an feses. Efek samping berupa
mual, sembelit, diare, hipotensi ortostatik,
diskinesia, halusinasi, pusing dan udema
perifer. Dosis: permulaan oral 1 dd 0,05 mg,
berangsur dinaikkan sampai 3 dd 0,5 mg
(mesilat) dalam waktu 30 hari. Juga dapat
dikombinasi dengan levodopa.
A7. Amantadin: Symmetrel
Obat antiviral dan anti-influenza-A ini
(1964, lihat Bab 7, Virustatika) secara kebetulan ditemukan khasiat anti-Parkinsonnya,
yang menurut perkiraan di dasarkan atas
stimulasi pelepasan DA dari ujung saraf
atau blokade dari re-uptake DA di ujung
saraf presinaptis. Khasiatnya menyerupai
levodopa, namun jauh lebih lemah. sebab
Restless Legs Syndrome (RLS) yaitu gangguan dengan kegelisahan motorik, yang ditandai perasaan
tidak nyaman di tungkai dalam keadaan sadar maupun sewaktu istirahat. Gejalanya mencakup
rasa seperti terbakar, gatal-gatal, nyeri atau kejang-kejang di tungkai, kadangkala juga di tubuh dan
lengan. Gejala ini umumnya timbul segera bila penderita duduk atau berbaring dan memburuk
pada malam hari sehingga dapat mengganggu pola tidur. RLS dapat menyerang orang dari semua
usia, bahkan anak-anak, namun tersering manula dan lebih sering wanita daripada pria. Sering kali
RLS diakibatkan oleh penyakit lain (diabetes, hipotireoidi, uremia), atau akibat pemakaian obat.
ada indikasi bahwa ada kaitan dengan perubahan fungsi dopaminerg di SSP. Juga berkurangnya
penyerapan unsur besi di otak (anemia ferriprive) dihubungkan dengan RLS, misalnya pada ±19% dari
wanita hamil dalam trimester terakhir.
Penanganan yang dianjurkan pada serangan akut terdiri dari masase, bergerak-gerak, melakukan
latihan meregang dan relaksasi, seperti yoga dan biofeedback.
Pengobatan. Banyak obat dipakai terhadap gangguan ini, a.l. levodopa + inhibitor dekarboksilase,
agonis dopamin (ropinirol, pramipeksol, pergolida), anti-epileptika(karbamazepin, fenitoin,
gabapentin), benzodiazepin (klonazepam), derivat kinin (kinidin, hidrokinin = Inhibin). Telah
dilakukan banyak penelitian mengenai efektivitas dari obat-obat ini dan ternyata bahwa kebanyakan
tidak bermanfaat. Hanya dari agonis-DA dapat dipastikan secara ilmiah (untuk sebagian
efektivitasnya), khususnya ropinirol yang di beberapa negara sudah resmi diregistrasi untuk
pengobatan RLS, a.l. di Prancis.
Ref.: Geneesm Bull 2004, 38:73-77, Drug & Ther Bull 2003;41:81-83).
pemakaian “off-label”
Obat-obat ini sebetulnya dipakai secara “off-label” terhadap RLS,artinya di luar indikasi
resmi yang telah diregistrasi oleh pemiliknya (pabrik farmasi) dan atas tanggung-jawab dokter yang
mempreskripsinya. Pada kasus penyakit berat lazimnya dokter memberitahukan hal ini pada pasien,
yang perlu memberikan persetujuan tertulis untuk memakai obat bersangkutan (“ïnformed
consent”). Pada kasus RSL dan gangguan-gangguan lain yang relatif ringan protokol resmi ini
umumnya tidak dilakukan.
efeknya lebih cepat, yaitu sesudah 2-3 hari,
obat ini dipakai bila diperlukan efek
yang segera. Amantadin memperkuat khasiat levodopa dan antikolinergika (adisi). dipakai sebagai monoterapi atau dikombinasi dengan obat-obat Parkinson lainnya.
Resorpsi di usus berlangsung cepat dengan
kadar maksimal dalam darah dicapai sesudah
1-4 jam dan masa paruhnya ±15 jam. Ekskresi
berlangsung melalui urin dalam keadaan
utuh.
Efek samping lebih ringan daripada levodopa dan pada dosis biasa jarang terjadi. Oleh
sebab itu obat ini bermanfaat bagi penderita
yang tidak tahan terhadap dosis penuh dari
levodopa. Amantadin dapat memicu
rasa letih, mulut kering, gangguan penglihatan, gangguan buang air kecil, hipotensi
ortostatik dan juga efek sentral, seperti pusing, insomnia dan halusinasi. Kadang-kadang timbul pula udema pada pergelangan
kaki dan pigmentasi kelabu pada jari-jari
tangan. Toleransi dapat timbul sesudah 3-6
bulan, pada saat mana peningkatan dosis
tidak efektif lagi.
Dosis: permulaan oral 1 dd 100 mg (HCl
atau sulfat) sesudah makan pagi; sesudah 1
minggu 2 dd 100 mg dan maksimal 400 mg
sehari.
*Memantin (Ebixa) yaitu derivat amantadin
(1983) yang berkhasiat memblokir stimulasi
berlebihan dari glutamat, sehingga pemasukan kalsium berlebihan ke dalam sel dihindari (dapat mematikan sel). Resorpsinya
dari usus baik dengan BA ±100%, PP 45%
dan dalam hati dirombak menjadi 2 metabolit
inaktif., yang untuk 75-90% diekskresi melalui urin. Masa paruhnya panjang, 60-100
jam. Efektif pada ±29% dari kasus Alzheimer
hebat dan sangat parah, untuk memperbaiki
atau menstabilisasi fungsi kognitif, aktivitas
sehari-hari dan keadaan umumnya. Juga
dipakai pada penyakit Parkinson. Efek
samping yang paling sering dilaporkan yaitu
halusinasi, perasaan kacau, pusing dan sakit
kepala.
Dosis: permulaan 1dd 5 mg, berangsurangsur ditingkatkan dalam waktu 4 minggu
sampai 2 dd 10 mg.
A8. Triheksifenidil: benzheksol, Artane, Arkine
Senyawa piperidin ini yaitu prototipe dari
antikolinergika sintetik, yang dipakai
sebagai obat Parkinson (1949). Khasiat antikolinergik dan efek pusatnya menyerupai
atropin, namun lebih lemah; efek sampingnya
pun lebih ringan. Seperti antikolinergika
lainnya obat ini dapat memperbaiki tremor,
namun kurang efektif terhadap akinesia dan
kekakuan. Triheksifenidil berkhasiat terhadap salivatio (keluar air liur berlebihan). Toleransi dapat terjadi dan bila dikombinasi
dengan levodopa sering kali bermanfaat.
Resorpsi dari usus cepat, lama kerjanya 6-12
jam. Ekskresi melalui urin dan kemungkinan
dalam keadaan utuh.
Efek samping jarang terjadi dan berupa
umum, yaitu gangguan saluran cerna, mulut
kering, gangguan penglihatan dan efek pusat
(gelisah, pikiran kacau, sukar tidur dan
halusinasi).
Dosis: permulaan oral 1 dd 1 mg d.c., bila
perlu berangsur-angsur dinaikkan sampai
dosis pemeliharaan 6-12 mg sehari dan maksimal 15 mg sehari. Pada gejala ekstrapiramidal maksimal 15 mg sehari.
*Biperiden (Akineton) yaitu derivat (1954)
yang terutama efektif terhadap akinesia dan
kekakuan namun kurang efektif terhadap
tremor.
