Spermatozoa sebelum mengalami fertilisasi atau pembuahan mengalami
perubahan struktur dan fungsinya. Perubahan struktur dan fungsi spermatozoa
ini mulai terjadi pada saat spermatogenesis, di dalam saluran reproduksi jantan
dan saluran reproduksi betina, hingga sampai terjadinya proses fertilisasi di
dalam ampulla. Perubahan struktur dan fungsi spermatozoa saat di dalam saluran reproduksi betina di sebut dengan kapasitasi spermatozoa yang dilanjutkan
dengan reaksi akrosom.
Kapasitasi spermatozoa pada dasarnya yaitu perubahan isiologis
yang di dalam buku ini mulai dibahas proses kapasitasi spermatozoa secara in
vivo dan in vitro, faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitasi yang dijelaskan
secara in vitro serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada spermatozoa selama
mengalami kapasitasi.
sesudah proses kapasitasi dilanjutkan dengan reaksi akrosom, sehingga
spermatozoa mampu membuahi sel telur. Untuk lebih jelasnya tentang peristiwa
reaksi akrosom ini ,maka di mulai dengan penjelasan tentang enzim-enzim yang
ada di dalam akrosom, arti fungsional terjadinya akrosom, morfologi dan kinetika reaksi akrosom, mekanisme reaksi akrosom, serta terjadinya hiperaktivasi
spermatozoa yang bersamaan dengan proses reaksi akrosom.
Proses fertilisasi dimulai dari penetrasi spermatozoa pada lapisan terluar
oosit yaitu kumulus oophorus yang melibatkan proses enzimatis, selanjutnya
yaitu penetrasi spermatozoa ke dalam lapisan terluar dari oosit yaitu zona
pellusida, peristiwa penyerangan spermatozoa pada zona pellusida, Reseptorreseptor spermatozoa pada zona dan reseptor-reseptor zona saling berinteraksi
satu dengan yang lainnya. Proses penetrasi spermatozoa dalam menembus
zona pellusida dan kejadian-kejadian sesudah terjadinya fusi antara spermatozoa
dengan sel telur.
Spermatozoa sesudah melakukan penetrasi oosit, memicu aktivasi
dari oosit, selanjutnya terjadi proses exocytosis granula-granula cortical dan terjadi
proses penghambatan polisperma, Sedangkan proses fertilisasi ini diakhiri
dengan terjadinya dekondensasi nukleus spermatozoa dalam sitoplasma.
Fisiologi spermatozoa hingga terjadinya fertilisasi mendasari perkembangan bioteknologi reproduksi meliputi Inseminasi Buatan (IB), Transfer
Embrio, Fertilisasi In Vitro dan Manipulasi Embrio, sedangkan tujuan dari
Bioteknologi Reproduksi pada ternak bertujuan untuk memperbaiki Mutu
Genetik ternak, sedangkan pada manusia yaitu untuk membantu pasangan
suami istri untuk mendapatkan anak secara bantuan. Hingga saat ini IB yang
telah terbukti dapat meningkatkan mutu genetik ternak dan dapat diterima oleh
masyarakat, sehingga saat ini IB telah dilaksanakan secara swadaya masyarakat.
Selain itu IB merupakan cara yang ampuh untuk meningkatkan populasi ternak
dan produksi ternak baik secara kualitatif maupun kuantitatif, sehingga dapat
meningkatkan pendapatan baik petani maupun pemerintah daerah.
Spermatozoa dibentuk dalam tubuliseminiferi yang berada di dalam
testes. Tubulus ini berisi rangkaian sel yang kompleks, yaitu perkembangan atau
pembelahan sel dari sel germinal sampai dengan terbentuknya spermatozoa atau
gamet jantan. Bentuk spermatozoa yang sempurna yaitu merupakan sel yang
memanjang, yang terdiri dari kepala yang tumpul yang di dalamnya ada
nucleus atau inti, dan ekor yang mengandung apparatus untuk bergerakan sel.
Pada kepala ada akrosom yang memiliki struktur dinding yang rangkap yang
terletak diantara membran plasma bagian anterior nucleus, Leher menghubungkan kepala dan ekornya (lagela) yang dibagi lagi menjadi bagian tengah, pokok
dan akhir yang bagian–bagian ini memiliki struktur yang berbeda.
. MORFOLOGI SPERMATOZOA
Spermatozoa pada masing-masing spesies memiliki ukuran yang
berbeda-beda akan tetapi bentuknya hampir sama. Perbedaan relatif ukuran
dan bentuk spermatozoa pada berbagai hewan seperti pada gambar 1.1.
Pada kepala spermatozoa ada akrosom, sedangkan dan pada ekor
secara anatomis ada bagian midle piece, principal piece dan bagian ekor yang
ada central axonemal yang ada 9+2 mikrotubulus, dan di balut dengan
outer ibril, lapisan mitochondria yang membentuk kolom longitudinal pada
dorsal dan ventral dan circumferial ribs.
. Kepala spermatozoa
Bentuk utama dari kepala spermatozoa yaitu oval, tumpul mengandung
nukleus dengan kromatin yang padat sekali. Kromatin terdiri dari DNA yang
kompleks dari protein dasar yang dikenal sebagai protamine sperma. Jumlah
kromosom spermatozoa yaitu haploid atau setengah dari sel somatik, Sel
spermatozoa yang haploid ini dihasilkan dari pembelahan secara meiosis sel
yang terjadi selama pembentukan spermatozoa atau proses spermatogenesis.
. Akrosom
Bagian anterior akhir dari inti spermatozoa dibungkus oleh akrosom
tipis, lapisan membran yang menutup ini terbentuk pada saat proses pembentukan spermatozoa. Pada akrosom berisi beberapa enzim hidrolitik antara lain
proacrosin, hyaluronidase, esterase dan asam hidrolase yang dibutuhkan pada proses
fertilisasi.
Bagian equator akrosom ini merupakan bagian yang penting pada
spermatozoa, hal ini karena bagian anterior post akrosom ini yang mengawali
penggabungan dengan membran oosit pada proses fertilisasi. Akrosom terdiri dari apical (apical ridge), Principal dan bagian equatorial.
Membran bagian luar pada bagial apical dan principal segments disebut dengan
akrosom luar. Juga ada hubungan dalam akrosom, yaitu membran dalam
dan membran luar dengan inti dan plasma membran.
. Ekor spermatozoa
Ekor spermatozoa dibagi menjadi leher, bagian tengah, pokok dan akhir.
Leher menghubungkan potongan bagian basal plate bagian posterior dan bagian
terbawah dari nukleus. Bagian basal plate pada bagian leher berlanjut sampai akhir,
dengan sembilan serabut kasar yang mengeras pada seluruh bagian ekor.
Inti bagian tengah pada ekor bersama dengan seluruh bagian ekor membentuk aksonema. Aksonema ini terdiri dari sembilan pasang mikrotubulus yang
tersusun di sekitar pusat ilamen. Pada bagian tengah, susunan mikrotubulusnya
yaitu 9+2 yang dikelilingi oleh sembilan serabut kasar padat yang berhubungan
dengan sembilan pasang aksonema. Aksonema dan iber yang padat pada bagian
tengah, sekelilingnya dibungkus oleh mitokondria. Pembungkus mitokondria ini
tersusun berupa pilinan yang mengelilingi serabut longitudinal ekor, Mitokondria menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk pergerakan spermatozoa.
Pembungkus mitokondria berakhir pada annulus.
Bagian pokok yang merupakan lanjutan dari annulus dan memanjang
mendekati bagian akhir ekor, terdiri dari aksonema yang terpusat dan bergabung
dengan serabut kasar. Lapisan ibrous diperkirakan memberikan stabilitas untuk
gerakan ekor. Bagian akhir, merupakan batas posterior dari lapisan ibrous yang
hanya berisi aksonema yang dilapisi membran plasma.
Aksonema bertanggung jawab pada pergerakan spermatozoa. Sepasang
mikrotubulus tersusun dari 9 + 2, umumnya dinding ekor melipat seperti gelombang dengan gerakan menggeser antara sepasang daerah yang berdekatan.
Droplet protoplasmic atau sitoplasmik biasanya tidak ada spermatozoa yang diejakulasikan, tersusun dari residu sitoplasmik. Meskipun termasuk
spermatozoa abnormal yang diejakulasikan dari berbagai spesies, droplet yang
ada di daerah leher, yang diketahui sebagai “Droplet Proximal”, sedangkan
yang dekat annulus, disebut “Droplet Distal”.
KOMPOSISI KIMIA SPERMATOZOA
Komponen kimia spermatozoa yaitu asam nukleat, protein dan lemak.
