ar-kecilnya pasien, karena perbedaan
dosis antara kedua bobot badan hanya ±16%,
lihat tabel pentakaran di bawah ini. Selisih ini
dapat diabaikan mengingat variasi individual
mengenai daya resorpsi obat di dalam tubuh
jauh lebih besar, kadang-kadang sampai
lebih dari 50%.
Usia
A. Manula, yaitu orang yang berusia di
atas 65 tahun pada umumnya lebih peka
terhadap obat, karena sirkulasi darahnya
sudah berkurang. Fungsi hati dan ginjalnya
pun sudah menurun, hingga eliminasi obat
berlangsung lebih lambat. Lagi pula jumlah albumin darahnya lebih sedikit, oleh
karena itu pengikatan obat pun berkurang,
terutama obat-obat dengan PP besar, seperti
anti-koagulansia dan fenilbutazon. Hal ini
berarti bahwa bentuk bebas dan aktif dari
obat-obat ini menjadi lebih besar dan bahaya
keracunan semakin meningkat. Akhirnya pada manula tidak jarang adanya kerusakan
difus pada sel-sel otak, yang mengakibatkan
peningkatan kepekaan terhadap obat dengan
efek sentral, misalnya obat tidur (barbiturat,
nitrazepam), opioida dan psikofarmaka.
Obat ini pada dosis biasa dapat menyebabkan
reaksi keracunan yang hebat pada manula,
juga obat jantung digoksin, hormon insulin
dan adrenalin.
* Dosis lansia. Oleh karena faktor-faktor tersebut di atas, bagi lansia dianjurkan dosis
yang lebih rendah, yaitu:
65- 74 tahun : dosis biasa - 10%
75 - 84 tahun : dosis biasa - 20%
85 tahun dan lebih : dosis biasa - 30%
B. Anak
berdasar pengembangan biologiknya
anak-anak dibagi dalam kelompok:
– Neonat: 0-28 hari
– Bayi: di bawah usia 1 tahun
– Balita: 2 sampai dengan 5 tahun
– Adolescent 12-18 tahun
Antara anak-anak dan orang dewasa, maupun antara neonat dan balita ada perbedaan besar berdasar farmakokinetik
dan farmakodinamik yang senantiasa berubah sesuai dengan pertumbuhan dan pengembangan anak.
Kekurangan data klinik mengenai penelitian
obat untuk anak-anak mengakibatkan tidak
tersedianya informasi esensial mengenai
pemakaian obat yang rasional, terutama
dosis dan frekuensinya bagi kelompok tersebut di atas yang peka terhadap masalah ini.
Tidak dibenarkan untuk sekadar mengekstrapolasi data dari orang dewasa ke kelompok bayi/anak, misalnya untuk menentukan
dosis obat yang dahulu sering kali dihitung
sebagai fraksi dari dosis orang dewasa dan
menyebabkan underdosis bagi anak-anak
yang sedang berkembang (terkecuali neonat),
karena metabolisme dari banyak obat lebih
kuat pada anak daripada dewasa.
Hal ini bukan saja berlaku bagi dosis/
efek obat, tetapi juga berkaitan dengan efek
samping yang sering kali pada anak-anak berakibat sangat serius, misalnya pemakaian
obat antiepileptika asam valproat-Depakine
(gangguan hati) dan lamotrigin-Lamictal (Stevens-Johnson sindrom).
Pertumbuhan dan pengembangan anak
terutama pada fasa neonatal mempunyai
dampak besar terhadap farmakokinetik obatobat yang diminum (per oral), antara lain
disebabkan oleh faktor-faktor:
– belum berkembangnya dengan sempurna
organ-organ eliminasi seperti hati dan
ginjal;
– transpor obat dalam tubuh;
– perubahan-perubahan besar dalam proses resorpsi di saluran cerna yang berkaitan dengan terutama keasaman lambung dan kecepatan pengosongan lambung (motilitas usus), flora usus, susunan empedu;
– perubahan-perubahan dan perkembangan organ-organ tubuh;
- variasi genetik
Absorpsi obat melalui dubur (rektal) dapat
meningkat pada neonat dikarenakan sistem
first-pass-effectnya belum berkembang dengan sempurna. Sedangkan absorpsi obat
kulit pada anak-anak dapat meningkat
kadarnya karena luas permukaan kulitnya
relatif besar terhadap berat badannya.
Faktor-faktor lain yang perlu mendapatkan
perhatian pada neonat yaitu :
– Pembagian (distribusi) obat yang berkaitan dengan perubahan susunan lemak
dan air dalam tubuh;
– Sawar darah/otak yang untuk beberapa
obat lebih mudah passagenya dan dapat
menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak diinginkan;
– Mekanisme eliminasi (biotransformasi)
oleh hati dan ginjal yang belum optimal
sehingga masa paruh obat dapat meningkat;
– Belum optimalnya aktivitas enzim-enzim
hati yang berperan pada biotransformasi
obat yang dapat menimbulkan toksisitas
(kloramfenikol dan “gray-baby syndrome”).
Anak kecil, terutama bayi yang baru lahir
(neonati), memiliki kerentanan yang lebih
besar terhadap obat, karena seperti diuraikan di atas fungsi hati dan ginjal serta sistem enzimnya belum berkembang secara
lengkap. Kloramfenikol, yang sekitar tahun
1960 diberikan di Inggris pada neonati secara rutin untuk mencegah infeksi, telah menyebabkan banyak keracunan fatal akibat
belum aktifnya enzim-enzim hati. Eliminasi sulfonamida berlangsung sangat lambat
dan terutama peka terhadap obat-obat sentral yang menstimulasi susunan saraf pusat
(SSP), misalnya amfetamin, morfin, aminofilin,
atropin dan antihistaminika (generasi pertama). Dikenal pula sejumlah obat yang —sering kali pada dosis terlalu tinggi— dapat
memperlihatkan reaksi paradoksal, seperti
perilaku agresif dan hiperaktif, misalnya benzodiazepin, ketotifen dan deptropin. Sebaliknya
ada pula beberapa obat yang dapat diberikan
pada anak dengan dosis agak tinggi tanpa
reaksi buruk, antara lain fenobarbital dan
digoksin.
C. Dosis untuk anak-anak.10 Ada beberapa
rumus untuk menghitung dosis anak-anak
berdasar usia, bobot badan atau luas
permukaan badan. Ada pula rumus yang
hanya berlaku untuk kelompok usia tertentu,
seperti rumus atas dasar usia.
1. Atas dasar usia: rumus Young dan rumus
Augsberger
a. Rumus Young semula banyak digunakan untuk menghitung dosis anak dengan
usia antara 1-12 tahun. Tetapi kini rumus ini
jarang dipakai lagi, karena memberikan
dosis terlampau rendah bagi bayi.
n
–––––– D
n+12
n : usia (tahun); D : dosis dewasa.
b. Rumus Augsberger lebih tepat, tetapi lebih
rumit mempraktikkannya:
Untuk 2-12 bulan : (m + 13)% dari D
Untuk 1-11 tahun : (4n + 20)% dari D
Untuk 12-16 tahun : (5n + 10)% dari D
m = usia (bulan); n: usia (tahun)
2. Atas dasar bobot badan: rumus Clark,
menghasilkan dosis yang lebih saksama. dan
banyak dipakai dalam praktik sehari-hari.