Resorpsi cepat dan praktis sempurna, ekskresi melalui urin sebagai metabolit. Plasma-t½ 18 jam.
Efek samping kurang lebih sama.
Dosis: oral 2 dd 1 mg d.c. yang berangsurangsur dapat dinaikkan sampai 3-4 dd 1-4
mg. Pada gejala ekstrapiramidal 1-3 dd 2-6
mg.
B. OBAT ALZHEIMER
B1. Ropinirol: Requip
Derivat indolinon ini (1995) bekerja selektif
terhadap reseptor dopamin (D2
) postsinaptik. Sama dengan lisurida dan pergolida,
ropinirol juga menghambat sekresi prolaktin. Dianjurkan pemakaian nya pada awal
penyakit atau pada fase lebih lanjut bersama levodopa untuk memperkuat efeknya. Ropinirol, seperti juga DA-agonis lain pramipeksoldan pergolida, dapat dipakai
dengan efektif untuk pengobatan “restless legs
sindrom”27 yang mungkin ada hubungannya
dengan kekurangan DA, lihat boks. Penghentian pemakaian obat ini harus secara
berangsur-angsur dikurangi dosisnya dalam
waktu 1 minggu.
Efek samping yang sering terjadi mual
dan muntah, nyeri perut, juga mengantuk
dan udema pada kaki. Seperti pada semua
agonis-DA adakalanya muncul rasa kantuk
pada siang hari yang tak tertahan dan pasien
tiba-tiba bisa jatuh tertidur.
Kombinasinya dengan levodopa juga menyebabkan diskinesia, halusinasi dan berbicara rancu.
Dosis: minggu pertama 3 dd 0,25 mg, minggu kedua 3 dd 0,5 mg, minggu ketiga 3
dd 0,75 mg dan minggu keempat 3 dd 1 mg.
Bila perlu berangsur-angsur dapat dinaikkan
sampai maksimal 3 dd 3 mg.
B2. Tacrin: tetrahydroaminoacridine, THA, Aricept, Cognex
Derivat acridin ini (1993) berkhasiat menghambat secara reversibel kolinesterase di
SSP. Tacrin dipakai pada bentuk ringan
atau sedang dari demensia Alzheimer, berdasar penemuan bahwa pada pasien
demikian ada kehilangan selektif dari
neuron kolinergik di otak. Penurunan dosis
atau penghentian pengobatan harus secara
berangsur berhubung risiko timbulnya gangguan perilaku dan fungsi kognitif. Efektivitasnya rendah., maka tidak banyak dipakai lagi.
Pada pasien Alzheimer masa paruhnya
3 jam. Obat ini juga dipakai sebagai stimulans pernapasan dan antidotum kurare.
Efek samping berupa gangguan saluran
cerna, pusing, nyeri sendi, konvulsi dan gangguan serius fungsi hati.
Dosis: permulaan oral 40 mg/hari selama 6
minggu, lalu dinaikkan dengan 40 mg setiap
6 minggu, maksimal 160 mg.
B3. Donepezil: Aricept
Obat ini (1997) yaitu enzim inhibitor berdasar pembentukan suatu kompleks stabil
dengan asetilkolinesterase, yang dihidrolisis
dalam beberapa menit. Donepezil hanya
dipakai pada kasus ringan sampai sedang
demensia Alzheimer dengan efek terbatas
pada fungsi kognitif otak.
Resorpsi dari usus lengkap (hampir 100%),
PP 94%, t½ 70-100 jam. Donepezil dimetabolisasi di hati untuk kemudian diekskresi
lewat urin.
Efek samping berupa gangguan saluran
cerna (mual, muntah, diare, anoreksia, dispepsi, konstipasi), kejang otot dan tidak bisa
tidur.
Dosis: 1 dd 5 mg a.n. (sebelum tidur), sesudah 4 minggu 1 dd 10 mg.
B4. Rivastigmin: Exelon
Obat ini (1997) menghambat kolinesterase
selama lebih dari 10 jam sesudah mengikatnya.
Pada Alzheimer ringan hanya memperbaiki
fungsi kognitif pada hanya sejumlah kecil
pasien, kurang dari 10% (NTvG 2002;146:24-
27). Resorpsi dari usus cepat dan lengkap,
namun BA hanya ±35% akibat FPE besar.
PP 40%, plasma-t½ ±1 jam. Di dalam hati
senyawa ini dirombak total dengan cepat.
Efek samping berupa perasaan lemah dan
malaise, pusing, gangguan saluran cerna dan
mengantuk. Begitu pula efek pusat (agitasi,
perasaan kacau, tremor dan depresi), berkeringat dan menurunnya berat badan.
Dosis: permulaan 2 dd 1,5 mg d.c, sesudah
itu setiap 2 minggu dapat dinaikkan sampai
2 dd 3 - 6 mg.
B5. Asam liponat: alpha-lipoic acid, thioctic acid
Derivat dithiolan (cincin-lima dengan 2
atom S) dari asam valerat ini berkhasiat
antioksidan broad-spectrum kuat, sebagai
faktor pertumbuhan untuk banyak kuman
dan protozoa. Fungsinya di dalam sel yaitu
sebagai pelindung mitochondria terhadap
kerusakan oksidatif, juga berperan penting
pada produksi energi aerob, sebab merupakan ko-faktor dalam sistem enzim di siklus
asam sitrat (Krebs‘ cyclus).
Dalam mitochondria (pusat energi dari
sel), liponat diubah menjadi dihidroliponat
(DHL) yang juga aktif sebagai antioksidan
terhadap berbagai radikal oksigen reaktif.
DHL mampu memulihkan sifat antioksidan
asli dari molekul vitamin C dan vitamin E
yang sudah dipakai , sehingga mampu
mereduksi kembali (regenerasi) antioksidansia yang sudah dioksidasi. Begitu juga
DHL dapat meregenerasi antioksidan intraseluler penting glutathion. DHL bekerja
baik di lingkungan intraseluler maupun
ekstraseluler. Lagi pula obat ini mampu
mengchelasi (mengikat) Fe, yang menstimulasi pembentukan radikal hidroksil yang
berbahaya.
pemakaian . Di kalangan alternatif liponat
kini dipakai untuk menangani gangguan
sistem saraf, antara lain pada penyakit Parkinson dan Alzheimer, serta infark otak (beroerte).
Liponat juga dipakai untuk meringankan gejala neuropati diabetes (Diab Care
1995;18: 1160-7). Mekanisme kerja dari khasiat neuroprotektif ini tidak diketahui
dengan pasti, namun diduga berdasar daya
antioksidannya yang kuat. Liponat bersifat
lipofil, maka dengan mudah melintasi rintangan darah-otak. Dalam otak dan saraf
ada banyak asam lemak ganda tak jenuh (PUFA), oleh sebab itu bersifat sangat
peka bagi kerusakan oksidatif oleh radikal
bebas (FR), yang terbentuk akibat aktivitas neurotransmitter tertentu. Khasiat antioksidan dari liponat sangat bermanfaat dalam hal ini. Liponat juga terkenal sebagai
antidotum terhadap intoksikasi jamur beracun Amanita muscaria, alkohol (berkat efek
menghambatnya terhadap pembentukan asetaldehida), logam-logam (Hg) dan zat pelarut
(tetraklor dan sebagainya). Lihat juga Bab 47,
Insulin, 6.Asam Liponat.
Dosis: 3 dd 100 mg.