Kurang lebih sepertiga dan berat kering sel spermatozoa yaitu intinya kromatin inti terdiri dari kira-kira setengah DNA dan ½ protein. Topi akrosom
mengandung berbagai protein enzim. Beberapa struktur protein enzim dan
lemak ditemukan di ekor.
1. Unsur Inorganik
Spermatozoa mengandung phospor, nitrogen, dan sulfur yang banyak.
Sebagian phospor berhubungan dengan DNA, sedangkan sulfur berasal dari
komponen protein inti dan keratinoid pada bagian ekor.
2. Komponen Biokimiawi
Inti spermatozoa terdiri dari kromatin yang DNA-nya distabilkan dengan
konjugasi memakai protein khusus yaitu sebagai “Spermatozoa Histone”. Inti
spermatozoa pada beberapa spesies mengandung sebagian kecil spermatozoa
histone dengan berat molekul rendah, yang diketahui sebagai “Protamin”, sedangkan spermatozoa pada spesies lain mengandung jumlah yang bervariasi
pada arginin yang kaya histone. Protein dasar inti penting untuk kondensasi
dan stabilisasi DNA dengan ikatan sulfhidril. Peningkatan ikatan sulfhydryl
berperanan pada perjalanan spermatozoa saat diepididimis selama perjalanan
menuju ke fertilisasi.
Saat spermatozoa mengalami reaksi akrosom yang sebagian besar
bahan dalam akrosom dikeluarkan yang dipicu penggabungan plasma
dan membran akrosom bagian luar. Fungsi dari masing-masing enzim yaitu
sebagai berikut: Hialuronidase memicu menyebarnya sel kumulus yang
mengelilingi ovum yang baru diovulasikan menyebar. Proakrosin yaitu precursor enzim proteolitik akrosin, yang dapat membantu dalam mempersingkat
penetrasi spermatozoa melalui zona pellusida. Namun secara bioisika, penginduksian spermatozoa dapat secara mekanik menetrasi zona pellusida dengan
cara gerakannya (gerakan spermatozoa).
Lapisan mitokondria spermatozoa, yang kaya fosfolipid, dengan berbagai
ukuran mitrokondria pada beberapa spesies dan dalam cairan kimia yang dibuat.
Spermatozoa mengandung enzim cytochrome oksidase pada system pernafasan
dan tahap glikosis. Metabolisme enzim lain, khususnya laktat dehidrogenase
yang dikenal sebagai LDH-X, juga ada energi yang kaya nukleotida adenin dan guanin yaitu komponen penting dalam energi spermatozoa sebagai
protein aksonema, tubulin dan dynein. dynein merupakan protein dasar dalam
mikrotubulus aksonema yang ditunjukkan oleh ikatan divalent ATP-ase yang
diaktifkan.
3. Kromosom sex X dan Y pada spermatozoa mammalia.
Pejantan pada mammalia menentukan jenis kelamin anak yang dilahirkan. Sebagai hasil pembelahan reduksi selama spermatogenesis, spermatozoa
hanya mengandung setengah jumlah DNA pada sel-sel somatik dari spesies
yang sama dan terbentuklah dua macam spermatozoa yaitu spermatozoa yang
berkromosom X dan spermatozoa yang berkromosom Y. Meskipun diduga
kandungan DNA antara kromosom X dan Y pada spermatozoa hanya sekitar
4% untuk ternak, perbedaan kecil ini dapat diketahui dengan cara memakai
pewarnaan luoresen dan Flow cytometer. Spermatozoa yang mengandung
kromosom X (spermatozoa X) jika terjadi fertilisasi akan menghasilkan embrio
betina, sedangkan spermatozoa yang mengandung kromosom Y (spermatozoa Y) akan menghasilkan embrio jantan, karena pada kromosom Y ada
sex determining Region Y gen (SRY) yang menentukan terbentuknya testis pada
hewan jantan , Panjang dan
lebar spermatozoa sapi kira-kira 8-10 x 4-4,50 mikron, tebal kepala 0,50 – 1,50
mikron, bagian tengah spermatozoa memiliki panjang 10 – 15 mikron dan
diameternya sekitar 1 mikron, panjang ekor spermatozoa yaitu 35-45 mikron
dengan diameter 0,4-0,8 mikron, sedang panjang keseluruhan mencapai 50-70
mikron ,
Hasil pengukuran kepala spermatozoa sapi sebanyak
2000 spermatozoa didapatkan rata-rata panjang kepala 8,75 ± 0,25 µm, dan ratarata lebar kepala 4,12 ± 0,22 µm. Hasil pengukuran besar kepala spermatozoa
(panjang x lebar) pada semen segar diperoleh rata-rata 32,75 ± 2,36 µm2
Flow cytometer dimodiikasikan untuk mendapatkan jenis spermatozoa
dengan populasi yang murni (seleksi jenis kelamin). Ketika spermatozoa yang
telah diseleksi mendekati kemurnian 90% diinseminasikan ke betina. Sehingga
rasio sex keturunan hampir sama dengan prediksi rasio spermatozoa X ke Y
hasil identiikasinya . Penemuan ini penting untuk perkembangan selanjutnya
untuk mengontrol jenis kelamin ternak ,
Spermatozoa X mengandung kromatin lebih banyak di kepalanya, sehingga memicu ukuran kepala spermatozoa X lebih besar maka melakukan identiikasi spermatozoa
X dan Y berdasarkan pada ukuran kepala yaitu panjang kali lebar, bila lebih
besar dari rata-rata maka dianggap spermatozoa X, sedangkan bila lebih kecil
yaitu spermatozoa Y. Berdasarkan cara penentuan ini diperoleh hasil
persentase spermatozoa yang diprediksi sebagai spermatozoa X sebanyak
52,10% dan spermatozoa yang diprediksi sebagai spermatozoa Y sebanyak
47,9%.
4. Spermatozoa X dan Y pada Unggas
Jenis kelamin ternak ditentukan oleh gen yang ada pada salah satu
sex chromosom. Pada mammalia yang menentukan jenis kelamin yaitu kromosom Y, sedangkan pada kelompok burung pada jantan berkromosom ZZ
(homogametik), sedangkan betina ZW (hetero gemetik) . Gen yang menentukan
jenis kelamin pada ternak jantan yaitu gen SRY , Sedangkan
pada bangsa burung yang menentukan jenis kelamin ada gen yang berada di
dalam lokus yang belum diketahui fungsi pengaturannya
Hingga saat ini belum diketahui dengan jelas gen mana yang mengatur
jenis kelamin, di lain ihak telah berhasil diidentiikan protein pada kelompok
burung betina yaitu W – linked PKCIW gene yang dapat mengekspresikan
pembentukan gonad betina. Akan tetapi belum jelas pengaturan pertumbuhan
gonad oleh gen DMRT1 dan PKC1W .
Gen DMRT1 mengexpresikan genital ridge dan saluran Wolfian pertumbuhan alat reproduksi jantan pada tahap ke 25 , DMRT
diexpresikan pada burung jantan yang telah dewasa
Biosintesis dan sekresi hormon gonadal berpengaruh terhadap differensiasi gonad. Pembentukan gonad (gonadogenesis) dipengaruhi oleh hormon exogenous. Pertumbuhan gonad pada burung lebih labil, sehingga dapat
dipengaruhi oleh manipulasi hormon. Perubahan jenis kelamin dapat dilakukan
dengan injeksi telur dengan estrogen atau oleh produksi estrogen. Experimen
banyak dilakukan pada critical role untuk sintesis estrogen dalam sex determinasi
Sinthetic inhibitors pada ensim sintetis estrogen, aromatase,
dapat memicu betina menjadi jantan secara permanen ,Gonad sebelah kanan untuk pembentukan jantan dan gonad sebelah
kiri akan membentuk testis Unggas
jantan yang berkromosom ZZ diberi perlakuan estrogen akan menjadi betina
akan tetapi tidak permanan. ada 2 akhir suatu sintesis estrogen yaitu
P-450 aromatase dan 17β HSD diexpresikan hanya pada ZW yang memiliki
gonad betina yang mengalami defferensiasi morfologi (hari ke 6-6, 5, stage 29-
30) , Enzym
ini diexpresikan oleh modulary cord pada gonad betina, enzim yang lain pada
pathway steroidogenic yang di expresikan pada medula pada kedua jenis kelamin
Aromatase dan 17 βHSD yaitu kunci dari komponen
sexual dimorphic. Secara logis bahwa gen W linked pada penentuan jenis kelamin
betina yang mengaktivasi aromatase dan 17 βHSD yang diexpresikan secara awal
pada pembentukan alat kelamin betina. Akan tetapi tidak konsisten pada peran
hormon androgen pada awal pembentukan jatan. Testosteson dan DHT tidak
berpengaruh pada pembentukan telur dan reseptor androgen diekspresikan
pada akhir dalam pembentukan gonad.
