Tampilkan postingan dengan label obat 31. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label obat 31. Tampilkan semua postingan

obat 31




 an feses. Efek samping berupa 

mual, sembelit, diare, hipotensi ortostatik, 

diskinesia, halusinasi, pusing dan udema 

perifer. Dosis: permulaan oral 1 dd 0,05 mg, 

berangsur dinaikkan sampai 3 dd 0,5 mg 

(mesilat) dalam waktu 30 hari. Juga dapat 

dikombinasi dengan levodopa.

A7. Amantadin: Symmetrel

Obat antiviral dan anti-influenza-A ini 

(1964, lihat Bab 7, Virustatika) secara kebetulan ditemukan khasiat anti-Parkinsonnya, 

yang menurut perkiraan di dasarkan atas 

stimulasi pelepasan DA dari ujung saraf

atau blokade dari re-uptake DA di ujung 

saraf presinaptis. Khasiatnya menyerupai 

levodopa, namun  jauh lebih lemah. sebab 

Restless Legs Syndrome (RLS) yaitu  gangguan dengan kegelisahan motorik, yang ditandai perasaan 

tidak nyaman di tungkai dalam keadaan sadar maupun sewaktu istirahat. Gejalanya mencakup 

rasa seperti terbakar, gatal-gatal, nyeri atau kejang-kejang di tungkai, kadangkala juga di tubuh dan 

lengan. Gejala ini umumnya timbul segera bila penderita duduk atau berbaring dan memburuk 

pada malam hari sehingga dapat mengganggu pola tidur. RLS dapat menyerang orang dari semua 

usia, bahkan anak-anak, namun  tersering manula dan lebih sering wanita daripada pria. Sering kali 

RLS diakibatkan oleh penyakit lain (diabetes, hipotireoidi, uremia), atau akibat pemakaian  obat. 

ada  indikasi bahwa ada kaitan dengan perubahan fungsi dopaminerg di SSP. Juga berkurangnya 

penyerapan unsur besi di otak (anemia ferriprive) dihubungkan dengan RLS, misalnya pada ±19% dari 

wanita hamil dalam trimester terakhir. 

Penanganan yang dianjurkan pada serangan akut terdiri dari masase, bergerak-gerak, melakukan 

latihan meregang dan relaksasi, seperti yoga dan biofeedback. 

Pengobatan. Banyak obat dipakai  terhadap gangguan ini, a.l. levodopa + inhibitor dekarboksilase, 

agonis dopamin (ropinirol, pramipeksol, pergolida), anti-epileptika(karbamazepin, fenitoin, 

gabapentin), benzodiazepin (klonazepam), derivat kinin (kinidin, hidrokinin = Inhibin). Telah 

dilakukan banyak penelitian mengenai efektivitas dari obat-obat ini dan ternyata bahwa kebanyakan 

tidak bermanfaat. Hanya dari agonis-DA dapat dipastikan secara ilmiah (untuk sebagian 

efektivitasnya), khususnya ropinirol yang di beberapa negara sudah resmi diregistrasi untuk 

pengobatan RLS, a.l. di Prancis.

Ref.: Geneesm Bull 2004, 38:73-77, Drug & Ther Bull 2003;41:81-83).

pemakaian  “off-label”

Obat-obat ini  sebetulnya dipakai  secara “off-label” terhadap RLS,artinya di luar indikasi 

resmi yang telah diregistrasi oleh pemiliknya (pabrik farmasi) dan atas tanggung-jawab dokter yang 

mempreskripsinya. Pada kasus penyakit berat lazimnya dokter memberitahukan hal ini pada pasien, 

yang perlu memberikan persetujuan tertulis untuk memakai  obat bersangkutan (“ïnformed 

consent”). Pada kasus RSL dan gangguan-gangguan lain yang relatif ringan protokol resmi ini 

umumnya tidak dilakukan.

efeknya lebih cepat, yaitu sesudah 2-3 hari, 

obat ini dipakai  bila diperlukan efek 

yang segera. Amantadin memperkuat khasiat levodopa dan antikolinergika (adisi). dipakai  sebagai monoterapi atau dikombinasi dengan obat-obat Parkinson lainnya. 

Resorpsi di usus berlangsung cepat dengan 

kadar maksimal dalam darah dicapai sesudah 

1-4 jam dan masa paruhnya ±15 jam. Ekskresi

berlangsung melalui urin dalam keadaan 

utuh.

Efek samping lebih ringan daripada levodopa dan pada dosis biasa jarang terjadi. Oleh 

sebab  itu obat ini bermanfaat bagi penderita 

yang tidak tahan terhadap dosis penuh dari 

levodopa. Amantadin dapat memicu  

rasa letih, mulut kering, gangguan penglihatan, gangguan buang air kecil, hipotensi 

ortostatik dan juga efek sentral, seperti pusing, insomnia dan halusinasi. Kadang-kadang timbul pula udema pada pergelangan 

kaki dan pigmentasi kelabu pada jari-jari 

tangan. Toleransi dapat timbul sesudah 3-6 

bulan, pada saat mana peningkatan dosis 

tidak efektif lagi.

Dosis: permulaan oral 1 dd 100 mg (HCl 

atau sulfat) sesudah makan pagi; sesudah  1 

minggu 2 dd 100 mg dan maksimal 400 mg 

sehari. 

*Memantin (Ebixa) yaitu  derivat amantadin 

(1983) yang berkhasiat memblokir stimulasi 

berlebihan dari glutamat, sehingga pemasukan kalsium berlebihan ke dalam sel dihindari (dapat mematikan sel). Resorpsinya 

dari usus baik dengan BA ±100%, PP 45% 

dan dalam hati dirombak menjadi 2 metabolit 

inaktif., yang untuk 75-90% diekskresi melalui urin. Masa paruhnya panjang, 60-100 

jam. Efektif pada ±29% dari kasus Alzheimer 

hebat dan sangat parah, untuk memperbaiki 

atau menstabilisasi fungsi kognitif, aktivitas 

sehari-hari dan keadaan umumnya. Juga 

dipakai  pada penyakit Parkinson. Efek 

samping yang paling sering dilaporkan yaitu  

halusinasi, perasaan kacau, pusing dan sakit 

kepala. 

Dosis: permulaan 1dd 5 mg, berangsurangsur ditingkatkan dalam waktu 4 minggu 

sampai 2 dd 10 mg.

A8. Triheksifenidil: benzheksol, Artane, Arkine

Senyawa piperidin ini yaitu  prototipe dari 

antikolinergika sintetik, yang dipakai  

sebagai obat Parkinson (1949). Khasiat antikolinergik dan efek pusatnya menyerupai 

atropin, namun  lebih lemah; efek sampingnya 

pun lebih ringan. Seperti antikolinergika 

lainnya obat ini dapat memperbaiki tremor, 

namun  kurang efektif terhadap akinesia dan 

kekakuan. Triheksifenidil berkhasiat terhadap salivatio (keluar air liur berlebihan). Toleransi dapat terjadi dan bila dikombinasi 

dengan levodopa sering kali bermanfaat. 

Resorpsi dari usus cepat, lama kerjanya 6-12 

jam. Ekskresi melalui urin dan kemungkinan 

dalam keadaan utuh. 

Efek samping jarang terjadi dan berupa 

umum, yaitu gangguan saluran cerna, mulut 

kering, gangguan penglihatan dan efek pusat 

(gelisah, pikiran kacau, sukar tidur dan 

halusinasi).

Dosis: permulaan oral 1 dd 1 mg d.c., bila 

perlu berangsur-angsur dinaikkan sampai 

dosis pemeliharaan 6-12 mg sehari dan maksimal 15 mg sehari. Pada gejala ekstrapiramidal maksimal 15 mg sehari. 

*Biperiden (Akineton) yaitu  derivat (1954) 

yang terutama efektif terhadap akinesia dan 

kekakuan namun  kurang efektif terhadap 

tremor. 

