neurologi 22












 trophoresis (IFEJ.

Pemeriksaan toleransi gula 2 jam 

pascapuasa lebih sensitif dibandingkan 

dengan pemeriksaan hemoglobin Ale 

(HbAlc) dan gula darah puasa. Oleh karena 

itu pemeriksaan ini perlu dipikirkan jika 

pemeriksaan awal normal. Defisiensi vitamin B12 merupakan penyebab neuropati 

yang mudah diterapi. Di negara kita  karena

pemeriksaan ini lebih mahal dibandingkan 

obatnya, maka pemeriksaan ini jarang dilakukan.

Jika dicurigai suatu neuropati demielinisasi, pertimbangkan untuk memeriksa 

anti-myelin-associated glycoprotein (antiMAG]. Jika dicurigai suatu multifocal motor neuropathy (MMN) pertimbangkan 

pemeriksaan anti-GMl. Pada varian SGB 

diperiksakan antiGQlb, antiGMl, dan 

antiGD-la. Untuk kecurigaan etiologi infeksi sistemik/gangguan imunitas, perlu 

dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal. Pasien perokok rentan terhadap 

keganasan. Jika didapatkan neuropati 

sensorik pada perokok, pertimbangkan 

pemeriksaan antibodi antiHu, yang berhubungan dengan neuropati paraneoplastik.

Pemeriksaan genetik merupakan pemeriksaan lanjutan jika dicurigai neuropati 

herediter secara klinis ditunjang dengan 

ldasifikasi menurut elektrodiagnostik. 

Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan 

lebih efisien secara bertahap dimulai 

dari kecurigaan klinis paling besar dan 

paling sering terjadi.

C O N TO H -C O N T O H N E U R O P A TI

1. Inherited Peripheral N europathy/

Charco t-Marie-Tooth

Salah satu etiologi neuropati perifer 

yaitu  mutasi genetik yang diturunkan 

dari orang tua ke anaknya. Neuropati 

herediter [inherited neuropathy) sering 

disebut dengan penyakit Charcot-MarieTooth (CMT), Nam a ini diberikan sebagai 

penghormatan tiga orang yang pertama 

kali mendeskripsikan penyakit ini pada 

tahun 1886. Sebagian besar CMT meru- 

pakan neuropati motorik dan sensorik, 

oleh karena itu sering juga disebut 

dengan hereditary motor and sensory

neuropathy (HMSNJ.

CMT dibagi menjadi dua: CMT1 yang memiliki patologi hypertrophic demyelinating neuropathy dan ada  perlambatan 

KHS (<38m/s pada ekstremitas atas); dan 

CMT 2 yang memiliki patologi degenerasi 

aksonal dengan KHS yang relatif normal.

Untuk mendiagnosa  pasien neuropati 

herediter kadang cukup mudah. Jika pasien 

memiliki kelemahan ektremitas bagian 

distal disertai hilangnya fungsi sensorik, 

pes cavus, pemeriksaan KHS dengan 

hasil melambat, dan riwayat keluarga 

yang cukup kuat, maka pasien ini 

kemungkinan dapat menderita CMT. Di 

sisi lain, mungkin saja neuropati herediter 

muncul sebagai de novo atau baru muncul 

ketika dewasa.

Pada CMT ada  44 lokus di 50 gen 

yang dapat bermutasi yang menyebabkan kelainan ini, sehingga gejala klinisnya cukup kompleks dengan pola yang 

bervariasi membuat tes genetik menjadi mahal. Pemeriksaan genetik yang 

efisien dapat dilakukan dengan memilah 

kemungkinan jenis CMT berdasarkan 

pemeriksaan elektrodiagnostik.

2 . N e u ro p a ti D ia b e te s

Diabetes melitus [DM] merupakan salah 

satu penyebab terbanyak neuropati perifer di dunia. Lebih dari setengah pasien 

diabetes mengalami neuropati, dan 

setengah orang yang memiliki neuropati 

yaitu  pasien diabetes.

Perubahan patologi saraf yang paling besar pada neuropati diabetes terjadi pada 

serabut saraf perifer di distal, namun 

kerusakan ini dapat juga terjadi 

pada proksimal, baik di ganglion radiks 

dorsalis ataupun di kornu anterior. ada  beberapa teori mekanisme penyebab neuropati diabetes, antara lain 

gangguan vaskular, hipotesis metabolik, 

perubahan sintesis protein dan transpor 

aksonal, serta mekanisme imunologi, 

Berbagai mekanisme ini memicu  

bentuk-bentuk neuropati yang beragam 

pula, baik neuropati sensorik, otonom, 

fokal, multifokal, simetrik, maupun polineuropati.

Gangguan vaskular diprediksi dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh 

darah mikro dan memicu  iskemia 

pada vasa neuronum. Berbagai peneiitian 

teiah mendukung teori ini, mulai dari studi 

in vitro, in vivo pada tikus, serta otopsi 

dan biopsi pada N. Suralis. Studi pada 

tikus STZ-diabetes menunjukkan penurunan oksigenasi jaringan dan peningkatan 

resistensi vaskular. Lesi multifokal pada 

jaringan biopsi dan otopsi manusia juga 

konsisten dengan teori bahwa diabetes 

memicu  iskemik pada jaringan 

saraf perifer.

Hipotesis metabolik tentang hiperglikemia berdasarkan studi retrospektif yang 

menyatakan bahwa komplikasi neuropati pada diabetes yang lebih dini dan 

lebih berat berhubungan dengan kontrol glikemik yang buruk. Di sisi lain, 

acute painful diabetic neuropathy juga 

membaik dengan penurunan berat badan 

dan kontrol glikemik yang baik. Hal ini  sangat mungkin terjadi karena pada 

kondisi hiperglikemia, perubahan sintesis 

protein dan transpor aksonal akan mengganggu transpor makromolekul dari akson 

di distal kembali ke zona perinuklear 

untuk didaur ulang. Gangguan ini menyebabkan degenerasi aksonal di distal.

pengobatan  neuropati diabetik sangat 

beragam. Oleh karena sifatnya yang 

sistemik, maka pengobatan  yang dilakukan harus menyeluruh tidak berhenti 

sampai pengobatan saja, namun juga 

evaluasi sepanjang perjalanan penyakit. Pasien diabetes perlu dinilai sensibilitas daerah distal. Pasien yang tidak 

dapat merasakan tes monofilamen lOg 

kemungkinan memiliki diagnosa  polineuropati distal simetrik dan cenderung 

akan mengalami ulserasi pada telapak 

kakinya. Oleh karena itu pasien perlu dilakukan tindakan pencegahan dengan edukasi serta pemakaian  alas kaki yang sesuai, 

atau dirujukke ahli kaki {podiatrist}.

Pasien diabetes juga rentan terhadap 

gangguan saraf otonom. Jika ada  

riwayat hipotensi ortostatik, presinkop, 

dan hasil pemeriksaan EKG-treadmill

menunjukkan gambaran intoleran, kemungkinan pasien mengalami cardiac

dysautonomia. Keadaan ini dapat meningkatkan risiko kematian menjadi 

2 sampai 5 kali lipat, antara lain akibat 

painless myocardial infarct jika pasien 

mengalami kelelahan yang hebat dan 

tiba-tiba disertai kulit yang pucat, mual, 

kebingungan, sesalc napas, atau batuk.

Disfungsi ereksi sebagai salah satu 

gangguan otonom dapat terjadi pada 

pasien DM. Jika didapatkan disfungsi

ereksi maka tidakmenutup kemungkinan 

ada  penyakit kardiovaskular lainnya 

yang terkait dengan gangguan otonom. 

Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi 

jantung menyeluruh pada pasien DM 

dengan gangguan disfungsi ereksi.

Diabetes juga meningkatkan risiko berbagai jenis neuropati lainnya. Diabetes 

meningkatkan risiko reaktivasi herpes 

zoster dan painful thoracic radiculopathy.

Baal kedua tangan pada pasien diabetes 

juga masih sangat mungkin karena CTS 

atau carpal tunnel syndrome bilateral.

pengobatan  neuropati diabetes yaitu  

dengan kontrol gula darah yang baik 

mendekati normoglikemia atau kadar 

HbAlc dipertahankan di bawah 7%. Bila 

ada  nyeri, maka obat simptomatik 

pilihan diantaranya yaitu  gabapentin, 

pregabalin, karbamazepin, maupun okskarbazepin. Obat-obat antinyeri neuropatik ini dapat dikombinasikan dengan 

obat anti inftamasi nonsteroid (OA1NS), 

analgesik lainnya, ataupun antidepresan. 

Namun perlu diingat karena DM yaitu  

penyakit sistemik, interaksi obat dan 

fungsi ginjal perlu diperhatikan sebelum 

terapi diberikan.

3. BeIVs Palsy

Merupakan kelainan saraf fasialis tipe 

perifer idiopatik dan penyebab terbanyak 

lesi nervus fasial unilateral yang dapat 

mengenai semua jenis kelamin dan usia. 

Prevalensinya sekitar 23 per 100.000 

penduduk dan diperkirakan meningkat 

pada pasien DM, hipertensi, serta ibu 

hamil masa perinatal. 