Estradiol berpengaruh selama perkembangan gonad dan ada reseptor. Yang menarik estrogen receptor alpha (Erα) diexpresikan pada kedua jenis
kelamin untuk differensiasi sex dalam embrio ayam Tampaknya
ekspresi dimulai dari gonadal cortex Ekspresinya yaitu pengaturan di dalam
proses pertumbuhan jantan, pada betina juga di didalam gonad sebelah kiri
Pertumbuhan gonad selama proses
embryogenesis tampaknya resisten terhadap sex steroid akan tetapi deferensiasi
dapat terjadi tanpa adanya steroidogenesis
. SEMINAL PLASMA
Pengertian fungsional dari seminal masih diragukan, hal ini karena selama
proses perjalanan spermatozoa pada uterus dan proses fertilisasi tidak ada peran
dari seminal plasma. Seminal plasma, yaitu suatu komponen essensial yang
berfungsi pembawa (Carier) dan pelindung spermatozoa.
Seminal plasma berperan penting pada spesies babi betina dan kuda betina, hal
ini karena seminal plasma bersama dengan spermatozoa sampai ke uterus, karena
diejakulasikan hingga uterus. Pada sapi dan Domba seminal plasma dibutuhkan
oleh spermatozoa, saat spermatozoa di ejakulasikan dan disimpan dalam vagina
(komposisi semen dan karakteristik semen ada pada tabel 1.1).
Penghasil seminal plasma (kelenjar assesories)
Seminal plasma merupakan suatau cairan yang bermacam-macam yang
dihasilkan oleh beberapa kelenjar yaitu Prostat, vesicular seminalis dan kelenjar
bulbouretralis yang dituangkan kedalam uretra, saat ejakulasi mereka dicampur
dengan cairan spermatozoa dan sekresi ampula dan duktus deferens. Selain itu
juga cairan yang berasal dari epididimis.
Unsur Biokimia dari seminal plasma
Seminal plasma biasanya berisi asam sitrat kadar tinggi, ergotionine, fructose, glyseryphosphorylcholine dan sorbitol. Sebagian berupa asam askorbik,
asam amino, peptida, protein, lemak, asam lemak dan beberapa enzim yang turut
berperan (white, 1980). Anti mikroba dan imunoglobulin, terutama kelas Ig A
ada juga substansi hormon yaitu androgen,
estrogen, prostaglandin, FSH, LH, materi seperti chorionic gonadotropin, juga
ada dalam kadar rendah insulin, glukagon, prolaktin, relaksin, hormon
pembentuk thyroid .
Selain sebagai media transportasi, fungsi seminal plasma tidak begitu jelas,
hal ini bisa dilihat pada Spermatozoa yang berasal dari kauda epididimis dapat
membuahi telur tanpa penambahan hasil eksresi kelenjar asesoris. Kandungan
biokimia pada semen, dapat dipakai sebagai indikator penunjuk fungsi khusus kelenjar asesoris yang menghasilkannya, misalnya Fruktosa dihasilkan oleh
vesikula seminalis.
Fruktosa dan asam sitrat merupakan komponen penting kelenjar veskula
pada ruminansia. Asam sitrat sendiri tersusun dalam kelenjar vesikula kuda
jantan, pada kelenjar vesikula babi hutan berisi sedikit fruktosa tetapi ditandai
dengan tingginya kandungan ergothioniene dan inositol. Glycerylphosphorylcholine
merupakan sebuah komponen khusus dari epididimis. Ergothioniene yaitu
sebuah keunikan tersendiri pada kelenjar ampula kuda.
Kelenjar asesori pada banteng dan kuda jantan dapat digetarkan melalui
rektum. Pada banteng gelembung vesika seminalis dan kelenjar prostatnya tidak
dapat diketahui lewat rektum. Kelenjar bulbourethal bangsa sapi, umumnya
tidak dapat diidentiikasikan karena tertutup oleh otot. Pada babi hutan, ukuran
kelenjar bulbourethalis dapat dipergunakan untuk membedakan pengebirian
pada criptorchid babi hutan. Babi hutan sebelum pubertas memiliki kelenjar
bulbourethalis kecil, panjangnya 5 cm, beratnya kurang dari 1 gram. Cryptorchid babi hutan umumnya memiliki ukuran kelenjar yang normal, kira-kira
panjangnya 10 cm dan beratnya 45 gram
Kualitas semen saat ejakulasi pada sebagian besar ternak yaitu berubahubah, hal ini karena bervariasinya sekresi dari beberapa organ asesoris termasuk
epididimis (caput, corpus epididimis dan caudal epididimis), kelenjar ampular
(AMP), kelenjar vesicular, kelenjar prostat dan kelenjar bulbourethal. Besarnya
sekresi dari kelenjar assesori bervariasi tidak hanya diantara spesies, tetapi juga
diantara individu pada spesies yang sama dan diantara ejakulasi dari individu
yang sama.
. METABOLISME SPERMATOZOA
Karakter motilitas (pergerakan) dari spermatozoa memudahkan dalam
melihat kondisi isiologis spermatozoa. Tetapi motilitas dengan sendirinya bukan
identik dengan kemampuan dalam memfertilisasi. Energi yang dibutuhkan untuk
motilitas diperoleh dari persediaan intraseluler dari ATP. pemakaian ATP terlihat diatur oleh tingkat endogenous dan siklus Adenosine Monophosphate (cAMP).
cAMP tidak hanya mengatur pelepasan ATP tetapi juga memiliki pengaruh
pada motilitas spermatozoa. Pengaruh cAMP ini kompleks pada pergerakan
spermatozoa yang ditunjukkan secara in vitro dengan menambahkan dibutyryl
cAMP atau inhibitor methyl xanthines yang menghalangi degradasi intraseluler
normal dari cAMP pada spermatozoa.
Meskipun banyak kehilangan organel pada spermatozoa yang berhubungan dengan proses metabolisme pada proses pembentukan spermatozoa,
spermatozoa tetap aktif dalam metabolisme karena memiliki enzim yang
penting untuk reaksi biokimia dari glikolisis, siklus asam trikarboksilat, oksidasi
asam lemak, transport electron, dan mungkin heksosa monophospat.
Energi yang langsung dipakai untuk pergerakan spermatozoa dihasilkan oleh serabut ekor berasal dari uraian ATP, yang diduga ada di dalam
serbuk spiral yang mengikat berkas serabut. Nucleotid ini tersusun dari basa
adenosin, yaitu ikatan lingkaran dari karbon ribose dan tiga ikatan fosfat, kedua
dari yang terakhir mengandung banyak energi (P-P) dan hanya dapat tersusun
menjadi suatu kelompok dengan tambahan energi yang sangat banyak. Jika
ATP diaktifkan oleh enzim tertentu, maka ikatan fosfat terutama yang banyak
mengandung banyak energi akan terurai, dilepaskan energi, tersisa ADP dan
terbentuk fosfat anorganik.
Selanjutnya ADP (ikatan kaya energi kedua) terurai, melepaskan energi
untuk kontraksi ibril, tersisa AMP (Adenosin mono phosphat) serta terbentuk
fosfat anorganik lagi. Bila ATP dan ADP telah habis, kontraksi ibril spermatozoa akan terhenti. Supaya motilitas masih dapat berlangsung, maka ADP
dan ATP harus dibangun kembali. Karena reaksi ini dapat berbalik, maka
pembentukan ADP dari AMP dengan menambahkan kelompok fosfat, yang
berasal sumber energi dari luar. Kebanyakan aktiitas isiologi disertai dengan
pelepasan energi dari reaksi bahan organik seperti karbohidrat dan lemak.
Metabolisme spermatozoa tidak selalu membutuhkan oksigen. Oksigen
hanya diperlukan bila aktiitas metabolisme tidak dapat terjadi tanpa adanya
oksigen. Faktor lain dapat mengatur kebutuhan derajat kebutuhan oksigen untuk menghasilkan energi untuk gerak. Jadi meskipun produksi energi tiap unit
karbon jauh lebih eisien bila disertai dengan oksidasi daripada hanya dengan
glikolisis, tetapi ternyata hasil percobaan dalam kondisi tertentu menghasilkan
produksi energi dari glikolisis sama cepatnya di bawah pengaruh oksigen atau
tanpa oksigen. Jalur pertukaran energi dan penyimpanan energi melewati sistim
adenil, sesudah dihasilkan oleh proses glikolisis maupun respirasi.
Glikolisis terjadi pada kondisi an aerob, dengan tidak adanya oksigen,
spermatozoa memecah glukosa, fruktosa atau mannosa menjadi asam laktat.
