebih berguna untuk menyingldrkan diagnosis banding neuropati perifer lainnya.
Pada sebagian awal perjalanan penyaldt SGB
tipe AMAN dapat ditemukan gambaran blok
konduksi pada pemeriksaan KHS. Gambaran
blok ini akan mengalami perbaikan atau menghilang dalam hitungan hari disertai peningkatan amplitudo CMAP distal dan pemendekan
latensi motor distal kembali ke nilai normal.
Pada kasus ini tidak lazim ditemukan dispersi temporal dan gelombang CMAP polifasik. Fenomena ini dikenal sebagai AMAN with
reversible conduction failure [AMAN RCF)
dan sering didiagnosa secara keliru sebagai
A1DP atau AMAN. Untuk mengurangi kesalahan interpretasi dan klasifikasi tipe SGB, maka
pemeriksaan KHS harus dilakukan secara serial minimal dua kali pada 3 saraf motorik dan
3 saraf sensorik dalam 4-6 minggu pertama.
2. Pungsi lumbal
Tindakan pungsi lumbal rutin dilakukan
pada pasien yang diduga menderita SGB
untuk menyingldrkan diagnosa banding,
dan bukan merupakan kriteria utama
penegakan diagnosa SGB. Pada analisis
CSS dapat ditemukan disosiasi sitoalbumin, yaitu ada nya peningkatan
kadar protein CSS tanpa disertai peningkatan jumlah sel. Disosiasi sitoalbumin yaitu temuan khas untuk SGB dan
dapat ditemukan pada 50% kasus pada
minggu pertama dan meningkat menjadi
75% kasus pada minggu ketiga. bila
analisa CSS normal pada SGB dengan onset kurang dari 2 minggu, maka hal ini
tidak mempengaruhi penegakan diagnosis SGB selama ditemukan tanda dan
gejala Minis yang sesuai dan tidak perlu
dilakukan pungsi lumbal ulangan.
Peningkatan jumlah sel dan protein CSS
dapat ditemukan pascaterapi imunoglobulin intravena dosis tinggi (intravenous immunoglobulin/WlG) yang diduga akibat mekanisme transudasi atau
meningitis aseptik. bila ditemukan
peningkatan jumlah sel CSS pada minggu
pertama onset gejala, maka kemungkinan
diagnosa banding lain harus lebih dipertimbangkan, seperti infeksi, neuropati
akibat human immunodeficiency virus
[HIV], limfoma, dan keganasan.
3. Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan jika
ditemukan tanda dan gejala klinis SGB
yang meragukan. Hal ini untuk menyingldrkan lesi struktural sebagai penyebab
defisit neurologis yang ada. Hasil pemeriksaan MRI pada kasus SGB yaitu murni
normal baik pada otak dan medula spinalis, walau dapat dijumpai penyangatan
pada radiks proksimal. Pada 11% kasus
BBE, dapat ditemukan adanya lesi fokal
pada T2W MRI di mesensefa Ion, thalamus,
serebelum, dan batang otak.
4. Antibodi antigangliosida
Walaupun berbagai studi mengaitkan kejadian SGB dengan antibodi seperti yang
tercantum pada Tabel 1, nilai diagnostiknya belum dapat dipastikan. Pemeriksaan ini bermanfaat, tetapi hasil negatif
tidak menggugurkan diagnosa SGB dan
pemeriksaan ini belum tersedia di sarana
pemeriksaan laboratorium sehari-hari.
diagnosa Banding
Telah disebutkan bahwa pada 10% kasus
SGB dapat ditemukan refleks tendon dalam
yang normal bahkan meningkat, oleh karena
itu pada keadaan ini adanya lesi SSP
harus disingkirkan. Gejala klinis SGB dapat
menyerupai gejala lesi medula spinalis akut
seperti mielitis tranversa, namun pada lesi medula spinalis gangguan berkemih muncul lebih
awal dan defisit sensorik yang ada mempunyai batas yangtegas.
Jika pada pasien tidak ditemukan adanya defisit sensorik, maka pertimbangkan diagnosa
banding yang mungkin ialah miastenia gravis,
periodik palalisis hipokalemia, botulisme,
poliomielitis, dan mielopati akut. diagnosa
banding untuk SMF dan kelemahan faringservikal-brakialis yaitu stroke batang otak,
miastenia gravis, dan botulisme.
pengobatan
Prinsip pengobatan SGB yaitu diagnosa
dini dan pengobatan multidisiplin yang tepat
Risiko kematian SGB mencapai 5% sebagian
besar dipicu komplikasi SGB berupa
sepsis, emboli paru, dan disautonomia.
