Tampilkan postingan dengan label neurologi 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 9. Tampilkan semua postingan

neurologi 9

 











apogren, miastenia gravis, hipertiroid 


autoimun, dan lain-lain. Hal ini sangat jarang 


ditemukan pada MS. 

TATA LAKSANA


Prinsip tata laksana dibagi menjadi terapi 


pada eksaserbasi akut dan terapi untuk 


menurunkan risiko relaps. Terapi yang saat 


ini banyak dipakai  ialah pemberian agen 


imunosupresan, imunomodulator, dan plasmaferesis.


Terapi pada Eksaserbasi Akut 


Prinsip tata laksana pada tahap  akut yaitu  


untuk menghentikan kaskade inflamasi dan 


meminimalkan disabilitas neurologi. Pilihan utama pada tahap  ini yaitu  pemberian 


metilprednisolon intravena serta plasmaferesis (Tabel 2). Keduanya diberikan dengan 


tujuan untuk mengurangi jumlah IgG-AQP4 


yang terbentuk. Metilprednisolon dan plasmaferesis dianggap memiliki efek antiinflamasi, mengurangi sel inflamasi yang bersirkulasi dan juga menekan ekspresi sitokin 


proinflamasi. Awalnya metiprednisolon diberikan dengan dosis lgram secara intravena selama 3-5 hari, dan bila gejala tidak 


membaik, dilanjutkan dengan plasmaferesis 


berselang hari selama 5 kali. Semakin cepat 


terapi diberikan, prognosis akan lebih baik.


Terapi Pencegahan Relays


Tingginya angka relaps pada NMO menyebabkan perlunya pemberian terapi rumatan 


untuk pencegahan (Tabel 3}. Terapi imunosupresan tetap menjadi pilihan utama pada 


tahap ini. Efek samping jangka pendek dan 


jangka panjang seperti risiko infeksi, keganasan, perlu menjadi pertimbangan pilihan 


obat yang akan diberikan. 

Terapi target (targeted therapy} yang saat 


ini sedang dikembangkan ialah pemberian 


inhibitor komplemen antibodi monoklonal 


[eculizumab] dan antibodi monoklonal 


dengan afinitas tinggi ke AQP4 [aquaporumab). Sifatnya yang sangat selektif menjadi keunggulan sebab  toksisitas obatdapat 


diminimalkan. Terapi ini masih dalam tahap 


penelitian dan diharapkan dapat mengurangi progresivitas penyakit, terutama pada 


tahap  akut, namun dapat juga sebagai terapi 


rumatan untuk mencegah relaps. 












VERTIGO VESTIBULAR SENTRAL



Keseimbangan yaitu  kemampuan untuk 


mempertahankan orientasi tubuh dengan 


lingkungan sekitarnya. Keseimbangan pada 


manusia diatur oleh input yang bersifat kontinu dari sistem vestibular, propioseptif, dan 


visual. Impuls dari ketiga sistem ini akan 


mengalami proses integrasi dan modulasi di 


batang otak, serebelum, dan serebral. Lesi 


atau disfungsi dari sistem yang berperan pada 


sistem keseimbangan ini akan menimbulkan 


gangguan keseimbangan atau dizziness. Gangguan keseimbangan dibagi dalam 4 kelompok, 


yaitu vertigo vestibular, vertigo nonvestibular, 


presinkop, dan disekuilibrium.


Vertigo yaitu  ilusi ketika seseorang merasa 


dirinya bergerak (berputar) terhadap sekitarnya atau lingkungan yang bergerak terhadap dirinya. Pembahasan pada bagian ini 


yaitu  mengenai vertigo sentral, didefinisikan sebagai vertigo yang disebabkan oleh lesi 


pada jaras vestibular mulai dari nukleus vestibularis di batang otak sampai area proyeksinya di korteks temporoparietal.


EPIDEMIOLOGI


berdasar  penelitian Brandt dkk yang 


dilakukan secara multiregional, prevalensi 


masalah  sindrom vertigo terbanyak yaitu  benign paroxysmal positioning vertigo (BPPV) 


yang termasuk dalam kelompok vertigo perifer (Tabel 1], sementara vertigo vestibular 


sentral menempati urutan ketiga (12,2%).


Vertigo merupakan gejala dengan etiologi 


yang beragam, seperti sehingga seorang 


dokter harus mencari etiologi berdasar  


anamesis dan pemeriksaan klinis yang teliti, 


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sesuai dengan etiologi yang dicurigai.  

PATOFISIOLOGI


berdasar  lokasi lesi, maka vertigo dibedakan menjadi 2, yaitu:


1. Vertigo perifer, dengan iokasi lesi pada 


telinga dalam dan nervus vestibularis.


2. Vertigo sentral, dengan lokasi lesi pada 


batang otak, serebelum, dan serebrum.


Jaras yang berperan pada refleks vestibulookular [vestibuloocular reflex/VOR) memegang peranan sangat penting pada vertigo sentral [Gambar 1). Jaras ini dimulai dari 


labirin, kemudian menuju ke nuldeus vestibularis, nukleus N III, IV, VI, pusat integrasi


di pons dan mesensefalon [nukleus interstitial Cajal dan rostral interstitial medial longitudinal fasciculus/riMLF), serta serebelum.


Pusat integrasi di pons dan serebelum berperan pada gerakan mata horizontal, sedangkan pusat integrasi di mesensefalon berperan pada gerakan mata vertikal. Impuls 


dari batang otak akan diteruskan melalui 


dua jaras, yakni jaras asendens dan jaras 


desendens. Jaras asendens ialah jaras yang 


menuju korteks parieto-temporal melalui 


talamus posterolateral, sedangkan jaras 


desendens menuju ke medula spinalis melalui traktus vestibulospinal lateral dan me 

dial. Sebagai tambahan, jaras desendens ini 


mengatur postur tubuh. Lesi pada jaras-jaras 


ini  akan memicu vertigo sentral. 


Oleh sebab  itu, pemeriksaan VOR memegang peranan penting untuk membedakan 


lesi sentral dan perifer.


GEJALA DAN TANDA KLINIS


Dalam menegakkan diagnosa  vertigo maka 


harus dibedakan secara klinis antara vertigo sentral dan perifer (Tabel 2], Vertigo 


merupakan gejala subyektif yang dikeluhkan oleh pasien, sedangkan gejala obyektif 


yang dapat ditemukan yaitu  nistagmus, sehingga pada masalah  vertigo maka pemeriksaan 


nistagmus memegang peranan penting pula 


untuk menentukan lokasi lesi. Pada vertigo 


sentral, nistagmus yang dapat ditemukan 


yaitu  nistagmus bidireksional, vertikal, 


dan rotatoar. Nistagmus sentral dapat berupa downbeat atau upbeat nystagmus. Pada tahap  akut vertigo dimana gambaran 


defisit neurologi tidak ditemukan maka dianjurkan untuk melakukan tiga pemeriksaan 


yang disebut HINTS, yaitu:


1. Head impulse test


2. Nistagmus


3. Test o f skew


Pada vertigo sentral maka akan didapatkan head impulse test negatif (tidak ada 


sakadik), ada  nistagmus bidireksional, dan test o f skew positif.


diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


Etiologi tersering dari vertigo sentral yaitu  


stroke (infark dan hemoragik], tumor, multipel sklerosis, migren vestibular, dan penyakit degeneratif. Oleh sebab  itu, diperlukan pemeriksaan pencitraan sesuai dengan 


kecurigaan etiologi. diagnosa  banding vertigo sentral juga dapat dinilai berdasar  


lamanya keluhan vertigo (Tabel 3).


TATA LAKSANA


Pada prinsipnya, tata laksana vertigo vestibular sentral dibagi menjadi:


1. Terapi kausal: sesuai dengan etiologi


2. Terapi simtomatik: betahistin, flunarizin, cinarizin


3. Vestibular rehabilitation therapy (VRT}: 


cawthorne cooksey exercises


Terapi medikamentosa yang dapat dilakukan 


pada nistagmus sentral ialah:


1. Upbeat nystagmus


a. Baklofen: 5-10mg, 3 kali sehari


b. 4-aminopiridin lOmg, 3 kali sehari


2. Downbeat nystagmus


a. 4-aminopiridin lOmg, 3 kali sehari


b. 3,4-diaminopiridin 10-20mg, 3 kali sehari


c. Baklofen 5-10mg, 3 kali sehari


d. Klonazepam 0,5mg, 3 kali sehari


e. Gabapentin 300mg, 3 kali sehari 







VERTIGO VESTIBULAR PERIFER



Vertigo merupakan keluhan neurologis 


terbanyak kedua sesudah  nyeri kepala yang 


membawa pasien datang ke fasilitas kesehatan. Vertigo merupakan bagian dari gangguan keseimbangan (dizziness) bersama 


dengan presinkop dan disekuilibrium. Vertigo dapat disebabkan oleh proses fisiologis 


(misalnya vertigo saat berada di “komidi 


putar”, mabuk perjalanan, adanya gangguan 


visual) atau oleh sebab  lesi patologis (misalnya lesi pada labirin atau nukleus nervus 


vestibularis). Keduanya akan menghasilkan


gejala dan tanda yang hampir serupa meskipun memiliki dasar patomekanisme yang 


berbeda.


