Tampilkan postingan dengan label neurologi 31. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 31. Tampilkan semua postingan

neurologi 31

 











 berdasar  

gambaran hiperdensitas di parenkim otak 

dibandingkan MRI yang memerlukan perbandingan beberapa sekuens gambar (Gambar 2). Selain itu, pemeriksaan CT scan membutuhkan waktu yang lebih singkat dengan 

harga yang lebih ekonomis. 

Besarnya volume perdarahan dapat diestimasi dengan memakai  metode ABC 

(Gambar 3). 

Volume perdarahan ( dalam ee) = (Ax 8 x C) 

A= diameter terbesar hematom pada salah 

satu-potongan CT scan (dalam em) 

8= diameter perpendikularterhadap A ( dalam 

em) 

C= jumlah otongan CT scan yang ada hematom x tebal potongan CT scan ( dalam em). 

ada beberapa ketentuan untuk jumlah potongan CT scan dengan hematom 

(pain C), yaitu: 

519 

Stroke Hemoragik 

1. Potongan CT scan dihitung 1 bila luas 

hematom pada potongan terse but > 75% 

2. Potongan CT scan dihitung 0,5 bila luas hematom pada potongan ini  25-75% 

3. Potongan CT scan tidak dihitung bila luas 

hematom pada potongan ini  <25% 

PENGOBATAN 

Tata Iaksana stroke hemoragik dapat dibagi 

menjadi PENGOBATAN umum dan khusus. 

PENGOBATAN umum bertujuan untuk menjaga dan mengoptimalkan metabolisme otak 

meskipun dalam keadaan patologis. Tata 

laksana khusus untuk melakukan koreksi 

koagulopati untuk meneegah perdarahan 

berlanjut, mengontrol tekanan darah, identifikasi kondisi yang membutuhkan intervensi bedah, serta melakukan Diagnosa  dan 

terapi terhadap pemicu  perdarahan. 

PENGOBATAN umum 

1. Stabilisasi }alan Napas dan Pernapasan 

Untuk meneapai tujuan PENGOBATAN 

umum, hal utama yaitu  melihat serta 

melakukan stabilisasi jalan dan saluran 

pernapasan untuk menghindari hipoksia. 

Apabila terjadi gangguan ventilasi, dapat 

dilakukan pemasangan pipa endotrakeal 

untuk menjaga patensi jalan nafas pasien. 

Selain itu juga harus dipastikan kemampuan menelan pasien. Jika terjadi 

gangguan menelan atau pasien dalam 

keadaan tidak sadar, perlu dilakukan 

pemasangan pipa nasogastrik untuk 

meneegah terjadinya aspirasi pada pemberian makanan.  

2. Stabilisasi Hemodinamik 

PENGOBATAN yang harus diperhatikan 

berikutnya yaitu  stabilisasi hemodinamik. Keadaan hemodinamik pasien 

diharapkan tetap stabil dengan tidak 

menurunkan tekanan perfusi serebral 

(cerebral perfusion pressurejCPP) hingga 

menginduksi hipoksia. Untuk menjaga 

hemodinamik atau mengatasi keadaan 

dehidrasi, sebaiknya diperhatikan hal 

berikut: 

a. Pemberian cairan kristaloid atau koloid intravena (IV), hindari cairan hipotonik seperti glukosa. 

b. Pemasangan central venous catheter 

(CVC) bila diperlukan, untuk memantau kecukupan cairan serta sebagai 

sarana memasukkan cairan dan nutrisi dengan target tekanan 5-12mmHg. 

c. Optimalisasi tekanan darah (lihat penatalaksanaan khusus) 

d. Pad a pasien dengan defisit neurologis 

nyata, dianjurkan pemantauan berkala status neurologis, nadi, tekanan darah, suhu tubuh, dan saturasi oksigen 

dalam 72 jam. 

3. PENGOBATAN Peningkatan TIK 

Merupakan PENGOBATAN yang penting 

dengan memerhatikan hal-hal berikut: 

a. Pemantauan ketat terhadap pasien 

yang berisiko mengalami edema serebra! dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda klinis neurologis dalam 48 jam pertama serangeln 

stroke. 

b. Monitor tekanan intrakranial terutama pada pasien dengan perdarahan intraventrikular (dilakukan sebagai monitoring tekanan intrakranial  

Stroke Hemoragik 

dan evakuasi perdarahan intraventrikular). Target terapi yaitu  TIK 

<20mmHg dan CPP >70mmHg. 

c. Penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial meliputi: 

• Meninggikan posisi kepala 30° 

• Menghindari penekanan vena 

jugularis 

• Menghindari hipertermia 

• Pemberian osmoterapi atas indtkasi: 

- Manito! 0,25- 0,SOg/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 

4-6 jam dengan target osmolaritas 

darah 310m0sm/L. Osmolaritas sebaiknya diperiksa 2 kali 

da.lam sehari selama pemberian osmoterapi. Agen osmoterapi lain yang dapat dipakai  

yaitu  NaCI 3% 

- Furosemid (atas indikasi) dengan dosis inisial1mgjkgBB IV 

• Intubasi (knockdown) untuk menjaga normoventilasi (pC02 35mmHg). 

Hiperventilasi mungkin diperlukan 

bila akan dilakukan tindakan operatif. 

4. Pengendalian Suhu Tubuh 

Peningkatan suhu 1 oc akan meningatkan 

energi 7%. Oleh karena itu, setiap pasien 

stroke yang disertai febris harus diberikan 

antipiretik, yakni parasetamol 1000mg 3x 

baik peroral atau IV, kemudian dicari dan 

diatasi pemicu nya. 

5. PENGOBATAN Cairan 

a. Pada umumnya kebutuhan cairan 

30mL/kgBBjhari (parenteral maupun enteral). 

b. Pemberian cairan isotonik seperti  

NaCI 0,9% untuk menjaga euvolemia. 

Tekanan vena sentral di pertahankan 

antara 5- 12mmHg. 

c. Perhatikan keseimbangan cairan dengan melakukan pengukuran cairan 

masuk dan keluar secara ketat. 

d. Elektrolit (sodium, kalium, kalsium, 

magnesium) harus selalu diperiksa 

dan diatasi bila terjadi kekurangan. 

e. Gangguan keseimbangan asam basa 

harus segera dikoreksi dengan monitor Analisa  gas darah. 

6. Nutrisi 

a. Pemberian nutrisi enteral harus dilakukan sedini mungkin bila tidak 

terjadi perdarahan lambung. 

b. Jika terjadi komplikasi perdarahan 

lambung, maka pemberian nutrisi enteral dapat ditunda sampai terjadi perbaikan dan sisa cairan lam bung dalam 

2 jam pertama :5 150cc. Evaluasi cairan 

lam bung yang dialirkan setiap 2 jam. 

c. Bila ada gangguan menelan atau 

kesadaran menurun makanan diberikan melalui pipa nasogastrik. 

d. Jika tidak ada gangguan pencernaan atau residu lambung :5150cc, 

maka dapat diberikan nutrisi enteral 

30cc perjam dalam 3 jam pertama. 

Jika toleransi baik, berupa tidak terdapatnya residu pipa nasogastrik 

pad a saat jam berikutnya, maka dapat 

dilanjutkan pemberian makanan enteral. Pemberian nutrisi enteral se'-

lanjutnya disesuaikan dengan target 

kebutuhan yang terbagi dalam 6 kali 

perhari.  

e. Pacta keadaan akut, kebutuhan kalori 

yaitu  20-25 kkaljkgjhari dengan 

komposisi: 

• Karbohidrat 50 -60 o/o dari total 

kalori 

• Lemak 25-30 o/o 

• Protein 10-20% 

- Pacta keadaan adanya stresor 

pacta tubuh, kebutuhan protein 

1,4-2,0gjkgBBjhari. 

- Kebutuhan protein disesuaikan pada gangguan fungsi ginjal yaitu 0,6-0,8 gj kgBBjhari. 

f. Jika kemungkinan pemakaian pipa 

nasogastrik diperkirakan >6 minggu, 

pertimbangkan untuk percutaneous 

endoscopic gastrostomy (PEG). 

g. Pada keadaan pemberian nutrisi enteral tidak memungkinkan, boleh diberikan secara parenteral. 

7. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi 

a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk 

mencegah komplikasi subakut, seperti aspirasi, malnutrisi, pneumonia, 

trombosis vena dalam, emboli paru, 

dekubitus, komplikasi ortopedik, dan 

kontraktur (AHA/ ASA, level B dan C). 

b. Pemberian antibiotik atas indikasi 

sesuai dengan tes kultur dan sensitivitas kuman atau minimal terapi 

empiris sesuai dengan pola kuman 

(AHA/ ASA, level A). 

c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas danjatau memakai kasur antidekubitus.  

d. Pencegahan trombosis vena dalam 

dan emboli paru dengan intermittent 

pneumatic compression, tidak direkomgndasikan pemakaian  compression stocking. 

e. Pencegahan tromboemboli vena pada 

pasien imobilisasi setelah 1-4 hari onset, 

dapat diberikan low molecular weight 

heparin (LMWH) do sis rendah subkutan 

atau unfractionated heparin, setelah terdokumentasi tidak ada lagi perdarahan 

(AHA/ ASA kelas lib, level B) 

f. Antikoagulan sistemik atau pemasangan vena kava filter dapat diindikasikan pacta pasien dengan gejala trombosis vena dalam atau emboli paru 

(AHA/ ASA kelas Ila, level C). Pemilihan harus mempertimbangkan beberapa faktor, seperti waktu sejak onset 

stroke, stabilitas hematom, pemicu  

perdarahan, dan kondisi umum pasien 

(AHA/ ASA kelas IIa, level C). 