C. MULTIPLE SCLEROSIS
C1. Interferon beta-1b: IFN-β1b, Betaferon
Protein ini dengan 165 asam amino yang
dibuat berdasar teknik DNA-rekombinan
oleh E. coli (1993), mengandung serin pada
C17 sebagai pengganti sistein (pada IFN-β1
alamiah). Obat ini berkhasiat antiviral dan
imunomodulator, antara lain menstimulasi
T-supressor cell (CD8+) yang jumlahnya
ternyata sangat rendah dan bersama peningkatan produksi kortisol menghasilkan penurunan aktivitas proses imun. Senyawa
ini juga menekan efek imunologi dari IFNgamma, yang dihubungkan dengan pemburukan gejala penyakit MS. namun belum
diketahui jelas mekanisme mana yang memiliki peranan terpenting bagi daya kerjanya
pada MS. Berkhasiat mengurangi frekuensi
serangan (dengan 30%), mengurangi hebatnya residif serta jumlah kerusakan myelin
pada gambaran-MRI dari bentuk MS tertentu. Lagipula progres penyakit dapat diperlambat (Lancet 1998 ;352 :1491-7). Masa
paruhnya ±5 jam dan hanya dapat diberikan
parenteral.
Efek sampingnya berupa gejala flu dengan
demam menggigil, nyeri otot, berkeringat
dan malaise umum, juga reaksi alergi serius
dengan kadangkala urticaria, bronchospasme
dan anafilaksis, serta efek sentral (rasa takut,
kekacauan dan depresi).
Dosis: s.c. 8 MIU (= 250 mcg/ml) setiap 2
hari. Lihat juga interferon-alfa dan interferon-gamma di masing-masing Bab 14, Sitostatika dan Bab 49, Imunomodulansia, juga
Bab 7, Virustatika.
*Interferon beta-1a (IFN-ß1a, Avonex) yaitu
suatu protein terglikolisasi yang terdiri dari 166
asam amino, identik dengan IFN-β human.
Pembuatan, khasiat dan pemakaian nya sama dengan IFN-β1b. Progres penyakit dapat
dipengaruhi secara positif.
Dosis: i.m. 6 MIU (= 30 mcg/ml) 1-3 kali
seminggu.
C2. Natalizumab: Tysabri
Merupakan monoklonal antibody (MOAB)
recombinant sebagai perintang integrin yang
di-ekspresikan dengan kuat pada permukaan
semua lekosit, kecuali neutrofil. Pengikatan
pada integrin mencegah migrasi lekosit ke
jaringan yang beradang dan mungkin juga
menekan reaksi peradangan. dipakai sebagai monoterapi pada fase awal ‘relapsing
remitting’MS (RRMS). Masa paruhnya panjang 6 jam dan dapat diperpanjang lagi tiga
kali bila ada antibodi yang bertahan.
Wanita hamil dan yang menyusui tidak
boleh diberikan obat ini.Dosis: infus intravena selama 1 jam 300 mg
setiap 4 minggu
ANTIPSIKOTIKA
PSIKOFARMAKA
Obat penyakit jiwa yaitu obat-obat yang bekerja terhadap SSP dengan memengaruhi
fungsi-fungsi psikis dan proses-proses mental. Dari banyak kelompok obat yang memenuhi definisi ini, hanya psikofarmaka sejati
yang akan dibicarakan di bab ini, khususnya
antipsikotika (dan antidepresiva di Bab 30).
Yang lainnya seperti sedativa, tranquillizers,
hipnotika dan anti-epileptika, telah dibahas
di Bab-bab tersendiri.
Sejarah. Di masa lampau penyakit jiwa diobati dengan sedativa seperti candu, bromida
dan skopolamin, kemudian dengan barbital.
Pengobatan ini sering kali dilengkapi dengan
beberapa cara lain, misalnya kerja kreatif, kur tidur (1922) atau cara-cara yang agak
drastis (shock insulin, 1933 dan shock/kejang
listrik, 1937). Pada schizofrenia parah bahkan dilakukan operasi otak (leukotomia, 1935)
untuk mengeluarkan sebagian otak. Cara-cara ini menghasilkan efek yang cukup baik,
terutama electroshock (Electro Convulsive Therapy, ECT), namun pelaksanaannya dengan gejala yang hebat (serangan epilepsi, kerusakan
otak, hilangnya ingatan), telah menemui perlawanan dari baik pasien maupun perawat.
Revolusi dalam farmakoterapi psikosis telah
dimulai dengan introduksi klorpromazin
pada tahun 1952. Antipsikotikum pertama
ini disusul oleh alkaloida Rauwolfia reserpin
(1954), yaitu suatu obat hipertensi yang dewasa ini dianggap kuno. Kemudian banyak
antipsikotika lain dipasarkan yang efektif
dalam menanggulangi banyak gejala psikosis.
Kemajuan selanjutnya dicapai di akhir tahun
1980-an dengan ditemukannya antipsikotika
baru yang mampu menyembuhkan gejalagejala negatif, yang kebal terhadap obat-obat
terdahulu.
Obat generasi kedua itu tidak mampu menyembuhkan 100% gangguan jiwa, namun
banyak gejalanya dapat dihilangkan atau
dikurangi. Keadaan pasien dapat diperbaiki,
hingga dapat melanjutkan kehidupannya
secara bebas dengan kualitas hidup yang baik. Lagi pula obat-obat ini tidak saja lebih
efektif daripada obat-obat dan cara-cara lama, melainkan mengubah drastis dan mempermudah perawatan pasien di rumah sakit
gangguan jiwa. Mereka menjadi lebih terbuka dan bersedia berkomunikasi dengan
para dokter, perawat dan terapisnya. Masa
perawatannya di rumah sakit pun dapat
dipersingkat, sebab sering kali pengobatannya dapat secara ambulan, artinya poliklinis,
di rumahnya sendiri. Resosialisasinya dalam
masyarakat juga berlangsung lebih lancar.
Meskipun demikian, psikofarmaka ternyata
tidak dapat menggantikan seluruhnya terapi
klasik, seperti ECT pada keadaan depresi
tertentu.
Penggolongan
Psikofarmaka dalam arti sempit, yang terutama dipakai untuk penanganan gangguan jiwa, dapat digolongkan dalam dua
kelompok besar, yakni:
a. antipsikotika (dahulu disebut neuroleptika atau major tranquillizers) yang bekerja antipsikotik dan sedatif. Obat ini
dipakai khusus untuk berbagai jenis
psikosis (a.l. schizofrenia) dan mania;
b. antidepresiva, yang berdaya memperbaiki suasana murung dan putus asa
yang terutama dipakai pada keadaan
depresi, panik dan fobia. Lihat selanjutnya
Bab 30, Antidepresiva.
Neurotransmitter
Di otak ada ±30 neurotransmitter atau
neurohormon yang bertanggungjawab atas
penerusan impuls listrik antara sel-sel saraf
secara kimiawi. Dari tajuk (neurit, axon) di
ujung suatu neuron, neurohormon melintasi
sinaps (celah di antara dua sel saraf) ke tajuk
(dendrit) di bagian depan neuron berikutnya
(saraf post-sinaptis). Ada sejumlah sistem neurotransmitter, antara lain sistem adrenergik dan
sistem kolinergik dengan zat-zatnya tersendiri,
lihat juga Seksi V, Penerusan impuls.
a. Sistem adrenergik. Neurohormon terpenting di otak yaitu zat-zat monoamin noradrenalin (NA), serotonin (5-HT = 5-hidroksitriptamin) dan dopamin (DA), yang menentukan kegiatan otak dengan antar-keseimbangannya. Zat-zat ini khusus ada dalam gelembung-gelembung kecil di ujung axon
(presinaptis), yang letaknya dekat sinaps. Setelah impuls listrik mencapai axon, gelembung depot melepaskan neurohormonnya.
