Tampilkan postingan dengan label neurologi 27. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 27. Tampilkan semua postingan

neurologi 27












 empat mengalami cedera aksonal, akibat besarnya energi mekanik 

yang memicu pecahnya pembuluh 

darah. Hal inilah yang . dijumpai pada 

cedera vaskular difus. 

3. Edema otak dan iskemia serebral 

Edema otak yaitu  gambaran umum 

yang ditemukan pada cedera kepala, 

terutama pasien anak-anak dan dewasa 

muda. Edema otak pada cedera kepala 

terjadi melalui beberapa mekanisme,  

yaitu: vasodilatasi pembuluh darah otak 

yang memicu  meningkatnya 

volume darah ke otak, rusaknya sawar 

darah otak yang memicu bocornya 

cairan (edema vasogenik), dan meningkatnya kandungan air di dalam sel neuron pada sistem saraf pusat (edema sitotoksik). 

Edema otak akan meningkatkan TIK 

dan menurunkan tekanan perfusi otak, 

sehingga memicu kerusakan otak 

akibat iskemia. Perbedaan tekanan diantara kompartemen otak dapat memicu  herniasi otak. Herniasi subfalsin 

girus singulatum akan memicu 

kompresi pada arteri serebral anterior. 

Sementara herniasi transtentorial dapat 

menyebabka,n kompresi pada arteri serebral posterior, girus parahipokampus, 

dan otak tengah. Herniasi transforamen batang otak memicu iskemia 

yang berujung pada menurunnya fungsi 

batang dan otak atau kematian. 

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkam (1) tingkat kesadaran pasien 

menurut Skala Koma Glasgow (SKG), (2) lokasi lesi, dan (3) patologi. 

berdasar  tingkat kesadaran, cedera kepala dapat dibagi menjadi: 

a. Cedera kepala minimal: SKG 15; tidak 

ada pingsan, tidak ada defisit neurologis, 

CT scan otak normal. 

b. Cedera kepala ringan: SKG 13-15, ada pingsan kurang dari 10 menit, tidak ada defisit neurologis, CT scan 

otak normal.  

c. Cedera kepala sedang: SKG 9-12, ada pingsan 10 menit-6 jam, ada 

defisit neurologis, CT scan otak abnormal. 

d. Cedera kepala berat: SKG 3-8, ada 

pingsan lebih dari 6 jam, ada defisit 

neurologis, CT scan otak abnormal. 

berdasar  lokasi lesi, cedera kepala dapat 

dibagi menjadi: 

a. Cedera kepala lesi difus: aksonal dan 

vaskular 

b. Cedera kepala lesi fokal, yang terbagi 

menjadi: 

- Kontusio dan laserasi serebri 

- Perdarahan (hematom) intrakranial: 

hematom epidural, hematom subdural, hematom intraparenkim (bematom subaraknoid, hematom intraserebral, hematomintraserebelar). 

berdasar  patologi, cedera kepala 

dapat diklasifikasikan menjadi komosio, kontusio, dan laserasi serebri. Pembagian lain dapat berupa 

komosio serebri serta perdarahan 

epidural, subdural, subaraknoid, dan 

intraserebral, dengan penjelasan sebagai berikut: 

1. Komosio serebri 

Secara klinis, komosio serebri memiliki manifestasi klinis yang tidak berat. 

Pasien dengan komosio serebri umumnya mengalami penurunan kesadaran 

kurang lebih 30 menit. Setelah itu, terjadi 

pemulihan hingga seperti sebelum terjadinya cedera kepala. Namun, umumnya 

pasien akan mengalami amnesia pascatrauma.  

Cedera Kepala 

Pemeriksaan CT scan atau MRI pada komosio serebri seringkali menunjukkan hasil 

normal, padahal sebenarnya sudah terjadi 

kerusakan secara mikroskopik pada akson. 

Jika didapat kelainan pada pemeriksaan 

ini , maka ini membuktikan pasien tidak hanya mengalami komosio serebri. 

2. Perdarahanepidural 

Perdarahan epidural secara klinis ditandai dengan adanya interval lusid, yaitu 

periode kesadaran pulih diantara dua 

penurunan kesadaran. Pada awal terjadi 

cedera kepala, kesadaran pasien akan 

menurun. Selanjutnya pasien akan sadar 

penuh, namun  kembali kehilangan kesadaran beberapa saat kemudian karena 

adanya akumulasi darah. Sementara itu, 

15% pasien diketahui tidak mengalami 

penurunan kesadaran sesaat setelah 

cedera kepala terjadi. Dengan demikian, pasien dengan perdarahan epidural 

membutuhkan pemantauan ketat untuk 

mencegah pasien jatuh perburukan. 

Selain intervallusid, juga dapat ditemukan 

tanda dan gejala peningkatan TIK, di antaranya nyeri kepala dan muntah karena akumulasi darah akan meningkatkan volume 

di dalam tengkorak, sementara tengkorak 

memliki daya akomodasi yang terbatas. 

Seiring progresifitas penyakit, beberapa pasien dapat ditemukan penurunan 

frekuensi nadi, menurunnya frekuensi 

pernapasan, dan meningkatnya tekanan 

darah (refleks Cushing). Gejala lain yang 

juga dapat menandakan perdarahan epidural sudah berada dalam tahap lanjut 

yaitu  ditemukannya hemiparesis, refleks patologis Babinski positif, dilatasi 

pupil yang menetap pada satu atau ke 

dua mata, serta deserebrasi. Tanda-tanda ini  mengindikasikan terjadinya 

herniasi otak. 

3. Perdarahan subdural 

Gejala klinis perdarahan subdural mirip 

dengan perdarahan epidural. Namun, 

perdarahan subdural memiliki gejala 

klinis yang sering ditemui berupa kejang. Sementara itu, tanda klinis herniasi lebih jarang ditemukan daripada 

perdarahan epidural. Pacta perdarahan 

subdural, hematom umumnya berada di 

sisi kontralateral fraktur tengkorak, berbeda dengan hematom pacta perdarahan 

epidural yang berada di sisi ipsilateral 

(Tabel3). 

Perdarahan subdural dapat bersifat akut, 

subakut, dan kronik. Pacta kasus akut, hematom terbentuk kurang dari 3 hari dan umumnya berhubungan dengan cedera kepala 

yang lebih hebat. Adanya koinsidensi perdarahan intraserebral dan epidural menjadi 

penyulit perdarahan subdural akut. Kasus 

perdarahan subdural akut sering terjadi 

pacta pasien usia muda yang tidak mengalami perbaikan kesadaran sejak cedera.  

Interval lusid hanya ada pacta kurang dari 

30% kasus dan seringkali berkaitan dengan 

kasus kontusio dan laserasi otak. 

Pacta perdarahan subdural subakut, hematom terbentuk dalam waktu 3 hari hingga 

3 minggu pascacedera disertai penurunan 

fungsi neurologis sejalan dengan besarnya 

hematom yang terbentuk. Ditemukan hemiparesis kontralateral pacta SO% kasus dan 

ipsilateral (25% kasus) dengan angka kematian sebesar 25%. 

Pacta perdarahan subdural kronik, hematom terbentuk 3 minggu bahkan lebih pascacedera yang Diagnosa nya terlihat dari 

gambaran CT scan atau MRI. Secara klinis, 

gejala perdarahan subdural kronik dapat 

berupa perubahan status mental, disfungsi 

neurologis fokal, peningkatan tekanan intrakranial, dan kejang fokal. Pasien dapat 

mengalami perubahan tingkat kesadaran 

yang fluktuatif, namun  bukan merupakan gejala utama. 

4. Perdarahan intraserebral 

Perdarahan ini umumnya disebabkan 

oleh disrupsi parenkim otak akibat penonjolan dari patahan tulang tengkorak  

dan memicu pembuluh darah terkait sehingga terbentuk hematom yang 

terletak intraparenkim. Klinis yang tampak serupa dengan perdarahan intraparenkim yang sama dengan mekanisme 

perdarahan otak lainnya, seperti pada 

ruptur aneurisma. 

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Diagnosa  cedera kepala harus dilakukan 

secara cepat dan akurat, mengingat kondisi 

emergensi. Proses anamnesis dan pemeriksaan fisik generalis dan neurologis harus efektif dan efisien, disesuaikan dengan 

kondisi lapangan yang membutuhkan tindakan segera. 

Berikut ini yaitu  hal-hal yang perlu digali 

dalam anamnesis: 

1. Mekanisme cedera kepala secara detail, meliputi proses terjadinya, posisi 

pasien saat kejadian, bagian tubuh yang 

pertama kali terkena, kecepatan (jika 

kecelakaan lalu lintas) a tau besarnya 

kekuatan (jika pukulan atau barang) 

obyek yang memicu cedera kepala. 

2. Tingkat kesadaran, perlu ditanyakan 

k~sadaran memang sudah hilang sejak setelah trauma atau hilang setelah 

pasien sempat sadar. 

3. Durasi hilangnya kesadaran. 

4. Amnesia pascatrauma, tanyakan kondisi 

pasien sebelum, saat, dan setelah trauma. 