8. Penatalaksanaan Medik Lain 

a. Pemantauan kadar glukosa darah 

sangat diperlukan. 

• Hiperglikemia (kadar glukosa darah >180mgj dL) pacta stroke akut 

harus diobati dengan titrasi insulin (AHA/ ASA kelas I, level C). 

• Target yang harus dicapai yaitu  

normoglikemia. 

• Hipoglikemia berat (<SOmg/dL) harus diobati dengan dekstrosa 40% 

intravena atau infus glukosa 10-20%. 

b. Jika pasien gelisah, dapat dilakukan 

terapi psikologi atau pemberian major 

and minor tranquilizer, seperti benzodiazepin short acting a tau propofol. 

523 

Stroke Hemoragik 

c. Pemberian analgesik, anti muntah, 

dan antagonis HZ sesuai indikasi. 

d. Hati-hati dalam menggerakkan, penghisapan lendir (suction), atau memandikan pasien, karena dapat mempengaruhi TIK. 

e. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernapasan stabil. 

f. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan kateterisasi intermiten. 

g. Rehabilitasi. 

h. Edukasi keluarga. 

i. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar RS). 

9. Pengendalian Kejang 

1. Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat IV 5-20mg dan diikuti 

oleh fenitoin loading dose 15-20mgj kg 

bolus dengan kecepatan maksimum 

SOmgjmenit. 

2. Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unitj !CU). 

PENGOBATAN Khusus 

1. Perawatan di Unit Stroke 

Perawatan di unit stroke akan menurunkan kematian dan dependensi dibandingkan dengan perawatan di bangsal biasa. Penderita dengan stroke hemoragik 

di supratentorial seharusnya dirawat di 

unit stroke (AHA/ ASA level B). 

2. Koreksi Koagulopati 

a. Melakukan pemeriksaan hemostasis, 

an tara lain prothrombin time (PT), activated partial thrombin time (APTT), 

international normalized ratio (INR), 

 

dan trombosit, serta koreksi secepat 

mungkin jika didapatkan kelainan. 

b. Pasien dengan defisiensi faktor koagulasi berat atau trombositopenia 

be rat harus diberikan factor replacement therapy atau trombosit (AHA/ 

ASA kelas I, level C). 

c. Pada pasien dengan peningkatan INR 

karena pemakaian  antagonis vitamin 

K (VKA), maka VKA harus dihentikan. 

Diberikan terapi untuk menggantikan faktor pembekuan yang besifat 

vitamin K-dependent dan memperbaiki INR, serta diberikan vitamin K IV 

(AHA/ ASA kelas I, level C). Prothrombin complex concentrates (PCC) memiliki efek samping lebih sedikit dan 

memperbaiki INR lebih cepat dibandingkan fresh frozen plasma (FFP), 

sehingga lebih dianjurkan (AHA/ ASA 

kelas lib, level 8). Recombinant factor 

VIla (rFVlla) tidak direkomendasikan 

(AHA/ ASA kelas Ill, level C). 

d. Untuk pasien yang mengkonsumsi 

dabigatran, rivaroksaban, atau apiksaban, terapi dengan factor eight inhibitor bypass activity (FEIBA), PCC, atau 

rFVlla dapat dipertimbangkan sesuai 

kondisi individual pasien. Karbon aktif dapat dipakai  jika dosis terakhir 

dabigatran, rivaroksaban, atau apiksaban diminum <2 jam. Hemodialisis 

dapat dipertimbangkan pada pasien 

yang diberikan (AHA/ ASA kelas lib, 

level C) (rekomendasi baru). 

e. Protamin sulfat dapat dipertimbangkan 

untuk reversal heparin pada perdarahan 

intraserebral akut (AHA/ ASA level C). 

f. Meskipun dapat memba':asi ekspan- 

si perdarahan pada pasien stroke 

hemoragik tanpa gangguan koagulasi, 

rFVlla meningkatkan risiko tromboemboli, sehingga tidak direkomendasikan (AHA/ASA kelas Ill, level A). 

3. Tekanan Darah 

Pada stroke hemoragik akut (onset <6 

jam), penurunan tekanan darah secara agresif dengan target TD sistolik 

<140mmHg dalam waktu <1 jam aman 

untuk dilakukan dan lebih superior 

dibandingkan dengan target TD sistolik 

<180mmHg. Untuk menurunkan tekanan darah, dapat diberikan antihipertensi 

intravena seperti nikardipin, labetalol, 

atau esmolol maupun antihipertensi 

oral. Namun tidak ada antihipertensi 

yang spesifik. 

a. Pada tekanan darah antara sistolik antara 150 sampai 220mmHg dan tanpa 

adanya kontraindikasi terapi penurunan tekanan darah akut, penurunan 

TD sistolik akut 140mmHg aman dilakukan (AHA/ ASA kelas I, level A) dan 

efektif memperbaiki keluaran fungsional (AHA/ ASA level 8). 

b. Pada tekanan darah sistolik>220mmHg, 

dapat dilakukan penurunan tekanan darah secara agresif dengan antihipertensi 

IV secara kontinu disertai pemantauan 

rutin (AHA/ ASA kelas lib, level C) ( rekomendasi baru). 

4. Mempertahankan Cerebral Perfusion 

Pressure (CPP) 

Pasien stroke hemoragik harus mempunyai tekanan darah yang terkontrol 

tanpa meiakukan penurunan tekanan 

darah yang beriebihan. Usahakan TD sistolik <160mmHg dan CPP dijaga >60- 

70mmHg. Hal ini dapat dicapai dengan 

menw·unkan TIK ke nilai normal dengan 

pemberian mannitol atau operasi. Pada 

kasus diperlukan pemberian vasopressor, bisa diberikan: 

a. Phenylephrine 10~--Lglkg/-menit 

b. Dopan1~ n 2-10~-tg kg menit atau 

c. Norepjnefrin dimulai dengan 0,05-

0,2~tg kghnenit dan dititrasi sampai 

efek yang diinginkan. 

5. Penatalaksanaan Bedah 

Evakuasi rutin hematom dengan pembedahan seharusnya tidak dilakukan. 

Tidak didapatkan bukti evakuasi hematom memperbaiki keluaran dan tidak 

didapatkan data mengenai kraniektomi 

dekompressi memperbaiki keluaran 

setelah perdarahan intrakranial (AHA/ 

ASA kelas lib, level B). Kraniotomi yang 

sangat dini dapat disertai peningkatan 

risiko perdarahan berulang (AHA/ ASA 

kelas lib, level B). Namun demikian, tindakan bedah yang dilakukan lebih awal 

(early surgery) dapat bermanfaat pada 

pasien dengan SKG 9-12. Pada prinsipnya, pengambilan keputusan tergantung lokasi dan ukuran hematom dan 

status neurologis penderita. 

Secara umum indikasi bedah pada perdarahan intraserebral sebagai berikut: 

a. Hematom serebelar dengan diameter 

>3cm yang disertai penekanan batang 

otak dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel seharusnya dilakukan dengan sesegara mungkin (AHA/ 

ASA kelas I, level B). 

b. Pendarahan dengan kelainan struktur seperti aneurisma atau malfor- 

Stroke Hemoragik 

masi arteriovena (MAV), (AHA/ ASA 

kelas III-V, level C). 

c. Perdarahan lobaris dengan ukuran 

sedang-besar yang terletak dekat 

dengan koFteks ( <1cm) pada pasien 

berusia <45 tahun dengan SKG 9-12, 

dapat dipertimbangkan evakuasi hematom supratentorial dengan kraniotomi standar (AHA/ ASA kelas lib, 

level B) 

d. Evakuasi rutin hematom supratentorial dengan kraniotomi standar 

dalam 96 jam tidak direkomendasikan (AHA/ ASA kelas III, level A), 

kecuali pada hematom lobaris 1cm 

dari korteks. 

6. Pemberian Obat Antiepilepsi (OAE) 

Pemberian OAE yang sesuai seharusnya 

selalu dipakai  untuk terapi bangkitan 

klinis pada pasien dengan stroke hemoragik (AHA/ ASA kelas I, level B). Pemberian profilaksis OAE tidak direkomendasikan. Pada pasien koma (SKG <8) termasuk 

pada perdarahan profunda di supratentorial (intracerebral hemorrhage supratentorial profunda) dapat dipertimbangkan elektroensefalografi (EEG) monitoring 24 jam. 

7. Pencegahan Perdarahan Intraserebral Berulang 

PENGOBATAN hipertensi non-akut merupakan hal yang sangat penting untuk menurunkan risiko perdarahan berulang (AHA/ 

ASA kelas I, level A). Kebiasaan merokok, 

alkoholisme berat, dan pemakaian  kokain merupakan faktor risiko perdarahan 

intraserebral, sehingga direkomendasikan 

untuk menghentikan kebiasaan ini  

(AHA/ ASA kelas I, level B) 

8. Rehabilitasi Medik 

Selayaknya stroke iskemik, fisioterapi 

dan mobilisasi cepat sangat dianjurkan 

pada mereka stabil secara klinis (AHA/ 

ASA kelas I, level C).  