W
––––– D
68
w = bobot dalam kg
Di samping itu, ada pula daftar obat dengan
dosis sekian mg setiap kg bobot badan (mg/
kg b.b).
3. Atas dasar luas permukaan badan (PB):
formula Haycock, sebetulnya paling tepat
mengingat adanya hubungan langsung
antara permukaan badan dengan kecepatan metabolisme obat. Misalnya, parameter
eliminasi, seperti filtrasi glomeruler, volume
darah dan arusnya di ginjal. Lagipula pada
anak-anak, permukaan badannya relatif
lebih besar daripada bobotnya. Semakin
bertambah usia, maka perbandingan antara
permukaan badan dan bobot akan menjadi
lebih kecil. Obat dengan luas terapi sempit,
seperti onkolitika, dosisnya selalu ditentukan
berdasar PB, karena lebih eksak.
Formula Haycock/Mosteller dipakai untuk menghitung luasnya permukaan badan
(PB) pada anak-anak, termasuk neonati dan
bayi prematur.
0,5738 x w l
PB = –––––––––––––—–––– m2
0,3964 x 0,024265
w = bobot (kg) ; l = panjang (cm)
Penerapannya dalam praktik kurang lancar
karena agak rumit. Oleh karena itu telah
dibuat suatu tabel (Denekamp) berdasar
permukaan badan yang dihubungkan dengan usia atau bobot badan, sehingga dapat
langsung dibaca persentase dosis dewasa
yang berlaku untuk usia anak tertentu.
* Tabel prosentuil dari Denekamp yang tertera
di bawah ini dan telah disesuaikan dengan
keadaan anak negara kita sangat memuaskan
pemakaian nya dalam praktik.
Untuk negeri Belanda, tabel Denekamp telah “diperhalus” dengan tabel khusus untuk
masing-masing anak lelaki dan anak perempuan. Berat tubuh anak-anak tersebut ratarata juga lebih besar daripada anak negara kita ,
lagipula dalam dasawarsa terakhir telah meningkat.10,11
Cara menggunakan. Pada anak-anak dengan
bentuk badan normal harus dibaca dari kiri
ke kanan (B → C),yaitu dari bobot anak ke
dosis dewasa dalam %. Pada bentuk tubuh
yang tidak normal perlu dibaca pula dari
panjang (D) ke dosis dewasa (C). Lalu dari
kedua hasil diambil nilai rata-ratanya. Modifikasi Skala Denekamp, yang mempermudah pemakaian nya, kini banyak digunakan karena dosis (% dewasa) dapat langsung dibaca.
9. WAKTU MINUM OBAT
Bagi kebanyakan obat waktu minum obat
tidak begitu penting, yaitu sebelum atau
sesudah makan. Tetapi ada beberapa obat
dengan sifat atau tujuan pengobatan khusus,
yang hendaknya diminum pada waktu tertentu untuk mencapai efek optimal atau
menghindari efek samping tertentu.
Obat diminum sebelum makan (a.c. = ante
coenam).Telah dikemukakan di atas bahwa
resorpsi obat dari lambung kosong berlangsung paling cepat, karena tidak dihalangi
oleh isinya. Oleh karena itu obat yang
bertujuan memberikan efek cepat, sebaiknya
diminum sebelum makan, yaitu saat lambung
kosong, misalnya analgetika (kecuali asetosal
dan NSAIDs). Atau untuk memperoleh kadar
plasma yang lebih tinggi, 1 jam sebelum (a.c.)
atau 2 jam sesudah makan (p.c.), misalnya:
– antibiotika dari kelompok penisilin dan sefalosporin, eritromisin dan spiramisin (Rovamycin), linkomisin dan klindamisin, rifamisin dan rifampisin.
– lainnya: tonika, penisilamin, asetosal-Ca
(Ascal) dan domperidon.
Obat diminum sesudah makan (p.c.: post
coenam). Makanan dapat menghambat FPE
(perombakan) obat, sehingga BA-nya meningkat. Begitu pula akibat makanan FPE
dalam hati bisa menurun (propranolol, metoprolol, hidralazin).
Banyak obat bersifat merangsang mukosa
lambung dan untuk menguranginya harus
dipakai pada waktu (d.c.) atau sesudah
makan (p.c.), antara lain:
– antidiabetika oral dan antiepileptika
– garam-ferro, kalium dan litium
– antelmintika dan antasida (½ jam p.c.)
– vasodilator (teofilin, nikotinat, isoksuprin,
hidralazin)
– kemoterapeutika:kotrimoksazol,sulfasalazin,
metronidazol dan derivatnya.
– griseofulvin, nitrofurantoin, danazol, halofantrin dan retinoat dapat diserap 2-4 kali
lebih banyak bila diminum dengan makanan
(yang kaya akan lemak) atau susu
– bisfosfonat (etidronat, alendronat dan lainlain) diikat oleh Ca dalam makanan (susu,
keju, hazelnut), begitu pula oleh mineral Fe,
Mg dan Al (dalam antasida dan laksansia)
– mineralokortikoida dan estrogen menimbulkan retensi Na. Hal ini dapat di atasi
dengan makanan yang miskin Na, tetapi
pembatasan Na dapat menurunkan ekskresi Ca sehingga terjadi risiko terbentuknya batu ginjal. Resorpsi kembali litium
(proksimal) dapat menimbulkan intoksikasi.
– glukokortikoida dan NSAIDs (anti-rematik/
encok) termasuk asetosal
– diuretika (lengkungan, thiazida) mendeplesi
mineral K, Na, Ca, Mg dan Zn. Hal ini dapat
diatasi dengan makanan yang kaya unsur
kalium, seperti pisang, abrikos, peach, kacangkacangan (beans, polong), juga minum teh.
– lainnya: bromokriptin, INH, pankreatin,
reserpin, spironolakton dan triamteren.
10. INDEKS TERAPI
Hampir semua obat pada dosis yang cukup
besar dapat menimbulkan efek toksik (=
dosis toksik, TD) dan pada akhirnya dapat
mengakibatkan kematian (= dosis letal, LD).
Dosis terapeutik yaitu takaran padamana
obat menghasilkan efek yang diinginkan.
Untuk menilai keamanan dan efek suatu
obat, di laboratorium farmakologi dilakukan
penelitian dengan binatang percobaan. Yang
ditentukan yaitu khusus ED50dan LD50,
yaitu dosis yang masing-masing memberikan
efek atau dosis yang mematikan pada 50%
dari jumlah binatang.
Indeks terapi (LD50:ED50) yaitu perbandingan antara kedua dosis itu, yang
yaitu suatu ukuran keamanan obat.
Semakin besar indeks terapi, semakin aman
pemakaian obat tersebut. Tetapi hendaknya
diperhatikan bahwa indeks terapi tidak dengan begitu saja dapat dikorelasikan terhadap manusia, seperti juga semua hasil
percobaan dengan binatang, karena adanya
perbedaan metabolisme.
Luas terapi (ED50 – LD50) yaitu jarak antara ED50 dan LD50, juga dinamakan jarak
keamanan (safety margin). Seperti indeks terapi, luas terapi juga penting sebagai indikasi
keamanan obat, terutama untuk obat yang
dipakai dalam jangka waktu panjang.