Sebagian besar neurohormon segera diserap
kembali secara aktif oleh gelembung tersebut (re-uptake), sisanya melintasi sinaps dan
mencapai reseptor-reseptor di ujung dendrit
di seberangnya. Setibanya di situ neurohormon menstimulasi reseptor untuk melepaskan suatu impuls kedua, yang mengakibatkan “melompatnya” impuls asli melalui sinaps. Enzim MAO (monoaminoksidase), yang
juga ada di ujung-ujung neuron, berfungsi menguraikan monoamin sesudah
aktivitasnya selesai.
Obat-obat yang mengurangi kadar dopamin di sel-sel saraf otak memiliki daya kerja
antipsikotik, sedangkan obat-obat yang meningkatkan kadar DA dipakai pada penyakit Parkinson. Obat-obat yang memperbesar
kadar serotonin dan noradrenalin di celah
sinaptis dengan jalan menghambat re-uptakenya memiliki daya kerja antidepresi.
b. Sistem kolinergik. Neurohormon asetilkolin (Ach) dari sistem kolinergik tidak
diresorpsi kembali, melainkan langsung diuraikan oleh kolinesterase. Obat-obat antikolinesterase yang meningkatkan kadar ACh
di otak, antara lain tacrin, dipakai untuk
demensia Alzheimer, lihat Bab 28 C, Obat-obat
demensia.
Antipsikotika
Antipsikotika (major tranquillizers) yaitu
obat-obat yang dapat menekan fungsi-fungsi
psikis tertentu tanpa memengaruhi fungsi
umum seperti berpikir dan berkelakuan normal. Obat ini dapat meredakan emosi dan
agresi dan dapat pula menghilangkan atau
mengurangi gangguan jiwa seperti impian
buruk dan pikiran khayali (halusinasi) serta menormalisasikan perilaku yang tidak
normal. Oleh sebab itu antipsikotika terutama dipakai pada psikosis, penyakit jiwa
hebat tanpa keinsafan sakit oleh pasien, misalnya penyakit schizofrenia («gila») dan psikosis mania-depresif.
* Minor tranquillizers yaitu anksiolitika
yang dipakai pada gangguan kecemasan
dan pada gangguan tidur, seperti hipnotika.
Lihat Bab 24, Sedativa dan Hipnotika.
Gangguan jiwa
Klasifikasi. Ada ratusan penyakit jiwa dan
gangguan perilaku, yang tidak mudah didiagnosis. Untuk memudahkan dan menstandardisasi diagnosis, lazimnya dipakai klasifikasi dari APA (American Psychiatric Association) dalam buku pedomannya DSM-5
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, edisi ke-5, 2013), yang merupakan
otoritas universal mengenai diagnosis psikiatri. Dalam pedoman ini diberikan definisi
dan kriteria saksama dari semua gangguan
psikiatri dan rekomendasi untuk terapi.
Di bawah ini diberikan ringkasan singkat
dari sejumlah gangguan jiwa terpenting
yang berkaitan dengan psikosis. Gangguan
depresi dan gangguan makan akan dibicarakan di Bab 30 dan Bab 31, sedangkan ketagihan/drugs telah dibahas dalam Bab 23,
Drugs.
a. Psikosis didefinisikan sebagai gangguan
jiwa yang sangat merusak akal budi dan
pengertian (insight), timbulnya pandangan
yang tidak realistik atau bizar (aneh), memengaruhi kepribadian dan mengurangi berfungsinya penderita. Gejala psikotis mencakup
waham (pikiran khayal, delusio), halusinasi
dan gangguan berpikir formal (tidak dapat
berpikir riil), yang sering kali disebabkan
oleh schizofrenia. Psikosis dapat diobati dengan antipsikotika.
b. Neurosis termasuk gangguan konstitusi
jiwa tanpa kerusakan organik dan tanpa gejala psikotis. Kepribadian pasien relatif kurang terganggu dan kontak dengan realitas
juga tidak terganggu. Gangguan jiwa ini (termasuk histeria dan neurastenia) dapat dianggap sebagai bentuk berlebihan dari reaksi
normal terhadap situasi dan kejadiaan dengan penuh stress. Gejalanya dapat berupa
kegelisahan, kecemasan, murung, mudah tersinggung dan berbagai perasaan tidak nyaman pada tubuh. Pasien neurosis dapat ditangani dengan tranquillizers.
c. Sindroma Borderline, lengkapnya Borderline Personality Disorder (BPD), yang gejalanya terletak antara neurosis, psikosis dan
depresi. Sejak tahun 1987 sindroma ini diakui
sebagai penyakit jiwa dan dalam DSM 1996
dimuat kriteria untuk diagnosisnya. Gejalanya banyak sekali dan yang utama yaitu
impulsivitas (minuman keras /narkotika, penyalahgunaan, mengendarai mobil secara
membahayakan, hasrat kuat untuk membeli),
instabilitas emosional dengan perubahan suasana
secara mendadak dan percobaan bunuh diri,
kesulitan bersosialisasi sebab menganggap
segala sesuatu sebagai hitam-putih. Ciri-ciri
lainnya yaitu ketakutan ditinggalkan dan
sukar hidup sendiri, juga kecurigaan kuat
dengan hilangnya hubungan antara daya berpikir dan perasaan (disosiasi), masa-masa
psikosis singkat dan masa-masa depresi.
Akibat gejala-gejala ini penderita BDP mengalami banyak kesulitan dalam pergaulan dan
cenderung menarik diri dari kehidupan
sosial.
Pengobatan dilakukan poliklinis dengan
kombinasi dari suatu bentuk psikoterapi
khusus dan psikofarmaka (antipsikotika, antidepresiva atau obat-obat yang meregulasi
suasana, seperti litium).
d. Mania didefinisikan sebagai kecenderungan patologis untuk suatu aktivitas tertentu yang tidak dapat dikendalikan, misal-nya
mengutil (kleptomania). Suasana jiwa pasien
riang namun seolah-olah ada paksaan untuk
bertindak/melakukan aktivitas berlebihan,
kegelisahan dan perilaku tak terkendali. Bila
masa-masa mania diselingi masa-masa depresi, gangguan ini disebut depresi manis, lihat
Bab 30, Antidepresiva. Penanganan mania
dilakukan dengan antipsikotika, khususnya
klorpromazin, halo-peridol dan pimozida.
Schizofrenia
Schizofrenia merupakan gangguan jiwa yang
dalam kebanyakan kasus bersifat sangat serius, berkelanjutan dan dapat mengakibatkan kendala sosial, emosional dan kognitif
(pengenalan, pengetahuan, daya membedakan; Lat. cognitus = dikenali). namun ada pula
banyak varian yang kurang serius. Schizofrenia yaitu penyebab terpenting gangguan
psikotik, pada mana periode psikotik diselingi dengan periode ‘normal’, saat pasien
dapat berfungsi baik. Sering kali penyakit
diawali secara « menyelinap », adakalanya
juga dengan mendadak. Pada pria biasanya
timbul antara usia 15-25 tahun, jarang di atas
30 tahun, sedangkan pada wanita antara 25-
35 tahun.
pemicu nya masih belum diketahui,
mungkin berkaitan dengan terganggunya keseimbangan sistem kimiawi yang rumit di bagian
otak. Sekarang ini hanya ditetapkan adanya
faktor keturunan dengan faktor lingkungan sebagai pemeran penting. Menurut suatu teori
infeksi virus selama perkembangan janin pada
kehamilan telah menghambat pertumbuhan
dari antara lain neuron dopaminerg ke
bagian-bagian tertentu dari otak.