Guillain-Barre Syndrome Disability Score
(GBS Disability Score) atau Hughes score
yaitu sistem penilaian status fungsional untuk evaluasi dan pemantauan derajat keparahan penyakit dapat dilihat pada Boks 1.
Imunoterapi dapat diberikan sejak onset
gejala neuropati pertama kali muncul. Manfaat terbaik muncul pada pemberian imunoterapi dalam 2 minggu pertama onset
pada pasien dengan GBS Disability Score >3.
Baik plasmafaresis dan imunoglobulin intravena (IV] memiliki efektifitas yang sama
dalam perbaikan kekuatan motorik pasien,
peningkatan GBS disability score, dan penurunan kebutuhan pemakaian ventilator pada
pasien dengan gagal napas.
Plasmaferesis dilakukan lima kali dalam
waktu 2 minggu dengan jumlah maksimum
pertukaran plasma sebanyak lima kali dari
volume plasma (200-250mL/kgBB). Dosis
total imunoglobulin IV yaitu 2g/kg BB diberikan dalam 5 hari, Pemberian imunoterapi pada pasien dengan gejala ringan (GBS
disability score <3} tetap dapat memberikan
manfaat namun perlu memperhitungkan
efisiensi pengobatan. Penelitian menunjukan
pemberian plasmaferesis diikuti pemberian
imunoglobulin IV memberikan hasil yang
sama dengan pemberian terapi plasmaferesis saja atau imunoglobulin saja oleh karena
itu tidak dianjurkan untuk melakukan kedua
terapi namun dipilih satu modalitas saja
plasmaferesis atau IVIG. Pemberian kortikosteroid oral maupun IV tidak memberikan manfaat pada kasus SGB.
Pemantauan fungsi paru dapat dilakukan
setiap 1-4 jam untuk meminimalkan risiko
gagal napas berupa evaluasi frekuensi serta
kedalaman napas, kapasitas vital paru-paru,
dan kemampuan refleks batuk. Indikasi
pemasangan alat bantu napas pada SGB
dapat dilihat pada Boks 2.
Pemasangan monitor kardiovaskular diperlukan dalam identifikasi dan antisipasi disfungsi autonom. Disfungsi autonom dapat
berupa bradiaritmia berat atau ada
variasi tekanan sistolik lebih dari 85mmHg.
Pada pasien ini dapat dipasang alat
pacu jantung sementara atau diberikan atropin. Gangguan miksi dapat ditatalaksana
dengan pemasangan kateter, sementara
gangguan defekasi dapat diatasi dengan
pemberian laksatif.
Nyeri merupakan manifestasi klinis yang
banyak ditemukan pada pasien sejak awal
onset sampai dengan masa pemulihan. Lokasi nyeri yaitu punggung dan ekstremitas
sesuai dengan distribusi kelemahan otot
motoriknya. Nyeri menunjukan adanya keterlibatan serabut saraf berdiameter kecil
dan saraf otonom sedangkan disestesia melibatkan serabut saraf berdiameter lebar. Tata
laksana nyeri yang dapat diberikan berupa
pemakaian obat anti nyeri neuropatik berupa
gabapentin atau karbamazepin.
PROGNOSIS
Prognosis SGB dapat ditentukan berdasarkan Erasmus GBS Outcome Score (EGOS),
dapat dilihat pada Boks 3.
EGOS ini dapat dipakai untuk menentukan probabilitas pasien SGB dapat berjalan
mandiri enam bulan setelah onset. Semaldn
besar nilai EGOS yang didapat, maka semakin
kecil kemungkinan pasien SGB dapat berjalan setelah 6 bulan dari onset. Penelitian
di RSCM Jakarta pada 24 subjek pasien SGB
yang dirawat periode Januari 2012-Desember
2014 menunjukan sebagian besar pasien
mengalami perbaikan klinis pada akhir
perawatan. Kekuatan motorik (MRC sum
score) saat masuk berada pada skor <30
(50% ) dan meningkat menjadi 50-41 pada
akhir perawatan (29,2%). GBS disability
score saat masuk 4 (aktivitas terbatas pada
tempat tidur atau kursi) 54,2% dan menjadi
skor 3 (jalan dengan bantuan) pada akhir
perawatan (37,5%).