Obat dengan luas terapi kecil, yaitu dengan
selisih kecil antara dosis terapi dan dosis
toksiknya, mudah sekali menimbulkan keracunan bila dosis normalnya dilampaui,
misalnya antikoagulansia kumarin, teofilin,
litiumkarbonat dan tolbutamida.
11. KOMBINASI OBAT
Dua obat yang dipakai pada saat bersamaan dapat saling memengaruhi khasiatnya, yaitu dapat memperlihatkan kerja
berlawanan (antagonisme) atau kerja sama
(synergisme).
a. Antagonisme terjadi jika kegiatan obat
pertama dikurangi atau ditiadakan sama
sekali oleh obat kedua yang memiliki
efek farmakologi berlawanan, misalnya
barbital dan strychnin, adrenalin dan
histamin. Pada antagonisme kompetitif,
dua obat bersaing secara reversibel untuk
reseptor yang sama, misalnya nalorfin
dan morfin, kurare dan asetilkolin, antihistamin dan histamin. Ada pula obatobat yang bersaing secara tak-reversibel
untuk molekul yang sama, misalnya zatzat chelasi pada keracunan logam.
b. Sinergisme yaitu kerja sama antara dua
obat dan dikenal dua jenis:
- adisi(=penambahan). Efek kombinasi
yaitu sama dengan jumlah kegiatan
dari masing-masing obat, misalnya
kombinasi asetosal dan parasetamol,
juga trisulfa
- potensiasi (=peningkatan potensi). Kedua obat saling memperkuat khasiatnya, sehingga terjadi efek yang melebihi jumlah matematis dari a + b.
Kedua obat kombinasi dapat memiliki
kegiatan yang sama, seperti estrogen
dan progesteron, sulfametoksazol
dan trimetoprim, asetosal dan kodein.
Atau, satu obat dari kombinasi memiliki efek berlainan, misalnya analgetika dan klorpromazin, benzodiazepin dan meprobamat/alkohol,
perintang-MAO dan amfetamin, juga
tiamin/piridoksin dan diklofenac
(NSAIDs).
Sering kali kombinasi obat diberikan dalam perbandingan tetap dengan maksud
mengadisi efek terapeutiknya tanpa mengadisi efek buruknya, seperti pada trisulfa.
Atau untuk mencegah timbulnya resistensi
kuman, misalnya kombinasi INH dengan
PAS. Kadang-kadang ditambahkan obat
pembantu untuk meniadakan efek samping
obat pertama, seperti kalium pada diuretika thiazida, vitamin B-kompleks pada antibiotika spektrum luas dan penghambat asam
(ranitidin) pada pemakaian prednison atau
NSAID.
Sediaan kombinasi tetap dari dua obat
yaitu praktis, karena pasien harus minum
hanya satu tablet atau kapsul. Keberatannya
yaitu dosis obat tidak dapat diubah tanpa
mengubah pula dosis obat kedua, sedangkan skema pentakaran untuk kedua obat
tidak selalu sama berhubung dengan masa
paruhnya yang berlainan.
Masah paruh (plasma-t½, half-/life) terutama penting pada kombinasi dua obat dari
satu kelompok farmakologi. Ditinjau dari
sudut farmakokinetika kombinasi trisulfa
yang terdiri dari bagian sama (ana, aaa)
sulfamezatin, sulfadiazin dan sulfamerazin sebetulnya tidak tepat. Sebabnya ialah masa
paruh komponennya terlalu berbeda, yaitu
masing-masing 7, 17 dan 24 jam, sehingga
sesudah beberapa hari akan terjadi kumulasi
sulfamerazin, sedangkan obat inilah yang
sebetulnya menentukan efek kemoterapeutik
dari kombinasi tersebut.
Kombinasi yang tepat sekali yaitu kotrimoksazol, yaitu sulfametoksazol dan trimetoprim yang masing-masing memiliki half-life
lebih kurang 10 jam.
12. INTERAKSI OBAT
Dengan ini dimaksudkan efek antara obatobat yang dapat mengakibatkan efektivitas
yang berlainan atau (bertambahnya) efek
samping. berdasar mekanismenya interaksi dapat dibagi dalam interaksi farmakodinami dan farmakokinetik. Yang pertama
yaitu bila dua zat bekerja terhadap reseptor
atau enzim atau saluran ion (ionchannel) yang
sama, dan menyebabkan efektivitas masingmasing diperkuat atau berlawanan (misalnya
Ginkgo biloba dan antitrombotika). Interaksi
farmakokinetik berkaitan dengan prosesproses dari obat dalam tubuh, yaitu absorpsi,
distribusi (pembagian), metabolisme dan
ekskresi. Enzim CYP dan p-glikoprotein (Pgp) berkaitan dengan metabolisme obatobat « umum » maupun obat-obat tumbuhan (fitoterapeutika). Artinya fitoterapeutika
(jamu) juga dapat berinteraksi dengan obatobat lain dan dapat mengakibatkan efek-efek
samping.
Catatan: Protein transpor memegang peranan pada absorpsi, distribusi dan ekskresi
dari suatu obat. Misalnya p-glikoprotein yaitu
protein transpor yang menyalurkan a.l. obatobat dari sel ke misalnya urin atau empedu.
Bila seorang pasien diberikan dua atau lebih
obat, kemungkinannya besar akan terjadi
interaksi antara obat-obat tersebut di dalam tubuhnya. Efek masing-masing obat
dapat saling mengganggu dan/atau efek
samping yang tidak diinginkan mungkin
akan timbul. Yang paling terkenal yaitu
interaksi pil antihamil dengan suatu zat
induktor enzim (fenobarbital, fenitoin, primidon,
karbamazepin, rifampisin) yang dapat menurunkan kadar plasma estrogen, sehingga
efektivitas pil tidak dapat dipercaya lagi.
Begitu juga asetosal (salisilat) dengan dikumarol yang efeknya diperkuat sehingga
sering kali terjadi perdarahan berbahaya.
Begitu pula interaksi barbital dengan antikoagulansia, yang justru menurunkan khasiatnya.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, ada
beberapa cara berlangsungnya interaksi obat.
Yang terpenting di antaranya yaitu :
a. Interaksi kimiawi. Obat bereaksi dengan
obat lain secara kimiawi, misalnya pengikatan fenitoin oleh kalsium, tetrasiklin oleh
logam bervalensi dua, dimerkaprol (BAL)
oleh arsen/air raksa dan penisilamin oleh
Cu, Pb atau Au.
b. Kompetisi untuk protein plasma: analgetika (salisilat, fenilbutazon, indometasin), klofibrat dan kinidin mendesak obat
lain dari ikatannya pada protein dan
dengan demikian memperkuat khasiatnya, misalnya sulfonamid dan kumarin
memperkuat daya kerja tolbutamid dan
metotreksat.
c. Induksi enzim. Obat yang menstimulasi
pembentukan enzim hati, tidak hanya
mempercepat eliminasinya, tetapi juga
mempercepat perombakan obat lain. Contohnya yaitu hipnotika (barbital) dan
antiepileptika (fenitoin, karbamazepin,
lamotrigin, felbamat) memperlancar biotransformasi antikoagulansia dan antidepresiva trisiklis (imipramin, amitriptilin) dan menurunkan khasiatnya. Contoh lain yaitu hipnotika dan obat-obat
rematik yang mengurangi kegiatan fenitoin.
d. Inhibisi enzim. Obat yang mengganggu
fungsi hati dan enzimnya, seperti alkohol,
dapat memperkuat daya kerja obat lain
yang efek dan lama kerjanya tergantung
pada enzim tersebut. Alopurinol, yang
memblokir ksantin-oksidase pada sintesis
asam urat, memperkuat khasiat obatobat turunan purin (a.l. obat kanker merkaptopurin) yang justru dapat diuraikan
oleh enzim tersebut. Metabolisme alkohol diblokir oleh disulfiram, sulfonilurea
(tolbutamida, dan lain-lain) dan metronidazol, sehingga oksidasi oleh dehidrogenase dihentikan pada tingkat asetaldehida, yang kadarnya lalu meningkat
dan mengakibatkan efek toksik.