PERDARAHANSUBARAKNOID 


(PSA) yaitu  

ekstravasasi darah menuju ruang subaraknoid di antara membran araknoid dan 

pial. Perdarahan dapat terdistribusi 

sistem ventrikel, sistema, dan fisura (Gambar 1). Istilah PSA ini dapat dipakai  untuk kasus traumatik ataupun nontraumatik, 

namun dalam bab ini yang akan dibahas 

yaitu  nontraumatik   

PSA dapat dikenali berdasar  gejala klinis 

dan pencitraan. Gejala klinis PSA tersering 

yaitu  sakit kepala hebat mendadak, walaupun banyak pasien mungkin tidak ke dokter 

pacta onset ini. Gejala berikutnya dapat berupa penurunan kesadaran ataupun kejang, 

yang membuat pasien dilakukan CT scan. 

Pacta masa sebelum CT scan, perdarahan intraserebral (PIS) yang minimal masih sering diklasifikasikan sebagai stroke iskemik dan PSA 

sering sulit diDiagnosa  dengan benar. Namun 

uniknya, seiring dengan terjangkaunya CT 

scan hingga semakin banyak proporsi orang 

yang diperiksa dengan CT scan, data epidemiologi terbaru malah menunjukkan penurunan 

insidens dalam 30-40 tahun terakhir. 

PSA diperkirakan terjadi hanya pacta 5% 

dari semua angka kejadian stroke, akan 

namun  dampaknya terhadap kehilangan usia 

produktifnya serupa dengan infark serebral 

ataupun PIS. Hal ini  disebabl(an karena PSA menyerang pacta usia yang relatif 

muda dan seringkali fatal. Dengan demiki- 

an, dibutuhkan kolaborasi antara neurolog, 

bedah saraf, ahli neurointervensi, dan intensivist dalam Diagnosa  dan manajemen akut 

dari PSA secara komprehensif. 

EPIDEMIOLOGI 

lnsidens PSA secara keseluruhan berdasar  satu literatur yaitu  10,5 per 100.000 

penduduk pertahun di dunia. Insidens ini 

berbeda-beda pacta tiap literatur, bergantung pacta jenis kelamin, ras, wilayah, dan 

usia. Perempuan memiliki risiko 1,6 kali 

lipat lebih tinggi dari pria, kulit hitam 2,1 

kali lipat lebih sering daripada kulit putih, 

serta Jepang dan Finlandia merupakan negara dengan insidens PSA tinggi, yaitu 22-23 

per 100.000 penduduk per-tahun (Tabel1). 

Insidens PSA meningkat seiring dengan pertambahan usia, meskipun demikian, separuh 

pasien PSA berusia di bawah 55 tahun. 

Angka kejadian fatal PSA akibat aneurisma 

sekitar 50%; sebanyak 10-15%-nya meninggal sebelum tiba di RS, sementara 20% yang 

bertahan akan mengalami ketergantungan 

dalam aktivitas sehari-hari. 

ETIOLOGI 

pemicu  tersering PSA yaitu  ruptur aneurisma (85%), diikuti perdarahan perimesensefalik nonaneurisma (10%), dan 5% sisanya 

akibat kondisi lainnya (Tabel 2). 

PATOFISIOLOGI 

PSA disebabkan oleh berbagai macam 

etiologi, sehingga mekanisme terjadinya 

perdarahan berbeda juga berbeda-beda. 

Berikut dibahas patofisiologi dari beberapa etiologi, yakni aneurisma intrakranial, 

perdarahan perimesensefalik non-aneurismal, dan diseksi arteri intrakranial.  

1. Aneurisma Intrakranial 

Aneurisma pembuluh darah bukanlah 

kongenital, namun didapat dalam perjalanan hidup, terutama pacta dekade ke-

2. Pacta kasus tertentu ada pemicu  yang mendasarinya, seperti trauma, 

infeksi, atau penyakit jaringan penunjang. pemicu  aneurisma tumbuh tidak diketahui dengan pasti, meskipun 

ada berbagai faktor risiko ataupun 

kondisi predisposisi. 

Aneurisma lebih sering muncul di intrakranial dibandingkan ekstrakranial, karena 

dinding arter.i intrakranial lebih tipis. Hal 

terse but disebabkan tmlika media yang menipis dan hilangnya lamina elastika eksterna yang dibuktikan pacta pemeriksaan mikroskopik Djnding aneurisma hanya terdiri 

dari lapisan intima dan adventisia, serta jaringan fibrohialin interposed dengan jumlah 

bervariasi (Gambar 2a). 

Tekanan pulsasi tinggi maksimal di titik 

percabangan di proksimal arteri -sekitar 

sirkulus willisi. Oleh karena itu, lokasi percabangan arteri, biasanya di basis kranii, 

baik di sirkulus Willisi ataupun di dekat titik percabangan, merupakan lokasi utama 

dari pembentukan aneurisma aterosklerosis. Titik ruptur aneurisma biasanya di 

kubah lesi (Gambar 2b). 

Beberapa faktor predisposisi yang dicurigai sebagai pemicu  munculnya 

aneurisma yaitu : 

a. Struktur abnormal dinding pembuluh 

darah 

Abnormalitas yang menjadi predisposisi aneurisma dicurigai berupa defek Japisan muskular dinding tunika 

media yang terjadi secara kongenital.  


Studi menunjukkan adanya penurunan protein matriks ekstraseluler 

pacta dinding arteri intrakranial, yaitu 

kolagen tipe III, kolagen tipe IV, dan 

serat elastin. Penurunan ini  akibat gangguan degradasi dan sintesis 

konstituen protein matriks ekstraseluler yang diregulasi oleh protease 

(seperti matriks me-taloproteinase, 

elastase neutrofil atau leukosit), inhibitor protease (seperti tissue inhibitor dari matriks metaloproteinase dan 

a1 antitripsin), faktor pertumbuhan 

(growth factor), dan sitokin. Adanya 

akselereasi degradasi protein matriks 

ekstraseluler ini dipikirkan akibat 

gangguan keseimbangan protease dan 

inhibitornya. 

Disrupsi protein matriks ekstraseluler tidak hanya ditemukan pacta aneurisma, namun  juga di kulit, serta tidak berbeda an tara arteri intrakranial 

atau ekstrakranial. Dengan demikian, 

aneurisma intrakranial tidak hanya 

merepresentasikan penyakit lokal, 

namun lebih sesuai dengan gangguan 

matriks ekstraseluler umum. 

b. Aneurisma familial 

Sekitar 10% pasien PSA memiliki 

1 atau lebih saudara kandung yang 

mempunyai aneurisma juga. Risiko 

PSA pacta keluarga generasi pertama 

5 kalj lipat lebih tinggi daripada yang 

tidak. Pasien PSA familial pacta umumnya memiliki aneurisma yang lebih 

besar daripada PSA spontan, serta 

onset yang lebih muda. Pacta keluarga 

dengan dua generasi mengalami PSA, 

onset PSA pacta generasi yang lebih 

muda pacta umumnya lebih dini.  

c. Penyakit ginjal polikistik autosom 

dominan (PGPAD) 

Aneurisma intrakranial ditemukan 

pada sekitar 10% pasien PGPAD. 

Meskipun PSA sering terjadi pada 

pasien PGPAD, oleh karena kasus PGPAD sedikit, maka pasien PSA dengan 

PGPAD kurang dari 1%. 

Pertumbuhan aneurisma pada pasien 

PGPAD tidak terkait hipertensi, namun 

lebih karena mutasi gen. ada 2 kelompok mutasi gen, yaitu PGP 1 (85%) 

yang mengalami mutasi pada kromosom 16p dan PGP 2 (15%) yang mengalami mutasi pada kromosom 4q. 

Aneurisma, ditemukan lebih banyak 

pada pasien PGP 1. 

d. Penyakit Ehlers-Danlos tipe IV 

Penyakit ini sangat berhubungan erat 

pertumbuhan aneurisma. Namun 

karena sangat jarang, maka jarang 

pula ditemukan pada pasien dengan 

PSA. Penyakit Ehlers-Danlos tipe IV 

memiliki defek pacta kolagen tipe III  

yang diduga sebagai pemicu  munculnya aneurisma. 

e. Penelitian genetik 

Sejauh ini hubungan positif ditemukan 

pada gen kolagen tipe III-A1, kolagen 

tipe I-A2, a1 antitripsin, dan inhibitor 

serine proteinase (SERPINA3). 

f. Aneurisma baru pascaPSA 

Pasien PSA yang dapat bertahan hid up 

dan memiliki aneurisma yang sudah ditatalaksana mempunyai risiko terjadinya aneurisma baru dan episode PSA 

baru dalam 10 tahun pascaPSA, yakni 

16%. Risiko PSA rekuren pascaclipping 

sekitar 2-3% dan 20 kali lebih tinggi 

dibandingkan dengan orang normal. 

g. Faktor risiko yang didapat 

ada beberapa faktor yang diduga meningkatkan risiko pertumbuhan 

aneurisma secara bermakna, yaitu: 

merokok (risk ratiojRR] 2,2 [IK95% 

1,3-3,6]), hipertensi (RR 2,5 [2,0-

3,1]), dan konsumsi alkohol (RR 2,1  

[1,5-2,8]). Faktor lain seperti etnis 

nonkulit putih (RR 1,8 [0,8-4,2]) dan 

kontrasepsi oral (RR 5,4 [0,7-43,5]) 

juga meningkatkan risiko, namun tidak 

bermakna. Hormone replacement therapy (RR 0,6 [0,2- 1,5]),hiper-kolesterolemia (RR 0,8 [0,6- 1,2]), dan diabetes 

(RR 0,3 [0-2,2]) diduga menurunkan 

resiko, namun juga tidak bermakna. 

