bahwa pada
saat ini di negara kita , untuk setiap masalah yang
menunjukkan infeksi otak dengan gejala dan
tanda klinis neurologi yang bersifat subakutkronik hingga persisten dan pada keadaan
lanjut menjadi progresif, maka harus selalu
dipikirkan diferensial diagnosa infeksi TB
pada sistem saraf pusat. Demikian pula pada
setiap keadaan demam yang tidak diketahui
pemicu nya, kemungkinan TB di SSP juga
harus dipertimbangkan.
Tingkat keparahan meningitis TB yang diperkenalkan oleh Medical Research Council
(MRC) pada tahun 1948 masih sesuai hingga
saat ini untuk menentukan prognosis, yaitu:
® MRC derajat I: Skala koma Glasgow
(SKG) 15, tanpa defisit neurologis fokal
® MRC derajat I: SKG 11-14, atau SKG 15
dengan defisit neurologis fokal
© MRC derajat III: SKG <10, dengan atau
tanpa defisit neurologis fokal
Secara berurutan, gambaran pencitraan
otak yang paling sering dijumpai pada meningitis TB yaitu hidrosefalus, penyangatan
meningen, penyangatan pada daerah basal,
tuberkuloma, dan infark (Gambar 2). Sekitar
20-40% pasien meningitis memperlihatkan
gambaran infark pada CT scan. MRI otak
jauh lebih peka untuk melihat infark pada
meningitis TB dibandingkan CT scan dengan
lokasi tersering di ganglia basal.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
Analisis cairan serebrospinal pada kebanyakan masalah meningitis TB memperlihatkan pleiositosis dengan predominan
limfosit, protein yang tinggi, dan rasio
glukosa CSS dibandingkan glukosa serum
yang rendah. Walaupun demikian gambaran analisis CSS seperti ini dapat dijumpai
pada keadaan Iain baik itu infeksi otak
maupun bukan infeksi otak.
Pemeriksaan BTA di CSS dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen dapat dikerjakan dengan cepat, namun memiliki sensitivitas
yang rendah (10-20% ). Untuk pemeriksaan BTA disarankan memakai volume CSS>6mL dengan sentrifugasi dan
pengamatan mikroskopis yang dikerjakan
selama 20-30 menit.
Pemeriksaan kultur yang merupakan baku
emas memiliki sensitivitas yang lebih baik
(60-70%), namun membutuhkan waktu 2-8
minggu. Walaupun demikian, kultur tidak
cukup peka untuk menyingldrkan adanya
meningitis TB. Keputusan untuk memberikan
terapi tidak harus menunggu hasil kultur jika
kemungkinan meningitis TB tinggi.
berdasar konsensus International Tuberculous Meningitis Workshop di Afrika SeIatan (2009), diagnosa definitif meningitis
TB ditegakkan berdasar salah satu dari
kriteria berikut:
® Ditemukannya basil tahan asam (BTA)
pada CSS.
• M. tuberculosis tumbuh pada kultur CSS.
® Pemeriksaan asam nukleat M. tuberculosis (GeneXpert® MTB/Rif atau polymerase
chain reaction/PCR) positif pada pasien
dengan klinis meningitis TB.
Pada tahun 2014 WHO merekomendasikan
pemeriksaan GeneXpert® MTB/Rif sebagai alat diagnositik meningitis TB. Pemeriksaan ini mudah dikerjakan oleh tenaga
laboratorium dan hasilnya cepat, selain juga
dapat diperoleh informasi ada tidaknya resistensi terhadap rifampisin. Namun hasil
GeneXpert® MTB/Rif yang negatif tidak menyingkirkan diagnosa meningitis TB.
Pada bulan Mei 2015 para peneliti TB yang
berkumpul di Dalat Vietnam merekomendasikan suatu algoritma pemeriksaan cairan
yang cocok diterapkan untuk masalah meningitis dengan onset >5 hari dan pada populasi
daerah endemis infeksi TB dan HIV sedang
sampai tinggi (Gambar 3).
Terapi empirik meningitis TB dapat diberikan
pada keadaan demam, saldt kepala, gangguan
kesadaran, kejang dan atau gangguan neurologis Iain yang bersifat progresif, dengan onset
subakut sampai kronik. Pada umumnya, onset
meningitis TB di atas 7 hari dan diperkuat dengan ditemukannya salah satu hal di bawah ini:
® Adanya pleiositosis (jumlah sel >5) dan
rasio glukosa CSS:darah <50% pada
analisis rutin CSS.
® Pencitraan memperlihatkan gambaran
yang sesuai dengan meningitis TB, misalnya hidrosefalus, obliterasi sisterna basal
oleh reaksi peradangan, dan tuberkuloma.
® Foto toraks menunjukkan TB mi Her.
Gambaran klinis meningitis kriptokokussangat sulit dibedakan dengan meningitis
TB, sebab keduanya memiliki perjalanan
penyakit yang kronik. Waiaupun dapat terjadi pada pasien HIV negatif, namun meningitis kriptokokus umumnya terjadi pada
pasien HIV positif. Kedua keadaan ini hanya
dapat dibedakan dengan pemeriksaan mikrobiologi atau molekular pada CSS.
TATA LAKSANA
Hingga saat ini panduan pengobatan meningitis TB mengikuti panduan pengobatan
TB paru. Tingginya kematian pasien meningitis TB dan perbedaan daya tembus obat ke
otak dan CSS dengan jaringan paru menuntut perbaikan dalam pengobatan . Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa meningitis TB juga belum memiliki sensitivitas
yang cukup tinggi, sehingga pada keadaan tertentu dokter harus memulai pengobatan empirik, Waiaupun terapi empirik sudah dimulai, usaha untuk mendapat diagnosa
mikrobiologi dan molekular harus tetap
dilakukan sebab pengobatan meningitis TB
yang memakan waktu panjang dan berisiko
menghadapi efeksamping. diagnosa definitif akan membantu dokter membuat pilihan
yang rasional saat menghadapi komplikasi
atau membuat keputusan menghentikan
OAT sebab hepatitis toksik terkait OAT
Tata Laksana Medikamentosa
Agar berhasil dalam fungsinya, OAT harus
dapat menembus CSS serta mencapai fokus
infelcsi TB di parenldm dan selaput otak. Ada
dua penghalang untuk mencapai hal ini, yaitu
sawar darah-otak (SDO) atau blood brain barrier (BBB) dan sawar darah-CSS.SDO terdiri dari
kapiler di parenldm otak dan sel glia, sedangkan sawar darah-CSS yaitu pleksus koroid
dan sel epitel yang meliputinya. Sudah banyak
studi yang mempelajari daya tembus OAT melalui sawar darah-CSS, namun pengetahuan
tentang daya tembus OAT melalui sawar darahotak dan cara kerja OAT di jaringan parenldm
otak masih belum banyak diketahui.
pengobatan OAT lini satu untuk meningitis
TB diberikan selama 12 bulan yang dibagi
menjadi 2 tahap , yaitu pengobatan 2 bulan
pertama dan pengobatan 10 bulan berikutnya. Untuk 2 bulan pertama dipakai
kombinasi 4 obat yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin, sedangkan untuk 10 bulan selanjutnya hanya 2 obat yaitu isoniazid dan
rifampisin (Tabel 2),
Isoniazid merupakan obat yang memiliki
daya tembus yang sangat baik ke CSS dengan kadar puncak tercapai 6 jam sesudah
pemberian oral. Obat ini memiliki early bactericidal activity (EBA)tertinggi diantara
semua obat lini satu.
Rifampisin merupakan salah satu tulang
punggung dalam pengobatan meningitis
TB. Hal ini diperlihatkan dengan tingginya
angka kematian pasien meningitis TB yang
memiliki resistensi terhadap rifampisin.
Sayangnya, daya tembus rifampisin ke CSS
tidak terlalu baik, sehingga beberapa penelitian berusaha memperbaiki ldnerja tersebut. Ganiem, dkk di Bandung mendapat
perbedaan keluaran tingkat kematian pada
pasien yang mendapat pengobatan standar dibandingkan dengan rifampisin dosis
tinggi intravena yang dikombinasikan dengan moksifloksasin. Penelitian pada TB
paru di Afrika Selatan melaporkan dosis
rifampisin sampai 35mg/kg cukup aman
dan dapat ditoleransi oleh pasien selama 2
minggu.
