Tampilkan postingan dengan label spermatologi 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label spermatologi 1. Tampilkan semua postingan

spermatologi 1




























 Spermatozoa sebelum mengalami fertilisasi atau pembuahan mengalami 

perubahan struktur dan fungsinya. Perubahan struktur dan fungsi spermatozoa 

ini mulai terjadi pada saat spermatogenesis, di dalam saluran reproduksi jantan 

dan saluran reproduksi betina, hingga sampai terjadinya proses fertilisasi di 

dalam ampulla. Perubahan struktur dan fungsi spermatozoa saat di dalam saluran reproduksi betina di sebut dengan kapasitasi spermatozoa yang dilanjutkan 

dengan reaksi akrosom.

Kapasitasi spermatozoa pada dasarnya yaitu  perubahan isiologis 

yang di dalam buku ini mulai dibahas proses kapasitasi spermatozoa secara in 

vivo dan in vitro, faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitasi yang dijelaskan

secara in vitro serta peristiwa-peristiwa yang terjadi pada spermatozoa selama 

mengalami kapasitasi.

sesudah  proses kapasitasi dilanjutkan dengan reaksi akrosom, sehingga 

spermatozoa mampu membuahi sel telur. Untuk lebih jelasnya tentang peristiwa 

reaksi akrosom ini ,maka di mulai dengan penjelasan tentang enzim-enzim yang 

ada di dalam akrosom, arti fungsional terjadinya akrosom, morfologi dan kinetika reaksi akrosom, mekanisme reaksi akrosom, serta terjadinya hiperaktivasi 

spermatozoa yang bersamaan dengan proses reaksi akrosom.

Proses fertilisasi dimulai dari penetrasi spermatozoa pada lapisan terluar 

oosit yaitu kumulus oophorus yang melibatkan proses enzimatis, selanjutnya 

yaitu  penetrasi spermatozoa ke dalam lapisan terluar dari oosit yaitu zona 

pellusida, peristiwa penyerangan spermatozoa pada zona pellusida, Reseptorreseptor spermatozoa pada zona dan reseptor-reseptor zona saling berinteraksi 

satu dengan yang lainnya. Proses penetrasi spermatozoa dalam menembus 

zona pellusida dan kejadian-kejadian sesudah  terjadinya fusi antara spermatozoa 

dengan sel telur.  

Spermatozoa sesudah  melakukan penetrasi oosit, memicu aktivasi 

dari oosit, selanjutnya terjadi proses exocytosis granula-granula cortical dan terjadi 

proses penghambatan polisperma, Sedangkan proses fertilisasi ini  diakhiri 

dengan terjadinya dekondensasi nukleus spermatozoa dalam sitoplasma.

Fisiologi spermatozoa hingga terjadinya fertilisasi mendasari perkembangan bioteknologi reproduksi meliputi Inseminasi Buatan (IB), Transfer 

Embrio, Fertilisasi In Vitro dan Manipulasi Embrio, sedangkan tujuan dari 

Bioteknologi Reproduksi pada ternak bertujuan untuk memperbaiki Mutu 

Genetik ternak, sedangkan pada manusia yaitu  untuk membantu pasangan 

suami istri untuk mendapatkan anak secara bantuan. Hingga saat ini IB yang 

telah terbukti dapat meningkatkan mutu genetik ternak dan dapat diterima oleh 

masyarakat, sehingga saat ini IB telah dilaksanakan secara swadaya masyarakat. 

Selain itu IB merupakan cara yang ampuh untuk meningkatkan populasi ternak 

dan produksi ternak baik secara kualitatif maupun kuantitatif, sehingga dapat 

meningkatkan pendapatan baik petani maupun pemerintah daerah.  

Spermatozoa dibentuk dalam tubuliseminiferi yang berada di dalam 

testes. Tubulus ini berisi rangkaian sel yang kompleks, yaitu perkembangan atau 

pembelahan sel dari sel germinal sampai dengan terbentuknya spermatozoa atau 

gamet jantan. Bentuk spermatozoa yang sempurna yaitu  merupakan sel yang 

memanjang, yang terdiri dari kepala yang tumpul yang di dalamnya ada  

nucleus atau inti, dan ekor yang mengandung apparatus untuk bergerakan sel. 

Pada kepala ada  akrosom yang memiliki struktur dinding yang rangkap yang 

terletak diantara membran plasma bagian anterior nucleus, Leher menghubungkan kepala dan ekornya (lagela) yang dibagi lagi menjadi bagian tengah, pokok 

dan akhir yang bagian–bagian ini  memiliki  struktur yang berbeda.

. MORFOLOGI SPERMATOZOA

Spermatozoa pada masing-masing spesies memiliki  ukuran yang 

berbeda-beda akan tetapi bentuknya hampir sama. Perbedaan relatif ukuran 

dan bentuk spermatozoa pada berbagai hewan seperti pada gambar 1.1. 

Pada kepala spermatozoa ada  akrosom, sedangkan dan pada ekor 

secara anatomis ada  bagian midle piece, principal piece dan bagian ekor yang 

ada  central axonemal yang ada  9+2 mikrotubulus, dan di balut dengan 

outer ibril, lapisan mitochondria yang membentuk kolom longitudinal pada

dorsal dan ventral dan circumferial ribs. 

. Kepala spermatozoa

Bentuk utama dari kepala spermatozoa yaitu  oval, tumpul mengandung 

nukleus dengan kromatin yang padat sekali. Kromatin terdiri dari DNA yang 

kompleks dari protein dasar yang dikenal sebagai protamine sperma. Jumlah 

kromosom spermatozoa yaitu  haploid atau setengah dari sel somatik, Sel 

spermatozoa yang haploid ini dihasilkan dari pembelahan secara meiosis sel 

yang terjadi selama pembentukan spermatozoa atau proses spermatogenesis.

. Akrosom

 Bagian anterior akhir dari inti spermatozoa dibungkus oleh akrosom 

tipis, lapisan membran yang menutup ini terbentuk pada saat proses pembentukan spermatozoa. Pada akrosom berisi beberapa enzim hidrolitik antara lain 

proacrosin, hyaluronidase, esterase dan asam hidrolase yang dibutuhkan pada proses 

fertilisasi. 

 Bagian equator akrosom ini merupakan bagian yang penting pada 

spermatozoa, hal ini karena bagian anterior post akrosom ini yang mengawali 

penggabungan dengan membran oosit pada proses fertilisasi. Akrosom terdiri dari apical (apical ridge), Principal dan bagian equatorial. 

Membran bagian luar pada bagial apical dan principal segments disebut dengan 

akrosom luar. Juga ada  hubungan dalam akrosom, yaitu membran dalam 

dan membran luar dengan inti dan plasma membran.

. Ekor spermatozoa

 Ekor spermatozoa dibagi menjadi leher, bagian tengah, pokok dan akhir. 

Leher menghubungkan potongan bagian basal plate bagian posterior dan bagian 

terbawah dari nukleus. Bagian basal plate pada bagian leher berlanjut sampai akhir, 

dengan sembilan serabut kasar yang mengeras pada seluruh bagian ekor.

 Inti bagian tengah pada ekor bersama dengan seluruh bagian ekor membentuk aksonema. Aksonema ini terdiri dari sembilan pasang mikrotubulus yang 

tersusun di sekitar pusat ilamen. Pada bagian tengah, susunan mikrotubulusnya

yaitu  9+2 yang dikelilingi oleh sembilan serabut kasar padat yang berhubungan 

dengan sembilan pasang aksonema. Aksonema dan iber yang padat pada bagian 

tengah, sekelilingnya dibungkus oleh mitokondria. Pembungkus mitokondria ini 

tersusun berupa pilinan yang mengelilingi serabut longitudinal ekor, Mitokondria menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk pergerakan spermatozoa. 

Pembungkus mitokondria berakhir pada annulus.

 Bagian pokok yang merupakan lanjutan dari annulus dan memanjang 

mendekati bagian akhir ekor, terdiri dari aksonema yang terpusat dan bergabung 

dengan serabut kasar. Lapisan ibrous diperkirakan memberikan stabilitas untuk 

gerakan ekor. Bagian akhir, merupakan batas posterior dari lapisan ibrous yang 

hanya berisi aksonema yang dilapisi membran plasma. 

 Aksonema bertanggung jawab pada pergerakan spermatozoa. Sepasang 

mikrotubulus tersusun dari 9 + 2, umumnya dinding ekor melipat seperti gelombang dengan gerakan menggeser antara sepasang daerah yang berdekatan.

Droplet protoplasmic atau sitoplasmik biasanya tidak ada  spermatozoa yang diejakulasikan, tersusun dari residu sitoplasmik. Meskipun termasuk 

spermatozoa abnormal yang diejakulasikan dari berbagai spesies, droplet yang 

ada  di daerah leher, yang diketahui sebagai “Droplet Proximal”, sedangkan 

yang dekat annulus, disebut “Droplet Distal”. 

KOMPOSISI KIMIA SPERMATOZOA 

 Komponen kimia spermatozoa yaitu  asam nukleat, protein dan lemak. 