Selain itu, didapatkan pula pemicu  

iatrogenik, seperti: terapi radiasi, acrylate yang dipasang ekstemal ke arteri 

intrakranial untuk dekompresi mikrovaskuler, dan operasi bypass superficial 

temporal artery-middle cerebral artery 

dengan pembentukan aneurisma di lokasi anastomosis. 

Pemicu Ruptur Aneurisma 

pemicu  ruptur masih belum banyak 

di-ketahui, yang paling rasional yaitu  

peningkatan mendadak tekanan darah. Oleh karena itu, faktor-faktor 

yang dapat meningkatkan tekanan darah dipikirkan berhubungan de-ngan 

onset PSA, antara lain: 

• Aktivitas fisik (2-20%); aktivitas 

fisik berat terjadi pada 3% pasien 

(RR 15,0; IK95% 4,3-52,2) dan 

aktivitas fisik menengah hingga 

maksimal 2 jam sebelum PSA terjadi pada 19% (RR 2, 7 [1,6-4,6]) 

• Hubungan seksual (0-11%) 

• Aktivitas manuver valsava ( 4-20%) 

• Stres (1-2%) 

• Merokok 3 jam sebelum onset PSA 

(rasio Odds (RO) 7,0; IK95%3,7-13,1) 

• Konsumsi alkohollebih dari 5 unit 

(RO 4,3 [1,5-12,3)  


2. Perdarahan Perimesensefalik 

Pada perdarahan perimesensefalik, ada distribusi ekstravasasi darah pada 

CT angiografi, terutama di anterior dari 

mesensefalon dan sistema interpedunkular, serta di sistema kua-drigeminal. 

Pola perdarahan tidak spesifik membedakan PSA akibat perdarahan perimesensefalik atau ruptur aneurisma. Satu dari 20 

kasus PSA dengan pola perdarahan ini, 

memiliki aneurisma. Sebaliknya 10-20% 

ruptur aneurisma fossa posterior memiliki 

pola perdarahan perimesensefalik. Diperlukan pemeriksaan angiografi untuk membedakan keduanya. 

Autopsi postmortem untuk mengetahui pemicu  perdarahan perimesensefalik jarang dilakukan, karena umumnya 

pasien memiliki keluaran bagus. Oleh 

karena itu hingga saat ini tidak diketahui pemicu nya. Namun ada beberapa 

pembuluh darah yang diduga sebagai lokasi ruptm, yaitu drainase vena ke batang 

otak, aneurisma fossa posterior, dan 

vaskularisasi abnormal di batang otak. 

3. Diseksi Arteri Intrakranial 

Diseksi umumnya terjadi pada arteri 

karotis dibandingkan arteri vertebralis, namun  PSA lebih sering pada arteri 

vertebralis. Beberapa pemicu  diseksi 

yaitu  rotasi leher berlebihan, trauma 

hiperekstensi, serta iatrogenik akibat 

manipulasi osteopatik atau pada operasi 

bedah saraf. 

Vasospasme 

Pada PSA terjadi vasospasme atau penyempitan pembuluh darah, umumnya pada hari 

ke-4, mencapai puncaknya mulai hari ke-7  

hingga ke-10, dan menghilang spontan 

setelah hari ke-21. Hal ini dimulai dengan 

adanya kontak antara oksihemoglobin dari 

pembuluh darah yang pecah, dengan dinding pembuluh darah bagian luar. Timbulnya vasospasme memicu iskemik 

yang disebut sebagai delay cerebral ischemia, yaitu iskemik luas di daerah vasospasme yang dapat menjadi infark dan menimbulkan kematian sel otak. Vasospasme 

terjadi pada berbagai level di sirkulasi arteri dan arteriol. Penyempitan pembuluh 

darah besar dapat dideteksi memakai  

angiografi pada 50% kasus PSA dengan gejala iskemia. 

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Adapun gejala dan tanda yang ditemukan 

pada pasien dengan PSA yaitu  sebagai 

berikut: 

1. Sakit Kepala 

Kata kunci pada anamnesis yaitu  nyeri 

kepala he bat yang tidak biasa. Rasa nyeri 

muncul tiba-tiba dalam waktu sesaat 

atau beberapa menit, menimbulkan 

sensasi kilatan, petir dari langit, atau seperti kepala dibenturkan, sehingga sering 

disebut sebagai thunderclap headache. 

Kecepatan onset dapat membantu membedakan aneurisma dengan perdarahan perimesensefalik. Sakit kepala pada 

perdarahan perimesensefalik muncul 

dalam hitungan menit (35%), sementara 

aneurisma dalam hitungan detik (20%). 

Sakit kepala 9x lebih sering ditemukan 

pada aneurisma dibandingkan dengan 

perdarahan perimesensefalik.  

2. Penurunan Kesadaran 

Penurunan kesadaran terjadi pada lebih 

dari setengah pasien dengan PSA aneurisma. Beberapa pasien mengeluhkan 

sakit kepala sebelum mereka kehilangan kesadaran. Sebaliknya pada perdarahan perimesensefalik nonaneurisma, 

kesadaran umumnya normal. Meskipun 

demikian, penurunan kesadaran tidak 

menyingkirkan Diagnosa  perdarahan 

perimesensefalik, karena hidrosefalus 

akut dapat memicu koma pada jam pertama setelah perdarahan. 

Onset penurunan kesadaran sangat penting diketahui. Penurunan kesadaran yang 

munculnya pada awal pemeriksaan perlu 

dipikirkan dimulai sejak awal onset atau 

tidak. Jika muncul sejak awal onset dipikirkan disebabkan oleh arteri, sedangkan jika belakangan berkaitan dengan 

gagalnya perfusi global akibat peningkatan 

TIK. Perdarahan yang muncul belakangan, 

dipikirkan memiliki pemicu  yang dapat 

ditangani, seperti hidrosefalus akut atau 

pembentukan edema di sekitar PIS. 

3. Kejang 

Kejang epileptik saat onset dapat terjadi 

pada 10% pasien PSA aneurisma. Secara 

umum, kejang pada pasien berusia <25 

tahun dapat dipikirkan PSA aneurisma 

apabila ada sakit kepala pascaiktal 

yang tidak biasa, memberat atau memanjang. Kejang pada PSA juga dapat dihubungkan dengan etiologi non-aneurisma, seperti diseksi arteri vertebralis atau 

malformasi vaskular. Namun, kejang belum pernah didokumentasikan pada PSA 

perimesensefalik.  

4. Riwayat Tambahan 

Sakit kepala hebat episode sebelumnya 

meningkatkan kemungkinan PSA aneurisma, selain sakit kepala yang mendadak hebat. Sakit kepala ini dipikirkan 

akibat adanya rembesan perlahan dari 

PSA yang merupakan tanda bahaya yang 

disebut sebagai warning leaks. Sepertiga 

pasien dapat mengingat episode sakit 

kepala ini yang umumnya tidak biasa, 

berat, dan bertahan beberapa jam. 

Riwayat tambahan lainnya yang dapat 

membantu Diagnosa  yaitu  riwayat 

cedera kepala dipikirkan fistula dural 

arteriovena; gangguan katup jantung 

dipikirkan aneurisma mikotik; serta penyakit sickle cell, miksoma jantung, apopleksi hipofisis, dan gangguan koagulasi. 

Selain itu, riwayat keluarga dengan PSA 

dapat membantu memberi petunjuk 

pacta pasien dengan sakit kepala mendadak. Hal ini dikarenakan ada peningkatan risiko PSA pacta riwayat kelu

arga inti dengan PSA 

5. Kaku Kuduk 

Kaku kuduk yaitu  tanda umum pacta 

PSA namun  membutuhkan waktu beberapa jam untuk terjadi, oleh karena itu 

tidak dapat dipakai  untuk mengeksklusi Diagnosa  jika pasien ditemui 

segera setelah onset sakit kepala. Kaku 

kuduk juga akan menghilang pacta koma 

dalam. Diagnosa  banding lain yang harus dipikirkan pada kaku kuduk yaitu  

meningitis. 

6. Perdarahan Subhialoid 

eerdarahan subhialoid (Gambar 3) sebagai salah satu tanda PSA merupakan 

perdarahan preretina. Perdarahan ini 

terjadi jika terdapat..peningkatan tekanan cairan serebrospinal (CSS) mendadak 

yang masuk ke ruang subaraknoid sekitar nervus optikus dan menyekat aliran 

vena dari retina sehingga memicu ruptur 

vena ret1na 

7. Demam 

Pada banyak pasien, terjadi peningkatan 

suhu pada 2-3 hari pertama PSA. Jika 

suhu tidak melebihi 38,5°C dan denyut 

nadi tidak meningkat, biasanya tidak 

disebabkan oleh infeksi. 

