Tampilkan postingan dengan label neurologi 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 4. Tampilkan semua postingan

neurologi 4

 











diakukan tidak hanya 

untuk menyingldrkan faktor simptomatik 

lainnya atau perkembangan ilmu, namun, 

sekali diagnosa  ini telah tegak, pencitraan 

juga dapat dilakukan untuk membuat orang 

tua menjadi lebih tenang.

EEG interiktal wajib dilakukan pada 

pasien ini sebab  salah satu penyingkir 

dan kadang menjadi penegak diagnosa . 

Gambaran EEG ditandai dengan gelombang paku difasik amplitudo tinggi {high

voltage] diikuti gelombang lam bat Distribusi gelombang ini paling jelas terlihat 

di centrotemporal (elektroda C3/T3 atau 

C4/T4), namun sebagian kecil kadang 

dapat ditemukan pada centroparietal 

dan midtemporal. Contoh gambaran EEG 

interiktal BECTS dapat dilihat pada buku 

Atlas EEG dan suplemen evoked potential

yang dikeluarkan Departemen Neurologi 

FKUI/RSCM. Pemeriksaan fungsi luhur 

sebaiknya juga dilakukan pada pasien 

BECTS mengingat adanya gangguan 

memori pada beberapa pasien.

c. Genetik dan patofisiologi

Secara patofisiologi, gambaran klinis yang 

berkaitan dengan umur, gambaran klinis 

yang self-limiting dengan remisi saat pubertas, dan riwayat penyakit dalam keluarga yang serupa merupakan indikasi 

yang sangat kuat bahwa sindrom BECTS 

merupakan sindrom "gangguan maturasi otak herediter". Dugaan ini diperkuat 

dengan ditemukannya beberapa gen yang 

terkait. Keterlibatan gen brain-derived neurotrophic factor (BDNF] dan elongator protein complex 4 (ELP4) yang diperldrakan 

berperan pada motilitas sel, migrasi, dan 

adesi memberikan pandangan yang lebih 

baik tentang dasar molekuler yang kompleks tentang epilepsi fokal pada anak.

d. Tata laksana dan prognosis

sebab  dianggap sebagai suatu yang benign dan dapat remisi {self-limiting course}, 

banyak ahli berpendapat BECTS tidak memerlukan pengobatan secara farmakologi. 

Namun keputusan tata laksana memerlukan berbagai pertimbangan antara risiko, 

keutungan, dan alternatif obat antiepilepsi yang ada. Jika serangan jarang terjadi 

mungkin saja terapi farmakologis tidak 

perlu diberikan.

Pada masalah  dengan onset kurang dari 4 

tahun, pasien dengan serangan di siang 

hari, serangan tonik klonik umum yang 

berulang, atau status epileptikus pemberian terapi farmakologis sangat disarankan. Terapi farmakologis yang menjadi obat pilihan untuk BECTS yaitu  

asam valproat. Adapun karbamazepin 

memicu perburukan klinis dan 

elektrofisiologis (EEG). 

2 , Childhood Absence Epilepsy (CA E)

CAE merupakan salah satu subtipe bangkitan umum idiopatik yang paling sering 

ditemukan dengan prevalensi sekitar 5,9- 

12,3% anak-anak dengan epilepsi di bawah 

16 tahun. Onset CAE biasanya antara 4-10 

tahun dengan puncak usia 5-7 tahun. Pasien 

biasanya tidak memiliki gangguan neurologis lainnya dan fungsi luhur baik dengan tingkat intelegensia yang baik pula, 

namun dari anamnesis kadang gangguan 

atensi di kelas merupakan kunci untuk 

eksplorasi lebih lanjutberikutnya.

a. Gambaran klinis dan semiologi 

Semiologi CAE dimulai dengan serangan absans tipikal yang muncul tiba-tiba 

disertai dengan hilangnya kesadaran 

dan pasien terlihat terhenti melakukan 

aktivitas yang sedang dikerjakannya. 

Serangan ini berlangsung singkat antara 4-20 detik, diikuti perbaikan kesadaran yang tiba-tiba pula dan kembali ke 

aktivitas yang dilakukan sebelumnya. 

Namun, dibutuhkan bebe-rapa detik 

untuk kembali ke perilaku yang normal, dan pasien dapat menyadari terdapat jeda waktu yang hilang cukup 

panjang bagi dirinya. Meskipun demikian tidak ada perubahan pascaiktal yang 

signifikan.

Gejala motor seperti kedipan mata 

yang random, atau klonus pada 

kelopak mata, sedikit deviasi mata ke 

atas, dan automatisme ringan dapat 

terjadi pada saat iktal terjadi. Namun 

mioklonus tidak mungkin terjadi pada 

CAE. CAE yang tipikal dapat diprovokasi dengan hiperventilasi 3 menit dianggap cukup untuk diagnosa  di setting

klinik. Riwayat keluarga dan riwayat 

penyakit dahulu harus ditanyakan. 

Sebagian pasien memiliki riwayat kejang demam.

b. Pemeriksaan penunjang

EEG CAE iktal menunjukkan gambaran 3-hertz (Hz) kompleks gelombang 

paku dan lambatberamplitudo tinggi di 

seluruh elektroda (generalisata), frontal biasanya lebih dominan. Cetusan 

yang muncul ini biasanya sangat regular. Cetusan biasanya muncul tiba-tiba 

dan berakhir tiba-tiba seperti gambaran klinis yang didapatkan pada CAE. 

Latar belakang biasanya normal, walau 

sebagian pasien dapat muncul occipital intermittent rhythmic delta activity

(OIRDA).

Pada EEG interiktal gambaran yang 

muncul dapat berupa gelombang paku 

dan lambat sesekali terutama saat tidur. 

Keasimetrisan yang muncul tidak regular atau tidak konsisten dapat muncul 

pada EEG iktal maupun interiktal. Apabila keasimetrisan ini muncul lebih 

persisten atau konsisten di regio 

frontal, maka diagnosa  banding yang 

harus dipikirkan yaitu  frontal lobe

epilepsy. Contoh gambaran EEG CAE 

dapat dilihat dalam buku atlas EEG 

dan suplemen evoked potential yang 

diterbitkan Departemen Neurologi 

FKUI/RSCM.

Pemeriksaan MR1 tidak rutin namun 

dapat dilakukan untuk menyingkirkan 

diagnosa  banding lainnya. Saat ini banyak studi MRI fungsional (fMRI) yang 

dikombinasikan dengan EEG untuk 

menilai mekanisme patofisiologi yang 

melatarbelakangi bangldtan umum 

idiopatik ada  variabilitas regio 

yang mengalami peningkatan aktivitas. 

Hal ini disimpulkan sebagai variabilitas 

fenotip dan genetik

c. Genetik

Sekitar 15-44% pasien memiliki riwayat yang sama dalam keluarga. Walaupun gen yang diturunkan masih belum 

konklusif, hal ini jelas menunjukkan 

adanya hu-bungan antara genetik dan 

CAE. Kandidat gen yang berperan diantaranya chloride voltage-gated channel 2 (CLCN2), gamma-aminobutyric

acid type A receptor gamma-2 subunit

(GABRG2], gamma-aminobutyric acid

type A receptor gamma-3 subunit (GABRG3), calcium voltage-gated channel

subunit alpha-1 H (CACNA1H), adenosine deaminase acting on RNA (ADAR), 

trafficking kinesin-binding protein 1

[TRAK1), calcium voltage-gated channel auxiliary subunit alpha-2 delta-2

[CACNA2D2], calcium voltage-gated

channel auxiliary subunit gamma 2

(CACNG2), calcium voltage-gated channel subunit alpha-1 A (CACNAla), dan 

calcium voltage-gated channel auxilary

subunit beta-4 (CACNB4J.

d. Tata laksana dan prognosis

CAE perlu dikontrol sebab  absans 

sering terjadi sepanjang siang hari sehingga dapat memengaruhi fungsi kognitif. Obat pilihan untuk CAE diantaranya etosuksimid atau asam valproat. 

Asam valproat lebih disarankan jika 

ada  bangldtan umum tonik-klonik 

yang menyertai. Pilihan OAE lainnya 

yaitu  yang berspektrum luas yaitu

topiramat, zonisamid, lamotrigin, levetirasetam, dan klonazepam.

Bangldtan absans tipikal memiliki 

prognosis yang baik. Pada pasien yang 

hanya memiliki bangkitan absans, 90% 

di antaranya akan remisi. Namun sebagian lainnya dapat berlanjut menjadi 

bangkitan umum tonik Idonik. Faktorfaktor yang memperburuk prognosis 

diantaranya gangguan kognitif saat 

onset, latar belakang EEG abnormal, 

riwayat status epileptikus, adanya bangkitan umum tonik klonik, atau mioklonik saat serangan absans.