Interaksi obat dengan makanan
Adakalanya terjadi interaksi dari obat dengan
bahan makanan yang dapat memengaruhi
farmakokinetika obat.
1. Absorpsi.Obat dapat diikat oleh makanan, sehingga absorpsinya di usus dapat
diperlambat atau dikurangi dan efeknya
akan menurun. Misalnya mengonsumsi makanan yang banyak serat dapat
mengabsorpsi obat, seperti perintang kolesterolsintetase lovastatin, sehingga BAnya menurun, sedangkan serat sendiri
juga memiliki efek menurunkan kolesterol. Efek sama terjadi pada digoksin,
garam litium dan antidepresiva trisiklis.
Contoh lain yaitu interaksi dari antikoagulansia dengan sayuran yang mengandung vitamin K, seperti bayem,
brokoli dan kol kecil (spruitjes). Bila dimakan terlampau banyak (jumlah maksimal dianjurkan ±100 g sehari), vitamin K
dapat mengurangi efek antikoagulansia.
2. Perombakan obat dapat dihalangi, sehingga kadarnya meningkat dan timbul
efek toksik. Contoh yang terkenal yaitu
interaksi MAO-blockers dengan keju
dan cokelat. Enzim MAO bertanggung
jawab atas penguraian semua katecholamin didalam tubuh, misalnya adrenalin,
serotonin dan dopamin. Bila pasien diberi
perintang-MAO sebagai antidepresivum
dan makan sesuatu yang mengandung
tiramin atau amin lain, maka zat ini tidak
akan diuraikan lagi karena enzim MAO
sudah diblokir. Akibatnya dapat terjadi
hipertensi hebat dengan efek buruk.
Makanan yang mengandung amin yaitu
antara lain keju, avokad, anggur (Chianti,
dan lain-lain), bir, produk-produk ragi
dan hati ayam. Cokelat mengandung
feniletilamin.
Grapefruit juice memberikan interaksi
yang serupa. Kandungan flavonoida
narin-genin yang terkandung dalam
jus ini berefek memblokir sistem enzim
cytochrom–P450 pada dinding usus. Oleh
karena itu, obat yang perombakannya
melalui sistem oksidatif akan meningkatkan bio-availability dan kadar darahnya. Obat yang diperkuat daya kerjanya
yaitu antara lain antagonis Ca (amlodipin, nifedipin) dan obat AIDS saquinavir. Oleh karena interaksi ini obat-obat
tersebut tidak boleh diminum bersamaan
dengan jus grapefruit atau boleh sesudah
selang waktu minimal 2 jam.
3. Ekskresi. Suatu diet vegetaris ketat meningkatkan pH urin (menjadi alkalis)
dan memperlancar ekskresi obat yang
bersifat asam lemah, seperti vitamin C dan
NSAIDs, juga buah-buahan (kecuali prune
kering), semua sayuran (kecuali jagung
dan ”lentils”), kentang dan susu. Diet
yang kaya akan protein (daging, ikan,
kerang, keju, telur), mentega kacang, roti
dan cake menurunkan pH urin. Urin asam
ini mengurangi reabsorpsi tubuler dari
obat yang bersifat basa lemah dan dengan
demikian meningkatkan ekskresinya, misalnya alkaloida (kinin, morfin).
Obat-obat yang memiliki risiko interaksi penting yaitu bisfosfonat, digoksin, levodopa, nitrendipin, penisilamin dan
warfarin. Levodopa dan metildopa membentuk kompleks dengan Fe dan bila
diminum bersamaan dengan senyawa
besi, resorpsinya bisa menurun dengan
60%. Obat lain dengan risiko interaksi
yaitu atenolol, kaptopril, metildopa, karbidopa, fenitoin, klorokin dan flekainide..
Obat-obat yang meningkatkan kebutuhan
akan vitamin tertentu yaitu :
– pil antihamil, INH, penisilamin dan hidralazin (*Ser-Ap-Es) meningkatkan kebutuhanakan piridoksin;
– salisilat dan tetrasiklin meningkatkan
kebutuhan akan vitamin C;
– parafin (Laxadine) dapat menurunkan
resorpsi vitamin A, D, E, dan K, yang
larut dalam lemak.
Interaksi obat terutama harus diperhatikan
bila obat diberikan bersamaan dengan obat
yang indeks terapinya kecil, sehingga peningkatan sedikit kadar plasmanya sudah dapat menimbulkan gejala toksik hebat. Obatobat demikian terdiri dari antikoagulansia
kumarin, teofilin, fenitoin, digoksin dan antidiabetika oral.
Pada Tabel 4-2 dapat dilihat jenis-jenis interaksi yang dapat timbul pada kombinasi dari
sejumlah obat yang banyak dipakai .
Obat-obat yang termasuk kelompok Tabel
4-2:
Antasida: oksida, hidroksida, karbonat dan
trisilikat dari kalsium, magneslum, bismut
atau aluminium
Antikoagulansia: asenokumarol, fenprokumon dan warfarin
Antidepresiva: imipramin, desipramin,
klomipramin, amitriptilin, nortriptilin dan
doksepin
Antidiabetika oral: tolbutamida, klorpropamida, glibenklamida, gliklazida dan metformin
Antihipertensiva: guanetidin, hidralazin,
metildopa dan klonidin
Beta-blockers: propranolol, oksprenolol,
alprenolol, pindolol, metoprolol dan timolol
Androgen/anabolika: mesterolon, fluoksimesteron, nandrolon, etilestrenol, metandienon dan metenolon
Salisilat: asetosal, benorilat, diflunisal dan
natriumsalisilat
Fenotiazin: klorpromazin, levomepromazin, trifluoperazin, tioridazin, perfenazin dan
flufenazin
13. FARMAKOGENETIKA
James D. Watson: (1928- )
F.H. Compton Crick (1916-2004)
“We have discovered the secret of life!”
Watson and Crick (Nobel price 1962 untuk penemuan DNA molekul dalam bentuk double helix
3-dimensional). Nature (1953)
Genetika yaitu cabang biologi yang mempelajari transmisi dari sifat-sifat fisik dan
biokimia organisme dari satu generasi ke
generasi selanjutnya.
Farmakogenetika (FG) mempelajari hubungan antara konstitusi genetik (variasi gen-gen)
dari seorang pasien dengan responsnya terhadap suatu obat, misalnya keturunan orang
Kaukasia, Afrika atau Asia. FG berusaha
meramalkan reaksi pasien terhadap suatu
obat berdasar sifat-sifat genetiknya. Efek
obat berdasar perbedaan etnik dapat merupakan akibat dari variasi enzim yang metabolisasi obat, misalnya sitokrom P450 (CYP)
atau akibat variasi genetik pada reseptor yang
mengikat obat. Perbedaan ini mempunyai
konsekuensi terhadap dosis obat. Di samping perbedaan pada farmakokinetik dan
farmakodinamik, ada juga perbedaan
etnik pada efek samping, misalnya pada reaksi-reaksi hipersensitivitas. Yang juga penting yaitu masalah defek enzim misalnya
timbulnya anemi hemolitik akibat kotrimoksazol, nitrofurantoin dan obat-obat malaria
akibat defisiensi enzim glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G6PD).
