Tampilkan postingan dengan label tumor otak 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tumor otak 6. Tampilkan semua postingan

tumor otak 6




 seeding yang 

direkomendasikan yaitu 36 Gy.(302, 303) 

3.2.9.6. Komplikasi 

Komplikasi yang paling sering terjadi sesudah  operasi pada daerah pineal yaitu  

gangguan gerakan ekstraokular, ataksia, dan perubahan status mental. Gangguan gerakan 

ekstraokular dan ataksia biasanya sudah dialami preoperatif dan akan mengalami perburukan 

sementara postoperatif, sebelum akhirnya nanti secara menonjol  mengalami perbaikan. 

Beberapa faktor yang berkorelasi terhadap terjadinya komplikasi pembedahan antara lain 

pemberian radioterapi sebelumnya, defisit neurologis preoperatif yang berat, jenis 

histopatologis tumor ganas, dan karakteristik tumor invasif.(307) 

Komplikasi paling serius yang dialami yaitu  perdarahan postoperatif dari tumor yang 

direseksi secara subtotal. Perdarahan tertunda selama beberapa hari dan paling sering terjadi 

 

 

132 

 

tumor yang memiliki vaskularisasi tinggi, seperti tumor kelenjar pineal. Infark vena, dengan 

atau tanpa perdarahan, yaitu  komplikasi lainnya yang serius. Komplikasi lainnya terkait 

pemasangan VP shunt antara lain malfungsi shunt, infeksi shunt, dan meningitis. Selain itu, 

pendekatan operasi secara supratentorial dapat memicu  kejang, hemianopsia, atau 

hemiparesis di saat melakukan retraksi korteks.(306, 307) 

Pada era pembedahan mikro, operasi tumor daerah pineal memiliki tingkat mortalitas 0-

8% dan morbiditas 0-12%. Hal ini sangat kontras dengan tingkat mortalitas hingga 90% yang 

dilaporkan pada awal abad ke-20.(306) 

 

3.2.9.7. Prognosis 

Prognosis untuk pasien dengan tumor daerah pineal tergantung pada jenis histopatologis 

tumor. Secara umum, pasien dengan germinoma memiliki prognosis yang sangat baik sebab  

tumor bersifat radiosensitif.(304, 306) 

Anak-anak dengan tumor sel germinal non-germinoma memiliki prognosis yang jauh 

lebih buruk dibandingkan  germinoma ataupun tumor kelenjar pineal. Pada masalah  rekurensi, 

kemoterapi dan radioterapi dapat diberikan jika dosis masih memungkinkan untuk diberikan 

atau dapat dipertimbangkan pemberian radiosurgery. Prosedur pembedahan kedua hanya 

dilakukan pada lesi jinak yang mengalami rekurensi beberapa tahun lalu .(304, 307, 316) 

Tumor sel germinal rekuren menunjukkan respons yang baik dengan kemoterapi, seperti 

halnya tumor kelenjar pineal, meskipun pada tingkat yang lebih rendah. Radiosurgery dapat 

menjadi pertimbangan pada masalah  dengan ukuran diameter tumor kurang dari 3 cm.(318) 

Secara umum, tumor yang memiliki prognosis baik antara lain germinoma murni dan 

teratoma 
 matur. Prognosis sedang antara lain germinoma dengan peningkatan β-hCG, 

germinoma 
 ekstensif atau multifokal, teratoma imatur, teratoma transformasi maligna, 

campuran germinoma dan teratoma, kelenjar sel pineal. Prognosis jelek antara lain 

khoriokarsinoma, yolk sac tumor, karsinoma embrional, dan tumor dengan campuran 

ketiganya.(306, 307, 315) 

 

 

133 

 

 

3.3. Tumor Otak Sekunder 

3.3.1. Metastasis dari Tumor Padat 

3.3.1.1. Definisi dan Epidemiologi 

Tumor otak sekunder atau metastasis otak yaitu  neoplasma intrakranial yang berasal 

dari tumor ganas organ di luar otak. Metastasis otak terjadi paling sering pada orang dewasa 

dan terjadi pada 20-40% tumor ganas. Diperkirakan 100.000 -170.000 orang mengalami 

metastasis otak per tahun di Amerika Serikat. Metastasis otak terjadi 5–10 kali lebih sering 

dibandingkan  tumor primer otak.(319) Kira-kira 50% dari semua metastasis otak berasal dari tumor 

ganas paru primer, 20% dari tumor ganas payudara, 15% dari melanoma, dan 5–10% dari tumor 

ganas primer yang tidak diketahui; sekitar 5-10% berasal dari karsinoma sel ginjal, tumor ganas 

kolorektal, tumor ganas ginekologi, dan tumor ganas lainnya.(318) 

Sekitar 10-20% dari semua metastasis otak yaitu  tumor soliter (tunggal) dan sebagian 

besar berupa tumor multipel. Tumor ganas paru-paru, payudara, usus besar, dan ginjal dan 

melanoma umumnya menyebar ke otak. Tumor ganas payudara dan ginjal sering memicu  

lesi metastasis soliter, sedang  tumor ganas paru-paru dan melanoma cenderung 

memicu  lesi metastasis multipel. Sekitar 85% lesi metastasis terletak di serebrum, dan 

sisanya terletak di serebelum. Lokasi otak dengan insidens tertinggi berada di posterior dari 

fisura Sylvii dekat pertemuan antara lobus temporal, parietal dan oksipital, di perbatasan antara 

substansia grisea dan alba. berdasar  analisis otopsi menunjukkan bahwa kejadian metastasis 

otak sebanyak 30% pada pasien dengan tumor ganas payudara, 40% pada mereka dengan tumor 

ganas paru-paru, 75% pada mereka dengan melanoma, dan 6% dengan mereka dengan tumor 

ganas ginjal atau kandung kemih.(320) 

 

3.3.1.2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dijumpai tanda dan gejala seperti pada 

tumor otak primer, berupa tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti sakit kepala (50%), 

kelemahan fokal (40%), perubahan status mental (30%), kejang (15%), dan ataksia (10%) yang 

memburuk seiring berjalannya waktu dan pertumbuhan tumor dan  edema di sekitarnya.(3) 

Perkembangan gejala neurologis seperti ini sering terjadi secara lambat, tetapi perdarahan pada 

 

 

134 

 

lesi metastasis harus dicurigai saat  terdapat gejala neurologis akut, seperti kejang, terutama 

pada pasien dengan melanoma. Penemuan ini dikaitkan dengan tingginya prevalensi metastasis 

multipel pada melanoma, dan  untuk kecenderungan melanoma menjadi hemoragik. 

 

3.3.1.3. Pemeriksaan Penunjang 

CT Scan sering dipakai  sebagai pemeriksaan skrining pada pasien dengan gejala 

akut. Metastasis biasanya isodens atau hipodens dibandingkan dengan jaringan otak pada CT 

Scan nonkontras, dan metastasis menunjukkan penyangatan pasca pemberian kontras, 

meskipun resolusi kontras dan sensitivitas jaringan lebih rendah dari pada MRI.(3) 

Pada 50% masalah  pemeriksaan CT Scan terdapat gambaran lesi metastasis soliter 

(tunggal) sejak pasien pertama kali mendapatkan gangguan klinis neurologis. Gambaran CT 

Scan umumnya dapat berupa lesi bulat, berbatas tegas dengan peritumoral edema yang lebih 

luas (finger-like edema). Bila terdapat lesi multipel maka jumlah lesi terbanyak yang tampak 

yaitu  jumlah yang paling benar (Chamber’s rule).(3) 

MRI meurpakan pilihan untuk mendeteksi metastasis intrakranial. Bilamana terdapat 

kecurigaan klinis tinggi, MRI sering merupakan pilihan pemeriksaan penunjang pertama dari 

modalitas neuroimaging yang dipakai . MRI dengan kontras dapat memperlihatkan 

metastasis dengan baik sebab  adanya kerusakan sawar darah-otak (blood brain barrier) oleh 

metastasis. Gambaran yang paling umum diamati yaitu  peningkatan penyangatan kontras 

yang kuat dengan daerah kistik di tengah yang tidak menyangat. Daerah kistik ini dapat timbul 

sebab  nekrosis, deposit keratin di karsinoma sel skuamosa, atau sekresi musin pada 

adenokarsinoma. Bila pemeriksaan CT Scan dilanjutkan dengan MRI otak hanya <30% pasien 

didapatkan lesi soliter. Pemeriksaan MRI lebih sensitif dibandingkan  CT Scan terutama di daerah 

fossa posterior. 

