Tampilkan postingan dengan label degenerasi lumbal 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label degenerasi lumbal 3. Tampilkan semua postingan

degenerasi lumbal 3


  nyeri pinggang bawah 

Radiografi polos 

Pemeriksaan radiografi polos pada nyeri pinggang bawah 

umumnya meliputi regio vertebra thoracolumbar (secara fungsional 

dari T11-L2), vertebra lumbal (L1-L5), vertebra lumbosakral (L5-S1), 

sacrum dan sendi sacroiliaca kanan kiri. Pemeriksaan ini relatif tidak 

mahal, memberi  dosis radiasi ionisasi yang lebih rendah 

daripada CT, dapat dilakukan meskipun pasien dalam kondisi 

gangguan mobilisasi, tersedia luas, baik untuk menilai defek pars 

interartikularis, spondilolisthesis, sakroiliitis, entesopati, serta 

stadium yang lebih lanjut dari keganasan maupun diskitis, dan pada 

beberapa situasi bermanfaat dalam evaluasi pasca operasi. Tetapi 

karena kondisi anatomi vertebra yang seringkali pada radiograf 

tampak saling overlapping, memicu  radiografi polos sulit 

menunjukkan fraktur pada elemen posterior (sendi facet, pedikel 

dan lamina) terutama pada penderita osteopenia. Pemeriksaan 

radiografi polos juga memiliki keterbatasan lain, seperti tidak 

sensitif dalam mendeteksi tahap dini dari proses keganasan, diskitis, 

osteomyelitis dan sakroiliitis inflamatorik yang tidak disertai infeksi. 

Pemeriksaan ini juga tidak mampu mendeteksi adanya herniasi 

diskus, medulla spinalis, nerve root, ataupun proses patologi di luar 

tulang. Untuk kasus trauma, radiografi polos tidak dapat digunakan 

untuk menentukan usia fraktur vertebra (akut atau kronik). 

Radiograf polos vertebra lumbar tidak direkomendasikan 

dilakukan secara rutin pada kondisi nyeri pinggang bawah akut 

yang non spesifik karena keterbatasan nilai diagnostiknya. Tetapi 

radiograf polos merupakan pemeriksaan imaging awal yang 

diperlukan pada kasus nyeri pinggang bawah dengan riwayat 

trauma dan pasien dicurigai mengalami fraktur vertebra. 

Pemeriksaan radiografi fleksi dan ekstensi dapat dilakukan untuk 

menilai stabilitas tulang belakang. Radiograf polos berguna dalam 

menunjukkan kompresi vertebra pada pasien yang terdiagnosis 

osteoporosis, sehingga bisa membantu keputusan klinisi dalam 

menginisiasi terapi spesifik seperti pemberian bifosfonat. 

Computed Tomography (CT) Scan 

CT merupakan pilihan bagi nyeri pinggang bawah akut pasca 

trauma apabila ada riwayat mekanisme trauma sedang atau berat 

pada usia muda, atau trauma yang lebih ringan pada usia tua. 

Seperti yang direkomendasikan oleh ACR Appropriateness Criteria, 

pasien yang berisiko tinggi mengalami trauma vertebra harus 

menjalani pemeriksaan CT. CT mampu memberi  detail fraktur 

sampai ke kolum posterior vertebra dan mampu menggambarkan 

integritas pedikel, lamina dan korteks posterior. Dengan adanya 

multiplanar reformat sagital dan koronal membuat CT mampu 

mendeteksi garis fraktur yang halus, spondylolysis, pseudarthrosis, 

fraktur, skliosis, and stenosis, serta evaluasi pasca operasi untuk 

menilai integritas hone graft, surgical fusion dan instrumentasi bedah. 

Bagi pasien-pasien yang terkendala dengan pemeriksaan MRI, 

CT myelografi dapat dilakukan untuk menilai patensi dari canalis 

spinalis / thecal sac dan foramen neuralis. Tetapi CT myelografi 

memiliki kelemahan yaitu memerlukan tindakan invasif dalam 

memasukkan kontras agen ke intrathecal melalui lumbal pungsi.


  

 

 

Kelemahan CT yaitu  dosis radiasinya yang cukup besar, 

sekitar 10-15 kali lebih besar daripada radiograf polos. Selain itu, 

tidak semua struktur pada tulang belakang dapat dinilai oleh CT, 

seperti medulla spinalis, nerve roots, ruang epidural, ataupun isi dari 

thecal sac, akibat kemampuan CT dalam menggambarkan jaringan 

lunak lebih inferior daripada MRI. Dibandingkan radiografi polos, 

CT cukup akurat dalam menilai perubahan degeneratif pada diskus 

ataupun sendi facet, mengevaluasi sakroiliitis, diskitis, serta 

osteomyelitis yang lebih dini (tetapi tidak sebaik MRI yang bisa 

menilai lesi pada tahap yang jauh lebih dini). 

Magnetic Resonance Imaging (MRI) 

Keunggulan MRI yaitu  memiliki resolusi kontras jaringan 

lunak yang lebih superior dibandingkan modalitas lainnya. MRI 

merupakan pilihan pada kasus-kasus dengan kecurigaan proses 

patologis pada bone marrow, sindroma cauda equina, kompresi 

medulla spinalis, abses epidural, massa paraspinal, proses infeksi, 

herniasi diskus, serta kelainan dari nerve root, thecal sac dan medulla 

spinalis. 

Tetapi tidak semua pasien dapat menjalani pemeriksaan MRI. 

Pasien-pasien dengan pacu jantung (pacemaker), klip aneurisma, 

impian koklea/ stapes, serta beberapa kondisi lain merupakan 

kontraindikasi pemeriksaan MRI. MRI juga memerlukan waktu 

pemeriksaan yang lebih lama daripada CT, sehingga sulit 

diaplikasikan bagi pasien-pasien yang tidak kooperatif ataupun 

tidak stabil. Untuk kasus-kasus infeksi dan neoplasma yang 

memerlukan kontras Gadolinium, diperlu kan pemeriksaan fungsi 

ginjal terlebih dahulu terutama pada pasien dengan gangguan 

fungsi ginjal untuk menghindari risiko terjadinya nephrogenic 

systemic fibrosis yang dapat dipicu oleh pemberian kontras 

Gadolinium. MRI tidak sebaik CT dalam mendeteksi fraktur linear 

vertebrae yang non-displaced (terutama yang mengenai elemen 

posterior). Kelemahan MRI lainnya yaitu  terfokus pada satu regio 

dalam sekali pemeriksaan, sehingga untuk mendeteksi proses 

patologis yang melibatkan banyak lokasi tulang di luar tulang 

belakang (misalnya proses metastasis), radionuclide bone scanning 

lebih unggul dibandingkan MRI. 

Untuk menilai kelainan pada tulang belakang akibat trauma, 

umumnya digunakan sekuens Tl-weighted, T2-weighted dan short 

tau inversion recovery (STIR) atau 12-fat saturation. Untuk 

mengevaluasi fraktur yang akut atau kronik, dapat dilihat dari ada 

tidaknya edema bone marrow memakai  sekuens STIR, dimana 

adanya edema menandakan kondisi fraktur yang akut. Selain itu 

MRI dapat membedakan gambaran fraktur kompresi yang jinak atau 

akibat keganasan. Apabila dijumpai kelainan konveksitas tepi 

posterior corpus vertebra, dengan ekstensi fraktur/ lesi ke elemen 

posterior dan intensitas sinyal bone marrow yang abnormal, sangat 

dicurigai suatu fraktur patologis. 

Untuk kecurigaan suatu keganasan, MRI mampu 

menggambarkan dengan sangat baik apakah lesi terletak pada 

intramedula, intradural-ekstramedula, atau ekstradural, serta 

ekstensi lesi. Untuk kecurigaan infeksi spinal yang memicu  

nyeri pinggang bawah, MRI memiliki sensitivitas dan spesifisitas 

yang tinggi. MRI mampu mendeteksi gambaran infeksi sebelum 

destruksi tulang terlihat pada pemeriksaan CT atau radiografi, 

melalui adanya intensitas sinyal yang abnormal pada bone marrow 

dan adanya contrast enhancement pasca injeksi Gadolinium di area 

lesi. MRI mampu melokalisasi area anatomi yang mengalami infeksi 

dan memvisualisasikan ekstensi proses infeksi ke jaringan 

ekstradural/epidural serta keterlibatan struktur paravertebral. 

Pemberian kontras Gadolinium dengan sekuens fat suppression juga 

akan sangat membantu dalam evaluasi abses formation. 

Untuk kelainan inflamatorik yang juga bisa menjadi penyebab 

nyeri pinggang bawah, MRI berperan dalam diagnosis dini 

sakroiliitis, mampu mendeteksi aktivitas penyakit melalui 

enhancement synovium maupun enhancement dari ligamen 

interspinosus yang mengindikasikan enthesitis, edema ataupun 

jaringan fibrosis yang mengalami vaskulariasi, inflamasi tulang 



 

rawan dan perubahan tulang subkondral. 