Pirazinamid memiliki daya tembus yang sangat baik ke CSS. EBA pirazinamid rendah
pada beberapa hari di awal pengobataan, namun pada hari ke 4 sampai 14, kemampuannya menjadi setara dengan rifampisin dan
isoniazid. Pirazinamid juga bersifat aktif terhadap bakteri ekstra selular, Mengingat tingginya
resistensi isoniazid dan daya tembus rifampisin yang tidak terlalu baik, peran pirazinamid
dalam pengobatan meningitis TB perlu untuk
mendapat penelitian lebih lanjut.
Etambutol sedikit lebih baik daya tembusnya ke otak bila dibandingkan dengan streptomisin. Peningkatan dosis etambutol dapat
meningkatkan kadarnya di CSS, namun hal
ini akan meningkatkan risiko toksisitas retinitis retrobulbar,
Streptomisin merupakan obat dengan daya
tembus ke otak sangat buruk, pada keadaan
tidak ada inflamasi di otak, obat ini tidak
dapat tembus ke CSS sama sekali. Walaupun
demildan obat ini masih mendapat tempat
sebagai obat ke empat bila ada kontraindikasi etambutol. Untuk pasien HIV disarankan tidak memakai streptomisin, sebab obat
ini harus disuntikkan secara intramuskular.
Penambahan deksametason pada pengobatan meningitis TB dapat menurunkan
mortalitas pada kelompok pasien HIV negatif
dengan rekomendasi dosis seperti pada Tab el
3. Untuk pasien HIV positif, manfaat deksametason belum jelas. Efek samping yang dapat
terjadi akibat pemberian deksametason
yaitu perdarahan gastrointestinal. Bila terjadi perdarahan gastrointestinal direkomendasikan untuk rnenghentikan deksametason.
Tidak dianjurkan pemberian obat penghambat reseptor H2 dengan tujuan untuk mencegah perdarahan gastrointestinal akibat pemberian deksametason.
KOMPLIKASI
Hiponatremia merupakan salah satu komplikasi yang cukup sering dijumpai pada
meningitis TB dan merupakan pemicu
perburukan yang harus dicari sebab keadaan ini sebagian besar dapat diatasi
dengan baik. Hiponatremia pada meningitis
TB dapat disebabkan oleh insufisiensi adrenal, syndrome o f inappropriate secretion o f
antidiuretic h orm on e(S I AD H), dan cerebral
salt wasting syndrome (CSWS).
Komplikasi lain yang juga banyak ditemukan
ialah hidrosefalus, baik komunikans maupun
nonkomunikans, Tindakan pirau ventrikuloperitoneal (yentriculo-peritoneal shunt) dianjurkan sedini mungkin untuk pasien dengan hidrosefalus obstruktif. Selain itu dapat
juga dipertimbangkan pemasangan drainase
ventrikel eksternal dan ventrikulostomi ventrikel III perendoskopik. Untuk pasien dengan hidrosefalus komunikans, pada tahap
awal dapat diberikan furosemid (40mg/24
jam pada pasien dewasa; lmg/kgBB pada
pasien anak), pemberian asetazolamid (10-
20mg/kg8B pada pasien dewasa; 30-50mg/
kgBB pada pasien anak), atau pungsi lumbal berulang. Bila pengobatan ini tidak menunjukkan perbaikan Minis dengan
pengobatan medikamentosa, tindakan pirau
ini juga dianjurkan.
Stroke pada meningitis TB merupakan
prediktor yang buruk. Deksametason saja
tampaknya tidak dapat mencegah kejadian
infark pada meningitis TB. Suatu penelitian
meningitis TB dengan komplikasi vaskulitis
di India memperlihatkan manfaat aspirin
dosis ISOmg terhadap mortalitas dan perbaikan gambaran MRI.
Peningkatan enzim transaminase terjadi
pada 20% pasien yang mendapat OAT
lini pertama. Hal ini dapat terjadi sebelum atau sesudah pengobatan dimulai, dan
seringkali akan membaik dengan sendirinya. Penghentian pemberian OAT akibat
efek hepatotoksisitas imbas obatpada meningitis TB sangat mempengaruhi keluaranmeningitis TB. Sampai saat ini belum ada
suatu penelitian yang cukup baik dalam pengobatan hepatotoksisitas imbas OAT. Gejala
klinisnya sangat bervariasi dari yang tanpa
gejala sama sekali sampai terjadi kegagalan
hati, seperti ikterus, anoreksia, mual, dan
nyeri abdomen.
Gejala Minis gangguan fungsi hati aMbat OAT
tidak spesifik. Diperlukan monitor pemeriksaan iaboratorium secara berkala, oleh
sebab hepatotoksisitas imbas OAT sangat
sulit diprediksi. Faktor-faktor yang berperan diantaranya kerentanan secara genetik,
adanya malnutrisi, serta hepatitis C dan B.
Penting untuk menerangkan kepada pasien
mengenai masalah inidan menekankan pentingnya pemeriksaan rutin untuk memantau
perkembangan penyakit Manajemen hepatotoksisitas imbas OAT pada panduan meningitis TB dari British Infection Association
yaitu sebagai berikut:
® Bila serum transaminase meningkat lebih dari 5 kali normal, direkomendasikan untuk menghentikan pirazinamid,
tetap melanjutkan isoniazid dan rifampisin dengan melakukan pemeriksaan
fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin, albumin, dan waktu protrombin) setiap hari.
® Bila serum albumin turun dan waktu
protrombin meningkat, atau enzim
transaminase meningkat terus, isoniazid dan rifampisin juga diberhentikan. Selanjutnya diberikan etambutol,
streptomisin, dan levofloksasin.
® Rifampisin dan isoniazid harus segera
diberikan kembali secara bertahap
sesudah fungsi hati menjadi normal.
sesudah dosis terapi rifampisin dan isoniazid tercapai, barulah pirazinamid
diberikan.
® Pemberian kembali OAT sesudah dihentikan akibat hepatotoksitas imbas OAT
dapat dilihat pada Tabel 4.
INFEKSI OPORTUNISTIK SUSUNAN SARAF PUSAT
PADA AIDS
MENINGITIS KRIPTOKOKUS
Meningitis kriptokokus merupakan salah
satu infeksi oportunistik tersering pada
pasien imunokompromais. Sebagian besar
bermanifestasi sebagai meningitis subakut/
kronik, meskipun temuan patologis menunjukkan adanya invasi jaringan yang luas pada
parenkim otak dan meningen. Penyakit ini
memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi,
meskipun dengan pemberian kombinasi antijamur. Pada uji klinis di Vietnam, angka kematiannya mencapai 35,9%; sedangkan pada
studi Cryptodex, angka kematian 10 minggu
pada subyek dari negara kita mencapai 52,7%.
Tata laksana segera berdasar diagnosa
yang cepat dan tepat merupakan kunci dalam
menghadapi infeksi fatal ini. Oleh sebab itu
kemungkinan meningitis kriptokokus harus selalu dipertimbangkan dalam menghadapi pasien imunokopromais, terutama
pada pasien human immunodeficiency virus/
acquired immunodeficiency syndrome (HIV/
AIDS). Manajemen masalah meningitis kriptokokus merupakan suatu tantangan bagi para
klinisi di negara kita , terutama akibat terbatasnya akses ke fasilitas diagnostik dan obatobatan yang tidak selalu tersedia.
Epidemiologi
Meningitis kriptokokus merupakan infeksi
jamur sistemik tersering dan pemicu
infeksi otak paling banyak pada pasien
HIV Prevalensinya bervariasi antara 10-
30% , tertinggi ditemukan di benua Afrika. Ganiem dkk di Bandung menemukan
prevalensi meningitis kriptokokus sebesar 29,8% pada pasien HIV positif, dan
8,1% dari keseluruhan pasien dengan gejala meningitis subakut. Meskipun insidens
meningitis kriptokokus telah mengalami
penurunan sesudah diperkenalkannya terapi
antiretroviral (ARV), namun masih menjadi
pemicu kematian terbanyak terutama
pada negara dengan keterbatasan fasilitas
kesehatan.
Patofisiologi
Jamur pemicu berasal dari genus Cryptococcus, dengan spesies terbanyak ialah Cryptococcus neoformans var, grubii {serotipe A).
Spesies ini memiliki distribusi paling luas
di seluruh belahan dunia dan merupakan
etiologi tersering meningitis kriptokokus
pada pasien imunokompromais. Subspesies
yang juga dapat menjadi pemicu ialah C.
neoformans gatii (serotipe B dan C) dan C.
neoformans neoformans.