Resorpsi cepat dan praktis sempurna, ekskresi melalui urin sebagai metabolit. Plasma-t½ 18 jam. 

Efek samping kurang lebih sama. 

Dosis: oral 2 dd 1 mg d.c. yang berangsurangsur dapat dinaikkan sampai 3-4 dd 1-4 

mg. Pada gejala ekstrapiramidal 1-3 dd 2-6 

mg. 

B. OBAT ALZHEIMER

B1. Ropinirol: Requip

Derivat indolinon ini (1995) bekerja selektif 

terhadap reseptor dopamin (D2

) postsinaptik. Sama dengan lisurida dan pergolida, 

ropinirol juga menghambat sekresi prolaktin. Dianjurkan pemakaian nya pada awal 

penyakit atau pada fase lebih lanjut bersama levodopa untuk memperkuat efeknya. Ropinirol, seperti juga DA-agonis lain pramipeksoldan pergolida, dapat dipakai  

dengan efektif untuk pengobatan “restless legs 

sindrom”27 yang mungkin ada hubungannya 

dengan kekurangan DA, lihat boks. Penghentian pemakaian  obat ini harus secara 

berangsur-angsur dikurangi dosisnya dalam 

waktu 1 minggu.

Efek samping yang sering terjadi mual 

dan muntah, nyeri perut, juga mengantuk 

dan udema pada kaki. Seperti pada semua 

agonis-DA adakalanya muncul rasa kantuk 

pada siang hari yang tak tertahan dan pasien 

tiba-tiba bisa jatuh tertidur.

Kombinasinya dengan levodopa juga menyebabkan diskinesia, halusinasi dan berbicara rancu.

Dosis: minggu pertama 3 dd 0,25 mg, minggu kedua 3 dd 0,5 mg, minggu ketiga 3 

dd 0,75 mg dan minggu keempat 3 dd 1 mg. 

Bila perlu berangsur-angsur dapat dinaikkan 

sampai maksimal 3 dd 3 mg.

B2. Tacrin: tetrahydroaminoacridine, THA, Aricept, Cognex

Derivat acridin ini (1993) berkhasiat menghambat secara reversibel kolinesterase di 

SSP. Tacrin dipakai  pada bentuk ringan 

atau sedang dari demensia Alzheimer, berdasar  penemuan bahwa pada pasien 

demikian ada  kehilangan selektif dari 

neuron kolinergik di otak. Penurunan dosis 

atau penghentian pengobatan harus secara 

berangsur berhubung risiko timbulnya gangguan perilaku dan fungsi kognitif. Efektivitasnya rendah., maka tidak banyak dipakai  lagi.

Pada pasien Alzheimer masa paruhnya 

3 jam. Obat ini juga dipakai  sebagai stimulans pernapasan dan antidotum kurare.

Efek samping berupa gangguan saluran 

cerna, pusing, nyeri sendi, konvulsi dan gangguan serius fungsi hati. 

Dosis: permulaan oral 40 mg/hari selama 6 

minggu, lalu dinaikkan dengan 40 mg setiap 

6 minggu, maksimal 160 mg.

B3. Donepezil: Aricept

Obat ini (1997) yaitu  enzim inhibitor berdasar  pembentukan suatu kompleks stabil 

dengan asetilkolinesterase, yang dihidrolisis 

dalam beberapa menit. Donepezil hanya 

dipakai  pada kasus ringan sampai sedang 

demensia Alzheimer dengan efek terbatas 

pada fungsi kognitif otak.

Resorpsi dari usus lengkap (hampir 100%), 

PP 94%, t½ 70-100 jam. Donepezil dimetabolisasi di hati untuk kemudian diekskresi 

lewat urin. 

Efek samping berupa gangguan saluran 

cerna (mual, muntah, diare, anoreksia, dispepsi, konstipasi), kejang otot dan tidak bisa 

tidur.

Dosis: 1 dd 5 mg a.n. (sebelum tidur), sesudah 4 minggu 1 dd 10 mg.

B4. Rivastigmin: Exelon

Obat ini (1997) menghambat kolinesterase 

selama lebih dari 10 jam sesudah  mengikatnya. 

Pada Alzheimer ringan hanya memperbaiki 

fungsi kognitif pada hanya sejumlah kecil 

pasien, kurang dari 10% (NTvG 2002;146:24-

27). Resorpsi dari usus cepat dan lengkap, 

namun  BA hanya ±35% akibat FPE besar. 

PP 40%, plasma-t½ ±1 jam. Di dalam hati 

senyawa ini dirombak total dengan cepat.

Efek samping berupa perasaan lemah dan 

malaise, pusing, gangguan saluran cerna dan 

mengantuk. Begitu pula efek pusat (agitasi, 

perasaan kacau, tremor dan depresi), berkeringat dan menurunnya berat badan.

Dosis: permulaan 2 dd 1,5 mg d.c, sesudah  

itu setiap 2 minggu dapat dinaikkan sampai 

2 dd 3 - 6 mg. 

B5. Asam liponat: alpha-lipoic acid, thioctic acid

Derivat dithiolan (cincin-lima dengan 2 

atom S) dari asam valerat ini berkhasiat 

antioksidan broad-spectrum kuat, sebagai 

faktor pertumbuhan untuk banyak kuman 

dan protozoa. Fungsinya di dalam sel yaitu  

sebagai pelindung mitochondria terhadap 

kerusakan oksidatif, juga berperan penting 

pada produksi energi aerob, sebab  merupakan ko-faktor dalam sistem enzim di siklus 

asam sitrat (Krebs‘ cyclus). 

Dalam mitochondria (pusat energi dari 

sel), liponat diubah menjadi dihidroliponat 

(DHL) yang juga aktif sebagai antioksidan 

terhadap berbagai radikal oksigen reaktif.

DHL mampu memulihkan sifat antioksidan 

asli dari molekul vitamin C dan vitamin E

yang sudah dipakai , sehingga mampu 

mereduksi kembali (regenerasi) antioksidansia yang sudah dioksidasi. Begitu juga 

DHL dapat meregenerasi antioksidan intraseluler penting glutathion. DHL bekerja 

baik di lingkungan intraseluler maupun 

ekstraseluler. Lagi pula obat ini mampu 

mengchelasi (mengikat) Fe, yang menstimulasi pembentukan radikal hidroksil yang 

berbahaya.

pemakaian . Di kalangan alternatif liponat 

kini dipakai  untuk menangani gangguan 

sistem saraf, antara lain pada penyakit Parkinson dan Alzheimer, serta infark otak (beroerte).

Liponat juga dipakai  untuk meringankan gejala neuropati diabetes (Diab Care 

1995;18: 1160-7). Mekanisme kerja dari khasiat neuroprotektif ini  tidak diketahui 

dengan pasti, namun  diduga berdasar  daya 

antioksidannya yang kuat. Liponat bersifat 

lipofil, maka dengan mudah melintasi rintangan darah-otak. Dalam otak dan saraf 

ada  banyak asam lemak ganda tak jenuh (PUFA), oleh sebab  itu bersifat sangat 

peka bagi kerusakan oksidatif oleh radikal 

bebas (FR), yang terbentuk akibat aktivitas neurotransmitter tertentu. Khasiat antioksidan dari liponat sangat bermanfaat dalam hal ini. Liponat juga terkenal sebagai 

antidotum terhadap intoksikasi jamur beracun Amanita muscaria, alkohol (berkat efek 

menghambatnya terhadap pembentukan asetaldehida), logam-logam (Hg) dan zat pelarut 

(tetraklor dan sebagainya). Lihat juga Bab 47, 

Insulin, 6.Asam Liponat.

Dosis: 3 dd 100 mg.

