berdasar
gambaran hiperdensitas di parenkim otak
dibandingkan MRI yang memerlukan perbandingan beberapa sekuens gambar (Gambar 2). Selain itu, pemeriksaan CT scan membutuhkan waktu yang lebih singkat dengan
harga yang lebih ekonomis.
Besarnya volume perdarahan dapat diestimasi dengan memakai metode ABC
(Gambar 3).
Volume perdarahan ( dalam ee) = (Ax 8 x C)
2
A= diameter terbesar hematom pada salah
satu-potongan CT scan (dalam em)
8= diameter perpendikularterhadap A ( dalam
em)
C= jumlah otongan CT scan yang ada hematom x tebal potongan CT scan ( dalam em).
ada beberapa ketentuan untuk jumlah potongan CT scan dengan hematom
(pain C), yaitu:
519
Stroke Hemoragik
1. Potongan CT scan dihitung 1 bila luas
hematom pada potongan terse but > 75%
2. Potongan CT scan dihitung 0,5 bila luas hematom pada potongan ini 25-75%
3. Potongan CT scan tidak dihitung bila luas
hematom pada potongan ini <25%
PENGOBATAN
Tata Iaksana stroke hemoragik dapat dibagi
menjadi PENGOBATAN umum dan khusus.
PENGOBATAN umum bertujuan untuk menjaga dan mengoptimalkan metabolisme otak
meskipun dalam keadaan patologis. Tata
laksana khusus untuk melakukan koreksi
koagulopati untuk meneegah perdarahan
berlanjut, mengontrol tekanan darah, identifikasi kondisi yang membutuhkan intervensi bedah, serta melakukan Diagnosa dan
terapi terhadap pemicu perdarahan.
PENGOBATAN umum
1. Stabilisasi }alan Napas dan Pernapasan
Untuk meneapai tujuan PENGOBATAN
umum, hal utama yaitu melihat serta
melakukan stabilisasi jalan dan saluran
pernapasan untuk menghindari hipoksia.
Apabila terjadi gangguan ventilasi, dapat
dilakukan pemasangan pipa endotrakeal
untuk menjaga patensi jalan nafas pasien.
Selain itu juga harus dipastikan kemampuan menelan pasien. Jika terjadi
gangguan menelan atau pasien dalam
keadaan tidak sadar, perlu dilakukan
pemasangan pipa nasogastrik untuk
meneegah terjadinya aspirasi pada pemberian makanan.
2. Stabilisasi Hemodinamik
PENGOBATAN yang harus diperhatikan
berikutnya yaitu stabilisasi hemodinamik. Keadaan hemodinamik pasien
diharapkan tetap stabil dengan tidak
menurunkan tekanan perfusi serebral
(cerebral perfusion pressurejCPP) hingga
menginduksi hipoksia. Untuk menjaga
hemodinamik atau mengatasi keadaan
dehidrasi, sebaiknya diperhatikan hal
berikut:
a. Pemberian cairan kristaloid atau koloid intravena (IV), hindari cairan hipotonik seperti glukosa.
b. Pemasangan central venous catheter
(CVC) bila diperlukan, untuk memantau kecukupan cairan serta sebagai
sarana memasukkan cairan dan nutrisi dengan target tekanan 5-12mmHg.
c. Optimalisasi tekanan darah (lihat penatalaksanaan khusus)
d. Pad a pasien dengan defisit neurologis
nyata, dianjurkan pemantauan berkala status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen
dalam 72 jam.
3. PENGOBATAN Peningkatan TIK
Merupakan PENGOBATAN yang penting
dengan memerhatikan hal-hal berikut:
a. Pemantauan ketat terhadap pasien
yang berisiko mengalami edema serebra! dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda klinis neurologis dalam 48 jam pertama serangeln
stroke.
b. Monitor tekanan intrakranial terutama pada pasien dengan perdarahan intraventrikular (dilakukan sebagai monitoring tekanan intrakranial
Stroke Hemoragik
dan evakuasi perdarahan intraventrikular). Target terapi yaitu TIK
<20mmHg dan CPP >70mmHg.
c. Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial meliputi:
• Meninggikan posisi kepala 30°
• Menghindari penekanan vena
jugularis
• Menghindari hipertermia
• Pemberian osmoterapi atas indtkasi:
- Manito! 0,25- 0,SOg/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap
4-6 jam dengan target osmolaritas
darah 310m0sm/L. Osmolaritas sebaiknya diperiksa 2 kali
da.lam sehari selama pemberian osmoterapi. Agen osmoterapi lain yang dapat dipakai
yaitu NaCI 3%
- Furosemid (atas indikasi) dengan dosis inisial1mgjkgBB IV
• Intubasi (knockdown) untuk menjaga normoventilasi (pC02 35mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan
bila akan dilakukan tindakan operatif.
4. Pengendalian Suhu Tubuh
Peningkatan suhu 1 oc akan meningatkan
energi 7%. Oleh karena itu, setiap pasien
stroke yang disertai febris harus diberikan
antipiretik, yakni parasetamol 1000mg 3x
baik peroral atau IV, kemudian dicari dan
diatasi pemicu nya.
5. PENGOBATAN Cairan
a. Pada umumnya kebutuhan cairan
30mL/kgBBjhari (parenteral maupun enteral).
b. Pemberian cairan isotonik seperti
NaCI 0,9% untuk menjaga euvolemia.
Tekanan vena sentral di pertahankan
antara 5- 12mmHg.
c. Perhatikan keseimbangan cairan dengan melakukan pengukuran cairan
masuk dan keluar secara ketat.
d. Elektrolit (sodium, kalium, kalsium,
magnesium) harus selalu diperiksa
dan diatasi bila terjadi kekurangan.
e. Gangguan keseimbangan asam basa
harus segera dikoreksi dengan monitor Analisa gas darah.
6. Nutrisi
a. Pemberian nutrisi enteral harus dilakukan sedini mungkin bila tidak
terjadi perdarahan lambung.
b. Jika terjadi komplikasi perdarahan
lambung, maka pemberian nutrisi enteral dapat ditunda sampai terjadi perbaikan dan sisa cairan lam bung dalam
2 jam pertama :5 150cc. Evaluasi cairan
lam bung yang dialirkan setiap 2 jam.
c. Bila ada gangguan menelan atau
kesadaran menurun makanan diberikan melalui pipa nasogastrik.
d. Jika tidak ada gangguan pencernaan atau residu lambung :5150cc,
maka dapat diberikan nutrisi enteral
30cc perjam dalam 3 jam pertama.
Jika toleransi baik, berupa tidak terdapatnya residu pipa nasogastrik
pad a saat jam berikutnya, maka dapat
dilanjutkan pemberian makanan enteral. Pemberian nutrisi enteral se'-
lanjutnya disesuaikan dengan target
kebutuhan yang terbagi dalam 6 kali
perhari.
e. Pacta keadaan akut, kebutuhan kalori
yaitu 20-25 kkaljkgjhari dengan
komposisi:
• Karbohidrat 50 -60 o/o dari total
kalori
• Lemak 25-30 o/o
• Protein 10-20%
- Pacta keadaan adanya stresor
pacta tubuh, kebutuhan protein
1,4-2,0gjkgBBjhari.
- Kebutuhan protein disesuaikan pada gangguan fungsi ginjal yaitu 0,6-0,8 gj kgBBjhari.
f. Jika kemungkinan pemakaian pipa
nasogastrik diperkirakan >6 minggu,
pertimbangkan untuk percutaneous
endoscopic gastrostomy (PEG).
g. Pada keadaan pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, boleh diberikan secara parenteral.
7. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk
mencegah komplikasi subakut, seperti aspirasi, malnutrisi, pneumonia,
trombosis vena dalam, emboli paru,
dekubitus, komplikasi ortopedik, dan
kontraktur (AHA/ ASA, level B dan C).
b. Pemberian antibiotik atas indikasi
sesuai dengan tes kultur dan sensitivitas kuman atau minimal terapi
empiris sesuai dengan pola kuman
(AHA/ ASA, level A).
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas danjatau memakai kasur antidekubitus.
d. Pencegahan trombosis vena dalam
dan emboli paru dengan intermittent
pneumatic compression, tidak direkomgndasikan pemakaian compression stocking.
e. Pencegahan tromboemboli vena pada
pasien imobilisasi setelah 1-4 hari onset,
dapat diberikan low molecular weight
heparin (LMWH) do sis rendah subkutan
atau unfractionated heparin, setelah terdokumentasi tidak ada lagi perdarahan
(AHA/ ASA kelas lib, level B)
f. Antikoagulan sistemik atau pemasangan vena kava filter dapat diindikasikan pacta pasien dengan gejala trombosis vena dalam atau emboli paru
(AHA/ ASA kelas Ila, level C). Pemilihan harus mempertimbangkan beberapa faktor, seperti waktu sejak onset
stroke, stabilitas hematom, pemicu
perdarahan, dan kondisi umum pasien
(AHA/ ASA kelas IIa, level C).