3 . Juvenile Absence Epilepsy (JA E )

a. Gambaran klinis

CAE dan JAE memiliki semiologi yang 

hampir sama. Bahkan beberapa ahli 

menganggap JAE tidak perlu dibedakan 

dengan CAE. Perbedaan mendasar antara CAE dan JAE yaitu  onsetnya. Onset JAE yaitu  saat pubertas atau sekitar

9-13 tahun. Frekuensi serangan absans 

lebih jarang dibandingkan CAE, namun 

durasinya lebih panjang. JAE tidak mudah dipicu dengan hiperventilasi.

b. Pemeriksaan penunjang

Latar belakang EEG interiktal pasien 

JAE dalam batas normal. Tampak 

gelombang tajam atau polyspike and

slow-wave yang dapat muncul pada 

EEG interiktal maupun iktal. Frekuensi 

gelombang lebih cepat dibandingkan 

CAE yaitu sebesar 3,5-4Hz. Secara 

umum gambaran EEG lebih regular 

jika dibanding JME namun lebih terfragmentasi bila dibandingkan CAE. 

Durasi gelombang iktal lebih lama 

dibandingkan CAE dan JME. 

c. Genetik

Pasien JAE sering kali memiliki riwayat keluarga epilepsi. CAE lebih sering 

didapatkan dalam riwayat keluarga 

pasien dibandingkan riwayat keluarga 

yang mengalami JME. Hal ini menggambarkan bahwa JAE kemungkinkan besar memiliki kesamaan genetik dengan 

CAE dibandingkan JAE dengan JME. 

ada hubungan antara JAE dengan 

mutasi gen glutamate ionotropic receptor kainate type subunit 1 (GRIK1) 

pada kainite-selective glutamate recep to ray a dan gen subunit kanal 

kalsium, namun temuan ini belum 

konsisten dengan temuan-temuan 

lainnya. Gen lainnya yang berkaitan 

dengan JAE yaitu  inhibin alpha subunit (INHA).

d. Tata laksana dan prognosis

JAE memiliki respons yang baik terhadap pengobatan walaupun disertai 

dengan bangkitan umum tonik klonik. 

Namun pasien JAE yang tanpa disertai 

kejang umum tonik klonik memiliki 

prognosis bebas bangkitan yang lebih 

kecil. Sedangkan mioklonik tidak mempengaruhi renspon terhadap pengobatan.

Uni pertama OAE untuk JAE yaitu  

asam valproat. Jika tidak respon terhadap asam valproat maka dapat diberikan lamotrigin, topiramat, atau zonisamid. Sedangkan karbamazepin dan 

okskarbazepin dapat memperburuk 

serangan.

4 . Juvenile Myoclonic Epilepsy (JM E )

JME merupakan salah satu bentuk epilepsi

yang paling sering, paling tidak salah satu

bentuk epilepsi yang paling sering pada kelompok epilepsi umum idiopatik Seldtar 

5-10% dari seluruh epilepsi yaitu  JME, 

dan sekitar 20-27% dari seluruh epilepsi 

umum idiopatik merupakan JME. Sebagian 

besar onset pasien antara 12-18 tahun, 

dengan rentang 7-26 tahun. Walaupun 

termasuk sindroma yang sering, namun 

masih banyak masalah  yang terlambat untuk 

terdiagnosa  dengan tepat.

a. Gambaran klinis dan semiologi

Pada prinsipnya JME mudah didiagnosis sebab  memiliki karakteristik 

yang khas. Gejala utama sindrom ini 

yaitu  morning jerks. Sesuai namanya gerakan ini sering muncul pada 

pagi hari. Ge-rakan ini jarang dikeluhkan oleh pasien, sehingga harus 

ditanyakan khusus oleh ldinisi. Selain myoclonic jerk, bangkitan umum 

tonik klonik, dan absans tipikal juga 

dapat muncul pada pasien.

Bangkitan mioklonik yang muncul ini 

sifatnya bilateral, dapat tunggal maupun repetitif, artimik, iregular, dan predominan pada tangan. Gerakan terutama pada bagian proksimal, kadang 

dapat juga muncul pada fleksi dan abduksi paha atau pada otot-otot spinal. 

Serangan jerk yang muncul dapat menyebabkan pasien terjatuh tiba-tiba 

atau melempar benda yang sedang 

dipegangnya. Bangkitan biasanya muncul sesaat sampai setengah jam sesudah  

ba-ngun tidur dan sering dipresipitasi oleh deprivasi tidur, atau minum 

alkohol semalam sebelumnya. Bangkitan dapat juga muncul pada sore hari 

sesudah  tidur siang atau saat terbangun 

di tengah-tengah tidur. Selain itu JME 

dikenal sebagai sindrom epilepsi yang 

paling fotopeka . Mioldonik biasa-nya 

mudah dibangkitkan dengan stimulasi 

visual berupa kilatan seperti TV, video

games, lampu disko, dan sinar matahari 

yang intermiten. Bangkitan mioklonik 

ini tidak disertai dengan gangguan kesadaran.

Bentuk bangkitan kedua tersering 

pada JME yaitu  bangkitan umum 

tonik-klonik, yaitu sekitar 80-95% , 

yang membuat pasien datang berobat. Gerakan mioklonik sering tidak 

dianggap keluhan oleh pasien dibandingkan bangkitan umum tonik klonik, 

sehingga tidak didapatkan dalam 

anamnesis. Bangkitan umum ini memiliki faktor presipitasi dan muncul 

pada waktu-waktu yang sama dengan 

bangkitan mioklonik. Walaupun begitu, bangkitan umum jarang kambuh 

pada pasien dengan JME, hanya sekitar satu sampai dua kali pertahun, 

dan biasanya muncul sebab  perubahan pola tidur, tidur tidak teratur, 

atau faktor pencetus lainnya.

b. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan EEG interiktal menunjukkan latar belakang normal. Terdapat gelombang polyspike and

slow-wave umum [general] kadang 

asimetris atau hanya dominan pada 

daerah anterior, dan lebih sering muncul pada saat tidur. Gelombang epileptiform ini muncul ireguler dan dengan 

frekuensi lebih cepat dari 2,5-3,5Hz.

EEG iktal menunjukkan satu hurst gelombang polispike bilateral, sinkrom,

dan simetrik, yang kemudian segera 

diikuti dengan mioklonicjerk (tere-kam 

pada elektorda EMG). Cetusan ini terdiri dari 5-20 gelombang tajam [spike],

dengan frekuensi 12-lHz, amplitudo 

makin meningkat di daerah frontal sebesar 200-300mV. Gelombang 

lambat dapat muncul sebelum atau 

sesudah gelombang tajam dengan 

frekuensi antara 3-4Hz dan amplitudo 200-250mV. Gelombang polispike 

dan lambat ini membentuk kompleks 

gelombang polyispike-and-slow-wave

yang durasinya lebih panjang dari mioklonik jerk yang mucul saat dilakukannya perekaman.

Pencitraan seperti MRI dan CT scan

tidak bermakna dalam penentuan diagnosis melainkan dilakukan untuk 

menyingkirkan diagnosa  banding atau 

evaluasi. Positron emission tomography

(PET) scan menunjukkan penurunan 

tingkat fluorodeoksiglukosa di korteks 

prefrontal dorsolateral saat melakukan 

perintah yang berka-itan dengan fungsi 

worlung memory. Dilaporkan peningkatan distribusi benzodiazepin dan reseptor GABA pada sistem talamo-kortikal. 

Magnetic resonance spectroscopy (MRS) 

menunjukkan penurunan tingkat kadar 

N-acetyl aspartate di daerah prefrontal, sedangkan pada MR! 40% pasien 

menunjukkan sedildt perubahan struktur menjadi abnormal. Pemeriksaan 

fungsi luhur menjadi pemeriksaan standar sebagai data dasar dan evaluasi 

pasien-pasien epilepsi.

c. Genetik

JME merupakan sindrom epilepsi yang 

paling sering dipelajari oleh para ahli 

genetik. Riwayat bangkitan atau epilepsi pada keluarga didapatkan sekitar 

30-50% pasien. Mutasi nonsense gen 

EE-hand domain containing 1 (EFHC1} 

didapatkan pada JME familial. Gen ini 

mengkode protein yang meregulasi 

aktivitas kanal kalsium dan mempengaruhi kematian sel terprogram. Gen 

ini terletak pada 6 p ll-p l2 . Gen bromodomain containing-2 (BRD2) pada 

6p21, glutamate metabotropic receptor-4 (GRM4) pada Gp21.3 juga terdapat pada JME, namun gen-gen tersebut tidak hanya ditemukan pada JME, 

namun juga pada variasi idiopathic

generalized epilepsies [IGE] lainnya 

yang menunjukkan asosiasi antara 

JME dan IGE lainnya. Kandidat gen 

lainnya yang berkaitan dengan JME 

diantaranya gamma-aminobutyric

acid type A receptor delta subunit

(GABRD), CLCN2, cholinergic receptor

nicotinic alpha-4 subunit (CHRNA4), 

dan gamma-aminobutyric acid receptor subunit alpha-1 (GBRAl).

d. Tata laksana dan prognosis

Hal yang perlu ditekankan saat edukasi pada pasien JME yaitu  menghindari faktor-faktor pencetus seperti 

kilatan dari video games dan lain-lain. 