Walaupun Bell's palsy diperkirakan 

idio-atik, namun sebenarnya kurang 

tepat karena studi mengaitkannya dengan 

infeksi herpes simplex virus (HSV)-1. Pada 

autopsi kasus ini, HSV-1 dapat diisolasi 

dari ganglion genikulatum serta terdeteksi 

pada cairan endoneurium sebagian besar pasien dibandingkan dengan kontrol 

sehat. Pada sindrom Ramsay-Hunt dapat 

diisolasi virus varicella zoster.

Pada Bell's palsy terjadi inflamasi yang menyebabkan demielinisasi segmental, bahkan dapat terjadi kerusakan aksonal, sehingga terjadi kelainan nervus fasialis tipe 

perifer yang mencapai maximal dalam 

48-72 jam pascaonset. Abnormalitas dapat 

terjadi pada lokasi sepanjang perjalanan 

nervus fasialis sejak keluar dari inti nervus 

fasialis di pons hingga serabutterminalnya 

yang menginervasi efektor, Lokasi lesi terbanyak di bagian proksimal kanalis fasialis

yang merupa-kan tempat tersempit

Nyeri pada area belakang aurikular 

dapat muncul 1-2 hari sebelum onset 

Level kerusakan nervus fasialis menentukan manifestasi klinis yang muncul. Nervus fasialis memiliki bagian motorik dan 

sensorik (Gambar 2), maka gangguannya 

dapat berupa kelumpuhan otot fasialis 

ipsilateral (muskulus frontalis, orbikularis okuli, bucinator, orbikularis oris, dan 

platisma], penurunan lakrimasi ipsilateral, hiperakusis (muskulus stapedius] 

ipsilateral, penurunan sali-vasi ipsilateral, 

dan penurunan indera pengecap ipsilateral pada duapertiga anterior lidah (rasa 

manis, asam, dan asin). Pada beberapa 

kasus juga dapat disertai hipestesi pada 

satu atau lebih cabang nervus trigeminal. 

Derajat kelumpuhan nervus fasialis dinilai memakai  sistem grading HouseBrackmann yang membagi manifestasi 

Idinis menjadi 6 derajat (Tabel 2) 

diagnosa  Bell's palsy ditegakkan secara 

klinis. Pada pemeriksaan MRI dengan kontras, didapatkan penyangatan nervus fasialis 

yang merepresentasikan inflamasi. Cairan 

serebrospinal menunjukkan peningkatan 

ringan limfosit dan monosit. Pemeriksaan 

elektrofisiologi, yaitu refleks kedip (blink

reflex) dapat menentukan topis kerusakan 

nervus fasialis. Pemeriksaan ini dilakukan 

setelah onset 14 hari, karena pada <14 hari 

pascaonset masih terjadi kerusakan nervus

fasialis, sehingga belum dapat diperkirakan derajat kerusakan akhirnya. diagnosa  

banding kasus ini yaitu  penyakit Lyme,

otitis media, sindrom Ramsay-Hunt, sarkoidosis, SGB, tumor kelenjar parotis, multipel 

sklerosis, stroke, dan tumor.

Inflamasi pada nervus fasialis dapat diatasi 

dengan pemberian glukokortikoid oral, 

yaitu prednison 40-60mg perhari selama 10 

hari dengan penurunan dosis bertahap. fika 

diduga infeksi virus sebagai etiologinya, dapat 

ditambahkan antiviral yaitu asildovir 400mg 5 

kali sehari selama 7 hari atau valasildovir lg 3 

kali sehari selama 7 hari dalam waktu 72 jam 

sejak onset Untukmencegah keratitis paparan 

akibat lagoftalmus dapat diberikan air mata 

buatan, pelindung mata, dan penutupan mata 

secara mekanik saat tidur.

Pada kasus degenerasi aksonal berat, dapat 

terjadi inervasi aberan sehingga menimbulkan komplikasi sinkinesis, Sinkinesis adaiah 

reinervasi serabut saraf pada organ efektor yang bukan organ efektor sebenarnya. 

ada  fenomena air mata buaya, yaitu 

terjadinya lakrimasi ipsilateral pada saat 

mengunyah. Sindrom Marin-Amat, yaitu penutupan kelopak mata ipsilateral saat membuka rahang. Seldtar 70% pasien mengalami 

perbaikan dalam 1-2 bulan dan 85% di antaranya mengalami perbaikan penuh. Munculnya perbaikan motorik pada hari ke-5 atau 

7 menunjukkan prognosis baik, sementara 

adanya tanda denervasi pada pemeriksaan 

elektrofisiologi setelah hari ke-10 menunjukkan prognosis buruk.

CONTOH KASUS

1. Wanita 49 tahun datang dengan keluhan 

baal pada tangan dan kald. Pemeriksaan 

klinis menunjukkan hipestesi dengan 

distribusi stocking and gloves. diagnosa  

diferensial yang paling mungkin pada 

pasien ini adaiah

A. Neuropati diabetes, SGB, defisiensi 

vitamin B12

B. Charcot-Marie Tooth, BelVs palsy, SGB.

C. Defisiensi Vitamin B12, BelVs palsy,

cubital tunnel syndrome

D. Defisiensi Vitamin B12, neuropati diabetes, cubital tunnel syndrome

E. BelVs palsy, neuropati diabetes, Charcot-Marie-Tooth

Jawaban: A.

Neuropati diabetes dan defisiensi vitamin B12 merupakan neuropati yang 

dipicu  oleh kondisi metabolik, sehingga kerusakan saraf akan memiliki 

distribusi bergantung pada jarak (length

dependent). Demikian pula pada SGB pola 

ini dipicu  karena kegagalan konduksi pada saraf bagian perifer ke distal 

Charco-Marie-Tooth juga memiliki distribusi pada saraf-saraf di distal, namun 

sangat jarang disertai gangguan sensorik.

2. Dari soal no. 1 diketahui keadaan ini 

dikeluhkan perlahan namun bertambah 

baal sejak 3 tahun sebelumnya. Tidak 

ada riwayat demam, diare atau flu-like

syndrome 5 hari sampai 2 minggu sebelumnya, sehingga SGB dapat disingkirkan. 

Pemeriksaan laboratorium tambahan yang 

dapat dilakukan pada pasien ini adaiah

A. Kadar gula darah HbAlc

B. Kadar vitamin B12

C. Serologi HSV-1

D. A dan B benar

E. Semua benar

Jawaban paling tepat adaiah D (A dan B 

benar).

Pemeriksaan kadar gula darah HbAlc dan 

kadar vitamin B12 untuk menyingkirkan 

diagnosa  diferensial neuropati diabetes 

dan defisiensi vitamin B12. Walaupun 

defisiensi ini dapat mudah diatasi 

dengan suplemen vitamin B12, namun 

pemberian terapi tanpa alasan yang kuat 

tidaklah tepat. Pemeriksaan serolog 

HSV-1 dapat dilakukan bila dicurigai 

Bell's palsy.

3. Laki-laki usia 39 tahun datang dengan 

keluhan bicara pelo, wajah tertarik ke 

sisi kanan jika senyum atau tertawa, 

lcelopak mata kiri tidak dapat menutup, 

dan sering keluar air dari sudut mulut 

saat minum. Tidak ada kelemahan 

ektremitas. Kemungkinan besar pasien 

ini mengalami gangguan pada:

A. Ganglia basal kanan

B. Korteks motorik wajah kanan

C. N. V perifer kiri

D. N. VII perifer kiri

E. N. XI sentral kanan 

Jawaban: D.

Keluhan bicara pelo dapat dipicu  oleh 

paresis N. VII akibat gangguan transmisi di 

sentral maupun perifer. Wajah tertarik ke 

kanan dan keluar air dari sudut mulut di 

sebelah kiri menunjukkan adanya paresis 

di sisi kiri. Kelopak mata sebelah ldri yang 

tidak dapat menutup menunjukkan bahwa 

ada  lesi di N. VII di perifer, bukan 

sentral.

4. Dari soal no. 3 diketahui keluhan ini 

dimulai sejak 3 hari yang lalu, dengan 

sedikit demam disertai nyeri di belakang 

telinga kiri. ada  juga rasa baal di 

wajah sisi kiri dan kering pada mata kiri. 

diagnosa  banding yang paling mungkin 

untuk kasus ini yaitu :

A. Bell's palsy

B. Sindrom Guillain Barre

C. Multipel sklerosis (MS)

D. Stroke

E. Semua benar 

Jawaban: A. Bell's palsy

Paresis N. VII perifer masih dapat dipicu  oleh semua pilihan ini , namun 

pada kasus ini yang paling tepat yaitu  

Bell's palsy, yaitu didahului oleh gejala inflamasi dan bersifat akut. SGB dapat didahului oleh gejala inflamasi, namun jika terkena saraf kranial sering kali bilateral. MS 

biasanya terjadi berulang dan gangguan 

di sentral. Adapun stroke terjadi hiperakut dan tidak berkaitan dengan inflamasi, 

serta proses yang terjadi berupa gangguan 

sentral, sehingga bukan memicu  

paresis N. VII perifer, melainkan sentral.