EPIDEMIOLOGI


Adanya perbedaan definisi dan konsep 


dari vertigo memicu adanya variasi 


frekuensi etiologi vertigo. Studi yang meneliti mengenai gejala vertigo pada 14.790 


subyek mendapat  benign paroxysmal


positional vertigo (BPPV) sebagai etiologi 


terbanyak (Gambar 1). 

Pada penelitian retrospektif yang lain, dari 


4000 kunjungan ke unit gawat darurat neurologi didapatkan dizziness (12%) merupakan keluhan ketiga terbanyak sesudah  nyeri 


kepala (21%), dan stroke [13%). Pada masalah  


kegawatdaruratan neurologi, kemampuan 


untuk dapat mendiagnosa  vertigo sentral 


dan perifer menjadi penting sebab  berkaitan dengan tata laksana dan prognosis.


PATOFISIOLOGI


Sistem vestibular secara umum dibagi menjadi komponen perifer dan sentral. Komponen 


perifer terdiri dari kanalis semisirkularis (posterior, horizontal, anterior) dan organ otolit 


(sakulus dan utrikulus) bilateral (Gambar 


2). Kanalis semisirkularis mendeteksi gerakan berputar, sedangkan utrikulus dan


sakulus berespons terhadap akselerasi linear 


dan gravitasi. Organ vestibular berada dalam 


aktivitas tonik simetris, bila tereksitasi akan 


menstimulasi sistem vestibular sentral.


Pada keadaan normal, sistem saraf pusat 


memberikan respons terhadap setiap perbedaan aktivitas dari kedua kompleks nukleus vestibular. Dalam keadaan statis (tidak 


ada pergerakan kepala), aktivitas neural 


pada kedua nukleus vestibular simetris 


(Gambar 3A). Bila kepala digerakkan, terjadi aktivitas asimetris pada nukleus vestibular, yang diinterpretasikan oleh sistem 


saraf pusat sebagai gerakan kepala. Adanya 


proses patologis juga akan diinterpretasikan sebagai aktivitas asimetris oleh sistem 


saraf pusat (Gambar 3B) 

Benign Paroxysm al P osition al Vertigo


BPPV terjadi saat otokonia, suatu kalsium 


karbonat yang terbentuk di makula utrikulus, terlepas dan masuk ke dalam kanaiis 


semisirkularis. Hal ini memicu sensasi berputar ketika terjadi perubahan posisi kepala. Lokasi tersering BPPV ialah pada 


kanaiis semisirkularis posterior, yaitu kanal 


yang paling dipengaruhi oleh perbedaan


gravitasi. Lepasnya otokonia juga cukup 


sering terjadi pada kanaiis semisirkularis 


horizontal, namun keluhan umumnya akan 


spontan membaik dibandingkan dengan kanaiis semisirkularis posterior. BPPV jarang 


terjadi pada kanaiis semisirkularis anterior, 


dapat disebabkan sebab  posisi kanal yang 


paling atas, sehingga otokonia jarang masuk 


ke dalamnya. 

Neuritis Vestibular


Neuritis vestibular merupakan kondisi inflamasi pada nervus vestibularis yang kemungkinan disebabkan oleh virus. Biasanya diawali 


gejala prodromal infeksi menyerupai viral-like


illness. Riwayat infeksi saluran napas ditemukan sebanyak 23-100% mendahului gejala 


neuritis vestibular.


Gambaran klinis neuritis vestibular merupakan gejala keterlibatan nervus vestibularis cabang superior, yaitu kanalis semisirkularis horizontal, anterior, serta utrikulus. 


Hal ini disebabkan oleh sebab  cabang superior dari nervus vestibularis melewati 


celah yang lebih panjang dan sempit pada os 


petrosum dibandingkan cabang inferior, sehingga lebih rentan mengalami edema dan 


kompresi. Bila disertai dengan gangguan 


pendengaran telinga, lesi telinga dalam seperti labirintitis, infark labirin, dan fistula 


perilimfe harus dipertimbangkan.


Penyakit Meniere


Penyakit Meniere merupakan penyakit multifaktorial yang memicu kelainan di


telinga dalam dan bermanifestasi sebagai sindrom vertigo episodik disertai dengan gangguan pendengaran yang fluktuatif. ada  


beberapa pendapat mengenai patofisiologi 


penyakit Meniere, namun yang paling banyak 


dikenal ialah teori hidrops endolimfatik.


Cairan endolimfatik diproduksi di koldea 


dan kanalis semisirkular, dan diabsorbsi di 


kantong endolimfatik (endolymphatic sac).


Terjadinya hidrops endolimfatik diperkirakan 


akibat peningkatan volume endolimfe atau 


gangguan mekanisme absorpsi (Gambar 4). 


Salah satu pencetus gangguan ini ialah infeksi 


atau inflamasi pada kantung endolimfatik, sehingga memicu gangguan absorbsi cairan endolimfatik. Hipotesis lain menyebutkan 


adanya korelasi dengan kondisi metabolik, 


hormon, alergi, genetik, atau stres. Hingga saat 


ini belum ditemukan etiologi pasti terjadinya 


hidrops endolimfatik pada penyakit Meniere. 


Teori ini masih dalam perdebatan, sebab  tidak semua pasien dengan gejala penyakit Meniere memilki hidrops, dan pada studi autopsi 


didapatkan bahwa individu dengan hidrops 


tidak semua simtomatik. 

GEJALA DAN TANDA KLINIS


Benign Paroxysm al P osition al Vertigo


Kanalis Semisirkularis Posterior


Gejala utama BPPV meliputi pusing berputar 


(vertigo vestibular/rotatoar) berdurasi singkat (beberapa detik), intensitas berat, dan disertai mual dan muntah. Keluhan ini seringkali 


terjadi pada pagi hari, dipicu oleh perubahan


posisi kepala relatif terhadap gravitasi, seperti berbaring, bangun dari tidur, berguling, 


membungkuk, dan posisi kepala menengadah 


dalam waktu yang cukup lama. Gejala Minis 


BPPV umumnya sangat khas, sehingga seringkali diagnosa  dapat ditegakkan melalui anamnesis, bahkan sekaligus dapat mengidentifikasi sisi telinga yang terkena.

 

Respons positif pada manuver Dix-Hallpike 


(Gambar 5) merupakan standar penegakan 


diagnosa  klinis BPPV dengan cara sebagai 


berikut:


1. Pasien duduk di atas tempat tidur


2. Kepala dirotasikan 45° ke satu sisi


3. Secara cepat baringkan pasien dengan kepala menggantung pada tepi tempat tidur 


dengan sudut 20° di bawah garis horizontal


4. Perhatikan adanya nistagmus


Pada pemeriksaan Dix-Hallpike, saat terjadi 


pergerakan otokonia pada kanalis semisirkularis posterior (kanalolitiasis), endolimfe bergerak menjauhi kupula dan merangsang kanal posterior. Hal ini menimbulkan 


upward-beating nystagmus dan nistagmus 


torsional. Nistagmus timbul sesudah  periode 


latensi (2-5 detik] dan menghilang dalam 1 


menit (biasanya 30 detik}. Dengan pengulangan manuver, nistagmus akan berkurang 


[fatig]. Bila otokonia melekat pada kupula 


(kupulolitiasis), cetusan nistagmus serupa 


seperti nistagmus pada kanalolitiasis tapi 


memiliki durasi yang lebih panjang.


Benign Paroxysm al P osition al Vertigo


Kanalis Semisirkularis Horizontal


diagnosa  BPPV pada kanalis semisirkularis 


horizontal dilakukan dengan head-roll test


atau log-roll test, di mana pasien berbaring, kepala diputar 90° ke arah kiri kemudian kanan. 


Nistagmus horizontal akan timbul saat kepala 


diputar ke kedua arah. Bila nistagmus menuju 


ke bawah disebut nistagmus geotropik, bila 


menuju ke atas disebut nistagmus ageotropik. 


Hal ini akan mempengaruhi pilihan terapi reposisi kanal yang sesuai.