Pada proses kegiatan fruktolisis lebih baik dari pada glukolisis, sebab fruktosa
yaitu gula dasar dari seminal. Spermatozoa dapat hidup dalam kondisi an aerob.
Karakteristik ini penting selama penyimpanan saat proses Inseminasi Buatan.
Jalur metabolisme glikolisis dengan dua bahan baku yaitu fruktosa dan
glukosa. Pertama, Fruktosa-1,6-difosfat diuraikan enzim aldolase menjadi
dua molekul dari 3 karbon triofosfat, yaitu 3-fosfo-glyserin aldehid (G-3-P) dan
dygydroxyaceton fosfat. Dalam proses oksidasi G-3-P dengan pemindahan unsur
hydrogen yang diikuti dengan pernyenyawaan fosfat anorganik, terbentuklah
asam 1,3 difosfoglycerin. Dehidrogenase G-3-P membutuhkan suatu enzim (difosforidin nucleotid,DPN) yang akan bereaksi dengan ion hydrogen dan merubah
aldehid menjadi asam dan mereduksi DPN menjadi DPNH2. Penguraian dari
asam difosfat glyserin menjadi asam monofosfat glyserin menghasilkan energi
yang terpakai untuk membangun ADP dan ATP.
Selanjutnya fosfoglyceromutase, memisahkan fosfat dari satu atom karbon
lainnya untuk membentuk asam 2-fosfoglycerat yang diaktiisir dengan katalisator enolase, melepaskan air dan menjadi asam fosfopiruvat. Enzim transfosforylase sebagai katalisator reaksi yang lebih lanjut dan ikatan fosfat kaya energi
dari asam fosfopiruvat. Enzim transfosforilase sebagai katalisator reaksi yang
lebih lanjut dan ikatan fosfat kaya energi dari asam fosfopiruvat memerlukan
unsur magnesium dan kalium. Enzim ini akan memindahkan fosfat ke AMP
atau ADP membentuk ADP atau ATP dan mengisi kembali substansi energi
dengan pembentukan asam piruvat. Jadi dalam lingkungan an aerob asam piruvat
mengikat dua ion hydrogen dari DPNH2
dengan katalisator enzim, asam laktat
dehydrogenase membentuk produk akhir anaerob asam laktat. Selanjutnya
DPN menjadi bebas untuk mengikat hydrogen baru dari proses oksidasi G-3-P,
sehingga memungkinkan keseimbangan proses fruktolisis.
Kedua, dengan memakai glukose sebagai bahan baku dikemukakan
bahwa reaksi pertama menghasilkan pembentukan glukose 6-fosfat (G-6-P) dari
glukosa 6 –fosfat (G-6-P) dari glukosa dan ATP. Spermatozoa merubah G-6-P
menjadi fruktosa-6-P dan dengan batuan ATP dirubah menjadi fruktose –6-P
dan dengan bantuan ATP dirubah menjadi fruktose –6-P dan dengan bantuan
ATP dirubah menjadi fruktose –1-6-difosfat. Selanjutnya mengikuti proses dari
bahan pertama (Fruktose).
sesudah proses glikolisis selesai dilanjutkan dengan siklus kreb asam sitrat.
Sesuai dengan hasil-hasil riset mengenai sistem prima ketergantungan
oksigen metabolisme sel dan jaringan yaitu siklus kreb asam sitrat. Jalur metabolisme ini merupakan jalan reaksi utama proses oksidasi bahan pokok normal
spermatozoa. Bahan pokok ini merupakan produksi akhir glikolisis, asam laktat
dan produksi dehidrogenase yaitu asam piruvat. Reaksi keseimbangan, asam
piruvat dan asam laktat, lebih berat berjalan ke arah asam laktat bila tanpa
oksigen. Dalam lingkungan oksigen asam laktat diteruskan melewati piruvat
ke acetil koenzim A (Acetyl Co A) yang akhirnya bersenyawa dengan oxaliasetat
membentuk sitrat. Reaksi ini berkesinambungan melewati siklus krebs.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme spermatozoa antara lain
temperatur, konsentrasi semen, fosfat an organic, pH, kation dan anion, tekanan
osmose, hormon, zat anti bakteri dan gas. Spermatozoa yang didinginkan di
bawah temperatur badan menunjukkan motilitas menurun dan berhenti sama
sekali bila temperatur berada beberapa derajat di atas titik beku. Walaupun
motilitas berhenti sama sekali, metabolisme berlangsung terus secara perlahanlahan.
Pengaruh kepadatan sel tidaklah merupakan suatu yang pasti, karena
konsentrasi sel tidak memiliki arti penting dalam proses pernafasan dan glikolisis. Pengaruh konsentrasi sel terhadap konsumsi oksigen tidaklah dipicu
oleh jumlah oksigen yang terbatas dalam konsentrasi lebih padat, tetapi karena
konsentrasi ion kalium yang lebih tinggi yang merupakan penghambat alamiah
dan ada dalam pengatur metabolisme.
. RESPIRASI SPERMATOZOA
Spermatozoa memakai berbagai substrat sebagai sumber oksigen.
Respirasi memakai asam laktat dan piruvat yang berasal dari break down
fruktosa untuk menghasilkan CO2
dan air. Jalur oksidasi (Oxidatif Path Ways)
berada di mitokondria yang lebih eisien menghasilkan energi dibandingkan
pada proses fruktolisis. Proses katabolisme ini spermatozoa merubah menjadi
ATP dan dipakai untuk bergerak yang sebagian untuk memelihara proses
transport aktif dari membran. Transport aktif ini vital dibutuhkan untuk transport ion di dalam sel. Tanpa subtrat luar, spermatozoa dapat memakai
penyimpanan intraseluler pada plasmalogen yang dapat dipakai anergi dalam
waktu pendek.
Spermatogenesis yaitu suatu proses pembentukan spermatozoa (sel
gamet jantan) yang terjadi hanya di Tubuli seminiferi yang terletak di Testes.
Testes 90 % tersusun oleh tubuli seminiferi, sedangkan yang 10% yaitu sel
intertitiel dan jaringan ikat.
Spermatozoa yang dihasilkan oleh tubuli seminiferi dikeluarkan ke saluran reproduksi jantan yang ada silia dan muskulernya yang dapat menggerakan spermatozoa dalam proses transportasi, saluran reproduksi jantan
ini yaitu retetestes, vas defferens epididimis, vas efferens dan terakhir
di uretra, gambar silia dan muskuler pada saluran reproduksi jantan ada
pada gambar 2.1.
Epithel seminiferi yaitu bagian terluar dari tubuli seminiferi, yang
terdiri dari 2 tipe sel yaitu sel sertoli dan sel germinal yang tumbuh dan berkembang. Sel germinal mengalami pembelahan secara berseri dan mengalami
perkembangan, dimulai dari arah tepi menuju ke lumen. Spermatogonia yaitu
sistem sel yang membelah beberapa kali sebelum terbentuknya spermatosit.
Spermatosit mengalami miosis dengan berkurangnya kandungan DNA menjadi
sesudah dari sel tubuh.
Tubuli seminiferi yaitu tempat untuk proses spermatogenesis atau
pembelahan sel gamet. Proses spermatogenesis merupakan 2 proses pembelahan 1) pembelahan mitosis dan miosis disebut dengan spermatositogenesis
(Dari 2 n menjadi 2n), yaitu pembelahan dari spermatogonium sampai dengan
spermatosit primer. Miosis I yaitu pembelahan dari spermatosit primer ke spermatosit sekunder (Dari 2n menjadi n), sedangkan Miosis II yaitu pembelahan
dari spermatosit sekunder menjadi spermatid (Dari n menjadi n). 2) Perubahan
spermatid menjadi spermatozoa disebut dengan spermiogenesis
Di dalam tubuli seminiferi ada sel-sel mulai spermatogonium hingga spermatozoa, selain itu juga ada sel sertoli yang secara umum disebut berfungsi
memberi makan spermatozoa akan tetapi sebetulnya berfungsi sebagai blood
testes barier, penghasil hormon in hibin dan aromatisasi hormon testosteron
menjadi estradiol 17β (estrogen), sedangkan di antara tubulus ada sel intertitiel yang diantaranya ada sel leydig. Sel leydig berfungsi menghasilkan
hormon testosteron yang selain berfungsi untuk proses spermatogenesis juga
berfungsi didalam pematangan spermatozoa dalam epididimis (dalam bentuk
dihidro testosteron) dan meningkatkan libido untuk mengawini betina.
. Spermatositogenesis
Selama perkembangan embrio, sel khusus germinal primordial berpindah
dari bagian kantong kuning telur pada gonad embrio yang tidak terdeferensiasi.
sesudah fetus sel primordial berubah menjadi gonosit pada ternak jantan dan
terus mengalami deferensiasi .