5. Dari soal nomor 3 dan 4, pemeriksaan 

penunjangyang dapat dilakukan sehingga 

dapat menunjukkan prognosis pasien ini 

yaitu 

A. Serologi darah

B. Serologi cairan serebrospinal

C. Elektroneurofisiologi

D. MRI

E. House-Brackmann 

Jawaban: C.

Pemeriksaan elektroneurofisiologi (blink

reflex) dapat dilakukan mulai hari 10-14 

pascaonset untuk menentukan lokasi 

dan prognosis pasien Bell's palsy 













SINDROM GUILLAIN-BARRE

A hm ad Y anu arSafri

PENDAHULUAN

Sindrom Guillain-Barre (SGB) merupakan 

polineuropati akut yang dipicu  oleh 

reaksi autoimun terhadap saraf perifer. SGB 

ditandai dengan gejala dan tanda paralisis 

lower motor neuron (LMN) akut disertai 

disosiasi sitoalbumin pada cairan serebrospinal [CSS]. Kecuali pada varian tertentu, 

perjalanan penyakit SGB bersifat monofasik. 

Pada perjalanan penyakit SGB, perburukan 

klinis hingga mencapai titik nadir biasanya 

tidak lebih dari 28 hari. SGB merupakan 

penyebab kelumpuhan LMN akut utama di 

dunia setelah era eradikasi polio.

EPIDEMIOLOGI

Insidens SGB berkisar antara 0,81-1,89 kasus 

per 100.000 penduduk per tahun. SGB lebih 

jarang ditemukan pada anak dibandingkan 

dewasa dan insidens SGB meningkat seiring 

bertambahnya usia, proporsi laki-laki lebih 

besar dibandingkan perempuan. Karakteristik serta variasi klinis SGB beragam di berbagai tempat. Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) lebih sering terjadi 

di Amerika Utara, Arab, dan Eropa. Sementara 

acute motor axonal neuropathy (AMAN) lebih 

sering terjadi di wilayah Amerika Tengah, 

Amerika Selatan, Banglades, Jepang, dan 

Meksiko. Di negara kita , penelitian di RSUPN 

Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan jumlah kasus baru SGB yang dirawat di

RSCM sekitar 7,6 kasus/tahun. Penderita SGB 

di RSCM terutama dewasa muda dengan rerata 

usia 40 tahun dan rasio laki-laki: perempuan 

yaitu  1,2:1.

PATOFISIOLOGI

Pada SGB, dua pertiga kasus didahului infeksi (antecendent infection) pada saluran 

pernapasan atas atau gastrointestinal dengan 

keluhan umum berupa demam (52%), batuk 

(48% ), nyeri tenggorokan (39% ), pilek 

(30% ), dan diare (27% ). Pada 31% kasus 

SGB dapat ditemukan Campylobacter jejuni

(C, jeju n i) pada analisis fesesnya. Adanya 

infeksi anteseden ini menjadi dasar patofisiologi SGB berupa proses antibodi mimikri. 

Pada proses antibodi mimikri terjadi kemiripan struktur antigen patogen dengan struktur 

yang ada  pada dinding sel tubuh, sehingga antibodi yang dibentuk tubuh untuk melemahkan patogen ini dapat berikatan 

dengan jaringan tubuh itu sendiri.

Teori ini didukung oleh beberapa penelitian, 

yaitu:

   Ditemukannya struktur lipooligosakarida 

(LOS) pada dinding sel C. jejuni yang memiliki kemiripan dengan struktur karbohidrat penyusun membran sel saraf yang 

disebut gangliosida.

   Pada serum pasien SGB ditemukan antibodi terhadap gangliosida. 

• Penyuntikan antibodi gangliosida pada 

hewan percobaan memicu  gejala 

yang mirip dengan SGB.

Paparan terhadap C. jejuni dapat membuat 

sel-sel imunitas tubuh menghasilkan antibodi 

yang juga dapat berikatan dengan struktur 

gangliosida pada membran sel saraf. Antibodi yang berikatan dengan gangliosida ini 

akan memicu proses autoimun melalui mekanisme pengaktifan komplemen dan membentuk membrane attack complex (MAC) 

pada membran sel Schwann pada AIDP atau 

pada akson pada AMAN, sehingga menimbulkan efek neurotoksik (Gambar 1). Hal 

ini dibuktikan dengan ditemukannya sel-sel 

makrofag pada jaringan saraf pasien SGB 

pada pemeriksaan histopatologi. Makrofag 

berperan dalam reabsorbsi debris pada kedua 

tipe SGB (demielinisasi dan degenerasi aksonal), namun serbukan sel limfosit hanya 

ditemukan pada SGB tipe demielinisasi.

Patofisiologi sindrom Miller Fischer (SMF) 

yang merupakan varian SGB sampai saat ini 

masih belum jelas. Pasien SMF pada perjalanan klinisnya mengalami pemulihan sempurna dan jarang ditemukan kasus yang fetal. 

Hal ini menunjukkan proses yangterjadi pada 

SMF yaitu  suatu proses demielinisasi dan 

bukan merupakan proses degenerasi aksonal.

Patogen-patogen lain yang mampu menimbulkan reaksi-silang antibodi terhadap 

gangliosida yaitu  Haemophilus influenzae,

Mycoplasma pneumonia, Cytomegalovirus

(CMV), Epstein-Barr virus (EBV), dan Varicella Zoster Virus (VZV). Selain dari antecedent infection, risiko kejadian SGB juga meningkat pada adanya transfer gangliosida 

parenteral, pascavaksinasi influenza H1N1, 

adanya kelainan autoimun lain yang diderita 

sebeiumnya, pemakaian  obat-obatan imunosupresan, dan pascapembedahan. 

Sampai saat ini sudah ditemukan beberapa 

antibodi gangliosida dalam serum pasien SGB, 

yaitu antibodi LM1, GM1, GMlb, GM2, GDla, 

GalNAc-GDla, GDlb, GD2, GD3, GTla, dan 

GQlb (Tabel 1).

Adanya perbedaan jenis antibodi pada berbagai tipe SGB menunjukan distribusi gangliosida berbeda* beda pada jaringan saraf perifer. 

Jenis antibodi yang terbentuk dan distribusi 

gangliosida menentukan tanda dan gejala 

Minis yang terjadi pada SGB. Sebagai contoh, 

pada GBS tipe AMAN, ditemukan antibodi terhadap GMl, GMlb, GDla, dan GalNAc-GDla 

pada serum pasien. Gangliosida-gangliosida 

ini terdistribusi lebih banyak ditemukan pada 

aksolema nodus Ranvier serabut saraf motorik dibandingkan sensorik. Proses autoimun 

lebih banyak terjadi pada serabut saraf motorik dan memicu  gejala motorik yang 

lebih dominan dibandingkan sensorik.

Pada serum pasien SMF ditemukan antibodi 

terhadap gangliosida GD3, GTla, dan GQlb. 

Gangliosida GQlb banyak terdistribusi pada 

aksolema nervus okulomotor, troklearis, abdusens, serta muscle spindle, sehingga jika terjadi 

reaksi autoimun terhadap gangliosida GQlb 

muncul gejala klinis SMF berupa oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Gangliosida GTla 

dan GQlb diekspresikan pada aksolema nervus 

glosofaringeus dan vagus, sehingga dihubungkan dengan gejala disfagia ditemukan pada sebagian kasus SMF. Pada SGB tipe demielinisasi, 

antibodi spesifik yang memicu  kerusakan 

membran sel Schwann pada selubung mielin masih belum diketahui hingga saat ini dan 

membutuhkan penelitian lebih lanjut 

GEJALA DAN TANDA KLINIS

Pola perjalanan penyakit SGB bersifat 

monofasik (Gambar 2}. Pada sebagian besar 

SGB ada  infeksi anteseden sebelum 

munculnya defisit neurologis. Waktu antara 

infeksi anteseden dan munculnya defisit 

neurologis bervariasi antara 4 minggu 

sampai 6 bulan. Defisit neurologis ini akan 

mengalami perburukan hingga mencapai titik 

nadir dalam waktu tidak lebih dari 28 hari 

[4 minggu). Antibodi antigangliosida dapat 

dideteksi dalam serum pasien selama proses ini dan kadarnya akan menurun seiring 

dengan berjalannya waktu.

Pada SGB dapat terjadi fluktuasi defisit 

neurologis dalam waktu 8 minggu sejak diberikannya imunoterapi. Hal ini masih dianggap sebagai suatu pola monofasik SGB. 

Fluktuasi ini disebut sebagai fluktuasi terkait pengobatan [Guiilain-Barre syndrome

with treatment-relatedfluctuation/GBS-TRF').

Perjalanan GBS-TRF mirip dengan chronic

inflamatory demyielinating polineuropathy

(CIDP) onset akut, hanya saja progresifitas 

defisit neurologis CIDP berlangsung hingga 

lebih dari 8 minggu atau fluktuasi defisit 

neurologis terjadi tiga kali atau lebih sedangkan fluktuasi GBS-TRF terjadi tidak 

lebih dari 8 minggu sejak onset dan jarang 

terjadi fluktuasi lebih dari 2 kali. Dalam 

perjalanannya, fluktuasi defisit neurologis pada CIDP lebih ringan dibandingkan 

GBS-TRF. Defisit neurologis pada CIDP tidak 

sampai membutuhkan ventilasi mekanik, 

jarang melibatkan gangguan saraf kranial, 

dan gambaran pemeriksaan elektrofisiologi 

proses demielinisasi, sedangkan pada GBSTRF defisit neurologis yang terjadi lebih 

berat hingga sampai memerlukan ventilasi 

mekanik.