Neuritis Vestibular dan Labirintitis


Pasien dengan neuritis vestibular umumnya 


mengeluh vertigo yang timbul mendadak, 


berlangsung beberapa hari, disertai gejala 


otonom, tanpa gejala koklear (gangguan 


pendengaran]. Keluhan vertigo akan membaik secara bertahap dalam hitungan hari 


hingga minggu, walaupun demikian gangguan keseimbangan dapat bertahan selama 


beberapa bulan sesudah  gejala akut vertigo 


menghilang. Gejala klinis neuritis vestibular 


akut meliputi (Gambar 6]:


® Vertigo vestibular (rotatoar} persisten 


dengan osilopsia


© Nistagmus horizontal spontan, makin 


nyata saat melirik ke sisi telinga yang 


sehat


© Gangguan gait dan kecenderungan 


jatuh ke sisi telinga yang sakit


© Mual dan muntah


© Adanya gangguan fungsi kanalis semisirkularis horizontal dapat dilakukan 


dengan head-impulse test


Labirintitis merupaltan proses inflamasi yang 


melibatkan organ vestibular dan koldea, dapat 


terjadi unilateral atau bilateral. Berbeda dengan neuritis vestibular dimana pada labirintitis didapatkan adanya gangguan pendengaran. 


Serupa dengan neuritis vestibular, penyakit ini 


juga didahului dengan proses infelcsi virus, namun dapat juga disebabkan oleh bakteri,


Penyakit Meniere


Penyakit Meniere ditandai dengan trias 


gejala, yaitu vertigo, tinitus, dan gangguan 


pendengaran. Adanya keluhan serangan 


berulang dari vertigo vestibular perifer 


disertai dengan gejala aural/koklea (penu-

 

runan pendengaran, tinitus, atau rasa 


penuh) merupakan dasar penegakan diagnosis klinis penyakit Meniere. Pada awalnya, keluhan ini dapat sembuh sendiri 


0self-limiting symptoms). Bentuk atipikal 


penyakit Meniere yang lain dapat berupa 


serangan berulang dari gangguan pendengaran fluktuatif (hidrops koklea] atau 


vertigo (hidrops vestibular).


Gejala klinis penyakit Meniere dibagi ke 


dalam dua tahap, yaitu: (1) tahap fluktuasi, 


yaitu gangguan pendengaran masih mengalami perbaikan sesudah  serangan, lalu diikuti 


dengan (2) tahap neural, yakni gangguan 


pendengaran bersifat menetap dan makin 


memberat Pasien pada tahap fluktuasi umumnya masih berespons dengan obat-obatan medikamentosa, sedangkan pada tahap neural 


membutuhkan terapi yang lebih invasif.

 

diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


Dalam pendekatan diagnosa  vertigo vestibular, sangat penting untulc menentukan 


apakah vertigo berasal dari gangguan organ 


vestibular perifer atau sentral. Anamnesis 


merupakan kunci utama untuk membedakan keduanya. Pokok-pokok yang perlu 


digali meliputi onset dan durasi vertigo, 


faktor pencetus atau memperberat, dan gejala lain yang menyertai, khususnya defisit 


neurologis dan gangguan pendengaran. Hal 


ini tercantum pada Tabel 1.


diagnosa  banding pada penyakit Meniere 


di antaranya ialah migren basilar. Adanya 


gangguan vaskular kanalis auditorik internal yang terjadi pada migren basilar dapat 


menimbulkan gejala mirip dengan penyakit 


Meniere. diagnosa  banding lain ialah labirintitis dan penyakit autoimun lain yang 


menyerang telinga dalam.


diagnosa  penyakit Meniere ditegakkan berdasarkan anamnesis gejala khas penyakit Meniere dan adanya defisit neurologis melalui


pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang 


pada tahap awal gejala dan di luar serangan 


umumnya akan memberikan hasil yang normal. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:


® Pemeriksaan audiometri, pada penyakit Meniere biasanya akan di-temukan 


adanya tuli sensorineural nada rendah


• Elektrokokleografi


® Brainstem auditory evoked potentials


(BAEP)


TATA LAKSANA


Tata laksana pada vertigo meliputi terapi 


kausal, terapi simtomatik, dan terapi rehabilitatif. Khusus untuk penyakit Meniere, ada  


beberapa rekomendasi tata laksana pada saat 


serangan, tata laksana pencegahan, hingga 


terapi pembedahan. Sebelum memulai terapi, pasien perlu mendapat penjelasan bahwa 


prognosis vertigo vestibular perifer pada umumnya baik dan dapat sembuh spontan, 


melalui perbaikan fungsi vestibular perifer 


sebab adanya kompensasi sentral. 

Tata laksana Medikamentosa


Pemberian obat-obatan simtomatik untuk mengobat gejala dizziness, mual, dan 


muntah pada vertigo meliputi golongan 


antikolinergik, antihistamin, dan benzodiazepin (Tabel 2).


Obat-obatan antivertigo hanya diindikasikan untuk:


e Gejala vertigo vestibular perifer atau 


sentral akut (maksimal 3 hari)


o Profilaksis mual dan muntah dalam tindakan liberatory maneuver pada BPPV


® Profilaksis mabuk perjalanan 


• Sebagai terapi pada vertigo posisional 


sentral dengan mual


Obat-obatan ini  tidak direkomendasikan untuk pemberian jangka panjang sebab  


akan mengganggu mekanisme kompensasi 


sentral pada gangguan vestibular perifer, 


bahkan dapat memicu adiksi obat 

berdasar  studi, betahistin dapat menurunkan frekuensi dan keparahan serangan 


pada penyakit Meniere. Dosis awal yang dapat 


dipakai  ialah 16mg, 3 kali sehari, dititrasi 


bertahap hingga dosis 72-144mg/hari.


Diuretik juga dapat ditambahkan sebagai 


tata laksana Meniere, dengan hipotesis untuk mengurangi hidrops endolimfatik. Steroid, baik per oral atau intratimpani juga dikatakan dapat mengendalikan gejala vertigo 


pada penyakit Meniere.


Modalitas farmakologik terakhir yang dapat 


dikerjakan ialah ablasi telinga dalam dengan aminoglikosida intratimpani. Pengobatan ini dikerjakan dengan tujuan untuk 


menciptakan kerusakan permanen pada 


organ vestibular sehingga dapat mengakhiri 


serangan pada penyakit Meniere. Streptomisin merupakan obat pilihan sebab  sifat 


ototoksik yang dimiliki. Studi menunjukkan 


pascapemberian terapi ini, sebanyak 71% 


pasien mengalami bebas serangan. Namun 


efek samping berupa gangguan pendengaran memberat dan gangguan keseimbangan 


akibat hilangnya kompensasi fungsi vestibular unilateral yang dapat muncul pascapengobatan ini masih menjadi perdebatan.


T ata L ak san a N on m ed ik am en to sa


1. Terapi reposisi kanalit


Manuver Epley merupakan tindakan yang 


efektif untuk pasien dengan BPPV kanalis 


semisirkularis posterior. Keberhasilan terapi 


ini dilaporkan 80% pada satu kali terapi, dan 


92% pada pengulangan. Cochrane systematic


review menyebutkan bahwa manuver Epley 


aman untuk dikerjakan dan memperbaiki 


gejala hingga memicu konversi manuver Dix-Hallpike dari positif ke negatif.


Manuver Epley dilakukan untuk mengembalikan otokonia dari kanalis semisirkularis 


posterior kembali ke utrikulus untuk kemudian akan diresorpsi kembali. Setiap posisi 


dipertahankan selama minimal 30 detik.


Langkah-langkahnya yaitu  sbeagai berikut 


(Gambar 7]:


1. Manuver Dix-Hallpike


2. Bila positif, pertahankan 30 detik


3. Putar kepala 90 derajat ke arah berlawanan, pertahankan 30 detik


4. Putar kepala 90 derajat ke arah bawah 


(wajah menghadap ke lantai), pertahankan 30 detik


5. Pasien kembali ke posisi duduk


Manuver Semont juga dapat dipakai  sebagai terapi reposisi kanalit pada BPPV 


kanal sirkular posterior. Manuver ini dikerjakan dengan cara (Gambar 8}:


1. Pasien duduk di tepi tempat tidur.


2. Memutar kepala pasien sebanyak 45° 


kesisi telinga yang sehat.


3. Tubuh pasien diputar 90° ke sisi telinga 


yang sakit, tetap berbaring selama 1 


menit.


4. Secara cepat diikuti posisi tubuh 180° 


ke sisi telinga yang sehat, dan tetap berbaring selama 1 menit


Manuver ini memiliki kelebihan dapat dikerjakan pada pasien yang lehernya sulit diekstensikan.


