Tampilkan postingan dengan label neurologi 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label neurologi 8. Tampilkan semua postingan

neurologi 8

 











bahwa pada 


saat ini di negara kita , untuk setiap masalah  yang 


menunjukkan infeksi otak dengan gejala dan 


tanda klinis neurologi yang bersifat subakutkronik hingga persisten dan pada keadaan 


lanjut menjadi progresif, maka harus selalu 


dipikirkan diferensial diagnosa  infeksi TB 


pada sistem saraf pusat. Demikian pula pada 

setiap keadaan demam yang tidak diketahui 


pemicu nya, kemungkinan TB di SSP juga 


harus dipertimbangkan.


Tingkat keparahan meningitis TB yang diperkenalkan oleh Medical Research Council


(MRC) pada tahun 1948 masih sesuai hingga 


saat ini untuk menentukan prognosis, yaitu:


® MRC derajat I: Skala koma Glasgow


(SKG) 15, tanpa defisit neurologis fokal


® MRC derajat I: SKG 11-14, atau SKG 15 


dengan defisit neurologis fokal


© MRC derajat III: SKG <10, dengan atau 


tanpa defisit neurologis fokal


Secara berurutan, gambaran pencitraan 


otak yang paling sering dijumpai pada meningitis TB yaitu  hidrosefalus, penyangatan 

meningen, penyangatan pada daerah basal, 


tuberkuloma, dan infark (Gambar 2). Sekitar 


20-40% pasien meningitis memperlihatkan 


gambaran infark pada CT scan. MRI otak 


jauh lebih peka  untuk melihat infark pada 


meningitis TB dibandingkan CT scan dengan 


lokasi tersering di ganglia basal.


diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


Analisis cairan serebrospinal pada kebanyakan masalah  meningitis TB memperlihatkan pleiositosis dengan predominan 


limfosit, protein yang tinggi, dan rasio 


glukosa CSS dibandingkan glukosa serum 


yang rendah. Walaupun demikian gambaran analisis CSS seperti ini dapat dijumpai 


pada keadaan Iain baik itu infeksi otak 


maupun bukan infeksi otak.


Pemeriksaan BTA di CSS dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen dapat dikerjakan dengan cepat, namun memiliki sensitivitas 


yang rendah (10-20% ). Untuk pemeriksaan BTA disarankan memakai  volume CSS>6mL dengan sentrifugasi dan 


pengamatan mikroskopis yang dikerjakan 


selama 20-30 menit.


Pemeriksaan kultur yang merupakan baku 


emas memiliki sensitivitas yang lebih baik 


(60-70%), namun membutuhkan waktu 2-8 


minggu. Walaupun demikian, kultur tidak 


cukup peka  untuk menyingldrkan adanya 


meningitis TB. Keputusan untuk memberikan 


terapi tidak harus menunggu hasil kultur jika 


kemungkinan meningitis TB tinggi.


berdasar  konsensus International Tuberculous Meningitis Workshop di Afrika SeIatan (2009), diagnosa  definitif meningitis 


TB ditegakkan berdasar  salah satu dari 


kriteria berikut:


® Ditemukannya basil tahan asam (BTA) 


pada CSS.


• M. tuberculosis tumbuh pada kultur CSS.


® Pemeriksaan asam nukleat M. tuberculosis (GeneXpert® MTB/Rif atau polymerase


chain reaction/PCR) positif pada pasien 


dengan klinis meningitis TB.


Pada tahun 2014 WHO merekomendasikan 


pemeriksaan GeneXpert® MTB/Rif sebagai alat diagnositik meningitis TB. Pemeriksaan ini mudah dikerjakan oleh tenaga 


laboratorium dan hasilnya cepat, selain juga 


dapat diperoleh informasi ada tidaknya resistensi terhadap rifampisin. Namun hasil 


GeneXpert® MTB/Rif yang negatif tidak menyingkirkan diagnosa  meningitis TB.


Pada bulan Mei 2015 para peneliti TB yang 


berkumpul di Dalat Vietnam merekomendasikan suatu algoritma pemeriksaan cairan 


yang cocok diterapkan untuk masalah  meningitis dengan onset >5 hari dan pada populasi 


daerah endemis infeksi TB dan HIV sedang 


sampai tinggi (Gambar 3).


Terapi empirik meningitis TB dapat diberikan 


pada keadaan demam, saldt kepala, gangguan 


kesadaran, kejang dan atau gangguan neurologis Iain yang bersifat progresif, dengan onset 


subakut sampai kronik. Pada umumnya, onset 


meningitis TB di atas 7 hari dan diperkuat dengan ditemukannya salah satu hal di bawah ini:


® Adanya pleiositosis (jumlah sel >5) dan 


rasio glukosa CSS:darah <50% pada 


analisis rutin CSS.


® Pencitraan memperlihatkan gambaran 


yang sesuai dengan meningitis TB, misalnya hidrosefalus, obliterasi sisterna basal 


oleh reaksi peradangan, dan tuberkuloma.


® Foto toraks menunjukkan TB mi Her.

 

Gambaran klinis meningitis kriptokokussangat sulit dibedakan dengan meningitis 


TB, sebab  keduanya memiliki perjalanan 


penyakit yang kronik. Waiaupun dapat terjadi pada pasien HIV negatif, namun meningitis kriptokokus umumnya terjadi pada 


pasien HIV positif. Kedua keadaan ini hanya 


dapat dibedakan dengan pemeriksaan mikrobiologi atau molekular pada CSS.


TATA LAKSANA


Hingga saat ini panduan pengobatan meningitis TB mengikuti panduan pengobatan 


TB paru. Tingginya kematian pasien meningitis TB dan perbedaan daya tembus obat ke 


otak dan CSS dengan jaringan paru menuntut perbaikan dalam pengobatan . Pemeriksaan laboratorium untuk diagnosa  meningitis TB juga belum memiliki sensitivitas 


yang cukup tinggi, sehingga pada keadaan tertentu dokter harus memulai pengobatan empirik, Waiaupun terapi empirik sudah dimulai, usaha untuk mendapat  diagnosa  


mikrobiologi dan molekular harus tetap 


dilakukan sebab  pengobatan meningitis TB 


yang memakan waktu panjang dan berisiko 


menghadapi efeksamping. diagnosa  definitif akan membantu dokter membuat pilihan 


yang rasional saat menghadapi komplikasi 


atau membuat keputusan menghentikan 


OAT sebab  hepatitis toksik terkait OAT 

Tata Laksana Medikamentosa


Agar berhasil dalam fungsinya, OAT harus 


dapat menembus CSS serta mencapai fokus 


infelcsi TB di parenldm dan selaput otak. Ada 


dua penghalang untuk mencapai hal ini, yaitu 


sawar darah-otak (SDO) atau blood brain barrier (BBB) dan sawar darah-CSS.SDO terdiri dari 


kapiler di parenldm otak dan sel glia, sedangkan sawar darah-CSS yaitu  pleksus koroid 


dan sel epitel yang meliputinya. Sudah banyak 


studi yang mempelajari daya tembus OAT melalui sawar darah-CSS, namun pengetahuan 


tentang daya tembus OAT melalui sawar darahotak dan cara kerja OAT di jaringan parenldm 


otak masih belum banyak diketahui.


pengobatan  OAT lini satu untuk meningitis 


TB diberikan selama 12 bulan yang dibagi 


menjadi 2 tahap , yaitu pengobatan 2 bulan 


pertama dan pengobatan 10 bulan berikutnya. Untuk 2 bulan pertama dipakai  


kombinasi 4 obat yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin, sedangkan untuk 10 bulan selanjutnya hanya 2 obat yaitu isoniazid dan 


rifampisin (Tabel 2),


Isoniazid merupakan obat yang memiliki 


daya tembus yang sangat baik ke CSS dengan kadar puncak tercapai 6 jam sesudah 


pemberian oral. Obat ini memiliki early bactericidal activity (EBA)tertinggi diantara 


semua obat lini satu.


Rifampisin merupakan salah satu tulang 


punggung dalam pengobatan meningitis 


TB. Hal ini diperlihatkan dengan tingginya 


angka kematian pasien meningitis TB yang 


memiliki resistensi terhadap rifampisin. 


Sayangnya, daya tembus rifampisin ke CSS 


tidak terlalu baik, sehingga beberapa penelitian berusaha memperbaiki ldnerja tersebut. Ganiem, dkk di Bandung mendapat  


perbedaan keluaran tingkat kematian pada 


pasien yang mendapat  pengobatan standar dibandingkan dengan rifampisin dosis 


tinggi intravena yang dikombinasikan dengan moksifloksasin. Penelitian pada TB 


paru di Afrika Selatan melaporkan dosis 


rifampisin sampai 35mg/kg cukup aman 


dan dapat ditoleransi oleh pasien selama 2 


minggu.