5. Nyeri kepala, perlu dibedakan nyeri akibat peningkatan tekanan intrakranial 

atau disebabkan oleh nyeri somatik akibat cedera scalp. 

6. Gejala neurologis lain, seperti anosmia, 

kejang, kelemahan tubuh sesisi atau 

395 

Cedera Kepa/a 

dua sisi, bingung, diplopia, dan orientasi 

pasien terhadap waktu, tempat, serta 

orang perlu ditanyakan saat anamnesis. 

Gejala berupa bocornya cairan serebrospinal melalui hidung (rinorea) atau telinga 

(otorea) juga perlu ditanyakan. 

7. Hal lain yang juga perlu ditanyakan 

yaitu  obat rutin yang sering dikonsumsi pasien, riwayat penyakit dahulu, gaya 

hidup (alkohol, rokok, dan narkoba), serta riwayat penyakit keluarga. 

Pada pemeriksaan status generalis, pemeriksaan kepala harus dilakukan dengan 

detail, serta bagian tubuh lain yang dapat 

menunjukkan beratnya trauma. Berikut ini 

merupakan tanda diagnostik yang dapat dijadikan tanda awal untuk menDiagnosa : 

Tanda diagnostik klinik perdarahan epidural: 

• ada intervallusid 

• Kesadaran semakin lama semakin 

menurun 

• Hemiparesis kontralateral lesi yang terjadi belakangan 

• Pupil anisokor 

• Adanya refleks Babinski di kontralaterallesi 

• Fraktur di daerah temporal 

Tanda diagnostik perdarahan epidural di 

fossa posterior: 

• Intervallusid tidak jelas 

• Fraktur kranii oksipital 

• Hilang kesadaran dengan cepat 

• Gangguan serebelum, batang otak, dan 

pernapasan 

• Pupil isokor 

• Pada CT scan otak didapatkan gambaran hiperdens (perdarahan) di tulang  

tengkorak dan dura, umumnya di daerah 

temporal, dan tampak bikonveks 

Tanda diagnostik perdarahan subdural: 

• Nyeri kepala 

• Kesadaran bisa menurun atau normal 

• Pada CT scan otak didapatkan gambaran hiperdens (perdarahan) di antara 

dura mater dan araknoid yang tampak 

seperti bulan sabit. 

Tanda diagnostik fraktur basis kranii: 

• Anterior 

Keluarnya cairan likuor melalui hidungjrinorea 

Perdarahan bilateral periorbital ekimosisjraccoon eye 

- Anosmia 

• Media 

Keluarnya cairan likuor melalui telingajotorea 

Gangguan N. VII dan N. VIII 

• Posterior 

Bilateral mastoid ekimosisjtanda Battle 

Kebocoran cairan serebrospinal melalui 

telinga atau hidung pada fraktur basis kranii dapat dideteksi dengan adanya halo/ 

double-ring sign. Hal ini terjadi karena 

prinsip kromatografi yang menunjukkan 

bahwa cairan serebrospinal dan darah 

akan terpisah sesuai koefisien difusi saat 

diteteskan di kassajkain. Terpisahnya kedua komponen inilah yang membentuk gambaran menyerupai dua buah cincin (Gambar 

10). Tanda ini dapat muncul bila konsentrasi 

cairan serebrospinal sekitar 30-90%. 

Selain itu, untuk menegakkan Diagnosa  

fraktur basis kranii perlu dilakukan peme-

 

riksaan dengan memakai  CT scan. 

Tanda diagnostik cedera aksonal difus: 

• Pasien mengalam koma dalam waktu 

lama pascacedera kepala. 

• Disfungsi saraf otonom. 

• Gambaran CT scan otak di awal cedera 

menunjukkan kondisi normal, tidak ada 

tanda perdarahan dan edema. Namun, 

setelah 24 jam basil CT scan akan memberikan gambaran edema otak yang luas. 

Pemeriksaan Penunjang 

1. Pencitraan pada fase akut 

Seiring dengan perkembangan teknologi, 

pemeriksaan rontgen tengkorak telah digantikan oleh adanya CT scan. CT merupakan pilihan utama dalam kasus cedera 

kepala akut. CT scan nonkontras potongan aksial dapat dengan cepat meng-identifikasi massa desak ruang dalam bentuk hematom yang membutuhkan tata 

 

laksana operatif segera. Kemampuan CT 

scan untuk memindai jaringan lunak dan 

tulang, membuat CT scan unggul dalam 

mengidentifikasi fraktur tengkorak jenis 

impresi atau linier dan fraktur basis kranii. 

Menurut National Institute for Health 

and Clinical Excellence (NICE), CT scan 

perlu dilakukan jika pasien: 

• Memiliki skor SKG kurang dari 13 

pascacedera 

• Skor SKG 13 atau 14 dua jam pascacedera 

• Dicurigai mengalami fraktur terbuka 

atau impresi 

• Memiliki tanda-tanda fraktur basis 

kranii 

• Mengalami kejang pascacedera 

• Mengalami defisit neurologis sentral 

• Mengalami muntah yang lebih dari 1 

kali 

• Mengalami amnesia tentang kejadian 

30 menit sebelum cedera kepala 

2. Pencitraan pada fase subakut 

Pemeriksaan MRI tidak rutin dilakukan 

pada fase subakut. Hal ini berkaitan dengan sulitnya mobilisasi pasien yang berada dalam kondisi kritis. Pemeriksaan 

dengan MRI dilakukan setelah pasien 

dalam keadaan stabil. MRI dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan 

dapat menggambarkan luasnya cedera 

serta mampu memberikan informasi 

tentang prognosis pasien ketika berada 

di ruang rawat intensif. CT scan lebih 

unggul dibanding MRI untuk mendeteksi 

perdarahan. Namun, MRI lebih unggul 

397 

Cedera Kepala 

dibanding CT scan untuk mendeteksi 

cedera aksonal difus. 

Diagnosa  banding 

Apabila klinisi telah melakukan prosedur 

anamnesis dan pemeriksaan dengan cermat, 

penegakan Diagnosa  cedera kepala tidak memerlukan Diagnosa  banding~ Hanya pada 

kasus-kasus tertentu saja perlu dicurigai 

adanya kemungkinan Diagnosa  lain. Hampir 

semua kelainan intrakranial dapat dijadikan 

Diagnosa  banding untuk cedera kepala, yaitu 

keganasan otak, stroke, dan aneurisma. 

Selain pencitraan, pemeriksaan penanda 

biokimia, seperti creatine kinase brain type 

(CK-BB), neuron-specific enolase (NSE), 

protein S100, dapat dilakukan pada pasien 

cedera kepala. Penelitian di RSUPN Cipto 

Mangunkusumo menunjukkan bahwa kadar 

protein S100 yang tinggi cenderung memiliki luaran yang buruk. Sayangnya, penanda 

biokimia ini tidak sensitif hanya terhadap 

kerusakan otak akibat cedera kepala, melainkan juga pada kondisi stroke, ensefalopati 

hepatikum, dan penyakit neurodegeneratif, 

seperti Alzheimer. 

PENGOBATAN 

Dasar PENGOBATAN awal untuk semua kasus 

cedera kepala bertujuan untuk menjaga kestabilan hemodinamik, penanganan segera 

akibat cedera primer, mencegah cedera jaringan otak sekunder dengan cara mencegah 

munculnya faktor-faktor komorbid seperti 

hipotensi dan hipoksia, serta mendapatkan 

penilaian neurologis yang akurat. 

Prinsip PENGOBATAN awal pada cedera kepala secara umum sama seperti cedera di 

tempat lain. Penanganan didasari pada 

prinsip emergensi dengan survei primer.  

Adapun survei primer meliputi tindakan 

yang umumnya disingkat ABCD, yaitu: 

1. A-Airway Ualan napas) 

Prinsipnya yaitu  memastikan jalan 

napas tidak mengalami sumbatan. Apabila diperlukan dapat dipakai  alat bantu 

seperti oropharyngeal airway (OPA). 

2. 8-Breathing (pernapasan adekuat) 

Prinsip pernapasan adekuat yaitu  dengan memperhatikan pola napas, gerak 

dinding perut, dan kesetaraan pengembangan dinding dada kanan dan kiri. 

Apabila alat tersedia, diharapkan saturasi oksigen di atas 92%. 

3. C-Circulation ( sirkulasi) 

4. D-Disability (melihat adanya disabilitas) 

berdasar  konsensus Perhimpunan 

Dokter Saraf Seluruh Indonesia (PERDOSS!), disabilitas mengacu pada ada 

tidaknya lateralisasi dan kondisi umum 

dengan memeriksa status umum dan fokal neurologis. 

Sebagai tambahan, perlu dilakukan imobilisasi tulang belakang karena cedera kepala seringkali dibarengi dengan adanya 

cedera pada medula spinalis. lmobilisasi 

dilakukan sampai didapatkan bukti tidak 

ada cedera tulang belakang. 