3.3.1.4. diagnosa  

diagnosa  tumor otak sekunder ditegakkan berdasar  anamnesis, pemeriksaan fisik, 

dan pemeriksaan penunjang. Sebelum dilakukan pengambilan sampel tumor metastasis di otak, 

dilakukan pencarian lokasi tumor primer antara lain dengan foto toraks atau CT Scan toraks 

untuk menyingkirkan tumor paru; CT scan abdomen, mammografi pada wanita; dan tumor 

marker. 

 

 

135 

 

 

3.3.1.5. pengobatan  

3.3.1.5.1. Medikamentosa 

Kortikosteroid memberikan efek pengurangan sementara terhadap gejala klinis 

peningkatan tekanan intrakranial dan edema serebri akibat metastasis otak. Bila pasien 

memberikan gejala tekanan intrakranial yang berat, maka direkomendasikan untuk 

dipertimbangkan pemberian kortikosteroid 16 mg per hari atau lebih. Kortikosteroid akan 

diberikan pada pasien yang bergejala, maka perlu dilakukan tappering off dalam kurun waktu 

2 minggu atau lebih dengan informed consent tentang efek samping kortikosteroid jangka 

panjang.(321) 

3.3.1.5.2. Pembedahan 

Tujuan pembedahan dalam terapi metastasis otak yaitu  memperpanjang harapan hidup 

pasien sambil memperbaiki klinis neurologis dan Karnofsky Performance Status (KPS).(322) 

Dalam kebanyakan masalah , tujuan utama pembedahan yaitu  reseksi total tumor secara bruto 

dengan minimal gangguan jaringan otak normal. Pembedahan dapat dipertimbangkan bilamana 

akan bermanfaat pada pasien yang menjalaninya.(323) 

Tindakan bedah memungkinkan dilakukan debulking secara cepat tumor dengan efek 

massa yang menonjol  dan dapat dianggap sebagai intervensi penyelamatan jiwa pada pasien 

dengan sindroma herniasi dan defisit neurologis. Ini juga memungkinkan untuk pemulihan 

aliran cairan serebrospinal, mengurangi tekanan intrakranial, dan menurunkan ketergantungan 

steroid. Pembedahan juga bisa membantu mengelola kejang, yang dipicu  oleh tumor, yang 

secara medis refrakter.(324) 

Manfaat terbesar dari pembedahan yaitu  mendapatkan spesimen jaringan untuk 

pemeriksaan patologi.(314) Konfirmasi diagnosa  merupakan langkah penting dalam terapi 

metastasis otak, oleh sebab  itu apabila tumor primer tidak diketahui maka perlu dilakukan 

pengambilan sampel tumor di otak. Pada metastasis soliter dapat dilakukan operasi kraniotomi 

dan eksisi tumor apabila lokasi dapat dicapai melalui operasi terbuka, terdapat efek massa desak 

ruang (defisit fokal, peningkatan tekanan intrakranial), dan diagnosa  tidak diketahui.(317) 

Pada metastasis otak multipel operasi kraniotomi dapat dipertimbangkan bila satu lesi 

 

 

136 

 

dapat dicapai dengan operasi terbuka dan lesi ini  memicu  gejala klinis yang jelas 

dan atau mengancam jiwa, bila semua lesi dapat dambil semua saat operasi, dan diagnosa  tidak 

diketahui. Operasi biopsi stereotaktik dapat dipertimbangkan apabila lesi letak dalam, lesi 

multipel berukuran kecil, toleransi pasien kurang baik, penyakit sistemik yang berat, dan 

diagnosa  tidak diketahui.(306) Pasien yang menjalani terapi pembedahan diharapkan akan lebih 

baik hasilnya dengan adanya kemajuan teknologi pra operasi dan intraoperatif functional brain 

mapping, USG intraoperatif dan teknologi MRI, dimana teknologi kedokteran akan terus 

memfasilitasi intervensi bedah saraf.(319) 

Operasi reseksi tumor metastasis soliter (tunggal) secara selektif lalu  dilanjutkan 

dengan WBRT merupakan prosedur baku emas sebab  memberikan hasil yang baik 

dibandingkan operasi saja.(316) 

3.3.1.5.3. Whole Brain Radiotherapy (WBRT) 

Pada masalah  metastasis otak, diberikan WBRT dengan dosis bervariasi antara 20-40 Gy 

dalam 5-20 fraksi. Rejimen standar yaitu  30 Gy dalam 10 fraksi atau 37,5 Gy dalam 15 fraksi. 

Untuk pasien dengan performa yang buruk, 20 Gy/5 fraksi merupakan pilihan yang dapat 

dipertimbangkan. Apabila ingin diberikan booster  SRS pasca-WBRT, dosis marginal 

maksimal yaitu  24, 18, atau 15 Gy disesuaikan dengan volume tumor sesuai yang 

direkomendasikan.(25) 

Selain radiasi WBRT, dapat juga dipertimbangkan WBRT dengan simultaneous boost 

pada gross tumor (WBRT-SIB). WBRT-SIB direkomendasikan terutama pada pasien dengan 

status fungsional bagus, prognosis kesintasan yang cukup baik, dan jumlah lesi metastasis otak 

yang tidak terlalu banyak. Alternatif lain yaitu  sekuensial WBRT dilanjutkan SRT atau SRS.  

 

3.3.1.5.4. Radiosurgery 

Stereotactic radiosurgery (SRS) yaitu  sebuah teknik radiasi yang menargetkan area 

spesifik di otak dengan menyatukan beberapa sinar radiasi dari berbagai arah memakai  3D 

stereometri untuk memberikan dosis radiasi tinggi yang tepat dan ablatif dalam fraksi tunggal 

untuk menghasilkan efek terapeutik yang diinginkan. 

Keuntungan utama dari SRS atas WBRT yaitu  memberikan dosis terapeutik yang 

 

 

137 

 

tinggi pada lesi sambil meminimalkan paparan dosis radiasi pada jaringan normal sekitarnya. 

SRS juga dapat dipakai  berulang kali untuk mengobati lesi metastasis baru yang timbul di 

berbagai bagian otak, sedang  pemberian WBRT yang berulang dikaitkan dengan tingkat 

efek samping yang lebih tinggi secara menonjol . Jika dibandingkan dengan operasi, SRS 

dikaitkan dengan penurunan risiko perdarahan, infeksi, dan penyebaran tumor. 

Selain itu, SRS dapat dilakukan dalam setting satu hari rawatan, sehingga mengurangi 

biaya terapi dibandingkan dengan potensi rawat inap jangka panjang yang terkait pembedahan. 