CONTOH KASUS
Seorang anak laki-laki 11 tahun mengalami
kelemahan pada kedua tungkai disertai rasa
baal dan sulit berjalan sejak 3 minggu yang
lalu. Dua minggu sebelum mengalami kelemahan ini pasien menderita demam dan
mual selama dua hari yang membaik dengan
pemberian obat-obatan simptomatik. Pasien
tidak mengalami gangguan dalam berkemih.
Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda vital
dalam batas normal, pemeriksaan neurologis
nervus kranialis dalam batas normal.
Pada pemeriksaan motorik ditemukan adanya paraparesis dengan kelemahan otototot distal lebih berat dari proksimal dengan
poia distribusi yang hampir simetris disertai
arefleksia pada ekstremitas atas dan bawah
bilateral. Pada pemeriksaan sensorik ditemukan tanda gangguan propioseptif pada
kedua kaki pasien, sedangkan pemeriksaan
sensorik lainnya dalam batas normal. Pada
pemeriksaan KHS ditemukan gambaran pemanjangan latensi, penurunan KHS motorik,
blok konduksi, dispersi temporal pada N.
Ulnaris kiri (Gambar 3), dan pemanjangan
latensi serta penurunan KHS motorik pada
N, Tibialis (Gambar 4).
Gambaran Minis pasien diatas dikaitkan dengan ditemukannya gambaran dispersi temporal, blok konduksi, pemanjangan latensi,
dan penurunan KHS pada 2 saraf memenuhi
kriteria AIDP. Pasien mendapat terapi IV1G dengan dosis total 2g/kgBB dalam 5 hari. Pasien
mengalami perbaikan klinis kekuatan motorik
terutama pada kedua tungkai. Pasien dapat
berjalan tanpa bantuan satu minggu setelah
pemberian IVIG, namun hasil pemeriksaan
KHS uiang belum menunjukan perubahan
yang berarti. Hal ini dapat dijumpai sehari-hari
di mana perbaikan klinis mendahului perbaikan hasil pemeriksaan kecepatan hantar
saraf.
RADIKULOPATI
Luh Ah Indrawati, Winnugroho Wiratmcm, Ahmad Yanuar Safri,
Fitri Octaviana, Manfaluthy Hakim
PENDAHULUAN
Radikulopati atau gangguan pada radiks
merupakan salah satu penyebab nyeri leher
dan punggung bawah dan merupakan rujukan terbanyak ke laboratorium elektrodiagnosis. Nyeri leher dan punggung bawah sendiri merupakan salah satu keluhan yang sering
ditemui dalam praktekldiniksehari-hari.
ANATOM!
Radiks merupakan salah satu bagian dari
saraf tepi yang sering mengalami gangguan
karena letak anatomisnya yang dikelilingi
struktur yang kompleks. Radiks merupakan
bagian dari sistem saraf tepi yang keluar dari
kornu anterior dan posterior medula spinalis..
Radiks yang keluar dari komu anterior disebut
radiks anterior/ventral yang terdiri dari serabut motorik sedangkan radiks yang keluar dari
kornu posterior disebut radiks posterior/dorsal yang terdiri dari serabut sensorik. Radiks
dorsal memiliki badan sel yaitu ganglion radiks
dorsalis yang terletak di luar medula spinalis.
Badan sel radiks anterior ada di komu anterior medula spinalis.
Radiks yang keluar dari medula spinalis pertama kali masih berada di dalam kanalis spinalis lalu setelahnya akan melalui foramen
neural yang terbentuk di antara dua vertebra
yang berdekatan. Kanalis spinalis merupakan kanal yang terbentuk di antara vertebra
yang berdekatan. Kanalis spinalis dibatasi
oleh ligamentum flavum dan lamina pada sisi
posterior, diskus intervertebralis, dan korpus
vertebra pada sisi anterior, dan pedikel pada
sisi anterolateral (Gambar 1}.
Foramen neural dibatasi oleh pedikel pada sisi
anterior, diskus intervertebral dan korpus vertebra pada sisi anterior dan sendi faset pada
sisi posterior. Di dalam foramen neural melintas radiks, nervus meningeal rekuren, dan
pembuluh darah radikular.
Radiks berjumlah 31 pasang yang terdiri
dari 8 radiks servikal, 12 radiks torakal, 5
radiks lumbal, 5 radiks sakral, dan 1 radiks
koksigis. Radiks servikal 1 hingga 7 keluar
di atas vertebra servikal yang bersesuaian
sedangkan radiks servikal 8 keluar di antara
vertebra servikal 7 dan vertebra torakal 1.