Pola tidur juga perlu dijaga kualitas 

dan kuantitasnya. Hindari minuman/ 

makanan beralkohol. Hindari menyetir/memakai  mesin berat di 

malam hari atau saat baru bangun 

tidur.

Asam valproat merupakan terapi pilihan untuk JME pada pasien remaja

laki-laki. Levetirasetam, lamotrigin, 

atau topiramat merupakan terapi pilihan untuk remaja perempuan sebab  

efek teratogenik dari asam valproat 

pada wanita. Walaupun begitu, asam 

valproat masih merupakan terapi yang 

paling efektif dibandingkan levetirasetam, lamotrigin, dan topiramat. Karbamazepin dan okskarbazepin sebaiknya 

dihindari untuk terapi JME. Kedua obat 

ini telah dilaporkan meningkatkan kejadian bangkitan dan status mioklonik 

pada pasien JME.

Berbagai studi menunjukkan respon 

pengobatan terhadap JME baik. Sekitar 

80-90% pasien dapat terkontrol dengan obat, walaupun memerlukan 

pengobatan jangka panjang atau bahkan seumur hidup. Tingkat kekambuhan biasanya disebabkan sebab  faktor 

pencetusnya. Namun dalam suatu studi, 

dari 18 pasien yang bebas bangkitan 

ada  4 pasien yang bebas pengobatan. Pengontrolan bangkitan pada 

JME sangat pending sebab  gangguan 

fungsi luhur dan gangguan psikiatri lebih 

sering muncul pada pasien-pasien yang 

tidak terkontrol dengan obat.

 







STATUS EPILEPTIKUS

Luh Ari Indrawati, Winnugroho Wiratman, Astri Budikayanti,

Fitri Octaviana, Zakiah Syeban

PENDAHULUAN

Status epileptikus (SE) penting untuk dikenali 

secara dini, sehingga dapat diatasi   sesegera mungldn dimulai pada tahap  prarumah 

sakit. Tata laksana SE yang tepat akan meningkatkan probabilitas terminasi bangkitan 

epileptik dan pada akhirnya menurunkan 

angka morbiditas dan mortaiitas. Menurut 

International League Against Epilepsy [ILAE] 

tahun 2015, ada  2 jenis SE berdasar  

bentuk bangldtannya, yaitu 1) SE dengan gejala 

motor yang prominen dan 2] SE tanpa gejala

motor yang prominen (Tabel 1}.

ILAE juga menentukan definisi operasional 

SE berdasar  dua dimensi waktu, yaitu 1) 

durasi dan waktu kemungldnan bangkitan 

epileptik menjadi berkepanjangan atau terus 

menerus dan 2) durasi dan waktu bangkitan 

epileptik memicu konsekuensi j angka 

panjang (kerusakan dan kematian neuronal, 

perubahan jaringan koneksi neuronal, dan 

defisit fungsional). Dimensi waktu pertama 

merupakan batasan waktu untuk memulai 

protokol tata laksana SE. 

Definisi SE konvulsif tonik klonik yaitu  

bangkitan epileptik yang berlangsung secara terus menerus selama minimal 30 menit 

atau berulang tanpa pulihnya kesadaran di 

antara bangkitan. Batasan waktu atau durasi 

30 menit ini  merupakan batasan waktu 

dimensi kedua, yaitu saat terfadi kerusakan 

neuronal. Tetapi batasan waktu atau durasi 

bangkitan epileptik tonik klonik minimal 

5 menit dipakai  sebagai dasar untuk 

memulai langkah tata laksana SE sehingga 

bangkitan tidak terjadi berkepanjangan. 

Bangkitan epileptik tonik klonik kemungkinan tidak akan berhenti spontan apabila 

telah terjadi selama 5 menit. Batasan waktu 

SE pada bentuk bangkitan yang lain dipaparkan pada Tabel 2.

EPID EM IO LO G I

Insidens SE episode pertama mencapai 42 

masalah  per 100.000 penduduk pertahunnya 

dengan rasio yang hampir sama pada lakilaki dan perempuan. berdasar  National

Health Discharge Survey (NHDS) insidens ini 

bersifat bimodal, yaitu lebih tinggi pada usia 

dekade pertama dan sesudah  usia 60 tahun. Di 

Amerika Serikat insidensnya berkisar antara 

6,2-18,3 per 100.000 populasi.

Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) 

pada bulan Juni 2013 hingga Januari 2014 terdapat 31 pasien SE di instalasi gawat darurat 

(IGD), 45,2% dengan bangkitan umum, dan 

54,8% dengan bangkitan fokal Sebanyak 

22,6% pasien meninggal dan kesemuanya 

mengalami bangkitan umum. Penelitian Loho 

2016 di RSCM menunjukkan bahwa 61,8% 

masalah  ensefalopati metabolik mengalami SE 

nonkonvulsif.

SE merupakan kegawatdaruratan medis yang 

sering dengan morbiditas dan mortalitas yang

tinggi, yaitu 3-50%. Angka ini bervariasi tergantung etiologinya, anglta mortalitas SE refrakter pada pasien usia tua mencapai 76%.

E T IO LO G I

Secara umum etiologi SE terdiri dari etiologi 

yang diketahui (simtomatik) dan etiologi yang 

tidak diketahui (kriptogenik). berdasar  

waktu terjadinya abnormalitas pemicu nya, 

etiologi SE dibagi menjadi 3, yaitu:

1. Proses A kut

® Gangguan metabolik: gangguan elektrolit, hipoglikemia, dan gangguan ginjal 

® Sepsis

® Infeksi susunan saraf pusat: meningitis, ensefalitis, dan abses 

® Stroke: stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, 

dan trombosis sinus serebral.

® Trauma kepala dengan atau tanpa hematom epidural atau subdural 

® Obat-obatan:

- Intoksikasi obat atau alkohol.

- Withdrawal obat golongan opiod, 

benzodiazepin, barbiturat, atau 

alkohol,

• Hipoksia

® Ensefalopati hipertensif, sindrom 

ensefalopati posterior reversibel 

® Ensefalitis autoimun

2. Proses Kronik

® Epilepsi: penghentian atau penurunan obat anti epilepsi (OAE)

® Penyalahgunaan alkohol kronik

® Gangguan susunan saraf pusat lampau 

(misalnya pascastroke, pascaensefalitis)

® Gangguan metabolisme bawaan pada 

anak 

3. Proses Progresif

» Tumor susunan saraf pusat

Etiologi akut SE yang paling sering yaitu  

stroke (22%), diikuti gangguan metabolik 

(15%), hipoksia (13%), infeksi sistemik (7%), 

dan anoltsia (5%). Namun yang memicu 

mortalitas tertinggi yaitu  anoksia (71%,) diikuti hipoksia (53%), stroke (33%), dan gangguan metabolik (30%). Etiologi proses kronik yang paling sering yaitu  konsentrasi OAE 

yang rendah pada pasien epilepsi (34%) diikuti 

pemicu  simtomatik seperti tumor, stroke, 

dan trauma (25%). Angka mortalitas SE yang 

disebabkan etiologi akut lebih tinggi dibandingkan akibat etiologi kronik.

PATOFISIOLOGI

Pada umumnya bangkitan epileptik dapat 

berhenti spontan. Namun semakin lama 

durasi suatu bangkitan epileptik, maka semakin kecil kemungkinan akan berhenti 

spontan. Pada detik-detik pertama terjadinya bangkitan epileptik terjadi fosforilasi 

protein, pembukaan dan penutupan kanal 

ion, serta pelepasan neurotrasmiter. Kemudian pada tahap kedua, pada beberapa detik 

hingga menit, terjadi penurunan subunit reseptor gamma-aminobutyric acid (GABA) (32, 

(33, y2, serta peningkatan reseptor eksitatorik 

N-metil-D-aspartat (NMDA) dan a-amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4“propionic acid 

(AMPA). Reseptor GABA di permukaan akan 

membentuk cekungan yang dilapisi clathrin

kemudian menjadi vesikel yang dilapisi ciathrin sehingga tidak dapat dijangkau oleh neurotransmiter. Vesikel ini  berubah menjadi 

endosom dan akan dihancurkan oleh lisosom. 

Penelitian imunohistokimia menunjukkan 

subunit NR1 reseptor NMDA bermigrasi dari 

subsinaps ke permukaan sinaps. Pada stadium

berikutnya, pada beberapa menit hingga jam, 

terjadi peningkatan substansi P eksitatorik dan 

penurunan penggantian neuropeptida Y yang 

bersifat inhibitor! k. Pada stadium keempat, 

pada beberapa hari hingga minggu, akan terjadi 

perubahan genetik dan epigenetik berupa perubahan ekspresi gen, metilasi deoxyribonucleic

acid (DNA), dan regulasi ribonucieic acid (RNA) 

mikro. Hal-hal ini  mendasari perubahan 

dari suatu bangkitan epileptik tunggal menjadi 

keadaan SE (Gambar 1).