SRS juga dapat dipakai  untuk pasien dengan lesi yang tidak dapat dioperasi dan bagi mereka 

yang dianggap tidak sesuai kandidat untuk operasi(325) 

 

3.3.2. Metastasis dari Keganasan Hematologi 

3.3.2.1. Definisi dan Epidemiologi 

Pada keganasan hematologi, infiltrasi leptomeningeal merupakan  bentuk metastasis 

yang sering terjadi.  Namun, keterlibatan parenkimal juga terjadi pada limfoma dan leukemia 

myeloid akut. Walaupun sangat jarang, sarkoma granulositik  (yang dikenal dengan chloroma) 

dapat ditemui pada leukemia myeloid akut dan sindroma myeloproliferatif/myelodisplasia. (319, 

326) 

Leptomeningeal metastasis merupakan suatu keadaan dimana sel maligna menginfiltrasi 

meningen dan ruang subarakhnoid. berdasar  data Amerika Serikat, sekitar  1-8% penderita 

kanker didiagnosa  leptomeningeal metastasis, dengan kisaran 110.000 masalah  per tahunnya.(306) 

Leptomeningeal metastasis terjadi pada 20% pada limfoma dan leukemia. (2, 322) Namun 

demikian, angka prevalensi leptomeningeal metastasis di Indonesia belum diketahui secara 

pasti. 

3.3.2.2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 

Pada keterlibatan intraparenkimal, tanda dan gejala yang ditimbulkan tumor metastasis 

pada keganasan hematologic sama dengan metastasis pada tumor padat.  Gejala yang muncul 

merupakan manifestasi dari pertambahan ukuran tumor itu sendiri. (301, 327) 

Manifestasi klinis dari leptomeningeal metastasis bersifat multifokal. Keterlibatan 

sistem saraf pusat yang bervariasi ini dipicu  berbagai mekanisme patofisiologi, 

 

 

138 

 

diantaranya efek massa tumor pada ruang subarakhnoid, invasi langsung ke leptomening atau 

parenkima otak, maupun infiltrasi langsung sel maligna ke saraf spinal maupun kranial. Jika 

gejala neurologis tidak dapat dijelaskan dengan satu topis pada sistem saraf pusat merupakan 

gejala khas leptomeningeal metastasis.   

Gejala yang muncul pada leptomeningeal metastasis tergantung pada struktur anatomi 

yang terlibat dan tergantung jenis tumor primernya. Penurunan aliran cairan serebrospinal 

secara fisiologis dan efek gravitasi memicu  obstruksi cairan pada area-area tertentu, 

seperti area lumbal dan juga dengan teori ini dapat diterangkan mengapa penyebaran metastasis 

terjadi pada basis otak seperti sisterna basilar atau fossa posterior, fissure Sylvii, dan kauda 

equina. (301) berdasar  teori di atas, patofisiologi terjadinya leptomeningeal metastasis dapat 

dibagi menjadi sel/nodul maligna yang berada pada ruang subarachnoid atau intraventrikel dan 

sel maligna yang bersifat non-adheren yang bergerak mengikuti sikulasi cairan serebrospinal.(2)  

Tanda dan gejala leptomeningeal metastasis dapat berkembang dalam kurun waktu 

hitungan hari hingga minggu. Gejala leptomeningeal metastasis yang paling sering ditemukan 

yaitu   sakit kepala, meningismus, mual dan muntah, paresis, paralisis, penurunan kesadaran, 

diplopia, gangguan serebelar, dan nyeri pinggang. Secara garis besar, berdasar  area 

anatomis, tanda dan gejala leptomeningeal metastasis dibagi menjadi 3, yaitu:(2, 328) 

a. Area serebral, ditemukan pada sekitar 15% masalah . 

b. Area saraf kranial atau batang otak, didapatkan pada 35% masalah . 

c. Medula spinalis, ditemukan pada sebagian besar masalah  (60%). 

 

Berikut tabel tanda dan gejala leptomeningeal metastasis, mulai dari gejala yang paling sering 

hingga gejala yang paling jarang berdasar  area anatomi.  

 

Tabel 1. Tanda dan Gejala Leptomeningeal Metastasis (328) 

 Frekuen Infrekuen Jarang 

Gejala 

Serebral 

  Hidrosefalus 

komunikans 

  Gangguan gait 

  Sakit kepala 

  Mual, muntah 

  Kejang 

  Vertigo 

Penurunan 

kesadaran 

Kaku kuduk 

 

Hidrosefalus non 

komunikans 

Fotofobia 

 

 

139 

 

Paresis 

Nervus 

kranialis 

  Diplopia 

  Disfagia 

  Hipestesi wajah 

  Hearing loss 

  Hypoakusia 

  Disfonia 

  Defisit 

okulomotor 

  Gangguan 

penglihatan 

 Tinitus bilateral 

Numb-chin 

syndrome 

Keterlibatan 

nervus 

vestibulokoklear 

Gejala Spinal   Nyeri unilateral/ 

bilateral 

  Defisit motorik 

Inkontinensia 

Disfungsi 

intestinal 

Nyeri dada 

Lainnya   Asimptomatik 

 

3.3.2.3. Pemeriksaan Penunjang 

3.3.2.3.1. MRI Otak dan Tulang Belakang 

MRI dengan kontras merupakan modalitas terbaik dalam mengevaluasi metastasis otak. 

MRI lebih sensitif dibandingkan dengan CT Scan baik dalam hal menentukan ada atau tidaknya 

lesi, lokasi lesi, dan jumlah lesi. Pada T1 MRI, tumor metastasis menunjukkan lesi 

hiperintens.(329) MRI otak dan tulang belakang direkomendasikan jika ada kecurigaan klinis 

leptomeningeal metastasis. Sensitivitas MRI dengan kontras gadolinium sekitar 70%, dengan 

spesifisitas 77-100% (lebih tinggi untuk tumor padat dibandingkan  keganasan hematologi). Dengan 

adanya gejala klinis yang khas, MRI abnormal cukup untuk menentukan diagnosa .  (330, 331) 

MRI dengan kontras gadolinium yaitu  teknik pilihan untuk mengevaluasi pasien 

dengan dugaan leptomeninegal metastasis. Oleh sebab  leptomeningeal metastasis melibatkan 

seluruh neuraxis, MRI kepala diperlukan pada pasien yang dipertimbangkan untuk perawatan 

lebih lanjut. Potongan T1, dengan dan tanpa kontras, dikombinasikan dengan potongan T2-

weighted  merupakan pemeriksaan standar pada leptomeningeal metastasis. Pencitraan MRI 

kepala atau tulang belakang yang menunjukkan gambaran leptomeningeal metastasis berupa 

gambaran penyangatan leptomeningeal fokal atau difus. Dari masalah  yang dilaporkan pasien 

dengan leptomeningeal metastasis, sebanyak 30-70% menunjukkan pencitraan MRI normal, 

sehingga gambaran MRI normal tidak dapat menyingkirkan diagnosa  leptomeningeal 

metastasis.(330, 331) 

 

 

140 

 

Gambaran MRI pada leptomeningeal metastasis yaitu  penyangatan leptomeningen 

otak maupun medulla spinalis, yang berupa penyangatan pada nervus kranialis, radix saraf 

spinalis, permukaan parenkim, cerebellar foliae, ventricular epenyima dan sulki-sulki. 