Hal ini dipicu jumlah vertebra
servikal yaitu 7 sedangkan jumlah radiks
servikal yaitu 8. Selanjutnya radiks keluar
di bawah vertebra yang bersesuaian. Pada
manusia dewasa, medula spinalis berakhir
pada batas bawah vertebra LI dan membentuk konus medularis. Kauda ekuina keluar
dari bagian konus medularis. Kauda ekuina
kemudian secara gradual terpisah menjadi
radiks lumbosakral (Gambar 2}.
Radiks bercabang menjadi ramus dorsalis dan
ventralis. Ramus dorsalis menginervasi otot
paraspinal dan kulit di area paraspinal. Ramus
ventralis radiks C5-C8 membentuk pleksus
brakialis yang menginervasi ekstremitas atas.
Ramus ventral radiks Thl sebagian membentuk pleksus brakialis bersama-sama dengan
ramus ventralis radiks C5-C8 dan sebagian
membentuk nervus interkostalis 1. Ramus
ventralis radiks Th2-Th6 membentuk nervus
interkostalis dan ramus ventralis radiks Th7-
12 membentuk nervus torakoabdominal. Nervus interkostalis berjalan mengitari lengkung
dada di antara otot interkosta dan bercabang
menjadi cabang kutaneus lateral dan medial.
Nervus torakoabdominal bercabang menjadi
cabang kutaneus lateral dan medial serta menginervasi otot dinding abdominal (Gambar 3).
Radiks lumbosakral membentuk kauda ekuina.
Kauda ekuina berjalan di dalam kanal spinal
dalam ruang subaraknoid sebelum akhirnya
keluar dari foramen neural di bawah vertebra
yang bersesuaian. Kanal spinal lebih panjang
dari medula spinalis sehingga ada perbedaan level medula spinalis dan vertebra
seldtar 2 segmen pada level torakal dan 3
segmen pada level lumbosakral.
Secara mikroskopik, radiks memiliki perbedaan dengan saraf perifer lainnya. Radiks tidak
memiliki epineurium, perineurium, dan lebih
sedildt kolagen pada endoneuriumnya. Hal
ini memicu kekuatan tensil radiks
jauh lebih rendah dibandingkan bagian saraf
tepi lainnya dan mudah mengalami avulsi.
Tidak adanya perineurium yang berfungsi
sebagai sawar memicu radiks rentan
mengalami serangan infeksi dan inflamasi.
Dalam pembahasan mengenai radikulopati
perlu dipahami istilah miotom dan dermatom. Miotom yaitu otot-otot yang diinervasi oleh satu segmen spinal. Dermatom
yaitu area kulit yang diinervasi oleh satu
segmen spinal (Gambar 4). Setiap otot diinervasi oleh beberapa segmen spinal yang
berdekatan dan setiap dermatom mengalami tumpang tindih dengan dermatom yang
berdekatan (Tabel 1].
EPIDEMIOLOGI
Radikulopatl servikal lebih banyak terjadi
pada perempuan dengan rasio perempuan
dan laki-laki yaitu 7:1. Rochester menyebutkan angka kejadian tahunan berkisar 83,2 per
100,000 penduduk dan puncaknya pada usia
50-54 tahun dengan angka kejadian 202,9 per
100.000 penduduk. Studi klinis dan radiologi
menunjukkan keterlibatan mayoritas pada
radiks C7 (70%), diikuti C6 (19-25%], C8 (4-
10%), dan C5 (2%) kasus. Radikulopati lumbosakral akibat herniasi diskus melibatkan
terutama radiks L4-5 (55%), L5-S1 (43%),
dan L3-4 pada 2% kasus.
Etiologi
Radikulopati dapat dipicu oleh lesi
traumatik dan nontraumatik (Tabel 2). Lesi
traumatik dapat bersifat langsung pada
radiks [direct] maupun tidak langsung (indirect) akibat trauma pada struktur di sekitarnya, sehingga terjadi disrupsi mekanik
baik berupa regangan atau kompresi radiks.
Lesi nontraumatik dapat berupa lesi struktural yang memicu kompresi dan lesi
inflamasi atau infiltratif, sehingga terjadi
kerusakan radiks melalui mekanisme iskemik, perubahan metabolik, dan sebagainya.
Contohnya yaitu lesi degeneratif, infeksi,
neoplasma, metabolik, dan vaskular.