PENGOBATAN Farmakologis 

Hipotensi yaitu  salah satu prediktor mortalitas pada cedera kepala berat. Oleh karena itu, 

perlu dilakukan resusitasi dengan cepat begitu tanda-tanda syok ditemukan. Banyak pusat 

trauma merekomendasikan kristaloid isotoniksebagai cairan pengganti. Cairan hipotonik 

harus dihindari karena dapat mengeksaserbasi edema serebral. Untuk mempertahankan 

tekanan perfusi serebral sebesar SOmmHg,  

dibutuhkan tekanan darah arteri rerata (mean 

arterial pressure/MAP) sekitar 70mmHg. 

Dalam penanganan cedera kepala, perlu 

diperhatikan adanya tanda-tanda peningkatan TIK karena harus diturunkan segera. 

berdasar  mekanisme hipoksia yang terjadi pada cedera, maka edema yang terjadi 

yaitu  edema sitotoksik, sehingga dipakai  manito! 20%. Terapi ini memakai  

prinsip osmosis diuresis. Manito! memiliki 

efek ekspansi plasma yang dapat menghasilkan gradien osmotik dalam waktu cepat. 

Cairan ini dapat meningkatkan aliran darah 

serebral dan tekanan perfusi serebral yang 

akan meningkatkan suplai oksigen. 

Dosis pemberian manito! dimulai dari 1-2g/ 

kgBB dalam waktu lh-1 jam tetes cepat. 

Setelah 6 jam pemberian dosis pertama, 

dilanjutkan dengan dosis kedua O,SgjkgBB 

dalam waktu lh-1 jam tetes cepat. Selanjutnya 12 jam dan 24 jam kemudian diberikan 

0,25gjkg88 selama lh-1 jam tetes cepat. 

PENGOBATAN Operatif 

Tindakan operatif dilakukan sesuai indikasi. 

Ada pun tindakan operatif dilakukan apabila 

ada kasus seperti disebut di bawah ini: 

1. Perdarahan epidural yaitu : 

a. Lebih dari 40cc dengan pergeseran 

garis tengah pada daerah temporal/ 

frontal/parietal dengan fungsi batang 

masih baik 

b. Lebih dari 30cc pada daerah fossa posterior dengan tanda-tanda 

penekanan batang otak atau hidrosefalus dengan fungsi batang otak rnasib baik. 

c. Perdarahan epidural yang progresif 

d. Perdarahan epidural tipis dengan 

penurunan kesadaran. 

2. Perdarahan subdural yaitu : 

a. SDH luas (>40ccj>Smm) dengan skor 

SKG>6, fungsi batang otak masih baik. 

b. SOH tipis dengan penurunan kesadaran. 

c. SDH dengan edema serebrijkontusio serebri disertai pergeseran garis 

tengah (midline shift) dengan fungsi 

batang otak masih baik. 

3. Perdarahan intraserebral yaitu : 

a. Penurunan kesadaran progresif. 

b. Hipertensi, bradikardi, dan gangguan 

pernapasan (refleks Cushing). 

c. Terjadi perburukan pada suatu 

kondisi defisit neurologis fokal. 

4. Fraktur impresi. 

5. Fraktur kranii dengan laserasi serebri. 

6. Fraktur kranii terbuka. 

7. Edema serebri berat yang disertai dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK). 

CONTOH KASUS 

Laki-laki 42 tahun, dibawa ke IGD dengan 

penurunan kesadaran setelah jatuh dari 

motor 1 jam sebelum masuk RS. Pasien dibonceng temannya dengan kecepatan 50 

kmjjam tanpa memakai  helm. Sebelum kejadian, pasien dalam keadaan sehat, 

hanya lebih banyak bicara karena sedang 

berada di bawah pengaruh alkohol. Pasien 

biasanya mengonsumsi alkohol1-2 kali per 

minggu. Pasien terjatuh ke belakang dengan 

posisi terlentang dan kepala belakang mengenai aspal. ada muntah sebanyak 

2x isi makanan, serta ada luka robek 

di bagian belakang kepala. Saat diantar ke  

Cedera Kepala 

RS pasien dalam keadaan tidak sadar. Tidak 

ditemukan perdarahan dari telinga, hidung, 

dan mulut maupun kejang, serta tidak diketahui adanya keluhan lain. 

Pada pemeriksaan fisik tanda vital stabil. 

Ditemukan luka robek di kepala kanan belakang dengan tepi tidak rata, dasar otot, 

kotor, perdarahan tidak masif, tidak ada nanah, tanda Battle, maupun raccoon 

eyes. Pemeriksaan neurologis didapatkan 

SKG E2MSV2, refleks cahaya langsung maupun tidak langsung baik, serta kesan tidak 

ada defisit sarafkranial dan motorik. 

Pertanyaan: 

1. Pemeriksaan penunjang apa yang akan 

Andalakukan? 

2. Apa Diagnosa  kerja kasus ini? 

3. Apa dasar Diagnosa  Saudara? 

4. Apa PENGOBATAN awal yang akan Anda 

lakukan? 

5. Apa saja kondisi yang harus dihindari 

dalam perawatan pasien ini? 

Jawaban: 

1. CT scan kepala tanpa kontras disertai 

bone window, Rontgen vertebra servikal proyeksi anteroposterior dan 

lateral. Pemeriksaan laboratorium: 

darah perifer lengkap, gula darah 

sewaktu, hemostasis, Analisa  gas darah, fungsi ginjal, fungsi hepar, dan 

elektrolit. 

2. Cedera kepala sedang. 

3. Durasi penurunan kesadaran dalam 

rentang waktu >10 menit dan <6 jam 

dan nilai SKG 9. Diagnosa  patologis 

ditegakan setelah dilakukan pencitraan danjatau biopsy histopatologi. 

4. PENGOBATAN resusitasi awal ABCDE  

( airwa~ breathing, circulation, disability. exposure). Manajemen pengendalian 

tekanan intrakranial dengan elevasi kepala 30°, normoksia (Pa02 sekitar 100 

mmHg), normokarbia (PaC02 sekitar 

35mmHg), normotermia, normoglikemia, analgesia adekuat, nutrisi adekuat, 

osmoterapi dengan manito} atau salin 

hipertonik Pada beberapa keadaan, 

dapat dilakukan sedasi, koma barbituratfpropofol, hipotermia terapetik, dan 

dekompresi kraniotomi. 

5. Hipertermia, kejang, hipoksia, hipotensi, hipertensi, hipofhiperglikemia, 

gangguan elektrolit, 

 







CEDERA MEDULA SPINALIS 


Cedera medula spinalis, atau disebut juga 

trauma medula spinalis (spinal cord injury), 

yaitu  trauma langsung a tau tidak langsung 

yang memicu jejas pada medula spinalis, sehingga dapat menimbulkan gangguan fungsi sensorik, motorik, dan otonom. 

Selain itu, cedera medula spinalis memiliki 

mortalitas yang tinggi pada tahun pertama 

pascacedera. 

Penanganan cedera medula spinalis harus 

dilakukan dengan cepat, tepat, dan cermat. 

Kesalahan dalam penanganan awal akan 

memicu kerusakan sekunder yang fatal dan mempengaruhi tindak lanjut serta 

prognosis pasien. Kecepatan penanganan 

medis prarumah sakit, sistem transportasi menuju rumah sakit, dan kualitas perawatan di rumah sakit merupakan faktor 

penting yang menentukan prognosis penderita cedera medula spinalis. Di negara 

dengan sistem pra-RS yang sudah baik, 

seperti Amerika, masih ada 5% pasien 

cedera medula spinalis yang disertai cedera 

sekunder atau perburukan saat tiba di RS. 

EPIDEMIOLOGI 

WHO memperkirakan insidens cedera medula spinalis global sebanyak 40-80 orang 

persejuta populasi setiap tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan 2:1 dengan ke- 

lompok usia tertinggi yaitu  remaja hingga 

dewasa muda. pemicu  tersering cedera 

medula spinalis yaitu  jatuh, diikuti kecelakaan sepeda motor. 

Data di Amerika menunjukkan sebanyak 

5% pasien cedera kepala juga mengalami 

cedera medula spinalis, dengan sebaran 

lokasi terutama di servikal (55%), lalu torakal, abdominal, dan lumbosakral masingmasing 15%. Data di Indonesia menyatakan 

bahwa kasus cedera kepala dan medula spinalis mencapai 7,5% dari jumlah populasi. 

PATOFISIOLOGI 

Patofisiologi cedera medula spinalis terbagi 

menjadi dua mekanisme, yaitu primer dan 

sekunder. 

1. Mekanisme Kerusakan Primer 

Mekanisme umum dari cedera medula 

spinalis yaitu  adanya kompresi pada 

struktur medula spinalis, baik oleh kelainan tulang, ligamen, herniasi diskus 

intervertebralis, maupun proses hematom pada medula spinalis itu sendiri. 

Proses kompresi akan memberikan gejala berupa defisit neurologis danjatau 

rasa sakit yang dirasakan terus menerus. 

Mekanisme lain akibat gaya mekanik 

trauma (axial loading, fleksi, ekstensi, 

rotasi, lateral bending, distraksi) dapat 

berupa luka tembus, peregangan, mau pun robekan pada struktur medula spinalis dan pemb~luh darah. 