Pada saat melakukan terapi reposisi kanalit, pasien perlu mendapatpenjelasan bahwa 


tindakan ini dapat disertai dengan munculnya keluhan mual, muntah, dan vertigo. Pasien juga dapat mengeluhkan gangguan 


keseimbangan serta dizziness yang dipengaruhi posisi kepala selama beberapa hari 


sesudah  manuver dilakukan. Komplikasi lain 


dari manuver ini yaitu  konversi BPPV dari 


kanalis semisirkularis posterior ke kanal 


horizontal Hal ini dapat di tata laksana dengan manuver BPPV kanalis semisirkularis 


horizontal seperti dijelaskan di bawah ini.


2. Terapi reposisikanalitpada BPPV kanalis 


semisirkularis horizontal 


Manuver yang dapat dilakukan pada masalah  BPPV pada kanalis semisirkularis 


horizontal dengan nistagmus geotropik 


yaitu  rotasi barbecue (manuver Lempert]. Manuver ini dikerjakan dengan 


rotasi kepala 90 derajat ke arah telinga 


yang sakit lalu ke arah telinga yang sehat. Gerakan ini akan memicu 


debris otokonia bermigrasi dan keluar 


dari kanalis semisirkularis horizontal, 


lalu masuk ke utrikulus (Gambar 9).


3. Latihan mandiri di rumah


Latihan Brandt-Daroff (Gambar 10) dapat 


dikerjakan sendiri oleh pasien apabila gejala tidak membaik dengan manuver Epley. Langkah-langkah latihan ini ialah:


1. Latihan dilakukan dengan kedua mata 


terbuka.


2. Pasien duduk tegak di tepi tempat tidur, dengan kedua kaki tergantung.


3. Kepala diarahkan 45° ke kiri, lalu baringkan tubuh dengan cepat ke arah 


kanan, pertahankan posisi selama 30 


detik.

 4. Duduk kembali seperti posisi awal selama 30 detik.


5. Kepala kembali diarahkan 45° ke 


kanan, lalu baringkan tubuh dengan 


cepatke arah kiri, pertahankan posisi 


selama 30 detik.


6. Pasien duduk kembali.


7. Latihan ini dilakukan 3 set/hari, masing-masing 5 siklus ke ldri dan ke 


kanan selama 2 minggu.


Pada umumnya, vertigo perifer terutama 


BPPV memiliki prognosis baik dengan 


kekambuhan 2 tahun sekitar 27% bila latihan Brandt-Daroff dikerjakan secara rutin. 


Rekurensi tersering terjadi pada 6 bulan 


pertama. Bila rekurensi vertigo sangat 


sering dengan derajat yang makin berat, 


maka perlu dipikirkan diagnosa  banding 


vertigo lainnya 







GANGGUAN GERAKAN BOLA MATA



Gerakan bola mata normal bertujuan untuk 


menempatkan dan mempertahankan obyek 


visual pada kedua fovea secara simultan untuk 


dapat menciptakan satu obyek tunggal yang 


stabil. Gerakan bola mata yang inadekuat 


seringkali memicu  ocular misalignment yang akan memicu gejala visual, 


yakni diplopia.


Gangguan gerakan bola mata memiliki spektrum yang luas, tidak hanya gangguan gerakan bola mata yang inadekuat atau hipoaktivitas (oftalmoparesis atau oftalmoplegia], 


namun juga dapat berupa gangguan gerakan 


bola mata yang berlebihan atau hiperaktivitas (abnormal spontaneous eye movement),


seperti nistagmus, superior oblique myokimia, ocular flutter, dan masih banyak lagi.


Gangguan gerakan bola mata yang inadekuat 


dapat disertai dengan atau tanpa ocular misalignment Pada ocular misalignment, obyek 


jatuh pada fovea satu mata dan ekstrafovea 


pada mata lainnya, sehingga obyek yang terlihat tidak tunggal dan menimbulkan gejala 


visual, yang tersering yaitu  diplopia. Gangguan gerakan bola mata dapat terjadi di 


sepanjang neuraksis sistem gerakan bola 


mata, dari supranuklear hingga otot, dapat 


pula akibat masalah okular atau optik, seperti 


gangguan refraksi. Masing-masing gangguan 


gerakan bola mata memiliki karakteristik


tertentu, sehingga diperlukan pengetahuan 


anatomi dan patofisiologi yang baik serta 


anamnesis dan pemeriksaan fisikyang detail 


untuk menentukan topis gangguannya.


Berbagai patologi juga dapat terjadi yang 


dapat berbahaya dan mengancam jiwa, sehingga perlu diidentifikasi segera. Contohnya 


aneurisma yang memicu paresis nervus III atau peningkatan tekanan intrakranial yang memicu paresis nervus VI 


bilateral. Wawasan epidemiologi juga harus 


dimilild klinisi untuk dapat mendeteksi kegawatdaruratan yang berkaitan dengan gejala gangguan pergerakan bola mata.


Pemahaman tentang gangguan pergerakan 


bola mata akan menentukan tata laksana yang 


tepat untuk menghilangkan atau mengurangi 


gejala yang dapat menjadi hendaya dalam 


kehidupan sehari-hari. Hal ini juga dapat 


mencegah perburukan ldinis dan komplikasi 


yang tidak diinginkan akibat tidak teridentifikasi dan diataAiya pemicu  tertentu. Pembahasan dibaMsi pada gangguan gerakan 


bola mata inajekuat yang cukup sering terjadi dan banjak dipelajari, sehingga gangguan konvergensi dan gangguan fiksasi tidak 


disertakan. Penekanan terutama pada halhal yang Masik, secara prinsipal, dan aplikatif.


EPIDEMIOLOGI


Kobashi dkk menelaah 500 masalah  gangguan

 gerakan bola mata, menunjukkan sebagian 


besar disebabkan oleh paresis nervus okular 


motor (56%), sedangkan supranuklear hanya 


10%. Sejak dipublikasikan sekitar 20 tahun 


lalu, belum ada studi prevalensi gangguan gerakan bola mata secara menyeluruh (supranuldear hingga otot) tanpa memandang etiologi. Kebanyakan studi pada etiologi nonspesifik 


hanya meneliti gangguan aldbat paresis nervus okular motor, sedangkan pada studi etiologi yang spesifik, pemicu  terbanyak yaitu  


stroke, trauma, dan multipel sklerosis.


Fowler dkk mendapat  54% strabismus 


dan diplopia pasca brain injury, disebabkan oleh stroke. Dari studi kohort prospektif 


multisenter Rowe dkk pada 512 pasien pascastroke, 16,5% mengalami strabismus. Tujuh 


puluh persen dari jumlah ini  disebabkan oleh gangguan gerakan bola mata dan 


43,5% mengalami gangguan gerakan bola 


mata multipel. Gangguan yang paling banyak 


ditemukan (>20%) yaitu  gangguan sakadik (sakadik dismetria dan saccade palsy].


Studi Rowe dkk lain yang terbaru dengan 


subjek lebih besar, yakni 915 pasien stroke, 


menunjukkan 54% pasien mengalami gangguan gerakan bola mata, 41,5% mengalami 


gangguan lirik, dan 18% mengalami paresis 


nervus okular motor. Gangguan lirik yang 


terbanyak yakni smooth pursuit, gaze holding, dan saccade palsy, sedangkan paresis 


nervus okular motor terbanyak yaitu  paresis nervus VI unilateral.


Studi retrospektif Ciufredda dkk pada 160 


pasien cedera kepala menunjukkan bahwa 


proporsi gangguan vergence dan version cukup besar (>50%) dibandingkan paresis nervus kranialis (<10%). Beberapa studi terpisah 


antara cedera kepala ringan (CKR) dan cedera


kepala sedang-berat (CKS dan CKB) mendapat  gangguan gerakan mata binokular atau 


lirik, seperti sakadik, smooth pursuit, gangguan 


vergence, maupun paresis nervus okular 


motor dapat terjadi pada CKR. Dari studi prospektif pada 20 pasien, 30% mengalami gangguan sakadik dan 60% mengalami gangguan 


smooth pursuit Prevalensi gangguan vergence


yang pernah dilaporkan sekitar 47-64%.


Studi Coello dkk pada 49 pasien CKR didapatkan 62 masalah  paresis nervus kranialis 


yang sebagian besar (77,6%) multipel dan 


sisanya terisolir, lebih dari sepertiganya mengalami paresis nervus III, IV dan VI. Studi 


pada 71 pasien CKS-CKB menunjukan bahwa 


gangguan sakadik (72%) dan gangguan akomodasi (62%) paling banyak ditemukan. 


Meskipun multipel sklerosis identik dengan 


gangguan nervus optikus, namun ditemukan 


pula gangguan gerakan bola mata yang beragam, mayoritas berupa sakadik dismetria 


(32-62% ) dan INO (24-53% ).