Kurang lebih sepertiga dan berat kering sel spermatozoa yaitu  intinya kromatin inti terdiri dari kira-kira setengah DNA dan ½ protein. Topi akrosom 

mengandung berbagai protein enzim. Beberapa struktur protein enzim dan 

lemak ditemukan di ekor. 

1. Unsur Inorganik

 Spermatozoa mengandung phospor, nitrogen, dan sulfur yang banyak. 

Sebagian phospor berhubungan dengan DNA, sedangkan sulfur berasal dari 

komponen protein inti dan keratinoid pada bagian ekor.

2. Komponen Biokimiawi

 Inti spermatozoa terdiri dari kromatin yang DNA-nya distabilkan dengan 

konjugasi memakai  protein khusus yaitu sebagai “Spermatozoa Histone”. Inti 

spermatozoa pada beberapa spesies mengandung sebagian kecil spermatozoa 

histone dengan berat molekul rendah, yang diketahui sebagai “Protamin”, sedangkan spermatozoa pada spesies lain mengandung jumlah yang bervariasi 

pada arginin yang kaya histone. Protein dasar inti penting untuk kondensasi 

dan stabilisasi DNA dengan ikatan sulfhidril. Peningkatan ikatan sulfhydryl 

berperanan pada perjalanan spermatozoa saat diepididimis selama perjalanan 

menuju ke fertilisasi.

Saat spermatozoa mengalami reaksi akrosom yang sebagian besar 

bahan dalam akrosom dikeluarkan yang dipicu  penggabungan plasma 

dan membran akrosom bagian luar. Fungsi dari masing-masing enzim yaitu  

sebagai berikut: Hialuronidase memicu menyebarnya sel kumulus yang 

mengelilingi ovum yang baru diovulasikan menyebar. Proakrosin yaitu  precursor enzim proteolitik akrosin, yang dapat membantu dalam mempersingkat 

penetrasi spermatozoa melalui zona pellusida. Namun secara bioisika, penginduksian spermatozoa dapat secara mekanik menetrasi zona pellusida dengan 

cara gerakannya (gerakan spermatozoa).

 Lapisan mitokondria spermatozoa, yang kaya fosfolipid, dengan berbagai 

ukuran mitrokondria pada beberapa spesies dan dalam cairan kimia yang dibuat. 

Spermatozoa mengandung enzim cytochrome oksidase pada system pernafasan 

dan tahap glikosis. Metabolisme enzim lain, khususnya laktat dehidrogenase 

yang dikenal sebagai LDH-X, juga ada  energi yang kaya nukleotida adenin dan guanin yaitu  komponen penting dalam energi spermatozoa sebagai 

protein aksonema, tubulin dan dynein. dynein merupakan protein dasar dalam 

mikrotubulus aksonema yang ditunjukkan oleh ikatan divalent ATP-ase yang 

diaktifkan. 

3. Kromosom sex X dan Y pada spermatozoa mammalia.

 Pejantan pada mammalia menentukan jenis kelamin anak yang dilahirkan. Sebagai hasil pembelahan reduksi selama spermatogenesis, spermatozoa 

hanya mengandung setengah jumlah DNA pada sel-sel somatik dari spesies 

yang sama dan terbentuklah dua macam spermatozoa yaitu spermatozoa yang 

berkromosom X dan spermatozoa yang berkromosom Y. Meskipun diduga 

kandungan DNA antara kromosom X dan Y pada spermatozoa hanya sekitar 

4% untuk ternak, perbedaan kecil ini dapat diketahui dengan cara memakai  

pewarnaan luoresen dan Flow cytometer. Spermatozoa yang mengandung 

kromosom X (spermatozoa X) jika terjadi fertilisasi akan menghasilkan embrio 

betina, sedangkan spermatozoa yang mengandung kromosom Y (spermatozoa Y) akan menghasilkan embrio jantan, karena pada kromosom Y ada  

sex determining Region Y gen (SRY) yang menentukan terbentuknya testis pada 

hewan jantan , Panjang dan 

lebar spermatozoa sapi kira-kira 8-10 x 4-4,50 mikron, tebal kepala 0,50 – 1,50 

mikron, bagian tengah spermatozoa memiliki  panjang 10 – 15 mikron dan 

diameternya sekitar 1 mikron, panjang ekor spermatozoa yaitu  35-45 mikron 

dengan diameter 0,4-0,8 mikron, sedang panjang keseluruhan mencapai 50-70 

mikron ,

Hasil pengukuran kepala spermatozoa sapi sebanyak 

2000 spermatozoa didapatkan rata-rata panjang kepala 8,75 ± 0,25 µm, dan ratarata lebar kepala 4,12 ± 0,22 µm. Hasil pengukuran besar kepala spermatozoa 

(panjang x lebar) pada semen segar diperoleh rata-rata 32,75 ± 2,36 µm2

Flow cytometer dimodiikasikan untuk mendapatkan jenis spermatozoa 

dengan populasi yang murni (seleksi jenis kelamin). Ketika spermatozoa yang 

telah diseleksi mendekati kemurnian 90% diinseminasikan ke betina. Sehingga 

rasio sex keturunan hampir sama dengan prediksi rasio spermatozoa X ke Y 

hasil identiikasinya . Penemuan ini penting untuk perkembangan selanjutnya 

untuk mengontrol jenis kelamin ternak ,

 Spermatozoa X mengandung kromatin lebih banyak di kepalanya, sehingga memicu  ukuran kepala spermatozoa X lebih besar  maka melakukan identiikasi spermatozoa 

X dan Y berdasarkan pada ukuran kepala yaitu panjang kali lebar, bila  lebih 

besar dari rata-rata maka dianggap spermatozoa X, sedangkan bila lebih kecil  

yaitu  spermatozoa Y. Berdasarkan cara penentuan ini  diperoleh hasil 

persentase spermatozoa yang diprediksi sebagai spermatozoa X sebanyak 

52,10% dan spermatozoa yang diprediksi sebagai spermatozoa Y sebanyak 

47,9%. 

4. Spermatozoa X dan Y pada Unggas

 Jenis kelamin ternak ditentukan oleh gen yang ada  pada salah satu 

sex chromosom. Pada mammalia yang menentukan jenis kelamin yaitu  kromosom Y, sedangkan pada kelompok burung pada jantan berkromosom ZZ 

(homogametik), sedangkan betina ZW (hetero gemetik) . Gen yang menentukan 

jenis kelamin pada ternak jantan yaitu  gen SRY , Sedangkan 

pada bangsa burung yang menentukan jenis kelamin ada gen yang berada di 

dalam lokus yang belum diketahui fungsi pengaturannya 

 Hingga saat ini belum diketahui dengan jelas gen mana yang mengatur 

jenis kelamin, di lain ihak telah berhasil diidentiikan protein pada kelompok 

burung betina yaitu W – linked PKCIW gene yang dapat mengekspresikan 

pembentukan gonad betina. Akan tetapi belum jelas pengaturan pertumbuhan 

gonad oleh gen DMRT1 dan PKC1W .

 Gen DMRT1 mengexpresikan genital ridge dan saluran Wolfian pertumbuhan alat reproduksi jantan pada tahap ke 25 , DMRT 

diexpresikan pada burung jantan yang telah dewasa 

 Biosintesis dan sekresi hormon gonadal berpengaruh terhadap differensiasi gonad. Pembentukan gonad (gonadogenesis) dipengaruhi oleh hormon exogenous. Pertumbuhan gonad pada burung lebih labil, sehingga dapat 

dipengaruhi oleh manipulasi hormon. Perubahan jenis kelamin dapat dilakukan 

dengan injeksi telur dengan estrogen atau oleh produksi estrogen. Experimen 

banyak dilakukan pada critical role untuk sintesis estrogen dalam sex determinasi 

Sinthetic inhibitors pada ensim sintetis estrogen, aromatase, 

dapat memicu betina menjadi jantan secara permanen ,Gonad sebelah kanan untuk pembentukan jantan dan gonad sebelah 

kiri akan membentuk testis Unggas 

jantan yang berkromosom ZZ diberi perlakuan estrogen akan menjadi betina 

akan tetapi tidak permanan. ada  2 akhir suatu sintesis estrogen yaitu  

P-450 aromatase dan 17β HSD diexpresikan hanya pada ZW yang memiliki  

gonad betina yang mengalami defferensiasi morfologi (hari ke 6-6, 5, stage 29-

30) , Enzym 

ini diexpresikan oleh modulary cord pada gonad betina, enzim yang lain pada 

pathway steroidogenic yang di expresikan pada medula pada kedua jenis kelamin 

Aromatase dan 17 βHSD yaitu  kunci dari komponen 

sexual dimorphic. Secara logis bahwa gen W linked pada penentuan jenis kelamin 

betina yang mengaktivasi aromatase dan 17 βHSD yang diexpresikan secara awal 

pada pembentukan alat kelamin betina. Akan tetapi tidak konsisten pada peran 

hormon androgen pada awal pembentukan jatan. Testosteson dan DHT tidak 

berpengaruh pada pembentukan telur dan reseptor androgen diekspresikan 

pada akhir dalam pembentukan gonad. 