Sebelum pubertas sudah terbentuk spermatogonia type Ao yang berasal
dari germ layer. Spermatogonia type A1 secara progresif membelah menjadi A2,
A3 dan A4. Kemudian membentuk type intermediate dan selanjutnya membelah
menjadi spermatosit. Proses pembelahan diatas yaitu pembelahan mitosis
(2N menjadi 2N). Selanjutnya spermatosit primer membelah miosis menjadi
spermatosit sekunder disebut dengan miosis I, sedangkan miosis II yaitu
pembelahan dari spermatosit sekunder menjadi spermatid.
sel tipe A4 membelah membentuk
intermediate spermatogonia (tipe In) dan selanjutnya membentuk spermatogonia tipe B. Variasi bentuk spermatogonia ini dapat dilihat engan membuat irisan
histologi epithel seminiferi yang berbasis proliferasi dari lapisan germ sel. Sel
tipe A2 tidak hanya membelah yang akhirnya menjadi spermatozoa kan tetapi
juga membentuk stem sel yaitu spermatogonia tipe A1, walau masih tetap ada
spermatogonia tipe Ao yang merupakan cadangan dan populasi dari stem sel ,
Spermatogonia tipe B membelah menjadi lebih kecil dan mejadi 2
spermatosit primer. Spermatosit primer mengalami pembelahan miosis yaitu
protahap yang ada tahapan pre leptotene, laptotene, Zygotene, pachytene
dan diplotene sebelum menjadi spermatosit sekunder tanpa sintesa lebih lanjut,
sehingga hasilnya yaitu spermatosit sekunder yang membelah menjadi sel
haploid yaitu spermatid.
Tabel 2.1. Lama siklus epithel seminiferus dan spermatogenesis pada bebera
Spermiogenesis.
Round spermatid yang berubah menjadi spermatoza yang melalui perubahan secara seri yang bersama-sama disebut dengan spermiogenesis. Perubahan
meliputi kondensasi kromatin inti, pembentukan ekor spermatozoa atau lagear
apparatus dan perkembangan acrosome cap, seperti pada gambar 2,8 dan 2,9
Tahapan perubahan bentuk spermatid dibagi menjadi 4 tahap yaitu tahap
golgi, Cap, Akrosom dan tahap maturasi.
1. tahap Golgi
tahap golgi pada tahap spermiogenesis yaitu ditandai dengan pembentukan granul (butiran) proakrosomal dengan golgiaparatus, peleburan
granul kedalam single granule acrosome sehingga menghasilkan penutup inti
(nuclear envelope) dan tahap awal pertumbuhan ekor pada bagian ujung lain
dari akrosom. Sentriol bagian proksimal menghilang dari inti sebagai dasar
pembentukan ekor dari kepala.
2. tahap Cap
tahap ‘cap’ ditandai dengan menyebarnya granul ke permukaan nukleus
spermatid, proses dilanjutkan menuju ke bagian 2/3 bagian enterior pada
masing-masing inti spermatid tertutup oleh lapisan tipis doble layer.
Selama tahap ‘cap’ ini terjadi perkembangan komponen axonema pada
bagian ekor yang dibentuk dari elemen-elemen pada distal sentriol mengalami pemanjangan di bagian sitoplasma sel. Selama awal perkembangan
struktur axonema irip dengan silia yang didalamnya ada 2 tubulus di
tengah yang dikelilingi bagian tepinya dengan 9 pasang tubulus.
3. tahap akrosom
tahap akrosom pada proses spermiogenesis secara umum ditandai dengan perubahan inti, akrosom dan pertumbuhan ekor spermatid. Pertumbuhan difasilitasi oleh pemutaran pada masing-masing spermatid, akroom
menuju ke bagian ujung sedangkan ekornya menuju ke bagian lumen.
Perubahan inti meliputi kondensasi kromosom pada butiran tebal dibagian
kepala menjadi pipih, saat ini terjadi pertumbuhan histon secara progresif
diganti dengan protein yang bentuknya ikut memanjang. Modiikasi bentuk
kepala dan akrosom ini berada di sekitar sel sertoli. Proses ini berbeda-beda
pada masing-masing spesies.
Perubahan morfologi inti seiring dengan menghilangnya sitoplasma
di bagian kepala juga bagian cauda dan bagian proximal tumbuh ekor yang
bagian sitoplasmanya tumbuh silinder sheat. Metochondria yang awalnya
terdistribusi di spermatid mulai terkonsentrasi di bagian axonema yang
membentuk sheat di bagian midle piace pada ekor.
4. tahap Maturasi
tahap maturasi pada spermiogenesis ini yaitu suatu tahap akhir dari
proses peanjangan dan menuju lumen tubulus seminiferus. Pemanjangan
spermatid ini memiliki proses yang bervariasi sehingga bentuk pada berbagai spesies menjadi berbeda. Di dalam intinya ada granula kromatin
yang secara progressif mengalami kondensasi merubah protein menjadi
protamin dan membentuk materi homogenous yang seragam pada inti
spermatozoa.
Selama tahap maturasi ibrous sheeth dan 9 course iber (serabut kasar) membentuk lingkaran axonema dan terus menerus kolom ini mejadi leher. 9 serabut kasar
yang dikelilingi axonema terbentuk mulai leher sampai ujung ekor. Mitokondria
secara kuat dan terus menerus berkembang di bagian ekor.
Pada sel spermatid yang berbentuk bulat ada organel-organel antara lain apparatus golgi, mitokondria, sentriol dan nukleus (inti), di dalam
proses pembentukan spermatozoa terjadi perubahan bantuk dari sel dan
juga terjadi perpindahan lokasi dari masing-masing organel-organel ini ,
sehingga terbentuk spermatozoa yang lengkap. Aparatus golgi terletak di
dalam akrosom, inti terletak pada kepala spermatozoa, mitokondria terletak di bagian leher sedangkan sentriol berkembang membentuk lagelum
pada ekor, sehingga fungsi dan bagian-bagian ini masih sama dengan
penyusunnya.
Lamanya Spermatogenesis
Pada irisan melintang tubuli seminiferi ada sel yang bervarasi dan
bergabung membetuk perubahan berupa siklus ada 14 macam. Sel yang
bergabung atau tahapan (stage) yang diidentiikasi pada spesies yang sama dan
pada manusia ada 12 stage pada suatu siklus (Gambar 2.11). Secara menyeluruh waktu yang dibutuhkan dalam satu siklus dapat diketahui, satu siklus
yaitu satu seri perubahan epithel seminiferi antara tahapan perubahan.
Setiap tahapan spermiogenesis ini dipakai untuk mengklasiikasi tahapan sikus yang bervariasi. Waktu siklus seminiferi bervariasi di masing-masing
spesies. Pada Babi lamanya 9 hari, domba 10 hari, Kuda 12 hari dan Sapi 14 hari
dan ada 4-5 siklus bervariasi pada spesies yang berbeda, sebelum terbentuk
spermatozoa pada satu siklus mengalami metamorfosa selama spermatogenesis.
Setia siklus epithel seminiferi diibaratkan sistem pendidikan SD mulai kelas 1
sampai lulus, dilanjut SMP mulai kelas 1 sampai lulus dan seterusnya hingga lulus
sesudah semua kurikulum dilaluinya dan waktu yang dibutuhkan pada masingmasing spesies berbeda untuk menyelesaikan perkembangannya.
Pada gambar di atas ada tabel di tengah mengindikasikan ada 12
tahapan (stage) dalam setiap siklus epithel seminiferi. Variasi tipe selnya yaitu
A,I,B yaitu tahap keberuntuhan spermatogonia, PL pre leptotene spermatocyte,
L, leptotene spermatocyt, Z, zygotene spermatocyte, P, Pachitene spermatocyte dari tage 1,5
dan X. II, Secondary spermatocyte. Step 1-14 suatu tahapan spermiogenesis yang
ditunjukkan pada tahap golgi (step 1-3), tahap cap (step 4-7), tahap akrosom (step
8- 12) dan tahap maturasi (step 13-14) diadaptasi dari Bearnrson WE, Desjardins
C,Am.J. Anat :1974 :140 ; 167- 180 (Garner dan Hafez, 2008)
2.3. Peran Hormon pada proses spermatogenesis
Proses pembentukan spermatozoa dan fungsi hormon steroid diatur
oleh gonadotropin yang disekresi oleh sel adenohipoisa yang dikeluarkan
secara pulsatif. Fungsi ini telah dibuktikan dengan metode hipoisektomi
dan replecement terapi.
Pada saat masih bayi (juvenil), ternak janan tidak respon terhadap gonadotropin. sesudah dewasa ada respon, peristiwa ini belum jelas diketahui apakah
yang memicu sel-sel germinal sensitif terhadap stimulasi gonadotropin.