Defisit neurologis SGB pada ekstremitas 

dapat berupa kelemahan motorik tipe LMN, 

gangguan sensorik berupa parastesia, hipestesia atau gangguan propioseptif, serta hiporefleksia maupun arefleksia. Defisit neurologis 

ini dapat melibatkan nervus kranialis, terutama nervus Fasialis pada AIDP. Varian 

klinis SGB lain yang melibatkan nervus kranialis yaitu  SMF dengan trias gejala berupa 

arefleksia, ataksia, dan oftalmoplegia.

Fase pemulihan dapat berlangsung beberapa minggu, bulan, bahkan tahun tergantung 

proses patologi yang terjadi. Lesi demielinisasi 

(AIDP) mempunyai prognosis yang lebih baik 

dibandingkan degenerasi aksonal (AMAN). 

Pemulihan pada SGB tipe demieliniasasi dan 

degenerasi aksonal akan terjadi secara berangsur-angsur sesuai dengan perawatan dan 

terapi yang adekuat.

ada  beberapa variasi gambaran klinis 

SGB berdasarkan penelitian dan laporan kasus yang ada, yaitu:

1. SGB hiperrefleks

SGB umumnya menunjukkan tanda hiporefleksia atau arefleksia, namun pada 

10% kasus dapat ditemukan refleks tendon dalam yang normal atau bahkan meningkat dengan tonus otot yang normal. 

Pemeriksaan imunohistokimia pada serum pasien SGB hiperrefleks menunjukkan 

adanya antibodi antiGMl dan antiGDla, 

dengan gambaran neurofisiologi sesuai 

dengan SGB tipe aksonal 

2. Pharyngeal-cervical-brachial weakness

Penegakan diagnosa  SGB tipe ini didapat 

dengan ditemukannya kelemahan pada 

otot orofaring, leher, dan ekstremitas atas 

akut yang disertai arefleksia. Kelemahan 

motorilc pada ekstemitas bawah dapat 

juga ditemulcan namun lebih ringan.

3. SGB paraparesis

Pada SGB paraparesis kelemahan motorik 

dengan hiporefleksia atau arefleksia akut 

hanya terjadi pada ekstremitas bawah 

saja, sementara ekstremitas atas normal. 

Berbeda dengan lesi medula spinalis, 

pada SGB paraparesis level gangguan sensorik memiliki batas yang tidak tegas dan 

fungsi berkemih masih normal. Analisis

pungsi lumbal serta pemeriksaan MRI 

menunjukkan kesesuaian dengan SGB, sedangkan gambaran neurofisiologi sesuai 

dengan SGB tipe degenerasi aksonal.

4. Kelemahan bifasial dengan parestesia 

Gejala dan tanda klinis SGB tipe ini berupa 

kelemahan nervus fasialis bilateral akut 

tanpa disertai oftalmoplegia dan kelemahan ekstremitas. Pada tipe ini dapat juga 

ditemukan parestesia dari ujung-ujung 

jari. Pemeriksaan neurofisiologi lebih lanjut dapat sesuai dengan gambaran lesi 

demielinisasi.

5. Oftalmoplegia/ptosis/midriasis akut 

Variasi klinis sindrom SGB ini merupa-

 

kan bentuk manifestasi SMF inkomplet 

berupa oftalmoplegia, ptosis, atau midriasis akut tanpa adanya ataksia, Pemeriksaan imunohistokimia pada serum 

pasien ini menunjukkan adanya antibodi 

terhadap gangliosida GQlb.

6. Neuropati ataksia akut

Bentuk SMF inkomplet lainnya yaitu  

ataksia akut tanpa oftalmoplegia. ada  dua bentuk manifestasi Minis tipe 

ini, yaitu ataksia dengan atau tanpa tan da 

Romberg positif. Pada ataksia tanpa tanda 

Romberg ditemukan antibodi anti-GQlb 

serum, sedangkan pada ataksia dengan 

tanda Romberg ditemukan antibodi antiGDlb serum. Manifestasi Minis ataksia 

ini diduga aldbat antibodi yang terbentuk 

menyerang struktur muscle spindle.

1. Bickerstaffs brainstem encephalitis [BBE] 

diagnosa  BBE ditemukan bila ditemukan trias gejala SMF disertai gangguan 

kesadaran atau hipersomnolen. BBE 

merupakan variasi SMF dengan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP), terutama 

pada struktur formasio retikularis. Hal 

ini didasarkan pemeriksaan MRI kepala 

yaitu ditemukannya penyangatan pada 

11% kasus BBE dan gambaran abnormalitas perekaman EEG pada 57% kasus. 

Varian lain dari BBE dengan manifestasi 

inkomplet dapat berupa acute ataxic hypersomnolence.

diagnosa  DAN diagnosa  BANDING

diagnosa 

diagnosa  SGB ditegakkan berdasarkan gejala 

dan tanda kelemahan akut progresif pada 

ekstremitas bawah dan atas disertai arefleksia atau hiporefleksia. Belum ada uji 

diagnostik yang spesifik untuk SGB, namun

dapat memakai  kriteria diagnostik

menurut National Institute o f Neurological

and Communicative Disorders and Stroke

(NINCDS) sebagai berikut:

Tanda minimum untuk penegakan diagnosa 

1. Kelemahan progresif pada kedua lengan 

dan tungkai (dapat dimulai dari ekstremitas bawah]

2. Hiporefleksia atau arefleksia

Tanda yang memperkuat diagnosa 

1. Perburukan gejala yang mencapai titik 

nadir kurang atau sama dengan 28 hari 

(4 minggu]

2. Pola distribusi defisit neurologis yang 

simetris

3. Gangguan sensorik minimal

4. Gangguan nervus kranial, terutama 

kelemahan otot fasialis bilateral

5. Disfungsi saraf autonom

6. Nyeri

7. Peningkatan protein pada CSS

8. Gambaran elektrodiagnostik khas yang 

sesuai dengan kriteria SGB

Tanda yang meragukan diagnosa 

1. Disfungsi pernapasan berat lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas 

pada awal onset

2. Gangguan sensorik lebih dominan daripada kelemahan ekstremitas pada awal 

onset

3. Gangguan BAK atau BAB pada awal onset

4. Demam pada awal onset

5. Defisit sensorik berbatas tegas

6. Progresivitas lambat dengan gangguan 

motorik minimal tanpa keterlibatan 

sistem pernapasan (iebih sesuai dengan 

subacute atau chronic inflammatory demy elinating polyneuropathy)

7. Kelemahan asimetris persisten

8. Gangguan BAI< atau BAB persisten

9. Peningkatan jumlah sel mononuklear pada 

cairan serebrospinal (CSS) (>50xl06/L)

10. Peningkatan sel polimorfonuklear pada CSS

Disfungsi saraf otonom sering ditemukan 

hingga dua pertiga kasus SGB dengan manifestasi berupa aritmia, fluktuasi tekanan 

darah, respons hemodinamik yang abnormal terhadap pengobatan, serta gangguan 

miksi, defekasi dan berkeringat

Berikut pemeriksaan penunjang untuk 

membantu menegakkan diagnosa  SGB:

1. Kecepatan hantar saraf (KHS)

Kriteria elektrodiagnosa  yang digunakan secara luas ialah kriteria dari Ho 

dkk dan Hadden dkk (Tabel 2). Gambaran 

dispersi temporal Iebih ditekankan oleh 

Ho dkk, sedangkan konsep blok konduksi 

dikenalkan kembali oleh Hadden dkk 

sebagai kriteria diagnostik SGB tipe 

demielinisasi. Yang dimaksud dispersi 

temporal di sini yaitu  ada nya pemanjangan durasi compund muscle action

potential (CMAP) proksimal Iebih dari 

30% dibandingkan CMAP distal, Batasan 

ini dinilai cukup sensitif dan spesifik 

dalam membedakan antara dispersi temporal akibat demielinisasi dan dispersi 

temporal yang terjadi secara fisiologis 

pada stimulasi proksimal 

Pemeriksaan KHS yang dilakukan pada 

minggu pertama onset sering menunjukan 

hasil yang normal atau tidak memenuhi kriteria SGB menurut Ho dkk maupun Hadden 

dkk. Oleh karena itu, temuan KHS minggu 

pertama ini tidak dapat dijadikan landasan 

untuk menunda pemberian imunoterapi 

jika sudah ada  gambaran klinis yang khas 

SGB. Pemeriksaan KHS pada minggu pertama 

ini lebih berguna untuk menyingldrkan diagnosis banding neuropati perifer lainnya.