Etiologi radikulopati servikal terutama meliputi protrusi diskus (22%) dan 68% akibat
spondilosis, abnormalitas disltus, atau keduanya. Berbagai etiologi radikulopati ini
pada akhimya akan memicu demielinasi
dan atau degenerasi aksonal yang gambarannya akan tampak pada pemeriksaan elektrodiagnosa .
PATOFISIOLOGI
Radikulopati dapat dipicu oleh proses
penjepitan (entrapment), kompresi, transeksi, infiltrasi, dan iskemia. Kompresi
merupakan mekanisme radikulopati yang
paling sering. Secara struktural, radiks memiliki lebih sedikit kolagen endoneurium,
tidak memiliki epineurium, dan aksonnya
dilindungi lebih sedikit jaringan lemak serta
jaringan penyambung, sehingga kemampuan tensilnya menurun dan rentan terhadap kompresi serta regangan. Tidak adanya
perineurium pada radiks sebagai sawar
darah-saraf memicu radiks rentan terhadap invasi mediator inflamasi dan agen
infeksi.
Kerusakan saraf yang terjadi dapat berupa
demielinasi atau degenerasi aksonal (pada
derajat kerusakan yang lebih berat). Klasifikasi derajat kerusakan saraf berdasarkan
klasifikasi Sheddon dan Sunderland serta
kemungkinan pemulihannya dibahas lebih
lanjut pada bab pleksopati.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
diagnosa radikulopati ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (pencitraan dan elektrodiagnosa ). Penilaian gejala klinis berupa
adanya nyeri, distribusi gangguan sensorik,
kelemah-an otot, serta penurunan refleks fisiologis (Tabel 3).
Radikulopati ditandai dengan nyeri radikular
atau parestesi yang menjalar sesuai dengan
distribusi dermatomalnya. Nyeri daerah servikal terasa dari leher atau punggung atas
ke bahu atau lengan hingga tangan. Pada
level torakal nyeri radikular menjalar dari
dinding posterior dada dan punggung ke
arah anterior, terasa seperti terikat. Nyeri
radikulopati lumbosakral biasanya menjalar hingga area di bawah lutut.
Distribusi area yang mengalami abnormalitas sensorik sesuai dengan dermatom radiks
yang terlibat, tetapi batasnya tidak jelas dan
biasanya tidak berat karena area sensorik
antar radiks yang berdekatan saling tumpang
tindih. Hal ini berbeda dengan lesi
saraf terminal yang abnormalitas sensoriknya
berat dan dapat dilokalisasi dengan tepat.
Demikian pula keterlibatan motorik terbatas pada otot-otot yang diinervasi oleh
radiks yang terlibat (miotom yang sama).
Radikulopati torakal dapat diidentifikasi
dengan menginstruksikan pasien untuk
melakukan gerakan sit-up sehingga otot
abdomen atau interkostal yang lemah akan
tampak menonjol. Kelemahan pada radikulopati biasanya juga tidak be rat, karena satu
otot diinervasi oleh 2-3 radiks. Otot triseps
tidak mengalami paralisis akibat radikulopati C7, karena masih mendapat inervasi
dari radiks C6 dan C8. Refleks tendon dalam
akan menurun pada radikulopati sesuai
dengan inervasi radiks pada tendon yang
diperiksa. Tabel 3 membantu untuk mengidentifikasi radiks yang terlibat
iber: Misulis KE, dkk. Bradley's neurology in clinipractice. 2016. h. 332-41.
rikut beberapa manuver pemeriksaan
k dapat membantu mendiagnosa radiopati:
Manuver Valsava
Manuver valsava dapat mengeksaserbasi
nyeri radikular dan parestesia yang menjalar. Manuver valsava memicu
peregangan pada duramater pada titik
kompresi intraspinal.
Tes Lhermitte
Dilakukan dengan cara melakukan fleksi
pada leher (Gambar 5). Respons positif
berupa parestesia yang menjalar sepanjang vertebra servikal atau menjalar ke
ekstremitas atas yang simtomatik. Hal
ini mengindikasikan disfungsi kolumna
posterior medula spinalis yang dapat
dipicu oleh kompresi karena spondilosis, massa dalam kanal spinal, atau
proses intramedular,
3. Tes Spurling (Manuver Kompresi
Leher atau tes Kompresi Foramen)
Dilakukan dengan cara mengeskstensi
leher, merotasi leher ke arah yang simtomatik, dan melakukan penekanan ke
bawah pada kepala. Gerakan ekstensi
akan memicu penonjolan [bulging]
diskus ke arah posterior, sedangkan gerakan fleksi lateral dan rotasi menyebabkan penyempitan foramen neural (Gambar 6). Respons positif berupa nyeri atau
parestesi yang menjalar ke ekstremitas
atas, namun jika muncul responsnya,
segera hentikan manuver ini . Tes
ini bersifat spesifik tetapi tidak sensitif.