Kerusakan langsung pada pembuluh darah memicu perdarahan pada medula spinalis yang berlangsung beberapa 

menit pascacedera, diikuti gangguan aliran 

darah. Kejadian ini memicu hipoksia 

dan infark iskemik lokal. Area substansia 

grisea lebih rentan mengalami kerusakan 

yang pertama kali kemudian menyebar ke 

area sekitarnya (kaudal-kranial). Sel-sel 

saraf pada area ini akan mengalami kerusakan fisik, penipisan selubung mielin, 

edema, dan menarik makrofag di sekitar 

area sehingga mengganggu transmisi saraf. 

2. Mekanisme Kerusakan Sekunder 

Kerusakan sekunder pada cedera medula 

spinalis terbagi menjadi dua mekanisme, 

yaitu efek lokal dan sistemik. Kerusakan 

sekunder ini terjadi akibat defisit energi 

yang disebabkan oleh adanya gangguan 

perfusi pada tingkat sel. Kondisi ini  

dapat diperberat, jika ditemukan keadaan 

renjatan neurogenik yang memicu 

hipoperfusi sistemik Cedera medula spinalis yang tidak ditatalaksana optimal 

dalam 3-24 jam pertama, akan mengalami 

perburukan berupa perdarahan, edema, 

demielinisasi, pembentukan rongga pada 

akson, nekrosis neuronal, peningkatan kadar glutamat, eksitotoksisitas, kerusakan 

oksidatif, adanya iskemik, serta peningkatan produksi nitrit oksida dan peroksidasi 

lipid pada membran sel yang akan memicu perubahan patologis dan berakhir 

menjadi infark 

GEJALA DAN TANDA KLINIS 

Gejala dan tanda klinis cedera medula spinalis perlu diketahui karena akan menentu- 

kan PENGOBATAN dan prognosis. Gambaran 

klinis ini diklasifikasikan berdasar : 

1. Level Cedera 

Level cedera medula spinalis dapat ditentukan melalui pemeriksaan sensorik 

(sesuai dermatom) dan motorik (miotom) di sepanjang level medula spinalis. Level cedera neurologis dihitung dari 

segmen paling kaudal yang fungsi sensorik dan motoriknya masih baik, pada 

kedua sisi (kanan dan kiri). 

Perbedaan gejala paling mencolok terjadi 

pada level di atas dan di bawah Tl. Pada 

level cedera di atas Tl, defisit neurologis yang muncul yaitu  tetraplegi dan 

sering dijumpai gangguan pernapasan, 

akibat paresis otot interkostalis atau diafragma, serta renjatan neurogenik Jika 

cedera terjadi di bawah Tl, gejala klinis 

yang muncul berupa paraplegi. Penentuan level ini penting karena akan mempengaruhi strategi PENGOBATAN cedera. 

2. Derajat Keparahan Defisit Neurologis 

Derajat keparahan defisit neurologis pada cedera medula spinalis dapat 

ditegakkan pada saat 72 jam hingga 7 

hari pascacedera karena mempertimbangkan adanya kemungkinan renjatan 

spinal (spinal shock). Secara garis besar, 

derajat keparahan ini dibagi menjadi 

komplet dan inkomplet. Cedera disebut komplet apabila pasien kehilangan 

fungsi sensorik dan motorik pada level 

cedera, sedangkan cedera inkomplet jika 

pasien hanya kehilangan salah satu fungsi, sensorik atau motorik saja. 

Cedera inkomplet memberikan prognosis 

yang lebih baik dibandingkan cedera komplet. Ditemukan fenomena sacral sparing 

 

yang tidak ditemukan pada cedera komplet. Sacral sparing menunjukkan fungsi 

yang tersisa pada cedera inkomplet, berupa fungsi sensorik di daerah perianal dan 

atau kontraksi sadar sfingter anus. 

Secara lebih rinci, American Spina/Injury 

Association (ASJA)/International Medical 

Society of Paraplegia (IMSOP) membagi 

derajat keparahan defisit neurologis menjadi 5 derajat (Tabel1). 

Cedera Medula Spinalis 

3. Sindrom Medula Spinalis 

Berbagai mekanisme trauma (gaya axsial 

loading, fleksi, ekstensi, rotasi, lateral bending, distraksi) dapat memicu kerusakan medula spinalis yang berbeda berdasar  letak lesi dan gejalanya, ada 

empat sindrom, yaitu 1) sindrom BrownSequard; 2) sindrom spinalis anterior, 3) 

sindrom spinalis sentral, dan 4) ·sindrom 

spinalis posterior (Tabel2 dan Gambar 1) 

Renjatan Spinal 

Selain sindrom-sindrom ini  di atas, 

perlu diperhatikan juga apakah defisit neurologis yang ada benar disebabkan oleh patologis atau renjatan spinal. Renjatan spinal 

yaitu  keadaan hilangnya fungsi sensorik, 

motorik, dan otonom sementara, karena 

sebenarnya tidak terjadi kerusakan struktur pacta segmen medula spinalis ini . 

Penelitian pacta hewan menunjukkan bahwa hal ini terjadi lebih kepada proses akut 

hilangnya pengaruh fasilitasi supraspinal 

yang masih belum diketahui secara pasti, 

daripada proses trauma itu sendiri. 

Renjatan spinal ditandai dengan hilangnya aktivitas refleks spinal di bawah lesi  

dan kelemahan ekstrimitas flaksid. Selain 

itu, manifestasinya dapat berupa hilangnya 

tonus vesika urinaria, ileus paralitik, dan 

hipojanhidrosis di bawah lesi. 

Renjatan spinal ditemukan pacta fase akut 

pascacedera. Durasi renjatan spinal bervariasi tergantung pacta derajat keparahan dan 

level cedera medula spinalis. Pacta sebagian 

besar kasus, aktivitas refleks spinal mulai 

kembali normal setelah 1-6 minggu pascacedera. 

Untuk meyakinkan defisit neurologis bukan 

akibat renjatan spinal, maka direkomendasikan agar pemeriksa mengasumsikan bahwa defisit sensorik dan motorik akibat renjatan spinal hanya berlangsung kurang dari 

1 jam pascacedera, sehingga disimpulkan 

bahwa defisit sensorik dan motorik yang 

lebih dari 1 jam merupakan akibat perubahan patologis dan jarang karena renjatan spinal. Adapun defisit komponen otonom dan 

refleks pada renjatan spinal dapat berlangsung dalam beberapa hari hingga beberapa 

bulan, tergantung beratnya cedera. 

Diagnosa  DAN Diagnosa  BANDING 

Penentuan cedera medula spinalis dilakukan 

setelah keadaan mengancam nyawa telah 

diatasi. Oleh karena itu, penanganan awal 

kasus cedera medula spinalis menganut asas 

praduga positif, yang berarti semua pasien 

trauma harus dicurigai menderita cedera 

sampai terbukti bahwa tidak ada cedera medula spinalis. Cedera medula spinalis dapat 

dikenali berdasar  keluhan klinis pada 

pasien yang sadar seperti rasa sakit di sepanjang tulang belakang, sensasi kebas, hingga 

kelumpuhan pada anggota gerak. 

Anamnesis 

Penting didapatkan informasi berupa 1) 

mekanisme trauma, 2) riwayat penyakit sebelumnya, dan 3) riwayat pengobatan yang 

didapatkan sebelumnya atau dipemudah 

dengan akronim AMPLE (Alergy, Medication, Past illness, Last meal, Exposure). 

Pemeriksaan Fisik 

Pemeri~aan neurologis pasien cedera medula spinalis dilakukan secara bertahap untuk menentukan ada atau tidaknya cedera 

dan levelcedera medula spinalis. Penentuan 

adanya cedera dilakukan saat pemindahan pasien dari papan spinal (spine board) 

dengan teknik log roll. Teknik ini aman dilakukan oleh minimal em pat penolong. Tiga  

Cedera Medu/a Spinalis 

orang penolong bertugas mempertahankan 

kesegarisan tulang belakang saat pasien 

dimiringkanfdipindahkan, sedangkan satu 

lainnya akan menarik spine board dan mengevaluasi tulang belakang. Evaluasi untuk 

menemukan deformitas, krepitasi, nyeri 

saat palpasi, dan perlukaan kulit (kontusio, 

laserasi, atau penetrasi). 

Penentuan level cedera berdasar  pemeriksaan sensorik dan motorik. Pemeriksaan sensorik dilakukan dengan memberikan rangsangan nyeri dan menilai respons 

pasien sesuai pola dermatom (Gambar 2). 

Level cedera ditentukan dari sensorik pola 

dermatom terbawah yang masih berfungsi 

baik. Perhatian khusus diberikan pada kecurigaan cedera servikal (C1-C4). Apabila 

pasien mengeluh hilangnya sensasi di daerah sekitar leher dan klavikula, pemeriksa 

harus mengkonfirmasi dengan pemeriksaan 

motorik. 