Pada sebagian awal perjalanan penyaldt SGB 

tipe AMAN dapat ditemukan gambaran blok 

konduksi pada pemeriksaan KHS. Gambaran 

blok ini akan mengalami perbaikan atau menghilang dalam hitungan hari disertai peningkatan amplitudo CMAP distal dan pemendekan 

latensi motor distal kembali ke nilai normal. 

Pada kasus ini tidak lazim ditemukan dispersi temporal dan gelombang CMAP polifasik. Fenomena ini dikenal sebagai AMAN with

reversible conduction failure [AMAN RCF) 

dan sering didiagnosa  secara keliru sebagai 

A1DP atau AMAN. Untuk mengurangi kesalahan interpretasi dan klasifikasi tipe SGB, maka 

pemeriksaan KHS harus dilakukan secara serial minimal dua kali pada 3 saraf motorik dan 

3 saraf sensorik dalam 4-6 minggu pertama.

2. Pungsi lumbal

Tindakan pungsi lumbal rutin dilakukan 

pada pasien yang diduga menderita SGB 

untuk menyingldrkan diagnosa  banding, 

dan bukan merupakan kriteria utama 

penegakan diagnosa  SGB. Pada analisis 

CSS dapat ditemukan disosiasi sitoalbumin, yaitu ada nya peningkatan 

kadar protein CSS tanpa disertai peningkatan jumlah sel. Disosiasi sitoalbumin yaitu  temuan khas untuk SGB dan 

dapat ditemukan pada 50% kasus pada

minggu pertama dan meningkat menjadi 

75% kasus pada minggu ketiga. bila  

analisa CSS normal pada SGB dengan onset kurang dari 2 minggu, maka hal ini 

tidak mempengaruhi penegakan diagnosis SGB selama ditemukan tanda dan 

gejala Minis yang sesuai dan tidak perlu 

dilakukan pungsi lumbal ulangan.

Peningkatan jumlah sel dan protein CSS 

dapat ditemukan pascaterapi imunoglobulin intravena dosis tinggi (intravenous immunoglobulin/WlG) yang diduga akibat mekanisme transudasi atau 

meningitis aseptik. bila  ditemukan 

peningkatan jumlah sel CSS pada minggu 

pertama onset gejala, maka kemungkinan 

diagnosa  banding lain harus lebih dipertimbangkan, seperti infeksi, neuropati 

akibat human immunodeficiency virus

[HIV], limfoma, dan keganasan.

3. Radiologi

Pemeriksaan radiologi dilakukan jika 

ditemukan tanda dan gejala klinis SGB 

yang meragukan. Hal ini untuk menyingldrkan lesi struktural sebagai penyebab 

defisit neurologis yang ada. Hasil pemeriksaan MRI pada kasus SGB yaitu  murni 

normal baik pada otak dan medula spinalis, walau dapat dijumpai penyangatan 

pada radiks proksimal. Pada 11% kasus 

BBE, dapat ditemukan adanya lesi fokal 

pada T2W MRI di mesensefa Ion, thalamus, 

serebelum, dan batang otak.

4. Antibodi antigangliosida

Walaupun berbagai studi mengaitkan kejadian SGB dengan antibodi seperti yang 

tercantum pada Tabel 1, nilai diagnostiknya belum dapat dipastikan. Pemeriksaan ini bermanfaat, tetapi hasil negatif 

tidak menggugurkan diagnosa  SGB dan 

pemeriksaan ini belum tersedia di sarana 

pemeriksaan laboratorium sehari-hari.

diagnosa  Banding

Telah disebutkan bahwa pada 10% kasus 

SGB dapat ditemukan refleks tendon dalam 

yang normal bahkan meningkat, oleh karena 

itu pada keadaan ini adanya lesi SSP 

harus disingkirkan. Gejala klinis SGB dapat 

menyerupai gejala lesi medula spinalis akut 

seperti mielitis tranversa, namun pada lesi medula spinalis gangguan berkemih muncul lebih 

awal dan defisit sensorik yang ada mempunyai batas yangtegas.

Jika pada pasien tidak ditemukan adanya defisit sensorik, maka pertimbangkan diagnosa  

banding yang mungkin ialah miastenia gravis, 

periodik palalisis hipokalemia, botulisme, 

poliomielitis, dan mielopati akut. diagnosa  

banding untuk SMF dan kelemahan faringservikal-brakialis yaitu  stroke batang otak, 

miastenia gravis, dan botulisme.

pengobatan 

Prinsip pengobatan  SGB yaitu  diagnosa  

dini dan pengobatan  multidisiplin yang tepat 

Risiko kematian SGB mencapai 5% sebagian 

besar dipicu  komplikasi SGB berupa 

sepsis, emboli paru, dan disautonomia.

Guillain-Barre Syndrome Disability Score

(GBS Disability Score) atau Hughes score

yaitu  sistem penilaian status fungsional untuk evaluasi dan pemantauan derajat keparahan penyakit dapat dilihat pada Boks 1.

Imunoterapi dapat diberikan sejak onset 

gejala neuropati pertama kali muncul. Manfaat terbaik muncul pada pemberian imunoterapi dalam 2 minggu pertama onset 

pada pasien dengan GBS Disability Score >3. 

Baik plasmafaresis dan imunoglobulin intravena (IV] memiliki efektifitas yang sama 

dalam perbaikan kekuatan motorik pasien, 

peningkatan GBS disability score, dan penurunan kebutuhan pemakaian  ventilator pada 

pasien dengan gagal napas. 

Plasmaferesis dilakukan lima kali dalam 

waktu 2 minggu dengan jumlah maksimum 

pertukaran plasma sebanyak lima kali dari 

volume plasma (200-250mL/kgBB). Dosis 

total imunoglobulin IV yaitu  2g/kg BB diberikan dalam 5 hari, Pemberian imunoterapi pada pasien dengan gejala ringan (GBS 

disability score <3} tetap dapat memberikan 

manfaat namun perlu memperhitungkan 

efisiensi pengobatan. Penelitian menunjukan 

pemberian plasmaferesis diikuti pemberian 

imunoglobulin IV memberikan hasil yang 

sama dengan pemberian terapi plasmaferesis saja atau imunoglobulin saja oleh karena 

itu tidak dianjurkan untuk melakukan kedua 

terapi namun dipilih satu modalitas saja 

plasmaferesis atau IVIG. Pemberian kortikosteroid oral maupun IV tidak memberikan manfaat pada kasus SGB.

Pemantauan fungsi paru dapat dilakukan 

setiap 1-4 jam untuk meminimalkan risiko 

gagal napas berupa evaluasi frekuensi serta 

kedalaman napas, kapasitas vital paru-paru, 

dan kemampuan refleks batuk. Indikasi 

pemasangan alat bantu napas pada SGB

dapat dilihat pada Boks 2.

Pemasangan monitor kardiovaskular diperlukan dalam identifikasi dan antisipasi disfungsi autonom. Disfungsi autonom dapat 

berupa bradiaritmia berat atau ada  

variasi tekanan sistolik lebih dari 85mmHg. 

Pada pasien ini dapat dipasang alat 

pacu jantung sementara atau diberikan atropin. Gangguan miksi dapat ditatalaksana 

dengan pemasangan kateter, sementara 

gangguan defekasi dapat diatasi dengan 

pemberian laksatif.

Nyeri merupakan manifestasi klinis yang 

banyak ditemukan pada pasien sejak awal 

onset sampai dengan masa pemulihan. Lokasi nyeri yaitu punggung dan ekstremitas 

sesuai dengan distribusi kelemahan otot 

motoriknya. Nyeri menunjukan adanya keterlibatan serabut saraf berdiameter kecil 

dan saraf otonom sedangkan disestesia melibatkan serabut saraf berdiameter lebar. Tata 

laksana nyeri yang dapat diberikan berupa 

pemakaian  obat anti nyeri neuropatik berupa 

gabapentin atau karbamazepin.

 PROGNOSIS

Prognosis SGB dapat ditentukan berdasarkan Erasmus GBS Outcome Score (EGOS), 

dapat dilihat pada Boks 3.

EGOS ini dapat dipakai  untuk menentukan probabilitas pasien SGB dapat berjalan

mandiri enam bulan setelah onset. Semaldn 

besar nilai EGOS yang didapat, maka semakin 

kecil kemungkinan pasien SGB dapat berjalan setelah 6 bulan dari onset. Penelitian 

di RSCM Jakarta pada 24 subjek pasien SGB 

yang dirawat periode Januari 2012-Desember

 

2014 menunjukan sebagian besar pasien 

mengalami perbaikan klinis pada akhir 

perawatan. Kekuatan motorik (MRC sum

score) saat masuk berada pada skor <30 

(50% ) dan meningkat menjadi 50-41 pada 

akhir perawatan (29,2%). GBS disability

score saat masuk 4 (aktivitas terbatas pada 

tempat tidur atau kursi) 54,2% dan menjadi 

skor 3 (jalan dengan bantuan) pada akhir 

perawatan (37,5%).

CONTOH KASUS

Seorang anak laki-laki 11 tahun mengalami 

kelemahan pada kedua tungkai disertai rasa 

baal dan sulit berjalan sejak 3 minggu yang 

lalu. Dua minggu sebelum mengalami kelemahan ini pasien menderita demam dan 

mual selama dua hari yang membaik dengan 

pemberian obat-obatan simptomatik. Pasien 

tidak mengalami gangguan dalam berkemih. 

Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda vital 

dalam batas normal, pemeriksaan neurologis 

nervus kranialis dalam batas normal. 

Pada pemeriksaan motorik ditemukan adanya paraparesis dengan kelemahan otototot distal lebih berat dari proksimal dengan 

poia distribusi yang hampir simetris disertai 

arefleksia pada ekstremitas atas dan bawah 

bilateral. Pada pemeriksaan sensorik ditemukan tanda gangguan propioseptif pada 

kedua kaki pasien, sedangkan pemeriksaan 

sensorik lainnya dalam batas normal. Pada 

pemeriksaan KHS ditemukan gambaran pemanjangan latensi, penurunan KHS motorik, 

blok konduksi, dispersi temporal pada N. 

Ulnaris kiri (Gambar 3), dan pemanjangan 

latensi serta penurunan KHS motorik pada 

N, Tibialis (Gambar 4).

Gambaran Minis pasien diatas dikaitkan dengan ditemukannya gambaran dispersi temporal, blok konduksi, pemanjangan latensi, 

dan penurunan KHS pada 2 saraf memenuhi 

kriteria AIDP. Pasien mendapat terapi IV1G dengan dosis total 2g/kgBB dalam 5 hari. Pasien 

mengalami perbaikan klinis kekuatan motorik 

terutama pada kedua tungkai. Pasien dapat 

berjalan tanpa bantuan satu minggu setelah 

pemberian IVIG, namun hasil pemeriksaan 

KHS uiang belum menunjukan perubahan 

yang berarti. Hal ini dapat dijumpai sehari-hari 

di mana perbaikan klinis mendahului perbaikan hasil pemeriksaan kecepatan hantar 

saraf. 











RADIKULOPATI

Luh Ah Indrawati, Winnugroho Wiratmcm, Ahmad Yanuar Safri,

Fitri Octaviana, Manfaluthy Hakim

PENDAHULUAN

Radikulopati atau gangguan pada radiks 

merupakan salah satu penyebab nyeri leher 

dan punggung bawah dan merupakan rujukan terbanyak ke laboratorium elektrodiagnosis. Nyeri leher dan punggung bawah sendiri merupakan salah satu keluhan yang sering 

ditemui dalam praktekldiniksehari-hari.

ANATOM!

Radiks merupakan salah satu bagian dari 

saraf tepi yang sering mengalami gangguan

karena letak anatomisnya yang dikelilingi 

struktur yang kompleks. Radiks merupakan 

bagian dari sistem saraf tepi yang keluar dari 

kornu anterior dan posterior medula spinalis.. 

Radiks yang keluar dari komu anterior disebut 

radiks anterior/ventral yang terdiri dari serabut motorik sedangkan radiks yang keluar dari 

kornu posterior disebut radiks posterior/dorsal yang terdiri dari serabut sensorik. Radiks 

dorsal memiliki badan sel yaitu ganglion radiks 

dorsalis yang terletak di luar medula spinalis. 

Badan sel radiks anterior ada  di komu anterior medula spinalis.

 

Radiks yang keluar dari medula spinalis pertama kali masih berada di dalam kanalis spinalis lalu setelahnya akan melalui foramen 

neural yang terbentuk di antara dua vertebra 

yang berdekatan. Kanalis spinalis merupakan kanal yang terbentuk di antara vertebra 

yang berdekatan. Kanalis spinalis dibatasi 

oleh ligamentum flavum dan lamina pada sisi 

posterior, diskus intervertebralis, dan korpus 

vertebra pada sisi anterior, dan pedikel pada 

sisi anterolateral (Gambar 1}.

Foramen neural dibatasi oleh pedikel pada sisi 

anterior, diskus intervertebral dan korpus vertebra pada sisi anterior dan sendi faset pada 

sisi posterior. Di dalam foramen neural melintas radiks, nervus meningeal rekuren, dan 

pembuluh darah radikular.

Radiks berjumlah 31 pasang yang terdiri 

dari 8 radiks servikal, 12 radiks torakal, 5 

radiks lumbal, 5 radiks sakral, dan 1 radiks 

koksigis. Radiks servikal 1 hingga 7 keluar 

di atas vertebra servikal yang bersesuaian 

sedangkan radiks servikal 8 keluar di antara 

vertebra servikal 7 dan vertebra torakal 1. 

Hal ini dipicu  jumlah vertebra 

servikal yaitu  7 sedangkan jumlah radiks 

servikal yaitu  8. Selanjutnya radiks keluar 

di bawah vertebra yang bersesuaian. Pada 

manusia dewasa, medula spinalis berakhir 

pada batas bawah vertebra LI dan membentuk konus medularis. Kauda ekuina keluar 

dari bagian konus medularis. Kauda ekuina 

kemudian secara gradual terpisah menjadi 

radiks lumbosakral (Gambar 2}.

 

Radiks bercabang menjadi ramus dorsalis dan 

ventralis. Ramus dorsalis menginervasi otot 

paraspinal dan kulit di area paraspinal. Ramus 

ventralis radiks C5-C8 membentuk pleksus 

brakialis yang menginervasi ekstremitas atas. 

Ramus ventral radiks Thl sebagian membentuk pleksus brakialis bersama-sama dengan 

ramus ventralis radiks C5-C8 dan sebagian 

membentuk nervus interkostalis 1. Ramus 

ventralis radiks Th2-Th6 membentuk nervus 

interkostalis dan ramus ventralis radiks Th7- 

12 membentuk nervus torakoabdominal. Nervus interkostalis berjalan mengitari lengkung 

dada di antara otot interkosta dan bercabang 

menjadi cabang kutaneus lateral dan medial. 

Nervus torakoabdominal bercabang menjadi 

cabang kutaneus lateral dan medial serta menginervasi otot dinding abdominal (Gambar 3).

Radiks lumbosakral membentuk kauda ekuina.

Kauda ekuina berjalan di dalam kanal spinal 

dalam ruang subaraknoid sebelum akhirnya 

keluar dari foramen neural di bawah vertebra 

yang bersesuaian. Kanal spinal lebih panjang 

dari medula spinalis sehingga ada  perbedaan level medula spinalis dan vertebra 

seldtar 2 segmen pada level torakal dan 3 

segmen pada level lumbosakral.

Secara mikroskopik, radiks memiliki perbedaan dengan saraf perifer lainnya. Radiks tidak 

memiliki epineurium, perineurium, dan lebih 

sedildt kolagen pada endoneuriumnya. Hal 

ini memicu  kekuatan tensil radiks 

jauh lebih rendah dibandingkan bagian saraf 

tepi lainnya dan mudah mengalami avulsi. 

Tidak adanya perineurium yang berfungsi 

sebagai sawar memicu  radiks rentan 

mengalami serangan infeksi dan inflamasi.

Dalam pembahasan mengenai radikulopati 

perlu dipahami istilah miotom dan dermatom. Miotom yaitu  otot-otot yang diinervasi oleh satu segmen spinal. Dermatom 

yaitu  area kulit yang diinervasi oleh satu 

segmen spinal (Gambar 4). Setiap otot diinervasi oleh beberapa segmen spinal yang 

berdekatan dan setiap dermatom mengalami tumpang tindih dengan dermatom yang 

berdekatan (Tabel 1]. 

EPIDEMIOLOGI

Radikulopatl servikal lebih banyak terjadi 

pada perempuan dengan rasio perempuan 

dan laki-laki yaitu  7:1. Rochester menyebutkan angka kejadian tahunan berkisar 83,2 per

100,000 penduduk dan puncaknya pada usia 

50-54 tahun dengan angka kejadian 202,9 per

100.000 penduduk. Studi klinis dan radiologi 

menunjukkan keterlibatan mayoritas pada 

radiks C7 (70%), diikuti C6 (19-25%], C8 (4- 

10%), dan C5 (2%) kasus. Radikulopati lumbosakral akibat herniasi diskus melibatkan 

terutama radiks L4-5 (55%), L5-S1 (43%), 

dan L3-4 pada 2% kasus.

 


Etiologi

Radikulopati dapat dipicu  oleh lesi 

traumatik dan nontraumatik (Tabel 2). Lesi 

traumatik dapat bersifat langsung pada 

radiks [direct] maupun tidak langsung (indirect) akibat trauma pada struktur di sekitarnya, sehingga terjadi disrupsi mekanik 

baik berupa regangan atau kompresi radiks. 

Lesi nontraumatik dapat berupa lesi struktural yang memicu  kompresi dan lesi 

inflamasi atau infiltratif, sehingga terjadi 

kerusakan radiks melalui mekanisme iskemik, perubahan metabolik, dan sebagainya. 

Contohnya yaitu  lesi degeneratif, infeksi, 

neoplasma, metabolik, dan vaskular.

Etiologi radikulopati servikal terutama meliputi protrusi diskus (22%) dan 68% akibat 

spondilosis, abnormalitas disltus, atau keduanya. Berbagai etiologi radikulopati ini 

pada akhimya akan memicu  demielinasi 

dan atau degenerasi aksonal yang gambarannya akan tampak pada pemeriksaan elektrodiagnosa .