8. Peningkatan Tekanan Darah 

Pada pasien dengan PSA ada peningkatan tekanan darah disertai sakit 

kepala mendadak, sedangkan jika terjadi 

penurunan tekanan darah maka harus 

dipikirkan sebagai apopleksi hipofisis 

a tau karena kerusakan sekunder miokardiak akibat ruptur aneurisma intrakranial. Hal ini disebabkan ketika terjadi ruptur aneurisma, terjadi abnormalitas EKG 

dan terkadang muncul henti jantung. 

Kelainan jantung yang dideteksi pada 

EKG saat PSA yaitu  dapat berupa depresi atau elevasi gelombang ST, perubahan 

gelombang T, munculnya gelombang 

Q patologis, dan branch bundle block. 

Kelainan jantung ini dapat menambah 

risiko terjadinya delayed cerebral ischemia 

dan keluaran yang buruk 

9. Defisit Neurologis Fokal 

PSA dapat menimbulkan berbagai defisit neurologis fokal dengan mekanisme 

yang beragam, yaitu:  

• Paresis nervus kranialis akibat 

penekanan aneurisma 

• Defisit neurologis fokal akibat hasil 

dari kompresi lokal jaringan otak 

• Defisit neurologis fokal akibat iskemik jaringan oleh emboli 

• Epilepsi fokal hasil dari reorganisasi sel 

glia akibat kompresi lokal dan iskemik 

jaringan oleh penekanan aneurisma 

• Hemiparesis akibat PSA yang besar di 

fisura Sylvii 

• Ataksia serebelar akibat diseksi arteri 

vertebralis 

• Paraparesis akibat penekanan aneurisma arteri komunikans anterior atau 

malformasi arteriovena (arteriovenous 

malformation/ AVM) spinal 

• Gangguan melirik ke atas yang mungkin disebabkan hidrosefalus atau 

penekanan pada bagian proksimal 

dari akuaduktus Sylvii. 

Selain mengetahui gejala dan tanda klinis, 

penting untuk mengetahui derajat keparahan perdarahan subaraknoid. Penilaian ini 

dilakukan dengan memakai  beberapa 

sistem (Tabel 3), antara lain skor Hunt and 

Hess dan skor World Federation of Neurological Surgeons (WFNS).  

Adapun terjadinya vasospasme tidak selalu 

menimbulkan gejala. Banyak pasien dengan 

penyempitan arteri besar yang tidak mengeluhkan gejala klinis. Di sisi lain, seringkali ditemukan pasien dengan gejala iskemia dan infark 

serebri tanpa adanya vasospasme yang terdeteksi. ada beberapa faktoryang berkontribusi dalam menimbulkan iskemia dan infark, 

antara lain gangguan mikrosirkulasi distal, 

anatomi kolateral yang buruk, variasi genetik 

ataupun variasi fisiologis pada toleransi seluler 

terhadap keadaan hipoksia. Delayed cerebral 

ischemia pada vasospasme merupakan pemicu  utama kematian dan kecacatan pada kasus 

PSA akibat aneurisma, 

Diagnosa  

Diagnosa  ditegakkan dengan bantuan beberapa modalitas beserta kekurangan dan 

kelebihannya masing-masing berikut ini: 

1. CT Scan 

CT scan yaitu  pemeriksa penunjang diagnostik lini pertama untuk PSA, karena 

kemudahannya untuk menilai ekstravasasi darah serta memiliki sensitivitas dan 

535 

spesifisitas yang sangat baik (masing-masing 92,9% dan 100%). CT scan juga dapat 

membantu melihat pola perdarahan dan 

memperkirakan lokasi aneurisma, yaitu: 

a. Perdarahan intraserebral 

Perdarahan di sistema subaraknoid 

kurang spesifik untuk menentukan lokasi aneurisma, karena setelah 5 hari, 

50% pasien tidak lagi menunjukkan 

ekstravasasi darah. Dengan demikian 

sangat penting pula untuk melihat dilatasi minimal kornu temporal ventrikel 

lateral serta fisura dan sulkus. Adapun 

pola perdarahan menurut pembuluh 

darah dapat dilihat pada Tabel4 dan 5. 

b. Perdarahan intraventrikular 

Perdarahan intraventrikular dapat 

merupakan sekunder dari perdarahan 

intraserebral. Perdarahan ini umumnya berasal dari arteri komunikans 

anterior dengan darah masuk ke ventrikel ke-3 dan ke-4 melalui lamina 

terminalis. Perdarahan pada ventrikel 

ke-3, namun  tidak pada ventrikella  


teral, mengindikasikan ruptur arteri 

basilaris, terutama jika bagian posterior sistema basilar terisi dengan 

baik Pengisian darah pada ventrikel 

keempat dan sedikit pada ventrikel 

ketiga dapat dicurigai berasal dari arteri serebelaris posterior inferior (posterior inferior cerebellar artery /PICA). 

c. Perdarahan subdural 

Hanya terjadi pada 2-3% kasus, terutama pada kasus rebleeding. Pascaruptur aneurisma, dapat terjadi perlekatan kubah aneurisma dengan 

membran araknoid serta traksi venavena yang berada di ruang subdural 

dan memicu perdarahan. 

d. Perdarahan perimesensefalik 

Sebanyak 15% pasien PSA tidak me-

536 

miliki aneurisma pada pemeriksaan 

angiografi dan 2/3-nya menunjukkan 

perdarahan basal, terutama hanya di 

sistema perimesensefalik Akan namun , 

1 dari 20 perdarahan perimesensefalik memiliki aneurisma yang berlokasi di posterim: Prediksi ruptur aneurisma pada pasien PSA dengan pola 

perdarahan perimesensefalik yang 

tidak dilakukan operasi hanya sekitar 

5%. Dengan demikian, angiografi dianggap tidak perlu diulang jika pada 

angiografi pertama tidak ditemukan 

aneurisma. Berbeda dengan pola 

perdarahan lain, pada perdarahan 

perimesensefalik tetap perlu dilakukan digital subtraction angiography 

(DSA) walau CT angiografi menunjukkan tidak ada aneurisma.  


e. Pola perdarahan lain dan sumbernya 

Perdarahan basal dapat disebabkan 

oleh diseksi arteri vertebralis, fistula dura tentorium, AVM pada daerah Ieber, penyalahgunaan kokain 

ataupun aneurisma mikotik dengan 

aspergillosis. PSA traumatik dapat 

mengisi fisura Sylvii, sehingga sulit 

dibedakan dengan PSA akibat ruptur 

aneurisma. Selain itu, trauma langsung pada Ieber atau trauma kepala 

dengan pergerakan Ieber yang hebat dapat memicu perdarahan 

basal, yang disebabkan robekan atau 

ruptur arteri sirkulasi posterior. 

2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) 

MRI baik untuk mengindikasikan (ruling 

in) namun  tidak mengeksklusi (ruling out) 

PSA. Pada fase akut, terutama dalam 24 

jam pertama, darah dapat diidentifikasi dengan adanya hiperintensitas pada sekuens 

spin echo T2-weighted images (WI) dan 

bahkan lebih baik pada sekuens T2 gradient echo dengan gambaran hipointensitas. 

Sekuens lain yang dapat dipakai  yaitu  

Tl WI yang memberikan gambaran hiperintensitas yang dapat menetap hingga 2 

minggu. Hal ini kadang tidak membantu 

menunjukkan lokasi aneurisma, walaupun dapat menunjang dugaan PSA sudah 

terjadi. Oleh karena kerumitan penilaian 

gambaran hiperintens ini  sebagai 

PSA atau bukan, maka pada pasien PSA onset 2 minggu, pemeriksaan pungsi lumbal 

bisa jadi lebih sensitif daripada MRI untuk 

mendeteksi adanya PSA. 

namun , pada satu penelitian dengan 58 

subyek, MRI T2WI, masih dapat mendeteksi deposisi hemosiderin yang ter- 


simpan di ruang subaraknoid di dekat 

aneurisma pada 3 dari 4 subyek, hingga 

3 bulan onset PSA. Oleh karena itu pada 

pasien dengan sakit kepala beberapa 

minggu, MRI masih dapat dipakai untuk 

menDiagnosa  adanya hemosiderin di ruang subaraknoid. 

Kekurangan MRI yaitu  tidak semua 

sekuens sensitif dalam mengidentifikasi 

darah, seperti fluid-attenuated inversion 

recovery (FLAIR), fast spin echo T2 dan 

proton density (PD) weighted images. Pemberian kontras Gadolinium juga dapat 

memberikan impresi yang salah, terutama 

pada sekuens FLAIR Kekurangan lainnya 

yakni, pemeriksaan yang lama dan tidak 

semua RS memiliki MRI. 