Untuk etiologi yang nonspesifik, studi yang 


cukup banyak dilaporkan yaitu  gangguan 


gerakan bola mata akibat paresis nervus 


okular motor baik yang terisolir maupun 


multipel. Studi Dharmaraju dkk pada 50 


masalah  oftalmoplegia, ada  34% paresis 


nervus okular motor multipel dengan pemicu  tersering lesi inflamasi (12% ). Lesi 


vaskular, trauma, inflamasi, atau tumor juga 


dapat memicu hal ini . Etiologi 


tertentu lebih sering ditemukan pada nervus 


kranial spesifik, pada kelompok usia tertentu, etiologi paresis nervus okular motor 


juga dapat berbeda. Sejumlah studi pada 


anak tahun 1990 hingga 2010 menunjukkan 


kecenderungan pemicu  tersering yaitu  


kongenital, trauma dan tumor dengan dis-

 tribusi sebagai berikut:


© Nervus III: kongenital (2-50%}, trauma 


(11-25% ), tumor (5-12,5% )


© Nervus IV: kongenital (28-38%), trauma 


(4-29% )Nervus VI: tumor (17-32%),


trauma (11- 42%).


Pada populasi dewasa pemicu  paresis nervus okular motor terbanyak ialah iskemik mikrovaskular dan trauma. 


Hanya paresis nervus IV yang dilaporkan 


cukup banyak pemicu  kongenitalnya 


(38% ) dengan distribusi masing-masing 


nervus sebagai berikut:


® Nervus III: Iskemik mikrovaskular (42- 


49%), aneurisma (6-16%), trauma (6-13%)


© Nervus IV: Kongenital (38% ), trauma 


(29-30% )


© Nervus VI: Iskemik mikrovaskular (45- 


49% ) dan trauma (12-15% ).


ANATOMI DAN PA TO FISIO LO G I


Gerakan bola mata dijalankan oleh sirkuit 


multilevel di sepanjang neuroaksis. Sistem 


ini tersusun secara hierarki dari bagian atas 


sebagai pemberi perintah, serta inhibisi dan 


modulasi jaras desendens di bawahnya. Lesi 


di bagian manapun di sepanjang neuraksis 


ini  dapat memicu gangguan gerakan bola mata. Oleh sebab  itu, gangguan 


gerakan bola mata dapat diklasifikasikan 


berdasar  lokasi lesi, yaitu: (1) gangguan 


gerakan bola mata supranuklear, (2) internuklear, (3) nuklear, (4) nervus okular motor, 


(5) taut-ototsaraf, dan (6) otot ekstraokular.


Secara anatomi, gerakan bola mata dapat 


melibatkan satu mata (gerakan bola mata monokular atau duksi) dan kedua mata (binokular). Gerakan duksi (Gambar 1) melibatkan 


nervus okular motor, yakni nervus okulomotor (N. Ill), nervus troklear (N. IV,), dan nervus 


abdusens (N. VI) yang masing-masing menginervasi otot yang berbeda. Secara umum 


perjalanan nervus okular motor berawal dari 


nukleus di batang otak, kemudian membentuk fasikulus, dan keluar dari batang otak secara berurutan melewati ruang subaraknoid, 


sinus kavernosus, apeks orbita, hingga intraorbita untuk mempersarafi otot ekstraokular 


(Gambar 2 dan 3). Pada beberapa literatur, 


lesi di batang otak (nukleus dan fasikulus) 


disebut sebagai lesi sentral dan lesi di luar 


batang otak sebagai lesi periferatau neuropati 


perifer. Literatur Iain mengelompokkan dalam 


lesi intraksial (batang otak) dan ekstraaksial 


(sesudah  keluar dari batang otak),


Gerakan binokular yaitu  gerakan kedua 


bola mata secara simultan mengikuti kaidah 


Herring [Herring law), bahwa gerakan konjugat membutuhkan koordinasi otot ekstraokular yang saling berpasangan [yoked


muscle). Sebagai contoh, untuk melirik ke 


kanan dibutuhkan kontraksi simultan otot 


rektus lateral kanan dan otot rektus medial kiri. Secara fungsional, ada  6 kelas 


gerakan bola mata binokular yang memiliki 


karakteristik berbeda (Gambar 4) dalam hal 


tujuan gerakan [gaze shifting dan gaze holding), arah gerakan [vergence dan version),


dan kecepatan gerakan (gerakan mata lambat dan gerakan mata cepat.

 Gaze shifting, terdiri dari sakadik dan konvergensi, bertujuan menangkap obyek baru. 


Gaze holding bertujuan mempertahankan 


obyek yang sudah ada, dengan obyek dalam 


kondisi diam atau statis (fiksasi), bergerak 


(smooth pursuit), bergerak secara konstan 


(optokinetik), dan obyek diam namun kepala bergerak (refleks vestibulookular 


atau vestibuloocular reflex/VOR], Arah gerakan mergence menujukkan kedua mata 


bergerak berlawanan (diskonjugat), yakni 


dapat berupa konvergensi dan divergensi, 


sedangkan gerakan version menunjukkan 


kedua mata bergerak dalam arah yang sama 


(konjugat), baik horizontal (ke kanan dan


kiri) maupun vertikal (ke atas dan bawah). 


Keenam gerakan bola mata ini sering dimasukkan dalam topik gerakan bola mata supranuklear dan internuklear. Supranuklear 


yakni koneksi aferen serebrum, serebelum, 


dan batang otak ke nukleus okular motor. Internuklear yaitu  koneksi antar nukleus okular motor, misalnya fasikulus longitudinalis 


medial (FLM). Gambar 5-7 menggambarkan 


jaras gerakan bola mata supranuklear untuk gerakan horizontal (sakadik horizontal, 


smooth pursuit horizontal, dan VOR horizontal) serta gerakan bola mata vertikal, yaitu 


sakadik vertikal.

 

Gerakan Bola Mata Horizontal


Struktur supranuklear yang mengontrol gerakan sakadik horizontal dimulai dari korteks 


frontal {frontal eyefield/FEF) yang berfungsi 


menginisiasi gerakan sakadik [Gambar 5}, 


hingga level pons {paramedian pontine reticular formation fYFRF) yang berfungsi sebagai 


burst neuron. Burst neuron mengontrol "the


pulse" dengan memberikan discharge yang 


cepat dan meningkat intensif ke nukleus abdusens untuk menginisiasi gerakan sakadik 


yangberkecepatan tinggi sekaligus meredam 


struktur elastis orbita yang bertugas membatasi gerakan bola mata. Nukleus abdusens 


menerima perintah dan meneruskan sinyal 


ke motor neuron dan interneuron. Motor 


neuron berproyeksi ke otot rektus lateral 


ipsilateral. Interneuron mengirimkan akson 


yang meyilang ke FLM kontralateral untuk


diproyeksikan ke subnukleus rektus medial 


nervus okulomotor kontralateral. Dengan 


demikian akan terjadi kontraksi simultan 


otot rektus lateral pada satu mata dan otot 


rektus medial pada mata yang lainnya untuk melirik ke satu arah. Terakhir, pada saat 


mencapai posisi eksentrik di orbit, bola mata 


harus melawan kekuatan elastis orbita yang 


berusaha mengembalikan ke posisi primer. 


Hal ini membutuhkan aktivitas neural yang 


disebut "the step".


Arah lirikan sakadik yaitu  kontralateral 


dari korteks frontal. Hal ini disebabkan terdapat dekusasio setinggi mesensefalon sebelum menuju ke PPRF. Sebagai contoh, perintah 


dari korteks frontal kanan akan menghasilkan gerakan sakadik ke kiri, sehngga lesi pada 


korteks frontal kanan akan memicu disfungsi sakadik ke kiri.

 

Untuk jaras yang lebih kompleks, ada  


struktur supranuldear lain, yaitu:


1. Supplementary eye field (SEF), parietal eye


field (PEF), dan dorsolateral prefrontal


cortex (DLPC] di korteks serebri.


2. Subkorteks (nukleus kaudatus dan substansia nigra pars retikulata).


3. Kolikulus superior.


4. Batang otak yang berfungsi sebagai omnipause neuron yang menginhibisi burst


neuron secara tonik agar tidak terjadi 


sakadik berlebihan.


5. Serebelum (vermis dorsal dan nukleus 


fastigial) yang berfungsi mengatur akurasi gerakan sakadik.


Selain itu ada  pula neural integrator,


yakni nucleus prepositus hypoglossi (NPH) 


dan medial vestibular nucleus (MVN). Neural ini berfungsi mengintegrasikan velocity


command (the pulse) menjadi position command (the step).