 Estradiol berpengaruh selama perkembangan gonad dan ada  reseptor. Yang menarik estrogen receptor alpha (Erα) diexpresikan pada kedua jenis 

kelamin untuk differensiasi sex dalam embrio ayam Tampaknya 

ekspresi dimulai dari gonadal cortex Ekspresinya yaitu  pengaturan di dalam 

proses pertumbuhan jantan, pada betina juga di didalam gonad sebelah kiri 

 Pertumbuhan gonad selama proses 

embryogenesis tampaknya resisten terhadap sex steroid akan tetapi deferensiasi 

dapat terjadi tanpa adanya steroidogenesis 

. SEMINAL PLASMA 

 Pengertian fungsional dari seminal masih diragukan, hal ini karena selama 

proses perjalanan spermatozoa pada uterus dan proses fertilisasi tidak ada peran 

dari seminal plasma. Seminal plasma, yaitu  suatu komponen essensial yang 

berfungsi pembawa (Carier) dan pelindung spermatozoa. 

Seminal plasma berperan penting pada spesies babi betina dan kuda betina, hal 

ini karena seminal plasma bersama dengan spermatozoa sampai ke uterus, karena 

diejakulasikan hingga uterus. Pada sapi dan Domba seminal plasma dibutuhkan 

oleh spermatozoa, saat spermatozoa di ejakulasikan dan disimpan dalam vagina 

(komposisi semen dan karakteristik semen ada  pada tabel 1.1). 

Penghasil seminal plasma (kelenjar assesories)

 Seminal plasma merupakan suatau cairan yang bermacam-macam yang

dihasilkan oleh beberapa kelenjar yaitu Prostat, vesicular seminalis dan kelenjar 

bulbouretralis yang dituangkan kedalam uretra, saat ejakulasi mereka dicampur 

dengan cairan spermatozoa dan sekresi ampula dan duktus deferens. Selain itu 

juga cairan yang berasal dari epididimis.

 

Unsur Biokimia dari seminal plasma

 Seminal plasma biasanya berisi asam sitrat kadar tinggi, ergotionine, fructose, glyseryphosphorylcholine dan sorbitol. Sebagian berupa asam askorbik, 

asam amino, peptida, protein, lemak, asam lemak dan beberapa enzim yang turut 

berperan (white, 1980). Anti mikroba dan imunoglobulin, terutama kelas Ig A 

ada  juga substansi hormon yaitu androgen, 

estrogen, prostaglandin, FSH, LH, materi seperti chorionic gonadotropin, juga 

ada  dalam kadar rendah insulin, glukagon, prolaktin, relaksin, hormon 

pembentuk thyroid .

 Selain sebagai media transportasi, fungsi seminal plasma tidak begitu jelas, 

hal ini bisa dilihat pada Spermatozoa yang berasal dari kauda epididimis dapat 

membuahi telur tanpa penambahan hasil eksresi kelenjar asesoris. Kandungan 

biokimia pada semen, dapat dipakai  sebagai indikator penunjuk fungsi khusus kelenjar asesoris yang menghasilkannya, misalnya Fruktosa dihasilkan oleh 

vesikula seminalis.

 Fruktosa dan asam sitrat merupakan komponen penting kelenjar veskula 

pada ruminansia. Asam sitrat sendiri tersusun dalam kelenjar vesikula kuda 

jantan, pada kelenjar vesikula babi hutan berisi sedikit fruktosa tetapi ditandai 

dengan tingginya kandungan ergothioniene dan inositol. Glycerylphosphorylcholine

merupakan sebuah komponen khusus dari epididimis. Ergothioniene yaitu  

sebuah keunikan tersendiri pada kelenjar ampula kuda. 

 Kelenjar asesori pada banteng dan kuda jantan dapat digetarkan melalui 

rektum. Pada banteng gelembung vesika seminalis dan kelenjar prostatnya tidak 

dapat diketahui lewat rektum. Kelenjar bulbourethal bangsa sapi, umumnya 

tidak dapat diidentiikasikan karena tertutup oleh otot. Pada babi hutan, ukuran  

kelenjar bulbourethalis dapat dipergunakan untuk membedakan pengebirian 

pada criptorchid babi hutan. Babi hutan sebelum pubertas memiliki kelenjar 

bulbourethalis kecil, panjangnya 5 cm, beratnya kurang dari 1 gram. Cryptorchid babi hutan umumnya memiliki  ukuran kelenjar yang normal, kira-kira 

panjangnya 10 cm dan beratnya 45 gram 

Kualitas semen saat ejakulasi pada sebagian besar ternak yaitu  berubahubah, hal ini karena bervariasinya sekresi dari beberapa organ asesoris termasuk 

epididimis (caput, corpus epididimis dan caudal epididimis), kelenjar ampular 

(AMP), kelenjar vesicular, kelenjar prostat dan kelenjar bulbourethal. Besarnya 

sekresi dari kelenjar assesori bervariasi tidak hanya diantara spesies, tetapi juga 

diantara individu pada spesies yang sama dan diantara ejakulasi dari individu 

yang sama.

. METABOLISME SPERMATOZOA

 Karakter motilitas (pergerakan) dari spermatozoa memudahkan dalam 

melihat kondisi isiologis spermatozoa. Tetapi motilitas dengan sendirinya bukan 

identik dengan kemampuan dalam memfertilisasi. Energi yang dibutuhkan untuk 

motilitas diperoleh dari persediaan intraseluler dari ATP. pemakaian  ATP terlihat diatur oleh tingkat endogenous dan siklus Adenosine Monophosphate (cAMP).

cAMP tidak hanya mengatur pelepasan ATP tetapi juga memiliki  pengaruh 

pada motilitas spermatozoa. Pengaruh cAMP ini kompleks pada pergerakan  

spermatozoa yang ditunjukkan secara in vitro dengan menambahkan dibutyryl 

cAMP atau inhibitor methyl xanthines yang menghalangi degradasi intraseluler 

normal dari cAMP pada spermatozoa.

 Meskipun banyak kehilangan organel pada spermatozoa yang berhubungan dengan proses metabolisme pada proses pembentukan spermatozoa, 

spermatozoa tetap aktif dalam metabolisme karena memiliki  enzim yang 

penting untuk reaksi biokimia dari glikolisis, siklus asam trikarboksilat, oksidasi 

asam lemak, transport electron, dan mungkin heksosa monophospat.

 Energi yang langsung dipakai  untuk pergerakan spermatozoa dihasilkan oleh serabut ekor berasal dari uraian ATP, yang diduga ada  di dalam 

serbuk spiral yang mengikat berkas serabut. Nucleotid ini tersusun dari basa 

adenosin, yaitu ikatan lingkaran dari karbon ribose dan tiga ikatan fosfat, kedua 

dari yang terakhir mengandung banyak energi (P-P) dan hanya dapat tersusun 

menjadi suatu kelompok dengan tambahan energi yang sangat banyak. Jika 

ATP diaktifkan oleh enzim tertentu, maka ikatan fosfat terutama yang banyak 

mengandung banyak energi akan terurai, dilepaskan energi, tersisa ADP dan 

terbentuk fosfat anorganik.

 Selanjutnya ADP (ikatan kaya energi kedua) terurai, melepaskan energi 

untuk kontraksi ibril, tersisa AMP (Adenosin mono phosphat) serta terbentuk 

fosfat anorganik lagi. Bila ATP dan ADP telah habis, kontraksi ibril spermatozoa akan terhenti. Supaya motilitas masih dapat berlangsung, maka ADP 

dan ATP harus dibangun kembali. Karena reaksi ini dapat berbalik, maka 

pembentukan ADP dari AMP dengan menambahkan kelompok fosfat, yang 

berasal sumber energi dari luar. Kebanyakan aktiitas isiologi disertai dengan 

pelepasan energi dari reaksi bahan organik seperti karbohidrat dan lemak.

 Metabolisme spermatozoa tidak selalu membutuhkan oksigen. Oksigen 

hanya diperlukan bila aktiitas metabolisme tidak dapat terjadi tanpa adanya 

oksigen. Faktor lain dapat mengatur kebutuhan derajat kebutuhan oksigen untuk menghasilkan energi untuk gerak. Jadi meskipun produksi energi tiap unit 

karbon jauh lebih eisien bila disertai dengan oksidasi daripada hanya dengan 

glikolisis, tetapi ternyata hasil percobaan dalam kondisi tertentu menghasilkan 

produksi energi dari glikolisis sama cepatnya di bawah pengaruh oksigen atau 

tanpa oksigen. Jalur pertukaran energi dan penyimpanan energi melewati sistim 

adenil, sesudah dihasilkan oleh proses glikolisis maupun respirasi. 

Glikolisis terjadi pada kondisi an aerob, dengan tidak adanya oksigen, 

spermatozoa memecah glukosa, fruktosa atau mannosa menjadi asam laktat. 