4. Upper Limb Tension Test
Tes ini didesain untuk meregangkan
radiks yang terlibat sehingga mengeksaserbasi gejala radikular.
5. Shoulder Abduction R elief Sign (Tes
Abduksi Bahu)
Dilakukan dengan cara mengangkat
lengan yang simtomatik ke atas lalu meletakkannya di atas kepala. Manuver ini
bersifat terapeutik dan diagnostik untuk
radikulopati servikal segmen bawah,
oieh karena memicu pembukaan
foramen yang terlibat dan mendekompresi radiks sehingga meredakan gejala
radikular pasien.
6. Tes Distraksi Leher
Tes ini dilakukan dengan cara memosisikan pasien dalam posisi supinasi, lalu
melakukan traksi perlahan pada vertebra
servikal (dengan kekuatan hingga 30pon).
7. Tes Laseque {Straight Leg Raising
Test/SLR)
Dilakukan ekstensi pada sendi panggul
dalam keadaan ekstensi lutut, sehingga
terjadi regangan radiks (Gambar 7a).
Hasil tes dikatakan positif jika ada
nyeri pada ekstremitas bawah saat ekstensi <70° menunjukkan etiologi nonorganik. ada beberapa derajat hasil
positif pada tes ini, yaitu sensasi kencang
pada otot ekstremitas bawah ipsilateral
(signifikansi terendah), nyeri di punggung
bawah (signifikansi moderate), nyeri radikular (signifikansi tinggi], dan bahkan
gangguan sensorik pada distribusi radiks
yang terlibat.
ada beberapa modifikasi tes SLR,
yaitu:
Fenomena Bonnet; dilakukan dengan
tambahan gerakan aduksi dan rotasi
internal tungkai atas dan bawah.
Bragard’s sign-, modifikasi dengan
menambahkan gerakan dorsofleksi
kaki (Gambar 7b).
Sicard'ssign dengan menambahkan
gerakan dorsofleksi ibu jari kaki.
Hyadman's sign, yaitu timbul nyeri
saat manuver SLR kemudian dilakukan fleksi panggul dan fleksi leher.
8. Reversed SLR Test atau Ely’s Test atau
Tes Tegangan Femoral
Dilakukan dengan acara memosisikan
pasien dalam posisi pronasi, lalu pemeriksa
mengangkat ekstremitas bawah dalam keadaan lutut ekstensi, untuk meregangkan
radiks lumbal atas. Hasil dikatakan positif
jika timbul nyeri pada punggung bawah
atau nyeri radikular.
9. Crossed Straight le g Raising Test
(Tanda Fajersztajn)
Tes ini dikatakan positif jika saat melakukan manuver Laseque timbul nyeri pada
ekstremitas kontralateral.
10. Tanda Kernig
Tes ini dilakukan dengan cara memfleksikan sendi panggul pada posisi
90° lalu mengekstensikan sendi lutut
hingga 135°.
Pemeriksaan fisik lainnya yang diperlukan
yaitu observasi posisi tubuh pasien, deformitas pada vertebra, spasme otot paraspinal, dan nyeri tekan area vertebra-paravertebra.
Radikulopati memerlukan evaluasi lebih
lanjut segera jika ditemukan tanda bahaya,
yaitu ada riwayat keganasan, ada
penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan, keadaan imunosupresi kronik,
infeksi saluran kemih, atau lainnya, riwayat
penyalahgunaan obat-obat intravena, usia
di atas 50 tahun, demam, nyeri yang tidak
membaik dengan istirahat, riwayat trauma
yang signifikan, pemakaian steroid jangka
panjang, retensi urin akut atau inkontinensia urin overflow akut, inkontinensia fekal,
penurunan tonus sfingter anal, saddle anesthesia, dan kelemahan pada ekstremitas.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan meliputi Rontgen, CT scan, atau MRI vertebra,
dan kecepatan hantar saraf-elektromiografi
[Tabel 4], Rontgen vertebra dilakukan anteroposterior dan lateral untuk mengevaluasi
keseluruhan alignment vertebra dan adanya
perubahan (spondilosis). Rontgen vertebra
pada posisi fleksi lateral dan ekstensi dapat
mengevaluasi instabilitas vertebra.
diagnosa Banding
diagnosa banding radikulopati meliputi
lesi pleksus, saraf terminal (misalnya entrapment neuropathy), dan medula spinalis. Pada entrapment neuropathy pada
bagian distal saraf terminal, kadang dapat
memberikan gejala yang menjalar hingga ke
bagian proksimal menyerupai radikulopati,
namun tanpa nyeri di bahu atau punggung.