Pirazinamid memiliki daya tembus yang sangat baik ke CSS. EBA pirazinamid rendah 


pada beberapa hari di awal pengobataan, namun pada hari ke 4 sampai 14, kemampuannya menjadi setara dengan rifampisin dan 


isoniazid. Pirazinamid juga bersifat aktif terhadap bakteri ekstra selular, Mengingat tingginya 

resistensi isoniazid dan daya tembus rifampisin yang tidak terlalu baik, peran pirazinamid 


dalam pengobatan meningitis TB perlu untuk 


mendapat  penelitian lebih lanjut.


Etambutol sedikit lebih baik daya tembusnya ke otak bila dibandingkan dengan streptomisin. Peningkatan dosis etambutol dapat 


meningkatkan kadarnya di CSS, namun hal 


ini akan meningkatkan risiko toksisitas retinitis retrobulbar,


Streptomisin merupakan obat dengan daya 


tembus ke otak sangat buruk, pada keadaan 


tidak ada inflamasi di otak, obat ini tidak 


dapat tembus ke CSS sama sekali. Walaupun 


demildan obat ini masih mendapat tempat 


sebagai obat ke empat bila ada kontraindikasi etambutol. Untuk pasien HIV disarankan tidak memakai  streptomisin, sebab  obat 


ini harus disuntikkan secara intramuskular.


Penambahan deksametason pada pengobatan meningitis TB dapat menurunkan 


mortalitas pada kelompok pasien HIV negatif


dengan rekomendasi dosis seperti pada Tab el


3. Untuk pasien HIV positif, manfaat deksametason belum jelas. Efek samping yang dapat 


terjadi akibat pemberian deksametason 


yaitu  perdarahan gastrointestinal. Bila terjadi perdarahan gastrointestinal direkomendasikan untuk rnenghentikan deksametason. 


Tidak dianjurkan pemberian obat penghambat reseptor H2 dengan tujuan untuk mencegah perdarahan gastrointestinal akibat pemberian deksametason.


KOMPLIKASI


Hiponatremia merupakan salah satu komplikasi yang cukup sering dijumpai pada 


meningitis TB dan merupakan pemicu  


perburukan yang harus dicari sebab  keadaan ini sebagian besar dapat diatasi   


dengan baik. Hiponatremia pada meningitis 


TB dapat disebabkan oleh insufisiensi adrenal, syndrome o f inappropriate secretion o f


antidiuretic h orm on e(S I AD H), dan cerebral


salt wasting syndrome (CSWS). 

Komplikasi lain yang juga banyak ditemukan 


ialah hidrosefalus, baik komunikans maupun 


nonkomunikans, Tindakan pirau ventrikuloperitoneal (yentriculo-peritoneal shunt) dianjurkan sedini mungkin untuk pasien dengan hidrosefalus obstruktif. Selain itu dapat 


juga dipertimbangkan pemasangan drainase 


ventrikel eksternal dan ventrikulostomi ventrikel III perendoskopik. Untuk pasien dengan hidrosefalus komunikans, pada tahap 


awal dapat diberikan furosemid (40mg/24 


jam pada pasien dewasa; lmg/kgBB pada 


pasien anak), pemberian asetazolamid (10- 


20mg/kg8B pada pasien dewasa; 30-50mg/ 


kgBB pada pasien anak), atau pungsi lumbal berulang. Bila pengobatan ini  tidak menunjukkan perbaikan Minis dengan 


pengobatan medikamentosa, tindakan pirau 


ini  juga dianjurkan.


Stroke pada meningitis TB merupakan 


prediktor yang buruk. Deksametason saja


tampaknya tidak dapat mencegah kejadian 


infark pada meningitis TB. Suatu penelitian 


meningitis TB dengan komplikasi vaskulitis 


di India memperlihatkan manfaat aspirin 


dosis ISOmg terhadap mortalitas dan perbaikan gambaran MRI.


Peningkatan enzim transaminase terjadi 


pada 20% pasien yang mendapat  OAT 


lini pertama. Hal ini dapat terjadi sebelum atau sesudah  pengobatan dimulai, dan 


seringkali akan membaik dengan sendirinya. Penghentian pemberian OAT akibat 


efek hepatotoksisitas imbas obatpada meningitis TB sangat mempengaruhi keluaranmeningitis TB. Sampai saat ini belum ada 


suatu penelitian yang cukup baik dalam pengobatan  hepatotoksisitas imbas OAT. Gejala 


klinisnya sangat bervariasi dari yang tanpa 


gejala sama sekali sampai terjadi kegagalan 


hati, seperti ikterus, anoreksia, mual, dan 


nyeri abdomen.

 

Gejala Minis gangguan fungsi hati aMbat OAT 


tidak spesifik. Diperlukan monitor pemeriksaan iaboratorium secara berkala, oleh 


sebab  hepatotoksisitas imbas OAT sangat 


sulit diprediksi. Faktor-faktor yang berperan diantaranya kerentanan secara genetik, 


adanya malnutrisi, serta hepatitis C dan B. 


Penting untuk menerangkan kepada pasien 


mengenai masalah inidan menekankan pentingnya pemeriksaan rutin untuk memantau 


perkembangan penyakit Manajemen hepatotoksisitas imbas OAT pada panduan meningitis TB dari British Infection Association


yaitu  sebagai berikut:


® Bila serum transaminase meningkat lebih dari 5 kali normal, direkomendasikan untuk menghentikan pirazinamid, 


tetap melanjutkan isoniazid dan rifampisin dengan melakukan pemeriksaan 


fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin, albumin, dan waktu protrombin) setiap hari.


® Bila serum albumin turun dan waktu 


protrombin meningkat, atau enzim 


transaminase meningkat terus, isoniazid dan rifampisin juga diberhentikan. Selanjutnya diberikan etambutol, 


streptomisin, dan levofloksasin.


® Rifampisin dan isoniazid harus segera 


diberikan kembali secara bertahap 


sesudah  fungsi hati menjadi normal. 


sesudah  dosis terapi rifampisin dan isoniazid tercapai, barulah pirazinamid 


diberikan.


® Pemberian kembali OAT sesudah  dihentikan akibat hepatotoksitas imbas OAT 


dapat dilihat pada Tabel 4. 








INFEKSI OPORTUNISTIK SUSUNAN SARAF PUSAT


PADA AIDS



MENINGITIS KRIPTOKOKUS




Meningitis kriptokokus merupakan salah 


satu infeksi oportunistik tersering pada 


pasien imunokompromais. Sebagian besar 


bermanifestasi sebagai meningitis subakut/ 


kronik, meskipun temuan patologis menunjukkan adanya invasi jaringan yang luas pada 


parenkim otak dan meningen. Penyakit ini 


memiliki angka mortalitas yang sangat tinggi, 


meskipun dengan pemberian kombinasi antijamur. Pada uji klinis di Vietnam, angka kematiannya mencapai 35,9%; sedangkan pada 


studi Cryptodex, angka kematian 10 minggu 


pada subyek dari negara kita  mencapai 52,7%.


Tata laksana segera berdasar  diagnosa  


yang cepat dan tepat merupakan kunci dalam 


menghadapi infeksi fatal ini. Oleh sebab  itu 


kemungkinan meningitis kriptokokus harus selalu dipertimbangkan dalam menghadapi pasien imunokopromais, terutama 


pada pasien human immunodeficiency virus/


acquired immunodeficiency syndrome (HIV/ 


AIDS). Manajemen masalah  meningitis kriptokokus merupakan suatu tantangan bagi para 


klinisi di negara kita , terutama akibat terbatasnya akses ke fasilitas diagnostik dan obatobatan yang tidak selalu tersedia.


Epidemiologi


Meningitis kriptokokus merupakan infeksi 


jamur sistemik tersering dan pemicu 


infeksi otak paling banyak pada pasien 


HIV Prevalensinya bervariasi antara 10- 


30% , tertinggi ditemukan di benua Afrika. Ganiem dkk di Bandung menemukan 


prevalensi meningitis kriptokokus sebesar 29,8% pada pasien HIV positif, dan 


8,1% dari keseluruhan pasien dengan gejala meningitis subakut. Meskipun insidens 


meningitis kriptokokus telah mengalami 


penurunan sesudah  diperkenalkannya terapi 


antiretroviral (ARV), namun masih menjadi 


pemicu  kematian terbanyak terutama 


pada negara dengan keterbatasan fasilitas 


kesehatan.


Patofisiologi


Jamur pemicu  berasal dari genus Cryptococcus, dengan spesies terbanyak ialah Cryptococcus neoformans var, grubii {serotipe A). 


Spesies ini memiliki distribusi paling luas 


di seluruh belahan dunia dan merupakan 


etiologi tersering meningitis kriptokokus 


pada pasien imunokompromais. Subspesies 


yang juga dapat menjadi pemicu  ialah C.


neoformans gatii (serotipe B dan C) dan C.


neoformans neoformans.