KOMPLIKASI

Berbeda dengan SE nonkonvulsif, SE konvulsif memiliki dampak sistemik yang luas, 

meliputi susunan saraf pusat (SSP), kardiovaskular, respirasi, metabolik, ginjal, endokrin, dan lain-lain, yaitu:

1. Sistem saraf pusat

Edema serebral, narkosis akibat penumpukan C02, hipoksia serebral, dan perdarahan 

serebral.

2. Kardiovaskular

Aritmia, henti jantung, takikardia, bradikardia, gagal jantung kongestif, hipertensi, 

dan hipotensi.

3. Respirasi

Apneu, edema paru, acute respiratory

distress syndrome, infeksi nosokomial, 

aspirasi, spasme laring, asidosis respiratorik, dan emboli paru.

4. Metabolik

Asidosis metabolik, hiperkalemia, hiponatremia, hipomagnesemia, hipermagnesemia, dan dehidrasi.

5. Ginjal

Asidosis renal tubular, sindrom nefritik 

akut, oligouria, uremia, rabdomiolisis, 

dan mioglobinuria.

6. Endokrin 

Hipopitutarisme, peningkatan prolaktin, 

vasopresin, dan kortisol, penurunan 

berat badan.

7. Lain-lain

Koagulasi intravaskular diseminata, 

penurunan motilitas intestinal, pandisotonomia, sindrom disfungsi organ multipel, dan fraktur.

TATA LAKSANA 

Tujuan manajemen SE yaitu  menghentikan 

bangkitan dengan segera, mengidentifikasi 

dan mengatasi pemicu , serta mengatasi 

komplikasi yang ditimbulkannya dengan 

skema pada Gambar 2. Langkah-langkah 

ini  sudah dapat dimulai jika terjadi 

bangkitan konvulsif tonik klonik lebih dari 5 

menit, oleh sebab  bangkitan ini  yang 

terjadi 5 menit atau lebih, kemungkinannya 

kecil untuk berhenti spontan.

dalam tata laksana SE yaitu  rute pemberian yang mudah dan cepat mencapai kadar 

terapeutik, sehingga dapat segera mengontrol bangkitan. Tata laksana lini pertama 

dapat dimulai sejak di luar RS sesuai dengan kemampuan penolong. Tata laksana 

pertama yang dilakukan secara dini akan 

meningkatkan probabilitas terminasi bangkitan dengan protokol seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Protokol Tata Laksana SE 

Seiring dengan langkah untuk menghentikan bangkitan epileptik, maka harus dilakukan

eksplorasi etiologi SE dan mendeteksi kom- bel 4). 

piikasi yang terjadi dengan pemeriksaan 

penunjang yang sesuai dengan indikasi (TaTabel 4, Pemeriksaan Penunjang pada masalah  SE

 

PROGNOSIS

Prognosis SE ditentukan oleh beberapa faktor, 

yaitu usia, tipe bangkitan SE, durasi, kecepatan 

inisiasi tata laksana, dan etiologi. Walaupun 

SE sering terjadi pada usia dekade pertama, 

namun angka mortalitasnya lebih rendah 

dibandingkan usia dewasa atau usia tua. 

Secara keseluruhan angka mortalitas pada usia 

dewasa mencapai 26% dan meningkat dua

kali lipat pada usia >80 tahun yang mencapai 

50%. Mortalitas lebih tinggi pada SE mioklonik, 

durasi SE >60 menit, inisiasi tata laksana 30 

menit sejak onset, dan SE simptomatik akut. 

Mortalitas SE tertinggi mencapai 60-80% 

masalah  pada SE akibat anoksia atau hipoksia 

akut yang berat (Tabel 5).

Tabel S. Mortalitas SE 

Laki-laki usia 50 tahun dibawa ke IGD sebab  

mengalami bangldtan berulang sejak 1 hari 

sebelum masuk rumah sakit;. Bentuk bangkitan 

berupa kepala tertarik ke kanan diilcuti 

kekakuan pada lengan kanan, diikuti kaku 

dan kelojotan pada keempat ekstremitas. Saat 

bangkitan pasien tidak sadar dengan durasi 

3-4 menit. Pascabangldtan pasien tampak 

meracau. Bangldtan berulang lima kali. Sekitar 

3 hari sebelum masuk RS pasien mengalami 

saldt kepala, demam tinggi, dan kadang bicara 

kacau. Selama 2 hari terakhir pasien hanya 

makan dan minum dalam jumlah sedikit Saat 

tiba di IGD pasien sedang mengalami bangkitan 

yang sudah berlangsung selama 5 menit tanpa 

henti dan langsung dibawa ke ruang resusitasi, 

Pada pemeriksaan fisik tampak saliva di mulut, 

saturasi oksigen 95%.

Pasien dilakukan pembersihan jalan napas, 

suplementasi oksigen nasal kanul 3 liter/ 

menit, injeksi midazolam lOmg intramuskular. Kejang berhenti pascainjeksi midazolam. Pemeriksaan fisik menunjukkan TD 

130/80mmHg, nadi 98 kali per menit, napas 

22 kali per menit, suhu 38,2°C, saturasi oksigen 97%, SKG E3M5V4, tampak gelisah, 

turgor kulit menurun, kaku kuduk positif. 

Berat badan pasien 55kg berdasar  informasi keluarga. EKG menunjukkan irama sinus 

dan gula darah sewaktu stik menunjukkan 

kadar 90mg/dL. Sampel darah diambil untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas darah, fungsi hepar, fungsi 

ginjal, dan urinalisis. Pasien direncanakan 

untuk pemeriksaan CT scan kepala dengan 

kontras dan pungsi lumbal Pasien kemudian 

mendapat  fenitoin llOOmg intravena 

dalam NaCl 0,9% 50cc dan diberikan dengan

kecepatan 50mg/menit. Pasien tidak mengalami kejang konvulsif kembali. Contoh masalah  

di atas menunjukan keadaan SE konvulsif. 








PENYAKIT PARKINSON



Parldnsonisme merupakan kumpulan gejala 


yang terdiri dan tremor, rigiditas, bradildnesia, 


dan instabilitas postural, Fahn dkk (2011) mengusulkan klasifikasi terbaru parldnsonisme yang 


dipakai  hingga saat ini, yakni: 1) Parldnson 


primer (ekuivalen dengan penyakit Parkinson 


(PP) atau Parkinson idiopatik atau paralisis agitans); 2) Parldnsonisme sekunder (parldnsonisme aldbat infeksi, toksin, obat-obatan, tumor, 


trauma, vaskular dan metabolik); 3) sindrom 


Parkinsonism-Plus (seperti progressive supranuclear palsy, multiple system atrophy, corticobasal


degeneration}; dan 4) Gangguan heredodegeneratif (seperti benign parldnsonism). Namun, 


tidalc seluruhnya akan dibahas dalam topik ini, 


melainkan dibatasi hanya pada PP.


Gejala nonmotorik seperti hiposmia, gangguan 


tidur, gangguan perilaku, gangguan kognitif, 


dan gangguan otonom termuat pada kriteria 


diagnosa  penyakit Parkinson menurut United


Kingdom Parkinson's Disease Brain Bank


Criteria (UKPDBBC), namun dahulu belum 


menjadi perhatian. Seiring dengan perubahan 


fenotip PP, mulai ada  peningkatan kewaspadaan terhadap gejala nonmotorik ini. 


Dengan demikian ada  perubahan dalam 


mendefinisikan PP yang lebih kompleks 


dibandingkan dengan sebelumnya.


PP merupakan salah satu kelainan gangguan gerak neurodegeneratif yang bersifat


progresif ditandai dengan parldnsonisme. 


Nama Parkinson berasal dari James Parkinson yang pertama kali mendeskripsikan 


kelainan ini pada tahun 1817. Penyakit Parkinson ditandai dengan gambaran patologis 


berupa degenerasi neuron disertai adanya 


badan Lewy (Lewy bodies) pada substansia 


nigra pars kompakta.


Keberadaan sistem dopaminergik pada 


batang otak pertama kali dideskripsikan 


oleh Dahlstrom dan Fuxe. Carlsson did-: di 


akhir tahun 1950 mengajukan teori mengenai pentingnya deplesi dopamin dalam patofisiologi penyakit Parkinson. Hal ini menunjukkan bahwa inhibisi ambilan dopamin oleh 


reserpin memicu Parkinson-like syndrome pada hewan percobaan dan keadaan 


ini dapat dikembalikan sesudah  pemberian 


levodopa (prekursor dopamin). Tidak lama 


sesudah  itu, Ehringer dan Hornykiewicz 


mengidentifikasi adanya defisiensi dopamin 


bermakna di daerah striatum pada pasien PP,


Penyakit ini termasuk ke dalam kelompok 


a -synucleinopathies, atau kelainan pada 


a -sinuklein, suatu protein yang terlokalisir 


di terminal presinaps dan dikoding oleh kromosom 4. Fungsinya belum sepenuhnya dimengerti, namun diduga berhubungan dengan 


pembentukan vesikel. Protein ini dapat mengalami agregasi dan membentuk kelompok 


yang tidak larut, sehingga mengalami deposisi

 di otak dan menjadi komponen utama dalam 


proses pembentukan badan Lewy.