Kriptokokus ialah jamur berkapsul yang
banyak ditemukan di negara tropis dan
subtropis, Jamur berbentuk bulat, memiliki diameter 3-6pm, dengan binding berupa
kapsul polisakarida saat berada di tubuh inang
atau ditumbuhkan di media kultur. Jamur ini
dapat tumbuh pada media dengan suhu 20-
37°C, padahal sebagian besar strain kriptokokus yang nonpatogen tidak dapat bertahan hidup pada suhu ini.
Organisme ini memiliki predileksi khusus
ke otak, diduga melalui melalui kerja enzim
laccase yang memicu produksi melanin dari 1-dopa. Masuknya kriptokokus ke
tubuh inang dimulai dari inhalasi ragi dan
basiodiospora ke alveoli paru. Respons tubuh terhadap infeksi kriptokokus melibatkan komponen seluler dan humoral, meliputi sel natural killer, limfosit T, makrofag,
dan terbentuknya antibodi antikriptokokus.
Infeksi primer ini pada umumnya asimtomatik, kemudian dapat berlanjut menjadi
infeksi laten atau dorman. Reaktivasi infeksi
laten merupakan proses yang mendasari
terjadinya meningitis kriptokokus pada
pasien HIV. Melalui beberapa mekanisme
imunologis, organisme ini dapat terhindar
dari proses fagositosis. Gagalnya proses fagositosis inilah yang memicu diseminasi sistemik jamur kriptokokus.
Penetrasi jamur terhadap sawar darahotak (SDO) atau blood brain barrier (BBB)
merupakan proses kunci terjadinya meningitis kriptokokus. ada dua hipotesis mekanisme invasi jamur, yaitu model
transmigrasi transselular dan model "Trojan horse”. Pada model transselular, invasi C.
neoformans terjadi melalui kapiler serebral,
bukan pleksus koroid. Organisme ini dapat
menginvasi human brain microvascular endothelial cells (HBMECs) dan mengalami
diseminasi aktif pada parenkim otak. Pada
hipotesis ini juga dijelaskan bahwa terjadi
degradasi dari okludin, protein utama pembentuk tight junction di SDO. Kedua proses
ini memicu gangguan atau longgarnya
tight junction sehingga jamur dapat melewati SDO. Pada model “Trojan horse", sel
ragi dapat menginvasi sel-sel fagosit, terutama makrofag, sehingga dapat terhindar
dari fagositosis. Selain itu, faktor virulensi
jamur juga diduga memiliki kontribusi pada
diseminasi ekstrapulmoner.
Proses inflamasi pada infeksi kriptokokus
di susunan saraf pusat (SSP) melibatkan
imunitas selular dan banyak sitokin. Seperti
halnya pada infeksi kronik lainnya, proteksi
sistem imun dikaitkan dengan pembentukan jaringan granulomatosa yang bertujuan
membatasi perluasan infeksi dan inflamasi. Sitokin seperti tumor necrosis factor-a
(TNF-a), IL-12, dan IL-6, dan interferon-y
(IFN-y) juga memiliki sifat protektif.
Tingginya konsentrasi ketiga sitokin tersebut dikaitkan dengan kesintasan pasien.
Namun mekanisme proteksi ini tidak terjadi
pada pasien HIV, sebab adanya gangguan
sistem imunitas selular.
Munculnya gejala klinis pada meningitis
kriptokokus bukan hanya akibat proses
inflamasi, namun juga akibat replikasi C.
neoformans pada SSP yang memicu
gangguan reabsorpsi cairan serebrospinal
(CSS). Gangguan reabsorbsi ini terjadi di vili
subaraknoid dan pembuluh darah limfatik
akibat peningkatan viskositas CSS oleh akumulasi polisakarida jamur yang membentuk sumbatan mikroskopik, serta sumbatan
akibat sel jamur itu sendiri. Hal inilah yang
memicu manifestasi Minis yang muncul pada meningitis kriptokokus didominasi
oleh tanda dan gejala akibat peningkatan
tekanan intrakranial (T1K). Gejala dan Tanda Klinis
Pada umumnya, pasien dengan meningitis
kriptokokus menunjukkan kondisi infeksi
berat. Terutama pada AIDS, penyakit ini dikaitkan dengan kondisi imunosupresi lanjut
yaitu CD4 <100sel/|uL. Gambaran klinis klasik yang ditemukan pada meningitis kriptokokus ialah gejala infeksi berupa demam
dan adanya tanda peningkatan TIK akibat
gangguan penyerapan CSS. Gejala peningkatan TIK terbanyak yang dikeluhkan ialah
nyeri kepala (73-81% }, sehingga dianggap
sebagai common practice bahwa setiap keluhan nyeri kepala pada pasien imunokompromais terutama HIV, diagnosa meningitis
kriptokokus harus selalu dipertimbangkan.
Adanya peningkatan TIK pada pasien meningitis kriptokokus juga dapat muncul
se-bagai gejala gangguan penglihatan, diplopia, muntah proyektil, hingga penurunan
ke-sadaran yang menandai bahwa TIK sudah semakin tinggi. Tanda klinis yang dapat
ditemukan antara lain meningismus, papiledema, paresis saraf kranial, ataupun kejang.
Jika terjadi hidrosefalus sebagai komplikasi
infeksi, maka dapat pula bermanifestasi sebagai gangguan kognitif atau gangguan gait.
diagnosa dan diagnosa Banding
Penegakan diagnosa definit meningitis
kriptokokus umumnya tidak sulit selama
dapat dilakukan pungsi lumbal Masalahnya pungsi lumbal tidak selalu dapat dikerjakan pada pasien dengan kecurigaan
klinis me-ningitis. Oleh sebab itu, diagnosa
meningitis kriptokokus ditegakkan melalui
beberapa metode, yaitu 1} pemeriksaan mikroskopik langsung pada cairan serebrospinal [CSS], 2} deteksi antigen kriptokokus, 3}
kultur, dan 4} pemeriksaan histopatologi.
Pemeriksaan mikroskopik CSS menggunakan tinta india masih merupakan standar diagnosis meningitis kriptokokus (Gambar 1).
Hal ini bertujuan untuk menemukan jamur
di CSS, namun memilild keterbatasan berupa
berkurangnya sensitivitas pada pasien dengan konsentrasi jamur {fungal burden]
yang rendah di dalam CSS. Pungsi lumbal
dapat diulang kembali bila kecurigaan klinis
sangat kuat, namun pemeriksaan tinta india
memberikan hasil yang negatif.
Metode kedua untuk mendeteksi jamur
kriptokokus yaitu dengan deteksi antigen
kriptokokus [Cryptococcal Antigen/Qrbg]
melalui teknik lateral flow immunochromatographic assay (LFA) di CSS. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan
juga dapat dideteksi dari cairan tubuh lain,
seperti serum dan bilasan bronkoalveolar.
LFA juga dapat dipakai sebagai skrining
adanya kriptokokosis subklinis pada pasien.
Suatu studi pada populasi pasien HIV di negara kita mendeteksi antigen kriptokokus
dalam darah (antigenemia kriptokokus)
sebanyak 7,1% dari 810 pasien HIV yang
belum mendapat ARV. Hal ini berkaitan
dengan peningkatan kejadian meningitis
kriptokokus dan angka kematian.
Pemeriksaan kultur jamur merupakan standar baku emas diagnosa meningitis kriptokokus dan umumnya membutuhkan waktu
3-8 hari untuk tumbuh. Semakin besar volume CSS yang dipakai semakin meningkatkan nilai diagnosa dari kultur. Selain di
CSS, kultur juga dapat dilakukan di darah,
sputum, dan bilasan bronkoalveolar.
Kultur jamur kuantitatif saat ini dapat dilakukan di dua RS pendidikan di Jakarta dan Bandung yang sekaligus dapat dipakai untuk
evaluasi respons terapi serta membedakan antara meningitis kriptokokus relaps dan immune
reconstitution inflammatory syndrome (IRIS).
Gambaran pencitraan yang dapat ditemukan
pada pasien meningitis kriptokokus di antaranya yaitu penyangatan pada meningen, massa
padat/granuloma, atrofi, edema serebri, atau
hidrosefalus. Bila dicurigai adanya gambaran
massa atau kriptokokoma, maka diagnosa
toksoplasmosis otak atau limfoma susunan
saraf pusat (SSP) harus dipertimbangkan.
Tata Laksana Medikamentosa
Suatu tinjauan sistematik terkini menyatakan
skrining antigen kriptokokus dikombinasi tata
laksana dini dengan fiukonazol dapat mencegah meningitis kriptokokus dan menekan angka kematian pada pasien HIV secara bermakna.