Adanya struktur yang kompleks ini membuat 


gerakan sakadik akan berjalan normal, baik 


dalam aspekinisiasi, amplitudo, kecepatan, dan 


akurasi, terhadap berbagai stimulus (obyek 


visual, auditori, taktil, dan obyek yang diingat) 


maupun tugas (sakadik volunter, sakadik refleks, antisakadik, sakadik prediktif, dan memory-guided saccade). Demikian pula dalam 


praktek Minis, akan ditemui berbagai jenis 


gangguan sakadik, tergantung pada struktur 


yang terlibat. Jaras sakadik yang kompleks, 


fiingsi struktur yang terlibat pada jaras tersebut, serta kelainan yang ditimbulkannya, tidak 


akan dibahas pada bab ini.


Jaras sakadik telah banyak dipelajari, namun 


jaras smooth pursuit masih memerlukan studi lebih lanjut. Menarik diperhatikan pada jaras pursuit (Gambar 6), yaitu adanya dua kali 


dekusasio, dari dorsolateral pontine nuclei


(DLPN) ke serebelum dan dari MVN ke nuMeus abdusens. jadi berbeda dengan sakadik, 


kontrol gerakan smooth pursuit dilakukan secara ipsilateral. Sebagai contoh, perintah dari 


korteks parietal kanan akan menghasilkan 


gerakan smooth pursuit ke kanan.


Berbeda dengan gerakan sakadik dan smooth


pursuit, input VOR bukan berasal dari korteks, 


namun dari struktur perifer yakni kanal 


semisirkuler. Untuk VOR horizontal, input 


berasal dari kanal semisirkuler horizontal/ 


lateral. Sedangkan dua kanal semisirkuler lain 


memberikan input untuk VOR vertikal ke atas 


(kanal semisirkuler anterior) dan VOR vertikal ke bawah (kanal semisirkuler posterior).


Pada Gambar 7 terlihat bahwa VOR bersifat 


kontralateral disebabkan adanya dekusasio 


dari MVN ke nuldeus abdusens. Jadi pada saat 


kepala menoleh ke kanan akan menstimulasi kanal semisirkuler kanan, sehingga menghasilkan gerakan mata ke kiri untuk tetap 


dapat memfiksasi pada target obyek awal.


ada  beberapa persamaan dan perbedaan pada ketiga jaras gerakan mata horizontal ini . Persamaannya terletak pada 


tingkat nuldear dan infranuklear, yakni nuMeus abdusens, nervus abdusens ipsilateral, 


dan nervus okulomotor kontralateral. Dengan 


demikian lesi nuldear dan infranuMear akan 


menghasilkan gangguan sakadik, smooth pursuit, dan VOR secara ekual. Berbeda dengan 


lesi supranuldear, misalnya di korteks frontal 


dapat hanya menimbulkan gangguan sakadik saja, namun gerakan smooth pursuit dan 


VOR tetap normal. Hal ini menjadi salah satu 


petunjuk yang dapat membedakan lesi supranuldear dan infranuklear. 

Gerakan Bola Mata Vertikal


Dua struktur utama yang bertanggung jawab untuk gerakan sakadik vertikal yaitu  


rostral interstisial medial fasciculus longitudinale [riMLF) dan interstisial nucleus o f


Cajal [INC). Struktur riMLF berfungsi sebagai burst neuron, serupa dengan peran 


PPRF pada gerakan sakadik horizontal Lain 


halnya dengan INC yang berfungsi sebagai 


neural integrator, ekual dengan NPH dan 


MVN pada gerakan sakadik horizontal. Peranan omnipause neuron dimiliki oleh raphe


interpositus nuclei [struktur ini jarang dibahas). Berbeda dengan gerakan sakadik horizontal yang memiliki kontrol dari korteks 


unilateral [kontralateral), perintah sakadik 


vertikal berasal dari korteks bilateral.


ada  perbedaan antara gerakan sakadik 


vertikal ke atas [Gambar 8A) dan ke bawah 


[Gambar 8B). Pada gerakan vertikal ke atas,


riMLF menginervasi struktur nukleus okulomotor bilateral dan INC bilateral, sedangkan 


pada sakadik ke bawah, riMLF menginervasi 


nukleus okulomotor, nukleus troklear, dan 


INC unilateral. Oleh sebab  inervasinya unilateral, maka gerakan vertikal ke bawah lebih 


rentan mengalami gangguan dibandingkan 


dengan gerakan vertikal ke atas.


Perbedaan kedua terletak pada struktur 


nuklear, nervus, dan ototyangteriibat Pada 


gerakan vertikal ke atas meliputi nukleus 


okulomotor dan nervus okulomotor yang 


menginervasi otot elevator [otot rektus superior dan oblik inferior), sedangkan gerakan vertikal ke bawah yaitu  nuldeus dan 


nervus okulomotor dan troklear yang menginervasi otot depresor [otot rektus, inferior 


dan otot oblik superior).


Struktur lain yang juga berperan dalam gerakan sakadik vertikal ialah komisura poste­ 

rior. Komisura posterior mengandung akson 


dari INC yang berproyeksi ke INC kontralateral serta nukleus okulomotor dan troklear 


kontralateral, juga nukleus komisura posterior yang berproyeksi ke riMLF dan INC kontralateral (untuk lirik vertikal ke atas) serta 


M-group (untuk kordinasi mata-kelopak 


mata saat sakadik vertikal).


GEJALA DAN TANDA KLINIS


Anamnesis yang detail dapat membantu 


mengidentifikasi jenis gerakan bola mata 


yang mengalami gangguan, lokasi lesi, dan 


etiologi gerakan bola mata. Namun harus 


disertai pemeriksaan fisik yang teliti dan 


benar untuk mendiagnosa  jenis gangguan 


gerakan bola mata, diikuti pemeriksaan 


penunjang untuk membantu menegakkan 


diagnosa  topis dan etiologi.


Gejala Minis yang dapat terjadi pada gangguan gerakan bola mata dengan ocular misalignment yakni visual confusion, visual blur,


dan yang tersering ialah diplopia. Visual confusion disebabkan oleh misalignment aksis 


visual yang membuat makula kedua mata 


secara simultan menangkap dua obyek/area 


yang berbeda. Pasien akan mengeluh melihat 


obyek saling tumpang tindih atau bertumpuk. Kadang, pasien mengintepretasikan 


visual confusion hanya dengan ungkapan 


obyek tidak jelas atau buram (visual blur),


Kedua gejala visual ini akan menghilang apabila menutup salah satu mata. Poin inilah 


yang dapat membedakan dengan gangguan 


visus. Diplopia tidak selalu disebabkan oleh 


ocular misalignment. Secara umum, diplopia 


dibagi menjadi dua, yakni diplopia binokular dan diplopia monokular. Pada diplopia 


binokular, pasien akan mengeluh pandangan 


dobel saat melihat dengan kedua mata, namun berkurang atau hilang apabila menutup 


salah satu mata, tidak bergantung pada mata 


yang mengalami lesi atau saMt. Gangguan ini 


disebabkan oleh ocular misalignment akibat 


lesi otot ekstraokular, taut otot saraf, nervus 


okular motor, nukleus, hingga supranuMear 


dan internuklear. Pada diplopia monokular, pasien akan mengeluh pandangan dobel 


pada saat melihat dengan kedua mata dan 


menetap saat menutup mata yang sehat, 


namun akan berkurang saat menutup mata 


yang sakit. Diplopia monokular pada umumnya bukan disebabkan masalah neurologis, 


namun masalah okular atau optik seperti 


gangguan refraksi. Oleh sebab  itu, sangat 


penting untuk menanyakan efek dari menutup mata terhadap diplopia.


Jika diketahui bahwa pasien mengalami 


diplopia binokular, maka pertanyaan selanjutnya yaitu  arah gerakan mata yang 


memicu diplopia memberat. Pada 


prinsipnya, diplopia akan memberat ke arah 


yang melibatkan kerja otot tertentu dan 


nervus okular motor yang mempersarafinya. Sebagai contoh, untuk melihat dekat 


dibutuhkan kerja otot rektus medial. Jadi 


apabila pandangan dobel memberat saat 


melihat dekat, dapat dipikirkan akibat paresis nervus III yang menginervasi otot rektus 


medial, taut otot saraf rektus medial, dan 


otot rektus medial. Untuk itu dalam anamnesis perlu ditanyakan diplopia memberat 


saat melihat dekat atau jauh, ke kiri atau ke 


kanan, serta melihat ke atas atau naik tangga dan melihat ke bawah atau turun tangga.


sesudah  dapat memperkirakan struktur 


yang mengalami lesi, selanjutnya penting 


dinilai lesi ini  terisolir atau multipel, 


sebab  dapat membantu melokalisasi lesi.

 

Mengingat anatomi nervus HI, IV, dan VI 


yang berjalan berdekatan pada lokasi tertentu seperti di ruang subaraknoid, sinus 


kavernosus, dan orbita, maka pada lesi multipel dapat dipikirkan topis ini . Pada 


paresis nervus yang terisolir, tidak mudah 


melokalisirnya.