Selain penyakit Parkinson, deposisi badan 


Lewy juga merupakan penanda patologis yang 


khas pada masalah  lain, seperti demensia badan 


Lewy dan multiple system atrophy. Falctor yang 


mendasari adanya disregulasi alfa sinuklein 


dan pembentukan badan Lewy masih beium 


diketahui. ada  teori adanya peningkatan 


produksi protein ini aldbat perubahan ekspresi 


mRNA. Teori lain menyatakan bahwa adanya 


badan Lewy di otak merupakan respons 


normal dari neuron terhadap fibril toksik hasil 


dari disfungsi proteosom.


EPIDEMIOLOGI


Data The Global Burden o f Disease Study (2015) 


mengindikasikan adanya kecenderungan usia 


yang lebih tua pada saat terjadi kematian. 


Fenomena demografik ini memicu 


peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, 


yaitu penyaldt Alzheimer diilcuti penyakit 


Parldnson (PP) pada peringkatke-dua terse ring, 


Dengan meningl<atnya angka harapan hidup, 


PP menjadi salah satu tantangan terberat yang 


dihadapi dunia kesehatan.


Prevalensi PP bervariasi di beberapa 


benua. Pringsheim dkk menemukan bahwa 


prevalensinya pada usia 70-79 tahun lebih 


rendah di Asia (646/100.000 individu), 


dibandingkan Eropa, Amerika Utara, dan 


Australia (p<0,05). Adapun insidens penyakit 


ini berkisar 16-19 masalah  per 100.000 individu 


pertahun. Savica dlck memperoleh insidens 


21 masalah  per 100.000 penduduk pertahun di 


Minnesota yang dapat dipengaruhi oleh jenis 


kelamin, usia, dan etnis. PP lebih tinggi pada 


laki-laki dibandingkan perempuan dengan 


rasio 3:2. Studi meta-analisis oleh Hirsch


dkk menunjukkan insidens laki-laki sebesar 


61,21 per 100.000 individu per tahun dan 


hampir dua kali lipat dari perempuan, yakni 


37,55 per 100.000 individu pertahun.


ada peningkataninsidensPPseiringdengan 


bertambahnya usia, baik pada lald-lald dan 


perempuan. Pada kelompok laki-laki, insidens 


berkisar dari 3,59 per 100.000 penduduk pada 


usia 40-49 tahun yang meningkat menjadi 


132,72 per 100.000 penduduk pada usia 70- 


79 tahun, lalu menurun menjadi 110,48 per


100.000 penduduk pada usia diatas 80 tahun. 


Pada kelompok perempuan, insidens mulai 


dari 2,94 per 100.000 penduduk (usia 40-49 


tahun), mencapai insidens tertinggi 104,99 per


100.000 penduduk pada usia 70-79 tahun, lalu 


menurun menjadi 66,02 per 100.000 penduduk 


(usia di atas 80 tahun). Menurut Dorsey dkk 


berdasar  peningkatan angka harapan hidup 


ini, proyelcsi jumlah masalah  PP meningkat lebih 


dari 50% pada tahun 2030.


Adanya perbedaan metodologi dan latar belakang geografi memicu perbedaan hasil penelitian yang bermakna dari beberapa 


studi, terutama perbedaan kriteria klinis 


yang dipakai . De Rijk dkk melaporkan 


perubahan diagnostik kriteria dapat menyebabkan perubahan identifikasi masalah  sekitar 


36%. Sebagai tambahan, banyak penelitian 


yang memakai  kuesioner klinis dan tidak 


melakukan pemeriksaan langsung yang juga 


memicu variabilitas ini. Karakteristik 


geografik juga harus diperhitungkan, sebab  


akan berguna untuk mengidentifikasi perbedaan paparan falctor lingkungan.


ANATOMI GANGLIA BASAL


Ganglia basal merupakan sekelompok nukleus 


subkortikal yang terdiri dari neostriatum

nukleus kaudatus dan putamen), striatum 


ventral, globus palidus segmen interna dan 


eksterna (GPi, GPe], nukleus subtalamikus 


{subthalamic nucleus/STN}, dan substansia 


nigra pars retikulata dan pars kompakta


(SNr, SNc). Ganglia basal merupakan 


salah satu bagian dari sirkuit kortikalsubkortikal yang lebih besar, yang berasal 


dari seluruh korteks dan berkaitan dengan 


ganglia basal dan talamus [Gambar 1) 

Sirkuit ganglia basal-talamokortikal tersusun dalam suatu jaras fungsional, secara 


garis besar dibagi menjadi sirkuit motorik, 


asosiatif, dan limbik, yang bekerja secara independen satu sama lain (Gambar 2). Striatum dan STN merupakan titik masuk utama 


bagi input yang menuju ke ganglia basal. 


Striatum menerima input dari korteks dan 


talamus, sedangkan STN menerima input 


dari korteks dan batang otak. Dari nukleus 


ini , infomasi diteruskan melalui berbagai jaras dan masuk ke nukleus keluaran 


utama yaitu GPi dan SNr. Keluaran ganglia 


basal dari Gpi dan SNr akan diteruskan 


menuju ke talamus serta batang otak (kolikulus superior, nukleus pedunkulopontin 


(pedunculopontine nucleus/PPN), dan parvocellular reticular formation).


PATOFISIOLOGI


Patofisiologi utama yang memicu gejala motorik kardinal pada PP, khususnya bradikinesia, dikaitkan dengan disfungsi sirlaiit 


motorik yang menghubungkan korteks prefrontal, ganglia basal, dan talamus.


berdasar  sirkuit motorik ganglia basal 


yang diajukan dan dikembangkan oleh Alexander dkk, hubungan antara striatum sebagai 


titik masuk utama dan GPi/SNr sebagai titik 


keluaran utama dari ganglia basal tersusun 


menjadi jaras langsung (direct) berupa jaras 


monosinaptik GABA-ergik inhibitorik dan 


jaras tidak langsung (indirect) yang mencakup 


GPe dan STN. Striatum memiliki peran utama 


dalam memproses informasi sensorimotor 


dan meneruskannya ke GPi. Selanjutnya, 


stimulus akan diteruskan melalui proyeksi 


GABAergik yang bersifat inhibitorik menuju 


segmen motorik talamus anterior ventral, 


yang akan meneruskan stimulus melalui jaras


glutamaergik menuju korteks, dan berperan 


dalam proses perencanaan dan inisiasi 


gerakan motorik (Gambar 3a). Sirkuit ini 


dikendalikan dan dimo-dulasi oleh proyeksi 


dopamin nigrostriatal.


Pada PP, terjadi n euro degene rasi substansia 


nigra pars kompakta, input dopaminergik 


menuju striatum akan menurun menyebabkan penurunan eksitatorik dopaminergik 


pada reseptor D1 dan input dopaminergik 


inhibitorik pada reseptor D2. Adanya defisiensi dopamin dan kelainan patologi pada 


reseptor dopamin di striatum akan menyebabkan perubahan pada dua jaras keluaran 


striatopalidal utama yang menuju GPi secara monosinaptik melalui jaras langsung 


atau melewati proyeksi ke GPe melalui jaras 


tidak langsung.


Hasil akhir dari disfungsi input dopaminergik dari kedua neuron striatum ini  


yaitu  peningkatan aktivitas GPi melalui 


jalur langsung dan tidak langsung, sehingga 


memberikan efek inhibisi ke talamus dan 


korteks, terjadi disfungsi inisiasi, kecepatan, dan amplitudo gerak (Gambar 3b). Efek 


serupa juga dapat disebabkan oleh adanya 


penurunan aktivitas palidum, talamus bagian motorik, atau proyeksi talamokortikal.


Faktor Risiko


berdasar  metaanalisis dari 30 faktor 


risiko potensial, ditemukan 11 faktor risiko 


yang mempengaruhi penyakit Parkinson secara bermakna (Gambar 4).


Risiko PP bersifat multifaktorial yang diduga saling berinteraksi satu sama lain. Sebagai contoh, paparan terhadap pestisida 


(l,r-dim etl“4,4'-bipiridinium diklorida) dan 


riwayat cedera kepala meningkatkan risiko

 

secara sinergis, ada  pula pengaruh 


faktor risiko genetik terhadap faktor lingkungan. Sebagai contoh, penurunan risiko 


pp dengan konsumsi kopi dikaitkan dengan 


polimorfisme single-nucleotide pada CYP1A2 


(pada encoding isoform sitokrom P450 yang 


bertanggung jawab dalam metabolisme kafein) atau GRIN2A (pada encoding subunit 


rseseptor N-metil-D-aspartat/NMDA).