8. Penatalaksanaan Medik Lain
a. Pemantauan kadar glukosa darah
sangat diperlukan.
• Hiperglikemia (kadar glukosa darah >180mgj dL) pacta stroke akut
harus diobati dengan titrasi insulin (AHA/ ASA kelas I, level C).
• Target yang harus dicapai yaitu
normoglikemia.
• Hipoglikemia berat (<SOmg/dL) harus diobati dengan dekstrosa 40%
intravena atau infus glukosa 10-20%.
b. Jika pasien gelisah, dapat dilakukan
terapi psikologi atau pemberian major
and minor tranquilizer, seperti benzodiazepin short acting a tau propofol.
523
Stroke Hemoragik
c. Pemberian analgesik, anti muntah,
dan antagonis HZ sesuai indikasi.
d. Hati-hati dalam menggerakkan, penghisapan lendir (suction), atau memandikan pasien, karena dapat mempengaruhi TIK.
e. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernapasan stabil.
f. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermiten.
g. Rehabilitasi.
h. Edukasi keluarga.
i. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar RS).
9. Pengendalian Kejang
1. Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat IV 5-20mg dan diikuti
oleh fenitoin loading dose 15-20mgj kg
bolus dengan kecepatan maksimum
SOmgjmenit.
2. Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unitj !CU).
PENGOBATAN Khusus
1. Perawatan di Unit Stroke
Perawatan di unit stroke akan menurunkan kematian dan dependensi dibandingkan dengan perawatan di bangsal biasa. Penderita dengan stroke hemoragik
di supratentorial seharusnya dirawat di
unit stroke (AHA/ ASA level B).
2. Koreksi Koagulopati
a. Melakukan pemeriksaan hemostasis,
an tara lain prothrombin time (PT), activated partial thrombin time (APTT),
international normalized ratio (INR),
dan trombosit, serta koreksi secepat
mungkin jika didapatkan kelainan.
b. Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi berat atau trombositopenia
be rat harus diberikan factor replacement therapy atau trombosit (AHA/
ASA kelas I, level C).
c. Pada pasien dengan peningkatan INR
karena pemakaian antagonis vitamin
K (VKA), maka VKA harus dihentikan.
Diberikan terapi untuk menggantikan faktor pembekuan yang besifat
vitamin K-dependent dan memperbaiki INR, serta diberikan vitamin K IV
(AHA/ ASA kelas I, level C). Prothrombin complex concentrates (PCC) memiliki efek samping lebih sedikit dan
memperbaiki INR lebih cepat dibandingkan fresh frozen plasma (FFP),
sehingga lebih dianjurkan (AHA/ ASA
kelas lib, level 8). Recombinant factor
VIla (rFVlla) tidak direkomendasikan
(AHA/ ASA kelas Ill, level C).
d. Untuk pasien yang mengkonsumsi
dabigatran, rivaroksaban, atau apiksaban, terapi dengan factor eight inhibitor bypass activity (FEIBA), PCC, atau
rFVlla dapat dipertimbangkan sesuai
kondisi individual pasien. Karbon aktif dapat dipakai jika dosis terakhir
dabigatran, rivaroksaban, atau apiksaban diminum <2 jam. Hemodialisis
dapat dipertimbangkan pada pasien
yang diberikan (AHA/ ASA kelas lib,
level C) (rekomendasi baru).
e. Protamin sulfat dapat dipertimbangkan
untuk reversal heparin pada perdarahan
intraserebral akut (AHA/ ASA level C).
f. Meskipun dapat memba':asi ekspan-
si perdarahan pada pasien stroke
hemoragik tanpa gangguan koagulasi,
rFVlla meningkatkan risiko tromboemboli, sehingga tidak direkomendasikan (AHA/ASA kelas Ill, level A).
3. Tekanan Darah
Pada stroke hemoragik akut (onset <6
jam), penurunan tekanan darah secara agresif dengan target TD sistolik
<140mmHg dalam waktu <1 jam aman
untuk dilakukan dan lebih superior
dibandingkan dengan target TD sistolik
<180mmHg. Untuk menurunkan tekanan darah, dapat diberikan antihipertensi
intravena seperti nikardipin, labetalol,
atau esmolol maupun antihipertensi
oral. Namun tidak ada antihipertensi
yang spesifik.
a. Pada tekanan darah antara sistolik antara 150 sampai 220mmHg dan tanpa
adanya kontraindikasi terapi penurunan tekanan darah akut, penurunan
TD sistolik akut 140mmHg aman dilakukan (AHA/ ASA kelas I, level A) dan
efektif memperbaiki keluaran fungsional (AHA/ ASA level 8).
b. Pada tekanan darah sistolik>220mmHg,
dapat dilakukan penurunan tekanan darah secara agresif dengan antihipertensi
IV secara kontinu disertai pemantauan
rutin (AHA/ ASA kelas lib, level C) ( rekomendasi baru).
4. Mempertahankan Cerebral Perfusion
Pressure (CPP)
Pasien stroke hemoragik harus mempunyai tekanan darah yang terkontrol
tanpa meiakukan penurunan tekanan
darah yang beriebihan. Usahakan TD sistolik <160mmHg dan CPP dijaga >60-
70mmHg. Hal ini dapat dicapai dengan
menw·unkan TIK ke nilai normal dengan
pemberian mannitol atau operasi. Pada
kasus diperlukan pemberian vasopressor, bisa diberikan:
a. Phenylephrine 10~--Lglkg/-menit
b. Dopan1~ n 2-10~-tg kg menit atau
c. Norepjnefrin dimulai dengan 0,05-
0,2~tg kghnenit dan dititrasi sampai
efek yang diinginkan.
5. Penatalaksanaan Bedah
Evakuasi rutin hematom dengan pembedahan seharusnya tidak dilakukan.
Tidak didapatkan bukti evakuasi hematom memperbaiki keluaran dan tidak
didapatkan data mengenai kraniektomi
dekompressi memperbaiki keluaran
setelah perdarahan intrakranial (AHA/
ASA kelas lib, level B). Kraniotomi yang
sangat dini dapat disertai peningkatan
risiko perdarahan berulang (AHA/ ASA
kelas lib, level B). Namun demikian, tindakan bedah yang dilakukan lebih awal
(early surgery) dapat bermanfaat pada
pasien dengan SKG 9-12. Pada prinsipnya, pengambilan keputusan tergantung lokasi dan ukuran hematom dan
status neurologis penderita.
Secara umum indikasi bedah pada perdarahan intraserebral sebagai berikut:
a. Hematom serebelar dengan diameter
>3cm yang disertai penekanan batang
otak dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel seharusnya dilakukan dengan sesegara mungkin (AHA/
ASA kelas I, level B).
b. Pendarahan dengan kelainan struktur seperti aneurisma atau malfor-
Stroke Hemoragik
masi arteriovena (MAV), (AHA/ ASA
kelas III-V, level C).
c. Perdarahan lobaris dengan ukuran
sedang-besar yang terletak dekat
dengan koFteks ( <1cm) pada pasien
berusia <45 tahun dengan SKG 9-12,
dapat dipertimbangkan evakuasi hematom supratentorial dengan kraniotomi standar (AHA/ ASA kelas lib,
level B)
d. Evakuasi rutin hematom supratentorial dengan kraniotomi standar
dalam 96 jam tidak direkomendasikan (AHA/ ASA kelas III, level A),
kecuali pada hematom lobaris 1cm
dari korteks.
6. Pemberian Obat Antiepilepsi (OAE)
Pemberian OAE yang sesuai seharusnya
selalu dipakai untuk terapi bangkitan
klinis pada pasien dengan stroke hemoragik (AHA/ ASA kelas I, level B). Pemberian profilaksis OAE tidak direkomendasikan. Pada pasien koma (SKG <8) termasuk
pada perdarahan profunda di supratentorial (intracerebral hemorrhage supratentorial profunda) dapat dipertimbangkan elektroensefalografi (EEG) monitoring 24 jam.
7. Pencegahan Perdarahan Intraserebral Berulang
PENGOBATAN hipertensi non-akut merupakan hal yang sangat penting untuk menurunkan risiko perdarahan berulang (AHA/
ASA kelas I, level A). Kebiasaan merokok,
alkoholisme berat, dan pemakaian kokain merupakan faktor risiko perdarahan
intraserebral, sehingga direkomendasikan
untuk menghentikan kebiasaan ini
(AHA/ ASA kelas I, level B)
8. Rehabilitasi Medik
Selayaknya stroke iskemik, fisioterapi
dan mobilisasi cepat sangat dianjurkan
pada mereka stabil secara klinis (AHA/
ASA kelas I, level C).