3. Pungsi Lumbal 

Pungsi Lumbal dapat dilakukan untuk menyingkirkan Diagnosa  pada pasien dengan 

klinis PSA namun  tidak ditemukan perdarahan pada CT scan. Untuk membedakan 

darah pada CSS akibat PSA dengan darah 

akibat trauma jarum pungsi, maka CSS 

dikumpulkan dalam beberapa tabung, biasanya mencapai 3 tabung. Apabila warna 

darah di CSS menetap pada semua tabung, 

maka pasien dapat diDiagnosa  PSA. 

4. CT Angiografi 

Angiografi diperlukan tidak hanya untuk 

mengidentifikasi ruptur aneurisma ataupun aneurisma yang belum ruptur, namun  

juga memberikan konfigurasi anatomi untuk membantu menentukan pilihan tata 

laksana optimal (Gambar 4). 

Sensitivitas CT angiografi sudah mencapai 90% di tahun 1998 dan meningkat menjadi 95% pada era teknik  

CT scan muftis/ice. Sensitivitas bahkan 

mencapai 97% pada arteri serebri media. Namun, CT angiografi tidak dapat 

mendeteksi aneurisma kecil (diameter 

2-3mm). Untuk mendeteksi aneurisma 

asimtomatik dengan CT angiografi, diperlukan kontras iodin, sehingga dapat 

berisiko alergi. 

Kelebihan utama CT angiografi dibandingkan magnetic resonance angiography 

(MRA) ataupun DSA yaitu  lebih cepat. 

CT angiografi dapat dilakukan segera 

setelah CT scan, sehingga Diagnosa  PSA 

aneurisma dapat ditegakkan pada saat 

pasien masih di mesin CT scan. 

5. MRAngiography (MRA) 

Sensivitas MRA biasa sekitar 75% dan 

meningkat menjadi 80-95% jika dilakukan dengan teknik tiga dimensi. Pacta aneurisma kecil (diameter <3mm), angka 

deteksi turun menjadi 38%. Keuntungan 

MRA terutama pada pasien follow up pascacoiling dan pasien dengan aneurisma 

asimtomatis yang dapat dideteksi tanpa 

kontras. 

6. Digital Subtraction Angiography (DSA) 

ada justifikasi bahwa untuk menDiagnosa  dengan tepat, maka DSA wajib diperiksa pada semua kasus PSA. 

Meskipun demikian, pemeriksaan ini 

membutuhkan pertimbangan manfaat 

dan risiko, karena DSA bukan tanpa bahaya. Risiko komplikasi transien atau 

permanen mencapai 1,8%. Selain itu 

ada risiko ruptur aneurisma selama 

prosedur, yakni sebesar 1-2% dan 6 jam 

pascaprosedur meningkat hingga 5%.  

Pemeriksaan DSA semakin awal semakin 

baik, apalagi jika pasien direncanakan 

tindakan segera coiling atau clipping 

dalam 3 hari pertama onset PSA. DSA 

dengan teknik 3D rotasional menjadi 

pilihan apabila dengan CT angiografi 

belum memberikan data yang jelas. 

DSA wajib dilakukan apabila ada 

kecurigaan pemicu  lain PSA, seperti 

diseksi pembuluh darah, namun gagal 

dikonfirmasi pada CT angiografi dan 

MRA. Begitu pula pada pola perdarahan 

tertentu yang negatif pada CT angiografi 

awal, maka wajib dilakukan DSA. Bahkan jika hasil DSA negatif, diindikasikan 

pemeriksaan DSA ulang. 

Teknik pencitraan DSA dapat berbeda 

menurut pembuluh darah tertentu. Pada 

aneurisma arteri komunikans anterior, 

dibutuhkan pencitraan kedua teritori 

arteri karotis untuk mengidentifikasi 

aneurisma dan bagian distal arteri serebri anterior yang terisi. Pada aneurisma 

arteri karotis di bagian proksimal arteri 

komunikans posterior, sangat penting 

diketahui pengisian PCA melalui arteri 

basilaris. Pada aneurisma MCA, tidak terlalu dibutuhkan informasi terkait teritori 

lain. Pada pola perdarahan sesuai dengan 

aneurisma sirkulasi posterior, angiogram 

tidak boleh disebut negatif hingga kedua 

arteri vertebralis tervisualisasi, karena 

aneurisma bisa muncul dari PICA ataupun cabang proksimal arteri vertebralis. 

Proses Diagnosa  delayed cerebral ischemia pada vasospasme masih menjadi 

masalah tersendiri. Belum ada studi 

komparatif mengenai alur Diagnosa  

yang membandingkan keluaran. Peman-

 


tauan vasospasme dapat dilakukan dengan memakai  pemeriksaan penunjang, antara lain Doppler transkranial 

(transcranial DopplerjTCD), CT atau MR 

perfusi. TCD merupakan pemeriksaan 

noninvasif untuk menDiagnosa  vasospasme, khususnya arteri serebri media. Pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan 1-2 hari sekali. CT atau MR perfusi 

dapat membantu mengidentifikasi daerah otak yang mengalami iskemia. CT 

perfusi menjanjikan hasil yang lebih 

maksimal, namun pemeriksaan berulang dan paparan radiasi membatasi pemakaian CT perfusi. 

PENGOBATAN 

Pada prinsipnya ada PENGOBATAN 

umum dan PENGOBATAN komplikasi. 

1. PENGOBATAN Umum 

Secara umum, PENGOBATAN PSA sama 

dengan PENGOBATAN stroke perdarahan, 

sebagai berikut: 

a. Hipertensi 

PENGOBATAN hipertensi biasanya dimasukkan dalam PENGOBATAN tradisional yang disebut triple-H, yaitu 

hipertensi, hipervolemik, dan hemodilusi. Hipertensi dibuat untuk menjaga tekanan darah tetap tinggi agar 

otak mendapat perfusi yang cukup, 

namun  tidak boleh terlalu tinggi untuk 

mencegah rebleeding. 

Rekomendasi tekanan darah yaitu  

diturunkan jika mean arterial pressure 

(MAP) mencapai 130mmHg dengan 

antihipertensi golongan penyekat 

beta secara intravena (IV). Agen ini 

memiliki waktu paruh pendek, dapat  

dititrasi dengan mudah, dan tidak 

meningkatkan tekanan intrakranial 

(TIK). Sebaiknya hindari golongan nitrat (nitroprusid atau nitrogliserin), 

karena dapat memicu peningkatan TIK. 

b. Peningkatan Tekanan Intrakranial 

• Perawatan di ICU dengan tirah 

baring total dan intubasi. Pasien 

dapat dilakukan hiperventilasi 

dengan pC02 sekitar 30-35mmHg 

untuk mengurangi risiko vasospasme dan iskemik. 

• Elevasi kepala 30° untuk memastikan drainase vena berjalan baik. 

• Pemasangan akses arteri, kateter 

vena sentral, dan kateter urin untu.k menurunkan TIK. 

• Pemberian pencahar agar pasien 

tidak mengedan. 

• Pemberian sedasi ringan dan ruangan yang hening, gelap, serta cukup 

privasi jika ada agitasi. 

• Pemberian PENGOBATAN untuk 

menurunkan TIK seperti : 

- Agen osmotik, yaitu manitol, 

dapat menurunkan TIK secara 

dramatis. Dapat dipakai mani-. 

tol 20% dengan dosis awal 0,5-

1 gr fkgBB dilanjutkan dosis 

rumatan 4-6 x 0,25-0,5 gr /kgBB 

- Diuretik, seperti furosemid 

40mg dapat dipakai  dosis 

tunggal. 

- Steroid, meskipun kontroversial namun  dianjurkan oleh beberapa penulis. 

540 

2. PENGOBATAN Komplikasi 

a. Rebleeding 

Rebleeding dapat terjadi sebanyak 

4,1% dalam 24 jam pertama pascaruptur dan risiko kumulatif dalam 14 

hari pertama sebesar 19%. Secara keseluruhan angka mortalitas rebleeding sangat tinggi (78%), sehingga 

perlu ditatalaksana pencegahan. Hal 

ini dapat dilakukan dengan dua cara, 

yakni: tindakan bedah berupa clipping dan tindakan intervensi neurovaskular dengan coiling. Pemilihan 

antara coiling atau clipping berdasar  lokasi lesi, leher aneurisma, akses arteri, ketersediaan, pengalaman 

staf medis, serta isu biaya, khususnya 

untuk negara berkembang. 

Tanpa melihat keterbatasan yang ada, 

secara umum coiling lebih diutamakan untuk aneurisma bagian posterior, karena morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan 

clipping. International Subarachnoid 

Aneurysm Trial (ISAT) menunjukkan 

bahwa coiling lebih aman secara signifikan dibandingkan clipping pada 

aneurisma yang ruptur. Studi ini menjadi dasar coiling sebagai PENGOBATAN 

lini pertama ruptur aneurisma. 

Pada prinsipnya, waktu tindakan 

intervensi yang disarankan yakni 

lebih awal lebih baik, namun dapat 

disesuaikan dengan kondisi pasien. 