C. MULTIPLE SCLEROSIS

C1. Interferon beta-1b: IFN-β1b, Betaferon

Protein ini dengan 165 asam amino yang 

dibuat berdasar  teknik DNA-rekombinan 

oleh E. coli (1993), mengandung serin pada 

C17 sebagai pengganti sistein (pada IFN-β1 

alamiah). Obat ini berkhasiat antiviral dan 

imunomodulator, antara lain menstimulasi 

T-supressor cell (CD8+) yang jumlahnya 

ternyata sangat rendah dan bersama peningkatan produksi kortisol menghasilkan penurunan aktivitas proses imun. Senyawa 

ini juga menekan efek imunologi dari IFNgamma, yang dihubungkan dengan pemburukan gejala penyakit MS. namun  belum 

diketahui jelas mekanisme mana yang memiliki peranan terpenting bagi daya kerjanya 

pada MS. Berkhasiat mengurangi frekuensi 

serangan (dengan 30%), mengurangi hebatnya residif serta jumlah kerusakan myelin 

pada gambaran-MRI dari bentuk MS tertentu. Lagipula progres penyakit dapat diperlambat (Lancet 1998 ;352 :1491-7). Masa 

paruhnya ±5 jam dan hanya dapat diberikan 

parenteral. 

Efek sampingnya berupa gejala flu dengan 

demam menggigil, nyeri otot, berkeringat 

dan malaise umum, juga reaksi alergi serius 

dengan kadangkala urticaria, bronchospasme 

dan anafilaksis, serta efek sentral (rasa takut, 

kekacauan dan depresi).

Dosis: s.c. 8 MIU (= 250 mcg/ml) setiap 2 

hari. Lihat juga interferon-alfa dan interferon-gamma di masing-masing Bab 14, Sitostatika dan Bab 49, Imunomodulansia, juga 

Bab 7, Virustatika.

*Interferon beta-1a (IFN-ß1a, Avonex) yaitu  

suatu protein terglikolisasi yang terdiri dari 166 

asam amino, identik dengan IFN-β human. 

Pembuatan, khasiat dan pemakaian nya sama dengan IFN-β1b. Progres penyakit dapat 

dipengaruhi secara positif.

Dosis: i.m. 6 MIU (= 30 mcg/ml) 1-3 kali 

seminggu.

C2. Natalizumab: Tysabri

Merupakan monoklonal antibody (MOAB) 

recombinant sebagai perintang integrin yang 

di-ekspresikan dengan kuat pada permukaan 

semua lekosit, kecuali neutrofil. Pengikatan 

pada integrin mencegah migrasi lekosit ke 

jaringan yang beradang dan mungkin juga 

menekan reaksi peradangan. dipakai  sebagai monoterapi pada fase awal ‘relapsing 

remitting’MS (RRMS). Masa paruhnya panjang 6 jam dan dapat diperpanjang lagi tiga 

kali bila ada  antibodi yang bertahan. 

Wanita hamil dan yang menyusui tidak 

boleh diberikan obat ini.Dosis: infus intravena selama 1 jam 300 mg 

setiap 4 minggu




ANTIPSIKOTIKA

PSIKOFARMAKA

Obat penyakit jiwa yaitu  obat-obat yang bekerja terhadap SSP dengan memengaruhi 

fungsi-fungsi psikis dan proses-proses mental. Dari banyak kelompok obat yang memenuhi definisi ini, hanya psikofarmaka sejati 

yang akan dibicarakan di bab ini, khususnya 

antipsikotika (dan antidepresiva di Bab 30). 

Yang lainnya seperti sedativa, tranquillizers, 

hipnotika dan anti-epileptika, telah dibahas 

di Bab-bab tersendiri.

Sejarah. Di masa lampau penyakit jiwa diobati dengan sedativa seperti candu, bromida 

dan skopolamin, kemudian dengan barbital. 

Pengobatan ini sering kali dilengkapi dengan 

beberapa cara lain, misalnya kerja kreatif, kur tidur (1922) atau cara-cara yang agak 

drastis (shock insulin, 1933 dan shock/kejang 

listrik, 1937). Pada schizofrenia parah bahkan dilakukan operasi otak (leukotomia, 1935)

untuk mengeluarkan sebagian otak. Cara-cara ini menghasilkan efek yang cukup baik, 

terutama electroshock (Electro Convulsive Therapy, ECT), namun  pelaksanaannya dengan gejala yang hebat (serangan epilepsi, kerusakan 

otak, hilangnya ingatan), telah menemui perlawanan dari baik pasien maupun perawat. 

Revolusi dalam farmakoterapi psikosis telah 

dimulai dengan introduksi klorpromazin 

pada tahun 1952. Antipsikotikum pertama 

ini disusul oleh alkaloida Rauwolfia reserpin 

(1954), yaitu suatu obat hipertensi yang dewasa ini dianggap kuno. Kemudian banyak 

antipsikotika lain dipasarkan yang efektif 

dalam menanggulangi banyak gejala psikosis. 

Kemajuan selanjutnya dicapai di akhir tahun 

1980-an dengan ditemukannya antipsikotika 

baru yang mampu menyembuhkan gejalagejala negatif, yang kebal terhadap obat-obat 

terdahulu. 

Obat generasi kedua itu tidak mampu menyembuhkan 100% gangguan jiwa, namun 

banyak gejalanya dapat dihilangkan atau 

dikurangi. Keadaan pasien dapat diperbaiki, 

hingga dapat melanjutkan kehidupannya 

secara bebas dengan kualitas hidup yang baik. Lagi pula obat-obat ini tidak saja lebih 

efektif daripada obat-obat dan cara-cara lama, melainkan mengubah drastis dan mempermudah perawatan pasien di rumah sakit 

gangguan jiwa. Mereka menjadi lebih terbuka dan bersedia berkomunikasi dengan 

para dokter, perawat dan terapisnya. Masa 

perawatannya di rumah sakit pun dapat 

dipersingkat, sebab  sering kali pengobatannya dapat secara ambulan, artinya poliklinis, 

di rumahnya sendiri. Resosialisasinya dalam 

masyarakat juga berlangsung lebih lancar. 

Meskipun demikian, psikofarmaka ternyata 

tidak dapat menggantikan seluruhnya terapi 

klasik, seperti ECT pada keadaan depresi 

tertentu.

Penggolongan

Psikofarmaka dalam arti sempit, yang terutama dipakai  untuk penanganan gangguan jiwa, dapat digolongkan dalam dua 

kelompok besar, yakni:

a. antipsikotika (dahulu disebut neuroleptika atau major tranquillizers) yang bekerja antipsikotik dan sedatif. Obat ini 

dipakai  khusus untuk berbagai jenis 

psikosis (a.l. schizofrenia) dan mania;

b. antidepresiva, yang berdaya memperbaiki suasana murung dan putus asa 

yang terutama dipakai  pada keadaan 

depresi, panik dan fobia. Lihat selanjutnya 

Bab 30, Antidepresiva.


Neurotransmitter

Di otak ada  ±30 neurotransmitter atau 

neurohormon yang bertanggungjawab atas 

penerusan impuls listrik antara sel-sel saraf 

secara kimiawi. Dari tajuk (neurit, axon) di 

ujung suatu neuron, neurohormon melintasi 

sinaps (celah di antara dua sel saraf) ke tajuk 

(dendrit) di bagian depan neuron berikutnya 

(saraf post-sinaptis). Ada sejumlah sistem neurotransmitter, antara lain sistem adrenergik dan

sistem kolinergik dengan zat-zatnya tersendiri, 

lihat juga Seksi V, Penerusan impuls.

a. Sistem adrenergik. Neurohormon terpenting di otak yaitu  zat-zat monoamin noradrenalin (NA), serotonin (5-HT = 5-hidroksitriptamin) dan dopamin (DA), yang menentukan kegiatan otak dengan antar-keseimbangannya. Zat-zat ini khusus ada  dalam gelembung-gelembung kecil di ujung axon 

(presinaptis), yang letaknya dekat sinaps. Setelah impuls listrik mencapai axon, gelembung depot melepaskan neurohormonnya. 