PERDARAHANSUBARAKNOID
(PSA) yaitu
ekstravasasi darah menuju ruang subaraknoid di antara membran araknoid dan
pial. Perdarahan dapat terdistribusi
sistem ventrikel, sistema, dan fisura (Gambar 1). Istilah PSA ini dapat dipakai untuk kasus traumatik ataupun nontraumatik,
namun dalam bab ini yang akan dibahas
yaitu nontraumatik
PSA dapat dikenali berdasar gejala klinis
dan pencitraan. Gejala klinis PSA tersering
yaitu sakit kepala hebat mendadak, walaupun banyak pasien mungkin tidak ke dokter
pacta onset ini. Gejala berikutnya dapat berupa penurunan kesadaran ataupun kejang,
yang membuat pasien dilakukan CT scan.
Pacta masa sebelum CT scan, perdarahan intraserebral (PIS) yang minimal masih sering diklasifikasikan sebagai stroke iskemik dan PSA
sering sulit diDiagnosa dengan benar. Namun
uniknya, seiring dengan terjangkaunya CT
scan hingga semakin banyak proporsi orang
yang diperiksa dengan CT scan, data epidemiologi terbaru malah menunjukkan penurunan
insidens dalam 30-40 tahun terakhir.
PSA diperkirakan terjadi hanya pacta 5%
dari semua angka kejadian stroke, akan
namun dampaknya terhadap kehilangan usia
produktifnya serupa dengan infark serebral
ataupun PIS. Hal ini disebabl(an karena PSA menyerang pacta usia yang relatif
muda dan seringkali fatal. Dengan demiki-
an, dibutuhkan kolaborasi antara neurolog,
bedah saraf, ahli neurointervensi, dan intensivist dalam Diagnosa dan manajemen akut
dari PSA secara komprehensif.
EPIDEMIOLOGI
lnsidens PSA secara keseluruhan berdasar satu literatur yaitu 10,5 per 100.000
penduduk pertahun di dunia. Insidens ini
berbeda-beda pacta tiap literatur, bergantung pacta jenis kelamin, ras, wilayah, dan
usia. Perempuan memiliki risiko 1,6 kali
lipat lebih tinggi dari pria, kulit hitam 2,1
kali lipat lebih sering daripada kulit putih,
serta Jepang dan Finlandia merupakan negara dengan insidens PSA tinggi, yaitu 22-23
per 100.000 penduduk per-tahun (Tabel1).
Insidens PSA meningkat seiring dengan pertambahan usia, meskipun demikian, separuh
pasien PSA berusia di bawah 55 tahun.
Angka kejadian fatal PSA akibat aneurisma
sekitar 50%; sebanyak 10-15%-nya meninggal sebelum tiba di RS, sementara 20% yang
bertahan akan mengalami ketergantungan
dalam aktivitas sehari-hari.
ETIOLOGI
pemicu tersering PSA yaitu ruptur aneurisma (85%), diikuti perdarahan perimesensefalik nonaneurisma (10%), dan 5% sisanya
akibat kondisi lainnya (Tabel 2).
PATOFISIOLOGI
PSA disebabkan oleh berbagai macam
etiologi, sehingga mekanisme terjadinya
perdarahan berbeda juga berbeda-beda.
Berikut dibahas patofisiologi dari beberapa etiologi, yakni aneurisma intrakranial,
perdarahan perimesensefalik non-aneurismal, dan diseksi arteri intrakranial.
1. Aneurisma Intrakranial
Aneurisma pembuluh darah bukanlah
kongenital, namun didapat dalam perjalanan hidup, terutama pacta dekade ke-
2. Pacta kasus tertentu ada pemicu yang mendasarinya, seperti trauma,
infeksi, atau penyakit jaringan penunjang. pemicu aneurisma tumbuh tidak diketahui dengan pasti, meskipun
ada berbagai faktor risiko ataupun
kondisi predisposisi.
Aneurisma lebih sering muncul di intrakranial dibandingkan ekstrakranial, karena
dinding arter.i intrakranial lebih tipis. Hal
terse but disebabkan tmlika media yang menipis dan hilangnya lamina elastika eksterna yang dibuktikan pacta pemeriksaan mikroskopik Djnding aneurisma hanya terdiri
dari lapisan intima dan adventisia, serta jaringan fibrohialin interposed dengan jumlah
bervariasi (Gambar 2a).
Tekanan pulsasi tinggi maksimal di titik
percabangan di proksimal arteri -sekitar
sirkulus willisi. Oleh karena itu, lokasi percabangan arteri, biasanya di basis kranii,
baik di sirkulus Willisi ataupun di dekat titik percabangan, merupakan lokasi utama
dari pembentukan aneurisma aterosklerosis. Titik ruptur aneurisma biasanya di
kubah lesi (Gambar 2b).
Beberapa faktor predisposisi yang dicurigai sebagai pemicu munculnya
aneurisma yaitu :
a. Struktur abnormal dinding pembuluh
darah
Abnormalitas yang menjadi predisposisi aneurisma dicurigai berupa defek Japisan muskular dinding tunika
media yang terjadi secara kongenital.
Studi menunjukkan adanya penurunan protein matriks ekstraseluler
pacta dinding arteri intrakranial, yaitu
kolagen tipe III, kolagen tipe IV, dan
serat elastin. Penurunan ini akibat gangguan degradasi dan sintesis
konstituen protein matriks ekstraseluler yang diregulasi oleh protease
(seperti matriks me-taloproteinase,
elastase neutrofil atau leukosit), inhibitor protease (seperti tissue inhibitor dari matriks metaloproteinase dan
a1 antitripsin), faktor pertumbuhan
(growth factor), dan sitokin. Adanya
akselereasi degradasi protein matriks
ekstraseluler ini dipikirkan akibat
gangguan keseimbangan protease dan
inhibitornya.
Disrupsi protein matriks ekstraseluler tidak hanya ditemukan pacta aneurisma, namun juga di kulit, serta tidak berbeda an tara arteri intrakranial
atau ekstrakranial. Dengan demikian,
aneurisma intrakranial tidak hanya
merepresentasikan penyakit lokal,
namun lebih sesuai dengan gangguan
matriks ekstraseluler umum.
b. Aneurisma familial
Sekitar 10% pasien PSA memiliki
1 atau lebih saudara kandung yang
mempunyai aneurisma juga. Risiko
PSA pacta keluarga generasi pertama
5 kalj lipat lebih tinggi daripada yang
tidak. Pasien PSA familial pacta umumnya memiliki aneurisma yang lebih
besar daripada PSA spontan, serta
onset yang lebih muda. Pacta keluarga
dengan dua generasi mengalami PSA,
onset PSA pacta generasi yang lebih
muda pacta umumnya lebih dini.
c. Penyakit ginjal polikistik autosom
dominan (PGPAD)
Aneurisma intrakranial ditemukan
pada sekitar 10% pasien PGPAD.
Meskipun PSA sering terjadi pada
pasien PGPAD, oleh karena kasus PGPAD sedikit, maka pasien PSA dengan
PGPAD kurang dari 1%.
Pertumbuhan aneurisma pada pasien
PGPAD tidak terkait hipertensi, namun
lebih karena mutasi gen. ada 2 kelompok mutasi gen, yaitu PGP 1 (85%)
yang mengalami mutasi pada kromosom 16p dan PGP 2 (15%) yang mengalami mutasi pada kromosom 4q.
Aneurisma, ditemukan lebih banyak
pada pasien PGP 1.
d. Penyakit Ehlers-Danlos tipe IV
Penyakit ini sangat berhubungan erat
pertumbuhan aneurisma. Namun
karena sangat jarang, maka jarang
pula ditemukan pada pasien dengan
PSA. Penyakit Ehlers-Danlos tipe IV
memiliki defek pacta kolagen tipe III
yang diduga sebagai pemicu munculnya aneurisma.
e. Penelitian genetik
Sejauh ini hubungan positif ditemukan
pada gen kolagen tipe III-A1, kolagen
tipe I-A2, a1 antitripsin, dan inhibitor
serine proteinase (SERPINA3).
f. Aneurisma baru pascaPSA
Pasien PSA yang dapat bertahan hid up
dan memiliki aneurisma yang sudah ditatalaksana mempunyai risiko terjadinya aneurisma baru dan episode PSA
baru dalam 10 tahun pascaPSA, yakni
16%. Risiko PSA rekuren pascaclipping
sekitar 2-3% dan 20 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan orang normal.
g. Faktor risiko yang didapat
ada beberapa faktor yang diduga meningkatkan risiko pertumbuhan
aneurisma secara bermakna, yaitu:
merokok (risk ratiojRR] 2,2 [IK95%
1,3-3,6]), hipertensi (RR 2,5 [2,0-
3,1]), dan konsumsi alkohol (RR 2,1
[1,5-2,8]). Faktor lain seperti etnis
nonkulit putih (RR 1,8 [0,8-4,2]) dan
kontrasepsi oral (RR 5,4 [0,7-43,5])
juga meningkatkan risiko, namun tidak
bermakna. Hormone replacement therapy (RR 0,6 [0,2- 1,5]),hiper-kolesterolemia (RR 0,8 [0,6- 1,2]), dan diabetes
(RR 0,3 [0-2,2]) diduga menurunkan
resiko, namun juga tidak bermakna.