Penyangatan dapat berupa nodul, linier, maupun kuvalinier yang bersifat fokal maupun 

difus.(321) 

 

 

3.3.2.3.2. Analisis Cairan Serebrospinal (CSS) pada Leptomeningeal 

Metastasis 

Secara umum pada analisis cairan serebrospinal pada leptomeningeal metastasis akan 

terjadi peningkatan tekanan pembukaan, peningkatan hitung sel dan kadar protein, dan  

penurunan kadar glukosa CSS. Ditemukannya sel maligna pada cairan serebrospinal merupakan 

bukti terjadinya leptomeningeal metastasis. Pemeriksaan sitologi cairan serebrospinal masih 

merupakan baku emas hingga saat ini. Beberapa literatur melaporkan bahwa dengan pewarnaan 

May-Grunwald Giemsa dalam mendapatkan sel maligna memilki sensitivitas 75-90% dan 

spesifisitas 100%. Sel maligna yang positif pada lumbal pungsi pertama hanya 45%, namun 

meningkat pada lumbal pungsi kedua yaitu 80-90%.(331) 

Pada pasien dengan keganasan hematologi, pemeriksaan analisis cairan otak merupakan 

pemeriksaan yang paling penting. Pemeriksaan flow cytometry CSS lebih sensitif dibandingkan  

sitologi CSS biasa dan membutuhkan volume yang relatif lebih kecil (< 2 mL) untuk 

dianalisis.(331, 332) 

3.3.2.4. diagnosa  

Tumor otak sekunder pada keganasan hematologik ditegakkan berdasar  anamnesis, 

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. 

 

3.3.2.5. pengobatan  

Pada masalah  leptomeningeal metastasis, radioterapi merupakan pilihan utama pada masalah  

leptomeningeal metastasis yang tidak cukup adekuat di pengobatan  dengan kemoterapi 

intratekal, terutama pada masalah  dengan gangguan aliran CSS. (330) 

 

 

141 

 

WBRT dapat mengurangi tekanan intrakranial dan mengurangi defisit neurologis pada 

pasien.1-3 Selain itu, radioterapi pada kranium dan spinal lengkap dapat dilakukan bersamaan 

dengan teknik Craniospinal Axis Irradiation (CSI) sehingga bisa menurunkan efek samping 

radiasi.  Indikasi untuk dilakukan CSI terbatas pada pasien dengan multipel lesi sirkumskriptif 

pada sepanjang aksis spinal seperti pada keganasan hematologis.(330) 

Radioterapi tidak dapat dilakukan langsung bersamaan dengan kemoterapi intratekal, 

khususnya metotreksat, tetapi secara sekuensial sebab  dapat memicu  neurotoksisitas 

yang berat. sesudah  penilaian klinis dan laboratorium, dilakukan pemilihan kemoterapi intra-

CSS, dengan cara intratekal pada area lumbal atau intraventrikular melalui reservoir Omaya. 

Pada pemberian intratekal, pasien relatif tidak nyaman sebab  prosedur penyuntikan yang 

dilakukan berulang dan risiko kegagalan untuk memberikan obat intratekal (10-12% dari 

perawatan intratekal tidak memasuki kompartemen CSS), dan  distribusi terbatas dalam 

kompartemen CSS intrakranial saat  memberikan agen kemoterapi dengan waktu paruh yang 

pendek  (seperti metotreksat dan cytarabine).(330, 333, 334) 

Untuk pemberian kemoterapi intraventrikular melalu reservoir Omaya memberikan 

hasil dalam meningkatkan dosis dan distribusi obat dalam CSS dan pasien juga merasa lebih 

nyaman walaupun dilakukan berulang kali. Hanya saja teknik ini juga memiliki komplikasi 

berupa malposisi reservoir yang dilaporkan pada 3-12% masalah , dan  meningitis bakteri 

iatrogenik yang dilaporkan pada 2-13% masalah . Staphylococcus Epidermidis atau flora kulit 

merupakan kuman yang paling sering ditemukan dari isolasi kuman ini . (330, 333, 334) 

 



BAB IV 

PERINGKAT BUKTI DAN REKOMENDASI 

 

4.1 Tumor otak primer 

4.1.1 Meningioma 

4.1.1.1 diagnosa  

Brain imaging dengan memakai  contrast-enhanced CT dan MRI membantu deteksi 

meningioma, biasanya tampak sebagai tumor soliter yang menempel pada duramater, dan  

menyangat kuat dengan pemberian kontras. Pemeriksaan ini  merupakan metode yang 

sering dipakai  untuk mendiagnosa , monitoring dan evaluasi pasca tindakan.(1-4) (Peringkat 

bukti I, Rekomendasi A) 

4.1.1.2 pengobatan  

a. Embolisasi  

Embolisasi ini ditujukan untuk melakukan devaskularisasi dari lesi, yang akan 

memicu  tumor nekrosis dan memfasilitasi reseksi melalui pelunakan massa tumor.(5-

8) (Peringkat bukti II, Rekomendasi B)  

b. Pembedahan 

Pada pasien yang dipertimbangkan sebagai kandidat untuk pembedahan, tujuan terapinya 

yaitu  eksisi total. Meskipun tujuannya untuk melakukan gross total resection, tujuan ini 

tidak seharusnya memiliki efek pada status neurologis pasien, dan strategi kombinasi dapat 

dilakukan untuk memaksimalkan progression-free survival bersamaan dengan menurunkan 

risiko neurologis yang ditimbulkan pasca operasi.(1, 9, 10) (Peringkat bukti I, Rekomendasi 

B) 

Pada masalah  meningioma yang secara potensial mengalami ekstensi hingga ke dasar 

tengkorak seperti sphenoorbital meningioma, operasi rekonstruksi tulang (bone 

reconstruction) direkomendasikan untuk mencegah atrofi otot temporal dan hasil estetika 

yang buruk pasca operasi (peringkat bukti III, Rekomendasi C). 

c. Radioterapi  

Meningioma WHO derajat I / II diterapi dengan radiasi konformal terfraksinasi atau dengan 

 

 

168 

 

SRT dalam beberap fraksi atau SRS dalam fraksi tunggal. Meningioma WHO derajat I / II 

yang diradiasi, terapi langsung pada gross tumor (jika ada) atau pada tumor bed dengan 

margin 1-2 cm. Meningioma WHO derajat III diterapi seperti tumor ganas, langsung pada 

gross tumor (jika ada) dan surgical bed dengan margin 2-3 cm.(11-17) (Peringkat bukti I, 

Rekomendasi A) 

d. Kemoterapi  

Kemoterapi sejauh ini memberikan hasil yang kurang memuaskan, dipertimbangkan hanya 

bila tindakan operasi dan radioterapi gagal dalam mengontrol kelainan. Agen kemoterapi 

termasuk hidroksiurea, telah dipakai  tetapi dengan angka keberhasilan yang kecil. Obat 

lain yang sedang dalam penelitian termasuk temozolomide, RU-468 dan alfa interferon, 

juga memberikan hasil yang kurang memuaskan.(18-21) (Peringkat bukti II, Rekomendasi 

B) 

 

4.1.2 Astrositoma 

4.1.2.1 diagnosa  

CT scan dengan kontras dapat menggambarkan edema di sekitar tumor (peritumoral 

edema). Sebagian besar glioma low grade tidak menyerap kontras pada CT scan atau MRI. 

Biasanya akan nampak hipodens pada pemeriksaan CT scan. Astrositoma anaplastik bersifat 

dualisme, dapat menyerap ataupun tidak menyerap kontras. Sebanyak 31% glioma anaplastik 

dan 9% astrositoma anaplastik sedang, tidak menyangat kontras pada CT scan. Gambaran 

kalsifikasi dan kista dapat muncul pada astrositoma anaplastik. Pada high grade astrocytoma 

dapat muncul gambaran ring enhance (bagian tengah tumor yang nekrosis tidak enhance). 

Cincin ini  merupakan tumor seluler, akan tetapi sel-sel tumor juga dapat meluas lebih 

dari 15 mm diluar gambaran cincin.(22) (Peringkat bukti I, Rekomendasi A) 

MRI sangat bagus untuk menggambarkan edema di sekitar tumor (vasogenik), kompresi 

saraf kranial, kompresi otak dan pembuluh darah otak. Pada astrositoma grade II, astrositoma 

menunjukkan hiperintensitas pada MRI T2-weighted. Tidak terlihat kecerahan pada MRI T2-

weighted, akan menunjukkan daerah dengan peningkatan densitas dan menyangat 

pascakontras.(22) (Peringkat bukti IC, Rekomendasi A) 

 

 

169 

 

Pada DWI, tumor tampak isointens sampai hiperintens ringan. Pada MRI penyangatan 

ini dapat terlihat pada T1. Inti nekrosis tampak sebagai daerah hipointens dan sinyal yang 

berkurang dibagian tepi menunjukkan edema. Pada grade III astrositoma menunjukkan 

hiperintens. Pada grade IV astrositoma (GBM) nekrosis yaitu  ciri khas pada derajat ini.(22) 

(Peringkat bukti IIB, Rekomendasi B). 