MRI sangat baik untuk menilai proses degenerasi tulang 

belakang yang meliputi degnerasi diskus, hemiasi diskus, robekan 

anulus fibrosus, stenosis kanalis spinalis maupun kompresi nerve 

root akibat herniasi diskus. MRI juga mampu menggambarkan 

kelainan sendi facet baik hipertrofi maupun proses inflamasi facet. 

Hipertrofi ligamen flavum yang dapat memicu  stenosis canalis 

spinalis dapat ditunjukkan dengan baik oleh MRI. 

Radionuclide bone scanning 

Radionuclidebonescanning menunjukkan area yang mengalami 

peningkatan bone turnover sebagai area dengan peningkatan uptake 

radioisotop dan radiofarmaka. Pemeriksaan ini memungkinkan 

visualisasi seluruh sistem skeletal. Kelemahannya, pemeriksaan ini 

sensitif tetapi tidak spesifik, dimana semua kondisi dengan 

peningkatan bone turnover (misalnya infeksi, neoplasma dan fraktur) 

akan menunjukkan peningkatan uptake. Pasien diinjeksikan 

radioisotop yang telah diikat oleh radiofarmaka tententu seperti 

methylene diphosphonate yang diikatkan pada ""Technetium ("mTc 

MDP) untuk menilai metastasis tulang, sel darah putih yang 

diikatkan pada "Indium atau "mTc 

Hexamethylpropyleneamine-oxine (HMPAO) untuk menilai infeksi 

tulang, dan yang terbaru sejalan dengan perkembangan PET/CT, 

Fluorine 18 yang diikatkan pada sodium fluoride (ISF- fluoride) atau 

l8F-fluoro-2-deoxyglucose (18F-FDG) untuk menilai metastasis tulang. 

Setelah menjalani pemeriksaan ini, pasien masih menyimpan bahan 

radioaktif di dalam tubuhnya sampai beberapa jam pasca prosedur, 

sehingga harus dibatasi kontaknya dengan anak-anak dan wanita 

hamil. Pemeriksan radionuclide bone scanning merupakan 

kontraindikasi bagi wanita hamil. Pemeriksaan ini tidak dapat 

dilakukan kurang dari 3-4 jam pasca injeksi radionuklida, sehingga 

tidak cocok digunakan dalam prosedur emergensi. Proses metastasis 

dan neoplasma yang tidak 


melibatkan respon osteoblastik (misalnya multiple myeloma 

serta metastasis yang dominan osteolitik seperti renal cell carcinoma, 

karsinoma payudara dan beberapa tipe metastasis karsinoma liroid) 

tidak akan menunjukkan peningkatan uptake radionuklida, dan 

penggunaan 18F-FDG disebutkan lebih bermanfaat dalam menilai 

proses metastasis yang dominan osteolitik. 

Pemilihan modalitas imaging diagnostik pada nyeri pinggang 

bawah 

Kriteria penting untuk nyeri pinggang bawah yang harus 

menjalani pemeriksaan imaging diagnostik yaitu  adanya red flag 

yang meliputi: 

 

Aplikasi dari berbagai modalitas imaging diagnostik sangat 

tergantung dari diagnosis kerja, urgensi masalah klinis dan 

komorbiditas pasien. Yang sering menjadi pertanyaan yaitu  

Tabel 3.1 Kriteria penting adanya red flag pada nyeri pinggang 

bawah 

Red flag 

Kondisi potensial penyebab nyeri 

pinggang bawah 

Riwayat keganasan 

Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan 

Kondisi imunosupresi 

Infeksi saluran kemih 

Penggunaan obat-obatan intravena 

Penggunaan kortikosteroid dalam jangka lama 

nyeri pinggang bawah yang tidak membaik dengan terapi 

konservatif 

Keganasan atau infeksi 

Riwayat trauma yang signifikan 

Jatuh dengan trauma minimal pada individu yang berpotensi 

osteoporosis atau pada usia tua 

Penggunaan steroid jangka panjang 

Trauma vertebra 

Onset akut dari retensi urine atau overflow inkontinensia 

Hilangnya tonus sfingter anus atau fekal inkontinensia Saddle 

anesthesia 

Kelemahan motorik ekstremitas inferior yang global atau 

progresif. 

Sindroma cauda equina atau 

gangguan neurologis yang 

berat 

 

  

 

 

modalitas imaging apakah yang harus dipilih untuk dapat secara 

aman, efektif dan efisien membantu klinisi menegakkan diagnosis 

penyebab nyeri pinggang bawah? American College of Radiology 

(ACR) Appropriateness Criteria memberi  petunjuk praktis 

mengenai hal ini  seperti yang tercantum di tabel berikut: 

 

 

Tabel 3.2 American College of Radiology (ACR) Appropriateness Criteria 

Temuan klinis Pilihan utama imaging diagnostik 

Nyeri pinggang bawah akut/ subakut/ kronik 

tanpa komplikasi, tanpa radikulopati, tanpa 

disertai red flag, tanpa terapi sebelumnya 

Tidak perlu dilakukan pemeriksaan imaging 

diagnostik dengan modalitas imaging apapun 

Nyeri pinggang bawah akut, subakut, atau 

kronis, tanpa komplikasi, dengan atau tanpa 

radikulopati, tetapi disertai salah satu kondisi 

berikut: low velocity trauma, osteoporosis, usia 

tua atau pengguna steroid yang kronik 

Radiograf polos proyeksi AP / lateral 

(direkomendasikan sebagai pemeriksaan 

imaging awal terutama pada pasien dengan 

osteoporosis atau dengan riwayat 

memakai  steroid 

CT (apabila dicurigai ada  fraktur corpus 

vertebra) 

MRI (apabila diperlukan evaluasi trauma 

ligamen atau adanya defisit neurologis yang 

memburuk) 

Nyeri pinggang bawah akut, subakut ataupun 

kronik dengan radikulopati yang disertai salah 

satu kondisi berikut: kecurigaan kanker, infeksi 

atau imunosupresi 

MRI tanpa dan dengan kontras intravena 

Apabila pasien terkendala dengan MRI atau 

kontras Gadolinium, dapat dipilih CT dengan 

kontras intravena 

Nyeri pinggang bawah akut, subakut ataupun 

kronik atau ada  radikulopati, kandidat 

operasi dengan gejala persisten atau progresif 

selama enam minggu terapi konservatif 

MRI tanpa kontras 

 

Nyeri pinggang bawah atau radikulopati 

disertai gejala yang baru atau progresif, 

dengan riwayat operasi tulang belakang 

sebelumnya 

MRI tanpa dan dengan kontras intravena untuk 

bisa membedakan fibrosis /scar atau kelainan 

pada diskus. 

Nyeri pinggang bawah dengan kecurigaan 

sindroma cauda equina atau defisit neurologis 

yang memburuk dengan cepat 

MRI tanpa kontras (perlu tidaknya MRI dengan 

kontras intravena tergantung dari kondisi klinis 

yang dijumpai). 

 


Gambaran Imaging pada nyeri pinggang bawah 

Degenerative spine disease 

Ditandai oleh perubahan degeneratif pada corpus vertebra, 

diskus, serta posterior elemen tulang belakang, berupa: 

1. Spondylosis. Ditandai dengan adanya pembentukan osteofit 

marginal pada corpus vertebra, dan dapat terlihat dengan 

radiografi polos. 

2. Degenerasi endplate. Michael Modic mendeskripsikan perubahan 

degeneratif pada endplate berupa: 

a.  Perubahan Modic tipe 1: terjadi akibat inflamasi, d itandai 

oleh adanya edema pada endplate dengan gambaran 

hipointens pada Tl-weighted dan hiperintens pada T2- 

weighted dan enhance pasca injeksi Gadolinium 

b. Perubahan Modic tipe 2: fatty changes, ditandai dengan 

hiperintensitas sinyal pada Tl- dan T2-weighted 

c. Perubahan Modic tipe 3: fibrous!osteosclerotic changes, 

ditandai dengan hipointensitas sinyal pada Tl- dan T2- 

weighted.


 

3. Degenerasi diskus. Endplate vertebra dilapisi oleh tulang rawan 

hyaline yang memungkinkan pertukaran metabolit, air, 

glukosa dan oksigen pada diskus. Nukleus pulposus yang 

berada di bagian sentral diskus tersusun oleh kondrosit dan 

jaringan longgar yang mengandung serabut kolagen yang 

terbenam di dalam matriks proteoglikan yang 

bertanggungjawabterhadapproseshidrasi diskus. Komposisi 

ini  memicu  diskus memberi  gambaran 

hiperintens pada T2. Di atas usia 30 tahun, terbentuk suatu 

intranuclear cleft di dalam diskus yang berhubungan dengan 

transformasi fibrous, terlihat sebagai garis linear hipointens di 

bagian sentral diskus. Annulus fibrosis yang tersusun oleh 

serabut kolagen yang padat dan melapisi diskus secara 

konsentris, terlihat sebagai struktur yang hipointens pada MRI. 