Kriptokokus ialah jamur berkapsul yang 


banyak ditemukan di negara tropis dan 


subtropis, Jamur berbentuk bulat, memiliki diameter 3-6pm, dengan binding berupa 


kapsul polisakarida saat berada di tubuh inang 


atau ditumbuhkan di media kultur. Jamur ini

  

dapat tumbuh pada media dengan suhu 20- 


37°C, padahal sebagian besar strain kriptokokus yang nonpatogen tidak dapat bertahan hidup pada suhu ini.


Organisme ini memiliki predileksi khusus 


ke otak, diduga melalui melalui kerja enzim 


laccase yang memicu produksi melanin dari 1-dopa. Masuknya kriptokokus ke 


tubuh inang dimulai dari inhalasi ragi dan 


basiodiospora ke alveoli paru. Respons tubuh terhadap infeksi kriptokokus melibatkan komponen seluler dan humoral, meliputi sel natural killer, limfosit T, makrofag, 


dan terbentuknya antibodi antikriptokokus. 


Infeksi primer ini pada umumnya asimtomatik, kemudian dapat berlanjut menjadi 


infeksi laten atau dorman. Reaktivasi infeksi 


laten merupakan proses yang mendasari 


terjadinya meningitis kriptokokus pada 


pasien HIV. Melalui beberapa mekanisme 


imunologis, organisme ini dapat terhindar 


dari proses fagositosis. Gagalnya proses fagositosis inilah yang memicu diseminasi sistemik jamur kriptokokus.


Penetrasi jamur terhadap sawar darahotak (SDO) atau blood brain barrier (BBB) 


merupakan proses kunci terjadinya meningitis kriptokokus. ada  dua hipotesis mekanisme invasi jamur, yaitu model 


transmigrasi transselular dan model "Trojan horse”. Pada model transselular, invasi C. 


neoformans terjadi melalui kapiler serebral, 


bukan pleksus koroid. Organisme ini dapat 


menginvasi human brain microvascular endothelial cells (HBMECs) dan mengalami 


diseminasi aktif pada parenkim otak. Pada 


hipotesis ini juga dijelaskan bahwa terjadi 


degradasi dari okludin, protein utama pembentuk tight junction di SDO. Kedua proses 


ini memicu gangguan atau longgarnya 


tight junction sehingga jamur dapat melewati SDO. Pada model “Trojan horse", sel 


ragi dapat menginvasi sel-sel fagosit, terutama makrofag, sehingga dapat terhindar 


dari fagositosis. Selain itu, faktor virulensi 


jamur juga diduga memiliki kontribusi pada 


diseminasi ekstrapulmoner.


Proses inflamasi pada infeksi kriptokokus 


di susunan saraf pusat (SSP) melibatkan 


imunitas selular dan banyak sitokin. Seperti 


halnya pada infeksi kronik lainnya, proteksi 


sistem imun dikaitkan dengan pembentukan jaringan granulomatosa yang bertujuan 


membatasi perluasan infeksi dan inflamasi. Sitokin seperti tumor necrosis factor-a


(TNF-a), IL-12, dan IL-6, dan interferon-y 


(IFN-y) juga memiliki sifat protektif. 


Tingginya konsentrasi ketiga sitokin tersebut dikaitkan dengan kesintasan pasien. 


Namun mekanisme proteksi ini tidak terjadi 


pada pasien HIV, sebab  adanya gangguan 


sistem imunitas selular.


Munculnya gejala klinis pada meningitis 


kriptokokus bukan hanya akibat proses 


inflamasi, namun juga akibat replikasi C.


neoformans pada SSP yang memicu 


gangguan reabsorpsi cairan serebrospinal 


(CSS). Gangguan reabsorbsi ini terjadi di vili 


subaraknoid dan pembuluh darah limfatik 


akibat peningkatan viskositas CSS oleh akumulasi polisakarida jamur yang membentuk sumbatan mikroskopik, serta sumbatan 


akibat sel jamur itu sendiri. Hal inilah yang 


memicu manifestasi Minis yang muncul pada meningitis kriptokokus didominasi 


oleh tanda dan gejala akibat peningkatan 


tekanan intrakranial (T1K). Gejala dan Tanda Klinis


Pada umumnya, pasien dengan meningitis 


kriptokokus menunjukkan kondisi infeksi 


berat. Terutama pada AIDS, penyakit ini dikaitkan dengan kondisi imunosupresi lanjut 


yaitu CD4 <100sel/|uL. Gambaran klinis klasik yang ditemukan pada meningitis kriptokokus ialah gejala infeksi berupa demam 


dan adanya tanda peningkatan TIK akibat 


gangguan penyerapan CSS. Gejala peningkatan TIK terbanyak yang dikeluhkan ialah 


nyeri kepala (73-81% }, sehingga dianggap 


sebagai common practice bahwa setiap keluhan nyeri kepala pada pasien imunokompromais terutama HIV, diagnosa  meningitis 


kriptokokus harus selalu dipertimbangkan.


Adanya peningkatan TIK pada pasien meningitis kriptokokus juga dapat muncul 


se-bagai gejala gangguan penglihatan, diplopia, muntah proyektil, hingga penurunan 


ke-sadaran yang menandai bahwa TIK sudah semakin tinggi. Tanda klinis yang dapat 


ditemukan antara lain meningismus, papiledema, paresis saraf kranial, ataupun kejang. 


Jika terjadi hidrosefalus sebagai komplikasi


infeksi, maka dapat pula bermanifestasi sebagai gangguan kognitif atau gangguan gait.


diagnosa  dan diagnosa  Banding


Penegakan diagnosa  definit meningitis 


kriptokokus umumnya tidak sulit selama 


dapat dilakukan pungsi lumbal Masalahnya pungsi lumbal tidak selalu dapat dikerjakan pada pasien dengan kecurigaan 


klinis me-ningitis. Oleh sebab  itu, diagnosa  


meningitis kriptokokus ditegakkan melalui 


beberapa metode, yaitu 1} pemeriksaan mikroskopik langsung pada cairan serebrospinal [CSS], 2} deteksi antigen kriptokokus, 3} 


kultur, dan 4} pemeriksaan histopatologi.


Pemeriksaan mikroskopik CSS menggunakan tinta india masih merupakan standar diagnosis meningitis kriptokokus (Gambar 1). 


Hal ini bertujuan untuk menemukan jamur 


di CSS, namun memilild keterbatasan berupa 


berkurangnya sensitivitas pada pasien dengan konsentrasi jamur {fungal burden] 


yang rendah di dalam CSS. Pungsi lumbal 


dapat diulang kembali bila kecurigaan klinis 


sangat kuat, namun pemeriksaan tinta india 


memberikan hasil yang negatif. 

Metode kedua untuk mendeteksi jamur 


kriptokokus yaitu  dengan deteksi antigen 


kriptokokus [Cryptococcal Antigen/Qrbg]


melalui teknik lateral flow immunochromatographic assay (LFA) di CSS. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan cepat dan 


juga dapat dideteksi dari cairan tubuh lain, 


seperti serum dan bilasan bronkoalveolar. 


LFA juga dapat dipakai  sebagai skrining 


adanya kriptokokosis subklinis pada pasien. 


Suatu studi pada populasi pasien HIV di negara kita  mendeteksi antigen kriptokokus 


dalam darah (antigenemia kriptokokus) 


sebanyak 7,1% dari 810 pasien HIV yang 


belum mendapat  ARV. Hal ini berkaitan 


dengan peningkatan kejadian meningitis 


kriptokokus dan angka kematian.


Pemeriksaan kultur jamur merupakan standar baku emas diagnosa  meningitis kriptokokus dan umumnya membutuhkan waktu 


3-8 hari untuk tumbuh. Semakin besar volume CSS yang dipakai  semakin meningkatkan nilai diagnosa  dari kultur. Selain di 


CSS, kultur juga dapat dilakukan di darah, 


sputum, dan bilasan bronkoalveolar.


Kultur jamur kuantitatif saat ini dapat dilakukan di dua RS pendidikan di Jakarta dan Bandung yang sekaligus dapat dipakai  untuk 


evaluasi respons terapi serta membedakan antara meningitis kriptokokus relaps dan immune


reconstitution inflammatory syndrome (IRIS).


Gambaran pencitraan yang dapat ditemukan 


pada pasien meningitis kriptokokus di antaranya yaitu  penyangatan pada meningen, massa 


padat/granuloma, atrofi, edema serebri, atau 


hidrosefalus. Bila dicurigai adanya gambaran 


massa atau kriptokokoma, maka diagnosa  


toksoplasmosis otak atau limfoma susunan 


saraf pusat (SSP) harus dipertimbangkan.


Tata Laksana Medikamentosa


Suatu tinjauan sistematik terkini menyatakan 


skrining antigen kriptokokus dikombinasi tata 


laksana dini dengan fiukonazol dapat mencegah meningitis kriptokokus dan menekan angka kematian pada pasien HIV secara bermakna. 