Pedoman Nasional Tata Laksana Meningitis
Kriptokokus saat ini merekomendasikan terapi
induksi amfoterisin B (0,7-lmg/kgBB perhari)
intravena selama 2 minggu dikombinasikan
dengan fiukonazol 800-1200mg/hari peroral.
sesudah 2 minggu, terapi dilanjutkan tahap konsolidasi dengan fiukonazol 800mg/hari peroral selama 8 minggu. Pemberian profilaksis
sekunder dengan fiukonazol 200mg/hari tetap
dilanjutkan hingga CD4 >200sel/pL.
Rekomendasi ini belum sejalan dengan
pedoman Infectious Disease Society o f America
bahwa terapi induksi lini pertama untuk
meningitis kriptokokus ialah amfoterisin B
dikombinasi dengan flusitosin (5TC), namun
hingga saat ini flusitosin belum tersedia di
negara kita . Segala usaha harus diupayakan
untuk menyediakan flusitosin di negara kita
demi standar terapi yang optimal.
pemakaian steroid yang awalnya diduga
dapat memperbaiki keluaran pasien meningitis kriptokokus, berdasar studi berskala besar di Afrika dan Asia Tenggara
menunjukkan bahwa deksametason tidak
berhasil menurunkan angka kematian. Studi
ini bahkan dihentikan sebab lebih banyak
efek samping yang ditemukan pada kelompok deksametason dibandingkan lcelompok
plasebo, Oleh sebab itu disimpulkan bahwa
deksametason tidak efektif dalam menurunkan mortalitas dan memperbaiki keluaran pasien HIV positif dengan meningitis
kriptokokus.
Gangguan fungsi ginjal merupakan efek samping terbanyak yang dikaitkan dengan penggunaan amfoterisin B. Efek ini pada
umumnya dapat diprediksi, namun dapat
berkembang menjadi kondisi yang serius jika
tidak dilakukan pemantauan ketat. Hal ini
merupakan tantangan tersendiri bagi RS dengan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan.
Hipokalemia juga seringkali menjadi efek
samping amfoterisin B yang cukup sulit untuk dikoreksi. Hipokalemia berat bahkan
seringkali ireversibel meskipun amfoterisin B tidak lagi diberikan, Oleh sebab itu,
pemantauan balans cairan dan elektrolit
sangat penting baik sebelum ataupun saat
pemberian terapi.
Terapi ARV dini pada meningitis kriptokokus justru dikaitkan dengan peningkatan
angka mortalitas dibandingkan penundaan
pemberian ARV, Satu studi di Zimbabwe
menunjukkan durasi kesintasan pasien dengan penundaan ARV secara signifikan lebih
tinggi dari pada pasien dengan pemberian
dini ARV (637 hari vs 28 hari). Risiko mortalitas juga meningkat 2,85 kali lebih besar.
Oleh sebab itu pemberian ARV dini tidak
direkomendasikan dan harus dihindari
pada pasien dengan meningitis kriptokokus.
Komplikasi
Peningkatan TIK sering ditemukan dan dikaitkan dengan mortalitas. Gejala peningkatan TIK ialah nyeri kepala, gangguan penglihatan, hingga muntah proyektil. Terjadinya
peningkatan TIK pada meningitis kriptokokus diperkirakan akibat obstruksi yang
memicu gangguan reabsorpsi CSS
pada granulasi araknoid oleh kapsul polisakarida jamur. Hal ini dibuktikan dengan
tingginya tekanan pembukaan saat pungsi
lumbal, dengan pengukuran yang dilakukan
sejajar posisi kepala pasien. Pengukuran
ini dilakukan dengan manometer, namun
seringkali tidak tersedia pada fasilitas
kesehatan yang terbatas. Oleh sebab itu
dapat diantisipasi dengan alat pengukur
lain yang dinilai cukup akurat seperti blood
set (intravenous tubing sets).
Pungsi lumbal dapat menjadi pilihan terapi
pada peningkatan TIK dan dapat dikerjakan berulang jika peningkatan TIK masih
berlangsung, sehingga dapat memperbaiki
keluaran pasien. Direkomendasikan untuk
mengeluarkan CSS sebanyak 20-30mL pada
pasien dengan tekanan pembukaan lebih
dari 25cm H20.
ENSEFALITIS TOKSOPLASMA
Pendahuluan
Ensefalitis toksoplasma atau toxoplasma encephalitis (TE) merupakan etiologi infeksi intrakranial terseringyang muncul sebagai lesi
desak ruang di otak pada pasien HIV. Seroprevalensi toksoplasma di negara kita sangat
tinggi dan pernah dilaporkan sebesar 80%
pada populasi orang negara kita sehat. Pasien
HIV yang seropositif terhadap infeksi toksoplasma memiliki peningkatan risiko reaktivasi infeksi dan dapat berkembang menjadi
TE. Adanya defisit neurologis yang bersifat
progresif pada pasien HIV positif dengan
CD4 <100sel/|iL serta pencitraan yang sesuai dengan lesi fokal multipel di otak harus
dicurigai ke arah infeksi toksoplasma.
Epidemiologi
Data dari studi infeksi otak di RSCM tahun
2011 mendapat angka kejadian TE sebesar 48,5% dari keseluruhan 470 masalah infeksi oportunistik pada HIV. Dari penelitian
ini juga didapatkan bahwa case fatality ratio pada TE (0,31) lebih rendah dari
tuberkulosis otak (0,6) dan meningitis kriptokokus (0,51). Hal ini menekankan bahwa
angka kejadian toksoplasmosis otak sebagai
infeksi oportunistik pada HIV sangat tinggi,
namun apabila diatasi secara cepat
akan menghasilkan keluaran yang baik.
Patofisiologi
Toksoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Protozoa ini ada di intraselular yang
masuk ke dalam tubuh manusia melalui jalur
ingesti (per oral) atau transplasental. T. gondii bereplikasi pada manusia sebagai intermediate host dan kucing sebagai tubuh inang
definitif. Manusia umumnya terinfeksi sesudah
mengonsumsi ookista T. gondii yang ada
pada daging yang tidak matang, air yang terkontaminasi feses kucing, atau pada sayuran
yang tidak dicuci. Ookista yang teringesti
berubah menjadi takizoit, mengalami replikasi yang sangat cepat, lalu menginvasi sel Sel
ini kemudian mati, namun takizoit terus
menyebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan respons inflamasi sistemik.
Pada keadaan imunokompeten, infeksi toksoplasma dikendalikan oleh sistem imunitas
selular. Terdeteksinya takizoit akan mengaktivasi sel T CD4+ untuk mengekspresikan
CD154, menstimulasi sel dendritik dan makrofag untuk mensekresi interleuldn (IL)-12,
serta meningkatkan produksi interferon
gamma (IFN-y). Sitokin ini akan menstimulasi makrofag dan sel nonfagositik untuk
bereaksi terhadap infeksi. Sebagai respons,
takizoit bertransformasi menjadi bradizoit,
yang secara morfologis serupa namun memiliki laju replikasi lebih rendah dari takizoit
Bila terjadi kondisi imunosupresi pada tubuh pejamu, toksoplasma dapat kembali bertransformasi menjadi takizoit dan bermanifestasi sebagai infeksi sistemik.
Gejala dan Tanda Klinis
Sebagian besar toksoplasmosis pada pasien
HIV terjadi sebab reaktivasi infeksi kronik dan bermanifestasi sebagai TE. Pasien
HIV dengan CD4 <50sel/pL berisiko
tertinggi. Gejala lclinis pada TE umumnya
memiliki onset subakut dengan gejala dan
tanda yang tersering dikeluhkan ialah nyeri
kepala (85%), hemiparesis (48%), demam
(47%), penurunan kesadaran (37%), dan
kejang (37%). Namun pasien dapat pula
hanya mengeluhkan nyeri kepala tidak spesifik ataupun gejala psikiatri. Bila tidak segera
diatasi , infeksi dapat berlanjut menjadi infeksi berat yang menimbulkan afasia,
kejang, hingga koma. Toksoplasmosis juga
dapat menginfeksi organ ekstraserebral,
yang tersering ialah mata (korioretinitis toksoplasma) dan paru.
diagnosa dan diagnosa Banding
1. Serologi
Mengingat tingginya seroprevalensi toksoplasma terutama pada negara berkembang seperti negara kita , maka aplikasi
pemeriksaan serologi toksoplasma hanya
untuk mengetahui adanya infeksi laten
toksoplasma pada pasien. Pasien HIV
dengan kecurigaan toksoplasma dapat
diperiksa IgG anti toksoplasma, dan bila
hasilnya didapatkan negatif maka diagnosis toksoplasma dapat dikesampingkan terlebih dahulu. Namun hasil
IgG yang negatif juga dapat ditemukan
pada toksoplasmosis akut. Titer antibodi
kuantitatif tidak memberikan manfaat
terhadap diagnosa toksoplasma.