Selain itu, didapatkan pula pemicu
iatrogenik, seperti: terapi radiasi, acrylate yang dipasang ekstemal ke arteri
intrakranial untuk dekompresi mikrovaskuler, dan operasi bypass superficial
temporal artery-middle cerebral artery
dengan pembentukan aneurisma di lokasi anastomosis.
Pemicu Ruptur Aneurisma
pemicu ruptur masih belum banyak
di-ketahui, yang paling rasional yaitu
peningkatan mendadak tekanan darah. Oleh karena itu, faktor-faktor
yang dapat meningkatkan tekanan darah dipikirkan berhubungan de-ngan
onset PSA, antara lain:
• Aktivitas fisik (2-20%); aktivitas
fisik berat terjadi pada 3% pasien
(RR 15,0; IK95% 4,3-52,2) dan
aktivitas fisik menengah hingga
maksimal 2 jam sebelum PSA terjadi pada 19% (RR 2, 7 [1,6-4,6])
• Hubungan seksual (0-11%)
• Aktivitas manuver valsava ( 4-20%)
• Stres (1-2%)
• Merokok 3 jam sebelum onset PSA
(rasio Odds (RO) 7,0; IK95%3,7-13,1)
• Konsumsi alkohollebih dari 5 unit
(RO 4,3 [1,5-12,3)
2. Perdarahan Perimesensefalik
Pada perdarahan perimesensefalik, ada distribusi ekstravasasi darah pada
CT angiografi, terutama di anterior dari
mesensefalon dan sistema interpedunkular, serta di sistema kua-drigeminal.
Pola perdarahan tidak spesifik membedakan PSA akibat perdarahan perimesensefalik atau ruptur aneurisma. Satu dari 20
kasus PSA dengan pola perdarahan ini,
memiliki aneurisma. Sebaliknya 10-20%
ruptur aneurisma fossa posterior memiliki
pola perdarahan perimesensefalik. Diperlukan pemeriksaan angiografi untuk membedakan keduanya.
Autopsi postmortem untuk mengetahui pemicu perdarahan perimesensefalik jarang dilakukan, karena umumnya
pasien memiliki keluaran bagus. Oleh
karena itu hingga saat ini tidak diketahui pemicu nya. Namun ada beberapa
pembuluh darah yang diduga sebagai lokasi ruptm, yaitu drainase vena ke batang
otak, aneurisma fossa posterior, dan
vaskularisasi abnormal di batang otak.
3. Diseksi Arteri Intrakranial
Diseksi umumnya terjadi pada arteri
karotis dibandingkan arteri vertebralis, namun PSA lebih sering pada arteri
vertebralis. Beberapa pemicu diseksi
yaitu rotasi leher berlebihan, trauma
hiperekstensi, serta iatrogenik akibat
manipulasi osteopatik atau pada operasi
bedah saraf.
Vasospasme
Pada PSA terjadi vasospasme atau penyempitan pembuluh darah, umumnya pada hari
ke-4, mencapai puncaknya mulai hari ke-7
hingga ke-10, dan menghilang spontan
setelah hari ke-21. Hal ini dimulai dengan
adanya kontak antara oksihemoglobin dari
pembuluh darah yang pecah, dengan dinding pembuluh darah bagian luar. Timbulnya vasospasme memicu iskemik
yang disebut sebagai delay cerebral ischemia, yaitu iskemik luas di daerah vasospasme yang dapat menjadi infark dan menimbulkan kematian sel otak. Vasospasme
terjadi pada berbagai level di sirkulasi arteri dan arteriol. Penyempitan pembuluh
darah besar dapat dideteksi memakai
angiografi pada 50% kasus PSA dengan gejala iskemia.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Adapun gejala dan tanda yang ditemukan
pada pasien dengan PSA yaitu sebagai
berikut:
1. Sakit Kepala
Kata kunci pada anamnesis yaitu nyeri
kepala he bat yang tidak biasa. Rasa nyeri
muncul tiba-tiba dalam waktu sesaat
atau beberapa menit, menimbulkan
sensasi kilatan, petir dari langit, atau seperti kepala dibenturkan, sehingga sering
disebut sebagai thunderclap headache.
Kecepatan onset dapat membantu membedakan aneurisma dengan perdarahan perimesensefalik. Sakit kepala pada
perdarahan perimesensefalik muncul
dalam hitungan menit (35%), sementara
aneurisma dalam hitungan detik (20%).
Sakit kepala 9x lebih sering ditemukan
pada aneurisma dibandingkan dengan
perdarahan perimesensefalik.
2. Penurunan Kesadaran
Penurunan kesadaran terjadi pada lebih
dari setengah pasien dengan PSA aneurisma. Beberapa pasien mengeluhkan
sakit kepala sebelum mereka kehilangan kesadaran. Sebaliknya pada perdarahan perimesensefalik nonaneurisma,
kesadaran umumnya normal. Meskipun
demikian, penurunan kesadaran tidak
menyingkirkan Diagnosa perdarahan
perimesensefalik, karena hidrosefalus
akut dapat memicu koma pada jam pertama setelah perdarahan.
Onset penurunan kesadaran sangat penting diketahui. Penurunan kesadaran yang
munculnya pada awal pemeriksaan perlu
dipikirkan dimulai sejak awal onset atau
tidak. Jika muncul sejak awal onset dipikirkan disebabkan oleh arteri, sedangkan jika belakangan berkaitan dengan
gagalnya perfusi global akibat peningkatan
TIK. Perdarahan yang muncul belakangan,
dipikirkan memiliki pemicu yang dapat
ditangani, seperti hidrosefalus akut atau
pembentukan edema di sekitar PIS.
3. Kejang
Kejang epileptik saat onset dapat terjadi
pada 10% pasien PSA aneurisma. Secara
umum, kejang pada pasien berusia <25
tahun dapat dipikirkan PSA aneurisma
apabila ada sakit kepala pascaiktal
yang tidak biasa, memberat atau memanjang. Kejang pada PSA juga dapat dihubungkan dengan etiologi non-aneurisma, seperti diseksi arteri vertebralis atau
malformasi vaskular. Namun, kejang belum pernah didokumentasikan pada PSA
perimesensefalik.
4. Riwayat Tambahan
Sakit kepala hebat episode sebelumnya
meningkatkan kemungkinan PSA aneurisma, selain sakit kepala yang mendadak hebat. Sakit kepala ini dipikirkan
akibat adanya rembesan perlahan dari
PSA yang merupakan tanda bahaya yang
disebut sebagai warning leaks. Sepertiga
pasien dapat mengingat episode sakit
kepala ini yang umumnya tidak biasa,
berat, dan bertahan beberapa jam.
Riwayat tambahan lainnya yang dapat
membantu Diagnosa yaitu riwayat
cedera kepala dipikirkan fistula dural
arteriovena; gangguan katup jantung
dipikirkan aneurisma mikotik; serta penyakit sickle cell, miksoma jantung, apopleksi hipofisis, dan gangguan koagulasi.
Selain itu, riwayat keluarga dengan PSA
dapat membantu memberi petunjuk
pacta pasien dengan sakit kepala mendadak. Hal ini dikarenakan ada peningkatan risiko PSA pacta riwayat kelu
arga inti dengan PSA
5. Kaku Kuduk
Kaku kuduk yaitu tanda umum pacta
PSA namun membutuhkan waktu beberapa jam untuk terjadi, oleh karena itu
tidak dapat dipakai untuk mengeksklusi Diagnosa jika pasien ditemui
segera setelah onset sakit kepala. Kaku
kuduk juga akan menghilang pacta koma
dalam. Diagnosa banding lain yang harus dipikirkan pada kaku kuduk yaitu
meningitis.
6. Perdarahan Subhialoid
eerdarahan subhialoid (Gambar 3) sebagai salah satu tanda PSA merupakan
perdarahan preretina. Perdarahan ini
terjadi jika terdapat..peningkatan tekanan cairan serebrospinal (CSS) mendadak
yang masuk ke ruang subaraknoid sekitar nervus optikus dan menyekat aliran
vena dari retina sehingga memicu ruptur
vena ret1na
7. Demam
Pada banyak pasien, terjadi peningkatan
suhu pada 2-3 hari pertama PSA. Jika
suhu tidak melebihi 38,5°C dan denyut
nadi tidak meningkat, biasanya tidak
disebabkan oleh infeksi.