Ref.: Sontoredjo T.A.A. et al; Etnische farmacogenetica; Ned Tijdschr Geneeskd. 2013;
157:A6118
Dengan demikian atas dasar profil genetiknya dapat dipilih obat yang optimal bagi
pasien individual sehingga terapi menjadi
lebih efektif dan aman. Istilah untuk prosedur
ini disebut “personalized medicine” dan ”targeted therapy”, berdasar teori bahwa
hasil obat paling efektif bila diberikan pada
pasien maupun sasaran yang tepat.
Lagipula FG akan memudahkan dan mempercepat penemuan obat-obat baru.
Istilah FG sudah dilansir pada tahun 1957,
tetapi risetnya bagaimana gen-gen dapat
memengaruhi khasiat dan efek samping obat
ketika itu belum membuahkan solusi, yaitu
usaha menghubungkan data dari variasi
genetik dengan variasi individual terhadap
reaksi suatu obat. Baru sesudah di tahun 2002
para ilmuwan berhasil menguraikan misteri
genom manusia, yaitu keseluruhan gen yang
ada dalam DNA inti-sel, riset FG mulai
berkembang pesat. Genom manusia ternyata
terdiri dari ±25.000 gen dan setiap individu
memiliki 25.000 gen yang sama, tetapi masing-masing memiliki kelainan kecil yang
spesifik (genetic fingerprint).
Dengan menerapkan teknologi mutakhir
untuk identifikasi gen-gen dan enzim-enzim
yang terlibat pada reaksi-reaksi terhadap
obat, diperoleh banyak data yang kini dapat
diterjemahkan ke praktik klinis. Misalnya
meramalkan bagaimana reaksi pasien terhadap obat atas dasar genomnya. Sebagai contoh dapat disebut penentuan genotipe (genotyping, penentuan jenis metabolizer) yang
memungkinkan identifikasi penderita yang
merombak obat dengan pesat atau lambat.
Genotyping yaitu suatu cara untuk
menerangkan reaksi/kerja samping yang tidak jelas dari obat yang dipakai .
Contoh-contoh. Enzim hati oksidatif cytochrom P 450 tipe 2D6 (CYP2D6) terlibat pada banyak perombakan obat, antara lain
dari beta-blocker dan psikofarmaka tioridazin (Melleril), risperidon (Risperdal) dan
venlafaxin (Efexor). Bangsa kulit putih (Caucasian) 5-10% tidak memiliki enzim ini, oleh
karena itu mereka kurang mampu menguraikan banyak obat, antara lain obat-obat
kejiwaan tersebut. Dosis obat bagi mereka
perlu diturunkan agar tidak terjadi efek
toksik. Begitu pula obat malaria primaquin
dirombak dalam hati oleh suatu enzim tertentu (GPH); pada orang yang tidak memiliki enzim ini dapat timbul anemia akut.
Oleh karena itu pada orang demikian tidak
boleh diberikan obat ini. Isoniazida (INH)
memberikan lebih banyak efek samping
pada orang yang lambat merombaknya (slow
metabolizers). Baru-baru ini telah ditemukan
gen-gen yang bertanggung jawab untuk kelainan-kelainan tersebut dan bagaimana sekuensi-DNA dari gen-gen ini. Dengan demikian berdasar profil genetik pribadi penderita, FG memungkinkan menerapkan farmakoterapi individual (custom made) yang
lebih efektif.
Di A.S. pada lembaran informasi obat
(brosur) dicantumkan catatan pengaruh obat
terhadap konstitusi genetik tertentu. Misalnya, pada tioridazin dicantumkan kontraindikasi bagi orang yang memiliki aktivitas
enzim CYP2D6 rendah. Juga pada obatobat mahal dan pada penyakit parah seperti kanker, di brosur ada anjuran untuk
melakukan tes-tes genetik yang dapat me-
POLIMORFISME GENETIK
Enzim-enzim yang berperan pada metabolisme obat yaitu terutama:
CYP2D6, CYP2C9, CYP2C19 dan CYP3A4.
Sekitar 20% dari semua obat dimetabolisasi oleh enzim CYP2D9, misalnya antipsikotika (litium) dan
antidepresiva (imipramin, haloperidol, risperidon, mirtazapin, citalopram).
berdasar polimorfisme genetik dan fenotipe-fenotipe yang diturunkan dari DNA ada 3 kelompok “metabolizer”:
– PM atau poor metabolizer
– IM atau intermediate metabolizer
– UM atau ultrarapid metabolizer
Untuk tepatnya dosis obat harus disesuaikan dalam kelompok mana pasien termasuk. Penyesuaian
dosis misalnya bagi imipramin untuk fenotipe CYP2D6:
PM: 30% dari dosis standar;
IM: 70% dari dosis standar;
UM: dosis dinaikkan sampai 170%.
pemakaian dosis normal/standar dalam contoh tersebut bagi pasien PM dapat meningkatkan risiko
efek samping karena aktivitas enzimnya rendah sehingga obat lambat di uraikan. Untuk menghindari
efek samping, pasien condong lebih sering mengganti jenis obat yang berakibat dapat menurunkan
kesetiaan terapinya.
Penentuan profil genetik yang berkaitan dengan aktivitas enzimnya penting sekali untuk terutama
penentuan dosis yang tepat bagi obat psikofarmaka .
Ref.: De Leeuw M. : Juiste dosis psychofarmacon dankzij genetisch profieltest. Pharm Weekbl 2014,
149-17.
ramalkan respons obat atau efek sampingnya,
misalnya trastuzumab (Herceptin) pada kanker payudara tersebar dan tretinoin pada
leukemia.
Beberapa teknologi lain yang berkaitan
dengan genom manusia yaitu genomics dan
proteomics, yang diintrodusir dan dikembangkan sejak 4-5 tahun lalu. Untuk penelitian dimanfaatkan sejumlah cara bioteknologi baru seperti microarray, NMR dan
X-ray mikrokristalografi. Untuk analisis data
yang berlimpah-limpah dipakai metode
bio-informatika.
Genomics mempelajari hubungan antara
pola penyakit dan semua mutasi dari gen-gen
yang tampak pada genom, dengan tujuan
menemukan dan mengembangkan terapi
baru termasuk prevensinya untuk penyakit
tertentu. Kemudian diusahakan menghalau gen-gen cacat (termutasi) dan menggantikannya dengan gen sehat.
Pharmacogenomics
Penerapan pengetahuan DNA dalam bidang
medis memberikan harapan bahwa “personalized medicine” berdasar perkembangan baru yang disebut Pharmacogenomicsm,
dapat mendesain dan memproduksi “custom” drugs (tailor-made) yang disesuaikan dengan profil genetik pasien dan diarahkan
terhadap titik-titik spesifik dalam tubuhnya.