2. A nalisis C airan O tak
Pungsi lumbal jarang dilakukan pada
pasien HIV yang memiliki defisit neurologis fokal dan lesi fokal multipel pada
pencitraan. Hal ini disebabkan sebab
cukup kuatnya kemungkinan diagnosis TE dan juga adanya risiko herniasi
apabila pungsi lumbal tetap dikerjakan,
terutama pada pasien yang ditemukan
papiledema dan lesi desak ruang yang
disertai herniasi. Pungsi lumbal umumnya dikerjakan pada pasien HIV dengan
CD4 dOOsel/pLyangmemiliki kecurigaan
infeksi otak lain atau pada pasien dengan
kecurigaan toksoplasma yang tidak berespons baik sesudah pemberian terapi empirik. Polymerase chain reaction (PCR)
toksoplasma pada CSS dapat dikerjakan
untuk mengetahui adanya infeksi toksoplasma, namun hal ini tidak dikerjakan
secara rutin.
3 . P e n citra a n O tak
CT scan atau MRI dengan kontras sebaiknya dikerjakan bila menemui pasien
dengan kecurigaan TE. Sebanyak 80%
pasien akan menunjukkan adanya lesi
multipel menyangat kontras di korteks
serebri atau ganglia basal, namun lesi
tunggal juga cukup banyak ditemukan.
Gambaran khas pada toksoplasmosis
otak ialah adanya asymmetric target sign,
yaitu abses menyangat kontras berbentuk cincin yang dapat tervisualisasi pada
CT scan atau MRI [Gambar 2).
Pada CT scan nonkontras yang tampak
hanyalah lesi hipodens atau edema yang
dapat menyerupai lesi fokal otak lainnya.
Pada MR! sekuens T l, dapat terlihat adanya lesi hipointens yang berubah menjadi hiperintens pada sekuens T2. MRI
merupakan modalitas utama yang dapat
mendiagnosa sekaligus mengevaluasi terapi TE sebab dinilai lebih peka
daripada CT scan untuk mendeteksi lesi
multipel.
Salah satu diagnosa banding yang perlu
dipertimbangkan ialah limfoma SSP yang
juga berupa lesi multipel dikelilingi edema
dan efek massa. diagnosa banding lain
yang pada lesi mutipel menyangat kontras pada pasien HIV yaitu toksoplasmosis akut, tumor primer otak, metastasis otak, penyaldt demielinisasi [multipel
sklerosis, vaskulitis}, malformasi arteriovena, infark multifokal, lesi kongenital
[hemangioblastoma pada penyakit von
Hippel-Lindau), atau infeksi otak lain
[abses bakteri, tuberkuloma).
T ata L ak san a
1. P en ceg ah an P ap a ra n T o k so p lasm a
Individu yang baru terdiagnosa HIV
direkomendasikan untuk melakukan
pemeriksaan IgG toksoplasma untuk
mengetahui adanya infeksi laten terhadap T. gondii. Guna meminimalisasi
terjadinya infeksi toksoplasma, perlu diberikan penjelasan untuk menghindari
daging mentah atau setengah matang.
Pasien harus mencuci tangan sesudah
berkontak dengan daging mentah atau
tanah, serta selalu mencuci buah dan
sayur sebelum dimakan. Kucing sebagai
binatang peliharaan juga harus diberi
perhatian khusus supaya tidak menjadi
hewan pejamu yang dapat menularkan
toksoplasma.
2. P em b erian P ro filak sis P rim e r
Pasien HIV dengan CD4 <100sel/pL dengan serologi toksoplasma yang positif
perlu mendapat profilaksis primer,
yaitu trimetoprim-sulfametoksazol (TMPSMX) 960mg satu kali hari, yang juga
efektif sebagai profilaksis pneumocystis
jirovecii pneumonia (PCP).
Pemberian profilaksis terhadap TE dapat
dihentikan pada pasien dewasa yang telah
menerima ARV dan CD4 >200sel/pL selama 3 bulan berturut-turut Oleh sebab
pemberian profilaksis terns menerus hanya
memiliki sedikit manfaat dalam mencegah toksoplasmosis, memiliki potensi terjadinya toksisitas dan interaksi obat, serta
dapat menciptakan patogen resisten obat,
selain juga pertimbangan biaya.
3 . T ata L ak san a M ed ik am en tosa
Terapi tahap akut yaitu pirimetamin ditambah dengan sulfadiazin dan leukovorin [Tabel 1). Pirimetamin memiliki kemampuan penetrasi terhadap parenkim
otak secara efisien, sedangkan leukovorin mengurangi kemungkinan toksisitas
hematologi akibat pirimetamin. Terapi
alternatif yang direkomendasikan pada
pasien yang tidak dapat menerima sulfadiazin atau tidak berespons terhadap
terapi lini pertama yaitu pirimetamin,
klindamisin, dan leukovorin. Namun
kombinasi ini tidak dapat sekaligus menjadi profilaksis PCP, sehingga tetap perlu
penambahan obat. Pada suatu uji klinis
dilaporkan bahwa pemberian TMP-SMX
lebih mudah ditolerir dan cukup efektif
dibandingkan pirimetamin-sulfadiazin.
Apabila pemberian pirimetamin harus
ditunda, mayoritas sebab anemia, maka
TMP-SMX harus diberikan.
Pasien umumnya memberikan respons
klinis yang baik sesudah 14 hari terapi tahap
akut Pemberian terapi akut sebaiknya tidak dihentikan selama minimal 3-6 minggu. sesudah menyelesaikan terapi akut,
pasien sebaiknya melanjutkan dengan dosis rumatan kronik. Dosis rumatan kronik
yang direkomendasikan yaitu setengah
dari dosis yang diberikan saat terapi tahap
akut. Terapi rumatan diberikan hingga
CD4 >200sel/jiL selama 6 bulan berturutturut sesudah pemberian ARV.
Terapi tambahan berupa kortikosteroid
seperti deksametason dapat diberikan
pada pasien yang memiliki lesi fokal disertai edema dan tanda herniasi. Pemberiannya harus dievaluasi dan dihentikan
sesegera mungkin sebab adanya potensi
imunosupresi. Pasien dengan steroid harus
dimonitor ketat untuk menghindari infeksi oportunistik lain, seperti tuberkuiosis
dan cytomegalovirus.
Hingga saat ini, belum ada rekomendasi
waktu yang tepat untuk memulai ARV
pada pasien TE. Laporan mengenai IRIS
pada TE sangat jarang. Para klinisi umumnya memulai inisiasi ARV pada 2-3 minggu
sesudah diagnosa .
MULTIPEL SKLEROSIS
PENDAHULUAN
Multipel sklerosis (MS] yaitu penyakit autoimun berupa inflamasi kronik pada sistem
saraf pusat (SSP]. Pada MS terjadi proses
demielinisasi pada SSP yang dapat mengakibatkan kecacatan. MS umumnya menyerang
perempuan usia muda dengan rasio kekerapan dibandingkan dengan laki-laki sebesar
2:1 sampai 4:1.
Etiologi MS hingga saat ini belum diketahui
dengan pasti. Banyakstudi memperlihatkan
interaksi antara kerentanan genetik dan
faktor lingkungan menjadi pemicu proses
imunologis yang memicu demielinisasi. Faktor lingkungan yang banyak diteliti
yaitu letak lintang, paparan sinar matahari
dan vitamin D, riwayat infeksi virus EpsteinBarr (EBV) dan respons imun adaptif terhadap infeksi EBV, merokok, serta higiene.
MS di negara kita masih tergolong penyakit
yang langka mesldpun jumlahnya terus bertambah. Sulitnya penegakan diagnosa MS
dan masih sangat mahalnya harga obat-obat
MS memicu tingginya beban ekonomi pada penyakit ini.
E P ID EM IO LO G I
berdasar atlas MS 2013 yang dikeluarkan oleh Multiple Sclerosis International
Federation, jumlah penyandang MS di dunia tahun 2008 sekitar 2,1 juta orang dan
bertambah menjadi 2,3 juta orang di tahun 2013. MS ditemukan di semua negara
dengan prevalensi yang sangat bervariasi.