Teori dopamin mengatakan bahwa schizofrenia disebabkan oleh hiperaktivitas sistem dopamin di bagian limbis otak. Hal ini
yang memicu gejala psikotik positif.
Di bagian lain dari otak (cortex frontal) aktivitas dopamin justru berkurang, yang memicu gejala negatif. Sejumlah obat juga dapat mengakibatkan psikosis, misalnya
drugs (LSD, XTC dan meskalin), juga metronidazol, fenitoin, karbamazepin dan glikosida
digitalis.
* Dopamin. Dapat dibedakan minimal 5 reseptor-dopamin: D1
s/d D5
, yang dapat dibagi
dalam 2 kelompok, yaitu kelompok D1
(= D1
+
D5
) dan kelompok D2
(= D2
, D3, dan D4
). Obatobat klasik terutama menghambat kelompok
D2
, sedangkan obat-obat atypis menghambat
kelompok D1
.
Gejalanya berupa simtom-simtom positif dan
simtom-simtom negatif, yang selalu ada
bersamaan, namun dengan aksen berlainan
pada berbagai pasien.
a. Simtom positif berupa waham-waham
(seolah-olah mendengar suara orang yang
memerintahkannya berbuat sesuatu), halusinasi (keinsafan realitas terganggu), pikiran
janggal dan desorganisasi kognitif (daya
asosiasi terganggu, tidak dapat berpikir jelas). Prognosa dari pasien dengan gejalagejala dominan ini, dianggap agak baik.
b. Simtom negatif berupa kemiskinan psikomotorik (berkurangnya bicara dan pergerakan, pemerataan emosional). Pasien mengelak hubungan sosial, menjadi apatis dan kehilangan enersi serta inisiatif. Simtom-simtom ini menunjukkan bahwa pasien berfungsi
sosial buruk, prognosanya kurang baik.
Diagnosisnya diterapkan berdasar
gejala dan petunjuk sejumlah kriteria yang
berlaku universal.
Progresnya penyakit. Fase akut (psikosis)
dengan simtom positif bertahan minimal satu
bulan dan adakalanya diawali oleh fase
prodromal, yaitu menurunnya fungsi pasien
di bidang sosial dan komunikasi. Kemudian
fase ini disusul oleh fase dengan terutama
simtom negatif, yang mirip fase prodromal.
Dengan pengobatan khusus di rumah sakit
jiwa, fase akut ini sesudah 1-2 bulan umumnya
disusul oleh masa remisi (gejala penyakit
hilang atau sangat berkurang).
Sekitar 25% dari pasien tidak mengalami
residif lagi dan dianggap sembuh. Kira-kira
50% pasien hanya sembuh sebagian (besar)
dan terkadang kambuhnya masa psikosis,
yang dapat diselingi periode panjang di mana
pasien dapat berfungsi lebih kurang normal
dengan kualitas hidup baik. Sisa 25%-nya
membutuhkan pengobatan jangka panjang,
sebab penyakit cenderung sering kambuh
lagi. Sekitar 10% dari kelompok terakhir meninggal sebab bunuh diri.
Antipsikotika
Antipsikotika biasanya dibagi dalam dua
kelompok besar, yaitu obat typis atau klasik
dan obat atypis.
A. Antipsikotika klasik, terutama efektif
mengatasi simtom positif; pada umumnya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok kimiawi
sebagai berikut:
a. derivat fenotiazin: klorpromazin, levomepromazin dan triflupromazin (Siquil), thioridazin dan periciazin, perfenazin dan
flufenazin, perazin (Taxilan), trifluoperazin , proklorperazin (Stemetil) dan thiëtilperazin (Torecan)
b. derivat thioxanthen: klorprotixen (Truxal)
dan zuklopentixol (Cisordinol)
c. derivat butirofenon: haloperidol, bromperidol, pipamperon dan droperidol
d. derivat butilpiperidin: pimozida, fluspirilen
dan penfluridol
B. Antipsikotika atypis (sulpirida, klozapin,
risperidon, olanzapin dan quetiapin) bekerja
efektif melawan simtom negatif, yang praktis
kebal terhadap obat klasik. Lagi pula efek
sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda.
namun lansia sebaiknya menghindari penggunaan antipsikotika atypis sebab risiko
kerusakan ginjal akut.
Ref.: AnnInternMed.2014;161:242-8.
Sertindol (Serdolect) sesudah dipasarkan hanya satu tahun lebih, akhir 1998 ditarik dari
peredaran di Eropa, sebab beberapa kali
dilaporkan terjadinya aritmia dan kematian
mendadak. Obat atypis lainnya yang sudah
tersedia di negara lain sejak 1988 yaitu zotepin (Zoleptil) dan ziprasidon (Zeldox).
Khasiat dan pemakaian
Antipsikotika memiliki sejumlah kegiatan
fisiologi, yakni:
a. antipsikotik. Obat-obat ini dipakai untuk gangguan jiwa dengan gejala psikotis,
seperti schizofrenia, mania dan depresi psikotik. Di samping itu, antipsikotika dipakai untuk menangani gangguan perilaku
serius pada pasien dengan handikap rohani dan pasien demensia, juga untuk
keadaan gelisah akut (excitatio) dan penyakit lata (penyakit Gilles de la Tourette);
b. anksiolitik, yaitu mampu meniadakan
rasa bimbang, takut, kegelisahan dan
agresi yang hebat. Oleh sebab itu adakalanya obat ini dipakai dalam dosis
rendah sebagai minor tranquillizer pada
kasus-kasus serius, di mana benzodiazepin kurang efektif, misalnya pimozida dan
thioridiazin. Disebabkan efek sampingnya,
pemakaian antipsikotika dalam dosis
rendah sebagai anksiolitika tidak dianjurkan.
c. antiemetik berdasar perintangan neurotransmisi dari CTZ (Chemo Trigger
Zone) ke pusat muntah dengan jalan
blokade reseptor dopamin, lihat Bab 17,
Antiemetika. sebab sifat inilah obat ini
sering dipakai terhadap mual dan
muntah hebat seperti pada terapi dengan sitostatika; namun terhadap mabuk
jalan tidak efektif. Obat dengan daya antiemetik kuat yaitu proklorperazin dan thiëtilperazin. Obat lain dengan daya antimual yang baik dalam dosis rendah yaitu
klorpromazin, perfenazin, triflupromazin, flufenazin, haloperidol (dan metoklopramida).
d. analgetik. Beberapa antipsikotika memiliki khasiat analgetik kuat, antara lain
levomepromazin, haloperidol dan droperidol
(*Thalamonal). namun obat ini jarang dipakai sebagai obat antinyeri, kecuali
droperidol. Obat lainnya dapat memperkuat efek analgetika dengan jalan meningkatkan ambang-nyeri, misalnya klorpromazin.
Klorpromazin dan haloperidol adakalanya
juga dipakai pada sedu (hiccup) yang
tak henti-henti dan gangguan keseimbangan
bila obat lain tidak ampuh. Mekanisme kerja
Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan
mudah masuk ke dalam CCS (cairan serebrospinal), memungkinkan obat-obat ini melakukan kegiatannya secara langsung terhadap saraf otak. Mekanisme kerjanya pada
taraf biokimiawi belum diketahui dengan
pasti, namun ada petunjuk kuat bahwa mekanisme ini berhubungan erat dengan kadar
neurotransmitter di otak atau antar-keseimbangannya.