Pedoman Nasional Tata Laksana Meningitis 


Kriptokokus saat ini merekomendasikan terapi 


induksi amfoterisin B (0,7-lmg/kgBB perhari) 


intravena selama 2 minggu dikombinasikan 


dengan fiukonazol 800-1200mg/hari peroral. 


sesudah  2 minggu, terapi dilanjutkan tahap  konsolidasi dengan fiukonazol 800mg/hari peroral selama 8 minggu. Pemberian profilaksis 


sekunder dengan fiukonazol 200mg/hari tetap 


dilanjutkan hingga CD4 >200sel/pL.


Rekomendasi ini  belum sejalan dengan 


pedoman Infectious Disease Society o f America


bahwa terapi induksi lini pertama untuk 


meningitis kriptokokus ialah amfoterisin B 


dikombinasi dengan flusitosin (5TC), namun 


hingga saat ini flusitosin belum tersedia di 


negara kita . Segala usaha harus diupayakan 


untuk menyediakan flusitosin di negara kita  


demi standar terapi yang optimal.


pemakaian  steroid yang awalnya diduga 


dapat memperbaiki keluaran pasien meningitis kriptokokus, berdasar  studi berskala besar di Afrika dan Asia Tenggara 


menunjukkan bahwa deksametason tidak 


berhasil menurunkan angka kematian. Studi 


ini bahkan dihentikan sebab  lebih banyak 


efek samping yang ditemukan pada kelompok deksametason dibandingkan lcelompok 


plasebo, Oleh sebab  itu disimpulkan bahwa 


deksametason tidak efektif dalam menurunkan mortalitas dan memperbaiki keluaran pasien HIV positif dengan meningitis 


kriptokokus. 

Gangguan fungsi ginjal merupakan efek samping terbanyak yang dikaitkan dengan penggunaan amfoterisin B. Efek ini  pada 


umumnya dapat diprediksi, namun dapat 


berkembang menjadi kondisi yang serius jika 


tidak dilakukan pemantauan ketat. Hal ini 


merupakan tantangan tersendiri bagi RS dengan keterbatasan jumlah tenaga kesehatan.


Hipokalemia juga seringkali menjadi efek 


samping amfoterisin B yang cukup sulit untuk dikoreksi. Hipokalemia berat bahkan 


seringkali ireversibel meskipun amfoterisin B tidak lagi diberikan, Oleh sebab  itu, 


pemantauan balans cairan dan elektrolit 


sangat penting baik sebelum ataupun saat 


pemberian terapi.


Terapi ARV dini pada meningitis kriptokokus justru dikaitkan dengan peningkatan 


angka mortalitas dibandingkan penundaan 


pemberian ARV, Satu studi di Zimbabwe 


menunjukkan durasi kesintasan pasien dengan penundaan ARV secara signifikan lebih 


tinggi dari pada pasien dengan pemberian 


dini ARV (637 hari vs 28 hari). Risiko mortalitas juga meningkat 2,85 kali lebih besar. 


Oleh sebab  itu pemberian ARV dini tidak 


direkomendasikan dan harus dihindari 


pada pasien dengan meningitis kriptokokus.


Komplikasi


Peningkatan TIK sering ditemukan dan dikaitkan dengan mortalitas. Gejala peningkatan TIK ialah nyeri kepala, gangguan penglihatan, hingga muntah proyektil. Terjadinya 


peningkatan TIK pada meningitis kriptokokus diperkirakan akibat obstruksi yang 


memicu gangguan reabsorpsi CSS 


pada granulasi araknoid oleh kapsul polisakarida jamur. Hal ini dibuktikan dengan 


tingginya tekanan pembukaan saat pungsi


lumbal, dengan pengukuran yang dilakukan 


sejajar posisi kepala pasien. Pengukuran 


ini dilakukan dengan manometer, namun 


seringkali tidak tersedia pada fasilitas 


kesehatan yang terbatas. Oleh sebab  itu 


dapat diantisipasi dengan alat pengukur 


lain yang dinilai cukup akurat seperti blood


set (intravenous tubing sets).


Pungsi lumbal dapat menjadi pilihan terapi 


pada peningkatan TIK dan dapat dikerjakan berulang jika peningkatan TIK masih 


berlangsung, sehingga dapat memperbaiki 


keluaran pasien. Direkomendasikan untuk 


mengeluarkan CSS sebanyak 20-30mL pada 


pasien dengan tekanan pembukaan lebih 


dari 25cm H20.


ENSEFALITIS TOKSOPLASMA


Pendahuluan


Ensefalitis toksoplasma atau toxoplasma encephalitis (TE) merupakan etiologi infeksi intrakranial terseringyang muncul sebagai lesi 


desak ruang di otak pada pasien HIV. Seroprevalensi toksoplasma di negara kita  sangat 


tinggi dan pernah dilaporkan sebesar 80% 


pada populasi orang negara kita  sehat. Pasien 


HIV yang seropositif terhadap infeksi toksoplasma memiliki peningkatan risiko reaktivasi infeksi dan dapat berkembang menjadi 


TE. Adanya defisit neurologis yang bersifat 


progresif pada pasien HIV positif dengan 


CD4 <100sel/|iL serta pencitraan yang sesuai dengan lesi fokal multipel di otak harus 


dicurigai ke arah infeksi toksoplasma.


Epidemiologi


Data dari studi infeksi otak di RSCM tahun 


2011 mendapat  angka kejadian TE sebesar 48,5% dari keseluruhan 470 masalah  infeksi oportunistik pada HIV. Dari penelitian

 

ini  juga didapatkan bahwa case fatality ratio pada TE (0,31) lebih rendah dari 


tuberkulosis otak (0,6) dan meningitis kriptokokus (0,51). Hal ini menekankan bahwa 


angka kejadian toksoplasmosis otak sebagai 


infeksi oportunistik pada HIV sangat tinggi, 


namun apabila diatasi   secara cepat 


akan menghasilkan keluaran yang baik.


Patofisiologi


Toksoplasmosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Protozoa ini ada  di intraselular yang 


masuk ke dalam tubuh manusia melalui jalur 


ingesti (per oral) atau transplasental. T. gondii bereplikasi pada manusia sebagai intermediate host dan kucing sebagai tubuh inang 


definitif. Manusia umumnya terinfeksi sesudah  


mengonsumsi ookista T. gondii yang ada  


pada daging yang tidak matang, air yang terkontaminasi feses kucing, atau pada sayuran 


yang tidak dicuci. Ookista yang teringesti 


berubah menjadi takizoit, mengalami replikasi yang sangat cepat, lalu menginvasi sel Sel 


ini  kemudian mati, namun takizoit terus 


menyebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan respons inflamasi sistemik.


Pada keadaan imunokompeten, infeksi toksoplasma dikendalikan oleh sistem imunitas 


selular. Terdeteksinya takizoit akan mengaktivasi sel T CD4+ untuk mengekspresikan 


CD154, menstimulasi sel dendritik dan makrofag untuk mensekresi interleuldn (IL)-12, 


serta meningkatkan produksi interferon 


gamma (IFN-y). Sitokin ini akan menstimulasi makrofag dan sel nonfagositik untuk 


bereaksi terhadap infeksi. Sebagai respons, 


takizoit bertransformasi menjadi bradizoit, 


yang secara morfologis serupa namun memiliki laju replikasi lebih rendah dari takizoit 


Bila terjadi kondisi imunosupresi pada tubuh pejamu, toksoplasma dapat kembali bertransformasi menjadi takizoit dan bermanifestasi sebagai infeksi sistemik.


Gejala dan Tanda Klinis


Sebagian besar toksoplasmosis pada pasien 


HIV terjadi sebab  reaktivasi infeksi kronik dan bermanifestasi sebagai TE. Pasien 


HIV dengan CD4 <50sel/pL berisiko 


tertinggi. Gejala lclinis pada TE umumnya 


memiliki onset subakut dengan gejala dan 


tanda yang tersering dikeluhkan ialah nyeri 


kepala (85%), hemiparesis (48%), demam 


(47%), penurunan kesadaran (37%), dan 


kejang (37%). Namun pasien dapat pula 


hanya mengeluhkan nyeri kepala tidak spesifik ataupun gejala psikiatri. Bila tidak segera 


diatasi  , infeksi dapat berlanjut menjadi infeksi berat yang menimbulkan afasia, 


kejang, hingga koma. Toksoplasmosis juga 


dapat menginfeksi organ ekstraserebral, 


yang tersering ialah mata (korioretinitis toksoplasma) dan paru.


diagnosa  dan diagnosa  Banding


1. Serologi


Mengingat tingginya seroprevalensi toksoplasma terutama pada negara berkembang seperti negara kita , maka aplikasi 


pemeriksaan serologi toksoplasma hanya 


untuk mengetahui adanya infeksi laten 


toksoplasma pada pasien. Pasien HIV 


dengan kecurigaan toksoplasma dapat 


diperiksa IgG anti toksoplasma, dan bila 


hasilnya didapatkan negatif maka diagnosis toksoplasma dapat dikesampingkan terlebih dahulu. Namun hasil 


IgG yang negatif juga dapat ditemukan 


pada toksoplasmosis akut. Titer antibodi 


kuantitatif tidak memberikan manfaat 


terhadap diagnosa  toksoplasma. 