Sebagian besar neurohormon segera diserap 

kembali secara aktif oleh gelembung tersebut (re-uptake), sisanya melintasi sinaps dan 

mencapai reseptor-reseptor di ujung dendrit 

di seberangnya. Setibanya di situ neurohormon menstimulasi reseptor untuk melepaskan suatu impuls kedua, yang mengakibatkan “melompatnya” impuls asli melalui sinaps. Enzim MAO (monoaminoksidase), yang 

juga ada  di ujung-ujung neuron, berfungsi menguraikan monoamin sesudah 

aktivitasnya selesai. 

Obat-obat yang mengurangi kadar dopamin di sel-sel saraf otak memiliki daya kerja 

antipsikotik, sedangkan obat-obat yang meningkatkan kadar DA dipakai  pada penyakit Parkinson. Obat-obat yang memperbesar

kadar serotonin dan noradrenalin di celah 

sinaptis dengan jalan menghambat re-uptakenya memiliki daya kerja antidepresi.

b. Sistem kolinergik. Neurohormon asetilkolin (Ach) dari sistem kolinergik tidak 

diresorpsi kembali, melainkan langsung diuraikan oleh kolinesterase. Obat-obat antikolinesterase yang meningkatkan kadar ACh 

di otak, antara lain tacrin, dipakai  untuk 

demensia Alzheimer, lihat Bab 28 C, Obat-obat 

demensia.

Antipsikotika

Antipsikotika (major tranquillizers) yaitu  

obat-obat yang dapat menekan fungsi-fungsi 

psikis tertentu tanpa memengaruhi fungsi 

umum seperti berpikir dan berkelakuan normal. Obat ini dapat meredakan emosi dan 

agresi dan dapat pula menghilangkan atau 

mengurangi gangguan jiwa seperti impian 

buruk dan pikiran khayali (halusinasi) serta menormalisasikan perilaku yang tidak 

normal. Oleh sebab  itu antipsikotika terutama dipakai  pada psikosis, penyakit jiwa 

hebat tanpa keinsafan sakit oleh pasien, misalnya penyakit schizofrenia («gila») dan psikosis mania-depresif.

* Minor tranquillizers yaitu  anksiolitika 

yang dipakai  pada gangguan kecemasan 

dan pada gangguan tidur, seperti hipnotika. 

Lihat Bab 24, Sedativa dan Hipnotika.

Gangguan jiwa

Klasifikasi. Ada ratusan penyakit jiwa dan 

gangguan perilaku, yang tidak mudah didiagnosis. Untuk memudahkan dan menstandardisasi diagnosis, lazimnya dipakai  klasifikasi dari APA (American Psychiatric Association) dalam buku pedomannya DSM-5

(Diagnostic and Statistical Manual of Mental 

Disorders, edisi ke-5, 2013), yang merupakan 

otoritas universal mengenai diagnosis psikiatri. Dalam pedoman ini diberikan definisi 

dan kriteria saksama dari semua gangguan 

psikiatri dan rekomendasi untuk terapi. 

Di bawah ini diberikan ringkasan singkat 

dari sejumlah gangguan jiwa terpenting 

yang berkaitan dengan psikosis. Gangguan 

depresi dan gangguan makan akan dibicarakan di Bab 30 dan Bab 31, sedangkan ketagihan/drugs telah dibahas dalam Bab 23, 

Drugs.

a. Psikosis didefinisikan sebagai gangguan 

jiwa yang sangat merusak akal budi dan 

pengertian (insight), timbulnya pandangan 

yang tidak realistik atau bizar (aneh), memengaruhi kepribadian dan mengurangi berfungsinya penderita. Gejala psikotis mencakup 

waham (pikiran khayal, delusio), halusinasi 

dan gangguan berpikir formal (tidak dapat 

berpikir riil), yang sering kali disebabkan 

oleh schizofrenia. Psikosis dapat diobati dengan antipsikotika.

b. Neurosis termasuk gangguan konstitusi 

jiwa tanpa kerusakan organik dan tanpa gejala psikotis. Kepribadian pasien relatif kurang terganggu dan kontak dengan realitas 

juga tidak terganggu. Gangguan jiwa ini (termasuk histeria dan neurastenia) dapat dianggap sebagai bentuk berlebihan dari reaksi 

normal terhadap situasi dan kejadiaan dengan penuh stress. Gejalanya dapat berupa 

kegelisahan, kecemasan, murung, mudah tersinggung dan berbagai perasaan tidak nyaman pada tubuh. Pasien neurosis dapat ditangani dengan tranquillizers.

c. Sindroma Borderline, lengkapnya Borderline Personality Disorder (BPD), yang gejalanya terletak antara neurosis, psikosis dan 

depresi. Sejak tahun 1987 sindroma ini diakui 

sebagai penyakit jiwa dan dalam DSM 1996 

dimuat kriteria untuk diagnosisnya. Gejalanya banyak sekali dan yang utama yaitu 

impulsivitas (minuman keras /narkotika, penyalahgunaan, mengendarai mobil secara 

membahayakan, hasrat kuat untuk membeli), 

instabilitas emosional dengan perubahan suasana 

secara mendadak dan percobaan bunuh diri, 

kesulitan bersosialisasi sebab  menganggap 

segala sesuatu sebagai hitam-putih. Ciri-ciri 

lainnya yaitu  ketakutan ditinggalkan dan 

sukar hidup sendiri, juga kecurigaan kuat 

dengan hilangnya hubungan antara daya berpikir dan perasaan (disosiasi), masa-masa 

psikosis singkat dan masa-masa depresi. 

Akibat gejala-gejala ini penderita BDP mengalami banyak kesulitan dalam pergaulan dan 

cenderung menarik diri dari kehidupan 

sosial.

Pengobatan dilakukan poliklinis dengan 

kombinasi dari suatu bentuk psikoterapi

khusus dan psikofarmaka (antipsikotika, antidepresiva atau obat-obat yang meregulasi 

suasana, seperti litium).

d. Mania didefinisikan sebagai kecenderungan patologis untuk suatu aktivitas tertentu yang tidak dapat dikendalikan, misal-nya 

mengutil (kleptomania). Suasana jiwa pasien 

riang namun  seolah-olah ada paksaan untuk 

bertindak/melakukan aktivitas berlebihan, 

kegelisahan dan perilaku tak terkendali. Bila 

masa-masa mania diselingi masa-masa depresi, gangguan ini disebut depresi manis, lihat 

Bab 30, Antidepresiva. Penanganan mania 

dilakukan dengan antipsikotika, khususnya 

klorpromazin, halo-peridol dan pimozida.

Schizofrenia

Schizofrenia merupakan gangguan jiwa yang 

dalam kebanyakan kasus bersifat sangat serius, berkelanjutan dan dapat mengakibatkan kendala sosial, emosional dan kognitif

(pengenalan, pengetahuan, daya membedakan; Lat. cognitus = dikenali). namun  ada pula 

banyak varian yang kurang serius. Schizofrenia yaitu  penyebab terpenting gangguan 

psikotik, pada mana periode psikotik diselingi dengan periode ‘normal’, saat pasien 

dapat berfungsi baik. Sering kali penyakit 

diawali secara « menyelinap », adakalanya 

juga dengan mendadak. Pada pria biasanya 

timbul antara usia 15-25 tahun, jarang di atas 

30 tahun, sedangkan pada wanita antara 25-

35 tahun. 

pemicu nya  masih belum diketahui, 

mungkin berkaitan dengan terganggunya keseimbangan sistem kimiawi yang rumit di bagian 

otak. Sekarang ini hanya ditetapkan adanya 

faktor keturunan dengan faktor lingkungan sebagai pemeran penting. Menurut suatu teori 

infeksi virus selama perkembangan janin pada 

kehamilan telah menghambat pertumbuhan 

dari antara lain neuron dopaminerg ke 

bagian-bagian tertentu dari otak.