Pemeriksaan motorik dilakukan dengan 

memeriksa kekuatan otot (Tabel 3) mengikuti pola miotom dan dibandingkan antara 

kedua sisi. Level cedera juga ditentukan dari 

segmen paling kaudal. 

Diutamakan melakukan proteksi kolumna 

vertebralis pada pasien tidak sadar agar tidak terjadi cedera sekunder selama mobilisasi dan pemeriksaan. Proteksi ini meliputi 

pemasangan bidai servikal (cervical collar 

neck) dan meletakkan penderita pada papan 

spinal panjang (long spine board) di tempat 

kejadian, selama transpor hingga sewaktu 

menjalani prosedur pemeriksaan penunjang. Pada penderita tidak sadar; pemeriksaan penunjang menjadi alat penapis utama.  

Pemeriksaan Radiologis 

Dibutuhkan kerjasama an tara dokter neurologi 

dan radiologi untuk mencegah kemungkinan 

kerusakan sekunder selama pemeriksaan. 

Oleh karena itu seorang dokter neurologi juga 

harus mengenal tindakan-tindakan yang perlu 

dilakukan selama pemeriksaan. Pacta instansi 

dengan fasilitas kesehatan yang lengkap, CT 

scan dapat menjadi modalitas penapisan awal 

cedera pacta kasus kecurigaan cedera medula 

spinalis. Namun pacta instansi dengan fasilitas 

terbatas, dapat dilakukan foto Rontgen 

dengan posisi tertentu sebagai penapisan 

awal, kemudian dilanjutkan CT scan untuk 

memperjelas kelainan pacta segmen tertentu. 

Pemeriksaan foto rontgen pacta kasus kecurigaan cedera medula spinalis, meliputi: 

1. Foto Segmen Servikal (Gambar 4) 

Foto segmen servikal dilakukan dengan 

posisi lateral, anteroposterior (AP), dan 

open-mouth odontoid. Pemeriksaan lateral dilakukan dengan pasien berada dalam 

posisi tidur telentang dan film diletakkan 

di sam ping pasien. Foto servikal dianggap 

Cedera Medula Spinalis 

baik jika basis kranii hingga vertebra servikal ke-7 dapat terlihat. Untuk mencapai 

itu, seringkali diperlukan proyeksi khusus, yakni swimmer's position. 

Posisi AP diperlukan untuk mengidentifikasi dislokasi faset unilateral yang tidak tampak jelas pacta foto lateral. Di sisi 

lain, posisi open-mouth odontoid dilakukan khusus untuk melihat area sekitar 

segmen servikal 1 dan 2. 

2. Foto Segmen Torakolumbal 

Perlu diperhatikan kesegarisan korpus 

vertebra, jarak antar diskus, pedikel, 

prosesus spinosus, dan foramen intervertebralis. Jika dicurigai adanya kelainan maka dibuat proyeksi tambahan baik 

lateral maupun oblik. 

Modalitas radiologis lain, seperti CT dan 

MRI (Gambar 3), dapat dipertimbangkan pacta pasien dengan defisit neurologis yang jelas namun  tidak ditemukan 

kelainan pacta pemeriksaan radiologis 

sebelumnya (spinal cord injury without radiological abnormality /SCIWORA).   

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kecurigaan abnormalitas jaringanlu- . 

nak, seperti herniasi diskus, ekstraaksial 

hematom, dan abnormalitas ligamen. 

Akan namun  mempertimbangkan prosedur 

pemeriksaan MRI yang sulit dilakukan 

dan berisiko, maka MRI sebaiknya dilakukan secara elektif. 

PENGOBATAN 

Seperti halnya penegakan Diagnosa , konsep 

penanganan cedera medula spinalis yaitu  

semua korban trauma harus dicurigai mengalami dan ditangani sebagai kasus cedera 

medula spinalis sampai terbukti tidak adanya cedera. Selama belum terbukti tidak ada 

cedera, pada saat pemeriksaan pasien harus 

dilakukan imobilisasi untuk menghindari 

cedera sekunder. 

ada tiga tujuan utama yang perlu dicapai dalam PENGOBATAN cedera medula spinalis, yaitu maksimalisasi pemulihan neurologis, stabilisasi spinal, dan rehabilitasi. Untuk 

itu, ada alur PENGOBATAN yang dimulai 

sejak fase pra-RS (prehospital), fase RS (hospital), dan rehabilitasi pascacedera yang 

berkesinambungan. 

PENGOBATAN Pra-RS (prehospital) 

ada 10-25% pasien cedera medula 

spinalis yang mengalami defisit neurologis 

akibat PENGOBATAN prarumah sakit yang tidak mumpuni. Penanganan fase ini berperan penting dalam menentukan prognosis 

pasien trauma medula spinalis. 

Dibutuhkan koordinasi yang baik antara 

petugas di tempat kejadian dan rumah sakit 

tujuan. Rumah sakit tujuan harus dipastikan 

dapat melakukan PENGOBATAN lanjutan pada 

pasien sebelum dilakukan transfer pasien.  

Informasi yang penting diketahui antara 

lain yaitu  keadaan pasien, waktu terjadinya trauma, dan mekanisme trauma. 

Penekanan yang diutamakan pada fase 

prarumah sakit yaitu  1) imobilisasi 

pasien; 2) penjagaan jalan napas; 3) kontrol 

perdarahan dan syok; dan 4) transfer pasien 

ke rumah sakit dengan fasilitas memadai sesegera mungkin. 

1. Imobilisasi Pasien 

Upaya imobilisasi pada fase prarumah 

sakit, meliputi imobilisasi area servikal dan 

sepanjang tulang belakang (Gambar 4). 

a. lmobilisasi area servikal 

PENGOBATAN yang dapat dilakukan 

untuk melindungi dan imobilisasi 

area servikal, antara lain: 

• Stabilisasi manual dengan memposisikan kepala sedikit ekstensi dan 

minimal distraksi, untuk mencegah 

terjadinya fleksi dan kompresi spinal 

yang lebih lanjut, 

• Memasangkan bidai servikal, atau 

• memakai  sand bag. atau towel 

roll pada sisi lateral atau dengan 

mengikat (taping) kepala pada spine 

board. 

Kelebihan dalam pemakaian  bidai servikal yaitu  manipulasi minimal pada leher 

saat pemasangannya. Bidai se~ dapat 

dijadikan sebagai penanda bahwa ada 

risiko · cedera servikal yang belum dapat 

. disingkirkan. Kombinasi dengan cara lain, 

misalnya taping, dapat lebih memfiksasi 

leher (Gambar 4). 

Yang perlu diperhatikan dalam metode 

taping yaitu  agitasi pasien. Pasien 

 

dengan agitasi dapat bergerak-gerak 

yang dapat menimbulkan cedera spinal 

sekunder. Taping daerah dada sebaiknya 

diminimalisasi karena mengurangi ruang gerak rongga paru, Taping pada posisi terlentang (supine) meningkatkan 

risiko terjadi bronkopneumonia aspirasi. 

pemakaian  sandbag dipikirkan lebih 

aman dibandingkan taping karena tidak 

mengganggu jalan napas namun  dapat 

meminimalisasi timbulnya gerakan yang 

tidak diinginkan Sandbag direkomendasikan pada pemindahan pasien pada 

keadaan yang tidak memungkinkan 

de-ngan spine board. Selain keadaan 

ini , sandbag kurang praktis untuk 

dipakai . Minimalisasi gerakan lateral kepala pun dapat dilakukan dengan 

pengaplikasian towel roll pada kedua sisi 

kepala. Sebaiknya pengaplikasian sandbag 

atau towel roll tanpa dikombinasikan dengan taping atau pelindung leher tipe rigid. 

Pada pasien trauma yang memakai  

helm, dapat dipertimbangkan untuk tidak melepaskan helm selama dil~ 

PENGOBATAN awal kecuali ditemukan adanY<t 

gangguan jalan napas pada pasien. Walaupun hal ini memiliki risiko terjadinya 

fleksi leher yang mengacu pada kejadian 

perdarahan yang mengancam nyawa, 

pelepasan helm oleh tenaga yang kurang 

terampil dapat memberikan cedera 

yang lebih buruk pada region servikal. 

Pelepasan helm sebaiknya dilakukan 

oleh dua orang sesuai dengan prosedur 

dari American College of Surgeon. 

b. lmobilisasi sepanjang tulang belakang 

Imobilisasi tulang belakang bertujuan 

untuk meminimalisir gerakan serta  

Cedera Medula Spinalis 

menjaga kesejajaran (alignment) tulang 

belakang dengan memakai  spine 

board. Spine board tidak diperuntukkan untuk pemakaian jangka panjang 

karena berisiko terjadinya dekubitus 

akibat penekanan berlebih di bagian 

sakrum, belikat, tumit, dan oksipital. 

2. Tindakan Resusitasi 

Tindakan resusitasi pada fase pra-RS, 

meliputi penjagaan jalan napas dan 

kontrol perdarahan serta syok, dengan 

tetap mengutamakan imobilisasi pasien. 