2. A nalisis C airan O tak


Pungsi lumbal jarang dilakukan pada 


pasien HIV yang memiliki defisit neurologis fokal dan lesi fokal multipel pada 


pencitraan. Hal ini disebabkan sebab  


cukup kuatnya kemungkinan diagnosis TE dan juga adanya risiko herniasi 


apabila pungsi lumbal tetap dikerjakan, 


terutama pada pasien yang ditemukan 


papiledema dan lesi desak ruang yang 


disertai herniasi. Pungsi lumbal umumnya dikerjakan pada pasien HIV dengan 


CD4 dOOsel/pLyangmemiliki kecurigaan 


infeksi otak lain atau pada pasien dengan 


kecurigaan toksoplasma yang tidak berespons baik sesudah  pemberian terapi empirik. Polymerase chain reaction (PCR) 


toksoplasma pada CSS dapat dikerjakan 


untuk mengetahui adanya infeksi toksoplasma, namun hal ini tidak dikerjakan 


secara rutin.


3 . P e n citra a n O tak


CT scan atau MRI dengan kontras sebaiknya dikerjakan bila menemui pasien


dengan kecurigaan TE. Sebanyak 80% 


pasien akan menunjukkan adanya lesi 


multipel menyangat kontras di korteks 


serebri atau ganglia basal, namun lesi 


tunggal juga cukup banyak ditemukan. 


Gambaran khas pada toksoplasmosis 


otak ialah adanya asymmetric target sign,


yaitu abses menyangat kontras berbentuk cincin yang dapat tervisualisasi pada 


CT scan atau MRI [Gambar 2).


Pada CT scan nonkontras yang tampak 


hanyalah lesi hipodens atau edema yang 


dapat menyerupai lesi fokal otak lainnya. 


Pada MR! sekuens T l, dapat terlihat adanya lesi hipointens yang berubah menjadi hiperintens pada sekuens T2. MRI 


merupakan modalitas utama yang dapat 


mendiagnosa  sekaligus mengevaluasi terapi TE sebab  dinilai lebih peka  


daripada CT scan untuk mendeteksi lesi 


multipel.


Salah satu diagnosa  banding yang perlu 


dipertimbangkan ialah limfoma SSP yang 


juga berupa lesi multipel dikelilingi edema

 

dan efek massa. diagnosa  banding lain 


yang pada lesi mutipel menyangat kontras pada pasien HIV yaitu  toksoplasmosis akut, tumor primer otak, metastasis otak, penyaldt demielinisasi [multipel 


sklerosis, vaskulitis}, malformasi arteriovena, infark multifokal, lesi kongenital 


[hemangioblastoma pada penyakit von 


Hippel-Lindau), atau infeksi otak lain 


[abses bakteri, tuberkuloma).


T ata L ak san a


1. P en ceg ah an P ap a ra n T o k so p lasm a


Individu yang baru terdiagnosa  HIV 


direkomendasikan untuk melakukan 


pemeriksaan IgG toksoplasma untuk 


mengetahui adanya infeksi laten terhadap T. gondii. Guna meminimalisasi 


terjadinya infeksi toksoplasma, perlu diberikan penjelasan untuk menghindari 


daging mentah atau setengah matang. 


Pasien harus mencuci tangan sesudah  


berkontak dengan daging mentah atau 


tanah, serta selalu mencuci buah dan 


sayur sebelum dimakan. Kucing sebagai 


binatang peliharaan juga harus diberi 


perhatian khusus supaya tidak menjadi 


hewan pejamu yang dapat menularkan 


toksoplasma.


2. P em b erian P ro filak sis P rim e r


Pasien HIV dengan CD4 <100sel/pL dengan serologi toksoplasma yang positif 


perlu mendapat  profilaksis primer, 


yaitu trimetoprim-sulfametoksazol (TMPSMX) 960mg satu kali hari, yang juga 


efektif sebagai profilaksis pneumocystis


jirovecii pneumonia (PCP).


Pemberian profilaksis terhadap TE dapat 


dihentikan pada pasien dewasa yang telah


menerima ARV dan CD4 >200sel/pL selama 3 bulan berturut-turut Oleh sebab  


pemberian profilaksis terns menerus hanya 


memiliki sedikit manfaat dalam mencegah toksoplasmosis, memiliki potensi terjadinya toksisitas dan interaksi obat, serta 


dapat menciptakan patogen resisten obat, 


selain juga pertimbangan biaya.


3 . T ata L ak san a M ed ik am en tosa


Terapi tahap  akut yaitu  pirimetamin ditambah dengan sulfadiazin dan leukovorin [Tabel 1). Pirimetamin memiliki kemampuan penetrasi terhadap parenkim 


otak secara efisien, sedangkan leukovorin mengurangi kemungkinan toksisitas 


hematologi akibat pirimetamin. Terapi 


alternatif yang direkomendasikan pada 


pasien yang tidak dapat menerima sulfadiazin atau tidak berespons terhadap 


terapi lini pertama yaitu  pirimetamin, 


klindamisin, dan leukovorin. Namun 


kombinasi ini tidak dapat sekaligus menjadi profilaksis PCP, sehingga tetap perlu 


penambahan obat. Pada suatu uji klinis 


dilaporkan bahwa pemberian TMP-SMX 


lebih mudah ditolerir dan cukup efektif 


dibandingkan pirimetamin-sulfadiazin. 


Apabila pemberian pirimetamin harus 


ditunda, mayoritas sebab  anemia, maka 


TMP-SMX harus diberikan.


Pasien umumnya memberikan respons 


klinis yang baik sesudah  14 hari terapi tahap  


akut Pemberian terapi akut sebaiknya tidak dihentikan selama minimal 3-6 minggu. sesudah  menyelesaikan terapi akut, 


pasien sebaiknya melanjutkan dengan dosis rumatan kronik. Dosis rumatan kronik 


yang direkomendasikan yaitu  setengah 


dari dosis yang diberikan saat terapi tahap  

akut. Terapi rumatan diberikan hingga 


CD4 >200sel/jiL selama 6 bulan berturutturut sesudah  pemberian ARV.


Terapi tambahan berupa kortikosteroid 


seperti deksametason dapat diberikan 


pada pasien yang memiliki lesi fokal disertai edema dan tanda herniasi. Pemberiannya harus dievaluasi dan dihentikan 


sesegera mungkin sebab  adanya potensi 


imunosupresi. Pasien dengan steroid harus 


dimonitor ketat untuk menghindari infeksi oportunistik lain, seperti tuberkuiosis 


dan cytomegalovirus.


Hingga saat ini, belum ada rekomendasi 


waktu yang tepat untuk memulai ARV 


pada pasien TE. Laporan mengenai IRIS 


pada TE sangat jarang. Para klinisi umumnya memulai inisiasi ARV pada 2-3 minggu 


sesudah  diagnosa .

 








MULTIPEL SKLEROSIS


PENDAHULUAN


Multipel sklerosis (MS] yaitu  penyakit autoimun berupa inflamasi kronik pada sistem 


saraf pusat (SSP]. Pada MS terjadi proses 


demielinisasi pada SSP yang dapat mengakibatkan kecacatan. MS umumnya menyerang 


perempuan usia muda dengan rasio kekerapan dibandingkan dengan laki-laki sebesar 


2:1 sampai 4:1.


Etiologi MS hingga saat ini belum diketahui 


dengan pasti. Banyakstudi memperlihatkan 


interaksi antara kerentanan genetik dan 


faktor lingkungan menjadi pemicu proses 


imunologis yang memicu  demielinisasi. Faktor lingkungan yang banyak diteliti 


yaitu  letak lintang, paparan sinar matahari 


dan vitamin D, riwayat infeksi virus EpsteinBarr (EBV) dan respons imun adaptif terhadap infeksi EBV, merokok, serta higiene.


MS di negara kita  masih tergolong penyakit 


yang langka mesldpun jumlahnya terus bertambah. Sulitnya penegakan diagnosa  MS 


dan masih sangat mahalnya harga obat-obat 


MS memicu  tingginya beban ekonomi pada penyakit ini.


E P ID EM IO LO G I


berdasar  atlas MS 2013 yang dikeluarkan oleh Multiple Sclerosis International


Federation, jumlah penyandang MS di dunia tahun 2008 sekitar 2,1 juta orang dan 


bertambah menjadi 2,3 juta orang di tahun 2013. MS ditemukan di semua negara 


dengan prevalensi yang sangat bervariasi. 