Di Amerika Utara dan Eropa prevalensi MS
merupakan yang tertinggi di dunia yaitu
140/100.000 dan 108/100.000. Adapun
prevalensi terendah didapatkan di Afrika
dan Asia Timur yaitu 2,1/100.000 dan
2, 2/ 100.000.
berdasar peta ini prevalensi MS di
negara kita berkisar antara 0-5/100.000. Di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Rusmana
mencatat 20 masalah MS selama tahun 2014
sampai dengan pertengahan tahun 2016.
PA TO FISIO LO G I
Karakteristik patologi MS yaitu ditemukannya plak yang merupakan hasil dari
demielinisasi, degradasi neuronal dan aksonal, serta jaringan parut astrosit. Pada seseorang yang memiliki kerentanan genetik
terhadap MS akan terjadi reaksi silang antara antigen lingkungan dengan komponen
mielin dan atau oligodendrosit atau protein
mielin seperti protein S-100, fosfodiesterase, dan lain-lain. Hal ini memicu sensitisasi
iimfosit T sehingga bersifat autoreaktif terhadap mielin dan oligodendrosit yang telah
mengalamai reaksi silang ini .
fika antigen [yang bereaksi silang dengan
mielin) memasuki tubuh, makrofag akan
memfagositosis antigen ini (Gambar
1). Antigen presenting cells (APC) seperti
sel dendritik mempresentasikan antigen
atau protein antigen ini dengan membentuk kompleks antara antigen dengan major histocompatibility complex (MHC) pada
permukaan sel. Kompleks antigen dengan
MHC akan dikenali oleh reseptor pada permukaan sel limfosit T CD4. Akibatnya sel
terebut akan teraktivasi dan berdiferensiasi
menjadi sel T helper 1 (Thl). Thl akan memicu sitokin proinflamasi yang selanjutnya
akan mengakitivasi reseptor molekul adhesi
endotel pembuluh darah sawar darah otak,
Akibatnya sawar darah otak menjadi lebih
mudah dilalui oleh sel T.
sesudah menembus sawar darah otak, Thl
akan mengalami reaktivasi oleh APC, hanya
saja antigen yang dibawa APC kali ini yaitu
protein mielin. Reaktivasi akan memicu sitokin proinflamasi, nitrit oksida, antibodi,
komplemen juga molekul-molekul yang
memediasi apoptosis. Sitokin proinflamasi
juga akan menstimulasi mikroglia dan astrosit sehingga permeabilitas sawar darah
otak menjadi semakin meningkat, Molekul
kemotaksis yang memfasilitasi masuknya
sel T, antibodi, dan juga makrofag juga ikut
terstimulasi. Kaskade imun akan beraldbat
pada edema, demielinisasi juga kematian
akson.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
ada 3 subtipe MS yaitu:
1. R elapsing Rem itting M ultiple Sclerosis
(RRMS)
Merupakan tipe MS yang tersering (85-
90% ). Karakteristik subtipe ini yaitu
adanya pola relaps remisi. Periode remisi dapat berlangsung beberapa bulan
atau tahun tanpa ada gejala baru. Sekitar
65% pasien dengan RRMS akan berkembang menjadi secondary progressive MS.
2. Secondary Progressive M ultiple Sclerosis (SPMS)
Subtipe ini merupakan kelanjutan dari
RRMS. Median waktu antara diagnosa
RRMS dan progresivitas menjadi SPMS
yaitu 19 tahun. Laki-laki lebih cepat
mengalami progresivitas. Selain itu semakin tua usia saat terdiagnosa akan semakin cepat mencapai tahap progresif.
Pada SPMS pola relaps remisi menjadi
semakin jarang dan digantikan oleh gejala neurologis yang progresif.
3. Prim ary P rogressive M ultiple S clerosis (PPMS)
PPMS ditemukan pada 10-15% masalah .
Subtipe ini tidak melalui tahap relaps remisi seperti SPMS. Progresivitas penyaldt berlangsung sejak gejala pertama dan
terjadi akumulasi disabilitas pada masalah ini. Kondisi ini bisa mengalami tahap
plateau untuk periode waktu tertentu.
Pasien PPMS umumnya lebih tua dibanding subtipe lainnya dan lebih sering
ditemukan pada laki-laki.
Gejala MS merupakan gambaran kerusakan
mielin pada SSP. Pasien seringkali lupa atau
tidak mengenali gejala awal sebagai gejala
neuroiogis. Gejala awal dapat berupa gejala
tunggal atau kombinasi dengan gejala lainnya. Gejala muncul dengan onset subakut
dalam hitungan hari hingga minggu. Meskipun demikian pada beberapa masalah gejala
muncul dengan onset akut. Apabila gejala
awal yang muncul ringan, seringkali pasien
tidak berobat dan ini dapat berlangsung
beberapa bulan hingga tahun. Gejala awal
umumnya akan membaik dalam waktu 6-12
minggu.
Manifestasi MS dapat sangat bervariasi. Gejala yang cukup tipikal yaitu letih, depresi,
disfungsi kognitif, spastisitas, nyeri, gangguan BAB dan BAK, disfungsi ereksi, dan
gangguan penglihatan. Gejala lainnya dapat
berupa tremor, ataksia, vertigo, kelemahan,
gejala ekstrapiramidal, gangguan sensorik,
dan gangguan gerak.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
diagnosa
diagnosa awal MS terutama berdasar
gambaran klinis. Kriteria diagnostik yang
banyak dipakai saat ini yaitu kriteria
McDonald revisi tahun 2010.
1. Untuk menegakkan diagnosa MS dibutuhkan 2 atau lebih serangan yang disertai dengan bukti klinis obyektif yang
menunjukkan adanya 2 lesi atau lebih
atau hanya 1 bukti klinis obyektif namun
ada riwayat bukti klinis obyektif
dari serangan sebelumnya.
2. Apabila didapatkan 2 serangan atau lebih namun hanya ada 1 bukti klinis
obyektif maka dibutuhkan:
@ Dissemination in space (DIS), yaitu
apabila pada gambaran MRI didapatkan lebih atau sama dengan 1 lesi
pada minimal 2 dari 4 area tipikal MS
(periventrikular, jukstakortikal, infratentorial, dan medula spinalis}
® Jika tidak didapatkan DIS, maka tunggu serangan berikutnya.
3. Apabila baru terjadi 1 kali serangan namun disertai dengan 2 bukti Minis obyektif
maka dibutuhkan:
® Dissemination in time (DIT), yaitu apabila pada gambaran MRI didapatkan
lesi lain yang asimtomatik yang menyangat atau tidak menyangat kontras.
Atau adanya lesi baru pada T2 atau
yang menyangat kontras yang dilakukan pada saat follow up, tanpa melihat
waktu pelaksanaan MRI sebelumnya
® Jika tidak didapatkan DIT, maka tunggu serangan berikutnya,
4. Apabila baru terjadi 1 kali serangan dan
hanya 1 bukti Minis obyektif (clinically isolated syndrome/CIS} yang menunjukkan
adanya 1 lesi, maka dibutuhkan DIS dan DIT
Untuk PPMS, kriteria diagnosa yang dipergunakan yaitu sebagai berikut:
Adanya progresivitas penyakit dalam 1 tahun terakhir disertai 2 dari 3 kriteria di
bawah ini:
1. ada DIS pada otak berdasar adanya 1 atau lebih lesi pada potongan T2
pada area khas MS (periventrikuler, jukstakortikal, atau infratentorial).
2. ada DIS pada medula spinalis berdasarkan adanya 2 atau lebih lesi T2
pada medula spinalis.
3. Pita oligoklonal pada cairan serebrospinal (CSS) positif atau ada peningkatan IgG pada CSS.
Apabila seluruh kriteria dapat terpenuhi
dan tidak ada penjelasan lain yang dapat
memicu manifestasi Minis ini
maka diagnosa MS dapat ditegakkan. Apabila ada kecurigaan MS namun kriteria
belum terpenuhi maka disebut possible MS.