Pada carpal tunnel syndrome, nyeri bermula
dari pergelangan tangan hingga ke lengan
bawah, lengan, dan bahu (jarang).
pengobatan
pengobatan radikulopati meliputi pengobatan
simtomatik berupa pemakaian analgetik nonnarkotik, hindari aktivitas provokatif, dan atasi
kausatif sesuai sesuai etiologinya, antara lain:
1. Radikulopati Servikal Akut
pengobatan meliputi menghindari aktivitas proaktif, pemakaian analgesik
nonnarkotik. Inaktivitas berkepanjangan
dan manipulasi spinal tidak direkomendasikan bila ada tanda kompresi
medula spinalis atau herniasi diskus
yang berat. Traksi servikal dapat dilakukan pada radikulopati aldbat stenosis
foramen neuronal oleh patologi faset atau
osteofit uncovertebral Pada radikulopati
akut akibat protrusi diskus atau spondilosis dapat diberikan kortikosteroid
dosis tinggi dengan penurunan cepat,
misalnya prednison 60-80mg per hari
selama 5-7 hari. Radikulopati akut dengan
defisit neurologis selain gangguan sensorik berpotensi memicu disabilitas yang berat, sehingga perlu dilakukan
eksplorasi etiologi segera pada fase awal
dengan MRI.
2. Radikulopati Servikal Kronik dan
Nyeri Leher Kronik
Jika gejala radikulopati >4 minggu disertai dengan defisit neurologis yang
me-netap atau progresif maka perlu dilakukan evaluasi ulang dan pengobatan .
Modalitas pengobatan yang dapat dilakukan meliputi:
- Terapi fisik untuk memperbaiki postur tubuh
- Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)
- Traksi servikal
- Injeksi kortikosteroid atau kombinasi
kortikosteroid dan agen anestesi epidural
- Blok radiks selektif untuk diagnostik
dan terapeutik pada level servikal
dan lumbosakral
- Injeksi kortikosteroid intraartikular
pada sendi faset
- Neurotomi radiofrekuensi perkutaneus cabang medial ramus dorsalis
servikal yang menginervasi sendi faset
3. M anajemen Bedah pada Gangguan
Spinal Servikal
Intervensi bedah kemungkinan besar
dilakukan pada kasus-kasus dengan defisit neurologis yang jelas atau progresif,
nyeri refrakter, adanya lesi struktural
sesuai dengan gejala ldinis, dan tanda
mielopati. Manajemen bedah yang dilakukan tergantung pada patologi penyebab,
antara lain disektomi, laminektomi, dan
foraminotomi.
4. Herniasi Diskus Lumbosakral
Secara umum pada 4-6 minggu awal dilakukan pengobatan konservatif kemudian dipertimbangkan pengobatan bedah
jika tetap simtomatik setelah 6 minggu.
pengobatan konservatif meliputi medikamentosa, terapi fisik, biofeedback, pemasangan korset lumbal, TENS dan akupuntur.
Pilihan medikamentosa dapat berupa obat
anti inflamasi nonsteroid (OAINS), pelema;
otot, atau analgetik opioid. Obat-obatar
untuk nyeri neuropatik meliputi golongar
antikonvulsan (gabapentin, pregabalin), serotonin-specific reuptake inhibitors (SSRI)
atau antidepresan trisiklik (lebih lengkap
di bab Nyeri Neuropatik).
Injeksi steroid dan obat anestesi epidurai
dapat diberikan jika medikamentosa ora]
tidak efektif. Kortikosteroid sistemik
secara umum tidak direkomendasikan untuk meredakan nyeri. Tata laksana bedah perlu dilakukan segera jika
ada defisit motorik progresif dan
sindrom kauda ekuina akut. Demikian
juga indikasi relatif pada nyeri yang tidak
terkontrol dengan medikamentosa. Intervensi bedah dapat berupa laminektomi,
disektomi, eksisi diskus artroskopik, dan
fusi spinal.