MR spekstroskopi dipakai  untuk menegakkan diagnosa  banding, pemilihan lokasi 

biopsi, monitoring respons terapi, dan membedakan tumor dengan efek terapi. Data MR 

spektroskopi menunjukkan nilai Cho, laktat, lipid, dan NAA yang tinggi. Studi singkat echo- 

time (TE) menunjukkan adanya puncak myo-inositol yang tidak ada atau rendah. Studi perfusi 

menunjukkan peningkatan rCBV. Nilai anisotropi fraksional (FA) dari astrositoma menurun, 

tetapi nilai ADC meningkat.(22) (Peringkat bukti IC, rekomendasi B). 

DTI sensitif untuk mengevaluasi perubahan patologis yang tidak dapat divisualisasikan 

pada T2W. Functional MRI dipakai  untuk menentukan daerah eloquen.(22) (Peringkat 

bukti IIB, Rekomendasi B). 

4.1.2.2 pengobatan   

4.1.2.2.1 Medikamentosa 

Pada pasien kejang dapat dilakukan pemberian diazepam IV 0,15-0,2mg/kgBB/kali, 

maksimal 10mg/kali, dapat diulang 1 kali. (Peringkat bukti IIA, Rekomendasi A). 

lalu  jika masih terdapat kejang dapat diberikan terapi lini kedua, antara lain fenitoin, 

asam valproat, atau levetiracetam. Dosis fenitoin yaitu  IV 15-20mg/kgBB perlahan-lahan 

(kecepatan 50mg/menit) dosis tunggal, dapat diulang 5-10mg/kgBB/kali intravena. (Peringkat 

bukti IIB, Rekomendasi A). Adapun dosis asam valproat yaitu  20-40mg/kgBB per oral, 

maksimal 3000mg/kali (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi A), sedang  dosis 

levetiracetam yaitu  20-60mg/kgBB per oral, maksimal 4500mg/kali, dosis tunggal. 

(Peringkat bukti IIB, Rekomendasi C), 

(23, 24) 

4.1.2.2.2 Pembedahan 

Pembedahan pada astrositoma memiliki tujuan memperbaiki klinis dan diagnosa  patologi 

anatomi. Bila memungkinkan dapat dilakukan reseksi maksimal yang aman dengan preservasi 

neurologis.(25) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A) 

 

 

170 

 

a. Awake craniotomy (AC) seringkali dilakukan pada pasien GBM. Pasien glioma yang ditangani 

dengan AC memiliki reseksi total yang lebih luas, dan  peningkatan status fungsional dan 

penurunan mortalitas pasca operasi dibandingkan pada operasi dengan anestesi umum (GA). 

AC dilakukan pada reseksi tumor yang melibatkan eloquent area yakni cortical dan subkortikal, 

sehingga dapat menghindari kerusakan jaringan otak pada area bahasa (area Broca) atau 

pergerakan (area Motorik) pada pasien. Pada total reseksi 95-100% tidak ada perbedaan 

bermakna antara keduanya (p>0,05).(26) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A) 

b. Pola microsurgical resection yang berbeda sesuai dengan lokasi glioma, reseksi maksimal 

tumor dapat dicapai dengan perlindungan fungsi neurologis. Di antara 113 pasien dengan 

tindak lanjut jangka panjang (>5 tahun), tingkat ketahanan hidup 5 tahun pasien astrositoma 

low grade, dan astrositoma high grade yaitu  75,4% (52/69), dan 18,2% (8/44).(26) (Peringkat 

bukti IB, Rekomendasi A) 

c. Pemantauan Intraoperatif (Intraoperative Monitoring) dilakukan untuk mencegah terjadinya 

cedera saat operasi. Luaran pasien glioma dapat membaik dengan pemantauan 

intraoperative.(27) (Peringkat bukti IIA, Rekomendasi B) 

d. pemakaian  ICG (Indocyanine Green)  dapat dilakukan untuk membantu monitoring tindakan 

reseksi maksimal pada high grade glioma. Pewarnaan yang dipakai  yakni Fluorescence-

Guided Surgery (FGS) menunjukkan 100% spesifisitas dan 85 % sensitivitas pada tindakan 

reseksi tumor yang memakai  5-aminolevulinic acid-induced porphyrin fluorescence (5-

ALA-PpIX).(27) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A) 

e. pemakaian  intraoperative MRI (iMRI) secara menonjol  meningkatkan pencapaian reseksi 

tumor (gross total resection) yang merupakan fator prognostik positif untuk tingkat ketahanan 

hidup.(28) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A) 

f. Reseksi total yaitu  variable kunci yang memengaruhi perkembangan dan kelangsungan hidup 

pada pasien dengan high grade glioma dan lebih dapat tercapai dengan pembedahan dengan 

dipandu iMRI dalam kombinasi dengan 5-ALA, sehingga reseksi tumor dapat ditingkatkan.(29, 

30) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A) 

Reseksi maksimal yang aman direkomendasikan pada pasien dengan peningkatan tekanan 

intrakranial, kejang tidak terkontrol atau adanya progresifitas klinis atau radiologis. (Peringkat 

IB, Rekomendasi A).  

 

 

171 

 

Pada pasien dengan Low Grade Glioma, reseksi tumor awal secara keseluruhan memiliki 

tingkat survival rate lebih tinggi dibandingkan dengan tindakan biopsi dan observasi 

progresivitas. (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A).  

Pasien dengan anaplastik oligodendroglia sebaiknya dilakukan reseksi radikal.(25) (Peringkat 

bukti IA, Rekomendasi A).  

Pembedahan pada glioblastoma multiforme dilakukan untuk mengurangi massa tumor 

(debulking) dan diagnosa patologi anatomi. (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi B).  

Reseksi luas sesudah  biopsi awal bergantung pada pertimbangan lokasi dan faktor-faktor 

lainnya.(27) (Peringkat bukti IIC, Rekomendasi C) 

 

4.1.2.2.3 Kemoterapi 

 Low grade glioma 

Level I evidence kemoterapi ajuvanmengikuti radioterapi. Pada low grade glioma dengan 

risiko tinggi yakni usia lebih dari 40 tahun dan atau pasien dengan reseksi sub total jika 

diberikan ajuvankemoterapi (PCV, vinkristin, atau lumostine) selama 6 siklus dan radioterapi 

(54 Gy) meningkatkan survival rate hingga 10,4 tahun.

(25, 30) (Peringkat bukti IB, 

Rekomendasi A) 

Level III evidence pada Low grade glioma yang memiliki 3 faktor risiko untuk terjadinya 

rekurensi (umur >40 tahun, histologi astrocytoma, tumor bihemisferik, diameter tumor >6 cm, 

fungsi status neurologis >1) jika diberikan radiasi (54 Gy) yang dibarengi dengan pemberian 

harian TMZ yang diikuti pemberian TMZ bulanan, 3- years survival rate meningkat menjadi 

75 % jika dibandingkan dengan tanpa pemberian TMZ sebesar 54% (Peringkat bukti IIIA, 

Rekomendasi C). 

Salah satu opsi yang diberikan pada pasien berdasar  klinis dan faktor molekuler yaitu  

memulai kemoterapi dan menunda radioterapi hingga respons kemoterapi dapat ditentukan. 