8. Peningkatan Tekanan Darah
Pada pasien dengan PSA ada peningkatan tekanan darah disertai sakit
kepala mendadak, sedangkan jika terjadi
penurunan tekanan darah maka harus
dipikirkan sebagai apopleksi hipofisis
a tau karena kerusakan sekunder miokardiak akibat ruptur aneurisma intrakranial. Hal ini disebabkan ketika terjadi ruptur aneurisma, terjadi abnormalitas EKG
dan terkadang muncul henti jantung.
Kelainan jantung yang dideteksi pada
EKG saat PSA yaitu dapat berupa depresi atau elevasi gelombang ST, perubahan
gelombang T, munculnya gelombang
Q patologis, dan branch bundle block.
Kelainan jantung ini dapat menambah
risiko terjadinya delayed cerebral ischemia
dan keluaran yang buruk
9. Defisit Neurologis Fokal
PSA dapat menimbulkan berbagai defisit neurologis fokal dengan mekanisme
yang beragam, yaitu:
• Paresis nervus kranialis akibat
penekanan aneurisma
• Defisit neurologis fokal akibat hasil
dari kompresi lokal jaringan otak
• Defisit neurologis fokal akibat iskemik jaringan oleh emboli
• Epilepsi fokal hasil dari reorganisasi sel
glia akibat kompresi lokal dan iskemik
jaringan oleh penekanan aneurisma
• Hemiparesis akibat PSA yang besar di
fisura Sylvii
• Ataksia serebelar akibat diseksi arteri
vertebralis
• Paraparesis akibat penekanan aneurisma arteri komunikans anterior atau
malformasi arteriovena (arteriovenous
malformation/ AVM) spinal
• Gangguan melirik ke atas yang mungkin disebabkan hidrosefalus atau
penekanan pada bagian proksimal
dari akuaduktus Sylvii.
Selain mengetahui gejala dan tanda klinis,
penting untuk mengetahui derajat keparahan perdarahan subaraknoid. Penilaian ini
dilakukan dengan memakai beberapa
sistem (Tabel 3), antara lain skor Hunt and
Hess dan skor World Federation of Neurological Surgeons (WFNS).
Adapun terjadinya vasospasme tidak selalu
menimbulkan gejala. Banyak pasien dengan
penyempitan arteri besar yang tidak mengeluhkan gejala klinis. Di sisi lain, seringkali ditemukan pasien dengan gejala iskemia dan infark
serebri tanpa adanya vasospasme yang terdeteksi. ada beberapa faktoryang berkontribusi dalam menimbulkan iskemia dan infark,
antara lain gangguan mikrosirkulasi distal,
anatomi kolateral yang buruk, variasi genetik
ataupun variasi fisiologis pada toleransi seluler
terhadap keadaan hipoksia. Delayed cerebral
ischemia pada vasospasme merupakan pemicu utama kematian dan kecacatan pada kasus
PSA akibat aneurisma,
Diagnosa
Diagnosa ditegakkan dengan bantuan beberapa modalitas beserta kekurangan dan
kelebihannya masing-masing berikut ini:
1. CT Scan
CT scan yaitu pemeriksa penunjang diagnostik lini pertama untuk PSA, karena
kemudahannya untuk menilai ekstravasasi darah serta memiliki sensitivitas dan
535
spesifisitas yang sangat baik (masing-masing 92,9% dan 100%). CT scan juga dapat
membantu melihat pola perdarahan dan
memperkirakan lokasi aneurisma, yaitu:
a. Perdarahan intraserebral
Perdarahan di sistema subaraknoid
kurang spesifik untuk menentukan lokasi aneurisma, karena setelah 5 hari,
50% pasien tidak lagi menunjukkan
ekstravasasi darah. Dengan demikian
sangat penting pula untuk melihat dilatasi minimal kornu temporal ventrikel
lateral serta fisura dan sulkus. Adapun
pola perdarahan menurut pembuluh
darah dapat dilihat pada Tabel4 dan 5.
b. Perdarahan intraventrikular
Perdarahan intraventrikular dapat
merupakan sekunder dari perdarahan
intraserebral. Perdarahan ini umumnya berasal dari arteri komunikans
anterior dengan darah masuk ke ventrikel ke-3 dan ke-4 melalui lamina
terminalis. Perdarahan pada ventrikel
ke-3, namun tidak pada ventrikella
teral, mengindikasikan ruptur arteri
basilaris, terutama jika bagian posterior sistema basilar terisi dengan
baik Pengisian darah pada ventrikel
keempat dan sedikit pada ventrikel
ketiga dapat dicurigai berasal dari arteri serebelaris posterior inferior (posterior inferior cerebellar artery /PICA).
c. Perdarahan subdural
Hanya terjadi pada 2-3% kasus, terutama pada kasus rebleeding. Pascaruptur aneurisma, dapat terjadi perlekatan kubah aneurisma dengan
membran araknoid serta traksi venavena yang berada di ruang subdural
dan memicu perdarahan.
d. Perdarahan perimesensefalik
Sebanyak 15% pasien PSA tidak me-
536
miliki aneurisma pada pemeriksaan
angiografi dan 2/3-nya menunjukkan
perdarahan basal, terutama hanya di
sistema perimesensefalik Akan namun ,
1 dari 20 perdarahan perimesensefalik memiliki aneurisma yang berlokasi di posterim: Prediksi ruptur aneurisma pada pasien PSA dengan pola
perdarahan perimesensefalik yang
tidak dilakukan operasi hanya sekitar
5%. Dengan demikian, angiografi dianggap tidak perlu diulang jika pada
angiografi pertama tidak ditemukan
aneurisma. Berbeda dengan pola
perdarahan lain, pada perdarahan
perimesensefalik tetap perlu dilakukan digital subtraction angiography
(DSA) walau CT angiografi menunjukkan tidak ada aneurisma.
e. Pola perdarahan lain dan sumbernya
Perdarahan basal dapat disebabkan
oleh diseksi arteri vertebralis, fistula dura tentorium, AVM pada daerah Ieber, penyalahgunaan kokain
ataupun aneurisma mikotik dengan
aspergillosis. PSA traumatik dapat
mengisi fisura Sylvii, sehingga sulit
dibedakan dengan PSA akibat ruptur
aneurisma. Selain itu, trauma langsung pada Ieber atau trauma kepala
dengan pergerakan Ieber yang hebat dapat memicu perdarahan
basal, yang disebabkan robekan atau
ruptur arteri sirkulasi posterior.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI baik untuk mengindikasikan (ruling
in) namun tidak mengeksklusi (ruling out)
PSA. Pada fase akut, terutama dalam 24
jam pertama, darah dapat diidentifikasi dengan adanya hiperintensitas pada sekuens
spin echo T2-weighted images (WI) dan
bahkan lebih baik pada sekuens T2 gradient echo dengan gambaran hipointensitas.
Sekuens lain yang dapat dipakai yaitu
Tl WI yang memberikan gambaran hiperintensitas yang dapat menetap hingga 2
minggu. Hal ini kadang tidak membantu
menunjukkan lokasi aneurisma, walaupun dapat menunjang dugaan PSA sudah
terjadi. Oleh karena kerumitan penilaian
gambaran hiperintens ini sebagai
PSA atau bukan, maka pada pasien PSA onset 2 minggu, pemeriksaan pungsi lumbal
bisa jadi lebih sensitif daripada MRI untuk
mendeteksi adanya PSA.
namun , pada satu penelitian dengan 58
subyek, MRI T2WI, masih dapat mendeteksi deposisi hemosiderin yang ter-
simpan di ruang subaraknoid di dekat
aneurisma pada 3 dari 4 subyek, hingga
3 bulan onset PSA. Oleh karena itu pada
pasien dengan sakit kepala beberapa
minggu, MRI masih dapat dipakai untuk
menDiagnosa adanya hemosiderin di ruang subaraknoid.
Kekurangan MRI yaitu tidak semua
sekuens sensitif dalam mengidentifikasi
darah, seperti fluid-attenuated inversion
recovery (FLAIR), fast spin echo T2 dan
proton density (PD) weighted images. Pemberian kontras Gadolinium juga dapat
memberikan impresi yang salah, terutama
pada sekuens FLAIR Kekurangan lainnya
yakni, pemeriksaan yang lama dan tidak
semua RS memiliki MRI.
3. Pungsi Lumbal
Pungsi Lumbal dapat dilakukan untuk menyingkirkan Diagnosa pada pasien dengan
klinis PSA namun tidak ditemukan perdarahan pada CT scan. Untuk membedakan
darah pada CSS akibat PSA dengan darah
akibat trauma jarum pungsi, maka CSS
dikumpulkan dalam beberapa tabung, biasanya mencapai 3 tabung. Apabila warna
darah di CSS menetap pada semua tabung,
maka pasien dapat diDiagnosa PSA.