Teori dopamin mengatakan bahwa schizofrenia disebabkan oleh hiperaktivitas sistem dopamin di bagian limbis otak. Hal ini 

yang memicu  gejala psikotik positif. 

Di bagian lain dari otak (cortex frontal) aktivitas dopamin justru berkurang, yang memicu  gejala negatif. Sejumlah obat juga dapat mengakibatkan psikosis, misalnya 

drugs (LSD, XTC dan meskalin), juga metronidazol, fenitoin, karbamazepin dan glikosida 

digitalis.

* Dopamin. Dapat dibedakan minimal 5 reseptor-dopamin: D1

 s/d D5

, yang dapat dibagi 

dalam 2 kelompok, yaitu kelompok D1

(= D1

 + 

D5

) dan kelompok D2

 (= D2

, D3, dan D4

). Obatobat klasik terutama menghambat kelompok 

D2

, sedangkan obat-obat atypis menghambat 

kelompok D1

Gejalanya berupa simtom-simtom positif dan 

simtom-simtom negatif, yang selalu ada  

bersamaan, namun  dengan aksen berlainan 

pada berbagai pasien.

a. Simtom positif berupa waham-waham 

(seolah-olah mendengar suara orang yang 

memerintahkannya berbuat sesuatu), halusinasi (keinsafan realitas terganggu), pikiran 

janggal dan desorganisasi kognitif (daya 

asosiasi terganggu, tidak dapat berpikir jelas). Prognosa dari pasien dengan gejalagejala dominan ini, dianggap agak baik.

b. Simtom negatif berupa kemiskinan psikomotorik (berkurangnya bicara dan pergerakan, pemerataan emosional). Pasien mengelak hubungan sosial, menjadi apatis dan kehilangan enersi serta inisiatif. Simtom-simtom ini menunjukkan bahwa pasien berfungsi 

sosial buruk, prognosanya kurang baik.

Diagnosisnya diterapkan berdasar  

gejala dan petunjuk sejumlah kriteria yang 

berlaku universal.

Progresnya penyakit. Fase akut (psikosis)

dengan simtom positif bertahan minimal satu 

bulan dan adakalanya diawali oleh fase 

prodromal, yaitu menurunnya fungsi pasien 

di bidang sosial dan komunikasi. Kemudian 

fase ini disusul oleh fase dengan terutama 

simtom negatif, yang mirip fase prodromal. 

Dengan pengobatan khusus di rumah sakit 

jiwa, fase akut ini sesudah  1-2 bulan umumnya 

disusul oleh masa remisi (gejala penyakit 

hilang atau sangat berkurang). 

Sekitar 25% dari pasien tidak mengalami 

residif lagi dan dianggap sembuh. Kira-kira


50% pasien hanya sembuh sebagian (besar) 

dan terkadang kambuhnya masa psikosis, 

yang dapat diselingi periode panjang di mana 

pasien dapat berfungsi lebih kurang normal 

dengan kualitas hidup baik. Sisa 25%-nya 

membutuhkan pengobatan jangka panjang, 

sebab  penyakit cenderung sering kambuh 

lagi. Sekitar 10% dari kelompok terakhir meninggal sebab  bunuh diri.

Antipsikotika 

Antipsikotika biasanya dibagi dalam dua 

kelompok besar, yaitu obat typis atau klasik 

dan obat atypis.

A. Antipsikotika klasik, terutama efektif 

mengatasi simtom positif; pada umumnya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok kimiawi 

sebagai berikut:

a. derivat fenotiazin: klorpromazin, levomepromazin dan triflupromazin (Siquil), thioridazin dan periciazin, perfenazin dan 

flufenazin, perazin (Taxilan), trifluoperazin , proklorperazin (Stemetil) dan thiëtilperazin (Torecan)

b. derivat thioxanthen: klorprotixen (Truxal)

dan zuklopentixol (Cisordinol)

c. derivat butirofenon: haloperidol, bromperidol, pipamperon dan droperidol

d. derivat butilpiperidin: pimozida, fluspirilen 

dan penfluridol

B. Antipsikotika atypis (sulpirida, klozapin, 

risperidon, olanzapin dan quetiapin) bekerja 

efektif melawan simtom negatif, yang praktis 

kebal terhadap obat klasik. Lagi pula efek 

sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan ekstrapiramidal dan dyskinesia tarda. 

namun  lansia sebaiknya menghindari penggunaan antipsikotika atypis sebab  risiko 

kerusakan ginjal akut.

Ref.: AnnInternMed.2014;161:242-8.

Sertindol (Serdolect) sesudah  dipasarkan hanya satu tahun lebih, akhir 1998 ditarik dari 

peredaran di Eropa, sebab  beberapa kali 

dilaporkan terjadinya aritmia dan kematian 

mendadak. Obat atypis lainnya yang sudah 

tersedia di negara lain sejak 1988 yaitu  zotepin (Zoleptil) dan ziprasidon (Zeldox).

Khasiat dan pemakaian 

Antipsikotika memiliki sejumlah kegiatan 

fisiologi, yakni:

a. antipsikotik. Obat-obat ini dipakai  untuk gangguan jiwa dengan gejala psikotis, 

seperti schizofrenia, mania dan depresi psikotik. Di samping itu, antipsikotika dipakai  untuk menangani gangguan perilaku

serius pada pasien dengan handikap rohani dan pasien demensia, juga untuk 

keadaan gelisah akut (excitatio) dan penyakit lata (penyakit Gilles de la Tourette);

b. anksiolitik, yaitu mampu meniadakan 

rasa bimbang, takut, kegelisahan dan 

agresi yang hebat. Oleh sebab  itu adakalanya obat ini dipakai  dalam dosis 

rendah sebagai minor tranquillizer pada 

kasus-kasus serius, di mana benzodiazepin kurang efektif, misalnya pimozida dan

thioridiazin. Disebabkan efek sampingnya, 

pemakaian  antipsikotika dalam dosis 

rendah sebagai anksiolitika tidak dianjurkan. 

c. antiemetik berdasar  perintangan neurotransmisi dari CTZ (Chemo Trigger 

Zone) ke pusat muntah dengan jalan 

blokade reseptor dopamin, lihat Bab 17, 

Antiemetika. sebab  sifat inilah obat ini 

sering dipakai  terhadap mual dan 

muntah hebat seperti pada terapi dengan sitostatika; namun  terhadap mabuk 

jalan tidak efektif. Obat dengan daya antiemetik kuat yaitu  proklorperazin dan thiëtilperazin. Obat lain dengan daya antimual yang baik dalam dosis rendah yaitu  

klorpromazin, perfenazin, triflupromazin, flufenazin, haloperidol (dan metoklopramida).

d. analgetik. Beberapa antipsikotika memiliki khasiat analgetik kuat, antara lain 

levomepromazin, haloperidol dan droperidol 

(*Thalamonal). namun  obat ini jarang dipakai  sebagai obat antinyeri, kecuali 

droperidol. Obat lainnya dapat memperkuat efek analgetika dengan jalan meningkatkan ambang-nyeri, misalnya klorpromazin.

Klorpromazin dan haloperidol adakalanya 

juga dipakai  pada sedu (hiccup) yang 

tak henti-henti dan gangguan keseimbangan

bila obat lain tidak ampuh. Mekanisme kerja

Semua psikofarmaka bersifat lipofil dan 

mudah masuk ke dalam CCS (cairan serebrospinal), memungkinkan obat-obat ini melakukan kegiatannya secara langsung terhadap saraf otak. Mekanisme kerjanya pada 

taraf biokimiawi belum diketahui dengan 

pasti, namun  ada petunjuk kuat bahwa mekanisme ini berhubungan erat dengan kadar 

neurotransmitter di otak atau antar-keseimbangannya.