Protokol tindakan resusitasi ini telah direkomendasikan oleh American College 

of Surgeon. 

a. Penjagaan jalan napas dan ventilasi 

Penjagaan jalan napas wajib dilakukan 

pada seluruh pasien trauma terutama 

yang mengalami penurunan kesadaran. Pasien dengan jalan napas yang 

tidak adekuat akan mengalami gangguan ventilasi yang akan berlanjut 

pada kurangnya oksigenasi jaringan 

jika terjadi dalam waktu yang lama. 

Pembukaan jalan napas pada pasien 

dengan trauma spinal prarumah sakit 

dapat dilakukan dengan manuver jaw 

thrust untuk meminimalisasi pergerakan leher. Pemasangan nasopharyngeal airway atau oropharyngeal airway 

dapat dilakukan untuk menjaga jalan 

napas tetap terbuka, namun perlu diperhatikan bahwa pemakaian  ini 

dapat menginduksi refleks muntah dan 

memberikan efek agitasi pada pasien. 

Pembukaan jalan napas definitif 

dilakukan hila alat pembuka jalan 

napas sementara tidak adekuat.  

Dapat dipertimbangkan tindakan 

krikotiroidektomi emergensi atau 

trakeostomi definitif di rumah sakit 

bila kondisi tidak memungkinkan untuk diintubasi. 

Ventilasi adekuat dilakukan setelah 

jalan napas dipastikan adekuat. Perlu 

diperhatikan ada-tidaknya kegagalan 

respirasi pacta pasien trauma medula 

spinal. Kondisi ini ditandai oleh adanya gerak dinding dada paradoksikal, 

serta kapasitas vital paru yang dipengaruhi oleh postur tubuh pasien. 

Posisi tegak dan Tredelenburg sebaiknya dihindari pacta pasien cedera medula spinalis dengan klinis tetraplegia. 

Hal ini berkaitan dengan tertariknya 

diafragma oleh organ-organ abdomen ke arah kaudal atau terdorong 

ke arah rostral, sehingga mengganggu 

kapasitas vital pasien. 

b. Kontrol perdarahan dan renjatan 

Renjatan hipovolemik pacta trauma 

spinal merupakan hal yang rumit. 

Kondisi hipotensi dapat ditemukan 

tanpa disertai dengan adanya hipoperfusi, a tau disebut juga renjatan spinal. 

Cedera setinggi segmen servikalis 

atau torakalis tinggi dapat dijumpai 

hipotensi dan bradikardi. Keadaan ini 

dapat terjadi akibat adanya renjatan 

spinal, sehingga tidak disarankan untuk dilakukan resusitasi cairan berlebihan.  

PENGOBATAN di Rumah Sakit 

1. Penanganan gawat darurat 

Penanganan gawat darurat pasien cedera 

medula spinalis di unit gawat darurat RS 

tergantung pada penanganan pertama 

pra-RS. Apabila pasien belum mendapatkan pra-RS sebelumnya, maka protokol 

penanganan gawat darurat cedera medula spinalis harus dilakukan dari awal. 

Berbeda jika pasien telah mendapatkan 

penanganan prarumah sakit yang tepat, 

maka langkah-langkah dalam protokol 

dapat dilewati a tau dimodifikasi setelah 

memastikan kembali bahwa tindakan 

yang dilakukan sebelumnya tepat dan 

keadaan-keadaan yang mengancam  nyawa sudah ditangani. 

a. lmobilisasi 

Imobilisasi pada fase rumah sakit 

merupakan lanjutan dari PENGOBATAN 

prarumah sakit. Pasien yang datang 

dalam keadaan terimobilisasi dengan 

spine board dan pelindung leher sebaiknya dipindahkan segera mengingat tindakan imobilisasi juga memberikan 

risiko komplikasi. Sebaiknya penilaian 

dan pemeriksaan penunjang lengkap 

dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 

dua jam. Apabila dalam dua jam tidak 

tercapai, sebaiknya mobilisasi terkontrol 

tetap dilakukan dengan memperhatikan 

kesegarisan tulang belakang. 

 

b. Primary survey 

Tindakan primary survey merupakan 

evaluasi ulang dari tindakan prarumah 

sakit (Tabel 4). Primary survey tetap dilakukan walaupun sudah dilakukan sebelum tiba di rumah sakit. 

c. Secondary survey dan pemeriksaan 

neurologis 

Setelah primary survey pasien dinyatakan 

aman, maka pemeriksaan dilanjutkan ke 

secondary survey, meliputi anamnesis dan 

pemeriksaan dari kepala hingga ujung 

kaki, termasuk pemeriksaan neurologis 

lengkap (Tabel 5). Tindakan secondary 

survey ini bertujuan untuk mencari tandatanda cedera medula spinalis secara klinis.  

d. Medikamentosa akut 

Obat-obatan yang dapat diberikan sebagai pengobatan akut, antara lain: 

• Glukokortikosteroid dosis tinggi 

Studi oleh NASCIS II menghasilkan bahwa pemberian metilprednisolon dosis 

tinggi dalam 24 jam pertama memberikan perbaikan fungsi motorik yang 

signifikan dibandingkan kelompok 

kontrol (plasebo atau nalokson). Penelitian ini  telah dikembangkan 

dan saat ini sudah ditetapkan metilprednisolon dosis tinggi dalam 8 jam 

pertama sebagai PENGOBATAN standar 

pasien cedera medula spinalis. Cara 

pemberian sebagai berikut:  

Pasien onset <3 jam diberikan metilprednisolon 30mgjkgBB IV bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45 menit (tidak diberikan metilprednisolon 

dalam kurun waktu ini). Dilanjutkan 

dengan infus terns menerus selama 23 

jam dengan dosis 5,4mgjkgBBjjam. 

- Pasien onset 3-8 jam, diberikan dengan cara yang sama namun dosis infus dilakukan selama 47 jam. 

- Bila Diagnosa  baru ditegakkan >8 jam, 

maka pemberian steroid tidak dianjurkan. 

• Opiat reseptor antagonis 

• Nonglukokortikoid steroid tirilazad 

• Monosialoganglioside (GM-1) 

1. Perawatan intensif 

Perawatan penderita cedera medula spinalis di ruang rawat intensif ditekankan 

pada upaya mempertahankan pasien 

tetap imobilisasi dan mengevaluasi masalah neurologis maupun kesehatan lain 

yang mungkin timbul sebagai keadaan 

primer maupun sekunder akibat upaya 

imobilisasi sendiri. lnsiden morbiditas 

dan mortalitas pasien cedera medula 

spinalis lebih tinggi terjadi pada dua 

minggu awal pascacedera. 

Kriteria tempat tidur yang sesuai dalam 

perawatan pasien cedera medula spinalis, antara lain 1) dapat menunjang stabilitas dan kesegarisan tulang belakang; 

2) nyaman dan memiliki risiko rendah 

ulkus dekubitus; 3) memudahkan akses 

perawatan; dan 4) memudahkan upaya 

reposisi pasien untuk mencegah komplikasi imobilisasi.  

Cedera Medula Spinalis 

a. Perawatan masalah kesehatan yang 

mungkin muncul 

Selama perawatan di rumah sakit, pasien 

cedera medula spinalis dapat mengalami 

beberapa komplikasi akut atau subakut 

(Tabel 6 dan 7). Hal ini harus diperhatikan 

oleh klinisi. Komplikasi ini bisa mengenai 

sistem kardiovaskular; pemapasan, dan salurancema. 

a) Perawatan masalah kardiopulmoner 

Masalah kardiopulmuner dapat terjadi pada cedera medula spinalis 

karena gangguan sistem saraf otonom simpatis dan parasimpatis serta 

pasien yang dalam kondisi imobilisasi. Proses cedera pada segmen 

servikal hingga torakal atas (T4) 

memicu hilangnya efek simpatis akibat cedera medula spinalis, 

sehingga resistensi vaskular sistemik 

menurun dan efek parasimpatis meningkat. Hal ini disebut juga renjatan 

neurogenik. Manifestasi klinis yang 

dijumpai yaitu  hipotensi dengan 

selisih tekanan sistolik dan diastolik 

yang Iebar (wide pulse pressure), bradikardia, serta ekstrimitas yang hangat. 

Hal ini berbeda dengan tanda renjatan 

pada umumnya yang ditandai dengan 

takikardia, hipotensi dengan selisih 

tekanan sistolik dan diastolik yang 

sempit (narrow pulse pressure), serta 

ekstrimitas yang dingin dan pucat 

Penanganan awal renjatan neurogenik yaitu  resusitasi cairan kristaloid 

intravena untuk menjaga kecukupan 

volume intravascular. Jika hipotensi 

tetap terjadi setelah resusitasi, maka  

dapat dipertimbangkan pemakaian  

vasopresor. Pemilihan regimen vasopresor yang terbaik hingga saat ini 

masih dalam penelitian, namun  lebih 

diutamakan yang memilki aktivitas 

alfa dan beta adrenergik, misalnya 

norepinefrin, dopamin, dan adrenalin. 