Pada proses kegiatan fruktolisis lebih baik dari pada glukolisis, sebab fruktosa 

yaitu  gula dasar dari seminal. Spermatozoa dapat hidup dalam kondisi an aerob. 

Karakteristik ini penting selama penyimpanan saat proses Inseminasi Buatan.

 Jalur metabolisme glikolisis dengan dua bahan baku yaitu fruktosa dan 

glukosa. Pertama, Fruktosa-1,6-difosfat diuraikan enzim aldolase menjadi 

dua molekul dari 3 karbon triofosfat, yaitu 3-fosfo-glyserin aldehid (G-3-P) dan 

dygydroxyaceton fosfat. Dalam proses oksidasi G-3-P dengan pemindahan unsur 

hydrogen yang diikuti dengan pernyenyawaan fosfat anorganik, terbentuklah 

asam 1,3 difosfoglycerin. Dehidrogenase G-3-P membutuhkan suatu enzim (difosforidin nucleotid,DPN) yang akan bereaksi dengan ion hydrogen dan merubah 

aldehid menjadi asam dan mereduksi DPN menjadi DPNH2. Penguraian dari 

asam difosfat glyserin menjadi asam monofosfat glyserin menghasilkan energi 

yang terpakai untuk membangun ADP dan ATP.

 Selanjutnya fosfoglyceromutase, memisahkan fosfat dari satu atom karbon 

lainnya untuk membentuk asam 2-fosfoglycerat yang diaktiisir dengan katalisator enolase, melepaskan air dan menjadi asam fosfopiruvat. Enzim transfosforylase sebagai katalisator reaksi yang lebih lanjut dan ikatan fosfat kaya energi 

dari asam fosfopiruvat. Enzim transfosforilase sebagai katalisator reaksi yang 

lebih lanjut dan ikatan fosfat kaya energi dari asam fosfopiruvat memerlukan 

unsur magnesium dan kalium. Enzim ini akan memindahkan fosfat ke AMP 

atau ADP membentuk ADP atau ATP dan mengisi kembali substansi energi 

dengan pembentukan asam piruvat. Jadi dalam lingkungan an aerob asam piruvat 

mengikat dua ion hydrogen dari DPNH2

 dengan katalisator enzim, asam laktat 

dehydrogenase membentuk produk akhir anaerob asam laktat. Selanjutnya 

DPN menjadi bebas untuk mengikat hydrogen baru dari proses oksidasi G-3-P, 

sehingga memungkinkan keseimbangan proses fruktolisis.

 Kedua, dengan memakai  glukose sebagai bahan baku dikemukakan 

bahwa reaksi pertama menghasilkan pembentukan glukose 6-fosfat (G-6-P) dari 

glukosa 6 –fosfat (G-6-P) dari glukosa dan ATP. Spermatozoa merubah G-6-P 

menjadi fruktosa-6-P dan dengan batuan ATP dirubah menjadi fruktose –6-P 

dan dengan bantuan ATP dirubah menjadi fruktose –6-P dan dengan bantuan 

ATP dirubah menjadi fruktose –1-6-difosfat. Selanjutnya mengikuti proses dari  

bahan pertama (Fruktose).

 sesudah  proses glikolisis selesai dilanjutkan dengan siklus kreb asam sitrat. 

Sesuai dengan hasil-hasil riset  mengenai sistem prima ketergantungan 

oksigen metabolisme sel dan jaringan yaitu  siklus kreb asam sitrat. Jalur metabolisme ini merupakan jalan reaksi utama proses oksidasi bahan pokok normal 

spermatozoa. Bahan pokok ini merupakan produksi akhir glikolisis, asam laktat 

dan produksi dehidrogenase yaitu  asam piruvat. Reaksi keseimbangan, asam 

piruvat dan asam laktat, lebih berat berjalan ke arah asam laktat bila tanpa 

oksigen. Dalam lingkungan oksigen asam laktat diteruskan melewati piruvat 

ke acetil koenzim A (Acetyl Co A) yang akhirnya bersenyawa dengan oxaliasetat 

membentuk sitrat. Reaksi ini berkesinambungan melewati siklus krebs.

 Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme spermatozoa antara lain 

temperatur, konsentrasi semen, fosfat an organic, pH, kation dan anion, tekanan 

osmose, hormon, zat anti bakteri dan gas. Spermatozoa yang didinginkan di 

bawah temperatur badan menunjukkan motilitas menurun dan berhenti sama 

sekali bila temperatur berada beberapa derajat di atas titik beku. Walaupun 

motilitas berhenti sama sekali, metabolisme berlangsung terus secara perlahanlahan.

 Pengaruh kepadatan sel tidaklah merupakan suatu yang pasti, karena 

konsentrasi sel tidak memiliki arti penting dalam proses pernafasan dan glikolisis. Pengaruh konsentrasi sel terhadap konsumsi oksigen tidaklah dipicu  

oleh jumlah oksigen yang terbatas dalam konsentrasi lebih padat, tetapi karena 

konsentrasi ion kalium yang lebih tinggi yang merupakan penghambat alamiah 

dan ada  dalam pengatur metabolisme.

. RESPIRASI SPERMATOZOA

 Spermatozoa memakai  berbagai substrat sebagai sumber oksigen. 

Respirasi memakai  asam laktat dan piruvat yang berasal dari break down

fruktosa untuk menghasilkan CO2

 dan air. Jalur oksidasi (Oxidatif Path Ways) 

berada di mitokondria yang lebih eisien menghasilkan energi dibandingkan 

pada proses fruktolisis. Proses katabolisme ini spermatozoa merubah menjadi 

ATP dan dipakai  untuk bergerak yang sebagian untuk memelihara proses 

transport aktif dari membran. Transport aktif ini vital dibutuhkan untuk transport ion di dalam sel. Tanpa subtrat luar, spermatozoa dapat memakai   

penyimpanan intraseluler pada plasmalogen yang dapat dipakai  anergi dalam 

waktu pendek.  


Spermatogenesis yaitu  suatu proses pembentukan spermatozoa (sel 

gamet jantan) yang terjadi hanya di Tubuli seminiferi yang terletak di Testes. 

Testes 90 % tersusun oleh tubuli seminiferi, sedangkan yang 10% yaitu  sel 

intertitiel dan jaringan ikat.

Spermatozoa yang dihasilkan oleh tubuli seminiferi dikeluarkan ke saluran reproduksi jantan yang ada  silia dan muskulernya yang dapat menggerakan spermatozoa dalam proses transportasi, saluran reproduksi jantan 

ini  yaitu  retetestes, vas defferens epididimis, vas efferens dan terakhir 

di uretra, gambar silia dan muskuler pada saluran reproduksi jantan ada  

pada gambar 2.1. 

Epithel seminiferi yaitu  bagian terluar dari tubuli seminiferi, yang 

terdiri dari 2 tipe sel yaitu sel sertoli dan sel germinal yang tumbuh dan berkembang. Sel germinal mengalami pembelahan secara berseri dan mengalami 

perkembangan, dimulai dari arah tepi menuju ke lumen. Spermatogonia yaitu  

sistem sel yang membelah beberapa kali sebelum terbentuknya spermatosit. 

Spermatosit mengalami miosis dengan berkurangnya kandungan DNA menjadi 

sesudah  dari sel tubuh.

Tubuli seminiferi yaitu  tempat untuk proses spermatogenesis atau 

pembelahan sel gamet. Proses spermatogenesis merupakan 2 proses pembelahan 1) pembelahan mitosis dan miosis disebut dengan spermatositogenesis 

(Dari 2 n menjadi 2n), yaitu pembelahan dari spermatogonium sampai dengan 

spermatosit primer. Miosis I yaitu  pembelahan dari spermatosit primer ke spermatosit sekunder (Dari 2n menjadi n), sedangkan Miosis II yaitu  pembelahan 

dari spermatosit sekunder menjadi spermatid (Dari n menjadi n). 2) Perubahan 

spermatid menjadi spermatozoa disebut dengan spermiogenesis 

Di dalam tubuli seminiferi ada  sel-sel mulai spermatogonium hingga spermatozoa, selain itu juga ada  sel sertoli yang secara umum disebut berfungsi 

memberi makan spermatozoa akan tetapi sebetulnya berfungsi sebagai blood 

testes barier, penghasil hormon in hibin dan aromatisasi hormon testosteron

menjadi estradiol 17β (estrogen), sedangkan di antara tubulus ada  sel intertitiel yang diantaranya ada  sel leydig. Sel leydig berfungsi menghasilkan 

hormon testosteron yang selain berfungsi untuk proses spermatogenesis juga 

berfungsi didalam pematangan spermatozoa dalam epididimis (dalam bentuk 

dihidro testosteron) dan meningkatkan libido untuk mengawini betina.

. Spermatositogenesis

Selama perkembangan embrio, sel khusus germinal primordial berpindah 

dari bagian kantong kuning telur pada gonad embrio yang tidak terdeferensiasi. 

sesudah  fetus sel primordial berubah menjadi gonosit pada ternak jantan dan 

terus mengalami deferensiasi .