Degenerasi diskus dapat merupakan akibat dari proses aging 

bersama-sama dengan mikrotrauma dan gangguan faktor 

nutrisi diskus. Degenerasi diskus memberi  gambaran MRI 

berupa: 

a. Hilangnya intensitas sinyal pada T2-weighted (loss of 

intensity) akibat dehidrasi diskus yang disebabkan 

oleh penurunan kadar proteoglikan dan meningkatnya 

 

Gambar 3.1. Fatty marrow changes (perubahan Modic tipe 2). MRI sagittal (A) 

Tl-weighted menunjukkan band hiperintens tebal pada endplate; (B) pada T2 band 

ini  tetap hiperintens dan pada STIR (C) menjadi hipointens, menandakan 

bahwa pada endplate vertebra terjadi perubahan degene ra t i f fa tty marrow changes 

(Modic tipe 2). 


komponen kolagen, sehingga diskus menjadi lebih fibrous, 

tanpa atau disertai reduksi ketinggian diskus 

b. Hiperintensitas pada bagian posterior diskus yang 

menandakan adanya robekan annulus fibrosus 

c. Herniasi diskus: dari bulging disc (adanya >50% dari 

sirkumferensial diskus diluar tepi intervertebral ring 

apophysis), protruded disc (herniasi fokal dimana basisnya 

lebih lebar daripada dimensi lainnya), extruded disc 

(herniasi fokal dimana basisnya lebih sempit dari bagian 

yang mengalami herniasi), sampai sequestred disc 

(ada  fragmen diskus yang terlepas). 

d. Perubahan pada endplate vertebra (Schrnorl's node/ 

intravertebral hernia) akibat migrasi fragmen diskus ke 

bagian terlemah dari endplate. 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3.2. Intranuclear cleft dan loss of intensity. Sagital MRI T2-weighted. 

Intranuclear cleft pada diskus yang normal (panah) dengan intensitas sinyal 

diskus yang normal. Pada diskus yang mengalami degenerasi (kepala panah) 

akan mengalami loss of intensity sehingga menjadi lebih hipointens 

dibandingkan diskus yang normal. 

 

 

Gambar 3.3. Robekan annulus fibrosis (annular tear). MRI sagital T2- 

weighted: tampak hiperintensitas pada bagian posterior diskus intervertebralis 

(panah putih), dengan loss of intensity pada seluruh diskus level yang sama. 

Pada diskus level di bawahnya terlihat loss of intensity dengan reduksi 

ketinggian diskus yang menandakan degenerasi diskus. 

 

 

Gambar 3.4. Herniasi diskus. MRI Axial T2-weighted (gambar A,B,C) dan 

sagital T2-weighted (gambar D) menunjukkan ; (A) Bulging disc; (B) Protruded 

disc; (C) Extruded disc; (D) Sequestred disc, tampak adanya fragmen diskus yang 

terlepas. 

 


 

4. Degenerasi sendi facet. Pada radiografi polos, degenerasi sendi 

facet (facet arthropathy) dinilai dari proyeksi oblik kanan kiri, 

tampak sebagai gambaran berupa eburnasi/ sklerosis, adanya 

osteofit dan penyempitan sendi facet. CT mampu menilai 

gambaran arthrosis dari sendi facet dengan fokus pada 

perubahan tulang dan penyempitan celah sendi facet. MRI 

mampu menunjukkan keparahan dari degenerasi facet 

berdasarkan kerusakan struktur kartilaginosa facet (ketebalan 

dan coverage-nya), sklerosis tulang subkondral (penebalan 

tulang kortikal), dan adanya osteofit. Selain itu, degenerasi 

facet seringkali disertai oleh efusi intraartikuler, edema di 

dalam tulang dan jaringan lunak periartikuler.

 

(Tambar 3.5. Schmorl's node. Sagital MRI 

T2-weighted. Intervertebral hernia atau 

Schmorl's node (panah putih) 



 

 

Gambar 3.6. Hipertrofi sendi facet dan ligamen flavum. MRI axial T2-zueighted 

menunjukkan adanya hipertrofi sendi facet kanan kiri (panah hitam) bersama- 

sama dengan protrusi diskus foraminal kanan kiri (kepala panah putih) yang 

memicu  stenosis recessus lateralis kanan kiri. Tampak pula hipertrofi 

ligamen flavum (panah putih) yang memicu  penyempitan kanalis 

spinalis. 

5. Bursitis interspinosus. Merupakan neoartikulasi synovium 

akibat dari reduksi ketinggian diskus dan gesekan berulang 

diantara processus spinosus, terlihat pada MRI berupa 

hipointensitas sinyal pada Tl-weighted dan hiperintensitas 

sinyal pada T2-weighted di interspinosus. 

6. Spondylolisthesis dan spondylolysis. Spondylolisthesis merupakan 

displacement corpus superior terhadap corpus di inferiornya 

akibat sagitalisasi degeneratif dari artikuler facet. 

Diklasifikasikan oleh Meyerding menjadi 4 derajat (derajat I 

apabila pergeseran corpus < 25%, derajat II apabila pergeseran 

25-50%, derajat III apabila pergeseran 50-75% dan derajat IV 

apabila pergeseran 75-100%). Spondylolisthesis dapat dinilai 

dengan radiografi polos, CT maupun MRI. Spondylolysis 

degeneratif merupakan stress fraktur pada

isthmus, bisa unilateral atau bilateral. Apabila 

bilateral, dapat memicu  spondylolisthesis. 

Tanda indirek spondylolysis pada MRI meliputi 

cancellous edema pada isthmus dan adanya interposisi 

lemak epidural diantara lapisan dura bagian posterior 

dengan bagian anterior prosesus spinosus pada irisan 

sagital. 

Rangkuman 

Imaging diagnostik pada nyeri pinggang 

bawah sangat membantu klinisi dalam menegakkan 

diagnosis penyebab nyeri pinggang bawah. Namun 

demikian, tidak semua kasus , nyeri pinggang bawah 

memerlukan imaging untuk diagnostik. Diperlukan 

penilaian klinis yang akurat dan teliti untuk dapat 

mengarahkan pasien apakah benar-benar memerlukan 

pemeriksaan imaging atau tidak, serta menentukan 

modalitas imaging apa yang harus dipilih agar tujuan 

penegakan diagnosis dapat dicapai seoptimal mungkin. 


 

GAMBARAN ELEKTRODIAGNOSTIK 

PADA NEURODEGENERATIF 

HERNIA NUCLEUS PULPOSUS (HNP) 

I Komang Arimbawa, IGN Puma Putra, 

Thomas Eko Purwata 

Pendahuluan 

Hernia Nucleus Pulposus (HNP) yaitu  salah satu penyakit 

diskus degeneratif yang merupakan bagian dari proses penuaan, 

karena seiring dengan waktu diskus intervertebralis akan 

kehilangan kelenturan, elastisitas dan kemampuan untuk 

meredam gerakan yang terjadi secara mendadak. Lapisan paling 

luar dari diskus yaitu anulus fibrosus menjadi rapuh dan mudah 

robek dan pada waktu yang bersamaan bagian tengah dari diskus 

yang menyerupai gel atau agar-agar yaitu nukleus pulposus mulai 

kering dan kisut. Walaupun demikian, tidak semua orang yang 

memiliki pembahan degeneratif pada tulang belakang merasakan 

nyeri. Banyak orang yang tidak mengalami nyeri memiliki 

gambaran MRI yang menunjukkan herniasi diskus, perubahan 

degeneratif dan penyempitan kanalis spinalis. Pada HNP dapat 

terjadi penekanan pada akar saraf (radiks) yang dikenal dengan 

istilah radikulopati. Radikulopati servikal dan lumbosakral yaitu  

kondisi yang paling sering terjadi. Radikulopati disebabkan oleh 

hernia nukleus pulposus yang secara anatomis menekan akar saraf di 

dalam kanal tulang belakang. Etiologi umum lain untuk 

radikulopati yaitu  stenosis tulang belakang akibat kombinasi dari 

spondilosis degeneratif, hipertrofi ligamen, dan spondilolisthesis. 

Inflamasi radikulitis juga merupakan proses patofisiologi lain yang 

dapat

 

memicu  radikulopati dan penting untuk diingat bahwa 

proses lain seperti keganasan dan infeksi juga dapat 

memicu  gejala dan tanda radikulopati yang sama 

dengan penyebab yang lain. Diagnosis banding pada kelainan 

tulang belakang sangat banyak, sehingga penting bagi seorang 

ahli elektrodiagnostik untuk mengembangkan kerangka 

konsep untuk mengevaluasi hal ini dengan anamnesis riwayat 

penyakit dan pemeriksaan fisik serta pendekatan 

elektrodiagnostik yang tepat. Identifikasi yang akurat dari 

kasus radikulopati dengan cara elektrodiagnosis memberi  

informasi yang berharga sehingga dapat membantu 

perencanaan tindakan ke depannya dan meminimalkan 

prosedur diagnostik dan terapeutik invasif lain yang mahal. 

Pemeriksaan Elektrodiagnostik /Elektromiografi (EMG) 

Pemeriksaan elektrodiagnostik mahal dan tidak nyaman 

bagi pasien, jadi penting untuk dipahami mengapa 

pemeriksaan ini dilakukan dan apa saja yang diharapkan dari 

teselektrodiagnostik. Beberapa tujuan pentingnya yaitu : 

1. Elektrodiagnostik secara efektif menyingkirkan kondisi 

lain yang mirip seperti radikulopati, seperti polineuropati 

atau neuropati entrapment. 