Antipsikotika menghambat (agak) kuat 

reseptor dopamin (D2

) di sistem limbis otak dan 

di samping itu juga menghambat reseptor D1

/

D4,, α1

(dan α2

)-adrenerg, serotonin, muskarin 

dan histamin. namun  pada pasien yang kebal 

terhadap obat-obat klasik juga ditemukan 

blokade tuntas dari reseptor D2. Riset baru mengenai otak menunjukkan bahwa 

blokade-D2

 saja tidak selalu cukup untuk 

menanggulangi schizofrenia secara efektif. 

Untuk ini neurohormon lainnya seperti serotonin (5HT2

), glutamat dan GABA (gammabutyric acid), juga perlu dilibatkan. 

Mulai kerjanyablokade-D2

 cepat, begitu 

pula efeknya pada keadaan gelisah. Sebaliknya efek terhadap gejala psikosis lain, seperti waham, halusinasi dan gangguan pikiran baru nyata sesudah  beberapa minggu. 

Mungkin efek lambat ini (masa latensi) disebabkan sistem reseptor-dopamin menjadi 

kurang peka. 

* Antipsikotika atypis memiliki afinitas lebih 

besar untuk reseptor-D1

 dan D2

, sehingga lebih efektif daripada obat-obat klasik untuk 

melawan simtom negatif. Lagi pula obat ini 

lebih jarang memicu  GEP dan dyskinesia 

tarda.

a. Sulpirida terutama menghambat reseptor-D2

 dan praktis tanpa afinitas bagi reseptor 

lain. Pada dosis rendah (di bawah 600 mg/

hari) terutama bekerja antagonistik terhadap 

reseptor presinaptis, dan pada dosis lebih 

tinggi (di atas 800 mg/hari) juga terhadap 

reseptor-D2 postsinaptis, seperti halnya obatobat klasik. Efek antipsikotik terutama dicapai pada dosis lebih tinggi sedangkan dosis 

rendah bermanfaat pada psikosis dengan 

terutama simtom negatif. 

b. Klozapin: ikatannya pada reseptor-D2

agak ringan (± 20%) dibandingkan obat-obat 

klasik (60-75%). namun  efek antipsikotiknya 

kuat, yang dapat dianggap paradoksal. Juga 

afinitasnya bagi reseptor lain dengan efek 

antihistamin, antiserotonin, antikolinergik 

dan antiadrenergik relatif tinggi. Menurut 

perkiraan efek baiknya dapat dijelaskan oleh 

blokade kuat dari reseptor-D2

, -D4, dan -5HT2

Blokade reseptor muskarin dan reseptor-D4

diperkirakan mengurangi GEP, sedangkan 

blokade 5HT2

 meningkatkan sintesis dan 

pelepasan dopamin di otak. Hal ini meniadakan sebagian blokade D2

, namun  mengurangi 

risiko GEP. 

c. Risperidon juga terutama menghambat 

reseptor-D2

 dan -5HT2

, dengan perbandingan 

afinitas 1 : 10, juga dari reseptor-α1

, -α2, dan 

-H1

. Blokade α1

 dan α2

 dapat memicu  

masing-masing hipotensi dan depresi, sedangkan blokade H1

 berkaitan dengan sedasi.

d. Olanzapin menghambat semua reseptor 

dopamin (D1

 s/d D5

) dan reseptor H1

, -5HT2

-adrenergik dan -kolinergik, dengan afinitas 

lebih tinggi bagi reseptor 5-HT2

 dibandingkan 

D2

.

e. Reboksetin (Edronax) yang dipasarkan 

di Inggris pada tahun 1997, secara selektif 

menghambat reuptake noradrenalin (SNRI). 

Efek samping

Sejumlah efek samping serius dapat membatasi pemakaian  antipsikotika dan yang 

paling sering terjadi yaitu :

a. gejala ekstrapiramidal (GEP), yang bertalian dengan daya antidopamin dan bersifat 

lebih ringan pada senyawa butirofenon, butilpiperidin dan obat atypis. GEP terdiri dari 

beberapa bentuk, yaitu sebagai:

– parkinsonisme (gejala penyakit Parkinson),

yaitu hipokinesia (daya gerak berkurang, 

berjalan langkah demi langkah) dan anggota tubuh kaku, kadang-kadang tremor 

tangan dan keluar liur berlebihan. Gejala 

lainnya “rabbit-syndrome” (mulut membuat gerakan mengunyah, mirip kelinci),

yang dapat muncul sesudah  beberapa 

minggu atau bulan. Terutama pada dosis 

tinggi dan lebih jarang pada obat dengan 

kerja antikolinergik. Insidensinya 2-10%.

– distonia akut, yakni kontraksi otot-otot 

muka dan tengkuk, kepala miring, gangguan menelan, sukar bicara dan kejang 

rahang. Guna menghindarinya dosis harus dinaikkan dengan perlahan, atau diberikan antikolinergika sebagai profilaksis; 

– akathisia, yaitu selalu ingin bergerak, 

tidak mampu duduk diam tanpa menggerakkan kaki, tangan atau tubuh (Yun.

kathisis = duduk, a = tidak, tanpa). Gejala 

ketiga GEP di atas dapat dikurangi dengan

menurunkan dosis dan dapat ditangani 

dengan antikolinergika. Akathisia juga 

dapat diatasi dengan propranolol atau benzodiazepin;

– dyskinesia tarda, yaitu gerakan abnormal 

tidak-sengaja, khususnya otot-otot muka 

dan mulut (menjulurkan lidah), yang 

dapat menjadi permanen. Gejala ini sering 

muncul sesudah  0,5-3 tahun dan berkaitan 

antara lain dengan dosis kumulatif (total) 

yang telah diberikan. Risiko efek samping 

ini meningkat pada pemakaian  lama dan 

tidak tergantung dari dosis, juga lebih sering terjadi pada lansia; insidensinya 

tinggi (10-15%). Gejala ini hilang dengan 

menaikkan dosis, namun  kemudian timbul 

kembali dengan lebih hebat. Antikolinergika juga dapat memperhebat gejala tersebut. Pemberian vitamin E dapat mengurangi efek samping ini.

– sindroma neuroleptika maligne berupa 

demam, otot kaku dan GEP lain, kesadaran menurun dan kelainan-kelainan 

SSO (tachycardia, berkeringat, fluktuasi 

tekanan darah, inkontinensi). Gejala ini 

tidak tergantung pada dosis dan terutama timbul pada pria muda dalam waktu 

2 minggu dengan insidensi 1%. Diagnosisnya sukar, namun  bila tidak ditangani 

dapat berakhir fatal. 

b. galaktorrea (banyak keluar air susu), juga 

akibat blokade dopamin, yang identik dengan 

PIF(= Prolactine Inhibiting Factor). Sekresi 

prolaktin tidak dirintangi lagi, kadarnya 

meningkat dan produksi air susu bertambah 

banyak. Lihat Bab 42, Hormon Hipofisis.

c. sedasi yang bertalian dengan khasiat antihistamin, khususnya klorpromazin, thioridazin 

dan klozapin. Efek samping ini ringan pada 

zat-zat difenilbutilamin.

d. hipotensi ortostatik akibat blokade reseptor α1

-adrenergik, misalnya klorpromazin, thioridazin dan klozapin.

e. efek antikolinergik akibat blokade reseptor 

muskarin, yang bercirikan antara lain mulut 

kering, penglihatan guram, obstipasi, retensi 

kemih dan tachycardia, terutama pada lansia. 