Sebelum pubertas sudah terbentuk spermatogonia type Ao yang berasal 

dari germ layer. Spermatogonia type A1 secara progresif membelah menjadi A2, 

A3 dan A4. Kemudian membentuk type intermediate dan selanjutnya membelah 

menjadi spermatosit. Proses pembelahan diatas yaitu  pembelahan mitosis 

(2N menjadi 2N). Selanjutnya spermatosit primer membelah miosis menjadi 

spermatosit sekunder disebut dengan miosis I, sedangkan miosis II yaitu  

pembelahan dari spermatosit sekunder menjadi spermatid.

sel tipe A4 membelah membentuk 

intermediate spermatogonia (tipe In) dan selanjutnya membentuk spermatogonia tipe B. Variasi bentuk spermatogonia ini dapat dilihat engan membuat irisan 

histologi epithel seminiferi yang berbasis proliferasi dari lapisan germ sel. Sel 

tipe A2 tidak hanya membelah yang akhirnya menjadi spermatozoa kan tetapi 

juga membentuk stem sel yaitu spermatogonia tipe A1, walau masih tetap ada 

spermatogonia tipe Ao yang merupakan cadangan dan populasi dari stem sel ,

Spermatogonia tipe B membelah menjadi lebih kecil dan mejadi 2 

spermatosit primer. Spermatosit primer mengalami pembelahan miosis yaitu 

protahap  yang ada  tahapan pre leptotene, laptotene, Zygotene, pachytene 

dan diplotene sebelum menjadi spermatosit sekunder tanpa sintesa lebih lanjut,  

sehingga hasilnya yaitu  spermatosit sekunder yang membelah menjadi sel 

haploid yaitu spermatid. 

Tabel 2.1. Lama siklus epithel seminiferus dan spermatogenesis pada bebera 

Spermiogenesis.

Round spermatid yang berubah menjadi spermatoza yang melalui perubahan secara seri yang bersama-sama disebut dengan spermiogenesis. Perubahan 

meliputi kondensasi kromatin inti, pembentukan ekor spermatozoa atau lagear 

apparatus dan perkembangan acrosome cap, seperti pada gambar 2,8 dan 2,9 

Tahapan perubahan bentuk spermatid dibagi menjadi 4 tahap  yaitu tahap  

golgi, Cap, Akrosom dan tahap  maturasi.

1. tahap  Golgi

 tahap  golgi pada tahap spermiogenesis yaitu  ditandai dengan pembentukan granul (butiran) proakrosomal dengan golgiaparatus, peleburan 

granul kedalam single granule acrosome sehingga menghasilkan penutup inti 

(nuclear envelope) dan tahap awal pertumbuhan ekor pada bagian ujung lain 

dari akrosom. Sentriol bagian proksimal menghilang dari inti sebagai dasar 

pembentukan ekor dari kepala. 

2. tahap  Cap

 tahap  ‘cap’ ditandai dengan menyebarnya granul ke permukaan nukleus 

spermatid, proses dilanjutkan menuju ke bagian 2/3 bagian enterior pada 

masing-masing inti spermatid tertutup oleh lapisan tipis doble layer.

 Selama tahap  ‘cap’ ini terjadi perkembangan komponen axonema pada 

bagian ekor yang dibentuk dari elemen-elemen pada distal sentriol mengalami pemanjangan di bagian sitoplasma sel. Selama awal perkembangan 

struktur axonema irip dengan silia yang didalamnya ada  2 tubulus di 

tengah yang dikelilingi bagian tepinya dengan 9 pasang tubulus. 

3. tahap  akrosom

 tahap  akrosom pada proses spermiogenesis secara umum ditandai dengan perubahan inti, akrosom dan pertumbuhan ekor spermatid. Pertumbuhan difasilitasi oleh pemutaran pada masing-masing spermatid, akroom 

menuju ke bagian ujung sedangkan ekornya menuju ke bagian lumen.

Perubahan inti meliputi kondensasi kromosom pada butiran tebal dibagian 

kepala menjadi pipih, saat ini terjadi pertumbuhan histon secara progresif 

diganti dengan protein yang bentuknya ikut memanjang. Modiikasi bentuk 

kepala dan akrosom ini berada di sekitar sel sertoli. Proses ini berbeda-beda 

pada masing-masing spesies.

 Perubahan morfologi inti seiring dengan menghilangnya sitoplasma

di bagian kepala juga bagian cauda dan bagian proximal tumbuh ekor yang 

bagian sitoplasmanya tumbuh silinder sheat. Metochondria yang awalnya 

terdistribusi di spermatid mulai terkonsentrasi di bagian axonema yang 

membentuk sheat di bagian midle piace pada ekor.

4. tahap  Maturasi

 tahap  maturasi pada spermiogenesis ini yaitu  suatu tahap akhir dari 

proses peanjangan dan menuju lumen tubulus seminiferus. Pemanjangan 

spermatid ini memiliki  proses yang bervariasi sehingga bentuk pada berbagai spesies menjadi berbeda. Di dalam intinya ada  granula kromatin 

yang secara progressif mengalami kondensasi merubah protein menjadi 

protamin dan membentuk materi homogenous yang seragam pada inti 

spermatozoa.

 Selama tahap  maturasi ibrous sheeth dan 9 course iber (serabut kasar) membentuk lingkaran axonema dan terus menerus kolom ini mejadi leher. 9 serabut kasar 

yang dikelilingi axonema terbentuk mulai leher sampai ujung ekor. Mitokondria 

secara kuat dan terus menerus berkembang di bagian ekor.

 Pada sel spermatid yang berbentuk bulat ada  organel-organel antara lain apparatus golgi, mitokondria, sentriol dan nukleus (inti), di dalam 

proses pembentukan spermatozoa terjadi perubahan bantuk dari sel dan 

juga terjadi perpindahan lokasi dari masing-masing organel-organel ini , 

sehingga terbentuk spermatozoa yang lengkap. Aparatus golgi terletak di 

dalam akrosom, inti terletak pada kepala spermatozoa, mitokondria terletak di bagian leher sedangkan sentriol berkembang membentuk lagelum  

pada ekor, sehingga fungsi dan bagian-bagian ini  masih sama dengan 

penyusunnya.

Lamanya Spermatogenesis

Pada irisan melintang tubuli seminiferi ada  sel yang bervarasi dan 

bergabung membetuk perubahan berupa siklus ada  14 macam. Sel yang 

bergabung atau tahapan (stage) yang diidentiikasi pada spesies yang sama dan 

pada manusia ada  12 stage pada suatu siklus (Gambar 2.11). Secara menyeluruh waktu yang dibutuhkan dalam satu siklus dapat diketahui, satu siklus 

yaitu  satu seri perubahan epithel seminiferi antara tahapan perubahan.

Setiap tahapan spermiogenesis ini dipakai  untuk mengklasiikasi tahapan sikus yang bervariasi. Waktu siklus seminiferi bervariasi di masing-masing 

spesies. Pada Babi lamanya 9 hari, domba 10 hari, Kuda 12 hari dan Sapi 14 hari 

dan ada  4-5 siklus bervariasi pada spesies yang berbeda, sebelum terbentuk 

spermatozoa pada satu siklus mengalami metamorfosa selama spermatogenesis. 

Setia siklus epithel seminiferi diibaratkan sistem pendidikan SD mulai kelas 1 

sampai lulus, dilanjut SMP mulai kelas 1 sampai lulus dan seterusnya hingga lulus 

sesudah  semua kurikulum dilaluinya dan waktu yang dibutuhkan pada masingmasing spesies berbeda untuk menyelesaikan perkembangannya.  

Pada gambar di atas ada  tabel di tengah mengindikasikan ada  12 

tahapan (stage) dalam setiap siklus epithel seminiferi. Variasi tipe selnya yaitu  

A,I,B yaitu  tahap keberuntuhan spermatogonia, PL pre leptotene spermatocyte, 

L, leptotene spermatocyt, Z, zygotene spermatocyte, P, Pachitene spermatocyte dari tage 1,5 

dan X. II, Secondary spermatocyte. Step 1-14 suatu tahapan spermiogenesis yang 

ditunjukkan pada tahap  golgi (step 1-3), tahap  cap (step 4-7), tahap  akrosom (step 

8- 12) dan tahap  maturasi (step 13-14) diadaptasi dari Bearnrson WE, Desjardins 

C,Am.J. Anat :1974 :140 ; 167- 180 (Garner dan Hafez, 2008)

2.3. Peran Hormon pada proses spermatogenesis

Proses pembentukan spermatozoa dan fungsi hormon steroid diatur 

oleh gonadotropin yang disekresi oleh sel adenohipoisa yang dikeluarkan 

secara pulsatif. Fungsi ini  telah dibuktikan dengan metode hipoisektomi 

dan replecement terapi.

Pada saat masih bayi (juvenil), ternak janan tidak respon terhadap gonadotropin. sesudah  dewasa ada  respon, peristiwa ini belum jelas diketahui apakah 

yang memicu sel-sel germinal sensitif terhadap stimulasi gonadotropin.