Perlu juga dieksplorasi karakteristik diplopia, seperti periode, onset, pencetus 


dan pereda, serta progresivitasnya. Pada 


lesi taut-otot saraf seperti miastenia okular, 


diplopia biasanya bersifat fluktuatif, yakni 


memberat saat aktivitas dan menghilang 


saat istirahat atau pagi hari. Diplopia yang 


muncul secara mendadak dapat dipikirkan 


lesi vaskular, sedangkan diplopia yang progresif dapat dipikirkan akibat tumor. Oleh 


sebab  itu perlu ditanya gejala penyerta, 


baik yang terkait dengan mata (pandangan 


buram, kelopak mata tertutup atau ptosis, 


mata menonjol (proptosis), nyeri saat melirik (painful oftalmoplegia)) ataupun gejala 


yang menggambarkan defisit neurologis (fokal maupun sistemik) lain, seperti demam, 


penurunan berat badan, dan nyeri sendi.


Berbeda dengan gangguan gerakan bola 


mata yang disertai ocular misalignmentyang 


sering menimbulkan gejala klinis, gangguan 


gerakan bola mata yang tanpa ocular misalignment hampir selalu asimtomatis atau 


kadang diungkapkan dengan gejala yang 


vague seperti sulit membaca. Gangguan ini 


biasanya akibat lesi supranuklear.


Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, 


kontrol supranuklear berhubungan dengan 


gerakan bola mata binokular, Demikian 


pula gangguan kontrol supranuklear, akan


memicu gangguan bola mata binokular yang simetris, sehingga umumnya tidak 


terjadi ocular misalignment Apabila lesi 


ini melibatkan kedua mata secara berbeda, 


dapat memicu ocular misalignment


sehingga menimbulkan gejala diplopia binokular, seperti skew deviation.


Pemeriksaan fisikmeliputi pemeriksaan fisik 


umum, pemeriksaan neurologis umum/ 


rutin, dan pemeriksaan neurooftalmologi. 


Untuk praktik klinis pemeriksaan neurooftalmologi dibagi dua, yakni pemeriksaan 


neurooftalmologi rutin dan atas indikasi. 


Pemeriksaan neurooftalmologi rutin terutama terkait langsung dengan gangguan 


gerakan bola mata yaitu  pemeriksaan (1) 


duksi, (2) ocular misalignment, (3) enam 


kelas fungsional gerakan bola mata, dan 


(4) fungsi nervus III Iain (pupil dan fungsi 


otot levator palpebral) yang disertai dengan pemeriksaan nervus II. Pemeriksaan 


neurooftalmologi atas indikasi hanya dikerjakan dengan dugaan lesi tertentu, meliputi: 


(1) Parks-Bielschowsky three steps test, (2) 


forced duction dan forced generation, (3) 


tanda miastenia ocular, dan (4) tanda lesi 


intraorb ita.


Pemeriksaan Neurooftalmologi Rutin


Pemeriksaan gerakan duksi dilakukan dengan menggerakkan jari pemeriksa atau 


obyek dengan pola huruf "H" lalu meminta 


pasien untuk melirik mengikuti arah gerakan jari ini . Hal ini bertujuan untuk 


menilai jangkauan gerak otot-otot yang dipersarafi oleh nervus III, IV dan VI. Untuk 


memperoleh hasil yang akurat, pasien diminta untuk melirik maksimal (Gambar 9). 

Pemeriksaan ocular misalignment dapat dilakukan dengan menginspeksi kedudukan 


bola mata pada posisi primer, tes Hirschberg (corneal light reflex), tes cover uncover,


dan tes maddox red. Pemeriksaan pertama 


merupakan pemeriksaan yang paling mudah, tanpa alat, namun sering terlewatkan 


oleh klinisi. Padahal pemeriksaan ini penting terutama pada masalah  pasien tidak kooperatif untuk diminta menggerakkan bola 


mata, contohnya pada pasien penurunan kesadaran. Hal yang dibutuhkan hanya mengamati kedudukan bola mata pasien, apakah 


ada  juling ke dalam (esotropia) yang 


dapat mengindikasikan paresis nervus VI, 


juling ke luar (eksotropia) yang mengindikasikan paresis nervus III, atau posisi salah 


satu mata lebih tinggi (hipertropia) yang 


mengindikasikan paresis nervus IV atau 


skew deviation (gambar 10). Pemeriksaan 


maddox red test jarang dilakukan.


Pemeriksaan Hirschberg pada prinsipnya 


menilai kedudukan bola mata, namun 


memakai  senter atau peniight yang diarahkan ke mata pasien. Dengan mengamati 


jatuhnya cahaya senter pada mata, maka 


mengindikasikan bahwa mata ini  


mengalami esotropia, eksotropia atau hipertropia. (Gambar 11).


Pemeriksaan cover uncover bertujuan untuk 


mengidentifikasi tropia atau foria. Tropia 


yaitu  misalignment yang dapat muncul setiap saat, sedangkan foria yaitu  misalignment


yang muncul ketika penglihatan binokular diinterupsi. Terminologi cover uncover seringkali membingungkan dan dapat tertukar. Pada 


dasarnya, ada 3 pemeriksaan yang berbeda 


dengan teknik dan intepretasi yang berbeda: 


(1) cover test (single cover), (2) uncover test


(cover-uncover), dan (3) cross cover/alternating cover test, namun yang biasanya dilakukan

 

yaitu  cross cover test Pada pemeriksaan ini riksa menutup mata pasien secara bergantian 


pasien diminta melirik ke salah satu sisi dan dengan cepat dan mengamati adanya drifting


fiksasi pada jari pemeriksa. sesudah  itu peme- pada mata yang sehat.

 

Pemeriksaan sakadik dilakukan dengan menginstruksikan pasien untuk melirik obyek target (misalnya jari pemeriksa) bergantian (refiksasi) secara cepat (Gambar 12}. Pemeriksa 


mengamati kecepatan, range o f movement,


dan akurasi gerakan. Meskipun demikian, parameter sakadik ini  lebih akurat dengan 


pemeriksaan kuantitatif, misalnya dengan 


memakai  eye tracking device. Pemeriksaan smooth pursuit dilakukan dengan menginstruksikan pasien untuk mengikuti obyek visual yang berjalan lambat, memakai  jari 


atau bandul (Gambar 13}. Pemeriksaan konvergensi dilakukan dengan menginstruksikan 


pasien untuk melihat target akomodatif (seperti pensil atau jari} yang bergerak mendekati 


hidung pasien (Gambar 14}.


Pemeriksaan optokinetik memakai  


drum optokinetik. Pasien diminta melihat garis hitam pada drum ini  yang 


digerakkan ke arah kanan dan kiri secara 


bergantian. Pemeriksa mengamati adanya 


gerakan mata tahap  cepat atau optokinetic


nystagmus (OKN} yang berlawanan dengan 


arah putaran drum serta simetrisitasnya di 


kedua sisi (Gambar 15}.


Pem eriksaan Neurooftalmologi Atas Indikasi


1. Bielschow sky Three Steps Test


Dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya paresis nervus IV, yang terdiri dari 3 


langkah, yaitu:


© Langkah pertama; inspeksi untuk mengidentifikasi mata yang mengalami hipertropia dan ototyang memicu hipertropia, yakni dua otot elevator (otot oblik 


inferior dan otot rektus superior} serta 


dua otot depressor (otot oblik superior 


dan otot rektus inferior}.


® Langkah kedua; pasien diminta melirik 


ke kanan dan ke kiri dan diidentifikasi 


arah lirikan yang memicu keluhan 


diplopia atau hipertropia yang memburuk. Dugaan otot yang mengalami kelainan 


akan dipersempit menjadi dua yakni satu 


otot elevator (otot rektus superior} dan 


satu otot depresor (otot oblik superior}.


® Langkah ke-3; meminta pasien untuk 


memiringkan kepala (head tilt) ke kanan 


dan ke kiri, kemudian diamati arah kepala 


yang memicu keluhan diplopia atau

 

hipertropia yang memburuk. Akan teridentifikasi bahwa yang menimbulkan hipertropia yaitu  otot oblik superior yang 


diinervasi oleh nervus IV (Gambar 16}


2. Test o f Skew


Skew deviation tidak mengikuti kaidah


pemeriksaan Bielschowsicy three steps


test. Selain itu, perbedaan antara hipertropia yang disebabkan oleh skew deviation dan paresis nervus IV dapat teriihat 


pada Tabel 1, Hal ini juga dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan alternating


cover dan funduskopi, 

3. Tanda Miastenia Okular


Dilakukan hanya atas indikasi, yakni 


dugaan adanya miastenia okular (Tabel 2).