Pemberian TMZ (75 mg/m2 sekali sehari selama 21 hari, diulang setiap 23 hari, hingga 

maksimal 12 siklus) tanpa radioterapi tidak terdapat perbedaan yang menonjol  dengan 

pemberian radioterapi saja (50,4 Gy) (Peringkat bukti IIIA, Rekomendasi C).  

Kemoterapi dengan TMZ diberikan pada pasien dengan tumor yang progresif dengan 

kombinasi hilangnya hetero-zygositas 1p/19q.(25, 31) (Peringkat bukti IIC, Rekomendasi C) 

 

 

172 

 

 

 High grade glioma 

Pada glioblastoma concomitant dan adjuvant kemoterapi TMZ sebagai tambahan untuk 

radioterapi secara menonjol  meningkatkan survival rate 2- dan 5-years survival rate pada 

penelitian randomized trial yang besar, dan  sebagai standar penatalaksanaan pasien dengan 

GBM dengan usia hingga 70 tahun. (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A) 

 Pada astrositoma anaplastik sesudah  follow up selama 10 tahun pemakaian  

neoajuvankemoterapi PCV, didapatkan manfaat secara prognostik terutama pada subgrup 

pasien (co-delesi dari 1p/19q) (II,B). Tidak terdapat perbedaan yang besar efektivitas antara 

PCV atau TMZ sebagai modalitas kemoterapi (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi B).

(27)

 

Glioblastoma merupakan tipe yang bersifat kemoresisten, namun 2 tahun terakhir ini sedang 

berkembang penelitian mengenai kegunaan TMZ dan nimotuzumab pada glioblastoma. 

sedang  pada astrositoma anaplastik pemberian kombinasi TMZ dan radioterapi pasca 

operasi diikuti TMZ terprogram sampai total enam siklus.(27) (Peringkat bukti IIB, 

Rekomendasi B) 

Terapi pada glioblastoma multiforme dilakukan dengan kombinasi yakni, kemoradiasi yang 

merupakan terapi standard sesudah  pembedahan. Bila memungkinkan, pembedahan diikuti 

terapi kombinasi TMZ dan radioterapi, dilanjutkan Temozolomide selama 6-12 siklus. 

(Peringkat bukti IA, Rekomendasi A).  

Terapi tambahan dengan TMZ dipertimbangkan pada pasien berusia lebih dari 60 tahun 

dengan status penampilan yang baik (KPS >70).(27) (Peringakat bukti IIB, Rekomendasi B) 

4.1.2.2.4 Targeting terapi 

Terapi molekular tertarget (targeted molecular therapy)  seperti nimotuzumab bekerja 

secara selektif sebagai anti-EGFR (epidermal growth factor receptor). Efek samping golongan 

ini jauh lebih ringan dibandingkan obat tumor ganas konvensional.(32) (Peringkat bukti IIB, 

Rekomendasi B). 

 

 

 

 

173 

 

4.1.2.2.5 Radioterapi 

Radioterapi diberikan pada pasien dengan keadaan inoperable, sebagai ajuvanpasca 

operasi, atau pada masalah  rekuren yang sebelumnya telah dilakukan tindakan operasi. Pada 

dasarnya teknik radioterapi yang dipakai yaitu  3D conformal radiotherapy, namun teknik lain 

dapat juga dipakai  untuk pasien tertentu seperti stereotactic radiosurgery/radiotherapy, dan 

IMRT.

(33) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A) 

Pada glioma derajat rendah (derajat I dan II), volume tumor ditentukan dengan 

memakai  pencitraan pra- dan pascaoperasi, memakai  MRI (T2 dan FLAIR) untuk 

gross tumor volume (GTV). Clinical target volume (CTV) = GTV ditambah margin 1-2 cm, 

mendapatkan dosis 45-60 Gy dengan 1,8–2 Gy/fraksi.(33) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi 

A). 

Pada glioma derajat tinggi (derajat III dan IV) volume tumor ditentukan memakai  

pencitraan pra dan pascaoperasi, memakai  MRI (T1 kontras dan FLAIR/T2) untuk gross 

tumor volume (GTV). CTV ditentukan sebagai GTV ditambah 2-3 cm untuk mencakup infiltrasi 

tumor yang subDiagnosa .

(33) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A). 

Pada glioma derajat tinggi, lapangan radiasi dibagi menjadi 2 fase. Dosis yang 

direkomendasikan yaitu  60 Gy dengan 2 Gy/fraksi atau 59.4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi, dosis 

yang sedikit lebih kecil seperti 55,8 – 59,4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi atau 57 Gy dengan 1,9 

Gy/fraksi dapat dilakukan jika volume tumor terlalu besar (gliomatosis) atau untuk astrositoma 

grade III.

(34) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A). 

Pada pasien dengan KPS yang buruk atau pada pasien usia tua, hipofraksinasi yang 

diakselerasi dapat dilakukan dengan tujuan menyelesaikan terapi dalam 2-4 minggu. Fraksinasi 

yang dipakai  antara lain 34 Gy/10 fraksi, 40.5 Gy/15 fraksi, 50 Gy/20 fraksi.

(34) (Peringkat 

bukti IB, Rekomendasi A). 

 

 

 

 

 

174 

 

4.1.3 Adenoma Pituitari 

4.1.3.1 diagnosa  

Pemeriksaan CT scan dapat dilakukan untuk pemeriksaan tumor, terutama di area 

supratentorial. Namun kurang detail untuk mengevaluasi batas tumor dengan struktur normal 

yang ada disekitarnya. Jika tumor tidak didan i perdarahan, gambaran yang didapat hipodense 

atau isodense. CT scan dapat menggambarkan edema di sekitar tumor (peritumoral edema).(35-

37) (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi B) 

Pemeriksaan MRI merupakan pencitraan yang paling dipilih untuk dilakukan sepanjang 

neuroaksis untuk melihat batas tumor dan  mendeteksi kemungkinan penyebaran tumor. 

Resolusi yang tinggi dan kemampuan untuk melihat posisi kiasma optikum dibutuhkan untuk 

memutuskan pendekatan tindakan operasi. MRI dinamik memberikan informasi tentang 

karakteristik fisiologi jaringan tumor. Memungkinkan analisis dari pembuluh darah yang rusak 

oleh sebab  tumor. Kontras akan memasuki rongga ekstraseluler sehingga memicu  

pembuangan kontras lebih lama dibanding keadaan normal.(35-38) (Peringkat bukti IIB, 

Rekomendasi A) 

4.1.3.2.  pengobatan  

4.1.3.2.1. pengobatan  Adenoma Pituitari Non-fungsional  

pengobatan  pada adenoma pituitary non-fungsional reseksi pembedahan (umumnya 

memakai  transfenoid approach endoscopic) diindikasikan untuk pasien dengan 

pembesaran tumor atau perubahan visual.(39, 40) (Peringkat bukti IC, Rekomendasi A). 

Pemberian radioterapi lanjutan direkomendasikan pada tumor dengan hasil reseksi 

pembedahan tidak komplit. Dosis radioterapi yang diberikan: 40 – 54 Gy (5 – 6 minggu) untuk 

FSRT atau 10 – 40 Gy untuk SRT dalam beberapa fraksi atau SRS dalam fraksi tunggal.(41, 42) 

(Peringkat bukti IIC, Rekomendasi B) 

4.1.3.2.2. pengobatan  Adenoma Pituitari Fungsional 

 Prolaktinoma 

pengobatan  pada adenoma sekresi prolaktin (prolaktinoma) dapat berupa medikamentosa, 

pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi.  