4. CT Angiografi
Angiografi diperlukan tidak hanya untuk
mengidentifikasi ruptur aneurisma ataupun aneurisma yang belum ruptur, namun
juga memberikan konfigurasi anatomi untuk membantu menentukan pilihan tata
laksana optimal (Gambar 4).
Sensitivitas CT angiografi sudah mencapai 90% di tahun 1998 dan meningkat menjadi 95% pada era teknik
CT scan muftis/ice. Sensitivitas bahkan
mencapai 97% pada arteri serebri media. Namun, CT angiografi tidak dapat
mendeteksi aneurisma kecil (diameter
2-3mm). Untuk mendeteksi aneurisma
asimtomatik dengan CT angiografi, diperlukan kontras iodin, sehingga dapat
berisiko alergi.
Kelebihan utama CT angiografi dibandingkan magnetic resonance angiography
(MRA) ataupun DSA yaitu lebih cepat.
CT angiografi dapat dilakukan segera
setelah CT scan, sehingga Diagnosa PSA
aneurisma dapat ditegakkan pada saat
pasien masih di mesin CT scan.
5. MRAngiography (MRA)
Sensivitas MRA biasa sekitar 75% dan
meningkat menjadi 80-95% jika dilakukan dengan teknik tiga dimensi. Pacta aneurisma kecil (diameter <3mm), angka
deteksi turun menjadi 38%. Keuntungan
MRA terutama pada pasien follow up pascacoiling dan pasien dengan aneurisma
asimtomatis yang dapat dideteksi tanpa
kontras.
6. Digital Subtraction Angiography (DSA)
ada justifikasi bahwa untuk menDiagnosa dengan tepat, maka DSA wajib diperiksa pada semua kasus PSA.
Meskipun demikian, pemeriksaan ini
membutuhkan pertimbangan manfaat
dan risiko, karena DSA bukan tanpa bahaya. Risiko komplikasi transien atau
permanen mencapai 1,8%. Selain itu
ada risiko ruptur aneurisma selama
prosedur, yakni sebesar 1-2% dan 6 jam
pascaprosedur meningkat hingga 5%.
Pemeriksaan DSA semakin awal semakin
baik, apalagi jika pasien direncanakan
tindakan segera coiling atau clipping
dalam 3 hari pertama onset PSA. DSA
dengan teknik 3D rotasional menjadi
pilihan apabila dengan CT angiografi
belum memberikan data yang jelas.
DSA wajib dilakukan apabila ada
kecurigaan pemicu lain PSA, seperti
diseksi pembuluh darah, namun gagal
dikonfirmasi pada CT angiografi dan
MRA. Begitu pula pada pola perdarahan
tertentu yang negatif pada CT angiografi
awal, maka wajib dilakukan DSA. Bahkan jika hasil DSA negatif, diindikasikan
pemeriksaan DSA ulang.
Teknik pencitraan DSA dapat berbeda
menurut pembuluh darah tertentu. Pada
aneurisma arteri komunikans anterior,
dibutuhkan pencitraan kedua teritori
arteri karotis untuk mengidentifikasi
aneurisma dan bagian distal arteri serebri anterior yang terisi. Pada aneurisma
arteri karotis di bagian proksimal arteri
komunikans posterior, sangat penting
diketahui pengisian PCA melalui arteri
basilaris. Pada aneurisma MCA, tidak terlalu dibutuhkan informasi terkait teritori
lain. Pada pola perdarahan sesuai dengan
aneurisma sirkulasi posterior, angiogram
tidak boleh disebut negatif hingga kedua
arteri vertebralis tervisualisasi, karena
aneurisma bisa muncul dari PICA ataupun cabang proksimal arteri vertebralis.
Proses Diagnosa delayed cerebral ischemia pada vasospasme masih menjadi
masalah tersendiri. Belum ada studi
komparatif mengenai alur Diagnosa
yang membandingkan keluaran. Peman-
tauan vasospasme dapat dilakukan dengan memakai pemeriksaan penunjang, antara lain Doppler transkranial
(transcranial DopplerjTCD), CT atau MR
perfusi. TCD merupakan pemeriksaan
noninvasif untuk menDiagnosa vasospasme, khususnya arteri serebri media. Pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan 1-2 hari sekali. CT atau MR perfusi
dapat membantu mengidentifikasi daerah otak yang mengalami iskemia. CT
perfusi menjanjikan hasil yang lebih
maksimal, namun pemeriksaan berulang dan paparan radiasi membatasi pemakaian CT perfusi.
PENGOBATAN
Pada prinsipnya ada PENGOBATAN
umum dan PENGOBATAN komplikasi.
1. PENGOBATAN Umum
Secara umum, PENGOBATAN PSA sama
dengan PENGOBATAN stroke perdarahan,
sebagai berikut:
a. Hipertensi
PENGOBATAN hipertensi biasanya dimasukkan dalam PENGOBATAN tradisional yang disebut triple-H, yaitu
hipertensi, hipervolemik, dan hemodilusi. Hipertensi dibuat untuk menjaga tekanan darah tetap tinggi agar
otak mendapat perfusi yang cukup,
namun tidak boleh terlalu tinggi untuk
mencegah rebleeding.
Rekomendasi tekanan darah yaitu
diturunkan jika mean arterial pressure
(MAP) mencapai 130mmHg dengan
antihipertensi golongan penyekat
beta secara intravena (IV). Agen ini
memiliki waktu paruh pendek, dapat
dititrasi dengan mudah, dan tidak
meningkatkan tekanan intrakranial
(TIK). Sebaiknya hindari golongan nitrat (nitroprusid atau nitrogliserin),
karena dapat memicu peningkatan TIK.
b. Peningkatan Tekanan Intrakranial
• Perawatan di ICU dengan tirah
baring total dan intubasi. Pasien
dapat dilakukan hiperventilasi
dengan pC02 sekitar 30-35mmHg
untuk mengurangi risiko vasospasme dan iskemik.
• Elevasi kepala 30° untuk memastikan drainase vena berjalan baik.
• Pemasangan akses arteri, kateter
vena sentral, dan kateter urin untu.k menurunkan TIK.
• Pemberian pencahar agar pasien
tidak mengedan.
• Pemberian sedasi ringan dan ruangan yang hening, gelap, serta cukup
privasi jika ada agitasi.
• Pemberian PENGOBATAN untuk
menurunkan TIK seperti :
- Agen osmotik, yaitu manitol,
dapat menurunkan TIK secara
dramatis. Dapat dipakai mani-.
tol 20% dengan dosis awal 0,5-
1 gr fkgBB dilanjutkan dosis
rumatan 4-6 x 0,25-0,5 gr /kgBB
- Diuretik, seperti furosemid
40mg dapat dipakai dosis
tunggal.
- Steroid, meskipun kontroversial namun dianjurkan oleh beberapa penulis.
540
2. PENGOBATAN Komplikasi
a. Rebleeding
Rebleeding dapat terjadi sebanyak
4,1% dalam 24 jam pertama pascaruptur dan risiko kumulatif dalam 14
hari pertama sebesar 19%. Secara keseluruhan angka mortalitas rebleeding sangat tinggi (78%), sehingga
perlu ditatalaksana pencegahan. Hal
ini dapat dilakukan dengan dua cara,
yakni: tindakan bedah berupa clipping dan tindakan intervensi neurovaskular dengan coiling. Pemilihan
antara coiling atau clipping berdasar lokasi lesi, leher aneurisma, akses arteri, ketersediaan, pengalaman
staf medis, serta isu biaya, khususnya
untuk negara berkembang.
Tanpa melihat keterbatasan yang ada,
secara umum coiling lebih diutamakan untuk aneurisma bagian posterior, karena morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan
clipping. International Subarachnoid
Aneurysm Trial (ISAT) menunjukkan
bahwa coiling lebih aman secara signifikan dibandingkan clipping pada
aneurisma yang ruptur. Studi ini menjadi dasar coiling sebagai PENGOBATAN
lini pertama ruptur aneurisma.
Pada prinsipnya, waktu tindakan
intervensi yang disarankan yakni
lebih awal lebih baik, namun dapat
disesuaikan dengan kondisi pasien.