2. Tes elektrodiagnostik dapat menunjukkan tingkat 

keparahan atau tingkat gangguan di luar gejala klinis 

pasien dan keterlibatan ekstremitas lainnya dapat 

digambarkan pada beberapa akar saraf seperti pada kasus 

stenosis vertebrae pada lumbosakral. 

3. Tes elektrodiagnostik berfungsi dalam memperkuat 

diagnosis dimana radikulopati yang jelas terlihat pada 

gelombang EMG pada pasien lansia non spesifik, atau 

spondilosis lumbal ringan, atau stenosis yang terlihat 

pada gambaran MRI sehingga mengurangi 

ketidakpastian diagnostik dan menentukan pengelolaan 

terapi selanjutnya (seperti injeksi steroid lumbal atau 

BAB III IMAGING DAN ELEKTRODIAGNOSTIK PADA NYERI PINGGANG BAWAH 

137  

 

 

operasi dekompresi pada situasi tertentu). 

4. Prediksi hasil yang lebih tepat saat ahli bedah 

merencanakan untuk dilakukan tindakan operasi pada 

kasus radikulopati servikal atau lumbosakral. EMG 

pada preoperatif yang positif meningkatkan 

kemungkinan hasil yang baik pasca operasi. 

5. Tes elektrodiagnostik dapat membedakan apakah suatu 

lesi pada saraf bersifat iritasi atau kompresi yang sangat 

penting untuk menentukan apakah pasien memerlukan 

tindakan pembedahan atau tidak. 

Panduan AANEM untuk Evaluasi Radikulopati 

Panduan The American Association of Neuromuscular and 

Electrodiagnostic Medicine (AANEM, sebelumnya AAEM) 

merekomendasikan bahwa untuk mengevaluasi pasien secara optimal 

dengan dugaan radikulopati dengan EMG jarum pada sejumlah otot, 

setidaknya satu Nerve conduction studi/ (NCS) motorik dan sensorik 

harus dilakukan pada anggota badan yang terlibat yang diperlukan 

untuk menyingkirkan polineuropati. Tes EMG untuk diagnostik pada 

radikulopati ditemukan adanya kelainan pada dua atau lebih otot 

yang diinervasi oleh akar saraf yang sama dan saraf perifer yang 

berbeda, namun otot yang berdekatan yaitu  normal. Ini 

mengasumsikan bahwa kondisi umum lainnya seperti polineuropati 

tidak ada. 

Pemeriksaan EMG pada anggota badan secara bilateral seringkali 

diperlukan, terutama jika satu anggota badan ada  radikulopati 

pada pemeriksaan EMG nya dan pasien juga memiliki gejala pada 

anggota badan yang kontralateral. Jika anggota badan bilateral 

dilibatkan, maka ahli elektrodiagnostik harus melanjutkan dengan 

memeriksa otot-otot terpilih pada tungkai atas (jika anggota badan 

bagian bawah tidak normal pada EMG) atau tungkai bawah (jika 

kedua tungkai atas tidak normal) untuk menyingkirkan proses umum 

seperti polineuropati atau penyakit motor neuron, demikian juga 

studi konduksi saraf tambahan yang sesuai untuk menyingkirkan 

kondisi lain yang dicurigai. 


  

 

 

H Reflex 

H Reflex biasa digunakan untuk menentukan apakah radikulopati 

menunjukkan keterlibatan SI. Ini yaitu  refleks monosinaptik yang 

merupakan respon saraf SI yang dimediasi sehingga bisa 

membedakan sampai batas tertentu L5 dari radikulopati SI. Banyak 

peneliti telah mengevaluasi sensitivitas dan spesifisitas H reflex 

sehubungan dengan radikulopati lumbosakral dan umumnya 

menemukan kisaran sensitivitas dari 32% sampai 88%. Namun, 

banyak dari studi ini masih ada  kekurangan kelompok kontrol, 

kriteria inklusi yang tidak tepat, atau ukuran sampel yang kecil. 

Marin et al secara prospektif memeriksa H reflex dan refleks 

ekstensor digitorum brevis pada 53 subyek normal, 17 pasien dengan 

L5, dan 18 pasien dengan radikulopati SI. Pasien dalam penelitian ini 

memiliki semua hal berikut: nyeri punggung bawah yang menjalar ke 

kaki, sensasi berkurang , kelemahan, atau tes lasegue positif , dan 

bukti EMG radikulopati atau perubahan struktural pada MRI atau CT. 

Perbedaan latensi maksimal dari sisi ke sisi pada H reflex yaitu  1,8 ms 

pada kelompok normal. Mereka menganalisis sensitivitas H reflex 

untuk perbedaan sisi ke sisi yang lebih besar dari 1,8 ms atau H reflex 

yang tidak normal pada sisi yang terkena. H reflex hanya 

menunjukkan sensitivitas 50% untuk radikulopati SI dan 6% untuk 

radikulopati L5 namun memiliki spesifisitas 91%. Amplitudo refleks 

tidak dinilai dalam penelitian ini dan hasil menunjukkan bahwa H 

reflex memiliki sensitivitas rendah pada keterlibatan radiks SI namun 

dapat membantu membedakan L5 dari keterlibatan radiks SI. 

H reflex mungkin berguna untuk mengidentifikasi radikulopati SI 

yang halus, namun ada sejumlah kekurangan yang terkait dengan 

respons ini. H reflex dapat menjadi normal pada radikulopati, karena 

dimediasi melalui jalur fisiologis yang panjang, H reflex dapat menjadi 

abnormal karena polineuropati, neuropati skiatik, atau pleksopati. 

Untuk menginterpretasikan nilai latensi atau amplitudo dan untuk 

memberi  penilaian 

 

 

mengenai probabilitas bahwa itu yaitu  nilai yang abnormal 

maka kita harus menentukan nilai normatif berbasis populasi 

dengan rentang usia yang tepat yang mencakup sejumlah 

besar subyek normal harus tersedia untuk membandingkan 

temuan konduksi saraf. Falco dkk menunjukkan pada 

sekelompok subjek lansia yang sehat (60 sampai 88 tahun) 

bahwa H reflex tibialis muncul dan dicatat secara bilateral 

pada 92%, sebagian besar lansia diperkirakan memiliki 

pemeriksaan H reflex yang normal dan saat  kelainan 

ditemukan pada orang-orang ini, ahli elektrodiagnostik 

harus mengevaluasi secara kritis temuan dan skenario 

klinisnya sebelum menghubungkan kelainan H reflek ke 

proses degeneratif. 

Pada pasien dengan gejala pada ekstremitas atas yang 

menunjukkan radikulopati servikal, H reflex dan gelombang F 

tidak berguna dalam diagnosis namun membantu 

menyingkirkan polineuropati sebagai penyebab gejala yang 

mendasarinya. Satu studi oleh Miller dkk meneliti H reflex pada 

anggota tubuh bagian atas pada sekumpulan pasien yang 

ditegakkan dengan kombinasi kriteria klinis (tidak ada imaging 

atau EMG) memiliki radikulopati servikal yang definit atau 

probable. Mereka menguji H refleks pada fleksor karpi radialis, 

ekstensor karpi radialis, dan otot abduktor pollicis brevis dan 

juga mengevaluasi H reflex biceps brachii. Refleks lalu  

diturunkan dengan menstimulasi saraf median di fosa kubiti dan 

merekam otot biseps brachii rata-rata 40 sampai 100 percobaan. 

Studi refleks ini memiliki sensitivitas 72% secara keseluruhan 

untuk kelompok ini dengan 100% pada pasien dengan definitif 

radikulopati servikal, sebaliknya pemeriksaan EMG jarum 

menunjukkan sensitivitas 90% untuk kelompok definitif 

radikulopati servikal. Meskipun temuan ini menunjukkan 

kemungkinan peran H reflex pada ekstremitas atas, pemeriksaan 

ini sangatlah terspesialisasi, membutuhkan banyak waktu, dan 

sulit untuk memperoleh hasil secara konsisten. H reflex mungkin 

  

 

 

memiliki peran dalam radikulopati sensorik dimana jarum EMG 

tidak menunjukkan hasil positif dan temuan 

pencitraan tidak jelas. Studi lebih lanjut diperlukan untuk 

mengklarifikasi apakah temuan Miller dkk dapat diulang di pusat 

elektrodiagnostik lainnya. 

 

H reflex muncul tanpa potensial M karena hanya saraf eferen 

Ia yang terangsang. Karena saraf Ia terangsang maka potensial 

sensoris berjalan secara ortodromik ke medula spinalis melalui 

sinaps dan memicu  potensial motoris yang berjalan secara 

ortodromik sepanjang saraf motoris ke otot. Akson motoris belum 

secara langsung terangsang, sehingga tidak ada potensial M. Saat 

intensitas stimulasi dinaikkan, baik saraf aferen Ia maupun akson 

motoris keduanya terangsang secara langsung. Akson motorik 

yang berjalan ortodromik memicu  potensial M, tetapi 

potensial aksi motoris juga berjalan secara antidromik menuju ke 

medulla spinalis. 