Namun apabila masih ada kecurigaan pemicu lain (misal infeksi, neoplasma, metabolik) pada proses penegakan diagnosa
maka diagnosa masalah ini bukan MS.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
M agnetic R esonance Im aging (MRI)
MRI menjadi bagian yang sangat penting
pada penegakan diagnosa MS sesudah Minis. Sekuens T2 mampu mendeteksi lesi di
infratentorial lebih baik sedangkan sekuens
fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR)
memiliki sensitivitas yang tinggi untuk lesi
di jukstakortikal dan periventrikuler substansia alba. Penyangatan kontras umumnya terlihat pada lesi aktif. Bentuk lesi dan
letak lesi dapat membantu mengenali lesi
MS pada gambaran MRI. Lesi berbentuk
ovoid di bagian dalam substansia alba atau
dengan perpanjangan ke korpus kalosum
(,Dawson's finger) merupakan lesi yang cukup khas ditemukan pada MS (Gambar 3).
Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat
membantu dalam penegakan diagnosa MS
yaitu evoked potential dan pemeriksaan
CSS namun kedua pemeriksaan ini tidak
spesifik untuk MS. Pemeriksaan evoked potential yang dapat dipakai dan memiliki
sensitivitas yang cukup baik yaitu visual
evoked potential (VEP). Hasil VEP yang sesuai dengan lesi demielinisasi dapat menjadi bukti Minis obyektif.
Pemeriksaan CSS membantu menyingkirkan diagnosa banding terutama infeksi otak,
Pemeriksaan IgG dan pita oligoklonal memiliki sensitivitas yang tinggi tetapi tidak spesifik untuk MS. Pita oligoklonal juga dapat
ditemukan pada penyakit lain seperti lupus
eritematosus sistemik, neurosarkoidosis,
perdarahan intrakranial, dan Iain-lain.
diagnosa BANDING
MS dapat menyerupai banyak penyakit lain
sehingga sebelum sampai pada diagnosa
MS maka diagnosa banding harus disingkirkan terlebih dahulu.
® Infeksi SSP, sangat penting untuk disingkirkan sebelum memulai terapi.
Oleh sebab itu pungsi lumbal perlu
dikerj akan pada masalah -masalah dengan
kecurigaan MS. Pada infeksi seperti progressive multifocal leukoencephalopathy
yang disebabkan oleh virus JC (John Cunningham] juga terjadi proses demielinisasi. Selain itu infeksi seperti tuberkulosis, HIV, dan virus lain juga sebaiknya
disingkirkan terlebih dahulu.
• Penyakit vaskular otak, seperti cerebral
autosomal dominant arteriopathy with subcortical infarcts and leukoencephalopathy
(CADASIL), vaskulitis, dan infark lakunar.
© Penyakit autoimun lainnya, seperti neuromielitis optik (NMO), acute disseminated encephalomyelitis, lupus eritematosus
sistemik sindrom Sjogren, dan sarkoidosis.
® Neoplasma SSP, seperti limfoma, glioma,
ensefalomielitis paraneoplastik, dan kompresi medula spinalis akibat metastasis.
® Metabolik/toksik, seperti defisiensi vitamin B12, central pontine myelinolysis.
® Penyakit idiopatik/genetik, seperti degenerasi spinoserebelar, ataksia Friedreich, malformasi Arnold-ChiarL
® Gangguan psikiatri berupa reaksi konversi.
TATA LAKSANA
Tata laksana MS terbagi atas terapi relaps
dan terapi jangka panjang.
Terapi Relaps
Terapi ini hanya diberikan pada saat relaps,
tidak untuk jangka panjang. Pilihan pertama untuk terapi relaps yaitu metilprednisolon IV atau oral 500-1000m g selama
3-5 hari. Penurunan dosis pascapemberian
metilprednisolon SOO-lOOOmg masih menjadi kontroversi. Sebuah studi yang membandingkan kelompok dengan dan tanpa
penurunan dosis metilprednisolon memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan
kesembuhan yang bermakna antara kedua
kelompok ini .
Terapi Jangka Panjang
Terapi jangka panjang disesuaikan dengan
subtipe MS. Direkomendasikan untuk memberikan disease modifying drug (DMD) pada
pasien yang telah terdiagnosa MS sesegera
mungkin. Hal Ini bertujuan untuk memperlambat progresivitas penyakit. DMD yang
tersedia di negara kita saat ini hanya interferon-Bla, interferon-Blb, dan fingolimod.
Interferon-61 a dan interferon-61 b merupakan terapi pilihan untuk CIS dan RRMS. Indikasi pemberian dan rekomendasi dosis DMD
pada MS dapat dilihat pada Tab el 1 dan 2.
Interferon-6 bekerja dengan berikatan pada
reseptor spesifik di permukaan sel sistem
imun dan mengubah ekpresi dari beberapa
gen yang berakibat pada menurunnya jumlah molekul adhesi, menghambat ekspresi
MHC-II, mengurangi migrasi sel inflamasi ke
dalam SSP, menghambat sintesis sitokin proinflamasi dan meningkatkan sintesis sitokin
antiinflamasi. Interferon-6 la diberikan dengan dosis 22-44gg 2-3x/minggu subkutan.
Fingolimod merupakan DMD dalam bentuk
oral dengan dosis 0,5mg/hari. Fingolimod
dipakai pada tipe MS yang sangat aktif
atau pada RRMS yang mengalami kegagalan dengan terapi interferon. Fingolimod
bekerja dengan mengaktifkan reseptor
sfingosin-1 fosfat sehingga menghambat
dilepaskannya limfosit ke dalam sirkulasi
dari kelenjar getah bening.
Pada kondisi di mana DMD tidak dapat diberikan maka untuk terapi jangka panjang
dapat diberikan imunosupresan seperti
azatioprin. Metilprednisolon tidak dianjurkan untuk terapi jangka panjang
NEUROMIELITIS OPTIK
Neuromielitis optik (NMO] atau Devic's syndrome merupakan penyakit autoimun yang
memicu demielinisasi berat terutama
pada nervus optikus dan medula spinalis. Pada
awalnya NMO dianggap sebagai bagian (subgroup) dari multipel sklerosis (MS] sebab
gejalanya yang tumpang tindih. Saat ini telah
diketahui bahwa patofisiologi kedua penyaldt
ini berbeda. Ditambah lagi dengan penemuan
antibodi terhadap anti-aquaporin-4 (AQP4]
mempertegas bahwa yang berperan pada
NMO yaitu imunitas humoral. Pengetahuan
mengenai peran antibodi NMO sangat penting
untuk mengembangkan terapi yang rasional
pada penyaldt ini.
EPIDEMIOLOGI
Insiden NMO bervariasi di berbagai negara.
Sebuah studi telaah sistematik mendapat insiden NMO berkisar antara 0,053-0,4
per 100,000 penduduk sedangkan prevalensinya 0,52-4,4 per 100,000 penduduk.
Seperti kebanyakan penyakit autoimun lainnya, NMO lebih banyak menyerang wanita.
Median usia saat onset 30,5-55,2 tahun,
sedildt lebih tua daripada median usia MS.
Meskipun demildan NMO dapat muncul
pada usia anak maupun usia lanjut. Seropositif antibodi AQP4 juga lebih sering ditemukan pada wanita.
PATOFISIOLOGI
masalah pertama adanya sindrom dengan manifestasi di nervus optikus dan medula spinalis
dilaporkan oleh Antoine Postal pada abad
ke-19. Penyakit ini terus ditemukan, hingga
pada tahun 1894, seorang neurolog Perancis,
Eugene Devic bersama dengan Fernand Dault,
pertama kali memakai terminologi neuromielitis optik untuk sebuah sindrom klinis
yang terdiri dari neuritis optik dan mielitis
transversa akut. Penelitian mengenai patogenesis terus dilakukan, dan pada tahun 2004
Lennon dan Wingerchuk mendeteksi adanya
immunoglobulin G neuromielitis optik (IgGNMO atau IgG-AQP4), antibodi spesifik yang
membedakan NMO dengan MS. Satu tahun
kemudian, Lennon dkk menemukan bahwa
IgG-NMO berikatan secara spesifik terhadap
kanal air AQP4 dan hipotesis inilahyangdianut
sebagai patogenesis NMO hingga saat ini.