Pada pasien dengan kondisi baik, dianjurkan 72 jam pertama pascaonset untuk mencegah rebleeding. Pada pasien
yang kondisinya belum baik, bahkan
setelah PENGOBATAN stabilisasi (terma
suk pemasangan drainase ventrikel
eksternal), tidak dianjurkan tindakan
clipping pada periode akut dan lebih
dianjurkan coiling. Penundaan intervensi juga direkomendasikan pada
aneurisma raksasa atau rumit. Pada
usia lanjut di atas 80 tahun, intervensi
dapat dilakukan jika prediksi usia harapan hid up lebih lama.
b. Vasospasme
PENGOBATAN vasospasme cukup kompleks. Berbagai penelitian terakhir
menunjukkan nimodipin oral dan
euvolemia efektif dalam mencegah
vasospasme. Tindakan prevensi lain
seperti triple-H (hemodilusi, hipervolemia, dan hipertensi) dan tindakan endovaskular (vasodilator dan
angioplasti halon) belum menunjukkan keuntungan dalam mencegah delayed cerebral ischemia.
Pada saat terjadi delayed cerebral
ischemia, PENGOBATAN pertama yang
dilakukan yaitu induksi hemodinamik untuk memperbaiki perfusi
serebral. Secara konvensional, peningkatan hemodinamik dilakukan
dengan triple-H. Namun saat ini terapi difokuskan pada euvolemia dan
induksi hipertensi. Peningkatan mean
arterial blood pressure (MABP) diduga dapat meningkatkan aliran darah
otak (cerebral blood flowfCBF) pada
saat terjadi gangguan autoregulasi.
Autoregulasi mengatur MABP 50-
150mmH, jika kurang atau melebihi
itu maka akan memicu gangguan
autoregulasi. Oleh karena itu, jika
rentang tekanan darah masih berada
541
didalam rentang autoregulasi, otak
masih mampu memngatur aliran darahnya, namun ketika melebihi rentang ini , maka dibutuhkan tatalaksana tambahan. Selain itu, diduga
ada efek tekanan transluminal
langsung yang memicu dilatasi arteri.
Belum ada penelitian randomized
controlled trial (RCT) yang mengAnalisa keluaran dari teknik terse but.
Secara umum, hal terpenting untuk
mencegah vasospasme yaitu menjaga normovolemia, normotermia,
dan oksigenasi normal. Status hidrasi
harus dimonitor dengan ketat untuk
menghindari kontraksi volume yang
dapat memicu vasospasm e.
Berikut PENGOBATAN khusus untuk
mencegah vasospasme:
1) Nimodipin
Nimodipin oral merupakan penyekat
kanal kalsium yang paling banyak
diteliti dan memiliki rekomendasi paling baik berdasar American Heart
Association/ American Stroke Association (AHA/ASA), yakni kelas 1 dengan
level of evidence A untuk mencegah vasospasme pascaPSA Penyekat kanal kalsium terbukti menurunkan insidens defisit pascastroke iskemik dan nimodipin
menunjukkan peningkatan keluaran
keseluruhan dalam 3 bulan pascaPSA
aneurisma Mekanisme efek protektifnimodipin belum terbukti, namun diduga
melalui penghambatan influks kalsium
yang akan merusak neuron.
Indikasi pemberian nimodipin yaitu
semua pasien PSA, walaupun belum
tentu muncul vasospasme (AHA/ ASA
kelas 1, level A) yang diberikan secara
oral. Hal ini berdasar penelitian
Mees SMD dkk bahwa pemberian oral
nimodipin membantu mengurangi keluaran yang buruk pada pasien dengan
PSA, sedangkan pemberian IV tidak
menunjukkan hasil yang signifikan.
Dosis IV yaitu 1mgfjam drip untuk 2
jam pertama, kemudian jika dapat ditoleransi dengan baik, dapat dilanjutkan
menjadi 2mg per jam drip. Adapun dosis oral yaitu 6 X 60mg, dimulai dalam
96 jam dan dilanjutkan hingga 21 hari.
Pada 2010, Food and Drug Administration (FDA) mengeluarkan peringatan
bahayanya pemberian nimodipin oral
yang dilarutkan dalam air dan kemudian dimasukkan secara intravena,
karena dapat memicu henti
jantung, penurunan dramatis tekanan darah dan kejadian kardiovaskuler
lainnya. Saat ini, FDA sudah menyetujui obat oral nimodipin berbentuk cairan. Hal ini diharapkan menjadi solusi
terhadap kendala pada pasien yang
tidak dapat menelan, yang selama ini
memakai nimodipin tablet yang
digerus atau intravena.
2) Terapi trombolisis
Beberapa bukti ilmiah mengindikasikan bahwa penghancuran bekuan
subaraknoid melalui injeksi intrasisterna dengan recombinant tissue plasminogen activator (rTPA) secara dramatis mengurangi risiko vasospasm e.
Hal ini dilakukan setelah tindakan
clipping aneurisma.
3) Aspirasi dan irigasi
Aspirasi dan irigasi bekuan subarak-
542
noid pada saat tindakan clipping
aneurisma dapat memberikan hasil
yang kurang optimal dan dihubungkan dengan peningkatan risiko
trauma iatrogenik pada permukaan
pial dan pembuluh darah kecil. Penyemprotan NaCl intraoperatif untuk
membersihkan darah dari rongga
subaraknoid diduga bermanfaat, namun efektivitasnya belum terbukti.
4) Drainase CSS
Drainase CSS melalui drain ventrikel
dilakukan setelah PENGOBATAN aneurisma untuk menurunkan insidens
vasospasme. Tindakan ini memiliki
risiko rebleeding aneurisma, sehingga
disarankan dilakukan jika tekanan intrakranial melebihi 20mmHg.
5) Statin
Pemberian statin diajukan untuk
mencegah vasospasme dan delayed
cerebral ischemic dengan meningkatkan reaktivitas vasomotor serebral
melalui mekanisme dependen dan
independen kolesterol. pemakaian nya masih kontroversial, namun beberapa penelitian kecil menunjukkan
hasil yang menjanjikan.
6) Terapi "triple H"
Merupakan PENGOBATAN vasospasme
tradisional yang terdiri dari induksi
hipertensi, hipervolemia, dan hemodilusi. Induksi hipertensi agresif dapat
memakai agen inotropik dan vasopressor, jika dibutuhkan. Hipervolemia dapat dicapai dengan transfusi
eritrosit, infus kristaloid isotonik, serta
infus koloid dan albumin bersamaan
dengan injeksi vasopressor. Hemodi
lusi dilakukan dengan transfusi untuk
mempertahankan hematrokit tetap
30-35% dengan tujuan mengoptimalkan viskositas darah dan penghantaran
oksigen. Terapi ini memerlukan pemasangan kateter arteri pulmoner untuk
mempertahankan tekanan vena sentral
pada . <J-12mmHg dan pulmonary artery wedge pressure (PAWP) pada 14-
20mmHg.
PENGOBATAN triple H biasanya dilakukan pada pasien dengan aneurisma yang sudah dilakukan operasi
clipping atau coiling yang bertujuan
r.: 1gurangi risiko rebleeding. Meskipun telah dipakai lama, efektifitas
terapi ini masih menjadi bahan perdebatan. Kajian beberapa studi menunjukkan bahwa terapi "triple H" tidak
memperlihatkan hasil positif ataupun
membantu meningkatkan aliran darah
serebral.
7) Angioplasti balon transluminal
Angioplasti balon transluminal direkomendasikan untuk PENGOBATAN
vasospasme setelah kegagalan terapi
konvensional. Sebuah studi menunjukkan peningkatan keluaran neurologis
hingga 70% pada pasien vasospasme
simtomatik pasca-angioplasti transluminal. Namun tindakan ini dapat menimbulkan komplikasi berupa ruptur
pembuluh darah, diseksi atau oklusi,
dan perdarahan intraserebral.
Beberapa laporan serial kasus
mengindikasikan bahwa tindakan ini
efektif untuk PENGOBATAN vasospasme
pembuluh darah besar proksimal dan
tidak efektif untuk vasospasme pem-
543
buluh darah distal. Hal ini disebabkan
karena aliran darah distal dapat meningkat dengan adanya peningkatan
diameter pembuluh darah proksimal.
8) Infus vasodilator
Infus vasodilator merupakan salah
satu pilihan PENGOBATAN untuk pembuluh darah distal. Dibandingkan
angioplasti, efek vasodilator ini lebih
singkat. Vasodilator yang sering dipakai yaitu penyekat kanal kalsium.
Nitrit oksida saat ini mulai dipakai .
Injeksi intraarterial papaverin juga
sering diberikan dengan pengawasan,
karena menurut sejumlah literatur papaverin merupakan zat neurotoksik.
Magnesium merupakan agen neuroprotektif yang bekerja sebagai antagonis reseptor N-metil-0-aspartat
(NMDA) dan penyekat kanal kalsium.
Menurut penelitian metaAnalisa , magnesium dapat mengurangi risiko delayed cerebral ischemic dan keluaran
buruk pada PSA aneurisma. Namun
pemakaian magnesium membutuhkan monitor ketat kadarnya. Sebuah
penelitian kecil menunjukkan bahwa
konsentrasi magnesium serum dipertahankan 2-2,5mmolfL untuk mengurangi kejadian iskemik serebral
pascaPSA.