Potensial yang berjalan antidromik bertabrakan (collision) 

dengan potensial antidromik H reflex memicu  penurunan 

amplitudo H reflex. Sedangkan stimulasi supramaksimal saraf 

eferen Ia dan akson motoris dirangsang dengan intensitas tinggi

 

 

Gambar 3.7. Sirkuit H Refleks 


 

sehingga terjadi tabrakan di proksimal dari H reflex yang berjalan 

ke bawah. H reflex akan menghilang sering digantikan dengan 

respons F dan potensial M bertambah amplitudonya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Untuk merekam H reflex, G1 (hitam) ditempatkan di atas otot 

soleus, dua hingga tiga jari sebelah distal di mana ia bertemu 

dengan dua bellies dari otot gastrocnemius, dengan G2 (merah) di atas 

tendon Achilles. Saraf tibialis dirangsang submaksimal di fossa 

poplitea dengan katoda ditempatkan proksimal ke anoda.  

 

Gambar 3.8. H Refleks pada otot soleus 


  

 

 

Pada stimulasi dengan intensitas rendah, H reflex muncul 

tanpa respon motorik langsung (M). Dengan meningkatnya 

rangsangan, gelombang H muncul dan respon M juga muncul. Pada 

stimulasi yang lebih tinggi potensi M terus menigkat dan H reflex 

berkurang karena tumbukan antara H reflex dan potensial motor 

antidromik. 

F Wave 

Gelombang F yaitu  respons lambat yang melibatkan akson 

motor dan pool aksonal pada tingkat spinal cord. Gelombang F 

dapat dinilai dan diklasifikasikan dengan memakai  latensi 

minimal, latensi rata-rata, dan chronodispersion atau scatter. Seperti 

pada kasus H reflex, gelombang F menunjukkan sensitivitas yang 

rendah dan tidak spesifik untuk radikulopati tetapi gelombang F 

yaitu  tes yang lebih baik untuk screening polineuropati. Sensitivitas 

yang dipublikasikan pada radikulopati berkisar antara 13% sampai 

69% namun pada penelitian ini banyak kekurangan yang 

ditemukan pada studi H reflex. 

London dan England melaporkan dua kasus pada pasien 

dengan klaudikasio neurogenik dari stenosis tulang belakang 

lumbosakral. Mereka menunjukkan bahwa respons gelombang F 

bisa reversibel setelah 15 menit ambulasi yang memprovokasi 

gejala. Ini memberi kesan suatu blok konduksi iskemik yang 

diinduksi pada neuron motor proksimal. Sebuah studi skala besar 

jenis ini mungkin menemukan penggunaan gelombang F untuk 

identifikasi stenosis tulang belakang lumbosakral dan membantu 

penggambaran neurogenik dari klaudikasi vaskular.

IMAGING DAN ELEKTRODIAGNOSTIK PADA NYERI PINGGANG BAWAH 


 

 

Kecepatan Hantar Saraf (KHS) Motorik dan Sensorik 

Standar motorik (Compound Muscle Action Potential/ CMAP) 

dan sensorik (Sensory Nerve Action Potential/ SNAP) kecepatan 

hantar saraf tidak membantu dalam mengidentifikasi 

radikulopati servikal atau lumbosakral, namun harus dilakukan 

untuk menyingkirkan polineuropati dan menyingkirkan 

neuropati entrapment jika pasien mempunyai keluhan neuropati 

entrapment fokal. Penting untuk diingat bahwa berdasarkan 

anatomi root dorsal ganglion, respon sensoris harus normal pada 

kebanyakan radikulopati, jika tidak ada respon maka kecurigaan 

kita ada  diagnosis lain seperti polineuropati atau pleksopati. 

Pleksopati sering memicu  tantangan diagnostik 

karena gejala dan tanda yang sama dengan radikulopati, untuk 

membedakan pleksopati dari radikulopati. Respon tes SNAP 

yang dapat diakses pada anggota badan harus diperiksa, pada 

 

Gambar 3.10. Respon normal Gelombang F pada stimulasi proksimal (kiri) 

dan distal (kanan) 


  

 

 

pleksopati cenderung mengalami penurunan amplitudo, 

sedangkan pada radikulopati umumnya normal. Jika kehilangan 

substansial aksonal telah terjadi pada tingkat radiks, CMAP yang 

tercatat pada otot yang diinervasi oleh radiks itu dapat 

berkurang pada kedua pleksopati dan radikulopati. Hal ini 

biasanya terjadi pada lesi aksonal yang berat, seperti lesi kauda 

equina atau trauma tembus yang melukai radiks. Latensi distal 

CMAP dan kecepatan hantar saraf biasanya dipertahankan 

sebagai refleks yang cepat pada konduksi serabut saraf. 

Elektromiografi dengan Jarum 

Kebutuhan akan EMG terutama yang terkait dengan 

pencitraan tulang belakang saat ini sedang banyak disorot. EMG 

dengan jarum sangat membantu mengingat fakta bahwa tingkat 

positif palsu untuk MRI lumbal spinal begitu tinggi, dengan 27% 

subyek sehat memiliki diskus yang menonjol. Untuk tulang 

belakang servikal tingkat positif palsu untuk MRI jauh lebih 

rendah dengan 19% subjek menunjukkan kelainan, namun hanya 

10% yang menunjukkan herniasi atau diskus yang menonjol. 

Radikulopati dapat terjadi tanpa temuan struktural pada MRI 

dan juga tanpa temuan pada EMG. EMG hanya mengevaluasi 

kerusakan motor aksonal atau blok konduksi akson motor dan 

radikulopati yang mempengaruhi radiks sensorik tidak akan 

memicu  kelainan pada EMG. Jika tingkat denervasi 

diimbangi dengan reinnervasi pada otot maka aktivitas spontan 

cenderung terjadi dan diidentifikasi dengan jarum EMG. Bentuk 

dari reinnervasi ditunjukkan dengan fibrilasi, positif sharp wave 

(PSW) dan satelit potensial. Ciri khas lesi pada radiks yaitu  

saraf sensorik tidak ikut terkena, contohnya nervus suralis pada 

ekstremitas bawah dan nervus medianus, ulnaris dan radialis 

pada ekstremitas atas. 

 IMAGING DAN ELEKTRODIAGNOSTIK PADA NYERI PINGGANG BAWAH 

  

 

 

 

Sensitivitas EMG dengan jarum untuk radikulopati servikal 

dan lumbosakral telah diperiksa dalam sejumlah penelitian. 

Hasil beberapa penelitian ini menunjukkan EMG yaitu  standar 

baku emas (Gold Standard) untuk diagnosis radikulopati. Studi 

yang memakai  standar klinis mungkin mencerminkan 

kelompok yang tidak begitu parah, sedangkan mereka yang 

memakai  konfirmasi bedah mungkin mengindikasikan 

kelompok yang lebih parah. Sensitivitas untuk EMG tidak 

mengesankan, mulai dari 49% sampai 92% dalam penelitian 

yang pernah dilakukan dan EMG bukanlah tes sensitif namun 

kemungkinan memiliki spesifisitas yang lebih tinggi. 

Kekhususan dan nilainya dalam elektrodiagnosis telah 

digarisbawahi oleh Robinson. Jelas bahwa EMG bukanlah tes 

skrining yang sangat bagus, dalam hal tes skrining MRI lebih 

baik untuk mengidentifikasi kelainan struktural yang minimal, 

sedangkan EMG lebih cocok digunakan untuk menilai relevansi 

klinis dan untuk menyingkirkan gangguan lainnya. 

1. Potential Fibrilasi 

Potensial fibrilasi merupakan depolarisasi spontan pada 

serabut otot yang mengalami denervasi. Potensial fibrilasi 

mempunyai bentuk gelombang bifasik yang cepat dan dimulai

50pV/D 20 ms/D 

 

Gambar 3.11. Satelit potensial suatu tanda awal dari re-inervasi pada Motor Unit 

Action Potential (MUAP) 


 

 

50pv| _  

 

Gambar 3.12. Potensial fibrilasi. Depolarisasi spontan dari single 

muscle fiber dengan defleksi awal positif, durasi singkat, dan 

morfologi trifasik 

dengan gelombang positif berdurasi 1 hingga 5 ms, amplitudo 

rendah (biasanya 10-100 pV) dan relatif regular dengan frekuensi 

0,5-10 Hz . Pada keadaan denervasi kronis amplitudo dapat 

menyusut sampai kurang dari 10 pV. Pada EMG potensial fibrilasi 

tunggal terdengar seperti "rain on the roof. Meskipun potensial 

fibrilasi mempunyai kecepatan yang teratur, secara bertahap 

kecepatannya dapat melambat selama beberapa detik sebelum 

berhenti. 