PATOFISIOLOGI

Radikulopati dapat dipicu  oleh proses 

penjepitan (entrapment), kompresi, transeksi, infiltrasi, dan iskemia. Kompresi 

merupakan mekanisme radikulopati yang 

paling sering. Secara struktural, radiks memiliki lebih sedikit kolagen endoneurium, 

tidak memiliki epineurium, dan aksonnya 

dilindungi lebih sedikit jaringan lemak serta 

jaringan penyambung, sehingga kemampuan tensilnya menurun dan rentan terhadap kompresi serta regangan. Tidak adanya 

perineurium pada radiks sebagai sawar 

darah-saraf memicu  radiks rentan terhadap invasi mediator inflamasi dan agen 

infeksi.

Kerusakan saraf yang terjadi dapat berupa 

demielinasi atau degenerasi aksonal (pada 

derajat kerusakan yang lebih berat). Klasifikasi derajat kerusakan saraf berdasarkan 

klasifikasi Sheddon dan Sunderland serta 

kemungkinan pemulihannya dibahas lebih 

lanjut pada bab pleksopati.

diagnosa  DAN diagnosa  BANDING

diagnosa  radikulopati ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan 

pemeriksaan penunjang (pencitraan dan elektrodiagnosa ). Penilaian gejala klinis berupa 

adanya nyeri, distribusi gangguan sensorik, 

kelemah-an otot, serta penurunan refleks fisiologis (Tabel 3).

Radikulopati ditandai dengan nyeri radikular 

atau parestesi yang menjalar sesuai dengan 

distribusi dermatomalnya. Nyeri daerah servikal terasa dari leher atau punggung atas 

ke bahu atau lengan hingga tangan. Pada 

level torakal nyeri radikular menjalar dari 

dinding posterior dada dan punggung ke 

arah anterior, terasa seperti terikat. Nyeri 

radikulopati lumbosakral biasanya menjalar hingga area di bawah lutut.

Distribusi area yang mengalami abnormalitas sensorik sesuai dengan dermatom radiks 

yang terlibat, tetapi batasnya tidak jelas dan 

biasanya tidak berat karena area sensorik 

antar radiks yang berdekatan saling tumpang 

tindih. Hal ini berbeda dengan lesi 

saraf terminal yang abnormalitas sensoriknya 

berat dan dapat dilokalisasi dengan tepat.

Demikian pula keterlibatan motorik terbatas pada otot-otot yang diinervasi oleh 

radiks yang terlibat (miotom yang sama). 

Radikulopati torakal dapat diidentifikasi 

dengan menginstruksikan pasien untuk 

melakukan gerakan sit-up sehingga otot 

abdomen atau interkostal yang lemah akan 

tampak menonjol. Kelemahan pada radikulopati biasanya juga tidak be rat, karena satu 

otot diinervasi oleh 2-3 radiks. Otot triseps 

tidak mengalami paralisis akibat radikulopati C7, karena masih mendapat inervasi 

dari radiks C6 dan C8. Refleks tendon dalam 

akan menurun pada radikulopati sesuai 

dengan inervasi radiks pada tendon yang 

diperiksa. Tabel 3 membantu untuk mengidentifikasi radiks yang terlibat 

iber: Misulis KE, dkk. Bradley's neurology in clinipractice. 2016. h. 332-41.

rikut beberapa manuver pemeriksaan 

k dapat membantu mendiagnosa  radiopati:

Manuver Valsava

Manuver valsava dapat mengeksaserbasi 

nyeri radikular dan parestesia yang menjalar. Manuver valsava memicu  

peregangan pada duramater pada titik 

kompresi intraspinal.

Tes Lhermitte

Dilakukan dengan cara melakukan fleksi 

pada leher (Gambar 5). Respons positif 

berupa parestesia yang menjalar sepanjang vertebra servikal atau menjalar ke 

ekstremitas atas yang simtomatik. Hal 

ini mengindikasikan disfungsi kolumna 

posterior medula spinalis yang dapat

dipicu  oleh kompresi karena spondilosis, massa dalam kanal spinal, atau 

proses intramedular,

3. Tes Spurling (Manuver Kompresi

Leher atau tes Kompresi Foramen)

Dilakukan dengan cara mengeskstensi 

leher, merotasi leher ke arah yang simtomatik, dan melakukan penekanan ke 

bawah pada kepala. Gerakan ekstensi 

akan memicu  penonjolan [bulging]

diskus ke arah posterior, sedangkan gerakan fleksi lateral dan rotasi menyebabkan penyempitan foramen neural (Gambar 6). Respons positif berupa nyeri atau 

parestesi yang menjalar ke ekstremitas 

atas, namun jika muncul responsnya, 

segera hentikan manuver ini . Tes 

ini bersifat spesifik tetapi tidak sensitif.

 

4. Upper Limb Tension Test

Tes ini didesain untuk meregangkan 

radiks yang terlibat sehingga mengeksaserbasi gejala radikular.

5. Shoulder Abduction R elief Sign (Tes

Abduksi Bahu)

Dilakukan dengan cara mengangkat 

lengan yang simtomatik ke atas lalu meletakkannya di atas kepala. Manuver ini 

bersifat terapeutik dan diagnostik untuk 

radikulopati servikal segmen bawah, 

oieh karena memicu  pembukaan 

foramen yang terlibat dan mendekompresi radiks sehingga meredakan gejala 

radikular pasien.

6. Tes Distraksi Leher

Tes ini dilakukan dengan cara memosisikan pasien dalam posisi supinasi, lalu 

melakukan traksi perlahan pada vertebra 

servikal (dengan kekuatan hingga 30pon).

7. Tes Laseque {Straight Leg Raising

Test/SLR)

Dilakukan ekstensi pada sendi panggul 

dalam keadaan ekstensi lutut, sehingga 

terjadi regangan radiks (Gambar 7a). 

Hasil tes dikatakan positif jika ada  

nyeri pada ekstremitas bawah saat ekstensi <70° menunjukkan etiologi nonorganik. ada  beberapa derajat hasil 

positif pada tes ini, yaitu sensasi kencang

 

pada otot ekstremitas bawah ipsilateral 

(signifikansi terendah), nyeri di punggung 

bawah (signifikansi moderate), nyeri radikular (signifikansi tinggi], dan bahkan 

gangguan sensorik pada distribusi radiks 

yang terlibat.

ada  beberapa modifikasi tes SLR, 

yaitu:

   Fenomena Bonnet; dilakukan dengan 

tambahan gerakan aduksi dan rotasi 

internal tungkai atas dan bawah.

   Bragard’s sign-, modifikasi dengan 

menambahkan gerakan dorsofleksi 

kaki (Gambar 7b).

   Sicard'ssign dengan menambahkan 

gerakan dorsofleksi ibu jari kaki.

   Hyadman's sign, yaitu timbul nyeri 

saat manuver SLR kemudian dilakukan fleksi panggul dan fleksi leher.

8. Reversed SLR Test atau Ely’s Test atau 

Tes Tegangan Femoral

Dilakukan dengan acara memosisikan 

pasien dalam posisi pronasi, lalu pemeriksa 

mengangkat ekstremitas bawah dalam keadaan lutut ekstensi, untuk meregangkan 

radiks lumbal atas. Hasil dikatakan positif 

jika timbul nyeri pada punggung bawah 

atau nyeri radikular.

9. Crossed Straight le g Raising Test

(Tanda Fajersztajn)

Tes ini dikatakan positif jika saat melakukan manuver Laseque timbul nyeri pada 

ekstremitas kontralateral.

10. Tanda Kernig

Tes ini dilakukan dengan cara memfleksikan sendi panggul pada posisi 

90° lalu mengekstensikan sendi lutut 

hingga 135°.

Pemeriksaan fisik lainnya yang diperlukan 

yaitu  observasi posisi tubuh pasien, deformitas pada vertebra, spasme otot paraspinal, dan nyeri tekan area vertebra-paravertebra.

Radikulopati memerlukan evaluasi lebih 

lanjut segera jika ditemukan tanda bahaya, 

yaitu ada  riwayat keganasan, ada  

penurunan berat badan yang tidak dapat 

dijelaskan, keadaan imunosupresi kronik, 

infeksi saluran kemih, atau lainnya, riwayat 

penyalahgunaan obat-obat intravena, usia 

di atas 50 tahun, demam, nyeri yang tidak 

membaik dengan istirahat, riwayat trauma

yang signifikan, pemakaian  steroid jangka 

panjang, retensi urin akut atau inkontinensia urin overflow akut, inkontinensia fekal, 

penurunan tonus sfingter anal, saddle anesthesia, dan kelemahan pada ekstremitas.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan meliputi Rontgen, CT scan, atau MRI vertebra, 

dan kecepatan hantar saraf-elektromiografi 

[Tabel 4], Rontgen vertebra dilakukan anteroposterior dan lateral untuk mengevaluasi 

keseluruhan alignment vertebra dan adanya 

perubahan (spondilosis). Rontgen vertebra 

pada posisi fleksi lateral dan ekstensi dapat 

mengevaluasi instabilitas vertebra. 

diagnosa  Banding

diagnosa  banding radikulopati meliputi 

lesi pleksus, saraf terminal (misalnya entrapment neuropathy), dan medula spinalis. Pada entrapment neuropathy pada 

bagian distal saraf terminal, kadang dapat 

memberikan gejala yang menjalar hingga ke 

bagian proksimal menyerupai radikulopati, 

namun tanpa nyeri di bahu atau punggung. 