4. Pemeriksaan Lain


Pemeriksaan tanda lesi intraorbita dilakukan juga atas indikasi (Tabel 3). 


Salah satu tanda lesi ini yaitu  proptosis 


yang dapat diperiksa dengan menggunakan eksoftalmometri (Gambar 17).

 

Selain tanda di atas, pada lesi intraorbita, 


diplopia dapat disebabkan oleh kelumpuhan otot (paralisis) atau tahanan pada otot 


antagonis (restriksi), Sebagai contoh jika 


mata kanan tidak dapat melirik ke kanan, 


maka dapat disebabkan oleh kelumpuhan 


otot rektus lateral yang diinervasi nervus


VI atau restriksi otot rektus medial yang diinervasi oleh nervus III. Dilakukan pemeriksaan forced duction untuk mengkonfirmasi 


restriksi, sedangkan forced generation untuk mengkonfirmasi paralisis. Pemeriksaan 


ini jarang dilakukan sebab  cukup invasif 


(Gambar 18]. 

diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


1. Lesi Supranuklear vs Nukleus dan


Nervus Okular Motor


Dap at dibedakan seperti pada Tabel 4.


2. Supranuklear dan Internuklear


Gangguan gerakan bola mata berupa: 1) 


kelumpuhan lirik horizontal dan deviasi 


konjugat horizontal; 2] INO dan sindrom 


one and a half, 3) gangguan sakadik; 4) 


gangguan smooth pursuit, 5} gangguan 


konvergensi; 6) kelumpuhan lirik vertikal; 


dan 7) nistagmus dan osilasi okular lain. 


Pada bab ini dibatasi pada gangguan 1-4.


A. Kelumpuhan Lirik dan Deviasi Konjugat


Meskipun secara definisi gerakan bola 


mata horizontal dapat meliputi sakadik 


horizontal, smooth pursuit horizontal, 


VOR horizontal, dan konvergensi, namun 


untuk dapat memahami kelumpuhan 


lirik horizontal dan deviasi konj'ugat, 


dapat melihat jaras sakadik horizontal.


Dua topis utama kelumpuhan lirik horizontal 


yakni korteks frontal dan pons (PPRF). Dengan mengingat adanya dekusasio di antara 


korteks dan pons [setingkat mesensefalon), 


maka lesi di korteks dapat memicu kelumpuhan lirik ke arah kontralateral lesi dan 


sebaliknya pada pons (Gambar 19). Apabila 


pasien juga mengalami hemiparesis, maka 


kelumpuhan lirik sesisi dengan hemiparesis, 


sebaliknya pada pons.Pada kondisi tertentu, 


manifestasi yang terjadi yaitu  deviasi konjugat Pada deviasi konjugat, kedua mata 


mengalami deviasi ke satu arah (kanan atau 


kiri). Pada lesi destruktif di korteks, deviasi 


konjugat ke arah ipsilateral lesi (ipsiversive) 


atau disebut juga "Look at the lesion". Pada 


lesi iritatif terjadi sebaliknya, yakni deviasi 


konjugat ke arah kontralateral lesi (contraverszve) atau disebut juga "look away the lesion" Namun, berbeda jika lesi destruktif 


terjadi di talamus, terjadi deviasi konjugat ke 


arah kontralateral lesi (contraversivej atau 


disebut juga"wrong way eye" (Gambar 19), 

Belum dapat dipahami sepenuhnya mekanisme deviasi konjugat, namun disebutkan bahwa deviasi dapat dialami pada tahap  


akut dan akan hilang dengan sendirinya. Studi lain mengaitkan dengan ukuran lesi dan 


sisi lesi, lesi berukuran besar dan hemisfer 


non-dominan lebih sering mengalami deviasi 


konjugat.


B. Oftalmoplegia Internuklear (INO) dan


Sindrom One and a H alf


INO disebabkan oleh lesi internuklear, yakni FLM. Sepeiti diketahui, FLM membawa 


sinyal dari interneuron nukleus abdusens 


ke subnukleus rektus medial nervus III, 


sehingga pada saat melirik memungkinkan kontraksi simultan antara otot rektus 


lateral satu mata dan otor rektus medial 


mata yang lain. Oleh sebab  FLM secara 


spesifik berproyeksi ke subnukleus rektus 


medial, maka gambaran INO yaitu  gangguan aduksi ipsilateral lesi FLM. Sebagai 


contoh pada lesi FLM kanan akan ada  


INO kanan berupa gangguan aduksi mata 


kanan (Gambar 20).


Gambaran penyerta lain yang klasik 


yakni nistagmus abduksi pada mata kontralateral [nistagmoid atau dissociated


nystagmus) dengan gerakan konvergensi 


normal. Mekanisme nistagmoid belum 


diketahui pasti, salah satu teori menyatakan sebagai fenomena adaptif. Teo-., 


ri lain akibat disrupsi serabut irihibisi 


yang berjalan di FLM menuju otot rektus 


medial kontralateral, Gerakan konvergensi tetap utuh sebab  sinyal konvergensi ke otot rektus medial tidak melalui 


FLM. Selain gambaran klasik ini , 


INO memiliki banyak varian, dan lesi 


FLM tidak hanya bermanifestasi sebagai 


INO, namun tidak dibahas dalam bab ini.


pemicu  INO yang cukup sering yaitu  


lesi demielinasi seperti multipel sklerosis dan lesi vaskular, yakni oklusi pembuluh darah kecil (contoh penetrating


artery) atau pembuluh darah besar seperti arteri serebri posterior {posterior


cerebral artery/?Ch), arteri serebelar 


superior [superior cerebellar artery/ 


SCA), atau bahkan arteri basilar. Lesi 


demielinasi sering memicu INO, 


sebab  serabut FLM kaya akan mielin.


Sama dengan INO, sindrom one and a


half juga disebabkan oleh lesi di pons, 


yang meliputi PPRF, nukleus abdusens, 


dan FLM. “One" merujuk pada kelumpuhan abduksi satu mata dan aduksi mata 


yang lain, sehingga kedua mata pasien 


tidak dapat melirik ke satu sisi sama 


sekali (kelumpuhan lirik). Hal ini akibat 


gangguan PPRF atau nukleus abdusens. 


Adapun "half hanya merujuk pada kelumpuhan aduksi saja, seperti pada INO, 


sebab  lesi pada FLM. Dengan demikian, 


sindrom one and a half dapat terlihat 


berupa "one" atau kelumpuhan lirik ke 


satu sisi dan "half" atau 'gangguan separuh lirik' -seperti INO- ke sisi lain.


Sebagai contoh, lesi di pons kiri, akan 


melibatkan PPRF kiri, nukleus abdusens kiri, dan FLM kiri. Pada saat melirik 


ke kiri, maka struktur yang berperan 


yaitu  PPRF kiri, nukleus abdusens kiri, 


dan FLM kanan. Oleh sebab  FLM kanan 


tidak mengalami lesi, maka perhatian 


difokuskan pada PPRF kiri dan nukleus 


abdusens kiri. Lesi pada struktur ini menyebabkan pasien tidak dapat melirik ke 


kiri. Pada saat melirik ke kanan, struktur 


yang berperan yaitu  PPRF kanan, nu 

kleus abdusens kanan dan FLM kiri. Oleh 


sebab  PPRF kanan dan nukleus abdusens kanan tidak mengalami lesi, maka 


perhatian difokuskan pada FLM kiri. Lesi 


pada FLM kiri INO kiri (Gambar 21).


Dengan demikian secara sederhana, lesi 


pons setidaknya dapat bermanifestasi 


menjadi tiga, yaitu: kelumpuhan lirik 


horizontal (lesi di PPRF atau nukleus abdusens), INO (lesi di FLM), dan sindrom 


one and a half (lesi di PPRF, nukleus abdusens, dan FLM).


C. Gangguan Sakadik


yaitu  gangguan gerakan lirik mata 


cepat. Secara umum gangguan ini dibedakan menjadi sakadik insufisiensi,


sakadik dismetria, dan sakadik diskinesia (sakadik intrusi dan sakadik osilasi). 


Sakadik insufisiensi dapat disebabkan 


oleh lesi dari korteks frontal dan parietal, hingga burst neuron di pons (PPRF). 


Pada lesi korteks ada  sakadik insufisiensi ke kontralateral, sedangkan pada 


lesi di pons ada  sakadik insufisiensi 


ke ipsilateral.


Sakadik dismetria disebabkan oleh struktur yang berperan dalam akurasi sakadik, terutama serebelum, yakni vermis 


dorsal dan nukleus fastigial. Lesi pada 


vermis dorsal memicu hypermetric


contraversive saccade atau hypometric


ipsiversive saccade, sebaliknya pada nu- kleus fastigial berupa