Bila pasien mengalami renjatan hipovolemik, maka terapi utamanya yaitu  

resusitasi cairan dengan kristaloid 

(NaCl 0,9% atau ringer laktat). Kombinasi dengan koloid, misalnya albumin 

5%, dapat juga dipertimbangkan pada 

kemungkinan kondisi overload serta 

adanya kontraindikasi pemakaian 

kristaloid pada cedera kepala. Pemantauan saturasi oksigen memakai  

oksimeter (pulse oximeter) perlu dilakukan selama perawatan. 

Selain hipotensi, cedera medula spinalis pada segmen servikal dan torakal 

atas dapat memicu disritmia 

jantung. Sinus bradikardia yang timbul akibat gangguan simpatis supraspinal merupakan bentuk disritmia 

yang paling sering terjadi. Selain itu, 

blok konduksi atrioventrikular (A-V 

block) serta takikardia supraventrikel 

dan ventrikel juga dapat ditemukan. 

Timbulnya disritmia ini lebih sering 

terjadi pada cedera medula spinalis 

yang komplet (ASIA/IMSOP derajatA).  

Bradiaritmia dapat ditatalaksana dengan 

pemberian atrofin. Sebagian kecil pasien 

memerlukan pemasangan pacu jantung 

untuk mengontrol denyut jantungnya. Bila 

hal ini disertai hipotensi, pemakaian  vasopresor yang hanya memiliki aktivitas alfa 

adrenergik, seperti fenilefrin, sebaiknya 

dihindari karena dapat memicu perlambatan kerja jantung dan eksaserbasi 

bradikardia. 

Gangguan pernapasan sekunder terjadi akibat fungsi otot-otot interkostalis 

terganggu pada cedera medula spinalis 

servikal, sehingga terjadi gangguan refleks batuk. Pasien menjadi tidak mampu membersihkan sekresi mukus dan  

rentan mengalami retensi mukus berulang. Penggunakan tracheal bronchial 

suctioning berkala, pulmonary toilet, 

dan fisioterapi dada direkomendasikan 

untuk masalah ini. Selain itu dapat terjadi atelektasis sebagai salah satu predisposisi pneumonia. Kombinasi gangguan refleks batuk dan atelektasis akan 

meningkatkan risiko pneumonia. Oleh 

karena itu, pemberian antibiotik dapat 

dipertimbangkan sesuai dengan pola kuman di RS. Pasien juga berisiko mengalami aspirasi terutama bila tidak terintubasi. Salah satu cara pencegahan aspirasi 

yaitu  pemasangan pipa nasogatrik dan 

dilakukan suctioning berkala 

Pasien dengan ventilator harus diperhatikan antara kebutuhan terhadap 

ventilator dan kondisi kemampuan pernapasan pasien sendiri. Penyapihan dari 

ventilator harus segera dilakukan bila 

fungsi pernapasan pasien kembali membaik, mengingat pemakaian  ventilator 

juga meningkatkan risiko masalah pernapasan sekunder, seperti ventilator acquired pneumonia (VAP), trakeomalasia, 

sinusitis, dan intoksisitas oksigen. 

b) Trombosis vena dalam 

Kejadian trombosis vena dalam dan emboli paru merupakan dua kemungkinan 

komplikasi yang harus diwaspadai selama perawatan penderita cedera medula spinalis. Sebanyak 15% penderita 

cedera medula spinalis mengalami trombosis vena dalam dan setengah di antaranya menjadi emboli paru. Oleh karena 

itu, upaya pencegahan diutamakan dan 

harus dilakukan sedini mungkin. Upaya 

yang dapat dilakukan, di antaranya (1) 

pemakaian compression stocking; (2) 

pemberian heparin dosis rendah; atau 

(3) pemasangan filter vena cava inferior 

pada kasus kontraindikasi heparin yang 

masih harus imobilisasi dalam jangka 

waktu yang cukup lama. Selain itu, 

upaya mobilisasi penderita segera juga 

merupakan langkah untuk menghindari 

komplikasi trombosis vena dalam. 

c) Perawatan masalah sistem pencemaan 

Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu  

gangguan saluran pencemaan, yaitu salah 

satunya ileus. Salah satu gejala ileus yaitu  

distensi abdominal yang akan mempengaruhi kinerja diafragma sehingga 

mempengaruhi fungsi pemapasan dan  

meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. 

PENGOBATAN akut untuk masalah ileus 

yaitu  kompresi dengan pipa nasogastrik atau orogastrik. 

Adanya risiko perdarahan saluran cema 

pada penderita cedera medula spinalis diperberat dengan intervensi pengobatan, 

misalnya pada pemberian steroid dosis 

tinggi. Pilihan agen profilaksis yang dapat 

diberikan, antara lain (1) antasid oral dosis 

tinggi; (2) penyekat H2; atau (3) pelindung 

mukosa. pemakaian  kombinasi dua obat 

disarankan untuk pencegahan komplikasi 

perdarahan saluran cema pada pasien 

dengan riwayat ulkus saluran cema. 

Selain kedua hal di atas, kebutuhan energi 

tidak kalah penting untuk diperhatikan. 

Kebutuhan kalori akan meningkat pada 

beberapa hari pertama pascacedera. 

Oleh karena itu, penurunan berat badan 

penderita cedera medula spinalis pada 

minggu-minggu awal perawatan menjadi tidak dapat dihindarkan. Pemberian 

nutrisi yang tepat dapat mencegah malnutrisi pada kasus ini. 

Terputusnya persarafan otonom kolon 

dan rektum dan persarafan volunter otot 

din-ding perut dan pelvis memicu 

kesulitan defekasi. Jika tidak ditangani dengan tepat, maka impaksi feses dapat terjadi. Penanganan masalah ini  dengan 

pemberian tambahan asupan makanan 

tinggi serat (10-20g per hari) dan agen 

pelunak feses. Agen pelunak feses dapat 

diberikan secara oral Oaktulosa) maupun 

supositoria (gliserin). Selain itu, evakuasi 

digital dapat dipertimbangkan 2-3 kali 

dalam seminggu sebagai PENGOBATAN akut.  

d) Perawatan masalah berkemih 

Gangguan berkemih yang sering ditemukan pada kasus cedera medula spinalis, 

antara lain (1) retensi urin disertai distensi berlebih kandung kemih dan (2) 

priapismus yang sering ditemukan pada 

pasien laki-laki. Retensi urin pada penderita cedera medula spinalis dapat diakibatkan oleh (1) kelemahan otot detrusor; (2) hiperaktivitas sfingter, atau (3) 

kerja kandung kemih dan sfingter yang 

tidak sinergi dalam bentuk lain. 

Apapun masalah yang mendasarinya, 

PENGOBATAN akut dari retensi urin yaitu  

pemasangan kateter urin. Pemasangan 

kateter urin indwelling direkomendasikan hingga kondisi stabil, dilanjutkan 

dengan pemasangan kateter intermiten 

setiap 6 jam. Pemasangan pipa suprapubik dapat dilakukan pada kondisi 

priapismus untuk menghindari cedera 

sekunder saluran kemih. Penanganan selanjutnya tergantung dari basil pemeriksaan urodinamik. 

2. PENGOBATAN operatif 

Tujuan utama pembedahan yaitu  

melakukan dekompresi terhadap medula spinalis dan melakukan stabilisasi 

tulang belakang. Operasi pada pasien 

cedera medula spinalis diindikasikan 

pada keadaan-keadaan sebagai berikut: 

• ada fraktur, pecahan tulang 

menekan medula spinalis 

• Gambaran neurologis progresifmemburuk 

• Fraktur dan dislokasi yang labil 

• Herniasi diskus intrevertebralis yang 

menekan medula spinalis  

Cedera Medula Spinalis 

Prognosis penderita sangat tergantung 

dari berat cedera dan lamanya pertolongan hingga tindakan pembedahan. Tindakan operatif dapat dilakukan 

dalam rentang waktu 24 jam hingga 3 

minggu pascacedera namun tindakan 

operatif dini ( <24 jam) lebih bermakna 

dalam menurunkan risiko komplikasi 

dan perburukan neurologis. 

PENGOBATAN Rehabilitatif 

Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan 

kualitas individu yang mengalami gangguan 

secara optimal dalam bidang mental, fisik, 

kognitif, dan sosial. Proses rehabilitasi pada 

pasien cedera medula spinalis yaitu  untuk: 

• Memberikan pengertian mengenai cedera 

medula spinalis kepada pasien dan keluarga. 

• Memaksimalkan fungsi mobilisasi dan kemampuan perawatan diri (kemandirian) 

pasien. 

• Mencegah masalah kesehatan komorbid, 

seperti kontraktur, luka decubitus, masalah pernapasan, dan seterusnya. 

Pencapaian ini  melibatkan kerjasama multidisiplin, yang dimulai sejak fase akut, perawatan, hingga setelah 

perawatan. Adapun tindakan-tindakan 

rehabilitasi sendiri, meliputi fisioterapi, 

terapi okupasi, latihan miksi dan defekasi rutin, terapi psikologis, dan, konseling. 