Beberapa agen baru sedang dalam
penelitian untuk menangani vasospasme. Agen ini antara lain
metilprednisolon, tirilazad, dan colforsin intraarterial.
c. Hidrosefalus
Hidrosefalus akut dapat ditatalaksana
dengan drainase ventrikel eksternal, ber
gantung pada beratnya klinis defisit neurologis atau temuan CT scan. Ukuran hidrosefalus dinilai secara periodik dengan
menyekat drainase saat memantau TIK
Penurunan TIK secara cepat sebaiknya dihindari karena dihubungkan dengan risiko
tinggi rebleeding. Hidrosefalus simtomatis
dapat ditatalaksana dengan drainase CSS
lumbal temporer, pungsi lumbal serial, dan
shunting ventrikel permanen.
Ventrikulostomi dihubungkan dengan peningkatan risiko rebleeding dan infeksi.
Oleh karena itu, pasien dengan dilatasi
ventrikel tanpa penurunan kesadaran, dianjurkan PENGOBATAN konservatif dengan
monitor ketat status mental dan dilakukan
intervensi jika ada penurunan status klinis. Ventrikulostomi yang dilakukan
dengan tepat merupakan prosedur yang
berisiko relatif rendah dan dapat memperbaiki klinis secara cepat dan dramatis pada
dua pertiga pasien. Hal ini bermanfaat untuk penjadwalan tindakan operasi atau intervensi endovaskular lebih awal. ·
d. Hiponatremia
Hiponatremia pascaPSA dapat terjadi
pada 10-34% kasus, akibat peningkatan
kadar atrial natriuretic factor (ANF) dan
syndrome of inappropriate secretion of
antidiuretic hormone (SIADH). Tata laksana yang biasanya cukup bermanfaat
yaitu pemberian NACl yang sedikit
hipertonik (1,5%) dan menghindari restriksi cairan.
e. Kejang
Pemberian antikonvulsan jangka panjang tidak direkomendasikan pada
pasien tanpa kejang sebelumnya atau
544
tanpa faktor resiko seperti hematoma,
infark, atau aneurisma MCA. Fenitoin
merupakan agen pilihan karena dapat
mencapai konsentrasi terapeutik cepat
dengan pemberian intravena dan tidak
mengubah kesadaran. Berbeda dengan
fenobarbital yang memiliki efek sedasi,
sehingga jarang dipakai .
PENGANTAR NYERI
Henry Riyanto Sofyan, Ramdinal Aviesena Zairinal,
Tiara Aninditha
Setiap orang di dunia pasti pernah merasakan
nyeri, setidaknya sekali dalam hidupnya. Beberapa bagian tubuh mulai dari kepala hingga kaki dapat menjadi nyeri dan membuat
pasien datang ke pelayanan kesehatan. Pada
prinsipnya, nyeri bukanlah penyakit, namun
merupakan suatu keluhan atau tanda klinis
yang dipersepsikan oleh korteks sensorik Jadi
nyeri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap suatu kerusakan atau .
yang berpotensi memicu kerusakan jaringan. Oleh karena itu, setiap keadaan nyeri
harus ditangani dengan cepat dan tepat,
karena bisa bersifat serius dan fatal. American
Pain Society juga menempatkan pemeriksaan
nyeri dalam urutan kelima setelah pemeriksaan tanda vital denyut nadi, tekanan darah,
frekuensi napas, dan suhu tubuh.
Nyeri juga bersifat individual dan dapat
mengganggu kualitas hidup seseorang, sementara penanganan nyeri sangat bervariasi
dan perlu mempertimbangkan banyak aspek Oleh karena itu, diperlukan pemahaman
dasar mengenai nyeri, meliputi definisi, neuroanatomi, patofisiologi, evaluasi nyeri, dan
prinsip manajemen nyeri.
DEFINISI NYERI
berdasar International Association for the
StudyofPain (IASP), nyeri yaitu pengalaman
sensoris dan emosi yang tidak menyenang-
547
kan akibat kerusakan jaringan (tissue damage) yang aktual maupun potensial, atau yang
digambarkan dalam bentuk kerusakan ini berdasar definisi ini , ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk
mengatakan pasien mengalami nyeri, yaitu
pengalaman yang tidak menyenangkan dan
kerusakan jaringan. Bila individu mengalami
suatu kejadian . yang tidak menyenangkan
tanpa ada bukti aktual atau potensi kerusakan jaringan, maka hal itu tidak dikatakan
nyeri. Begitupun sebaliknya bila ada kerusakan jaringan, namun individu ini tidak
menganggap sebagai pengalaman yang tidak
menyenangkan, maka inipun tidak tergolong
nyeri. Oleh sebab itu, nyeri merupakan suatu
hal yang bersifat subjektif dan berbeda-beda
interpretasinya antar individu.
Intensitas dan kualitas nyeri secara umum
juga bergantung pada emosi atau psikologis,
sehingga gambaran tentang berat ringannya
kerusakan biologis bervariasi dari satu individu ke individu lain. Oleh karena itu, dibuatlah
klasifikasi mengenai Analisa nyeri, baik berdasar waktu, intensitas, dan patologisnya.
berdasar lama dideritanya, nyeri dibagi
atas nyeri akut dan nyeri kronik Nyeri akut
berlangsung selama 4-6 minggu, sedangkan
yang lebih panjang durasinya termasuk ke
dalam nyeri kronik. Ada pula beberapa pembagian nyeri berdasar durasi nyeri (tran
sien, intermiten, atau persisten); intensitas
(ringan, sedang, dan berat), kualitas (tajam,
tumpul, dan terbakar), dan penjalarannya
( superfisial, dalam, lokal, a tau difus). Di
samping itu nyeri pada umumnya memiliki komponen kognitif dan emosional yang
digambarkan sebagai penderitaan. Nyeri
juga berhubungan dengan refleks motorik menghindar dan gangguan otonom yang
disebut sebagai pengalaman nyeri.
Secara neuropatologis nyeri dikelompokkan
menjadi 3, yaitu: (1) nyeri nosiseptif, yang
disebut juga nyeri inflamasi atau nyeri adaptif,
(2) nyeri neuropatik, dan (3) nyeri campuran.
Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan dan dianggap
sebagai proses adaptasi untuk perbaikan jaringan itu sendiri. Jika jaringan menjadi sembuh maka nyeri tidak akan muncul. Kelompok
lain yaitu nyeri maladaptif seperti nyeri neuropatik. Nyeri ini sebenarnya memiliki gejala
yang khas, namun sering terabaikan atau tidak terdeteksi, sehingga berpotensi menjadi
kronik dan mengganggu kualitas hidup penderitanya. ada berbagai istilah terkait
nyeri (Tabell ), sehingga dibutuhkan anamnesis dan Analisa yang tepat oleh karena nyeri
neuropatik memiliki penanganan yang berbeda dengan nyeri nosiseptif.
Sensitisasi yaitu istilah neurofisiologis yang
meliputi turunnya ambang batas nyeri dan
peningkatan respons pada stimulus di atas
ambang batas nyeri. Selain itu, terjadi pula
cetusan spontan dan perluasan area reseptif.
Secara klinis, sensitisasi dapat dijumpai pada
fenomema hiperalgesia atau alodinia.
lstilah alodinia, hiperalgesia, dan hiperestesia sering membingungkan klinisi. Hiperalgesia yaitu istilah yang memayungi segala
kondisi peningkatan sensitivitas nyeri. Alodinia yaitu contoh bentuk dari hiperalgesia
yang lebih mengacu untuk rasa nyeri yang
timbul akibat stimulus yang biasanya tidak
bersifat nyeri (subthreshold). Sementara itu,
hiperalgesia lebih tepat dipakai pada keadaan yang ditandai peningkatan respons
pada tingkat ambang batas nyeri yang normaljmeningkat. Di lain pihak, hiperestesi
ditandai dengan adanya penurunan ambang
· batas terhadap semua stimulus (raba, suhu,
dan tekan) dan peningkatan respons terhadap stimulus yang dikenali secara normal.
548
Ambang batas dan tingkat toleransi nyeri
sangat bersifat subjektif bergantung pengalaman dan memori seseorang terhadap
intensitas stimulus yang diberikan, sehingga
dianggap sebagai rasa nyeri. Secara kuantitatif, intensitas stimulus dapat diukur. Sebagai
contoh, jika ambang batas nyeri didefinisikan sebagai suatu tingkat yang 50% stimulus
dikenal sebagai rasa nyeri, maka pada tingkat
itulah stimulus mulai dianggap nyeri.
NEUROANATOMI DAN PATOFISIOLOGI
Dalam memahami proses nyeri, terlebih
dahulu