 

Gambar 3.13. Potensial Fibrilasi (rastered traces) dengan pola yang teratur dan 

membantu mengidentifikasi munculnya gelombang potensial fibrilasi

50HV|_ 

  

10ms 

     

   

 

BAB III IMAGING DAN ELEKTRODIAGNOSTIK PADA NYERI PINGGANG BAWAH 

147  

 

 

50 \N |_ 

10 ms 

Gambar 3.14. Positive Sharp Waves dimulai dengan defleksi positif diikuti dengan tahap  

negatif yang lambat 

2. Positive Sharp Wave (PSW) 

Positive sharp ivave timbul oleh karena depolarisasi spontan dari 

serabut otot yang merupakan tanda denervasi seperti neuropati, 

radikulopati, penyakit motor neuron, dan beberapa kasus miopati 

(miopati oleh karena inflamasi dan jenis distrofi). Positive sharp wave 

mempunyai gambaran gelombang positif yang cepat, diikuti oleh 

gelombang negatif yang relatif panjang. Amplitudonya bervariasi 

(biasanya 10-100 pV, kadang-kadang hingga 3 mV), regular dengan 

frekuensi 0,5 dan 10/30 Hz. 

Positive sharp wave dapat digradasikan dari 0 sampai 4 : 

0 tidak dijumpai adanya positive sharp wave (PSW) 

+1 didapatkan potensial tunggal yang persisten (lebih dari 2-3 detik) 

pada paling tidak dua area +2 didapatkan potensial dalam jumlah 

sedang pada tiga area atau lebih 

+3 didapatkan banyak PSW pada semua area +4 didapatkan 

potensial dengan bentuk full interference pattern  


  

 

 

50 

pV/D lOms/D 

Gambar 3.15. Grade 4+ Potensial Fibrilasi 

 

3. Complex Repetitive Discharges (CRD) 

Complex Repetitive Discharges merupakan letupan listrik 

berulang (repetitive discharges) sebagai hasil depolarisasi serabut otot 

yang mengalami denervasi yang diikuti oleh transmisi potensial 

secara ephaptic. Tranmisi secaraephaptic yaitu  transmisi impuls 

antara serabut yang bersebelahan dan tidak melalui sistem sinaps. 

Timbul dan menghilang secara mendadak dengan suara seperti 

mesin, mempunyai frekuensi 20-150 Hz berbentuk gerigi (m ul User 

rated) dan bisa dijumpai pada neuropati dan miopati yang kronis. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3.16. Complex repetitive discharge (CRD)  

BAB III IMAGING DAN ELEKTRODIAGNOSTIK PADA NYERI PINGGANG BAWAH 

  

 

 

Lumbar Spinal Stenosis 

Dengan meningkatnya populasi orang tua di Amerika Serikat 

dan meningkatnya prevalensi stenosis tulang belakang lumbar yang 

terjadi pada orang tua, kondisi ini memicu  masalah kesehatan 

masyarakat yang besar, bahkan seluruh Pusat Pengobatan Fisik dan 

Klinik Rehabilitasi di Amerika Utara baru-baru ini didedikasikan 

untuk masalah ini. Ada beberapa penelitian yang melibatkan 

stenosis tulang belakang dan elektromiografi. Untuk stenosis tulang 

belakang lumbosakral, Hall dkk menunjukkan bahwa 92% orang 

dengan stenosis dapat dikonfirmasi dengan gambaran EMG yang 

positif. Mereka juga menggaris bawahi fakta bahwa 46% orang 

dengan penelitian EMG positif tidak menunjukkan kelainan otot 

paraspinal, hanya temuan otot distal, sedangkan 76% menunjukkan 

keterlibatan myotomal bilateral. 

Di Amerika Serikat kasus diabetes sedang meningkat sehingga 

meningkatnya prevalensi dan kejadian diabetes sering 

mengacaukan keakuratan diagnosis radikulopati dan stenosis tulang 

belakang. Penggalian anamnesis yang tidak tepat pada 

polineuropati sensorik, amiotrofi diabetes, atau mononeuropati 

dapat memicu  tindakan intervensi bedah yang sebenarnya 

tidak perlu. Dalam sebuah penelitian prospektif oleh Adamova dkk, 

dilakukanlah penilaian dengan EMG, Ada tiga kelompok: 29 orang 

dengan pemeriksaan imaging stenosis tulang belakang dengan klinis 

yang ringan, 24 subyek dengan diabetes dan polineuropati, dan 

kelompok kontrol dengan usia 25 orang. Dalam studi yang 

dirancang dengan baik ini, amplitudo SNAP suralis dapat dengan 

jelas membedakan kelompok polineuropati diabetik (amplitudo 4,2 

pV atau kurang ditemukan pada 47% pasien diabetes dan hanya 

17% pasien stenosis). Ciri khas pemeriksaan EMG pada kanal 

stenosis yaitu saraf sensoris bilateral normal, lalu  ada  

proses denervasi bilateral contohnya pada otot gastrocnemius kanan 

dan kiri. Gelombang F ulnaris memanjang pada pasien 

polineuropati namun tidak 


 

 

pada pasien stenosis lumbal, dan pemeriksaan SNAP radialis 

Amplitudo berkurang pada pasien polineuropati. Temuan ini 

menggaris bawahi pentingnya pemeriksaan sensorik (SNAP) dan 

pemeriksaan gelombang F pada ekstremitas yang terlibat dan juga 

ekstremitas atas untuk sepenuhnya mengenali polineuropati 

diabetes dan membantu membedakan kondisi ini dari stenosis 

tulang belakang ataupun radikulopati. 


 

 

PENYAKIT DEGENERATIF LUMBAL 


regenerasi lumbal yaitu  perubahan struktur dan fungsi yang 

terjadi pada regio lumbal. Proses degeneratif yang terjadi 

sebagai akibat dari proses menua pada masing - masing individu 

berbeda-beda, demikian pula halnya pada regio tulang belakang. 

Proses degenerasi pada tulang belakang dapat terjadi pada 

diskus intervertebralis yang disebut dengan Penyakit Degenerasi 

Diskus (Disc Degeneration Disease) dan degenerasi yang mengenai 

sendi facet yang disebut Degenerasi Sendi facet (Osteoarthritis sendi 

facet). 

Penyakit degeneratif lumbal dapat disebabkan oleh karena 

menurunnya fungsi mekanis dan komponen kimiawi yang dapat 

disebabkan oleh karena proses penuaan, trauma, jenis pekerjaan, 

merokok maupun akibat pengaruh hormonal. 

Secara unit fungsional, tulang belakang bagian anterior bersifat 

statik sedangkan bagian posterior bersifat dinamik. Bagian anterior 

yang fleksibel berfungsi sebagai pembawa beban dan pengabsorbsi 

getaran. Sedangkan bagian posterior yang terdiri dari 2 arkus 

vertebral, 2 prosesus transversus, 1 prosesus spinosus dan 2 buah 

sendi facet, berfungsi melindungi elemen neural dan berperan 

sebagai fulkrum dan mengarahkan pergerakan dari suatu unit 

fungsional. Elemen posterior ini akan membagi beban kompresif 

dan mempengaruhi pola pergerakan tulang belakang. Beban yang 

berlebihan akan memicu terjadinya proses degenerasi, dimana pada 

daerah yang mengalami kerusakan diskus akibat degenerasi, 

tekanan tidak lagi diteruskan 


 

secara merata pada end plate dan pada bagian posterior sendi 

facet. Keadaan ini akan memicu  hilangnya stress pada sisi 

anterior body yang akan memicu  terjadinya bone loss dan 

kelemahan pada area anterior dimana tulang akan menyesuaikan 

massa dan arsitekturnya sebagai respon terhadap besar arah dan 

gaya yang diterima. 

Perubahan kimiawi yang terjadi pada degenerasi lumbal 

yaitu  berkurangnya komponen air dan proteoglikan dari annulus 

fibrosus. Proses degeneratif pada nukleus secara utama ditandai 

dengan menurunnya kandungan air di dalam nukleus pulposus, 

dan menurunnya proteoglikan yang secara relatif akan 

meningkatkan jumlah kolagen. 

Proses degeneratif pada sendi facet ditandai dengan kerusakan 

tulang rawan dan perubahan pada tulang subkondral, yang disertai 

dengan terbentuknya osteofit dan kista. Bentuk sendi secara anatomi 

akan berubah menjadi hipertrofi. Kerusakan tulang rawan akibat 

faktor mekanik ini  akan memicu  pelepasan antigen oleh 

tulang rawan sendi. Keadaan ini akan mensti mulasi sistem imun 

sehingga terjadi reaksi imunologis yang memicu  pelepasan 

mediator inflamasi dan enzim protease yang bersifat destruktif dan 

pada akhirnya akan memperberat kerusakan tulang rawan. 

Kerusakan tulang rawan ini ditandai dengan meningkatnya kadar 

COMP (Cartilage Oligometric Matrix Protein). 

Degradasi tulang rawan akan memicu  peningkatan 

kadar COMP dalam cairan sinovial serta dalam serum. Produk 

degradasi tulang rawan ini akan difagositosis oleh synovium dan 

lalu  menstimulasi proses inflamasi yang ditandai oleh nyeri. 

Sel - sel synovium yang teraktivasi akan memproduksi berbagai 

mediator katabolik dan pro inflamasi serta enzim proteolitik yang 

akan memicu  kerusakan tulang rawan. 