Efeknya terutama kuat pada klorpromazin, 

thioridazin dan klozapin.

f. efek antiserotonin akibat blokade reseptor-5HT, yang merupakan stimulasi nafsu 

makan dengan akibat naiknya berat badan 

dan hiperglikemia.

g. gejala penarikan dapat timbul, walaupun 

obat-obat ini tidak bersifat adiktif. Bila penggunaannya mendadak dihentikan dapat terjadi sakit kepala, sukar tidur, mual, muntah, 

anoreksia dan perasaan takut. Efek ini terutama timbul pada obat-obat dengan kerja 

antikolinergik. Oleh sebab  itu penghentiannya selalu perlu secara berangsur. 

h. efek lainnya. Akhirnya masih ada beberapa efek samping yang khas bagi obat-obat 

tertentu, yaitu:

– fenotiazin: sering kali reaksi imunologis, 

seperti fotosensibilisasi, hepatitis, kelainan darah dan dermatitis alergis, namun  

jarang pada senyawa thioksanten. Efek 

lainnya berupa kelainan mata dengan 

endapan pigmen di lensa dan kornea, 

serta retinopati pada thioridazin (dosis di 

atas 800 mg/hari);

– klozapin: dapat memicu  agranulositosis (1-2%), juga bradycardia, hipotensi 

ortostatik dan berhentinya jantung;

– olanzapin dan risperidon pada lansia yang 

menderita Alzheimer dapat mengakibatkan kerusakan serebrovaskuler, yang

meningkatkan mortalitas dengan lebih 

dari dua kali dan tidak tergantung dari 

lama dan besarnya dosis pemakaian . W. 

Garenfeld, Pharm.Wkbl. 2004;139:1021-3

Kehamilan dan laktasi. pemakaian  obatobat ini selama kehamilan dan laktasi sedapat mungkin harus dihindari berhubung 

toksisitasnya bagi janin dan bayi. sebab  

psikosis yang tidak ditangani dengan tepat 

dapat sangat merusak kesehatan ibu dan 

janin, risiko pemakaian  antipsikotika bagi 

tiap pasien perlu dipertimbangankan secara 

individual. Bila sangat perlu hendaknya diberikan dalam dosis serendah mungkin untuk 

waktu singkat. Periode kehamilan dengan 

risiko tinggi yaitu  minggu ke-4 sampai ke-

10 dan 2-4 minggu terakhir; selama periode 

ini , hendaknya jangan diberikan medikasi. Obat pilihan pertama untuk keadaan 

darurat yaitu  haloperidol. 

Interaksi. Beta-blocker dan antidepresiva trisiklis

dapat saling memperkuat efek antipsikotika 

dengan menghambat metabolisme masingmasing. Levodopa dan bromokriptin dapat dikurangi kerja dopaminergnya. Barbital menurunkan kadar darah antipsikotika berdasar  induksi enzim. 

Klorpromazin dan garam litium masing-masing saling menurunkan kadarnya dalam 

darah.

Obat-obat tambahan

Bila pemakaian  antipsikotika kurang memberikan hasil yang diinginkan adakalanya 

ditambahkan adjuvansia, misalnya suatu benzodiazepin, garam litium, antidepresiva atau 

karbamazepin.

* Benzodiazepin dengan kerja agak panjang 

seperti diazepam, dapat untuk sementara 

ditambahkan pada antipsikotika dengan 

efek sedatif ringan untuk menanggulangi 

rasa takut dan gelisah. pemakaian nya tidak 

boleh dihentikan dengan mendadak, namun  

harus secara berangsur untuk menghindari 

psikosis dan konvulsi reaktif (rebound). 

* Litium berguna sebagai obat tambahan bila 

ada  komponen mania. Efeknya yang 

baik berupa berkurangnya gejala psikosis, 

kegelisahan dan perbaikan hubungan sosial 

dapat tercapai sesudah  2-4 minggu. Dosis 

antipsikotikum biasanya dapat dikurangi.

* Antidepresiva trisiklis, misalnya amitriptilin, adakalanya dapat ditambahkan 

pada depresi yang timbul sesudah psikosis. 

Berhubung kombinasi saling memperkuat 

daya kerja dan toksisitas kedua obat, harus 

diwaspadai meningkatnya efek antikolinergik, seperti ileus paralytis dan delirium.

* Karbamazepin adakalanya bermanfaat sebagai adjuvans bila ada  kegelisahan 

dan gangguan kelakuan parah. Obat epilepsi 

ini menurunkan kadar antipsikotika dalam 

darah.

Penanganan schizofrenia

Kesulitan utama pada penanganan semua 

gangguan jiwa yaitu  tidak adanya keinsafan 

sakit pada kebanyakan pasien. Mereka menganggap halusinasi dan pikiran khayalnya 

sebagai sesuatu yang sejati/riil dan selalu 

berpikir dirinya tidak sakit, sehingga sering kali menolak minum obat. Lagi pula 

undang-undang yang ketat di banyak negara tidak memungkinkan pengobatan/perawatan dipaksakan bagi pasien  tanpa 

persetujuannya. Pemaksaan hanya diperbolehkan bila pasien membahayakan dirinya 

sendiri atau orang lain. Dengan demikian 

tidak jarang penderita psikotis parah tidak 

bisa ditolong. Penderita umumnya tidak bisa 

memelihara kebutuhan dasar dirinya dan 

berakhir sebagai gelandangan di jalan-jalan 

kota.

Jelaslah bahwa sesudah  masa psikosis lewat, juga kesetiaan terapinya (drug compliance)

kurang besar, yang tidak jarang mengakibatkan gagalnya pengobatan. 

Schizofrenia tidak dapat disembuhkan, 

penanganannya bersifat simtomatis, yaitu 

meniadakan gejalanya dan kemudian mencegah kambuhnya lagi. Di samping itu rehabilitasi psikososial sangat penting untuk 

reintegrasi pasien dalam masyarakat. 

Psikoterapi. Dewasa ini para ilmiawan sepaham bahwa penanganan schizofrenia pa-

ling efektif terdiri atas kombinasi dari farmakoterapi bersama psikoterapi, termasuk 

terapi kelakuan kognitif, yang juga disebut 

“terapi wicara”. Dokter/psikiater berusaha 

membangun hubungan baik dengan pasiennya dan memperoleh kepercayaan mereka, 

juga mencoba membantu mengatasi problema

psikis mereka, serta memberikan petunjuk 

bagaimana menghadapi masalah. Di samping itu penting sekali untuk secara moril 

juga menunjang keluarganya yang lazimnya 

sangat berfrustasi mengenai hubungannya 

yang sering kali sangat sulit dengan pasien.

* Obat-obat klasik. Umumnya dimulai dengan suatu obat klasik, terutama klorpromazin bila diperlukan efek sedatif, trifluoperazin 

bila sedasi tidak dikehendaki atau pimozida jika pasien justru perlu diaktifkan. Efek 

antipsikotika baru menjadi nyata sesudah  

terapi 2-3 minggu. Bila sesudah masa laten, 

obat ini  kurang efektif, perlu dicoba 

obat lain dari kelompok kimiawi lain. Flufenazin dekanoat dipakai  sebagai profilaksis untuk mencegah kambuhnya penyakit. 

Thioridazin bermanfaat bagi lansia untuk 

mengurangi GEP dan gejala antikolinergik. 

Obat klasik terutama efektif untuk meniadakan gejala positif yang efeknya baru nampak 

sesudah  beberapa bulan. Pengobatan perlu 

dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan lebih rendah untuk mencegah residif, selama 

minimal 2 tahun dan tidak jarang seumur 

hidup. 

* Obat-obat atypis. Obat atypis lebih ampuh 

untuk simtom negatif kronis, mungkin sebab  

pengikatannya pada reseptor -D1

 dan -D2

 lebih 

kuat. Sulpirida, risperidon dan olanzapin dianjurkan bila obat klasik tidak efektif (lagi) 

atau bila terjadi terlalu banyak efek samping. 

sebab  klozapin dapat memicu  agranulocytosis hebat (1-2% dari kasus), selama terapi perlu dilakukan penghitungan lekosit 

setiap minggu.