Pada pasien dengan kondisi baik, dianjurkan 72 jam pertama pascaonset untuk mencegah rebleeding. Pada pasien 

yang kondisinya belum baik, bahkan 

setelah PENGOBATAN stabilisasi (terma 

suk pemasangan drainase ventrikel 

eksternal), tidak dianjurkan tindakan 

clipping pada periode akut dan lebih 

dianjurkan coiling. Penundaan intervensi juga direkomendasikan pada 

aneurisma raksasa atau rumit. Pada 

usia lanjut di atas 80 tahun, intervensi 

dapat dilakukan jika prediksi usia harapan hid up lebih lama. 

b. Vasospasme 

PENGOBATAN vasospasme cukup kompleks. Berbagai penelitian terakhir 

menunjukkan nimodipin oral dan 

euvolemia efektif dalam mencegah 

vasospasme. Tindakan prevensi lain 

seperti triple-H (hemodilusi, hipervolemia, dan hipertensi) dan tindakan endovaskular (vasodilator dan 

angioplasti halon) belum menunjukkan keuntungan dalam mencegah delayed cerebral ischemia. 

Pada saat terjadi delayed cerebral 

ischemia, PENGOBATAN pertama yang 

dilakukan yaitu  induksi hemodinamik untuk memperbaiki perfusi 

serebral. Secara konvensional, peningkatan hemodinamik dilakukan 

dengan triple-H. Namun saat ini terapi difokuskan pada euvolemia dan 

induksi hipertensi. Peningkatan mean 

arterial blood pressure (MABP) diduga dapat meningkatkan aliran darah 

otak (cerebral blood flowfCBF) pada 

saat terjadi gangguan autoregulasi. 

Autoregulasi mengatur MABP 50-

150mmH, jika kurang atau melebihi 

itu maka akan memicu gangguan 

autoregulasi. Oleh karena itu, jika 

rentang tekanan darah masih berada 

541 


didalam rentang autoregulasi, otak 

masih mampu memngatur aliran darahnya, namun  ketika melebihi rentang ini , maka dibutuhkan tatalaksana tambahan. Selain itu, diduga 

ada efek tekanan transluminal 

langsung yang memicu dilatasi arteri. 

Belum ada penelitian randomized 

controlled trial (RCT) yang mengAnalisa  keluaran dari teknik terse but. 

Secara umum, hal terpenting untuk 

mencegah vasospasme yaitu  menjaga normovolemia, normotermia, 

dan oksigenasi normal. Status hidrasi 

harus dimonitor dengan ketat untuk 

menghindari kontraksi volume yang 

dapat memicu vasospasm e. 

Berikut PENGOBATAN khusus untuk 

mencegah vasospasme: 

1) Nimodipin 

Nimodipin oral merupakan penyekat 

kanal kalsium yang paling banyak 

diteliti dan memiliki rekomendasi paling baik berdasar  American Heart 

Association/ American Stroke Association (AHA/ASA), yakni kelas 1 dengan 

level of evidence A untuk mencegah vasospasme pascaPSA Penyekat kanal kalsium terbukti menurunkan insidens defisit pascastroke iskemik dan nimodipin 

menunjukkan peningkatan keluaran 

keseluruhan dalam 3 bulan pascaPSA 

aneurisma Mekanisme efek protektifnimodipin belum terbukti, namun diduga 

melalui penghambatan influks kalsium 

yang akan merusak neuron. 

Indikasi pemberian nimodipin yaitu  

semua pasien PSA, walaupun belum 

tentu muncul vasospasme (AHA/ ASA  

kelas 1, level A) yang diberikan secara 

oral. Hal ini berdasar  penelitian 

Mees SMD dkk bahwa pemberian oral 

nimodipin membantu mengurangi keluaran yang buruk pada pasien dengan 

PSA, sedangkan pemberian IV tidak 

menunjukkan hasil yang signifikan. 

Dosis IV yaitu  1mgfjam drip untuk 2 

jam pertama, kemudian jika dapat ditoleransi dengan baik, dapat dilanjutkan 

menjadi 2mg per jam drip. Adapun dosis oral yaitu  6 X 60mg, dimulai dalam 

96 jam dan dilanjutkan hingga 21 hari. 

Pada 2010, Food and Drug Administration (FDA) mengeluarkan peringatan 

bahayanya pemberian nimodipin oral 

yang dilarutkan dalam air dan kemudian dimasukkan secara intravena, 

karena dapat memicu  henti 

jantung, penurunan dramatis tekanan darah dan kejadian kardiovaskuler 

lainnya. Saat ini, FDA sudah menyetujui obat oral nimodipin berbentuk cairan. Hal ini diharapkan menjadi solusi 

terhadap kendala pada pasien yang 

tidak dapat menelan, yang selama ini 

memakai  nimodipin tablet yang 

digerus atau intravena. 

2) Terapi trombolisis 

Beberapa bukti ilmiah mengindikasikan bahwa penghancuran bekuan 

subaraknoid melalui injeksi intrasisterna dengan recombinant tissue plasminogen activator (rTPA) secara dramatis mengurangi risiko vasospasm e. 

Hal ini dilakukan setelah tindakan 

clipping aneurisma. 

3) Aspirasi dan irigasi 

Aspirasi dan irigasi bekuan subarak-

542 

noid pada saat tindakan clipping 

aneurisma dapat memberikan hasil 

yang kurang optimal dan dihubungkan dengan peningkatan risiko 

trauma iatrogenik pada permukaan 

pial dan pembuluh darah kecil. Penyemprotan NaCl intraoperatif untuk 

membersihkan darah dari rongga 

subaraknoid diduga bermanfaat, namun efektivitasnya belum terbukti. 

4) Drainase CSS 

Drainase CSS melalui drain ventrikel 

dilakukan setelah PENGOBATAN aneurisma untuk menurunkan insidens 

vasospasme. Tindakan ini memiliki 

risiko rebleeding aneurisma, sehingga 

disarankan dilakukan jika tekanan intrakranial melebihi 20mmHg. 

5) Statin 

Pemberian statin diajukan untuk 

mencegah vasospasme dan delayed 

cerebral ischemic dengan meningkatkan reaktivitas vasomotor serebral 

melalui mekanisme dependen dan 

independen kolesterol. pemakaian nya masih kontroversial, namun beberapa penelitian kecil menunjukkan 

hasil yang menjanjikan. 

6) Terapi "triple H" 

Merupakan PENGOBATAN vasospasme 

tradisional yang terdiri dari induksi 

hipertensi, hipervolemia, dan hemodilusi. Induksi hipertensi agresif dapat 

memakai  agen inotropik dan vasopressor, jika dibutuhkan. Hipervolemia dapat dicapai dengan transfusi 

eritrosit, infus kristaloid isotonik, serta 

infus koloid dan albumin bersamaan 

dengan injeksi vasopressor. Hemodi 

lusi dilakukan dengan transfusi untuk 

mempertahankan hematrokit tetap 

30-35% dengan tujuan mengoptimalkan viskositas darah dan penghantaran 

oksigen. Terapi ini memerlukan pemasangan kateter arteri pulmoner untuk 

mempertahankan tekanan vena sentral 

pada . <J-12mmHg dan pulmonary artery wedge pressure (PAWP) pada 14-

20mmHg. 

PENGOBATAN triple H biasanya dilakukan pada pasien dengan aneurisma yang sudah dilakukan operasi 

clipping atau coiling yang bertujuan 

r.: 1gurangi risiko rebleeding. Meskipun telah dipakai  lama, efektifitas 

terapi ini masih menjadi bahan perdebatan. Kajian beberapa studi menunjukkan bahwa terapi "triple H" tidak 

memperlihatkan hasil positif ataupun 

membantu meningkatkan aliran darah 

serebral. 

7) Angioplasti balon transluminal 

Angioplasti balon transluminal direkomendasikan untuk PENGOBATAN 

vasospasme setelah kegagalan terapi 

konvensional. Sebuah studi menunjukkan peningkatan keluaran neurologis 

hingga 70% pada pasien vasospasme 

simtomatik pasca-angioplasti transluminal. Namun tindakan ini dapat menimbulkan komplikasi berupa ruptur 

pembuluh darah, diseksi atau oklusi, 

dan perdarahan intraserebral. 

Beberapa laporan serial kasus 

mengindikasikan bahwa tindakan ini 

efektif untuk PENGOBATAN vasospasme 

pembuluh darah besar proksimal dan 

tidak efektif untuk vasospasme pem-

543 


buluh darah distal. Hal ini disebabkan 

karena aliran darah distal dapat meningkat dengan adanya peningkatan 

diameter pembuluh darah proksimal. 

8) Infus vasodilator 

Infus vasodilator merupakan salah 

satu pilihan PENGOBATAN untuk pembuluh darah distal. Dibandingkan 

angioplasti, efek vasodilator ini lebih 

singkat. Vasodilator yang sering dipakai yaitu  penyekat kanal kalsium. 

Nitrit oksida saat ini mulai dipakai . 

Injeksi intraarterial papaverin juga 

sering diberikan dengan pengawasan, 

karena menurut sejumlah literatur papaverin merupakan zat neurotoksik. 

Magnesium merupakan agen neuroprotektif yang bekerja sebagai antagonis reseptor N-metil-0-aspartat 

(NMDA) dan penyekat kanal kalsium. 

Menurut penelitian metaAnalisa , magnesium dapat mengurangi risiko delayed cerebral ischemic dan keluaran 

buruk pada PSA aneurisma. Namun 

pemakaian  magnesium membutuhkan monitor ketat kadarnya. Sebuah 

penelitian kecil menunjukkan bahwa 

konsentrasi magnesium serum dipertahankan 2-2,5mmolfL untuk mengurangi kejadian iskemik serebral 

pascaPSA. 