Satu hal menarik menurut Wijaya dkk bahwa merokok sebagai faktor risiko negatif, 


yang berarti merokok bersifat neuroprotektif, yakni dapat menurunkan risiko PP. 


Namun, sebuah studi masalah  kontrol menunjukkan bahwa efek neuroprotektif yang diperiihatkan pada studi epidemiologi disebabkan oleh reverse causation. Pada studi


ini diperoleh lebih sedikit pasien PP yang 


masih merokok dibandingkan kontrol dan 


pasien PP lebih mudah untuk berhenti 


merokok. Hal ini dipikirkan adanya penurunan respons nikotin pada tahap  prodromal 


pasien PP.


Patologi Penyakit Parkinson


Patologi utama yaitu  hilangnya neuron dopaminergikpada SNc. Area SNc yang terkena 


yaitu  ventrolateral tier, yang mengandung 


neuron yang terproyeksi ke putamen dorsal 


dari striatum. Kerusakan neuron pada PP 


juga terjadi pada beberapa regio, termasuk 


lokus sereolus, nukleus basal Meynert, nukleus pedunkulopontin, nukleus raphe, nukleus motor dorsal nervus vagus, amigdala, 


dan hipotalamus 

Tanda patologi khas lain pada PP yaitu  


badan Lewy. Pada penyakit Parkinson, protein terbanyak yang menyusun badan Lewy 


yaitu  a -sinuklein. Protein ini mengalami 


agregasi dan membentuk inklusi intraseluler di dalam badan sel (badan Lewy] 


dan pada prosesus neuron (Lewy neurites).


Braak dkk mengajukan teori progresifitas 


penyakit Parkinson berdasar  distribusi 


topografi a-sinuldein. Pada proses ini, kerusakan dimulai pada sistem saraf tepi dan 


berkembang mengenai sistem saraf pusat 


secara progresif, dari arah kaudal menuju 


rostral. Progresifitas penyakit Parkinson 


menu rut Braak (Braak Staging) dibagi menjadi 6 tahap (Gambar 5), yaitu:


® Tahap 1: melibatkan sistem saraf perifer (neuron autonomik), sistem olfaktori 


(bulbus olfaktorius, nukleus olfaktorius), 


medula oblongata (nukleus dorsal motor 


vagal dan nervus glosofaringeus).


• Tahap 2: melibatkan pons (locus coeruleus, magnocellular portion o f reticular


formation, nukleus raphe posterior), 


substansia abu-abu medula spinalis.


® Tahap 3: melibatkan Pons (nukleus pedunkulopontin), midbrain (substansia 


nigra pars kompakta), basal forebrain


(nukleus magnoselular termasuk nukleus basalis Meynert), sistem limbik (subnukleus sentral amigdala).


• Tahap 4: melibatkan sistem limbik 


(korteks asesorius dan nukleus basolateral amigdala, nukleus interstisial stria 


terminalis, klaustrum ventral), talamus 


(nukleus intralaminar), korteks temporal 


(mesokorteks temporal anteromedial, 


region CA2 hipokampus).


© Tahap 5 dan 6: melibatkan regio korteks 


multipel (korteks insula, area korteks 


asosiasi, area korteks primer).


Tahap 1 dan 2 berkaitan dengan onset gejala 


premotorik, tahap 3 merupakan tahap munculnya gejala motorik akibat defisiensi dopamin nigrostriatal, dan tahap 4-6 dapat muncul 


dengan gejala non-motorik pada tahap lanjut 

GEJALA DAN TANDA KLINIS


Manifestasi Motorik


Gejala motorik utama dari PP yaitu  bradikinesia, rigiditas, tremor, dan instabilitas 


postural


1. Tremor


Merupakan salah satu gambaran khas PP. 


Namun 30% pasien dapat tidak mengeluhkan tremor pada awal gejala dan 


sekitar 25% masalah  tanpa tremor selama 


perjalanan penyakit. Derajat keparahan 


tremor tidak dikaitkan dengan progress 


vitas penyakit dan tidak berhubungan


dengan derajat keparahan defisit dopaminergik di striatum.


Tremor seringkali terjadi pada ekstremitas, lengan lebih sering dibandingkan dengan tungkai. Pada awal penyakit, 


tremor ber-sifat unilateral, kemudian 


seiring perjalanan penyakit, terjadi pada 


esktremitas kontralateral. Hal ini juga 


dapat terjadi secara intermiten pada 


rahang, bibir dan lidah. Tremor kepala 


biasanya merupa-kan perluasan dari 


tremor yang melibatkan badan dan ekstremitas. 

Tremor sebagian besar terjadi pada bagian distal dan lebih jelas pada jari-jari 


tangan atau kaki. Gerakan berupa fleksi 


ekstensi yang melibatkan jari-jari atau 


pronasi-supinasi pergelangan tangan 


yang disebut “pill-rolling tremor” meskipun tanpa komponen gerakan rotatoar seperti saat melakukan pill-rolling. 


Tremor mencapai amplitudo maksimal 


pada saat istirahat, sehingga dikenal sebagai tremor istirahat atau resting tremor


Pada otot proksimal, tremor lebih jelas 


pada saat mempertahankan postur, seperti pada saat sedang duduk.


Tremor parkinson klasik memiliki frekuensi 4-6Hz, bersifat intermiten, seringkali dicetuskan ketika pasien dilihat oleh 


orang Iain, serta dipengaruhi emosi atau 


stres. Tremor akan berkurang dan menghilang saat melakukan gerakan bertujuan 


atau mempertahankan postur tertentu. 


Efek ini hanya bertahan selama beberapa 


detik, kemudian muncul kembali (ream erges tremor). Namun menurut Lance 


dkk tremor postural dapat ditemukan 


bersamaan dengan tremor istirahat.


2. Rigiditas


Merupakan peningkatan tonus otot di 


seluruh lingkup gerak sendi (range o f


movement) dan tidak tergantung dari kecepatan otot saat digerakkan. Rigiditas 


dapat ditemukan pada leher, badan, dan 


ekstremitas dalam keadaan relaksasi. 


Pemeriksaan pergelangan tangan dengan 


gerakan fleksi-ekstensi merupakan salah 


satu cara deteksi adanya rigiditas roda 


gigi (cogwheel) dan dapat dilakukan juga 


pada sendi siku. 

Rigiditas dapat mempengaruhi postur 


pasien, fieksi pada sebagian besar sendi, 


termasuk tulang belakang, dan membentuk postur simian [simian posture], suatu 


postur yang khas pada PP (Gambar 6]. 


Bentuk ekstrim dari gangguan postur 


ini dikenal sebagai camptocormia. Abnormalitas postur dapat mempengaruhi 


ekstremitas bagian distal berupa ekstensi jari-jari dan fleksi dari sendi metakarpofalangeal dan dorsifleksi ibu jari kaki 


[striatal hand atau striatal toe).


Mengangkat salah satu lengan atau 


menggenggam salah satu tangan dapat 


memicu rigiditas semakin jelas pada 


ekstremitas kontralateral (manuver Froment]. Tremor yang terus menerus dapat 


menyulitkan pasien untuk mengalami 


relaksasi dan menyulitkan pemeriksa 


untuk menemukan rigiditas.


3. Akinesia


Akinesia merupakan salah satu gejala 


yang sangat mempengaruhi kualitas 


hidup pasien, sebab  gerakan volunter 


pasien menjadi lambat. Pasien mengalami kesulitan dalam melakukan inisiasi 


gerakan, mempertahankan gerakan, dan 


mengubah berbagai pola gerakan motorik. Pada awal perjalanan penyakit, 


akinesia terjadi unilateral dan seringkali bersifat ringan. Pada tahap lanjut, 


akinesia terfadi pada kedua ekstremitas 


dan bertambah berat. Derajat keparahan 


ini tidak berhubungan dengan derajat 


keparahan tremor dan rigiditas. Akinesia dapat ditemukan pada inspeksi secara umum. Pasien duduk diam dengan 


ekspresi wajah minimal seperti topeng 


[facial amimia atau "masked face"). Gestur, komunikasi, dan gerakan pasien juga 


berkurang, sehingga memicu adanya halangan antara pasien, keluarga, 


dan teman-temannya.


Akinesia dapat dinilai dengan manual


agility test yang seringkali abnormal, 


yaitu tangan pasien yang terkena cenderung melambat dan mengalami penurunan amplitudo gerakan secara progresif [early fatiguing) atau terhentinya 


gerakan atau terputus-putus [freezing]. 


Pemeriksaan ini berupa gerakan seperti 


bermain piano dengan cepat. Pemeriksaan akinesia lain dapat dilakukan dengan 


repetitive tapping antara ibu jari dan jari 


telunjuk, atau hand movement dengan 


membuka dan menutup tangan, serta 


rapid alternating movement dengan pronasi dan supinasi secara bergantian.