* Obat-obat tambahan, yaitu antikolinergika 

(triheksifenidil, orfenadrin) dan beta-blocker (propranolol). Obat ini sering ditambahkan untuk 

menanggulangi efek samping antipsikotika, 

terutama gejala extrapiramidal (GEP). Benzodiazepin diberikan untuk mengatasi kegelisahan dan kecemasan.

Penanganan alternatif

Sejumlah psikiater (C.Pfeiffer, A.Hoffer) telah 

berhasil baik dengan mengkombinasi vitamin 

dan mineral tertentu dalam megadose sebagai terapi. Penanganan ortomolekuler ini 

berdasar  penemuan bahwa pasien schizofreni mengalami defisiensi nutrien-nutrien 

bersangkutan. Cara ini terdiri dari pemberian 

nutrien tepat dengan antar-perbandingan yang 

tepat ke sel-sel tubuh (Yun. Orthos = lurus, 

tepat, sehat), lihat selanjutnya boks di Bab 53, 

Vitamin.Yang diberikan yaitu  vitamin C (3 

x 1 g), niasinamida (3 x 1-2 g), piridoksin (2-3 

x 250 mg) dan vitamin E (1x 400 mg). Pilihan 

ini didasarkan pada sering ditemukannya 

kekurangan vitamin-vitamin ini  di otak 

penderita schizofrenia.

Mekanisme kerja. Menurut perkiraan hal ini 

disebabkan oleh terhambatnya pengubahan 

asam amino triptofan menjadi niasinamida 

dalam otak, sehingga terjadi kekurangan 

vitamin B3

 dan kelebihan triptofan bebas. 

Lihat Bab 54, Dasar-dasar diet sehat: asam 

amino, triptofan dan Bab 53, Vitamin. Triptofan berlebihan dapat mendorong pembentukan zat-zat halusinogen tertentu (yang memicu  khayalan) dan dapat memicu  kelainan pada suasana jiwa dan pengamatan. Halusinogen ini dapat dirombak oleh 

enzim MAO (monoaminooksidase) yang justru memerlukan niasinamida (dan vitamin C) 

untuk kerjanya. Lagi pula pada schizofrenia 

ada  kekurangan co-enzim NAD (nicotinamide-adenine-dinucleotide) di otak yang dibentuk di bawah pengaruh niasinamida dan 

berperan penting pada reaksi redoks (reduksi 

dan oksidasi) di dalam sel. Vitamin B3

 ini dan

piridoksin mutlak diperlukan untuk reaksi 

pengubahan triptofan sebab  merupakan koenzim bagi hidroksilase.

Zat-zat tambahan. Di samping vitamin itu 

diberikan pula sejumlah elemen tertentu, 

yaitu magnesium (250 mg), zinc (50 mg), selenium (220 mcg) dan mangan (25 mg) sehari. 

Lihat juga Bab 53, Vitamin. Dianjurkan pula 

diet tanpa bahan makanan yang mengandung 

asam amino, yang dapat meningkatkan ka-dar atau aktivitas dopamin di otak, yaitu 

kacang-kacangan (dari genus Flava), gluten 

(suatu protein dalam gandum) dan kacang tanah 

(mengandung banyak glisin dan serine).

Dengan pemberian kombinasi ini gejala 

penyakit ternyata dapat sangat dikurangi, sehingga banyak pasien dapat berfungsi 

sosial lebih baik bahkan dapat bekerja secara 

lebih kurang normal.

MONOGRAFI

1. Klorpromazin (F.I.): Largactil

Antipsikotikum tertua ini (1951) merupakan 

turunan dari prometazin dan memiliki rantai 

sisi alifatis. Khasiat antipsikotiknya lemah, 

sedangkan efek antihistamin dan alfa-adrenergnya lebih kuat. Obat ini memperkuat 

efek analgetika, sehingga membuat pasien 

lebih tak-acuh pada rasa nyeri. Selain pada 

keadaan psikosis dan sebagai obat tambahan 

pada analgetika, klorpromazin juga dipakai  untuk mengobati sedu yang tak hentihenti (singultus, hiccup).

Resorpsi di usus baik, namun  BA hanya ±30% 

akibat FPE besar. PP tinggi, sekitar 95%, t1/2

16-37 jam. Zat ini mudah melintasi barrier 

darah-CCS; kadarnya dalam cairan otak lebih 

tinggi daripada dalam darah. Ekskresi lewat 

urin sebagai metabolitnya.

Efek samping yang terpenting yaitu  terhadap hati dan darah, mungkin akibat suatu 

reaksi alergi. Zat ini dapat menyumbat saluran 

empedu sesudah 2-4 minggu dan kerusakan 

ini tidak selalu reversibel. Kelainan darah 

(agranulositosis, 1:300) agaksering dilaporkan.

Efek samping umum lainnya yaitu  efek 

sedatif yang kuat dan GEP yang sering kali 

terjadi.

Dosis: pada psikosis oral, i.m. atau i.v. 3 dd 

25 mg garam-HCl selama 3-4 hari, bila perlu 

dinaikkan sampai 1 g sehari. Pada sedu: 3-4 

dd 25-50 mg, sebagai adjuvans pada nyeri 

sedang/hebat 2-4 dd 25 mg.

* Levomepromazin (Nozinan) yaitu  derivat yang atom klornya digantikan dengan 

-OCH3. Khasiat antipsikotiknya sama dngan 

klorpromazin. Khasiat analgetiknya lebih kuat, ±60% dari morfin, sehingga bermanfaat 

terhadap nyeri hebat, antara lain pada kanker 

dan sinannaga (herpes zoster). Plasma-t½ lebih 

panjang, sampai 78 jam. Efek samping penting 

lainnya yaitu  hipotensi dan mengantuk. 

Dosis: pada nyeri hebat i.m. 12,5-25 mg, oral 

4-6 dd 12,5-50 mg (garam-hidrogenmaleat).

2. Thioridazin: Melleril

Salah satu fenothiazin pertama ini dengan 

rantai sisi piperidin (1958) memiliki khasiat 

antipsikotik dan sedatif yang baik, sehingga 

sering kali dipakai  pada pasien yang 

sukar tidur. Obat ini dipakai  pula pada 

neurosis hebat dengan depresi, rasa takut 

dan ketegangan, serta depresi dengan kegelisahan. Efek anti-adrenergiknya lebih kuat, 

juga efek antihistamin, antikolinergik dan 

antiserotonin.

Resorpsi di usus baik dan lengkap, namun  

BA hanya 65% akibat FPE besar. PP di atas 

95%, t½ 10-24 jam. Ekskresi sebagai metabolit 

lewat feses (50%) dan urin (30%).

Efek samping yang terpenting yaitu  gejala 

antikolinergik kuat dan hipotensi ortostatik, 

GEP dan hepatitis jarang terjadi.

Dosis: oral 2-4 dd 25-75 mg (garam-HCl), 

maksimal 800 mg sehari, sebagai tranquillizer 

2-3 dd 15-30 mg.

* Periciazin (Neuleptil) yaitu  derivat piperidin dengan efek antipsikotik agak ringan 

dan efek antiadrenergik dan antiserotonin 

kuat. Dosis: oral 2-3 dd 10-20 mg (garamtartrat), maksimal 90 mg/hari, pada manula 

dimulai dengan 5 mg/hari, yang berangsurangsur dinaikkan sampai 20-30 mg/hari.

3. Perfenazin: Trilafon, *Mutabon-D/M

Derivat fenotiazin dengan rantai sisi 

piperazin ini (1957) berkhasiat antipsikotik

kuat dengan efek antiadrenergik dan antiserotonin relatif lemah. Efek antikolinergiknya 

ringan sekali. Obat ini juga berkhasiat antiemetik kuat.