Pharmacogenomics berkembang cepat
menyusul launching dari Human Genome
Project dalam tahun 1990-an. Tujuannya adalah meningkatkan efek terapeutik semaksimalnya, menghindari reaksi obat yang tidak
diinginkan dan juga untuk sejauh mungkin
memperkecil risiko kerusakan pada sel-sel
sehat. Inilah yang menjadi impian dari Paul
Ehrlich dengan kemoterapi.
Proteomics mempelajari sifat-sifat protein
dalam sel, jenis, jumlah, struktur, cara berfungsi dan interaksinya satu dengan yang
lain. Proteom yaitu nama gabungan dari semua protein dalam suatu organisme yang dibentuk atas dasar genomnya. Dewasa ini para
ilmuwan berusaha menentukan hubungan antara protein dalam darah atau urin
dengan gangguan tertentu, dengan maksud
mendeteksi dan mendiagnosis gangguan
tersebut.
GERIATRI (Yun. geras = usia tua)
Dengan istilah ini (geriatric medicine) dimaksudkan cabang ilmu kedokteran yang
berhubungan dengan perawatan kesehatan
orang tua (lansia) dengan tujuan menghindari dan menangani penyakit dan masalah invaliditas.
Para lansia yaitu kelompok orang
yang peka terhadap efek samping obat yang
dipengaruhi oleh banyak faktor terutama
oleh perubahan-perubahan fisiologis seperti
menurunnya fungsi ginjal dan menurunnya
fungsi metabolisme dari hati serta peningkatan
rasio lemak terhadap air tubuh. Di samping ini
komorbiditas yang meluas pada lansia dengan
konsekuensi polyfarmasi, meningkatkan interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik.Misalnya obat antikolinergik atau obat
pereda condong mengakibatkan masalah,
seperti terjatuh dengan fraktur.
Dibandingkan dengan orang muda farmakoterapi pada lansia perlu lebih disesuaikan dengan keadaan individu. Penyebab
terpenting yaitu karena proses penuaan
pada masing-masing individu tidak sinkron
dan juga karena proses penuaan dari berbagai jaringan dan organ per orang juga bisa
berbeda.
Lagipula komorbiditas menyebabkan pasien menggunakan berbagai obat bersamaan
(polifarmasi) dengan risiko interaksi dan efek
samping yang meningkat.
Perlu juga diperhatikan bahwa gangguan
pada orang tua sering kali bersifat kronis,
sehingga pemakaian obat-obat juga untuk
waktu panjang.
Pada orang tua sukar dibedakan kelainankelainan yang disebabkan oleh perubahan
fisiologi karena usia atau akibat penyakit
(patologis). Banyak gangguan kesehatan timbul dengan keluhan atau gejala yang aspesifik. Juga reaksi terhadap penyakit kadangkala berbeda atau dengan lebih banyak
gejala aspesifik pada lansia dibandingkan
dengan orang muda.
Berikut ini diuraikan beberapa kriteria
yang memengaruhi pengobatan para lansia
(> 65 tahun).
Perubahan-perubahan yang timbul pada
penuaan seperti homeostasis, jaringan dan
organ memengaruhi farmakokinetik (penurunan proses absorpsi, distribusi dan eliminasi) dan farmakodinami (kepekaan terhadap obat dan jarak waktu interaksi obat dan
reseptor).
Dengan homeostasis dimaksudkan kemampuan tubuh untuk pada timbulnya
gangguan dapat kembali ke keadaan normal,
proses ini pada lansia berlangsung lebih
lambat.
Cairan tubuh
Pada usia lanjut jumlah cairan tubuh berkurang sedangkan jumlah lemak relatif
meningkat. Ini berarti bahwa distribusi obatobat yang melarut dalam air atau dalam
lemak berubah, yang memengaruhi kadarnya dalam berbagai jaringan dan waktu
eliminasinya serta berkaitan dengan efek
samping.
Hati
Volume hati mengecil sehingga kapasitasnya
untuk menguraikan senyawa/obat melalui
enzim-enzim CYP menurun.
Kerangka
Kepadatan tulang berkurang sehingga terutama pada wanita tinggi badan menurun
karena kompresi dan fraktur dari badan
ruas tulang belakang. Juga sering kali timbul
masalah mobilitas, karena beberapa sebab
antara lain, berkurangnya aktivitas seharihari dan menurunnya keseimbangan, akibat
organ keseimbangan dan otot yang massa
dan kekuatannya pada lansia menurun.
Jantung. Fungsi jantung menurun karena
kehilangan sel-sel otot jantung, berkurangnya
pemakaian oksigen secara efisien dan menurunnya frekuensi jantung.
Peningkatan berat badan yang cepat sering kali disebabkan oleh retensi air akibat
decompensatio cordis; sedangkan menurunnya
berat badan yang cepat akibat penyakit serius
atau dehidrasi.
Tekanan darah. Karena hilangnya kelenturan,
tekanan diastolik menurun sedangkan tekan-
an sistolik meningkat. Hipotensi ortostatik
akibat pemakaian obat antihipertensi atau
obat terhadap SSP, sering kali timbul lebih
cepat pada lansia dengan risiko terjatuh.
Fungsi serebral. Dengan berlanjutnya usia
timbul atrofi dari jaringan otak dengan kehilangan neuron dan reseptor pada transmisi kolinerg. Juga pengaliran darah di otak
berkurang yang menyebabkan menurunnya
daya ingat dan orientasi. Gangguan dari fungsi
kognitif sering kali akibat demensi. Pada
sebagian besar lansia timbul penyimpangan
neurologi ringan, mungkin karena penyakit
neurodegeneratif, misalnya Parkinsonisme
ringan atau penyakit Parkinson. Lihat Bab 28,
Obat-obat Parkinson dan Demensia.
Kesetiaan terapi (patient compliance). Ketidaksetiaan minum obat para lansia sering kali
menjadi penyebab penting dari gagalnya terapi, karena menurunnya daya kognitif (terlupa), pemakaian obat yang rumit (handicap pada menggunakan), polifarmasi atau
frekuensi dosis (beberapa kali sehari). Hal
ini sering kali terjadi pada medikasi kronis,
seperti pemakaian antihipertensiva dan obat
penurun kadar kolesterol. Akibatnya yaitu
penyakit berkelanjutan, gagalnya terapi dan
biaya tambahan untuk pemeriksaan yang
tidak perlu.
Kulit menjadi lebih tipis dan berkurang kelenturannya, serta kapasitas mengikat cairan
menurun.
Akibat atrofi dapat timbul perdarahan di
bawah kulit tanpa penyebab klinis.
Suhu. Pada sekitar 10% dari lansia timbul
hypotermi dan bukannya demam pada infeksi.
Pancaindra. Disebabkan perubahan-perubahan degeneratif, pendengaran berkurang terutama bagi suara-suara tinggi (presbyacusis).
Katarak dapat timbul karena penggumpalan
protein di lensa mata.
Saluran pencernaan
Produksi air liur sering kali berkurang pada
lansia, begitu juga gerakan saluran gastrointestinal menurun.
Alat gerak dan mobilitas
Penuaan dari jaringan dan organ berakibat
meningkatnya kepekaan tubuh bagi gangguan/cedera.
Ref.: Hegge H.M. et al.; De oude patient. Ned
Tijdschr Geneeskd. 2011;155:A2662
Efek samping. Pada lansia timbul efek samping
lebih banyak akibat polifarmasi (interaksi)
dan kepekaan yang meningkat terhadap efek
samping obat.