Spermatogenesis yang normal sinergis dengan aktiitas Luteinizing
Hormaon (LH, pada jantan juga disebut dengan Instertitiel Cell Stimualting
Hormoe, ICSH), Folikel stimulating Hormon (FSH), prolaktin, Androgen dan
hormon yang lain. Hal ini seperi penjelasan di gambar 2.13.
Fungsi masing-masing hormon FSH dan LH terhadap proses spermatogenesis masih dipertanyakan, karena tambak fungsi yang bersamaan keduanya.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa LH berfungsi untuk menstimulasi aktivitas
steroidogenesis dan fungsi pembentukan sel gamet. LH berfungsi langsung
pada sel leydig didalam menghasilkan hormon testosteron. FSH berfungsi di
dalam spermiogenesis yang aktiitasnya hasil sekresi dari sel sertoli. Lebih lanjut
IGF-1 juga diproduksi oleh sel sertoli yang berperanan penting dan tidak dapat
keluar darii blood testis barier. Sehingga IGF-1 diproduksi secara lokal yang
menstimulasi terjadinya pembelahan miosis pada ephitel seminiferi.
Pada sel sertoli dan sel germinal ada reseptor IGF-1 dan untuk
insulin Like Growth Factor-2 (IGF-2) walau ekspresinya masih belum ditemukan didalam sel sertoli. Unilateral kastrasi pada jantan di beberapa spesies
meningkatkan level LH dan FSH dalam darah dan menstimulasi kompensasi
hipertropi pada testis.
Aktiitas gonadotropin hormon pada testis, pembentukan spermatozoa
dan steroidogenic di bawah kontrol interaktif paracrine di dalam testes merupakan faktor pertumbuhan. Luteinizing hormon (LH) menstimulasi (+) sel leydig untuk sekresi
testosteron, sedangkan FSH menstimulasi (+) pembelahan sel germinal. FSH
juga menstimulasi sel sertoli untuk meningkatkan metabolisme Androgen
pada organ jantan dan feed back negatif (-) pada hipothalamus, menurunkan
keluarnya GnRH (FSH/LH-RH). Konsentrasi testosteron secara lokal tinggi
menstimulasi pertumbuhan germinal epithelium. FSH menstimulasi sintesa
Androgen Binding Protein (ABP). Inhibin disekresi sel sertoli untuk menekan level
FSH.
Fungsi Steroidogenic
Sel leydig pada instertitiel menghasilkan androgen, termasuk di dalamnya
yaitu testosteron yaitu respon dari stimulasi LH (ACSH) yang bersinergi
dengan FSH dan kemungkinan prolaktin. Prolaksi berfungsi mengatur sekresi
testosteron yaitu dengan meningkatkan jumlah dan meningkatkan ainitas
reseptor LH di sel leydig.
Interaksi antara LH dengan sel leydig karena aktiitas adenil siklase,
termasuk aktiitas protein kinase dan sintesa RNA menghasilkan peningkatan produksi pregnelolon dari kolesterol oleh mitokondria didalam sel leydig
(Gambar 2.14).
Enzim didalam sel memicu mitochondria mensintesa pregnenolon
sampai akhirnya dikeluarkan testesteron oleh sel leydig. Hanya sel leydig yang
dapat mensintesa cholesterol menjadi testosteron.
Testosteron yang dihasilkan sel leydig oleh parachin sel sertoli dirubah
menjadi estradiol 17β kaena pengaruh FSH, hal ini terjadi pada banyak spesies
(Gambar 2.15)
Perubahan testosteron menjadi estrogen karena adanya reseptor spesiik
dapa sel sertoli. Pada proses spermatogenesis yang normal ada interaksi
yang komplex antara sel germinal epithelium, sel leydig dan sekresi testosteron,
sel sertoli dan sekresi estrogen dan gonadotropin dari pituitary.
Faktor pertumbuhan IGF-1 & 2 dan regulasi lokal lain, merupakan kerja
autokrin dan juga kontrol sel leydig dan sekresi sel sertoli, adrenal cortex juga
mensekresi androgen dalam jumlah yang sedikit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi spermatogenesis
1. Bahan beracun
Pada umumnya, sel germinal epithelium sensitif terhadap kondisi
panas terutama pada perkembangan spermatid, sedangkan pengaruh
radiasi panas selain pada perkembangan spermatid juga pada pembelahan spermatogonia. bila testis rusak masih ada spermatozoa
yang berada pada epididimis, waktu spermatozoa berada di epididimis
selama 2-5 hari. Sebagian besar spesies waktu maturasi di epididimus
kurang dari 5 hari. Jika spermatozoa abnormal bukannya dipengaruhi
saat di epididimis tetapi saat spermatozoa yang merupakan akibat dari
stress beberapa minggu yang lalu.
Pengaruh Nutrisi
Deisiensi makanan yang spesiik berpengaruh pada eisiensi
reproduksi yang meliputi siklus estrus, kebuntingan, produksi susu
dan sifat keibuan yaitu dampak panjang dari kekurangan energi pada
betina, sedangkan pada jantan yaitu kemampuan didalam mengawini,
juga penurunan berat badannya berdampak besar bila sebelum
pubertas dibandingkan sesudah pubertas, yaitu hipoplasia pada testis,
kelenjar asesoris dan keterlambatan pubertas.
Kekurangan energi dalam makanan berpengaruh terhadap sekresi
gonadotropin, pendewasaan jadi tertunda (berat badan turun 25 –
35%) penurunan libido, epithel seminiferus tahan terhadap kerusakan,
volume dan kualitas semen yang jelek.
Kekurangan Vitamin A berpengaruh terhadap Germinal epithel
dan sel leydig yang memicu rendahnya kualitas spermatozoa,
atropi testis, pengecilan kelenjar asesoris dan pubertas terhambat.
Kekurangan vitamin E memicu kerusakan testis pada
tikus, tetapi tidak pernah ada kasus infertility pada ternak yang dipicu oleh kekurangan vitamin E. Kekurangan vitamin E lebih
banyak mempengaruhi metabolisme terutama bila terjadi sebelum
pubertas. Kekurangan mineral atau mengkonsumsi yang berlebihan
itoestrogen,goitrogen dan nitrat secara bersam-sama berpengaruh
terhadap penampilan reproduksi jantan dan bila terjadi dalam waktu
yang lama akan memicu testis degeneratif (mengecil).
Eksogenous sex steroid dapat berpengaruh terhadap fungsi testis
atau sekresi gonadotropin oleh pituitry, akan tetapi bila diberikan dalam
jumlah yang tinggi dan jangka waktu yang lama, justru akan menekan
gonadotropin dan testosterin yang diinjesikan akan menekan kualitas
semen hingga 11 minggu.
2.6. Peran skrotum dalam termoregulasi
Proses spermatogenesis bisa berjalan dengan baik bila suhu dalam
testis 5oC di bawah suhu tubuh, oleh sebab itu pada bagian skrotum ada
suatu proses thermoregulasi yang diatur oleh sistem kerja:
1. Otot kremaster, pada saat panas akan menjauhkan dari tubuh, sedangkan
bila dingin mendekat ke tubuh.
2. Tunika dartos, Otot yang mengatur bila panas akan merenggang,sedangkan
bila dingin akan mengkerut.
3. Pleksus Pumpiniformis, yaitu vena dan arteri yang saling berbelit untuk
proses pengaturan suhu.
Proses termoregulasi ini tidak terjadi pada ternak sebelum pubertas, oleh sebab
itu untuk mengamati seekor ternak telah pubertas atau telah mengalami spermatogenesis dapat diamati pada fungsi-fungsi diatas.
Spermatozoa yang diejakulasikan ke dalam saluran reproduksi betina
bertujuan untuk dapat memfertilisasi oosit. Di dalam alat reproduksi betina
membutuhkan waktu agar dapat melakukan fertilisasi. Cairan uterus, bahanbahan dari oviduk dan cairan folikel saat ovulasi berperanan dalam proses
kapasitasi (Pineda, 2005).
Spermatozoa mammalia yang telah mengalami pemasakan di dalam epididimis dan terejakulasi belum dapat membuahi sel telur. Spermatozoa ini
haruslah menetap di dalam saluran kelamin betina selama beberapa saat sebelum
membuahi sel telur. Spermatozoa mengalami beberapa perubahan isiologis
(fungsional) di dalam saluran kelamin betina, Perubahan-perubahan ini
memicu spermatozoa mampu melakukan pembuahan, peristiwa ini yang
disebut dengan KAPASITASI.