Antipsikotika menghambat (agak) kuat
reseptor dopamin (D2
) di sistem limbis otak dan
di samping itu juga menghambat reseptor D1
/
D4,, α1
(dan α2
)-adrenerg, serotonin, muskarin
dan histamin. namun pada pasien yang kebal
terhadap obat-obat klasik juga ditemukan
blokade tuntas dari reseptor D2. Riset baru mengenai otak menunjukkan bahwa
blokade-D2
saja tidak selalu cukup untuk
menanggulangi schizofrenia secara efektif.
Untuk ini neurohormon lainnya seperti serotonin (5HT2
), glutamat dan GABA (gammabutyric acid), juga perlu dilibatkan.
Mulai kerjanyablokade-D2
cepat, begitu
pula efeknya pada keadaan gelisah. Sebaliknya efek terhadap gejala psikosis lain, seperti waham, halusinasi dan gangguan pikiran baru nyata sesudah beberapa minggu.
Mungkin efek lambat ini (masa latensi) disebabkan sistem reseptor-dopamin menjadi
kurang peka.
* Antipsikotika atypis memiliki afinitas lebih
besar untuk reseptor-D1
dan D2
, sehingga lebih efektif daripada obat-obat klasik untuk
melawan simtom negatif. Lagi pula obat ini
lebih jarang memicu GEP dan dyskinesia
tarda.
a. Sulpirida terutama menghambat reseptor-D2
dan praktis tanpa afinitas bagi reseptor
lain. Pada dosis rendah (di bawah 600 mg/
hari) terutama bekerja antagonistik terhadap
reseptor presinaptis, dan pada dosis lebih
tinggi (di atas 800 mg/hari) juga terhadap
reseptor-D2 postsinaptis, seperti halnya obatobat klasik. Efek antipsikotik terutama dicapai pada dosis lebih tinggi sedangkan dosis
rendah bermanfaat pada psikosis dengan
terutama simtom negatif.
b. Klozapin: ikatannya pada reseptor-D2
agak ringan (± 20%) dibandingkan obat-obat
klasik (60-75%). namun efek antipsikotiknya
kuat, yang dapat dianggap paradoksal. Juga
afinitasnya bagi reseptor lain dengan efek
antihistamin, antiserotonin, antikolinergik
dan antiadrenergik relatif tinggi. Menurut
perkiraan efek baiknya dapat dijelaskan oleh
blokade kuat dari reseptor-D2
, -D4, dan -5HT2
.
Blokade reseptor muskarin dan reseptor-D4
diperkirakan mengurangi GEP, sedangkan
blokade 5HT2
meningkatkan sintesis dan
pelepasan dopamin di otak. Hal ini meniadakan sebagian blokade D2
, namun mengurangi
risiko GEP.
c. Risperidon juga terutama menghambat
reseptor-D2
dan -5HT2
, dengan perbandingan
afinitas 1 : 10, juga dari reseptor-α1
, -α2, dan
-H1
. Blokade α1
dan α2
dapat memicu
masing-masing hipotensi dan depresi, sedangkan blokade H1
berkaitan dengan sedasi.
d. Olanzapin menghambat semua reseptor
dopamin (D1
s/d D5
) dan reseptor H1
, -5HT2
,
-adrenergik dan -kolinergik, dengan afinitas
lebih tinggi bagi reseptor 5-HT2
dibandingkan
D2
.
e. Reboksetin (Edronax) yang dipasarkan
di Inggris pada tahun 1997, secara selektif
menghambat reuptake noradrenalin (SNRI).
Efek samping
Sejumlah efek samping serius dapat membatasi pemakaian antipsikotika dan yang
paling sering terjadi yaitu :
a. gejala ekstrapiramidal (GEP), yang bertalian dengan daya antidopamin dan bersifat
lebih ringan pada senyawa butirofenon, butilpiperidin dan obat atypis. GEP terdiri dari
beberapa bentuk, yaitu sebagai:
– parkinsonisme (gejala penyakit Parkinson),
yaitu hipokinesia (daya gerak berkurang,
berjalan langkah demi langkah) dan anggota tubuh kaku, kadang-kadang tremor
tangan dan keluar liur berlebihan. Gejala
lainnya “rabbit-syndrome” (mulut membuat gerakan mengunyah, mirip kelinci),
yang dapat muncul sesudah beberapa
minggu atau bulan. Terutama pada dosis
tinggi dan lebih jarang pada obat dengan
kerja antikolinergik. Insidensinya 2-10%.
– distonia akut, yakni kontraksi otot-otot
muka dan tengkuk, kepala miring, gangguan menelan, sukar bicara dan kejang
rahang. Guna menghindarinya dosis harus dinaikkan dengan perlahan, atau diberikan antikolinergika sebagai profilaksis;
– akathisia, yaitu selalu ingin bergerak,
tidak mampu duduk diam tanpa menggerakkan kaki, tangan atau tubuh (Yun.
kathisis = duduk, a = tidak, tanpa). Gejala
ketiga GEP di atas dapat dikurangi dengan
menurunkan dosis dan dapat ditangani
dengan antikolinergika. Akathisia juga
dapat diatasi dengan propranolol atau benzodiazepin;
– dyskinesia tarda, yaitu gerakan abnormal
tidak-sengaja, khususnya otot-otot muka
dan mulut (menjulurkan lidah), yang
dapat menjadi permanen. Gejala ini sering
muncul sesudah 0,5-3 tahun dan berkaitan
antara lain dengan dosis kumulatif (total)
yang telah diberikan. Risiko efek samping
ini meningkat pada pemakaian lama dan
tidak tergantung dari dosis, juga lebih sering terjadi pada lansia; insidensinya
tinggi (10-15%). Gejala ini hilang dengan
menaikkan dosis, namun kemudian timbul
kembali dengan lebih hebat. Antikolinergika juga dapat memperhebat gejala tersebut. Pemberian vitamin E dapat mengurangi efek samping ini.
– sindroma neuroleptika maligne berupa
demam, otot kaku dan GEP lain, kesadaran menurun dan kelainan-kelainan
SSO (tachycardia, berkeringat, fluktuasi
tekanan darah, inkontinensi). Gejala ini
tidak tergantung pada dosis dan terutama timbul pada pria muda dalam waktu
2 minggu dengan insidensi 1%. Diagnosisnya sukar, namun bila tidak ditangani
dapat berakhir fatal.
b. galaktorrea (banyak keluar air susu), juga
akibat blokade dopamin, yang identik dengan
PIF(= Prolactine Inhibiting Factor). Sekresi
prolaktin tidak dirintangi lagi, kadarnya
meningkat dan produksi air susu bertambah
banyak. Lihat Bab 42, Hormon Hipofisis.
c. sedasi yang bertalian dengan khasiat antihistamin, khususnya klorpromazin, thioridazin
dan klozapin. Efek samping ini ringan pada
zat-zat difenilbutilamin.
d. hipotensi ortostatik akibat blokade reseptor α1
-adrenergik, misalnya klorpromazin, thioridazin dan klozapin.
e. efek antikolinergik akibat blokade reseptor
muskarin, yang bercirikan antara lain mulut
kering, penglihatan guram, obstipasi, retensi
kemih dan tachycardia, terutama pada lansia.