 

 

175 

 

a) Medikamentosa utama yang diberikan yaitu  agonis-dopamin seperti bromokriptin (1x 

1,25mg), karbegolin (0,25mg 2x seminggu).(43-47) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi 

A) 

b) pengobatan  pembedahan direkomendasikan untuk pasien dengan: (a) gejala yang 

progresif (penurunan visus, penurunan lapang pandang) (b) pada pasien yang tidak 

memberikan respons maupun tidak toleransi terhadap agonis dopamin (c) ukuran tumor 

>20mm (d) defisit pada lapang pandang (e) tumor menginvasi ke sinus kavernosus. 

Prosedur pembedahan dapat berupa transphenoid approach dengan teknik 

endoskopi/mikroskopik dan transkranial.  

Tindakan pembedahan yang dilakukan meliputi: (a) reseksi tumor (b) dekompresi saraf 

optikus (nervus kranialis optikus) (c) dekompresi pembuluh darah. Suatu tindakan 

penempelan elektroda yang ditempatkan pada kulit kepala daerah lobus oksipitalis 

dengan melihat pendeteksian respons elektrik dari korteks visual terhadap stimulus 

visual. Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan lain tidak memberikan hasil yang 

memuaskan.(48-52) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A) 

c) Radioterapi dipakai  jika pemberian agonis dopamin maupun pembedahan tidak 

berhasil, gagal, atau menjadi tidak toleransi terhadap agonis dopamine atau pasien tidak 

dapat dilakukan pembedahan sebab  co-morbiditas lainnya atau pasien menolak 

operasi.(53, 54) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A) 

d) Kemoterapi dipakai  dengan memakai  sediaan TMZ yang diberikan pada pasien 

prolaktinoma yang resisten terhadap terapi medik, pembedahan, maupun radioterapi.(53, 

55-57) (Peringkat bukti IIC, Rekomendasi 2C) 

 

 Adenoma Sekresi ACTH 

pengobatan  utama pada adenoma sekresi ACTH yaitu  pembedahan dengan transphenoidal 

approach (endoskopi) untuk pasien dengan pembesaran tumor atau perubahan visual..(58, 59) 

(Peringkat bukti IC, Rekomendasi A) 

 

 

176 

 

pengobatan  pembedahan adenoma sekresi ACTH yang berulang maupun radioterapi dengan 

penghambat steroidogenesis direkomendasikan untuk pasien dengan reseksi tidak komplit atau 

dengan kelainan yang menetap.(42, 60-62) (Peringkat bukti IIC, Derajat rekomendasi B) 

 Adenoma Sekresi GH-TSH 

pengobatan  utama pada adenoma sekresi GH-TSH yaitu  pembedahan (umumnya 

memakai  transphenoidal approach endoscopic), medikamentosa berupa pemberian 

bromokriptin (1x1,25mg), somatostatin analog (cth. octreotide), growth-hormone antagonist, 

atau pembedahan yang didan i radioterapi sesudah  operasi.(63-67) (Peringkat bukti IIC, 

Rekomendasi B) 

 

4.1.4 Neuroma Akustik 

4.1.4.1 diagnosa  

Pemeriksaan audiometri perlu untuk mendiagnosa  vestibular schwannoma meskipuun 

5% pasien dengan AN didapatkan masih dalam batas normal. Pemeriksaan Pure tone dan speech 

audiometry harus dilakukan di ruangan yang khusus. Tes ini menunjukkan hasil asymmetric 

sensorineural hearing loss, biasanya lebih jelas dengan frekuensi yang lebih tinggi dan tidak 

berhubungan dengan ukuran tumor.(68) 

MRI yang dipakai  yaitu  standar pemeriksaan Intra Auditory Canal (IAC), yaitu 

FIESTA (fast imaging employing steady-state acquisition) dan CISS (constructive interference 

in steady state). Pemeriksaan CT scan melengkapi pemeriksaan MRl untuk melihat kondisi 

tulang, dan selulae mastoid. Salah satu gambaran khas dari tumor ini yaitu  pelebaran dari 

osteum kanalis akustikus internus (trumpeting). Normal panjang kanalis akustikus internus dari 

fundus ke meatus berkisar antara 5-8 mm2. (68) (Perangkat bukti IB, Rekomendasi A) 

 

4.1.4.2 Terapi  

4.1.4.2.1 Pembedahan Tumor 

Pengambilan tumor melalui tindakan bedah yaitu  terapi yang disarankan pada sebagian 

besar pasien yang menderita neuroma akustik. Monitor fungsi koklear (ABR) dapat juga 

berguna untuk hearing conservation surgery(3) Monitor lower cranial nerve yang lain dapat juga 

 

 

177 

 

meningkatkan outcome pasien. berdasar  beberapa eksperimen dan data klinis IOM telah 

menjadi standar pelayanan pada tindakan reseksi lesi yang letaknya intraparenkim dan 

ekstraaksial yang sangat dekat dengan struktur vital seperti nervus kranial dan pembuluh 

darah.(69) (Peringkat bukti I, Rekomendasi A) 

4.1.4.2.2 Stereotactic Radiosurgery 

Tindakan stereotaktik radiosurgery dapat dilakukan untuk tumor dengan ukuran kecil, 

dengan memakai  linac based radioterapi (X-knife) atau sinar gama (gamma knife). 

Tindakan stereotaktik sangat dianjurkan oleh beberapa pusat bedah saraf di dunia. Kebanyakan 

tindakan ini bukan untuk menghilangkan neuroma, tetapi untuk mengontrol 

pertumbuhannya.(70) (Peringkat bukti I, Rekomendasi A) 

 

4.1.4.2.3 Kemoterapi 

Pada masalah  dengan neuroma akustik, kemoterapi tidak dilakukan.(69) (Peringkat bukti 

II, Rekomendasi B) 

 

4.1.5 Kraniofaringioma 

4.1.5.1 diagnosa  

CT Scan merupakan modalitas yang ideal untuk mengevaluasi anatomi tulang dan 

deteksi kalsifikasi. CT Scan juga berguna dalam membedakan komponen kistik dan padat dari 

tumor. Tampilan kraniofaringioma pada CT Scan bergantung pada proporsi dari komponen 

padat dan kistik. Komponen kistik memiliki densitas rendah dan dengan pemberian kontras 

memicu  penyangatan pada bagian padat termasuk kapsul kista.(71) (Peringkat bukti IA, 

Rekomendasi A) 

MRI dengan pemberian kontras penting untuk menentukan topografi dan struktur dari 

tumor ini. Tampilan kraniofaringioma bergantung pada proporsi komponen padat dan kistik, isi 

kista (kolesterol, keratin, perdarahan), dan keberadaan kalsifikasi. Sinyal dari bagian tumor 

yaitu  isointens atau relatif hipointens terhadap otak pada sekuensi T1W yang menyangat 

sesudah  pemberian gadolinium, sedang  pada sekuensi T2W biasanya campuran hipo dan 

hiperintens. Kalsifikasi sulit untuk dideteksi pada pemeriksaan MRI, namun bila jumlahnya 

 

 

178 

 

besar maka dapat terlihat sebagai sinyal hipointens pada sekuensi T1W dan T2W. Komponen 

kistik biasanya hipointens pada sekuensi T1W dan hiperintens pada T2W. Edema pada sekitar 

parenkim otak (akibat reaksi kraniofaringioma atau gangguan fokal dari cairan serebrospinal) 

dapat menyebar sepanjang jalur saraf penglihatan sehingga memberikan informasi yang berguna 

dalam membedakan kraniofaringioma dengan tumor parasellar lainnya.(71-73) (Peringkat bukti 

IA, Rekomendasi A). 