Obat-obat yang pada lansia menimbulkan
lebih banyak efek samping, sebaiknya dihindari karena memengaruhi buruk kualitas
hidupnya. Untuk tujuan ini di Amerika telah
disusun “daftar hitam” yang mencantumkan
sekitar 50 jenis obat yang selalu harus dihindari oleh lansia, terlepas dari indikasi,
komorbiditas, dosis dan komedikasi.
Beberapa contoh yaitu klorpropamida, diazepam, indometasin, amiodaron, disopiramida, pentoksifilin, pentazosin, doksazosin
dan metildopa.
Ref.: Fick DM, et al. Updating the Beers
criteria for potentially inappropriate medication use in older adults. Arch Intern Med
2003; 163: 2716-2724.
Perlu pula diwaspadai dosis obat yang
tersedia di “pasaran” yang kadangkala bagi
lansia terlampau tinggi, sehingga mengakibatkan overdosis.
Faktor lain yang juga perlu diperhatikan
yaitu jangka waktu manifestasi dari efek
samping yang pada lansia timbulnya bisa
terlambat sesudah obat dipakai beberapa
waktu.
Dengan polyfarmasi dimaksudkan penggunaan 5 atau lebih jenis obat pada bersamaan
waktu, yang adakalanya bertentangan atau
menyebabkan efek samping serius.
Akibat dari penuaan banyak obat yang
dapat diberikan dengan aman dan efektif
pada pasien muda, mungkin tidak cocok
bagi lansia disebabkan meningkatnya komorbiditas, polyfarmasi dan perubahanperubahan fisiologis yang diuraikan di atas,
termasuk misalnya menurunnya fungsi ginjal.
Beberapa contoh yaitu a.l. meningkatnya
risiko terjatuh pada pemakaian senyawa
benzodiazepin dan perdarahan lambung
serta meningkatnya gangguan jantung pada
pemakaian obat-obat NSAID’s.
Untuk menghindari timbulnya efek samping serius pada lansia telah disusun suatu
daftar yang dinamakan Beers list sebagai alat
bantu untuk memonitor masalah ini.
Ref.: Vingerhoets RW et al. De Beerslijst als
hulpmiddel om ernstige geneesmiddelbijwerkingen bij ouderen te voorkomen.; Ned
Tijdschr Geneeskd 2005; 149: 2099-103).
Di samping ini telah dikembangkan pula
(Ierland) suatu metoda screening yang dinamakan STOPP- dan START untuk menganalisis kemungkinan pengobatan berlebihan atau justru kurang bagi lansia. Terdiri
dari 2 daftar “Screening tool of older person’s prescriptions” (STOPP)-criteria dan
“Screening tool to alert doctors to right treatment”(START)-criteria. Daftar pertama terdiri
dari obat-obat yang potensial tidak cocok bagi
lansia dan daftar kedua diarahkan pada cara
penanganan yang seharusnya. Menurut para
ahli metoda STOPP- dan START memberikan
lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan daftar Beers.
Beers-list (1991)
Terdiri dari 2 tabel, yang pertama mencakup
obat-obat yang selalu harus dihindari oleh
lansia atau yang dosis tertentu tidak boleh
dilampaui dan yang kedua daftar obat-obat
yang harus dihindari berkenaan dengan komorbiditas tertentu.
Versi terbaru dari daftar ini terbit dalam
tahun 2012 yang disertai suatu daftar ketiga
yang mencakup obat-obat yang perlu digunakan dengan hati-hati oleh para lansia,
misalnya antipsikotika.
Catatan:
1. pemakaian daftar ini dengan konsekuen
memiliki risiko undertreatment yang pada
lansia yaitu masalah penting;
2. Kadangkala obat tertentu yang tercantum
dalam daftar mutlak harus dipakai
walaupun ada kontraindikasi relatif;
3. Obat yang tidak tercantum dalam daftar tidak berarti bahwa obat tersebut
aman bagi lansia, dengan mengingat
kemungkinan perubahan-perubahan parameter farmakokinetik dan farmakodinamik pada lansia dan akibatnya terhadap risiko efek samping. Misalnya antipsikotika tertentu tidak tercantum dalam
daftar tetapi justru berisiko besar bagi
lansia.
Karena faktor-faktor individual ini daftar
Beers harus dipakai dengan pertimbangan
yang rasional. Manfaatnya yaitu sebagai alat
bantu untuk secara kritis menilai medikasi
para lansia dan menghindari efek samping
dan interaksi. Misalnya menghindari obat
atau dosis yang tidak dianjurkan dan menggantinya dengan yang lebih aman.
1. Kaur S, Mitchell G, Vitetta L, Roberts
MS. Interventions that can reduce
inappropriate prescribing in the Elderly.
A systematic review. Drugs Aging.
2009;26:1013-28
2. Fick DM, Cooper JW, Wade WE, Waller
JL, Maclean JR, Beers MH. Updating the
Beers criteria for potentially inappropriate
medication use in older adults. Arch
Intern Med. 2003;163:2716-24
3. The American Geriatrics Society 2012
Beers Criteria Update Expert Panel.