5. Stenosis Lumbalis
Manajemen konservatif stenosis lumbal secara umum sama dengan herniasi
diskus. Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi laminektomi, fasetektomi, foraminotomi, dan laminotomi. Pada
dekompresi yang luas, adanya skoliosis
degeneratif, kifosis, atau spondilolistesis
memerlukan tambahan stabilisasi spinal.
6. Herniasi Diskus Torakal
pengobatan konservatif secara umum
sama dengan herniasi diskus. Dekompresi bedah diperlukan jika ada tanda kompresi medula spinalis atau terapi
konservatif tidak efektif.
7. Spondilosis Torakal
pengobatan bedah diindikasikan apabiIa ada stenosis kanalis yang menye-
babkan mielopati, keterlibatan radiks T1
yang memicu kelemahan motorik
tangan atau tidak efektifnya pengobatan
konservatif.
PLEKSOPATI
Pleksopati yaitu suatu kelainan akibat
gangguan pada jaringan saraf secara langsung mulai dari radiks saraf hingga saraf
terminal, atau secara tidak langsung akibat
kelainan pada jaringan sekitarnya, seperti
pembuluh darah, pembuluh limfe, otot,
dan tulang. Kelainan ini dapat terjadi pada
pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral,
sehingga disebut sebagai pleksopati brakialis dan pleksopati lumbosakral. Gejala Minis utama yang muncul yaitu rasa nyeri,
kelemahan motorik, serta gangguan sensorik
dan autonom.
Otot yang mengalami kelemahan dan distribusi daerah kesemutan tergantung bagian
pleksus yang terlibat. Pemulihan pada lesi
ini bervariasi, lesi ringan dapat terjadi pemulihan spontan atau memicu gangguan
fungsional yang ringan, namun pada lesi berat
dapat memicu kecacatan.
EPID E M IO L O G I
Lesi pleksus brakialis meliputi 10% dari lesi
saraf perifer dan kira-kira 14% lesi neurologis di anggota gerak atas yaitu akibat lesi
pleksus brakialis. Penyebabnya beragam
dan trauma merupakan penyebab tersering
karena letaknya di daerah leher dan bahu
yang sering bergerak.
ANATOM!
Anatom! Pleksus Brakialis
Pleksus saraf tepi berawal dari radiks ventralis dan dorsalis yang berasal dari medula spinalis. Radiks dorsalis memiliki ganglion yang
ada neuron sensorik di dalamnya. Ke
arah perifer kedua radiks ini menyatu menjadi
N. Spinalis yang akan menjadi cabang ramus
dorsalis dan ramus ventralis yang kemudian
beranyam membentuk pleksus (Gambar 1).
Pleksus brakialis merupakan serabut saraf
yang berasal dari ramus radiks ventralis
saraf C5-T1. Radiks C5 dan C6 bergabung
membentuk trunkus superior, C7 mejadi
trunkus medial, serta C8 dan T1 bergabung
membentuk trunkus inferior. Trunkus berjalan melewati klavikula dan membentuk divisi anterior dan posterior.
Divisi posterior dari masing-masing trunkus
tadi akan membentuk fasikulus posterior. Divisi anterior dari trunkus superior dan media
membentuk fasikulus lateral. Divisi anterior
dari trunkus inferior membentuk fasikulus
medial. Kemudian fasikulus posterior membentuk N. Radialis dan N. Aksilaris, Fasikulus
lateral terbagi dua yaitu cabang yang satu
membentuk N. Muskulokutaneus dan cabang
lainnya bergabung dengan fasikulus media
untuk membentuk N. Medianus. Fasikulus
media terbagi dua yaitu cabang pertama
yang membentuk N. Medianus dan cabang
lainnya menjadi N. Ulnaris. (Gambar 2).
Pleksus brakialis terdiri dari:
1. Lima radiks
2. Tiga trunkus: superior, medial, dan inferior
3. Enam divisi: yang terbagi berdasarkan
posisi dari klavikula menjadi anterior
dan posterior, masing-masing 3 divisi
4. Tiga fasikulus/korda: lateral, posterior,
dan medial
5. Lima cabang terminal sebagai saraf: N.
Muskulokutaneus, N. Radialis, N. Medianus, N. Aksilaris, dan N. Ulnaris
Ramus dan trunkus terletak di supraldavikular, ada 2 saraf berasal dari ramus
(N. Frenikus dan N. Dorsoskapularis) dan
2 saraf dari trunkus superior (N. Supraskapularis dan N. Subklavius]. Divisi terletak
posterior terhadap klavikula. Divisi anterior
memberi inervasi pada otot fieksor, dan divisi poster