Efeknya terutama kuat pada klorpromazin,
thioridazin dan klozapin.
f. efek antiserotonin akibat blokade reseptor-5HT, yang merupakan stimulasi nafsu
makan dengan akibat naiknya berat badan
dan hiperglikemia.
g. gejala penarikan dapat timbul, walaupun
obat-obat ini tidak bersifat adiktif. Bila penggunaannya mendadak dihentikan dapat terjadi sakit kepala, sukar tidur, mual, muntah,
anoreksia dan perasaan takut. Efek ini terutama timbul pada obat-obat dengan kerja
antikolinergik. Oleh sebab itu penghentiannya selalu perlu secara berangsur.
h. efek lainnya. Akhirnya masih ada beberapa efek samping yang khas bagi obat-obat
tertentu, yaitu:
– fenotiazin: sering kali reaksi imunologis,
seperti fotosensibilisasi, hepatitis, kelainan darah dan dermatitis alergis, namun
jarang pada senyawa thioksanten. Efek
lainnya berupa kelainan mata dengan
endapan pigmen di lensa dan kornea,
serta retinopati pada thioridazin (dosis di
atas 800 mg/hari);
– klozapin: dapat memicu agranulositosis (1-2%), juga bradycardia, hipotensi
ortostatik dan berhentinya jantung;
– olanzapin dan risperidon pada lansia yang
menderita Alzheimer dapat mengakibatkan kerusakan serebrovaskuler, yang
meningkatkan mortalitas dengan lebih
dari dua kali dan tidak tergantung dari
lama dan besarnya dosis pemakaian . W.
Garenfeld, Pharm.Wkbl. 2004;139:1021-3
Kehamilan dan laktasi. pemakaian obatobat ini selama kehamilan dan laktasi sedapat mungkin harus dihindari berhubung
toksisitasnya bagi janin dan bayi. sebab
psikosis yang tidak ditangani dengan tepat
dapat sangat merusak kesehatan ibu dan
janin, risiko pemakaian antipsikotika bagi
tiap pasien perlu dipertimbangankan secara
individual. Bila sangat perlu hendaknya diberikan dalam dosis serendah mungkin untuk
waktu singkat. Periode kehamilan dengan
risiko tinggi yaitu minggu ke-4 sampai ke-
10 dan 2-4 minggu terakhir; selama periode
ini , hendaknya jangan diberikan medikasi. Obat pilihan pertama untuk keadaan
darurat yaitu haloperidol.
Interaksi. Beta-blocker dan antidepresiva trisiklis
dapat saling memperkuat efek antipsikotika
dengan menghambat metabolisme masingmasing. Levodopa dan bromokriptin dapat dikurangi kerja dopaminergnya. Barbital menurunkan kadar darah antipsikotika berdasar induksi enzim.
Klorpromazin dan garam litium masing-masing saling menurunkan kadarnya dalam
darah.
Obat-obat tambahan
Bila pemakaian antipsikotika kurang memberikan hasil yang diinginkan adakalanya
ditambahkan adjuvansia, misalnya suatu benzodiazepin, garam litium, antidepresiva atau
karbamazepin.
* Benzodiazepin dengan kerja agak panjang
seperti diazepam, dapat untuk sementara
ditambahkan pada antipsikotika dengan
efek sedatif ringan untuk menanggulangi
rasa takut dan gelisah. pemakaian nya tidak
boleh dihentikan dengan mendadak, namun
harus secara berangsur untuk menghindari
psikosis dan konvulsi reaktif (rebound).
* Litium berguna sebagai obat tambahan bila
ada komponen mania. Efeknya yang
baik berupa berkurangnya gejala psikosis,
kegelisahan dan perbaikan hubungan sosial
dapat tercapai sesudah 2-4 minggu. Dosis
antipsikotikum biasanya dapat dikurangi.
* Antidepresiva trisiklis, misalnya amitriptilin, adakalanya dapat ditambahkan
pada depresi yang timbul sesudah psikosis.
Berhubung kombinasi saling memperkuat
daya kerja dan toksisitas kedua obat, harus
diwaspadai meningkatnya efek antikolinergik, seperti ileus paralytis dan delirium.
* Karbamazepin adakalanya bermanfaat sebagai adjuvans bila ada kegelisahan
dan gangguan kelakuan parah. Obat epilepsi
ini menurunkan kadar antipsikotika dalam
darah.
Penanganan schizofrenia
Kesulitan utama pada penanganan semua
gangguan jiwa yaitu tidak adanya keinsafan
sakit pada kebanyakan pasien. Mereka menganggap halusinasi dan pikiran khayalnya
sebagai sesuatu yang sejati/riil dan selalu
berpikir dirinya tidak sakit, sehingga sering kali menolak minum obat. Lagi pula
undang-undang yang ketat di banyak negara tidak memungkinkan pengobatan/perawatan dipaksakan bagi pasien tanpa
persetujuannya. Pemaksaan hanya diperbolehkan bila pasien membahayakan dirinya
sendiri atau orang lain. Dengan demikian
tidak jarang penderita psikotis parah tidak
bisa ditolong. Penderita umumnya tidak bisa
memelihara kebutuhan dasar dirinya dan
berakhir sebagai gelandangan di jalan-jalan
kota.
Jelaslah bahwa sesudah masa psikosis lewat, juga kesetiaan terapinya (drug compliance)
kurang besar, yang tidak jarang mengakibatkan gagalnya pengobatan.
Schizofrenia tidak dapat disembuhkan,
penanganannya bersifat simtomatis, yaitu
meniadakan gejalanya dan kemudian mencegah kambuhnya lagi. Di samping itu rehabilitasi psikososial sangat penting untuk
reintegrasi pasien dalam masyarakat.
Psikoterapi. Dewasa ini para ilmiawan sepaham bahwa penanganan schizofrenia pa-
ling efektif terdiri atas kombinasi dari farmakoterapi bersama psikoterapi, termasuk
terapi kelakuan kognitif, yang juga disebut
“terapi wicara”. Dokter/psikiater berusaha
membangun hubungan baik dengan pasiennya dan memperoleh kepercayaan mereka,
juga mencoba membantu mengatasi problema
psikis mereka, serta memberikan petunjuk
bagaimana menghadapi masalah. Di samping itu penting sekali untuk secara moril
juga menunjang keluarganya yang lazimnya
sangat berfrustasi mengenai hubungannya
yang sering kali sangat sulit dengan pasien.
* Obat-obat klasik. Umumnya dimulai dengan suatu obat klasik, terutama klorpromazin bila diperlukan efek sedatif, trifluoperazin
bila sedasi tidak dikehendaki atau pimozida jika pasien justru perlu diaktifkan. Efek
antipsikotika baru menjadi nyata sesudah
terapi 2-3 minggu. Bila sesudah masa laten,
obat ini kurang efektif, perlu dicoba
obat lain dari kelompok kimiawi lain. Flufenazin dekanoat dipakai sebagai profilaksis untuk mencegah kambuhnya penyakit.
Thioridazin bermanfaat bagi lansia untuk
mengurangi GEP dan gejala antikolinergik.
Obat klasik terutama efektif untuk meniadakan gejala positif yang efeknya baru nampak
sesudah beberapa bulan. Pengobatan perlu
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan lebih rendah untuk mencegah residif, selama
minimal 2 tahun dan tidak jarang seumur
hidup.
* Obat-obat atypis. Obat atypis lebih ampuh
untuk simtom negatif kronis, mungkin sebab
pengikatannya pada reseptor -D1
dan -D2
lebih
kuat. Sulpirida, risperidon dan olanzapin dianjurkan bila obat klasik tidak efektif (lagi)
atau bila terjadi terlalu banyak efek samping.
sebab klozapin dapat memicu agranulocytosis hebat (1-2% dari kasus), selama terapi perlu dilakukan penghitungan lekosit
setiap minggu.