Sejak penemuan kapasitasi oleh Chang, hingga saat ini para peneliti masih
menyimpan keraguan akan perlunya kapasitasi pada spermatozoa. Hal ini karena
spermatozoa yang baru terejakulasi, belum diketahui kemampuannya dalam
membuahi sel telur. Bila kapasitasi dideinisikan sebagai fenomena yang hanya
terjadi di dalam saluran betina, maka keraguan mereka dapat dibenarkan. Untuk
pembuktiannya lebih mudah bila dipakai media buatan yang menyerupai
disaluran kelamin betina untuk proses inseminasi sel telur.
Bila kapasitasi tidak dibutuhkan, maka spermatozoa yang baru terejakulasi
dapat membuahi sel telur sesegera mungkin. Dalam kenyataannya, selalu terjadi
selang waktu antara Inseminasi dan awal dari pembuahan. Selang waktu ini bisa
terjadi selama kurang dari 1 jam atau lebih dari beberapa jam, tergantung pada
spesiesnya, selang waktu ini dapat dipakai untuk menentukan waktunya
kapasitasi.
Waktu kapasitasi dapat ditentukan dengan bermacam metode. Salah
satunya yaitu dengan mengawinkan atau melakukan Inseminasi Buatan pada
betina yang baru berovulasi Misalnya ada selang waktu selama 2 jam diantara Inseminasi dan awal pembuahan, maka 2 jam yaitu waktu minimum
untuk berkapasitasi. Waktu 2 jam ini merupakan waktu minimum dari
spermatozoa untuk berpindah menuju tempat pembuahan. Sedangkan proses
kapasitasi spermatozoa mungkin berlangsung lebih awal. Suatu pendekatan
alternatif yaitu dengan menginkubasi terlebih dahulu spermatozoa di dalam
saluran kelamin betina atau media buatan dengan selang waktu yang berbeda,
kemudian oosit yang baru ovulasi dicampurkan secara in vitro, kemudian ditentukan waktu fertilisasinya.
Jika spermatozoa tidak kapasitasi sama sekali atau hanya sebagian saja,
maka akan terjadi kegagalan pembuahan atau terjadi pembuahan beberapa
jam kemudian. Sebaliknya bila spermatozoa berkapasitasi secara penuh, maka
mereka akan membuahi sel telur tanpa selang waktu (setidaknya dalam waktu
30-60 menit sesudah inseminasi, atau waktu di diperlukan spermatozoa untuk
menembus sel telur).
Penting untuk dicatat bahwa waktu kapasitasi tiap-tiap spesies tidak dapat
ditentukan dengan pasti. Hal ini secara pasti dipengaruhi oleh berbagai hormon
reproduksi, macam dan komposisi medium di tempat pematangan spermatozoa dan ada nya seminal plasma pada spermatozoa mempengaruhi waktu
kapasitasi spermatozoa.
Kapasitasi yaitu proses pelepasan bahan-bahan pelapis membran spermatozoa secara bertahap, terutama pada bagian akrosom. Hal ini memicu
reseptor spermatozoa dapat berinteraksi dengan reseptor sel telur, atau Zona
pellusida.
Istilah kapasitasi pada dasarnya yaitu perubahan isiologis spermatozoa
dan dilanjutkan dengan reaksi akrosom, sehingga mampu membuahi sel telur.
Ada yang menyebutkan bahwa reaksi akrosom yaitu bagian dari kapasitasi,
akan tetapi sebetulnya kapasitasi dan reaksi akrosom merupakan fenomena yang
terpisah. Kapasitasi yaitu serentetan perubahan yang membuat spermatozoa
mampu mengalami reaksi akrosom. Reaksi akrosom terjadi pada sebagian besar
binatang, sedangkan kapasitasi merupakan fenomena yang unik pada mammalia
dan sebagian pada non mammalia.
Gambaran spermatozoa yang mengalami kapasitasi dengan pewarnaan
Chlortetracycline dan diamati memakai mikroskop epi luoresen dengan
Exitation Blue Violet yaitu seperti gambar 3.1.
A. Spermatozoa yang utuh (Belum kapasitasi)
B. Spermatozoa kapasitasi
C. Spermatozoa telah selesai Reaksi akrosom
Gambaran ini juga terjadi pada Kambing, Domba, Kerbau dan juga
manusia. Pendaran warna kuning ini yaitu karena chlortetracycline yang
bisa berpendar mengikat ion kalsium yang ada pada membran spermatozoa,
sehingga dengan memakai mikroskop epi luorescent terjadi pendaran
warna kuning pada bagian membran yang ada ion kalsium, semakin tinggi
konsentrasi ion kalsium maka pendarannya semakin jelas.
Spermatozoa yang belum kapasitasi menunjukkan pendaran kuning
(luoressen) pada seluruh kepala dan ekor spermatozoa. Hal ini karena ion
kalsium berada merata di kepala spermatozoa. Spermatozoa yang kapasitasi
ditunjukkan dengan pendaran pada bagian atas kepala atau bagian akrosomnya,
selain itu pendaran kuning juga terkonsentrasi pada bagian leher yang banyak
mitokondrianya. Peningkatan ion kalsium pada bagian akrosom memicu
aktifnya pro enzim yang ada di akrosom menjadi enzim yang aktif sehingga
selanjutnya akan terjadi reaksi akrosom, sedangkan peningkatan konsentrasi ion
kalsium pada bagian leher yang banyak mengandung mitokondria memicu
gerak progresif spermatozoa menjadi gerak hiperaktifasi. Perbedaan gerak
progresif dan hiperaktifasi yaitu amplitudi geraknya lebih besar pada saat
hiperaktifasi. Kepastian gerak hiperaktifasi pada saat kapasitasi atau sesudah
kapasitasi masih menjadi pertanyaan, akan tetapi yang pasti bila spermatozoa
sudah hiperaktifasi dan tidak terjadi fertilisasi maka spermatozoa ini akan
segera mengalami kematian.
3.1. KAPASITASI SPERMATOZOA SECARA IN VIVO
Kapasitasi secara normal terjadi pada saluran reproduksi betina yang
sedang estrus dan kapasitasi mulai terjadi saat spermatozoa melalui servik atau
lendir servik, sedangkan pada kelinci yaitu paling eisien, karena spermatozoa
mengalami pematangan di uterus dan oviduk.
Pada hewan mengerat dan babi, tempat utama kapasitasi yaitu di oviduk,
kemudian berjalan ke arah ampulla yang merupakan tempat terjadinya pembuahan. dan tidak diketahui kapan dan spermatozoa menyelesaikan kapasitasi.
Belum diketahui faktor-faktor yang secara langsung mengontrol kapasitasi
spermatozoa di dalam saluran kelamin betina. Ada beberapa substansi yang
diduga sebagai faktor yang memicu kapasitasi yaitu beta-amylase dan beta
Glucoronidase, Protein dan Neuraminidase arysulfatase, fucodinase, acetylhexosaminidase
carbonic, anhydrose dan steroid, sulfatase, glikosaminoglican, catechlamine dan taurine
dan hypotaurine. Studi lebih lanjut mutlak diperlukan untuk menentukan apakah
zat-zat ini diatas benar-benar terlibat dalam proses kapasitasi spermatozoa
secara in vitro, karena faktor-faktor ini tidak spesiik spesies.
Pada pembuahan secara in vitro, kapasitasi terjadi tanpa adanya kontribusi
sistim saluran kelamin betina Akan tetapi tidak berarti bahwa kondisi-kondisi
yang memicu kapasitasi in vitro identik dengan kapasitasi in vivo. Apa yang
terjadi pada in vitro dan in vivo bisa jadi berbeda. ada beberapa pernyataan
bahwa spermatozoa yang berkapasitasi secara in vivo membuahi sel telur jauh
lebih eisien dari in vitro. Alam semesta telah bekerja selama jutaan tahun, sementara para ilmuwan baru mulai mengikuti jejaknya, banyak hal yang masih
harus di pelajari dari alam ini.
3.2. KAPASITASI SPERMATOZOA SECARA IN VITRO
Chang pertama kali melaporkan bahwa spermatozoa mammalia dapat
berkapasitasi secara in vitro pada tahun 1963. Sel telur dikumpulkan dari tupai
bulu emas yang mandul dengan mengambil oviduk betina yang baru berovulasi.