Pasien juga memiliki kesulitan untuk 


melakukan dua gerakan dalam waktu 


yang sama. Sebagai contoh, ketika pasien 


hendak menyambut tamu yang datang, 


pasien dapat bangkit dari kursi dan 


berdiri secara perlahan namun ketika 


hendak mengangkat lengan untuk bersalaman, pasien akan jatuh terduduk 


kembali.


ada  pula gangguan dalam menulis, 


huruf menjadi kecil-kecil (mikrografia). 


Pada saat awal menulis bentuknya masih normal, namun semakin lama akan 


semakin mengecil. Pada saat menggambar spiral, pasien akan kehilangan kelancaran, yaitu menggambar secara perlahan dengan ukuran spiral yang menjadi 


kecil disertai tremor, sehingga garis yang 


dibentuk juga tidak mulus.

 

4. In stab ilitas P o stu ral


Pasien dapat mengaiami kesulitan pada 


saat bangkit dari kursi. Posisinya cenderung membungkuk ke depan untuk 


meletakkan pusat gravitasi di atas kaki 


dan seringkali harus dibantu menggunakan lengan. Hal ini dicoba lakukan beberapa kali hingga berhasil berdiri dan 


seringkali terjatuh.


Pada tahap awal, dapat ditemui gangguan cara berjalan berupa berkurangnya ayunan lengan. Tahap selanjutnya 


panjang langkah akan berkurang dan 


kaki tidak dapat diangkat secara normal 


pada saat melangkah, sesuai dengan 


gambaran shuffling g a it Pasien dengan 


penyakit parkinson dapat memodulasi 


frekuensi langkah dan meningkatkan 


irama jalan, namun tetap berjalan lebih 


lambat dibandingkan normal sebab  


langkahnya lebih kecil. Sesekali langkah-langkah pasien juga semakin cepat 


(festination), bahkan dapat berlari tanpa bisa ditahan sampai ada halangan di 


depan pasien. Pasien juga cenderung 


jatuh ke depan (propulsi) maupun ke 


belakang (retropulsi).


Pada awal tahap penyakit, postur bisa 


normal. Seiring perjalanan penyakit, 


postur akan mengaiami perubahan, sehingga leher cenderung mengaiami fleksi 


dan fdfosis di daerah torakal (Gambar 


5). Bahu akan mengaiami aduksi. Siku, 


perge-langan tangan, dan jari akan semifleksi. Sendi panggul dan lutut akan 


tertekuk secara parsial. Berjalan dan 


khususnya berjalan memutar menjadi 


semakin sulit, dengan meningkatnya 


kekhawatiran terhadap jatuh. Insidens


jatuh pada penyakit Parkinson meningkat seiring dengan durasi penyakit Dalam 


jangka waktu 5 tahun, individu dengan 


parkinsonisme mengaiami cedera sebab  


jatuh 1,3 kali lipat dibandingkan dengan 


tanpa parkinsonisme.


M anifestasi N on m o to rik


Gejala nonmotorik jarang dikenali dalam praktik Idinis. Baik klinisi maupun pasien seringkali mengenyampingkan gejala ini dan lebih 


fokus pada gejala motorik yang membawa 


pasien ke dokter. Shulmann dkkmendapat  


bahwa lebih dari 50% gejala depresi, ansietas, 


dan fatig, tidak dikenali oleh neurolog. Padahal sebagian besar pasien penyaldt Parkinson 


memiliki gejala nonmotorik, termasuk lebih 


dari 40% gangguan tidur.


berdasar  studi PRIAMO (PaRkinson


And nonMotor symptoms] yang melibatkan 


1072 pasien dengan memakai  kuesioner, 98,6% pasien memiliki setidaknya 


satu gejala motorik, terutama gejala psikiatrik, sensoris, atau gangguan tidur dan setiap pasien memiliki rerata delapan gejala 


motorik. Studi lainnya yang membandingkan dengan subjek individu sehat menggunakan Nonmotor Symptom Questionnaire, 


diperoleh bahwa pasien PP memiliki gejala nonmotor yang lebih banyak, berupa 


hipersalivasi, mudah lupa, sulit menahan 


berkemih (urinary urgency), hiposmia, dan 


konstipasi.


Gejala nonmotorik memiliki spektrum 


yang luas dan mencakup 4 ranah [domain),


yakni 1) gangguan autonom; 2) gangguan 


tidur; 3) neuropsikiatrik; dan 4) gangguan 


sensoris (Tabel 1). 

Gejala nonmotorik dapat terjadi pada setiap 


tahap dari. perjalanan klinis penyakit Parkinson yang masing-masing memiliki pola 


onset dan progresifitas tertentu. Oleh karena itu dapat ditemukan kecenderungan gejala nonmotorik lebih sering dijumpai pada:


1) tahap  premotor, sebelum munculnya gejala 


motorik; 2) stadium awal penyakit, dan 3) 


stadium lanjut penyakit. Gejala nonmotorik yang sering dijumpai pada tahap  premotor yaitu  rapid eye movement (REM] sleep


behavior disorder [RBD], konstipasi, dan hiposmia.


Pada studi multisenter di Spanyol dan Austria, The Onset o f Nonmotor Symptoms in


Parkinson's Disease (The ONSET PD Study)


diperoleh interval waktu yang berbeda 


dari munculnya gejala nonmotorik hingga 


terjadi gejala motorik penyakit Parkinson, 


yaitu dapat mencapai lebih dari 10 tahun. 


Gejala nonmotorik yang sering dijumpai


pada stadium awal yaitu  disautonomia, 


gangguan tidur, dan gangguan sensoris, sedangkan psikosis dan demensia umumnya 


pada stadium lanjut. Depresi memiliki kurva 


bimodal, yakni ada  dua onset tersering pada stadium awal dan stadium lanjut, 


dengan periode normal di antaranya.


Selain onset, perjalanan natural gejala nonmotorik ini juga bervariasi dapat progresif 


atau stabil akibat multifaktor, tidak semata 


oleh durasi dan tingkat keparahan penyakit. 


Sebagian besar gejala nonmotorik pada tahap awal dikaitkan dengan proses intrinsik 


patogenesis penyakit yang kompleks yang 


tidak hanya melibatkan jaras striatonigral 


dan neurotransmiter dopaminergik, namun 


juga jalur ekstranigral dan berbagai neuron 


non-dopaminergik. Hal ini sesuai dengan 


hipotesis Braak yang mengusung konsep 


kaudo-rostral asending (Tabel 2} 

Selain akibat proses patogenesis intrinsik, 


beberapa gejala nonmotorik juga dikaitkan 


dengan obat. Obat-obat yang sering dipakai di awal penyakit, seperti antikolinergik 


dan amantadin, inhibitor monoamin oksidase, 


dopamin agonis, dan levodopa dapat menyebabkan efek samping atau meningkatkan 


potensi gejala nonmotorik pada PP. Contohnya 


gejala hipotensi ortostatik, halusinasi, excessive daytime sleepiness (EDS) atau insomnia 


akibat agen dopaminergik dan gangguan 


memori pada pemakaian  antikolinergik 


Oleh sebab  itu, perubahan modalitas terapi 


dapat mengurangi gejala nonmotorik ini .


diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


ada  beberapa kriteria diagnosa  yang 


dapat dipakai , di antaranya sesuai dengan United Kingdom Parkinson's Disease


Society Brain Bank (la b el 3). Penilaian yang 


juga sebaiknya dilakukan yaitu  stadium 


penyakit berdasar  klasifikasi modified


Hoehn and Yahr (Tabel 4).


Penyakit parkinson didiagnosa  berdasarkan kriteria klinis. Tidak didapatkan 


pemeriksaan yang bersifat definitif untuk 


menegakkan diagnosa , kecuali konfirmasi 


histopatologis adanya badan Lewy pada 


autopsi. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membedakan dengan kelainan 


degeneratif lain, terutama parkinsonisme 


sekunder atau atipikal.


1. M agnetic Resonance Im aging (MRI) 


Untuk menyingkirkan diagnosa  banding 


lain, seperti parkinsonisme vaskular, Penyakit Wilson, dan sindrom parkinsonisme atipikal.


2. Positron Emission Tom ography (PET) 


dan Single-Photon Emission Computed


Tom ography (SPECT)


PET dan SPECT dapat membantu proses visualisasi bagian pre dan pascasinaps dari proyeksi nigrostriatal serta 


mendapat  gambaran semikuantitatif 


jaras-jaras ini . Hal ini dipakai  


untuk membedakan PP dengan sindrom 


parkinsonisme atipikal lain atau tremor 


esensial. Defisit dopaminergik dapat 


diidentifikasi melalui dopamine transporter single-photon emission computed


tomography/DaT-SPECT (DaTSCAN®) 


memakai  [1231]-FP-CIT yang mengukur penghantar dopamin presinaps di 


sinaps dopaminergik striatum.