* Obat-obat tambahan, yaitu antikolinergika
(triheksifenidil, orfenadrin) dan beta-blocker (propranolol). Obat ini sering ditambahkan untuk
menanggulangi efek samping antipsikotika,
terutama gejala extrapiramidal (GEP). Benzodiazepin diberikan untuk mengatasi kegelisahan dan kecemasan.
Penanganan alternatif
Sejumlah psikiater (C.Pfeiffer, A.Hoffer) telah
berhasil baik dengan mengkombinasi vitamin
dan mineral tertentu dalam megadose sebagai terapi. Penanganan ortomolekuler ini
berdasar penemuan bahwa pasien schizofreni mengalami defisiensi nutrien-nutrien
bersangkutan. Cara ini terdiri dari pemberian
nutrien tepat dengan antar-perbandingan yang
tepat ke sel-sel tubuh (Yun. Orthos = lurus,
tepat, sehat), lihat selanjutnya boks di Bab 53,
Vitamin.Yang diberikan yaitu vitamin C (3
x 1 g), niasinamida (3 x 1-2 g), piridoksin (2-3
x 250 mg) dan vitamin E (1x 400 mg). Pilihan
ini didasarkan pada sering ditemukannya
kekurangan vitamin-vitamin ini di otak
penderita schizofrenia.
Mekanisme kerja. Menurut perkiraan hal ini
disebabkan oleh terhambatnya pengubahan
asam amino triptofan menjadi niasinamida
dalam otak, sehingga terjadi kekurangan
vitamin B3
dan kelebihan triptofan bebas.
Lihat Bab 54, Dasar-dasar diet sehat: asam
amino, triptofan dan Bab 53, Vitamin. Triptofan berlebihan dapat mendorong pembentukan zat-zat halusinogen tertentu (yang memicu khayalan) dan dapat memicu kelainan pada suasana jiwa dan pengamatan. Halusinogen ini dapat dirombak oleh
enzim MAO (monoaminooksidase) yang justru memerlukan niasinamida (dan vitamin C)
untuk kerjanya. Lagi pula pada schizofrenia
ada kekurangan co-enzim NAD (nicotinamide-adenine-dinucleotide) di otak yang dibentuk di bawah pengaruh niasinamida dan
berperan penting pada reaksi redoks (reduksi
dan oksidasi) di dalam sel. Vitamin B3
ini dan
piridoksin mutlak diperlukan untuk reaksi
pengubahan triptofan sebab merupakan koenzim bagi hidroksilase.
Zat-zat tambahan. Di samping vitamin itu
diberikan pula sejumlah elemen tertentu,
yaitu magnesium (250 mg), zinc (50 mg), selenium (220 mcg) dan mangan (25 mg) sehari.
Lihat juga Bab 53, Vitamin. Dianjurkan pula
diet tanpa bahan makanan yang mengandung
asam amino, yang dapat meningkatkan ka-dar atau aktivitas dopamin di otak, yaitu
kacang-kacangan (dari genus Flava), gluten
(suatu protein dalam gandum) dan kacang tanah
(mengandung banyak glisin dan serine).
Dengan pemberian kombinasi ini gejala
penyakit ternyata dapat sangat dikurangi, sehingga banyak pasien dapat berfungsi
sosial lebih baik bahkan dapat bekerja secara
lebih kurang normal.
MONOGRAFI
1. Klorpromazin (F.I.): Largactil
Antipsikotikum tertua ini (1951) merupakan
turunan dari prometazin dan memiliki rantai
sisi alifatis. Khasiat antipsikotiknya lemah,
sedangkan efek antihistamin dan alfa-adrenergnya lebih kuat. Obat ini memperkuat
efek analgetika, sehingga membuat pasien
lebih tak-acuh pada rasa nyeri. Selain pada
keadaan psikosis dan sebagai obat tambahan
pada analgetika, klorpromazin juga dipakai untuk mengobati sedu yang tak hentihenti (singultus, hiccup).
Resorpsi di usus baik, namun BA hanya ±30%
akibat FPE besar. PP tinggi, sekitar 95%, t1/2
16-37 jam. Zat ini mudah melintasi barrier
darah-CCS; kadarnya dalam cairan otak lebih
tinggi daripada dalam darah. Ekskresi lewat
urin sebagai metabolitnya.
Efek samping yang terpenting yaitu terhadap hati dan darah, mungkin akibat suatu
reaksi alergi. Zat ini dapat menyumbat saluran
empedu sesudah 2-4 minggu dan kerusakan
ini tidak selalu reversibel. Kelainan darah
(agranulositosis, 1:300) agaksering dilaporkan.
Efek samping umum lainnya yaitu efek
sedatif yang kuat dan GEP yang sering kali
terjadi.
Dosis: pada psikosis oral, i.m. atau i.v. 3 dd
25 mg garam-HCl selama 3-4 hari, bila perlu
dinaikkan sampai 1 g sehari. Pada sedu: 3-4
dd 25-50 mg, sebagai adjuvans pada nyeri
sedang/hebat 2-4 dd 25 mg.
* Levomepromazin (Nozinan) yaitu derivat yang atom klornya digantikan dengan
-OCH3. Khasiat antipsikotiknya sama dngan
klorpromazin. Khasiat analgetiknya lebih kuat, ±60% dari morfin, sehingga bermanfaat
terhadap nyeri hebat, antara lain pada kanker
dan sinannaga (herpes zoster). Plasma-t½ lebih
panjang, sampai 78 jam. Efek samping penting
lainnya yaitu hipotensi dan mengantuk.
Dosis: pada nyeri hebat i.m. 12,5-25 mg, oral
4-6 dd 12,5-50 mg (garam-hidrogenmaleat).
2. Thioridazin: Melleril
Salah satu fenothiazin pertama ini dengan
rantai sisi piperidin (1958) memiliki khasiat
antipsikotik dan sedatif yang baik, sehingga
sering kali dipakai pada pasien yang
sukar tidur. Obat ini dipakai pula pada
neurosis hebat dengan depresi, rasa takut
dan ketegangan, serta depresi dengan kegelisahan. Efek anti-adrenergiknya lebih kuat,
juga efek antihistamin, antikolinergik dan
antiserotonin.
Resorpsi di usus baik dan lengkap, namun
BA hanya 65% akibat FPE besar. PP di atas
95%, t½ 10-24 jam. Ekskresi sebagai metabolit
lewat feses (50%) dan urin (30%).
Efek samping yang terpenting yaitu gejala
antikolinergik kuat dan hipotensi ortostatik,
GEP dan hepatitis jarang terjadi.
Dosis: oral 2-4 dd 25-75 mg (garam-HCl),
maksimal 800 mg sehari, sebagai tranquillizer
2-3 dd 15-30 mg.
* Periciazin (Neuleptil) yaitu derivat piperidin dengan efek antipsikotik agak ringan
dan efek antiadrenergik dan antiserotonin
kuat. Dosis: oral 2-3 dd 10-20 mg (garamtartrat), maksimal 90 mg/hari, pada manula
dimulai dengan 5 mg/hari, yang berangsurangsur dinaikkan sampai 20-30 mg/hari.
3. Perfenazin: Trilafon, *Mutabon-D/M
Derivat fenotiazin dengan rantai sisi
piperazin ini (1957) berkhasiat antipsikotik
kuat dengan efek antiadrenergik dan antiserotonin relatif lemah. Efek antikolinergiknya
ringan sekali. Obat ini juga berkhasiat antiemetik kuat.