Spermatogenesis yang normal sinergis dengan aktiitas Luteinizing 

Hormaon (LH, pada jantan juga disebut dengan Instertitiel Cell Stimualting 

Hormoe, ICSH), Folikel stimulating Hormon (FSH), prolaktin, Androgen dan 

hormon yang lain. Hal ini seperi penjelasan di gambar 2.13.

Fungsi masing-masing hormon FSH dan LH terhadap proses spermatogenesis masih dipertanyakan, karena tambak fungsi yang bersamaan keduanya. 

Hasil percobaan menunjukkan bahwa LH berfungsi untuk menstimulasi aktivitas 

steroidogenesis dan fungsi pembentukan sel gamet. LH berfungsi langsung 

pada sel leydig didalam menghasilkan hormon testosteron. FSH berfungsi di 

dalam spermiogenesis yang aktiitasnya hasil sekresi dari sel sertoli. Lebih lanjut 

IGF-1 juga diproduksi oleh sel sertoli yang berperanan penting dan tidak dapat 

keluar darii blood testis barier. Sehingga IGF-1 diproduksi secara lokal yang 

menstimulasi terjadinya pembelahan miosis pada ephitel seminiferi.

Pada sel sertoli dan sel germinal ada  reseptor IGF-1 dan untuk 

insulin Like Growth Factor-2 (IGF-2) walau ekspresinya masih belum ditemukan didalam sel sertoli. Unilateral kastrasi pada jantan di beberapa spesies 

meningkatkan level LH dan FSH dalam darah dan menstimulasi kompensasi  

hipertropi pada testis.

Aktiitas gonadotropin hormon pada testis, pembentukan spermatozoa 

dan steroidogenic di bawah kontrol interaktif paracrine di dalam testes merupakan faktor pertumbuhan.  Luteinizing hormon (LH) menstimulasi (+) sel leydig untuk sekresi 

testosteron, sedangkan FSH menstimulasi (+) pembelahan sel germinal. FSH 

juga menstimulasi sel sertoli untuk meningkatkan metabolisme Androgen 

pada organ jantan dan feed back negatif (-) pada hipothalamus, menurunkan 

keluarnya GnRH (FSH/LH-RH). Konsentrasi testosteron secara lokal tinggi 

menstimulasi pertumbuhan germinal epithelium. FSH menstimulasi sintesa 

Androgen Binding Protein (ABP). Inhibin disekresi sel sertoli untuk menekan level 

FSH.  

Fungsi Steroidogenic

Sel leydig pada instertitiel menghasilkan androgen, termasuk di dalamnya 

yaitu  testosteron yaitu  respon dari stimulasi LH (ACSH) yang bersinergi 

dengan FSH dan kemungkinan prolaktin. Prolaksi berfungsi mengatur sekresi 

testosteron yaitu dengan meningkatkan jumlah dan meningkatkan ainitas 

reseptor LH di sel leydig.

Interaksi antara LH dengan sel leydig karena aktiitas adenil siklase, 

termasuk aktiitas protein kinase dan sintesa RNA menghasilkan peningkatan produksi pregnelolon dari kolesterol oleh mitokondria didalam sel leydig 

(Gambar 2.14).

Enzim didalam sel memicu mitochondria mensintesa pregnenolon 

sampai akhirnya dikeluarkan testesteron oleh sel leydig. Hanya sel leydig yang 

dapat mensintesa cholesterol menjadi testosteron.

Testosteron yang dihasilkan sel leydig oleh parachin sel sertoli dirubah 

menjadi estradiol 17β kaena pengaruh FSH, hal ini terjadi pada banyak spesies 

(Gambar 2.15) 

Perubahan testosteron menjadi estrogen karena adanya reseptor spesiik 

dapa sel sertoli. Pada proses spermatogenesis yang normal ada  interaksi 

yang komplex antara sel germinal epithelium, sel leydig dan sekresi testosteron, 

sel sertoli dan sekresi estrogen dan gonadotropin dari pituitary.

Faktor pertumbuhan IGF-1 & 2 dan regulasi lokal lain, merupakan kerja 

autokrin dan juga kontrol sel leydig dan sekresi sel sertoli, adrenal cortex juga 

mensekresi androgen dalam jumlah yang sedikit.

 


Faktor-faktor yang mempengaruhi spermatogenesis

1. Bahan beracun

Pada umumnya, sel germinal epithelium sensitif terhadap kondisi 

panas terutama pada perkembangan spermatid, sedangkan pengaruh 

radiasi panas selain pada perkembangan spermatid juga pada pembelahan spermatogonia. bila  testis rusak masih ada spermatozoa 

yang berada pada epididimis, waktu spermatozoa berada di epididimis 

selama 2-5 hari. Sebagian besar spesies waktu maturasi di epididimus 

kurang dari 5 hari. Jika spermatozoa abnormal bukannya dipengaruhi 

saat di epididimis tetapi saat spermatozoa yang merupakan akibat dari 

stress beberapa minggu yang lalu. 

Pengaruh Nutrisi

Deisiensi makanan yang spesiik berpengaruh pada eisiensi 

reproduksi yang meliputi siklus estrus, kebuntingan, produksi susu 

dan sifat keibuan yaitu  dampak panjang dari kekurangan energi pada 

betina, sedangkan pada jantan yaitu  kemampuan didalam mengawini, 

juga penurunan berat badannya berdampak besar bila  sebelum 

pubertas dibandingkan sesudah  pubertas, yaitu hipoplasia pada testis, 

kelenjar asesoris dan keterlambatan pubertas.

Kekurangan energi dalam makanan berpengaruh terhadap sekresi 

gonadotropin, pendewasaan jadi tertunda (berat badan turun 25 – 

35%) penurunan libido, epithel seminiferus tahan terhadap kerusakan, 

volume dan kualitas semen yang jelek.

Kekurangan Vitamin A berpengaruh terhadap Germinal epithel 

dan sel leydig yang memicu rendahnya kualitas spermatozoa, 

atropi testis, pengecilan kelenjar asesoris dan pubertas terhambat.

Kekurangan vitamin E memicu kerusakan testis pada 

tikus, tetapi tidak pernah ada kasus infertility pada ternak yang dipicu  oleh kekurangan vitamin E. Kekurangan vitamin E lebih 

banyak mempengaruhi metabolisme terutama bila terjadi sebelum 

pubertas. Kekurangan mineral atau mengkonsumsi yang berlebihan 

itoestrogen,goitrogen dan nitrat secara bersam-sama berpengaruh 

terhadap penampilan reproduksi jantan dan bila terjadi dalam waktu 

yang lama akan memicu testis degeneratif (mengecil).

Eksogenous sex steroid dapat berpengaruh terhadap fungsi testis 

atau sekresi gonadotropin oleh pituitry, akan tetapi bila diberikan dalam 

jumlah yang tinggi dan jangka waktu yang lama, justru akan menekan   

gonadotropin dan testosterin yang diinjesikan akan menekan kualitas 

semen hingga 11 minggu.

2.6. Peran skrotum dalam termoregulasi

Proses spermatogenesis bisa berjalan dengan baik bila  suhu dalam 

testis 5oC di bawah suhu tubuh, oleh sebab itu pada bagian skrotum ada  

suatu proses thermoregulasi yang diatur oleh sistem kerja: 

1. Otot kremaster, pada saat panas akan menjauhkan dari tubuh, sedangkan 

bila dingin mendekat ke tubuh.

2. Tunika dartos, Otot yang mengatur bila  panas akan merenggang,sedangkan 

bila  dingin akan mengkerut.

3. Pleksus Pumpiniformis, yaitu vena dan arteri yang saling berbelit untuk 

proses pengaturan suhu.

Proses termoregulasi ini tidak terjadi pada ternak sebelum pubertas, oleh sebab 

itu untuk mengamati seekor ternak telah pubertas atau telah mengalami spermatogenesis dapat diamati pada fungsi-fungsi diatas. 


Spermatozoa yang diejakulasikan ke dalam saluran reproduksi betina 

bertujuan untuk dapat memfertilisasi oosit. Di dalam alat reproduksi betina 

membutuhkan waktu agar dapat melakukan fertilisasi. Cairan uterus, bahanbahan dari oviduk dan cairan folikel saat ovulasi berperanan dalam proses 

kapasitasi (Pineda, 2005). 

Spermatozoa mammalia yang telah mengalami pemasakan di dalam epididimis dan terejakulasi belum dapat membuahi sel telur. Spermatozoa ini  

haruslah menetap di dalam saluran kelamin betina selama beberapa saat sebelum 

membuahi sel telur. Spermatozoa mengalami beberapa perubahan isiologis 

(fungsional) di dalam saluran kelamin betina, Perubahan-perubahan ini  

memicu spermatozoa mampu melakukan pembuahan, peristiwa ini yang 

disebut dengan KAPASITASI.