Di Amerika Utara dan Eropa prevalensi MS 


merupakan yang tertinggi di dunia yaitu 


140/100.000 dan 108/100.000. Adapun 


prevalensi terendah didapatkan di Afrika 


dan Asia Timur yaitu 2,1/100.000 dan 


2, 2/ 100.000.


berdasar  peta ini  prevalensi MS di 


negara kita  berkisar antara 0-5/100.000. Di 


RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Rusmana 


mencatat 20 masalah  MS selama tahun 2014 


sampai dengan pertengahan tahun 2016.


PA TO FISIO LO G I


Karakteristik patologi MS yaitu  ditemukannya plak yang merupakan hasil dari 


demielinisasi, degradasi neuronal dan aksonal, serta jaringan parut astrosit. Pada seseorang yang memiliki kerentanan genetik 


terhadap MS akan terjadi reaksi silang antara antigen lingkungan dengan komponen 


mielin dan atau oligodendrosit atau protein 


mielin seperti protein S-100, fosfodiesterase, dan lain-lain. Hal ini memicu sensitisasi 


iimfosit T sehingga bersifat autoreaktif terhadap mielin dan oligodendrosit yang telah 


mengalamai reaksi silang ini  .


fika antigen [yang bereaksi silang dengan

mielin) memasuki tubuh, makrofag akan 


memfagositosis antigen ini  (Gambar 


1). Antigen presenting cells (APC) seperti 


sel dendritik mempresentasikan antigen 


atau protein antigen ini dengan membentuk kompleks antara antigen dengan major histocompatibility complex (MHC) pada 


permukaan sel. Kompleks antigen dengan 


MHC akan dikenali oleh reseptor pada permukaan sel limfosit T CD4. Akibatnya sel 


terebut akan teraktivasi dan berdiferensiasi 


menjadi sel T helper 1 (Thl). Thl akan memicu sitokin proinflamasi yang selanjutnya 


akan mengakitivasi reseptor molekul adhesi 


endotel pembuluh darah sawar darah otak, 


Akibatnya sawar darah otak menjadi lebih 


mudah dilalui oleh sel T.


sesudah  menembus sawar darah otak, Thl 


akan mengalami reaktivasi oleh APC, hanya 


saja antigen yang dibawa APC kali ini yaitu  


protein mielin. Reaktivasi akan memicu sitokin proinflamasi, nitrit oksida, antibodi, 


komplemen juga molekul-molekul yang 


memediasi apoptosis. Sitokin proinflamasi 


juga akan menstimulasi mikroglia dan astrosit sehingga permeabilitas sawar darah 


otak menjadi semakin meningkat, Molekul 


kemotaksis yang memfasilitasi masuknya 


sel T, antibodi, dan juga makrofag juga ikut 


terstimulasi. Kaskade imun akan beraldbat 


pada edema, demielinisasi juga kematian 


akson.


GEJALA DAN TANDA KLINIS


ada  3 subtipe MS yaitu:


1. R elapsing Rem itting M ultiple Sclerosis


(RRMS)


Merupakan tipe MS yang tersering (85- 


90% ). Karakteristik subtipe ini yaitu  


adanya pola relaps remisi. Periode remisi dapat berlangsung beberapa bulan 


atau tahun tanpa ada gejala baru. Sekitar 


65% pasien dengan RRMS akan berkembang menjadi secondary progressive MS.


2. Secondary Progressive M ultiple Sclerosis (SPMS)


Subtipe ini merupakan kelanjutan dari 


RRMS. Median waktu antara diagnosa  


RRMS dan progresivitas menjadi SPMS 


yaitu  19 tahun. Laki-laki lebih cepat 


mengalami progresivitas. Selain itu semakin tua usia saat terdiagnosa  akan semakin cepat mencapai tahap progresif. 


Pada SPMS pola relaps remisi menjadi 


semakin jarang dan digantikan oleh gejala neurologis yang progresif.


3. Prim ary P rogressive M ultiple S clerosis (PPMS)


PPMS ditemukan pada 10-15% masalah . 


Subtipe ini tidak melalui tahap  relaps remisi seperti SPMS. Progresivitas penyaldt berlangsung sejak gejala pertama dan 


terjadi akumulasi disabilitas pada masalah  ini. Kondisi ini bisa mengalami tahap  


plateau untuk periode waktu tertentu. 


Pasien PPMS umumnya lebih tua dibanding subtipe lainnya dan lebih sering 


ditemukan pada laki-laki. 

Gejala MS merupakan gambaran kerusakan 


mielin pada SSP. Pasien seringkali lupa atau 


tidak mengenali gejala awal sebagai gejala 


neuroiogis. Gejala awal dapat berupa gejala 


tunggal atau kombinasi dengan gejala lainnya. Gejala muncul dengan onset subakut 


dalam hitungan hari hingga minggu. Meskipun demikian pada beberapa masalah  gejala 


muncul dengan onset akut. Apabila gejala 


awal yang muncul ringan, seringkali pasien 


tidak berobat dan ini dapat berlangsung 


beberapa bulan hingga tahun. Gejala awal 


umumnya akan membaik dalam waktu 6-12 


minggu.


Manifestasi MS dapat sangat bervariasi. Gejala yang cukup tipikal yaitu  letih, depresi, 


disfungsi kognitif, spastisitas, nyeri, gangguan BAB dan BAK, disfungsi ereksi, dan 


gangguan penglihatan. Gejala lainnya dapat 


berupa tremor, ataksia, vertigo, kelemahan, 


gejala ekstrapiramidal, gangguan sensorik, 


dan gangguan gerak.


diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


diagnosa 


diagnosa  awal MS terutama berdasar  


gambaran klinis. Kriteria diagnostik yang 


banyak dipakai  saat ini yaitu  kriteria 


McDonald revisi tahun 2010.


1. Untuk menegakkan diagnosa  MS dibutuhkan 2 atau lebih serangan yang disertai dengan bukti klinis obyektif yang 


menunjukkan adanya 2 lesi atau lebih 


atau hanya 1 bukti klinis obyektif namun 


ada  riwayat bukti klinis obyektif 


dari serangan sebelumnya.


2. Apabila didapatkan 2 serangan atau lebih namun hanya ada  1 bukti klinis 


obyektif maka dibutuhkan:


@ Dissemination in space (DIS), yaitu 


apabila pada gambaran MRI didapatkan lebih atau sama dengan 1 lesi 


pada minimal 2 dari 4 area tipikal MS 


(periventrikular, jukstakortikal, infratentorial, dan medula spinalis} 

® Jika tidak didapatkan DIS, maka tunggu serangan berikutnya.


3. Apabila baru terjadi 1 kali serangan namun disertai dengan 2 bukti Minis obyektif 


maka dibutuhkan:


® Dissemination in time (DIT), yaitu apabila pada gambaran MRI didapatkan 


lesi lain yang asimtomatik yang menyangat atau tidak menyangat kontras. 


Atau adanya lesi baru pada T2 atau 


yang menyangat kontras yang dilakukan pada saat follow up, tanpa melihat 


waktu pelaksanaan MRI sebelumnya


® Jika tidak didapatkan DIT, maka tunggu serangan berikutnya,


4. Apabila baru terjadi 1 kali serangan dan 


hanya 1 bukti Minis obyektif (clinically isolated syndrome/CIS} yang menunjukkan 


adanya 1 lesi, maka dibutuhkan DIS dan DIT


Untuk PPMS, kriteria diagnosa  yang dipergunakan yaitu  sebagai berikut:


Adanya progresivitas penyakit dalam 1 tahun terakhir disertai 2 dari 3 kriteria di 


bawah ini:


1. ada  DIS pada otak berdasar  adanya 1 atau lebih lesi pada potongan T2 


pada area khas MS (periventrikuler, jukstakortikal, atau infratentorial).


2. ada  DIS pada medula spinalis berdasarkan adanya 2 atau lebih lesi T2 


pada medula spinalis.


3. Pita oligoklonal pada cairan serebrospinal (CSS) positif atau ada  peningkatan IgG pada CSS.


Apabila seluruh kriteria dapat terpenuhi 


dan tidak ada penjelasan lain yang dapat


memicu  manifestasi Minis ini  


maka diagnosa  MS dapat ditegakkan. Apabila ada  kecurigaan MS namun kriteria 


belum terpenuhi maka disebut possible MS. 


Namun apabila masih ada kecurigaan pemicu  lain (misal infeksi, neoplasma, metabolik) pada proses penegakan diagnosa  


maka diagnosa  masalah  ini  bukan MS.