American Geriatrics Sociaty Updated
Beers criteria for potentially inappropriate
medication use in older adults. J Am
Geriatr Soc. 2012;60:616-31
Tabel 1. Obat-obat dan dosis yang harus dihindari oleh lansia, terlepas dari
gangguan atau keadaan
Jenis obat Alasan
psikofarmaka
benzodiazepin kerja singkat
lorazepam (3 mg), alprazolam (2 mg) temazepam
(15 mg)
jangan melampaui dosis harian, bagi lansia dosis lebih
rendah pada umumnya sudah efektif dan juga lebih aman
benzodiazepin kerja panjang
(diazepam)
t½ panjang pada lansia dg risiko terjatuh/fraktur; sebaiknya
gunakan benzodiazepin dengan daya kerja lebih singkat
amitriptilin tidak dianjurkan karena sifat antikolinerg dan sedatif kuat
fluoksetin, pemakaian setiap hari t½ panjang dg risiko stimulasi kuat SSP, gangguan tidur dan
agitasi
tioridazin
amfetamin dan psikostimulansia lain
banyak risiko efek samping SSP dan keluhan ekstrapiramidal,
risiko ketergantungan, hipertensi, angina dan infark jantung
semua senyawa barbital, terkecuali fenobarbital dan
utk serangan epilepsi
ketergantungan serius
analgetika dan antirematika
pemakaian lama dari NSAID’s non-COX-selektif dg
t½ panjang (naproksen dan piroksikam)
Risiko perdarahan gastro-intestinal, gagal ginjal, hipertensi
dan gagal jantung bila dipakai untuk waktu lama dengan
dosis maksimal
antikolinergika
oksibutinin sedasi, efek samping antikolinergik, lemah otot
obat jantung
disopiramida risiko gagal jantung dan bersifat antikolinerg kuat
amiodaron masalah QT-interval, kurang efektif bagi lansia
digoksin dosis harian maksimal 0,125 mg karena risiko intoksikasi
pada bersihan ginjal (renal clearance) yang kurang
dipiridamol hipotensi ortostatik
metildopa bradikardi, dapat memperkuat depresi pada lansia
nifedipin bahaya hipotensi dan obstipasi
klonidin hipotensi ortostatik dan efek samping SSP
doksazosin bahaya hipotensi, mulut kering dan gangguan kencing
Antihistaminika
hidroksizin, siproheptadin, prometazin,
deksklorfeniramin
praktis semua antihis. memiliki sifat antikolinergik kuat; lansia
sebaiknya gunakan antihis. non-antikolinerg
Obat parkinson
orfenadrin efek samping sedasi dan antikolinergik
Obat antibakteri
nitrofurantoin bahaya gangguan ginjal, tersedia alternatif yang lebih aman
Hormon kelamin
Testosteron risiko prostat hipertrofi dan gangguan jantung
Oestrogen efek karsinogen payudara dan endometrium;
kurang efek kardioprotektif pada wanita post-menopause
Obat gastro-intestinal
simetidin
kontak laksansia (bisakodil)
efek samping SSP dan perasaan kacau, gangguan fungsi
intestinal
emulsi parafin risiko aspirasi dan efek samping
Mineral
fero sulfat>325 mg/hari obstipasi
Tabel 1. Obat-obat dan dosis yang harus dihindari oleh lansia, terlepas dari
gangguan atau keadaan
Tabel 2. Obat-obat dan dosis yang harus dihindari bagi lansia, tergantung dari
gangguan atau keadaan
Gangguan obat yg hrs dihindari alasan
gagal jantung disopiramida dan medikasi dg kadar
Na tinggi (bisfosfonat, Na sitrat)
efek inotrop neg. retensi air dan
memperparah gagal jantung
hipertensi tablet diet, amfetamin risiko hipertensi karena aktivitas
simpatikomimetik
borok lambung atau duodenum NSAID’s, aspirin>325 mg/hari pembentukan atau memperparah
ulcera
epilepsi klozapin, klorpromazin,
thioridazin,bupropion
risiko penurunan ambang serangan
epilepsi
pemakaian antikoagulansia oral aspirin, NSAID’s, dipiridamol,
klopidogrel
perdarahan
obstruksi kandung kemih antikolinergika, antihis, antispasm,
oksibutinin, flavoksat, tolterodin,
antidepresiva, dekongestiva
risiko retensi urin
stress inkontinensi alfa-blocker, antikolinergika,
antidepresiva trisiklik (imipramin,
doksepin, amitriptilin), benzodiazepin
longacting
Risiko poliuri dan memperparah
inkont. urin
aritmi antidepresiva trisiklik (imipamin,
doksepin, amitriptilin)
risiko gangguan ritme lebih parah dan
perpanjangan QT-interval
sukar tidur dekongestiva, teofilin, metilfenidat,
penghambat MAO
risiko akibat rangsangan SSP
Parkinson metoklopramid, antipsikotika klasik risiko akibat efek anti-dopaminerg dan
kolinerg
penurunan fungsi kognitif barbiturat, antikolinergika,
spasmodika, relaksansia otot,
metilfenidat
risiko akibat efek samping SSP
depresi pemakaian lama benzodiazepin,
simpatikolitika (metildopa)
timbul depresi atau lebih parah
anoreksi, sinkop atau terjatuh amfetamin (metilfenidat), fluoksetin,
benzodiazepin, antidepresiva trisiklik
(imipamin doksepin, amitriptilin)
risiko akibat penekanan nafsu makan,
risiko ataksi, berkurangnya fungsi
psikomotorik, sinkop dan terjatuh
COPD benzodiazepin longacting(diazepam), beta-blocker
(propranolol)
reaksi negatif terhadap SSP dan
depresi pernapasan
obesitas olanzapin risiko peningkatan nafsu makan dan
berat badan
sembelit kronik kalsium-blocker, antikolinergika,
antidepresiva trisiklik (imipamin,
doksepin, amitriptilin)
risiko obstipasi lebih parah
Kemoterapeutika didefinisikan sebagai obatobat kimiawi yang dipakai untuk memberantas penyakit infeksi akibat mikro-organisme bakteri, jamur, virus dan protozoa (plasmodium, amuba, trichomonas, dan lain-lain), juga terhadap infeksi oleh cacing. Obat-obat
tersebut berkhasiat memusnahkan parasit
tanpa merusak jaringan tuan rumah (toksisitas
selektif). Sitostatika (obat-obat kanker) juga
termasuk dalam golongan ini karena sel-sel
kanker adakalanya dapat dikembangbiakkan
dan ditularkan pada organisme lain, seperti
halnya kuman. Tetapi karena sel-sel kanker
sangat mirip sel-sel normal dan kebanyakan
sitostatika tidak bekerja selektif, obat-obat ini
dapat menimbulkan efek samping serius.
1. PENYAKIT INFEKSI
WHO telah memperoleh banyak sukses dengan kampanye mondialnya untuk memberantas berbagai penyakit infeksi penting.
Hasil baik tersebut terutama dicapai berkat
penemuan banyak antibiotika baru dengan
khasiat antimikroba kuat. Cacar telah dibasmi
seluruhnya, polio juga praktis dieliminasi,
sedangkan sampar (pest), difteri, penyakit
kuning dan kolera sangat dibatasi penjangkitannya. Begitu pula malaria dan tuberkulosa
telah didesak penyebarannya.
Tetapi sejak dasawarsa terakhir, penyakitpenyakit tersebut —kecuali cacar dan polio—
sudah mulai muncul kembali di banyak
bagian dunia. Tuberkulosa semakin merajalela karena sulit diberantas akibat masalah
resistensi, terlebih-lebih pula dewasa ini
juga berjangkit penyakit AIDS. Di dunia ketiga malaria kini yaitu penyebab kematian utama, terutama anak-anak begitu
juga kolera semakin banyak menelan korban.
Bahkan dalam periode tersebut telah diidentifikasikan lebih dari 30 penyakit infeksi
baru, termasuk AIDS,Ebola, penyakit Veteran
dan penyakit Lyme.
Penyebab perkembangan buruk ini terletak antara lain pada kuman dan virus yang
telah menjadi lebih agresif (virulen). Virus
mengubah struktur permukaannya lebih
cepat dan dengan demikian dapat mengelakkan khasiat vaksinasi. Virus-virus baru
berasalkan dari hewan dengan jalan mutasi
spontan telah muncul, yang kemudian
disebarluaskan dengan cepat dari benua ke
benua berkat perjalanan dan turisme sedunia
yang telah berkembang secara eksplosif.
Penyebab lainnya yaitu eksplorasi manusia
ke daerah-daerah yang sebelumnya tidak
dihuni orang serta berkembangnya kota-kota
mega dengan berjuta-juta penduduknya. Di
pihak lain banyak antibiotika ternyata menjadi resisten terhadap infeksi umum, seperti
radang paru-paru (pneumonia), tbc dan gonore.
Keracunan darah (bacteremia, sepsis) yaitu
keadaan di mana kuman, sesudah infeksi
segera memperbanyak diri dengan pesat.
Toksin yang dibentuknya mengacaukan banyak fungsi tubuh, antara lain sistem pembekuan darah diaktifkan sehingga terjadi bekuan darah (trombi) di seluruh tubuh. Dengan
demikian banyak faktor pembekuan habis dipergunakan, sehingga menimbulkan kecenderungan perdarahan kecil pada kulit. Gejala lainnya yaitu perasaan nyeri, demam
tinggi, termangu-mangu dan kadang-kadang
muntah. Bila ti