Saat sel telur diinseminasikan dengan spermatozoa yang berasal dari epididimis,
55% sel telur dipenetrasi oleh spermatozoa. Keberhasilan pembuahan secara in
vitro ini mengindikasikan keberhasilan kapasitasi secara in vitro. Pada tahap
awal riset dipakai cairan oviduk, cairan folikular atau serum darah yang
memiliki komposisi yang rumit. Pertama kali yang berhasil melakukan pembuahan secara in vitro dengan memakai bahan kimia tertentu yaitu Toyoda dkk
(1971), sehingga kemudian proses pembuahan secara in vitro termasuk kapasitasi
in vitro menjadi semakin mudah dan mekanisme kapasitasi lebih mudah dari
pada sebelumnya. Media yang lazim dipakai untuk kapasitasi secara in vitro
yaitu modiikasi larutan Tyrode dan Kreb-Ringer yang ditambahkan sumber
energi yang cukup ( misalnya Glukosa, laktat dan Piruvat ) dan albumin. Media
kultur jaringan yang tersedia di pasaran (Misalnya Ham F-10) yang disuplemen
dengan serum darah juga sering dipakai terutama pada manusia. Sampai
saat ini belum ada media yang dapat dipakai untuk semua spesies, karena
spermatozoa dan oosit tiap spesies memiliki lingkungan yang tersendiri
untuk berfungsi secara eisien.
Tujuan utama mempelajari secara in vitro yaitu melihat hasil pembuahan secara in vitro bukannya menganalisa mekanisme kapasitasi spermatozoa.
Meskipun semua informasi itu bermanfaat, akan tetapi harus hati-hati dalam
menyimpulkan masalah kapasitasi. Misalnya beberapa peneliti menyimpulkan
adanya beberapa jenis reagen yang memblokir terjadinya kapasitasi spermatozoa
secara total, sehingga tidak bisa terjadi pembuahan secara in vitro. Kesimpulan
ini bisa benar atau salah, sebab kapasitasi bukanlah proses satu-satunya
yang memicu keberhasilan pembuahan. Untuk pembuahan sel telur, spermatozoa harus mampu bergerak, sanggup menjalani reaksi akrosom, berpenetrasi ke dalam sel telur dan penggabungan sel kelamin jantan dan betina dengan
baik. Bila pembuahan secara in vitro tidak berhasil, belum tentu dipicu
spermatozoa gagal melakukan kapasitasi, karena masih ada faktor-faktor
lain yang mempengaruhi fertilisasi.
Sangat lazim menganggap reaksi akrosom sebagai lengkapnya proses
kapasitasi, sebab spermatozoa tidak akan mengalami reaksi akrosom kecuali
telah selesai kapasitasi secara penuh. Reaksi akrosom dapat dipakai sebagai
indikator yang layak dari keberhasilan kapasitasi. Akan tetapi kita mesti hatihati, sebab kondisi-kondisi yang tidak lazim atau reagen-reagen tertentu dapat
memicu reaksi akrosom tanpa melewati proses kapasitasi. Tidak terjadinya
reaksi akrosom tidak berarti spermatozoa gagal dalam menjalani kapasitasi,
karena spermatozoa ini mungkin berkapasitasi namun tidak mampu
menjalani reaksi akrosom. Mengingat kenyataan ini dibuat rangkuman singkat
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitasi secara in vitro.
3.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITASI
(Dijelaskan secara in vitro)
Suhu memiliki pengaruh yang besar pada proses kapasitasi, sehingga
hampir semua laboratorium menetapkan suhu inkubasi berkisar antara 37-38oC
untuk kapasitasi secara in vitro. Akan tetapi, pada babi dan domba lebih baik
pada temperatur yag lebih tinggi. Selain suhu juga ada faktor-faktor yang
mempengaruhi proses kapasitasi yaitu:
1. Variasi Individu
Spermatozoa dari beberapa pejantan berkapasitasi lebih cepat pada
spesies yang sama. Karena pada spesies yang sama ada variasi didalam
individu.
2. Asal spermatozoa
Spermatozoa dari epididimis dan spermatozoa hasil ejakulasi memiliki
sifat yang tidak sama secara in vitro. Pada umumnya spermatozoa epididimis
lebih mudah membuahi sel telur secara in vitro dari pada spermatozoa hasil
ejakulasi. 71-75% sel telur babi dapat dibuahi secara in vitro oleh spermatozoa
yang berasal dari cauda epididimis, dan sebaliknya tak satu pun yang berhasil
dibuahi oleh spermatozoa hasil ejakulasi. Spermatozoa dari epididimis menjadi
infertil saat menempel atau masuk didalam seminal plasma.
Spermatozoa hasil ejakulasi lebih lama kapasitasinya dari pada spermatozoa dari epididimis secara in vitro. Hal ini karena plasma spermatozoa
epididimis cukup stabil sesudah tingkatan absorbsi dan atau integrasi glikoprotein dari epididimis, cukup banyak bukti yang menyatakan bahwa komponenkomponen seminal plasma (misalnya: glikoprotein, polipeptida dan protein
semacam ibronektin) menempel dengan kuat pada permukaan spermatozoa
terejakulasi. Ikatan ini begitu kuat, sehingga tidak bisa dilepas dengan
mudah dengan pencucian yang berulang-ulang dengan larutan isiologis biasa.
Pelepasan atau perubahan material lapisan permukaan spermatozoa merupakan
bagian terpenting dari proses kapasitasi. Tampaknya saluran kelamin betina
yang berahi dapat memicu kapasitasi spermatozoa. Pada bagian ini
ada mekanisme yang sangat eisien untuk merubah material lapisan pelindung spermatozoa yang berasal dari epididimis (lapisan permukaan primer)
dan dari seminal plasma (lapisan sekunder). Lapisan primer pada spermatozoa
yang berasal dari epididimis mudah diubah dengan memakai media yang
dinamakan “media kapasitasi sperma”., akan tetapi tidak efektif untuk melepas
lapisan sekunder, sehingga supaya terjadi kapasitasi secara in vitro, dilakukan
sentrifugasi terlebih dahulu.
3. ada nya Kumulus Oophorus.
Sel-sel telur yang matang dikelilingi oleh kumulus oophorus. Kumulus
tetap berfungsi tidak hanya selama pembuahan, tapi juga beberapa saat sebelum
pembuahan. Adanya kumulus oophorus di sekeliling sel telur dapat membantu
proses pembuahan, terutama bila media yang ada kekurangan albumin, selain
itu beberapa komponen dari kumulus memicu terjadinya reaksi akrosom.
Secara in vitro sel kumulus mengkapasitasi spermatozoa, akan tetapi secara in vivo tidak terjadi, hal ini ditunjukkan bahwa spermatozoa hamster yang
memasuki kumulus oophorus sudah mengalami kapasitasi, sehingga dapat
dikatakan bahwa yang memicu kapasitasi yaitu saluran kelamin betina
(Yanagimachi, 1988).
PERISTIWA-PERISTIWA YANG TERJADI PADA SPERMATOZOA
SELAMA KAPASITASI
Selama kapasitasi terjadi perubahan-perubahan pada adenylat cyclase, metabolisme, ion-ion intra selluler, akrosom, Inti dan selaput plasma.
1. Perubahan-perubahan dalam adenylate cyclase
Tingkat fertilitas spermatozoa secara temporer berkurang atau hilang
pergerakannya saat berada pada bagian tertentu di saluran reproduksi betina.
Spermatozoa akan bergerak sangat cepat pada saat permulaan dan akhir kapasitasi, hal ini menunjukan bahwa adenylate cyclase dan sistim protein kinase (pada fungsi
cAMP nya) berperanan penting dalam menjaga motilitas. ada bukti tentang peningkatan
aktiitas adelylate cyclase selama kapasitasi, meningkatnya aktiitas adenilat seklase mungkin
karena meningkatnya jumlah cAMP. Selanjutnya protein kinase terstimulasi merubah struktur
tersier dan kuartener selaput spermatozoa melalui phosporilasi protein-protein membran yang
menghasilkan perubahan pada sifat isik selaput (Misalnya permeabilitas ion)
2. Perubahan pada metabolisme
Spermatozoa mengalami peningkatan metabolisme (Misal:aktiitas glikolitik dan konsumsi oksigen) sesudah inkubasi di dalam saluran kelamin betina
atau dalam media yang mengandung cairan yang berasal dari uterus, oviduk
atau cairan follikular yang berperanan dalam kapasitasi. Peningkatan respirasi
spermatozoa dalam media kapasitasi dipicu adanya substrat-substrat yang
dapat teroksidasi dan merupakan suatu iring-iringan dari proses kapasitasi dan
bukan merupakan faktor pembawa, meskipun tampak pasti bahwa spermatozoa
tikus tidak merubah laju respirasinya sebelum dan sesudah kapasitasi. Kapasitasi
mungkin memicu perubahan pada selaput plasma (Phosporilasi) hingga
energi menjadi lebih dapat dipakai untuk perangkat motor spermatozoa.
Peningkatan laju metabolisme selama dan sesudah kapasitasi masih belum dapat
dijelaskan secara detil.
3. Perubahan dalam ion-ion intraselluler
Spermatozoa yang hidup, secara eisien menjaga gradien ion di sepanjang
selaput plasmanya. Konsentrasi K+
di dalam spermatozoa lebih tinggi dari pada
di luar, se