Sejak penemuan kapasitasi oleh Chang, hingga saat ini para peneliti masih 

menyimpan keraguan akan perlunya kapasitasi pada spermatozoa. Hal ini karena 

spermatozoa yang baru terejakulasi, belum diketahui kemampuannya dalam 

membuahi sel telur. Bila kapasitasi dideinisikan sebagai fenomena yang hanya 

terjadi di dalam saluran betina, maka keraguan mereka dapat dibenarkan. Untuk 

pembuktiannya lebih mudah bila dipakai  media buatan yang menyerupai 

disaluran kelamin betina untuk proses inseminasi sel telur.

Bila kapasitasi tidak dibutuhkan, maka spermatozoa yang baru terejakulasi 

dapat membuahi sel telur sesegera mungkin. Dalam kenyataannya, selalu terjadi 

selang waktu antara Inseminasi dan awal dari pembuahan. Selang waktu ini bisa 

terjadi selama kurang dari 1 jam atau lebih dari beberapa jam, tergantung pada 

spesiesnya, selang waktu ini dapat dipakai  untuk menentukan waktunya 

kapasitasi.

Waktu kapasitasi dapat ditentukan dengan bermacam metode. Salah 

satunya yaitu  dengan mengawinkan atau melakukan Inseminasi Buatan pada    

betina yang baru berovulasi Misalnya ada  selang waktu selama 2 jam diantara Inseminasi dan awal pembuahan, maka 2 jam yaitu  waktu minimum 

untuk berkapasitasi. Waktu 2 jam ini  merupakan waktu minimum dari 

spermatozoa untuk berpindah menuju tempat pembuahan. Sedangkan proses 

kapasitasi spermatozoa mungkin berlangsung lebih awal. Suatu pendekatan 

alternatif yaitu  dengan menginkubasi terlebih dahulu spermatozoa di dalam 

saluran kelamin betina atau media buatan dengan selang waktu yang berbeda, 

kemudian oosit yang baru ovulasi dicampurkan secara in vitro, kemudian ditentukan waktu fertilisasinya. 

Jika spermatozoa tidak kapasitasi sama sekali atau hanya sebagian saja, 

maka akan terjadi kegagalan pembuahan atau terjadi pembuahan beberapa 

jam kemudian. Sebaliknya bila spermatozoa berkapasitasi secara penuh, maka 

mereka akan membuahi sel telur tanpa selang waktu (setidaknya dalam waktu 

30-60 menit sesudah  inseminasi, atau waktu di diperlukan spermatozoa untuk 

menembus sel telur). 

Penting untuk dicatat bahwa waktu kapasitasi tiap-tiap spesies tidak dapat 

ditentukan dengan pasti. Hal ini secara pasti dipengaruhi oleh berbagai hormon 

reproduksi, macam dan komposisi medium di tempat pematangan spermatozoa dan ada nya seminal plasma pada spermatozoa mempengaruhi waktu 

kapasitasi spermatozoa.

Kapasitasi yaitu  proses pelepasan bahan-bahan pelapis membran spermatozoa secara bertahap, terutama pada bagian akrosom. Hal ini memicu 

reseptor spermatozoa dapat berinteraksi dengan reseptor sel telur, atau Zona 

pellusida. 

Istilah kapasitasi pada dasarnya yaitu  perubahan isiologis spermatozoa 

dan dilanjutkan dengan reaksi akrosom, sehingga mampu membuahi sel telur. 

Ada yang menyebutkan bahwa reaksi akrosom yaitu  bagian dari kapasitasi, 

akan tetapi sebetulnya kapasitasi dan reaksi akrosom merupakan fenomena yang 

terpisah. Kapasitasi yaitu  serentetan perubahan yang membuat spermatozoa 

mampu mengalami reaksi akrosom. Reaksi akrosom terjadi pada sebagian besar 

binatang, sedangkan kapasitasi merupakan fenomena yang unik pada mammalia 

dan sebagian pada non mammalia.

Gambaran spermatozoa yang mengalami kapasitasi dengan pewarnaan 

Chlortetracycline dan diamati memakai  mikroskop epi luoresen dengan 

Exitation Blue Violet yaitu  seperti gambar 3.1.

 

 A. Spermatozoa yang utuh (Belum kapasitasi)

B. Spermatozoa kapasitasi

C. Spermatozoa telah selesai Reaksi akrosom

Gambaran ini  juga terjadi pada Kambing, Domba, Kerbau dan juga 

manusia. Pendaran warna kuning ini  yaitu  karena chlortetracycline yang 

bisa berpendar mengikat ion kalsium yang ada pada membran spermatozoa, 

sehingga dengan memakai  mikroskop epi luorescent terjadi pendaran 

warna kuning pada bagian membran yang ada  ion kalsium, semakin tinggi  

konsentrasi ion kalsium maka pendarannya semakin jelas.

Spermatozoa yang belum kapasitasi menunjukkan pendaran kuning 

(luoressen) pada seluruh kepala dan ekor spermatozoa. Hal ini karena ion 

kalsium berada merata di kepala spermatozoa. Spermatozoa yang kapasitasi 

ditunjukkan dengan pendaran pada bagian atas kepala atau bagian akrosomnya, 

selain itu pendaran kuning juga terkonsentrasi pada bagian leher yang banyak 

mitokondrianya. Peningkatan ion kalsium pada bagian akrosom memicu 

aktifnya pro enzim yang ada di akrosom menjadi enzim yang aktif sehingga 

selanjutnya akan terjadi reaksi akrosom, sedangkan peningkatan konsentrasi ion 

kalsium pada bagian leher yang banyak mengandung mitokondria memicu 

gerak progresif spermatozoa menjadi gerak hiperaktifasi. Perbedaan gerak 

progresif dan hiperaktifasi yaitu  amplitudi geraknya lebih besar pada saat 

hiperaktifasi. Kepastian gerak hiperaktifasi pada saat kapasitasi atau sesudah  

kapasitasi masih menjadi pertanyaan, akan tetapi yang pasti bila  spermatozoa 

sudah hiperaktifasi dan tidak terjadi fertilisasi maka spermatozoa ini  akan 

segera mengalami kematian. 

3.1. KAPASITASI SPERMATOZOA SECARA IN VIVO

Kapasitasi secara normal terjadi pada saluran reproduksi betina yang 

sedang estrus dan kapasitasi mulai terjadi saat spermatozoa melalui servik atau 

lendir servik, sedangkan pada kelinci yaitu  paling eisien, karena spermatozoa 

mengalami pematangan di uterus dan oviduk.

Pada hewan mengerat dan babi, tempat utama kapasitasi yaitu  di oviduk, 

kemudian berjalan ke arah ampulla yang merupakan tempat terjadinya pembuahan. dan tidak diketahui kapan dan spermatozoa menyelesaikan kapasitasi.

Belum diketahui faktor-faktor yang secara langsung mengontrol kapasitasi 

spermatozoa di dalam saluran kelamin betina. Ada beberapa substansi yang 

diduga sebagai faktor yang memicu kapasitasi yaitu beta-amylase dan beta 

Glucoronidase, Protein dan Neuraminidase arysulfatase, fucodinase, acetylhexosaminidase 

carbonic, anhydrose dan steroid, sulfatase, glikosaminoglican, catechlamine dan taurine 

dan hypotaurine. Studi lebih lanjut mutlak diperlukan untuk menentukan apakah 

zat-zat ini  diatas benar-benar terlibat dalam proses kapasitasi spermatozoa 

secara in vitro, karena faktor-faktor ini  tidak spesiik spesies.

Pada pembuahan secara in vitro, kapasitasi terjadi tanpa adanya kontribusi  

sistim saluran kelamin betina Akan tetapi tidak berarti bahwa kondisi-kondisi 

yang memicu kapasitasi in vitro identik dengan kapasitasi in vivo. Apa yang 

terjadi pada in vitro dan in vivo bisa jadi berbeda. ada  beberapa pernyataan 

bahwa spermatozoa yang berkapasitasi secara in vivo membuahi sel telur jauh 

lebih eisien dari in vitro. Alam semesta telah bekerja selama jutaan tahun, sementara para ilmuwan baru mulai mengikuti jejaknya, banyak hal yang masih 

harus di pelajari dari alam ini.

3.2. KAPASITASI SPERMATOZOA SECARA IN VITRO

Chang pertama kali melaporkan bahwa spermatozoa mammalia dapat 

berkapasitasi secara in vitro pada tahun 1963. Sel telur dikumpulkan dari tupai 

bulu emas yang mandul dengan mengambil oviduk betina yang baru berovulasi. 