Pada carpal tunnel syndrome, nyeri bermula 

dari pergelangan tangan hingga ke lengan 

bawah, lengan, dan bahu (jarang).

pengobatan 

pengobatan  radikulopati meliputi pengobatan  

simtomatik berupa pemakaian  analgetik nonnarkotik, hindari aktivitas provokatif, dan atasi 

kausatif sesuai sesuai etiologinya, antara lain:

1. Radikulopati Servikal Akut

pengobatan  meliputi menghindari aktivitas proaktif, pemakaian  analgesik 

nonnarkotik. Inaktivitas berkepanjangan

dan manipulasi spinal tidak direkomendasikan bila  ada  tanda kompresi 

medula spinalis atau herniasi diskus 

yang berat. Traksi servikal dapat dilakukan pada radikulopati aldbat stenosis 

foramen neuronal oleh patologi faset atau 

osteofit uncovertebral Pada radikulopati 

akut akibat protrusi diskus atau spondilosis dapat diberikan kortikosteroid 

dosis tinggi dengan penurunan cepat, 

misalnya prednison 60-80mg per hari 

selama 5-7 hari. Radikulopati akut dengan 

defisit neurologis selain gangguan sensorik berpotensi memicu  disabilitas yang berat, sehingga perlu dilakukan 

eksplorasi etiologi segera pada fase awal 

dengan MRI.

2. Radikulopati Servikal Kronik dan

Nyeri Leher Kronik

Jika gejala radikulopati >4 minggu disertai dengan defisit neurologis yang 

me-netap atau progresif maka perlu dilakukan evaluasi ulang dan pengobatan . 

Modalitas pengobatan  yang dapat dilakukan meliputi:

- Terapi fisik untuk memperbaiki postur tubuh

- Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)

- Traksi servikal

- Injeksi kortikosteroid atau kombinasi 

kortikosteroid dan agen anestesi epidural

- Blok radiks selektif untuk diagnostik 

dan terapeutik pada level servikal 

dan lumbosakral

- Injeksi kortikosteroid intraartikular 

pada sendi faset

- Neurotomi radiofrekuensi perkutaneus cabang medial ramus dorsalis 

servikal yang menginervasi sendi faset

3. M anajemen Bedah pada Gangguan 

Spinal Servikal

Intervensi bedah kemungkinan besar 

dilakukan pada kasus-kasus dengan defisit neurologis yang jelas atau progresif, 

nyeri refrakter, adanya lesi struktural 

sesuai dengan gejala ldinis, dan tanda 

mielopati. Manajemen bedah yang dilakukan tergantung pada patologi penyebab, 

antara lain disektomi, laminektomi, dan 

foraminotomi.

4. Herniasi Diskus Lumbosakral

Secara umum pada 4-6 minggu awal dilakukan pengobatan  konservatif kemudian dipertimbangkan pengobatan  bedah 

jika tetap simtomatik setelah 6 minggu. 

pengobatan  konservatif meliputi medikamentosa, terapi fisik, biofeedback, pemasangan korset lumbal, TENS dan akupuntur. 

Pilihan medikamentosa dapat berupa obat

anti inflamasi nonsteroid (OAINS), pelema; 

otot, atau analgetik opioid. Obat-obatar 

untuk nyeri neuropatik meliputi golongar 

antikonvulsan (gabapentin, pregabalin), serotonin-specific reuptake inhibitors (SSRI) 

atau antidepresan trisiklik (lebih lengkap 

di bab Nyeri Neuropatik).

Injeksi steroid dan obat anestesi epidurai 

dapat diberikan jika medikamentosa ora] 

tidak efektif. Kortikosteroid sistemik 

secara umum tidak direkomendasikan untuk meredakan nyeri. Tata laksana bedah perlu dilakukan segera jika 

ada  defisit motorik progresif dan 

sindrom kauda ekuina akut. Demikian 

juga indikasi relatif pada nyeri yang tidak 

terkontrol dengan medikamentosa. Intervensi bedah dapat berupa laminektomi, 

disektomi, eksisi diskus artroskopik, dan 

fusi spinal.

5. Stenosis Lumbalis

Manajemen konservatif stenosis lumbal secara umum sama dengan herniasi 

diskus. Intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi laminektomi, fasetektomi, foraminotomi, dan laminotomi. Pada 

dekompresi yang luas, adanya skoliosis 

degeneratif, kifosis, atau spondilolistesis 

memerlukan tambahan stabilisasi spinal.

6. Herniasi Diskus Torakal

pengobatan  konservatif secara umum 

sama dengan herniasi diskus. Dekompresi bedah diperlukan jika ada  tanda kompresi medula spinalis atau terapi 

konservatif tidak efektif.

7. Spondilosis Torakal

pengobatan  bedah diindikasikan apabiIa ada  stenosis kanalis yang menye-

 babkan mielopati, keterlibatan radiks T1 

yang memicu  kelemahan motorik 

tangan atau tidak efektifnya pengobatan  

konservatif. 










PLEKSOPATI


Pleksopati yaitu  suatu kelainan akibat 

gangguan pada jaringan saraf secara langsung mulai dari radiks saraf hingga saraf 

terminal, atau secara tidak langsung akibat 

kelainan pada jaringan sekitarnya, seperti 

pembuluh darah, pembuluh limfe, otot, 

dan tulang. Kelainan ini dapat terjadi pada 

pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral, 

sehingga disebut sebagai pleksopati brakialis dan pleksopati lumbosakral. Gejala Minis utama yang muncul yaitu  rasa nyeri, 

kelemahan motorik, serta gangguan sensorik 

dan autonom.

Otot yang mengalami kelemahan dan distribusi daerah kesemutan tergantung bagian 

pleksus yang terlibat. Pemulihan pada lesi 

ini bervariasi, lesi ringan dapat terjadi pemulihan spontan atau memicu  gangguan 

fungsional yang ringan, namun pada lesi berat 

dapat memicu  kecacatan.

EPID E M IO L O G I

Lesi pleksus brakialis meliputi 10% dari lesi 

saraf perifer dan kira-kira 14% lesi neurologis di anggota gerak atas yaitu  akibat lesi 

pleksus brakialis. Penyebabnya beragam 

dan trauma merupakan penyebab tersering 

karena letaknya di daerah leher dan bahu 

yang sering bergerak.

ANATOM!

Anatom! Pleksus Brakialis

Pleksus saraf tepi berawal dari radiks ventralis dan dorsalis yang berasal dari medula spinalis. Radiks dorsalis memiliki ganglion yang 

ada  neuron sensorik di dalamnya. Ke 

arah perifer kedua radiks ini menyatu menjadi 

N. Spinalis yang akan menjadi cabang ramus 

dorsalis dan ramus ventralis yang kemudian 

beranyam membentuk pleksus (Gambar 1).

Pleksus brakialis merupakan serabut saraf 

yang berasal dari ramus radiks ventralis 

saraf C5-T1. Radiks C5 dan C6 bergabung 

membentuk trunkus superior, C7 mejadi 

trunkus medial, serta C8 dan T1 bergabung 

membentuk trunkus inferior. Trunkus berjalan melewati klavikula dan membentuk divisi anterior dan posterior.

Divisi posterior dari masing-masing trunkus 

tadi akan membentuk fasikulus posterior. Divisi anterior dari trunkus superior dan media 

membentuk fasikulus lateral. Divisi anterior 

dari trunkus inferior membentuk fasikulus 

medial. Kemudian fasikulus posterior membentuk N. Radialis dan N. Aksilaris, Fasikulus 

lateral terbagi dua yaitu cabang yang satu 

membentuk N. Muskulokutaneus dan cabang 

lainnya bergabung dengan fasikulus media 

untuk membentuk N. Medianus. Fasikulus 

media terbagi dua yaitu cabang pertama 

yang membentuk N. Medianus dan cabang 

lainnya menjadi N. Ulnaris. (Gambar 2).

 

Pleksus brakialis terdiri dari:

1. Lima radiks

2. Tiga trunkus: superior, medial, dan inferior

3. Enam divisi: yang terbagi berdasarkan 

posisi dari klavikula menjadi anterior 

dan posterior, masing-masing 3 divisi

4. Tiga fasikulus/korda: lateral, posterior, 

dan medial

5. Lima cabang terminal sebagai saraf: N. 

Muskulokutaneus, N. Radialis, N. Medianus, N. Aksilaris, dan N. Ulnaris

Ramus dan trunkus terletak di supraldavikular, ada  2 saraf berasal dari ramus 

(N. Frenikus dan N. Dorsoskapularis) dan 

2 saraf dari trunkus superior (N. Supraskapularis dan N. Subklavius]. Divisi terletak

posterior terhadap klavikula. Divisi anterior 

memberi inervasi pada otot fieksor, dan divisi poster