Beberapa agen baru sedang dalam 

penelitian untuk menangani vasospasme. Agen ini  antara lain 

metilprednisolon, tirilazad, dan colforsin intraarterial. 

c. Hidrosefalus 

Hidrosefalus akut dapat ditatalaksana 

dengan drainase ventrikel eksternal, ber 

gantung pada beratnya klinis defisit neurologis atau temuan CT scan. Ukuran hidrosefalus dinilai secara periodik dengan 

menyekat drainase saat memantau TIK 

Penurunan TIK secara cepat sebaiknya dihindari karena dihubungkan dengan risiko 

tinggi rebleeding. Hidrosefalus simtomatis 

dapat ditatalaksana dengan drainase CSS 

lumbal temporer, pungsi lumbal serial, dan 

shunting ventrikel permanen. 

Ventrikulostomi dihubungkan dengan peningkatan risiko rebleeding dan infeksi. 

Oleh karena itu, pasien dengan dilatasi 

ventrikel tanpa penurunan kesadaran, dianjurkan PENGOBATAN konservatif dengan 

monitor ketat status mental dan dilakukan 

intervensi jika ada penurunan status klinis. Ventrikulostomi yang dilakukan 

dengan tepat merupakan prosedur yang 

berisiko relatif rendah dan dapat memperbaiki klinis secara cepat dan dramatis pada 

dua pertiga pasien. Hal ini bermanfaat untuk penjadwalan tindakan operasi atau intervensi endovaskular lebih awal. · 

d. Hiponatremia 

Hiponatremia pascaPSA dapat terjadi 

pada 10-34% kasus, akibat peningkatan 

kadar atrial natriuretic factor (ANF) dan 

syndrome of inappropriate secretion of 

antidiuretic hormone (SIADH). Tata laksana yang biasanya cukup bermanfaat 

yaitu  pemberian NACl yang sedikit 

hipertonik (1,5%) dan menghindari restriksi cairan. 

e. Kejang 

Pemberian antikonvulsan jangka panjang tidak direkomendasikan pada 

pasien tanpa kejang sebelumnya atau 

544 

tanpa faktor resiko seperti hematoma, 

infark, atau aneurisma MCA. Fenitoin 

merupakan agen pilihan karena dapat 

mencapai konsentrasi terapeutik cepat 

dengan pemberian intravena dan tidak 

mengubah kesadaran. Berbeda dengan 

fenobarbital yang memiliki efek sedasi, 

sehingga jarang dipakai .  






PENGANTAR NYERI 

Henry Riyanto Sofyan, Ramdinal Aviesena Zairinal, 

Tiara Aninditha 

 

Setiap orang di dunia pasti pernah merasakan 

nyeri, setidaknya sekali dalam hidupnya. Beberapa bagian tubuh mulai dari kepala hingga kaki dapat menjadi nyeri dan membuat 

pasien datang ke pelayanan kesehatan. Pada 

prinsipnya, nyeri bukanlah penyakit, namun 

merupakan suatu keluhan atau tanda klinis 

yang dipersepsikan oleh korteks sensorik Jadi 

nyeri sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan tubuh terhadap suatu kerusakan atau . 

yang berpotensi memicu kerusakan jaringan. Oleh karena itu, setiap keadaan nyeri 

harus ditangani dengan cepat dan tepat, 

karena bisa bersifat serius dan fatal. American 

Pain Society juga menempatkan pemeriksaan 

nyeri dalam urutan kelima setelah pemeriksaan tanda vital denyut nadi, tekanan darah, 

frekuensi napas, dan suhu tubuh. 

Nyeri juga bersifat individual dan dapat 

mengganggu kualitas hidup seseorang, sementara penanganan nyeri sangat bervariasi 

dan perlu mempertimbangkan banyak aspek Oleh karena itu, diperlukan pemahaman 

dasar mengenai nyeri, meliputi definisi, neuroanatomi, patofisiologi, evaluasi nyeri, dan 

prinsip manajemen nyeri. 

DEFINISI NYERI 

berdasar  International Association for the 

StudyofPain (IASP), nyeri yaitu  pengalaman 

sensoris dan emosi yang tidak menyenang-

547 

kan akibat kerusakan jaringan (tissue damage) yang aktual maupun potensial, atau yang 

digambarkan dalam bentuk kerusakan ini  berdasar  definisi ini , ada 

beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk 

mengatakan pasien mengalami nyeri, yaitu 

pengalaman yang tidak menyenangkan dan 

kerusakan jaringan. Bila individu mengalami 

suatu kejadian . yang tidak menyenangkan 

tanpa ada bukti aktual atau potensi kerusakan jaringan, maka hal itu tidak dikatakan 

nyeri. Begitupun sebaliknya bila ada kerusakan jaringan, namun  individu ini  tidak 

menganggap sebagai pengalaman yang tidak 

menyenangkan, maka inipun tidak tergolong 

nyeri. Oleh sebab itu, nyeri merupakan suatu 

hal yang bersifat subjektif dan berbeda-beda 

interpretasinya antar individu. 

Intensitas dan kualitas nyeri secara umum 

juga bergantung pada emosi atau psikologis, 

sehingga gambaran tentang berat ringannya 

kerusakan biologis bervariasi dari satu individu ke individu lain. Oleh karena itu, dibuatlah 

klasifikasi mengenai Analisa  nyeri, baik berdasar  waktu, intensitas, dan patologisnya. 

berdasar  lama dideritanya, nyeri dibagi 

atas nyeri akut dan nyeri kronik Nyeri akut 

berlangsung selama 4-6 minggu, sedangkan 

yang lebih panjang durasinya termasuk ke 

dalam nyeri kronik. Ada pula beberapa pembagian nyeri berdasar  durasi nyeri (tran 

sien, intermiten, atau persisten); intensitas 

(ringan, sedang, dan berat), kualitas (tajam, 

tumpul, dan terbakar), dan penjalarannya 

( superfisial, dalam, lokal, a tau difus). Di 

samping itu nyeri pada umumnya memiliki komponen kognitif dan emosional yang 

digambarkan sebagai penderitaan. Nyeri 

juga berhubungan dengan refleks motorik menghindar dan gangguan otonom yang 

disebut sebagai pengalaman nyeri. 

Secara neuropatologis nyeri dikelompokkan 

menjadi 3, yaitu: (1) nyeri nosiseptif, yang 

disebut juga nyeri inflamasi atau nyeri adaptif, 

(2) nyeri neuropatik, dan (3) nyeri campuran. 

Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yang diakibatkan oleh kerusakan jaringan dan dianggap 

sebagai proses adaptasi untuk perbaikan jaringan itu sendiri. Jika jaringan menjadi sembuh maka nyeri tidak akan muncul. Kelompok 

lain yaitu  nyeri maladaptif seperti nyeri neuropatik. Nyeri ini sebenarnya memiliki gejala 

yang khas, namun sering terabaikan atau tidak terdeteksi, sehingga berpotensi menjadi 

kronik dan mengganggu kualitas hidup penderitanya. ada berbagai istilah terkait 

nyeri (Tabell ), sehingga dibutuhkan anamnesis dan Analisa  yang tepat oleh karena nyeri 

neuropatik memiliki penanganan yang berbeda dengan nyeri nosiseptif. 

Sensitisasi yaitu  istilah neurofisiologis yang 

meliputi turunnya ambang batas nyeri dan 

peningkatan respons pada stimulus di atas 

ambang batas nyeri. Selain itu, terjadi pula 

cetusan spontan dan perluasan area reseptif. 

Secara klinis, sensitisasi dapat dijumpai pada 

fenomema hiperalgesia atau alodinia. 

lstilah alodinia, hiperalgesia, dan hiperestesia sering membingungkan klinisi. Hiperalgesia yaitu  istilah yang memayungi segala 

kondisi peningkatan sensitivitas nyeri. Alodinia yaitu  contoh bentuk dari hiperalgesia 

yang lebih mengacu untuk rasa nyeri yang 

timbul akibat stimulus yang biasanya tidak 

bersifat nyeri (subthreshold). Sementara itu, 

hiperalgesia lebih tepat dipakai  pada keadaan yang ditandai peningkatan respons 

pada tingkat ambang batas nyeri yang normaljmeningkat. Di lain pihak, hiperestesi 

ditandai dengan adanya penurunan ambang 

· batas terhadap semua stimulus (raba, suhu, 

dan tekan) dan peningkatan respons terhadap stimulus yang dikenali secara normal. 

548 

Ambang batas dan tingkat toleransi nyeri 

sangat bersifat subjektif bergantung pengalaman dan memori seseorang terhadap 

intensitas stimulus yang diberikan, sehingga 

dianggap sebagai rasa nyeri. Secara kuantitatif, intensitas stimulus dapat diukur. Sebagai 

contoh, jika ambang batas nyeri didefinisikan sebagai suatu tingkat yang 50% stimulus 

dikenal sebagai rasa nyeri, maka pada tingkat 

itulah stimulus mulai dianggap nyeri. 

NEUROANATOMI DAN PATOFISIOLOGI 

Dalam memahami proses nyeri, terlebih 

dahulu