 

4.1.5.2 Terapi 

4.1.5.2.1 Medikamentosa 

Pemberian medikamentosa pada kraniofaringioma sama halnya dengan tumor otak 

secara umum yaitu penanganan edema serebri dan kejang. Obat-obatan yang diberikan meliputi 

steroid, manitol, saline hipertonik, dan anti kejang. Pada pasien kejang dapat dilakukan 

pemberian diazepam IV 0,15-0,2mg/kgBB/kali, maksimal 10mg/kali, dapat diulang 1 kali. 

(Peringkat bukti IIA, Rekomendasi A). lalu  jika masih terdapat kejang dapat 

diberikan terapi lini kedua, antara lain fenitoin, asam valproat, atau levetiracetam. Dosis fenitoin 

yaitu  IV 15-20mg/kgBB perlahan-lahan (kecepatan 50mg/menit) dosis tunggal, dapat diulang 

5-10mg/kgBB/kali intravena. (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi A). Adapun dosis asam 

valproat yaitu  20-40mg/kgBB per oral, maksimal 3000mg/kali (Peringkat bukti IIB, 

Rekomendasi A), sedang  dosis levetiracetam yaitu  20-60mg/kgBB per oral, maksimal 

4500mg/kali, dosis tunggal. (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi C), 

(23, 24)

Tidak jarang pasien 

kraniofaringioma mengalami disfungsi endokrin sehingga memerlukan pemberian hormon 

pengganti. Kelainan endokrin yang paling sering dijumpai yaitu  diabetes insipidus sehingga 

memerlukan pemberian hormon anti-diuretik (desmopressin) baik secara intranasal atau oral.(74-

77) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A) 

 

4.1.5.2.2 Pembedahan 

Pembedahan masih menjadi modalitas utama dalam diagnosa  dan terapi pada 

kraniofaringioma. Beberapa tindakan pembedahan yang dapat dipilih untuk pengangkatan 

tumor seperti pendekatan transkranial dan pendekatan endoskopi transfenoid. Kraniofaringioma 

 

 

179 

 

intraventrikular dapat diangkat dengan pendekatan transcallosal transventrikular. Tumor 

retrokhiasmatik kecil dapat dioperasi melalui jalur subtemporal, sedang  untuk tumor besar 

yang ekstensi ke fossa posterior hingga daerah clivus dapat dilakukan melalui pendekatan 

transpetrosal-transtentorial.(74-76) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A). 

Tindakan pembedahan lainnya yaitu  pemasangan VP shunt bila pasien juga mengalami 

hydrocephalus.(78) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A) 

4.1.5.2.3 Kemoterapi 

Hingga saat ini, terdapat beberapa penelitian serial masalah  yang menunjukan efektivitas 

pemberian bleomycin atau IFNα intrakistik pada penderita kraniofaringioma. Namun masih 

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk penerapan pemakaian  metode ini secara luas. Hati hati 

pemberian bleomycin intrakistik, sebab  jika obatnya keluar dan kontaminasi ke nervus opticus, 

dapat memicu  kebutaan.(79) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A) 

4.1.5.2.4 Radioterapi 

Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam pengobatan  tumor ganas 

otak. Radioterapi dalam pengobatan  tumor ganas otak dapat diberikan sebagai terapi kuratif 

definitif, ajuvanpasca operasi, dan paliatif. Teknik radiasi dapat berupa FSRT atau SRS 

tergantung ukuran dan lokasi tumor relatif terhadap struktur kritis. Dosis radiasi FSRT berkisar 

antara 45 – 54 Gy dalam 25-30 fraksi. Dosis radiasi SRT atau SRS berkisar 12-40 Gy dalam 1-

10 fraksi tergantung ukuran dan posisi tumor.(80) 

4.1.6 Medulloblastoma 

4.1.6.1 diagnosa  

Temuan klasik CT Scan yaitu  massa hipodens pada CT Scan tanpa kontras dan massa 

hiperdens pada CT Scan dengan kontras.(79) (Peringakat bukti IIA, Rekomendasi A) 

MRI kraniospinal secara umum memperlihatkan massa cerebellar di midline atau para 

median yang menyangat sesudah  pemberian kontras dan kadang menekan ventrikel IV.(79) 

(Peringakat bukti IB, Rekomendasi C) 

Sepertiga dari medulloblastoma bermetastasis di sistem saraf pusat melalui cairan 

serebrospinal. Pada masalah  ini, pemeriksaan sitopatologik dari cairan serebrospinal dapat 

menunjukkan sel-sel neoplastik.(79) (Peringakat bukti IIB, Rekomendasi B) 

 

 

180 

 

4.1.6.2 Terapi 

Tujuan utama terapi medulloblastoma yaitu  memulihkan fungsi dan mengurangi 

ukuran tumor. Terapi tergantung pada sifat tumor dan apakah terdapat perluasan ke sekitar organ 

lain.(81) 

4.1.6.2.1 Average-risk disease  

Rata-rata anak usia ≥ 3 tahun yang menjalani reseksi total atau hampir total memiliki 

hasil sitologi cairan serebrospinal yang negatif dan tidak ada bukti metastasis jauh. Jika hal 

ini  tidak dilakukan, maka direkomendasikan modalitas kombinasi radioterapi kraniospinal 

dan booster fosa posterior dilanjutkan ajuvankemoterapi.(81) (Peringkat bukti IB, 

Rekomendasi B) 

4.1.6.2.2 High-risk disease  

pengobatan  optimal untuk anak dengan medulloblastoma metastasis, unresectable atau 

rekuren belum jelas. Disarankan radioterapi kraniospinal dan booster fosa posterior dengan 

concomitant kemoterapi.(81) (Peringkat bukti II, Rekomendasi B) 

4.1.6.2.3 Infant and young children 

Bayi dan anak  usia < 3 tahun dengan medulloblastoma memiliki risiko tinggi mengalami 

defisit neurologis berat jika diberikan initial terapi dengan radioterapi kraniospinal. Kami 

merekomendasikan pengobatan  dalam kelompok usia ini mengikuti protokol yang 

memakai  kombinasi kemoterapi dan  menunda atau mengurangi pemakaian  radioterapi 

kraniospinal.(81, 82) (Peringakat bukti IB, Rekomendasi 1B) 

4.1.6.2.4 Adult 

Tujuan dari pembedahan yaitu  menegakkan diagnosa  histologi, reseksi tumor 

maksimal, dan menghilangkan hydrocephalus.(81) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi B) 

 

4.1.7 Ependimoma 

4.1.7.1 diagnosa  

Pada MRI dengan kontras, lesi tumor akan menyerap kontras secara homogen atau 

heterogen. MRI juga dapat membantu dalam mengetahui metastatic seeding tumor. 

 

 

181 

 

Ependimoma dapat memberikan gambaran kistik, padat, atau campuran.(81) (Peringkat bukti 

IA, Rekomendasi A) 

CT Scan pada ependimoma dapat berupa massa kistik, kalsifikasi, dan lesi yang berbatas 

tegas dengan gambaran isodens atau hiperdens. Dengan pemberian kontras, lesi tumor akan 

menyerap kontras secara homogen atau heterogen.(82-85) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi 

A) 

 

4.1.7.2 Terapi 

a. Pembedahan Tumor 

Reseksi tumor total atau near total yang diikuti komplikasi yang rendah dimungkinkan 

dengan semakin berkembangnya teknik pembedahan mikro, fasilitas neuronavigasi 

intraoperatif, ultrasound intraoperatif, dan intraoperative neurophysiologic monitoring. Reseksi 

total lebih mudah dicapai pada ependimoma yang lokasinya supratentorial dibandingkan  

infratentorial yang sering pada dasar ventrikel IV.(81-93) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A) 

b. Penanganan Hidrosefalus  

Pilihan tindakan: (81) 

a) Endoscopic Third Ventriculostomy (ETV) yaitu  pilihan utama, kecuali didapatkan 

obliterasi sisterna