Meskipun proses degeneratif terjadi pada diskus 

intervertebralis dan sendi facet, beberapa struktur lainnya pun 

mengalami perubahan yaitu hipertrofi pada end plate vertebral dan 

ligamentum flavum. 

Dua vertebral body yang dihubungkan oleh diskus 


 

intevertebralis, sendi facet dan ligamen ini  merupakan suatu 

functional spine unit (FSU) yang tidak dapat dipisahkan dan secara 

dinamis bekerja bersama-sama dalam suatu beban fisiologis. Karena 

posisinya yang paling banyak menahan beban mekanik, maka pada 

penampang sagital, alignment pada regio lumbal ini yaitu  lordosis. 

Akibat dari bentuk dan struktur ini , secara biomekanik regio 

ini merupakan regio yang mudah dan cepat mengalami degenerasi. 

Beberapa penyakit degeneratif yang dapat terjadi pada region 

lumbal meliputi osteoarthritis lumbal, lumbar spinal canal stenosis, 

lumbar disk herniation dan spondylolisthesis. 

MANIFESTASI KLINIS 

Secara umum, suatu proses degeneratif yang simtomatik pada 

tulang belakang yang terjadi pada pasien berusia di atas 40 tahun 

akan memberi  manifestasi klinis berupa nyeri sebagai akibat dari 

proses patologi yang terjadi. Nyeri yang timbul hampir selalu 

berhubungan dengan aktivitas ataupun posisi duduk yang 

berkepanjangan, yang dapat menstimulasi saraf nyeri pada diskus 

intervertebralis (diskogenik) ataupun kapsul sendi facet. 

NYERI DISKOGENIK 

Nyeri diskogenik sebagai akibat proses degenerasi pada 

lumbal mempunyai karakteristik sebagai berikut: 

Nyerinya akut 

Disebabkan oleh berbagai faktor 

Dipengaruhi posisi penderita 

Meningkat apabila ada penekanan seperti saat  batuk dan 

bersin 

Posisi duduk terlalu lama akan mencetuskan terjadinya nyeri 

pinggang akibat meningkatnya beban pada diskus intervertebralis 

lumbal bila dibandingkan dengan posisi berdiri. Penderita juga


 

PENYAKIT 0EGENERA3I LUMBAL | Diagnosis dan Tata Laksana 

akan merasa pinggangnya kaku akibat dari spasme otot - otot 

paraspinal. 

NYERI SENDI FACET 

Pada nyeri pinggang axial, nyerinya akan berkurang pada 

posisi terlentang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan 

pada sendi facet yang biasanya unilateral dan nyerinya bertambah 

pada posisi hiperekstensi/hiperlordosis. 

EVALUASI DIAGNOSTIK 

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendiagnosis 

adanya degenerasi pada lumbal dapat berupa pemeriksaan 

radiologi rutin seperti foto polos X-ray ataupun CT scan. Namun, 

modalitas radiologi lainnya seperti MRI ataupun diskografi dapat 

pula dilakukan. 

X- RAY 

Pada foto polos Lumbosakral AP/Lateral/Oblik, degenerasi 

pada lumbal akan ditandai dengan menurunnya tinggi celah diskus 

intervertebralis, terbentuknya osteofit pada vertebral bodi/, 

terbentuknya sindesmofit serta destruksi dari sendi facet. Reaksi 

sklerotik jarang terjadi. Proses degeneratif memicu  

terjadinya perubahan kinematik yang bisa dideteksi dengan foto 

dynamic view. Pada dynamic view dapat dijumpai adanya translasi, 

baik pada saat fleksi maupun pada saat ekstensi. Bila terjadi 

instabilitas pada tulang belakang, akan tampak gambaran Iisthesis 

ke arah anterior, posterior dan lateral. 

COMPUTED TOMOGRAPHY SCAN 

Computed Tomography (CT) scan sangat ideal untuk 

mengevaluasi struktur tulang. Pada CT scan akan terlihat diskusi 

intervertebralis yang kolaps serta adanya bulging dan penonjolan 

dari annulus fibrosus. Sedangkan sendi facet akan terlihat hipertrofi 

dan ada  gambaran "ram’s horn".


 

MAGNETIC RESONANCE IMAGING 

Merupakan modalitas diagnostik yang sangat sensitif untuk 

mendeteksi proses degenerasi. Stadium awal proses degenerasi pada 

diskus intervertebralis, yang ditandai dengan menurunnya 

kandungan air dapat teridentifikasi pada gambaran T2-weighted 

yang biasa disebut dengan "Black Disc Disease". Aksial MRI 

digunakan untuk melihat perubahan tulang rawan pada sendi facet. 

Buckling, redundancy dan hipertrofi ligamentum flavum dapat 

terlihat pada gambaran Tl-weighted, sedangkan perubahan pada end 

plate dan sumsum tulang yang berdekatan dapat dinilai dengan 

melihat perubahan intensitas sinyal pada gambaran T1 dan T2. 

DISCOGRAPHY 

Merupakan tes provokasi ke dalam diskus intervertebralis. Tes 

ini bertujuan memicu  keluhan nyeri untuk mengetahui 

sumber dari nyeri ini . Diskografi dilakukan dengan 

menyuntikkan kontras ke dalam diskus intervertebralis, dan pada 

saat yang bersamaan, menanyakan kepada pasien apakah terasa 

nyeri. Penilaian dilakukan dengan melihat gambaran kontras pada 

X-ray, CT scan atau dengan tuntunan C-arm. Apabila ada  

robekan pada annulus fibrosus maka akan tampak adanya 

ekstravasasi kontras. 

FACET BLOK 

Tindakan diagnostik dengan facet blok dilakukan dengan 

memakai  injeksi anestesi local, jika nyeri ini  hilang setelah 

dilakukan injeksi pada sendi facet, berarti sumber nyerinya ada  

pada sendi/acef. 

TATALAKSANA 

Secara umum, degenerasi tulang belakang lumbal simtomatis 

dapat ditatalaksana secara non operatif maupun operatif.


  

 

 

NON OPERATIF: 

Merubah gaya hidup dengan menghilangkan semua faktor 

resiko 

Latihan memperkuat otot - otot paravertebra dan dinding 

abdomen 

Obat - obatan: analgesia dan anti inflamasi 

External support dengan orthosis lumbosakral 

OPERATIF 

Tindakan operasi dilakukan bila tindakan non operatif gagal, 

dan tujuan tindakannya yaitu  untuk melakukan fusi. Ada beberapa 

teknik fusi lumbar antara lain yaitu  fusi posterolateral dan fusi 

anterior interbody. Ada pula klinisi yang mengerjakan diskektomi, 

fusi interbody, facetectomy dan fusi posterolateral. Tindakan ini 

disebut dengan 360° atau fusi sirkumferensial. 


 

 

 

 

BAB IV PENYAKIT DEGENERATIF LUMBAL 

  

 

 

OSTEOARTHRITIS LUMBAL 


steoarthritis (OA) yaitu  suatu gangguan pada sendi 

yangbersifat kronis, berjalan progresif, dan ditandai oleh 

deteriorasi dan abrasi tulang rawan sendi, serta pembentukkan 

tulang baru pada permukaan sendi. Osteoarthritis merupakan 

bentuk arthritis yang paling umum dengan jumlah pasiennya 

melampaui separuh jumlah pasien arthritis. Gangguan ini sedikit 

lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki dan khususnya 

ditemukan pada orang-orang yang berusia lebih dari 45 tahun. 

Berdasarkan patogenesisnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu 

OA primer dan OA sekunder. Osteoarthritis primer, yang disebut 

juga sebagai OA idiopatik, yaitu  OA yang penyebabnya tidak 

diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik 

maupun proses perubahan lokal pada sendi. Osteoarthritis sekunder 

yaitu  OA yang didasari oleh kelainan endokrin, inflamasi, 

metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta 

imobilisai yang terlalu lama. Osteoarthritis primer lebih sering 

ditemukan daripada OA sekunder. Daerah predileksi OA yaitu  

daerah pergelangan tangan, pinggang, lutut, leher dan tulang 

belakang terutama daerah lumbosakral. 

Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang sering 

ditemui pada usia tua akibat proses degenerasi yang terjadi. Proses 

degeneratif yang terjadi pada tulang belakang, terutama di daerah 

lumbal, disebut sebagai OA lumbal. Prevalensi OA lumbal pada usia 

50 tahun baik pada laki-laki maupun pada wanita sama, sedangkan 

pada usia di atas 50 tahun prevalensinya meningkat pada wanita. 


 

 

ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI 

Etiologi dari osteoarthritis masih belum diketahui secara pasti. 

Banyak faktor yang terlibat dalam kejadian nyeri pinggang bawah 

akibat OA lumbal, antara lain yaitu  usia/degeneratif, 

herediter/genetik, trauma mekanik, obesitas, perubahan hormonal 

yang sering terjadi pada wanita tua (termasuk perubahan hormon 

estrogen) dan peristiwa apapun yang dapat merubah lingkungan 

atau komposisi dari kondrosit. Semua faktor ini  berpotensi 

memicu  osteoarthritis. 