PEMERIKSAAN PENUNJANG


M agnetic R esonance Im aging (MRI)


MRI menjadi bagian yang sangat penting 


pada penegakan diagnosa  MS sesudah  Minis. Sekuens T2 mampu mendeteksi lesi di 


infratentorial lebih baik sedangkan sekuens 


fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) 


memiliki sensitivitas yang tinggi untuk lesi 


di jukstakortikal dan periventrikuler substansia alba. Penyangatan kontras umumnya terlihat pada lesi aktif. Bentuk lesi dan 


letak lesi dapat membantu mengenali lesi 


MS pada gambaran MRI. Lesi berbentuk 


ovoid di bagian dalam substansia alba atau 


dengan perpanjangan ke korpus kalosum 


(,Dawson's finger) merupakan lesi yang cukup khas ditemukan pada MS (Gambar 3).


Pemeriksaan Penunjang Lainnya


Pemeriksaan penunjang lain yang dapat 


membantu dalam penegakan diagnosa  MS 


yaitu  evoked potential dan pemeriksaan 


CSS namun kedua pemeriksaan ini tidak 


spesifik untuk MS. Pemeriksaan evoked potential yang dapat dipakai  dan memiliki 


sensitivitas yang cukup baik yaitu  visual


evoked potential (VEP). Hasil VEP yang sesuai dengan lesi demielinisasi dapat menjadi bukti Minis obyektif. 

Pemeriksaan CSS membantu menyingkirkan diagnosa  banding terutama infeksi otak, 


Pemeriksaan IgG dan pita oligoklonal memiliki sensitivitas yang tinggi tetapi tidak spesifik untuk MS. Pita oligoklonal juga dapat 


ditemukan pada penyakit lain seperti lupus 


eritematosus sistemik, neurosarkoidosis, 


perdarahan intrakranial, dan Iain-lain.


diagnosa  BANDING


MS dapat menyerupai banyak penyakit lain 


sehingga sebelum sampai pada diagnosa  


MS maka diagnosa  banding harus disingkirkan terlebih dahulu.


® Infeksi SSP, sangat penting untuk disingkirkan sebelum memulai terapi. 


Oleh sebab  itu pungsi lumbal perlu 


dikerj akan pada masalah -masalah  dengan 


kecurigaan MS. Pada infeksi seperti progressive multifocal leukoencephalopathy


yang disebabkan oleh virus JC (John Cunningham] juga terjadi proses demielinisasi. Selain itu infeksi seperti tuberkulosis, HIV, dan virus lain juga sebaiknya 


disingkirkan terlebih dahulu.


• Penyakit vaskular otak, seperti cerebral


autosomal dominant arteriopathy with subcortical infarcts and leukoencephalopathy


(CADASIL), vaskulitis, dan infark lakunar.


© Penyakit autoimun lainnya, seperti neuromielitis optik (NMO), acute disseminated encephalomyelitis, lupus eritematosus 


sistemik sindrom Sjogren, dan sarkoidosis.


® Neoplasma SSP, seperti limfoma, glioma, 


ensefalomielitis paraneoplastik, dan kompresi medula spinalis akibat metastasis.


® Metabolik/toksik, seperti defisiensi vitamin B12, central pontine myelinolysis.


® Penyakit idiopatik/genetik, seperti degenerasi spinoserebelar, ataksia Friedreich, malformasi Arnold-ChiarL


® Gangguan psikiatri berupa reaksi konversi. 

TATA LAKSANA


Tata laksana MS terbagi atas terapi relaps 


dan terapi jangka panjang.


Terapi Relaps


Terapi ini hanya diberikan pada saat relaps, 


tidak untuk jangka panjang. Pilihan pertama untuk terapi relaps yaitu  metilprednisolon IV atau oral 500-1000m g selama 


3-5 hari. Penurunan dosis pascapemberian 


metilprednisolon SOO-lOOOmg masih menjadi kontroversi. Sebuah studi yang membandingkan kelompok dengan dan tanpa 


penurunan dosis metilprednisolon memperlihatkan bahwa tidak ada  perbedaan 


kesembuhan yang bermakna antara kedua 


kelompok ini .


Terapi Jangka Panjang 


Terapi jangka panjang disesuaikan dengan 


subtipe MS. Direkomendasikan untuk memberikan disease modifying drug (DMD) pada 


pasien yang telah terdiagnosa  MS sesegera 


mungkin. Hal Ini bertujuan untuk memperlambat progresivitas penyakit. DMD yang 


tersedia di negara kita  saat ini hanya interferon-Bla, interferon-Blb, dan fingolimod. 


Interferon-61 a dan interferon-61 b merupakan terapi pilihan untuk CIS dan RRMS. Indikasi pemberian dan rekomendasi dosis DMD 


pada MS dapat dilihat pada Tab el 1 dan 2. 


Interferon-6 bekerja dengan berikatan pada 


reseptor spesifik di permukaan sel sistem 


imun dan mengubah ekpresi dari beberapa 


gen yang berakibat pada menurunnya jumlah molekul adhesi, menghambat ekspresi 


MHC-II, mengurangi migrasi sel inflamasi ke 


dalam SSP, menghambat sintesis sitokin proinflamasi dan meningkatkan sintesis sitokin 


antiinflamasi. Interferon-6 la diberikan dengan dosis 22-44gg 2-3x/minggu subkutan.


Fingolimod merupakan DMD dalam bentuk 


oral dengan dosis 0,5mg/hari. Fingolimod 


dipakai  pada tipe MS yang sangat aktif 


atau pada RRMS yang mengalami kegagalan dengan terapi interferon. Fingolimod 


bekerja dengan mengaktifkan reseptor 


sfingosin-1 fosfat sehingga menghambat 


dilepaskannya limfosit ke dalam sirkulasi 


dari kelenjar getah bening.


Pada kondisi di mana DMD tidak dapat diberikan maka untuk terapi jangka panjang 


dapat diberikan imunosupresan seperti 


azatioprin. Metilprednisolon tidak dianjurkan untuk terapi jangka panjang 







NEUROMIELITIS OPTIK



Neuromielitis optik (NMO] atau Devic's syndrome merupakan penyakit autoimun yang 


memicu demielinisasi berat terutama 


pada nervus optikus dan medula spinalis. Pada 


awalnya NMO dianggap sebagai bagian (subgroup) dari multipel sklerosis (MS] sebab  


gejalanya yang tumpang tindih. Saat ini telah 


diketahui bahwa patofisiologi kedua penyaldt 


ini berbeda. Ditambah lagi dengan penemuan 


antibodi terhadap anti-aquaporin-4 (AQP4] 


mempertegas bahwa yang berperan pada 


NMO yaitu  imunitas humoral. Pengetahuan 


mengenai peran antibodi NMO sangat penting 


untuk mengembangkan terapi yang rasional 


pada penyaldt ini.


EPIDEMIOLOGI


Insiden NMO bervariasi di berbagai negara. 


Sebuah studi telaah sistematik mendapat  insiden NMO berkisar antara 0,053-0,4 


per 100,000 penduduk sedangkan prevalensinya 0,52-4,4 per 100,000 penduduk. 


Seperti kebanyakan penyakit autoimun lainnya, NMO lebih banyak menyerang wanita. 


Median usia saat onset 30,5-55,2 tahun, 


sedildt lebih tua daripada median usia MS. 


Meskipun demildan NMO dapat muncul 


pada usia anak maupun usia lanjut. Seropositif antibodi AQP4 juga lebih sering ditemukan pada wanita.


PATOFISIOLOGI


masalah  pertama adanya sindrom dengan manifestasi di nervus optikus dan medula spinalis 


dilaporkan oleh Antoine Postal pada abad 


ke-19. Penyakit ini terus ditemukan, hingga 


pada tahun 1894, seorang neurolog Perancis, 


Eugene Devic bersama dengan Fernand Dault, 


pertama kali memakai  terminologi neuromielitis optik untuk sebuah sindrom klinis 


yang terdiri dari neuritis optik dan mielitis 


transversa akut. Penelitian mengenai patogenesis terus dilakukan, dan pada tahun 2004 


Lennon dan Wingerchuk mendeteksi adanya 


immunoglobulin G neuromielitis optik (IgGNMO atau IgG-AQP4), antibodi spesifik yang 


membedakan NMO dengan MS. Satu tahun 


kemudian, Lennon dkk menemukan bahwa 


IgG-NMO berikatan secara spesifik terhadap 


kanal air AQP4 dan hipotesis inilahyangdianut 


sebagai patogenesis NMO hingga saat ini.