3. Ultrasonografi Transkranial


Untuk mengkonfirmasi gambaran hiperekoik di substantia nigra pada hampir dua pertiga pasien PP dan dapat 


terdeteksi pada tahap awal penyakit. Namun hasil ini  juga dapat ditemukan 


pada 10% dari orang normal, sehingga 


pemeriksaan ini hanya bersifat suportif 


dalam penegakan diagnosa .


pengobatan 


Tata Laksana Gejala Motorik


1. Stadium Awal


a. Edukasi


Merupakan hal penting yang harus 


dilakukan oleh klinisi sesudah  diagnosis PP ditegakkan kepada pasien 


dan/atau pengasuh (caregiver)-nya 


mengenai perjalanan klinis penyakit, tata laksana, dan perubahan gaya 


hidup. 

b. Nonfarmakologi


Latihan regular sangat penting untuk 


meningkatkan mobilitas dengan memperbaiki pola berjalan {gait) dan meminimalisir risiko jatuh, meringankan ketidaknyamanan muskuloskeletal, mencegah 


sendi kaku, dan mengurangi kecenderungan terjadi-nya kontraktur atau deformitas. 


Keluar-an dari latihan ini dapat memperbaiki kemandirian melalui skor activity


daily living (ADL) dan motorik UPDRS 


secara signifikan. Selain itu, terapi wicara 


serta latihan menelan iuga sangat bermanfaat untuk pasien.


c. Farmakologi


1} Neuroprotektor


Terapi simtomatik pada umumnya 


efektif pada stadium awal penyakit, 


Namun dengan berjalannya waktu, 


sebagian besar pasien akan mengalami 


penyulit yang beragam dan disabilitas 


yang berkelanjutan akibat progresifltas 


penyakit Oleh sebab  itu, perlu pemberian terapi untuk memperlambat atau 


menghentikan progresifitas penyakit


Hingga saat ini belum ada agen farmakologis yang terbukti efektif untuk 


memodifikasi penyakit, sebab  belum 


ada mekanisme yang dapat menjelaskan etiopatogenesisnya dengan tepat. 


Berbagai upaya terapi telah dikembangkan berdasar  stres oksidatif, 


disfungsi mitokondria, perubahan degradasi protein, inflamasi, eksitotoksitas, dan apoptosis. Demikian pula 


hasil studi hewan percobaan maupun 


uji klinis kurang memuaskan, yakni 


analog FK-506 sebagai imunosupresan selektif meningkatkan regenerasi


neuron yang rusak, CEP-1347 (atau 


KT7515) sebagai antiinflamasi dan 


antiapoptotik, TCH346 (atau CGP3466 


atau CGP3466B] sebagai antiapoptotik, dan riluzol sebagai inhibitor eksitotoksisitas glutamanergik.


Beberapa agen farmakologis yang 


dipakai  untuk pengobatan penyakit Parkinson, juga memiliki properti 


yang berpotensi sebagai neuroprotektor, namun hasilnya pun masih 


belum memuaskan. Adapun agen farmakologis yang dimaksud antara lain:


a) Inhibitor MAO-B seperti selegilin dan 


rasagilin


Kedua agen ini memiliki cincin propargil yang memiliki efek antiapoptotik. 


Studi DATATOP (selegilin) dan ADAGIO (rasagilin) meragukan keluaran 


balk dari terapi ini  semata-mata 


sebab  efek neuroprotektif.


b) Agonis dopamin seperti pramipeksol 


Stimulasi pada reseptor dopaminergik 


presinaps memicu penurunan 


distribusi dopamin endogen dan mengurangi turnover dopamin pada neuron dopaminergik. Hal ini menjadi 


perdebatan mengenai potensi neuroprotektif atau kemampuan memodifikasi penyakit dari agonis dopamin.


c) Vitamin D dan koenzim Q10 juga menjadi kandidat agen neuroprotektif, namun studinya masih kurang memadai.


2) Simtomatik


Terapi farmakologis yang ada saat ini 


masih bersifat simtomatik untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Oleh 


sebab  bertujuan simtomatik, pada 

umumnya klinisi berupaya mengurangi 


gejala dengan dosis terkecil yang paling 


efektif untuk menghindari efek yang tidak diinginkan. Dengan demikian terapi 


bersifat individual disesuaikan dengan 


kebutuhan masing-masing pasien,


ada  berbagai pendekatan untuk 


menetapkan kapan waktu yang tepat 


untuk mulai terapi simtomatik. Sebagian 


besar studi merekomendasikan untuk 


menginisiasi terapi simtomatik secara 


dini sesudah  diagnosa  ditegakkan. Namun 


sebagian lagi, menunda pemberian terapi 


dengan pertimbangan efek samping atau 


komplikasi yang akan dihadapi pasien.


Hingga saat ini, agen yang dapat 


meningkatkan konsentrasi dopamin atau 


menstimulasi reseptor dopamin, yakni 


levodopa dan agonis dopamin masih 


menjadi terapi utama untuk gejala motorik 


pada penyakit Parkinson. Namun keduanya 


memilild kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berbagai agen yang sering 


dipakai  sebagai terapi simtomatik dapat 


dilihat pada Tabel 5, dengan mekanisme 


kerja pada Gambar 7.


Levodopa meskipun merupakan agen 


farmakologis yang paling efektif dan 


menjadi balm emas pada studi agen farmakologis baru, namun memiliki resiko 


tinggi terjadinya komplikasi motorik. 


Dosis harian lebih dari 400mg/hari, durasi lebih dari 5 tahun, serta usia muda 


berisiko komplikasi motorik yang 


lebih tinggi. Sementara, agonis efektifitas dopamin masih lebih inferior dibandingkan levodopa serta memiliki efek 


samping yang cukup banyak dan lebih 


berat dibandingkan levodopa, seperti 


gangguan kognitif, halusinasi, hipotensi 


ortostatik dan gangguan kontrol impuls.


Meskipun demikian, risiko terjadinya 


komplikasi motorik lebih rendah dibandingkan levodopa. Oleh sebab  itu pada 


pasien usia lanjut dengan gejala yang 


lebih berat, memiliki gangguan kognitif, 


gangguan kontrol impuls, serta riwayat 


gangguan psikiatri, levodopa menjadi 


pilihan utama. Sebaliknya, pada pasien 


usia muda, diberikan agonis dopamin 


atau inhbitor MAO-B, dan menunda 


pemberian levodopa hingga agen tersebut tidak lagi memberikan kontrol yang 


memuaskan.


Pertimbangan gejala motorik yang dominan juga mempengaruhi pemilihan terapi. Pada pasien yang memiliki gejala 


tremor dominan, antikolinergik seperti 


triheksifenidil dapat dijadikan alternatif. 


Ada hal yang perlu mendapat perhatian 


tentang antikolinergik, yaitu 1} belum 


jelas superioritas antikolinergik dibandingkan dopaminergik untuk mengatasi 


tremor; 2) mekanisme yang mendasari 


antikolinergik juga belum dapat dipahami 


sepenuhnya, namun diperkirakan deplesi 


dopamin memicu hiperpeka itas 


kolinergik, sehingga perlu antikolinergik; 


serta 3) efek samping yang ditimbulkan 


akan memperberat disabilitas, diantaranya gangguan kognitif, konstipasi, retensi 


urin, dan gangguan prostat. 

Sebagai alternatif, pada gejala tremor dominan, dapat diberikan klozapin. Namun sebaiknya pemberian klozapin ditunda untuk masalah  yang berat dan resisten dengan 


terapi lainnya, oleh sebab  menimbulkan 


efek samping seperti agranulositosis dan 


leukopeni. Algoritma penatalaksanaan PP 


berdasar  Konsensus Kelompok Studi 


Movement Disorder Perdossi tahun 2013 


tercantum pada Gambar 8.


ada  beberapa poin rekomendasi praktis 


berdasar  telaah kritis sejumiah studi, yaitu:


a. Levodopa lebih superior dibandingkan 


agonis dopamin dan agen farmakologis 


lain dalam semua uji perbandingan yang 


mengevaluasi perbaikan gejala parkinsonisme motorik. Namun, levodopa memiliki insidens fluktuasi motorik dan 


diskinesia yang lebih tinggi.


b. Agonis dopamin lebih jarang menyebabkan fluktuasi motorik dan diskinesia, 


namun lebih sering menimbulkan efek 


samping.


c. Inhibitor MAO-B kemungkinan efektif 


pada stadium awal tanpa efek samping 


yang signifikan.


d. berdasar  studi STalevo Reduction in


Dyskinesia Evaluation in Parkinson Disease (STRIDE-PD], penambahan inhibitor 


COMT pada levodopa di stadium awal tidak menunda onset ataupun menurunkan frekuensi diskinesia.


e. Pada tahun 2015, Movement Disorder


Society (MDS) melakukan rekomendasi 


pemakaian  agen farmakologis pada PP 


(Tabel 6).


2. Stadium Lanjut