PATOFISIOLOGI 

Kirkaldy-Willis dan Parfan mengajukan 3 tanda klinis dan 

stadium biomekanik pada degenerasi tulang belakang yaitu: disc 

dysfunction, instability dan stability. Degenerasi tulang belakang 

meliputi disc degeneration (DD), osteoarthritis sendi facet, perubahan 

komponen pada otot dan proses degenerasi pada ligamen. 

 

Pada stadium I (disc, dysfunction), diskus tidak mampu 

menahan beban axial, sehingga tinggi diskusberkurang akibat dari 

berkurangnya kandungan air dan proteoglikan di dalam nukleus 

 

Gambar 4.1 Proses stadium biomekanik menurut Kirkaldy-Willis. 

BAB IV PENYAKIT DEGENERATIF LUMBAL 

 

 

pulposus. Pada stadium II (instability), terjadi penyempitan 

ruang diskus yang memicu  struktur ligamen menjadi lemah 

dan terbentuk osteofit dari periosteum junction antara tulang dan 

tulang rawan. Instability ini juga akan mempengaruhi stabilitas sendi 

facet. Pada stadium III (stability), functional spine unit akan melakukan 

usaha-usaha stabilisasi dengan jalan mempersempit diskus 

intervertebralis, fibrosis ligamen, pembentukan osteofit, subluksasi 

sendi facet dan fibrosis kapsul sendi. Proses degenerasi pada tulang 

belakang diduga diawali dengan adanya degenerasi diskus. 

Degenerasi diskus ini memicu  ketidakstabilan segmental 

sehingga beban pada sendi facet akan meningkat dan terjadi 

kerusakan pada tulang rawan sendi. 

Osteoarthritis selalu ditandai dengan degradasi atau destruksi 

hilang rawan sendi, perubahan pada tulang subkondral, remodeling 

tulang dan inflamasipadasendi. Demikian pula halnya pada 

osteoarthritis lumbal yang melibatkan three joint complex, akan terjadi 

destruksi tulang rawan pada sendi facet dan tulang subkondral. 

Kerusakan tulang rawan sendi dapat disebabkan oleh faktor 

mekanik yang memicu  pelepasan antigen oleh hilang rawan 

sendi. Keadaan ini akan menstimulasi sistem imun, sehingga terjadi 

reaksi immunologis berupa pelepasan mediator inflamasi dan enzim 

protease yang bersifat destruktif, sehingga memperberat kerusakan 

hilang rawan. Beberapa mediator inflamasi yang dilepaskan pada 

proses ini yaitu  IL-1, IL-6, IL-10 serta marker kerusakan sendi 

COMP. Menurut penelitian, rasio kadar IL-6/IL-10 plasma yang 

tinggi merupakan faktor risiko paling kuat terjadinya osteoarthritis 

lumbal simtomatik pada wanita pasca menopause dengan defisiensi 

estrogen.



Gambar 4.2 Proses terjadinya osteoarthritis. 

 

Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa tulang rawan 

sendi ternyata dapat melakukan perbaikan (remodeling) dimana sel 

kondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi matriks 

baru. Proses remodeling ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan, 

suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu 

komunikasi antar sel. Faktor ini menginduksi sel kondrosit untuk 

mensiritesis deoksiribonukleat (DNA), protein kolagen dan 

proteoglikan. Faktor pertumbuhan yang berperan yaitu  insulin-like 

groivth factor (IGF-I), growth hormone (GH), transforming growth factor f 

(TGF-p?) dan colony stimulating factors (CSFs). Faktor pertumbuhan 

seperti IGF-I memegang peranan penting dalam proses remodeling 

tulang rawan sendi. Faktor pertumbuhan TGF-(3 mempunyai efek 

multipel pada matriks tulang rawan yaitu merangsang sintesis 

kolagen dan proteoglikan serta menekan stromelisin (enzim yang 

mendegradasi proteglikan), meningkatkan produksi prostaglandin 

E2 dan melawan efek inhibisi PGE2 oleh interleukin-1 (IL-1). 

Peningkatan  


 

degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan metabolisme 

tulang rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks 

tulang rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan 

menghambat fungsi tulang rawan sendi serta mengawali suatu 

respon imun yang memicu  inflamasi sendi. 

MANIFESTASI KLINIS 

Osteoarthritis merupakan penyakit yang dapat mempengaruhi 

tulang kerangka apendikular dan axial. Sendi yang terlibat meliputi 

lutut, interphalangeal, pinggul, dan sendi facet pada tulang belakang 

lumbal dan servikal. Osteoarthritis pada tulang belakang lumbal 

dapat memicu  rasa sakit yang sama seperti pada lutut atau 

pinggul. 

Nyeri dapat bersifat lokal akibat penyempitan dari ruang 

intervertebralis yang memicu  gangguan struktur di 

sekitarnya, baik itu vaskular, otot, dan saraf, dan dapat 

memicu  sensasi nyeri di daerah sendi yang terkena. Rasa nyeri 

ini  sangat dirasakan terutama bila sendi ini  bergerak. 

Nyeri juga dapat bersifat menjalar dan diikuti dengan kesemutan. 

Hal ini sering terjadi pada OA lumbal, dimana terjadi jepitan saraf 

(nerve entrapment) akibat penyempitan ruang sendi intervertebralis 

akibat degenerasi diskus, dan terbentuknya osteofit di sendi facet. 

Bila ini terjadi pada segmen saraf posterior, maka sensasi nyeri yang 

dirasakan akan menjalar ke tungkai bawah dan disertai rasa 

kesemutan hingga menurunnya sensibilitas. 

Nyeri merupakan manifestasi klinis paling umum dikeluhkan 

pada osteoarthritis lumbal. Nyeri ini merupakan akibat dari 

instabilitas pada tulang belakang yang disertai dengan adanya 

proses inflamasi. Nyeri pada tulang belakang lumbar yang 

berhubungan dengan osteoarthritis bersifat somatik dan tidak 

radikular. Nyeri radikular ditandai oleh penjalaran nyeri ke 

ekstremitas bawah dan paling sering terjadi akibat kompresi saraf 

oleh herniasi diskus atau stenosis kanalis spinalis. 

Nyeri somatik yang berhubungan dengan osteoarthritis tulang 


 

belakang lumbal, memicu  rasa sakit terlokalisir di sendi facet 

dan daerah lateral sampai ke garis tengah. Osteoarthritis pada 

tulang belakang lumbal mungkin juga memicu  nyeri pada 

ekstremitas bawah yang berhubungan dengan referred neural pain 

yang menjalar secara unilateral atau bilateral ke pantat, pinggul, 

pangkal paha, dan paha, biasanya berakhir di atas lutut tanpa defisit 

neurologis. Nyeri meningkat dengan stress, olahraga, gerakan rotasi, 

dan saat berdiri atau duduk. Berbaring dan posisi fleksi pada tulang 

belakang lumbal akan meredakan rasa sakit. Banyak pasien 

mengalami perburukan gejala pada malam hari, saat semua otot 

rileks dan terjadi gesekan pada sendi satu dengan yang lain. 

Kekakuan pada sendi akan sangat terasa saat  bangun dari 

tidur/ baring atau dari perubahan posisi istirahat ke posisi lainnya. 

Kekakuan yang dirasakan berlangsung kurang dari 50 menit. 

Fleksibilitas atau kelenturan dalam pergerakan sendi dapat hilang, 

yang ditandai dengan adanya penurunan dari derajat pergerakan 

sendi (range of motion) normal. 

PEMERIKSAAN FISIK 

Inspeksi harus mencakup evaluasi otot paraspinal, 

peningkatan atau penurunan postur lordosis lumbar, ada tidaknya 

atrofi otot, atau asimetri postur tubuh. Pasien dengan OA lumbar ini 

mungkin memiliki penurunan postur lordosis lumbal dan rotasi atau 

pembengkokan lateral pada sendi sacroiliaca atau daerah 

thoracolumbar. 

Pada palpasi, pemeriksa harus memeriksa sepanjang daerah 

paravertebral dan secara langsung pada daerah prosesus transversus 

lumbal karena sendi facet tidak dapat benar- benar teraba. Hal ini 

dilakukan dalam upaya melokalisasi dan mereproduksi nyeri yang 

biasanya timbul akibat degenerasi sendi facet. Dalam beberapa 

kasus, nyeri sendi facet ini dapat menyebar ke daerah paha, gluteal 

atau paha bagian posterior.


 

 

Pemeriksaan range of motion diperiksa dengan gerakan fleksi, 

ekstensi, lateral bending, dan rotasi. Pada nyeri pinggang bawah 

akibat OA lumbar, terutama pada sendi facet, nyeri sering meningkat 

dengan hiperekstensi atau rotasi tulang belakang lumbar, Nyeri 

dapat bersifat fokal atau menjalar. Gangguan fleksibilitas otot pelvis 

juga dapat ditemukan. Pemeriksaan pelvic tilt akan menunjukkan 

hasil abnormal karena terjadinya rotasi pinggul sekunder akibat otot 

h