AQP4 merupakan protein transmembran 


yang secara selektif mengatur transpor 


air pada sel tertentu di otak. AQP4 paling 


banyak ditemukan di SSP dan diekspresikan 


di membran astrosit, berhadapan langsung 


dengan membran darah-otak dan darah-cairan serebrospinal (CSS], namun dapat juga 


ditemukan di otot rangka, sel epitel ginjal, dan kelenjar eksokrin. Peran ini sangat 


penting untuk fungsi biologis sel seperti 


transpor air transepitelial, terutama antara  

darah-otak dan darah-CSS, migrasi sel, dan 


neuroeksitasi. Ditemukannya autoantibodi 


terhadap AQP4 cukup spesifik dalam mendiagnosa  NMO, dimana IgG-AQP4 akan berikatan dengan podosit astrosit, mengaktifkan 


komplemen, memicu sitotoksisitas dependen komplemen (complement-dependent


cytotoxicity/CDC], inflitrasi leukosit, pelepasan sitokin, dan kerusakan sawar darah otak 


(Gambar 1), Kaskade ini berakhir sebagai kematian oligodendrosit, hilangnya mielin dan 


neuron, lalu muncul sebagai gejala dan tanda 


klinis demielinisasi pada NMO.


GEJALA DAN TANDA KLINIS


Saat ini NMO dan MS sudah dapat dibedakan berdasar  lokasi lesi, perjalanan klinis, hingga adanya penanda biologis spesifik 


yang menjadi karakteristik NMO, NMO lebih 


banyak bersifat polifasik, namun dapat juga 


muncul sebagai gejala monofasik. Bentuk polifasik lebih sering ditemukan [90%] berupa 


serangan neuritis optik atau mielitis, atau 


keduanya yang terjadi bersamaan. Bentuk 


monofasik hanya ditemukan sekitar 10%, 


dan pada bentuk ini umumnya neuritis optik 


dan mielitis menyerang bersamaan.

 

Pada 2015, International Panel fo r NMO Diagnosis (IPND) mempublikasikan konsensus internasional kriteria diagnosa  untuk 


NMOSD, sebagai berikut:


1. NMOSD dengan IgG-AQP4 positif


a. Minimal ada  1 karakteristik Minis utama


b. IgG-AQP4 positifmemakai  metode 


deteksi terbaik [direkomendasikan cell


based assay)


c. diagnosa  alternatiftelah dieksklusi


2. NMOSD dengan IgG-AQP4 negatif atau 


status IgG-AQP4 tidak diketahui


a. Minimal ada  2 karakteristik Minis utama yang muncul pada 1 kali 


relaps atau lebih dan memenuhi kriteria berikut ini:


® Setidaknya 1 dari karakteristik klinis 


utama yaitu  neuritis optik, mielitis 


altut dengan long extended transverse


myelitis (LETM) atau sindrom area 


postrema


© Dissemination in space, yaitu >2 sindrom Minis yang berbeda.


© Temuan MRI yang mendukung sindrom ini 


b. IgG-AQP4 negatif


c. diagnosa  alternatif telah dieksklusi


3. Karakteristik klinis utama


a. Neuritis optik


b. Mielitis akut


c. Sindrom area postrema/dorsal medula


d. Sindrom batang otak/periependimal 


akut


e. Narkolepsi simtomatik atau sindrom 


Minis diensefalik akut dengan MRI diensefalon yang tipikal NMOSD


f. Sindrom serebral simtomatik dengan 


lesi otak tipikal NMOSD


4. Gambaran MRI yang harus terpenuhi 


pada NMOSD dengan IgG-AQP4 negatif 


atau tidak diketahui


a. Neuritis optik akut: MRI otak harus


© Normal atau hanya ada lesi substansia alba yang nonspesifik, atau


® Hiperintens pada nervus optikus 


pada MRI sekuens T2 atau lesi menyangat gadolinium pada sekuens 


T1 dengan panjang lebih dari Vz


nervus optikus atau melibatkan 


kiasma optikus


b. Mielitis akut:


© Pada MRI didapatkan lesi pada >3 


segmen intramedula spinalis yang 


berdekatan (LETM], atau


© Atrofi fokal pada >3 segmen medula spinalis yang berdekatan pada 


pasien dengan riwayat mielitis akut


c. Sindrom area postrema: Adanya lesi 


pada area postrema atau dorsal medula


d. Sindrom batang otak akut: Adanya 


lesi pada batang otak periependimal


Poin penting pada konsensus ini  ialah 


bahwa diagnosa  NMOSD baru dapat ditegakkan sesudah  mengalami satu serangan klinis, 


tidak cukup hanya dibuktikan dengan ditemukannya IgG-AQP4 atau temuan MRI yang 


sesuai namun asimtomatik.


Gejala klinis tersering yang dikeluhkan 


pasien dengan NMO ialah nyeri okular dan 


gangguan visus (neuritis optik] dan mielitis 


transversa akut dengan para/tetraplegia, gangguan sensorik di bawah lesi, dan gangguan 


otonom. Serangan neuritis optik maupun 

mielitis pada NMO seringkali lebih berat 


dibandingkan dengan MS. NMO berpotensi 


mengancam nyawa jika lesi meluas ke medula spinalis servikal dan batang otak sebab  


berpotensi memicu  gagal napas.


sesudah  serangan pertama, sebanyak 60% 


pasien mengalami relaps dalam 1 tahun 


dan 90% dalam 3 tahun. Disebutkan pula 


bahwa pasien NMO yang sudah seropositif 


sejak awal berisiko lebih besar untuk 


mengalami relaps. sesudah  5 tahun, sebanyak 


50% pasien dengan perjalanan penyakit 


relaps juga mengalami kebutaan unilateral, 


bilateral, atau bahkan imobilisasi. Faktorfaktor yang dapat memperberat prognosis 


di antaranya yaitu : 1) sering relaps pada 


2 tahun pertama penyakit, 2) derajat keparahan sangat berat pada serangan pertama,


3) koeksistensi penyakit autoimun lain (terutama lupus eritematosus sistemik/LES). 


Angka kesintasan 5 tahun ialah 90% pada 


pasien dengan gejala monofasik dan 68% 


dengan gejala relaps. pemicu  kematian 


terbanyak ialah akibat gagal napas.


diagnosa  DAN diagnosa  BANDING


Penegakan diagnosa  NMO dilakukan dengan 


penilaian gejala dan tanda klinis sesuai kriteria diagnosa , ditunjang dengan pemeriksaan serologi dan pencitraan yang mendukung ke arah NMO sesudah  etiologi lain 


disingkirkan.


Pemeriksaan Antibodi NMO


Autoantibodi terhadap kanal air aquaporin-4 (IgG-AQP4 atau IgG-NMO) hingga saat


ini dianggap sebagai penanda biologis spesifik yang memainkan peran penting pada 


patogenesis NMO dan NMOSD. Pemeriksaan 


ini dapat dilakukan pada CSS maupun serum. Antibodi ini memberikan sensitivitas 


sebesar 73% dan spesifisitas 91% untuk 


pasien dengan gejala NMO. Namun sebanyak


10-25% pasien NMO memberikan hasil 


yang seronegatif. Kondisi ini menunjukkan 


adanya faktor lain yang dapat terlibat dalam 


patogenesis NMO, diduga ialah autoantibodi 


terhadap aquaporin-1 (AQPl-Abs) dan antibodi terhadap glikoprotein dari mielin oligodendrosit (IgG-MOG).


Pemeriksaan Cairan Serebrospinal


Adanya pleositosis [>50sel/mm3) dengan 


predominan neutrofil serta peningkatan 


protein (100-500mg/dl} merupakan hasil 


yang banyak ditemukan pada pasien NMO. 


Meskipun jarang, pita oligoklonal juga dapat 


ditemukan pada NMO (15-30% ) namun lebih banyak pada MS (85-90%),


Pencitraan


Pemeriksaan MRI otak pada awal penyakit 


NMO umumnya normal namun dapat juga 


ditemukan lesi nonspesifik, umumnya asimtomatik dan perlu dipastikan tidak memenuhi 


kriteria MS. Nilai diagnostik yang lebih tinggi 


pada NMO yaitu  temuan pada MRI di medula 


spinalis, yang tersering berupa lesi longitudinal pada tiga atau lebih segmen vertebra [long


segment myelopathy), seperti pada Gambar 2. 


Lesi ini 98% peka  dan 83% spesifik untuk 


NMO. 

diagnosa  Banding pada NMO


diagnosa  banding utama pada NMO ialah MS, 


sebab  keduanya secara klinis memiliki beberapa kemiripan. Tidak ada gambaran klinis 


yang dapat mengeksklusi diagnosa  NMOSD, 


namun beberapa hal ini dapat mengarahkan 


lata kepada diagnosa  banding lainnya, yaitu: 


1) perjalanan klinis progresif tanpa adanya 


hubungan antara relaps dan perburukan penyakit, 2) durasi serangan yang atipikal (<4


jam atau >4 minggu], 3} Mielitis transversa 


parsial, 4] ditemukannya pita oligoklonal 


pada cairan serebrospinal (CSS], 5] kondisi 


lain seperti sarkoidosis, keganasan, infeksi 


kronik (contoh: HIV], dan 6) temuan MRI yang 


atipikal. NMO juga dapat muncul bersama 


dengan penyakit autoimun lain seperti LES, 


sindrom Sjogren