Saat sel telur diinseminasikan dengan spermatozoa yang berasal dari epididimis, 

55% sel telur dipenetrasi oleh spermatozoa. Keberhasilan pembuahan secara in 

vitro ini  mengindikasikan keberhasilan kapasitasi secara in vitro. Pada tahap 

awal riset  dipakai  cairan oviduk, cairan folikular atau serum darah yang 

memiliki  komposisi yang rumit. Pertama kali yang berhasil melakukan pembuahan secara in vitro dengan memakai bahan kimia tertentu yaitu  Toyoda dkk 

(1971), sehingga kemudian proses pembuahan secara in vitro termasuk kapasitasi 

in vitro menjadi semakin mudah dan mekanisme kapasitasi lebih mudah dari 

pada sebelumnya. Media yang lazim dipakai  untuk kapasitasi secara in vitro

yaitu  modiikasi larutan Tyrode dan Kreb-Ringer yang ditambahkan sumber 

energi yang cukup ( misalnya Glukosa, laktat dan Piruvat ) dan albumin. Media 

kultur jaringan yang tersedia di pasaran (Misalnya Ham F-10) yang disuplemen 

dengan serum darah juga sering dipakai  terutama pada manusia. Sampai 

saat ini belum ada media yang dapat dipakai  untuk semua spesies, karena 

spermatozoa dan oosit tiap spesies memiliki  lingkungan yang tersendiri 

untuk berfungsi secara eisien. 

Tujuan utama mempelajari secara in vitro yaitu  melihat hasil pembuahan secara in vitro bukannya menganalisa mekanisme kapasitasi spermatozoa. 

Meskipun semua informasi itu bermanfaat, akan tetapi harus hati-hati dalam 

menyimpulkan masalah kapasitasi. Misalnya beberapa peneliti menyimpulkan 

adanya beberapa jenis reagen yang memblokir terjadinya kapasitasi spermatozoa 

secara total, sehingga tidak bisa terjadi pembuahan secara in vitro. Kesimpulan  

ini  bisa benar atau salah, sebab kapasitasi bukanlah proses satu-satunya 

yang memicu keberhasilan pembuahan. Untuk pembuahan sel telur, spermatozoa harus mampu bergerak, sanggup menjalani reaksi akrosom, berpenetrasi ke dalam sel telur dan penggabungan sel kelamin jantan dan betina dengan 

baik. Bila pembuahan secara in vitro tidak berhasil, belum tentu dipicu  

spermatozoa gagal melakukan kapasitasi, karena masih ada  faktor-faktor 

lain yang mempengaruhi fertilisasi.

Sangat lazim menganggap reaksi akrosom sebagai lengkapnya proses 

kapasitasi, sebab spermatozoa tidak akan mengalami reaksi akrosom kecuali 

telah selesai kapasitasi secara penuh. Reaksi akrosom dapat dipakai  sebagai 

indikator yang layak dari keberhasilan kapasitasi. Akan tetapi kita mesti hatihati, sebab kondisi-kondisi yang tidak lazim atau reagen-reagen tertentu dapat 

memicu reaksi akrosom tanpa melewati proses kapasitasi. Tidak terjadinya 

reaksi akrosom tidak berarti spermatozoa gagal dalam menjalani kapasitasi, 

karena spermatozoa ini  mungkin berkapasitasi namun tidak mampu 

menjalani reaksi akrosom. Mengingat kenyataan ini dibuat rangkuman singkat 

tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitasi secara in vitro.

3.3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KAPASITASI 

 (Dijelaskan secara in vitro)

Suhu memiliki  pengaruh yang besar pada proses kapasitasi, sehingga 

hampir semua laboratorium menetapkan suhu inkubasi berkisar antara 37-38oC 

untuk kapasitasi secara in vitro. Akan tetapi, pada babi dan domba lebih baik 

pada temperatur yag lebih tinggi. Selain suhu juga ada  faktor-faktor yang 

mempengaruhi proses kapasitasi yaitu:

1. Variasi Individu

Spermatozoa dari beberapa pejantan berkapasitasi lebih cepat pada 

spesies yang sama. Karena pada spesies yang sama ada  variasi didalam 

individu. 

2. Asal spermatozoa

Spermatozoa dari epididimis dan spermatozoa hasil ejakulasi memiliki  

sifat yang tidak sama secara in vitro. Pada umumnya spermatozoa epididimis 

lebih mudah membuahi sel telur secara in vitro dari pada spermatozoa hasil 

ejakulasi. 71-75% sel telur babi dapat dibuahi secara in vitro oleh spermatozoa  

yang berasal dari cauda epididimis, dan sebaliknya tak satu pun yang berhasil 

dibuahi oleh spermatozoa hasil ejakulasi. Spermatozoa dari epididimis menjadi 

infertil saat menempel atau masuk didalam seminal plasma.

Spermatozoa hasil ejakulasi lebih lama kapasitasinya dari pada spermatozoa dari epididimis secara in vitro. Hal ini karena plasma spermatozoa 

epididimis cukup stabil sesudah  tingkatan absorbsi dan atau integrasi glikoprotein dari epididimis, cukup banyak bukti yang menyatakan bahwa komponenkomponen seminal plasma (misalnya: glikoprotein, polipeptida dan protein 

semacam ibronektin) menempel dengan kuat pada permukaan spermatozoa 

terejakulasi. Ikatan ini  begitu kuat, sehingga tidak bisa dilepas dengan 

mudah dengan pencucian yang berulang-ulang dengan larutan isiologis biasa. 

Pelepasan atau perubahan material lapisan permukaan spermatozoa merupakan 

bagian terpenting dari proses kapasitasi. Tampaknya saluran kelamin betina 

yang berahi dapat memicu kapasitasi spermatozoa. Pada bagian ini  

ada  mekanisme yang sangat eisien untuk merubah material lapisan pelindung spermatozoa yang berasal dari epididimis (lapisan permukaan primer) 

dan dari seminal plasma (lapisan sekunder). Lapisan primer pada spermatozoa 

yang berasal dari epididimis mudah diubah dengan memakai  media yang 

dinamakan “media kapasitasi sperma”., akan tetapi tidak efektif untuk melepas 

lapisan sekunder, sehingga supaya terjadi kapasitasi secara in vitro, dilakukan 

sentrifugasi terlebih dahulu.

3. ada nya Kumulus Oophorus.

Sel-sel telur yang matang dikelilingi oleh kumulus oophorus. Kumulus 

tetap berfungsi tidak hanya selama pembuahan, tapi juga beberapa saat sebelum 

pembuahan. Adanya kumulus oophorus di sekeliling sel telur dapat membantu 

proses pembuahan, terutama bila media yang ada kekurangan albumin, selain 

itu beberapa komponen dari kumulus memicu terjadinya reaksi akrosom.

Secara in vitro sel kumulus mengkapasitasi spermatozoa, akan tetapi secara in vivo tidak terjadi, hal ini ditunjukkan bahwa spermatozoa hamster yang 

memasuki kumulus oophorus sudah mengalami kapasitasi, sehingga dapat 

dikatakan bahwa yang memicu kapasitasi yaitu  saluran kelamin betina 

(Yanagimachi, 1988). 

PERISTIWA-PERISTIWA YANG TERJADI PADA SPERMATOZOA 

SELAMA KAPASITASI

 Selama kapasitasi terjadi perubahan-perubahan pada adenylat cyclase, metabolisme, ion-ion intra selluler, akrosom, Inti dan selaput plasma.

1. Perubahan-perubahan dalam adenylate cyclase

Tingkat fertilitas spermatozoa secara temporer berkurang atau hilang 

pergerakannya saat berada pada bagian tertentu di saluran reproduksi betina. 

Spermatozoa akan bergerak sangat cepat pada saat permulaan dan akhir kapasitasi, hal ini menunjukan bahwa adenylate cyclase dan sistim protein kinase (pada fungsi 

cAMP nya) berperanan penting dalam menjaga motilitas. ada  bukti tentang peningkatan 

aktiitas adelylate cyclase selama kapasitasi, meningkatnya aktiitas adenilat seklase mungkin 

karena meningkatnya jumlah cAMP. Selanjutnya protein kinase terstimulasi merubah struktur 

tersier dan kuartener selaput spermatozoa melalui phosporilasi protein-protein membran yang 

menghasilkan perubahan pada sifat isik selaput (Misalnya permeabilitas ion) 

2. Perubahan pada metabolisme

Spermatozoa mengalami peningkatan metabolisme (Misal:aktiitas glikolitik dan konsumsi oksigen) sesudah  inkubasi di dalam saluran kelamin betina 

atau dalam media yang mengandung cairan yang berasal dari uterus, oviduk 

atau cairan follikular yang berperanan dalam kapasitasi. Peningkatan respirasi 

spermatozoa dalam media kapasitasi dipicu  adanya substrat-substrat yang 

dapat teroksidasi dan merupakan suatu iring-iringan dari proses kapasitasi dan 

bukan merupakan faktor pembawa, meskipun tampak pasti bahwa spermatozoa 

tikus tidak merubah laju respirasinya sebelum dan sesudah kapasitasi. Kapasitasi 

mungkin memicu  perubahan pada selaput plasma (Phosporilasi) hingga  

energi menjadi lebih dapat dipakai  untuk perangkat motor spermatozoa. 

Peningkatan laju metabolisme selama dan sesudah kapasitasi masih belum dapat 

dijelaskan secara detil.

3. Perubahan dalam ion-ion intraselluler

Spermatozoa yang hidup, secara eisien menjaga gradien ion di sepanjang 

selaput plasmanya. Konsentrasi K+

 di dalam spermatozoa lebih tinggi dari pada 

di luar, se