AQP4 merupakan protein transmembran
yang secara selektif mengatur transpor
air pada sel tertentu di otak. AQP4 paling
banyak ditemukan di SSP dan diekspresikan
di membran astrosit, berhadapan langsung
dengan membran darah-otak dan darah-cairan serebrospinal (CSS], namun dapat juga
ditemukan di otot rangka, sel epitel ginjal, dan kelenjar eksokrin. Peran ini sangat
penting untuk fungsi biologis sel seperti
transpor air transepitelial, terutama antara
darah-otak dan darah-CSS, migrasi sel, dan
neuroeksitasi. Ditemukannya autoantibodi
terhadap AQP4 cukup spesifik dalam mendiagnosa NMO, dimana IgG-AQP4 akan berikatan dengan podosit astrosit, mengaktifkan
komplemen, memicu sitotoksisitas dependen komplemen (complement-dependent
cytotoxicity/CDC], inflitrasi leukosit, pelepasan sitokin, dan kerusakan sawar darah otak
(Gambar 1), Kaskade ini berakhir sebagai kematian oligodendrosit, hilangnya mielin dan
neuron, lalu muncul sebagai gejala dan tanda
klinis demielinisasi pada NMO.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Saat ini NMO dan MS sudah dapat dibedakan berdasar lokasi lesi, perjalanan klinis, hingga adanya penanda biologis spesifik
yang menjadi karakteristik NMO, NMO lebih
banyak bersifat polifasik, namun dapat juga
muncul sebagai gejala monofasik. Bentuk polifasik lebih sering ditemukan [90%] berupa
serangan neuritis optik atau mielitis, atau
keduanya yang terjadi bersamaan. Bentuk
monofasik hanya ditemukan sekitar 10%,
dan pada bentuk ini umumnya neuritis optik
dan mielitis menyerang bersamaan.
Pada 2015, International Panel fo r NMO Diagnosis (IPND) mempublikasikan konsensus internasional kriteria diagnosa untuk
NMOSD, sebagai berikut:
1. NMOSD dengan IgG-AQP4 positif
a. Minimal ada 1 karakteristik Minis utama
b. IgG-AQP4 positifmemakai metode
deteksi terbaik [direkomendasikan cell
based assay)
c. diagnosa alternatiftelah dieksklusi
2. NMOSD dengan IgG-AQP4 negatif atau
status IgG-AQP4 tidak diketahui
a. Minimal ada 2 karakteristik Minis utama yang muncul pada 1 kali
relaps atau lebih dan memenuhi kriteria berikut ini:
® Setidaknya 1 dari karakteristik klinis
utama yaitu neuritis optik, mielitis
altut dengan long extended transverse
myelitis (LETM) atau sindrom area
postrema
© Dissemination in space, yaitu >2 sindrom Minis yang berbeda.
© Temuan MRI yang mendukung sindrom ini
b. IgG-AQP4 negatif
c. diagnosa alternatif telah dieksklusi
3. Karakteristik klinis utama
a. Neuritis optik
b. Mielitis akut
c. Sindrom area postrema/dorsal medula
d. Sindrom batang otak/periependimal
akut
e. Narkolepsi simtomatik atau sindrom
Minis diensefalik akut dengan MRI diensefalon yang tipikal NMOSD
f. Sindrom serebral simtomatik dengan
lesi otak tipikal NMOSD
4. Gambaran MRI yang harus terpenuhi
pada NMOSD dengan IgG-AQP4 negatif
atau tidak diketahui
a. Neuritis optik akut: MRI otak harus
© Normal atau hanya ada lesi substansia alba yang nonspesifik, atau
® Hiperintens pada nervus optikus
pada MRI sekuens T2 atau lesi menyangat gadolinium pada sekuens
T1 dengan panjang lebih dari Vz
nervus optikus atau melibatkan
kiasma optikus
b. Mielitis akut:
© Pada MRI didapatkan lesi pada >3
segmen intramedula spinalis yang
berdekatan (LETM], atau
© Atrofi fokal pada >3 segmen medula spinalis yang berdekatan pada
pasien dengan riwayat mielitis akut
c. Sindrom area postrema: Adanya lesi
pada area postrema atau dorsal medula
d. Sindrom batang otak akut: Adanya
lesi pada batang otak periependimal
Poin penting pada konsensus ini ialah
bahwa diagnosa NMOSD baru dapat ditegakkan sesudah mengalami satu serangan klinis,
tidak cukup hanya dibuktikan dengan ditemukannya IgG-AQP4 atau temuan MRI yang
sesuai namun asimtomatik.
Gejala klinis tersering yang dikeluhkan
pasien dengan NMO ialah nyeri okular dan
gangguan visus (neuritis optik] dan mielitis
transversa akut dengan para/tetraplegia, gangguan sensorik di bawah lesi, dan gangguan
otonom. Serangan neuritis optik maupun
mielitis pada NMO seringkali lebih berat
dibandingkan dengan MS. NMO berpotensi
mengancam nyawa jika lesi meluas ke medula spinalis servikal dan batang otak sebab
berpotensi memicu gagal napas.
sesudah serangan pertama, sebanyak 60%
pasien mengalami relaps dalam 1 tahun
dan 90% dalam 3 tahun. Disebutkan pula
bahwa pasien NMO yang sudah seropositif
sejak awal berisiko lebih besar untuk
mengalami relaps. sesudah 5 tahun, sebanyak
50% pasien dengan perjalanan penyakit
relaps juga mengalami kebutaan unilateral,
bilateral, atau bahkan imobilisasi. Faktorfaktor yang dapat memperberat prognosis
di antaranya yaitu : 1) sering relaps pada
2 tahun pertama penyakit, 2) derajat keparahan sangat berat pada serangan pertama,
3) koeksistensi penyakit autoimun lain (terutama lupus eritematosus sistemik/LES).
Angka kesintasan 5 tahun ialah 90% pada
pasien dengan gejala monofasik dan 68%
dengan gejala relaps. pemicu kematian
terbanyak ialah akibat gagal napas.
diagnosa DAN diagnosa BANDING
Penegakan diagnosa NMO dilakukan dengan
penilaian gejala dan tanda klinis sesuai kriteria diagnosa , ditunjang dengan pemeriksaan serologi dan pencitraan yang mendukung ke arah NMO sesudah etiologi lain
disingkirkan.
Pemeriksaan Antibodi NMO
Autoantibodi terhadap kanal air aquaporin-4 (IgG-AQP4 atau IgG-NMO) hingga saat
ini dianggap sebagai penanda biologis spesifik yang memainkan peran penting pada
patogenesis NMO dan NMOSD. Pemeriksaan
ini dapat dilakukan pada CSS maupun serum. Antibodi ini memberikan sensitivitas
sebesar 73% dan spesifisitas 91% untuk
pasien dengan gejala NMO. Namun sebanyak
10-25% pasien NMO memberikan hasil
yang seronegatif. Kondisi ini menunjukkan
adanya faktor lain yang dapat terlibat dalam
patogenesis NMO, diduga ialah autoantibodi
terhadap aquaporin-1 (AQPl-Abs) dan antibodi terhadap glikoprotein dari mielin oligodendrosit (IgG-MOG).
Pemeriksaan Cairan Serebrospinal
Adanya pleositosis [>50sel/mm3) dengan
predominan neutrofil serta peningkatan
protein (100-500mg/dl} merupakan hasil
yang banyak ditemukan pada pasien NMO.
Meskipun jarang, pita oligoklonal juga dapat
ditemukan pada NMO (15-30% ) namun lebih banyak pada MS (85-90%),
Pencitraan
Pemeriksaan MRI otak pada awal penyakit
NMO umumnya normal namun dapat juga
ditemukan lesi nonspesifik, umumnya asimtomatik dan perlu dipastikan tidak memenuhi
kriteria MS. Nilai diagnostik yang lebih tinggi
pada NMO yaitu temuan pada MRI di medula
spinalis, yang tersering berupa lesi longitudinal pada tiga atau lebih segmen vertebra [long
segment myelopathy), seperti pada Gambar 2.
Lesi ini 98% peka dan 83% spesifik untuk
NMO.
diagnosa Banding pada NMO
diagnosa banding utama pada NMO ialah MS,
sebab keduanya secara klinis memiliki beberapa kemiripan. Tidak ada gambaran klinis
yang dapat mengeksklusi diagnosa NMOSD,
namun beberapa hal ini dapat mengarahkan
lata kepada diagnosa banding lainnya, yaitu:
1) perjalanan klinis progresif tanpa adanya
hubungan antara relaps dan perburukan penyakit, 2) durasi serangan yang atipikal (<4
jam atau >4 minggu], 3} Mielitis transversa
parsial, 4] ditemukannya pita oligoklonal
pada cairan serebrospinal (CSS], 5] kondisi
lain seperti sarkoidosis, keganasan, infeksi
kronik (contoh: HIV], dan 6) temuan MRI yang
atipikal. NMO juga dapat muncul bersama
dengan penyakit autoimun lain seperti LES,
sindrom Sjogren