CONTOH KASUS 

Wanita usia 39 tahun datang dengan keluhan 

utama kelemahan keempat ekstremitas sejak 

1 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien 

diketahui mengalami kecelakaan lalu lintas 1 

jam sebelum masuk IGD. Pasien mengendarai 

sepeda motor dengan kecepatan 20-30km/ 

jam. Pasien diserempet dari belakang dan ke 

mudian terjatuh ke arab depan dengan posisi 

tertelungk:up dengan dagu terkena aspal dan 

helm terlepas. Pasien terseret beberapa meter ke depan. Pasien sadar dan ingat semua 

kejadian sebelum, saat, dan sesudah kecelakaan. Tidak ada darah yang keluar 

dari telinga dan hidung. Pasien menyangkal 

adanya benturan pada kepala. 

Sesaat setelah kejadian, pasien mengeluhkan nyeri hebat pada pada Ieber belakang 

disertai dengan kelemahan pada kedua 

tangan dan kaki. Kedua lengan masih dapat 

digeser, siku dapat ditekuk, jari-jari tangan 

masih dapat digerakkan, lengan kiri terasa 

lebih berat jika dibandingkan dengan lengan kanan. Kedua kaki sama sekali tidak 

dapat digerakkan. Pasien juga merasa baal 

dari setinggi bahu sampai tubuh bagian 

bawah dan ekstremitas bawah. 

Pertanyaan: 

1. Ananmnesis apa yang masih kurang? 

2. Apa saja pemeriksaan fisik yang akan 

dilakukan dan apa basil yang diharapkan? 

3. Pemeriksaan penunjang apa yang 

akan dilakukan dan apa basil yang 

akan diharapkan? 

4. Apa Diagnosa  dan Diagnosa  banding 

kasus ini? 

5. Apa PENGOBATAN medikamentosa dan 

non-medikamentosa yang akan dilakukan? 

6. Bagaimana prognosis wanita pada 

kasus ini?  






KOMPLIKASI PASCACEDERA KEPALA 

 

Komplikasi pascacedera pada kasus-kasus 

neurologi dapat terjadi segera ataupun kemudian. Kerusakan sekunder sel saraf akibat cedera kepala traumatik dapat terjadi 

dalam hitungan menit hingga hitungan hari 

setelah cedera awal. Setiap kali jaringan 

saraf mengalami cedera, serangkaian perubahan terjadi pada kompartemen intra 

maupun ekstraselular. Perubahan inilah 

yang pada akhirnya akan menimbulkan 

komplikasi akut maupun kronis. Semakin 

berat cedera, tentunya akan meningkatkan 

risiko serta besar masalah komplikasi yang 

terjadi. 

Secara garis besar; komplikasi pascacedera di 

bidang neurologi terbagi menjadi komplikasi 

neurologis yang terdiri dari komplikasi kognitif dan nonkognitif, serta komplikasi metabolik Komplikasi metabolik yang sering 

muncul dan menimbulkan gangguan yaitu  

hiponatremia dan koagulopati pascacedera 

yang akan dibahas dalam bab ini. 

KOMPLIKASI NEUROLOGIS 

1. Komplikasi KognitifPascacedera Kepala 

Masalah neurobehavior sering terjadi setelah 

cedera kepala, di antaranya gejala neuropsikiatrik, masalah kognitif, dan agresi. Gangguan kognitif sering terjadi sekitar 40-60% 

dalam 1 sampai 3 bulan pascacedera. JeDiatri Nari Lastri  

nis gangguan ini berbeda-beda tergantung 

dari berat-ringannya cedera, namun  secara 

umum dibagi menjadi adanya perubahan 

ke-sadaran, gangguan atensifkonsentrasi, 

memori, dan fungsi eksekutif. Gangguan 

atensi, kecepatan proses pikir; memori 

episodik, dan fungsi eksekutif merupa-kan 

gangguan yang paling sering terjadi pada 

periode cedera subakut. 

Gangguan kognitifmerupakan sekuele yang 

akan menghambat proses rehabilitasi dan 

penyembuhan serta memengaruhi keluaran yang buruk. Hal ini dapat mengganggu 

kualitas hidup, kemampuan kembali kerja 

dan h'ilangnya produktivitas, serta hilangnya komunikasi terhadap keluarga. 

Patofisiologi 

Trauma kepala memicu otak bersentuhan dengan tulang tengkorak atau objek luar; 

akibat proses akselerasi-deselerasi (Gambar 1 ). Momen inersia akibat mekanisme 

akselerasi-deselerasi berhubungan dengan 

tarikan, robekan, dan penekanan yang memicu kerusakan akson. 

Cedera akibat mekanisme ini  terjadi 

segera (cedera primer) dan berlangsung seterusnya, sehingga memicu pelepasan 

neurotransmiter yang dipicu oleh kaskade 

kerusakan eksitotoksik dan hal lain, seperti 

hipoksia, edema, dan peningkatan tekanan 

intrakranial (cedera sekunder). Lokasi yang paling sering terlibat dalam cedera kepala 

yaitu  lobus temporal anterior, inferior, 

dan laterat serta lobus frontal. ada 

keterlibatan perubahan neurotransmiter 

pacta sekuele neurobehavior, termasuk 

gangguan fungsi kognitif. Perubahan yang 

terjadi melibatkan katekolamin, kolinergik, 

dan serotonin. 

Area frontal-subkortikal dengan tiga 

sirkuit utamanya berperan penting pacta 

pengaturan perilaku. Area ini tumpang 

tindih dengan area yang rentan terhadap 

cedera yang memicu perubahan 

perilaku dan emosional pascacedera (Gambar 2). Setiap sirkuit memulai perjalanannya dari korteks di frontal dan diproyeksi- 

kan secara sekuensial ke striatum, globus 

palidus, talamus, dan kembali ke korteks 

fro natal. 

Sirkuit yang terlibat yaitu  (Gam bar 3): 

• Frontaljprefrontal-subkotikal dorsolateral akan mengganggu fungsi eksekutif 

seperti memori, pengambilan keputusan, penyelesaian masalah, dan fleksibilitas mental. 

• Orbitofrontal-subkortikal lateral akan 

mengganggu intuisC perilaku sosiat dan 

mekanisme konrol diri. 

• Medial frontal-subkortikal anterior akan 

memicu gangguan motivasi dan 

inisiasi.  

Gejala dan Tanda Klinis 

Modalitas a tau ranah (domain) kognitif dibagi menjadi atensi, fungsi eksekutif, memori, 

bahasa, visuospasial-visuokonstruksi, dan 

keterampilan motorik serta persepsi sensorik. Gangguan fungsi kognitif pada cedera 

kepala dapat berupa cedera difus atau fokal 

tergantung dari mekanisme cedera. Cedera 

otak difus sering mengikuti cedera otak tertutup akibat mekanisme akselerasi-deselerasi, akan melibatkan banyak ranah kognitif. Gangguan yang bersifat fokal biasanya 

akibat cedera kepala penetrasijlaserasi. 

Ranah kognitif yang terganggu mengikuti 

cedera kepala: 

1. Atensi dan kecepatan proses pikir 

Gangguan atensi sering mengikuti cedera 

kepala dan berkaitan dengan kerusakan 

difus atau struktur dan sistem otak multipel termasuk korteks parietal inferior, 

korteks frontal, dan sistim limbik. Walaupun ada banyak tipe atensi, yang  

paling sering terkena yaitu  atensi fokus/ 

selektif, sustained attentionjkonsentrasi, 

atensi terbagi ( distrakbilitas ), dan alternating attention/set shifting (kesulitan 

melakukan tugas jamak pada satu waktu ). 

Penting untuk menilai kemampuan atensi 

karena gangguan atensi mempunyai efek 

pada kemampuan kognitif lain, terutama 

memori dan fungsi eksekutif. 

2. Memori 

Gangguan memori merupakan salah satu 

gangguan tersering pada cedera kepala, 

dan hal ini berkaitan dengan kerusakan 

lobus temporal medial, struktur talamus 

medial dan garis tengah, basal frontal, 

serta sistem koneksi frontal. Perbedaan 

an tara amnesia anterograd dan retrograd 

penting pada klinis. Amnesia anterograd 

atau posttraumatic amnesia (PTA) merupakan ketidakmampuan atau terbatasnya 

kemampuan untuk mempelajari informasi baru atau pengetahuan sejak terjadinya  

cedera otak, sedangkan amnesia retrograd merupakan ketidakmampuan untuk 

memanggil (recallJ kejadian yang mendahului onset cedera otak. Fungsi memori 

yang sering terganggu yaitu  proses 

memori deklaratif, seperti recall kejadian 

dan waktu, serta subranah yang berkaitan 

seperti encoding dan retrieval. 

3. Fungsi eksekutif 

Gangguan fungsi eksekutif dapat meliputi, (1) gangguan kemampuan penalaran/ 

reasoning ( diperlukan untuk mengambil 

keputusan), (2) perencanaan, (3) inhibisi, (4) organisasi, dan (5) sequencing. 

Gangguan fungsi eksekutif ( sindrom 

diseksekutif) pada awalnya dipikirkan 

merupakan kerusakan lobus frontal, 

namun